pengaruh pemberian ekstra biji kakao (theobroma cacao
Post on 16-Oct-2021
12 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRA BIJI KAKAO
(Theobroma Cacao) TERHADAP KERUSAKAN SEL GINJAL MENCIT (mus Mucukus) YANG DI INDUKSI PARASETAMOL
SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
Khrestyawan L G0006105
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2010
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ginjal merupakan organ utama dalam ekskresi produk sisa
metabolisme yang tidak diperlukan lagi oleh tubuh. Selain itu ginjal juga
membuang banyak toksin dan zat asing lainnya yang diproduksi atau berasal
dari tubuh atau pencernaan, seperti pestisida, obat-obatan dan zat penambah
pada makanan (Guyton and Hall,1996). Gangguan fungsi ginjal dapat
disebabkan karena kelainan pada hati seperti sirosis atau kerusakan menetap
karena virus hepatitis dan keracunan parasetamol (Dische,1995).
Acetaminophen, atau yang lebih dikenal dengan Paracetamol,
merupakan obat analgesik dan antipeuretik yang sering digunakan. Pemakaian
paracetamol dengan dosis yang berlebihan dalam jangka waktu yang lama
dapat menyebabkan kerusakan hepar dan ginjal. Phenacetin yang terdapat
didalam paracetamol merupakan salah satu bahan yang paling sering
menyebabkan nephropati analgesik (Lorz et al.,2004).
Kakao (Theobroma cacao) merupakan tumbuhan berwujud pohon
yang berasal dari Amerika Selatan. Biji kakao, diketahui mengandung
berbagai macam substansi poliphenol seperti catechin dan rantai oligomer C4-
C8 yang merupakan antioksidan utama pada coklat dan kakao (Osakabe et al.,
2002). Flavonoid yang terdapat dalam biji kakao yang terbanyak adalah
2
oligomer procyanidin yang bentuk kompleknya dikenal sebagai flavan-3-ol
monomer (Lee et al.,2006).
Senyawa flavonoid saat ini banyak mendapat perhatian karena,
kelompok senyawa ini dilaporkan mempunyai berbagai aktifitas farmakologis
seperti: antinflamasi, antioksidan, antibakteri. Beberapa senyawa yang bersifat
sebagai antioksidan dan antiradikal antara lain adalah antosianin, flavon dan
flavonol serta flavonoid. Flavonol memiliki aktivitas antioksidan lebih tinggi
dibanding jenis flavonoid lain (Mun’im , 2005). Flavonoid berperan sebagai
antioksidan karena dapat menangkap radikal bebas (free radical scavengers)
dengan melepaskan atom hidrogen dari gugus hidroksilnya. Pemberian atom
hidrogen ini akan menyebabkan radikal bebas menjadi stabil sehingga tidak
menimbulkan kerusakan sel ( Ide, 2008).
Cokelat merupakan bahan makanan yang digemari oleh masyarakat
baik di Indonesia maupun didunia, serbuk cokelat berasal dari biji kakao. Biji
kakao di ketahui mengandung flavonoid yang merupakan antioksidan.
Berdasarkan hal tersebut maka peneliti ingin membuktikan apakah biji kakao
dapat mengurangi kerusakan histologis ginjal mencit akibat pemberian
parasetamol.
3
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah pada penelitian ini adalah:
Apakah pemberian ekstrak biji kakao (Theobroma cacao) dapat
mengurangi kerusakan histologis ginjal mencit (Mus musculus) yang diinduksi
parasetamol?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh ekstrak biji kakao
(Theobroma cacao) dalam mengurangi kerusakan histologis ginjal mencit
(Mus musculus) yang diinduksi parasetamol.
D. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai
ekstrak biji kakao (Theobroma cacao) dalam mengurangi kerusakan
histologis ginjal mencit (Mus musculus) yang diinduksi parasetamol.
2. Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan acuan untuk
penelitian lebih lanjut, missalnya penelitian dengan subyek manusia.
4
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Ginjal
Ginjal memiliki berbagai fungsi penting bagi tubuh kita, salah
satu yang terpenting adalah membuang bahan- bahan sampah tubuh
dari hasil pencernaan atau yang diproduksi oleh metabolisme (Guyton
and Hall, 1996). Selain berperan penting dalam mengatur
keseimbangan cairan dan elektrolit, ginjal juga merupakan jalan
penting untuk mengeluarkan berbagai zat sisa metabolik yang toksik
dan senyawa- senyawa asing dari tubuh (Sherwood, 2001).
Ginjal merupakan organ yang rentan terhadap efek toksik
zat-zat kimia dan obat- obatan. Hal tersebut karena, ginjal menerima
25 persen dari curah jantung, sehingga sering dan mudah kontak
dengan zat kimia dalam jumlah besar. Selain itu, ginjal merupakan
jalur ekskresi obligatorik untuk kebanyakan obat, sehingga insufisiensi
ginjal mengakibatkan penimbunan obat dan peningkatan konsentrasi
dalam cairan tubulus (Price dan Wilson, 1994).
Ginjal mengatur susunan kimia lingkungan interna dengan
prose-proses kompleks yang terdiri atas filtrasi, absorpsi aktif, absorpsi
pasif, dan sekresi. Tubulus-tubulus nefron, terutama tubulus kontortus
proksimal, mereabsorpsi zat-zat dalam filtrat yang berguna bagi
5
metabolisme tubuh sehingga dapat mempertahankan homeostatis
lingkungan interna. Selain itu, juga memindahkan hasil-hasil sisa dari
darah ke lumen tubulus yang dikeluarkan lewat urin (Junqueira dan
Carneiro, 1988).
Ginjal dibagi dalam korteks luar dan medula dalam. Pada
manusia, medula renis terdiri atas 10-18 stuktur berbentuk kerucut
(piramidal), yaitu piramidal medula. Dari dasar setiap piramidal
medula, terjulur berkas-berkas tubulus pararel,berkas medula yang
menyusup kedalam korteks. Setiap berkas medula terdiri atas satu atau
lebih duktus koligentes bersama bagian lurus beberapa nefron. Korteks
ginjal terdiri dari pars konvulata dan pars radiata. Pars konvulata
tersusun dari korpuskuli ginjal dan tubuli yang membentuk labirin
kortikal (Paulsen, 2000).
Unit kerja fungsional ginjal disebut nefron. Setiap ginjal
terdapat 1-4 juta nefron, yang pada dasarnya mempunyai struktur dan
fungsi yang sama Setiap nefron terdiri atas bagian yang melebar,
korpuskulus renal, tubulus kontortus proksimal, segmen tebal dan tebal
ansa (lengkung) Henle dan tubulus kontortus distal (Paulsen, 2000).
Terdapat dua jenis nefron yaitu nefron korteks dan nefron
jukstamedula. Nefron jukstamedula merupakan nefron berlengkung
panjang yang penting dalam pembentukan gradien osmotik vertikal
medula (Sherwood, 2001).
6
Korpuskulus ginjal terdiri dari kapsula Bowman dan rumbai
kapiler glomerulus. Kapsula Bowman merupakan suatu invaginasi
dari tubulus proksimal yang dilapisi oleh sel-sel epitel. Sel-sel epitel
parietal berbentuk gepeng dan membentuk bagian terluar dari kapsula
sedangkan sel-sel epitel viseral jauh lebih besar dan membentuk bagian
dalam kapsula dan melapisi bagian luar dari rumbai kapiler. Membrana
basalis membentuk lapisan tengah dinding kapiler, terjepit di antara
sel-sel endotel membentuk bagian terdalam dari rumbai kapiler. Tidak
seperti sel-sel epitel, sel endotel berkontak kontinu dengan membrana
basalis. Sel-sel endotel, membrana basalis, dan sel-sel viseral
merupakan tiga lapisan yang membentuk membrana filtrasi
glomerulus. Sel-sel mesangial adalah sel-sel endotel yang membentuk
suatu jaringan kontinu antara lengkung-lengkung kapiler glomerulus
dan diduga juga berfungsi sebagai jaringan penyokong. Sel-sel
mesangial ini bukan merupakan bagian dari membrana filtrasi (Price
dan Wilson, 1994).
