buku i final

206
i LAMPIRAN I PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR : 26 Tahun 2010 TANGGAL : 1 Mei 2010 RINGKASAN PERUBAHAN RPJM ACEH 2007-2012 Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) merupakan satu tahapan rencana pembangunan yang harus disusun oleh semua tingkatan pemerintahan, baik pemerintah pusat maupan pemerintah daerah, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UNDANG-UNDANG SPPN). Pemerintah Aceh dalam hal ini sudah mempunyai RPJM Aceh priode 2007 - 2012 yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 21 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 2007 - 2012. Sesuai dengan ketentuan Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang SPPN, RPJM Aceh ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah paling lambat 3 (tiga) bulan setelah kepala daerah dilantik, dan seterusnya merupakan suatu dokumen yang menjadi acuan bagi penyusunan Rencana Kerja Tahunan Pemerintah Daerah dalam bentuk dokumen Rencana Kerja Pemerintah Aceh (RKPA), sebagai landasan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA). Berdasarkan Undang-Undang SPPN, ditegaskan bahwa RPJMA disusun dengan maksud untuk menjabarkan Visi dan Misi Gubernur kepala daerah jangka waktu lima tahun. Dalam RPJMA harus tergambar rencana pembangunan yang terukur baik anggaran maupun target capaian yang diinginkan dalam rangka melakukan perubahan dari suatu kondisi kepada kondisi yang lebih baik. RPJM Aceh Tahun 2007 - 2012 yang sudah ditetapkan dengan Peraturan Gubernur Aceh pada tanggal 7 Mei 2007 sudah dilaksanakan selama priode 2007, 2008, 2009 dan 2010. Namun demikian dalam pelaksanaannya ada sebagian program/kegiatan yang dilaksanakan tidak tercantum dalam RPJM Aceh tersebut, maka untuk mengadopsi program/kegiatan tersebut perlu dilakukan evaluasi dan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 3 huruf b Peraturan

Upload: accountant-and-auditor

Post on 28-May-2015

4.797 views

Category:

Documents


27 download

TRANSCRIPT

i

LAMPIRAN I PERATURAN GUBERNUR ACEHNOMOR : 26 Tahun 2010 TANGGAL : 1 Mei 2010

RINGKASAN PERUBAHAN RPJM ACEH 2007-2012

Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) merupakan satu tahapan

rencana pembangunan yang harus disusun oleh semua tingkatan pemerintahan,

baik pemerintah pusat maupan pemerintah daerah, sebagaimana yang

diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem

Perencanaan Pembangunan Nasional (UNDANG-UNDANG SPPN). Pemerintah Aceh

dalam hal ini sudah mempunyai RPJM Aceh priode 2007 - 2012 yang ditetapkan

dengan Peraturan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 21 tahun 2007

tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam 2007 - 2012.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang SPPN, RPJM

Aceh ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah paling lambat 3 (tiga) bulan

setelah kepala daerah dilantik, dan seterusnya merupakan suatu dokumen yang

menjadi acuan bagi penyusunan Rencana Kerja Tahunan Pemerintah Daerah

dalam bentuk dokumen Rencana Kerja Pemerintah Aceh (RKPA), sebagai landasan

penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA).

Berdasarkan Undang-Undang SPPN, ditegaskan bahwa RPJMA disusun

dengan maksud untuk menjabarkan Visi dan Misi Gubernur kepala daerah jangka

waktu lima tahun. Dalam RPJMA harus tergambar rencana pembangunan yang

terukur baik anggaran maupun target capaian yang diinginkan dalam rangka

melakukan perubahan dari suatu kondisi kepada kondisi yang lebih baik.

RPJM Aceh Tahun 2007 - 2012 yang sudah ditetapkan dengan Peraturan

Gubernur Aceh pada tanggal 7 Mei 2007 sudah dilaksanakan selama priode 2007,

2008, 2009 dan 2010. Namun demikian dalam pelaksanaannya ada sebagian

program/kegiatan yang dilaksanakan tidak tercantum dalam RPJM Aceh tersebut,

maka untuk mengadopsi program/kegiatan tersebut perlu dilakukan evaluasi dan

perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 3 huruf b Peraturan

ii

Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010 - 2014.

Tujuan review dan perubahan RPJM Aceh Tahun 2007 - 2012 adalah

untuk menilai tingkat capaian target dan capaian program kegiatan yang telah dan

akan dilaksanakan serta penyesuaian target nasional. Selanjutnya hasil evaluasi

dan perubahan RPJM Aceh ini dijabarkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Aceh

(RKPA) sebagai pedoman penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Aceh (RAPBA).

Selama kurun waktu tahun 2007 sampai dengan tahun 2010 sudah

dilaksanakan berbagai program/kegiatan pembangunan di Aceh dari berbagai

sumber dana baik Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN), APBA

maupun donor serta swasta. Akan tetapi belum semua program/kegiatan yang

direncanakan sudah dilaksanakan sesuai periode waktu dan sumber dana yang

direncanakan. Hal ini disebabkan berbagai faktor yang mempengaruhi rencana

tersebut, seperti keterbatasan dana yang tersedia, adanya bencana alam yang

terjadi diluar perkiraan sebelumnya serta adanya kebutuhan mendesak yang tidak

dapat ditunda-tunda.

Review dan perubahan RPJM Aceh 2007 - 2012 dilakukan dengan membagi

kelompok program/kegiatan dalam empat kuadran (kelompok). Hasil review dan

perubahan yang dilakukan terhadap RPJM Aceh Priode 2007 - 2012 sebagai

berikut:

1. Kuadran I ; berisi program/kegiatan prioritas yang ada dalam RPJM Aceh

2007 – 2012 dan sudah tuntas dilaksanakan (6 persen).

2. Kuadran II ; berisi program/kegiatan yang ada dalam RPJM Aceh 2007 –

2012, tetapi belum mencapai target (26 persen).

3. Kuadran III; berisi program/kegiatan yang ada dalam RPJM Aceh 2007-2012,

tetapi bukan prioritas sehingga tidak dilaksanakan (28 persen).

4. Kuadran IV ; berisi program/kegiatan yang tidak ada dalam RPJM Aceh

2007–2012, tetapi dilaksanakan pada tahun 2007-2010 dan

masih perlu dituntaskan pada tahun 2011-2012 (40 persen).

iii

Hasil evaluasi RPJM Aceh terdiri dari Buku I (berupa narasi) dan Buku II

(berupa rincian program/kegiatan), menggambarkan bahwa realisasi capaian

target yang ingin dicapai masih belum sepenuhnya dapat dilaksanakan. Hal ini

disebabkan karena ada beberapa kegiatan yang mendesak yang harus

dilaksanakan sesuai dengan situasi dan kondisi daerah. Program/Kegiatan yang

tertera dalam Buku II RPJM Aceh hasil perubahan merupakan capaian target yang

akan dilaksanakan kedepan, dengan mempertimbangkan ketersediaan anggaran

setiap tahunnya.

Hasil perubahan RPJM Aceh tahun 2007-2012 menjadi pedoman bagi

Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota dalam menyusun program/kegiatan

tahunan.

iv

DAFTAR ISI

RINGKASAN PERUBAHAN RPJM ACEH 2007-2012 .............................................. iDAFTAR ISI ......................................................................................................... ivDAFTAR TABEL...................................................................................................... viiiDAFTAR GAMBAR.................................................................................................. xiBAB I PENDAHULUAN.................................................................................. I-1 1.1 Latar Belakang ................................................................................ I - 1

1.2 Maksud dan Tujuan ......................................................................... I - 21.3 Landasan Hukum ............................................................................ I - 31.4 Hubungan RPJM dan Review RPJM Dengan Dokumen

Perencanaan Lainnya........................................................................ I - 51.5 Sistematika Penulisan ....................................................................... I - 6

BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH.............................................. II-12.1 Geografis .......................................................................................... II-12.2 Perekonomian................................................................................... II-2

2.2.1 Kondisi Ekonomi Makro........................................................... II-22.2.1.1 Pertumbuhan Ekonomi.............................................. II-22.2.1.2 Tingkat Inflasi .......................................................... II-32.2.1.3 Tingkat Pengangguran Terbuka................................. II-42.2.1.4 Tingkat Kemiskinan .................................................. II-6

2.2.2 Sektor-Sektor Produksi ........................................................... II-72.2.2.1 Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura .............. II-8

2.2.2.2 Perkebunan.............................................................. II-102.2.2.3 Peternakan .............................................................. II-132.2.2.4 Kelautan dan Perikanan ........................................... II-152.2.2.5 Kehutanan ............................................................... II-172.2.2.6 Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM.......... II-182.2.2.7 Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk........................ II-222.2.2.8 Ketahanan Pangan ................................................... II-252.2.2.9 Penyuluhan.............................................................. II-292.2.2.10 Perkembangan dan Prospek Investasi........................ II-30

2.2.3 Keuangan Aceh ...................................................................... II-312.2.3.1 Pendapatan Asli Aceh (PAA) ...................................... II-322.2.3.2 Dana Perimbangan ................................................... II-332.2.3.3 Dana Otonomi Khusus .............................................. II-332.2.3.4 Tabungan Pemerintah Aceh ...................................... II-342.2.3.5 Sumber Pendapatan Aceh Lainnya............................. II-342.2.3.6 Pengelolaan Keuangan dan kekayaan Aceh ................ II-35

2.3 Agama, Sosial dan Budaya ............................................................... II-362.3.1 Agama .................................................................................. II-362.3.2 Sosial Budaya ........................................................................ II-392.3.3 Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak .................. II-402.3.4 Pemuda dan Olah Raga .......................................................... II-40

2.3.5 Pariwisata .............................................................................. II-43

v

2.4 Pendidikan ..................................................................................... II-482.4.1 Pemerataan dan Perluasan Akses ............................................ II-492.4.2 Mutu, Relevansi dan Daya Saing.............................................. II-522.4.3 Tata Kelola, Akuntabilitas, dan Pencitraan Publik....................... II-542.4.4 Pendidikan Berbasis Nilai Islami .............................................. II-55

2.5 Kesehatan ........................................................................................ II-562.5.1 Status Kesehatan.................................................................... II-572.5.2 Pelayanan Kesehatan.............................................................. II-612.5.3 Kondisi Kesehatan Lingkungan ................................................ II-642.5.4 Pembiayaan Kesehatan ........................................................... II-662.5.5 Fasilitas Kesehatan ................................................................ II-672.5.6 Sumber Daya Tenaga Kesehatan ............................................. II-67

2.6 Sarana dan Prasarana ....................................................................... II-682.6.1 Sumber Daya Air .................................................................... II-682.6.2 Bina Marga dan Cipta Karya .................................................... II-752.6.3 Perhubungan ........................................................................ II-78

2.6.3.1 Transportasi Darat .............................................. II-792.6.3.2 Angkutan Jalan Rel (Prasarana Kereta Api Aceh) ........ II-822.6.3.3 Transportasi Laut ..................................................... II-832.6.3.4 Transportasi Udara................................................... II-882.6.3.5 Pos dan Telekomunikasi ........................................... II-902.6.3.6 Komunikasi, Informasi dan Telematika ...................... II-92

2.6.4 Lingkungan Hidup ................................................................. II-942.6.5 Pertanahan.……………………….................................................. II-962.6.6 Energi dan Sumber Daya Mineral ............................................ II-962.6.7 Kebencanaan......................................................................... II-102

2.7 Pemerintahan Umum ....................................................................... II-1112.7.1 Pemerintahan Aceh .............................................................. II-1112.7.2 Pemerintahan Mukim ............................................................ II-1172.7.3 Pemerintahan Gampong ...................................................... II-1182.7.4 Pelayanan Kependudukan dan Catatan Sipil .......................... II-1202.7.5 Perizinan .............................................................................. II-1232.7.6 Keimigrasian ........................................................................ II-1242.7.7 Ketertiban Umum ................................................................ II-124

2.8 Rencana Aksi Kesinambungan Rekonstruksi Aceh ............................... II-1252.9 Badan Reintegrasi Aceh .................................................................... II-126

BAB III VISI DAN MISI .................................................................................. III-13.1 Visi ............................................................................................... III-13.2 Misi ................................................................................................. III-1

vi

BAB IV STRATEGI PEMBANGUNAN ACEH..................................................... IV-14.1 Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat, Perluasan Kesempatan

Kerja dan Penanggulangan Kemiskinan.............................................. IV-14.2 Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur dan Sumber

Daya Energi Pendukung Investasi...................................................... IV-34.2.1 Sumber Daya Air ................................................................... IV-34.2.2 Bina Marga dan Cipta Karya................................................... IV-44.2.3 Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Telematika.............. IV-54.2.4 Lingkungan Hidup ................................................................. IV-74.2.5 Pertanahan........................................................................... IV-84.2.6 Energi dan Sumber Daya Mineral ........................................... IV-8

4.3 Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pemerataan Kesempatan Belajar ............................................................................................. IV-104.3.1 Pemerataan dan Perluasan Akses .......................................... IV-104.3.2 Mutu, Relevansi dan Daya Saing............................................ IV-114.3.3 Tata Kelola, Akuntabilitas dan Pencitraan Publik ..................... IV-114.3.4 Penerapan Sistem Pendidikan Bernuansa Islami ..................... IV-11

4.4 Peningkatan Mutu dan Pemerataan Pelayanan Kesehatan ................... IV-124.5 Pembangunan Syari’at Islam, Sosial dan Budaya ................................ IV-13

4.5.1 Syari’at Islam ....................................................................... IV-134.5.2 Sosial Budaya....................................................................... IV-14

4.6 Penciptaan Pemerintah Yang Baik dan Bersih Serta Penyehatan Birokrasi Pemerintahan .................................................. IV-15

4.7 Penanganan dan Pengurangan Resiko Bencana.................................. IV-16

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH............................................ V-15.1 Arah Kebijakan Pengelolaan Pendapatan............................................ V-25.2 Arah Kebijakan Pengelolaan Belanja .................................................. V-65.3 Arah Kebijakan Umum Anggaran ...................................................... V-7

BAB VI ARAH KEBIJAKAN UMUM .................................................................. VI-16.1 Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat, Perluasan Kesempatan

Kerja dan Penanggulangan Kemiskinan.............................................. VI-16.2 Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur dan Sumber

Daya Energi Pendukung Investasi...................................................... VI-36.2.1 Sumber Daya Air .................................................................. VI-46.2.2 Bina Marga dan Cipta Karya .................................................. VI-56.2.3 Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Telematika ............. VI-66.2.4 Lingkungan Hidup ................................................................ VI-76.2.5 Pertanahan .......................................................................... VI-76.2.6 Energi dan Sumber Daya Mineral........................................... VI-8

6.3 Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pemerataan Kesempatan Belajar ............................................................................................. VI-96.3.1 Pemerataan dan Perluasan Akses .......................................... VI-96.3.2 Mutu, Relevansi dan Daya Saing............................................ VI-10

vii

6.3.3 Tata Kelola, Akuntabilitas dan Pencitraan Publik..................... VI-106.3.4 Penerapan Sistem Pendidikan Bernuansa Islami..................... VI-11

6.4 Peningkatan Mutu dan Pemerataan Pelayanan Kesehatan ................... VI-116.5 Pembanguan Syari’at Islam, Sosial dan Budaya .................................. VI-126.6 Penciptaan Pemerintah Yang Baik dan Bersih Serta

Penyehatan Birokrasi Pemerintahan................................................... VI-146.7 Penanganan dan Pengurangan Resiko Bencana.................................. VI-15

BAB VII PROGRAM PEMBANGUNAN ACEH.......................................................... VII-17.1 Midterm Review Pelaksanaan RPJM 2007-2012 ................................. VII-17.2 Revisi dan Penyesuaian RPJM 2007-2012........................................... VII-47.3 Hasil Revisi Program dan Kegiatan..................................................... VII-4

BAB VIII PENUTUP ........................................................................................... VIII-18.1 Program Transisi .............................................................................. VIII-18.2 Kaidah Pelaksanaan.......................................................................... VIII-1

LAMPIRAN-LAMPIRAN

viii

DAFTAR TABEL

1. Tabel II.1 : Laju Pertumbuhan Ekonomi Aceh Tahun 2008 dan 2009 Menurut Lapangan Usaha...................................................... II-3

2. Tabel. II.2 : Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka di Aceh Selama Periode 2006 – 2010.............................................................. II-5

3. Tabel. II.3 : Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin di Aceh Selama Periode2007-2009............................................................................. II-7

4. Tabel II.4 : Perkembangan Produktivitas Tanaman Pangan Menurut Komoditi di Aceh Tahun 2007-2009 ........................................ II-10

5. Tabel II.5 : Luas Areal Tanaman Perkebunan Rakyat dan Besar Menurut Komoditi di Aceh Tahun 2007-2009 ........................................ II-11

6. Tabel II.6 : Produksi Tanaman Perkebunan Rakyat dan Besar Menurut Komoditi di Aceh Tahun 2007–2009* ...................................... II-12

7. Tabel II.7 : Perkembangan Populasi Ternak Menurut Jenis di Aceh Tahun 2008-2009............................................................................. II-14

8. Tabel II.8 : Perkembangan Produksi Telur Menurut Jenisd di Aceh tahun 2008-2009............................................................................. II-15

9. Tabel II.9 : Produksi Perikanan di Aceh Tahun 2007-2009 ......................... II-16

10.Tabel II.10 : Perkembangan Industri Di Aceh Tahun 2007-2009................... II-19

11.Tabel II.11 : Perkembangan Koperasi di Aceh Tahun 2004-2009.................. II-22

12.Tabel II.12 : Kesempatan kerja Menurut Sektor Usaha Tahun 2009 ............. II-23

13.Tabel II.13 : Produksi beberapa komoditi pangan penting tahun 2007-2008 . II-26

14.Tabel II.14 : Kondisi Sebaran Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) per Kabupaten/Kota..................................................................... II-29

15.Tabel II.15 : Jumlah BPP dan Koptan per Kabupaten/Kota Tahun 2009 ........ II-30

16.Tabel II.16 : Jumlah Realisasi Sumber Penerimaan Daerah lainnya 2008-2009............................................................................. II-34

ix

17.Tabel II.17 : Jumlah Penduduk Aceh Menurut Kelompok Umur di Provinsi Aceh Tahun 2008 .................................................................. II-41

18.Tabel II.18 : Jumlah Objek Wisata Menurut Jenis di Aceh ........................... II-444

19.Tabel II.19 : Jumlah Kunjungan Wisatawan Tahun 2005-2009..................... II-45

20.Tabel II.20 : Perkembangan Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni Penduduk Usia Sekolah di Aceh 2007 – 2009. II-49

21.Tabel II.21 : Proyeksi Angka Partisipasi Murni ............................................. II-50

22.Tabel II.22 : Jumlah Sekolah di Aceh Tahun 2008/2009 .............................. II-50

23.Tabel II.23 : Jumlah Guru Menurut Jenjang Pendidikan Tahun 2008/2009.... II-53

24.Tabel. II.24 : 10 (sepuluh) Jenis Penyakit Terbanyak Berbasis Puskesmas dan Rumah Sakit.......................................................................... II-58

25.Tabel: II.25 : Jumlah Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dasar di Aceh 2007- 2008 ..................................................................................... II-62

26.Tabel. II.26 : Peningkatan Cakupan Imunisasi ............................................. II-63

27.Tabel II.27 : Sumber Pembiayaan Kesehatan.............................................. II-66

28.TabelL II.28 : Pengembangan Pengelolaan Wilayah Sungai (Ws) di Aceh ....... II-69

29.TabelL II.29 : Pengembangan Daerah Irigasi (DI) di Aceh............................. II-72

30.TabelL II.30 : Pengembangan Waduk di Wilayah Aceh .................................. II-74

31.Tabel II.31 : Kerusakan Lingkungan di Pemerintah Aceh ............................. II-95

32.Tabel II.32 : Kapasitas Terpasang dan Daya Mampu Pembangkit Wilayah Aceh Tahun 2008 .................................................................. II-97

33.Tabel II.33 : Komposisi Beban Puncak pada Tahun 2008 ............................. II-99

34.Tabel II.34 : Bencana Gunung Api Aceh ..................................................... II-105

35.Tabel II.35 : Rincian Jejang Pendidikan PNS Pada Pemerintah Aceh ............. II-112

36.Tabel II.36 : Jumlah PNS pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Aceh ..................................................................................... II-114

x

37.Tabel 5.1 : Proyeksi dan Prospek Pendapatan Daerah Aceh Tahun 2007-2012............................................................................. V-10

38.Tabel 7.1 : Review Pelaksanaan Kegiatan/Anggaran Pembangunan periode tahun 2007 - 2010 menurut kriteria Kuadran ............... VII-2

39.Tabel 7.2 : Review perubahan RPJM 2007-2012 berdasarkan 7 (tujuh) Prioritas Pembangunan .......................................................... VII-4

xi

DAFTAR GAMBAR

1. Gambar II.1 : Peta Kejadian Bencana Geologis di Aceh ................................ II-104

2. Gambar II.2 : Peta Kejadian Bencana Hidro-meteorologis di Aceh................. II-107

3. Gambar VII.1 : Skema Kuadran dan Kriteria Review Program RPJM Aceh 2007-2012 ........................................................................... VII-2

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 I-1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) merupakan satu tahapan

rencana pembangunan yang harus disusun oleh semua tingkatan pemerintahan,

baik pemerintah pusat maupan pemerintah daerah, sebagaimana yang

diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem

Perencanaan Pembangunan Nasional. Pemerintah Aceh dalam hal ini sudah

mempunyai RPJM Aceh periode 2007-2012 yang ditetapkan dengan Peraturan

Gubernur Aceh Nomor 21 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Aceh 2007-2012.

Sesuai dengan Undang-undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem

Perencanaan Pembangunan Nasional bahwa Rencana Pembangunan Jangka

Menengah (RPJM) Pemerintah Daerah disusun dengan maksud untuk

menjabarkan Visi dan Misi Gubernur sebagai kepala daerah dalam jangka waktu

lima tahun, kemudian RPJM tersebut harus menggambarkan rencana

pembangunan yang terukur baik anggaran maupun target capaian yang diinginkan

dalam rangka melakukan perubahan dari suatu kondisi kepada kondisi yang lebih

baik.

Sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2010 sudah dilaksanakan berbagai

program/kegiatan pembangunan di Aceh dari berbagai sumber dana baik APBN,

APBA maupun Donor dan swasta, namun program dan kegiatan yang

direncanakan belum semuanya dapat dilaksanakan sesuai dengan RPJM. Hal ini

disebabkan oleh banyaknya faktor yang mempengaruhi rencana tersebut seperti

keterbatasan dana yang tersedia, terjadinya bencana alam serta adanya kegiatan

mendesak lainnya yang harus segera dilaksanakan.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2010 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2010-2014, pasal 2

ayat 3.b yang disebutkan bahwa RPJMN berfungsi sebagai bahan penyusunan dan

perbaikan RPJM Daerah dengan memperhatikan tugas Pemerintah di Daerah

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 I-2

dalam mencapai sasaran Nasional yang termuat dalam RPJM Nasional, dari hal

tersebut maka RPJM Aceh sudah selayaknya dilakukan evaluasi dan penyesuaian

dengan tetap berorientasi pada VISI dan MISI Pemerintah Aceh yang sudah

ditetapkan.

Evaluasi dan penyesuaian RPJM Aceh 2007-2012 dibagi dalam empat

kwadran (kelompok) yaitu: kwadran pertama berisi semua program/kegiatan

prioritas yang ada dalam RPJM dilaksanakan dengan sempurna dan mencapai

target, kwadran kedua berisi program/kegiatan prioritas yang ada dalam RPJM

dilaksanakan tapi belum mencapai target, kwadran ketiga berisi program/kegiatan

prioritas tidak ada dalam RPJM tapi dilaksanakan dan kwadran keempat berisi

program/kegiatan yang tidak prioritas dalam RPJM tapi dilaksanakan.

Hasil evaluasi dan penyesuaian yang dilakukan terhadap RPJM Aceh Periode

2007-2012 sebagai berikut:

1. Kwadran Pertama yang berisi program/kegiatan prioritas yang ada dalam RPJM

Aceh 2007 - 2012 dan dilaksanakan dengan sempurna sebesar 6 persen;

2. Kwadran Kedua yang berisi program/kegiatan prioritas yang ada dalam RPJM

Aceh 2007 - 2012 dilaksanakan tapi belum mencapai target sebesar 26 persen;

3. Kwadran Ketiga yang berisi program/kegiatan prioritas yang ada dalam RPJM

Aceh 2007-2012 tapi tidak dilaksanakan sebesar 28 persen;

4. Kwadran Keempat yang berisi program/kegiatan yang tidak ada dalam RPJM

Aceh 2007 - 2012 tapi dilaksanakan sebesar 40 persen.

Hasil Evaluasi dan penyesuaian tersebut menggambarkan bahwa realisasi

capaian target yang ingin dicapai masih jauh dari yang diharapkan, maka untuk

mengejar target yang sudah direncanakan perlu dilakukan penyesuaian

program/kegiatan baik yang sudah dilaksanakan maupun yang belum

dilaksanakan dalam periode dua tahun lagi.

1.2 Maksud dan Tujuan

Sesuai dengan ketentuan Pasal 19 ayat (3) Undang-undang Nomor 25 tahun

2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, RPJM Daerah

ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah paling lambat 3 (tiga) bulan setelah

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 I-3

kepala daerah dilantik, yang kemudian menjadi suatu dokumen sebagai acuan

untuk penyusunan Rencana Kerja Tahunan Pemerintah Daerah dalam bentuk

dokumen Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan sebagai landasan

penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD).

RPJM Aceh Tahun 2007 - 2012 yang telah ditetapkan dengan Peraturan

Gubernur Aceh Nomor 21 tahun 2007 sudah dilaksanakan selama priode 2007,

2008, 2009 dan 2010, namun banyak program/kegiatan yang dilaksanakan tidak

ada dalam RPJM Aceh tersebut, maka perlu dilakukan evaluasi dan penyesuaian

sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia

Nomor 5 tahun 2010 pasal 2 ayat 3 point b.

Tujuan evaluasi dan penyesuaian RPJM Aceh priode 2007-2012 adalah untuk

menilai tingkat capaian target dan program kegiatan yang telah dan akan

dilaksanakan serta penyesuaian target nasional (RPJMN 2010-2014). Selanjutnya

hasil evaluasi dan penyesuaian RPJM Aceh ini akan menjadi acuan untuk

penyusunan Rencana Kerja Tahunan Pemerintah Aceh dalam bentuk dokumen

Rencana Kerja Pemerintah Aceh (RKPA) sebagai landasan penyusunan Rancangan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA).

1.3 Landasan Hukum

Beberapa peraturan dan perundang-undangan yang mendasari evaluasi dan

penyesuaian Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh periode

2007-2012 adalah sebagai berikut:

1. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom

Provinsi Aceh dan Perubahan Provinsi Sumatera Utara;

2. Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan

Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh;

3. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 tahun 2000 tentang Kawasan

Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang;

4. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;

5. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 I-4

6. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

sebagaimana telah diubah dengan Undang–undang Nomor 8 Tahun 2005

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3

Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 32 tentang

Pemerintahan Daerah menjadi Undang-undang;

7. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat

dan Daerah;

8. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional;

9. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2005 tentang Badan

Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan dan Kepulauan Nias Provinsi

Sumatera Utara menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2005 (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2005

Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4550);

10. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh;

11. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan

Jangka Panjang Nasional;

12. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan

Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi sebagai Daerah Otonom;

13. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Nasional 2004-2009;

14. Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pengakhiran Masa Tugas

Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias dan Provinsi

Sumatera Utara dan Kesinambungan Rehabilitasi dan Rekontruksi di Wilayah

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera

Utara;

15. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014;

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 I-5

16. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 050/2020/SJ tentang Petunjuk

Penyusunan Dokumen RPJP dan RPJM Daerah;

17. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman

Pengelolaan Keuangan Daerah;

18. Qanun Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim Dalam Propinsi

NAD;

19. Qanun Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong Dalam Propinsi

NAD sebagai salah satu Landasan Hukum;

20. Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Keuangan Aceh

(Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2008 Nomor 01,

Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11);

21. Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian

Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan Dana

Otonomi Khusus (Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2008

Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor

12).

1.4 Hubungan RPJM dan Review RPJM dengan Dokumen Perencanaan Lainnya

Sebagaimana kita ketahui bahwa perencanaan adalah suatu proses untuk

menentukan tindakan masa depan yang tepat melalui urutan pilihan dengan

memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Untuk mencapai proses tersebut,

maka keterkaitan suatu dokumen perencanaan dengan dokumen perencanaan

lainnya sangat erat dan menentukan. Dalam hal ini hubungan hasil evaluasi dan

penyesuaian Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh ini dengan

Kebijakan Pembangunan Nasional maupun Rencana Pembangunan

Kabupaten/Kota diharapkan tetap sinergis saling berkaitan suatu sama lain sesuai

dengan kewenangan masing-masing.

Hasil Penyesuaian RPJM Aceh ini menjadi pedoman dalam rangka

penyesuian dokumen-dokumen lainnya seperti:

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 I-6

1. Rencana pembangunan lima tahunan Satuan Kerja Perangkat Aceh yang

selanjutnya disebut Rencana Strategis (Renstra) SKPA;

2. Rencana Pembangunan Tahunan Aceh, yang selanjutnya disebut Rencana

Kerja Pemerintah Aceh (RKPA) adalah dokumen perencanaan daerah untuk

periode 1 (satu) tahun.

3. Rencana Pembangunan Tahunan Satuan Kerja Perangkat Aceh, yang

selanjutnya disebut Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Aceh (Renja-SKPA)

adalah dokumen perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk periode 1

(satu) tahun.

Dengan demikian diharapkan akan terciptanya sinkronisasi program

pembangunan antar sektor dan wilayah baik bersifat jangka panjang, menengah,

maupun jangka pendek, sehingga terwujudnya pembangunan yang terpadu dan

berkelanjutan.

1.5. Sistimatika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN Terdiri dari latar belakang; maksud dan tujuan; landasan hukum;

hubungan RPJM dengan dokumen perencanaan lainnya; danSistematika Penulisan.

BAB II : GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAHDalam bab ini diuraikan kondisi akhir tahun 2009 Terdiri dari kondisi geografis; Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat, Perluasan Kesempatan Kerja dan Penanggulangan Kemiskinan; Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur dan Sumber Daya Energi Pendukung Investasi; Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pemerataan Kesempatan Belajar; Peningkatan Mutu dan Pemerataan Pelayanan Kesehatan; Pembangunan Syari’at Islam, Sosial dan Budaya; Penciptaan Pemerintah yang Baik dan Bersih serta Penyehatan Birokrasi Pemerintahan; Penanganan dan Pengurangan Resiko Bencana.

BAB III : VISI DAN MISI Tetap tidak berubah

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 I-7

BAB IV : STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAHStrategis disesuaikan dengan kondisi akhir 2009 Terdiri dari Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat, Perluasan Kesempatan Kerja dan Penanggulangan Kemiskinan; Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur dan Sumber Daya Energi Pendukung Investasi;Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pemerataan Kesempatan Belajar;Peningkatan Mutu dan Pemerataan Pelayanan Kesehatan;Pembangunan Syari’at Islam, Sosial dan Budaya; Penciptaan Pemerintah yang Baik dan Bersih serta Penyehatan BirokrasiPemerintahan; Penanganan dan Pengurangan Resiko Bencana.

BAB V : ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Disesuaikan dengan kondisi akhir 2009

BAB VI : ARAH KEBIJAKAN UMUMDisesuaikan dengan kondisi 2009Terdiri dari Bidang Pemerintahan, Politik, dan Hukum; Ekonomi; Infrastruktur; Pendidikan; Kesehatan; Agama, Sosial dan Budaya.

BAB VII : PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH Disesuaikan dengan hasil pembahasan PokjaTabel Program Pembangunan Daerah 2007-2012

BAB VIII : P E N U T U P

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-1

BAB II

GAMBARAN UMUM KONDISI ACEH

2.1 Geografis

Aceh terletak di ujung Barat laut Pulau Sumatera (2o-6o Lintang Utara dan

95o-98o Bujur Timur) dengan Ibukota Banda Aceh, memiliki luas wilayah 5.675.841

ha (12,26 persen dari luas pulau Sumatera), dan sekaligus terletak pada posisi

strategis sebagai pintu gerbang lalu lintas perdagangan Nasional dan Internasional

yang menghubungkan belahan dunia timur dan barat.

Aceh memiliki 119 pulau, 35 gunung, 73 sungai besar, 2 buah danau dan

sebagian besar wilayahnya merupakan kawasan hutan sebesar 3.862.249,26 ha

yang terdiri dari hutan yang dilindungi dan hutan produksi. Hutan yang dilindungi

terdiri dari hutan suaka alam 115.122,15 ha, hutan pelestarian alam 647.344,82,

hutan lindung 2.481.442,86, dan taman buru 84.962,53 ha, selanjutnya hutan

produksi terdiri dari hutan produksi terbatas 13.331,54, hutan produksi

122.781,15 ha, dan hutan produksi konversi 37.284,20 ha. Aceh mempunyai

beragam kekayaan sumberdaya alam antara lain minyak dan gas bumi, pertanian,

industri, perkebunan (kelapa sawit, karet, kelapa, cengkeh, kakao, kopi,

tembakau), perikanan darat dan laut, pertambangan umum (logam, batu bara,

emas, dan mineral lainnya).

Pemerintah Aceh terdiri dari 18 Kabupaten dan 5 Kota, 276 Kecamatan, 731

Mukim dan 6.424 gampong atau desa. Secara topografi Aceh terdiri dari 47,58

persen wilayah yang bergunung, 24,63 persen merupakan daerah datar, 10

persen merupakan daerah berbukit, 10,55 persen merupakan wilayah berombak

dan selebihnya wilayah bergelombang. Keterangan tersebut menurut klasilifikasi

slope (kelerengan), yaitu < 2 persen datar, 2-8 persen berombak, 8-15 persen

bergelombang, 15-25 persen berbukit dan >25 persen bergunung.

Karakteristik lahan di Aceh pada Tahun 2008 sebagian besar didominasi

oleh hutan, dengan luas 3.549.813 Ha atau 58,15 persen. Penggunaan lahan

terluas kedua adalah perkebunan besar dan kecil mencapai 827.030 Ha atau 13,65

persen dari luas total wilayah Aceh. Luas lahan pertanian sawah dan pertanian

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-2

tanah kering semusim mencapai 449,514 Ha atau 7.59 persen dan selebihnya

lahan pertambangan, industri, perkampungan perairan darat, tanah terbuka dan

lahan suaka alam lainnya dibawah 5.99 persen.

2.2 Perekonomian

2.2.1 Kondisi Ekonomi Makro

2.2.1.1 Pertumbuhan Ekonomi

Jika diukur dari kenaikan PDRB, perekonomian Aceh secara keseluruhan

(termasuk migas) selama dua tahun terakhir (2008-2009) secara berturut-turut

mengalami pertumbuhan negatif yaitu sebesar -5,27 persen dan -5,58 persen.

Akan tetapi tanpa migas perekonomian Aceh selama periode tersebut justru

mengalami perkembangan yang menggembirakan yaitu mengalami pertumbuhan

positif secara berturut-turut sebesar 1,88 persen dan 3,92 persen.

Penyebab utama pertumbuhan negatif (kontraksi) perekonomian Aceh

secara keseluruhan (termasuk migas) selama beberapa tahun terakhir adalah

disebabkan oleh semakin menurunnya kontribusi minyak dan gas bumi terhadap

PDRB. Akibat masih dominannya kontribusi minyak dan gas bumi terhadap PDRB

Aceh menyebabkan perubahannya berdampak signifikan terhadap pertumbuhan

ekonomi secara keseluruhan.

Jika tanpa memperhitungkan nilai kontribusi minyak dan gas bumi, selama

periode 2008-2009 semua sektor usaha mengalami pertumbuhan positif.

Pertumbuhan tertinggi terjadi di sektor listrik dan air bersih yang diikuti oleh

sektor keuangan, industri pengolahan, perdagangan hotel dan restoran, jasa-jasa,

pengangkutan dan komunikasi, pertanian, bangunan, serta pertambangan dan

penggalian.

Pertumbuhan ekonomi Aceh tahun 2008 dan 2009 menurut lapangan usaha

(sektor-sektor) secara lebih terinci dapat dilihat pada Tabel II.1 dibawah ini:

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-3

Tabel II.1Laju Pertumbuhan Ekonomi Aceh

Tahun 2008 dan 2009 Menurut Lapangan Usaha

Sumber : BPS Aceh, 2010Catatan : *) angka sementara **) angka sangat sementara

Mencermati perkembangan partumbuhan ekonomi Aceh yang semakin

meningkat selama beberapa tahun terakhir khususnya pertumbuhan ekonomi

tanpa migas, bahwa pertumbuhan tersebut masih jauh dibawah pertumbuhan

ekonomi nasional yang tumbuh sekitar 4,5 persen pada tahun 2009.

2.2.1.2 Tingkat Inflasi

Jika diamati perkembangan harga-harga barang di dua kota utama Aceh

(Banda Aceh dan Lhokseumawe), tingkat inflasi yang terjadi di Aceh pada tahun

2009 tercatat sangat rendah selama beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2009

tingkat inflasi yang terjadi di Kota Banda Aceh adalah sebesar 3,5 persen jauh

LAPANGAN USAHAPertumbuhan (persen)

2008 2009**

(1) (2) (3)

1. Pertanian 0,81 3,09

2. Pertambangan dan Penggalian -27,31 -49,24

- Tanpa Gas -1,01 1,38

3. Industri Pengolahan -7,73 -6,06

- Tanpa Gas 3,57 5,03

4. Listrik dan Air Bersih 12,73 27,07

5. Bangunan -0,85 3,16

6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 4,59 3,28

7. Pengangkutan dan Komunikasi 1,38 4,68

8. Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan 5,16 9,61

9. Jasa – Jasa 1,21 4,68

PDRB -5,27 -5,58

PDRB TanpaMigas 1,88 3,92

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-4

lebih rendah dibandingkan tahun 2008 yang sebesar 10,27 persen. Sedangkan

tingkat inflasi di Kota Lhokseumawe pada tahun 2009 sebesar 3,96 persen juga

jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat inflasi yang terjadi pada tahun

2008 yaitu sebesar 13,78 persen.

