bab 2 tinjauan pustakaeprints.umm.ac.id/68351/3/bab ii.pdf · 2020. 10. 23. · 6 bab 2 tinjauan...
Post on 03-Mar-2021
16 Views
Preview:
TRANSCRIPT
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mata
2.1.1 Anatomi Lensa Mata
2.1.1.1 Lensa
(James, Chew, Brown, 2006)
Gambar 2.1
Anatomi Lensa Mata
Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular, tak berwarna, dan hampir
transparan sempurna. Tebalnya sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm. Lensa tergantung
pada zonula di belakang iris, zonula menghubungkannya dengan korpus siliar. Di
sebelah anterior lensa terdapat aqueous humor, di sebelah posteriornya vitreous. Lensa
ditahan di tempatnya oleh ligamentum suspensorium yang dikenal sebagai zonula
(zonula zinnii), yang tersusun atas banyak fibril. Fibril-fibril ini berasal dari permukaan
korpus siliar dan menyisip ke dalam ekuator lensa. 65% lensa terdiri atas air dan 35%
7
adalah protein (kandungan proteinnya tertinggi di antara jaringan-jaringan tubuh), serta
terdapat sedikit sekali mineral. Tidak ada pembuluh darah dan saraf di lensa
(Mutiarasari dan Handayani, 2011).
2.1.1.2 Kapsul, Epitel, Korteks, dan Nukleus Lensa
Kapsul lensa berupa membran basal yang transparan dan elastis, terdiri dari
kolagen tipe IV, dibentuk oleh sel-sel epitel. Ketebalan kapsul bervariasi, paling tebal
di daerah tepi lensa dan paling tipis di daerah sentral kutub posterior. Kapsul lensa akan
mengalami perubahan ketebalan sepanjang hidup (Budiono et al., 2013). Kapsul lensa
adalah suatu membran semipermeabel (sedikit lebih permeabel daripada dinding
kapiler) yang akan memperbolehkan air dan elektrolit masuk (Eva dan Whitcher,
2017). Epitel lensa terletak di bawah kapsul lensa anterior berupa satu lapisan sel.
Lapisan sel ini memiliki aktivitas metabolisme. Perubahan morfologi terjadi ketika sel-
sel epitel memanjang membentuk sel-sel serat lensa. Perubahan ini dikaitkan dengan
peningkatan dari massa protein selular pada membran setiap sel serat lensa. Pada saat
yang sama, sel-sel kehilangan organel, termasuk inti sel, mitokondria, dan ribosom
sehingga metabolisme tergantung pada glikolisis untuk produksi energi (Budiono et
al., 2013).
Bagian terluar pada lensa adalah korteks sedangkan bagian tengahnya nukleus
(Budiono et al., 2013). Nukleus lensa lebih keras daripada korteksnya. Nukleus dan
korteks terbentuk dari lamellae konsentris yang panjang. Sesuai dengan bertambahnya
usia, serat-serat lamellar subepitel terus diproduksi, sehingga lensa lama-kelamaan
menjadi kurang elastik (Eva, Riordan, dan Whitcher, 2017).
8
2.1.2 Fisiologi Lensa Mata
2.1.2.1 Refraksi
Sinar berjalan lebih cepat melalui udara daripada melalui media transparan lain
misalnya air dan kaca. Ketika masuk ke suatu medium dengan densitas tinggi, berkas
cahaya melambat (dan sebaliknya). Arah berkas berubah jika cahaya tersebut mengenai
permukaan medium baru yang tidak tegak lurus. Berbeloknya berkas sinar dikenal
sebagai refraksi. Pada permukaan melengkung seperti lensa, semakin besar
kelengkungan, semakin besar derajat pembelokan dan semakin kuat lensa. Ketika suatu
berkas cahaya mengenai permukaan lengkung suatu benda dengan densitas lebih besar,
arah refraksi bergantung pada sudut kelengkungan. Permukaan konveks melengkung
keluar (seperti permukaan luar sebuah bola), sementara permukaan konkaf
melengkung ke dalam (seperti gua). Permukaan konveks menyebabkan konvergensi
berkas sinar, membawa berkas-berkas tersebut lebih dekat satu sama lain. Konvergensi
adalah hal esensial untuk membawa suatu bayangan ke titik fokus, permukaan refraktif
mata berbentuk konveks. Permukaan konkaf membuyarkan berkas sinar (divergensi).
Lensa konkaf bermanfaat untuk mengoreksi kesalahan refraktif tertentu mata, misalnya
berpenglihatan dekat (Sherwood, 2016).
2.1.2.2 Metabolisme
Sel epitel lensa akan terus membelah dan berkembang menjadi serat lensa,
menghasilkan pertumbuhan lensa yang terus-menerus. Sel-sel lensa dengan tingkat
metabolisme tertinggi berada di epitel dan korteks bagian luar. Sel-sel superfisial
9
memanfaatkan oksigen dan glukosa untuk pengangkutan aktif elektrolit, karbohidrat,
dan, asam amino ke dalam lensa.
Lensa manusia normal mengandung sekitar 65% air, 35% protein, dan sedikit
mineral, jumlah ini mengalami sangat sedikit perubahan dengan proses penuaan.
Sekitar 5% dari volume lensa adalah air yang ditemukan di antara serat-serat lensa
dalam ruang ekstraseluler.
Aspek penting dari fisiologi lensa adalah mekanisme yang mengontrol
keseimbangan air dan elektrolit yang berperan untuk menjaga transparansi lensa.
Transparansi lensa sangat tergantung pada komponen struktural dan makromolekul
lensa. Gangguan dari hidrasi seluler dapat dengan mudah menyebabkan kekeruhan.
Penghambatan Na+, K+-ATPase menyebabkan hilangnya keseimbangan kation
dan meningkatnya kadar air lensa.
Kombinasi dari transport aktif dan permeabilitas membran sering disebut
pump-leak lensa. Menurut teori pump-leak, kalium dan molekul lain seperti asam
amino secara aktif diangkut ke dalam anterior lensa melalui epitelium anterior.
