refrat kiki
TRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Erupsi akneiformis adalah suatu kelainan kulit yang menyerupai akne, berupa reaksi
peradangan folikular dengan manifestasi klinis papulopustular. Bork pada tahun 1988
mendefinisikan erupsi akneiformis sebagai suatu reaksi inflamasi yang bermanifestasi klinis
sebagai papula dan pustula dan menekankan ketiadaan komedo sebagai perbedaan yang mendasar
antara erupsi akneiformis dengan akne. Akan tetapi komedo dapat muncul secara sekunder jika
erupsi tersebut sudah berlangsung lama. 1,2
Etiologi erupsi akneiformis sampai saat ini masih belum dapat diketahui secara pasti,
namun diduga erupsi akneiformis disebabkan oleh obat, baik obat-obatan yang digunakan secara
sistemik maupun yang digunakan secara topikal. Erupsi akneformis adalah reaksi kulit yang
berupa peradangan folikular akibat adanya iritasi epitel duktus pilosebasea yang terjadi karena
eksresi substansi penyebab (obat) pada kelenjar kulit. Umumnya reaksi pada kulit atau daerah
mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat (erupsi obat) timbul karena reaksi
hipersensitivitas berdasarkan mekanisme imunologis, tetapi reaksi ini juga dapat terjadi melalui
mekanisme non imunologis yang disebabkan karena dosis yang berlebihan, akumulasi obat atau
karena efek farmakologi yang tidak diinginkan.1,3
Kasus erupsi akneiformis akibat obat (drug-induced acneiform eruption / DAE) awalnya
sudah dilaporkan sejak tahun 1928 ketika lesi yang menyerupai akne muncul dengan penggunaan
iodida dan hidrokarbon klorinat. Erupsi akneiformis mulai tercatat sebagai salah satu dari
beberapa efek samping steroid saat pengenalan steroid dalam terapi medis pada tahun 50-an.
Pada tahun 1959, Bereston melaporkan timbulnya erupsi akneiformis seiring dengan penggunaan
isoniazid (INH). Sejak itu, berbagai macam obat ditemukan sebagai penyebab erupsi
akneiformis.2
----Bagian Dermatologi Rumah Sakit Christian Medical Vellore di India selama periode 2 tahun
melaporkan 78 % dari 56 orang pasien baru dermatosis akneiformis disebabkan oleh penggunaan
obat. Dari 78 % tersebut didapatkan perbandingan antara penderita laki-laki dan perempuan
sebanyak 2 : 1.2 Oleh karena itu perlu ditegakkan diagnosis yang tepat dari gangguan ini karena
kasus ini memberikan manifestasi yang serupa dengan gangguan kulit lain pada umumnya.
Identifikasi dan anamnesis yang tepat dari penyebab timbulnya reaksi obat adalah salah satu hal
penting untuk memberikan tatalaksana yang cepat dan tepat bagi penderita dengan tujuan
membantu meningkatkan prognosis serta menurunkan angka morbiditas.1,3,4,5
1
PEMBAHASAN
1. Definisi
--- Erupsi akneformis adalah kelainan kulit yang menyerupai akne yang berupa reaksi
peradangan folikuler dengan manifestasi klinis papulopustular.1
----
2. Etiologi
--- Etiologi penyakit ini masih belum jelas. Semula erupsi akneformis disangka sebagai salah
satu jenis akne, namun kemudian diketahui bahwa etiopatogenesis dan gejalanya berbeda.
Induksi obat yang diberikan secara sistemik diakui sebagai faktor penyebab yang paling utama.
