bab 3.docx
TRANSCRIPT
PENENTUAN LAMA FERMENTASI DAN DOSIS RAGI KOPI LUWAK
TINAMBAH EKSTRAK KULIT BUAH KOPI PADA PENGOLAHAN
KOPI ROBUSTA (Coffea Robusta): KAJIAN KARAKTERISTIK FISIK
KOPI LUWAK INVITRO
PROPOSAL PENELITIAN
Oleh
Fitri Noer Megawati
NIM 121710101040
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kopi Luwak merupakan hasil produksi dari biji kopi yang telah dimakan
dan melewati saluran pencernaan luwak (Bannon, dkk., 2002). Kopi luwak
dihasilkan dari fermentasi kopi dalam perut luwak dengan bantuan enzim yang
kemudian dikeluarkan bersama feses binatang luwak. Rasa yang dihasilkan lebih
kuat dengan citarasa yang lebih sempurna. Diperkirakan produksi tahunannya
hanya sekitar 226,8 kg dan karena kelangkaannya inilah harga kopi luwak
melambung tinggi mencapai 12 juta rupiah per kg (Anonim, 2009). Dengan
semakin meningkatnya permintaan dan terbatasnya pasokan kopi luwak, maka
produksi kopi luwak tidak dapat hanya mengandalkan hasil dari luwak yang
semakin langka (Ktn, 2012).
Untuk meningkatkan produksi biji kopi robusta mirip kopi luwak telah
dilakukan dengan berbagai cara, seperti melalui penangkaran binatang luwak di
PTPN XII. Sugeng Budhirahardjo, menjelaskan bahwa untuk memproduksi kopi
luwak PTPN XII sudah menyiapkan 200 ekor luwak. Pengembangan produksi
tersebut telah dilakukan beberapa tahun terakhir dengan menangkarkan luwak
dalam area perkebunan dan memberikan makan kopi basah yang telah masak
kepada luwak rata-rata 1,5 kg per malam (Tia, 2012). Selain itu juga dengan
mengolah kopi menggunakan bakteri probiotik yang diisolasi dari dalam usus
binatang luwak yang ditemukan Suprio Guntoro dari Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Bali (Suryandari, 2010), dan penggunaan ragi berbasis isolat bakteri
dominan dari feses segar binatang luwak (Giyarto, et.al., 2010).
Menurut Wijanarko (2011), penggunaan dosis ragi 108 sel/gram kopi biji
robusta tanpa kulit dalam fermentasi semi basah selama 24 jam menyebabkan
kenaikan suhu, total asam titrasi dan jumlah mikroba, serta menurunkan nilai pH
dan kadar gula reduksi pulp biji kopi selama fermentasi. Sedangkan uji citarasa
(cup test) menunjukkan skor citarasa sebesar 7,5 (good, chocolaty) yang
mendekati cita rasa kopi luwak (7,75).
Biji kopi yang difermentasi dengan menggunkan mikroflora dari feses
luwak akan mengalami perubahan fisik yang menyamai sifat fisik kopi luwak
robusta dengan fermentasi selama 16 jam dan 24 jam (Nanda, D.M.P., 2013).
Sedangkan sifat organoleptiknya didapatkan nilai cup test dengan tingkat
kemiripan 60% dengan kopi luwak asli pada perlakuan 0 jam, 16 jam, dan 24 jam.
Sedangkan skor citarasa kopi robusta yang hampir menyamai nilai kopi luwak
(8,25) adalah kopi yang difermentasi selama 16 jam (79,88) (Mey, L.S., 2014).
Ragi kopi yang digunakan dalam proses fermentasi kopi luwak invitro ini
dibuat dengan menginokulasi satu ose feses luwak yang telah memakan buah kopi
pada media MRS broth. MRS broth merupakan media umum yang digunakan
sebagai media pertumbuhan bakteri asam laktat (BAL) feses luwak. Media ini
memiliki harga yang mahal dan jumlahnya terbatas. Selain itu, menurut Surono
(2004), MRS broth bersifat non-food grade sehingga tidak bisa digunakan dalam
industri makanan.