Tubulus kontortus proksimal merupakan segmen awal nefron
yang berkelok-kelok dan timbul pada katup urinarius badan ginjal.
Pada potongan melintang korteks, tubulus proksimal dibatasi oleh
epitel selapis kubis yang sangat asidofil karena banyak terdapat
mitokondria yang memanjang. Selain itu, terdapat juga brush border
yang merupakan apeks sel yang menghadap ke lumen tubulus yang
mengandung banyak mikrovili (Junqueira dan Carneiro, 1988).
7
Darah yang mengalir ke kedua ginjal normalnya 20-25 persen
dari curah jantung, arteri renalis memasuki ginjal bersama ureter dan
vena renalis, kemudian bercabang secara progresif membentuk arteri
interlobaris, arteri arkuata, arteri interlobularis dan arteriol aferen, yang
menuju ke kapiler glomerulus dalam glomerulus dimana sejumlah
cairan dan zat terlarut difiltrasi untuk memulai pembentukan urin
(Guyton and Hall, 1996). Saat arteri renalis masuk ke hilus, arteria
tersebut terbagi menjadi beberapa cabang yang ukurannya relatif
besar, yaitu arteri-arteri interlobar. Arteri ini menuju ke perifer di
antara piramid-piramid yang hampir mendekati korteks, yang
kemudian membelok dan melengkung seperti busur, yang karenanya
diberi nama arteri-arteri arciform atau arcuate. Tiap-tiap arteri arcuate
membuat beberapa percabangan arteri interlobar yang selanjutnya
menjadi arteriol-arteriol aferen. Setiap arteriol kemudian bercabang
dan menyusun suatu jaringan kapiler yang mengelilingi bagian lainnya
dari nefron. Arteriol-arteriol yang meninggalkan glomerulus di dekat
medula membuat cabang-cabang dan langsung menuju ke medula
sebagai arteri rectae, di mana kemudian membentuk jaringan-jaringan
kapiler di sekitar tubulus kolektivus dan lengkung Henle ( Price dan
Wilson, 1994).
Pemakaian analgetik yang berlebihan dan dalam jangka waktu
yang lama dapat menyebabkan nefritis interstitial kronis, yang disertai
8
nekrosis papiler ginjal. Asetaminofen, metabolit fenasetin, dapat
merusak sel dengan ikatan kovalen dan jejas oksidatif (Robbins dan
Kumar, 1995).
Selain menyebabkan nefritis intestinal kronis, pemakaian
analgetik berlebih dapat pula menyebabkan nekrosis tubuler akut
nefrotoksik yang secara histologis ditandai dengan nekrosis segmen-
segmen pendek tubulus, terutama pada tubulus proksimal, dengan
membrana basalis tubuli umumnya masih baik dan secara klinik terjadi
supresi akut fungsi ginjal. Hal ini terjadi karena sel epitel tubulus
ginjal peka terhadap anoksia dan mudah rusak karena keracunan saat
kontak dengan zat-zat yang diekskresi oleh ginjal (Robbins dan
Kumar, 1995).
Perubahan- perubahan lisis yang terjadi pada sel nekrosis pada
umumnya dapat terjadi pada semua bagian sel, tetapi petunjuk paling
jelas adalah perubahan yang terjadai pada inti sel (Price and Wilson,
1994)
2. Parasetamol
Parasetamol atau asetaminofen merupakan obat yang sering
digunakan, karena merupakan obat bebas dan mudah mendapatkannya.
Parasetamol merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik.
Efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen (Wilmana, 2001).
Parasetamol bekerja dengan menghambat sintesa prostaglandin dalam
9
susunan saraf pusat yang mempengaruhi pusat hipotalamus untuk
pengontrolan suhu tubuh dan tidak memiliki efek anti inflamasi yang
bermakna (Katzung, 1998). Efek analgesik parasetamol yaitu
menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang seperti
nyeri kepala, mialgia, dan keadaan lain. Sebagai analgesik, sebaiknya
parasetamol tidak diberikan terlalu lama karena dapat menimbulkan
nefropati analgesik (Wilmana, 2001)
Parasetamol diberikan secara oral, absorbsinya tergantung masa
pengosongan lambung dan puncak konsentrasinya dalam darah
biasanya terjadi pada 30-60 menit. Asetaminofen sedikit terikat dengan
protein plasma dan sebagian dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati,
kemudian mengalami glukoronidase dan sulfasi menjadi konjugat yang
sesuai. Sekitar 5% hasil metabolisme parasetamol adalah N-asetyl-p-
benzoquinone imine (NAPQI). NAPQI adalah hasil metabolisme dari
jalur sitokrom P450 yang merupakan metabolit minor yang sangat aktif
dan bersifat toksik bagi hati dan ginjal. Selama glutathione tersedia
untuk konjugasi parasetamol, hepatotoksisitas tidak akan terjadi.
Glutathione yang terpakai akan lebih cepat dari regenerasinya dengan
berjalannya waktu dan akhirnya akan terjadi pengosongan glutathione
dan terjadi penimbunan NAPQI. Metabolit ini akan berikatan kovalen
dengan gugusan nukleofilik yang terdapat pada makromolekul sel
seperti protein, DNA, dan mitokondria sehingga menyebabkan
hepatotoksisitas (Hodgson dan Levi, 2000).
10
Toksisitas organ dapat terjadi karena N-asetyl-p-benzoquinone
imine (NAPQI) bereaksi dengan gugusan nukleofilik yang terdapat
pada makromolekul sel seperti protein, DNA, dan mitokondria. Masa
kerja parasetamol sekitar 2-3 jam dan mengganggu fungsi ginjal.
Reaksi antara NAPQI dengan makromolekul memacu terbentuknya
ROS (Radical Oxygen Species). Selain itu, NAPQI dapat menimbulkan
stres oksidatif, yang berarti bahwa NAPQI dapat menyebabkan
terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid merupakan bagian dari
proses atau rantai reaksi terbentuknya radikal bebas (Rubin et al.,
2005).
Ion superoksida/radikal bebas oksigen/O2- yang terdapat dalam
NAPQI merupakan oksidan bagi sel. O2- ini dapat dinetralisir oleh
Superoxide Dismutase (SOD) dan Cu2+ menjadi hydrogen peroxide
(H2O2). Radikal hidroksil(OH-) sangat reaktif dan toksik terhadap sel
tubuh karena merusak senyawa-senyawa penting tubuh yaitu asam
lemak tak jenuh, DNA, dan protein (Tjokroprawiro, 1993). Lipid
peroxide merupakan hasil peroksidasi radikal hidroksil yang berikatan
dengan asam lemak tak jenuh (komponen glikolipid, fosfolipid dan
kolesterol) yang merupakan penyusun membran sel. Malondialdehid
(MDA) merupakan hasil pemecahan Lipid peroxide yang sangat toksik
dan merusak, dengan akibat kematian sel (Mayes, 1995).