Ada pula yang mengganggap bahwa erupsi akneformis dapat disebabkan oleh aplikasi topikal
kortikosteroid, psoralen dan ultraviolet A (PUVA) atau radiasi, bahkan berbagai bahan kimia
yang kontak ke kulit akibat kerja (minyak, klor), kosmetika, atau tekanan pada kulit. 1,5
3. Patogenesis
Mekanisme patogenesis terjadinya erupsi akneiformis belum diketahui secara pasti. John
Hunter dkk menyatakan bahwa erupsi akneiformis terjadi melalui mekanisme non imunologis
yang dapat disebabkan karena dosis yang berlebihan, akumulasi obat atau karena efek
farmakologi yang tidak diinginkan. Andrew J.M dalam bahasannya tentang Cutaneous Drug
Eruption menyatakan bahwa mekanisme non imunologis merupakan suatu reaksi pseudo-allergic
yang menyerupai reaksi alergi, tetapi tidak bersifat antibody-dependent. Ada satu atau lebih
mekanisme yang terlibat dalam reaksi tersebut, yaitu: pelepasan mediator sel mast dengan cara
langsung, aktivasi langsung dari sistem komplemen, atau pengaruh langsung pada metabolisme
enzim asam arachidonat sel. Selain itu adanya efek sekunder yang merupakan bagian dari efek
farmakologis obat, juga dapat menimbulkan manifestasi di jaringan kulit. 2,3,6,7
4. Gambaran Klinis
Berbeda dengan akne, erupsi akneformis dapat timbul secara akut, subakut, dan kronis.
Tempat terjadinya tidak hanya terjadi di tempat predileksi akne saja, namun dapat terjadi di
seluruh bagian tubuh yang mempunyai folikel pilosebasea. Tempat tersering pada dada,
punggung bagian atas dan lengan. 2,8
2
--- Gambaran klinis berupa papul yang eritematous, pustul, monomorfik atau oligomorfik,
biasanya tanpa komedo, komedo dapat terjadi kemudian setelah sistem sebum ikut terganggu.
Dapat disertai demam, malese, dan umumnya tidak terasa gatal. Umur penderita bervariasi, mulai
dari remaja sampai orang tua dan pada anamnesis ditemukan adanya riwayat pemakaian obat. 1,3,8
--- Erupsi akneformis secara klinis mempunyai karakteristik tersendiri seperti erupsi
akneformis akibat steroid (akne steroid), erupsi akneformis akibat paparan senyawa halogen
(chloracne), dan erupsi akneformis akibat antibiotik. Akne steroid memberi gambaran
papulopustul, monomorfik, tempat predileksi di daerah dada, ekstremitas, sedikit pada daerah
wajah, dan timbul setelah penggunaan kortikosteroid topikal atau sistemik. Chloracne berupa
komedo yang polimorf dan kista, sering ditemukan pada pekerja industri dan biasanya lebih berat
daripada akne steroid. Erupsi akneformis akibat antibiotik biasanya bersifat akut, erupsi pustular
generalisata, demam disertai lekositosis, dan tanpa komedo. 3,5
Gambar 1. Erupsi akneiformis.9 Gambar 2. Erupsi akneformis akibat penggunaan
steroid.10
5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium sederhana dapat dilakukan pemeriksaan mikrobiologi dengan
pewarnaan Gram dari cairan pustula.1 Pemeriksaan ini dilakukan untuk membedakan erupsi
akneiformis dengan folikulitis.
--- Pemeriksaan histopatologis memperlihatkan gambaran yang tidak spesifik berupa
sebukan sel radang kronis di sekitar folikel sebasea dengan massa sebum di dalam folikel. Pada
3
kista, radang sudah menghilang diganti dengan jaringan ikat pembatas massa cair sebum yang
bercampur dengan darah, jaringan mati, dan keratin yang lepas. 2
--- Penelitian yang dilakukan oleh Audrey Lobo, dkk. pada tahun 1992 memberikan
gambaran erupsi secara histopatologis. Pada erupsi akibat INH dan kortikosteroid didapatkan
adanya sumbatan folikel, retensi kista, dan peradangan di daerah perifolikular. Pada penggunaan
kortikosteroid ditemukan adanya gambaran tambahan seperti kerusakan pada sel-sel luminal dan
supurasi dinding folikel sedangkan pada penggunaan INH tidak ditemukan pustul dan lesi
nodulokistik. Kelainan ini muncul setelah penggunaan 1 hari -11 bulan. 2
6. Diagnosis Banding
Akne Vulgaris
--- Umumnya terjadi pada remaja dan berlangsung kronis. Tempat predileksi di tempat