Tingkat suku bunga yang relatif rendah selama tahun 2009 ternyata tidak

memberi pengaruh signifikan terhadap tingkat inflasi di Aceh dalam kurun waktu

yang sama. Rendahnya inflasi yang terjadi selama tahun 2009 jika dibandingkan

dengan tahun-tahun sebelumnya cenderung terutama dipengaruhi oleh kebijakan

pemerintah yang tidak menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Tarif

Dasar Listrik (TDR) selama tahun 2009.

Disamping itu, berkurangnya secara drastis aktifitas rehabilitasi dan

rekonstruksi Aceh selama tahun 2009, dari sisi demand telah menyebabkan

turunnya permintaan terhadap barang dan jasa kebutuhan kegiatan

pembangunan. Sedangkan dari sisi supply, perbaikan infrastruktur, unit-unit

produksi dan system distribusi barang telah menciptakan pasar yang lebih

sempurna, dan fenomena tersebut juga memberi andil cukup besar terhadap

rendahnya tingkat inflasi selama tahun 2009.

Rendahnya tingkat inflasi di Aceh pada tahun 2009 jika dibandingkan

dengan tingkat inflasi yang terjadi pada beberapa tahun sebelumnya, maka

kondisi tersebut minimal perlu dipertahankan agar pembangunan ekonomi terus

dapat ditingkatkan.

2.2.1.3 Tingkat Pengangguran Terbuka

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) merupakan salah satu indikator yang

dapat menggambarkan kondisi umum perekonomian suatu wilayah, dan sekaligus

memberikan gambaran aktivitas masyarakat dalam mencapai kesejahteraan. TPT

diukur berdasarkan persentase jumlah angkatan kerja yang tidak bekerja yang

dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah kondisi sosial, budaya, dan

ekonomi lingkungan, serta kondisi internal angkatan kerja itu sendiri.

Jumlah angkatan kerja di Aceh pada tahun 2009 mencapai 1,897 juta orang

mengalami penambahan sekitar 104 ribu orang dari kondisi 2008 yang hanya

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-5

sebanyak 1,793 juta orang. Sedangkan jumlah penduduk yang bekerja pada tahun

2009 adalah sebanyak 1,732 juta orang atau bertambah sekitar 110 ribu orang

dari tahun 2008 yang hanya sebanyak 1,622 juta orang. Peningkatan jumlah

orang yang bekerja lebih besar dari peningkatan jumlah angkatan kerja yang

terjadi pada tahun 2009 telah menyebabkan menurunnya TPT di Aceh. Kondisi

yang yang sama, juga terjadi selama beberapa tahun sebelumnya, akibat semakin

bertambahnya kesempatan kerja dan semakin luasnya lapangan usaha yang

tercipta.

Semakin kondusifnya keamanan daerah dan semakin baiknya kondisi

berbagai sarana dan prasarana daerah, serta semakin terbukanya akses daerah

terhadap dunia luar telah mendorong masyarakat untuk lebih berpartisipasi dalam

akselerasi pembangunan Aceh. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya

tumbuh unit-unit usaha kecil dan menengah baik oleh pelaku-pelaku ekonomi lokal

maupun tumbuh melalui kemitraan dengan pengusaha-pengusaha luar daerah dan

asing.

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Aceh pada tahun 2009 (kondisi

bulan Agustus) adalah sebesar 8,71 persen yaitu mengalami penurunan sebesar

0,85 persen dari TPT tahun 2008 (pada bulan yang sama) yang mencapai 9,56

persen. Pada tahun 2010 (kondisi Februari), TPT di Aceh semakin menurun yaitu

8,60 persen yang berarti mengalami penurunan sebesar 0,11 persen selama satu

semester.

Perkembangan TPT di Aceh selama 5 tahun terakhir adalah seperti

diperlihatkan pada Tabel II.2 dibawah ini:

Tabel. II.2Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka

di Aceh Selama Periode 2006 - 2010

TAHUN Tingkat Pengangguran(%)

2006 10,43

2007 9,84

2008 9,562009 8,71

2010*) 8,60Sumber : BPS Aceh, 10 Februari 2010*) kondisi Februari 2010

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-6

Walaupun TPT di Aceh terus mengalami penurun selama lima tahun

terakhir, namun kondisi tersebut masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan TPT

nasional yang pada tahun 2009 sebesar 8,14 persen. Kondisi tersebut perlu

menjadi perhatian dan memerlukan beberapa kebijakan agar TPT di Aceh mampu

ditekan minimal setara dengan nasional.

2.2.1.4 Tingkat Kemiskinan

Kondisi damai yang masih terpelihara dengan baik saat ini merupakan

suatu modal yang sangat besar bagi Aceh dalam melaksanakan berbagai program

pembangunan, terutama yang berdampak langsung terhadap pemberdayaan

ekonomi masyarakat dan diharapkan dapat berimbas terhadap menurunnya

jumlah penduduk miskin.

Tingkat kemiskinan di Aceh selama periode 2007-2009 terus mengalami

penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007 tingkat kemiskinan di Aceh

adalah sebesar 26,65 persen yang pada tahun-tahun selanjutnya terus menurun

menjadi 23,53 persen di 2008 dan 21,80 persen pada tahun 2009.

Sebagaimana halnya dengan kondisi penyebaran penduduk miskin secara

nasional, bahwa penduduk miskin di Aceh juga lebih banyak berdomisili di daerah

perdesaan dibandingkan dengan yang bermukim di perkotaan. Berdasarkan data

statistik tahun 2009, bahwa dari total jumlah penduduk miskin yang mencapai

892.900 jiwa yang berdomisili di pedesaan adalah sebanyak 710.700 jiwa,

sedangkan yang berdomisili di perkotaan sebesar 182.200 jiwa. Secara

persentase, bahwa 24,34 persen penduduk desa adalah tergolong miskin,

sedangkan penduduk kota hanya 15,45 persen yang tergolong miskin. Tingginya

persentase pendudk miskin di pedesaan cenderung disebabkan oleh beberapa

faktor diantaranya adalah masih rendahnya rata-rata tingkat pendidikan (skill),

minimnya infrastruktur, serta terbatasnya akses terhadap arus informasi

pembangunan dan teknologi.

Perkembangan penduduk miskin di Aceh selama periode 2007-2009 dapat

dilihat pada Tabel II.3 dibawah ini:

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-7

Tabel. II.3

Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin di Aceh Selama Periode 2007-2009

Tahun Jumlah Penduduk Miskin(ribu orang)

Persentase Penduduk Miskin(%)

2007 1.083,6 26,65

2008 956,7 23,53

2009 892,9 21,80Sumber : BPS Aceh tahun 2009

2.2.2 Sektor-Sektor Produksi

Secara umum, sektor pertanian dalam arti luas masih menjadi penyumbang

utama terhadap PDRB Aceh dimana pada tahun 2009 kontribusinya adalah

sebesar 33,69 persen. Dengan demikian sektor pertanian menjadi penyokong

utama perekonomian Aceh, disamping juga masih sebagai mata pencaharian

utama masyarakat. Akan tetapi dalam pengembangannya, sektor ini masih banyak

menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan, antara lain adalah:

a. Masih tingginya konflik kepentingan dalam pemanfaatan lahan yang

ditunjukkan dengan tingginya konversi lahan pertanian sehingga hal ini dapat

mengancam tingkat produksi pertanian;

b. Masih kurang memadainya infrastruktur pertanian, terutama jaringan irigasi,

jalan usaha tani, saluran tambak, pelabuhan perikanan, dan balai

pembibitan/perbenihan, sehingga produktivitas sektor pertanian tergolong

masih rendah;

c. Pengembangan komoditi belum fokus pada komodi unggulan yang memiliki

prospek pasar serta nilai tambah yang tinggi

d. Skala usaha pertanian rakyat tergolong masih sangat kecil, terutama jika

dibandingkan dengan potensi ketersediaan lahan yang ada

e. Masih lemahnya aplikasi teknologi dalam proses produksi dan pengolahan

hasil akibat belum optimalnya mekanisasi dan penyuluhan pertanian.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-8

f. Lemahnya akses petani terhadap sumber informasi terutama yang berkaitan

dengan teknologi, pasar, dan permodalan/perbankan; dan

g. Masih lemahnya kelembagaan petani dan kemitraan usaha.

2.2.2.1 Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura

Produksi komoditi pangan Aceh dalam beberapa tahun terakhir secara

keseluruhan menunjukkan perkembangan yang positif. Tahun 2009 (berdasarkan

angka sementara), produksi padi mengalami peningkatan sebesar 10,23 persen

yaitu dari 1.402.287 juta ton pada tahun 2008 meningkat menjadi 1.545.769 ton

pada tahun 2009. Produksi tersebut terdiri dari padi sawah (1.528.737 ton) dan

padi ladang (17.032 ton). Sedangkan komoditi pangan yang mengalami

peningkatan produksi paling signifikan adalah jagung dan kedelai, dimana pada

tahun 2009 peningkatannya mencapai di atas 20 persen. Produksi jagung

mengalami peningkatan sebesar 22,16 persen yaitu sebesar 112.894 ton pada

tahun 2008 meningkat menjadi 137.910 ton pada tahun 2009. Produksi kedelai

bahkan mengalami peningkatan yang luar biasa yaitu sebesar 44,55 persen, dari

43.885 ton pada tahun 2008 meningkat menjadi 63.436 ton pada tahun 2009.

Komoditi pangan yang mengalami pertumbuhan produksi negatif adalah

kacang tanah dan kacang hijau. Produksi kacang tanah pada tahun 2009 hanya

mencapai 5.899 ton atau menurun sebesar 423 ton (-6,69 persen) jika dibanding

dengan tahun 2008 yang produksinya mencapai 6.322 ton. Sedangkan kacang

hijau yang terjadi penurunan sebesar 439 ton (-24,70 persen) jika dibandingkan

dengan produksi tahun 2008 yaitu sebesar 1.439 ton menurun menjadi 1.338 ton

pada tahun 2009

Dinilai dari sisi produktivitas, pada tahun 2009 hampir semua komoditi

tanaman pangan mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya

kecuali pada komoditi kacang tanah dan kacang hijau. Peningkatan produktivitas

salah satunya mencerminkan sejauhmana penerapan teknologi pertanian yang

diaplikasikan oleh petani untuk meningkatkan hasil produksinya per satuan luas,

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-9

seperti penggunaan benih unggul, aplikasi teknologi pendukung lainnya (seperti

pupuk dan pengendalian OPT), dan dukungan infrastruktur seperti irigasi teknis.

Peningkatan produktivitas pertanian pangan dan hortikultura harus tetap

menjadi prioritas ke depan, mengingat produktivitas yang tinggi akan berdampak

pada peningkatan kesejahteraan petani ke arah yang lebih baik. Laju

perkembangan produktivitas komoditi pangan di Aceh untuk lebih jelasnya dapat

dilihat pada Tabel II.4.

Permasalahan yang sangat substansial dalam pengembangan komoditi

pangan dan hortikultura adalah permasalahan ketersediaan bibit/benih unggul dan

pemasaran. Penggunaan varietas unggul sering menjadi kendala dimana petani

masih sangat tergantung dari bantuan pemerintah akibat belum tersedianya unit

produksi bibit/benih unggul yang representatife dan mudah diakses oleh

masyarakat. Selama ini sebagian besar kebutuhan bibit/benih unggul masih

didatangkan dari luar daerah dengan harga yang mahal sehingga penggunaan

bibit/benih unggul oleh petani masih sangat minim dan cendrung bergantung dari

bantuan pemerintah.

Sedangkan persoalan utama pemasaran adalah masih rendahnya harga jual

komoditi ditingkat petani, terutama disaat panen raya. Pada saat musim panen

raya petani cenderung menjual dengan harga murah akibat belum

berkembangnya industri pengolahan dan masih lemahnya system mata rantai

perdagangan (supplay chain). Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka

sangat diperlukan dukungan ketersediaan unit pengolahan hasil dengan kapasitas

yang cukup dan modern, serta terbentuknya sistem perdagangan komoditi yang

tangguh dan berkeadilan. Dengan demikian nantinya diharapkan petani lebih

termotivasi untuk berusaha di sektor pangan dan hortikultura dengan prinsip

agribisnis, dan daerah dapat memperoleh nilai tambah yang lebih besar.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-10

TABEL II.4Perkembangan Produktivitas Tanaman Pangan

Menurut Komoditi di AcehTahun 2007 - 2009

No KomoditiProduktivitas (Kwt/Ha) Perkembangan

2007 - 2009(%)2007 2008 2009*)

1 Padi 42,51 42,51 43,32 0,63

2 Jagung 34,03 33,04 34,67 0,62

3 Kedelai 12.99 13,34 14,08 2,93

4 Kacang Tanah 12,11 12,12 12,59 1,30

5 Kacang Hijau 11,04 10,44 10,49 -1,69

6 Ubi Kayu 124,02 124,16 127,47 0,92

7 Ubi Jalar 98,49 99,41 100,68 0,73Sumber: Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Aceh, Februari 2009 (data diolah).Keterangan: *) 2009 merupakan Angka Sementara.

2.2.2.2 Perkebunan

Sektor perkebunan telah memberikan sumbangan yang cukup berarti

terhadap perekonomian daerah termasuk sumber pendapatan masyarakat.

Sedangkan dari sisi aspek sosial, usaha perkebunan telah mampu memberikan

lapangan pekerjaan yang cukup luas bagi masyarakat dimana secara langsung

ikut mengurangi pengangguran. Disamping itu usaha perkebunan juga ikut

mendukung kelestarian sumberdaya alam seperti pelestarian sumberdaya air dan

penyediaan oksigen bagi kehidupan dalam konteks mendukung visi Aceh Green.

Luas areal perkebunan sampai dengan tahun 2009 di Aceh mencapai

900.080 Ha, mengalami peningkatan sebesar 10,67 persen dari tahun 2008,

dimana hal ini cenderung disebabkan karena semakin kondusifnya keamanan di

Aceh. Peningkatan luas areal tertinggi terjadi pada komoditi kemiri yang

mengalami kenaikan sebesar 57,94 persen, kemudian diikuti oleh nilam sebesar

32,48 persen. Kelapa Sawit masih mendominasi luas areal perkebunan di Aceh,

yakni 313.813 Ha atau 34,86 persen, yang diikuti oleh Karet 132.694 Ha (14,74

persen) dan Kopi 121.938 Ha (13,54 persen) serta Kelapa Dalam 101.150 Ha

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-11

(11,30 persen). Lebih jelas mengenai luas areal berbagai komoditi unggulan

perkebunan di Aceh tahun 2007-2009 disajikan dalam Tabel II.5.

TABEL II.5Luas Areal Tanaman Perkebunan Rakyat dan Besar

Menurut Komoditi di Aceh Tahun 2007 – 2009

NO KOMODITILUAS AREAL PERTUMBUHAN

2007 2008 2009 2008 2009

1 KARET 111.872 114.661 132.694 2,49 15,73

2 KELAPA SAWIT 269.885 287.104 313.813 6,38 9,30

3 KELAPA DALAM 108.421 101.996 101.750 -5,93 -0,24

4 KOPI 112.138 111.880 121.938 -0,23 8,99

5 CENGKEH 22.165 22.187 22.117 0,10 -0,32

6 PALA 17.773 18.230 20.256 2,57 11,11

7 PINANG 35.320 35.984 37.895 1,88 5,31

8 KAKAO 50.101 74.547 78.805 48,79 5,71

9 LADA 1020 974 1022 -4,51 4,93

10 KEMIRI 24.306 13.725 21.677 -43,53 57,94

11 NILAM 3144 3205 4246 1,94 32,48

12 TEMBAKAU 836 829 943 -0,84 13,75

13 KELAPA HYBRIDA 3.867 3.760 2.209 -2,77 -41,25

14 GAMBIR 233 214 200 -8,15 -6,54

15 KUNYIT 807 772 446 -4,34 -42,23

16 JAHE 1.214 433 609 -64,33 40,65

17 TEBU 6.233 6.407 6.706 2,79 4,67

18 ANEKA TANAMAN 35.056 16.417 32.754 -53,17 99,51

JUMLAH 804.391 813.325 900.080 1,11 10,67

Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Tahun 2009 (data diolah)

Total produksi berbagai komoditi perkebunan pada tahun 2009 tidak

mengalami peningkatan signifikan jika dibandingkan dengan tahun 2008.

Pertumbuhan produksi tertinggi terjadi pada komoditi nilam yaitu 291,03 persen

yang diikuti oleh kakao 225,51 persen dan tebu 103,34 persen, sedangkan

terendah terjadi pada komoditi cengkeh sebesar -61,11 persen. Produksi kelapa

sawit masih merupakan yang tertinggi diantara komoditi perkebunan lainnya

yaitu sebesar 311.045 ton TBS atau (46,73 persen), dan produksi minyak sawit

sebesar 286.452 ton serta inti sawit sebesar 129.412 ton. Untuk lebih jelasnya

dapat dilihat dalam Tabel II.6.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-12

TABEL II.6Produksi Tanaman Perkebunan Rakyat dan Besar

Menurut Komoditi di Aceh Tahun 2007–2009*

NO. KOMODITIPRODUKSI PERTUMBUHAN

2007 2008 2009 2008 2009

1 KARET 63.144 68.611 70.634 8,66 2,95

2 KELAPA SAWIT 752.049 799.904 311.045 6,36 -61,11

3 KELAPA DALAM 64.387 52.325 56.875 -18,73 8,70

4 KOPI 48.080 47.811 50.190 -0,56 4,98

5 CENGKEH 2.114 1.949 714 -7,81 -63,37

6 PALA 5.706 4.495 5.458 -21,22 21,42

7 PINANG 19.158 14.982 22.396 -21,80 49,49

8 KAKAO 19.303 27.295 88.847 41,40 225,51

9 LADA 252 182 274 -27,78 50,55

10 KEMIRI 18.082 11.304 14.756 -37,48 30,54

11 NILAM 118 156 610 32,20 291,03

12 TEMBAKAU 230 215 316 -6,52 46,98

13 KELAPA HYBRIDA 1.216 2.107 1.133 73,27 -46,23

14 GAMBIR 67 66 78 -1,49 18,18

15 KUNYIT 2.117 2.001 768 -5,48 -61,62

16 JAHE 4.064 2.257 2.589 -44,46 14,71

17 TEBU 16.318 16.423 33.394 0,64 103,34

18 ANEKA TANAMAN 9.628 5.449 5.489 -43,40 0,73

JUMLAH 1.026.033 1.057.532 665.566 3,07 -37,06Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Tahun 2009 (data diolah)

Pengembangan komoditi perkebunan di Aceh selama ini masih menghadapi

beberapa permasalahan substansial yang hampir sama dengan permasalahan di

sektor pertanian pangan dan hortikultura, yaitu permasalahan ketersediaan bibit

unggul dan penanganan pasca panen. Sebagian besar bibit unggul masih harus

didatangkan dari daerah lain dan sulit diakses oleh petani, serta harga yang

relative mahal. Akibatnya petani cenderung menggunakan bibit yang bukan

klon/varietas anjuran sehingga berimbas pada rendahnya produktivitas

perkebunan rakyat terutama jika dibandingkan dengan perkebunan besar.

Permasalahan pasca panen terutama berkaitan dengan masih rendahnya

harga komoditi di tingkat petani sehingga hasil kebun tidak dimanfaatkan secara

optimal. Rendahnya harga komoditi perkebunan ditingkat petani disebabkan oleh

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-13

beberapa hal diantaranya yang terpenting adalah akibat rendahnya kualitas

pengolahan hasil panen, lemahnya sistim kelembagaan petani, dan minimnya

ketersediaan unit pengolahan hasil perkebunan.

2.2.2.3. Peternakan

Pembangunan sektor peternakan di Aceh mempunyai peranan strategis

dalam upaya pemantapan ketahanan pangan hewani dan pemberdayaan ekonomi

masyarakat. Pembangunan peternakan merupakan bagian integral dari

pembangunan pertanian dalam arti luas dan di ditujukan kepada upaya

peningkatan produksi peternakan yang sekaligus untuk meningkatkan pendapatan

dan kesejahteraan petani ternak, memenuhi kebutuhan pangan dan gizi, serta

menciptakan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha bagi masyarakat.

Disamping itu usaha peternakan juga berperan dalam mendorong pengembangan

agroindustri dan agribisnis.

Sejalan dengan program Nasional Pencapaian Swasembada Daging Sapi

(PSDS) pada tahun 2014, pemerintah Aceh terus berusaha untuk menambah

jumlah populasi ternak baik dengan mendatangkan ternak dari luar Aceh

maupun melalui inseminasi buatan yang secara efektif mampu mengatasi

masalah fertilasi ternak. Di samping itu, pola pengembangannya juga difokuskan

pada pengembangan kawasan-kawasan peternakan terpadu baik untuk kawasan

peternakan sapi maupun kawasan peternakan ayam petelur.

Selama periode 2008-2009 total populasi ternak terus mengalami

pertumbuhan. Pada tahun 2008 total populasi ternak berjumlah 14.840.889 ekor,

mengalami peningkatan sebesar 3,97 persen pada tahun 2009 dengan total

populasi sebesar 15.430.451 ekor. Populasi ternak yang mengalami peningkatan

terbesar adalah domba dengan peningkatan sebesar 17,61 persen atau dengan

jumlah populasi sebesar 184.747 ekor jika dibandingkan dengan tahun 2008

dengan jumlah populasi sebesar 157.081 ekor, kemudian disusul oleh ayam

pedaging dengan peningkatan sebesar 10 persen atau dengan jumlah populasi

sebesar 1.480.939 ekor jika dibandingkan dengan tahun 2008 dengan jumlah

populasi sebesar 1.346.308 ekor. Sedangkan terendah terdapat pada kambing

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-14

dengan penumbuhan sebesar 0,93 persen, ayam buras sebesar 2,99 persen, itik

dan puyuh masing-masing hanya tumbuh sebesar 3 persen. Lebih jelasnya

mengenai perkembangan populasi ternak dapat dillihat pada Tabel II.7.

Tabel II.7Perkembangan Populasi Ternak Menurut Jenis

Di Aceh Tahun 2008 - 2009

No Jenis TernakPopulasi Ternak (ekor) Pertumbuhan

(%)2008 2009 2009

1 Sapi Perah 32 35 9,372 Sapi Potong 641.093 688.118 7,333 Kerbau 280,662 299.763 6,804 Kuda 3.243 3.357 3,515 Kambing 697.426 703.593 0,936 Domba 157.081 184.757 17,617 Babi 333 321 -3,608 Ayam Buras 8.904.869 9.172.015 2,999 Ayam Ras

Petelur181.887 190.799 4,89

10 Ayam Pedaging

1.346.308 1.480.939 10,0011 Itik 2.596.927 2.674.835 3,0012 Puyuh 31.028 31.959 3,00

Total 14.840.889 15.430.451 3,97Sumber: Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh Tahun 2010 (data diolah).

Jumlah produksi telur menurut jenis di Aceh tahun 2008 - 2009 mengalami

kenaikan sebesar 8,50 persen. Telur ayam buras mengalami kenaikan tertinggi

sebesar 11,36 persen sedangkan pada jenis telur ayam ras juga terjadi

peningkatan yaitu sebesar 11,27 persen dan itik sebesar 2,88 persen. Gambaran

mengenai perkembangan Produksi telur Aceh tahun 2008 - 2009 dapat dilihat

pada Tabel II.8 berikut:

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-15

Tabel II.8Perkembangan Produksi Telur Menurut Jenis

di Aceh tahun 2008 - 2009

No JenisProduksi (Kg)

Pertumbuhan (%)

2008 2009 2009

1 Ayam Buras 7.384.695 8.223.564 11,36

2 Ayam Ras Petelur 885.606 985.450 11,27

3 Itik 9.580.128 9.856.250 2,88

Total 17.850.429 19065264 8,50Sumber: Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh Tahun 2010 (data diolah).

Rendahnya produksi telur dalam daerah, disebabkan karena tingginya biaya

produksi akibat pakan ternak yang masih harus didatangkan dari luar Aceh

sehingga harga jual telur menjadi mahal jika dibandingkan dengan harga telur

pasokan yang masuk dari luar daerah Aceh. Keadaan ini menyebabkan daya

saing peternak dalam daerah menjadi rendah, sehingga motivasi masyarakat

untuk berusaha dibidang ini menjadi menurun.

Melihat pertumbuhan penduduk Aceh yang terus bertambah dan kondisi

sosial ekonomi yang cenderung semakin membaik, maka diperkirakan dalam

kurun waktu lima tahun mendatang permintaan terhadap daging dan telur tidak

akan seimbang dengan ketersediaan dalam daerah, untuk itu perlu dilakukan

kajian yang strategis dalam menyeimbangkan supply dan demand pangan

daging dan telur dimasa yang akan datang.

2.2.2.4 Kelautan dan Perikanan

Aceh yang terletak di ujung Utara/Barat Pulau Sumatera memiliki peranan

yang sangat strategis dalam pengembangan sektor kelautan dan perikanan

nasional mengingat letaknya di antara dua perairan, yaitu Selat Malaka di bagian

Utara/Timur dan Samudera Indonesia di bagian Barat/Selatan. Panjang garis

pantai Aceh sekitar 1.660 km dengan luas perairan laut sekitar 295.370 km2 yang

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-16

terdiri dari perairan teritorial dan perairan kepulauan seluas 56.563 km2 dan

Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 238.807 km2.

Produksi perikanan di Aceh selama tiga tahun terakhir mengalami

pertumbuhan baik pada jenis perikanan tangkap maupun perikanan budidaya.

Pada tahun 2008 total produksi perikanan Aceh adalah sebesar 167.907,5 ton

dan mengalami peningkatan sebesar 1,52 persen terhadap produksi tahun 2007

yang hanya mencapai sebesar 165.396,6 ton. Pada tahun 2009 total produksi

perikanan mencapai 172.962,6 ton atau mengalami pertumbuhan sebesar 3,01

persen.

Perikanan dan kelautan merupakan sektor yang mengalami kehancuran

sangat fatal pada saat bencana tsunami. Namun pertumbuhan produksi

perikanan yang terjadi selama tiga tahun terakhir walaupun tidak terlalu

signifikan menandakan mulai pulihnya kembali sektor ini dari kehancuran. Untuk

lebih rincinya produksi perikanan Aceh tahun 2007-2009 dapat dilihat dalam

Tabel II.9.

Tabel II.9Produksi Perikanan di Aceh

Tahun 2007 - 2009

No KlasifikasiJumlah Produksi (ton)

2007 2008 2009*1. Perikanan

Tangkap 129.730,9 130.271,4 134.179,5

2. Perikanan Budidaya 35.665,7 37.636,1 38.765,1

Total 165.396,6 167.907,5 172.962,6Pertumbuhan (%) 5,20 1,52 3,01

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Tahun 2008 (data diolah)Ket : *) Angka sementara

Secara keseluruhan pertumbuhan rata-rata produksi perikanan selama

2007-2009 adalah sebesar 3,24 persen dengan perincian pertumbuhan tahunan

produksi perikanan tangkap sebesar 3,41 persen dan perikanan budidaya

sebesar 4,25 persen. Produksi perikanan tangkap umumnya didominasi oleh

kelompok ikan pelagis seperti tuna, tongkol, kembung, cakalang, selar, tenggiri

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-17

dan layang. Kelompok udang dan bandeng memberi sumbangan terbesar dari

subsektor budidaya perikanan.

Jumlah prasarana yang tersedia di sektor Kelautan dan Perikanan masih

sangat minim bila dibandingkan dengan potensi perikanan Aceh. Kondisi ini

mencerminkan bahwa pengembangan sektor perikanan di Aceh ini belum

didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai.

Untuk itu kedepan perlu pengembangan sarana dan prasarana kelautan dan

perikanan seperti pelabuhan perikanan, pengembangan balai benih ikan,

pengembangan sarana tangkap serta motorisasi armada perikanan dalam upaya

meningkatkan daya jelajah dan produktivitas nelayan.

2.2.2.5 Kehutanan

Kawasan Hutan Aceh yang ditetapkan berdasarkan Penunjukan Kawasan

Hutan dan Perairan sesuai dengan keputusan Menteri Kehutanan No. 170/Kpts-

II/2000 tanggal 29 Juni 2000 adalah seluas ± 3.335.613 Ha (daratan), dengan

kawasan perairannya seluruhnya adalah seluas 3.549.813 ha. Luas kawasan hutan

ini meliputi 62,74 persen dari luas daratan Aceh. Kawasan hutan ini terdiri dari

kawasan Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan kawasan Hutan Produksi.

Kondisi kawasan hutan di Aceh umumnya belum mantap. Dari sepanjang

5.056 Km batas luar kawasan hutan, yang baru terealisir tata batasnya sepanjang

3.523,60 Km (69 persen). Sedangkan batas fungsi pada umumnya belum

terealisir. Kenyataan ini menyebabkan lemahnya kepastian hukum dalam

pengelolaan sumber daya hutan dan dalam menghadapi permasalahan okupasi

kawasan hutan.

Berdasarkan data yang ada saat ini (Baplan, 2002), menunjukkan bahwa

indikasi kawasan hutan yang perlu direhabilitasi adalah seluas 2.125.300 ha

(mencapai 37 persen luas daratan Aceh) baik yang berada di dalam kawasan

maupun di luar kawasan. Kondisi tersebut mengharuskan adanya komitmen

semua pihak untuk mendukung pemulihan kawasan hutan melalui kegiatan

rehabilitasi hutan secara nasional. Hal ini sejalan dengan prioritas kebijakan

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-18

pembangunan nasional di bidang sumberdaya alam yaitu melindungi dan

merehabilitasi SDA agar kualitas dan daya dukungnya tetap terjaga, sekaligus

menjamin tersedianya ruang yang memadai bagi kehidupan masyarakat.

Dengan berlakunya UUPA Nomor 11 tahun 2006, Pemerintah Aceh memiliki

kewenangan dalam pengambilan kebijakan, pengaturan dan penyelenggaraan

kegiatan yang berdampak antar kabupaten/kota. Mendasari Undang-undang

tersebut dan memperhatikan kondisi geografis yang ada, maka pengelolaan hutan

di Aceh dibagi atas 5 (lima) Daerah Aliran Sungai (DAS), dan dalam

implementasinya akan dibentuk 4 Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD).

Kawasan lindung pada kawasan hutan seluas 2.697.133 Ha (80,86 persen)

yang terdiri dari hutan konservasi 852.633 Ha dan hutan lindung seluas 1.844.500

Ha, sedangkan kawasan budidaya hutan atau hutan produksi seluas 638.580 Ha

terdiri dari hutan produksi terbatas 37.300 Ha dan hutan produksi tetap

601.280 Ha.

2.2.2.6 Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM

Populasi industri Aceh didominasi oleh industri kecil menengah. Jumlah

usaha industri kecil menengah terus mengalami perkembangan dan pada 2009

telah mencapai sebesar 35.660 unit meningkat tajam hingga 67,64 persen dari

tahun 2008 yang populasinya berjumlah 21.275 unit. Peningkatan yang

signifikan tersebut disebabkan oleh tumbuh dan berkembangnya industri kecil

menengah. Sedangkan populasi industri besar sampai tahun 2009 mengalami

stagnansi atau dengan kata lain tidak mengalami peningkatan populasi.

Perkembangan industri dari tahun 2007 sampai dengan 2009 dapat dilihat pada

Tabel II.10. Akan tetapi laju perkembangan populasi industri tidak diikuti oleh

laju peningkatan investasi yang signifikan. Tahun 2009 nilai total investasi

industri bernilai 147.1 Triliyun tidak berbeda jauh dengan nilai investasi industri

tahun 2008 yang berjumlah 146.9 Triliyun. Penurunan aktivitas produksi dari

beberapa industri besar yang ada di Aceh akibat kurangnya pasokan bahan baku

dan diharapkan persoalan ini segera dapat diatasi.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-19

Tabel II.10Perkembangan Industri Di Aceh

Tahun 2007 - 2009

Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM, 2009.

Kinerja ekspor Aceh secara umum cenderung mengalami peningkatan.

Setelah mengalami kejatuhan pada tahun 2001, nilai ekspor Aceh mengalami

perkembangan yang positif walaupun peningkatannya sedikit fluktuatif. Tahun

2007 nilai ekspor mengalami penurunan hanya mencapai USD 1.854,23 Juta, tapi

kemudian tahun 2008 meningkat kembali menjadi USD 2.234,13 juta. Nilai

ekspor non migas juga mengalami perkembangan yang menggembirakan, walau

pun belum signifikan pengaruhnya terhadap total nilai ekpor.

Sedangkan ekspor non migas termasuk komoditi pertanian terus

mengalami perkembangan yang menggembirakan. Setelah sempat meningkat 5

kali lipat pada tahun 2007, ekspor non migas meningkat tajam sampai 80% pada

tahun 2008, meski dalam tahun tersebut terjadi krisis finansial global. Ekspor

beberapa komoditi mengalami peningkatan dimana komodi yang mengalami

peningkatan tertinggi adalah komoditi pupuk. Disamping itu sejak kondisi

keamanan pasca konflik semakin kondusif nilai ekspor komoditi perkebunan

serperti kopi dan coklat terus meningkat. Tahun 2009 nilai ekspor kopi mencapai

USD 22,66 juta. Namun demikian bila dibandingkan dengan nilai ekspor

keseluruhan, nilai ekspor non-migas terutama komoditi pertanian masih sangat

rendah.

Sama halnya dengan ekspor, kondisi impor Aceh juga mengalami

peningkatan. Tahun 2007 dan tahun 2008 nilai impor meningkat tajam dari USD

30,65 juta menjadi 384,24 pada tahun 2008. Peningkatan nilai impor tersebut

terutama disebabkan oleh meningkatnya impor barang-barang konsumsi rumah

tangga, bahan makanan dan barang produk industri lainnya. Sedangkan impor

No Kelompok Industri 2007 2008 2009

1. Industri Kecil Menengah 20.231 unit 21.267 unit 35.652 unit

2. Industri Besar 8 unit 8 unit 8 unit

JUMLAH 20.239 unit 21.275 unit 35.660 unit

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-20

barang modal masih sangat kecil, dan gejala ini tidak sehat dalam mendorong

pengembangan industri daerah.

Seiring dengan nilai ekspor dan impor yang sama-sama menunjukkan

trend meningkat, surplus neraca perdagangan luar negeri Aceh juga mengalami

peningkatan. Tahun 2007 neraca perdagangan Aceh surplus sebesar USD

1.823,59 juta dan tahun 2008 meningkat menjadi USD 1.849,89 juta.

Secara keseluruhan negara tujuan ekspor utama Aceh masih didominasi

oleh negara-negara Asia Timur seperti China, Jepang, Korea serta negara-negara

ASEAN seperti Malaysia, Singapura dan Thailand. Begitu juga dengan impor,

87,25 persen berasal dari negara Asia Timur dan ASEAN. Sisanya 12,75 persen

berasal dari negara-negara Eropa Barat seperti Ingris, Switzerland dan Jerman

serta dari Amirika Serikat.

Sektor Koperasi dan UKM merupakan bagian yang cukup penting dan

strategis terhadap pembangunan ekonomi Aceh. Peran strategis tersebut terkait

dengan jumlah, sebaran dan potensi yang dimiliki bahkan perannya dapat

menciptakan lapangan kerja yang cukup memadai serta menjadi faktor utama

pendorong sektor riil.

Kondisi tahun 2008 skala usaha di Aceh didominasi oleh usaha mikro,

dengan jumlah pelaku usaha sebesar 307 ribu orang atau 83 persen. Kemudian

diikuti oleh usaha kecil dengan pelaku usaha sebanyak 60 ribu orang atau 16

persen. Kemudian diikuti oleh usaha menengah dengan jumlah pelaku usaha 1.6

ribu orang atau 0.44 persen. Sebagian besar pelaku UKM memiliki usaha di sektor

perdagangan. Tahun 2008 UKM yang berada di sektor perdagangan berjumlah

212.5 ribu tenaga kerja atau lebih dari 57 persen. Hal ini karena usaha di sektor

ini relatif lebih mudah dan tidak membutuhkan modal besar.

Pada tahun 2009 perkembangan Koperasi mengalami peningkatan menjadi

6.614 unit (0,67 persen) baik ditinjau dari indikator kelembagaan maupun dari

indikator usaha. Jumlah Koperasi pada tahun 2008 jumlah Koperasi tercatat

sebanyak 6.570 unit yang tersebar di seluruh Provinsi. Peningkatan tersebut juga

diikuti oleh jumlah Koperasi yang tidak aktif sebesar 35,37 persen atau sebanyak

2.324 unit.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-21

Jumlah anggota Koperasi tahun 2009 sebanyak 519.314 orang atau

meningkat dari tahun 2008 sebanyak 1.199 orang seiring bertambahnya jumlah

unit Koperasi. Disisi lain Koperasi sebagai badan usaha juga memberikan

konstribusi terhadap penyerapan tenaga kerja baik secara langsung maupun tidak

langsung. Dari sisi jumlah dana yang terhimpun baik simpanan anggota maupun

modal yang disetor dalam bentuk lainnya mengalami peningkatan yang signifikan.