Toksisitas parasetamol dapat terjadi karena pemakaian
berlebih, masa kerja yang lama atau keduanya (Katzung, 1998). Akibat
11
dari dosis toksik parasetamol yang paling serius adalah nekrosis hati,
nekrosis tubulus renalis serta koma hipoglikemi (Wilmana, 2001).
Pemakaian parasetamol yang berlebihan dapat menyebabkan efek
samping seperti pusing, perasaan senang dan disorientasi.
Mengkonsumsi 15 gram (250 mg /kg BB) sangat berbahaya karena
dapat menyebabkan hepatotoksisitas dengan kerusakan yang timbul
berupa nekrosis sentrolobularis dan dapat menyebabkan nekrosis
tubulus renal akut (Katzung, 1998).
3. Kakao (Theobroma cacao)
Taksonomi
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Anak divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Anak kelas : Dialypetale
Bangsa : Malvales
Suku : Sterculiaceae
Jenis : Theobroma cacao
(Susanto, 2005)
Kakao (Theobroma cacao) merupakan tumbuhan berwujud
pohon yang berasal dari Amerika Selatan. Kakao telah digunakan
suku-suku di Amerika Selatan dan Tengah sejak ratusan tahun lalu.
Sekitar tahun 1550, pengenalan kakao semakin meluas ke seluruh
daratan Eropa sebagai sumber makanan baru, diawali dari bangsa
Spanyol yang membawa coklat dari Amerika Selatan sebagai hadiah
12
bagi rajanya. Karena rasa coklat yang enak, makanan olahan dari
coklat semakin populer di Eropa (Ide, 2008).
Penanaman tanaman kakao di pulau Jawa baru dimulai sekitar
abad ke-19, sebelumnya tanaman kakao di bawa ke Indonesia oleh
bangsa Spanyol pada abad ke-16 dan penanaman tanaman kakao
pertama kali di daerah Sulawesi (Celebes-Minahasa). Sekarang coklat
dan produk olahannya banyak terdapat di seluruh Indonesa (Wahyudi
dan Rahardjo, 2008).
Biji kakao mengandung sekitar 600 komponen kimia dan lebih
dari sepertiganya dianggap bermanfaat bagi kesehatan. Kebanyakan
dari komponen ini berupa polifenol (atau flavonoid) yang mampu
bertindak sebagai antioksidan. Kenyataannya biji kakao mengandung
jumlah flavonoid alami yang lebih kaya dibanding brokoli atau teh
hijau (Ide, 2008).
Kandungan biji kakao antara lain lemak, terdiri dari minyak
kakao, mentega kakao, theobromin, serat, abu, dan protein.
Theobromin bertindak sebagai diuretik. Kandungan dalam biji kakao
yang berguna dalam pengobatan modern antiastma adalah theobromin,
teofilin dan kafein. Biji kakao mentah mengandung 12-18% flavonoid
yang setidaknya 60%nya merupakan oligomer procyanidin dari
epicatechin. Flavonoid utama dalam kakao adalah flavan-3-ols,
epicatechin, dan catechin (unit monomerik), dan polimerik yaitu
13
proanthocyanidins yang juga disebut dengan procyanidin (Noe et al.,
2004).
Flavonoid diketahui dapat menghambat oksidasi lipid dan
pembentukan lipid peroxide melalui mekanisme penangkapan radikal
bebas. Kemampuan flavonoid dalam mengikat Cu2+ (logam yang
menginduksi oksidasi lipid) tergantung pada komponen struktural yang
dimilikinya. Semakin sedikit gugus OH yang dimiliki oleh flavonoid,
semakin kecil kemungkinan terjadinya oksidasi flavonoid dan reduksi
logam karena kemungkinan lepasnya hidrogen semakin kecil (Hegazi
dan El-Hady, 2007).
Flavonol dan metabolitnya diserap baik melalui usus bagian
atas maupun bagian bawah. Flavonoid dalam kakao diabsorbsi dan
masuk ke dalam sirkulasi darah. Degradasi oligomer flavonol di dalam
lambung hanya sedikit yang terjadi, sehingga flavonol kakao akan
mencapai usus bagian atas. Flavonol dalam bentuk monomer dan
dimer diabsorbsi di bagian usus atas, dan dalam waktu 30 menit
sampai 1 jam setelah mengkonsumsi coklat kadar flavonol mulai
meningkat dalam plasma. Monomer flavonol akan mengalami
metabolisme yang lebih luas dengan biotransformasi yang diawali
dalam enterosit dan dibawa oleh enzim-enzim yang berasal dari hepar
dan ginjal. Jumlah O-methylated, O-glucoronidated, dan derivat
flavonol O-sulfated dalam plasma akan meningkat pada metabolisme
lanjutan tersebut. Asam fenolik sederhana merupakan hasil dari
14
metabolisme monomer dan oligomer flavonol (yang tidak diabsorbsi di
usus kecil) oleh mikroflora kolon di usus besar. Setelah 8-9 jam
mengkonsumsi kakao, metabolit asam fenolik dapat dideteksi dalam
urin, dan konsentrasi tertingginya dalam waktu 24-48 jam (Uribe and
Bektash, 2008).
Dari hasil penelitian diketahui bahwa flavonoid banyak
terdapat dalam kakao, terutama epicatechin serta procyanidin yang
bersifat antioksidan. Antioksidan mampu memberikan elektron kepada
molekul radikal bebas tanpa terganggu sama sekali dan dapat memutus
reaksi berantai dari radikal bebas sehingga dapat mencegah terjadinya
stres oksidatif (Almatsier, 2004).
4. Kerusakan ginjal akibat toksisitas parasetamol
Gagal ginjal kronik akibat kelebihan pemakaian analgesik
merupakan permasalahan yang cukup sering dijumpai dan barangkali
merupakan suatu bentuk penyakit ginjal yang paling mudah dicegah.
Penyebab kerusakan ginjal adalah kombinasi dari aspirin dan fenasetin,
karena pemakaian tunggal aspirin atau fenasetin jarang menyebabkan
insufisiensi ginjal (Price dan Wilson, 1994).
Efek toksik dari metabolit fenasetin pada ginjal akan meningkat
pada keadaan berikut (Bennet, 1998): 1) Terjadi iskemia modula,
dengan penurunan produksi prostaglandin lokal; PGE2 dan PGI2
merupakan hormon vasodilatator ginjal yang kuat sehingga
meningkatkan efek toksik dari metabolit fenasetin dan memperlambat
15
pengeluaran metabolit tersebut. 2) Proses pembentukan pirau
monofosfat heksosa terhambat, dengan demikian akan menurunkan
kadar glutation yang secara normal akan menghentikan aktivitas
metabolit fenasetin (Price dan Wilson, 1994).
Nekrosis pada ginjal merupakan kerusakan yang sering terjadi
sebagai akibat dari pemberian parasetamol dengan dosis toksik
(Goodman dan Gilman, 2001). Biasanya diperlukan 2 sampai 3 kg
aspirin dan fenasetin untuk menimbulkan penyakit ginjal secara klinis
(Murray et al., 1978). Nekrosis yaitu kematian sel dan jaringan pada
tubuh yang hidup yang tampak nyata pada inti sel. Perubahan-
perubahan yang terjadi pada inti di antaranya adalah : 1) Hilangnya
gambaran kromatin. 2) Inti menjadi keriput, tidak vesikuler lagi. 3) Inti
tampak lebih padat, warnanya gelap hitam (pyknosis). 4) Inti terbagi
atas fragmen-fragmen, robek (karyorrhexis). 5) Inti tidak lagi
mengambil warna banyak karena itu pucat dan tidak nyata (karyolysis)
(Saleh,1997).
