bab ii tinpus h10fhu-6
DESCRIPTION
qwTRANSCRIPT
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengasapan
Pengasapan merupakan cara pengolahan atau pengawetan dengan
memanfaatkan kombinasi perlakuan pengeringan dan pemberian senyawa kimia
alami dari hasil pembakaran bahan bakar alami. Hasil pembakaran akan terbentuk
senyawa asap dalam bentuk uap dan butiran-butiran serta dihasilkan panas.
Senyawa tersebut menempel pada ikan dan terlarut dalam lapisan air yang ada di
permukaan tubuh ikan, sehingga terbentuk aroma dan rasa yang khas pada produk
dan warnanya menjadi keemasan atau kecokelatan.
Pengasapan ikan merupakan cara pengawetan ikan dengan menggunakan
asap yang berasal dari pembakaran kayu atau bahan organik lainnya. Menurut
Adawyah (2007), pengasapan ikan dilakukan dengan tujuan :
a. untuk mengawetkan ikan dengan memanfaatkan bahan-bahan alam
b. untuk memberi rasa dan aroma yang khas.
2.2 Prospek Ikan Asap
Pengolahan ikan dengan menggunakan asap untuk konsumsi manusia
sebenarnya sudah dikenal pada zaman dahulu, tetapi teknik pengolahan ikan asap
tidak berubah. Cara pengolahan ikan asap sangat sederhana, mudah dikerjakan
dan biaya murah. Dibandingkan dengan ikan asin, ikan asap memiliki rasa yang
lebih lezat dan harga jualnya relatif lebih mahal. Kalau ditinjau dari pertimbangan
pencukupan gizi masyarakat pun, ikan asap lebih unggul dari pada ikan asin.
Alasannya, karena rasa ikan asap jauh lebih tawar sehingga dapat disantap dalam
jumlah banyak daripada ikan asin.
Meskipun mempunyai beberapa keunggulan, di Indonesia dan negara-
negara di Asia lainnya ikan asap masih kalah populer dari pada ikan asin. Ada dua
penyebab utama yang membuat ikan asap kurang populer. Penyebab pertama,
ikan asap dianggap kurang cocok dimakan dengan nasi yang menjadi makanan
pokok orang-orang Asia. Agar cocok dipadukan dengan nasi, ikan asap diolah lagi
dengan menambahkan bumbu-bumbu seperti membuat sayur atau sambal.
Penyebab kedua adalah adanya anggapan bahwa ikan asap dapat menjadi
10
penyebab timbulnya kanker atau bersifat karsinogenik. Alasan ini mengingat ikan
asap memang mengandung senyawa yang dicurigai menjadi penyebab kanker,
yaitu pilicyclic aromatic hydrocarbon atau PAH.
Semakin meningkatnya pendidikan, tingkat kesejahteraan dan kesadaran
akan hidup sehat, pola konsumsi pun ikut bergeser dan peluang ikan asap untuk
digemari makin terbuka. Di sisi lain, dengan makin berkembangnya motorisasi
dan alat tangkap yang makin efektif, hasil tangkapan pun terus meningkat dan
pemanfaatan hasil tangkapan menjadi ikan asap pun akan makin meningkat pula.
Hal ini menjadikan usaha pengolahan ikan asap semakin menarik untuk
dijalankan.
Senyawa PAH yang ditakuti sebagai penyebab kanker ternyata tidak hanya
ditemukan pada ikan asap, tetapi juga ditemukan pada makanan lain seperti roti,
biskuit, minyak kedele, sate, ikan bakar, ikan kaleng, bahkan pada ikan segar
termasuk pada kepiting, udang dan lobster. Dibandingkan dengan produk olahan
lain, kandungan PAH pada ikan asap masih tergolong rendah.
Sementara itu, ada senyawa lain seperti vitamin A dan antioksidan lain
yang ternyata memiliki kemampuan menghambat daya karsinogenik PAH.
Padahal, agar PAH dapat bersifat karsinogenik diperlukan aktivitas metabolis.
Pada penelitian-penelitian yang dilakukan, ikan asap dan makanan asap lainnya
bukanlah agen karsinogenik yang membahayakan manusia yang
mengkonsumsinya. Oleh karena itu, tampaknya ikan asap tidak lebih karsinogenik
dibandingkan produk olahan lain.
Ikan asap ini umumnya cukup populer dan cukup digemari di beberapa
daerah di Luar Jawa seperti di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Meskipun
begitu, di Jawa pun jumlahnya tidak kecil dan ikan asap mulai mendapat tempat
dimata konsumen. Akhir-akhir ini pengolahan ikan asap di Jawa makin
berkembang.
11
2.3 Perencanaan Usaha Pengasapan Ikan
2.3.1 Pemilihan Lokasi
Tahap penting untuk memulai suatu usaha pengasapan ikan adalah
pemilihan lokasi tempat usaha pengasapan itu akan didirikan. Sifat bahan baku
yang digunakan (ikan) sangat menentukan pemilihan lokasi pengasapan. Hal ini
karena sifat ikan yang mudah rusak, lokasi pengasapan ikan sebaiknya dekat
dengan sumber bahan baku. Oleh karena itu, ikan dapat cepat ditangani dan diolah
sehingga mutu ikan yang diasap masih tinggi. Selain itu, lokasi yang dekat dengan
bahan baku juga menghemat biaya transportasi, serta mempermudah memperoleh
ikan yang akan diolah.
Pertimbangan lainnya adalah tersedianya bahan bakar sebagai sumber
asap, air bersih dalam jumlah yang cukup dan kontinu serta memenuhi syarat
untuk pengolahan ikan, serta sarana transportasi yang baik sehingga memudahkan
pengangkutan ikan ke tempat pengolahan dan transportasi ikan asap ke konsumen.
Pertimbangan penting lainnya dalam kemudahan memperoleh bahan bantu (garam
dan es), alat bantu, listrik, dan sebagainya. Lahan untuk lokasi hendaknya cukup
untuk membangun bangunan pengolahan dan fasilitas yang diperlukan serta
memungkinkan bagi pengembangan di masa mendatang. Hal lain yang perlu
diperhitungkan dalam memilih lokasi adalah tersedianya tenaga kerja, letak
geografis, harga tanah, lingkungan, kemudahan yang disediakan pemerintah, dan
sebagainya. Lokasi yang dipilih hendaknya juga memungkinkan penampungan,
penanganan, dan pembuangan limbah dengan baik.