Jumlah Simpanan Anggota mencapai Rp. 1.176,192 milyar dan Modal

luar/pinjaman sebesar Rp 295,007 Milyar. Modal Koperasi bersumber dari APBD,

APBN, Perbankan dan Lembaga Keuangan lainnya. Saat ini Koperasi mampu

menyerap tenaga kerja sebanyak 8.841 orang. Berdasarkan peringkat dari

Kementerian Koperasi dan UKM kondisi koperasi di Aceh masih sangat

memprihantinkan. Dari jumlah 6.614 unit koperasi hanya 2.990 unit yang aktif,

dan dari yang aktif tersebut hanya 24 unit yang berperingkat baik. Oleh karena itu

perlu usaha keras pemerintah dan masyarakat untuk menjadikan koperasi menjadi

sokoguru ekonomi bangsa. Adapun perkembangan koperasi, jumlah simpanan,

volume usaha dapat dilihat dalam tabel II.11 berikut:

Tabel II.11Perkembangan Koperasi di Aceh

Tahun 2004 -2009

No Uraian Tahun

Ket2004 2005 2006 2007 2008 2009*

1 Jumlah Koperasi (Unit)

4.872 5.011 5.533 5.800 6.570 6.614

2Jumlah Anggota (Orang) 415.827 441.494 460.537 485.254 494.564 519.314

3Jumlah Karyawan (Orang) 5.028 5.791 5.010 5.036 5.499 6.698

4Jumlah Manajer (Orang) 937 1.407 1.649 1.570 1.580 2.143

5Jumlah Simpanan (Rp Juta) 211,940 149,949 201,605 252,980 283.019 1.176.192

6Modal Pinjaman (Rp Juta) 225,119 190,122 263,224 368,874 349.380 295.007

7Volume Usaha (Rp Juta ) 234,308 280,698 780,107 823,975 1.054.440 604.589

8Sisa Hasil Usaha (Rp Juta )

21,403 24,197 56,960 163,159 383.343 45.530

Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM, 2009Keterangan: *) Sampai dengan Juni 2009

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-22

2.2.2.7 Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk

Perkembangan tingkat penganguran di Aceh selama periode 2006-2009

menunjukkan tren yang terus menurun, dimana pada tahun 2006 Tingkat

Pengangguran Terbuka (TPT) di Aceh adalah sebesar 10,43 persen, tahun 2007

turun menjadi 9,84 persen, tahun 2008 turun lagi menjadi 9,56 persen, dan pada

tahun 2009 kembali menjadi 8,71 persen. Bila diamati perkembangan jumlah

angkatan kerja di Aceh yang setiap tahun terus bertambah, dimana pada tahun

2006 adalah sebanyak 1.813.000 orang dan pada tahun 2009 menjadi 1.898.000

orang atau mengalami kenaikan sebesar 4,67 persen. Sebaliknya jumlah

pengangguran di Aceh justru mengalami penurunan yang signifikan yaitu 189.000

orang pada tahun 2006 dan menjadi 165.000 orang pada tahun 2009, atau

mengalami penurunan sebesar 12,70 persen atau rata-rata turun 4.2 persen per

tahun.

Lebih besarnya persentase penurunan jumlah orang yang menganggur jika

dibandingkan dengan persentase kenaikan jumlah angkatan kerja mengakibatkan

TPT terus dapat ditekan setiap tahunnya. Hal ini diperkirakan sebagai dampak dari

semakin luasnya lapangan kerja yang tercipta dan semakin meningkatnya peluang

kesempatan berusaha bagi masyarakat. Sektor pertanian masih menjadi andalan

penyerapan tenaga kerja. Disamping itu dengan semakin membaiknya iklim usaha

di masyarakat sehingga tumbuh suburnya usaha-usaha rakyat di sektor informal

yang ikut menyumbang untuk penyerapan tenaga kerja.

Kesempatan kerja dan berusaha pada tahun 2009, masih di dominasi oleh

sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan dan perikanan yaitu sebesar

48,89 persen diikuti oleh sektor jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan

sebesar 19,13 persen, sedangkan yang terendah sektor industri pengolahan yaitu

sebesar 4,66 persen. Berdasarkan jenis kelamin masih didominasi oleh kaum pria

yaitu sebesar 63,48 persen, dari uraian tersebut, menggambarkan bahwa serapan

tenaga kerja berdasarkan sektor lapangan usaha tersebut, terindikasi pada sektor

pertanian, perkebunan, kehutanan dan perikanan masih merupakan lapangan

usaha utama bagi masyarakat yang ingin mengembangkan usahanya dan

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-23

membuka peluang berusahan dalam upaya meningkatkan taraf hidupnya. Untuk

lebih jelas dapat dilihat dalam tabel II.12

Tabel II.12Kesempatan kerja Menurut Sektor Usaha

Tahun 2009

NO. SEKTOR USAHA LAKI-LAKI PEREMPUAN (L+P)

1. Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan

514.096 332.999 847.095

2. Industri Pengolahan 36.882 43.890 80.772

3. Perdangan Besar, Enceran, Rumah Makan dan Hotel

157.642 106.811 264.453

4. Jasa Kemasyarakatan 193.294 138.214 331.508

5. Lainnya (Pertambangan dan Penggalian, Listrik, Gas dan Air, Bangunan, Angkutan, Pergudangan danKomunikasi, Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan Bangunan, Tanah dan Jasa Perusahaan)

202.345 6.388 208.733

JUMLAH 1.104.259 628.302 1.732.561

Sumber: Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk, 2009

Angkatan kerja Aceh pada tahun 2009 mencapai 1,9 juta orang. Angkatan

kerja tersebut didonominasi oleh angkatan kerja muda yang berumur antara 20-39

tahun. Sampai 20 tahun kedepan angkatan kerja ini masih berada dalam umur

produktif. Ini merupakan aset Aceh mengejar pertumbuhan ekonominya. Akan

tetapi sayang produktifitasnya masih rendah. Rendahnya produktivitas ini dan

relatif tingginya UMR masih menjadi masalah yang harus segera diatasi.

Penetapan UMR Aceh Rp 1 juta per bulan lebih tinggi dari nasional berdampak

terhadap tingkat daya saing Aceh dalam menarik investasi di sektor formal.

Produktivitas tenaga kerja yang rendah juga sangat mempengaruhi daya saing

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-24

daerah. Produktivitas pekerja Aceh memang masih sangat rendah. Kemajuan yang

diharapkan nampaknya belum membuahkan hasil yang memadai.

Walupun angka pengangguran terus mengalami penurunan, namun

prosentasenya masih cukup tinggi yang berada di atas rata-rata nasional yang

berada pada level 7.8 persen. Hal ini disebabkan salah satunya oleh daya serap

pekerja formal yang masih sangat rendah. Rendahnya daya serap pekerja formal

terkait dengan berbagai permasalahan dan hambatan dalam berinvestasi yang

mewarnai kondisi pasar kerja. Untuk itu, tantangan yang dihadapi dalam beberapa

tahun mendatang adalah upaya mendorong perpindahan pekerja dari pekerjaan

yang memiliki produktivitas rendah ke pekerjaan yang memiliki produktivitas

tinggi. Sehingga dalam pembangunan jangka panjang Aceh, hal ini dapat teratasi

dan menjadi bagian yang tidak dapat dipisah dengan pengurangan angka

kemiskinan.

Dalam upaya pengembangan kawasan dan percepatan pertumbuhan

kawasan tertinggal di Aceh, sejak tahun 1976 telah dilakukan pembukaan

permukiman baru, pada tahun 2009 jumlah lokasi 160 lokasi transmigrasi dan

jumlah penempatan 41.358 KK atau 169.188 jiwa. Sejak periode tahun 2007

hingga 2009 telah dilakukan penempatan pada 18 lokasi untuk 1.928 KK, dengan

rincian pada tahun 2007 sebanyak 1.119 KK, pada tahun 2008 dan 400 KK pada

tahun 2009. Selanjutnya untuk rencana penempatan terhadap pengembangan

kawasan, pembukaan lokasi permukiman transmigrasi untuk tahun 2010 sebanyak

4 lokasi dan 145 KK. Selanjutnya untuk tahun 2011 sebanyak 13 lokasi untuk 1600

KK dan tahun 2012 direncanakan sebanyak 6 lokasi untuk 880 KK.

Berdasarkan Undang-Undang Kependudukan Nomor 1992, pembangunan

kependudukan diarahkan pada pengendalian kualitas penduduk, pengerahan

mobilitas dan pengembangan penduduk sebagai Sumber Daya Manusia (SDM)

agar menjadi kekuatan pembangunan. Pembangunan kependudukan harus

dilaksanakan merata yang dilakukan secara bersama, menyeluruh, terpadu,

terarah, bertahap dan berkelanjutan. Sehubungan dengan itu pemerintah pusat

telah memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk mengambil

langkah yang lebih realistis dalam melaksanakan program kependudukan sesuai

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-25

dengan aspirasi masyarakat, sehingga pemerintah daerah dapat merencanakan,

melaksanakan, mengendalikan dan memonitor terhadap pembangunan

kependudukan di Aceh. Namun dalam pelaksanaan pengembangan kawasan

tertinggal untuk pembangunan permukiman penduduk telah mengalami

pergeseran dan perubahan kebijakan penyelenggaraannya dan mengakibatkan

ruang lingkup perencanaan berubah seiring dengan perkembangan.

2.2.2.8 Ketahanan Pangan

Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi kehidupan manusia baik untuk

kebutuhan biologis tubuh maupun kebutuhan aktivitas manusia sehari-hari oleh

karena itu pemenuhan pangan bagi masyarakat adalah mutlak harus dipenuhi. Hal

ini jelas diamanatkan dalam UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan, bahwa

pemerintah bersama masyarakat mempunyai kewajiban untuk mengwujudkan

ketahanan pangan.

Berdasarkan data-data tentang produksi bahan pangan, walaupun

mengalami fluktuasi pertumbuhan baik kelompok serealea, kacang-kacangan,

umbi-umbian, daging, sayur-sayuran dan buah-buahan, namun produksi pangan

Aceh mengalami surplus sehingga mampu memasok sebagian produksi ke daerah

lain setiap tahunnya. Kondisi surplus tersebut diasumsikan karena jumlah produksi

pangan melebihi kebutuhan pangan penduduk dan kebutuhan lainnya seperti

industri makanan.

Berdasarkan hasil pemantauan selama ini bahwa, kebutuhan komoditi

pangan pokok di Aceh merupakan hasil produksi lokal, kecuali untuk beberapa

komoditi seperti gula, minyak makan, terigu, sebagian buah-buahan, telur, susu,

kedelai dan lain-lain merupakan hasil pasokan dari daerah lainnya. Hal ini

mencerminkan bahwa industri pengolahan bahan makanan di Aceh belum

berkembang dengan baik.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-26

Lebih jelasnya produksi beberapa komoditi pangan di Aceh dapat dilihat pada

tabel II.13 berikut:

Tabel II.13

Produksi beberapa komoditi pangan penting tahun 2007-2008

No Komoditas Pangan Produksi (ton) Pertumbuhan

(%)Tahun 2007 Tahun 2008I. Pangan Nabati1 Beras 878.346 870.055 (0,94)2 Jagung 121.388 112.894 (7,0)3 Kedele 18.945 43.885 131,644 Kacang Tanah 7.917 6.322 (20,15)5 Ubi Kayu 41.873 38.402 (8,29)6 Ubi Jalar 14.974 13.173 (12,03)II. Pangan Hewani1 Daging rumaninsia 10.515 11.227 6,762 Daging unggas 16.677 16.951 1,703 Telur 23.114 23.830 3,104 Ikan 154.265 157.020 1,78

Sumber : Data Distan/Disnak/Diskan diolah BKP2 Aceh

Dari aspek kerawanan pangan, kondisi masyarakat miskin indentik dengan

kelompok masyarakat yang mengalami rawan pangan, karena mempunyai

keterbatasan dalam mengakses pangan untuk kebutuhan sehari-hari. Tingkat

kemiskinan di Aceh tergolong masih sangat tinggi yaitu 21,8 persen pada tahun

2009 jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan nasional yang hanya 14,2

persen, sehingga kerawanan pangan masih menjadi kendala dalam sistem

ketahanan pangan daerah

Menurut analisis parameter kerawanan pangan, telah disusun peta

kerawanan pangan (Food Insecurity Atlas/FIA) atas survey Tahun 2009 bahwa di

Aceh terdapat Kabupaten-Kabupaten rawan pangan dengan kategori 2 dan 3.

Untuk katagori prioritas 2 terdapat 3 kabupaten yaitu: Kabupaten Nagan Raya,

Gayo Lues dan Aceh Singkil, sedangkan katagori prioritas 3 sebanyak 2 kabupaten

yaitu : Aceh Jaya dan Aceh Utara.

Perkembangan harga pangan pokok dan strategis merupakan salah satu

indikator yang dapat digunakan untuk mengamati situasi pasokan pangan.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-27

Ketersediaan pangan yang cukup dan distribusi yang lancar sangat menentukan

terhadap perilaku pasar.

Pada tahun 2009, harga beras pada tingkat konsumen adalah Rp.5.300,-

hingga Rp. 7.800,- per kg, terjadi ketidak stabilan harga yang sangat signifikan,

sementara harga gula pasir relatif stabil, dengan kisaran harga untuk gula pasir

dalam negeri berkisar Rp. 9.900 hingga 10.400,-. Sedangkan harga rata-rata

tepung terigu stabil berkisar Rp.7.200,- hingga Rp.9.000,- per kg, sedangkan

minyak goreng stabil berkisar Rp. 9.800,- hingga Rp. 11.500,- per kg. Di samping

itu harga telur ayam ras tidak stabil dengan kisaran harga Rp. 16.500,- hingga

Rp. 26.8000, per kg.

Secara umum harga ikan stabil namun terjadi gejolak yang relatif kecil

terutama pada saat peralihan musim, sedangkan cabe sangat berfluktuasi

sepanjang tahun dengan kisaran harga Rp. 8.500,- hingga Rp. Rp.42.000,- per kg.

Sementara itu komoditas bawang merah juga mengalami fluktuasi harga yang

cukup tinggi, dengan harga kisaran Rp. 10.000 hingga Rp. 22.000,- per kg.

Penganekaragaman konsumsi pangan merupakan upaya untuk

memantapkan atau membudayakan pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi

seimbang dan aman dalam jumlah dan komposisi yang cukup guna memenuhi

kebutuhan gizi untuk mendukung hidup sehat, aktif dan produktif. Indikator untuk

mengukur tingkat keanekaragaman dan keseimbangan konsumsi pangan

masyarakat adalah dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH) sebesar 95 dan

diharapkan dapat dicapai pada tahun 2015.

Berdasarkan data Susenas tahun 2008 konsumsi beras di Aceh yaitu 114,13

kg/kapita/tahun, telah terjadi penurunan konsumsi 16,15 kg/kap/tahun

dibandingkan tahun 2004 sebesar 131,32 kg/kap/thn, namun penurunan tersebut

belum mencapai target yang ditetapkan dalam WNPG tahun 2004 yaitu sebesar

91,25 kg/kap/tahun

Tingkat konsumsi pangan rata-rata orang Indonesia diukur dari konsumsi

energi pada tahun 2008 sebesar 2.038 kkal/kap/hari sudah melebihi anjuran

WNPG (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi) VIII tahun 2004 sebesar 2.000

kkal/kap/hari. Begitu pula dengan rata-rata konsumsi protein sebesar 57.49

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-28

gram/kapita/hari, telah melebihi angka anjuran sebesar 52 gram/kapita/hari.

Meskipun demikian, pencapaian tersebut belum diiringi dengan pemenuhan

kualitas konsumsi pangan penduduk yang ditandai dengan skor keragaman

konsumsi pangan sebesar 81,9 pada tahun 2008 untuk Aceh baru tercapai 73,4

dari target skor Pola Pangan Harapan (PPH) senilai 95. Untuk Aceh konsumsi

protein baru tercapai 30,1 gr protein/kapita/hari, belum sesuai dengan anjuran.

Analisis terhadap data SUSENAS tahun 2008 juga menunjukkan bahwa pola

konsumsi pangan penduduk Indonesia hingga tahun 2008 masih terdapat

ketimpangan, karena (1) masih tingginya konsumsi padi-padian; (2) masih

kurangnya konsumsi pangan hewani; dan (3) masih rendahnya konsumsi umbi-

umbian, sayur dan buah, serta kacang-kacangan, dan pangan hewani. Data

tersebut menunjukkan bahwa ketergantungan konsumsi pada padi-padian

terutama beras sebagai pangan pokok masih sangat tinggi, sedangkan

pemanfaatan sumber–sumber pangan lokal seperti umbi, jagung, dan sagu masih

rendah.

Sesuai dengan hasil Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) tahun

2004, bahwa sasaran angka kecukupan konsumsi total energi adalah sebesar

2.000 Kkal/kap/hari yang akan dicapai pada tahun 2020 untuk Indonesia.

2.2.2.9 Penyuluhan

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan

Pertanian, Perikanan dan Kehutanan dalam pasal 1 disebutkan bahwa penyuluhan

merupakan proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar

mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam

mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan dan sumber daya lainnya

sebagai upaya untuk meningkatkan produktifitas, efisiensi usaha, pendapatan dan

kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi

lingkungan hidup.

Penyuluh adalah ujung tombak dalam mencerdaskan dan memberdayakan

petani yang merupakan pelaku utama pembangunan pertanian.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-29

Saat ini jumlah penyuluh di Aceh adalah sebanyak 3.204 orang yang terdiri dari

PNS 1.246 orang dan penyuluh THL-TB sebanyak 1958 orang. THL- TB adalah

Tenaga Harian Lepas Tugas Bantu Penyuluh Pertanian yang direkrut oleh

Kementrian Pertanian dan ditempat di wilayah binaan masing-masing. Sebaran

penyuluh di 23 kabupaten/Kota secara rinci dapat dilihat pada tabel II.14 di bawah

ini:

Tabel II.14Kondisi Sebaran Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) per Kabupaten/Kota

No. KABUPATEN/KOTA Ket.

PNS THL-TB Jumlah1 2 3 4 5 6

1 PROVINSI 55 - 55 2 Banda Aceh 9 62 71 3 Aceh Besar 115 190 305 4 Pidie 60 213 273 5 Pidie Jaya 18 109 127 6 Bireuen 149 138 287 7 Aceh Tengah 68 127 195 8 Aceh Utara 147 129 276 9 Kota Lhok Seumawe 12 14 26

10 Aceh Timur 106 140 246 11 Langsa 23 22 45 12 Aceh Tamiang 30 70 100 13 Aceh Tenggara 56 113 169 14 Gayo Lues 13 88 101 15 Aceh Jaya 28 42 70 16 Aceh Barat 68 83 151 17 Nagan Raya 60 57 117 18 Simelue 16 5 21 19 Abdya 45 62 107 20 Aceh Selatan 56 158 214 21 Aceh Singkil 40 56 96 22 Subulussalam 13 - 13 23 Sabang 13 3 16 24 Bener Meriah 46 77 123

Total 1,246 1,958 3,204

Penyuluh (Org)

Kondisi penyuluh pertanian setelah otonomi daerah sangat memprihatikan,

banyak tenaga penyuluh senior dan ahli telah beralih status dari fungsional ke

struktural disamping memasuki masa pensiun, hal ini mengakibatkan kekurangan

tenaga penyuluh lapangan baik secara kuantitas maupun kualitas dan berakibat

tidak optimalnya proses pendampingan dan pembinaan di kelompok-kelompok tani

atau Gapoktan.

Pada tahun 2009 kelembagaan penyuluhan di Aceh adalah berjumlah 246

Balai Penyuluh Pertanian (BPP) dari 276 BPP yang dibutuhkan (89,13 persen) atau

masih dibutuhkan sebanyak 30 BPP lagi. Sedangkan kelembagaan petani

berjumlah 10.561 Kelompok tani, yang tersebar di 23 Kabupaten/Kota. Secara

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-30

rinci jumlah BPP dan Kelompok Tani per masing-masing kabupaten/kota dapat

dilihat pada tabel II.15 berikut ini:

Tabel II.15Jumlah BPP dan Koptan per Kabupaten/Kota Tahun 2009

No. KABUPATEN/KOTAKecamatan Desa BPP Koptan

1 2 3 4 5 61 Banda Aceh 9 110 2 90 2 Aceh Besar 23 604 8 603 3 Pidie 23 727 25 1,062 4 Pidie Jaya 8 222 8 611 5 Bireuen 17 609 18 783 6 Aceh Tengah 14 270 10 166 7 Aceh Utara 27 854 29 852 8 Kota Lhok Seumawe 4 74 2 54 9 Aceh Timur 24 512 24 998

10 Langsa 5 51 3 98 11 Aceh Tamiang 12 214 11 424 12 Aceh Tenggara 16 386 16 962 13 Gayo Lues 11 136 11 557 14 Aceh Jaya 6 172 6 227 15 Aceh Barat 12 321 13 494 16 Nagan Raya 8 222 9 746 17 Simelue 8 137 8 125 18 Abdya 9 133 3 209 19 Aceh Selatan 16 248 16 418 20 Aceh Singkil 10 116 10 189 21 Subulussalam 5 74 6 175 22 Sabang 2 36 2 49 23 Bener Meriah 7 232 6 669

Total 276 6,460 246 10,561

Jumlah Jumlah Kelembagaan

Fasilitas penyuluh pertanian terutama kenderaan roda 2 (dua) dan mobil

Penyuluhan Keliling (Luh-ling Unit) sangat minim dan fasilitas ini sangat

dibutuhkan guna meningkatkan mobilitas penyuluh untuk menjangkau wialayah

yang cukup luas dan jauh, namun selama otonomi pertambahan kenderaan

operasional penyuluh sangat kecil. Tahun 2009 jumlah tenaga penyuluh PNS di

Aceh sebanyak 1.246 orang dan hanya sebanyak 1.191 orang berada di lapangan.

Dari total Penyuluh di lapangan, baru 354 orang yang memiliki kenderaan

operasional.

2.2.2.10 Perkembangan dan Prospek Investasi

Pembangunan ekonomi suatu daerah disamping dari sumber dana

Pemerintah juga membutuhkan berbagai sumber lainnya seperti investasi dari

swasta baik PMA (Penanaman Modal Asing) maupun PMDN (Penanaman Modal

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-31

Dalam Negeri). Dari data yang tersedia jumlah perusahaan PMA dan PMDN di

Aceh hingga akhir tahun 2009 adalah 269 perusahaan yang terdiri dari 121

perusahaan PMA dan 168 perusahaan PMDN.

Dari 121 perusahaan PMA, sebanyak 36 perusahaan yang tidak aktif/macet,

11 perusahaan yang telah berproduksi serta 74 perusahaan dalam tahap

pembangunan/persiapan. Sedangkan perusahaan PMDN sebanyak 168

perusahaan terdiri dari 105 perusahaan yang tidak aktif/macet, 47 perusahaan

telah berproduksi serta 16 perusahaan yang masih tahap pembangunan/

persiapan. Sementara itu, realisasi investasi sampai dengan akhir tahun 2009

untuk PMA sebesar US$ 143.318.795.166 dan PMDN Rp. 6.280.047.045.730.

2.2.3 Keuangan Aceh

Berdasarkan Undang-undang Nomor 34 tahun 2000 tentang Pajak dan

Retribusi Daerah, Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan Undang-undang Nomor 11

Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Sumber Keuangan Aceh menjadi lebih

luas. Sumber-sumber keuangan tersebut adalah Pendapatan Asli Aceh (PAA),

Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus.

Selama beberapa tahun terakhir Aceh telah menerima arus masuk

pendapatan yang belum pernah terjadi sebelunya. Tingkat sumber daya keuangan

Aceh diperkirakan terus meningkat pada tahun-tahun mendatang. Pendapatan

terebut teruma karena adanya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang

Pemerintah Aceh yang mulai diimplementasikan sejak tahun 2008. Melalui

Undang-Undang tersebut Aceh mendapat hak berupa dana tambahan bagi hasil

Migas dan dana otonomi khusus. Akan tetapi hak tersebut terbatas pada masa

waktu 20 tahun. Penerimaan Aceh dari dana otonomi khusus yang dimulai sejak

tahun 2008 terus meningkat. Pada tahun 2008 kemampuan fiskal Aceh meningkat

sangat signifikan dengan nilai mencapai Rp 5.167.853.549.264. kemudian pada

tahun 2009 meningkat lagi menjadi Rp 6.786.212.000.000. Ini merupakan

kekuatan fiskal Aceh yang harus dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-32

mengejar pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Aceh.

2.2.3.1 Pendapatan Asli Aceh (PAA)

Pendapatan Asli Aceh (PAA) terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah,

keuntungan perusahaan daerah, zakat dan berbagai sumber PAD lainnya. Secara

komposisi pajak daerah merupakan sumber pemasukan utama terhadap PAA.

Pajak daerah yang menjadi kewenangan provinsi terdiri atas Pajak Kendaraan

Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), Pajak Bahan

Bakar Kenderaan Bermotor (PBBKB), Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air

Permukaan, Pajak Kendaraan di Atas Air, serta Bea Balik Nama Kendaraan di Atas

Air. Penerimaan pajak daerah hingga tahun 2009 masih didominasi oleh jenis PKB,

BBNKB, dan PBBKB.

Realisasi penerimaan pajak daerah dua tahun terakhir cenderung tidak

mengalami peningkatan. Tahun 2008 dan Tahun 2009 pemasukan PPA dari pajak

daerah persis sama yaitu berjumlah Rp 476.975.000.000,-

Selain pajak daerah, retribusi dan zakat juga merupakan bagian dari PAA

yang memiliki prospek cukup baik untuk memperkuat kemampuan keuangan

daerah pada masa yang akan datang. Walaupun retribusi selama 5 tahun terakhir

realisasi penerimaannya belum mampu mengimbangi realisasi penerimaan pajak

daerah, namun perkembangannya setiap tahun juga terus mengalami

peningkatan. Tahun 2008 Restribusi Darah mencapai Rp 12.705.574.475 dan

tahun 2009 meningkat menjadi Rp 13.264.165.424 atau meningkat 4.39. Hal ini

ditandai mulai membaiknya kondisi ekonomi dan membaiknya penyelenggaraan

pemerintahan daerah.

Zakat sebagai salah satu sumber PAA belum dikelola

dengan baik. Hal ini disebabkan belum adanya Qanun yang mengatur lebih lanjut

tentang zakat sebagai sumber PAA seperti yang diatur dalam Undang-undang

Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Penerimaan zakat juga terus

mengalami peningkatan. Tahun 2008 penerimaan dari zakat hanya mencapai

Rp 1.836.000.000, meningkat tajam pada tahun 2009 menjadi Rp 3.000.000.000.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-33

Peluang penerimaan dari zakat akan terus dapat ditingkatkan apabila Baitul Mal

yang berwenang mengelola zakat mendapat kepercayaan dari masyarakat.

Secara kesuluruhan PPA dua tahun terakhir sedikit mengalami peningkatan.

Adapun jumlahnya secara berturu-turut adalah Rp. 795.709.401.264 dan

Rp 795.872.000.000,-.

2.2.3.2 Dana Perimbangan

Dana perimbangan bersumber dari APBN, dimaksudkan untuk memberikan

kepastian pendanaan daerah berdasarkan pasal 10 ayat (1) Undang-undang

Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

dan Pemerintah Daerah. Dana perimbangan tersebut terdiri atas :

a. Dana Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Bukan Pajak;

b. Dana Alokasi Umum (DAU), dan;

c. Dana Alokasi Khusus (DAK).

Akibat adanya sumber pumasukan dari Tambahan Bagihasil Migas sesuai

dengan UU PA maka Penerimaan dari sumber Dana Perimbangan mengalami

peningkatan yang sangat signifikan pada tahun 2009 yang mencapai Rp

2.262.058.000.000,-. meningakat 191.88 persen. Tahun sebelumnya hanya

berjumlah Rp 775.001.250.000,-.

2.2.3.3 Dana Otonomi Khusus

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA),

berdasarkan pasal 183 ayat 2, Pemerintah Aceh mendapatkan dana otonomi

khusus selama 20 tahun dengan rincian untuk tahun pertama yaitu mulai tahun

2008 sampai tahun kelima belas besarnya setara dengan 2 persen (dua persen)

dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional dan untuk tahun keenam belas

sampai dengan tahun kedua puluh setara dengan 1 persen (satu persen) dari

plafon Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional.

Dana otonomi khusus yang diterima oleh pemerintah Aceh pada tahun 2008

sebesar Rp. 3.590.142.898.000 dan tahun 2009 meningkat menjadi

Rp 3.728.282.000.000. Pendapatan dari sumber Otonomi Khusus ini diperkirakan

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-34

akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang

diperkirakan terus membaik dan memberi dampak terhadap pendapatan nasional.

2.2.3.4 Tabungan Pemerintah Aceh

Tabungan Pemerintah Aceh adalah kemampuan daerah menyisihkan

sebagian pendapatan untuk mendanai pelayanan publik meliputi pelayanan

prasarana dan sarana serta fasilitas publik. Tabungan pemerintah ini berasal dari

seluruh pendapatan daerah dikurangi dengan belanja rutin/aparatur yang harus

dilakukan oleh pemerintah Aceh.

2.2.3.5 Sumber Pendapatan Aceh Lainnya

Sumber pendapatan daerah lainnya berasal dari pemerintah (sumber-sumber

yang sah dan tidak mengikat), di antaranya terdiri atas bantuan dana

penyeimbang murni, bantuan dana penyeimbang kebijakan (ad.hoc) dan bantuan

dana penyeimbang formasi pegawai. Berdasarkan struktur APBA tahun 2010, jenis

penerimaan daerah lainnya disesuaikan dengan jenis pendapatan hibah, dana

darurat, dana bagi hasil pajak dari provinsi dan pemerintah daerah lainnya, dana

penyesuaian dan otonomi khusus serta bantuan keuangan dari provinsi atau

pemerintah daerah lainnya. Realisasi sumber Pendapatan lainnya yang sah sejak

tahun 2008 sampai dengan 2009 dapat dilihat pada Tabel II.16.

Tabel II.16Jumlah Realisasi Sumber Penerimaan Daerah

lainnya 2008-2009

NO TAHUN REALISASI (Rp)

1 2008 3.597.142.898.000

2 2009 3.728.282.000.000

Sumber: Dinas Pengelolaan Kekayaan Aceh 2010

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-35

2.2.3.6 Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aceh

Sesuai dengan yang tercantum dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun

2006, bahwa penyelenggaraan urusan Pemerintahan Aceh diikuti dengan

pemberian sumber pendanaan dan pengelolaan keuangan harus tertib, taat asas,

proporsional, efisien, efektif, transparan, dan akuntabel dengan memperhatikan

asas keadilan, kepatutan, kewajaran, dan memberi manfaat yang besar bagi

masyarakat. Mengacu pada hal tersebut, maka setiap tahunnya ruang lingkup

pengelolaan keuangan Aceh meliputi:

1. Hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi Aceh serta

melakukan pinjaman;

2. Kewajiban Aceh untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan Aceh,

melaksanakan pembangunan Aceh dan membayar tagihan pihak ketiga;

3. Pengelolaan pendapatan Aceh;

4. Pengelolaan belanja Aceh;

5. Pengelolaan pembiayaan Aceh yang meliputi aspek kekayaan Aceh yang

dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang,

barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk

kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah, kekayaan pihak lain yang

dikuasai oleh pemerintah Aceh dalam rangka penyelenggaraan tugas

pemerintahan Aceh dan/atau kepentingan umum.

Ruang lingkup pengelolaan keuangan dilakukan agar pelaksanaan program

dan kegiatan yang telah direncanakan dapat dicapai sesuai dengan target capaian

tahunan. Pengelolaan keuangan Aceh dilaksanakan dalam suatu sistem yang

terintegrasi dan diwujudkan dalam APBA dengan mengacu kepada penyusunan

anggaran berbasis kinerja berdasarkan Peraturan perundang-undangan yang

berlaku. APBA tersebut lazimnya ditetapkan setiap tahun melalui Qanun Aceh.

Arah dan kebijakan keuangan Aceh tahun 2007 - 2012 yang ditempuh dalam

meningkatkan Pendapatan Aceh adalah:

1. Menghimpun penerimaan dari semua sumber pendapatan daerah secara

optimal sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku;

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-36

2. Mengupayakan peningkatan Pendapatan Asli Aceh dari masing-masing bagian

pendapatan Aceh sehingga kebutuhan pembiayaan Pemerintah Aceh dapat

dipenuhi secara tepat dan cukup; dan

3. Memberdayakan segenap potensi yang dimiliki untuk dapat meningkatkan

pendapatan Aceh.

2.3 Agama, Sosial dan Budaya

2.3.1. Agama

Pelaksanaan Syari`at Islam secara kaffah di Aceh mengacu pada Al-Qur’an

dan Sunnah Rasulullah (Al-Hadits) yang penjabarannya lebih lanjut didasarkan

pada Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan

Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Undang-undang Nomor 11

Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang secara teknis akan diatur dengan

Qanun Aceh. Masyarakat Aceh sejak awal kemerdekaan sudah memperjuangkan

agar Syari`at Islam secara formal dan resmi menjadi sumber nilai dan sumber

penuntun perilaku dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam tataran kehidupan

pribadi, kehidupan bermasyarakat, maupun dalam penyelenggaraan

pemerintahan. Dalam pepatah Aceh disebutkan bahwa hubungan syari`at dengan

adat adalah seperti hubungan benda dengan sifatnya: hukom ngoen adat lage zat

ngoen sifeut. Artinya hukum syari`at dengan adat di Aceh menyatu sedemikian

rupa, merasuk dan menyusup ke dalam semua segi dan sendi kehidupan.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Aceh

memiliki hak untuk melaksanakan Syari`at Islam secara lebih luas, di dalam

berbagai bidang kehidupan dan pemerintahan. Pemerintah Aceh memiliki hak

menyusun dan menerapkan hukum materil di bidang perdata kekeluargaan,

perdata keharta-bendaan, pidana serta hukum acara perdata dan pidana

berdasarkan Syari`at Islam dengan cara menuangkannya ke dalam Qanun Aceh.

Begitu juga dengan pemberian sanksi (hukuman) untuk pelanggaran pidana di

dalam Qanun Aceh ini juga dapat mengikuti ketentuan yang ada dalam Syari`at

Islam secara penuh, tidak dibatasi oleh peraturan perundangan yang ada.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-37

Selanjutnya sebagai upaya pemantapan pelaksanaan Syariat Islam,

Pemerintah Aceh membentuk Mahkamah Syar`iyah yang berwenang menangani

perkara perdata dan pidana berdasarkan Syari`at Islam, yang telah dituangkan ke

dalam Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam. Dalam

pelaksanaan penuntutannya tetap dilakukan oleh kejaksaan, sedangkan

penyidikan dilakukan oleh Wilayatul Hisbah (WH) yang merupakan bagian dari

Polisi Pamong Praja dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di bawah koordinasi

Kepolisian Republik Indonesia.

Sebagian hukum yang berlaku di Aceh adalah hukum berdasar Syari`at

Islam, namun dalam pelaksanaannya lembaga dan aparatur pusat belum

maksimal dalam memahami qanun-qanun Aceh. Oleh karena itu Pemerintah Aceh

perlu memberikan dukungan berupa sosialisasi, pelatihan dan pemahaman kepada

aparat hukum yang berada di bawah instansi vertikal di Aceh sehingga

pelaksanaan tugas penerapan Syariat Islam dapat berjalan dengan baik dan

sempurna. Di samping itu, Pemerintah Aceh perlu melakukan koordinasi dan

konsultasi yang lebih intensif mengenai pembiayaan lembaga dan aparat

pemerintah yang melaksanakan tugas khusus (otonomi khusus) yang pada saat ini

masih belum memadai.

Penyediaan tenaga pelaksana penegakan hukum sebagai perangkat provinsi,

yaitu WH sebagai Polisi Pamong Praja dan PPNS, belum terintegrasi antara satu

dengan lainnya ke dalam sistem yang ada secara memadai. untuk itu, Pemerintah

Aceh perlu menetapkan model yang dianggap sesuai dengan kondisi Aceh yang

menjalankan Syari`at Islam secara kaffah dalam kerangka Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Dalam upaya mempercepat implementasi Syariat Islam dan adat Aceh hingga

ke tingkat pemerintahan paling rendah (gampong), Pemerintah Aceh saat ini

sedang berupaya menata kembali pemerintahan gampong dan mukim sesuai

dengan tuntunan dan aturan adat, antara lain dengan mengembalikan pimpinan

gampong kepada Keuchik dan Teungku Imeum bersama Tuha Peuet, serta

membentuk kembali Lembaga Mukim dengan Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2003

tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tetapi

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-38

upaya ini belum maksimal karena belum semua unsur perangkat pemerintahan

gampong dan mukim diatur dengan peraturan yang setara. Sebagai contoh,

keberadaan Keuchik telah diatur dengan Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2003

tentang Pemerintahan Gampong dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,

Sedangkan keberadaan Teungku Imeum Meunasah diserahkan pengaturannya

kepada Qanun Kabupaten/Kota.

Pelatihan dan pengenalan kembali fungsi dan peran teungku Imuem perlu

menjadi prioritas dalam penerapan syariat Islam. Dengan pelatihan tersebut

diharapkan teungku Imeum dapat mengenali semua tugasnya dengan baik,

seperti; menjadi pengawas atas wali anak yatim, melindungi harta anak yatim,

serta mengelola zakat dan harta agama yang ada di gampong dengan tertib dan

memanfaatkannya secara tepat. Di samping itu, teungku Imeum hendaknya dapat

meningkatkan kualitas pelayanan peribadatan dan kemasyarakatan, misalnya;

menghidupkan meunasah dengan shalat berjamaah dan pengajian, membimbing

dan mengawasi kegiatan warga masyarakat agar sesuai dengan syariat Islam,

serta menyelesaikan sengketa dalam keluarga dan masyarakat berdasarkan

syari`at yang telah menyatu dengan adat.

Persoalan lain yang dihadapi saat ini adalah kurangnya pemahaman dan

pengamalan ajaran agama di kalangan masyarakat khususnya di daerah

perbatasan. Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah adalah

dengan penempatan da’i di daerah perbatasan.

Pelayanan kehidupan beragama juga dinilai belum memadai. Hal ini terlihat

dari belum optimalnya pemanfaatan tempat peribadatan, kurangnya tenaga

pelayanan baik dalam kualitas maupun kuantitas, serta belum optimalnya

pengelolaan dana sosial keagamaan dan harta agama. Selain itu, kesadaran

masyarakat terhadap pembayaran dan pendistribusian zakat masih sangat rendah,

padahal zakat merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Aceh (PAA), sesuai

dengan Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 Pasal 180. Demikian juga harta

agama dalam bentuk wakaf belum dimanfaatkan secara optimal bahkan ada yang

tidak terurus dan terlindungi dengan baik, sehingga perlu disusun dan ditetapkan

sebuah sistem dan mekanisme pengelolaan yang tepat.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-39

Baitul Mal sebagai badan pengelola harta agama perlu dibenahi dan

dioptimalkan fungsinya sehingga harta agama dan zakat dapat dikelola secara

lebih baik, diharapkan dapat membantu pembiayaan pembangunan khususnya

dalam pengentasan kemiskinan.

