agroindustri gula
TRANSCRIPT
A.Pendahuluan
Gula sebagian sukrosa diperoleh dari nira tebu, bit gula, atau aren. Meskipun
demikian, terdapat sumber-sumber gula minor lainnya, seperti kelapa. Sumber-
sumber pemanis lain, seperti umbi dahlia, anggir, atau jagung, juga menghasilkan
semacam gula/pemanis namun bukan tersusun dari sukrosa.
Gula merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok (sembako) kebutuhan
pangan yang sangat penting bagi kebutuhan kita sehari-hari baik dalam rumah tangga
maupun industri makanan dan minuman baik yang berskala besar maupun yang kecil.
Gula juga sudah menjadi sangat penting karena gula mengandung kalori yang sangat
penting bagi kesehatan kita dan gula juga digunakan sebagai bahan pemanis utama
yang digunakan oleh banyak industri makanan dan minuman. Namun, ternyata
produksi gula yang dihasilkan oleh Indonesia sendiri tidak dapat memenuh
ipermintaan dalam negeri, sehingga pengimporan gula pun harus diadakan setiap
tahunnya
Gula merupakan salah satu komoditi pertanian yang telah ditetapkan Indonesia
sebagai komoditi khusus (spesial products) dalam forum perundingan Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO) bersama beras, jagung, dan kedelai. Selain sebagai salah
satu bahan makanan pokok, gula juga merupakan sumber kalori bagi masyarakat
selain beras, jagung, dan umbi-umbian.
Dalam sejarah, produksi gula merupakan salah satu produksi perkebunan tertua
dan terpenting yang ada di Indonesia. Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia pernah
mengalami ahun 1930-an dimana jumlah pabrik gula yang beroperasi adalah 179,
produktifitas sekitar 14,8 %. Dengan produksi puncak mencapai sekitar 3 juta ton,
dan ekspor gula pernah mencapai 2,4 juta ton. Setelah mengalami berbagai pasang
surut, produksi gula Indonesia sekarang hanya didukung oleh 60 pabrik gula yang
aktif yaitu 43 pabrik dikelola BUMN dan 17 pabrik yang dikelola oleh swasta
(Dewan Gula Indonesai 2000).
B.Pembahasan
Gula memiliki banyak manfaat bagi tubuh. Tetapi, jika dikonsumsi secara
berlebihan, maka gula akan berbalik menjadi jadi sumber penyakit. Para ahli gizi
menggolongkan gula yang biasa kita konsumsi sebagai gula sederhana (simple
sugar). Gula sederhana ini tidak mengandung zat gizi lainnya, seperti vitamin atau
mineral. Ada lagi kelompok gula lain, yakni gula kompleks (complex sugar) yang
memiliki beberapa zat gizi lain seperti vitamuin dan mineral. Ada pun yang masuk
golongan complex sugar adalah makanan yang mengandung zat pati seperti nasi,
jagung, gandum, dan singkong.
Baik gula sederhana ataupun gula kompleks, semuanya adalah sumber
karbohidrat yang oleh tubuh akan diolah menjadi glukosa. Itulah sebabnya, setelah
memakan makanan yang manis-manis, kita sering kali merasa lebih tenang, dan bisa
belajar dan berpikir dengan lebih cepat. Satu hal lagi, gula sederhana termasuk
golongan monosakarida, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk berproses menjadi
glukosa menjadi lebih singkat. Hal ini karena gula hanya memiliki satu molekul saja.
1. Tanaman penghasil gula.
a. Tebu
Tebu (Saccharum officinarum L.) tremasuk famili rumput-rumputan (gramine)
yang terdiri dari 3 varietas, yaitu genyah, verietas sedang dan varietas dalam. Varietas
genyah dapat dipanen pada 12 bulan. Varietas sedang pada umur 12~14 bulan, dan
varietas dalam pada umur di atas 14 bulan. Tanaman tebu dapat ditanam di daratan
rendah sampai daratan tinggi yang tidak lebih dari 1400 m dpl. Biasanya pada daratan
tinggi yang lebih dari 1200 m dpl pertumbuhan tanaman akan lambat.