2.3.2 Bangunan Pengolahan
Perencanaan selanjutnya adalah membuat rencana bangunan pengolahan
dan tata letak ruang. Kedua hal ini sangat menentukan kelancaran dan
keberhasilan proses. Pada perencanaan tersebut semua tindakan diarahkan untuk
memperlancar aliran proses dan mengurangi risiko kontaminasi terhadap produk
akhir. Ruang untuk proses yang dapat saling mengontaminasi dipisah, cukup
pencahayaan dan ventilasi, dan cukup tersedia sarana pencegah serangga dan
rodensia. Pada perencanaan tersebut juga dipertimbangkan bahwa harus cukup
tersedia ruang untuk peralatan, instalasi, dan fasilitas lain yang diperlukan.
12
Berdasarkan sifat bahan dan prosesnya, bangunan pengolahan pengasapan
ikan terdiri dari ruang atau tempat untuk proses yang berhubungan langsung
dengan ikan segar, tempat yang berhubungan dengan panas, tempat yang
berhubungan dengan produk akhir, dan gudang serta fasilitas lain.
Untuk memperlancar proses, lebih efisien dan memudahkan pembersihan,
ruang yang berhubungan langsung dengan ikan segar dapat dirancang saling
berhubungan atau bahkan dijadikan satu. Ruang tersebut adalah tempat untuk
penerimaan atau penimbangan, penampungan, penanganan, dan preparasi ikan
segar, serta untuk penyusunan ikan pada rak atau penggantung. Ruang ini menjadi
jalan masuk bakteri yang ikut terbawa masuk bersama ikan. Agar tidak
mengontaminasi produk akhir, ruang ini harus dipisahkan dengan ruang produk
akhir. Selain itu, ruang harus dipisah dari ruang panas untuk pengasapan, ventilasi
dan penerangan harus cukup sehingga ruang terang, sejuk dan segar.
Fasilitas yang berhubungan dengan sumber panas adalah tempat
pengasapan yang perlu dipisahkan dari ruang lain dengan dinding pemisah untuk
menghindari pengaruh suhu tinggi yang merugikan. Pilihan lain, alat pengasap
ditempatkan di tempat terpisah sama sekali. Paling tidak, tungku ditempatkan
diluar bangunan pengolahan untuk menghindari risiko kontaminasi asap, debu dan
kotoran lain ke ikan yang di olah maupun ikan asap yang dihasilkan. Mengingat
proses ini banyak menyebarkan panas dan asap, perlu tersedia cukup ventilasi-
dengan exhaust fan sehingga terjadi pergantian udara dengan baik.
Ruang produk akhir digunakan untuk menangani produk akhir sebelum
dikirimkan ke konsumen yang meliputi ruang untuk pendinginan ikan asap,
pengemasan, penampungan ikan asap sebelum dikirim ke konsumen, dan untuk
pengiriman. Tentunya ruang ini harus terpisah dengan ruang lain, terutama dengan
ruang ikan segar yang menjadi jalan utama masuknya bakteri. Ventilasi,
penerangan, dan pertukaran udara pun harus cukup.
Selain fasilitas diatas, diperlukan ruang untuk gudang penyimpanan
garam, es, bahan pengemas dan peralatan lain, bahan bakar dan gudang untuk
menyimpan peralatan kotor. Gudang sebaiknya saling dipisahkan berdasarkan
sifat bahan yang disimpan dan terpisah dengan ruang pengolahan. Gudang es,
sebaiknya berinsulasi dan ditempatkan dekat ruang ikan segar.
13
Fasilitas lainnya adalah kantor, pos penjagaan, WC, fasilitas pengolahan
limbah, dan sebagainya. Kantor ditempatkan dekat tempat penerimaan dan
pengiriman bahan dan juga mudah berhubungan dengan ruang pengolahan
sehingga pengawasan terhadap semua aktivitas dengan mudah dapat dilakukan
dari ruang ini. WC yang merupakan tempat kotor dan sumber kontaminan harus
benar-benar terpisah dengan bangunan pengolahan. Fasilitas lain yang diperlukan
adalah tempat penampungan dan pengolahan limbah (pengendapan, penjernihan,
penghilangan bau) sehingga limbah yang dibuang sudah cukup bersih, aman, dan
tidak mencemari lingkungan).
2.3.3 Desain dan Konstruksi Bangunan
Selain membuat desain tata letak dan bangunan pengolahan, perlu
ditentukan pula konstruksinya. Hendaknya digunakan bahan-bahan yang tahan
karat, mudah dibersihkan, dan didesain sedemikian rupa sehingga air, serangga,
dan rodensia tidak dapat masuk ke dalam bangunan. Dinding disemen rata dan
halus, tahan korosi, kuat, mudah dibersihkan, dan berwarna terang. Lantai
disemen rata tetapi tidak licin, misalnya permukaannya dibuat alur-alur kecil
dengan memukulkan sapu lidi. Permukaan lantai dibuat miring ke arah saluran air
sehingga air mudah mengalir ke saluran dan tidak menggenang. Bahan untuk
lantai dan dinding dipilih yang aman, tidak beracun, mudah dibersihkan,
penampilan bagus, dan mudah diperbaiki, tahan garam, air, dan bahan pembersih.
Pada pertemuan antara dinding dan lantai sebaiknya dibuat melengkung (diameter
lengkungan 1-2 cm) sehingga mudah dibersihkan dan air dengan mudah akan
mengalir ke saluran air.
Ruangan dilengkapi dengan saluran yang ditutup kisi-kisi besi.
Kemiringan dasar saluran air harus cukup sehingga air mengalir lancar, tidak ada
genangan, selalu dalam keadaan kering dan mudah dibersikan. Atap bangunan
dapat terbuat dari seng atau pelat besi gelombang. Atap genting atau asbes
gelombang lebih cocok, terutama untuk ruang ikan segar, mengingat bahan ini
tahan lama, lebih dingin, dan tidak mengotori atau mengganggu ruang
dibawahnya. Konstruksi bubungan dibuat lebih tinggi sehingga terbentuk celah
14
untuk ventilasi dan membantu penerangan yang ditutup kasa agar serangga dan
rodensia tidak masuk.
Ruangan harus cukup ventilasi sehingga pertukaran udara cukup lancar.
Agar rodensia (tikus), lalat, dan serangga lain tidak masuk, ventilasi ditutup kasa.
Penerangan juga harus cukup terang untuk proses pengolahan, pengawasan dan
pemeliharaan, serta untuk kepentingan keamanan. Untuk membantu penerangan,
pada atap dipasang berapa lembar atap tembus cahaya, genting kaca, fiber glass
atau plastik gelombang putih. Jendela cukup lebar dan ditutup kawat kasa. Jendela
ini selain membantu penerangan juga berfungsi sebagai ventilasi. Konstruksi
gudang dibuat sedemikian rupa sehingga mudah dibersihkan, cukup penerangan,
cukup ventilasi dan sesuai tuntutan bahan yang disimpan.