2.3.2 Sosial Budaya

Budaya Aceh sangat terikat dengan nilai-nilai agama Islam, namun demikian

ada beberapa bagian dalam kalangan masyarakat yang masih terpengaruh oleh

kebiasaan sebelum datangnya Agama Islam, misalnya adat istiadat seperti kenduri

tolak bala, kenduri laot, kenduri blang, kenduri glee dan lain-lain. Pemerintah Aceh

dalam rangka menggali kembali, memelihara, melestarikan dan mengembangkan

adat dan budaya Aceh sesuai dengan kebijakan pemerintah tentang pelaksanaan

Syariat Islam telah membentuk Majelis Adat Aceh (MAA) Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam yang tertuang dalam Qanun Nomor 3 Tahun 2004.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh menunjukkan bahwa pasca konflik

dan gempa bumi di susul gelombang tsunami mengakibatkan menurunnya tingkat

kesejahteraan sosial masyarakat Aceh. Permasalahan kesejahteraan sosial sesuai

data terakhir menunjukkan jumlah fakir miskin ±495.668 KK, anak terlantar

±83.114 jiwa, anak jalanan 590 jiwa, anak nakal 1.832 jiwa, anak korban tindak

kekerasan 5.909 jiwa, lanjut usia terlantar 13.649 jiwa, penyandang cacat 27.710

jiwa, wanita rawan sosial ekonomi 42.767 jiwa, korban penyalahgunaan napza

1.487 jiwa, gelandangan pengemis 1.884 jiwa, eks. penyakit kronis 4.289 jiwa,

komunitas adat terpencil 1.315 KK, eks narapidana 1.156 jiwa, korban bencana

19.379 KK, tuna susila 320 jiwa, anak yatim piatu 67.632 jiwa, keluarga berumah

tidak layak huni 236.461 KK, masyarakat yang tinggal daerah rawan bencana

23.848 KK, keluarga pahlawan nasional perintis kemerdekaan 3.987 jiwa.

Disamping itu, terdapat juga permasalahan korban konflik serta menurunnya

kemampuan organisasi sosial masyarakat dalam melaksanakan usaha-usaha

kesejahteraan sosial di dalam masyarakat.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-40

2.3.3 Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Sejak awal kerajaan Aceh, perempuan sudah memegang peranan dalam

bidang ekonomi, politik dan perjuangan kemerdekaan. Dengan kata lain

perempuan Aceh sudah berperan dalam rumah tangga, politik, dan kebijakan

publik. Akan tetapi saat ini peranan perempuan semakin kecil terutama dalam

bidang politik dan kebijakan publik. Disamping itu kurang sekali kesempatan yang

diberikan kepada perempuan untuk berperan sebagai pemimpin di pedesaan,

kecamatan dan di tingkat kabupaten/kota. Hanya sedikit perempuan yang

berkiprah dalam bidang pemerintahan. Bagaimanapun perempuan punya potensi

dalam berbagai bidang, seperti politik dan ekonomi. Namun demikian banyak

perempuan yang berkiprah dalam bidang pendidikan karena sebagai pendidik

relatif tidak banyak masalah yang dihadapi dibandingkan dalam bidang politik.

Saat ini masih banyak terjadi kekerasan terhadap perempuan dan anak

dalam rumah tangga. Demikian pula halnya dengan eksploitasi terhadap

perempuan dan anak. Walaupun persoalan ini masih sedikit terjadi di Aceh, tetapi

jika tidak ada kepedulian dari semua pihak maka eksploitasi terhadap perempuan

dan anak akan semakin meningkat. Persoalan gender dengan memberikan

kesempatan yang sama antara perempuan dan laki-laki dalam berbagai aspek

kehidupan bermasyarakat dan bernegara perlu mendapat perhatian.

2.3.4 Pemuda dan Olah Raga

Pemuda merupakan komponen bangsa yang sering dijadikan indikator

keberhasilan ataupun kemunduran suatu bangsa karena pemuda merupakan

pelopor perubahan (tranformation agent) dalam pembangunan suatu bangsa.

Dalam struktur demografi Aceh, kelompok usia muda merupakan bagian terbesar

dari total penduduk. Data statistik 2008 menunjukkan populasi penduduk usia

muda kelompok umur 15-44 tahun mencapai angka 2.175,7 juta jiwa (50,67

persen). Kenyataan ini menunjukan bahwa penduduk Aceh tergolong kelompok

penduduk ekspansif karena sebagian besar penduduknya berada dalam kelompok

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-41

usia muda. Jumlah penduduk Aceh menurut kelompok umur dapat dilihat pada

tabel II.17 berikut:

Tabel II.17Jumlah Penduduk Aceh Menurut Kelompok Umur

Di Provinsi Aceh Tahun 2008

No Kelompok Umur Jumlah1234567891011121314

0 – 45 – 9

10 – 1415 – 1920 – 2425 – 2930 – 3435 – 3940 – 4445 – 4950 – 5455 – 5960 – 6465 +

453,4427,3448,8462,1442,7381,9337,4293,0258,6216,1163,2129,4100,7179,3

T o t a l 4.293,9

Sumber : Aceh Dalam Angka, 2009

Berdasarkan tabel II.17 Jumlah kelompok umur (15-19 Tahun) adalah jumlah

terbesar dari komposisi penduduk Aceh. Itu berarti dalam kurun waktu beberapa

tahun kedepan akan terjadi bonus demografi, dimana akan terdapat lebih banyak

kelompok penduduk usia muda (produktif) di banding usia tidak produktif.

Peningkatan jumlah penduduk usia muda, apabila tidak diikuti dengan

pembinaan yang baik, akan menimbulkan berbagai kerawanan sosial, seperti :

pengangguran, dekadensi moral, pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba dan

zat-zat adiktif lainnya, serta perbuatan yang mengarah pada tindak kriminal.

Kondisi seperti ini menjadi lebih parah lagi karena tidak tersedianya lapangan

kerja yang dapat menampung mereka. Untuk itu perlu adanya usaha yang konkrit

dalam rangka memberdayakan pemuda agar memiliki keunggulan dan daya saing

Aceh serta mampu memberikan kontribusi yang nyata terhadap masyarakat,

bangsa dan negara.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-42

Program pembinaan kepemudaan saat ini belum terkoordinir secara optimal,

baik pada tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota. Rendahnya

partisipasi masyarakat, dunia usaha, dan organisasi-organisasi kepemudaan dalam

peningkatan SDM dan produktivitas pemuda menyebabkan fokus pembinaan

pemuda belum mengarah pada peningkatan keterampilan hidup (life skill) yang

bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kelangsungan hidup

(livelyhood). Pembinaan-pembinaan yang selama ini dilakukan baik oleh lembaga

pemerintah maupun non pemerintah masih bersifat parsial (satu aspek saja) dan

belum menyeluruh (holistic).

Pemerintah daerah telah berupaya melakukan pembinaan dan pemberdayaan

terhadap organisasi-organisasi kepemudaan di Aceh dalam bentuk dukungan

pendanaan yang bersifat stimulan, sebagai upaya meningkatkan kemandirian

organisasi guna mengaktualisasikan berbagai program pembinaan bagi generasi

muda. Beberapa kegiatan kepemudaan yang telah dan akan terus dilakukan

diantaranya; pertukaran pemuda antar daerah dan antar negara, pemilihan dan

keikutsertaan dalam kegiatan Paskibraka Daerah dan Nasional setiap tanggal 17

Agustus, keikutsertaan pemuda Aceh dalam Kapal Pemuda Nusantara, serta

pembinaan dialog pemuda tingkat provinsi yang dimaksudkan untuk

menumbuhkan semangat kebersamaan, keterbukaan, toleransi, dan

kesetiakawanan sosial yang tinggi.

Meskipun mengalami berbagai hambatan dan keterbatasan, beberapa cabang

olahraga di Aceh berhasil mengukir prestasi dalam kancah kompetisi nasional.

Pada cabang Bola Basket, klub bola basket PIM Aceh berhasil menjadi juara

KOBATAMA BRITAMA 2005/2006, begitu juga pada cabang bola kaki, 2 tim

sepakbola Aceh berhasil masuk dalam jajaran elit persepakbolaan Indonesia

dengan lolosnya Persiraja Banda Aceh dan PSSB Bireuen ke dalam divisi utama

Ligina Djarum Super 2007.

Prestasi pemuda di bidang olah raga saat ini belum begitu membanggakan.

Hanya beberapa cabang olahraga saja yang mampu menghasilkan prestasi

gemilang di tingkat nasional, yaitu; cabang angkat berat, anggar, dan pencak silat.

Pada PON 2004 di Palembang, Aceh hanya berhasil menduduki peringkat 21 dari

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-43

32 provinsi. Begitu juga pada Pekan Olahraga Pelajar Nasional (POPNAS), Aceh

hanya berada pada peringkat 21 dengan perolehan 6 medali emas, 2 perak, dan 1

perunggu.

Mencermati kondisi tersebut, Pemerintah Aceh menyusun rencana strategis

pembinaan prestasi olah raga sepak bola, Pemerintah Aceh menggagas dan

mengambil alternatif pembinaan prestasi sepakbola dengan kegiatan pembinaan

dan pelatihan atlet sepak bola usia 16 tahun ke Paraguay dengan jumlah atlet

sebanyak 30 orang. Tujuan yang diharapkan adalah : (1) Menggali dan

menyiapkan atlet Sepakbola Kabupaten/Kota untuk dibina sejak dini, (2)

Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) khususnya cabang olahraga

Sepak Bola melalui IPTEK dan IMTAQ, (3) melahirkan atlet yang berkualitas dan

profesional masa depan.

Pembinaan bakat dan pembibitan olah raga juga menjadi prioritas dan terus

dilakukan, baik melalui event kompetisi maupun peningkatan SDM olahraga dan

diklat, seperti pembinaan diklat olahraga SMA Tunas Bangsa, peningkatan SDM

Olahraga, pembinaan olahraga santri, kegiatan pemasyarakatan olahraga dan

kesegaran jasmani seperti senam massal, gerak jalan, lomba lari serta kompetisi

berbagai cabang olah raga. Aceh sendiri memiliki cabang-cabang olahraga

tradisional yang berpotensi untuk dibina dan dikembangkan menjadi olahraga

prestasi.

Kegiatan-kegiatan pembinaan olah raga di Aceh harus dilaksanakan secara

intensif untuk menumbuhkan kesadaran dan kecintaan terhadap olahraga,

sehingga menjadi medium pembentukan pribadi yang sehat jasmani dan rohani,

disiplin, dan memiliki jati diri yang kuat.

2.3.5 Pariwisata

Berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang

Kepariwisataan. Objek dan daya tarik wisata dibagi kedalam 3 kelompok yaitu

Objek dan daya tarik wisata alam, objek dan daya tarik wisata budaya dan objek

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-44

dan daya tarik wisata minat khusus. Aceh memiliki ketiga objek dan daya tarik

wisata tersebut dan tersebar di setiap Kabupaten dan Kota.

Ketiga jenis objek dan daya tarik wisata tersebut terdiri dari ciptaan Allah

SWT berupa keadaan alam, flora dan fauna, hutan, tumbuh-tumbuhan binatang

langka dan lain-lain. Sedangkan objek dan daya tarik wisata budaya berupa karya

manusia terdiri dari museum, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni

budaya, wisata agro, wisata tirta, wisata pertualangan, taman rekreasi dan tempat

hiburan. Sedangkan Objek wisata yang menjadi sasaran minat khusus seperti

berburu, mendaki gunung, gua, industri dan kerajinan, tempat perbelanjaan,

sungai air deras, tempat-tempat ibadah, tempat ziarah. Secara lebih jelas dapat

dilihat pada tabel II.18.

Tabel II.18Jumlah Objek Wisata Menurut Jenis di Aceh

No Kab/Kota Jlh ObjekJenis Objek

KetAlam Budaya Minat Khusus

1234567891011121314151617181920212223

Banda AcehAceh BesarPidieBireuenAceh UtaraLhokseumaweAceh TengahBener MeriahLangsaAceh TimurAceh TamiangAceh Barat DayaAceh SelatanAceh SingkilAceh BaratSimeulueNagan RayaAceh JayaAceh TenggaraSubulussalamGayo LuesPidie JayaSabang

4273453533157128113711331083244192514197384622

4222025983325519915742226131412124261217

224614719228341623212160102337335

165114551001200138262030510

TOTAL 808 426 268 99Sumber : Data Base Kebudayaan dan Pariwisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh (2009)

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-45

Potensi pariwisata Aceh secara umum sangat menarik, memiliki potensi

wisata bahari yang sangat banyak karena dikelilingi oleh laut beserta puluhan

pulau-pulau kecil. Lokasi Suaka alam/objek wisata alam ada di lokasi 23

Kabupaten dan Kota.

Fasilitas pendukung pariwisata Pemerintah Aceh sebagai berikut 20 hotel

bintang, 25 hotel dan homestay dengan total 1.910 kamar dengan kapasitas 3.820

tempat tidur, 414 rumah makan/restoran dengan total meja 2.861 dengan

kapasitas sekitar 14.227 kursi dan 75 Biro Perjalanan wisata (BPW).

Akibat konflik berkepanjangan dan kehancuran kawasan wisata pantai

akibat bencana tsunami, telah berdampak buruk pada sektor kepariwisataan

Aceh. Jumlah wisatawan asing dan lokal yang berkunjung ke daerah ini semakin

menurun, sehingga secara langsung mempengaruhi usaha bidang jasa perhotelan,

rumah makan dan usaha jasa lainnya. Akan tetapi setelah berakhirnya konplik

dengan ditandatangani Perjanjian Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005, maka

minat wisatawan Mancanegara dan Nusantara datang ke Aceh dari tahun ke tahun

semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat pada tabel II.19.

Tabel II.19Jumlah Kunjungan Wisatawan Tahun 2005 - 2009

No Klasifikasi KunjunganTahun

2005 2006 2007 2008 2009

1. Wisatawan Mancanegara 4.414 11.524 13.835 17.282 18.589

2. Wisatawan Nusantara 296.801 395.691 595.546 710.081 712.630

Sumber : Data Base Kebudayaan dan Pariwisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh (2009)

Untuk masa yang akan datang diharapkan sektor pariwisata menjadi sektor

unggulan dalam rangka penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat ekonomi

lemah. Dibangunnya monumen dan Musium Tsunami oleh Badan Rehabilitasi dan

Rekonstruksi dan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral merupakan andil

yang sangat besar dalam meningkatkan kunjungan wisata baik dalam maupun

luar negeri, demikian juga dilakukan pembinaan kepada masyarakat disekitar

objek wisata, penyediaan sarana dan prasarana kepariwisataan, membuka

peluang sebesar-besarnya kepada investor untuk dapat menanam modalnya di

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-46

Aceh dengan mempermudah layanan dan meringakan beban pajak bagi investor

yang berminat.

Dalam rangka meningkatkan kunjungan wisatawan baik mancanegara

maupun nusantara yang berkunjung ke Aceh. Dukungan yang sangat besar dari

Presiden RI Dr. H. Susilo Bambang Yodoyono, pada saat peresmian Bandara

Internasional SIM di Banda Aceh adalah pemberian kewenangan untuk

pelaksanaan “Visa On Arrival (VOA)” atau “Visa Kunjungan Saat Kedatangan

(VKSK)” bagi Warga Negara Asing (WNA) yang masuk melalui pintu Aceh seperti

layaknya Bandara Internasional lainnya di Indonesia.

Pemberlakuan VOA di Bandara SIM merupakan sebuah langkah maju dan

perlu mendapat dukungan semua pihak, sekaligus menjadi salah satu komponen

penting (bukan satu-satunya) dalam rangka memajukan dan mempromosikan

potensi pariwisata Aceh kepada wisatawan dalam dan luar negeri.

Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa banyak wisatawan

asing yang berminat untuk berkunjung ke Aceh, khususnya untuk menikmati

pesona alam dan keindahan budaya Aceh serta berbagai peninggalan Tsunami.

Namun demikian, kebijakan VOA yang diberlakukan di Aceh nantinya akan

mempermudah dan memperlancar minat wisatawan luar negeri untuk berkunjung

ke Aceh melalui Bandara Internasional SIM.

Seiring dengan semakin berkembangnya sektor kepariwisataan secara

global yang didukung oleh kemajuan sistem informasi, teknologi dan komunikasi

(ITC) yang ditandai dengan peningkatan arus kunjungan wisatawan internasional,

secara tidak langsung telah mempengaruhi berbagai tuntutan penyediaan

komponen atau produk-produk pariwisata yang dibutuhkan oleh wisatawan.

Penyediaan berbagai produk pariwisata tersebut (supply side) dianggap penting

untuk memenuhi kebutuhan wisatawan pada saat berkunjung di sebuah kawasan

wisata yang mencakup ketersediaan daya tarik wisata (wisata

alam/budaya/sejarah), informasi wisata (leaflet, booklet, brosur), aksesibilitas

wisata (sistem transportasi), fasilitas wisata (akomodasi, money changer) dan

industri wisata (agen perjalanan, makanan dan minuman, tour operator,

pramuwisata dan souvenir wisata). Berbagai inisiatif kedepan yang sifatnya

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-47

membangun akan dilakukan oleh Pemerintah Aceh berkerjasama dengan para

stakeholder lainnya dalam rangka mendukung keberhasilan pemberlakuan VOA di

Aceh.

Pariwisata Aceh untuk saat ini dan kedepan diarahkan pada perwujudan

pengembangan pariwisata pada 4 (empat) hal, yaitu sebagai berikut :

1. Syari’at Islam sebagai potensi wisata. Wisata yang berlandaskan Islami bukan

berarti membatasi kegiatan wisatawan non muslim. Namun perlu adanya

toleransi dalam penyediaan kegiatan-kegiatan wisata yang dapat

mengakomodasi kegiatan wisatanya, dalam hal ini harus diterapkan konsep

bahwa syari’at Islam sebagai usaha untuk menjadikan industri pariwisata yang

ada agar sesuai dengan pokok-pokok ajaran Islam.

2. Penyiapan masyarakat dalam pengembangan pariwisata. Bahwa sebagian

masyarakat Aceh masih belum dapat menerima kegiatan-kegiatan

kepariwisataan, mengingat citra pariwisata yang terbayangkan banyak yang

melanggar aturan dalam syari’at Islam. Disisi lain, sektor pariwisata dalam

syariat Islam bukan merupakan sesuatu yang dilarang, selama masih mengikuti

pokok-pokok ajaran agama. Untuk itu akan dilakukan adanya penyiapan

penguatan masyarakat dalam proses pengembangan pariwisata dalam bentuk

sosialisasi dan menumbuhkan pemahaman masyarakat akan kegiatan

pariwisata.

3. Pengembangan pintu masuk utama. Mengenai pengembangan pintu masuk

utama dalam pengembagan wisata di Aceh harus dilakukan kesamaan persepsi

dan mainshaet yaitu berupa Pola pikir terhadap Pulau Sabang dan Bandara

Internasional Sultan Iskandar Muda (SIM) di Blang Bintang, Aceh Besar,

menjadi fokus utama yang harus dikembangkan. Sabang mempunyai

pelabuhan yang akan ditingkatkan menjadi pelabuhan internasional sebagai

salah satu pintu masuk utama bagi pengembangan kepariwisataan di Aceh.

Kalau Sabang menjadi andalan pintu masuk utama jalur laut, maka Bandara

Sultan Iskandar Muda akan memegang peranan penting sebagai pntu utama

Aceh dari jalur udara.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-48

4. Pengembangan Pariwisata yang berwawasan lingkungan. Pengembangan

pariwisata di Aceh harus diarahkan untuk selalu menjaga kebersihan dan

kelestarian lingkungan hidup. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam yang

mengajarkan bahwa kebersihan itu adalah sebagian dari Iman, wisata

berwawasan lingkungan juga sesuai dengan konsep wisata yang berkelanjutan,

dimana salah satunya adalah menjaga dan melestarikan lingkungan.

2.4 Pendidikan

Pendidikan merupakan urusan strategis yang masih menjadi kewenangan

negara, namun karena keistimewaan dan kekhususan daerah, Pemerintah Aceh

memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan

karakteristik, potensi, dan kebutuhan masyarakat Aceh, yaitu pendidikan yang

Islami sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Qanun Aceh Nomor 23 Tahun

2002 tentang Penyelenggaraan Pendidikan, yang kemudian direvisi menjadi Qanun

No.5 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pendidikan.

Dalam hubungannya dengan keistimewaan Aceh di bidang pendidikan, maka

sejak Tahun 1990 melalui Surat Keputusan Gubernur Nomor 420/435/1990

tanggal 31 Agustus 1990 telah dibentuk Majelis Pendidikan Daerah (MPD), sebuah

badan normatif berbasis masyarakat yang berfungsi memberikan pendapat, saran

dan pertimbangan kepada pemerintah daerah mengenai kebijakan dan

pelaksanaan pendidikan di Aceh, pada Tahun 2006 telah disusun Qanun Nomor 03

tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Pendidikan Daerah (MPD)

Provinsi Aceh.

Reformasi pendidikan di tingkat nasional sebenarnya telah dimulai pada saat

Pemerintah RI melakukan reformasi tata pemerintahan dari sistem sentralistik ke

sistem desentralistik. Pengalihan ini dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi

dan efektifitas manajemen pendidikan guna meningkatkan kinerja pendidikan

secara menyeluruh, sehingga pemerintah daerah mempunyai kewenangan:

(1) mengawasi dan menilai penyelenggaraan pendidikan pada semua jalur,

jenjang dan jenis pendidikan baik negeri maupun swasta, (2) memberikan

pendapat dan pertimbangan dalam menyusun rancangan anggaran pendidikan

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-49

Aceh, (3) mengontrol mutu pendidikan dan (4) mengembangkan sistem

pendidikan berbasis nilai Islami.

Dalam rangka reformasi pendidikan, Pemerintah Aceh telah mengeluarkan

Peraturan Gubernur Aceh No. 26 Tahun 2007 tentang Renstra Pendidikan Aceh

Tahun 2007-2012 yang memberikan pemahaman menyangkut kondisi pendidikan,

arah kebijakan dan tujuan reformasi pendidikan, serta menguraikan berbagai

kebijakan dan strategi dalam mencapai target pembangunan pendidikan yang

telah ditetapkan.

2.4.1 Pemerataan dan Perluasan Akses

Implementasi sistem pendidikan selama konflik dan bencana tsunami cukup

berat sehingga APK/APM kelompok usia 7 - 12 Tahun di SD/MI menunjukkan

kecenderungan berfluktuasi, namun posisi rata-ratanya di atas 90 persen dapat

dipertahankan, bahkan pada kelompok usia 13 - 15 Tahun di SMP/MTs dan usia

16 - 18 Tahun di pendidikan menengah menunjukkan indikasi yang terus

membaik, secara rinci dapat dilihat pada tabel II.20.

Tabel II.20Perkembangan Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi

Murni Penduduk Usia Sekolah di Aceh 2007 - 2009

2007 2008 2009

APK PAUD Formal (TK/RA) 16,00% 20.00% 23.00%

APM - SD/MI/Paket A 94.66% 95.06% 95.50%

APM - SMP/MTs/SMPLB/Paket B 86.52% 89.49% 92.59%

APK - SMP/MTs/SMPLB/Paket B 96.59% 97.16% 101.28%

APM - SMA/MA/SMK/SMALB/Paket C 65,92% 68.50% 70.26%

APK - SMA/MA/SMK/SMALB/Paket C 72,06% 73.60% 74.75%

APK - Perguruan Tinggi 19.00% 19.15% 19.40%

IndikatorTahun

Sumber: Dinas Pendidikan (2009)

Diproyeksikan pada Tahun 2012 APM untuk tingkat PAUD TK/RA mencapai

27 persen, tingkat SD/MI mencapai 96 persen, tingkat SMP/MTS mencapai 95

persen dan tingkat SMA/MA/SMK/MAK mencapai 70 persen.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-50

Tabel II.21Proyeksi Angka Partisipasi Murni

Level 2007 Target 2012

TK/RA (4 - 6 Tahun) 16,00% 27%

SD/MI (7 - 12 Tahun) 94,66% 96%

SMP/MTS (13 - 15 Tahun) 86,52% 95%

SMA/MA/SMK (16 - 18 Tahun) 65,92% 70%

Ketersediaan dan penyebaran lembaga pendidikan yang memadai dan

merata merupakan salah satu faktor penting dalam upaya peningkatan APK/APM.

Sampai akhir Tahun 2009, di seluruh Aceh terdapat 1.135 unit TK/RA, 3.838 unit

SD/MI/SDLB, 972 unit SMP/MTs/SMPLB, dan 644 unit SMA/MA/SMALB/SMK

(termasuk SMK Kecil dan Kelas Jauh). Pada jenjang SD/MI; 33,06 persen ruang

kelas sekolah rusak sedang/ringan dan 24,08 persen rusak berat, pada tingkat

SMP/MTs; 19,06 persen rusak sedang/ringan dan 17,19 persen rusak berat, dan

pada tingkat SMA/MA; 14,85 persen rusak sedang/ringan dan 10,69 persen rusak

berat. Secara rinci jumlah sekolah dapat dilihat pada tabel II.22.

Selain pendidikan dasar dan menengah, pemerintah Aceh juga menaruh

perhatian terhadap akses layanan pendidikan tinggi. Sampai akhir Tahun 2009, di

Aceh telah berdiri 76 perguruan tinggi, yang terdiri dari; 8 unit Perguruan Tinggi

Negeri (PTN) dan 68 unit Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang tersebar diseluruh

wilayah Aceh.

Tabel II.22

Jumlah Sekolah di Aceh Tahun 2008/2009

No Kabupaten/Kota TK/RASD/MI SMP/MTs SMA/MA/SMK

SD MI SMP MTs SMA MA SMK

1 Simeulue 14 110 12 33 9 15 4 22 Aceh Singkil 41 95 5 26 13 19 8 23 Aceh Selatan 68 193 35 30 15 19 11 54 Aceh Tenggara 29 155 26 36 20 21 11 45 Aceh Timur 37 264 46 32 20 20 12 46 Aceh Tengah 88 175 24 34 14 14 9 2

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-51

7 Aceh Barat 28 143 34 22 18 17 6 38 Aceh Besar 129 204 51 50 22 33 17 29 Pidie 108 275 60 51 24 25 12 5

10 Bireuen 78 228 58 51 8 29 6 411 Aceh Utara 106 352 51 72 40 36 23 712 Aceh Barat Daya 24 108 16 15 4 11 1 413 Gayo Lues 15 91 10 17 4 10 2 114 Aceh Tamiang 77 160 21 45 22 17 12 615 Nagan Raya 22 125 20 22 4 14 3 216 Aceh Jaya 17 94 20 17 2 7 4 417 Bener Meriah 31 116 20 30 15 14 10 318 Pidie Jaya 65 89 24 15 11 7 7 119 Banda Aceh 77 81 12 27 9 26 7 720 Sabang 8 30 5 7 2 2 1 121 Langsa 27 61 8 13 7 9 6 822 Lhokseumawe 32 60 8 17 11 9 6 523 Subulussalam 14 70 3 11 5 7 3 0

Total 1135 3279 569 673 299 381 181 82Sumber: Dinas Pendidikan Aceh, 2009

Selain pendidikan dasar dan menengah, pemerintah Aceh juga menaruh

perhatian terhadap akses layanan pendidikan tinggi. Sampai akhir Tahun 2009, di

Aceh telah berdiri 76 perguruan tinggi, yang terdiri dari; 8 unit Perguruan Tinggi

Negeri (PTN) dan 68 unit Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang tersebar diseluruh

wilayah Aceh.

Ditinjau dari sudut pandang kesetaraan gender, saat ini tidak terlihat adanya

perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan dalam mendapatkan

layanan pendidikan. Rasio siswa perempuan terhadap siswa laki-laki tingkat SD/MI

sebesar 100,3 persen, pada tingkat SMP/MTS sebesar 102,1 persen, dan pada

tingkat SMA/MA/SMK sebesar 104,0 persen. Sementara pada tingkat Pendidikan

Tinggi, Rasio perempuan terhadap laki-laki mencapai 134,4 persen. Hal ini

diperkirakan sebagai akibat dari banyaknya jumlah perguruan tinggi yang

membuka program studi Keperawatan dan Kebidanan di seluruh Aceh. Pada

Tahun 2012 diharapkan komposisi anak laki-laki akan meningkat mencapai

keseimbangan dengan anak perempuan pada semua jenjang pendidikan.

Kondisi Tahun 2006, jumlah penduduk buta aksara latin usia 15 Tahun ke

atas sebesar 161.209 orang atau 6,02 persen dari total penduduk usia 15 Tahun

ke atas dan sampai Tahun 2012 angka tersebut diproyeksikan berkurang menjadi

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-52

4,5 persen. Kelompok usia 15-24 Tahun merupakan sasaran prioritas

pemberantasan buta aksara, sedangkan usia di atas 25 Tahun merupakan sasaran

tambahan yang perlu ditangani melalui program keaksaraan fungsional.

Pemerintah Aceh tidak hanya melakukan program penghapusan buta aksara latin,

tetapi juga penghapusan buta aksara Al-Qur’an dengan indikator kemampuan

membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar.

Permasalahan pendidikan tidak hanya menyangkut penyediaan layanan

pendidikan formal bagi peserta didik, tetapi juga pembekalan ilmu pengetahuan

(knowledge) dan ketrampilan (life skills) bagi setiap anggota masyarakat melalui

program Pendidikan Non Formal (PNF). Pemberantasan buta aksara (illiteracy)

perlu dilakukan secara serius sebagai upaya untuk mencerdaskan seluruh rakyat

dan mendukung pembelajaran sepanjang hidup (life long learning).

Ketersediaan fasilitas pendidikan terus bertambah dari tahun ke tahun,

namun penyebarannya masih belum merata hingga ke daerah-daerah terpencil,

terutama ditingkat SMP/MTs dan SMA/MA/SMK. Kendala lainnya yang dihadapi

adalah manajemen sekolah dan sumber daya guru belum maksikmal, penyebaran

guru yang belum merata antara satu daerah dengan daerah lainnya.

2.4.2 Mutu, Relevansi dan Daya Saing

Penyediaan layanan pendidikan yang berkualitas berkaitan erat dengan

ketersediaan pendidik dan tenaga kependidikan dalam jumlah dan kualitas yang

memadai. Penyebaran guru yang tidak merata, dan rendahnya kualifikasi dan

kompetensi profesional guru masih menjadi permasalahan klasik dalam dunia

pendidikan, sehingga pemerintah terus menerus berupaya melakukan penataan

penyebaran, serta melaksanakan pendidikan dan pelatihan dalam rangka

peningkatan SDM pendidik dan tenaga kependidikan.

Rasio siswa per guru pada Tahun 2008/2009 telah melampaui rasio nasional,

yaitu; pada tingkat SD/MI sebesar 1:13, pada tingkat SMP/MTs 1:9, dan tingkat

SMA/MA/SMK mencapai 1:10.

Persentase guru yang berkualifikasi S1/D4 pada tingkat SD/MI hanya 35,61

persen, sedangkan pada tingkat SMP/MTS sebesar 53,30 persen dan pada tingkat

SMA/MA/SMK mencapai 82,33 persen. Melihat kenyataan tersebut, perlu

diupayakan secepatnya peningkatan kualifikasi guru ke jenjang S1/D4 dan

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-53

pelatihan untuk meningkatkan kompetensi guru. Pada Tahun 2012 diproyeksikan

sebesar 70 persen guru SD/MI, 100 persen guru SMP/MTS dan SMA/MA/SMK telah

memiliki kualifikasi minimum S1/D4 atau yang sederajat.

Fasilitas pendukung dalam peningkatan mutu pembelajaran belum memadai,

seperti ketersediaan ruang perpustakaan, laboratorium, buku dan alat

praktek/peraga siswa, serta rendahnya partisipasi masyarakat atau dunia

usaha/industri juga menjadi penyebab lain rendahnya mutu pendidikan di Aceh.

Jumlah sekolah yang memiliki perpustakaan pada tingkat SD/MI sebesar 3 persen,

SMP/MTs sebesar 56,51 persen, SMA/MA sebesar 61,50 persen dan SMK/MAK

hanya 10 persen. Jumlah sekolah yang memiliki laboratorium IPA pada jenjang

SMP/MTs sebesar 60,41 persen, SMA/MA sebesar 71,22 persen, dan SMK/MAK

sebesar 66 persen. Sampai dengan akhir 2006 baru 11 persen sekolah menengah

(54 sekolah) yang telah dirintis untuk melaksanakan pembelajaran berbasis

Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT based learning).

Jumlah guru dan jenjang pendidikan tahun 2008 – 2009 yang tersebar di

kabupaten/kota secara rinci dapat dilihat pata tabel II.23.

Tabel II.23Jumlah Guru Menurut Jenjang Pendidikan Tahun 2008/2009

No Kabupaten/Kota TK/RA SD/MI SMP/MTs SMA/MA/SMK

SD MI SMP MTs SMA MA SMK 1 Simeulue

36

936

80

1,428

45

407

82

40

2 Aceh Singkil

180

1,913

48

438

398

653

129

49

3 Aceh Selatan

279

1,985

272

652

1,002

705

294

129

4 Aceh Tenggara

147

1,317

216

2,205

308

713

697

209

5 Aceh Timur

238

2,499

360

1,093

962

863

156

100

6 Aceh Tengah

171

1,986

186

1,316

576

508

130

124

7 Aceh Barat

137

1,259

264

818

140

654

121

209

8 Aceh Besar

533

996

686

1,769

745

1,414

184

177

9 Pidie

228

1,994

472

1,041

689

1,195

302

270

10 Bireuen

297

1,770

336

2,764

252

1,258

156

209

11 Aceh Utara

595

3,610

312

1,209

1,392

1,384

467

236

12 Aceh Barat Daya

168

1,171

136

405

41

482

27

82

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-54

13 Gayo Lues

23

793

56

525

127

219

34

19

14 Aceh Tamiang

355

1,806

168

1,497

610

678

212

138

15 Nagan Raya

79

1,740

152

731

120

291

55

33

16 Aceh Jaya

26

780

136

506

103

244

34

52

17 Bener Meriah

90

1,106

160

852

394

275

218

123

18 Pidie Jaya

75

1,031

160

560

55

344

35

10

19 Banda Aceh

561

1,438

152

2,041

596

1,161

264

326

20 Sabang

25

277

81

392

64

106

34

46

21 Langsa

223

829

68

530

35

454

229

284

22 Lhokseumawe

199

738

116

448

726

527

159

344

23 Subulussalam

55

1,583

49

219

25

70

15

48

Total

4,720

33,557

4,666

23,439

9,405

14,605

4,034

3,257 Sumber: Dinas Pendidikan Aceh, 2009

Pada Tahun 2012 diproyeksikan seluruh sekolah mulai tingkat SMP/MTs

sampai jenjang SMA/MA/SMK telah memiliki laboratorium dan perpustakaan, serta

sebahagian besar lembaga pendidikan menengah telah menerapkan pembelajaran

berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT).

Pada Tahun ajaran 2008/2009, nilai rata-rata Ujian Nasional (UN) yang

dicapai lulusan SMP/MTs adalah 7,06. Sedangkan SMA/MA/SMK adalah 6,75.

Pada Tahun pelajaran 2011/2012, angka lulusan diharapkan mencapai masing-

masing menjadi 99 persen pada tingkat SD/MI, 95,00 persen pada tingkat

SMP/MTs, serta 89,00 persen pada tingkat SMA/MA dan 85 persen SMK. Capaian

hasil UASBN SD/MI diupayakan mencapai 6,75, hasil UN SMP/MTs mencapai

rata-rata 7,31, hasil Unian Nasional (UN) SMA/MA mencapai 7,40, dan SMK

mencapai rata-rata 7,00.

2.4.3 Tata Kelola, Akuntabilitas, dan Pencitraan Publik

Bervariasinya cara merespons pemaknaan Good Governance di kalangan

pelaksana pendidikan baik di tingkat provinsi, kabupaten/kota dan satuan

pendidikan, menyebabkan upaya penguatan tata kelola, akuntabilitas dan

pencitraan publik belum berjalan dengan baik. Belum terlaksananya perencanaan

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-55

yang mengacu pada Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), lemahnya dukungan

Sistem Informasi Management (SIM) untuk menunjang efektifitas perencanaan

serta kurangnya pengawasan dan evaluasi (internal dan eksternal) merupakan

kendala yang masih dijumpai di lapangan.

Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada tingkat satuan

pendidikan secara bertahap telah mulai diterapkan, yang ditandai dengan

meningkatnya partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan

dan pengawasan di sekolah, namun belum berfungsi secara optimal. Untuk itu

pembinaan dan pengembangan Gugus SD/MI dan Pendidikan Luar Biasa (PLB),

Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), SMP dan Pendidikan Menengah akan

dilanjutkan bersama Pemerintah Kabupaten/Kota dengan menyediakan insentif

pembinaan gugus melalui APBA dan APBN dengan target lebih dari 600 gugus

pada Tahun 2011.

Dalam kurun waktu 2007 - 2012 akan ditempuh langkah-langkah penguatan

tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik melalui peningkatan kapasitas dan

kompetensi aparat perencanaan dan penganggaran serta pengelola pendidikan,

mengembangkan aplikasi SIM secara terintegrasi, memantapkan pelaksanaan MBS

dengan meningkatkan partisipasi masyarakat melalui peningkatan kapasitas

Majelis Pendidikan Daerah dan Komite Sekolah, meningkatkan pengawasan dan

evaluasi (internal dan eksternal) serta mempercepat penyelesaian tindak lanjut

temuan aparat pemeriksa.

