unsur intrinsik bukan pasar malam

22
UNSUR INTRINSIK Unsur Inrinsik adalah unsur yang terkandung dalam karya sastra yang membangun keutuhan cerita, sepereti alur, penokohan, setting, dan tema. 1.Tema Tema adalah gagasan atau ide dasar yang melandasai suatu karya sastra. Dalam sebuah novel terdapat dua tema, yaitu tema mayor dan tema minor. Tema mayor adalah tema yang merupakan pusat pikiran sebuah cerita/karya sastra. Jadi tema yang terdapat dalam novel bukan pasar malam yaitu “perjalanan seorang anak revolusi” dimana hidup bukanlah sebuah pasar malam. Perjalanan seorang anak yang sempat dipenjara oleh Belanda dan perjalanan ayahnya yang lebih memilih membaktikan dirinya kepada republik dan menjadi seorang guru selama hamper 30 tahun. Melalui buku ini tokoh “aku” mengkritik kekerdilan diri sendiri, tapi juga menunjuk muka para jenderal atau pembesar-pembesar negeri pascakemerdekaan yang hanya asyik mengurus dan memperkaya diri. Tema minor adalah tema yang dilihat dari sudut pandang yang lain, sehingga sebuah tema mayor terdapat beberapa tema minor. Tema minor dalam roman ini adalah nasionalisme. Hal ini dapat dilihat dari tokoh ayah disini, ia adalah seorang yang kerap kali keluar-masuk penjara saat pendudukan “merah” pada masa PKI. Dia memiliki seorang anak yang juga menjadi

Upload: devinamuljono

Post on 08-Aug-2015

1.624 views

Category:

Documents


168 download

DESCRIPTION

bahasa indonesia

TRANSCRIPT

Page 1: unsur intrinsik bukan pasar malam

  UNSUR INTRINSIK

            Unsur  Inrinsik adalah unsur yang terkandung dalam karya sastra yang

membangun keutuhan cerita, sepereti alur, penokohan, setting, dan tema.

1.Tema

Tema adalah gagasan atau ide dasar yang melandasai suatu karya sastra. Dalam

sebuah novel terdapat dua tema, yaitu tema mayor dan tema minor. Tema mayor adalah

tema yang merupakan pusat pikiran sebuah cerita/karya sastra. Jadi tema yang terdapat

dalam novel bukan pasar malam yaitu “perjalanan seorang anak revolusi” dimana hidup

bukanlah sebuah pasar malam. Perjalanan seorang anak yang sempat dipenjara oleh

Belanda dan perjalanan ayahnya yang lebih memilih membaktikan dirinya kepada

republik dan menjadi seorang guru selama hamper 30 tahun. Melalui buku ini tokoh

“aku” mengkritik kekerdilan diri sendiri, tapi juga menunjuk muka para jenderal atau

pembesar-pembesar negeri pascakemerdekaan yang hanya asyik mengurus dan

memperkaya diri.

Tema minor adalah tema yang dilihat dari sudut pandang yang lain, sehingga

sebuah tema mayor terdapat beberapa tema minor. Tema minor dalam roman ini adalah

nasionalisme. Hal ini dapat dilihat dari tokoh ayah disini, ia adalah seorang yang kerap

kali keluar-masuk penjara saat pendudukan “merah” pada masa PKI. Dia memiliki

seorang anak yang juga menjadi seorang pejuang revolusi yang kerap kali ditawan oleh

Belanda hingga harus berpisah dengan ayah dan anggota keluarga yang lain selama lima

tahun lamanya. Saat ia berpulang, ia harus mendapati kenyataan pahit akan keadaan

ayahnya yang sakit keras karena terjangkit TBC. Juga rumah yang sudah lima tahun

lamanya ia tinggalkan, keadaannya sudah jauh dari kelayakan.

Tema minor berikutnya adalah kesenjangan social dimana dalam roman ini

banyak menyinggung masalah timbulnya kelas-kelas sosial dalam masyarakat pasca

kemerdekaan.  Dengan banyaknya para pejabat-pejabat dan para jendral yang berlomba-

lamba memperkaya diri mereka sendiri. Hal itu pulalah konon yang membuat sang ayah

kecewa. Kecewa pada orang-orang yang pernah ia tolong pada masa perjuangan, namun

satelah kemerdekaan telah didapatkan, mereka bukannya berpikir untuk kepentingan

bangsa selanjutnya, malah berlomba-lomba memperkaya diri sendiri. Namun

Page 2: unsur intrinsik bukan pasar malam

kekecewaannya itu hanya dipendamnya saja, hingga penyakit TBC itu menggerogotinya

dan merenggut nyawanya.