2.3.4 Pemasaran
Masalah lain yang tidak dapat ditinggalkan dalam menggeluti suatu usaha
adalah mempelajari pemasarannya. Betapa pun bagusnya perencanaan usaha
tersebut, tetapi jika tidak dilengkapi pengetahuan dan perencanaan tentang
pemasaran yang baik, sulit diharapkan dan berjalan lancar. Karena itu,
pengetahuan tentang aspek pemasaran harus dikuasai dulu.
Hal yang perlu dipelajari dan diketahui tentang pemasaran terutama adalah
daerah pemasaran, permintaan pasar termasuk jumlah dan sifat produk yang
diharapkan, sifat dan kemampuan masing-masing pasar menyerap produk yang
ditawarkan, jumlah pesaing dan volume pasok serta keistimewaannya, jalur
distribusi dan sistem pemasaran, cara pembayaran dan sebagainya. Setelah
memiliki pengetahuan tentang pemasaran, dilakukan perencanaan yang lebih
matang. Misalnya, dapat ditentukan jenis ikan asap yang harus dihasilkan, ukuran
ikan, bentuk olahan, dan daerah pemasaran yang dituju. Tentu saja hal ini akan
mempengaruhi cara pengolahan dan peralatannya, jumlah produksi, bentuk
kemasan, cara transportasi, sistem dan strategi pemasaran yang dipilih, cara
pembayaran dan sebagainya serta dapat ditentukan pula strategi yang diterapkan
untuk menembus pasar yang dituju.
15
2.4 Teknik Pengasapan Ikan
Ikan yang digunakan untuk pengasapan adalah ikan yang masih segar,
tidak cacat fisik, dan bermutu tinggi. Apabila ikan yang akan diasap tidak segar
dan cacat, maka akan menghasilkan ikan asap yang bermutu rendah. Apalagi ikan
merupakan bahan mentah yang cepat rusak dan busuk.
2.4.1 Kesegaran Ikan
Untuk mengenali kesegaran ikan dengan melihat penampilan fisik, kondisi
mata, insang, adanya lendir; meraba dan menekan struktur dan kondisi daging
ikan; serta mencium bau ikan. Ikan yang masih segar, tampak cemerlang dan
mengkilap sesuai jenisnya. Lendir dipermukaan tubuh tidak ada atau tipis, bening
dan encer. Sisik pun tidak mudah lepas, perut utuh, dan lubang anus tertutup.
Matanya cembung, cerah, putih jernih, pupil hitam atau tidak berdarah dengan
insang merah cerah, tidak atau sedikit berlendir dan dagingnya pejal, lentur, dan
jika ditekan cepat pulih. Ikan pun berbau segar dan sedikit agar amis.
Setelah ditangkap, ikan harus segera disemprot air bersih lalu disortasi
menurut jenis dan ukurannya. Perlakuan-perlakuan yang menyebabkan kerusakan
fisik seperti terinjak, dan tergencet, perlakuan kasar, dan terpaan panas matahari
harus dihindari. Setelah bersih, ikan segera didinginkan dengan cara dies didalam
peti berinsulasi. Untuk penangkapan di laut, ikan dapat dies di dalam palka
berinsulasi atau didinginkan dengan air laut dingin. Penggunaan peti insulasi atau
palka insulasi tampaknya sudah menjadi suatu keharusan untuk tersedia pada
setiap kapal penangkap ikan.
Setelah di darat, peti dibongkar dengan hati-hati dan ikan dikeluarkan.
Alat-alat yang dapat menimbulkan kerusakan fisik seperti sekop, pisau, garpu dan
sebagainya hendaknya tidak dipakai. Ikan dicuci bersih lalu ditempatkan pada
keranjang, ditimbun es secukupnya dan segera diangkut ke tempat pengolahan.
Pengangkutan pada malam hari selagi suhu sangat rendah dianjurkan. Namun, jika
harus diangkut siang hari, terpaan panas matahari hendaknya dihindari dan suhu
ikan harus dipertahankan tetap rendah.
Setelah sampai ditempat pengolahan. Peti dibongkar dan ikan dikeluarkan,
lalu disortasi berdasarkan jenis, mutu, dan ukuran. Ikan yang pecah perut atau
16
patah dipisahkan. Sambil disortasi ikan disiangi lalu dicuci hinggan bersih. Ikan
pun siap untuk diolah. Namun, jika pengolahan belum sempat dilakukan, ikan pun
disimpan dulu dengan es di dalam peti insulasi untuk penyimpanan jangka pendek
atau dibekukan jika ingin disimpan dalam waktu yang lebih lama.
2.4.2 Persiapan Ikan
a. Pencucian dan penyiangan ikan
Sebelum diasap, ikan harus dicuci dulu untuk menghilangkan kotoran,
sisik-sisik yang lepas dan juga lendir. Kemudian ikan disiangi dengan cara
membelah bagian perut sampai dekat anus. Apabila diperlukan, kepala ikan
dipotong. Kalau ukuran ikan cukup besar dan berdaging tebal, sebaiknya ikan
dibelah membentuk kupu-kupu, diambil dagingnya saja, atau dibentuk sesuai
dengan kebiasaan yang dilakukan untuk mencirikan produk. Apapun yang
dilakukan, ikan hendaknya selalu bersih. Bagian dalam perut dicuci untuk
menghilangkan sisa kotoran, darah, dan lapisan dinding perut yang berwarna
hitam. Kemudian ikan dicuci lagi sampi bersih lalu direndam larutan garam.
b. Penggaraman Ikan
Penggaraman dalam larutan garam atau penggaraman ini sering kali
memang diperlukan karena memiliki banyak manfaat, diantaranya membantu
memudahkan pencucian dan penghilangan lendir, memberikan cita rasa produk
yang lebih lezat, membantu mengawetkan, membantu pengeringan, dan
menyebabkan tekstur daging ikan menjadi lebih kompak. Bahkan penggaraman
juga dianggap membantu mencegah perubahan warna. Hal yang perlu dijaga
adalah kebersihan, kemurnian garam, dan kepekatan larutan yang digunakan.
Penggaraman dapat dilakukan dengan cara penggaraman kering atau
perendaman. Penggaraman kering untuk pengawetan pada pengasapan dingin
dilakukan dengan menambahkan garam 10-15 persen dari berat ikan. Perendaman
dalam larutan dilakukan dengan merendam ikan didalam larutan garam 10-15
persen atau bahkan larutan jenuh 30 persen.
