tinjauan hukum terhadap lembaga paksa badan (gijzeling)

23
1 TINJAUAN HUKUM TERHADAP LEMBAGA PAKSA BADAN (GIJZELING) MENURUT Pasal 209 s/d Pasal 224 HIR DAN Pasal 242 s/d Pasal 258 (RBg) ANALISA SERTA IMPLEMENTASINYA By Timur Abimanyu, SH.MH Latar Belakang Lembaga penyanderaan (gijzeling) adalah sangat bertentangan dengan peri kemanusiaan, oleh karenanya dengan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 19964 mengintruksikan untuk tidak mempergunakan lagi peraturan- peraturan mengenai sandera (gijzeling), sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal-Pasal 209 s/d 224 HIR. Sesuai perkembangan jaman berkaitan dengan penggunakan lembaga gijzeling seperti diatur dalam Pasal 209 dan seterusnya H.I.R./242 dan seterusnya R.Bg. dengan mengingat Pasal 33 Undang-undang No. 14 tahun 1974 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman yang sekarang sudah menjadi Undang Undang Kekuasaan Kehakiman No. dan telah mengalami beberapa kali perubahan yaitu Undang Undang No. 4 Tahun 2004 kemudian di rubah lagi dengan Undang Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang intinya menghendaki pelaksanaan keputusan dengan tidak meninggalkan peri kemanusiaan. Dimana sandera (gejzeling) 1 sebagaimana diatur dalam Pasal-pasal 209 s/d 224 H.I.R. dan Pasal-pasal 242 s/d 258 R.Bg. merupakan tindakan "perampasan kebebasan bergerak seseorang" dalam rangka eksekusi suatu putusan perkara perdata yang telah mempunyai kekuasaan pasti, putusan perkara perdata yang telah mempunyai kekuatan pasti, putusan perkara mana telah dimulai dengan penyitaan barang-barang milik pihak yang kalah, akan tetapi telah ternyata, bahwa orang itu sama sekali tidak memiliki barang atau barang-barang miliknya tidak cukup banyak untuk melunasi hutang-hutangnya, Penyanderaan (gejzeling) di 1 .Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perdata, P.T.Bale, Bandung, 1986, hal.71

Upload: timur-abimanyu-shmh

Post on 22-Oct-2015

372 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tinjauan Hukum Terhadap Lembaga Paksa Badan (Gijzeling)

1

TINJAUAN HUKUM  TERHADAP LEMBAGA PAKSA BADAN (GIJZELING)MENURUT Pasal 209 s/d Pasal 224 HIR DAN Pasal 242 s/d Pasal 258 (RBg)

ANALISA SERTA IMPLEMENTASINYA

By Timur Abimanyu, SH.MH

Latar BelakangLembaga penyanderaan (gijzeling) adalah sangat bertentangan dengan peri

kemanusiaan, oleh karenanya dengan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 19964 mengintruksikan untuk tidak mempergunakan lagi peraturan-peraturan mengenai sandera (gijzeling), sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal-Pasal 209 s/d 224 HIR.

Sesuai perkembangan jaman berkaitan dengan penggunakan lembaga gijzeling seperti diatur dalam Pasal 209 dan seterusnya H.I.R./242 dan seterusnya R.Bg. dengan mengingat Pasal 33 Undang-undang No. 14 tahun 1974 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman yang sekarang sudah menjadi Undang Undang Kekuasaan Kehakiman No. dan telah mengalami beberapa kali perubahan yaitu Undang Undang No. 4 Tahun 2004 kemudian di rubah lagi dengan Undang Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang intinya menghendaki pelaksanaan keputusan dengan tidak meninggalkan peri kemanusiaan. Dimana sandera (gejzeling)1 sebagaimana diatur dalam Pasal-pasal 209 s/d 224 H.I.R. dan Pasal-pasal 242 s/d 258 R.Bg. merupakan tindakan "perampasan kebebasan bergerak seseorang" dalam rangka eksekusi suatu putusan perkara perdata yang telah mempunyai kekuasaan pasti, putusan perkara perdata yang telah mempunyai kekuatan pasti, putusan perkara mana telah dimulai dengan penyitaan barang-barang milik pihak yang kalah, akan tetapi telah ternyata, bahwa orang itu sama sekali tidak memiliki barang atau barang-barang miliknya tidak cukup banyak untuk melunasi hutang-hutangnya, Penyanderaan (gejzeling) di dalam H./.R. dan R.Bg. ini tidak ditujukan kepada pihak yang membangkang (onwilige partij) 2 seperti "/ijfsdwang" di dalam Rv., melainkan ditujukan kepada orang yang tidak mampu yang tidak mungkin dapat melunasi hutang-hutangnya, karena dirampasnya atau barang untuk melunasi hutanghutangnya. Di dalam Hukum Adat dahulu dikenal lembaga "peruluran" (pandelingschap) yang memberi kemungkinan kepada orang yang tidak mampu untuk melunasi hutang-hutangnya dengan memaksanya bekerja pada pihak berpiutang dengan menilai hasil kerjanya itu dengan uang, akan tetapi lembaga "peruluran" itu dihapuskan oleh Pemerintah Hindia Belanda karena dianggap bertentangan dengan peri kemanusiaan.

Sema Mahkamah Agung yang terdahulu diperjelas kembali oleh Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan, dimana dalam hal pembekuan pembekuan penerapan lembaga Gijzeling sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1964 dan Nomor 4 Tahun 1975 yang menginstruksikan kepada para Ketua Pengadilan dan Hakim untuk tidak mempergunakan lagi peraturanperaturan mengenai gijzeling yang diatur dalam Pasal 209 sampai dengan Pasal 224 Reglemen Indonesia yang diperbarui (HIR) Serta Pasal

1.Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perdata, P.T.Bale, Bandung, 1986, hal.7122..M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 7

Page 2: Tinjauan Hukum Terhadap Lembaga Paksa Badan (Gijzeling)

2

242 sampai dengan Pasal 258 Reglemen Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg.), dipandang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kebutuhan hukum dalam rangka penegakan hukum keadilan serta pembangunan ekonomi bangsa Indonesia, sehingga perlu mencabut dan mengatur kembali ketentuan tersebut.Didasari kepada istilah "gijzeling" dengan kata "sandera" atau "penyanderaan" sebagaimana terdapat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1964 dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1975, yang dipandang tidak tepat karena tidak mencakup pengertian terhadap debitur yang mampu tetapi tidak mau memenuhi kewajibannya dalam membayar hutang, sehingga istilahnya dan pengertiannya perlu disempurnakan menjadi paksa badan, sebagaimana terkandung dalam pengertian "Imprisonment for Civil Debts" 3yang berlaku secara universal.