Penemuan ini mendukung hipotesis bahwa epitel adalah tempat utama untuk transport
aktif dalam lensa. Hal ini menghasilkan gradient yang berlawanan dari ion natrium dan
kalium di lensa, dengan konsentrasi ion kalium yang lebih tinggi pada bagian depan
lensa dan lebih rendah di bagian belakang lensa, berlawanan dengan konsentrasi
natrium. Homeostasis kalsium juga penting untuk lensa. Hilangnya homestasis kalsium
dapat sangat mengganggu metabolisme lensa. Peningkatan kadar kalsium dapat
menyebabkan perubahan yang merusak, termasuk depresi metabolisme glukosa,
10
pembentukan protein dengan berat molekul yang tinggi, dan aktivasi protease yang
merusak.
Membran transportasi dan permeabilitas juga pertimbangan penting dalam
nutrisi lensa. Transportasi asam amino aktif terjadi pada epitel lensa dengan
mekanisme tergantung pada gradient natrium yang dibawa oleh pompa natrium.
Glukosa memasuki lensa melalui proses difusi yang tidak secara langsung terkait
dengan sistem transport aktif. Sisa hasil metabolisme lensa meninggalkan lensa melalui
difusi sederhana. Berbagai zat, termasuk asam askorbat, myo-inositol, dan kolin
memiliki mekanisme transport tersendiri pada lensa (Budiono et al., 2013).
2.1.2.3 Akomodasi
Kemampuan untuk menyesuaikan kekuatan lensa dikenal sebagai akomodasi.
Kekuatan lensa bergantung pada bentuknya yang dikendalikan oleh otot siliaris. Otot
siliaris adalah bagian badan siliaris yaitu suatu struktur khusus lapisan koroid bagian
anterior. Badan siliaris memiliki dua komponen utama yaitu, otot siliaris dan anyaman
kapiler yang menghasilkan cairan aqueous. Otot siliaris adalah suatu cincin melingkar
otot polos yang melekat ke lensa melalui ligamentum suspensorium.
Ketika otot siliaris berelaksasi, ligamentum suspensorium menegang, dan
ligamentum ini menarik lensa menjadi bentuk gepeng dan kurang refraktif. Sewaktu
otot ini berkontraksi, sekelilingnya berkurang sehingga tegangan pada ligamentum
suspensorium berkurang. Ketika tarikan ligamentum suspensorium pada lensa
berkurang, lensa menjadi lebih bulat karena elastisitas inherennya. Meningkatnya
kelengkungan karena lensa menjadi lebih bulat akan meningkatkan kekuatan lensa dan
11
lebih membelokkan berkas sinar. Pada mata normal, otot siliaris berelaksasi dan lensa
menggepeng untuk melihat jauh, tetapi otot ini berkontraksi agar lensa menjadi lebih
konveks dan lebih kuat untuk melihat dekat. Otot siliaris dikontrol oleh sistem saraf
autonom, dengan stimulasi simpatis menyebabkan relaksasi dan stimulasi parasimpatis
menyebabkannya berkontraksi.
Dalam keadaan normal, serat-serat elastik di lensa yang bersifat transparan
kadang-kadang menjadi keruh sehingga berkas sinar tidak dapat menembusnya, yaitu
suatu kondisi yang dikenal sebagai katarak (Sherwood, 2016).
2.2 Katarak
2.2.1 Definisi Katarak
Katarak berasal dari bahasa Yunani Katarrhakies, Inggris Cataract, dan Latin
Cataracta yang berarti air terjun. Dalam bahasa Indonesia di sebut bular dimana
penglihatan seperti tertutup air terjun (Wulandini, 2016). Katarak adalah kekeruhan
pada lensa mata yang menyebabkan gangguan penglihatan. Katarak ditandai dengan
adanya lensa mata yang berangsur-angsur menjadi buram yang pada akhirnya dapat
menyebabkan kebutaan total (Mootapu, Rompas, dan Bawotong, 2015). Sebagian
besar kasus katarak disebabkan oleh proses penuaan, terkadang katarak bisa ditemukan
pada anak-anak yang lahir dengan kondisi tersebut, atau katarak dapat terjadi setelah
adanya cedera pada mata, inflamasi, maupun penyakit mata lainnya (Gracella,
Sutyawan, dan Triningrat, 2017).
12
2.2.2 Epidemiologi Katarak
Katarak merupakan penyakit yang masih menjadi penyakit paling dominan
pada mata dan penyebab utama dari kebutaan di seluruh dunia. Paling sedikit 50% dari
semua kebutaan disebabkan oleh katarak, dan 90% diantaranya terdapat di negara
berkembang salah satunya adalah Indonesia. Besarnya jumlah penderita katarak
berbanding lurus dengan jumlah penduduk usia lanjut. Diperkirakan 12 orang menjadi
buta tiap menit di dunia. Di Indonesia diperkirakan setiap menit ada satu orang menjadi
buta. Jumlah ini akan meningkat menjadi dua kali lipat pada tahun 2020, hal ini
berkaitan dengan jangka umur harapan hidup meningkat (Mootapu, Rompas, dan
Bawotong, 2015).
Menurut data WHO 2010 menunjukkan katarak dapat menyebabkan kebutaan
pada lebih dari 17 juta penduduk di dunia. Pada Amerika Serikat, katarak terjadi sekitar
10% dan prevalensi ini meningkat sampai sekitar 50% pada usia antara 65-74 tahun.
Indonesia sebagai negara tertinggi jumlah penderita katarak di Asia Tenggara, yaitu
mencapai 1,5-1,8% atau 2 juta jiwa (Siswoyo, Setioputro, dan Albarizi, 2016).
Perkiraan insiden katarak adalah 0,1% per tahun atau setiap tahun diantara
1.000 orang terdapat seorang penderita baru katarak. Prevalensi katarak di Indonesia
sebesar 1,8% dan di Jawa Timur sebesar 1,6% (Riskesdas, 2013).
2.2.3 Etiologi Katarak
Etiologi katarak masih tidak jelas dan dihubungkan dengan banyak faktor.
Katarak diduga terjadi karena multifaktor, yaitu faktor instrinsik dan faktor ekstrinsik.