Secara histologis nekrosis tubuler akut nefrotoksik ditandai
dengan sel-sel epitel tubulus yang semakin menipis dan datar, brush
border menghilang, lumen tubulus melebar dan terisi oleh jaringan
nekrotik (Dische, 1995). Sel epitel tubulus ginjal peka terhadap
anoksia dan mudah rusak karena keracunan saat kontak dengan zat-zat
yang diekskresi oleh ginjal. Dengan berjalannya waktu, inti pada sel
yang nekrosis akan menghilang. Sitoplasma akan menjadi masa
16
asidofil suram bergranula. Regenerasi epitel akan tampak sebagai
bentuk aktivitas mitosis pada sel epitel tubulus proksimal ginjal yang
masih ada, apabila penderita dapat bertahan selama satu minggu
(Robbins dan Kumar, 1995).
5. Mekanisme Perlindungan Ekstrak kakao Terhadap Kerusakan
Ginjal Akibat Induksi Parasetamol
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa flavonoid kakao bisa
meningkatkan sensitivitas insulin, fungsi vaskular, dan tekanan darah
yang melemahkan reaktifitas platelet. Mekanisme pengaruh flavonoid
kakao tersebut masih terus dalam penelitian. Namun ada beberapa
pendapat bahwa modulasi konsentrasi nitrit oksida oleh flavonoid
merupakan kunci utama efek-efek fisiologis tersebut, dan modulasi
tersebut mungkin mendasari manfaat terhadap kardiovaskular yang
berhubungan dengan konsumsi kakao (Uribe and Bektash, 2008).
Antioksidan berperan penting dalam mekanisme perlindungan
ginjal dari toksisitas parasetamol. Flavonoid dan substansi poliphenol
seperti catechin dan rantai oligomer C4-C8 yang merupakan
antioksidan utama pada coklat dan kakao (Osakabe et al., 2002).
Flavonoid dan procyanidin kakao mampu mendonorkan hidrogen
sehingga merupakan perangkap yang kuat untuk oksidan reaktif dan
spesies nitrogen yang mampu menangkal radikal bebas hasil dari
pembentukan NAPQI pada toksisitas parasetamol (Ide, 2008).
17
Keterangan: : memacu : menghambat
B. Kerangka Pemikiran
Ekstrak kakao
theobromin teofilin kafein
catechin
procyanidin
flavonoid
antioksidan
Parasetamol dosis toksis
Bioaktivasi sitokrom P450
Meningkatkan NAPQI
(elektrofilik)
Deplesi glutathione
Ikatan kovalen dgn makromolekul (nukelofilik)
Radikal bebas
Lipid peroxidase
Stres Oksidatif Kerusakan makromolekul
Nekrosis sel epitel tubulus proksimal
ginjal
Kerusakan ginjal
Variabel luar yang tidak terkendali: kondisi psikologis dan keadaan awal ginjal
18
C. Hipotesis
Pemberian ekstrak biji kakao dapat mengurangi kerusakan sel ginjal
mencit (Mus musculus) yang diinduksi parasetamol.
19
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik.
Peneliti mengadakan perlakuan terhadap sampel yang telah ditentukan yaitu
berupa hewan coba di laboratorium.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
C. Subyek Penelitian
Populasi : Mencit (Mus musculus) jantan dengan galur Swiss webster
berusia 2-3 bulan dengan berat badan ± 20 gram.
Sampel : Menurut Purawisastra (2001), jumlah sampel yang digunakan
berdasarkan rumus Federer yaitu :
(k-1)(n-1) > 15
(4-1)(n-1) > 15
3 ( n-1) > 15
3n > 15+3
n > 6
20
Keterangan :
k : Jumlah kelompok
n : Jumlah sampel dalam tiap kelompok
Pada penelitian ini jumlah sampel untuk tiap kelompok ditentukan sebanyak
10 ekor mencit (n > 6), dan jumlah kelompok mencit ada 4 sehingga penelitian
ini membutuhkan 40 mencit dari populasi yang ada. Sample didapatkan dari
Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT) Universitas Gajah
Mada (UGM), Yogyakarta.
D. Teknik Sampling
Teknik sampling yang dipakai adalah purposive sampling (Murti, 2006).
E. Desain Penelitian
Rancangan penelitian ini adalah The post test only control group
design (Taufiqqurohman, 2003).
KK : (-) O0
KP1: (X 1) O1
KP2: (X 2) O2
KP3 : (X 3) O3
Sampel Mencit 40 ekor
Bandingkan dengan uji
statistik
21
Keterangan :
KK : (-) = Kelompok kontrol tanpa diberi ekstrak biji kakao maupun
parasetamol. Pemberian aquades 0,2 ml/ 20grBB mencit perhari
selama 17 hari berturut-turut.
KP1: (X1) = Kelompok perlakuan I yang diberi parasetamol tanpa diberi
ekstrak biji kakao. Pemberian aquades peroral sebanyak 0,2 ml/
20grBB mencit perhari selama 17 hari berturut-turut dan pada
hari ke-15, 16 dan 17 diberi parasetamol 0,1 ml/ 20grBB mencit
perhari.
KP2: (X 2) = Kelompok perlakuan II yang diberi parasetamol dan ekstrak biji
kakao dosis I. Pemberian ekstrak biji kakao peroral dosis I 0,2
ml/ 20grBB mencit perhari selama 17 hari berturut-turut, dimana
hari ke-15, 16 dan 17 diberikan juga parasetamol dosis 0,1 ml/
20grBB mencit perhari 1 jam setelah pemberian ekstrak biji
kakao.
KP3 : (X 3) = Kelompok perlakuan III yang diberi parasetamol dan ekstrak biji
kakao dosis II. Pemberian ekstrak biji kakao dosis II yaitu 0,4 ml/
20grBB mencit perhari selama 17 hari berturut-turut, dimana hari
ke-15, 16 dan 17 diberikan juga parasetamol dosis 0,1 ml/
20grBB mencit perhari 1 jam setelah pemberian ekstrak biji
kakao.
22
O0 = Pengamatan jumlah inti sel epitel tubulus proksimal ginjal
piknosis, karyoreksis dan karyolisis dari 100 sel di pars
konvulata korteks ginjal kelompok kontrol.
O1 = Pengamatan jumlah inti sel epitel tubulus proksimal ginjal
piknosis, karyoreksis dan karyolisis dari 100 sel di pars
konvulata korteks ginjal KP1.
O2 = Pengamatan jumlah inti sel epitel tubulus proksimal ginjal
piknosis, karyoreksis dan karyolisis dari 100 sel di pars
konvulata korteks ginjal KP2.
O3 = Pengamatan jumlah inti sel epitel tubulus proksimal ginjal
piknosis, karyoreksis dan karyolisis dari 100 sel di pars
konvulata korteks ginjal KP3
Pengamatan jumlah inti sel epitel tubulus proksimal ginjal
pyknosis, karyorrhexis dan karyolysis dilakukan pada hari ke-18 setelah
perlakuan pertama dikerjakan.
F. Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas
Pemberian ekstrak biji kakao.
2. Variabel Terikat
Kerusakan sel epitel tubulus proksimal ginjal mencit.
3. Variabel luar
a. Variabel luar yang dapat dikendalikan
23
Variasi genetik, jenis kelamin, umur, suhu udara, berat badan, dan
jenis makanan mencit semuanya diseragamkan.
b. Variabel luar yang tidak dapat dikendalikan
Kondisi psikologis dan keadaan awal ginjal mencit.
G. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Variabel bebas.
a. Pemberian ekstrak biji kakao
Ekstrak biji kakao diberikan secara per oral dengan sonde lambung
dalam 2 dosis.