Perbuatan debitur, penanggung atau penjamin hutang yang tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar kembali hutang-hutangnya4, padahal ia mampu untuk melaksanakannya, merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang nilainya lebih besar daripada pelanggaran hak asasi atas pelaksanaan Paksa Badan 5 terhadap yang bersangkutan, hal tersebut untuk mengisi kekosongan hukum yang dapat menampung dan menyelesaikan permasalahan Lembaga Paksa Badan tersebut perlu mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Lembaga Paksa Badan No. 1 Tahun 2000.

Landasar Hukum :- Lembaga Paksa Badan (Gijzeling) dilandasai oleh pasal 209 s/d 224 H.I.R. dan Pasal-

pasal 242 s/d 258 R.Bg, Surat Edaran MA No. 2 Tahun 1964 Tentang Pengahapusan Sandera (Gijzeling), UU No. 14 Tahun 1970 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Surat Edaran MA No. 04 Tahun 1975 tentang Sandera (Gijzeling) dan PERMA No. No. 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan serta Undang Undang No. 14 tahun 1974 dan telah beberapa kali di rubah menjadi Undang Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, kemudian di rubah lagi dengan Undang Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman6, Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.7

3.Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lair Dari Perjanj!an Dan Dari Undang-Undang), CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, hal 11.

4.Irna Nurhayati, Tinjauan Terhadap Undang-Undang Kepailitan (UU No. 4 Tahun 1998), Mimbar Hukum Majalah Berkala Fakultas Hukum UGM No: 32/VI/1999, hal 41.

5.Martiman Prodjohamidjojo, Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Tentang Kepailitan, C.V. Mandar Maju, Bandung, 1999, hal. 13

6.Victor M Situmorang dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan Di Indonesia, P.T. Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hal. 48.

7.Ruddhy Lontoh, Penyelesaian Utang Piutang melaui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: Alumni, 2001, hlm. 75-76

Page 3: Tinjauan Hukum Terhadap Lembaga Paksa Badan (Gijzeling)

3

Perumusan Masalah :Berdasakan uraian di atas terdapat beberapa permasalahan pokok yang menjadi

perhatian penulis yaitu :1. Mengapa Lembaga Paksa Badan (Gijzeling) dianggap melanggar Hak Azasi Manusia

yang diterapkan pada perkara perdata ? 2. Bagimana implementsinya setelah berlakuknya SEMA No. 2 Tahun 1964 dan bagaimana

implementasinya setelah berlakunya PERMA No. 1 Tahun 2000 ?

Tujuan pembahasan :Tujuan analisa pembahasan adalah untuk menelusuri, mengetahui dan

menganalisis terhadap Lembaga Paksa Badan (Gijzeling) yang digunakan didalam menyelesaikan perkara-perkara pidana maupun perkara perdata yang ditangani oleh lembaga peradilan. Sehubungan dengan pemberlakukan dan penggunaan pasal 209 s/d 224 H.I.R. dan Pasal-pasal 242 s/d 258 R.Bg, Surat Edaran MA No. 2 Tahun 1964 Tentang Pengahpusan Sandera (Gijzeling), Surat Edaran MA No. 04 Tahun 1975, Perma No. 1 Tahun 2000.

Kerangka Teori Dan Konsep 8:Teori konsep yang dipakai penulis untuk pembahasan terhadap Lembaga Paksa

Badan (Gijzeling) diatur pasal 209 s/d 224 H.I.R. dan Pasal-pasal 242 s/d 258 R.Bg :

“Mengenai pengaturan tentang penyanderaan, dihapuskan dengan SEMA No. 2 Th 1964, sedangkan SEMA No. 2 Tahun 1964 berbunyi : Pada saat ini Mahkamah Agung berpendapat, bahwa penyanderaan (gijzeling)9 seseorang adalah bertentangan dengan peri kemanusiaan, maka oleh karena demikian dengan ini diinstruksikan untuk tidak mempergunakan lagi peraturan-peraturan mengenai sandera (gijzeling), sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal-Pasal 209 s/d 224 HIR”. Dan menurut Surat Edaran No. 04 Tahun 1974: “Menyambung Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 tahun 1964 tanggal 22 Januari 1964 perihal gijzeling (penyanderaan), maka dengan ini Mahkamah Agung memberikan penegasan bahwa tidak dibenarkan untuk menggunakan lembaga gijzeling seperti diatur dalam Pasal 209 dan seterusnya H./.R./242 dan seterusnya R.Bg. dengan mengingat Pasal 33 Undang-undang No. 14 tahun 1974 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman yang menghendaki pelaksanaan keputusan dengan tidak meninggalkan peri kemanusiaan.

Sebagai tambahan kirannya dapat disampaikan penjelasan sebagai berikut:Sandera (gejzeling) sebagaimana diatur dalam Pasal-pasal 209 s/d 224 H./.R. dan Pasal-pasal 242 s/d 258 R.Bg. merupakan tindakan "perampasan

8.Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007. hal. 14

9.Elijana, “Inventarisasi dan Verifikasi dalam Rangka Pemberesan Boedel Pailit”, Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya, Prosiding, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2004, hal. 273.