Tanaman membutuhkan curah hujan yang tinggi pada fase pertumbuhan
vegetatif. Setelah itu, tanaman tidak banyak membutuhkan curah hujan. Curah hujan
yang tinggi setelah fase vegetatif akan menurunkan rendemen gula. Curah hujan yang
ideal adalah 125 mm per bulan selama 6 bulan pertama, 125 mm per bulan pada dua
bulan berikutnya, dan kurang dari 75 mm per bulan (bulan kering) pada akhir
pertanaman.
Tanaman membutuhkan udara panas, yaitu 24 sampai 300C dengan perbedaan
suhu musiman tidak lebih dari 60C, perbedaan suhu siang dan malam tidak lebih dari
100C. Tanah yang ideal bagi tanaman tebu adalah tanah berhumus dengan pH antara
5,7 sampai 7. Batang tebu mengandung serat dan kulit batang (12,5 %), dan nira yang
terdiri dari air, gula, mineral dan bahan-bahan non gula lainnya (87,5 %).
b. Aren
Aren (Arenga pinnata) adalah tanaman jenis pinangan-pinangan yang tumbuh
pada tanah subur pada ketinggian 500~800 m dpl. Aren membutuhkan curah hujan
yang merata sepanjang tahun atau keadaan sedang sampai agak basah. Sampai
sekarang aren belum dibudidayakan secara insentif. Tanaman ini masih berupa
tanaman sela di perkebunan atau bercampur dengan semak belukar dan pohon-pohon
lainnya. Aren dapat menghasilkan berbagai komoditi, yaitu buah nira, ijuk, dan lidi.
Buah aren dapat menjadi kolang-kaling, nira menjadi gula merah dan gula semut,
injuk dan lidi menjadi barang anyaman.
c. Stevia
Stevia rebaudiana Bertoni merupakan tanaman dari famili Asteraceae
(Compositae) yang berasal dari Paraguay. Tanaman ini berbentuk perdu dengan
tinggi 60 – 90 cm, bercabang banyak, berdaun tebal dan berbentuk lonjong
memanjang, batang kecil ramping dan berbulu, mempunyai sistem perakaran halus
yang berada dekat dengan permukaan tanah dan perakaran tebal, rapat dan kasar
tumbuh menembus ke dalam tanah.
Beberapa hasil studi menyatakan bahwa tingkat kemanisan gula stevia lebih
tinggi 300 kali daripada gula tebu. Bersifat tidak karsinogenik dan rendah kalori,
sehingga cocok untuk penderita diabetes melitus dan obesitas. Keunggulan tingkat
kemanisan gula stevia tersebut berasal dari senyawa kimia penyusunnya dan
komposisi kandungan penyusun terbesar adalah steviosida dan rebaudiosida-A. Stevia
mendapatkan sertifikat GRAS (Generally Recognized as Safe – “tidak keberatan”)
dari Badan POM Amerika Serikat (Food and Drug Administration - FDA) pada
Desember 2008 untuk digunakan sebagai pemanis alami nol kalori untuk produk
makanan dan minuman.
Perbanyakan benih stevia dapat dilakukan dengan biji, stek pucuk/batang, atau
dengan kultur jaringan. Biji tanaman stevia berbentuk jarum dan berwarna putih
kotor. Perbanyakan menggunakan biji jarang dilakukan karena tingkat
keberhasilannya sangat rendah dan pertanaman tidak seragam. Stevia yang pernah
ditanam di Indonesia berasal dari Jepang, Korea dan China. Bahan tanaman tersebut
berasal dari biji sehingga pertumbuhan tanaman stevia di lapang sangat beragam.