Dosis I: 0,2 ml/ 20grBB mencit/ hari yang diencerkan hingga 0,2 cc
diberikan pada mencit KP2.
Dosis II: 0,4 ml/ 20grBB mencit/ hari yang diencerkan hingga 0,4 cc
diberikan pada mencit KP3.
Pada kelompok perlakuan ketiga diberikan dosis sebesar dua kali lipat
dosis awal untuk melihat adanya perbedaan pengaruh ekstrak biji
kakao dalam mengurangi kerusakan ginjal akibat parasetamol pada
dosis yang lebih besar. Jenis kakao yang digunakan adalah Criolo (fine
kakao atau kakao mulia). Ekstrak biji kakao diperoleh dari Balai
Penelitian Tanaman Obat (BPTO), Karanganyar. Metode ekstraksi
yang digunakan adalah maserasi dengan menggunakan pelarut etanol.
Skala pengukuran variabel ini adalah Rasio.
24
2. Variabel terikat :
a. Kerusakan sel ginjal
Kerusakan sel ginjal adalah gambaran mikroskopis sel epitel
tubulus proksimal ginjal mencit yang mengalami kerusakan setelah
pemberian parasetamol dan pemberian kakao. Hal ini dinilai dari
jumlah sel epitel tubulus proksimal pada suatu daerah tertentu di pars
konvulata korteks ginjal. Tiap ekor mencit dibuat 2 irisan jaringan
ginjal kanan dan 2 irisan jaringan ginjal kiri kemudian dibuat
preparat dan diambil salah satu secara acak dari masing-masing
ginjal untuk dilakukan pengamatan, dengan proporsi perhitungan
ginjal kanan 50% dan ginjal kiri 50%. Pada irisan jaringan ginjal,
diambil 1 daerah di pars konvulata korteks ginjal. Dari 100 sel epitel
tubulus proksimal yang ada pada setiap daerah tersebut dihitung
jumlah sel epitel tubulus proksimal yang mengalami kerusakan. Jika
inti pyknosis, karyorrhexis dan karyolysis masing- masing diberi
skor 1.
Adapun tanda-tanda kerusakan sel : (a) Sel yang mengalami
pyknosis intinya kisut dan bertambah basofil, berwarna gelap
batasnya tidak teratur. (b) Sel yang mengalami karyorrhexis inti
mengalami fragmentasi atau hancur degan meninggalkan pecahan-
pecahan zat kromatin yang tersebar di dalam sel. (c) Sel yang
mengalami karyolisis yaitu kromatin basofil menjadi pucat, inti sel
25
kehilangan kemampuan untuk diwarnai dan menghilang begitu saja
(Price et al., 1994).
Maka rumus besarnya skor kerusakan histologis adalah:
(1 x P) + (1 x Kr) + (1 x Kl)
Keterangan :
P : Jumlah sel epitel tubulus proksimal dengan inti pyknosis.
Kr : Jumlah sel epitel tubulus proksimal dengan inti karyorrhexis.
Kl : Jumlah sel epitel tubulus proksimal dengan inti karyolysis.
Sehingga dari setiap mencit diperoleh 2 nilai skor yang merupakan
skor preparat ginjal kanan dan ginjal kiri. Setiap kelompok mencit
mempunyai 20 nilai skor (jumlah mencit tiap kelompok 10 ekor).
Skala ukuran variabel ini adalah skala rasio.
3. Variabel luar
a. Variabel luar yang dapat dikendalikan. Variabel ini dapat
dikendalikan melalui homogenisasi.
1) Variasi genetik
Jenis hewan coba yang digunakan adalah mencit (Mus
musculus) dengan galur Swiss webster.
2) Jenis kelamin
Jenis kelamin mencit yang digunakan adalah jantan.
3) Umur
Umur mencit pada penelitian ini adalah 2-3 bulan.
4) Suhu udara
26
Hewan percobaan diletakkan dalam ruangan dengan suhu udara
berkisar antara 25-28o C.
5) Berat badan.
Berat badan hewan percobaan + 20 gram.
6) Jenis makanan.
Makanan yang diberikan berupa pellet dan minuman dari air
PAM.
b. Variabel luar yang tidak dapat dikendalikan : kondisi psikologis,
dan keadaan awal ginjal mencit.
1) Kondisi psikologis mencit dipengaruhi oleh lingkungan sekitar.
Lingkungan yang terlalu ramai dan gaduh, pemberian
perlakuan yang berulang kali, dan perkelahian antar mencit
dapat mempengaruhi kondisi psikologis mencit.
2) Keadaan awal ginjal mencit tidak diperiksa pada penelitian ini
sehingga mungkin saja ada mencit yang sebelum perlakuan
keadaan ginjalnya sudah mengalami kelainan.
H. Alat dan Bahan Penelitian
1. Alat.
Alat yang digunakan adalah sebagai berikut :
a. Kandang mencit 4 buah masing-masing untuk 10 ekor mencit.
b. Timbangan hewan.
c. Timbangan obat.
27
d. Alat bedah hewan percobaan (scalpel, pinset, gunting, jarum, meja
lilin).
e. Sonde lambung.
f. Alat untuk pembuatan preparat histologi.
g. Mikroskop cahaya medan terang.
h. Gelas ukur dan pengaduk.
i. Kamera digital
2. Bahan.
Bahan yang akan digunakan adalah sebagai berikut :
a. Parasetamol.
b. Makanan hewan percobaan (pellet).
c. Aquades.
d. Bahan untuk pembuatan preparat histologi dengan pengecatan HE.
e. Ekstrak biji kakao.
I. Cara Kerja
1. Dosis dan Pengenceran Ekstrak Biji Kakao
Dosis yang diberikan ditentukan berdasar hasil konversi dari tikus ke
mencit (Ngatidjan, 1991) dengan menggunakan dosis pada penelitian
sebelumnya yaitu sebesar 400 mg/ kgBB pada tikus (McKim et al., 2002).
Dosis pemberian ekstrak biji kakao ini diberikan dalam dua dosis, yaitu
dosis I = 0,2 ml/ 20grBB mencit dan dosis II = 0,4 ml/ 20grBB mencit.
Masing-masing dosis yang disondekan tersebut adalah ekstrak biji kakao
28
yang diencerkan dengan aquades menjadi volume 0,2 ml (untuk dosis I)
dan 0,4 ml (untuk dosis II). Ekstrak biji kakao diberikan sehari sekali
selama 17 hari berturut-turut pada KP2. Sedangkan ekstrak biji kakao dosis
II diberikan sehari sekali selama 17 hari berturut-turut pada KP3.
Perhitungan dosis ekstrak biji kakao:
a. Dosis I ekstrak biji kakao
Nilai konversi x 400 mg/ kgBB
= 0,14 x 400 mg/ kgBB
= 56 mg/ kgBB
= 1,12 mg/ 20grBB
Pengenceran Ekstrak Biji Kakao :
56 mg ekstrak biji kakao + aquades à 10 ml larutan ekstrak biji kakao
Dalam 1 ml larutan mengandung 5,6 mg ekstrak biji kakao
à 0,2 ml larutan mengandung 1,12 mg ekstrak biji kakao
Ekstrak biji kakao yang disondekan adalah ekstrak biji kakao yang telah
diencerkan. Ekstrak biji kakao yang disondekan pada 1 ekor mencit
dengan berat badan 20 gram = 0,2 ml yang diberikan selama 17 hari
berturut-turut.
b. Dosis II ekstrak biji kakao
Ekstrak biji kakao dosis II adalah 2 kali ekstrak biji kakao dosis I yaitu
sebesar 2,24 mg.