Untuk menghasilkan produk yang bermutu tinggi, sebaiknya digunakan
penggaraman dengan cara perendaman. Larutan garam yang digunakan sebaiknya
tidak jenuh, cukup dengan kejenuhan larutan garam 70-80 persen agar dapat
17
menghasilkan produk ikan asap yang mengkilat, lezat dan bermutu tinggi. Setelah
digarami, ikan dicuci bersih kembali untuk membersihkan kotoran yang ada dan
mengurangi kandungan air awal. Kalau kelembapan udara cukup rendah, ikan
cukup ditiriskan dengan cara digantungkan diudara terbuka sampai tiris. Namun,
kalau kelembapan cukup tinggi, ikan digantung dalam ruang atau alat pengering .
Pada tahap ini terjadi proses yang menguntungkan. Protein yang terlarut
dalam larutan garam akan menempel pada permukaan ikan ketika ditiriskan dan
akhirnya mengering selama pengasapan. Akibatnya, terbentuk lapisan yang
membuat permukaan ikan mengkilap yang disukai dan dijadikan salah satu tanda
ikan asap permutu tinggi.
2.4.3 Proses Pengasapan
a. Bahan Bakar
Tahap penting lain dalam pengasapan adalah memilih jenis bahan bakar
yang akan digunakan, biasanya menggunakan bahan bakar kayu. Bahan bakar lain
sebagai alternatif adalah serbuk gergaji, serutan kayu, tempurung, sabut kelapa
dan sebagainya. Kayu, serutan dan serbuk gergaji merupakan pilihan yang terbaik
asalkan berasal dari jenis kayu keras yang tidak banyak mengandung resin, getah
dan damar.
Agar asapnya banyak, hendaknya bahan bakar tidak terlalu kering dan
berukuran kecil. Bahan bakar yang berukuran kecil seperti serbuk gergaji cocok
untuk menghasilkan asap yang cukup tebal. Bahan bakar yang tidak terlalu kering
juga menghasilkan cukup banyak asap, sedangkan bahan bakar yang berukuran
besar dan kering menghasilkan panas yang cukup tinggi sehingga cocok untuk
tahap pengeringan. Selain itu, sebaiknya hanya menggunakan kayu yang bersih,
tidak berjamur, tidak terkena bahan pengawet, cat dan sebagainya.
b. Penggantungan dan penyusunan Ikan
Ikan yang sudah ditiris disusun didalam alat pengasap. Cara penyusunan
ikan ini, misalnya mendatar diatas rak akan menentukan ikan asap yang
dihasilkan. Cara ini cocok untuk ikan-ikan kecil atau filet ikan. Namun, dengan
posisi ini kontak antara ikan dan asap tidak merata sehingga perlu dibalik.
18
Cara penyusunan lain yang lebih baik adalah dengan menggantung ikan
yang akan diasap. Ikan digantung menggunakan kait dengan cara menusukkan
kait kemata ikan atau ke pangkal kepala, bisa juga dengan menggunakan batang-
batang besi kecil dan tali. Cara ini memungkinkan pengasapan ikan dapat merata
keseluruh permukaan tubuh ikan, termasuk bagian dalamnya.
Ikan yang akan disusun lalu dimasukkan ke dalam ruang pengasap. Jarak
antar ikan dan jarak ikan dengan sumber asap perlu diatur sehingga proses
pengasapan berjalan dengan baik. Untuk pengasapan skala besar, susunan ikan
dipasang pada rak-rak beroda lalu rak didorong untuk masuk ruang pengasap.
c. Pengasapan
Pengasapan dapat dilakukan dengan pengasapan panas dan dingin.
Pengasapan dingin dilakukan pada suhu 35-45 ۫C, kadang-kadang suhu 50۫C.
Pengasapan dingin dengan cara pengasapan tidak langsung lebih cocok, yaitu
tungku ditempatkan terpisah dari ruang pengasap sehingga panas yang masuk ke
dalam ruang pengasapan dapat dikurangi.
Cara yang palin lazim dapat dilakukan dengan pengasapan panas, pada
suhu 40-100۫C. Pengasapan panas ini pada dasarnya terdiri dari tiga tahapan :
1. Tahap pertama, suhu pengasapan diusahakan cukup rendah, 30-35 ۫C dan hanya
untuk menguapkan sebagian air pada permukaan ikan. Asapnya dibuat tebal dan
ventilasi udara masuk 50-75 persen sehingga asap dapat menyebar merata
keseluruh bagian ikan. Karena permukaan ikan masih cukup lembab maka
penempelan asap ke ikan dapat berlangsung efektif dan sekaligus terjadi
penguapan air di permukaan ikan. Pada tahap ini lapisan protein terlarut
dipermukaan ikan dan asap mulai membentuk lapisan mengkilap. Tahap ini
berlangsung, cukup 30-60 menit tergantung jenis ikan, ukuran, kandungan lemak
dan produk yang diinginkan.
2. Tahap kedua, perlahan-lahan suhu dinaikkan menjadi 50 ۫C dan bukaan ventilasi
udara dikurangi sekitar 25 persen. Setelah suhu mencapai 50 ۫C, suhu ini
diusahakan tercapai dalam waktu 30-40 menit, jumlah asap dikurangi sampai
cukup tipis dan mengalir lancar dari ruang pengasap. Ikan perlu dibalik atau
diputar agar asap dan kematangan ikan merata.
19
3. Tahap ketiga, suhu dinaikkan perlahan sampai sekitar 80۫C dan bukaan
ventilasi dikurangi setelah asap mengalir lancar ke ruang pengasap. Pengasapan
pada suhu tinggi ini dijalankan sampai ikan cukup matang. Lama pengasapan
akan sangat ditentukan oleh jenis ikan,ukuran ikan, kandungan lemak, dan produk
yang diiginkan. Untuk ikan-ikan yang berukuran besar memerlukan waktu 30-60
menit lebih lama dari ikan berukuran kecil.
Dalam praktek, pengasapan dilakukan dengan cara yang bervariasi dan
banyak dipengaruhi oleh kebiasaan setempat, tetapi ketiga tahap itu harus
berlangsung. Tahap pertama sebagai pengeringan awal hendaknya berlangsung
dengan baik karena tahap ini nantinya akan menentukan warna, rasa dan kilap
ikan yang dihasilkan. Tahap kedua hendaknya berlangsung dengan baik karena
selain terjadi proses pematangan juga berlangsung pemantapan kilap, warna dan
aroma ikan asap. Tahap ketiga tentu saja menentukan tingkat kematangan an
kadar air produk.