2. Proses pembuatan gula
a. Ekstraksi
Tahap pertama pembuatan gula tebu adalah ekstraksi jus atau sari tebu.
Caranya dengan menghancurkan tebu dengan mesin penggiling untuk memisahkan
ampas tebu dengan cairannya. Cairan tebu kemudian dipanaskan dengan boiler. Jus
yang dihasilkan masih berupa cairan yang kotor: sisa-sisa tanah dari lahan, serat-serat
berukuran kecil dan ekstrak dari daun dan kulit tanaman, semuanya bercampur di
dalam gula. Jus dari hasil ekstraksi mengandung sekitar 50 % air, 15% gula dan serat
residu, dinamakan bagasse, yang mengandung 1 hingga 2% gula. Dan juga kotoran
seperti pasir dan batu-batu kecil dari lahan yang disebut sebagai “abu”.
b. Pengendapan kotoran dengan kapur (Liming)
Jus tebu dibersihkan dengan menggunakan semacam kapur (slaked lime) yang
akan mengendapkan sebanyak mungkin kotoran , kemudian kotoran ini dapat dikirim
kembali ke lahan. Proses ini dinamakan liming. Jus hasil ekstraksi dipanaskan
sebelum dilakukan liming untuk mengoptimalkan proses penjernihan. Kapur berupa
kalsium hidroksida atau Ca(OH)2 dicampurkan ke dalam jus dengan perbandingan
yang diinginkan dan jus yang sudah diberi kapur ini kemudian dimasukkan ke dalam
tangki pengendap gravitasi: sebuah tangki penjernih (clarifier). Jus mengalir melalui
clarifier dengan kelajuan yang rendah sehingga padatan dapat mengendap dan jus
yang keluar merupakan jus yang jernih.
Kotoran berupa lumpur dari clarifier masih mengandung sejumlah gula
sehingga biasanya dilakukan penyaringan dalam penyaring vakum putar (rotasi)
dimana jus residu diekstraksi dan lumpur tersebut dapat dibersihkan sebelum
dikeluarkan, dan hasilnya berupa cairan yang manis. Jus dan cairan manis ini
kemudian dikembalikan ke proses.
c. Penguapan
Setelah mengalami proses liming, proses evaporasi dilakukan untuk
mengentalkan jus menjadi sirup dengan cara menguapkan air menggunakan uap
panas (steam). Terkadang sirup dibersihkan lagi tetapi lebih sering langsung menuju
ke tahap pembuatan kristal tanpa adanya pembersihan lagi. Jus yang sudah jernih
mungkin hanya mengandung 15% gula tetapi cairan (liquor) gula jenuh (yaitu cairan
yang diperlukan dalam proses kristalisasi) memiliki kandungan gula hingga 80%.
Evaporasi dalam ‘evaporator majemuk' (multiple effect evaporator) yang dipanaskan
dengan steam merupakan cara yang terbaik untuk bisa mendapatkan kondisi
mendekati kejenuhan (saturasi).
d. Kristalisasi
Pada tahap akhir pengolahan, sirup ditempatkan ke dalam wadah yang sangat
besar untuk dididihkan. Di dalam wadah ini air diuapkan sehingga kondisi untuk
pertumbuhan kristal gula tercapai. Pembentukan kristal diawali dengan
mencampurkan sejumlah kristal ke dalam sirup. Sekali kristal terbentuk, kristal
campur yang dihasilkan dan larutan induk (mother liquor) diputar di dalam alat
sentrifugasi untuk memisahkan keduanya, bisa diumpamakan seperti pada proses
mencuci dengan menggunakan pengering berputar. Kristal-kristal tersebut kemudian
dikeringkan dengan udara panas sebelum disimpan.