2.4.4 Pendidikan Berbasis Nilai Islami

Pemerintah Aceh terus berupaya meningkatkan pendidikan berbasis nilai

Islami antara lain dengan melakukan pelatihan Fahmul Qur’an kepada guru-guru

yang nantinya bisa ditransfer kepada siswa di setiap jenjang sekolah. Khusus

untuk murid Sekolah Dasar telah dilaksanakan pengajian Al-Qur’an sebagai

kegiatan ekstrakurikuler dalam rangka meningkatkan kemampuan baca tulis Al-

Qur’an dan pemahaman isi kandungannya. Selain itu penambahan jam pelajaran

agama Islam pada tingkat SD, SMP, dan SMA/SMK adalah merupakan upaya untuk

meningkatkan pemahaman nilai-nilai Islam di kalangan siswa.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-56

Dalam upaya penerapan pendidikan berbasis nilai Islami, pemerintah masih

menemui kendala-kendala yang cukup berarti, seperti; belum rampungnya

Kurikulum Plus (kurikulum nasional dan kurikulum lokal yang bernuansa Islami),

masih banyaknya sekolah-sekolah yang tidak memiliki sarana praktek ibadah

(mushalla), kurangnya buku-buku pendidikan agama Islam dan alat-alat

peraga/praktek, belum adanya Standar Operasional dan Prosedur (SOP)

penerapan sistem pendidikan Islami, serta lemahnya kemampuan guru dalam

mengintegrasikan muatan yang bernuansa Islami kedalam setiap mata pelajaran

yang diasuhnya. Di samping itu, pengakuan (akreditasi) dan peningkatan mutu

lembaga pendidikan dayah atau pesantren sebagai lembaga pendidikan formal

alternatif belum terlaksana secara maksimal.

Upaya penyediaan akses layanan pendidikan bagi masyarakat Aceh yang

telah menerapkan syariat Islam dalam berbagai aspek kehidupannya semakin luas

dengan diakuinya dayah atau pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan

formal sesuai dengan karakter dan kekhususan daerah. Upaya serius untuk

menyetarakan dayah dengan lembaga pendidikan formal lainnya dilakukan dengan

cara akreditasi dayah-dayah yang ada di seluruh Aceh yang pada saat ini

berjumlah sekitar 1.200 dayah. Sebanyak 412 dayah diantaranya telah

terakreditasi.

2.5. Kesehatan

Pembangunan Kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak

dasar rakyat untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan Undang-

Undang Dasar 1945 pasal 28 ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992

dan No 36 Tahun 2010 tentang Kesehatan. Pembangunan Kesehatan harus

dipandang sebagai suatu investasi untuk peningkatan kualitas sumber daya

manusia, yang antara lain diukur dengan Index Pembangunan Manusia (IPM).

Dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan dibutuhkan perubahan cara pandang

(mindset) dari paradigma sakit ke paradigma sehat, sejalan dengan Visi Aceh

Mandiri untuk hidup sehat secara berkeadilan.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-57

2.5.1 Status Kesehatan

Gambaran status kesehatan diuraikan berdasarkan pencapaian beberapa

indikator seperti; umur harapan hidup, Angka Kematian Bayi (AKB), Angka

Kematian Ibu (AKI), gizi balita dan ibu hamil, serta sebaran penyakit menular.

a) Umur Harapan Hidup (UHH)

Berdasarkan data BPS perkembangan Umur Harapan Hidup (UHH) di Aceh

tahun 2005 adalah 68 tahun, tahun 2006 adalah 68,3 tahun, tahun 2007 adalah

69,08 tahun. Sejalan dengan membaiknya pelayanan kesehatan diharapkan UHH

pada tahun 2012 menjadi 70 tahun.

b) Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB)

Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan

indikator yang paling sensitif untuk menentukan derajat kesehatan suatu

bangsa/daerah. Pada Tahun 2006 AKI Aceh sebesar 237/100.000 kelahiran hidup

dan pada Tahun 2009 AKI menurun menjadi 179/100.000 kelahiran hidup. Pada

Tahun 2010 hingga 2015 target penurunan AKI secara bertahap akan diupayakan

hingga menjadi 125/100.000 kelahiran hidup sesuai dengan target MDGs 2015.

Sementara itu Angka Kematian Bayi (AKB) di Aceh pada Tahun 2006 sebesar

40/1000 kelahiran hidup. Pada Tahun 2009 AKB Aceh menunjukkan penurunan

menjadi 25/1000 kelahiran hidup (SDKI 2007). Pada Tahun 2010 secara bertahap

akan terus diupayakan penurunan AKB hingga menjadi 26/1.000 kelahiran hidup

pada Tahun 2012 dan terus menurun hingga 15/1000 kelahiran hidup pada Tahun

2015 untuk mendukung target MDGs 2015.

c) Angka Kesakitan

Angka kesakitan di Aceh adalah 22,3 persen, Infeksi Saluran Pernafasan Akut

(ISPA) dan diare masih menjadi penyakit utama yang dikeluhkan masyarakat.

Melihat kondisi lingkungan dan perilaku hidup sehat masyarakat yang masih

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-58

memerlukan perhatian maka target angka kesakitan pada Tahun 2012 akan

diturunkan menjadi 15 persen. Dari Sistim Pencatatan Pelaporan Terpadu

Puskesmas (SP2TP) menggambarkan 10 (sepuluh) jenis penyakit yang berasal dari

kunjungan puskesmas dan rumah sakit.

Tabel. II.2410 (sepuluh) Jenis Penyakit Terbanyak Berbasis

Puskesmas dan Rumah Sakit

Sumber : Pengumpulan data formulir SP2TP Puskesmas dan Laporan Rumah Sakit, 2009

Pola penyakit yang diderita oleh masyarakat di Aceh adalah penyakit infeksi

menular yang berbasis lingkungan seperti Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA),

diare, malaria, tipus abdominalis, tuberkulosis paru dan pneumonia, namun

demikian mulai terjadi peningkatan penyakit degeneratif dan keganasan yang

mempunyai resiko terhadap kesakitan dan kematian seperti penyakit jantung dan

pembuluh darah, diabetes mellitus dan kanker.

Terjadinya beban ganda ini (penyakit menular dan penyakit degenaratif)

disebabkan karena transisi epidemiologi dan perubahan piramida penduduk akan

memberi konsekuensi terhadap jumlah dan jenis pelayanan kesehatan yang

dibutuhkan masyarakat di masa mendatang. Salah satu upaya kegiatan yang

dilakukan untuk mewaspadai kemungkinan terjadinya peningkatan kasus dan

munculnya penyakit baru telah dilakukan surveilans terpadu penyakit.

No Jenis Penyakit(Berbasis

Puskesmas)

Jumlah Kasus

1 ISPA 167.947

2 Diare 45.009

3 Malaria Klinis 3.918

4 Diare berdarah 3.900

5 Tersangka TBC Paru 3.552

6 TBC paru BTA(+) 1.494

7 Pneumonia 1.449

8 Tifus Perut Klinis 1051

9 Campak 967

10 Demam Berdarah Dengue 566

No Jenis Penyakit(Berbasis Rumah

Sakit)

Jumlah Kasus

1 ISPA 2.482

2 Diare & Gastroentritis 2.628

3 Demam Tifoid 1.486

4 Cedera 1.239

5 Hypertensi 998

6 TBC paru BTA(+) 995

7 DM 773

8 Stroke 771

9 Demam Berdarah Dengue 710

10 Pneumonia 605

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-59

Dari hasil kegiatan tersebut terindentifikasi beberapa jenis penyakit dan pola

penyebarannya di masyarakat. Jenis penyakit diare banyak menyerang golongan

anak terutama balita. tahun 2005 kasus penderita diare 73.892 kasus dengan

penderita balita 37.801 orang (51,22 persen), sedangkan pada Tahun 2006 terjadi

85.071 kasus dan balita yang kena diare 36.960 orang (43,45 persen), dan pada

Tahun 2008 kasus penderita diare turun menjadi 42.850 kasus (17,88 persen).

Penyakit malaria merupakan penyakit endemis beberapa daerah di Aceh,

pada tahun 2006 terjadi kasus malaria klinis 29.283 dan malaria positif 4.852

kasus. Pada tahun 2008 terjadi 36.012 kasus malaria klinis dan malaria positif

5.738 kasus. Angka kematian malaria tahun 2006 sebesar 0,01 persen, sehingga

pada tahun 2012 angka kematian malaria ditargetkan menjadi 0 persen.

Jumlah kasus Tuberkulosis (TB) Paru pada tahun 2005 sebanyak 4.143 kasus

(kasus baru 48,1 persen) sedangkan tahun 2006 ditemukan sebesar 4.209 kasus

(kasus baru 50,2 persen), menunjukkan terjadinya peningkatan kasus karena

penemuan kasus aktif (active case finding) di lapangan. Pengendalian penyakit TB

dengan strategy DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse chemoteraphy)

hingga Tahun 2008 telah dilakukan di seluruh kabupaten kota. Strategy ini telah

dapat menurunkan insiden kasus TB dari 130/100.000 penduduk menjadi

104/100.000 penduduk. Pada tahun 2012 ditargetkan semua kasus dapat

terdeteksi dan diobati (case detection rate 100 persen).

Jumlah kasus dan kematian Demam Berdarah Dengue (DBD) pada tahun

2005 dijumpai 629 kasus sedangkan pada tahun 2006 meningkat menjadi 777

kasus. Angka kematian DBD tahun 2005 sebesar 1,59 persen sedangkan pada

tahun 2006 menjadi 1,80 persen. Kasus DBD tertinggi di 3 kabupaten/kota, yaitu;

Banda Aceh, Lhokseumawe, dan Aceh Besar. Di Kota Banda Aceh, kasus DBD

pada tahun 2007 mencapai 834 kasus, namun pada tahun 2008 menurun menjadi

593 kasus. Hal ini disebabkan program DBD Watch yang dilaksanakan Pemerintah

Kota Banda Aceh yang didukung oleh masyarakat. Sedangkan di Kota

Lhokseumawe dari hanya 255 kasus pada tahun 2007 meningkat menjadi 632

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-60

kasus pada tahun 2008, sementara di Kabupaten Aceh Besar terjadi peningkatan

dari 160 kasus tahun 2007 menjadi 391 kasus tahun 2008. Terjadinya peningkatan

kasus disebabkan karena kondisi lingkungan yang tidak memadai sebagai akibat

dari bencana alam. Dengan mempertimbangkan faktor lingkungan fisik dan

biologis, keterbukaan daerah (transportasi yang memadai) dan mobilitas

penduduk yang tinggi maka pada tahun 2012 ditargetkan semua fasilitas

pelayanan kesehatan mampu meminimalisir kasus kematian dan terlaksananya

kegiatan sistim kewaspadaan dini di masyarakat. Sehingga angka kesakitan dan

kematian bisa diturunkan.

Penyakit menular HIV/AIDS telah teridentifikasi pada tahun 2005 sebanyak 2

kasus AIDS sedangkan tahun 2006 dijumpai 7 kasus (4 kasus terdiagnosa AIDS

dan 3 kasus positif HIV). Kasus ini terus meningkat dari tahun ke tahun, 9 kasus

ditemukan pada tahun 2007 dan 10 kasus ditemukan pada tahun 2008, sehingga

total kasus HIV/AIDS yang teidentifikasi hingga tahun 2008 mencapai 29 kasus,

dengan 13 kasus kematian. Keadaan ini harus menjadi perhatian semua pihak dan

diharapkan pada tahun 2010 diseluruh kabupaten/kota sudah terbentuk Komisi

Penanggulangan HIV/AIDS, sehingga target penurunan HIV/AIDS pada tahun

2012 dapat tercapai.

Penyakit flu burung merupakan ancaman baru terhadap masalah kesehatan,

pada Tahun 2006 telah ditemukan kasus pada unggas di 10 kabupaten/kota,

sementara pada manusia belum dijumpai. Namun Aceh termasuk dalam katagori

daerah terancam, karena bertetangga dengan Provinsi Sumatera Utara yang telah

dijumpai kasus flu burung pada manusia. Untuk menghadapi ancaman tersebut

maka Pemerintah Aceh mempersiapkan Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin

menjadi rumah sakit umum rujukan provinsi dan mempersiapkan Rumah Sakit Cut

Meutia Lhokseumawe, RS Cut Nyak Dhien Meulaboh dan RS Datu Beru Takengon

menjadi rumah sakit rujukan wilayah. Disamping mempersiapkan pusat-pusat

rujukan juga tidak kalah pentingnya dilakukan sosialisasi dan penyuluhan tentang

antisipasi terhadap kemungkinan flu burung.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-61

Disamping penyakit menular, penyakit tidak menular seperti penyakit

hipertensi, diabetes, kanker masih merupakan masalah kesehatan masyarakat

terutama di perkotaan yang kemungkinan disebabkan karena perilaku dan pola

hidup.

d) Gizi

Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) pada Balita tahun 2006 memperlihatkan

penurunan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk. Pada tahun 2005 prevalensi gizi

buruk sebesar 4,02 persen dan prevalensi gizi kurang sebesar 34,6 persen. Pada

tahun 2006 terjadi penurunan yaitu prevalensi gizi buruk sebesar 3,2 persen,

sedangkan prevalensi gizi kurang sebesar 19,6 persen. Angka ini lebih rendah dari

angka nasional 25,8 persen (gizi kurang) dan 8,5 persen untuk prevalensi gizi

buruk. Upaya penurunan prevalensi masalah gizi ini terus dilakukan dan

ditargetkan pada tahun 2012 prevalensi gizi buruk dapat diturunkan menjadi < 1

persen (sudah menjadi bukan masalah kesehatan masyarakat) dan prevalensi gizi

kurang menjadi < 15 persen.

Selain asupan gizi yang kurang serta penyakit infeksi yang merupakan akibat

langsung dari kematian, masalah sosial ekonomi masyarakat yang rendah,

ketidaktersediaan pangan di tingkat keluarga dan pola asuh ditingkat keluarga

adalah merupakan faktor yang turut mempengaruhi kondisi status gizi

masyarakat.

2.5.2. Pelayanan Kesehatan

a) Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Pasca tsunami tahun 2005 fasilitas pelayanan kesehatan sebagian besar

mengalami kerusakan sehingga pelayanan kesehatan banyak ditangani oleh

berbagai klinik dan pos-pos kesehatan yang didirikan oleh NGO dan lembaga

lainnya. Berdasarkan profil kesehatan tahun 2009 Jumlah fasilitas kesehatan dasar

yang dapat diakses oleh masyarakat semakin baik, terlihat dari peningkatan

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-62

jumlah Puskesmas Rawat Inap, dari 89 unit pada tahun 2007 menjadi 118 unit

pada tahun 2008. Seiring dengan bertambahnya Puskesmas Rawat Inap, maka

jumlah Puskesmas Non rawat Inap, Puskesmas Pembantu dan Puskesmas keliling

semakin berkurang.

Tabel: II.25Jumlah Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dasar di Aceh 2007-2008

Sarana/Tahun

Puskesmas Rawat Inap

Puskesmas Non Rawat

Inap

Puskesmas Pembantu

Puskesmas Keliling

2007 89 199 911 306

2008 118 174 903 292

Sumber: Profil Kesehatan Aceh, 2009

Selain itu, fasilitas layanan kesehatan yang terdekat dan langsung dapat

menjangkau masyarakat desa adalah Poskesdes/polindes dan Posyandu. Jumlah

Poskesdes/Polindes dan Posyandu pada Tahun 2008 masing-masing mencapai

2.269 unit dan 7.150 unit. Dari jumlah ini terlihat bahwa fasilitas

Poskesdes/Polindes masih sangat rendah, yaitu 35,16 persen dari jumlah desa

(6.424 desa).

b) Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)

Cakupan pelayanan Ante Natal Care (ANC) pada tahun 2005 cakupan

Kunjungan pertama ibu hamil (K1) sebesar 83,12 persen dan Kunjungan keempat

kalinya ibu hamil memberi indikasi untuk mutu pelayanan adalah sebesar 71,92

persen. Sementara pada tahun 2006 cakupan K1 86,23 persen dan K4 76,15

persen. Walaupun terjadi peningkatan cakupan, namun kenaikan ini belum

memberikan gambaran yang menggembirakan karena target nasional untuk ANC

yaitu 90 persen.

Untuk pencapaian target Tahun 2012 maka upaya peningkatan pelayanan

kesehatan ibu hamil menjadi prioritas utama, yaitu semua kelompok sasaran ibu

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-63

hamil akses ke fasilitas kesehatan (100 persen) dan kunjungan keempat kalinya

kepada tenaga kesehatan (K4) meningkat.

Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan juga terlihat

meningkat. Tahun 2005 sebesar 64,7 persen dan terjadi peningkatan sebesar

75,6 persen pada tahun 2006, namun hal ini masih dibawah target nasional

sebesar 80 persen. Sedangkan target pada tahun 2012 diharapkan akan tercapai

sebesar 85 persen.

c) Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif

Pemberian ASI Eksklusif yang direkomendasikan adalah ASI saja sampai bayi

berusia 6 bulan. Di Aceh angka cakupan pemberian ASI eksklusif masih jauh dari

target yang diharapkan. Persentase pemberian ASI eksklusif pada tahun 2005

sebesar 6 persen dari ibu yang melahirkan, pada tahun 2006 sebesar 7,5 persen,

pada tahun 2008 sebesar 10,39 persen dan pada tahun 2012 program pemberian

ASI eksklusif dapat ditingkatkan menjadi 60 persen melalui kegiatan promosi

kesehatan.

d) Pelayanan Imunisasi Bayi dan Balita

Pelaksanaan imunisasi pada bayi dan balita merupakan program utama

dalam upaya menurunkan angka kematian bayi dan balita. Setiap Tahunnya

menunjukkan peningkatan yang signifikan. Cakupan Imunisasi BCG, DPT- 1, DPT-

3, Polio-4, Campak, HB-3 dari tahun ke tahun terlihat pada tabel II.26.

Tabel. II.26Peningkatan Cakupan Imunisasi

1. BCG 90% 60% 80.1% 92.8%

2. DPT-1 90% 68% 80.9% 93.2%

3. DPT-3 80% 65% 74.1% 84.2%

4. Polio-4 80% 64% 71.0% 83.4%

5. Campak 80% 64% 71.7% 83.9%

20062005Jenis Imunisasi Target 2004

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-64

Peningkatan cakupan ini disebabkan karena ketersediaan logistik imunisasi di

setiap level pelayanan. Situasi wilayah yang kondusif memungkinkan semua

petugas kesehatan mampu menjangkau kelompok sasaran. Selain itu

penyelenggaraan PIN yang telah berlangsung secara terus menerus memberi

kontribusi terhadap peningkatan cakupan. Pada tahun 2012 diharapkan target

Universal Child Immunization (UCI) dapat dicapai (90 persen).

2.5.3 Kondisi Kesehatan lingkungan

Menilai keadaan lingkungan sehat ada 4 (empat) indikator yaitu (1)

persentase keluarga yang memiliki persediaan air minum sehat, (2) keluarga yang

memiliki jamban sehat, (3) persentase keluarga yang mengelola sampah dan

(4) keluarga yang mengelola air limbahnya dengan baik. Keadaan ini masih jauh

dari yang diharapkan karena situasi lingkungan yang kurang sehat dan perilaku

hidup sehat yang masih perlu mendapat perhatian serta kerusakan lingkungan

akibat bencana yang demikian parah sehingga indikator keberhasilan program ini

belum mencapai target.

Sampai tahun 2012 pembenahan kondisi ini telah diawali dengan

penyuluhan, pergerakan masyarakat serta peningkatan sarana dan prasarana

yang memadai, dengan demikian diharapkan akan terbentuk desa sehat mandiri

sekaligus sebagai cikal bakal kabupaten/kota sehat.

a) Air Bersih

Ketersediaan sarana dan prasarana dasar permukiman berupa air bersih

secara merata dan berkelanjutan turut menentukan tingkat kesejahteraan

masyarakat. tahun 2006 jumlah keluarga yang memiliki akses air bersih masih

sangat minim. Pada tahun 2008 persediaan air bersih dikeluarga 64,00 persen,

Sumber air bersih tertinggi yang digunakan setiap keluarga berasal dari sumur

terlindung 43,03 persen persen, sumur tidak terlindung 24.2 persen, Air ledeng

(pipa) hanya 11,01 persen, sumur pompa 1,67 persen, Air sungai 6 persen, Air

kemasan 5 persen, mata air terlindung 4 persen dan air hujan 1 persen.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-65

Penyediaan air minum berbasis masyarakat yang berpedoman pada Kebijakan

Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis

Masyarakat (AMPL-BM) telah berkembang pesat didukung pendanaan baik

pemerintah maupun pihak lain, seperti lembaga donor, lembaga swadaya

masyarakat (LSM), swasta (investasi langsung maupun Corporate Sosial

Responsibility) dan Masyarakat. Peningkatan kualitas perencanaan dilakukan

melalui fasilitasi pemerintah Aceh dalam mengimplementasikan Kebijakan Nasional

AMPL-BM.

Terkait dengan pengelolaan air bersih dan jaringannya, terdapat beberapa

instansi pemerintah yang terkait, yakni Perusahaan Daerah Air Minum, Dinas Bina

Marga dan Cipta Karya dan Dinas Kesehatan. PDAM mengelola distribusi air, disain

teknis pembangunan sarana dan prasarana PDAM tersebut berada di bawah

kewenangan Dinas Bina Marga dan Cipta Karya, sedangkan Dinas Kesehatan

hanya memiliki kewenangan menilai parameter kesehatan dari air yang

didistribusikan. Pada tahun 2012 target air bersih diharapkan mencapai 80 persen.

b) Rumah Sehat

Pada tahun 2005 telah dilakukan pemeriksaan rumah dibeberapa

kabupaten/kota menunjukkan kondisi 42,20 persen dinyatakan sehat dari 401.780

rumah yang dilakukan pemeriksaan. Tahun 2008 jumlah rumah sehat mencapai

58,25 persen. Dari data tersebut maka program sosialisasi terhadap masyarakat

untuk membangun rumah yang sehat terus dilakukan sehingga vektor penyebab

penyakit dari lingkungan sekitar rumah dapat diperkecil. Pada tahun 2012 target

yang diharapkan sebesar 75 persen.

c) Keluarga dengan kepemilikan sarana sanitasi dasar

Pada tahun 2008 ketersediaan jamban keluarga 64,46 persen, ketersediaan

tempat sampah 14,38 persen dan tempat pengelolaan air limbah keluarga 26,35

persen. Dari data tersebut terlihat bahwa masih ada 35,64 persen keluarga yang

tidak memiliki jamban keluarga, 85,72 persen belum memiliki tempat sampah, dan

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-66

74,65 persen belum memiliki tempat pengolahan air limbah. Pada Tahun 2012

ditargetkan 80 persen keluarga telah memiliki jamban keluarga, tempat sampah,

dan sarana pengolahan air limbah.

2.5.4. Pembiayaan Kesehatan

Secara umum, sumber pembiayaan kesehatan Aceh dapat dikelompokkan

menjadi tiga kelompok, yakni: 1) pembiayaan pemerintah; 2) pembiayaan

bersumber dari lembaga pemberi bantuan/donor; dan 3) pembiayaan rumah

tangga dan sektor swasta. Kontribusi masyarakat dalam pembiayaan kesehatan

masih sangat kecil, hasil Susenas tahun 2005 memperlihatkan bahwa kontribusi

per kapita masyarakat Aceh untuk pembiayaan kesehatan selama ini hanya

Rp. 44.847 per kapita/tahun atau sekitar US$ 5 per kapita/Tahun.

Pasca bencana tsunami pembiayaan kesehatan mengalami peningkatan yang

signifikan dengan adanya sumber dana baru yang berasal dari dana bantuan luar

negeri dan APBN yang dikelola oleh BRR.

Tabel II.27Sumber Pembiayaan Kesehatan

No Sumber DanaTahun 2006 (Rp.1000)

Tahun 2007 (Rp.1000)

Ket

1 APBA 35.381.267 43.046.438,

2 APBN(Dekon) 96.810.932 68.545.480,

3 APBN TP 38.661.000 89.100.000,RSU

Provinsi,kab/kota

4 DAK 117.600.000 157.898.000,

5 ADB-DHS 10.352.937 29.259.058,

6 ADB-CWSH 41.014.000 1.246.040,

7 BRR Prov. 133.377.510 113.302.925,

T O T A L 473.197.646 502.397.941,

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-67

Pemerintah memprioritaskan tujuan investasi di sektor kesehatan dalam

jangka pendek yakni menghindari economic loss akibat penyakit dan kematian,

dan tujuan investasi jangka panjang yakni human capital investment untuk

pencapaian Millenium Development Goals pada tahun 2015. Pemerintah Aceh

pada tahun 2010 menyelenggarakan pembiayaan kesehatan bagi masyarakat Aceh

melalui program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA).

2.5.5 Fasilitas Kesehatan

Profil kesehatan tahun 2009 menunjukkan jumlah Rumah Sakit Umum di

Aceh sebanyak 49 unit, Puskesmas sebanyak 292 unit dengan pembagian

puskesmas rawat inap 118 unit dan puskesmas non rawat inap 174 unit. Secara

rasio pembangunan puskesmas di Aceh telah mencukupi dimana seluruh

kecamatan telah memiliki puskesmas dengan rasio setiap 100.000 penduduk.

Selain fasilitas kesehatan tersebut diatas di Aceh telah tersedia Pos Kesehatan

Desa (Poskesdes/Polindes) sejumlah 2.269 (35,16 persen), Pos Pelayanan

Terpadu (Posyandu) sebanyak 7.150 unit, dan Puskesmas Pembantu (Pustu)

sebanyak 852 unit. Pada tahun 2012 diharapkan pembangunan

Poskesdes/Polindes mencapai 50 persen.

2.5.6. Sumber Daya Tenaga Kesehatan

Permasalahan tenaga kesehatan di Aceh menyangkut jumlah, kualifikasi

yang kurang memadai dan distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata.

Berdasarkan profil kesehatan 2009, terlihat bahwa rasio tenaga kesehatan

terhadap 100,000 penduduk masih dibawah sasaran, kecuali rasio bidan, yang

sudah memadai terhadap rasio penduduk. Sedangkan rasio dokter umum, dokter

gigi, perawat, ahli gizi, dan ahli sanitasi, masih di bawah target rasio. Keberadaan

dan distribusi doker spesialis juga merupakan persoalan yang cukup besar di Aceh.

Sebagian besar tenaga spesialis terkonsentrasi di rumah sakit perkotaan.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-68

Pada tahun 2009 tenaga kesehatan di Aceh berjumlah 31.216 personil,

yang terdiri dari: tenaga medis (3,88 persen), tenaga perawat dan bidan (34,25

persen), tenaga farmasi (1,96 persen), tenaga gizi (1,14 persen), tenaga teknisi

medis (1,82 persen), tenaga sanitasi (2,59 persen), tenaga kesmas (2,42 persen),

tenaga kesehatan (48,06 persen), Dokter Spesialis (0,66 persen), Dokter Umum

(2,67 persen) dan Dokter Gigi (0,55 persen). Rasio dokter spesialis per 1:34.050

penduduk, dokter umum 1:6.330 penduduk, Bidan puskesmas 1:3.093 penduduk,

Perawat 1:1.408 Penduduk dan Bidan di desa 1:1,6 desa. Masalah terbesar adalah

penyediaan dokter spesialis dasar (Kebidanan, anak, penyakit dalam dan bedah)

ditambah spesialis penunjang, Anestesi dan Radiologi yang penyebarannya belum

merata.

Pada tahun 2012 ditargetkan 50 persen kebutuhan tenaga dapat terpenuhi

melalui pendidikan dan pelatihan berbasis kompentensi, kontrak tenaga medis dan

para medis, pendidikan formal serta rekrutmen. Disamping itu perlunya

pengembangan institusi pendidikan kesehatan termasuk penyempurnaan

kurikulum pendidikan.

2.6 Sarana dan Prasarana

2.6.1 Sumber Daya Air

a) Pengelolaan Wilayah Sungai

Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam

satu atau lebih daerah aliran sungai dan atau pulau-pulau kecil yang luasnya

kurang atau sama dengan 2.000 km2.. Dalam pembagian kewenangan

pengelolaan wilayah sungai, sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum

Nomor 11 A/PRT/M/2006 telah menetapkan beberapa kategori berdasarkan letak

geografis dan posisi strategis wilayah sungai lintas negara, wilayah sungai lintas

provinsi, wilayah sungai strategis nasional, dikelola oleh pemerintah pusat.

Wilayah sungai lintas kabupaten/kota, dikelola oleh pemerintah provinsi. Wilayah

sungai dalam satu kabupaten/kota dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota.

Sesuai dengan Permen PU dimaksud, Aceh memiliki 11 (sebelas) wilayah

sungai, seperti pada tabel II.28.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-69

Aceh memiliki 408 (empat ratus delapan) daerah aliran sungai (DAS) dengan

kondisi topografis daratan Aceh yang di bagian tengahnya membentang

pengunungan bukit barisan, menyebabkan panjang sungai yang ada rata-rata

relatif pendek sehingga ketika terjadi hujan lebat sering menyebabkan banjir

dengan kecepatan aliran yang tinggi. Hal ini menyebabkan tingginya angkutan

sedimen yang selanjutnya diendapkan di muara sungai membentuk delta dan

menyebabkan penutupan muara.

Pada beberapa muara sungai, endapan sedimen yang terjadi telah

menyebabkan hambatan aliran banjir dan mengganggu lalu lintas kapal/perahu

nelayan. Sungai-sungai yang muaranya sudah bermasalah antara lain: Krueng

Aceh di Aceh Besar, Krueng Baro di Pidie dan Krueng Ulim di Kabupaten Pidie

Jaya, Krueng Peudada di Kabupaten Bireuen, Krueng Idi di Kabupaten Aceh Timur,

Krueng Tamiang di Kabupaten Aceh Tamiang, dan Krueng Meureubo di Kabupaten

Aceh Barat, Krueng Seunagan di Kabupaten Nagan Raya, dan Krueng Singkil di

Kabupaten Aceh Singkil.

Konservasi PendayagunaanPeng.Daya Rusak

A.1. WS Meureudu - Baro Strategis Nasional XX XX XX

2. WS Jambo Aye Strategis Nasional XX XX XX

3. WS Woyla -Seunagan Strategis Nasional XX XX XX

4. WS Tripa - Bateue Strategis Nasional XX XX XX

5. WS Alas - Singkil Lintas Provinsi NAD-Sumut XX XX XX

B.1. WS Krueng Aceh Lintas Kab./Kota XX XX XX

2. WS Pase - Peusangan Lintas Kab./Kota XX XX XX

3. WS Tamiang - Langsa Lintas Kab./Kota XX XX XX

4. WS Teunom - Lambesoi Lintas Kab./Kota XX XX XX

5. WS Krueng Baru - Kluet Lintas Kab./Kota XX XX XX

C.6. WS Pulau Simeulue Dalam Kabupaten Simeulue XX XX XX

TabelL II.28Pengembangan Pengelolaan Wilayah Sungai (Ws) Di Aceh

WILAYAH SUNGAI (WS) LINGKUP WS

Pengelolaan Sumber Daya AirDI PROVINSI NAD

Pengelola: Pemkab Simeulue

Sumber: RTRWN & Permen PU No.11A/PRT/M/2006.Catatan: XX= langkah/kegiatan yang direncanakan/ditetapkan.

(Penetapan dalam RTRWN)Pengelola: Pemeritah Pusat

(Penetapan dalam RTRW Aceh)Pengelola: Pemerintah Aceh

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-70

Untuk mengatasi permasalahan muara dilakukan dengan pengerukan dan

pembangunan Jetty, dan hal ini telah dilakukan pada muara sungai Krueng Aceh

dalam penanganan banjir kanal di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar,

serta di Krueng Idi Kabupaten Aceh Timur.

Untuk penanganan wilayah sungai Lawe Alas Kabupaten Aceh Singkil yang

merupakan sungai terpanjang di Aceh termasuk kategori sungai lintas provinsi

dikelola oleh Pemerintah Pusat. Wilayah sungai Mereudu-Baro, Jambo Aye, Woyla-

Seunagan dan Tripa-Batee, termasuk wilayah sungai strategis nasional yang juga

dikelola Pemerintah Pusat. Selanjutnya wilayah sungai Krueng Aceh, Pase-

Peusangan, Tamiang-Langsa, Teunom-Lambesoi, dan Krueng Baru-Kluet termasuk

wilayah sungai lintas kabupaten/kota yang dikelola Pemerintah Provinsi. Wilayah

sungai lain yang tidak termasuk ketiga kategori di atas, pengelolaannya menjadi

tanggungjawab Pemerintah Kabupaten/Kota.

Permasalahan sungai yang sangat krusial adalah banjir, erosi tebing,

sedimentasi dan pendangkalan muara. Dari sungai-sungai yang bermasalah di

Aceh, sampai saat ini telah dibangun prasarana banjir dan pengendalian sungai

sepanjang 109.304 km.

Berdasarkan potensi sumber daya air, wilayah sungai di Aceh

dikelompokkan menjadi 3 (tiga) wilayah yaitu : 1). wilayah sungai Krueng Aceh

hingga Tiro termasuk wilayah kering dengan curah hujan kurang dari 1.500 mm

pertahun; 2). wilayah sungai Mereudu dan sepanjang pantai timur termasuk

wilayah sedang dengan curah hujan 1.500-3.000 mm pertahun; dan 3). wilayah

pantai barat termasuk wilayah basah dengan curah hujan 3.000-4.500 mm

pertahun.

b) Pengembangan Daerah Irigasi

Potensi lahan pertanian yang tersedia seluas 849.275 ha terdiri dari sawah

beririgasi, sawah tadah hujan, dan daerah rawa. Luas total areal sawah yang

sudah beririgasi adalah 349.774 ha yang terdiri dari: 99.676 ha yang sudah

berigasi teknis, 132.092 ha beririgasi semi teknis, dan 118.006 ha irigasi desa,

Luas sawah tadah hujan adalah 54.746 ha. Sedangkan luas daerah rawa yang

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-71

berpotensi untuk dijadikan sawah adalah 444.755 ha, yang terdiri dari; rawa lebak

seluas 366.055 ha dan rawa pantai seluas 78.700 ha.

Salah satu bentuk pemanfaatan sumber daya air yang paling signifikan bagi

pengembangan wilayah Aceh adalah pengembangan irigasi atau pengairan, yang

mendukung pengembangan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Dengan

lahirnya Undang–Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air,

wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam

pengelolaan daerah irigasi dibagi berdasarkan luasan daerah irigasi. Wewenang

dan tanggungjawab pemerintah pusat pada wilayah irigasi yang luasnya lebih

besar dari 3.000 ha, pemerintah provinsi pada luas 1.000 sampai dengan 3.000 ha

dan pemerintah kabupaten untuk luas lebih kecil dari 1.000 ha.

Secara garis besar untuk pengembangan Daerah Irigasi (DI) yang

ditetapkan di atas mencakup:

1. Pemantapan: dalam arti dominan bersifat mempertahankan dan memelihara

agar kualitas dan kuantitas yang terkandung di dalamnya tetap efektif

memberikan pelayanan;

2. pengembangan: dalam arti dominan bersifat pengembangan atau perluasan

dari yang sudah ada, revitalisasi yang sudah ada namun mengalami penurunan

kualitas dan/atau kuantitas pelayanan, dan/atau pengembangan baru.