2. Alur

Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa,

sehingga membentuk cerita yang dihadirkan oleh para pelakunya. Dengan demikian

dapat dikatakan bahwa alur merupakan tumpuan ide dan motif yang disalurkan dari

peristiwa dan perwatakan dalam prosa fiksi.

Adapun alur yang terdapat dalam novel bukan pasar malam adalah alur maju dan

kilas balik dimana diceritakan seorang tokoh “aku” setelah keluar dari penjara akibat

terlibat gerakan revolusi Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) dan merasa terpukul

setelah mendapatkan surat dari pamannya bahwa ayahnya sakit TBC kemudian ia

bersama istrinya menuju Blora dimana ia mulai mengingat segala kenangan masa

kecilnya, jalan-jalan yang dilalui, serta rumahnya yang kini telah rusak. Keadaan ayah

yang semakin memburuk menimbulkan penyesalan yang mendalam bagi tokoh “aku”

karena surat pedas yang dahulu dikirimnya serta rasa takut akan kehilangan ayahnya.

Alur dalam roman ini di mulai dari tahap eksposisi atau pengantar cerita ketika

tokoh “aku” menyesali atas surat pedas yang ia kirimkan kepada ayahnya ketika ia berada

di penjara serta surat balasan dari ayahnya yang membuatnya begitu menyesal serta

merasa bersalah.

Tahap komplikasi/pemunculan konflik yakni saat tokoh “aku” mendapatkan surat

dari pamannya yang memintanya pulang untuk menjenguk ayahnya yang sedang sakit

tbc. Tokoh “aku” terkejut dan merasa bersalah karena surat yang sempat ia kirimkan. Ia

pun tidak mempunyai cukup uang untuk pulang sehingga terpaksa harus menagih hutang

ke teman-temannya.

Ketika tokoh “aku” telah sampai di Blora dan melihat keadaan ayahnya yang

semakin kurus dan tampak seperti sebilah papan yang sangat berbeda dengan keadaanya

ketika berjuang membela republik, bahkan ayahnya juga mengalami batuk darah selama

empat kali. Serta keadaan ayah yang semakin memburuk karena ia tidak dapat dirawat di

sanatorium karena tidak memiliki cukup uang sehingga terpaksa harus dirawat di rumah

sakit biasa, keadaan uang tokoh “aku” yang semakin memburuk.

Tahap klimaks/puncak dapat dilihat ketika tokoh ayah meninggal dan tokoh aku

Page 3: unsur intrinsik bukan pasar malam

serta adik-adiknya menangis disertai datangnya tetangga yang banyak untuk melawat.

Tahap resolusi adalah ketika banyak tetangga yang datang menghibur serta

membicarakan segala kebaikan serta kehebatan tokoh ayah. Dimana tokoh “Aku”

bersama adik-adiknya akan melanjutkan kehidupan mereka sepeninggal ayah mereka.

Seperti dilihat kutipan ini :

“Nah, Tuan, hari sudah malam. Hanya pesanku jangan dilupakan, kerap-

keraplah menyekar ke kuburan ayah Tuan.” (Pram,1951:103)

3.Latar/Setting

Setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu,

maupun peristiwa. Menurut batasan tersebut, setting dibedakan menjadi setting tempat,

setting waktu, dan setting suasana Di mana, kapan, dan bagaimana tokoh berada dalam

cerita, maka disitulah peran setting teridentifikasi. Selain memberi informasi tentang

situasi ruang dan waktu, setting juga berfungsi sebagai proyeksi keadaan batin para tokoh

dalam cerita.

a.       Latar Tempat

Latar tempat mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam

sebuah karya fiksi.