sebore seperti di muka, bahu, dada bagian atas dan punggung bagian atas, lokasi lain seperti
leher, lengan atas dan glutea kadang-kadang terkena (gambar 3).2
Erupsi biasanya berbentuk polimorf, terdapat komedo, papul yang tidak peradang dan
pustul, kista dan nodus yang meradang. Dapat disertai rasa gatal, namun biasanya keluhan
penderita berupa keluhan estetis. Komedo merupakan gejala patognomonik bagi akne, berupa
papul miliar yang ditengahnya mengandung sumbatan sebum.2
Gambar 3 Lokasi akne vulgaris 13
4
-
Gambar 4 Ruam polimorf akne vulgaris 10
Akne Venenata
Merupakan erupsi setempat pada lokasi kontak dengan zat kimia yang digunakan,
terjadinya subkronis. Lesi pada umumnya monomorf berupa komedo dan papul, dan tidak gatal. 2
Folikulitis
Folikulitis adalah peradangan pada folikel rambut, biasanya disebabkan oleh infeksi
Staphylococcus aureus. Folikulitis diklasifikasikan menjadi folikulitis superfisialis, dimana
lesinya hanya terbatas di dalam epidermis dan folikulitis profunda dengan lesi sampai ke
subkutan.2
Tempat predileksi di tungkai bawah, tetapi dapat juga terjadi pada tempat-tempat dimana
terdapat banyak folikel-folikel rambut. Gejala klinis berupa papul dan pustul yang eritematosa
dan di tengahnya terdapat rambut, lesi folikulitis biasanya bersifat multipel.2
Gambar 5 Folikulitis. 9
5
Dermatitis perioral
Dermatitis perioral merupakan suatu kelainan yang belum diketahui penyebabnya,
terutama ditemukan pada kelompok wanita muda berkulit putih berupa gambaran papulopustul
dengan dasar eritematosa. Kelainan ini diperkirakan sebagai akibat kortikosteroid topikal atau
inhalasi, moisturizer, dan bahan kontak iritan atau alergen. Tempat predileksi di daerah perioral
dengan karakteristik lesi merah terang di pinggir bibir. Akan tetapi, dapat juga terjadi di daerah
perinasal dan periorbital.14
Gambar 6. Dermatitis perioral. 14
7. Penatalaksanaan
Penghentian konsumsi obat-obat penyebab dapat menghentikan bertambahnya dan secara
perlahan menghilangkan erupsi yang ada. Apabila penghentian pemakaian obat tidak bisa
dilakukan, maka pemberian obat-obatan yang digunakan untuk mengobati akne, baik secara
sistemik maupun topikal dapat memberikan hasil yang cukup baik.1,3,6
Pengobatan Topikal
---- Pengobatan topikal dilakukan untuk menekan peradangan, dan mempercepat
penyembuhan lesi. Jika sistem sebum telah ikut terganggu, maka obat-obatan ini dapat digunakan
untuk mencegah pembentukan komedo. Obat topikal yaitu : 1
a. Bahan keratolitik yang dapat mengelupas kulit misalnya sulfur (4-20%), asam retinoid
(0,025-0,1%), benzoil peroksida (2,5-10%), asam azeleat (15-20%), dan akhir-akhir ini
digunakan pula asam alfa-hidroksi (AHA) seperti asam glikolat (3-8%). 1
1) Sulfur bekerja sebagai keratolitik. Biasanya yang digunakan adalah sulfur dengan
tingkat terhalus, yaitu sulfur presipitatum (belerang endap) berupa bubuk kuning
6
kehijauan. Biasanya digunakan dalam bentuk bedak kocok. Bedak kocok yang biasa
digunakan adalah losio kumorfeldi, yang terdiri dari:
- Camphorae 1 gram
- Sulfur 6,6 gram
- Etanol 90% 3 ml
- Calcici hidroxy solutio 40 ml
- Zat pengemulsi 1,5 gr
2) Asam retinoid topikal (tretinoin, isotretinoin, dan retinoid like drug, adapalene)
bekerja untuk mengoreksi ketidaknormalan keratinosit folikuler. Terapi ini efektif
untuk terapi dan pencegahan lesi primer, dengan cara membatasi formasi lesi
peradangan. Retinoid topikal juga membantu penetrasi obat topikal lainnya dan juga
memperbaiki hiperpigmentasi yang banyak terjadi pada kulit gelap setelah
penyembuhan dari lesi peradangan. Retinod topikal tidak boleh diberikan pada wanita
hamil. 10,11
3) Benzoil peroksida, tidak saja membunuh bakteri melainkan menyebabkan
deskuamasi dan timbulnya gumpalan di dalam folikel. Pada permulaan pengobatan,
pasien merasa seperti terbakar. Gejala ini akan berkurang dalam beberapa minggu.