Faktor instrinsik yaitu faktor risiko yang berasal dari dalam dan faktor ekstrinsik yaitu
13
faktor risiko yang berasal dari luar tubuh manusia. Faktor instrinsik yaitu genetik,
umur, dan jenis kelamin. Faktor ekstrinsik yaitu penggunaan obat, status gizi, rokok,
alkohol, sinar matahari, traumatik, serta riwayat penyakit sistemik yaitu diabetes
melitus dan hipertensi (Lukas, Pangkerego, dan Rumende, 2017). Penyebab katarak
yang utama adalah proses alamiah dengan bertambah lanjutnya usia menimbulkan
perubahan pada mata (Tana, Mihardja, dan Rifati, 2007).
2.2.4 Klasifikasi Katarak
Berdasarkan usia, katarak dapat dibagi dalam golongan berikut:
1. Katarak Kongenital
Katarak yang terlihat pada usia dibawah 1 tahun.
2. Katarak Juvenil
Katarak yang terlihat pada usia sesudah 1 tahun.
3. Katarak Senilis
Katarak yang mulai terjadi pada usia lebih dari 40 tahun (Saputra, Handini, dan Sinaga,
2018).
Berdasarkan penyebabnya, katarak dapat di golongkan ke dalam beberapa tipe, yaitu
sebagai berikut:
1. Katarak Kongenital
Katarak yang ditemukan pada anak-anak. Biasanya katarak yang di temukan pada bayi
ketika waktu lahir yang disebabkan oleh virus rubella pada ibu yang hamil muda.
14
2. Katarak Komplikata
Katarak yang disebabkan oleh beberapa jenis infeksi dan penyakit tertentu seperti
diabetes melitus, hipertensi, glaukoma, lepasnya retina atau ablasi retina dan penyakit
umum tertentu lainnya.
3. Katarak Trauma
Katarak yang diakibatkan oleh cedera mata seperti pukulan keras, luka tembus, luka
menyayat, panas tinggi atau bahan kimia dapat mengakibatkan kerusakan pada lensa.
Katarak trauma dapat terjadi pada semua usia.
4. Katarak Senilis
Katarak yang disebabkan oleh proses penuaan atau faktor usia sehingga lensa mata
menjadi keras dan keruh. Katarak senilis merupakan tipe katarak yang paling banyak
ditemukan. Biasanya ditemukan pada golongan usia diatas 40 tahun keatas (Saputra,
Handini, dan Sinaga, 2018).
2.2.5 Patofisiologi Katarak
Perubahan fisik dan kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya transparansi,
ditandai dengan adanya perubahan pada serabut halus multipel (zonula) yang
memanjang dari badan siliar ke sekitar daerah di luar lensa, misalnya dapat
menyebabkan penglihatan mengalami distorsi. Perubahan kimia dalam protein lensa
dapat menyebabkan koagulasi. Sehingga terjadi pengaburan pandangan/kekeruhan
lensa dan dapat menghambat jalannya cahaya ke retina. Hal ini diakibatkan karena
protein pada lensa menjadi water insoluble dan membentuk partikel yang lebih besar.
Dimana diketahui dalam struktur lensa terdapat dua jenis protein, yaitu protein yang
15
larut dalam air (soluble) dan tidak larut dalam air (insoluble), pada keadaan normal
protein yang larut dalam air lebih tinggi kadarnya dari pada yang tidak larut dalam air.
Salah satu teori menyebutkan terputusnya protein lensa normal terjadi karena
disertai adanya influks air ke dalam lensa. Proses ini mematahkan serabut lensa yang
tegang dan mengganggu transmisi sinar. Teori lain mengatakan bahwa suatu enzim
mempunyai peran dalam melindungi lensa dari degenerasi. Jumlah enzim akan
menurun dengan bertambahnya usia dan tidak ada pada kebanyakan pasien yang
menderita katarak.
Komponen terbanyak dalam lensa adalah air dan protein. Dengan menjadi
tuanya seseorang maka lensa mata akan kekurangan air dan menjadi lebih padat.
Adapun lensa akan menjadi padat di bagian tengahnya, sehingga kemampuan fokus
untuk melihat benda dekat berkurang.
Pada usia tua akan terjadi pembentukan lapisan kortikal yang baru pada lensa
yang mengakibatkan nukleus lensa terdesak dan mengeras (sklerosis nuklear). Pada
saat ini terjadi perubahan protein lensa yaitu terbentukanya protein dengan berat
molekul yang tinggi dan mengakibatkan perubahan indeks refraksi lensa sehingga
memantulkan sinar masuk dan mengurangi transparansi lensa. Perubahan kimia ini
juga diikuti dengan pembentukan pigmen pada nuklear lensa. Pada keadaan normal
lensa mata bersifat bening. Seiring dengan pertambahan usia, lensa mata dapat
mengalami perubahan warna menjadi kuning keruh atau coklat keruh. Proses ini dapat
menyebabkan gangguan penglihatan (pandangan kabur/buram) pada seseorang.
16
Adapun patofisiologi katarak adalah kompleks dan perlu untuk dipahami. Pada
semua kemungkinan, patogenesisnya adalah multifaktorial yang melibatkan interaksi
kompleks antara proses fisiologis yang bermacam-macam. Sebagaimana lensa
berkembang seiring usia, berat, dan ketebalan terus meningkat sedangkan daya
akomodasi terus menurun.
Bermacam mekanisme memberikan kontribusi pada hilangnya kejernihan
lensa. Epitelium lensa dipercaya mengalami perubahan seiring dengan pertambahan
usia, secara khusus melalui penurunan densitas epitelial dan differensiasi abberan dari
sel-sel serat lensa. Sekali pun epitel dari lensa katarak mengalami kematian apoptotik
yang rendah dimana menyebabkan penurunan secara nyata pada densitas sel,
akumulasi dari serpihan-serpihan kecil epitelial dapat menyebabkan gangguan
pembentukan serat lensa dan homeostasis dan akhirnya mengakibatkan hilangnya
kejernihan lensa. Lebih jauh lagi, dengan bertambahnya usia lensa, penurunan ratio air
dan mungkin metabolit larut air dengan berat molekul rendah dapat memasuki sel pada
nukleus lensa melalui epitelium dan korteks yang terjadi dengan penurunan transport
air, nutrient, dan antioksidan.