Page 4: Tinjauan Hukum Terhadap Lembaga Paksa Badan (Gijzeling)

4

kebebasan bergerak seseorang" dalam rangka eksekusi10 suatu putusan perkara perdata yang telah mempunyai kekuasaan pasti, putusan perkara perdata yang telah mempunyai kekuatan pasti, putusan perkara mana telah dimulai dengan penyitaan barang-barang milik pihak yang kalah, akan tetapi telah ternyata, bahwa orang itu sama sekali tidak memiliki barang atau barang-barang miliknya tidak cukup banyak untuk melunasi hutang-hutangnya, Penyanderaan (gejzeling) di dalam H./.R. dan R.Bg. ini tidak ditujukan kepada pihak yang membangkang (onwilige partij) seperti "/ijfsdwang" di dalam Rv., melainkan ditujukan kepada orang yang tidak mampu yang tidak mungkin dapat melunasi hutang-hutangnya, karena dirampasnya atau barang untuk melunasi hutang-hutangnya. Di dalam Hukum Adat dahulu dikenal lembaga "peruluran" (pandelingschap) yang memberi kemungkinan kepada orang yang tidak mampu untuk melunasi hutang-hutangnya dengan memaksanya bekerja pada pihak berpiutang dengan menilai hasil kerjanya itu dengan uang, akan tetapi lembaga "peruluran" itu dihapuskan oleh Pemerintah Hindia Belanda karena dianggap bertentangan dengan peri kemanusiaan.

Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan :“ Menimbang: a.bahwa pembekuan penerapan lembaga Gijzeling sebagaimana

diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1964 dan Nomor 4 Tahun 1975 yang menginstruksikan kepada para Ketua Pengadilan dan Hakim untuk tidak mempergunakan lagi peraturanperaturan mengenai gijzeling yang diatur dalam Pasal 209 sampai dengan Pasal 224 Reglemen Indonesia yang diperbarui (HIR) Serta Pasal 242 sampai dengan Pasal 258 Reglemen Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg.), dipandang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kebutuhan hukum dalam rangka penegakan hukum keadilan serta pembangunan ekonomi bangsa Indonesia, sehingga perlu mencabut dan mengatur kembali ketentuan tersebut; b. Bahwa penerjemahan istilah "gijzeling" dengan kata "sandera" atau "penyanderaan" sebagaimana terdapat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1964 tanggal 22 Januari 1964 dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1975 tanggal 1 Desember 1975, dipandang tidak tepat karena tidak mencakup pengertian terhadap debitur yang mampu tetapi tidak mau memenuhi kewajibannya dalam membayar hutang, sehingga penerjemahannya perlu disempurnakan menjadi paksa badan, sebagaimana terkandung dalam pengertian "Imprisonment for Civil Debts" yang berlaku secara universal;c.bahwa perbuatan debitur, penanggung atau penjamin hutang yang tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar kembali hutang-hutangnya, padahal ia mampu untuk melaksanakannya, merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang nilainya lebih besar daripada pelanggaran hak asasi atas pelaksanaan Paksa Badan terhadap yang bersangkutan; d. bahwa guna mengisi kekosongan hukum yang dapat menampung dan menyelesaikan permasalahan Lembaga Paksa

10.R.Ali Rid ho, Hukum Dagang: tentang Prinsip-prinsip Fungsi Asuransi dalam Lembaga Keuangan, Pasar Modal, Lembaga Modal Ventura, Dan Asuransi Haji, Alumni, Bandung, 1992, Hal.5.

Page 5: Tinjauan Hukum Terhadap Lembaga Paksa Badan (Gijzeling)

5

Badan tersebut perlu mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Lembaga Paksa Badan”.

Metode Penelitian 11

Metode penelitian ini bersandar kepada sistem hukum yang berlaku di Indonesia dan didalam penulisan ini, penulis menggunakan metode yuridis normatif yaitu dengan mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat didalam peraturan perundang-undangan dan Peraturan Perundang-undangan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Disamping itu penulis menggunakan metode penelitian kualitatif yang dilakukan dengan langka-langkah normatif-empiris dan Penelitian ini bersifat deskriftif analisis yaitu dengan menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan mengaitkan atau menghubungkan pada suatu teori hukum dengan pelaksanaan kebijakan dilapangan, yang harus saling berhubungan dan berkoordinasi dengan permasalahan-permasalahan yang dihadapi.

Dengan analisis data dilakukan untuk menjawab atau memecahkan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, sehingga dapat ditarik kesimpulan/dikritisi yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

Hukum Pidana adalah Formil Materiel, yang merupakan hukum yang berisikan materi hukuman dan hukum yang mengatur tentang tata cara bagaimana melaksanakan hukum materiel. Hukum Pidana Materiel sumber diatur oleh KUHP dan delik-delik yang tersebar di luar KUHP, seperti Tindak Pidana Subversi, Tindak Pidana Ekonomi, Tindak Pidana Narkotik, dan lain-lain. Sedangkan Hukum Pidana Formil sumber hukumnya adalah HIR dan KUHAP. Menurut R.Susilo bahwa Hukum Acara Pidana adalah : Hukum yang mengatur tentang tata cara bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan Hukum Pidana Materil, sehingga memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu harus dilakukan. Menurut J.C. T Simorangkir bahwa Hukum Acara Pidana adalah Hukum acara yang melaksanakan dan mempertahankan hukum pidana materil. Jelasnya bahwa Hukum Formil (hukum acara)12, adalah hukum yang mengatur tata cara melaksanakan Hukum Materil.13 Dan Hukum Acara Pidana (Hukum Pidana Formil adalah hukum yang mengatur tata cara melaksanakan / mempertahankan Hukum pidana materil

Azas-Azas KUHAP adalah Asas atau prinsip legalitas dengan tegas disebut dalam konsideran KUHAP seperti yang dapat dibaca pada huruf a, yang berbunyi:

11.Philipus M.Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatic (Normatif), Majalah Yuridika, Nomor 6 Tahun IX, November-Desember, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1994.

12.Luhut M.P Pangaribuan., Hukum Kepaili tan Dengan Hantu-Hantu, http ://majalah.tempointeraktif.com , 08 September 2003.