Sebaiknya dimulai dari dosis rendah dahulu, kemudian lambat laun diganti dengan
dosis tinggi. Efek samping pada pemakaian lama adalah sensitisasi secara kontak (2,5
% dari kasus). Cara kerja obat ini, yaitu: 11
- Anti bakteri yang kuat
- Komedolitik
- Menekan produksi sebum
Dibanding dengan asam retinoid, asam benzoil peroksida memiliki berbagai
kelebihan: 11
- Kurang menyebabkan iritasi dan rasa tak menyenangkan bagi penderita.
- Tidak menyebabkan bertambah hebatnya (flare up) pada bulan pertama
pengobatan.
- Mengeringkan pustula lebih cepat daripada tretinoin.
- Pada bentuk komedo, kurang efektif dibandingkan dengan tretinoin.
7
---- Kombinasi asam retinoid dengan benzoil peroksida akan diperoleh efek sinergistik,
tetapi sayang keduanya tak dapat dipakai bersama-sama dalam satu bahan dasar.
Asam retinoid dapat menyebabkan kulit lebih permiabel sehingga meningkatkan
konsentrasi benzoil peroksida dalam jaringan. 11
4) Asam azeleat
--- Merupakan suatu dikarbosilisik yang mempunyai efek yang sama dengan benzoil
peroksida dan asam retinoid, dengan cara mengurangi granula keratohialin pada
saluran pilosebasea. Sifat iritasinya lebih kecil dan dapat ditolerir dengan baik dan
mempunyai efek anti inflamasi. 10
5) Asam alfa-hidroksi (AHA)
---- Asam alfa-hidroksi (AHA) konsentrasi rendah akan mengurangi kohesi korniosit dan
berguna untuk lesi yang tidak beradang sedangkan pada konsentrasi tinggi akan
menyebabkan epidermolisis subkorneal (atap pustula pecah) dan pada lapisan dermis
akan merangsang sintesis kolagen baru. Efek asam alfa hodroksi tergantung pada
macam, konsentrasi, vehikulum, waktu pajanan dan kondisikondisi lain. 12
b. Antibiotik topikal dapat mengurangi jumlah mikroba dalam folikel, misalnya, eritromisin
(1%), klindamisin fosfat (1%). 1
Pengobatan sistemik
Pengobatan sistemik ditujukan terutama untuk mengurangi reaksi radang disamping itu
dapat juga menekan produksi sebum, menekan aktivitas jasad renik dan mempengaruhi
keseimbangan hormonal. Golongan obat sistemik yaitu: 1
1. Antibiotik sistemik, diindikasikan untuk penyakit sedang sampai berat, untuk terapi erupsi
akneiformis di dada, punggung, dan lengan, dan pasien dengan penyakit peradangan
dimana kombinasi obat topikal tidak berhasil. Antibiotik yang sering digunakan antara
lain eritromisin (4x250mg/hari). 1
2. Obat hormonal untuk menekan produksi androgen dan secara kompetitif menduduki
reseptor organ target di kelenjar sebasea, misalnya antiandrogen siproteron asetat
(2mg/hari). 1
3. Vitamin A dan retinoid oral. Vitamin A digunakan sebagai antikeratinisasi (50.000-
150.000 IU/hari) dan Isotretinoin (0,5-1mg/kgBB/hari) yang dapat menghambat produksi
sebum. 1
8
----
8. Prognosis
Erupsi akneiformis merupakan penyakit yang dapat sembuh, apabila obat yang diduga
sebagai penyebab dihentikan. Apabila hal tersebut tidak mungkin dilaksanankan karena vital,
maka pengobatan topikal maupun sistemik akan memberikan hasil yang cukup baik. 1,3,6
KESIMPULAN
Erupsi akneformis adalah kelainan kulit yang menyerupai akne yang berupa reaksi
peradangan folikuler dengan manifestasi klinis papulopustular. Etiologi penyakit ini masih
belum jelas. Induksi obat yang diberikan secara sistemik diakui sebagai faktor penyebab yang
paling utama. Reaksi ini terjadi melalui mekanisme non imunologis yang disebabkan karena
toksisitas obat, over dosis, interaksi antarobat dan perubahan dalam metabolisme. erupsi
akneformis dapat timbul secara akut, subakut, dan kronis. Tempat terjadinya tidak hanya terjadi
di tempat predileksi akne saja, namun dapat terjadi di seluruh bagian tubuh yang mempunyai
folikel pilosebasea. Tempat tersering pada dada, punggung bagian atas dan lengan. Gambaran
klinis berupa papul yang eritematous, pustul, monomorfik atau oligomorfik, biasanya tanpa
komedo, komedo dapat terjadi kemudian setelah sistem sebum ikut terganggu. Dapat disertai
demam, malese, dan umumnya tidak terasa gatal.