Daerah Irigasi (DI) yang ditetapkan sesuai Keputusan Menteri PU

No.390/KPTS/M/2007 adalah DI pada tingkat kewenangan Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Aceh sejumlah 56 DI, yang 12 DI di antaranya merupakan

kewenangan Pemerintah Pusat dan 44 DI kewenangan Pemerintah Aceh, seperti

pada tabel II.29.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-72

Luas Baku (Ha) Kewenangan Lokasi: Kab./Kota Keterangan

1. DI Jambo Aye Langkahan 19.360,00

Pemerintan Pusat Aceh Utara, Aceh Timur Peningkatan

2. DI Kr.Jreue/Keuliling 8.077,00

Pemerintan Pusat Aceh Besar Pemantapan

3. DI Kr.Aceh/Leubok 7.884,00

Pemerintan Pusat Aceh Besar Pemantapan

4. DI Pante Lhong 6.562,00

Pemerintan Pusat Bireuen Peningkatan

5. DI Paya Nie 3.121,00

Pemerintan Pusat Bireuen Peningkatan

6. DI Alue Ubay 4.144,00

Pemerintan Pusat Aceh Utara Peningkatan

7. DI Krueng Pase 8.791,00

Pemerintan Pusat Aceh Utara Peningkatan

8. DI Datar Diana 3.200,00

Pemerintan Pusat Bener Meriah Peningkatan

9. DI Jeuram 12.446,00

Pemerintan Pusat Nagan Raya Pengembangan

10. DI Susoh 5.793,00

Pemerintan Pusat Aceh Barat Daya Peningkatan

11. DI Kutacane Lama 5.425,00

Pemerintan Pusat Aceh Tenggara Peningkatan

12. DI Baro Raya 19.118,00

Pemerintan Pusat Pidie Peningkatan

13. DI Samalanga 2.144,00

Pemerintah Aceh Bireuen, Pidie Jaya Peningkatan

14. DI Paya Ketengga/Alue Merbo 2.200,00

Pemerintah Aceh Langsa, Aceh Timur Peningkatan

15. DI Krueng Pandrah 1.203,00

Pemerintah Aceh Bireuen Peningkatan

16. DI Krueng Peudada 1.071,00

Pemerintah Aceh Bireuen Peningkatan

17. DI Krueng Nalan 1.750,00

Pemerintah Aceh Bireuen Peningkatan

18. DI Cubo/Trienggadeng 1.909,00

Pemerintah Aceh Pidie Jaya Peningkatan

19. DI Krueng Rajui 1.100,00

Pemerintah Aceh Pidie Peningkatan

20. DI Meureudu 1.729,00

Pemerintah Aceh Pidie Jaya Peningkatan

21. DI Jamuan 1.000,00

Pemerintah Aceh Aceh Utara Peningkatan

22. DI Krueng Tuan 2.226,00

Pemerintah Aceh Aceh Utara Peningkatan

23. DI Alue Tumeureu 2.500,00

Pemerintah Aceh Aceh Timur Peningkatan

24. DI Jambo Reuhat 2.625,00

Pemerintah Aceh Aceh Timur Peningkatan

25. DI Uteun Dama 1.300,00

Pemerintah Aceh Aceh Timur Peningkatan

26. DI Peunaron 1.550,00

Pemerintah Aceh Aceh Timur Peningkatan

27. DI Tanggulon 2.000,00

Pemerintah Aceh Aceh Tamiang Peningkatan

28. DI Paya Prang 2.600,00

Pemerintah Aceh Aceh Tamiang Peningkatan

29. DI Kermal 1.200,00

Pemerintah Aceh Aceh Tamiang Peningkatan

30. DI Bebesan Jamur Barat 2.000,00

Pemerintah Aceh Aceh Tengah Peningkatan

31. DI Pante Kuyun 1.557,00

Pemerintah Aceh Aceh Jaya Peningkatan

32. DI Ceurace 2.000,00

Pemerintah Aceh Aceh Jaya Pengembangan

33. DI Babah Nipah 2.000,00

Pemerintah Aceh Aceh Jaya Pengembangan

34. DI Patek 2.650,00

Pemerintah Aceh Aceh Jaya Pengembangan

35. DI Tanoh Anoi 2.500,00

Pemerintah Aceh Aceh Jaya Pengembangan

36. DI Lambesoi 2.000,00

Pemerintah Aceh Aceh Jaya Pengembangan

37. DI Sefuluh 1.000,00

Pemerintah Aceh Simeulue Pengembangan

38. DI Lafakha 1.085,00

Pemerintah Aceh Simeulue Pengembangan

39. DI Suak Lamatan 1.000,00

Pemerintah Aceh Simeulue Pengembangan

40. DI Alue Limeng 2.980,00

Pemerintah Aceh Aceh Barat Daya Pengembangan

41. DI Babah Rote 1.550,00

Pemerintah Aceh Aceh Barat Daya Pengembangan

42. DI Manggeng 1.604,00

Pemerintah Aceh Aceh Barat Daya Pengembangan

43. DI Gunung Pudung 2.250,00

Pemerintah Aceh Aceh Selatan Pengembangan

44. DI Paya Dapur 2.390,00

Pemerintah Aceh Aceh Selatan Pengembangan

45. DI Jambo Dalem 1.000,00

Pemerintah Aceh Aceh Selatan Pengembangan

46. DI Ujung Tanoh 1.000,00

Pemerintah Aceh Aceh Selatan Pengembangan

47. DI Trumon 2.000,00

Pemerintah Aceh Aceh Selatan Pengembangan

48. DI Beutong 1.100,00

Pemerintah Aceh Aceh Selatan Pengembangan

49. DI Kutacane Lama Atas 1.144,00

Pemerintah Aceh Aceh Tenggara Peningkatan

50. DI Lawe Bulan 1.050,00

Pemerintah Aceh Aceh Tenggara Peningkatan51. DI Lawe Kinga/Maha Singkil 1.595,00

Pemerintah Aceh Aceh Tenggara Peningkatan

52. DI Terumtung Pedi 1.500,00

Pemerintah Aceh Aceh Tenggara Peningkatan

53. DI Siluk-luk 1.710,00

Pemerintah Aceh Aceh Tenggara Peningkatan

54. DI Kuta Tinggi 1.200,00

Pemerintah Aceh Aceh Tenggara Peningkatan

55. DI Weih Sejuk 2.175,00

Pemerintah Aceh Gayo Lues Pengembangan

56. DI Weih Tillis 2.500,00

Pemerintah Aceh Gayo Lues Pengembangan

DI (Daerah Irigasi)

Sumber: KepMen PU No.390/KPTS/M/2007.

TABEL II.29Pengembangan Daerah Irigasi (Di) Di Aceh

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-73

c) Pengembangan Waduk dan Bendungan

Dengan kondisi topografi yang berupa pegunungan dan bukit-bukit, Aceh

mempunyai beberapa lokasi yang sangat berpotensi untuk di bangun waduk dan

embung. Sampai tahun 2010 telah dibangun 5 buah embung dan 1 buah waduk.

Salah satu lokasi yang sangat prospektif untuk dibangun waduk adalah di daerah

hulu DAS Jambo Aye di Kabupaten Aceh Utara. Berdasarkan hasil studi kelayakan

yang dilakukan oleh konsultan Rendel Williamson Hydro, Randel Parkman serta

Kennedy & Donkin, pada lokasi tersebut mempunyai kapasitas tampungan waduk

sebesar 4.170.000.000 m3 yang dapat digunakan untuk keperluan irigasi, air

minum, perkotaan dan pembangkit listrik tenaga air dengan kapasitas terpasang

160 Mega Watt. Disamping itu terdapat juga potensi–potensi waduk yang penting

seperti Rukoh di Kabupaten Pidie dengan kapasitas tampungan 142.473.000 m3

yang dapat mengatasi masalah kekurangan air di Daerah Irigasi Baro Raya seluas

19.280 ha, dan Waduk Keumuning di Langsa untuk mengatasi banjir dan air

minum.

Pemanfaatan waduk tersebut sebagian besar memang untuk mendukung

prasarana irigasi, namun ada sejumlah waduk dengan pemanfaatan lainnya yaitu

sumber air baku untuk air bersih dan pembangkit tenaga listrik. Tabel di bawah ini

merupakan daftar waduk di wilayah Aceh yang akan ditingkatkan dan

dikembangkan.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-74

d) Pengamanan Pantai

Aceh mempunyai garis pantai sepanjang 2.422 km yang terdiri dari: garis

pantai Aceh daratan sepanjang 1.660 km, Aceh kepulauan sepanjang 762 km

terdiri Pulau Sabang sepanjang 62 km, dan Pulau Simeulue sepanjang 700 km.

Dari total panjang garis pantai tersebut yang rawan mengalami kerusakan akibat

abrasi sekitar 400 km.

Sejak tahun 2005 sampai dengan 2009 telah dibangun prasarana

pengaman pantai sepanjang 30,797 km dan tanggul pengaman air pasang yang

membatasi daerah tambak dan permukiman sepanjang 24,625 km.

Sumber Air Kabupaten/Kota(DI/Daerah Irigasi) (Kecamatan)

1. Waduk Keuliling Alue Keuliling Aceh Besar Irigasi 1.631,2 Ha(DI Kr. Jreue/Keuliling) (Kec.Kuta Cot Glie)

2. Embung Lambadeuk Alue Lambadeuk Aceh Besar Air Bersih & t.a(DI Krueng Aceh) (Kec.Peukan Bada) Irigasi t.a

3. Waduk Leubok Krueng Leubok Aceh Besar Irigasi 515 Ha(DI Kr. Aceh/Leubok) (Kec.Montasik)

4. Waduk Rajui Krueng Rajui Pidie Irigasi 1.000 Ha(DI Krueng Rajui) (Kec.Padang Tiji)

5. Waduk Rukoh Krueng Rukoh Pidie Irigasi (Suplesi 6.920 Ha(DI Baro Raya) (Kec. Seruway) DI Baro Raya)

6. Waduk Tiro Krueng Tiro Pidie Irigasi 6.330 Ha(DI Baro Raya) (Kec. Tiro Truseb)

7. Bendung Karet Krueng Peusangan Bireuen Irigasi t.aKrueng Peusangan

8. Bendungan Jambo Aye Kr.Jambo Aye & Kr.Rubek Aceh Utara Irigasi 10.000 Ha

(DI Jambo Aye/Langkahan) (Kec. Langkahan) Listrik 160 MW9. Waduk Langsa Krueng Langsa Aceh Timur t.a

10. Waduk Rimo Lae Pengecilan Aceh Singkil Irigasi 750 Ha(Kec. Rimo) Air Bersih 2.071 KK

11. Waduk Sianjo-anjo Sungai Sianjo-anjo Aceh Singkil Irigasi 850 Ha

(Kec.Simpang Kanan) Air Bersih 865 KK12. Waduk Paya Seunara Ekosistem Rawa Sabang Air Bersih t.a

(Kec. Suka Karya)

Catatan: t.a = tidak/belum ada data.Sumber: Dep PU Ditjen SDA Satker Balai WSS-I Keg.Pengembangan Air Baku NAD.

Waduk/BendunganNo. Pemanfaatan Besaran

Tabel II.30

Pengembangan Waduk Di Wilayah Aceh

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-75

2.6.2 Bina Marga dan Cipta Karya

Sistem jaringan jalan yang tersedia di Aceh sepanjang 18.943,08 km. yang

terdiri dari jalan nasional sepanjang 1.782,78 km, jalan Provinsi sepanjang

1.701,82 km dan jalan kabupaten sepanjang 10.426,56 km. Kondisinya sampai

saat ini adalah, kondisi mantap jalan nasional adalah 86,18 persen dengan

panjang 1.345,24 km dalam kondisi baik, 191,24 km kondisi sedang, 239,30

kondisi rusak berat, dan 7 km belum tembus. Untuk kondisi mantap jalan provinsi

sebesar 65,90 persen dengan panjang 637 kondisi mantap, 484,13 kondisi

sedang, 560,30 kondisi rusak berat, dan 20 km belum tembus.

Sementara kondisi perkerasan sampai dengan saat ini jalan nasional dengan

pengerasan aspal sebesar 91,75 persen, pengerasan kerikil 3,81 persen dan jalan

tanah 4,47 persen. Sedangan jalan provinsi sampai dengan saat ini dengan

pengerasan aspal sebesar 49,91 persen, pengerasan kerikil 35,95 persen dan jalan

tanah 14,14 persen.

Penyebaran jaringan jalan di Aceh terdiri dari lintas Timur, lintas Tengah,

lintas Barat, feeder road, jalan perkotaan, dan jalan di kepulauan. Sampai dengan

saat ini kemampuan Pemerintah untuk meningkatkan jenis konstruksi jalan relatif

sangat kecil, dibawah 10 persen dari total panjang jalan. Penanganan jalan

banyak bertumpu pada perbaikan-perbaikan untuk mempertahankan kondisi jalan.

Jumlah jembatan pada lintasan jalan nasional sebanyak 794 buah dengan

total panjang 20.393 m. Dari jumlah tersebut sebanyak 660 buah atau sepanjang

16.497 m (80,90 persen) telah dibangun baru (diganti), sedangkan 134 buah lagi

yang setara dengan 3.895,90 m atau 19,10 persen belum diganti masih

merupakan jembatan lama.

Pada ruas jalan provinsi terdapat 638 buah jembatan dengan total panjang

14.137,00 m. Diantaranya 399 buah telah dibangun baru sepanjang 5.971,70 m

atau 42,24 persen. Sedangkan sisanya 239 buah atau 8.165,30 m atau 57,76

persen masih menunggu penggantian. Penggantian diperlukan terutama karena

lebar jembatan yang belum mencukupi, serta kondisinya sendiri sudah tidak

mantap lagi.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-76

Untuk menghadapi tingkat pertumbuhan kendaraan yang cukup tinggi dan

mendukung aktivitas sosial ekonomi masyarakat diharapkan kedepan dilakukan

pembangunan jalan high way dua jalur lintas Timur dengan lebar daerah

penguasaan jalan (Road Of Way/ROW) minimal 100 meter.

Pembangunan perkotaan pada umumnya berkembang pesat dan berfungsi

sebagai pusat aktivitas masyarakat yang dilengkapi dengan berbagai prasarana

dan sarana, baik pelayanan primer maupun sekunder. Kondisi itu menyebabkan

meningkatnya hasrat perpindahan penduduk dari desa ke kota. Perpindahan itu

menyebabkan pertambahan penduduk melebihi daya tampung kota serta melebihi

kemampuan pemerintah untuk menyediakan prasarana dan sarana perkotaan.

Kemudian tumbuhlah kawasan-kawasan kumuh dan tidak sesuai lagi dengan

aturan lingkungan permukiman yang sehat.

Kondisi tersebut diatas dapat dilihat dari segi penataan bangunan,

penempatan jalan dan fasilitas umum lainnya cenderung memanfaatkan tanah

kosong tanpa mempertimbangkan aksesibilitas dan manfaatnya, sehingga kondisi

sanitasi yang tidak memenuhi syarat dengan utilitas yang buruk dan

mencerminkan tata kehidupan yang kurang sehat dan tidak nyaman.

Pada kawasan perkotaan masih ditemui genangan air akibat hujan seluas ±

410 ha dengan frekuensi 2 sampai dengan 4 kali setahun, untuk itu diperlukan

jaringan drainase yang baik agar genangan segera dapat dialirkan ke badan air

terdekat. Ditambah lagi akibat gempa dan tsunami terjadi penurunan permukaan

tanah, sehingga semakin luasnya daerah genangan pada beberapa kawasan.

Data pembangunan prasarana air bersih telah ada di 23 kabupaten/kota

dengan kapasitas terpasang saat ini 4.451,5 lt/dt yang terdiri dari prasarana dan

sarana air bersih perkotaan kapasitas 2.582 lt/dt dengan jumlah unit terbangun 55

unit. Prasarana dan sarana air bersih ibu kota kecamatan (IKK) kapasitas 849 lt/dt

dengan jumlah unit terbangun 92 unit IKK dan prasarana dan sarana air bersih

perdesaan kapasitas 1020,5 lt/dt dengan jumlah unit terbangun 310 unit.

Prasarana dan sarana air bersih yang beroperasi 2.553,3 lt/dt, terdiri atas air

bersih perkotaan 1.947 lt/dt, air bersih ibukota kecamatan (IKK) 478 lt/dt dan air

bersih perdesaan 128,3 lt/dt. Prasarana dan sarana air bersih yang tidak

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-77

beroperasi (dalam kondisi rusak) 583 lt/dt terdiri atas air bersih perkotaan 355

lt/dt, air bersih ibukota kecamatan (IKK) 156 lt/dt dan air bersih pedesaan 67

lt/dt. Instalasi air bersih perkotaan yang belum beroperasi 150 lt/dt. Sementatra

itu prasarana dan sarana air bersih dalam tahap pembangunan 170 lt/dt terdiri

dari air bersih perkotaan 120 lt/dt dan air bersih ibukota kecamatan (IKK) 50 lt/dt,

disamping itu, 1000,2 lt/dt tidak diketahui operasionalnya yang terdiri dari air

bersih perkotaan 10 lt/dt, air bersih ibukota kecamatan (IKK) 165 lt/dt dan

pedesaan 852 lt/dt.

Dengan kapasitas yang terpasang dan seluruh unit terbangun berfungsi,

diharapkan mampu melayani 2.124.249 jiwa atau 52,5 persen dari jumlah

penduduk, dimana daerah perkotaan mampu terlayani 79,6 persen, daerah

kecamatan mampu terlayani 51,6 persen dan pedesaan mampu terlayani 70,6

persen sesuai denngan cakupan daerah pelayanan. Namun target tersebut tidak

akan tercapai, hal ini disebabkan tingginya tingkat kebocoran /kehilangan air fisik

mencapai lebih dari 60 persen dari jumlah produksi, manajemen pengelolaan

sistem penyediaan air minum di Provinsi Aceh masih buruk dan rendahnya sumber

daya manusia yang ada saat ini. Khususnya tingkat pelayanan air bersih di

perkotaan baru mencapai 27,4 persen. Sedangkan target MDGs sampai tahun

2015 mencapai 80 persen penduduk perkotaan dan 60 persen penduduk

pedesaan.

Jumlah pengelola air minum di Aceh masih sangat terbatas, belum semua

kabupaen/kota memiliki perusahaan air minum. Tahun 2009 jumlah PDAM di Aceh

baru 14 buah, jumlah ini masih sangat kecil dibandingkan dengan kebutuhan

masyarakat baik di pedesaan atau perkotaan dengan kapasitas terpasang saat ini

adalah 4,451,5 lt/dtk.

Untuk menangani limbah rumah tangga khususnya limbah manusia, telah

dibangun Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) di 6 kabupaten/kota, namun

yang beroperasi hanya di 3 kabupaten/kota, yaitu Kota Banda Aceh,

Lhokseumawe dan Kabupaten Bireuen. Persentase pelayanan masih sangat

rendah dan diharapkan pada tahun 2015, IPLT telah tersedia di 15

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-78

kabupaten/kota lainnya sehingga dapat melayani 60 persen limbah penduduk di

perkotaan.

Penanganan persampahan masih dalam batas kawasan komersil, tempat

fasilitas umum di perkotaan dengan tingkat pelayanan masih 25 persen. Melalui

Dinas Bina Marga dan Cipta Karya, Pemerintah Aceh telah menyalurkan bantuan

peralatan berupa Tempat Pembuangan Sementara (TPS), container, armroll truck,

truck sampah, transfer dipo, gerobak sampah dan bulldozer. Pada tahun 2015,

diharapkan semua kabupaten/kota telah menyediakan Tempat Pembuangan Akhir

(TPA) sampah, sehingga 60 persen sampah di perkotaan dapat teratasi.

Penyediaan perumahan kepada korban konflik masih juga menjadi perhatian

karena dari total 26.751 unit rumah terbakar, telah dibangun kembali melalui dana

reintegrasi Aceh, sedangkan rumah penduduk miskin baru tertangani sebanyak

15.670 unit dari jumlah kebutuhan 236.461 unit di seluruh Aceh.

Pada kawasan terisolir dan perbatasan masih ditemui adanya desa-desa

tertinggal yang belum bebas dari keterisolasian, keterbelakangan baik secara

ekonomi, pendidikan, kesehatan lingkungan maupun sosial budaya. Untuk itu

Pemerintah Aceh akan mengusahakan pelaksanaannya melalui pembangunan,

perbaikan, pemugaran, peremajaan serta pengelolaan dan pemeliharaan

prasarana dan sarana secara terpadu dan berkelanjutan.

Bidang tata ruang ditujukan untuk menata kembali struktur ruang, pola

ruang yang didasarkan pada rencana tata ruang nasional sebagai dasar

pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Implementasi

pembangunan Aceh kedepan menerapkan prinsip Aceh Green yang berorientasi

pada ekonomi lingkungan yang mengutamakan keseimbangan antar aspek dan

pertimbangan ekonomi, sosial dan lingkungan dengan pembangunan antar dan

intra generasi.

2.6.3 Perhubungan

Transportasi, pos dan telekomunikasi, informasi dan Telematika merupakan

urat nadi perekonomian Aceh, dan keberadaannya sangat diharapkan oleh

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-79

masyarakat. Guna mendukung perekonomian yang lebih baik, membuka

keterisolasian dan keterbelakangan daerah diperlukan pembangunan dan

peningkatan transportasi dan telekomunikasi.

Dalam perencanaan pembangunan sarana dan prasarana tranportasi, pos

dan telekomunikasi, kita tidak hanya melihat berdasarkan keinginan dari suatu

daerah tetapi juga harus dilihat dari segi kebutuhan dan pemanfaatannya serta

pengembangan lebih lanjut. Prasarana yang diinginkan berdasarkan sistem

transportasi wilayah dan keterpaduan berbagai Moda yang ada, baik intermoda

maupun antarmoda sehingga pola pergerakan penumpang dan barang menjadi

efektif dan efisien.

2.6.3.1 Transportasi Darat

a) Angkutan Jalan Raya

Jaringan jalan di Aceh meliputi lintas pantai Utara-Timur, lintas pantai Barat-

Selatan, lintas tengah dan feeder road yang menghubungkan seluruh daerah

pedalaman Aceh. Akibat terjadinya gempa bumi dan gelombang tsunami 26

Desember 2004 sebagian besar jalan lintas Barat–Selatan, mulai dari perbatasan

Banda Aceh menuju Aceh Besar, Aceh Jaya dan Aceh Barat mengalami rusak atau

terkelupas termasuk hancurnya jembatan serta fasilitas keselamatan lalu lintas

jalan.

Diharapkan semua sarana dan prasarana termasuk fasilitas keselamatan

angkutan jalan raya baik di jalan kabupaten, jalan provinsi maupun jalan nasional

dalam kondisi mantap, sehingga dapat memberikan kondisi yang aman, nyaman,

efektif dan efisien kepada masyarakat pengguna jalan. Demikian juga dengan

ketersediaan terminal AKAP/AKDP yang representatif dan jumlah bus angkutan

yang memadai. Pembangunan jalan beserta fasilitas pendukung seperti

pembangunan fasilitas keselamatan untuk jalan-jalan Nasional berupa rambu,

marka, traffic light, delineator, guardrail, juga pembangunan beberapa terminal,

keselamatan dan sarana pendukung lainnya dapat didanai melalui APBA, APBN

atau sumber lainnya.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-80

b) Angkutan Perairan Daratan

Angkutan perairan daratan saat ini kondisinya sudah memadai, banyak

daerah-daerah yang dihubungkan aliran sungai dan tidak terjangkau oleh

angkutan jalan raya namun dengan tersedianya angkutan sungai sudah dapat

terpenuhi sarana i dan Simpang Kanan di Kabupaten Aceh Singkil serta aliran

sungai Krueng Meureuangkutan seperti sungai Tamiang di Kabupaten Aceh

Tamiang, aliran sungai Simpang Kirbo dan Suak Seumaseh di Kabupaten Aceh

Barat.

Sarana dan prasarana angkutan perairan darat perlu menjadi perhatian

pemerintah, hal ini dikarenakan fasilitas yang tersedia hanya alat angkut milik

masyarakat yang kurang memenuhi standar keselamatan. Demkian juga halnya

dengan angkutan danau terutama Danau Laut Tawar di Aceh Tengah, fasilitas

yang tersedia belum memadai.

c) Angkutan Penyeberangan

Kondisi prasarana angkutan penyeberangan yang telah dibangun

sebagian telah hancur akibat gempa dan tsunami serta penurunan permukaan

tanah yang mengakibatkan permukaan dermaga ikut turun sehingga tinggi muka

air tidak sesuai lagi dengan kapal yang beroperasi.

Gambaran umum terhadap kondisi eksisting untuk beberapa infrastruktur

pelabuhan penyeberangan di Aceh sebagai berikut :

1. Pelabuhan Ulee Lheue–Banda Aceh dibangun pada tahun 2000, kapasitas

dermaga 2.000 GRT, kedalaman kolam pelabuhan 5 m LWS, pasca gempa dan

tsunami mengalami kerusakan berat (hancur total) baik fasilitas sisi darat

maupun fasilitas sisi laut. Pemerintah Australia melalui UNDP telah membantu

memfungsikan kembali pelabuhan penyeberangan tersebut untuk melayani

penyeberangan rute Banda Aceh-Balohan dan Banda Aceh-Pulau Aceh.

2. Pelabuhan Penyeberangan Balohan-Sabang dibangun pada tahun 2001,

kapasitas dermaga 1.500 GRT, kedalaman kolam pelabuhan 4 m LWS, pasca

gempa dan tsunami mengalami kerusakan pada beberapa fasilitas sisi laut

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-81

(Breasting Dolphin rusak berat, dermaga ponton kapal cepat rusak ringan)

dan sisi darat (terminal rusak ringan, gangway rusak berat, talud rusak berat,

pagar rusak berat, lapangan parkir dan jalan rusak ringan). Pembangunan

kembali kerusakan tersebut telah diperbaiki melalui dana BRR Aceh-Nias dan

juga melalui APBN dan APBA.

3. Pelabuhan Penyeberangan Lamteng, Pulau Aceh Kabupaten Aceh Besar yang

dibangun pada tahun 2002, kapasitas dermaga 600 GRT, kedalaman kolam

pelabuhan 4 - 5 m LWS, pasca gempa dan tsunami hanya mengalami

kerusakan ringan pada talud, saat ini Pelabuhan tersebut telah berfungsi

kembali melayani rute penyeberangan Pulau Aceh - Banda Aceh dan Pulau

Aceh - Balohan (Sabang).

4. Pelabuhan Penyeberangan Meulaboh - Aceh Barat dibangun pada tahun 1981,

kapasitas dermaga 500 GRT, kedalaman kolam pelabuhan 4 m LWS, pasca

gempa dan tsunami mengalami kerusakan berat (hancur total) baik pada

fasilitas sisi darat maupun fasilitas sisi laut. Sampai dengan saat ini belum

dibangun kembali.

5. Pelabuhan Penyeberangan Labuhan Haji - Aceh Selatan dibangun pada tahun

1992, kapasitas dermaga 1.500 GRT, kedalaman kolam pelabuhan 6 m LWS,

pasca gempa dan tsunami masih bisa berfungsi meskipun mengalami

kerusakan ringan pada fasilitas darat (gedung terminal rusak ringan, talud

causeway rusak ringan, pos tiket rusak berat, pagar rusak total, lapangan

parkir dan jalan lingkungan pelabuhan rusak berat) yang digunakan untuk

penyeberangan Labuhan Haji - Sinabang Kabupaten Simeulue, pada saat ini

telah beroperasi kembali secara normal.

6. Pelabuhan Penyeberangan Sinabang dibangun pada tahun 1982, kapasitas

dermaga 500 GRT, kedalaman kolam pelabuhan 6 m LWS, pasca gempa dan

tsunami tidak bisa berfungsi secara normal, banyak fasilitas yang mengalami

kerusakan pada fasilitas darat (gedung terminal rusak total, lapangan parkir

rusak berat, talud rusak berat, pagar rusak ringan, jalan pelabuhan rusak

berat), catwalk & breasting dolphin rusak berat (sisi laut), sehingga diperlukan

review design dan telah dilakukan feasibility study untuk relokasi ke lokasi

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-82

baru di lokasi Teluk Kolok sekitar ± 6 km dari kota Sinabang saat ini dalam

tahap pelaksanaan.

7. Pelabuhan Penyeberangan Singkil dibangun pada tahun 2002, kapasitas

dermaga 600 GRT, kedalaman kolam pelabuhan 5 m LWS, pasca gempa dan

tsunami tidak bisa berfungsi secara normal. yang mengalami kerusakan pada

fasilitas darat (Gedung terminal rusak berat, parkir rusak berat, Talud

causeway-pagar rusak total, jalan rusak berat), catwalk-blok beton-breasting

dan mooring dolphin rusak berat (sisi laut). Pasca gempa 28 Maret 2005 tidak

layak untuk digunakan lagi sehingga perlu direlokasi ke tempat lain, sehingga

diperlukan review design dan telah dilakukan feasibility study untuk relokasi

ke lokasi baru di Pulau Sarok sekitar ± 200 m dari lokasi lama, namun sampai

saat ini belum dibangun.

8. Pulau Banyak - Aceh Singkil pelabuhan penyeberangan yang dibangun pada

tahun 2002, kapasitas dermaga 600 GRT, kedalaman kolam pelabuhan 5 m

LWS, akibat gempa dan tsunami mengalami kerusakan terutama pada fasilitas

darat (Gedung terminal rusak ringan, Talud causeway rusak berat, pos tiket

rusak berat, jalan lingkungan pelabuhan rusak ringan). Pelabuhan yang

melayani penyeberangan rute Pulau Banyak - Singkil dan Pulau Banyak -

Sinabang (Simeulue) saat ini telah beroperasi kembali secara normal.

2.6.3.2 Angkutan Jalan Rel (Prasarana Kereta Api Aceh)

Angkutan dengan menggunakan sarana kereta api pernah beroperasi di

Aceh menyusuri pantai Timur - Utara dari Banda Aceh ke Sumatera Utara,

operasional ini terhenti sejak 1974. Pemerintah Aceh saat ini telah berupaya untuk

menghidupkan kembali prasarana kereta api Aceh dengan membangun jalan rel

mulai Banda Aceh sampai menyambung dengan Sumatra Utara. Standarisasi rel

yang digunakan kelas I dengan lebar spoor 1.435 mm dengan kecepatan rencana

120 Km/ jam dan radius lengkung minimum 800 m, tekanan gandar maksimum 18

ton. Panjang total keseluruhan dari Banda Aceh - Medan 586 km (484 km berada

di Pemerintah Aceh).

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-83

Dalam perencanaan ini ditetapkan adanya keterpaduan antarmoda rel

dengan angkutan laut, jalan rel yang di bangun akan menghubungkan pelabuhan

Kuala Langsa dan pelabuhan Krueng Geukeuh. Untuk lintasan baru yang dibangun

bila membutuhkan lahan maka tanggung jawab pembiayaan pembebasan lahan

adalah 25% masing-masing ditanggung oleh pemerintah provinsi dan pemerintah

kabupaten/kota yang dilintasi serta sisanya oleh pemerintah pusat.

Survey/studi kelayakan telah dilakukan oleh konsultan SNCF dari Perancis,

hasil studi tersebut sudah ditindaklanjuti dengan detail engenering design (DED).

Sesuai dengan rencana, pembangunan fisik dimulai secara bertahap mulai tahun

2007. Sampai dengan tahun 2008 rel kereta api baru terbangun sepanjang + 22

km mulai dari Simpang Krueng Mane hingga Cunda, tahun 2009 pelaksanaan

pembangunan lebih dititikberatkan pada fasilitas pendukung dan pelengkap

lainnya, diharapkan pada akhir tahun 2010 dapat dioperasionalkan.

2.6.3.3 Transportasi Laut

Aceh sebagian besar wilayahnya berbatasan dengan perairan maka

transportasi laut memegang peranan penting dalam rangka peningkatan

perekonomian. Pada saat ini Aceh memiliki 10 Pelabuhan Laut/ Samudera baik

dengan status diusahakan maupun tidak diusahakan, terdapat 4 (empat)

Pelabuhan Laut yang diusahakan/dikelola oleh PT. Pelindo-I yaitu: di pantai Timur

terdapat, Pelabuhan Malahayati - Aceh Besar, Pelabuhan Krueng Geukueh -

Lhokseumawe dan Pelabuhan Kuala Langsa - Langsa dan di pantai barat

Pelabuhan Umum Meulaboh - Aceh Barat.

Pelabuhan Laut yang tidak diusahakan/dikelola oleh administrasi pelayaran

(adpel), kantor pelayaran (kanpel), Departemen perhubungan (Dephub) adalah

Pelabuhan Calang, Pelabuhan Susoh, Pelabuhan Tapaktuan, Pelabuhan Sinabang

dan Pelabuhan Singkil. Sedangkan pelabuhan bebas Sabang di kelola oleh

Pemerintah Aceh.

Gambaran umum terhadap kondisi eksisting beberapa infrastruktur

pelabuhan laut sebagai berikut:

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-84

1. Pelabuhan Sabang yang dibangun kembali pada tahun 1991, kapasitas sandar

10.000 DWT, dermaga (180 x 25) m, kedalaman kolam pelabuhan melebihi

15 m LWS, pasca gempa dan tsunami masih bisa berfungsi secara normal,

namun masih ada beberapa fasilitas yang mengalami kerusakan seperti pagar

dan gudang. Diharapkan untuk masa yang akan datang Pelabuhan Sabang

menjadi Hub Internasional untuk Indonesia wilayah barat. Saat ini dengan

menggunakan dana APBN melalui BPKS sedang diperluas dermaga dengan

menutup bagian kolam antar trestle sehingga bisa lebih memudahkan

operasional bongkar muat kontainer.

2. Pelabuhan Malahayati - Aceh Besar dibangun kembali pada tahun 1976,

kapasitas sandar 5.000 DWT, dermaga (100 x 15) m, kedalaman kolam 6 m

LWS, pasca gempa dan tsunami masih bisa berfungsi meskipun tidak normal,

terdapat fasilitas yang mengalami kerusakan berat yaitu gedung terminal,

gudang tertutup, kantor operasional, pagar hancur total dan lapangan

penumpukan. Pembanguan kembali fasilitas yang rusak telah dilakukan oleh

pemerintah pusat dan Pemerintah Belanda berupa trestle pelabuhan tersebut

sepanjang (140 x 25) m dan fasilitas lainnya.

3. Pelabuhan Calang - Aceh Jaya dibangun kembali pada tahun 1977,

kedalaman kolam pelabuhan di teluk Calang cukup memungkinkan dibangun

suatu pelabuhan laut yang besar dan mampu disandari oleh kapal dengan

bobot mati diatas 10.000 DWT. Pelabuhan Calang direncanakan menjadi

pelabuhan besar yang representatif untuk pantai Barat - Selatan Aceh. DED

untuk pelabuhan ini telah selesai dibuat dengan bantuan dana dari UNDP.

Target sampai dengan desember 2010 adalah selesainya pembuatan dermaga

untuk sandar kapal penumpang ro-ro, sedangkan untuk pembuatan dermaga

kapal barang akan dikerjakan pada tahun 2011.

4. Pelabuhan Meulaboh memiliki dermaga beton 50 M X 8 M, kedalaman kolam

pelabuhan 2 - 4 m LWS, dan hanya dapat disandari oleh kapal sampai 2.000

DWT. Pasca Tsunami kedalaman kolam semakin dangkal dan beberapa tiang

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-85

penyangga dermaga yang patah, sehingga belum bisa disandari oleh kapal

karena kolam pelabuhan yang terlalu dangkal. Kapal besar yang akan masuk

ke pelabuhan terpaksa lego jangkar di lepas pantai Meulaboh jauh dari

dermaga pelabuhan laut yang ada sekarang. Saat ini palang merah singapura

telah selesai membangun sebuah pelabuhan laut di lokasi baru dengan

panjang 92 M x 25 M, dan sudah dioperasionalkan. Namun demikian masih

banyak fasilitas penunjang operasional lainnya yang belum tersedia seperti

instalasi listrik, air bersih, gedung operasional, gudang, lapangan penumpukan

dan lain-lain.

5. Pelabuhan Susoh - Aceh Barat Daya dibangun tahun 2004 termasuk

pelabuhan laut dengan status tidak diusahakan, memiliki dermaga finger

beton 35 m x 10 m, kedalaman kolam pelabuhan 4-6 m LWS. Pasca tsunami

kondisi dermaga masih baik, hanya talud dan gedung kantor pelabuhan dan

gudang mengalami rusak ringan. Pelabuhan ini merupakan satu-satunya pintu

masuk jalur laut yang ada di Kabupaten Aceh Barat Daya.

6. Pelabuhan Sinabang-Simeulue dibangun tahun 1997, dermaga beton

(70 x 8) m, kedalaman kolam 6 - 8 m LWS, mampu disandari oleh kapal 5.000

DWT. Pasca gempa dan tsunami sarana dan prasarana pelabuhan mengalami

rusak berat seperti trestel kapal cepat (dermaga lama) hancur/runtuh. Melalui

BRR Aceh-Nias telah dilakukan perbaikan, namun pada saat gempa bumi pada

bulan April 2010 kembali terjadi kerusakan pada sisi darat sehingga pelabuhan

tidak bisa berfungsi secara normal dan masih perlu dilakukan perbaikan.

7. Pelabuhan Tapaktuan dibangun tahun 1992 termasuk pelabuhan dengan

status tidak diusahakan, memiliki dermaga beton (50 x 8) m, kedalaman

kolam pelabuhan 6-7 m LWS. Dermaganya mampu disandari oleh kapal

dengan bobot mati 3.000 DWT. Pasca tsunami pelabuhan Tapaktuan

mengalami rusak ringan sehingga perlu dilakukan rehabilitasi untuk

mengembalikan kepada fungsi normal dalam melayani transportasi laut di

daerah ini dan masih banyak fasilitas penunjang yang perlu dibenahi.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-86

Operasional pelabuhan masih bisa berjalan meskipun tidak begitu normal.

Telah dilakukan rehabilitasi dan rekonstruksi pelabuhan ini dengan

membangun dermaga tambahan dan beberapa fasilitas penunjang operasional

lainnya seperti gudang, kantor operasional, lapangan penumpukan dan lain-

lain dan telah dapat difungsikan untuk melayani kapal dengan bobot mati

sampai 5.000 DWT.

8. Pelabuhan Singkil - Aceh Singkil dibangun tahun 1995, dermaga beton

(50 x 8) m, kedalaman kolam 4 - 6 m LWS, mampu disandari oleh kapal 4.000

DWT. Kerusakan yang terjadi akibat gempa dan tsunami tanggal 26 Desember

2004 tergolong tidak terlalu berat, namun musibah gempa tanggal 28 Maret

2005 sebesar 8,2 SR mengakibatkan kerusakan yang cukup signifikan, kondisi

permukaan tanah umumnya di Singkil mengalami penurunan 1 - 1,5 m,

sehingga pelabuhan terendam dengan air seperti jalan masuk, kantor

operasional dan gudang tertutup. Untuk itu diperlukan penanganan segera

terhadap fasilitas yang rusak agar berfungsi kembali. Perbaikan jalan masuk

menuju pelabuhan sepanjang ±700 m telah dilakukan melalui dana BRR.

Untuk rehabilitasi dan rekonstruksi fasilitas sisi laut dan sisi darat pelabuhan

laut, akan dilakukan dengan mengacu kepada hasil study berupa Review

Desain pelabuhan ini yang telah selesai dilaksanakan pada tahun 2006.

9. Pelabuhan Krueng Geukueh-Lhokseumawe dibangun tahun 1986 termasuk

pelabuhan dengan status diusahakan, memiliki dermaga beton (268 x 25) m,

kedalaman kolam pelabuhan 10 m LWS dan mampu disandari oleh kapal

dengan bobot mati 20.000 DWT. Pasca tsunami pelabuhan Lhokseumawe

mengalami rusak ringan dan telah dilakukan rehabilitasi dan masih ada

fasilitas penunjang yang perlu dibenahi. Pelabuhan ini menjadi pintu masuk

untuk pantai timur Aceh.

10. Pelabuhan Kuala Langsa-Kota Langsa dibangun tahun 1987 termasuk

pelabuhan dengan status diusahakan oleh PT. Pelindo I, memiliki dermaga

beton (75 x 15) m, kedalaman kolam pelabuhan 7 m LWS mampu disandari

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-87

oleh kapal dengan bobot mati 6.000 DWT. Pasca tsunami pelabuhan Kuala

Langsa relatif tidak mengalami kerusakan yang berarti sehingga

operasionalnya masih bisa berjalan secara normal. Namun masih banyak

fasilitas penunjang yang perlu dibenahi. Pelabuhan ini dipersiapkan untuk

menjadi pelabuhan dengan skala regional dan menjadi salah satu pintu masuk

untuk pantai Timur Aceh.