Larutan induk hasil pemisahan dengan sentrifugasi masih mengandung
sejumlah gula sehingga biasanya kristalisasi diulang beberapa kali. Sayangnya,
materi-materi non gula yang ada di dalamnya dapat menghambat kristalisasi. Hal ini
terutama terjadi karena keberadaan gula-gula lain seperti glukosa dan fruktosa yang
merupakan hasil pecahan sukrosa. Olah karena itu, tahapan-tahapan berikutnya
menjadi semakin sulit, sampai kemudian sampai pada suatu tahap di mana kristalisasi
tidak mungkin lagi dilanjutkan.
Sebagai tambahan, karena gula dalam jus tidak dapat diekstrak semuanya,
maka terbuatlah produk samping (byproduct) yang manis: molasses. Produk ini
biasanya diolah lebih lanjut menjadi pakan ternak atau ke industri penyulingan untuk
dibuat alkohol (etanol) . Belakangan ini molases dari tebu di olah menjadi bahan
energi alternatif dengan meningkatkan kandungan etanol sampai 99,5%.
e. Penyimpanan
Gula kasar yang dihasilkan akan membentuk gunungan coklat lengket selama
penyimpanan dan terlihat lebih menyerupai gula coklat lunak yang sering dijumpai di
dapur-dapur rumah tangga. Gula ini sebenarnya sudah dapat digunakan, tetapi karena
kotor dalam penyimpanan dan memiliki rasa yang berbeda maka gula ini biasanya
tidak diinginkan orang. Oleh karena itu gula kasar biasanya dimurnikan lebih lanjut
ketika sampai di negara pengguna.
f. Afinasi
Tahap pertama pemurnian gula yang masih kasar adalah pelunakan dan
pembersihan lapisan cairan induk yang melapisi permukaan kristal dengan proses
yang dinamakan dengan “afinasi”. Gula kasar dicampur dengan sirup kental
(konsentrat) hangat dengan kemurnian sedikit lebih tinggi dibandingkan lapisan sirup
sehingga tidak akan melarutkan kristal, tetapi hanya sekeliling cairan (coklat).
Campuran hasil (‘magma') di-sentrifugasi untuk memisahkan kristal dari sirup
sehingga kotoran dapat dipisahkan dari gula dan dihasilkan kristal yang siap untuk
dilarutkan sebelum proses karbonatasi.
Cairan yang dihasilkan dari pelarutan kristal yang telah dicuci mengandung
berbagai zat warna, partikel-partikel halus, gum dan resin dan substansi bukan gula
lainnya. Bahan-bahan ini semua dikeluarkan dari proses.
g. Karbonatasi
Tahap pertama pengolahan cairan (liquor) gula berikutnya bertujuan untuk
membersihkan cairan dari berbagai padatan yang menyebabkan cairan gula keruh.
Pada tahap ini beberapa komponen warna juga akan ikut hilang. Salah satu dari dua
teknik pengolahan umum dinamakan dengan karbonatasi. Karbonatasi dapat
diperoleh dengan menambahkan kapur/ lime [kalsium hidroksida, Ca(OH)2] ke
dalam cairan dan mengalirkan gelembung gas karbondioksida ke dalam campuran
tersebut.
Gas karbondioksida ini akan bereaksi dengan lime membentuk partikel-partikel
kristal halus berupa kalsium karbonat yang menggabungkan berbagai padatan supaya
mudah untuk dipisahkan. Supaya gabungan-gabungan padatan tersebut stabil, perlu
dilakukan pengawasan yang ketat terhadap kondisi-kondisi reaksi. Gumpalan-
gumpalan yang terbentuk tersebut akan mengumpulkan sebanyak mungkin materi-
materi non gula, sehingga dengan menyaring kapur keluar maka substansi-substansi
non gula ini dapat juga ikut dikeluarkan. Setelah proses ini dilakukan, cairan gula siap
untuk proses selanjutnya berupa penghilangan warna.