Blora : “Kita sampai di Blora sekarnag” (Pram,1951:22)

Semarang: “Kereta jalan terus. Jalan terus. Jalan terus—Semarang. Kami

menginap di hotel. Dan hotel itu bukan main kotornya.” (Pram,1951:19)

         Rumah Sakit : “Sore itu aku menengok ke rumah sakit dengan istriku dan kedua

                       adikku”. (Pram,1951:30)

         Rumah (blora) : “Kala aku masuk ke dalam rumah, kepalaku tersenggol pada

palang atap.” (Pram,1951:23)

         Stasiun Kereta Api : “Subuh-subuh kami telah pergi ke stasiun. Antre beli karcis.”

(Pram,1951:20)

b.      Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah ”kapan” terjadinya peristiwa- peristiwa

yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.

         Pagi/Subuh : “Subuh-subuh kami telah pergi ke stasiun”. (Pram,1951:20)

Page 4: unsur intrinsik bukan pasar malam

         Siang : “Waktu itu baru jam setengah satu siang”. (Pram,1951:16)

         Sore : ” Sore itu aku menengok ke rumah sakit dengan istriku dan kedua adikku”.

(Pram,1951:56)

         Malam : “Malam itu adikku yang ketujuh masih juga menangis”.(Pram,1951:37)

c.       Latar Suasana

Latar suasana pada novel tersebut mengharukan. Dalam kalimatnya:

“Kemarin dan kemarin dulu bapak tersenyum saja banyak senyumnya. Tapi

tadi… tadi… dan tadi pagi ayah tak tersenyum lagi. Suaranya sudah menajdi

rendah dan hamper tak kedengaran”. (Pram,1951:25).

Kutipan ini menggambarkan perubahan keadaan bapak menjadi tidak bertenaga

lagi sehingga membuat adik-adiknya merasakan perubahan dan membuatnya sedih.

Suasana tegang dan bingung yang dirasakan tokoh “aku” setelah mendapat surat dari

pamannya bahwa ayahnya jath sakit dan kenyataan bahwa ia tidak mempunyai uang

untuk pulang ke Blora.

Dapat dilihat dari kutipan berikut ini:

“Mula-mula aku terkejut mendengar berita itu. Sesak di dada. Kegugupan datang

menyusul. Dalam kepalaku terbayang: ayah. Kemudian: uang. Dari mana aku

dapat uang untuk ongkos pergi? Dan ini membuat aku mengeliling kota Jakarta—

mencari kawan-kawan—dan hutang.” (Pram,1951:8)

Suasana sedih yang dirasakan tokoh “aku” serta adik-adiknya setelah kepergian

ayahnya. Ketika tokoh “aku” dan adik-adiknya menangis.

“Aku menitikkan airmata lagi. Dan adik-adikku menitikkan airmata lagi.

Kemudian, perlahan-lahan kami menginggalkan kuburan di mana tonggak

mencongak-congak.” (Pram,1951:99)

4. Sudut Pandang

Sudut pandang pada novel tersebut yaitu orang pertama/akuan, dimana pengarang

sering menggunakan kata-kata aku dan menceritakan pengalaman hidupnya dari ketika

tokoh “aku” dipenjara hingga mendengar kabar bahwa ayahnya jatuh sakit dan

penyesalan atas surat yang ia terima serta ketika ia menemani ayahnya ketika sakit

bersama adik-adiknya dan mengenang masa lalunya ketika di Blora. Dalam kalimatnya:

Page 5: unsur intrinsik bukan pasar malam

“Sesungguhnya surat itu takkan begitu menyayat hatiku, kalau saja aku tak mengirim

surat yang berisi sesuatu yang tak enak untuk dibaca”. (Pram,1951:7)

5. Penokohan

Aku

Aku (tokoh utama) adalah tokoh protagonis yang memegang peranan penting dalam

cerita dimana digambarkan pengarang sebagai pembawa cerita mulai dari ketika ia

dipenjara dan mengetahui bahwa ayahnya adalah seorang pejuang yang membaktikan

dirinya pada jaman penjajahan Belanda sebagai seorang guru hingga saat ia mendampingi

ayahnya ketika sakit.

Tokoh “aku” juga digambarkan sebagai tokoh yang tidak memiliki banyak harta

dan tidak mempunyai cukup uang untuk kembali ke Blora dan menjenguk ayahnya yang

sedang sakit.