Salah satu alternatif yang digunakan untuk mengurangi penggunaan MRS
broth yaitu dengan menambahkan ekstrak kulit buah kopi yang telah diperkaya
dengan nutrisi (gula dan nitrogen) pada media MRS broth. Gula memiliki harga
yang cukup murah jika dibandingkan dengan MRS broth, sehingga panggunaan
gula pasir ini dimungkinkan dapat memberikan cukup nutrisi yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan Bakteri Asam Laktat (BAL) pada feses luwak.
Oleh karena itu dilakukan penelitian uji karakteristik fisik kopi luwak
invitro dengan penambahan ekstrak kulit buah kopi pada bebagai waktu
fermentasi dan dosis ragi kopi yang ditambahkan. Serta dilakukan penentuan
dosis ragi dan lama fermentasi yang tepat agar diperoleh kopi robusta yang mirip
dengan kopi luwak.
1.2 Rumusan Masalah
Selama ini kopi luwak dihasilkan secara langsung dari hasil fermentasi di
dalam tubuh luwak dan juga ada yang menggunakan penambahan ragi kopi dari
starter feses luwak. Kopi yang dihasilkan dari proses fermentasi penambahan ragi
tersebut sebenarnya sudah hampir menyamai kopi luwak aslinya. Namun karena
mahalnya media pertumbuhan untuk isolat mikroba dari feses luwak maka
pembuatan ragi ini dapat dimodifikasi dengan adanya penambahan ekstrak kulit
buah kopi. Dari ragi yang termodifikasi ini belum diketahui karakteristik fisik
kopi luwak yang akan dihasilkan nantinya seperti apa serta berapa lama
fermentasi dan dosis raginya agar diperoleh kopi robusta yang mirip dengan kopi
luwak aslinya.
1.3 Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui pengaruh lama fermentasi dan dosis ragi kopi yang
ditambah ekstrak kulit buah kopi terhadap karakteristik fisik kopi luwak
invitro.
b. Untuk mengetahui lama fermentasi yang optimal agar diperoleh kopi robusta
yang mirip dengan kopi luwak.
c. Untuk mengetahui penentuan dosis ragi yang yang optimal agar diperoleh kopi
robusta yang mirip dengan kopi luwak.
1.4 Manfaat Penelitian
a. Dapat mengetahui sifat fisik kopi robusta yang difermentasikan dengan
mikroba dari feses luwak dan ditambah ekstrak kulit buah kopi
b. Dapat mengetahui penentuan dosis ragi dan lama fermentasi yang tepat agar
diperoleh biji kopi robusta yang mirip dengan kopi luwak.
c. Dapat mengetahui bahan alternatif yang dapat digunakan sebagai substitusi
dari penggunaan MRS broth.
d. Dapat meningkatkan nilai jual yang tinggi dari kopi Robusta (Coffea Robusta).
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jenis - Jenis Kopi
Menurut Aak (1980), terdapat empat jenis kopi yang telah umum
dibudidayakan, yakni:
1. Kopi Arabika
Kopi arabika merupakan kopi yang paling banyak di kembangkan di dunia
maupun di Indonesia. Kopi ini ditanam pada dataran tinggi yang memiliki iklim
kering sekitar 1350-1850 m dari permukaan laut. Sedangkan di Indonesia sendiri
kopi ini dapat tumbuh dan berproduksi pada ketinggian 1000 – 1750 m dari
permukaan laut. Jenis kopi ini cenderung tidak tahan terhadap penyakit Hemilia
Vastatrix. Namun kopi ini memiliki tingkat aroma dan rasa yang kuat.
2. Kopi Liberika
Jenis kopi ini berasal dari dataran rendah Monrovia di daerah Liberika.
Pohon kopi liberika tumbuh dengan subur di daerah yang memilki tingkat
kelembapan yang tinggi dan panas. Kopi liberika penyebarannya sangat cepat.
Kopi ini memiliki kualitas yang lebih buruk dari kopi Arabika baik dari segi buah
dan tingkat rendemennya yang rendah.
3. Kopi Canephora (Robusta)
Kopi Canephora juga disebut kopi Robusta. Nama Robusta dipergunakan
untuk tujuan perdagangan, sedangkan Canephora adalah nama botanis. Jenis kopi
ini berasal dari Afrika, dari pantai barat sampai Uganda. Kopi robusta memiliki
kelebihan dari segi produksi yang lebih tinggi di bandingkan jenis kopi Arabika
dan Liberika.