Jadi larutan ekstrak biji kakao yang disondekan pada 1 ekor mencit (20
gram) = 0,4 ml yang diberikan selama 17 hari berturut-turut.
29
Pemberian ekstrak biji kakao selama 17 hari berturut-turut dimaksudkan
untuk meningkatkan kadar antioksidan sehingga kerusakan sel epitel
tubulus proksimal ginjal dapat dicegah ketika terpapar parasetamol
dosis toksik. Pemberian cokelat dengan kandungan flavonoid yang
tinggi selama dua minggu dapat meningkatkan konsentrasi epikatekin
plasma (Engler et al., 2004).
Di luar jadwal perlakuan, mencit diberi makan pellet dan minum air
PAM ad libitum.
2. Dosis dan pengenceran parasetamol
LD-50 untuk mencit secara peroral yang telah diketahui adalah 338
mg/KgBB atau 6,76 mg/20 gBB mencit (Alberta, 2006). Dosis
parasetamol yang dapat menimbulkan efek kerusakan ginjal berupa
nekrosis sel epitel tubulus proksimal ginjal tanpa menyebabkan kematian
mencit adalah dosis 3/4 LD-50 perhari. Dosis yang digunakan adalah 338
mg/ KgBB x 0,75 = 253,5 mg/ KgBB = 5,07 mg/ 20grBB mencit.
Parasetamol 500 mg dilarutkan dalam aquades hingga 9,86 ml, sehingga
dalam 0,1 ml larutan parasetamol mengandung 5,07 mg parasetamol.
Parasetamol diberikan selama 3 hari berturut-turut yaitu pada hari
ke-15, 16, dan 17. Pemberian parasetamol dengan cara ini dimaksudkan
untuk menimbulkan kerusakan pada sel epitel tubulus proksimal ginjal
tanpa menimbulkan kematian pada mencit.
30
3. Persiapan mencit
Mencit diadaptasikan selama tujuh hari di Laboratorium Histologi
Fakultas Kedokteran UNS, Surakarta. Sesudah adaptasi, keesokan harinya
dilakukan penimbangan untuk menentukan dosis dan dilakukan perlakuan.
4. Pengelompokan Subjek
Pada minggu kedua mulai dilakukan percobaan. Selanjutnya subjek
dikelompokkan menjadi empat kelompok secara random, dan masing-
masing kelompok terdiri dari 10 mencit. Adapun pengelompokan subjek
adalah sebagai berikut:
a. KK = Kelompok kontrol diberi aquadest peroral sebanyak 0,2 ml/
20grBB mencit perhari selama 17 hari berturut-turut.
b. KP1 = Kelompok perlakuan I diberi aquades peroral sebanyak 0,2
ml/ 20grBB mencit perhari selama 17 hari berturut-turut dan
pada hari ke 15, 16 dan 17 juga diberi parasetamol 0,1ml/
20grBB mencit peroral perhari.
c. KP2 = Kelompok perlakuan II diberi ekstrak biji kakao peroral
dengan dosis 0,2 ml/ 20grBB mencit perhari selama 17 hari
berturut-turut, dimana hari ke-15, 16 dan 17 diberikan juga
parasetamol dengan dosis 0,1ml/ 20grBB mencit perhari
setelah 1 jam pemberian ekstrak biji kakao.
d. KP3 = Kelompok perlakuan III diberi ekstrak biji kakao dosis II
peroral yaitu 0,2 ml/ 20grBB mencit perhari selama 17 hari
berturut-turut, dimana hari ke-15, 16 dan 17 diberikan juga
31
parasetamol dosis 0,1 ml/ 20grBB mencit perhari setelah 1
jam pemberian ekstrak biji kakao.
Setiap sebelum pemberian parasetamol dan ekstrak biji kakao, mencit
dipuasakan dahulu ± 5 jam untuk mengosongkan lambung. Pemberian
parasetamol dilakukan ± 1 jam setelah pemberian ekstrak biji kakao agar
ekstrak biji kakao terabsorbsi terlebih dahulu.
Skema Pemberian Perlakuan
J.
Sampel 40 ekor mencit
Kelompok Kontrol
Kelompok Perlakuan 1
Kelompok perlakuan 2
Dipuasakan selama + 5 jam
Aquades 0,2 ml Ekstrak biji kakao 0,2 ml/
20grBB
Setelah + 1 jam
Parasetamol dengan dosis 0,1ml/ 20grBB pada hari ke 15, 16, 17.
Perlakuan sampai hari ke-17. Pemberian parasetamol hanya dilakukan pada hari ke 15, 16 dan 17. Pembuatan preparat pada hari ke-18.
Kelompok Perlakuan 3
Ekstrak biji kakao 0,4 ml/
20grBB
32
5. Pengukuran hasil.
Pada hari ke-18 setelah perlakuan diberikan, semua hewan
percobaan dikorbankan dengan cara neck dislocation. Hal ini dilakukan
pada hari ke-18 agar efek dari perlakuan masih tampak nyata. Setiap
mencit diambil ginjal kanan dan kiri dengan proporsi perhitungan ginjal
kanan 50% dan ginjal kiri 50%, kemudian dibuat 2 irisan secara frontal
pada daerah pertengahan ginjal (untuk keseragaman) dengan ketebalan
tiap irisan ginjal + 5–7 µm. Preparat ginjal dibuat dengan metode blok
parafin dengan pengecatan Hematoksilin Eosin (HE). Masing-masing
ginjal diambil salah satu preparat secara acak dari untuk dilakukan
pengamatan.
Pengamatan preparat jaringan ginjal mula-mula dilakukan dengan
perbesaran 100 kali untuk mengamati seluruh bagian irisan, kemudian
ditentukan tubulus proksimal yang terletak pada pars konvulata korteks
ginjal. Pengamatan dilanjutkan dengan perbesaran 400 kali untuk
mengamati inti sel epitel tubulus proksimal ginjal. Pengamatan dilakukan
dengan perbesaran 1000 kali untuk melihat dan membedakan inti sel yang
pyknosis, karyorrhexis dan karyolysis dengan lebih jelas.
Pengamatan dilakukan pada tubulus proksimal ginjal karena pada
tubulus proksimal terjadi absorpsi dan sekresi aktif serta kadar sitokrom
P450 lebih tinggi untuk mendetoksifikasi atau mengaktifkan toksikan
sehingga lebih mudah untuk mengalami kerusakan.
33
Untuk mengetahui sel-sel epitel tubulus proksimal yang mengalami
kerusakan maka dari tiap irisan ditentukan 1 daerah di pars konvulata
korteks ginjal kemudian pada tiap daerah tersebut dihitung jumlah sel
epitel tubulus proksimal yang mengalami kerusakan dari tiap 100 sel epitel
tubulus proksimal yang ada di daerah tersebut. Sel dengan inti pyknosis,
karyorrhexis dan karyolysis diberi skor 1. Jadi misalnya dari suatu
preparat ginjal kanan (seekor mencit) dari 100 sel yang diamati ternyata
terdapat 10 inti pyknosis, 15 inti dengan karyorrhexis, dan 5 inti dengan
karyolisis, maka jumlah skor dari preparat untuk ginjal kanan adalah
(10x1) + (15x1) + (5x1) = 30. Pengamatan pada ginjal kiri terdapat 5 inti
pyknosis, 15 inti dengan karyorrhexis, dan 5 inti dengan karyolisis, maka
jumlah skor dari preparat ginjal kiri adalah (5x1) + (15x1) + (5x1) = 25.