Selain karbonatasi, teknik yang lain berupa fosfatasi. Secara kimiawi teknik ini
sama dengan karbonatasi tetapi yang terjadi adalah pembentukan fosfat dan bukan
karbonat. Fosfatasi merupakan proses yang sedikit lebih kompleks, dan dapat dicapai
dengan menambahkan asam fosfat ke cairan setelah liming seperti yang sudah
dijelaskan di atas.
h. Penghilangan warna
Ada dua metoda umum untuk menghilangkan warna dari sirup gula, keduanya
mengandalkan pada teknik penyerapan melalui pemompaan cairan melalui kolom-
kolom medium. Salah satunya dengan menggunakan karbon teraktivasi granular
[granular activated carbon, GAC] yang mampu menghilangkan hampir seluruh zat
warna. GAC merupakan cara modern setingkat “bone char”, sebuah granula karbon
yang terbuat dari tulang-tulang hewan.
Karbon pada saat ini terbuat dari pengolahan karbon mineral yang diolah
secara khusus untuk menghasilkan granula yang tidak hanya sangat aktif tetapi juga
sangat kuat. Karbon dibuat dalam sebuah oven panas dimana warna akan terbakar
keluar dari karbon. Cara yang lain adalah dengan menggunakan resin penukar ion
yang menghilangkan lebih sedikit warna daripada GAC tetapi juga menghilangkan
beberapa garam yang ada. Resin dibuat secara kimiawi yang meningkatkan jumlah
cairan yang tidak diharapkan.
Cairan jernih dan hampir tak berwarna ini selanjutnya siap untuk dikristalisasi
kecuali jika jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan konsumsi energi optimum
di dalam pemurnian. Oleh karenanya cairan tersebut diuapkan sebelum diolah di
panci kristalisasi.
i. Pendidihan
Sejumlah air diuapkan di dalam panci sampai pada keadaan yang tepat untuk
tumbuhnya kristal gula. Sejumlah bubuk gula ditambahkan ke dalam cairan untuk
mengawali/memicu pembentukan kristal. Ketika kristal sudah tumbuh campuran dari
kristal-kristal dan cairan induk yang dihasilkan diputar dalam sentrifugasi untuk
memisahkan keduanya. Kristal-kristal tersebut kemudian dikeringkan dengan udara
panas sebelum dikemas dan/ atau disimpan siap untuk didistribusikan.
3. Perkembangan dan prospek komoditas gula dunia.
Pada tahun 2002/03, produksi gula dunia diproyeksikan juga akan mengalami
peningkatan yang cukup signifikan yaitu sekitar 11.02 % bila dibandingkan dengan
periode sebelumnya. Dengan demikian, total produksi gula dunia pada periode
2002/03 diperkirakan mencapai 143.275 juta ton. Negara-negara produsen utama,
kecuali India, Cuba, dan Mexico, diperkirakan memberi kontribusi cukup signifikan
terhadap kenaikan produksi tersebut. Brazil sebagai produsen terbesar diperkirakan
mengalami peningkatan produksi sebesar 16.47% sehingga total produksi mencapai
23.760 juta ton, suatu rekor produksi tertinggi. Peningkatan produksi tersebut
berkaitan dengan kondisi agroklimat yang baik serta keadaan tanaman tebu yang
baik. Uni Eropa juga diperkirakan akan mengalami pertumbuhan yang signifikan
yaitu sekitar 15.32% dengan total produksi mencapai 18.664 juta ton. Kenaikan
produksi yang tinggi tersebut berkaitan dengan perluasan areal dan kondisi
agroklimat yang baik sehingga produktivitas lahan menjadi meningkat (FAO 2003).
Negara-negara lain, secara umum mengalami peningkatan produksi lebih dari 5 %.