Tokoh “aku” merasa kecewa terhadap kehidupan, kekecewaan terhadap sistem

pemerintahan yang lebih mengutamakan kepentingan para pemimpin daripada

kepentingan rakyatnya. Dia harus menghadapi kondisi dimana dia harus melawan gejolak

hati karena rasa ketidakadilan yang didapatnya. Reak kering, tahi kuda, hancuran ban

mobil, hancuran ban sepeda membuat dia memaki kepada dirinya sendiri.

Tokoh Aku sebagai protagonis sangat mendukung penafsiran, bahwa Bukan

Pasar Malam menggambarkan kesedihan dan penyesalan seorang anak yang telah jauh

lari dari orang tuanya (tokoh Bapak). Jauh lari di sini mempunyai banyak makna,

meliputi lari secara fisik dan lari secara moral. Secara fisik, tokoh Aku tinggal berjauhan

dari orang tuanya. Tokoh Aku sudah lama tinggal di Jakarta, hampir 25 tahun dan selama

itu tidak pernah pulang kampung. Sementara, ayahnya (tokoh Bapak) bersama dengan

kakak dan adiknya tinggal di Blora, kampung halaman mereka. Secara moral, tokoh Aku

berseberangan dengan ayahnya (tokoh Bapak). Mereka berbeda paham, terutama dalam

hal agama dan ideologi. Tokoh Bapak (ayah) adalah seorang Islam dan anak seorang

ulama, tetapi mengabdikan diri sebagai seorang pendidik (nasionalis). Sementara, tokoh

Aku tidak mengaku sebagai seorang Islam dan cenderung melawan ‘pasukan merah’(pki)

Tokoh “aku” sebagai seorang kakak tertua memiliki kedekatan dengan adik-

adiknya. Dia menjadi tempat berkeluh-kesah bagi semua adikknya. Rasa hormat sang

Page 6: unsur intrinsik bukan pasar malam

adik pun tetap ada untuk sang kakak.

Tokoh “aku” mempunyai watak perasa yang digambarkan oleh penulis secara

analitik(langsung) dimana pengarang langsung menjelaskan watak dirinya.

“Aku mengeluh. Hatiku tersayat. Aku memang perasa. Dan keluargaku pun

terdiri dari mahluk-mahluk perasa”.(Pram,1951:15)

Tokoh “aku” juga mempunyai watak menghormati bapaknya. Hal ini dilihat

ketika adiknya pergi mendahului keluar kamar dan ia menyuruhnya untuk minta permisi

dulu pada ayahnya.

Watak lainnya adalah tokoh “aku” mempunyai tekad yang kuat yang digambarkan

secara dramatik melalui dialog anat tokoh. Terlihat ketika tetangganya menyinggung

mengenai rumah dan sumur milik keluarga tokoh “aku” yang rusak dan sudah tidak layak

dan tokoh “aku” bertekad untuk memperbaikinya. Hal ini dapat kita lihat dari kutipan

berikut ini

“ Pak—rumah itu akan kuperbaiki” Ia berseri-seri seakan-akan rumah itu

termasuk dalam kepentingan hidupnya. (Pram,1951:45)

Tokoh “aku” juga mempunyai watak menghibur dan menasehati ketika ia

mengibur adiknya yang bercerita kepadanya mengenai kerasnya kehidupannya selama

sang kakak tidak ada di rumah serta ketika ayahnya meninggal. Tokoh “aku” selalu bisa

menguatkan hati adik-adiknya yang sedih maupun yang dibakar rasa emosi atas sesuatu,

meskipun dia sendiri merasakan perasaan yang sama dengan adikknya (hal 69).

“Bukankah semua itu sudah terjadi, Adikku? Dan semua yang sudah terjadi tidak

bisa diulangi lagi.”

“Tapi aku tak rela, Mas. Aku tak rela.”

“Engkau harus merelakan semua hal yang sudah terjadi, Adikku,” kataku.

(Pram,1951:69)

         Istri

Istri dari “aku” mempunyai watak agak cerewet dan seringkali meminta pulang

dari Blora karena kondisi keuangan yang tidak memungkinkan sehingga menambah

beban pikiran tokoh “aku” serta kurang mengerti situasi saat itu. Watak tokoh istri ini

digambarkan secara dramatik melalui dialog antar tokoh.