Umur penderita bervariasi, mulai dari remaja sampai orang tua dan pada anamnesis
ditemukan adanya riwayat pemakaian obat. Erupsi akneformis secara klinis mempunyai
karakteristik tersendiri seperti erupsi akneformis akibat steroid (akne steroid), erupsi akneformis
akibat paparan senyawa halogen (chloracne), dan erupsi akneformis akibat antibiotik.
Penghentian konsumsi obat-obat penyebab dapat menghentikan bertambahnya erupsi dan secara
perlahan menghilangkan erupsi yang ada. Apabila penghentian pemakaian obat tidak bisa
dilakukan, maka pemberian obat-obatan yang digunakan untuk mengobati akne, baik secara
sistemik maupun topikal dapat memberikan hasil yang cukup baik.
Terdapat beberapa macam penyakit yang memiliki manifestasi klinis yang hampir serupa
dengan erupsi akneiformis, diantaranya akne, folikulitis, dan dermatitis perioral. Sehingga perlu
dilakukan identifikasi dan anamnesis yang tepat dari penyebab timbulnya reaksi obat adalah salah
9
satu hal penting untuk memberikan tatalaksana yang cepat dan tepat bagi penderita dengan tujuan
membantu meningkatkan prognosis serta menurunkan angka morbiditas.
DAFTAR PUSTAKA
10
1. Lobo A, Mathai R, Jacob M. Pathogenesis of Drug Induced Acneform Eruptions. Indian
Journal Dermatology Venereol Leprol. 1992. 58(3): 159-63.
2. Hunter J, Savin J, Dahl M. Clinical Dermatology 3rd Edition. Oxford: Blackwell Science
Ltd, 2003. 148-56, 307-13
3. Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2nd ed.
Pharmaceutical Press. 2006. Access on: December 28, 2010. Available at:
http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf
4. Champion RH, Burton JL, Burns DA, Breathnach SM. Textbook of Dermatology.
Volume II. 6th Edition. London : Blackwell Science Ltd, 1998. 1973-5.
5. Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment Options. In:
American Family Physician. Volume 68, Number 9. 2003. Access on: December 28,
2010. Available at: www.aafp.org/afp
6. Andrew J.M, Sun. Cutaneous Drugs Eruption.In: Hong Kong Practitioner. Volume 15.
Cardiff : Department of Dermatology University of Wales College of Medicine, 1993.
Access on: December 28, 2010. Available at:
http://sunzi1.lib.hku.hk/hkjo/view/23/2301319.pdf
7. Odom RB, James DW, Berger TG. Andrew's Disease of the Skin Clinical Dermatology.
Volume I, 9th Edition. Pennsylvania : WB. Saunders Company, 2000. 296-7.
8. Daili ESS, Menaldi SL, Wisnu IM. Penyakit Kulit Yang Umum Di Indonesia- Sebuah
Panduan Bergambar. Jakarta: PT. Medical Multimedia Indonesia, 2007. 45, 90-3.
9. James WD. Acne. The New England Journal of Medicine. 2005; 352: 1463 - 72. Access
on: December 29, 2010. Available at: www.insp.mx/biblio/alerta/al0805/24.pdf
10. Soedirman et al, Acne Vulgaris, dalam Komite medik RSUP DR Sardjito, Standard
Pelayanan Medis RSUP DR Sardjito, Edisi 2. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada, 2004. 299-301.
11. Webster GF, Rawling AV. Acne and It's Therapy. New York: Informa Healthcare, 2007.
1-2
12. Kuflik JH, Schwartz RA. Acneiform Eruption. http://www.emedicine.medscape.com
[diakses 28 Desember 2010]
11