NegaraProduksi Produksi Pertumbuha
n2001/02 2002/03Volume Volume 2002-2003
(Juta ton) (Juta ton) (%)
Brazil 20,400 23,760 16.47
India 20,475 20,100 -1.83
Uni Eropa (EU) 16,185 18,664 15.32
China
8,305
9,488 14.24
Eropa Timur
7,297
7,788 6.73Amerika Serikat (US)
7,172
7,620 6.25
Thailand
6,397
6,813 6.50
Mexico
5,168
5,038 -2.52
Australia
4,662
5,350 14.76
Cuba
3,700
2,200 -40.54
Total Dunia 134,662 143,275 6.40
Sumber : USDA 2003, diolah Sistem Informasi Agribisnis Perkebunan (SIAP) LRPI
Sebagai kebutuhan pokok, volume konsumsi gula dunia meningkat secara
lambat namun cukup stabil. Untuk periode 2001/02, konsumsi gula dunia mencapai
134.920 juta ton atau mengalami peningkatan sekitar 10.68%. Peningkatan konsumsi
secara lebih signifkan terjadi di negara berkembang seperti Brazil, India dan
Indonesia, sedangkan di negara maju hanya mengalami peningkatan yang marjinal.
Lebih jauh, konsumsi gula dunia masih didominasi oleh India, Eropa Timur, dan
Eropa Barat dengan pangsa konsumsi masing-masing di atas 10%.
Sumber : USDA 2003, diolah Sistem Informasi Agribisnis Perkebunan (SIAP) LRPI
Perdagangan gula dunia untuk periode 2001/02 meningkat cukup pesat.
Sebagai contoh, volume eskpor gula pada periode 2001/02 menunjukkan peningkatan
yang cukup besar yaitu sebesar 7.26 % bila dibandingkan dengan volume ekspor pada
tahun sebelumnya. Pada periode 2001/02, volume ekspor gula dunia mencapai 40.7
juta ton atau sekitar 2.7 juta ton di atas volume eskpor tahun 2000/01.
Kenaikan yang cukup signifikan tersebut disebabkan sebagian besar negara
yang
termasuk 10 eksportir terbesar mengalami peningkatan volume ekspor.
Sumber : USDA 2003, diolah Sistem Informasi Agribisnis Perkebunan (SIAP) LRPI
NegaraImpor Impor Pertumbuha
n 2001/02 2002/03Volume Volume 2002-2003
(Juta ton) (Juta ton) (%)
Eropa Timur
8,161
8,223 0.76
Uni Eropa
2,087
2,100 0.62
Indonesia
1,600
1,600 0.00
China
1,375
540 -60.73Jepang 4.19
1,407 1,466Amerika Serikat
1,385
1,510 9.03
Canada
1,239
1,190 -3.95
Timur Tengah
6,704
7,086 5.70
Afrika
4,932
5,421 9.91
Total Dunia 37,817 38,048 0.61
Sumber : USDA 2003, diolah Sistem Informasi Agribisnis Perkebunan (SIAP) LRPI
3. Kebijakan agribisnis gula dan prospek pengembangannya di indonesia
Sebagai salah satu industri manufaktur yang tertua, industri gula Indonesia
pernah mencapai jaman keemasan pada tahun sekitar 1930-an dengan menjadi
eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba. Namun perkembangan
selanjutnya industri gula Indonesia lambat laun mengalami degradasi struktural dan
sulit untuk bangkit kembali, hingga pada akhirnya Indonesia menjadi salah satu
importir gula terpenting di dunia saat ini. Sejak liberalisasi perdagangan diberlakukan
pada tahun 1998 hingga tahun 2002, ketergantungan impor gula Indonesia telah
mencapai 47 persen per tahun. Kondisi tersebut tentu saja menimbulkan kekhawatiran
terhadap masa depan kemandirian pangan gula Indonesia.