Page 7: unsur intrinsik bukan pasar malam

Dalam kalimatnya:

“Jangan terlalu lama di Blora,” kata istriku. Kupandangi istriku itu. Aku

rasai keningku jadi tebal oleh kerut-mirut. Dan aku menjawab pendek: “Kita

melihat keadaan dulu.”

Sebentar bayangan kenangan pada ayah hilang. “Barang kali kalau terlalu lama,

aku terpaksa pulang dahulu.”(Pram,1951:14)

”Lebih baik kita pulang dulu. Engkau harus ingat pada keuangan kita”

(Pram,1951:82)

Sang istri kurang mengerti situasi ayah tokoh “aku” yang sedang sakit serta tidak

membuat tokoh “aku” semakin pusing.

         Ayah

Ayah adalah tokoh yang memiliki peranan penting dalam roman ini. Tokoh ayah

bersama dengan kakak dan adiknya tinggal di Blora, kampung halaman mereka.. Tokoh

Bapak (ayah) adalah seorang Islam dan anak seorang ulama, tetapi mengabdikan diri

sebagai seorang pendidik (nasionalis). Keadaan ayah setelah sakit membawa sebagian

alur dalam roman ini, dimana ayah digambarkan sebagai seorang tokoh yang mempunyai

nasionalis yang tinggi. Tokoh ayah yang disini digambarkan seorang guru yang digaji

oleh Belanda sebagai pengawas sekolah. Meski digaji Belanda, bukan berarti ia harus

mengabdi sepenuhnya pada Belanda. Karena dibalik itu semua, dengan jiwa

Nasionalismenya ia memendam cita- cita yang mulia untuk bangsa Indonesia. Biarlah itu

Belanda yang menggaji, asalkan anak-anak negeriku dapat mengenyam pendidikan, dapat

menjadi generasi yang berguna bagi bangsanya. Itulah cita-cita mulia sang ayah untuk

negerinya.

Tokoh ayah juga digambarkan mempunyai watak keras dan teguh pada pendirian, hal ini

dapat dilihat bahwa walaupun ia seorang anak ulama tapi ia tak mau menajadi ketib tetapi

ia mau menjadi seorang nasionalis. Watak tokoh ini digambarkan secara dramatik melalui

percakapan dengan tokoh lain. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut :

Watak bapak juga digambarkan sebagai seorang yang begitu kuat karena telah

membaktikan dirinya selama 30 tahun untuk menjadi seorang guru.

Page 8: unsur intrinsik bukan pasar malam

Gembira paman menjawabkan:

“Tigapuluh tahun”

“Alangkah kuatnya. Aku yang baru dinas delapan belas tahun rasa-rasanya

sudah tak kuat lagi…”. (Pram,1951:52)

“Kawan kita telah meninggal. Aku pikir, kita sekarang kehilangan orang kuat

dalam perjuangan daerah kita.”(Pram,1951:96)

Tokoh ayah (tokoh Bapak) sangat menginginkan anaknya kembali, baik secara

fisik maupun secara moral. Keadaan itu dapat dilihat pada bagian awal cerita, yaitu dari

isi surat tokoh Bapak yang diterima oleh tokoh Aku. Tokoh Bapak sangat mengharapkan

anaknya ‘kembali’, seperti kutipan ini: “…Di dunia ini tak ada suatu kegirangan yang

lebih besar daripada kegirangan seorang bapak yang mendapatkan anaknya kembali,

anaknya yang tertua, pembawa kebesaran dan kemegahan bapak….”.(Pram,1951:7) Isi

surat itu dan surat yang dikirimkan pamannya kemudian yang memberitahukan keadaan

ayahnya yang sedang sakit parah, membuat tokoh Aku merasa sedih dan menyesal sekali.

Watak Bapak juga kuat serta pasrah kepada Allahnya dalam menghadapi penyakit

TBC yang dideritanya. Ketika ia merasa maut hendak menjemputnya, ia merelakan

dirinya dan berpasrah kepada Tuhan. Watak tokoh ini digambarkan secara dramatic oleh

pengarang melalui percakapan monolog tokoh.