13.Yogi, “Dan Tunas Pun Mempailitkan Diri Sendiri” : Dalam Kaitannya Dengan Kewajiban Debitor, Artikel pada Legal Review, Edisi No. 19 Th. 11, 2004, hal. 36

Page 6: Tinjauan Hukum Terhadap Lembaga Paksa Badan (Gijzeling)

6

" Bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Dari konsideren bahwa Negara Republik Indonesia adalah "Negara Hukum", berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dan negara menjamin setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta setiap warga negara "tanpa kecuali", wajib menjunjung hukum dan pemerintahan.

Dengan demikian bahwa semua tindakan penegakan hukum harus :- berdasarkan ketentuan hukum dan Undang-undang.- menempatkan kepentingan hukum dan perundang-undangan di atas segala-galanya,

sehingga terwujud suatu kehidupan masyarakat bangsa yang takluk di bawah "supremasi hukum" yang selaras dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan dan perasaan keadilan bangsa Indonesia.

Asas legalitas, aparat penegak hukum tidak dibenarkan bertindak di luar ketentuan hukum dan bertindak sewenang-wenang, atau abuse of power, karena setiap orang, baik dia tersangka atau terdakwa mempunyai kedudukan : yang sama sederajat di hadapan hukum (equal before the law, mempunyai kedudukan "perlindungan" yang sama oleh hukum, (equal protec on the law) dan mendapat "perlakuan keadilan" yang sama di bawah hukum, (equal justice lo the law)14

Asas Keseimbangan : dimana dapat dijumpai dalam konsideran huruf c yang menegaskan bahwa dalam penegakan hukum harus berlandaskan prinsip keseimbangan yang serasi antara perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dengan, perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat.15

Tugas aparat penegak hukum dalam melaksanakan fungsi dan wewenang penegakan hukum, tidak boleh berorientasi kepada kekuasaan semata-mata serta harus menghindari tindakan-tindakan penegakan hukum dan ketertiban yang dapat menimbulkan pelanggaran hak-hak asasi manusia dan cara perlakuan yang tidak manusiawi.

Dengan asas keseimbangan yang terjalin antara perlindungan harkat martabat manusia dengan perlindungan kepentingan ketertiban masyarakat, KUHAP telah menonjolkan tema human dignity (martabat kemanusiaan), dalam pelaksanaan tindakan penegakan hukum di bumi Indonesia. Dengan demikian titik sentral penegakan hukum di Indonesia menurut KUHAP harus berorientasi pada pola asas keseimbangan dan pada satu sisi aparat Penegak hukum wajib melindungi martabat dan hak-hak asasi kemanusiaan16

seorang tersangka/terdakwa, sedang pada sisi lain berkewajiban melindungi dan mempertahankan kepentingan ketertiban umum.

14. Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada , 2000, hal.27.

15. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, edisi keenam, Yogyakarta: Liberty, 2002, hal. 202

16.Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Jilid 8: Perwasitan, Kepailitan, dan Penundaan Pembayaran, Jakarta: P.T Djambatan, 1992, hal. 28

Page 7: Tinjauan Hukum Terhadap Lembaga Paksa Badan (Gijzeling)

7

Asas "praduga tak bersalah" atau presumption of innocent dijumpai dalam penjelasan butir 3 huruf c. Dengan dicantumkan asas praduga tak bersalah dalam Penjelasan KUHAP, dapat disimpulkan, pembuat undang-undang telah menetapkannya sebabagai asas hukum yang melandasi KUHAP dan penegakan hukum (law enforcement). Dan asas praduga tak bersalah, telah dirumuskan dalam Pasal 8 Undang undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970, yang berbunyi: "Setiap orang yang sudah disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap". Dimana prinsip akusatur menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam setiap pemeriksaan : adalah subjek; bukan sebagai objek pemeriksaan, karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang menharkat martabat harga diri, yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah "kesalahan”17 (tindakan pidana), yang dilakukan tersangka/terdakwa. Ke arah itulah pemeriksaan ditujukan. Upaya untuk menopang asas praduga tak bersalah dan prinsip akusatur dalam penegakan hukum, KUHAP18 telah memberi perisai kepada tersangka/terdakwa berupa seperangkat hak-hak kemanusiaan yang wajib dihormati dan dilindungi pihak aparat penegak hukum. Dengan perisai hak-hak yang diakui hukum, secara teoretis sejak semula tahap pemeriksaan, tersangka/terdakwa sudah mempunyai "posisi yang setaraf ' dengan pejabat pemeriksa dalam kedudukan hukum, berhak menuntut perlakuan yang digariskan dalam KUHAP.

Prinsip Pembatasan penahanan dan perpanjanganPrinsip pembatasan penahanan adalah masalah penahanan, merupakan persoalan

yang paling esensial dalam sejarah kehidupan manusia. Setiap yang namanya penahanan, dengan sendirinya menyangkut nilai dan makna, antara lain: perampasan kebebasan dan kemerdekaan orang yang ditahan, menyangkut nilai-nilai perikemanusiaan dan harkat martabat kemanusiaan, menyangkut nama baik dan pencemaran atas kehormatan diri pribadi, setiap penahan dengan sendirinya menyangkut pembatasan dan pencbutan sementara sebagian hak-hak asasi manusia.Perpanjangan Penahanan Istimewa adalah : - Pengecualian dari jangka penahanan sebagaimana tersebut dalam Pasal 24, 25, 26, 27 dan

28 KUHAP, guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka/terdakwa dapat diperpanjang dengan alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena: a. Tersangka atau Terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter, b. Perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan (9) tahun atau lebih (Pasal 29 (1) KUHAP). Perpanjangan tersebut paling lama untuk 30 hari, dan dalam hal penahanan itu masih diperlukan, maka dapat diperpanjang untuk 30 hari lagi. Perpanjangan penahanan tersebut atas dasar permintaan dan laporan sesuai dengan tingkat pemeriksaan.