Kemundurun produksi gula domestik terutama disebabkan oleh menurunnya
produktivitas dan efisiensi industri gula secara keseluruhan, mulai dari pertanaman
(tebu) hingga pabrik gula. Rendahnya produktivitas tanaman tebu rakyat disebabkan
oleh sistem budidaya ratoon dengan keprasan (pemotongan panen) yang lebih dari 3
kali, bahkan hingga belasan kali, dengan pemeliharaan yang kurang memadai
sehingga sebagian besar tanaman banyak terserang hama-penyakit. Permasalahan
tersebut masih ditambah dengan kurang optimalnya pengelolaan proses tebang-
angkut-giling, dimana hal tersebut turut memberikan kontribusi yang cukup tinggi
terhadap rendahnya produktivitas tebu. Selanjutnya berkaitan dengan tingkat efisiensi
pabrik gula, hasil penelitian tahun 1999 mengungkapkan bahwa 20 PG tidak efisien
secara teknis dan ekonomis, 6 PG efisien secara teknis namun tidak efisien secara
ekonomi dan hanya 10 PG yang efisien secara teknis dan ekonomi. Hasil penelitian
lain menunjukkan bahwa rendahnya efisiensi pabrik gula disebabkan karena sebagian
besar pabrik gula mempunyai kapasitas giling yang relatif kecil, yaitu di bawah 3000
ton tebu per hari. Disamping itu, umur mesin dan teknologi yang sudah terlalu tua
turut memberikan andil terhadap rendahnya efisiensi pabrik gula. Kombinasi
permasalahan mesin dan peralatan yang telah tua dan kualitas bahan baku tebu yang
rendah pada akhirnya menyebabkan rendahnya produktivitas gula hablur. Rendeman
gula nasional terus menurun dari 9,0 ton/hektar pada dekade 1960-1970 menjadi
sekitar 5,4 ton/hektar pada dekade 1980-1990 dan menjadi 4,8 ton/hektar pada
periode tahun 1999-2001 (Sawit, et.al., 2003).
Rendahnya harga gula di pasar internasional akibat surplus pasokan serta
distorsi kebijakan dari negara-negara eksportir, semakin menurunkan insentif bagi
upaya pengembangan industri gula di dalam negeri. Tanpa upaya proteksi, para
pelaku industri gula nasional, khususnya para petani tebu, senantiasa dihadapkan
pada situasi persaingan usaha yang tidak adil. petani dan sebagian besar pabrik gula
akan terus dibayangi oleh kerugian dalam usahanya. Permasalahan lain yang tidak
boleh diabaikan adalah berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Sejak otonomi
daerah diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2001, banyak kalangan dan hasil
penelitian yang menunjukkan bahwa implementasinya telah menimbulkan berbagai
kebijakan yang bersifat counter productive terhadap perkembangan ekonomi daerah,
khususnya perdagangan dan investasi.
Salah satu isu yang mengemukakan mengenai dampak negatif dari pelaksanaan
otonomi daerah adalah mengenai pungutan retribusi dan pajak yang makin marak
demi mengejar penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang setingi-tingginya.
Pungutan-pungutan yang diatur melalui Perda tersebut telah mengakibatkan adanya
hambatan perdagangan dan arus komoditi antar daerah. Hal ini tentu saja
bertentangan dengan prinsip free internal trade yang merupakan penjabaran dari
konsep perdagangan bebas. Berkaitan dengan pungutan terhadap komoditi pertanian,
perlu disadari oleh semua pihak bahwasanya setiap satu satuan penambahan biaya
terhadap komoditi pertanian, pada akhirnya akan dibebankan kepada petani. Kondisi
ini tentu saja akan membuat kehidupan petani menjadi semakin terpuruk.
Keterpurukan industri gula nasional saat ini tentu saja tidak boleh dibiarkan terus
berlangsung, karena bangsa Indonesia menghendaki kemandirian pangan semaksimal
mungkin. Oleh karena itu, untuk membangkitkan kembali kinerja industri gula
nasional, pemerintah menerapkan kebijakan proteksi sekaligus promosi.
Kebijakan promosi yang diterapkan oleh Indonesia saat ini antara lain berupa :
(a) subsidi bunga dalam kredit KKP-TR yang alokasinya pada saat ini mencapai Rp.