2.4.4 Pengemasan
Setelah pengasapan, ikan dibiarkan dingin sesuai dengan suhu ruangan.
Sebaiknya tidak menggemas produk selagi masih panas, atau hangat karena akan
mengembun dan ikan cepat rusak ditumbuhi jamur. Ikan dapat dibiarkan
diruangan terbuka atau menggunakan kipas angin. Ikan asap sudah cukup dingin
1-2 jam.
Kalau fasilitas memungkinkan, pendinginan dapat dilakukan sampai suhu
rendah (0˚C) sebelum dikemas. Syaratnya, ikan harus segera didistribusikan.
Kalau ikan asap yang masih hangat langsung dimasukkan ke dalam ruang sejuk
maka ikan menjadi lembab dan mengkilapnya hilang atau berkurang. Apabila ikan
akan dikemas vakum, ikan asap yang sudah dingin menyebabkan terjadinya
pengembunan. Kalau ikan dibekukan sebelum dikemas vakum maka akan
terbentuk kristal es. Oleh karena itu, kalau akan dikemas vakum, sebaiknya suhu
produk dan pengemasan dilakukan pada suhu ruang. Kemasan yang digunakan
sebaiknya kuat, higienis, dan menarik.
Kotak kayu cocok sebagai kemasan. Pada dasar kotak kayu dialasi kertas
yang bersih lalu ikan asap disusun rapi didalamnya. Jika memungkinkan , ikan
20
asap disusun berselang seling anatara ikan asap dan kertas. Penyimpanan dengan
kotak kayu paling baik dilakukan pada penyimpanan suhu rendah 3-10۫C.
Penggemasan vakum harus dilakukan dengan proses sterilisasi dan penangganan
yang baik. Selain itu, harus diikuti dengan penyimpanan dan distribusi dalam
keadaan beku.
2.4.5 Penyimpanan
Penyimpanan ikan asap sangat berperan penting dalam distribusi dan
pemasarannya. Jika penyimpanan, juga pengemasan tidak baik maka ikan asap
cepat rusak sehingga daya jangkau pasarnya akan rendah. Untuk jangkauan
distribusi yang luas, penggunaan suhu rendah selama penyimpanan paling baik
untuk dilakukan.
Jika ikan asap didistribusikan pada suhu ruang, sebaiknya ikan asap
dihamparkan pada ruang bersuhu rendah sehingga ikan asap cepat turun. Kalau
sudah dingin, ikan dapat disusun kembali dan disimpan dengan baik pada suhu
rendah. Ikan asap dapat disimpan beku (30ºC) dan akan memiliki ketahanan
hingga 6 bulan. Selain itu, kalau penyimpanan lama, produk masih tampak bagus
walaupun rasa kurang lezat. Kalau dikemas vakum, ikan asap dapat lebih tahan
lama lagi, tetapi penggemasan ini berisiko tinggi jika tidak diikuti dengan
penyimpanan beku.
Suhu ideal untuk penyimpanan ikan asap cukup sekitar -2 – 0ºC. Akan
tetapi, jika fasilitas dingin ini juga digunakan untuk ikan basah, suhunya cukup 0-
1ºC sehingga ikan basah tidak membeku. Selama penyimpanan ini suhu harus
dipertahankan stabil rendah sehingga daya awet dan mutu ikan asap tinggi.
2.5 Tempat Pengasapan
Tempat pengasapan hendaknya terletak pada ruangan atau tempat yang
dapat ditutup rapat supaya panas dan pembakaran kayu dapat dimanfaatkan
dengan sebaik-baiknya. Ruang asap berupa sebuah kotak, drum, lemari, atau
kamar. Ikan dapat digantungkan pada palang-palang kayu atau diletakkan pada
rak-rak. Sebaiknya, sumber panasnya dapat dipindah-pindahkan supaya asapnya
dapat langsung masuk ke ruang pengasapan melewati terowongan asap.
21
Tempat pengasapan yang baik menyerupai sebuah alat pengering buatan
karena sebenarnya pengasapan adalah pengering buatan, hanya saja udaranya
bercampur dengan asap. Bentuk tempat pengasapan paling sederhana terdiri dari
sebuah kotak kayu seperti lemari atau drum yang berlubang di bagian atas untuk
tempat keluarnya asap dan di bawah ruangan ditempatkan tungku atau kayu bakar.
Ikan yang akan diasap digantungkan pada kayu-kayu atau bambu-bambu
melintang sehingga asap akan dapat melewati sela-selanya (Irianto 2007).
2.6 Pengaruh Pengasapan terhadap Ikan Asap
Proses pengasapan ikan akan menimbulkan perubahan pada ikan yang
telah diasap. Menurut Irianto (2007), pengaruh proses pengasapan terhadap ikan
asap yaitu :
a. Daya Simpan dari Asap
Ikan menyerap zat-zat seperti aldehida, fenol dan asam-asam. Zat-zat
pengawet tersebut juga bersifat racun bagi bakteri. Jumlah zat-zat ini dalam asam
sedikit sekali, maka daya pengawetannya pun terbatas. Oleh karena itu, tahap
pengasapan didahului oleh tahap-tahap lainnya.
b. Penampilan Kulit Ikan Mengkilat
Keadaan ini disebabkan oleh timbulnya reaksi kimia dari senyawa-
senyawa dalam asap, yaitu formaldehida dengan fenol yang menghasilkan lapisan
damar tiruan pada permukaan ikan. Supaya terjadi reaksi ini diperlukan suasana
asam yang telah tersedia dalam asap.
c. Perubahana Warna
Pengasapan merubah warna ikan menjadi kuning emas sampai kecokelat-
cokelatan. Warna ini dihasilkan oleh reaksi kimia fenol dengan O2 (zat asam)
dari udara. Proses oksidasi akan berjalan lebih cepat bila lingkungan bersifat
asam. Hal ini pun sudah tersedia pada ikan yang diasap.
d. Rasa Sedap Keasam-asaman
Pengasapan menimbulkan rasa yang khusus. Rasa ini dihasilkan oleh
asam-asam dan fenol serta zat-zat lain sebagai bahan pembantu. Dalam hal ini
ketebalan asap atau banyaknya asap yang terserap oleh ikan akan menentukan
tingkat rasa asap yang perlu disesuaikan dengan selera konsumen untuk itu harus
22
ada keseimbangan antara rasa enak ikan asap dengan daya simpan (shelf life) dari
ikan asap itu.
e. Penggunaan Asap Air (liquid smoke)
Untuk menghindari pemborosan waktu dan tenaga, orang berusaha
mencari cara lain, yaitu dengan mencelupkannya ikan ke dalam larutan bahan-
bahan asap (smoke concentrate), setelah itu baru dikeringkan.