Kerusakan oksidatif pada lensa pada pertambahan usia terjadi yang
mengarahkan pada perkembangan katarak senilis. Berbagai macam studi menunjukkan
penurunan vitamin antioksidan serta enzim superoksida dismutase yang menggaris
bawahi peranan yang penting dari proses oksidatif pada kataraktogenesis (Mutiarasari
dan Handayani, 2011).
17
2.2.6 Gejala Klinis Katarak
Berbagai jenis katarak memiliki efek yang berbeda pada gejala visual. Pasien
sering mengeluhkan pandangan buram, silau, dan halo dari cahaya (Alshamrani, 2018).
Kekaburan yang dirasakan bersifat perlahan dan penderita merasa melihat melalui kaca
yang buram. Pada tahap awal kekeruhan lensa penderita dapat melihat bentuk akan
tetapi tidak dapat melihat detail. Katarak menyebabkan gangguan pembiasan lensa
akibat perubahan bentuk, struktur, dan indeks bias lensa. Segala jenis katarak pada
umunya akan mengeluh silau akan tetapi terbanyak pada katarak sub kapsular
posterior. Katarak menyebabkan gangguan penglihatan warna, lensa yang bertambah
kuning atau kecokelatan akan menyebabkan gangguan diskriminasi warna, terutama
pada spektrum cahaya biru (Budiono et al., 2013).
Katarak menyebabkan gejala penurunan tajam penglihatan baik jauh maupun
dekat tanpa rasa nyeri. Berikut kriteria tajam penglihatan menurut WHO :
- Kriteria baik : 6/6-6/18
- Kriteria sedang : <6/18-6/60
- Kriteria buruk : <6/60
Pada kasus stadium katarak imatur, opasitas lensa bertambah dan visus mulai
menurun menjadi 5/60 sampai 1/60. Pada pemeriksaan didapatkan shadow test
positif. Sedangkan pada stadium katarak matur, jika katarak dibiarkan, lensa
akan menjadi keruh seluruhnya dan visus menurun drastis menjadi 1/300 atau
hanya dapat melihat lambaian tangan dalam jarak 1 meter. Pada pemeriksaan
didapatkan shadow test negatif (Astari, 2018).
18
2.2.7 Faktor Risiko Katarak
2.2.7.1 Kelainan Bawaan
Adanya gangguan proses perkembangan embrio saat dalam kandungan dan
kelainan pada kromosom secara genetik dapat menimbulkan kekeruhan lensa saat lahir.
Pada umumnya kelainan tidak hanya pada lensa tetapi juga pada bagian tubuh yang
lain sehingga berupa suatu sindrom.
2.2.7.2 Proses Penuaan
Seiring dengan bertambahnya usia, lensa mata akan mengalami pertambahan
berat dan ketebalannya dan mengalami penurunan daya akomodasi. Setiap
pembentukan lapisan baru dari serat kortikal secara konsentris, nukleus lensa akan
mengalami kompresi dan pengerasan. Modifikasi kimia dan pembelahan proteolitik
crystallins (lensa protein) mengakibatkan pembentukan kumpulan protein dengan berat
molekul yang tinggi. Kumpulan protein ini dapat menjadi cukup banyak untuk
menyebabkan fluktuasi mendadak indeks bias lokal lensa, sehingga muncul hamburan
cahaya dan mengurangi transparansi dari lensa. Modifikasi kimia dari protein nukleus
lensa juga dapat meningkatkan pigmentasi, sehingga lensa tampak berwarna kuning
atau kecoklatan dengan bertambhanya usia. Perubahan lain yang berkaitan dengan
pertambahan usia termasuk di dalamnya adalah penurunan konsentrasi glutation dan
kalium, dan peningkatan konsentrasi natrium dan kalsium dalam sitoplasma sel lensa
(Budiono et al., 2013).
19
2.2.7.3 Jenis Kelamin
Jenis kelamin perempuan dapat berpengaruh terhadap kejadian katarak karena
pada perempuan terjadi menopause. Saat berlangsungnya menopause biasanya akan
terjadi gangguan hormonal sehingga ada jaringan-jaringan tubuh yang mudah rusak
(Lukas, Pangkerego, dan Rumende, 2017). Pada masa-masa setelah menopause kadar
hormon estrogen berkurang, hal tersebut juga berpengaruh pada penderita katarak lebih
banyak pada perempuan (Gupta, Rajagopala, dan Ravishankar, 2014).
2.2.7.4 Penyakit Sistemik
2.2.7.4.1 Diabetes Melitus
Adanya kelainan sistemik yang tersering menyebabkan katarak adalah diabetes
melitus. Dasar patogenesis yang melandasi penurunan visus pada katarak dengan
diabetes adalah teori akumulasi sorbitol yang terbentuk dari aktivasi alur polyol pada
keadaan hiperglikemia yang mana akumulasi sorbitol dalam lensa akan menarik air ke
dalam lensa kemudian terjadi hidrasi lensa dan perubahan osmotik sehingga serat lensa
lama kelamaan akan menjadi keruh dan mengakibatkan katarak (Sari, Masriadi, dan
Arman, 2018). Kedua adalah teori glikosilasi protein, dimana adanya AGE akan
mengganggu struktur sitoskeletal yang dengan sendirinya akan berakibat pada
turunnya kejernihan lensa (Budiono et al., 2013).
2.2.7.4.2 Hipertensi
Hipertensi meningkatkan sitokin-sitokin inflamasi, seperti TNF-alpha dan
Interleukin-6. Peningkatan kadar C-Reactive Protein terdeteksi ketika tekanan darah
seseorang meningkat. Katarak berkaitan dengan inflamasi sistemik yang intens, begitu
20
juga dengan hipertensi, yang terlibat dalam perkembangan terjadinya katarak melalui
mekanisme inflamasi. Lee et al melaporkan bahwa hipertensi dapat menginduksi
perubahan struktur protein dalam kapsul lensa sehingga memperburuk terjadinya
katarak (Yu et al., 2014).