Sehingga dari setiap mencit diperoleh 2 nilai skor yang merupakan
skor irisan ginjal kanan dan ginjal kiri. Setiap kelompok mencit berarti
terdapat 20 nilai skor (jumlah mencit tiap kelompok 10 ekor). Nilai skor
kerusakan histologis ini kemudian dianalisis secara statistik.
J. Teknik Analisis Data Statistik
Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan Uji Oneway
Analysis of Variant (ANOVA). Jika terdapat perbedaan yang bermakna
maka dilanjutkan dengan uji Post Hoc. Derajat kemaknaan yang
digunakan adalah α = 0,05 (Riwidikdo, 2007).
34
Syarat menggunakan uji One-Way ANOVA:
1. Variabel data berupa variabel numerik/ kontinu/ rasio. Data pada
penelitian ini adalah skor kerusakan histologis sel ginjal mencit yang
dinyatakan dengan angka rasio.
2. Sebaran data harus normal, dibuktikan dengan nilai uji Kolmogorov-
Smirnov atau Saphiro-Wilk yang memiliki nilai p lebih besar daripada
nilai alfa. Misal, alfa = 0,05 maka nilai p untuk uji sebaran data
harus > 0,05.
3. Varians data harus sama. Hal ini dapat diketahui dengan menggunakan uji
Homogeneity of Variances, dimana untuk varians data yang sama akan
memiliki nilai p > nilai alfa.
Jika ketiga syarat di atas tidak terpenuhi maka dapat digunakan uji
hipotesis alternatif yaitu berupa uji hipotesis non-parametrik Kruskall-Wallis.
35
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Data Hasil Penelitian
Data hasil penelitian yaitu hasil rerata skor jumlah kerusakan
histologis sel epitel tubulus proksimal ginjal yang diinduksi parasetamol pada
masing-masing kelompok disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Rerata Skor Kerusakan Histologis Sel Epitel Tubulus Proksimal Ginjal pada Masing-masing Kelompok Mencit
Kelompok Rata-rata Skor ± Standar Deviasi
K
P1
P2
P3
32,700
53,100
38,900
37,400
3,622
3,784
2,644
2,716
Sumber: Data Primer, 2010
Keterangan:
K : Kelompok kontrol
P1 : Kelompok perlakuan 1
P2 : Kelompok perlakuan 2
P3 : Kelompok perlakuan 3
36
Skor kerusakan yang paling tinggi adalah pada kelompok P1 yaitu
53,1000 ± 3,78447 dan skor kerusakan paling rendah adalah pada kelompok K
yaitu 32,700 ± 3,62246.
Gambaran histologis (fotomikrograf) tubulus proksimal pars konvulata
korteks ginjal mencit kelompok K yang ditandai dengan pyknosis,
karyorrhexis dan karyolysis dapat dilihat pada lampiran 3, gambar 1.
Gambaran histologis (fotomikrograf) tubulus proksimal pars konvulata
korteks ginjal mencit kelompok P1 yang ditandai dengan pyknosis,
karyorrhexis dan karyolysis dapat dilihat pada lampiran 3, gambar 2.
Gambaran histologis (fotomikrograf) tubulus proksimal pars konvulata
korteks ginjal mencit kelompok P2 yang ditandai dengan pyknosis,
karyorrhexis dan karyolysis dapat dilihat pada lampiran 3, gambar 3.
Gambaran histologis (fotomikrograf) tubulus proksimal pars konvulata
korteks ginjal mencit kelompok P3 yang ditandai dengan pyknosis,
karyorrhexis dan karyolysis dapat dilihat pada lampiran 3, gambar 4.
B. Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian, pertama kali diuji apakah ada
perbedaan skor rerata kerusakan sel epitel tubulus proksimal ginjal mencit
yang bermakna antara keempat kelompok dengan uji One-Way ANOVA.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan program komputer Statistical
Product and Service Solution (SPSS) 17.0 for Windows.
37
Metode analitik yang dapat digunakan untuk menentukan sebaran data
normal atau tidak normal adalah uji Kolmogorov-Smirnov
(sampel > 30) atau uji Saphiro-Wilk (sampel < 30). Penelitian ini
menggunakan 40 sampel, maka digunakan uji Kolmogorov-Smirnov untuk
menentukan apakah sebaran data normal atau tidak. Hasil uji Kolmogorov-
Smirnov dapat dilihat pada lampiran 2, tabel 4.
Nilai p dari hasil uji Kolmogorov-Smirnov berturut-turut untuk
kelompok kontrol, perlakuan 1, perlakuan 2, dan perlakuan 3 adalah 0,200;
0,200; 0,200 dan 0,200 di mana keempat nilai di atas lebih besar dari alfa
(0,05) sehingga dapat dinyatakan bahwa (1) sebaran data kelompok kontrol
normal, (2) sebaran data kelompok perlakuan 1 normal, (3) sebaran data
kelompok perlakuan 2 normal, dan (4) sebaran data kelompok perlakuan 3
normal.Sehingga syarat kedua untuk menggunakan uji One-Way ANOVA
terpenuhi.
Syarat ketiga untuk menggunakan uji One-Way ANOVA adalah
varians data harus sama. Hal ini dapat diketahui dengan menggunakan uji
Homogeneity of Variances, dimana untuk varians data yang sama akan
memiliki nilai p > nilai alfa. Sebaran data secara deskriptif dapat dilihat pada
lampiran, dan hasil uji Homogeneity of Variances dapat dilihat pada lampiran
2, tabel 6. Nilai p yang didapatkan dari uji Homogeneity of Variances adalah
0,353 di mana nilai ini lebih besar dari 0,05 dan dapat diartikan bahwa varians
data antar kelompok sama. Syarat ketiga untuk menggunakan uji One-Way
ANOVA terpenuhi sehingga uji One-Way ANOVA bisa dilakukan.
38
Hasil uji One-Way ANOVA dapat dilihat pada lampiran 2, tabel 7. Nilai
p dari hasil uji One-Way ANOVA adalah 0,000 (p<0,05), jadi terdapat
perbedaan skor rata-rata kerusakan histologis sel epitel tubulus proksimal
ginjal yang bermakna antara kelompok kontrol, kelompok perlakuan 1,
kelompok perlakuan 2 dan kelompok perlakuan 3.
Karena didapatkan adanya perbedaan yang signifikan dari empat
kelompok tersebut maka uji statistik dilanjutkan dengan Uji Post Hoc untuk
mengetahui antar kelompok mana perbedaan rata-rata skor jumlah kerusakan
histologis sel epitel tubulus proksimal ginjal dan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Uji LSD. Hasil uji Post Hoc Multiple Comparisons
(LSD) dapat dilihat lampiran 2, tabel 8.
Ringkasannya adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Ringkasan hasil uji LSD (α = 0,05)
Kelompok p Perbedaan
K – P1
K – P2
K – P3
P1 – P2
P1 – P3
P2 – P3
0,000
0,000
0,003
0,000
0,000
0,306
Bermakna
Bermakna
Bermakna
Bermakna
Bermakna
Tidak bermakna
39
Dari hasil perhitungan dengan menggunakan uji statistik LSD tampak
adanya perbedaan yang signifikan pada semua pasangan antar kelompok
kecuali pada kelompok P2 – P3, terdapat pebedaan yang tidak signifikan.
40
BAB V
PEMBAHASAN
Gambaran sel epitel tubulus proksimal ginjal secara normal berbentuk
kuboid selapis dengan batas sel yang tidak jelas, sitoplasma eosinofilik
bergranula dan inti sel besar, bulat, berbentuk sferis di tengah sel. Puncak-
puncak sel yang menghadap ke lumen tubulus mempunyai mikrovili cukup
panjang yang disebut brush border (Gartner dan Hiatt, 2007).