2.7 Kriteria Mutu Ikan Asap
Cara paling mudah untuk menilai mutu ikan asap, yaitu dengan menilai
mutu sensoris atau mutu organoleptiknya. Penilaian mutu secara secara sensoris
sudah sangat memadai jika dilakukan dengan baik dan benar. Ada lima parameter
sensoris utama yang perlu dinilai, yaitu penampakan, warna, bau, rasa dan tekstur.
Kriteria mutu sensoris ikan asap dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kriteria Mutu Sensoris Ikan Asap
Parameter Deskripsi Mutu Ikan AsapKenampakan Permukaan ikan asap cerah, cemerlang dan mengkilap. Kalau kusam dan
suram menunjukkan bahwa ikan yang diasap sudah kurang bagus mutunyaatau karena perlakuan dan proses pengasapan tidak dilakukan dengan baik danbenar. Tidak tampak adanya kotoran berupa darah yang mengering, sisa isiperut, abu, atau kotoran lain. Adanya kotoran semacam ini menjadi indikasikalau pengolahan dan pengasapannya tidak baik. Kalau pada permukaan ikanterdapat deposit kristal garam maka hal ini menunjukkan bahwa penggaramanterlalu berat dan tentunya rasanya sangat asin. Pada ikan asap tidak tampaktanda-tanda adanya jamur atau lendir.
Warna Ikan asap berwarna coklat keemasan, coklat kekuningan, atau cokelat agakgelap. Warna ikan asap tersebar merata. Adanya warna kemerahan disekitartulang atau warna gelap di bagian perut menunjukkan bahwa ikan yang diasapsudah bermutu rendah
Bau Bau asap lembut sampai cukup tajam atau tajam, tidak tengik, tanpa baubusuk, tanpa bau asing, tanpa bau asam, tanpa bau apak.
Rasa Rasa lezat, enak, rasa asap terasa lembut sampai tajam, tanpa rasa getir ataupahit, tidak terasa tengik.
Tekstur Tekstur kompak, cukup elastis, tidak terlalu keras (kecuali produk tertentuseperti ikan kayu), tidak lembek, tidak rapuh, dan tidak lengket. Hendaknyakulit ikan tidak mudah dikelupas dari dagingnya.
Sumber : Adawyah (2007)
23
2.8 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Pengasapan
Pada proses pengasapan ada faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan atau tidaknya suatu proses pengasapan. Faktor yang mempengaruhi
proses pengasapan diantaranya jenis bahan bakar, kepekatan asap, suhu,
kelembapan udara, sirkulasi udara dan lama pengasapan. Adapun penjabaran
keenam faktor tersebut adalah :
1. Jenis bahan bakar
Jenis kayu yang baik untuk digunakan sebagai bahan bakar adalah kayu
keras seperti kayu turi, serbuk gergaji, kayu jati, sabut dan tempurung kelapa.
Jenis kayu keras mengandung senyawa fenol dan asam organik yang cukup tinggi
yang sangat dibutuhkan untuk proses pengasapan.
2. Kepekatan asap
Asap mempunyai efek antibakteri atau bakterisidal sehingga dapat
mengawetkan ikan. Menurut Hudaya et al. (1980) apabila mengandung kadar air
tinggi maka asap akan pekat sedangkan bila berkadar air rendah maka asap akan
tipis.
3. Suhu
Sebaiknya asap tidak dihasilkan dari pembakaran di atas 175-205°C,
karena pada suhu tinggi akan menimbulkan rasa pahit dan zat karsinogenik pada
produk. Pada pengasapan yang dilakukan dengan suhu tinggi juga dapat
menyebabkan hasil produk yang kurang baik, karena permukaan daging akan
mengeras sehingga cairan pada bagian dalam tubuh ikan menjadi terhalang
penguapannya. Hal ini akan menyebabkan terjadinya peristiwa “case hardening”
(bagian luar daging ikan mengering tetapi bagian dalamnya masih basah).
4. Kelembaban udara (RH)
Proses penyerapan asap sangat mempengaruhi kelembaban udara,
sehingga pengontrolan sangat penting. Kelembaban yang tinggi menambah waktu
pengasapan dan memperbanyak konsentrasi asap yang terserap dalam daging ikan
sehingga rasa asap menjadi sangat kuat, tetapi produk tidak kering. Sebaliknya
RH yang terlalu rendah dapat menghambat penyerapan asap. Menurut Chan et al.
(1975) RH 60 persen menyerap lebih banyak asap dan lebih cepat daripada tingkat
RH yang lain.
24
5. Sirkulasi udara
Sirkulasi udara yang baik dalam ruang pengasapan menjamin mutu ikan
asap yang lebih sempurna, karena suhu dan kelembaban ruang tetap konstan
selama proses pengasapan berlangsung. Aliran asap berjalan dengan lancar dan
kontinu sehingga partikel asap yang melekat menjadi terarah dan merata (Afrianto
dan Liviawaty, 1989).
6. Lama Pengasapan
Hasil penelitian Swastawati (2004) membuktikan bahwa lama pengasapan
dapat mempengaruhi komposisi nutrisi ikan terutama kadar lemaknya. Suhu yang
tinggi selama proses pengasapan ikan dapat menurunkan kadar asam lemak
omega-3 (DHA) ikan. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan lama waktu
pengasapan ikan yang benar-benar efektif untuk mempertahankan nilai gizi
sekaligus mengawetkan dan aman bagi konsumen.
2.9 Suhu dan Lama Pengasapan Ikan Asap
Pada penelitian Aqliyanto (2005) terhadap ikan lele dumbo, memerlukan
suhu perlakuan pengasapan 70 ۫C selama 4,5 jam untuk menghasilkan atribut mutu
terbaik. Sedangkan pada penelitian Loekman (1993), kesukaan warna dan tekstur
pada ikan baung menunjukkan lama pengasapan 16 jam yang paling disukai,
tetapi aroma, pengasapan 20 jam lebih disukai. Berbeda dengan ikan tongkol asap,
penelitian Sekarfatma (1979), lama pengasapannya bervariasi dari 30 jam, 35 jam,
40 jam dan 45 jam, dengan suhu 10 ۫C, yang dapat menghasilkan atribut terbaik
pada pengasapan ikan. Penelitian Sanger (1997), ikan cakalang melakukan
pengasapan pada 100 ۫C dengan cara penggemasan vakum memberikan pengaruh
yang paling baik terhadap mutu ikan asap pada semua perlakuan. Sedangkan
menurut penelitian Wahyuni (1999), pada ikan teri lama pengasapan tiga jam
memiliki hasil yang terbaik diantara perlakuan-perlakuan lainnya. Pada hasil
penelitian dapat disimpulkan bahwa pengaruh suhu dan lama pengasapan
berbeda-beda untuk setiap jenis ikan agar dapat menghasilkan warna,
penampakan, tekstur, aroma dan rasa yang terbaik.