2.2.7.5 Penyakit Mata Lain
2.2.7.5.1 Glaukoma
Kebutaan pada penderita glaukoma terjadi akibat kerusakan saraf optik yang
terjadi melalui mekanisme mekanis akibat tekanan intraokular yang tinggi dan/atau
adanya iskemia sel akson saraf akibat tekanan intraokular maupun insufisiensi vaskular
yang selanjutnya mempengaruhi progresifitas penyakit (Ismandari dan Helda, 2011).
2.2.7.6 Merokok
Secara teori, merokok dapat menyebabkan katarak dengan beberapa
mekanisme biologis diantaranya, yang pertama kerusakan oksidatif memiliki peran
utama dalam pembentukan katarak. Merokok menyebabkan pertambahan zat oksidatif
melalui aktifitas radikal bebas, oksidasi dan peroksidasi lipid. Di sisi lain, merokok
dapat menyebabkan stres oksidatif (keadaan dimana jumlah radikal bebas dalam tubuh
melebihi kapasitas tubuh untuk menetralkannya) secara tidak langsung pada lensa
melalui penipisan antioksigen endogen, seperti vitamin C, vitamin E, dan b-karoten.
Kedua, tembakau mengandung logam berat seperti kadmium, timbal, dan tembaga
yang menumpuk dalam lensa menyebabkan kerusakan secara langsung. Ketiga, kadar
sianida dan aldehid naik dalam darah perokok, kemudian aldehida dan isosianat yang
21
terbentuk dari sianida dapat mengubah struktur protein lensa yang menyebabkan
terjadinya kekeruhan dalam lensa yang berdampak dalam pembentukan katarak (Ye et
al., 2012).
2.2.7.7 Konsumsi Alkohol
Alkohol memiliki banyak efek metabolisme dan dimodifikasi dari penyerapan
obat-obatan dan komponen makanan. Efek ini sangat berpengaruh terhadap faktor
risiko antara alkohol dengan kejadian katarak. Lensa mata terdiri dari protein struktural
sehingga lensa bersifat transparan. Protein yang rusak di eliminasi oleh enzim
proteolitik. Dengan bertambahnya usia, jumlah enzim proteolitik berkurang sehingga
mendorong pembentukan agregasi protein, yang bisa menyebabkan katarak dan
hilangnya ketajaman visual. Stres oksidatif menghasilkan radikal bebas yang dapat
merusak lensa protein sehingga memicu pembentukan agregasi protein dan
mempengaruhi kejernihan lensa. Konsumsi alkohol dapat menginduksi enzim CYP2E1
di hati. Melalui enzim ini metabolisme etanol menghasilkan beberapa radikal bebas.
Molekul pro-oksidan yang dihasilkan dari proses metabolisme tersebut menimbulkan
pembentukan agregasi protein dan menyebabkan katarak. Selain itu, alkohol juga bisa
merusak membran melalui proses augmentasi, mengubah interaksi protein-protein, dan
mengganggu homeostasis kalsium, ketiga hal tersebut berperan dalam perkembangan
katarak (Wang dan Zhang, 2014).
2.2.7.8 Indeks Masa Tubuh
Ada beberapa patofisiologi yang berhubungan antara peningkatan indeks massa
tubuh dengan pembentukan katarak. Pertama, individu yang obesitas memiliki kadar
22
leptin dalam plasma dimana bisa meningkatkan kekeruhan lensa sehingga
meningkatkan akumulasi dari ROS (Reactive Oxygen Species). Kedua, jika kadar
protein c reaktif dan sitokin pro-inflamasi meningkat maka individu dengan obesitas
lebih intens terhadap inflamasi sistemik, dimana keduanya berperan dalam
pembentukan katarak. Ketiga, faktor risiko katarak seperti diabetes, hiperlipidemia,
dan hipertensi terkait dengan obesitas.
Ada hubungan yang kuat antara indeks massa tubuh dengan kejadian katarak
sub kapsular posterior karena perbedaan pola bentuk dan seiring bertambahnya umur.
Katarak sub kapsular posterior cenderung lebih besar menyebabkan kehilangan
penglihatan dibanding dengan tipe katarak nuklear dan kortikal.
Singkatnya, individu dengan indeks massa tubuh yang tinggi memiliki resiko
yang lebih besar terjadi katarak seiring dengan bertambahnya umur, terutama tipe
katarak sub kapsular posterior, tetapi perubahan gaya hidup yang baik dengan
mengurangi berat badan dapat mengurangi risiko kejadian katarak (Ye et al., 2014).
2.2.7.9 Paparan Sinar Matahari
Sinar ultraviolet merupakan faktor risiko terjadinya katarak. Sinar ultraviolet
dari matahari diserap oleh protein lensa terutama asam amino aromatic, yaitu tirptofan,
fenil-alamin, dan tirosin sehingga menimbulkan reaksi dan menghasilkan fragmen
molekul yang disebut radikal bebas atau spesies oksigen yang bersifat sangat reaktif.
Selanjutnya radikal bebas ini akan menimbulkan reaksi patologis dalam jaringan lensa
dan senyawa toksis lainnya, sehingga terjadi reaksi oksidatif pada gugus sulfhidril
protein. Reaksi oksidatif akan mengganggu struktur protein lensa sehingga cross link
23
antar dan intra ptrotein dan menambah jumlah high molecul weight protein sehingga
terjadi agregasi protein, yang selanjutnya menyebabkan kekeruhan lensa yang disebut
katarak. Sehingga sinar ultraviolet dari matahari dapat mempercepat kekeruhan pada
lensa mata, seseorang dengan aktivitas sehari-hari sering terpapar sinar ultraviolet
meningkatkan faktor risiko katarak. Efek dari terpapar sinar matahari secara terus
menerus dalam waktu yang lama akan menyebabkan keruhnya lensa mata, hal ini dapat
menyebabkan katarak. Paparan sinar ultraviolet meningkatkan risiko terkena katarak,
terutama jika mata tanpa pelindung terpapar sinar matahari cukup lama (Sari, Masriadi,
dan Arman, 2018).
2.2.7.10 Pendidikan
Pendidikan dikaitkan dengan pengetahuan, sikap, dan pemahaman seseorang
mengenai penyakit katarak, dengan pendidikan yang rendah dan pemahaman yang
kurang akan berdampak pada ketidaktahuan seseorang tentang katarak atau informasi
yang diterima akan kurang (Ulandari, Astuti, dan Adiputra, 2016).