Selain pelabuhan laut baik yang diusahakan dan tidak diusahakan, di Aceh

juga terdapat beberapa Pelabuhan Rakyat (Pelra) yang umumnya mengalami

kerusakan baik ringan maupun berat dan hancur total seperti Pelra Kuala Bakti

yang perlu dilakukan review design, sedangkan yang rusak ringan dan rusak berat

perlu dilakukan rehabilitasi segera supaya bisa kembali berfungsi secara normal

untuk melayani transportasi masyarakat khususnya pasca musibah gempa dan

tsunami. Diantara pelabuhan rakyat tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pelabuhan Rakyat Pulau Banyak-Aceh Singkil

2. Pelabuhan Rakyat Kuala Idi-Aceh Timur

3. Pelabuhan Rakyat Kuala Tari-Pidie

4. Pelabuhan Rakyat Kuala Bakti-Simeulue

5. Pelabuhan Rakyat Sibigo-Simeulue

6. Pelabuhan Rakyat Sibadeh-Aceh Selatan

Untuk kelancaran transportasi laut diharapkan semua sarana dan prasarana

telah dibangun/dikembangkan untuk semua pelabuhan baik pelabuhan laut

maupun pelabuhan rakyat (pelra). Terbangunnya fasilitas untuk sisi darat seperti

gedung terminal, kantor operasional, peralatan bongkar muat, dan sebagainya.

Demikian juga untuk fasilitas sisi laut seperti dermaga, trestle, fasilitas navigasi

(fasilitas keselamatan pelayaran seperti rambu suar dll) juga harus sudah

memadai sesuai dengan hirarki dan master plan yang sedang dibuat saat ini.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-88

2.6.3.4 Transportasi Udara

Fasilitas pelayanan transportasi udara tersebar di beberapa lokasi di wilayah

Aceh baik bandara umum (komersil dan perintis) maupun bandara khusus sebagai

berikut:

a. Bandara umum/perintis, yaitu bandara yang melayani penerbangan

umum/perintis, seperti Bandara Sultan Iskandar Muda - Banda Aceh (bandara

komersil), Bandara Malikussaleh - Lhokseumawe (statusnya juga masih sebagai

bandara khusus yang dikelola oleh PT. Arun LNG meskipun saat ini juga sudah

mulai digunakan untuk komersil/umum/perintis), Bandara Lasikin - Sinabang,

Bandara Cut Nyak Dhien - Meulaboh, Bandara Maimun Saleh - Sabang,

Bandara T. Cut Ali - Tapaktuan, Bandara Kuala Batu - Blang Pidie, Bandara

Alas Leuser - Kutacane.

b. Bandar Udara Khusus yakni di Lhoksukon Bandara Point “A“ dengan kapasitas

CN 235 yang dikelola oleh Exxon Mobile Oil.

Gambaran umum terhadap kondisi eksisting beberapa infrastruktur bandara

adalah sebagai berikut:

1. Bandara Sultan Iskandar Muda - Banda Aceh mulai beroperasi pada tahun

1952, jarak dari pusat kota Banda Aceh ± 16 km, runway (2.500 x 45) m, saat

ini mampu didarati oleh pesawat berbadan lebar jenis B-737 dan A-330.

Bandara ini melayani penerbangan nasional dan internasional juga berfungsi

sebagai pangkalan TNI-AU (Lanud) Iskandar Muda. Kondisi saat ini bandara

SIM melayani sekitar 16 kali fligt (landing dan take off) setiap hari oleh

maskapai penerbangan nasional dan internasional.

2. Bandara Maimun Saleh – Kota Sabang, jarak dari pusat kota Sabang ± 7 km,

runway (1.850 x 30) m, saat ini mampu didarati oleh pesawat dengan jenis

F-28. Bandara ini menjadi entry point transportasi udara untuk Pulau Weh

(Sabang). Melayani penerbangan perintis dan logistik Pangkalan TNI-AU

(Lanud) Maimun Saleh serta operasional logistik pasca tsunami. Bandara ini

dipersiapkan menjadi bandara internasional terbatas.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-89

3. Bandara Cut Nyak Dhien – Kabupaten Nagan Raya runway (1.400 x 30) m,

saat ini mampu di darati oleh pesawat dengan jenis Cassa 212 dan F-27.

Bandara ini menjadi entry point transportasi udara untuk wilayah pantai Barat

Aceh, melayani penerbangan perintis dan logistik TNI AU serta operasional

bantuan logistik pasca tsunami. Pada saat ini telah selesai dilakukan rehabilitasi

dan rekonstruksi bandara dan sudah dioperasionalkan.

4. Bandara Kuala Batee - Kabupaten Abdya, jarak dari pusat kota Blang Pidie ±

15 km, runway (800 x 23) m, saat ini mampu didarati oleh pesawat dengan

jenis Cassa 212. Saat ini bandara ini sudah melayani kembali penerbangan

perintis rute Banda Aceh - Blang Pidie - Tapaktuan - Medan (PP).

5. Bandara T. Cut Ali - Tapaktuan, beroperasi pada tahun 1976, jarak dari pusat

kota Tapaktuan ± 21 km, runway (750 x 23) m, saat ini mampu didarati oleh

pesawat dengan jenis Cassa 212 / Dash-7. Saat ini selain melayani

penerbangan perintis rute Banda Aceh - Blang Pidie - Tapaktuan - Medan (PP),

juga telah melayani penerbangan komersial yang dilakukan oleh maskapai

penerbangan Wings Air.

6. Bandara Lasikin - Sinabang, beroperasi pada tahun 1978, jarak dari pusat kota

Sinabang ± 11 km, runway (900 x 23) m, saat ini mampu didarati oleh

pesawat dengan jenis Cassa 212/Dash-7 dan jenis F-28 Pada saat ini telah

diselesaikan rehabilitasi dan rekonstruksi termasuk pengembangan runway

menjadi (1.200 x 23) m dan telah beroperasi secara lebih maksimal dengan

tetap malayani penerbangan perintis dengan rute Sinabang – Medan –

Meulaboh B. Aceh.

7. Bandara Malikussaleh - Lhokseumawe, beroperasi pada tahun 1985, jarak dari

pusat kota Lhokseumawe ± 35 km, runway (1.850 x 30) m, saat ini mampu

didarati oleh pesawat dengan jenis F-28 dan B-737 seri 200 (terbatas). sampai

saat ini tetap melayani penerbangan khusus PT. Arun LNG dan komersil

dengan rute Medan - Lhokseumawe.

8. Bandara Rembele - Takengon, jarak dari pusat kota Takengon ± 20 km,

runway (1.200 x 30) m, mampu didarati oleh pesawat dengan jenis F-27,

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-90

Cassa 212 dan Dash 7. Sampai saat ini tetap melayani penerbangan perintis

dengan rute Medan - Takengon - Banda Aceh.

9. Bandara Syekh Hamzah Fansyuri - Singkil, jarak dari pusat kota Singkil ± 22

km, runway yang direncanakan (800 x 23) m diperuntukkan untuk

penerbangan perintis dengan jenis pesawat Cassa 212. Bandara baru ini

diharapkan bisa menjadi pintu masuk transportasi udara untuk wilayah

Kabupaten Aceh Singkil dalam rangka pengembangan wilayah yang memiliki

potensi SDA yang cukup banyak seperti hasil hutan, perkebunan sawit, dan

lain-lain.

10.Bandara Alas Leuser - Kutacane, jarak dari Kutacane ± 20 km, memiliki

runway (1.200 x 30) m yang dibangun dengan bantuan dana Uni Eropa dan

APBA Pemerintah Aceh untuk fasilitas sisi darat lainnya, memiliki kapasitas CN -

212 dan Fokker 50, saat ini melayani penerbangan perintis dengan rute Banda

Aceh - Kutacane - Medan.

2.6.3.5 Pos dan Telekomunikasi

Bidang Pos dan Telekomunikasi merupakan salah satu Bidang yang bernaung

dibawah Dinas Perhubungan Komunikasi, Informasi dan Telematika Aceh dengan

tugas utama melaksanakan pengawasan dan pengendalian serta evaluasi kegiatan

usaha jasa pos dan jasa telekomunikasi serta pembinaan terhadap organisasi yang

bergerak dibidang komunikasi radio.

Pelayanan Pos di Aceh telah menjangkau ke seluruh kabupaten/kota sampai

dengan ke pelosok desa, hal ini ditunjang oleh sebanyak 102 unit kantor pos

didukung oleh 31 unit pelayanan pos bergerak keliling kota, 66 unit pelayanan pos

bergerak keliling desa dan 93 unit pelayanan pos non kantor lainnya serta

didukung oleh usaha jasa swasta yang bergerak dibidang perposan yakni usaha

jasa titipan yang berjumlah 49 unit baik yang bersifat lokal, nasional dan

internasional dan tersebar di seluruh Kabupaten/Kota.

Demikian pula halnya dengan jasa telekomunikasi, kondisi saat ini

masyarakat disuguhkan oleh berbagai kemudahan pelayanan di bidang

telekomunikasi dengan kehadiran berbagai operator telekomunikasi yang semakin

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-91

banyak dengan tarif yang bersaing dan mampu memberi kemudahan dalam

berkomunikasi. Sampai akhir tahun 2009 Operator Telekomunikasi yang sudah

mempunyai izin beroperasi di Aceh sejumlah 6 (enam) perusahaan yaitu PT.

Telkomsel, PT. Excecomindo Pratama, Kandatel Aceh, PT. Gallery Smart Telecom

BNA, PT. Indosat dan PT. Huchison Cp. Telkom BNA.

Untuk pelayanan dibidang telekomunikasi baik fixed telepon maupun selular

telepon telah menjangkau keseluruh Kabupaten/Kota dalam wilayah Aceh.

Kapasitas terpakai untuk fixed telepon telah mencapai 88.766 SST (Satuan

Sambungan Telepon), persentase keberhasilan panggil sebesar 75,64 persen serta

didukung oleh 881 unit warung telekomunikasi. Sedangkan untuk telepon selular

terjadi persaingan yang sehat antar sesama operator telepon selular dalam

pengembangan area layanan, hal ini ditandai dengan menjamurnya pembangunan

Tower Base Transceiver Stasion di Aceh. Pada akhir tahun 2010 akan terbangun

tower pada 13 titik yang tersebar pada 4 Kabupaten/Kota, yaitu Kota Sabang,

Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Aceh Jaya. Tower

Telekomunikasi yang akan dibangun sejumlah 56 titik dan tersebar di seluruh

Aceh dengan ketinggian 80 m, 90 m dan 100 m dan dapat difungsikan sebagai

Tower Bersama.

Meskipun demikian, masih banyak daerah-daerah pedesaan yang belum

menikmati fasilitas telekomunikasi, hal ini merupakan tanggung jawab dari

pemerintah pusat dengan program USO (Universal Service Obligation) dan tidak

tertutup kemungkinan pemerintah daerah berpeluang untuk memperluas

pelayanan dibidang telekomunikasi dengan cara kerja sama operasi (KSO) dengan

operator yang telah ada atau membangun jaringan telekomunikasi tersendiri yang

diusahakan oleh suatu Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)

Disamping itu terdapat organisasi pengguna frekuensi radio yang menjadi

binaan Dinas Perhubungan Aceh yaitu RAPI (Radio Antar Penduduk Indonesia)

yang sampai dengan saat ini telah beranggotakan sebanyak 1.036 orang dan

ORARI (Organisasi Radio Amatir Indonesia) sebanyak 652 orang. Penggunaan

frekuensi radio oleh organisasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan

dalam menanggulangi keadaan darurat dan bencana alam. Setiap anggota

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-92

organisasi berkewajiban memberikan prioritas pengiriman dan penyampaian

informasinya kepada Dinas Perhubungan Aceh sehingga diharapkan para

pengambil keputusan dapat mengetahui adanya musibah dan dapat mengambil

tindakan yang diperlukan dengan cepat dan akurat.

Pelayanan penggunaan frekuensi radio merupakan pelayanan publik tidak

seluruhnya dikelola secara sentral, regulasinya ditetapkan secara nasional namun

pengelolaannya dapat diatur secara bertingkat sesuai ruang lingkup jangkauan

pelayanannya diharapkan dapat meningkatkan sumber Pendapatan Asli Daerah

(PAD). Hal ini harus didukung oleh regulasi yang tegas, sumber daya manusia

yang handal serta sarana dan prasarana yang memadai sebagaimana yang

diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang

Pemerintahan Aceh khususnya dibidang komunikasi dan informasi.

2.6.3.6 Komunikasi, Informasi dan Telematika

Pembangunan bidang Komunikasi, Informasi dan Telematika meliputi

pembangunan dan pengembangan Sistim Informasi Manajemen Daerah (SIMDA),

penyediaan infrastruktur, penyediaan dan pengelolaan data serta melakukan

pembinaan terhadap sumber daya aparatur di bidang teknologi komunikasi dan

informasi.

Berdasarkan kebijakan, program dan kegiatan yang dilaksanakan, indikator

kinerja yang telah dihasilkan dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Adanya Pengembangan dan Pembinaan terhadap penyiaran daerah untuk

menertibkan siaran Media Radio dan Televisi yang berkualitas;

2. Membangun fasilitas-fasilitas Media Center untuk mendukung penyebaran

informasi secara cepat dan akurat terhadap seluruh masayarkat;

3. Pembangunan dan pengembangan infrastruktur jaringan komunikasi data

dan informasi yang telah tersedia berupa Bandwidth untuk kebutuhan

Dinas/Badan/Lembaga Daerah dengan kapasitas 20 Mbps yang terdiri dari 15

Mbps untuk download dan 5 Mbps Upload;

4. Untuk Jaringan 23 Kabupaten/kota bandwith yang disediakan sebesar 3 Mbps

Simetris termasuk di dalamnya untuk bandwith transforder SCPS 7.936 Kbps

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-93

dan BVP 7963 Kbps. Semua SKPA dan 23 kabupaten memiliki server masing-

masing dan saling terkoneksi;

5. Dalam kaitan ini juga sudah dilakukan pengembangan Infrastruktur

Telematika berupa jaringan interkoneksi Pemerintah Aceh telah dikembangkan

pada perangkat kerja di Pemerintah Aceh, yaitu pada 17 (tujuh belas) Dinas,

19 (Sembilan belas) Badan) dan 1 (satu) Lembaga;

6. Di samping itu Pemerintah Aceh merencanakan akan membangun

Telekomunikasi Aceh (TELCO) menggunakan Teknologi BWA, dimana

pembangunannya akan dilakukan secara bertahap selama 5 tahun dan

diharapkan selesai pada tahun 2015;

7. Untuk mendukung penerapan sistem informasi manajemen pemerintah daerah

telah dibangun sejumlah infrastruktur (perangkat keras) dan aplikasi sistem

informasi (perangkat lunak) pengolah data untuk Dinas/Badan/Lembaga

Daerah, namun belum terpenuhi seluruhnya dan terhadap aplikasi yang telah

selesai dibangun;

8. Database yang telah selesai dibangun meliputi database kepegawaian, sarana

dan prasarana umum pemerintahan, korban konflik, korban tsunami,

pertambangan dan energi, kesehatan, pendidikan, anak yatim, perikanan,

pimpinan pemerintahan, diklat aparatur, koperasi dan UKM, pariwisata dan

database sms Center Gubernur;

9. Pembangunan dan Pengembangan portal pemerintah daerah adalah

penyediaan situs www.bappeda.provaceh.go.id sebagai media penyebaran

informasi Pemerintah Provinsi Aceh melalui internet dan kegiatan ini telah

diselenggarakan kembali mulai pasca tsunami;

10. Untuk ketersediaan data di dalam database dan portal www.nad.go.id telah

dilaksanakan kegiatan pengumpulan data, verifikasi data, updating dan

backup data.

11. Gambaran umum kondisi eksisting terkait dengan sumber daya aparatur

adalah sebagai berikut:

- PNS Tenaga Teknis di bidang ICT Pemerintah Aceh dengan latar belakang

pendidikan Teknologi Komputer, khususnya pada Dinas Perhubungan

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-94

Komunikasi Informasi & Telematika (Dishubkomintel) yang mempunyai

fungsi tugas serta kewenangan menjalankan Telematika Pemerintah Aceh

sebanyak 16 orang dengan berbagai bidang keahlian (programmer,

operator jaringan, design grafis, master web, pengelola sistim informasi)

belum termasuk PNS Tenaga teknis Komputer yang berada pada SKPA lain;

- Menjalin hubungan dengan out resourching (UNSYIAH, KPLI, Yayasan Air

Putih & Komunitas IT lainnya);

- Melakukan pengiriman PNS Tenaga Teknis Komputer untuk mengikuti

pendidikan dan pelatihan di Luar Daerah dalam bidang teknologi Informasi

& komunikasi;

12. Pembinaan dan pengembangan sumber daya aparatur bidang teknologi

komunikasi dan informasi telah dilaksanakan Bimbingan Teknis, Workshop dan

sosialisasi serta proses alih teknologi informasi lainnya yang dilaksanakan

pada saat pengembangan sistem infromasi kepada egawai negeri sipil baik di

lingkungan Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota.

Diharapkan pada masa yang akan datang dapat terlaksananya penerapan

e-Government, tersedianya database pada masing-masing Dinas/Badan/Lembaga

Daerah, tersedianya sumberdaya aparatur yang handal dibidang teknologi

komunikasi dan informasi serta tersedianya infrastruktur telematika daerah.

2.6.4 Lingkungan Hidup

Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang tidak terkendali

dapat menimbulkan kecendrungan pemanfaatan sumberdaya alam yang

berlebihan (over exploitation), sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan dan

penurunan kualitas daya dukung lingkungan. Keluhan masyarakat yang menuntut

perbaikan kualitas lingkungan ditujukan kepada Pemerintah Daerah sehingga

program kegiatan pengelolaan lingkungan melalui koordinasi pemantauan,

pengawasan dan upaya pemulihan kualitas dan fungsi lingkungan mutlak

diperlukan.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-95

Kondisi lingkungan semakin terpuruk akibat eksploitasi sumber daya alam

hutan secara besar-besaran tanpa diimbangi dengan kegiatan rehabilitasi atau

pemulihan fungsi hutan secara proporsional, begitu juga akibat kegiatan

penambangan galian C yang tidak terkendali menyebabkan kerusakan daerah

aliran sungai yang berdampak hancurnya infrastruktur pendukung ekonomi.

Secara rinci dapat dilihat pada tabel II.31.

Tabel II.31

Kerusakan Lingkungan di Pemerintah Aceh

No. Ekosistem Luas Dampak

1. Terumbu Karang 97.250 Ha2. Manggrove 25.000 Ha3. Padang Lamun 600 Ha4. Muara Sungai 7,5 Km5. Sumber air 1000 sumur6. Hutan 48.925 Ha7. Restorasi pantai 300 Km8. Kehilangan lahan 53.735 titikSumber : CGI (2005)

Kegiatan pemantauan, pengawasan dan upaya pemulihan perlu dilakukan

pengkajian/penelitian lebih lanjut terhadap dampak dari kerusakan yang

diakibatkan oleh limbah tsunami, pencemaran udara yang terjadi akibat aktivitas

rehabilitasi dan rekonstruksi (debu, polusi kendaraan). Selanjutnya permasalahan

krusial yang sering muncul dalam pengelolaan lingkungan hidup antara lain:

perubahan iklim, perambahan kawasan hutan, iIllegal logging, illegal mining,

kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS), pencemaran air dan udara, serta kerusakan

kawasan pesisir.

Alih fungsi lahan berupa perubahan fungsi lahan dari lahan pertanian ke

pemukiman, dari lahan konservasi ke kawasan budidaya ditemukan di beberapa

Kabupaten/Kota seperti di Aceh Besar, Aceh Utara, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Barat,

Nagan Raya, Aceh Selatan, Subulussalam, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, Gayo

Lues, Aceh Timur, dan Tamiang membuat lingkungan menjadi rentan terhadap

ancaman banjir, erosi dan tanah longsor.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-96

Pada saat ini, terdapat 1.626.800 ha lahan kritis dimana 788.600 ha berada

di dalam kawasan hutan (14.7 persen dari total wilayah hutan) dan 738.200 ha

berada di luar kawasan hutan (13.7 persen total wilayah hutan). Menurut

peruntukan lahan seluas 232.902,35 ha (4,24 persen) lahan diklasifikasikan

sebagai lahan kritis. Lahan kritis tersebut terdiri dari padang rumput/ilalang seluas

223.985 ha (3,91 persen), tanah terbuka (tandus, rusak, pembukaan lahan) seluas

18.574,35 ha dan lahan pertambangan 443 ha (0,01 persen). Lahan kritis tersebut

berpotensi mengakibatkan erosi dan sedimentasi di sekitar DAS.

2.6.5 Pertanahan

Tanah merupakan salah satu asset masyarakat yang sangat berharga dan

perlu mendapatkan jaminan hukum melalui sertifikasi, Pemerintah Aceh sesuai

dengan Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 mengamanatkan Badan

Pertanahan Nasional menjadi Badan Otonomi Daerah. Hal ini sangat diharapkan

dalam rangka pemenuhan kebutuhan pengsertifikatan lahan sebagai salah satu

modal usaha bagi masyarakat. Sampai saat ini sertifikasi yang sudah diserahkan

kepada masyarakat diperkirakan sebanyak 68.855 sertifikat baik melalui

APBA/APBN dan BRR.

Selain itu inventarisasi lahan dan registrasi penguasaan kepemilikan,

penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T), penataan pulau-pulau kecil terluar

diperbatasan. Di masa yang akan datang Badan Pertanahan menjadi Badan

Otonomi di daerah baik provinsi maupun kabupaten.

2.6.6 Energi dan Sumber Daya Mineral

Pelayanan listrik Aceh dilakukan oleh PT. PLN, Pemerintah Aceh hanya

memfokuskan melakukan usaha pelayanan pada daerah-daerah terpencil yang

belum terjangkau oleh PT PLN. Kondisi ketenagalistrikan di Aceh dapat

digambarkan sebagai berikut :

1. Kebutuhan energi listrik untuk Aceh saat ini di suplai dari beberapa sistem

dengan porsi, yaitu:

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-97

a. Sistem Transmisi 150 kV Sumut-Aceh sebesar 70,12 persen

b. PLTD Isolated sebesar 26,62 persen

c. Sistem Distribusi 20 kV dari wilayah Sumut sebesar 3,26 persen.

d. PLTMH Isolated sebesar 0,75 persen.

Kondisi kelistrikan yang tersambung dalam sistem 150 kV Sumut-Aceh masih

mengalami defisit. Untuk mengatasi defisit tersebut sering harus dilakukan

penurunan tegangan (brown out) dan dalam kondisi tertentu terpaksa

dilakukan pemadaman bergilir.

Daerah isolated yang masih mengalami defisit adalah daerah Aceh Tengah,

dan Aceh Singkil. Untuk mengatasi defisit pada kedua daerah tersebut

dilakukan dengan memanfaatkan suplai 20 kV dari Gardu Induk yang

terdekat.

2. Kapasitas terpasang, pembangkit di Aceh saat ini sebesar 146,5 MW dengan

daya mampu rata-rata 98 MW. Sebagian dari pembangkit tersebut merupakan

isolated murni dan sebagian lagi tersambung ke sistem transmisi 150 kV

melalui jaringan distribusi 20 kV. Pembangkit tersebut sebagian besar (99

persen) adalah jenis PLTD dengan menggunakan bahan bakar minyak (BBM).

Gambaran daya mampu dan daya terpasang pembangkit tertera pada tabel

II.32.

Tabel II.32Kapasitas Terpasang dan Daya Mampu Pembangkit

Wilayah Aceh Tahun 2008

NO. SYSTEM JENISDAYA

TERPASANG (MW)

DAYA MAMPU

(MW)I. GRID 150 Kv * 28.7 21.9

1 Sistem Sumut-Aceh PLTD 15.1 14.02 Sistem Sigli PLTD 13.6 7.9

II. SISTEM ISOLATED 114.2 73.31 Sistem Sabang PLTD 8.1 4.22 Sistem Takengon PLTD 12.8 8.33 Sistem Meulaboh PLTD 34.1 21.6

- Sewa Genset/rental PLTD 6.8 4.84 Sistem Sinabang PLTD 5.4 3.8

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-98

5 Sistem Blang Pidie PLTD 13.7 7.46 Sistem Tapaktuan PLTD 7.0 5.37 Sistem Kutacane PLTD 9.1 6.2

- PLTM Seupakat PLTM 1.9 1.68 Sistem Blangkejeren PLTD 5.4 3.79 Sistem Subulussalam PLTD 9.9 6.4

III.ISOLATED TERSEBAR 3.6 2.8(Pulau Aceh, Pusong, Pulau Balai, Kuala Baru, Haloban)

PLTD 3.6 2.8

TOTAL 146.5 98.0

Sumber : PLN (Persero) Wilayah Aceh

3. Sistem distribusi saat ini, telah mampu mendistribusikan energi listrik sampai

pelosok Aceh dengan rasio elektrifikasi sampai Desember 2008 sebesar 87,21

persen. Kualitas tegangan jaringan distribusi untuk beberapa lokasi masih di

bawah standar, hal ini disebabkan jaringan tegangan menengah (JTM) yang

terpasang mencapai 165 km dari Pusat Pembangkit/Gardu Induk, sehingga

tegangan pada sisi SUTM mencapai 16,5 kV dan pada sisi pelanggan

mencapai 170 volt.

4. Gardu Induk yang telah beroperasi sebanyak 7 (tujuh) unit berada di

sepanjang pantai timur yang disuplai dari system Transmisi 150/20 kV Sumut-

Aceh. Beban puncak total PLN wilayah Aceh pada tahun 2008 sebesar 255

MW dengan produksi sebesar 1.365 GWh. 70 persen dari produksi tersebut

diterima dari system intekoneksi 150 KVa Sumut-Aceh, komposisi beban

puncak digambarkan pada tabel II.33.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-99

Tabel II.33

Komposisi Beban Puncak pada Tahun 2008

NO. Sistem InterkoneksiProduksi DAYA

TERPASANG (MW)

Faktor Beban (%)[GWh] [%]

I. GRID 150 Kv 1017.5 74.5 178.8 66.08

1 Sistem Sumut-Aceh 553.3 40.5 104.7 60.3

2 Sistem Banda Aceh 359.6 26.3 55.4 74.1

3 Sistem Sigli 104.6 7.7 18.7 63.9

II.SISTEM ISOLATED

1 Sistem Sabang 17.6 1.3 2.9 69.4

2 Sistem Takengon 48.3 3.5 14.1 39.1

3 Sistem Meulaboh 104.5 7.6 23.0 51.8

4 Sistem Blang Pidie 36.2 2.6 7.0 59.0

5 Sistem Tapaktuan 26.7 2.0 4.8 63.4

6 Sistem Sinabang 15.2 1.1 2.7 64.8

7 Sistem Kutacane 40.2 2.9 8.6 53.3

4 Sistem Blangkejeren 12.3 0.9 3.0 47.0

5 Sistem Subulussalam 44.4 3.2 9.2 55.0

III.ISOLATED TERSEBAR 3 0.2 0.9 29.2

TOTAL 1365.9 100 255

Sumber : PLN (Persero) Wilayah Aceh

5. Penyaluran energi listrik dalam wilayah Aceh juga mengalami susut distribusi,

kehilangan energi listrik pada saat penyaluran dari pembangkit ke pelanggan

yang diakibatkan oleh berbagai faktor. Faktor penyebab susut distribusi

tersebut antara lain:

a. Faktor teknis adalah kehilangan energi listrik yang diakibatkan oleh kondisi

peralatan yang digunakan.

b. Faktor non teknis, diakibatkan dari kesalahan admisnistrasi dan pemakaian

listrik secara illegal.

6. SAIDI/SAIFI merupakan tolak ukur keandalan penyaluran energi listrik yang

meliputi lama dan jumlah pemadaman rata-rata yang dirasakan oleh

pengguna listrik dalam periode tertentu. Untuk tahun 2005, besarnya SAIDI

mencapai 2.203,77 menit/pelanggan, sedangkan SAIFI 45 kali/pelanggan.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-100

7. Pelayanan listrik pada daerah terpencil yang belum terjangkau oleh PT.PLN

dalam jangka pendek telah dilakukan beberapa upaya antara lain pemasangan

Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro

Hidro (PLTMH). Jumlah PLTS yang telah disebar pada 11 Kabupaten/Kota

sampai akhir tahun 2004 berjumlah 880 buah (50-120 WP), namun kondisinya

lebih dari 80 % telah mengalami kerusakan. PLTMH yang telah dibangun

dibeberapa Kabupaten seperti Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Barat, Aceh

Utara dan Aceh Timur hampir seluruhnya telah mengalami kerusakan

sehingga tidak dapat berfungsi lagi. Hal ini disebabkan oleh keadaan konflik

sehingga lokasi di pedalaman tidak mungkin dijangkau untuk pemantauan.

Penggunaan energi untuk pembangkitan tenaga listrik saat ini masih

bertumpu pada Bahan Bakar Minyak, kecuali sebagian kecil saja yang

memanfaatkan energi alternatif. Usaha pemanfatan sumber energi Non BBM

dalam skala besar seperti Power Plant Nagan Raya 2 x 100 MW sedang dalam

proses tender, PLTA Peusangan 2 x 43 MW dilanjutkan kembali pembangunannya

setelah beberapa tahun terhenti. PLTP Jaboi 1 x 50 MW, PLTP Seulawah Agam 1 x

180 MW dan PLTU Krueng Raya 1 x 100 MW sedang dalam tahap pembuatan

Feasibility Study.

Sampai saat ini kegaiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan antara lain

Inventarisasi Lokasi Pengembangan Energi, Survey Pendahuluan Geothermal

Seulawah Agam, Penyusunan Rancangan Qanun Kelistrikan, Pembangunan PLTMH

untuk Pengembangan Listrik Pedesaan.

Usaha pertambangan umum di Pemerintah Aceh dimulai pada tahun 1985

oleh PT. Rao Kencana sebagai pemegang Kuasa Pertambangan (KP) bahan galian

timah hitam Lokop Aceh Timur. Di susul PT. Samana Citra Agung sebagai

pemegang KP untuk bahan galian pasir besi di Lamapanah/Leungah Kecamatan

Seulimum Kabupaten Aceh Besar. Kemudian secara berturut-turut tampil investor

lainnya, yaitu PT. Ara Tutut sebagai pemegang KP bahan galian emas dan PT.

Bintang Purna Manggala sebagai pemegang KP Batubara yang keduanya berlokasi

di kabupaten Aceh Barat, sedangkan PT. Pulau Peunasi Mineral merupakan

pemegang KP bahan galian emas di Pulau Nasi Kabupaten Aceh Besar.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-101

Perizinan dalam bentuk Kontrak Karya (KK) mulai beroperasi di Aceh pada

tahun 1995 yang dipelopori oleh PT. Miwah Tambang Emas. Perjanjian Karya

Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) ada dua perusahaan yang

beroperasi di Kabupaten Aceh Barat pada tahun 1996/1997, yaitu PT.

Meulaboho Energitama dan PT. Aceh Resources and Mineral Coorporation.

Tahun 2005 perkembangan usaha pertambangan Mineral dan Batubara di

Aceh mengalami peningkatan yang cukup berarti, data rekapitulasi jumlah usaha

pertambangan menunjukkan bahwa jumlah Kuasa Pertambangan (KP) sebanyak

25 terdiri atas 11 Pertambangan Batubara, 8 Pertambangan Emas, 2

Pertambangan Timah Hitam, 2 Pertambangan Bijih Besi, 1 Pertambangan Pasir

Besi dan 1 Kontrak Karya Pertambangan Emas dan Mineral pengikutnya.

Khusus untuk pertambangan Pasir Besi yang telah memasuki tahap

Eksploitasi dan Kontrak Karya Pertambangan Emas Eksplorasi, merupakan usaha

pertambangan yang selama ini dikelola oleh Pemerintah Pusat karena proses

perizinannya dilakukan sebelum masa Otonomi Daerah.

Sumber penerimaan daerah bukan pajak yang berasal dari usaha

pertambangan umum adalah berupa iuran tetap (Land Rent/Dead Rent), Iuran

Eksploitasi/Produksi (Royalty) dan Iuran Eksplorasi. Iuran Tetap adalah iuran yang

dibayarkan kepada negara sebagai imbalan atas kesempatan penyelidikan umum,

Eksplorasi atau Eksploitasi pada suatu wilayah kuasa pertambangan. Iuran

Eksploitasi adalah Iuran Produksi yang dibayarkan kepada negara atas hasil yang

diperoleh dari usaha pertambangan Eksploitasi sesuatu atau lebih bahan galian.

Besarnya bagi hasil penerimaan pertambangan umum berdasarkan Undang-

Undang Nomor 25 tahun 1999 adalah sebagai berikut: Iuran Tetap/Landrent:

Pusat 20 persen, Provinsi 16 persen dan Kabupaten/Kota 64 persen. Iuran

Produksi/Royalty : Pusat 20 persen, Provinsi 16 persen, Kabupaten/Kota penghasil

32 persen dan Pemerataan Kabupaten/Kota 32 persen. Mekanisme pembayaran

iuran-iuran tersebut selama ini yaitu disetorkan langsung oleh perusahaan yang

bersangkutan 100 persen ke Kas Negara, dan kemudian Pemerintah

mendistribusikannya kepada Provinsi dan Kabupaten/Kota sesuai proporsinya.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-102

Program/kegiatan dalam bidang pertambangan adalah Pengawasan

terhadap Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan serta pendataan

sumur bor tanpa izin, Survei Cadangan Migas dalam 4 Blok, Pengawasan Usaha

Pertambangan, Pembangunan Pabrik Bahan Galian Posphat di Aceh Tamiang,

Pertemuan Pengusaha Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan,

Bantuan Peralatan bagi usaha Pertambangan Rakyat, , Pemboran Air Bawah

Tanah, Pemeliharaan Sumur Bor, Survey Pendahuluan Cadangan Batu Bara, Kab.

Aceh Barat, Intensifikasi Pengelolaan Penerimaan Migas Pemerintah Aceh,

Penyusunan Rancangan Qanun Pertambangan Umum.

Jumlah sumur bor yang telah dibangun sebanyak 84 unit, kondisi saat ini

rusak sebanyak 6 unit disebabkan oleh tsunami dan 1 unit akibat teknis

operasional. Untuk masa yang akan datang perlu diaktifkan kembali usaha

pertambangan yang telah terhenti dan mempercepat eksplorasi potensi tambang

bagi perusahaan yang telah memegang izin dan kepada perusahaan yang tidak

melakukan aktifitas eksplorasi akan diambil tindakan. Pendataan kembali hasil

produksi di bidang pertambangan, pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan

pertambangan umum dan rakyat akan ditingkatkan. Selanjutnya direncanakan

pembangunan sumur bor dan sumur pantau pada daerah-daerah yang kritis air,

pengawasan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan ditingkatkan,

sosialisasi peraturan pemboran air bawah tanah, survei potensi tambang,

pembinaan dan bantuan teknis serta peralatan bagi usaha pertambangan rakyat

dan penyelesaian beberapa Qanun yang terkait dengan pertambangan.

2.6.7 Kebencanaan

Terjadinya bencana di Aceh tidak terlepas dari masih belum cukup baiknya

pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Pencemaran dan kerusakan

lingkungan seperti pengrusakan hutan, pencemaran air, udara, tanah dan

terjadinya penggalian tambang merupakan indikasi penurunan kualitas

lingkungan di beberapa Kabupaten/Kota seperti Aceh Besar, Lhokseumawe, Pidie,

Pidie Jaya, Aceh Utara, Bener Meriah dan Aceh Tamiang. Turunnya kualitas

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-103

lingkungan dapat merupakan salah satu potensi ancaman yang harus

diperhitungkan sedini mungkin.

Potensi bencana di Aceh diprediksikan tidak akan berkurang secara

signifikan. Pada dasarnya semua jenis bencana, baik yang disebabkan oleh alam

dan non alam selalu berpotensi mengancam kehidupan,korban jiwa, kerusakan

lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis bagi masyarakat.

Mengingat kondisi geografis, geologis, hidrologis dan demografis Aceh maka

diperlukan suatu upaya menyeluruh dalam rangka penanggulangan bencana, baik

ketika bencana itu terjadi, sudah terjadi, maupun bencana yang berpotensi di

masa yang akan datang. Hal tersebut merupakan bentuk tanggung jawab

pemerintah Aceh dalam melindungi segenap warga dengan tujuan untuk

memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan, termasuk

perlindungan atas korban bencana.

1. Geologis

Aceh berada di jalur penunjaman dari pertemuan lempeng Asia dan

Australia, serta berada di bagian ujung patahan besar Sumatera yang membelah

pulau Sumatra dari Aceh sampai Selat Sunda; menyebabkan Aceh memiliki catatan

bencana geologis yang cukup panjang. Kejadian bencana geologis di Aceh dapat

dilihat di Gambar II.1.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-104

Gambar II.1 Peta Kejadian Bencana Geologis di Aceh

(Sumber data: Badan Penanggulangan Bencana Aceh)

Sumber : Badan Penanggulangan Bencana Aceh

Kejadian tsunami di Aceh pernah terjadi pada tahun 1797, 1891, 1907 dan

2004. Kejadian tsunami 26 Desember 2004 mengakibatkan 126.915 jiwa

meninggal, 37.063 jiwa hilang, kira-kira 100.000 jiwa menderita luka berat dan

luka ringan disertai 517.000 unit rumah hilang.

Kabupaten/Kota yang pernah mengalami kejadian tsunami adalah Banda

Aceh, Aceh Jaya, Aceh Besar, Aceh Barat, Sabang, Nagan Raya, Aceh Barat Daya,

Simeulue, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Utara, dan Aceh Timur

ancaman ini akan tetap terjadi di Kabupaten/Kota yang sama.

Gempa bumi yang terjadi selama kurun waktu 2005-2009 di Aceh sebanyak

27 kali. Kejadian diprediksi akan berulang karena Aceh berada diatas tumbukan

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-105

lempeng dan patahan. Dampak yang ditimbulkan selama kurun waktu tersebut

yaitu korban jiwa sebanyak 62 orang, kerusakan harta benda diperkirakan

mencapai 25 – 50 Miliar rupiah, kerusakan sarana dan prasarana 20 – 40 persen,

sedangkan cakupan wilayah yang terkena gempa sekitar 60 – 80 persen, dan 5

persen berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat (terganggunya

mata pencaharian). Kabupaten/Kota yang diperkirakan akan terkena dampak

adalah: Kota Banda Aceh, Kab. Aceh Jaya, Kab. Aceh Barat, Kab. Nagan Raya,

Kab. Simeleu, Kab. Aceh Barat Daya, Kab. Singkil, Kab. Aceh Selatan, Kota

Subulussalam, Kota Sabang, Kab. Aceh Besar, Kab. Pidie, Kab. Aceh Tengah, Kab.