- Pada Pasal 29 adalah :

17 Retnowulan Sutantio, Kapita Selekta Hukum Ekonomi Dan Perbankan, Ctk. Pertama, Varia Yustisia, 1996, hal. 85

18 Martiman Prodojhamidjojo, Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Tentang Kepailitan, Jakarta: CV. Mandar Maju, 1999, hal.

Page 8: Tinjauan Hukum Terhadap Lembaga Paksa Badan (Gijzeling)

8

(1) Dikecualikan dari jangka waktu penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28, guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasar alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena : a.tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau b.perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan tahun atau lebih.

(2) Perpanjangan tersebut pada ayat (1) diberikan untuk paling lama tiga puluh hari dan dalam hal penahanan tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk paling lama tiga puluh hari.

(3) Perpanjangan penahanan tersebut atas dasar permintaan dan laporan pemeriksaan dalam tingkat : a.penyidikan dan penuntutan diberikan oleh ketua pengadilan negeri; b.pemeriksaan di pengadilan negari diberikan oleh ketua pengadilan tinggi; c.pemeriksaan banding-diberikan oleh Mahkamah Agung; dan d.pemeriksaan kasasi diberikan oleh Ketua Mahkamah Agung.

(4) Penggunaan kewenangan perpanjangan penahanan oleh pejabat tersebut pada ayat (3) dilakukan secara bertahap dan dengan penuh tanggung jawab.

(5) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka atau terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah dipenuhi.

(6)Setelah waktu enam puluh hari, walaupun perkara tersebut belum selesai diperiksa atau belum diputus, tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

(7) Terhadap perpanjangan penahanan tersebut pada ayat (2) tersangka atau terdakwa dapat mengajukan keberatan dalam tingkat : a.penyidikan dan penuntutan kepada ketua pengadilan tinggi; b.pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan banding kepada Ketua Mahkamah Agung.

Sedangkan dalam Pasal 22 :(1) Jenis penahanan dapat berupa : a.penahanan rumah tahanan negara; b.penahanan rumah;

c.penahanan kota. (2) Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka

atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.

(3) Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu yang ditentukan.

(4) Masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.

(5) Untuk penahanan kota pengurangan tersebut seperlima dari jumlah lamanya waktu penahanan sedangkan untuk penahanan rumah sepertiga dari jumlah lamanya waktu penahanan.

Dasar Hukum Acara Pidana adalah Undang-undang RI No.8 Tahun 1981, Tentang Hukum Acara Pidana, LN.RI No. 76.TLN.No. 3309, Undang-undang RI No.4 Tahun 2004, Tentang Kekuasaan Kehakiman, LN.RI No.8/ 2004, Undang-undang RI No.5 Tahun 1991, Tentang

Page 9: Tinjauan Hukum Terhadap Lembaga Paksa Badan (Gijzeling)

9

Kejaksaan RI. No. 59/1991, Undang-undang RI No.2 Tahun 2002, Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, LN.RI No.2/2002, Undang-undang RI No.18 Tahun 2003, Tentang Advokat, LN.RI No.49 / 2003, TLN No.4282, Undang-undang RI No.5 Tahun 2004, Tentang Perubahan atas UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, LN.RI No.9/ 2004 dan Peraturan-peraturan pelaksana lainnya, seperti SEMA dan PERMA.

Pengertian Sandera (Gijzeling) menurut Surat Edaran MA No. 2 Tahun 1964 adalah suatu tindakan penyanderaan terhadap seseorang yang dianggap bertentangan dengan peri kemanusiaan dan Undang Undang Dasar 1945 yaitu pasal 27 ayat (1) yaitu setiap warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta setiap warga negara "tanpa kecuali", wajib menjunjung hukum dan pemerintahan.

Pengertian Sandera (Gijzeling) menurut Surat Edaran MA No. 04 Tahun 1975 yang memberikan penegasan bahwa tidak dibenarkan untuk menggunakan lembaga gijzeling seperti diatur dalam Pasal 209 dan seterusnya 242 H.I.R dan seterusnya R.Bg. dengan mengingat Pasal 33 Undang-undang No. 14 tahun 1974 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman yang menghendaki pelaksanaan keputusan dengan tidak meninggalkan peri kemanusiaan.Mengingat Sandera (gejzeling) sebagaimana diatur dalam Pasal-pasal 209 s/d 224 H./.R. dan Pasal-pasal 242 s/d 258 R.Bg. adalah merupakan tindakan "perampasan kebebasan bergerak seseorang" dalam rangka eksekusi suatu putusan perkara perdata yang telah mempunyai kekuasaan pasti, putusan perkara perdata yang telah mempunyai kekuatan pasti, putusan perkara mana telah dimulai dengan penyitaan barang-barang milik pihak yang kalah, akan tetapi telah ternyata, bahwa orang itu sama sekali tidak memiliki barang atau barang-barang miliknya tidak cukup banyak untuk melunasi hutang-hutangnya, Penyanderaan (gejzeling) di dalam H.I.R. dan R.Bg. ini tidak ditujukan kepada pihak yang membangkang (onwilige partij) seperti "/ijfsdwang" di dalam Rv., melainkan ditujukan kepada orang yang tidak mampu yang tidak mungkin dapat melunasi hutang-hutangnya, karena dirampasnya atau barang untuk melunasi hutang- -hutangnya. Sandera (Gijzeling) menurut PERMA No. 1 Tahun 2000 harus dicabut karena dipandang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kebutuhan hukum dalam rangka penegakan hukum keadilan serta pembangunan ekonomi bangsa Indonesia. Sedangkan pengertian Sandera (Gijzeling) menurut PERMA No. 1 Tahun 2000 adalah perbuatan debitur, penanggung atau penjamin hutang yang tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar kembali hutang-hutangnya, padahal ia mampu untuk melaksanakannya, merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang nilainya lebih besar daripada pelanggaran hak asasi atas pelaksanaan Paksa Badan terhadap yang bersangkutan; Dan istilah "gijzeling" dengan kata "sandera" atau "penyanderaan", dipandang tidak tepat karena tidak mencakup pengertian terhadap debitur yang mampu tetapi tidak mau memenuhi kewajibannya dalam membayar hutang, sehingga penerjemahannya perlu disempurnakan menjadi paksa badan, sebagaimana terkandung dalam pengertian "Imprisonment for Civil Debts" yang berlaku secara universal;Dengan pemberlakuan PERMA No. 1 Tahun 2000 adalah guna mengisi kekosongan hukum yang dapat menampung dan menyelesaikan permasalahan Lembaga Paksa Badan tersebut.