2.2.7.11 Obat-obatan
2.2.7.11.1 Kortikosteroid
Katarak biasanya berkembang tanpa penyebab yang nyata, bagaimana pun
katarak bisa juga timbul akibat paparan yang lama terhadap obat seperti kortikosteroid
(Mutiarasari dan Handayani, 2011).
Kortikosteroid merupakan anti inflamasi yang identik dengan kortisol, hormon
steroid alami pada manusia yang disintesin dan disekresi oleh korteks adrenal. Efek
dari terapi kortikosteroid ini baik kortikosteroid topikal maupun sistemik dapat timbul
24
akibat pemberian yang terus menerus terutama dalam dosis yang besar. Dosis steroid
harus diberikan dalam dosis minimal karena risiko tinggi mengalami efek samping
seperti osteoporosis, katarak, gejala Cushingoid, dan gangguan kadar gula darah.
Menurut Cotlier, terbentuknya katarak akibat terapi kortikosteroid ini karena
reaksi spesifik dengan asam amino dari lensa sehingga menyebabkan agregasi pada
protein dan kekeruhan lensa. Aktivasi reseptor glukokortikoid pada sel epitel lensa
berakibat proliferasi sel, penurunan apoptosis, dan menghambat diferensiasi sel
(Rusmini dan Marifa, 2017).
2.2.7.12 Trauma
Adanya trauma akan mengganggu struktur lensa mata baik secara makroskopis
maupun mikroskopis. Hal ini diduga menyebabkan adanya perubahan struktur lensa
dan gangguan keseimbangan metabolism lensa sehingga katarak dapat terbentuk
(Budiono et al., 2013).
2.2.8 Terapi Katarak
Sampai saat ini satu-satunya pengobatan katarak yang tersedia adalah operasi
(Shahsuvaryan, 2016). Operasi katarak bertujuan memperbaiki tajam penglihatan
sehingga meningkatkan kualitas hidup pasien (Purnaningrum, 2014). Pengobatan
untuk katarak adalah pembedahan yang dilakukan jika penderita tidak dapat melihat
dengan baik dengan bantuan kaca mata untuk melakukan kegiatannya sehari-hari.
Beberapa penderita mungkin merasa penglihatannya lebih baik hanya dengan
mengganti kaca matanya, menggunakan kaca mata bifokus yang lebih kuat atau
25
menggunakan lensa pembesar. Jika katarak tidak mengganggu biasanya tidak perlu
dilakukan pembedahan.
Adapun indikasi operasi:
1. Indikasi Optik
Merupakan indikasi terbanyak dari pembedahan katarak. Jika penurunan dari tajam
penglihatan pasien telah menurun hingga mengganggu kegiatan sehari-hari, maka
operasi katarak bisa dilakukan.
2. Indikasi Medis
Pada beberapa keadaan di bawah ini, katarak perlu dioperasi segera, bahkan jika
prognosis kembalinya penglihatan kurang baik :
- Katarak hipermatur
- Glaukoma sekunder
- Uveitis sekunder
- Dislokasi/subluksasio lensa
- Benda asing intra-lentikuler
- Retinopati diabetika
- Ablasio retina
3. Indikasi Kosmetik
Jika penglihatan hilang sama sekali akibat kelainan retina atau nervus optikus, namun
kekeruhan katarak secara kosmetik tidak dapat dit erima, misalnya pada pasien muda,
maka operasi katarak dapat dilakukan hanya untuk membuat pupil tampak hitam
meskipun pengelihatan tidak akan kembali.
26
Berikut beberapa teknik operasi katarak:
1. Intracapsular Cataract Extraction ( ICCE)
Pembedahan dengan mengeluarkan seluruh lensa bersama kapsul. Dapat dilakukan
pada zonula zinnii telah rapuh atau bergenerasi dan mudah diputus. Pada katarak
ekstraksi intrakapsular tidak akan terjadi katarak sekunder dan merupakan tindakan
pembedahan yang sangat lama populer. Akan tetapi pada teknik ini tidak boleh
dilakukan atau kontraindikasi pada pasien berusia kurang dari 40 tahun yang masih
mempunyai segmen hialoidea kapsular. Penyulit yang dapat terjadi pada pembedahan
ini yaitu astigmat, glaukoma, uveitis, endoftalmitis, dan perdarahan.
2. Extracapsular Cataract Extraction (ECCE)
a. Extracapsular Cataract Extraction (ECCE)
Tindakan pembedahan pada lensa katarak dimana dilakukan pengeluaran isi lensa
dengan memecah atau merobek kapsul lensa anterior sehingga massa lensa dan korteks
lensa dapat keluar melalui robekan tesebut. Termasuk dalam golongan ini ekstraksi
linear, aspirasi, dan ligasi. Pembedahan ini dilakukan pada pasien katarak muda, pasien
dengan kelainan endotel bersama-sama keratoplasti, implantasi lensa intra okular,
kemungkinan akan dilakukan bedah glaukoma, mata dengan predisposisi untuk
tejadinya prolaps badan kaca, sebelumnya mata mengalami ablasi retina, mata dengan
sitoid makula edema, pasca bedah ablasi. Penyulit yang dapat timbul pada pembedahan
ini yaitu dapat terjadinya katarak sekunder.
27
b. Small Incision Cataract Surgery (SICS)
SICS adalah salah satu teknik operasi katarak yang pada umumnya digunakan di negara
berkembang. Teknik ini biasanya menghasilkan hasil visus yang bagus dan sangat
berguna untuk operasi katarak dengan volume yang tinggi. Teknik ini dilakukan
dengan cara insisi 6 mm pada sklera (jarak 2 mm dari limbus), kemudian dibuat sklera
tunnel sampai di bilik mata depan. Dilakukan CCC, hidrodiseksi, hidrideliniasi, dan
disini nukleus dikeluarkan dengan manual, korteks dikeluarkan dengan aspirasi dan
irigasi kemudian dipasang IOL in the bag.
c. Phacoemulsification
Phacoemulsifikasi adalah teknik yang paling mutakhir. Hanya diperlukan irisan yang
sangat kecil saja. Dengan menggunakan getaran ultrasonic yang dapat menghancurkan
nukleus lensa. Sebelum itu dengan pisau yang tajam, kapsul anterior lensa dikoyak.