Ayah meneruskan: “Aku bilang, ambillah aku dari rumahsakit ini cepat-

cepat”(Pram,1951:76)

Pada pihak lain, tokoh Bapak sebagai tokoh protagonis kedua yang diceritakan

oleh tokoh Aku, menggambarkan ironi seorang pejuang, ironi seorang nasionalis. Ironi

yang dimaksudkan di sini adalah suatu keadaan atau situasi yang dialami oleh seseorang

yang bertentangan atau berlawanan dengan keadaan yang semestinya dialaminya.

Semestinya, seorang pejuang, seorang pendidik, seorang nasionalis, akan memperoleh

perlakuan terhormat dan kedudukan yang lebih baik, baik secara materi maupun

kepangkatan, dalam masyarakat dan pemerintahan.

Hal itulah yang seharusnya dialami oleh tokoh Bapak, setelah kemerdekaan

dicapai. Namun, kenyataannya, tokoh Aku sebagai seorang pejuang (nasioanalis) telah

membuat dia dan keluarganya menderita. Keluarganya tetap miskin, tinggal di rumah

Page 9: unsur intrinsik bukan pasar malam

yang hampir runtuh. Dia menderita sakit tbc, tetapi tidak mendapat perawatan yang

layak, karena tidak mempunyai cukup uang untuk berobat di sanatorium. Ia telah

mengorbankan keluarganya demi memperjuangkan bangsanya. Akan tetapi, apa yang dia

peroleh ketika bangsa itu telah merdeka. Tidak ada, kecuali hanya kekecewaan, yang

kemudian menyebabkan dia akhirnya menderita penyakit tbc. Adakah pemerintah atau

teman-teman seperjuangannya dulu memperhatikannya. Tidak ada, tidak seorang pun,

sampai akhirnya dia meninggal. Di situlah, ironisnya hidup yang dialami oleh tokoh

bapak, seorang pejuang (nasionalis).

6. Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah adalah pemanfaatan kekayaan bahasa, pemakaian ragam

tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu, keseluruhan ciri bahasa sekelompok

penulis sastra dan cara khas dalam menyampaikan pikiran dan perasaan, baik secara lisan

maupun tertulis.

Gaya bahasa dalam roman ini juga masih sering menggunakan ejaan-ejaan lama

dan beberapa kata-kata asing yang dicetak miring seperti tilpun, perlop, sep-sep,

menabiri, doklonyo, kedekut, antre.

Gaya bahasa yang terdapat pada novel bukan pasar malam adalah:

Majas personifikasi

Angin menderu-deru di luar. Dan bila angin itu mati terdengar percakapan orang-

orang jaga malam di gardu. (Pram,1951:60)

Juga setelah ayah lenyap ke dalam pelukan bumi—belum juga aku bangun dari

tindasan haruan.(Pram,1951:98)

Kalimat ini menunjukan bahwa angin seolah-olah dapat bergerak menderu-deru

padahal angina adalah benda mati sedangkan kalimat kedua menunjukan bahwa bumi

seolah-olah dapat menelan dan melenyapkan manusia dimana di kalimat ini bumi seolah-

olah hidup. Kedua kalimat ini menunjukan majas personifikasi.

Majas metonimia

“Bangka-bangkai pantserwagen, brencarrier, truk, bergelimpangan di ladang-

ladang dan di pinggir jalan raya.” (Pram,1951:13)

Majas metonimia adalah pengungkapan berupa penggunaan nama untuk benda

Page 10: unsur intrinsik bukan pasar malam

lain yang menjadi merek, ciri khas, atau atribut. Pantserwagen dan brencarrier adalah

merk mobil/truk yang digunakan sewaktu perang, kalimat ini menunjukan penggunaan

majas metonimia.

7. Amanat

Amanat adalah adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca.

Amanat dalam cerita bisa berupa nasihat, anjuran, atau larangan untuk melakukan/tidak

melakukan sesuatu. Yang jelas, amanat dalam sebuah cerita pasti bersifat positif.

Amanat dari novel bukan pasar malam yaitu:

Seorang takkan bisa kuat bila ingin melawan kematian. Hidup orang ditentukan

oleh takdir. Walaupun dulu ia begitu kuat sebagaimana digambarkan oleh sosok ayah

yang dahulu terus menerus berjuang melawan Belanda kemudian jatuh sakit dan akhirnya

meninggal. Situasi ini digambarkan bagaimana kesehatan ayah yang semakin buruk

karena tidak dapat dirawat di sanatorium.