4. Kopi Hibrida
Kopi hibrida merupakan turunan pertama hasil perkawinan antara dua
spesies atau varietas sehingga mewarisi sifat unggul dari kedua induknya. Namun,
keturunan dari golongan hibrida ini sudah tidak mempunyai sifat yang sama
dengan induk hibridanya. Oleh karena itu, pembiakannya hanya dengan cara
vegetatif seperti stek atau sambungan.
2.2 Kopi Luwak
Kopi luwak adalah jenis kopi dari buah kopi yang telah dimakan
dan melewati saluran pencernaan luwak. Kemasyhuran kopi ini telah terkenal
sampai keluar negeri. Bahkan di Amerika Serikat, terdapat kafe atau kedai yang
menjual kopi luwak (Civet Coffee) dengan harga yang cukup mahal. Binatang
luwak senang sekali mencari buah-buahan yang cukup baik termasuk buah kopi
sebagai makanannya (Anonim, 2011).
Kopi Luwak mengalami tahap-tahap pengolahan sebagai berikut:
a. Buah kopi matang di pohon dimakan oleh binatang luwak.
b. Binatang luwak hanya akan mencerna daging buah kopi, sedangkan biji kopi
tetap utuh dan akan keluar bersama feses luwak ± 12 jam kemudian.
c. Biji kopi yang tercampur feses dibersihkan lalu dijemur hingga benar-benar
kering.
d. Mengupas kulit tanduk biji kopi yang sudah kering.
e. Biji Kopi Luwak siap dikemas dan disajkan baik dengan cara disangrai dengan
oven maupun tradisional
Kurniawan, A., (2011), mengatakan bahwa dalam pengolahan Kopi
Luwak perlu diperhatikan bahwa biji benar-benar dibersihkan, dijemur hingga
kering, dikupas ulit tanduknya dan terakhir disangrai. Kopi luwak yang disangrai
secara tradisional biasanya menggunakan panci besi atau kuali tanah diatas kayu
bakar atau arang. Selain disangrai secara tradisional, biji Kopi Luwak juga dapat
disangrai diatas oven. Lama penyangraian akan menentukan warna Kopi Luwak
hitam, coklat kehitaman dan kecoklatan.
2.3 Syarat Umum Kopi
Syarat mutu kopi dibagi menjadi dua yaitu syarat umum dan syarat
khusus. Syarat umum adalah persyaratan bagi setiap biji kopi yang dinilai dari
tingkat mutunya. Biji kopi yang tidak memenuhi syarat umum tidak dapat dinilai
tingkat mutu kopinya. Sementara syarat khusus digunakan untuk menilai biji kopi
berdasarkan tingkat mutunya. Karakteristik dan syarat umum biji kopi dapat
dilihat pada tabel 1 dan 2 berikut.
Kopi robusta memiliki tekstur lebih kasar dari kopi arabika. Jenis lainnya
dari kopi robusta seperti Qillou, Uganda dan Chanepora. Dalam pertumbuhannya
kopi robusta hampir sama dengan kopi arabika yakni tergantung pada kondisi
tanah, cuaca, dan proses pengolahan (Anonim, 2012).
Biji kopi memiliki kandungan yang berbeda baik dari jenis dan proses
pengolahan kopi. Perubahan ini disebabkan karena adanya oksidasi pada saat
proses penyangraian. Komposisi biji kopi arabik dan robusta sebelum dan sesudah
disangrai (% bobot kering) dapat dilihat pada Tabel 3 berikut:
2.4 Proses Pengolahan Kopi
Tahap proses pengolahan kopi bertujuan memisahkan biji kopi dari
kulitnya dan dilakukan proses pengeringan hungga kadar air 10-13%. Biji kopi
kering dengan kadar air lebih 13% akan mudah diserang kapang sehingga dapat
menurunkan mutu biji kopi (Setyohadi, 2007). Pada prinsipnya pengolahan buah
kopi terdiri dari dua cara yaitu; pengolahan basah (WIB) dan pengolahan kering
(OIB). Perbedaan kedua cara tersebut adalah pada pengolahan basah
menggunakan air untuk pengupasan maupun pencucian buah kopi. Sedangkan
pada pengolahan kering, buah kopi langsung dikeringkan setelah dipanen
(pengupasan daging buah, kulit tanduk dan kulit ari dilakukan setelah kering)
(Najiyati et al., 2004). Pengolahan secara basah biasanya memerlukan modal yang
lebih besar, tetapi lebih cepat dan menghasilkan mutu yang lebih baik (Najiyati
dan Danarti, 1997).