Lalu jarum ultrasonik ditusukkan ke dalam lensa, sekaligus menghancurkan dan
menghisap massa lensa keluar. Cara ini dapat dilakukan sedemikian halus dan teliti
sehingga kapsul posterior lensa dapat dibiarkan tanpa cacat. Dengan teknik ini maka
luka sayatan dapat dibuat sekecil mungkin sehingga penyulit maupun iritasi pasca
bedah sangat kecil. Irisan tersebut dapat pulih dengan sendirinya tanpa memerlukan
jahitan sehingga memungkinkan pasien dapat melakukan aktivitas normal dengan
segera. Teknik ini kurang efektif pada katarak yang padat (Mutiarasari dan Handayani,
2011).
28
2.2.9 Pencegahan Katarak
Sebagai upaya untuk menurunkan prevalensi katarak perlu tindakan
pencegahan yang sesuai dengan faktor risiko yang berhubungan dengan katarak.
Tindak pencegahan terjadinya katarak antara lain adalah dengan mengurangi pajanan
terhadap faktor perusak (Tana, Mihardja, dan Rifati, 2007).
2.3 Model Epidemiologi
2.3.1 Model Hendrik L. Blum
Menurut teori Hendrik L. Blum (1974) dalam Proverawati 2012, status
kesehatan dipengaruhi secara simultan oleh empat faktor penentu yang saling
berinteraksi satu sama lain. Keempat faktor penentu tersebut adalah lingkungan,
perilaku (gaya hidup), keturunan, dan pelayanan kesehatan.
Makna panah berdasarkan model Hendrik L Blum yang menuju kepada status
kesehatan memiliki ukuran yang berbeda, dimana perilaku memiliki ukuran panah
paling besar. Hal ini disebabkan karena perilaku memiliki peranan yang paling besar,
karena dapat di intervensi dengan mudah kemudian yang kedua adalah lingkungan dan
yang ketiga adalah pelayanan kesehatan. Genetik atau keturunan tidak dapat di
intervensi oleh sebab itu memiliki panah dengan ukuran paling kecil (Effendy, 2016).
29
(Hendrik L Blum, 1974)
Gambar 2.2
Teori Hendrik L. Blum
Gambar 2.2 memperlihatkan sehat tidaknya seseorang tergantung 4 faktor yaitu
keturunan, lingkungan, perilaku, dan pelayanan kesehatan. Faktor tersebut
berpengaruh langsung pada kesehatan dan juga berpengaruh satu sama lain. Status
kesehatan akan tercapai optimal jika empat faktor tersebut kondisinya juga optimal.
Bila salah satu faktor terganggu, status kesehatan tergeser kearah di bawah optimal.
a. Faktor genetik atau keturunan
Keturunan (genetik) merupakan faktor yang telah ada dalam diri manusia yang
dibawa sejak lahir, misalnya dari golongan penyakit keturunan seperti diabetes melitus
dan asma bronchial. Keturunan adalah faktor risiko yang tidak mungkin kita hindari
(Effendy, 2016).
b. Faktor pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatan merupakan faktor ketiga yang mempengaruhi derajat
kesehatan masyarakat karena keberadaan fasilitas kesehatan sangat menentukan dalam
LINGKUNGAN PELAYANAN
KESEHATAN
KETURUNAN
PERILAKU
STATUS
KESEHATAN
30
pelayanan pemulihan kesehatan, pencegahan terhadap penyakit, pengobatan dan
keperawatan serta kelompok dan masyarakat yang memerlukan pelayanan kesehatan.
Ketersediaan fasilitas kesehatan dipengaruhi oleh lokasi, apakah dapat dijangkau atau
tidak. Yang kedua adalah tenaga kesehatan pemberi pelayanan kesehatan itu sendiri
apakah sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang memerlukan.
Pelayanan kesehatan yang berkualitas sangatlah dibutuhkan. Masyarakat
membutuhkan posyandu, puskesmas, rumah sakit dan pelayanan kesehatan lainnya
untuk membantu dalam mendapatkan pengobatan dan perawatan kesehatan. Terutama
untuk pelayanan kesehatan dasar yang memang banyak dibutuhkan masyarakat.
Kualitas dan kuantitas sumber daya manusia di bidang kesehatan juga mesti
ditingkatkan. Puskesmas sebagai garda terdepan dalam pelayanan kesehatan
masyarakat sangat besar peranannya, sebab di puskesmas akan ditangani masyarakat
yang membutuhkan edukasi dan perawatan primer (Effendy, 2016).
c. Faktor perilaku
Perilaku merupakan faktor pertama yang mempengaruhi derajat kesehatan
masyarakat karena sehat atau tidak sehatnya lingkungan kesehatan individu, keluarga,
dan masyarakat sangat tergantung pada perilaku manusia itu sendiri. Di samping itu,
juga dipengaruhi oleh kebiasaan, adat istiadat, kepercayaan, pendidikan sosial
ekonomi, dan perilaku-perilaku yang melekat pada dirinya (Effendy, 2016).
Perilaku baik individu maupun masyarakat dalam menjaga kesehatan
memegang peranan sangat penting untuk mewujudkan Indonesia sehat. Hal ini
dikarenakan budaya hidup bersih dan sehat harus dapat dimunculkan dari dalam diri
31
sendiri maupun masyarakat untuk menjaga kesehatannya. Individu dan masyarakat
yang berperilaku hidup bersih dan sehat akan menghasilkan budaya menjaga
lingkungan yang bersih dan sehat. Pembuatan peraturan tentang berperilaku sehat juga
harus dibarengi dengan pembinaan untuk menumbuhkan kesadaran pada individu dan
masyarakat. Pembinaan dapat dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan
masyarakat. Tokoh-tokoh masyarakat sebagai role model harus diajak turut serta dalam
menyukseskan program-program kesehatan. Faktor perilaku, seperti pada penjelasan
sebelumnya, mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap tercapainya derajat
kesehatan. Perilaku dapat mempengaruhi lingkungan, pemanfaatan terhadap pelayanan
kesehatan yang telah disiapkan maupun terhadap kemungkinan masalah genetik yang
timbul (Chandra, 2009).
d. Faktor Lingkungan
Lingkungan memiliki pengaruh cukup besar. Lingkungan sangat bervariasi,
umumnya digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu yang berhubungan dengan aspek
fisik, biologi, dan sosial. Lingkungan fisik yaitu bersifat abiotik atau benda mati seperti
air, udara, tanah, cuaca, makanan, rumah, panas, sinar, radiasi, dan lain-lain.