25
2.10 Tipe Pengasapan Panas Tradisional atau Modern (Cair) pada Ikan Asap
Menurut penelitian Widagdo (1998), berdasarkan uji mutu kimiawi; uji
mikrobiologis; dan uji mutu organoleptik dapat disimpulkan bahwa perlakuan
pengasapan cair menghasilkan ikan nila merah asap dengan mutu yang lebih
rendah daripada pengasapan panas. Sedangkan penelitian Hapsari (1999), pada
ikan mas, pengasapan terbaik adalah metode pengasapan cair dengan perendaman
garam. Penelitian Pitaloka (1998), hasil organoleptik mutu hedonic didapat hasil
bahwa tiap perlakuan jenis pengasapan berpengaruh nyata terhadap rasa dan
penampakan ikan asap. Pada hasil tersebut dapat disimpulkan, bahwa tipe
pengasapan panas tradisional atau modern terhadap dua jenis ikan menghasilkan
hasil penelitian yang berbeda.
2.11 Pengaruh Bahan Bakar terhadap Daya Awet Ikan Asap
Menurut penelitian Tampubolon (1988), kandungan asam asetat dan
terutama kandungan fenol yang lebih tinggi pada ikan asap yang diasap dengan
sabut ternyata berpengaruh terhadap mutu dan daya awetnya, yaitu lebih baik dari
ikan asap yang diasap dengan tempurung dan serbuk kayu. Sedangkan pada hasil
penelitian Wahyuni (1999), terhadap nilai gizi dan mutu ikan teri asap, ternyata
perlakuan pengasapan ikan teri dengan bahan bakar sabut merupakan yang paling
baik. Kedua hasil penelitian tersebut menunjukkan bahan bakar sangat
berpengaruh terhadap daya awet ikan asap.
2.12 Faktor-faktor yang Menentukan Keberhasilan Pengasapan
Pada hasil penelitian Aqliyanto (2005), Loekman (1993), Sekarfatma
(1979), Sanger (1997) dan Wahyuni (1999) dapat disimpulkan bahwa pengaruh
suhu dan lama pengasapan berbeda-beda untuk setiap jenis ikan agar dapat
menghasilkan warna, penampakan, tekstur, aroma dan rasa yang terbaik.
Sedangkan pada hasil Widagdo (1998) dan Hapsari (1999) dapat disimpulkan,
bahwa tipe pengasapan panas tradisional atau modern (cair) terhadap dua jenis
ikan menghasilkan hasil penelitian yang berbeda. Penelitian Tampubolon (1988)
dan Wahyuni (1999) menunjukkan bahan bakar sangat berpengaruh terhadap daya
awet ikan asap. Sedangkan pada penelitian Rahmawati (1997) menunjukkan
26
pengaruh tingkat pencucian dan cara pemberian bumbu terhadap daya simpan
ikan.
Oleh karena itu, faktor-faktor yang paling tepat dalam menentukan
keberhasilan pengolahan ikan asap yaitu :
1. Temperatur
2. Lama pengasapan
3. Tipe pengasapan (pengasapaan panas atau pangasapan cair)
4. Bahan bakar yang digunakan, dan
5. Tingkat pencucian serta cara pemberian bumbu
2.13 Penelitian Terdahulu
Penelitian Musarofah pada tahun 2009 menganalisis kelayakan usaha
pengolahan nugget ikan (kasus pada Usaha Nugget Ikan Putra Barokah, Desa
Blanakan, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang, Jawa Barat). Analisis
finansial terbagi ke dalam dua skenario usaha yaitu skenario usaha I yang
merupakan jenis pengusahaan yang saat ini sedang dijalankan oleh Putra Barokah
dengan kapasitas produksi sebesar 747 kemasan per hari dan skenario usaha II
yang merupakan pengembangan usaha dengan peningkatan kapasitas produksi
menjadi 1.747 kemasan per hari.
Hasil penelitian tersebut pada skenario I menghasilkan nilai NPV sebesar
Rp 128.253.816, Net B/C 5,08, IRR 89 persen, dan payback period 2,15 tahun.
Sedangkan skenario II menghasilkan nila NPV Rp 309.706.718, Net B/C 6,00,
IRR 98 persen, dan payback period 2,53 tahun. Hasil analisis sensitivitas
menunjukkan bahwa kedua skenario tidak layak saat menghadapi penurunan
penjualan sebesar 46 persen, sementara saat menghadapi perubahan berupa
kenaikan harga kemasan sebesar 64,7 persen menunjukkan bahwa skenario I tidak
layak untuk dijalankan sedangkan skenario II masih layak untuk dijalankan.
Analisis switching value menunjukkan bahwa perubahan penurunan penjualan
yang masih dapat diterima agar usaha layak untuk dijalankan pada skenario I
adalah sebesar 13,22709 persen sedangkan pada skenario II adalah sebesar
10,475618439 persen. Perubahan berupa kenaikan harga kemasan yang masih
27
dapat diterima pada skenario I adalah sebesar 51,034158 persen dan pada skenario
II adalah 66,67150637 persen.
Maulana (2008) melakukan penelitian mengenai analisis kelayakan
pembuatan bandeng isi pada Banisi di Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung,
Jawa Barat. Aspek finansial dalam penelitian tersebut dibagi menjadi tiga
skenario yaitu skenario I adalah usaha dengan perolehan bahan baku yang telah
dilaksanakan oleh BANISI tanpa penambahan alat, skenario II adalah ekspansi
usaha dengan perolehan bahan baku dan alat produksi sebesar dua kali lipat dari
kapasitas normal, dan skenario III yaitu usaha dengan perolehan bahan baku
langsung dari produsen ikan bandeng. Hasil dari penelitian tersebut pada skenario
I didapatkan nilai NPV sebesar Rp 13.646.116, nilai Net B/C 1,2994, IRR sebesar
15 persen dan Payback Period selama 2 tahun 1 bulan. Sedangkan dari skenario
III didapatkan nilai NPV sebesar Rp -527.334.772, karena memperoleh nilai NPV
yang negatif maka untuk kriteria lain alam skenario ini dianggap tidak layak.