1. Pengolahan basah
Pada prinsipnya prose pengolahan kopi secara basah menggunakan. Mutu
kopi yang dihasilkan pada cara ini umumnya baik dan prosesnya cepat. Cara
pengolahan kopi basah dapat dilakukan dengan cara tradisional dan modern
(Setyohadi, 2007). Pengolahan basah dimulai dengan proses pemanenan yang
baik, dimana pada pengolahan ini dipastikan biji kopi yang digunakan adalah biji
kopi yang telah benar-benar matang, kemudian dibersihkan dan dibuang
daging buah serta kulitnya lalu difermentasi. Proses fermentasi dilakukan dengan
cara merendam biji kopi dengan menggunakan air selama kurang lebih 72
jam (Clarke dan Macrae, 1985).
Biji-biji kopi Arabika dan Robusta dapat diolah secara basah dan
menghasilkan rasa khas kopi. Biji kopi hasil pengolahan basah setelah disangrai
memiliki kenampakan lebih menarik dan dengan warna agak putih pada alur di
tengah keping bijinya (Siswoputranto, 1992).
2. Pengolahan Kering
Pengolahan cara kering biasa digunakan untuk kopi jenis robusta, karena
tanpa fermentasi sudah dapat diperoleh mutu yang baik. Untuk kopi jenis arabika
sebaiknya dilakukan cara basah. Di perkebunan besar pengolahan secara kering
hanya digunakan untuk mengolah kopi yang berwarna hijau, kopi rambang dan
kopi yang diserang bubuk (Setyohadi, 2007).
Salah satu masalah yang sering dihadapi pada pengolahan kopi
secara kering adalah kadar air dari kopi yang dihasilkan. Lamanya proses
pengeringan tergantung pada cuaca, ukuran buah kopi, tingkat kematangan dan
kadar air dalam buah kopi. Biasanya proses pengeringan memakan waktu sekitar
3-4 minggu. Setelah proses pengeringan, kadar air akan menjadi sekitar 12%
(Sivetz dan Foote, 1963).
2.5 Jenis dan Karakteristik Mikroba dalam Fermentasi
Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam keadaan
anaerobik (tanpa oksigen). Secara umum, fermentasi adalah salah satu bentuk
respirasi anaerobik, akan tetapi terdapat definisi yang lebih jelas yang
mendefinisikan fermentasi sebagai respirasi dalam lingkungan anaerobik dengan
tanpa akseptor elektron eksternal (Ivan, L., 2010). Beberapa faktor seperti
medium, garam, keasaman, kultur, dan waktu berperan penting dalam fermentasi.
Proses fermentasi bersifat sederhana namun harus teliti sehingga flavor, tekstur,
aroma aneka karakteristik lain yang diharapkan dapat muncul (Hidayat, et al.,
2006).
Gula adalah bahan yang umum dalam fermentasi. Reaksi dalam fermentasi
berbeda-beda tergantung pada jenis gula yang digunakan dan produk yang
dihasilkan. Secara singkat, glukosa (C6H12O6) yang merupakan gula paling
sederhana, melalui fermentasi akan menghasilkan etanol (2C2H5OH) (Ivan, L.,
2010). Ragi atau dikenal juga dengan sebutan yeast merupakan semacam tumbuh-
tumbuhan bersel satu yang tergolong dalam keluarga cendawan. Ragi akan
bekerja bila ditambahkan dengan gula dan kondisi suhu yang hangat. Kandungan
karbondioksida yang dihasilkan akan membuat suatu adonan menjadi
mengembang dan terbentuk pori – pori (Arief, R., 2007).