900 milyar, (b) subsidi pupuk sebesar Rp. 1,3 trilyun untuk berbagai komoditas
termasuk tebu, (c) dukungan pengembangan prasarana pengairan yang difasilitasi
oleh Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah sebesar Rp. 4,5 trilyun, (d)
dukungan permodalan bagi koperasi tebu untuk pembongkaran ratoon, pembangunan
kebun bibit dan prasarana pengairan sederhana sebesar Rp. 66,8 milyar dan (d)
dukungan dana untuk penyehatan lembaga penelitian dan pengembangan.
Prinsip kebijakan proteksi yang ideal adalah mengatur masuknya suatu produk
impor (dalam hal ini gula) yang tidak merugikan petani dan industri gula dalam
negeri serta tetap memperhatikan kepentingan konsumen. Beberapa kebijakan
proteksi yang dikeluarkan oleh pemerintah antara lain : (a) SK Menteri Perindustrian
dan Perdagangan No. 141 Tahun 2002 yang mengharuskan importir 8 komoditas,
termasuk gula, untuk memiliki Nomor Pengenal Importir Khusus (NPIK). Dalam
kaitan ini, gula mentah (raw sugar) hanya boleh diimpor oleh importir yang
mempunyai Angka Pengenal Importir Produsen (API-P) dan Angka Pengenal
Importir Terbatas (API-T); (b) SK Menteri Keuangan No. 324/2002 yang
menetapkan tarif impor gula putih sebesar Rp. 700/kg dan gula mentah sebesar Rp.
550/kg; (c) SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 643 Tahun 2002 yang
mengatur tata niaga impor gula; dan (d) Instruksi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
No. Ins-07/BC/09/2002 yang mengatur prosedur pemeriksaan jalur merah (red line
procedure).
C.Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari makalh ini antara lain:
1. Gula merupakan salah satu komoditi pertanian yang telah ditetapkan
Indonesia sebagai komoditi khusus (spesial products) dalam forum
perundingan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) bersama beras, jagung,
dan kedelai.
2. Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia pernah mengalami ahun 1930-an
dimana jumlah pabrik gula yang beroperasi adalah 179, produktifitas sekitar
14,8 %. Dengan produksi puncak mencapai sekitar 3 juta ton, dan ekspor gula
pernah mencapai 2,4 juta ton.
3. Tanaman penghasil gula antara lain tebu, aren, dan stevia.
4. Proses pembuatan gula meliputi ekstraksi, liming, penguapan, kristalisasi,
penyimpanan, afinasi, karbonatasi, penghilangan warna, dan pendidihan.
5. Perkembangan selanjutnya industri gula Indonesia lambat laun mengalami
degradasi struktural dan sulit untuk bangkit kembali, hingga pada akhirnya
Indonesia menjadi salah satu importir gula terpenting di dunia saat ini. Sejak
liberalisasi perdagangan diberlakukan pada tahun 1998 hingga tahun 2002,
ketergantungan impor gula Indonesia telah mencapai 47 persen per tahun.
6. Setelah mengalami berbagai pasang surut, produksi gula Indonesia sekarang
hanya didukung oleh 60 pabrik gula yang aktif yaitu 43 pabrik dikelola
BUMN dan 17 pabrik yang dikelola oleh swasta.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2004. About Stevia Sugar. http://www.greengold.com/stability of stevia sugar/htm. Diakses tanggal 1 Desember 2012.
Moerdokusumo, A. 1993. Pengawasan Kualitas dan Teknologi Pembuatan Gula Di Indonesia. ITB. Bandung
Sawit, Husein, Erwidodo, Tonny K., Hermanto S., 2003. Penyelematan dan Penyehatan Industri Gula Nasional : Suatu Kajian Akademisi. Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian. Jakarta
Susila, Wayan. Perkembangan dan Prospek Komoditas Gula. http://www.ipard.com/art_perkebun/0071003wrs.asp. Diakses tanggal 1 Desember 2012