Page 10: Tinjauan Hukum Terhadap Lembaga Paksa Badan (Gijzeling)

10

Anilsa kebijakan Faktor Internal :- Sandera (Gijzeling) menurut Surat Edaran MA No. 2 Tahun 1964 adalah merupakan

kebijakan internal dilingkungan peradilan agar tidak melaksanakan kebijakan Sandera (Gijzeling) yang dianggap bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 yaitu pasal 27 ayat (1) karena terkaitnya titik singgung dengan Hak Asasi Manusia (Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia).

- Sedangkan mengenai Sandera (Gijzeling) menurut Surat Edaran MA No. 04 Tahun 1975 adalah merupakan sebagai penegasan kebijakan secara faktor internal yang dengan mengingat Pasal 33 Undang-undang No. 14 tahun 1974 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman (yang sekarang Undang Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, kemudian di rubah lagi dengan Undang Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) yang menghendaki pelaksanaan keputusan dengan tidak meninggalkan peri kemanusiaan. Mengingat Kebijakan factor internal mengenai Sandera (gejzeling) sebagaimana diatur dalam Pasal-pasal 209 s/d 224 H./.R. dan Pasal-pasal 242 s/d 258 R.Bg. adalah merupakan tindakan "perampasan kebebasan bergerak seseorang" dalam rangka eksekusi suatu putusan, kebijakan factor internal inilah yang dianggap oleh kebijakan pemberlakuan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, telah berbenturan dengan kebijakan factor eksternal yaitu pelanggaran Hak Asasi Manusia.

- Sedangkan Sandera (Gijzeling) menurut PERMA No. 1 Tahun 2000, harus dicabut karena dipandang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kebutuhan hukum dalam rangka penegakan hukum keadilan serta pembangunan ekonomi bangsa Indonesia. Kebijakan pemberlakukan secara factor internal ini adalah untuk memenuhi kekosongan hukum yang terjadi dilingkungan peradilan dalam rangka penyelesaian perkara hutang piutang antara debitur, penanggung atau penjamin hutang yang tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar kembali hutang-hutangnya. Atas dasar permasalahan kebijakan internal yang melaksanakan kebijakan eksternal dalam rangka melaksanaan Paksa Badan terhadap yang bersangkutan (Imprisonment for Civil Debts yang berlaku secara universal);

Analisa Kebijakan Faktor External.- Kebijakan Faktor External dari Surat Edaran MA No. 2 Tahun 1964 adalah dianggap

tidak dapat diberlakukan karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman di era globalisasi dan ekonomi global sekarang ini. Walaupun secara factor eksternal dianggap melanggar Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, akan tetapi karena untuk pemenuhan kekosongan hukum dan ekonomi global kebijakan lembaga paksa badan dihidupan kembali sebagai kebijakan hukum didalam penyelesaian sengketa dilingkungan peradilan.

- Begitu pula Surat Edaran MA No. 04 Tahun 1975 adalah merupakan sebagai penegasan kebijakan dari dari Surat Edaran MA No. 2 Tahun 1964, dimana berdasarkan kebijakan faktor eksternal dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan perekonomian global, untuk menjamin para investor merasa aman untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

- PERMA No. 1 Tahun 2000, adalah merupakan sebagai kebijakan pemberlakukan berdasarkan faktor eksternal karena telah mencabut Surat Edaran MA No. 04 Tahun 1975 yang berdasarkan faktor eksternal diangga dan dipandang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kebutuhan hukum dalam rangka penegakan hukum keadilan serta

Page 11: Tinjauan Hukum Terhadap Lembaga Paksa Badan (Gijzeling)

11

pembangunan ekonomi bangsa Indonesia. Kebijakan pemberlakukan secara factor eksternal ini adalah untuk pemenuhan kekosongan hukum, agar kebijakan pemberlakuan factor internal dapat efektif berjalan terhadap kebijakan-kebijakan faktor eksternal untuk kepentingan publik dan pembangunan ekonomi bangsa Indonesia.

Implementasi kebijakan pemberlakuan :Dari Peraturan Mahkamah Agung RI. No. 1 Tahun 2000, adalah merupakan suatu kebijakan pemberlakukan yang berdasarkan factor internal dan factor eksternal, dengan mencabut Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1964 dan Surat Edaran MA No. 04 Tahun 1975 dengan tujuan untuk kebutuhan hukum dalam rangka penegakan hukum keadilan serta pembangunan ekonomi bangsa Indonesia dan sebagai pemenuhan kekosongan hukum, serta demi kepentingan publik dalam era pembangunan ekonomi global bangsa Indonesia.

Dalam pasal 1 menjelaskan bahwa Paksa Badan adalah upaya paksa tidak langsung dengan memasukkan seseorang debitur yang beritikad baik ke dalam Rumah Tahanan Negara yang ditetapkan oleh Pengadilan, untuk memaksa yang bersangkutan memenuhi kewajibannya dan Debitur yang beritikad tidak baik adalah debitur, penanggung atau penjamin hutang yang mampu tetapi tidak mau memenuhi kewajibannya untuk membayar hutang-hutangnya. Pelaksanaan paksa badan terhadap debitur yang beritikad baik dijalankan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 sampai dengan Pasal 224 HIR dan Pasal 242 sampai dengan Pasal 258 RBg., kecuali dalam hal yang diatur secara khusus dalam Peraturan Mahkamah agung.