Lingkungan fisik ini berinteraksi secara konstan dengan manusia sepanjang waktu dan
masa serta memegang peranan penting dalam proses terjadinya penyakit pada
masyarakat. Lingkungan yang memiliki kondisi sanitasi buruk dapat menjadi sumber
berkembangnya penyakit. Hal ini jelas membahayakan kesehatan masyarakat kita.
Terjadinya penumpukan sampah yang tidak dapat dikelola dengan baik, polusi udara,
air, dan tanah juga dapat menjadi penyebab. Lingkungan biologis yaitu bersifat biologis
32
atau benda hidup misalnya tumbuh-tumbuhan, hewan, virus, bakteri, jamur, parasit,
serangga, dan lain-lain yang dapat berperan sebagai agen penyakit, reservoir infeksi,
vektor penyakit, dan hospes intermediate. Hubungan manusia dengan lingkungan
biologisnya bersifat dinamis dan pada keadaan tertentu saat terjadi ketidakseimbangan
di antara hubungan tersebut, manusia akan menjadi sakit. Lingkungan sosial
merupakan hasil interaksi antar manusia seperti kebudayaan, pendidikan, ekonomi, dan
sebagainya. Berupa kultur, adat istiadat, kebiasaan, kepercayaan, agama, sikap,
standar, gaya hidup, pekerjaan, kehidupan kemasyarakatan, organisasi sosial, dan
politik. Manusia dipengaruhi oleh lingkungan sosial melalui berbagai media seperti
radio, TV, pers, seni, literatur, cerita, lagu, dan sebagainya. Bila manusia tidak dapat
menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosial, akan terjadi konflik kejiwaan dan
menimbulkan gejala psikosomatik seperti stres, insomnia, depresi, dan lain-lain. Upaya
menjaga lingkungan menjadi tanggungjawab semua pihak untuk itulah perlu kesadaran
semua pihak (Chandra, 2009).
2.3.2 Model Segitiga Epidemiologi
Menurut John Gordon segitiga epidemiologi memberi gambaran tentang
hubungan antara tiga faktor yg berperan antara Host (penjamu), Agent (penyebab), dan
Environment (lingkungan) dalam terjadinya penyakit. Menurut Erni (2010)
keterhubungan antara Host (penjamu), Agent (penyebab), dan Environment
(lingkungan) ini merupakan suatu kesatuan yang dinamis yang berada dalam
keseimbangan (equilibrium) pada seorang individu yang sehat. Jika terjadi gangguan
33
terhadap keseimbangan hubungan segitiga, akan menimbulkan status sakit (Mufida,
2019).
(Irwan, 2010)
Gambar 0.1
Model Kausalitas Segitiga Epidemiologi
2.3.3 Model Web of Causation
Teori jaring-jaring sebab akibat ini ditemukan oleh Mac Mohan dan Pugh
(1970). Teori ini sering disebut juga sebagai konsep multifaktorial. Dimana teori ini
menekankan bahwa suatu penyakit terjadi dari hasil interaksi berbagai faktor. Misalnya
faktor interaksi lingkungan yang berupa faktor biologis, kimiawi, dan sosial memegang
peranan penting dalam terjadinya penyakit.
Menurut model ini perubahan dari salah satu faktor akan mengubah
keseimbangan antara mereka, yang berakibat bertambah atau berkurangnya penyakit
yang bersangkutan. Menurut model ini, suatu penyakit tidak bergantung pada satu
sebab yang berdiri sendiri melainkan sebagai akibat dari serangkaian proses sebab dan
akibat. Dengan demikian maka timbulnya penyakit dapat dicegah atau dihentikan
34
dengan memotong mata rantai pada berbagai titik. Model ini cocok untuk mencari
penyakit yang disebabkan oleh perilaku dan gaya hidup individu (Irwan, 2017).
2.3.4 Metode Wheel of Causation
Model roda digambarkan dengan lingkaran yang di dalamnya terdapat
lingkaran yang lebih kecil. Lingkaran yang besar sebagai faktor eksternal dan lingkaran
yang kecil sebagai faktor internal. Faktor internalnya menyatakan bahwa suatu
penyakit disebabkan oleh adanya interaksi antara genetik dengan lingkungannya.
Faktor internal ini juga berkaitan dengan kepribadian individu dimana kepribadian
tertentu akan meningkatkan risiko penyakit tertentu. Faktor eksternal pada model ini
adalah lingkungan, baik lingkungan fisik, biologis, dan sosial. Faktor lingkungan selalu
mengalami pergeseran (tidak stabil) sehingga adaptasi yang tidak tepat dapat
mempengaruhi kesehatan host (Noor, 2006).
(Fos, 2011)
Gambar 0.2
Teori Wheel Of Causation
35
2.3.5 Teori Lawrence Green
Lawrence Green mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat
kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok,
yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non behavior
causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor :
1. Faktor-faktor predisposisi (presdiposing factors) yang terwujud dalam
pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya.
2. Faktor-faktor pendukung (enabling factors) yang terwujud dalam fasilitas-
fasilitas atau sarana-sarana.
3. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap
dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi
dari perilaku masyarakat.
Model ini dapat digambarkan sebagai berikut :
B = f (PF, EF, RF)
Keterangan :
B = Behavior
PF = Presdiposing Factors
EF = Enabling Factors
RF = Reinforcing Factors
F = fungsi
Disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan
oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, ketersediaan fasilitas dan sebagainya
dari orang atau masyarakat yang bersangkutan (Notoadmojo, 2007).
top related