Menurut Arief, R., (2007), dipasaran ada dua jenis ragi yang umum
dijumpai yaitu ragi padat dan ragi kering. Jenis ragi kering ini ada yang berbentuk
butiran kecil-kecil dan ada juga yang berupa bubuk halus. Jenis ragi yang
butirannya halus dan berwarna kecokelatan ini umumnya digunakan dalam
pembuatan roti. Sedangkan ragi padat yang bentuknya bulat pipih, sering
digunakan dalam pembuatan tapai sehingga banyak orang menyebutnya dengan
ragi tapai. Ragi ini dibuat dari tepung beras, bawang putih dan kayu manis yang
diaduk hingga halus, lalu disimpan dalam tempat yang gelap selama beberapa hari
hingga terjadi proses fermentasi. Setelah tumbuh jamur yang berwarna putih susu,
kemudian ragi ini dijemur kembali hingga benar-benar kering.
Ragi padat memiliki aroma yang sangat tajam dengan aroma khas alkohol.
Ragi tapai banyak dijumpai dipasar tradisional bagian rempah atau bumbu dapur.
Lain halnya dengan ragi kering, ragi ini jauh lebih praktis dalam penggunaannya
dan aroma yang dihasilkannya pun tidak terlalu mencolok karena ragi ini khusus
untuk pembuatan roti. Ragi roti bisa diperoleh dipasar tradisional, swalayan,
ataupun toko bahan kue (Arief, R., 2007).
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Bahan dan Alat Penelitian
3.1.1 Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji kopi robusta yang
berasal dari Perkebunan Sidomulyo, Desa Sidomulyo, Kecamatan Garahan,
Kabupaten Jember. Selain itu juga menggunakan media MRS Broth, kulit buah
kopi, gula, aquades, feses luwak, tepung beras, label dan kantong plastik.
3.1.2 Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah petridish, gelas ukur,
tabung reaksi, erlenmeyer, kertas saring, pipet volume, ball pipet, termometer,
neraca analitik, autoklaf, colour reader, kompor, coffe roaster, dan tampah.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Rekayasa Proses Hasil Pertanian,
Laboratorium Mikrobiologi Pangan dan Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember dan Laboratorium
Perkebunan Sidomulyo, Desa Sidomulyo, Kecamatan Silo, Kabupaten Jember.
Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Juni 2015 sampai selesai.
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini diawali dengan pembuatan media khusus pertumbuhan
bakteri asam laktat dari feses luwak. Kulit buah kopi segar dihancurkan kemudian
diekstrak dengan aquades. Ekstrak yang diperoleh kemudian diperkaya dengan
nutrisi (variasi kandungan gula dan kandungan Nitrogen) dan selanjutnya dibagi
menjadi 2 bagian, bagian pertama (90%) dan bagian kedua (10%). Kemudian
bagian pertama dan kedua disterilisasi pada suhu 121,1 oC selama 15-30 menit.
Sementara itu juga dipersiapkan media starter awal steril dengan menggunakan
media MRS broth sebanyak 10% dari bagian kedua ekstrak kulit buah kopi.
Kemudian media starter awal tersebut diinokulasi dengan satu feses luwak yang
telah memakan buah kopi dan diinkubasi selama 24-48 jam. Berikut ini diagram
alir pembuatan media pertumbuhan bakteri asam laktat dari feses luwak dapat
dilihat pada Gambar 3.1
Gambar 3.1 Diagram Alir Pembuatan Media Pertumbuhan Bakteri Asam
Laktat Dari Feses Luwak (Ekstrak Kulit Buah Kopi+MRS Broth)
Selanjutntya media tersebut diatas dipindahkan ke media ekstrak pertama
(10% ekstrak) dan diinkubasi selama 24-48 jam. Kemudian dipindahkan lagi
secara aseptik ke media ekstrak kedua (90% ekstrak). Lalu ditambah bahan
pengisi tepung beras yang sebelumnya disterilkan dalam keadaan kering sebanyak
Kulit buah kopi
Dihancurkan
Penambahan aquades
Diekstrak
Ekstrak kulit buah kopi
Ekstrak 10% Ekstrak 90%
Disterilisasi pada suhu 121,1 oC selama 15-30 menit
MRS broth (10% dari ekstrak 10%)
Penambahan satu ose feses luwak
Diinkubasi selama 24-48 jam
2 x volume media ekstrak kulit buah kopi. Kemudian dilakukan pencampuran
secara homogen dan aseptik. Selanjutnya dibuat bulatan kecil (diameter 2 cm dan
tebal 0,5-0,8 cm) secara aseptik. Kemudian disusun dalam talam alumunium yang
steril untuk dikeringkan dengan alat pengering yang sanitasi dan higinitasnya
memadai dan sudah dipersiapkan terlebih dahulu. Berikut ini diagram alir
pembuatan ragi kopi luwak dapat dilihat pada Gambar 3.2
Gambar 3.2 Diagram Alir Ragi Kopi Luwak
Pada tahap terakhir dilakukan pembuatan kopi luwak invitro dengan
langkah pertama buah kopi robusta ditambah ragi kopi luwak dengan dosis 1 g/kg
kopi, 2 g/kg kopi, dan 3 g/kg kopi. Lalu difermentasi sebanyak 3 kali ulangan
selama 24 jam. Kopi robusta yang telah difermentasi kemudian diambil masing-
masing sampel kopi dengan waktu pengambilan 0 jam, 8 jam, 16 jam dan 24 jam.