Sel epitel tubulus proksimal ginjal mencit yang dipapar parasetamol
akan mengalami kerusakan yang digambarkan dengan terdapatnya inti sel
yang piknotik, karioreksis dan kariolisis. Sedangkan pemberian parasetamol
ditambah ekstrak biji kakao, derajat kerusakan sel epitel proksimal ginjal yang
didapatkan akan lebih sedikit dibandingkan dengan pemberian parasetamol
tanpa ekstrak biji kakao karena ekstrak biji kakao memiliki efek protektif pada
ginjal terhadap efek toksik yang disebabkan parasetamol. Hal tersebut sesuai
dengan penelitian sebelumnya bahwa kakao memiliki efek protektif terhadap
induksi alkhohol pada tikus (McKim et al., 2002). Kelompok kontrol
digunakan sebagai pembanding terhadap kelompok perlakuan dengan
parasetamol dan kelompok perlakuan dengan parasetamol dan ekstrak biji
kakao. Kelompok kontrol hanya diberikan aquades sebagai placebo, dengan
harapan kerusakan sel epitel proksimal ginjal yang terjadi minimal dan
dianggap sebagai derajat normal.
41
Dari uji One-Way ANOVA didapatkan perbedaan yang bermakna
antara keempat kelompok perlakuan. Hasil uji LSD menunjukkan perbedaan
bermakna pada kelompok K-P1, K-P2, K-P3, P1-P2, P1-P3, tetapi pada
kelompok P2-P3 menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna.
Hasil uji LSD menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna dari
skor rata-rata kerusakan sel epitel tubulus proksimal ginjal antara kelompok K
dan kelompok P1. Hal ini terjadi karena pemberian parasetamol dosis toksik
pada kelompok P1 menyebabkan kerusakan sel epitel tubulus proksimal
ginjal. Hasil tersebut sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa parasetamol
dosis toksik mampu menginduksi kerusakan sel epitel tubulus proksimal ginjal
akibat NAPQI yang reaktif dan toksik. NAPQI akan bereaksi dengan gugus
nukleofilik pada protein, DNA, dan mitokondria, serta menimbulkan stres
oksidatif sehingga dapat menyebabkan kematian sel (Rubin et al., 2005).
Pada kelompok kontrol didapatkan pula gambaran sel epitel tubulus
proksimal ginjal yang mengalami piknosis, karyoreksis dan karyolisis. Hal ini
kemungkinan dikarenakan proses penuaan dan kematian sel secara fisiologis
serta karena pengaruh variabel luar yang tidak dapat dikendalikan.
Hasil analisis skor kerusakan sel antara kelompok P1-P2 didapatkan
perbedaan yang bermakna. Hal ini berarti pemberian ekstrak biji kakao dengan
dosis I yaitu 0,2 ml/ 20grBB mencit selama 14 hari berturut-turut dapat
mengurangi jumlah sel epitel tubulus proksimal ginjal yang mengalami
kerusakan akibat pemberian parasetamol. Toksisitas ginjal akibat pemberian
parasetamol dapat dikurangi dengan pemberian antioksidan. Kakao
42
mengandung antioksidan dalam bentuk flavonoid. Flavonoid menangkap
radikal bebas (free radical scavengers) dengan melepaskan atom hidrogen dari
gugus hidroksilnya dan memutus reaksi berantai dari radikal bebas sehingga
dapat mencegah terjadinya stres oksidatif (Almatsier, 2004). Melalui
mekanisme antioksidan ini ekstrak biji kakao dapat mencegah kerusakan
histologis sel epitel tubulus proksimal ginjal.
Kelompok P2 merupakan kelompok perlakuan setelah pemberian
ekstrak biji kakao dosis 0,2 ml/ 20grBB mencit dan parasetamol. Hasil analisis
kerusakan sel epitel tubulus proksimal ginjal pada kelompok P2 menunjukkan
perbedaan bermakna dengan kelompok K dan kelompok P1. Hal ini berarti
pemberian ekstrak biji kakao dengan dosis 0,2 ml/ 20grBB mencit dapat
mengurangi kerusakan sel epitel tubulus proksimal ginjal mencit akibat
pemberian parasetamol, tetapi tidak dapat mengembalikan sel epitel tubulus
proksimal ginjal pada kondisi seperti kelompok K.
Hasil kelompok P3 menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan
kelompok P1 dan kelompok K. Hal ini berarti pemberian ekstrak biji kakao
dengan dosis 0,4 ml/ 20grBB mencit sebelum pemberian parasetamol mampu
mengurangi jumlah kerusakan sel epitel tubulus proksimal ginjal yang
diinduksi parasetamol, tetapi belum dapat mengembalikan sel epitel tubulus
proksimal ginjal ke kondisi seperti kelompok K. Hal ini dapat disebabkan
dosis II ekstrak biji kakao yang diberikan yaitu 0,4 ml/ 20gr BB mencit masih
kurang optimal untuk melindungi sel ginjal dari kerusakan yang ditimbulkan
oleh parasetamol.
43
Derajat kerusakan sel epitel tubulus proksimal ginjal kelompok P2
lebih besar dari pada kelompok P3, namun hasil uji LSD menunjukkan
perbedaan yang tidak bermakna. Hal ini berarti peningkatan dosis ekstrak biji
kakao dapat meningkatkan efek proteksi terhadap kerusakan sel epitel tubulus
proksimal ginjal yang ditimbulkan oleh parasetamol, tetapi peningkatannya
tidak signifikan. Pengaruh ekstrak biji kakao terhadap kerusakan sel epitel
tubulus proksimal ginjal yang diinduksi parasetamol dapat dianalogikan
sebagai kurva hubungan antara dosis dan efek obat yang berbentuk sigmoid
dengan suatu bagian tengah yang lurus atau linier. Dengan bertambahnya
dosis obat, peningkatan respon berkurang, dan akhirnya dosis maksimal
tercapai di mana responnya tidak bisa ditingkatkan lagi. Apabila dosis ekstrak
biji kakao digambarkan dalam kurva hubungan antara dosis dan efek obat,
maka efek dosis I dan dosis II berada pada bagian kurva yang hampir lurus
atau linier sehingga peningkatan efeknya tidak terlalu signifikan (Bourne dan
Roberts , 1998).
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terbukti
adanya efek proteksi ekstrak biji kakao terhadap sel epitel tubulus proksimal
ginjal berupa pengurangan jumlah kerusakan sel epitel tubulus proksimal
ginjal mencit yang diinduksi parasetamol pada dosis I, yaitu 0,2 ml/ 20grBB,
meskipun belum optimal karena hasilnya belum sebanding dengan kelompok
kontrol. Sedangkan pada dosis yang lebih besar, dosis II, yaitu 0,4 ml/ 20grBB
terbukti adanya peningkatan efek proteksi ekstrak biji kakao terhadap sel
44
ginjal, meskipun perbedaannya tidak signifikan dibandingkan dengan dosis I
dan hasilnya cukup optimal karena hasilnya mendekati kelompok kontrol.
45
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Pemberian ekstrak biji kakao dapat mengurangi kerusakan sel ginjal
mencit (Mus musculus) yang diinduksi parasetamol.
B. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui zat aktif dalam
ekstrak biji kakao yang paling berperan sebagai renoprotektor.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan metode lain misalnya,
biomolekuler dengan marker Malondialdehid (MDA) atau glutathione.
top related