Perjuangan bukanlah sebuah formalitas karena ada beberapa penyesalan tokoh

“aku” dalam novel ini dimana ia menyesali ayahnya yang tidak mau menjadi perwakilan

rakyat. Bagaimana tokoh ayah ketika mau menghadapi maut kurang mendapat perhatian

dan jasanya selama membaktikan diri selama menjadi guru seakan tidak ada yang

mengingat dan bahkan ia tidak dapat dirawat di sanatorium karena tidak memiliki uang.

Segala jasanya baru dikenang keitka ia telah tiada.

Sistem demokrasi memang indah karena semua hak rakyat terjamin selama tidak

keluar dari jalur hukum. Semua orang dapat menikmati apapun, dengan syarat memiliki

alat yang dapat mencapai kenikmatan tersebut, yaitu uang. Tanpa uang, semua lumpuh.

Hal inilah yang dikritik oleh tokoh Aku sehingga membuatnya masuk ke barisan Pesindo

untuk melakukan gerakan revolusi sebagai amanat 17 Agustus 1945 bahwa kemerdekaan

Indonesia belum berarti kemakmuran. Karena kesenjangan sosial dan kelas-kelas inilah

tokoh “aku” menceritakan dampak yang ia dapatkan karena kurang mendapat tempat

dalam masyarakat.

Kita juga dapat mengerti bahwa hidup bukanlah sebuah pasar malam dimana

seorang demi seorang datang (lahir) dan seorang demi seorang pergi (mati) dan kita tidak

bersama-sama lahir dan bersama-sama mati. Seperti dialog orang Tionghoa dan para

Page 11: unsur intrinsik bukan pasar malam

tetangga yang datang melayat saat Ayah meninggal.

“Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-

duyun pula kembali pulang… seperti dunia dalam pasar malam. Seorang-seorang

mereka datang… dan pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas

menunggu saat nyawanya terbang entah kemana”.(Pram,1951:103,104)

C.        UNSUR EKSTRINSIK

Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada diluar karya sastra dan turut mewarnai

cerita, seperti biografi pengarang, keadaan zaman pada saat karya sastra diciptakan,

sosial, budaya, dan politik.

1.      Nilai agama

              “Allahu Akbar. Allahu Akbar. Allahu Akbar.”. Kata yang diucapkan oleh tokoh

“aku” ketika bapaknya meninggal. Hal ini dilakukan tokoh “aku” karena ia mengingat

bahwa ayahnya adalah ayah orang Islam. Sehingga ia mengucapkan doa dan memanggil

Tuhan.

2.      Nilai ekonomi

“Air dikota kami yang kecil itu tebal oleh lumpur. Pembagian air ledeng di sini

tak boleh diharapkan. Barang kali air mandi yang tebal inilah yang membuat penduduk

kota kecil ini berbeda dengan penduduk kota besar yang mempunyai pembagian air

ledeng dengan teratur, bening, dan baik”. (Pram,1951:42)

Keadaan rumah tokoh “aku” yang rusak serta pembagian air yang berbeda dengan

kota besar berpengaruh terhadap jalannya cerita ini dimana nilai ekonomi berpengaruh

terhadap keadaan tokoh “aku” dan keluarganya sehingga sang ayah tidak dapat dirawat di

sanatorium.

3.      Nilai Budaya  

Perbedaan tempat asal antara tokoh “aku”dan istrinya dimana tokoh “Aku”

berasal dari Jawa Barat dan istrinya berasal dari daerah Pasundan, Jawa Tengah.

Page 12: unsur intrinsik bukan pasar malam

Sehingga tokoh ayah sempat mengingatkan anaknya untuk berhati-hati terhadap

ucapannya agar tidak menyinggung persaannya.

“Karena itu, Anakku, perhatikanlah ucapan dan gerak-gerikmu sendiri, jangan

sampai—jangan sampai—ya, jangan sampai menyinggung--menyinggung—

menyinggung perasaannya.” (Pram,1951:47)

Sebagaimana biasanya jika di tempat tersebut terdengar orang sakit keras maka

para tetangga akan beramai-ramai datang menjenguknya. Ketika ayahnya dirawat di

rumah sakit terdapat kebiasaan bahwa yang boleh mengunjunginya hanya pihak keluarga

dan pihak lain tidak diperbolehkan berkunjung.