Setelah itu masing-masing sampel dikeringkan dengan sinar matahari hingga
kadar air 10 – 12%. Setelah itu dilakukan hulling pada kopi robusta yang telah
kering. Kemudian dianalisa karakteristik sifat fisik kopi robusta kering. Control
Dipindah kedalam ekstrak 10%
Diinkubasi selama 24-48 jam
Dipindah kedalam ekstrak 90%
Media pertumbuhan
Penambahan bahan pengisi tepung beras 2 x volume media ekstrak kulit buah kopi
Pencampuran secara homogen dan aseptik
Dibuat bulatan kecil diameter 2 cm dan tebal 0,5-0,8 cm) secara aseptik
Dikeringkan dalam talam alumunium
penelitian ini menggunakan kopi luwak asli. Diagram alir pengolahan kopi
robusta menjadi biji kopi kering dengan proses fermentasi semi basah dan
penambahan ragi kopi luwak dapat dilihat pada Gambar 3.3
Gambar 3.3 Diagram Alir Pengolahan Kopi Biji Robusta Hasil Olahan
Semi Basah Menggunakan Ragi Kopi Luwak
3.3.2 Parameter Pengamatan
Dalam penelitian ini dilakukan beberapa parameter pengamatan sebagai
berikut:
1. Berat/massa per biji kopi kering sebelum dan sesudah sangrai
2. Massa jenis biji kopi kering sebelum dan sesudah sangria (Black, 1965)
3. Total padatan terlarut biji kopi kering sebelum dan sesudah sangria (Pomeranz
et al., 1980)
4. Warna biji kopi kering sebelum dan sesudah sangria (menggunakan colour
reader merk Minolta model CR-10)
5. Higroskopisitas biji kopi kering sebelum dan sesudah sangria (Moreira, 2007).
Buah kopi Robusta
Fermentasi (0 – 24 jam)
Ditambah ragi kopi luwak (1 g/kg kopi, 2 g/kg kopi, dan 3 g/kg kopi)
Pengambilan sampel kopi (0 jam, 8 jam, 16 jam dan 24 jam)
Pengeringan dengan sinar matahari hingga KA 10-12%
Hulling
Kopi biji luwak invitro
3.3.3 Rancangan Percobaan
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) yang disusun dengan dua faktor yang dilakukan 3 kali pengulangan.
Perlakuan pertama yaitu pengunaan dosis ragi kopi luwak 1 g/kg kopi, 2 g/kg
kopi, dan 3 g/kg kopi. Sedangkan perlakuan kedua yaitu lama fermentasi selama 0
jam, 8 jam, 16 jam dan 24 jam. Lalu dari masing-masing gabungan perlakuan 1
dan 2 tersebut diambil 3 sampel secara acak untuk dianalisa karakteristik sifat
fisik meliputi: berat/massa perbiji, massa jenis, total padatan terlarut, nilai
lightness (warna) dan higroskopisitas.
3.3.4 Prosedur Analisa
Adapun prosedur analisa dalam pengujian kopi luwak invitro ini sebagai
berikut:
a. Berat/Massa per Biji Kopi
Untuk mencari berat kopi per biji dilakukan dengan cara mengambil
sampel sebanyak 50 gram, kemudian dihitung keseluruhan jumlah biji yang ada di
dalam 50 gram. Setelah itu berat/massa total kopi dibagi dengan jumlah biji.