Pengecualian pasal 3 menyatakan, Paksa Badan tidak dapat dikenakan terhadap debitur yang beritikad tidak baik yang telah berusia 75 tahun dan Paksa Badan dapat dikenakan terhadap ahli waris yang telah menerima warisan dari debitur yang beritikad tidak baik. Khusus dalam pasal 4 menyatakan bahwa Paksa Badan hanya dapat dikenakan pada debitur yang beritikad tidak baik yang mempunyai hutang sekurang-kurangnya Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).

Dengan demikian implementasi paksa badan berdasarkan factor internal dan factor eksternal berdasarkan pasal 5 yang menyatakan bahwa Paksa Badan ditetapkan untuk 6 (enam) bulan lamanya, dan dapat diperpanjang setiap 6 (enam) bulan dengan keseluruhan maksimum selama 3 (tiga) tahun dan dalam pasal 6 : dimana Putusan tentang Paksa Badan ditetapkan bersama-sama dengan putusan pokok perkara, terhadap debitur yang beritikad tidak baik yang mempunyai hutang kepada Negara atau yang dijamin oleh Negara, ketentuan ayat (1) tersebut di atas dilaksanakan secara serta merta dan pelaksanaan putusan yang menyangkut pelaksanaan Paksa Badan dilakukan dengan penetapan Ketua Pengadilan Negeri.

Upaya pengajuan paksa badan seperti yang diatur dalam pasal 7 adalah kewajiban debitur yang didasarkan atas pengakuan hutang sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR/RBg., Paksa Badan dapat diajukan tersendiri dan dilaksanakan berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri. Dan pelaksanaannya diatur oleh pasal 8 yang menyatakan bahwa pelaksanaan Paksa Badan dilakukan oleh Panitera/Jurusita atas perintah Ketua Pengadilan Negeri, bilamana perlu dengan bantuan Alat Negara.

Dalam hal pembiayaan paksa badan pasal 9 mengatur bahwa biaya selama debitur yang beritikad tidak baik menjalani Paksa Badan, dibebankan kepada pemohon Paksa

Page 12: Tinjauan Hukum Terhadap Lembaga Paksa Badan (Gijzeling)

12

Badan dan selama menjalani Paksa Badan debitur yang beritikad tidak baik dapat memperbaiki kehidupannya atas biaya sendiri.

Kesimpulan :- Sandera (Gijzeling) menurut Surat Edaran MA No. 2 Tahun 1964 adalah tidak akan

melaksanakan/mencabut Sandera (Gijzeling) yang dianggap bertentangan Hak Asasi Manusia, yang ditegaskan oleh Surat Edaran MA No. 04 Tahun 1975 dengan mengingat bahwa dalam Pasal 209 s/d 224 H./.R. dan Pasal-pasal 242 s/d 258 R.Bg. adalah merupakan tindakan "perampasan kebebasan bergerak seseorang" dalam rangka eksekusi suatu putusan.

- Karena tuntutan perkembanagan, dikeluarkannya PERMA No. 1 Tahun 2000 yang menyatakan mencabut Surat Edaran MA No. 2 Tahun 1964 dan Surat Edaran MA No. 04 Tahun 1975 dengan menghidupkan kembali Paksa Badan (Gijzeling) untuk pemunuhan kebutuhan hukum dalam rangka penegakan hukum keadilan serta pembangunan ekonomi bangsa Indonesia serta untuk memenuhi kekosongan hukum yang terjadi dilingkungan peradilan.

- Dengan Peraturan Mahkamah Agung RI. No. 1 Tahun 2000, merupakan suatu langkah kebijakan pemberlakukan dengan tujuan untuk kebutuhan hukum dalam rangka penegakan hukum keadilan serta pembangunan ekonomi bangsa Indonesia dan sebagai pemenuhan kekosongan hukum, serta demi kepentingan publik dalam era pembangunan ekonomi global bangsa Indonesia. Dimana implementasinya dilaksanakan secara serta merta dengan penetapan Ketua Pengadilan Negeri, yang dilakukan oleh Panitera/Jurusita atas perintah Ketua Pengadilan Negeri.

********************

Page 13: Tinjauan Hukum Terhadap Lembaga Paksa Badan (Gijzeling)

13

DAFTRA PUSTAKA

-------------------- Artmanda W, Frista, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Lintas Media, 2004.

-------------------Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Adtya bakti, Bandung, 1999.

Ali, Mohamad Chidir, Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran, Bandung, Penerbit Mundur Maju, 1995.

Asikin, Zainal, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran di Indonesia, Jakarta, Penerbit Rajawali Pers, 1991.

--------------------Black, Henry Campbell, 1968, Black Laws Dictionary, West Publishing. Co, Minessotta.

Elijana,“Inventarisasi dan Verifikasi dalam Rangka Pemberesan BoedelPailit”,UndangUndang Kepailitan dan Perkembangannya,Prosiding, Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta,2004.

Fuady, Munir, 1996, Hukum Pailit 1998 dalam Teori dan Praktik, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Darmabrata, Wahyono, Asas-Asas Hukum Waris, Jakarta, Cetakan Pertama, 1994. Djohansyah, J, Pengadilan Niaga, Bandung, Alumni, 2001.

--------------------Fuady, Munir, Hukum Pailit Dalam Teori Dan Praktek, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999.

Gautama, Sudargo, Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1998.

Hukum Pailit 1998 (Dalam Teori dan Praktek), PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.

Hakim, Lukman, Pembahasan Atas Kerja Tentang Kaitan Undang-Undang Perkawinan Dengan Penyusunan Hukum Waris, Jakarta, Simposium Hukum Waris Nasional, 2000.