Selain itu ada juga yang memberlakukan adat bahwa anak-anak tidak boleh ikut

berbicara ketika hal yang dibicarakan menyangkut masalah orang dewasa.

4. Nilai adat

Nilai adat yang masih berlaku di daerah-daerah kecil seperti Blora dimana dapat

dilihat ketika paman dan bibi datang ke rumah dan tokoh “aku” sedang berbicara dengan

adik-adiknya membicarakan mengenai Jakarta dan Semarang. Dimana sudah menjadi

adat, adik-adiknya segera pergi ke belakang dan belajar.

“Di waktu itu jugalah paman datang dan bibi. Dan karena sudah

diadatkan di kampung kami bahwa anak-anak tak boleh turut bercakap-caka

dengan orang-orang dewasa, mereka pergi ke ruang belakang dan belajar.”

(Pram,1951:38)

5.Nilai sosial

Nilai sosial yaitu nilai-nilai yang berkenaan dengan tata pergaulan antara individu dalam

masyarakat.

“Tapi tangis kami disaput oleh kedatangan para tetangga yang lebih

banyak lagi dan sebentar kemudian—sebentar kemudian, rumah kami telah penuh

Page 13: unsur intrinsik bukan pasar malam

oleh pelawat. Dan kami merupakan pulau dikelilingi para pelawat itu.

(Pram,1951:91)

Nilai sosial yang terdapat dalam penggalan cerita di atas adalah masyarakat yang

dengan suka rela menjenguk orang yang kemalangan dan menghibur serta membantu

mempersiapkan pemakaman.

4.      Biografi Pengarang

Pramoedya dilahirkan di Blora, di jantung Pulau Jawa, pada 1925 sebagai anak

sulung dalam keluarganya. Ayahnya ialah guru dan ibunya ialah pedagang nasi. Ia

meneruskan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya dan bekerja sebagai juru ketik

untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.

Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan

seringkali ditempatkan di Jakarta di akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen dan

buku sepanjang karir militernya dan dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949.

Pada 1950-an ia sanggup tinggal di Belanda sebagai bagian program pertukaran budaya,

dan saat kembalinya ia menjadi anggota Lekra, organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya

penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya

Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Ini

menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.

Hoakiau di Indonesia

Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia,

dan pada saat yang sama mulai berhubungan erat dengan para penulis di China.

Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat menyurat dengan penulis Tionghoa yang

membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia

merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan

dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa

mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena

pandangan pro-Komunis Chinanya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan

Page 14: unsur intrinsik bukan pasar malam

tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau-pulau di

sebeluah timur Indonesia.

Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa 

tanpa proses pengadilan: 13 Oktober 1965 - Juli 1969, Juli 1969 - 16 Agustus 1969 di

Pulau Nusakambangan, Agustus 1969 - 12 November 1979 di Pulau Buru, November -

21 Desember 1979 di Magelang .

Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap

mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4

kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanaya Minke, bangsawan kecil

Jawa, dicerminkan pada pengalamannya sendiri. Jilid pertamanya dibawakan secara oral

pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi

pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia.

Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat

pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S, tapi masih dikenakan

tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga

1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang

lebih 2 tahun.

Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan

pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995),

otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk

dikirimkan, dan Arus Balik (1995).

2.      Nilai ekonomi

“Air dikota kami yang kecil itu tebal oleh lumpur. Pembagian air ledeng di sini

tak boleh diharapkan. Barang kali air mandi yang tebal inilah yang membuat penduduk

kota kecil ini berbeda dengan penduduk kota besar yang mempunyai pembagian air

ledeng dengan teratur, bening, dan baik”. (Pram,1951:42)

Keadaan rumah tokoh “aku” yang rusak serta pembagian air yang berbeda dengan

kota besar berpengaruh terhadap jalannya cerita ini dimana nilai ekonomi berpengaruh

terhadap keadaan tokoh “aku” dan keluarganya sehingga sang ayah tidak dapat dirawat di

sanatorium.

Page 15: unsur intrinsik bukan pasar malam