Massa per biji (gr) = Mass a(gr )Jumlah biji
b. Massa Jenis Kopi
Untuk mencari volume kopi (Va) dapat diakukan dengan menggunakan
percobaan. Pertama kopi (a gr) dimasukkan ke dalam lilin cair, lalu kopi dan lilin
yang telah mengeras ditimbang (c gr). Selisih antara berat campuran dan berat
kopi merupakan berat lilin (b gram). Setelah itu campuran lilin dan kopi yang
telah mengeras dimasukkan ke dalam gelas ukur 1 liter yang berisi air 500 ml dan
selisih volume air yang didapat merupakan volume campuran (Vc). Kemudian
volume campuran (Vc) dikurangi volume lilin (Vb) dan didapat volume biji kopi
(Va) (Black, 1965).
Massa jenis (ρ) = Massa(m)Volume(v)
c. Total Padatan Terlarut
Untuk mencari total padatan terlarut dapat dilakukan dengan
menghaluskan 2 gram sampel (a gr). Setelah itu diayak dengan menggunakan
ayakan 80 mesh dan dilanjutkan dengan pelarutan dalam 100 ml aquades. Lalu
disaring dengan menggunakan kertas saring whatman 44 dan residu dari hasil
penyaringan tersebut dioven pada suhu 100o C selama 24 jam. Kemudian sampel
akhir tersebut ditimbang (b gr), lalu persentase nilai padatan terlarut dalam bahan
dapat dihitung dengan selisih berat awal sampel dengan berat setelah dioven
dibagi dengan berat awal sampel dikali 100%.
Total padatan Terlarut (%) = a−b
a x 100%
d. Pengukuran Lightness (Warna)
Untuk mengukur lightness (warna) dapat dilakukan dengan cara mengukur
warna sampel pada 6 titik yang berbeda menggunakan colour reader. Cara kerja
alat ini yaitu pertama colour reader dihidupkan dengan menekan tombol power.
Kemudian lensa colour reader diletakkan pada porselin standar berwarna putih
secara tegak lurus, lalu tombol “Target” ditekan dan kemudian muncul nilai
standarisasi (L, a, b). Lalu untuk mengukur sampel dilakukan dengan menekan
kembali tombol “Target” sehingga muncul nilai dE, dL, da dan db.
Rumus : C = √a2+b2
Keterangan: L = standart L + dL
a = standart a + da
b = standart b + db
H = 180 – tan-1 b/a (jika a positif dan b positif)
= 180 + tan-1 b/a (jika a negatif dan b negatif)
= 180 – tan-1 b/a (jika a negatif dan b positif)
Menurut Hutching (1999), nilai L menyatakan parameter kecerahan
(lightness) yang mempunyai nilai dari 0 (hitam) sampai 100 (putih). Sedangkan
nilai a menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna kromatik campuran
merah-hijau dengan nilai +a (positif) dari 0 - 100 untuk warna merah dan nilai –a
(negative) dari 0 – (-80) untuk warna hijau. Kemudian notasi b menyatakan warna
kromatik campuran biru kuning dengan nilai +b (positif) dari 0 – 70 untuk kuning
dan nilai –b (negative) dari 0 – (-70) untuk warna biru.
e. Higroskopisitas
Untuk mengukur higroskopisitas dapat dilakukan dengan cara menimbang
100 gram sampel lalu dioven pada suhu 100o C selama 24 jam. Setelah itu sampel
ditimbang beratnya dan kemudian didiamkkan pada ruangan terbuka. Setiap 24
jam sampel ditimbang dan dihitung pertambahan beratnya. Penimbangan
dihentikan apabila berat sampel telah konstan. Maka persentase higroskopisitas
sampel dapat dihitung dengan selisih penambahan berat akhir dengan berat awal
dibagi dengan berat awal sampel dikali 100%.
Higroskopisitas = Berat akhir−Berat awal
Berat awal x 100%
3.3.5 Analisis Data
Data dari hasil penelitian diolah secara deskriptif dengan langkah pertama
yaitu menghitung rata-rata data yang diperoleh. Kemudian menyajikan rata-rata
data tersebut dalam bentuk tabel dan histogram, lalu terakhir data tersebut
dianalisa secara deskriptif.