--------------------Hartini, Rahayu, Hukum Kepailitan, Malang, UMM Press, 2008.Hartono, Sri Rejeki, Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepailitan Modern, Jakarta,

Majalah Hukum Nasional, 1981.Hartono, Sri Sumantri, Pengantar Hukum Kepailitan Dan Penundaan

Pembayaran, Yogyakarta, Liberty, 1981.Hakim Garuda Nusantara, Abdul dan Benny K. Harman, Analisa Kritis Putusan-Putusan

Peradilan Niaga, Jakarta: CINLES, 2000.-------------------Himawan, Charles, Hukum sebagai Panglima, Jakarta: Kompas, 2003.Hoff, Jerry, Terjemahan Kartini Muljadi, Undang-Undang Kepailitan di Indonesia, Jakarta:

Tatanusa, 2000.Holder, William E, “Indonesian Bankruptcy Reform: The IMF Approach”, dalam Tim

Lindsey, Indonesia Bankruptcy, Law Reform & the Commercial Court, NSW: Desert Pea Press, 2000.

-------------------Hadi, Sutrisno, 1987, Metodologi Riset Nasional, Akmil, Magelang.-------------------Harahap, M. Yahya, ”Segi-Segi Hukum Perjanjian”, Alumni,

Bandung, 1986.

Page 14: Tinjauan Hukum Terhadap Lembaga Paksa Badan (Gijzeling)

14

Irawan, Bagus, 2007, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan; Perusahaan; dan Asuransi, Alumni, Bandung, 2007.

-------------------Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, Pradnya Paramitha, Jakarta,1974.

Kailiamang, Denny, Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Pailit Atau PKPU, Bandung, Penerbit Alumni, 2001.

---------------------Khairandy, Perlindungan Dalam UU Kepailitan, Jakarta, Jurnal Hukum Bisnis, 2002.

-------------------Kansil, Hukum Dagang Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2002.Lontoh, Ruddhy, Penyelesaian Utang Piutang melaui Pailit atau Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001.-------------------Mashudi, M., et,al, 1995, Hukum Asuransi, Mandar Maju, Bandung.---------------------Mertokusumo, Sudikno, 2002, Hukum Acara Perdata Indonesia,

Liberty, Yogyakarta---------------------Perangin-angin, Efendi, Hukum Waris, Jakarta, Universitas Indonesia, 1995.---------------------Poerwardaminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai

Pustaka, 2006.---------------------Prodjodikoro, Wiryono, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung, Sumur

Bandung, 1983.Pangaribuan, Luhut MP, “Kasus Manulife dan Kepastian Hukum”, Kontan. No.40 Tahun VI

8 Juli 2002.-------------------Pengantar Hukum Bisnis; Menata Bisnis, Citra

Aditya Bakti, Bandung, 2002.Patrik, Purwahid, 1994, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari

Perjanjian Dan Dari Undang-Undang), CV. Mandar Maju, Bandung.-------------------Poerwadarminta, W.J.S., 1995, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN. Balai

Pustaka, Jakarta.---------------------Prakoso, Djoko, et,al, 1987, Hukum Asuransi Indonesia, Bina Aksara,

Jakarta.-------------------Prodjodikoro, Wirjono, 1986, Azas-Azas Hukum Perdata, P.T.Bale,

Bandung.Prodjohamidjojo, Marti man, 1999, Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah

Pen gganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Tentang Kepailitan, C.V. Mandar Maju, Bandung.

Purwosutjipto, 1992, Pen gertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Jilid 8: Perwasitan, Kepailitan, dan Penundaan Pembayaran, P.T Djambatan, Jakarta.

--------------------Republik Indonesia, Uundang-Undang No. 14 Tahun 1970 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

-------------------Republik Indonesia, Undang Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,

Page 15: Tinjauan Hukum Terhadap Lembaga Paksa Badan (Gijzeling)

15

Republik Indonesia, Undang Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.-------------------Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.

Republik Indonesia, Mahkmah Agung, Surat Edaran No. 2 Tahun 1964 Tentang Pengahapusan Sandera (Gijzeling).

Republik Indonesia, Mahkamah Agung, Surat Edaran .No. 04 Tahun 1975 tentang Sandera (Gijzeling)

Republik Indonesia, Peraturan Mahkmah Agung. No. No. 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan. --------------------Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.--------------------Rusli, Hardijan, Perseroan terbatas dan Aspek Hukumnya, Jakarta: Sinar

Harapan, 1996.Ridwan Khairandy et al, Pengantar Hukum Dagang Indonesia, Gama Media UII,

Jogjakarta, 1999Rid ho, R, Ali, 1992, Hukum Dagang: tentang Prinsip-prinsip Fungsi Asuransi dalam

Lembaga Keuangan, Pasar Modal, Lembaga Modal Ventura, Dan Asuransi Haji, Alumni, Bandung.

--------------------Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.

--------------------Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan.

--------------------Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan.

--------------------Satrio, J, Hukum Waris, Bandung, Alumni, 1992.Shubhan, Hadi. M, Hukum Kepailitan Prinsip, Norma, Dan Praktik di Peradilan, Jakarta,

Kencana Prenada, 2007.Situmorang, M. Victor, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, Jakarta, Rineka

Cipta, 1994.Sjadeni, Sutan Remi, Hukum Kepailitan, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 2002. Subekti,

Kamus Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita, 1980.--------------------Sutedi, Andrian, Hukum Kepailitan, Bogor Ghalia Indonesia, 2009.--------------------Supramono, Gatot, Hukum Perseroan Terbatas yang Baru, Jakarta:

Djambatan, 1996.Sastrawidjaya, Man, Hukum Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2006.Situmorang, Victor M dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum

Kepailitan Di Indonesia, P.T. Rineka Cipta, Jakarta, 1993.

Sjahdeini, Sutan Remy, Hukum Kepailitan (Memahami faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998), Pustaka Utama Grafiti. Jakarta, 2002.

Page 16: Tinjauan Hukum Terhadap Lembaga Paksa Badan (Gijzeling)

16

---------------------Soekanto, Soerjono, Pen gantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Sin gkat. P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

Suhermoyo, Bandung, Kewenangan Hakim Terhadap Pengesahan Homologasi Aturan Kepailitan, Tesis S2, Program Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta, 2002.

-------------------Syahrani, Riduan, Seluk Beluk dan Asas – Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1992.

Usman, Rachmadi, 2004, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004.

Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas, Jakarta: Grafiti Pers, 1999.

************************