Hasil analisis finansial dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa
pengusahaan pembuatan bandeng isi yang dilakukan oleh BANISI hanya layak
dilakukan dalam skenario I dan II, sedangkan apabila dilakukan dalam skenario
III maka usaha tidak layak untu dijalankan. Hasil analisis sensitivitas dari
penelitian menunjukkan hasil bahwa penurunan harga dan penurunan produksi
adalah hal yang paling berpengaruh terhadap kelangsungan usaha pada skenario I
dan II. Sedangkan pada skenario III, kenaikan harga jual merupakan faktor yang
paling berpengaruh agar usaha layak untuk dijalankan.
Noeraeni (2009) melakukan penelitian tentang Analisis Usaha dan Prospek
Pengembangan pada UKM Petikan Cita Halus Citayam, Bogor. Analisis data
dilakukan secara deskriptif, kelayakan finansial, non finansial dan SWOT. Selain
analisis kelayakan usaha, digunakan juga analisis rasio keuangan untuk
mengetahui secara cepat kinerja keuangan perusahaan. Hasil penelitian
menunjukkan UKM PCH tidak layak secara finansial, dengan nilai NPV negative
(Rp -1.031.409.954), B/C ratio kurang dari satu (0,45), IRR sebesar 0,71 persen
masih dibawah tingkat diskonto yang disyaratkan sebesar 16 persen, dan PP
selama 10,03 tahun. Ratio likuiditas, hutang, dan profitabilitas pada tahun 2007
menunjukkan hasil yang menurun dibandingkan tahun 2006, sedangkan rasio
28
aktivitas mengalami peningkatan. Hasil lainnya, berbagai alternatif strategi
pengembangan usaha yang dapat diterapkan di UKM PCH.
Penelitian lain yang dilakukan di perusahaan yang sama adalah Analisis
Prioritas Strategi Bauran Pemasaran Aneka Ikan Asap Produksi Petikan Cita
Halus Citayam Bogor oleh Kadri (2009). Kegiatan strategi bauran pemasaran
yang telah dilakukan PCH adalah menggunakan strategi bauran pemasaran
(marketing max) 4P yaitu product, price, place dan promotion.
Penelitian lain yang pernah dilakukan adalah penelitian tentang Strategi
Pengembangan Usaha Abon Ikan di KUB Hurip Mandiri Kecamatan Cisolok,
Kabupaten Sukabumi oleh Amir (2008). Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui strategi yang paling cocok digunakan KUB Hurip dalam
mengembangkan usaha abon ikannya.Dalam penelitian tersebut, alat analisis yang
dipakai menggunakan SWOT, EFE, IFE, dan PHA.
Berdasarkan penelitian terdahulu yang telah dilakukan, perbedaan yang
ada dengan penelitian ini adalah secara umum memiliki perbedaan dengan lokasi
dan waktu penelitian. Perbedaan pada penelitian Musarofah (2009) dan Maulana
(2008) adalah pada jenis komoditi dan skenario yang dirancang. Pada penelitian
Musarofah (2009) menggunakan dua skenario yang dibedakan hanya dari
kapasitas produksi saja, sedangkan dalam penelitian ini menggunakan dua
skenario yang dibedakan dari kapasitas produksi dan perbaikan packaging produk.
Skenario yang dirancang pada penelitian Maulana (2008) dilakukan berdasarkan
cara perolehan bahan bahan baku, sedangkan pada penelitian ini, skenario usaha
dibedakan berdasarkan kapasitas produksi perbaikan packaging produk dengan
pengembangan usaha.
Adapun pada penelitian Noeraeni (2009) dan Kadri (2009) memiliki
kesamaan pada objek penelitian yaitu pada perusahaan Petikan Cita Halus (PCH).
Perbedaan dengan penelitian Noeraeni (2009) adalah penelitian ini menganalisis
kelayakan finansial perusahaan pada tahun 2006-2007, sedangkan peneliti
menganalisis kelayakan finansial perusahaan pada saat ini dan pengembangan
usaha yang akan dilakukan PCH. Perbedaan dengan penelitian Kadri (2009)
adalah dari adalah dari segi topik dan tujuan penelitian. Penelitian Kadri (2009)
bertujuan untuk menganalisis bauran pemasaran yang dilakukan oleh PCH.
29
Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Amir (2008) sangat berbeda
dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis dari segi topik dan tujuan
penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi yang paling cocok
digunakan KUB Hurip dalam mengembangkan usaha abon ikannya.
Tabel 5. Studi Terdahulu yang Berkaitan dengan Penelitian
Nama Tahun Judul Beda Penelitian TerdahuluMetodeAnalisis
Musarofah 2009 Analisis KelayakanUsaha PengolahanNugget Ikan (Kasuspada Usaha NuggetIkan Putra Barokah,Desa Blanakan,Kecamatan Blanakan,Kabupaten Subang,Jawa Barat)
Dalam penelitian inimenggunakan dua skenarioyang dibedakan hanya darikapasitas produksi.
IRR, NPV,BEP, PBP,NET B/CRatio, AnalisisSwitchingValue
Maulana 2008 Analisis KelayakanPembuatan Bandeng Isipada Banisi diKecamatan Soreang,Kabupaten Bandung,Jawa Barat
Dalam penelitian inimenggunakan tiga skenarioyang dibedakan dari caraperolehan bahan bahan baku.
NPV, IRR,NET B/C,PaybackPeriod
Noeraeni 2009 Analisis Usaha danProspekPengembangan padaUKM Petikan CitaHalus Citayam, Bogor
Dalam penelitian inimenganalisis kelayakanfinansial perusahaan padatahun 2006-2007.
NPV, IRR,NET B/C,PaybackPeriod, RatioLikuiditas,Hutang, danProfitabilitas
Kadri 2009 Analisis PrioritasStrategi BauranPemasaran Aneka IkanAsap Produksi PetikanCita Halus CitayamBogor oleh Kadri
Dalam penelitian inimenganalisis bauranpemasaran.
Bauranpemasaran(marketingmax) 4P yaituproduct, price,place danpromotion.
Amir 2008 Strategi PengembanganUsaha Abon Ikan diKUB Hurip MandiriKecamatan Cisolok,Kabupaten Sukabumi
Dalam penelitian inimenganalisis strategipengembangan usaha.
SWOT, EFE,IFE, dan PHA