Gayo Luwes dan Kabupaten Aceh Tenggara.

Letusan gunung api merupakan bagian dari aktivitas vulkanik yang dikenal

dengan istilah “erupsi”. Hampir semua kegiatan gunung api berkaitan dengan zona

penunjaman lempeng dan kegempaan aktif.

Di Aceh terdapat 3 gunung api tipe A, yaitu gunung Peut Sagoe di

Kabupaten Pidie, Gunung Bur Ni Telong di Kabupaten Bener Meriah dan gunung

Seulawah Agam di Kabupaten Aceh Besar. Sejarah letusan gunung api di Aceh

yang pernah terjadi dapat di lihat di Tabel II.34.

Tabel II.34Bencana Gunung Api Aceh

No Nama Gunung Kejadian dan Korban1 Gunung Peut Sagoe Tahun 1919, 1920, 1978, 1998 tidak

ada catatan korban jiwa.2 Gunung Bur Ni Telong Tahun 1837, 1839, 1856, 1919, dan

1924, dan tidak ada catatan korban jiwa

3 Gunung Seulawah Agam Tahun 1600, 1839 dan 1975, dan tidak ada catatan korban jiwa

Sumber: Pusat Vulkanologi & Mitigasi Bencana, Badan Geologi

Tanah longsor yang terjadi selama kurun waktu 2007-2009 di Aceh

sebanyak 26 kali. Dampak kerusakan harta benda yang ditimbulkan diperkirakan

mencapai 50 – 100 Miliar rupiah, kerusakan sarana dan prasarana 20 – 40 persen,

sedangkan cakupan wilayah yang terkena longsor sangat luas 20 – 40 persen,

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-106

serta berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat (terganggunya

mata pencarian) sebesar 5 – 10 persen.

Kabupaten/Kota yang diprediksi masih akan mengalami kejadian ini adalah:

Kota Sabang, Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Aceh Selatan,

Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Aceh Timur,

Kabupaten Gayo Luwes, Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Aceh Singkil dan

Kabupaten Simeleu.

Sedangkan Kabupaten/Kota yang melaporkan kejadian tanah longsor dalam

3 (tiga) tahun terakhir adalah Sabang, Subulussalam, Bireuen, Nagan Raya, Aceh

Barat, Aceh Selatan, Pidie, Aceh Utara, Aceh Tengah, Gayo Lues, Bener Meriah,

Aceh Barat Daya, dan Aceh Timur. Kejadian ini mengakibatkan 300 unit rumah

rusak, 165 Ha Kebun/Sawah rusak, 6.2 Ha hutan rusak, dan 55.25 km jaringan

jalan/bendungan.

2. Hidro-meteorologis

Aceh memiliki tingkat kompleksitas hidro-meteorologis yang cukup tinggi.

Dimensi alam menyebabkan Aceh mengalami hampir semua jenis bencana hidro-

meteorologis seperti puting beliung, banjir, abrasi dan sedimentasi, badai siklon

tropis serta kekeringan.

a. Puting Beliung

Kejadian puting beliung sering ditemui di wilayah Aceh, hingga saat ini masih

sulit diprediksi lokasi dan waktu kejadian bencana puting beliung. Puting

beliung terjadi di Aceh hampir merata di berbagai daerah. Data kejadian 3

tahun terakhir (dari tahun 2006-2009) terjadi 30 kali bencana puting beliung

di 14 Kabupaten Kota. Kabupaten Aceh Utara mencatat kejadian tertinggi

dibandingkan Kabupaten Kota lainnya.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-107

Untuk melihat kabupaten/kota di Aceh yang rawan bencana geologis dapat

dilihat di Gambar II.2.

Gambar II.2. Peta Kejadian Bencana Hidro-meteorologis di Aceh

Sumber : Badan Penanggulangan Bencana Aceh

b. Banjir

Banjir hampir merata terjadi di berbagai wilayah Aceh, data kejadian 3 tahun

banjir (dari tahun 2006-2009) terjadi 106 kali bencana banjir di 22 dari 23

Kabupaten Kota. Elemen berisiko yang rentan ketika terjadi banjir adalah

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-108

lahan pertanian, peternakan, perdagangan dan jasa di 22 kabupaten/kota di

Aceh, kecuali Kabupaten Simeulu.

Kabupaten Aceh Utara tercatat kejadian tertinggi dibandingkan

Kabupaten/Kota lainnya. Kabupaten kota lain yang terkena bencana banjir

adalah Lhokseumawe, Tamiang, Aceh Besar, Bireuen dan Nagan Raya,

Sabang, Aceh Barat Daya, Aceh Barat, Subulussalam, Singkil, Gayo Lues, Aceh

Tengah, Bener Meriah, Aceh Tenggara, Aceh Tamiang, Aceh Timur, dan

Langsa.

c. Abrasi, Erosi dan Sedimentasi.

Abrasi pada 10 tahun terakhir terjadi di pantai barat Aceh yang meliputi

Kabupaten Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Jaya, Aceh Selatan, Aceh Singkil,

dan Aceh Besar. Di pesisir utara dan timur Aceh bencana abrasi terjadi di

Kabupaten Pidie, Pidie Jaya, Aceh Utara, Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Timur,

dan Langsa.

Kejadian erosi ini ditemui di Aceh Tenggara (Sungai Lawe Alas), Aceh Tengah

(Kawasan Danau Laut Tawar), Tamiang (Krueng Tamiang), Aceh Utara

(Krueng Pase), Bireuen (Krueng Peusangan), Aceh Besar (Krueng Aceh), Pidie

(Krueng Tiro, Krueng Baro), Pidie Jaya (Krueng Beuracan), Aceh Barat

(Krueng Meureubo), dan Nagan Raya (Krueng Tripa).

Akibat sedimentasi yang terjadi dapat mengganggu perekonomian

masyarakat, dangkalnya jalur pelayaran, rusaknya ekosistem terutama

terumbu karang dan transportasi. DAS yang mengalami dampak sedimentasi

besar pada sungai Krueng Aceh, Krueng Peusangan, Sungai Tamiang dan

sungai Krueng Meurebo. Sedimentasi juga terjadi di danau-danau yang ada di

Aceh.

d. Badai Siklon Tropis.

Aceh hingga saat ini mencatat bahwa belum ada jenis badai siklon yang

langsung melanda kawasan Aceh. Namun demikian, ekor dari badai-badai

yang biasanya tumbuh di kawasan Lautan Hindia sering memberi dampak

terutama di kawasan pesisir Barat dan Selatan Aceh.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-109

Potensi badai dapat terjadi di seluruh Kabupaten/Kota yang berada di pesisir

pantai, yaitu Kota Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Kota

Lhokseumawe,Aceh Utara, Aceh Timur, Kota Langsa, Tamiang, Aceh Jaya,

Aceh Barat, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, dan Aceh Singkil.

e. Kekeringan

Daerah yang sering kali mengalami kekeringan yaitu kabupaten Aceh Besar,

Pidie, Pidie Jaya, Bireun, Aceh Utara, Lhokseumawe, Aceh Timur, dan

Tamiang. Meskipun hingga saat ini belum tercatat jumlah korban jiwa akibat

bencana kekeringan di Aceh, dampak kekeringan cukup berkontribusi

terhadap produktifitas pertanian.

3. Bencana Sosial dan Kesehatan

Kejadian bencana sosial yang menonjol di Aceh adalah konflik yang berlatar

belakang ideologi dan ekonomi, serta Kejadian Luar Biasa (KLB) seperti penyakit

menular dan atau tidak menular yang dipicu oleh perilaku manusia itu sendiri. Perlu

keseimbangan pemanfaatan sumber daya alam dalam pembangunan fasilitas

infrastruktur, transportasi umum, permukiman dengan melihat sejarah

kebencanaan, sehingga didapatkan efisiensi ekonomi dalam mengantisipasi

Millenium Development Goals (MDGs) 2015. Secara tidak langsung Aceh dapat

menjadi tempat pembelajaran tentang kebencanaan dan sebagai laboratorium

alam.

a. Konflik

Aceh mempunyai sejarah panjang tentang konflik antar kelompok dan atau

antar golongan masyarakat. Konflik yang pernah terjadi di Aceh Seperti Perang

Cumbok (1945-1946), Pemberontakkan DI/TII (1953-1962) dan juga yang

paling lama adalah Gerakan Aceh Merdeka (1976-2005). Dari ketiga konflik

yang ada di Aceh hampir semuanya dilatar belakangi oleh perbedaan

pandangan politik. Semua hal diatas merupakan suatu pembelajaran yang

dapat menjadi contoh bagi daerah atau Negara lain untuk penyelesaiaan

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-110

masalah konflik. Diperlukan suatu kompetensi tentang modul-modul

penyelesaian konflik pada pendidikan formal maupun non-formal.

b. Kebakaran

Data yang dihimpun WALHI Aceh, kebakaran ladang dan atau hutan di Aceh

pada tahun 2008, tercatat 395 titik api, angka ini terbanyak kedua untuk

Provinsi di pulau Sumatera. Titik api tersebut terdapat di Kabupaten Aceh

Barat, Aceh Jaya, Singkil, dan Aceh Tengah. Kebakaran lahan gambut juga

sering terjadi, antara lain di perbatasan Kabupaten Aceh Barat – Aceh Jaya,

yakni di kawasan Desa Leuhan, Kecamatan Johan Pahlawan, Meulaboh.

Disamping kebakaran lahan atau hutan, Aceh juga mengalami frekuensi

kebakaran pemukiman yang cukup tinggi. Data semester pertama di tahun

2008 menunjukkan bahwa bencana kebakaran perumahan/pemukiman telah

menimbulkan luka ringan 5 jiwa luka berat 7 jiwa, mengungsi 1.228 jiwa dan

meninggal dunia 10 jiwa (Satkorlak Aceh, 2009) dengan wilayah kejadian

tersebar di 11 kabupaten/kota. Pengamatan sekilas kejadian kebakaran di

permukiman dan atau pasar pada umumnya disebabkan oleh hubungan

singkat arus listrik.

c. Wabah Penyakit.

Data Dinas Kesehatan Aceh menunjukkan Kota Banda Aceh menonjol dalam

penyakit DBD dan flu H1N1; Kabupaten Aceh Utara menonjol dalam Diare dan

HIV/AIDS, penyakit malaria paling banyak ditemukan di Kabupaten Aceh Besar,

lumpuh layu dan tetanus neonatorum banyak ditemukan di Kabupaten Pidie.

Kasus Diare banyak menyerang golongan umur anak-anak terutama balita, hal

ini dapat mempengaruhi perkembangan pertumbuhan dan status gizi anak.

Kasus Diare pada tahun 2007 berjumlah 100.789 orang dan Jumlah kasus

diare pada Balita 45.157 orang, Semua Kabupaten/Kota merupakan daerah

yang rawan diare pada balita terutama kasus yang sering terjadi di Pidie, Aceh

Utara, Bireun, Aceh Timur, Aceh tengah, Aceh Tamiang dan Kota

Lhokseumawe.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-111

Demam Berdarah Dengue (DBD) pada tahun 2007 jumlah kasus sebesar 1.724

kasus dan menyebar di 16 (enam belas) Kabupaten/Kota. Kabupaten/kota

yang rawan terhadap DBD adalah: Kota Banda Aceh, Aceh Besar, kota

Lhokseumawe, Kota Langsa, Aceh Barat, Aceh Tamiang dan Aceh Pidie, Biruen,

Aceh Utara.

d. Kegagalan Teknologi.

Kegagalan teknologi adalah semua kejadian yang diakibatkan oleh kesalahan

desain, pengoperasian, kelalaian dan kesengajaan manusia dalam penggunaan

teknologi dan/atau industri. Aceh mempunyai beberapa industry strategis

seperti pabrik Pupuk Iskandar Muda (PIM) dan kilang LNG Arun di Kabupaten

Aceh Utara, PT SAI di Aceh Besar yang mempergunakan teknologi tinggi dalam

proses produksi dan berpotensi mengalami kegagalan ataupun kecelakaan

yang berdampak bagi lingkungan sekitarnya. Disamping itu beberapa

penggunaan teknologi lain seperti transportasi, pengolahan kelapa sawit dan

karet mempunyai potensi ancaman yang sangat nyata bagi masyarakat Aceh.

Data 10 tahun terakhir tidak tercatat kejadian bencana akibat kegagalan

teknologi baik karena teknologi itu sendiri ataupun akibat sabotase.

2.7 Pemerintahan Umum

2.7.1 Pemerintahan Aceh

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah serta Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU-PA) memberikan implikasi yang

mendasar dan mengarah pada reformasi kelembagaan dan manajemen publik.

Untuk mendukung pelaksanaan Pemerintahan Aceh ke depan, maka perlu

ditunjang dengan tersedianya sumberdaya manusia aparatur yang profesional dan

proporsional agar mutu pelayanan dapat ditingkatkan. Dengan demikian kontrol

hirarkis dalam organisasi dialihkan ke tangan para aparatur yang berhadapan

langsung dengan pelayanan masyarakat. Dalam konteks pemberdayaan organisasi

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-112

lokal, hendaknya kontrol aturan dan kontrol administrasi dari tingkat pusat

dikurangi agar memiliki keleluasaan bekerja untuk mengendalikan pemerintahan

dan mengembangkan kemampuan organisasinya.

Pemerintah Provinsi Aceh mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk

melakukan pemberdayaan, pembangunan, monitoring evaluasi serta pelayanan

publik secara profesional. Untuk terlaksananya tata kelola pemerintahan yang baik

(good governance), Pemerintah Aceh akan menggunakan seluruh tenaga dan

kemampuan sumberdaya aparatur yang handal dan potensial dibidangnya sesuai

dengan kompetensi yang ada.

Ditinjau dari tingkat pendidikan formal jumlah Aparatur Daerah/Pegawai

Negeri Sipil didominasi sarjana (S1), jumlah ini relatif baik namun masih perlu

dianalisis berdasarkan kualifikasi, potensi teknis dan penempatan pada bidang

terkait, berikut rincian jumlah jenjang pendidikan formal aparatur/PNS Tahun

2009:

TABEL. II.35RINCIAN JEJANG PENDIDIKAN PNS

PADA PEMERINTAH ACEH

NO. PENDIDIKAN JUMLAH

1.2.3.4.5.6.7.8.9.10.

Doktor (S3)Pasca Sarjana (S2)Sarjana (S1)Sarjana (DIV) . Diploma (DIII)Diploma (DII)Diploma (DII)SLTA Sederajat .SLTPSD

4 orang630 orang

3.835 orang9 orang

1.086 orang17 orang15 orang

2.604 orang185 orang66 orang

Jumlah 8.451 orang

Sumber : Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Aceh (tahun 2009)

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-113

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor. 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh khususnya yang berkaitan dengan pasal 107, Pemerintah

Pusat dalam hal ini Menteri Dalam Negeri memiliki kawajiban untuk menyusun

rancangan peraturan pemerintah tentang kewenangan, mekanisme dan prosedur

pengangkatan dan pemberhentian sekretaris daerah provinsi dan sekretaris

kabupaten/kota serta pengaturan tentang pembinaan karir Aparatur

Daerah/Pegawai Negeri Sipil pada umumnya.

Pola pembinaan karir terhadap Aparatur Daerah/Pegawai Negeri Sipil

Pemerintah Aceh harus tetap mengacu kepada pola pembinaan dan

pengembangan karir Aparatur Daerah/Pegawai Negeri Sipil secara nasional yang

pada dasarnya merupakan wewenang dan tanggung jawab Presiden. Agar supaya

sasaran dan arah pembinaan karir Pegawai dilingkungan Pemerintah Aceh dapat

terwujud sebagaimana yang kita harapkan dan masih tetap dalam bingkai NKRI.

Berikut pada tabel II.35 disajikan jumlah dan komposisi Aparatur

Daerah/Pegawai Negeri Sipil pada Kabupaten/Kota sebanyak 75.468 orang (tahun

2009) dengan rincian masing-masing di bawah ini:

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-114

TABEL. II.36JUMLAH PNS PADA PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

DI PROVINSI ACEH

NO. KABUPATEN/KOTA JUMLAH

1.2.3.4.5.6.7.8.9.10.11.12.13.14.15.16.17.18.19.20.21.

Kota Banda AcehKota SabangKabupaten Aceh BesarKabupaten PidieKabupaten BireunKabupaten Aceh UtaraKota LhokseumaweKabupaten Aceh TengahKabupaten Bener MeriahKabupate Aceh TimurKabupaten AcehTamiangKabupaten Kota LangsaKabupaten Aceh TenggaraKabupaten Gayo Lues Kabupaten Aceh Singkil Kabupaten Aceh Selatan Kabupaten Aceh Barat DayaKabupaten Nagan RayaKabupaten Aceh BaratKabupaten Aceh JayaKabupaten Simelue

5.605 orang1.530 orang7.032 orang9.295 orang6.310 orang6.917 orang1.911 orang3.891 orang1.625 orang5.218 orang2.534 orang2.733 orang3.658 orang1.084 orang1.920 orang3.617 orang1.893 orang2.135 orang3.960 orang1.157 orang1.443 orang

Sumber : Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Aceh (tahun 2009)

Dari gambaran umum di atas bahwa ketersedian tenaga PNS pada

kabupaten/kota masih relatif belum memadai baik kualitas maupun kuantitas SDM,

terutama pada daerah kabupaten pemekaran. Permasalahan ini akan berdampak

pada proses percepatan pembangunan dan perbaikan pelayan publik pada level

Pemerintahan Kecamatan dan Pemerintahan Desa. Sebagai institusi yang langsung

berhadapan dengan masyarakat, kinerja pemerintahan desa masih relatif belum

memadai, dimana sebanyak 6.219 desa dan kelurahan yang ada di Provinsi Aceh

terdapat 874 kantor dalam keadaan baik dan 1257 rusak sedangkan kantor desa

yang belum ada sebanyak 4.115 unit.

Sedangkan pada tingkat kemukiman, jumlah mukim sebanyak 731 mukim,

kantor yang sudah dibangun dan dalam keadaan baik hanya berjumlah 21 unit

dan sisanya sebanyak 681 mukim belum tersedia kantor. Disisi lain, penempatan

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-115

atau distribusi Aparatur Daerah/Pegawai Negeri Sipil belum juga merata disamping

sarana dan prasarana belum memadai terutama pada kabupaten pemekaran,

sehingga mengakibatkan kualitas pelayanan publik belum berjalan secara optimal.

Sejalan dengan dinamika pembangunan, dalam penyelenggaraan

Pemerintahan terdapat berbagai hambatan antara lain (1) hambatan politik,

ekonomi, dan lingkungan, (2) kelemahan institusi, (3) ketidakmampuan SDM di

bidang teknis dan administrasi, (4) kekurangan dalam bentuk teknis, (5)

kurangnya desentralisasi dan partisipasi, (6) pengaturan waktu (timing), (7) sistim

informasi yang kurang mendukung, (8) perbedaan agenda tujuan antara aktor

dan, (9) dukungan yang berkesinambungan.

Pelaksanaan pembangunan tidak terlepas dari perubahan dan

perkembangan kondisi ekologi administrasi publik, terutama tantangan yang perlu

mendapatkan perhatian dan penyesuaian-penyesuaian dalam penerapan strategi

pembangunan meliputi: Penerapan UU-PA; Globalisasi informasi; Netralitas

Pegawai Negeri; Sistem politik; Perdagangan bebas dan semangat reformasi

dengan segala implikasinya. Dalam hubungan ini kualitas perencanaan

pembangunan diharapkan dapat menjawab tantangan perubahan tersebut dengan

tetap berpijak pada strategi pembangunan berkelanjutan yang didukung dengan

konsep pembangunan manusia (human development).

Pemerintahan Aceh bertugas menjalankan MoU Helsinky dan amanat

UU-PA/2006 diberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab

kepada Penyelenggaraan pemerintah di Aceh secara proporsional. Artinya,

pelimpahan tanggung jawab akan diikuti oleh pengaturan pembagian, dan

pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan

keuangan pusat dan daerah. Disisi lain isu-isu dalam pemerintahan Aceh adalah

isu demokratisasi, good governance (bebas KKN), hak asasi, kelangsungan bumi

dan lingkungan. Atas berbagai tuntutan demikian, diperlukan suatu strategi

dengan formula kebijakan yang cerdas, berani dan terukur serta visioner dalam

kerangka kelangsungan dan keutuhan bangsa di masa-masa mendatang.

Terdapat tiga aspek utama yang mendukung keberhasilan Pemerintahan

Aceh, yaitu pengawasan, pengendalian, dan pemeriksaan. Ketiga hal tersebut

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-116

pada dasarnya berbeda baik konsep maupun aplikasinya. Pengawasan mengacu

pada tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh pihak lain diluar eksekutif (yaitu

masyarakat dan DPRA/DPRK) untuk mengawasi kinerja pemerintahan.

Pengendalian adalah mekanisme yang dilakukan oleh eksekutif (Pemerintahan

Aceh) untuk menjamin dilaksanakannya sistem dan kebijakan manajemen

sehingga tujuan organisasi dapat tercapai. Pemeriksaan (audit) merupakan

kegiatan yang dilakukan oleh pihak yang memiliki independensi dan memiliki

kompetensi profesional untuk memeriksa.

Kemampuan aparatur daerah dalam mejalankan otonomi akan menghadapi

berbagai tantangan, terutama dalam rangka meningkatkan PAD, melayani

investasi domestik maupun asing, menyusun perencanaan strategi pembangunan

dearah dan mengelola proses pelaksanaan pembangunan. Tantangan ini hanya

akan mampu dihadapi oleh pemerintahan Aceh (baik eksekutif maupun legislatif)

yang bervisi strategik dengan melibatkan peran serta masyarakat.

Permasalahan yang perlu mendapat perhatian dan prioritas kedepan adalah :

1. Penyelesaian peraturan-peraturan daerah/qanun sebagaimana yang

diamantkan oleh UUPA.

2. Belum terimplementasinya ketentuan (regulasi) secara optimal

3. Terbatasnya Alokasi Anggaran dari Pemerintah Pusat/Povinsi/ Kabupaten/Kota

ke Pemerintahan Kecamatan, Mukim dan Gampong

4. Masih kurangnya tenaga dan kemampuan sumberdaya aparatur yang handal

dibidangnya.

5. Penyebaran Aparatur Daerah/Pegawai Negeri Sipil belum merata antara satu

kabupaten dengan kabupaten lainnya.

Pada konteks pelayanan publik, perbaikan dan peningkatan

kelembagaan/instiusi perlu ditindaklanjuti seperti pelayanan satu atap (one top

service) dan peningkatan kelembagaan pada level pemerintahan kecamatan

hingga ke pemerintahan gampong yang langsung berhadapan dengan masyarakat

(front-line employees).

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-117

2.7.2 Pemerintahan Mukim

Pemerintahan mukim yang pernah berjaya sejak zaman kesultanan, zaman

penjajahan dan diawal kemerdekaan. Lembaga Mukim menjadi tidak berdaya

setelah Pemerintah memberlakukan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1974 tentang

Pemerintahan di Daerah dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang

Pemerintahan Desa, kedua Undang-undang tersebut menganut sistem

penyeragaman bentuk dan susunan Pemerintahan Daerah dan Desa secara

Nasional sehingga Mukim di Aceh tidak diakui lagi sebagai salah satu strata

Pemerintahan di Propinsi Daerah Istimewa Aceh.

Setelah melalui perjuangan panjang dan melelahkan dengan segala daya

upaya akhirnya Pemerintahan Mukim di Aceh telah diakui kembali secara nasional.

Pengakuan tersebut tertuang langsung dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun

2001 tentang Otonomi khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai

Provinsi Aceh dan dipertegas dengan undang-undang Nomor 11 Tahun 2006

tentang Pemerintahan Aceh.

Bahwa dengan pemberlakuan Otonomi khusus di Provinsi Aceh, mukim

sudah dikukuhkan kembali menjadi lembaga pemerintahan dalam sistem

penyelenggaraan pemerintahan daerah di Aceh. Mukim adalah kesatuan

masyarakat hukum di Aceh yang terdiri dari beberapa gampong yang mempunyai

batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung

dibawah Kecamatan/Sagoe Cut atau nama lain yang dipimpin oleh Imuem Mukim.

Oleh karena itu Mukim mempunyai kewenangan yang luas dalam rangka

menyelenggarakan Pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan

kemasyarakatan dan pelaksanaan Syari’at Islam.

Pemerintah Aceh telah menetapkan kebijakan yang sangat strategis yaitu

menetapkan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003

tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dimana

Qanun tersebut harus di implementasikan dalam Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-118

2.7.3 Pemerintahan Gampong

Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tantang Pemerintahan

Daerah ditegaskan bahwa Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya

disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas

wilayah yang berwewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan

masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang

diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Pemerintah Aceh diberikan kewenangan secara luas dan leluasa untuk

menata sistem Pemerintahan Daerah sesuai dengan nilai-nilai luhur masyarakat

Aceh sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh. Implementasi ketentuan dalam Undang-undang tersebut,

sebelumnya telah ditetapkan Qanun (Perda) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong. Oleh karena itu di Provinsi

Aceh istilah lain dari Desa adalah Gampong.

Gampong sebagai kesatuan masyarakat hukum memiliki hak dan kekuasaan

dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat terutama

dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat memiliki peran dan posisi yang

strategis, karena :

1. Mempunyai susunan Pemerintahan asli berdasarkan hak asal usul yang bersifat

istimewa.

2. Penyelenggaraan Pemerintahan Gampong merupakan sub sistem dari

penyelenggaraan Pemerintah Aceh dan juga sub sistem Pemerintahan

Nasional.

3. Gampong dapat melakukan perbuatan hukum, baik hukum politik, hukum

perdata maupun hukum adat, memiliki harta kekayaan, harta benda, dan

bangunan serta dapat dituntut dan menuntut di Pengadilan.

4. Sebagai perwujudan Demokrasi, di Gampong dibentuk Tuha Peut atau sebutan

lain sabagi Lembaga yang menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat

serta mengawasi jalannya Pemerintahan Gampong.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-119

5. Di Gampong dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan sesuai dengan

kebutuhan yang merupakan mitra kerja Pemerintahan Gampong.

6. Gampong memiliki sumber pembiayaan.

7. Geuchik mempunyai wewenang untuk mendamaikan perkara/sengketa dari

pada warganya dan adat dan sengketa adat lainnya.

8. Gampong merupakan titik konsentrasi pelaksanaan Syari’at Islam.

Secara obyektif keberadaan Pemerintahan Mukim dan Gampong, Tuha Peut

dan Lembaga Kemasyarakatan Mukim dan Gampong dalam melaksanakan

kegiatannya untuk mewujudkan kemandirian serta kesejahteraan masyarakat

sebagaimana dimaksudkan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004, Qanun Nomor 4

Tahun 2003 dan Qanun Nomor 5 Tahun 2003 masih belum optimal.

Beberapa permasalahan yang dihadapi Pemerintahan Mukim dan Gampong

adalah sebagai berikut:

1. Belum optimalnya penyelenggaraan pemerintahan Mukim dan Gampong dalam

memberikan pelayanan kepada masyarakat.

2. Masih terbatasnya peran Tuha Peut dalam menampung dan menyalurkan

aspirasi masyarakat serta mendorong peran aktif masyarakat.

3. Masih terbatasnya kemampuan Lembaga Kemasyarakatan Mukim dan

Gampong dalam menggalang partisipasi dan swadaya gotong royong

masyarakat.

4. Kurang berkembangnya usaha ekonomi masyarakat baik di Gampong maupun

di tingkat Kemukiman.

5. Sangat terbatasnya sarana dan prasarana perkantoran Pemerintahan Mukim

dan Gampong.

6. Keswadayaan dan kemandirian masyarakat belum dioptimalkan dalam

membangun, memanfaatkan, memelihara dan mengembangkan hasil-hasil

pembangunan.

7. Peraturan perundang-undangan yang dibutuhkan belum lengkap.

8. Fasilitasi Pemerintah dan Pemerintah Daerah sering terlambat.

9. Kualitas aparatur Pemerintahan Mukim dan Gampong dan Tuha Peut sangat

terbatas.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-120

10.Sangat terbatasnya kesejahteraan aparat Pemerintahan Mukim dan Gampong

dan Tuha Peut.

11.Terjadinya inkonsistensi aturan dan kewenangan.

Bertolak dari berbagai permasalahan tersebut Pemerintah dan Pemerintah

Daerah sangat mendesak untuk melakukan berbagai kegiatan untuk lebih

memantapkan, menguatkan dan mengembangkan Pemerintahan Mukim dan

Pemerintahan Gampong dengan prioritas :

1. Pembangunan sarana dan prasarana Kantor Mukim, Geuchik dan Peralatan

Kerja dan mobiler.

2. Mengembangkan sumber pendapatan dan asset Imuem Mukim dan Gampong

serta menyusun keuangan secara efisien, efektif, transparan dan akuntable.

3. Mengembangkan dan menguatnya kemitraan bagi para penyelenggaraan

Pemerintahan Mukim dan Pemerintahan Gampong.

4. Mengembangkan Usaha Ekonomi Masyarakat melalui Program Pengembangan

Ekonomi Masyarakat Kemukiman (PEMK).

5. Mengembangkan sistem implementasi Administrasi Pemerintahan Mukim dan

Pemerintahan Gampong yang mudah, cepat dan murah.

6. Terjaminnya tingkat kesejahteraan para penyelenggara Pemerintahan Mukim

dan Pemerintahan Gampong (Tidak diberikan dalam bentuk insentif atau upah

jerih tapi harus dalam bentuk gaji Imum Mukim dan gaji Geuchik atau sebutan

lain).

7. Mengembangkan jiwa kegotong royongan, keswadayaan, solidaritas dan

persaudaraan masyarakat dalam memecahkan persoalan masyarakat yang

dihadapi.

Oleh karena itu kegiatan tersebut di atas penting dilaksanakan mengingat

Pemerintahan Mukim dan Pemerintahan Gampong merupakan garis terdepan

dalam pelayanan kepada masyarakat serta menjadi tonggak utama untuk

keberhasilan pelaksanaan semua Program pembangunan.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-121

2.7.4 Pelayanan Kependudukan dan Catatan Sipil

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l UUPA, ditegaskan

bahwa pelayanan kependudukan dan catatan sipil merupakan salah satu urusan

wajib Pemerintah Aceh. Penempatan urusan pelayanan kependudukan dan catatan

sipil sebagai urusan wajib, mempunyai arti bahwa Pemerintah Aceh mempunyai

wewenang (sebagai hak sekaligus sebagai kewajiban) untuk menyelenggarakan

pelayanan dalam bidang kependudukan dan catatan sipil. Hak dan kewajiban

dimaksud termasuk hak dan kewajiban mengatur yang menjadi kewenangannya,

dan hak dan kewajiban mengurus (termasuk membiayai). Tentunya, hak dan

kewajiban dimaksud (mengatur dan mengurus), harus dalam kerangka atau

mempertimbangkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 14 ayat (3) UUPA

yang berbunyi “Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib

dilakukan dengan berpedoman pada standar pelayanan minimal, dilaksanakan

secara bertahap, dan ditetapkan oleh Pemerintah”.

Registrasi penduduk merupakan kegiatan utama dalam rangka memberikan

pelayanan kependudukan dan catatan sipil. Administrasi kependudukan memuat

tentang kegiatan pendaftaran dan pencatatan kejadian vital penduduk (kelahiran,

kematian, perpindahan, perkawinan, perceraian dan perubahan status lainnya).

Tujuan penyelenggaraan administrasi kependudukan adalah untuk

mendokumentasikan data-data yang berkaitan dengan pencatatan melalui suatu

sistem registrasi yang terpadu dan pelaporan data kependudukan agar terciptanya

tertib administrasi dan legalisasi sebagai dokumen bagi setiap penduduk. Akan

tetapi, dalam pengelolaan registrasi penduduk sampai saat ini dihadapkan pada

berbagai kendala yang menyebabkan penyelenggaraan belum berjalan

sebagaimana diharapkan. Akibatnya data dan informasi kependudukan yang

berbasis individu dan berskala mikro belum dapat dikembangkan untuk

dimanfaatkan bagi kepentingan penyusunan perencanaan dan kebijakan

pembangunan. Sementara tuntutan ketersediaan data mikro dan rutin makin

mendesak sebagai konsekuensi kebutuhan perencanaan dalam era otomomi

daerah kabupaten dan kota yang menjadi sentral pembangunan. Disisi lain, untuk

kepentingan individu atau masyarakat, pencatatan penduduk akan memberikan

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-122

keabsahan dari kejadian vital tersebut sebagai dokumen resmi yang antara lain

diperlukan dalam urusan pelayanan publik.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2007-2012 di

bidang administrasi kependudukan diharapkan dapat sinergi dengan RPJM

Nasional 2004-2009. Sasaran yang ingin dicapai adalah terwujudnya tertib

administrasi kependudukan, yang dimulai dengan terselenggara registrasi

penduduk. Dengan tertibnya administrasi kependudukan tersebut diharapkan

mampu menghasilkan data dan informasi perkembangan kependudukan pada

berbagai tingkat secara akurat, tepat, menyeluruh dan mudah diakses, sehingga

menjadi acuan bagi perumusan kebijakan dan program pembangunan.

Permasalahan yang masih dihadapi adalah: (a) masih lemahnya koordinasi

penyelenggaraan adminstrasi kependudukan antara Pemerintah Provinsi dengan

Pemerintah Kab/kota; (b) masih lemahnya pemberian bimbingan, supervisi dan

konsultasi pelaksanaan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil; (c) lemahnya

pembinaan dan sosialisasi penyelenggaraan administrasi kependudukan; (d)

belum tertibnya pengelolaan dan penyajian data kependudukan; dan (e) lemahnya

koordinasi pengawasan atas penyelenggaraaan administrasi kependudukan. Di

samping itu koordinasi dengan instansi vertikal yang menangani pencatatan sipil

juga sangat lemah baik pada tingkat provinsi maupun kab/kota.

Untuk mencapai sasaran tersebut, maka perlu penguatan instansi

pelaksana administrasi kependudukan dan catatan sipil, dengan tujuan: (a)

menggembangkan sistem administrasi kependudukan yang terpadu dan efisien,

termasuk registrasi penduduk; (b) meningkatkan cakupan dan ketepatan

pelaporan pendaftaran penduduk dari tingkat terendah sampai ketingkat pusat

secara cepat, tepat dan lengkap; (c) mengembangkan organisasi atau unit kerja

pendaftaran penduduk diberbagai tingkatan mulai dari tingkat kecamatan sampai

tingkat provinsi; (d) peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang

arti penting registrasi dan administrasi kependudukan sebagai sumber data mikro

dan rutin untuk mendukung terselenggara pengelolaan sistem administrasi

kependudukan yang efektif dan efisien; (e) menyusun rancangan undang-undang

(Qanun) tentang registrasi penduduk.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-123

Dalam rangka pelaksanaan program kerja pengembangan sistem

administrasi kependudukan tersebut, termasuk registrasi penduduk, di Provinsi

Aceh, maka lebih dahulu perlu melakukan suatu penelitian untuk mengetahui

potensi dan permasalahan dalam penyelenggaraan administrasi kependudukan,

terutama registrasi penduduk secara permanen dan online setiap saat dan dimulai

pada level pemerintahan yang terendah (gampong) hingga ke tingkat provinsi.

Pelaksanaan registrasi administrasi kependudukan tersebut dapat dilaksanakan

oleh pemerintahan desa dan harus didukung dengan peningkatan SDM dan

penyediaan fasilitas pendukung.

2.7.5 Perizinan

Penyediaan pelayanan pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat yang berkaitan dengan kebutuhan dasar, barang-barang publik (public

goods), berbagai perizinan, dan lain-lain belum sepenuhnya berkembang dengan

baik. Berbagai prosedur perizinan belum disusun sesuai dengan prinsip-prinsip

pelayanan yang mudah, murah dan cepat. Pelayanan perizinan juga belum

didasarkan pada standar pelayanan minimal.

Pulihnya kondisi keamanan menimbulkan gairah masyarakat untuk

berusaha kembali dalam berbagai aktifitas ekonomi. Jumlah izin usaha

perdagangan (SIUP) pada Tahun 2005 misalnya cukup tinggi, berjumlah 41.452

termasuk usaha skala besar, menengah dan kecil. Sementara pada Tahun 2001,

yang kondisi keamanannya belum pulih, jumlah SIUP hanya 2.678 buah untuk

semua jenis perdagangan.

Dalam rangka menghadapi berbagai urusan pemerintahan di bidang

perekonomian, perdagangan, investasi, pariwisata, dan lain-lain, sesuai dengan

kewenangan yang diberikan oleh Udang-Undang No. 11 Tahun 2006, perlu

ditinjau kembali berbagai prosedur dan sistem pelayanan perizinan. Pelayanan

perizinan secara cepat dan tepat oleh pemerintah dapat memberi dukungan

terhadap pembangunan ekonomi sesuai harapan masyarakat.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-124

2.7.6 Keimigrasian

Pelayanan publik pada keimigrasian harus dapat ditingkatkan, kondisi yang

ada selama ini masih menunjukkan pelayanan yang belum profesional. Oleh

karena itu perlu perbaikan manajemen dengan melakukan perubahan mekanisme,

penetapan prosesur yang jelas dan sistem pelayanan yang terpadu. Sejalan

dengan globalisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi dan pertumbuhan

ekonomi dunia, maka akan berimplikasi pada terjadinya lalulintas atau masuknya

warga negara asing (imigrasi), baik melalui investasi maupun kunjungan

wisatawan.

Penyediaan pelayanan publik di sektor keimigrasian diharapkan dapat terus

ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitas sarana dan prasarana agar

terciptanya kualitas pelayanan yang cepat, tepat dan terjangkau. Secara simultan

fenomena ini harus mampu dilaksanakan oleh Pemerintahan Aceh seiring dengan

tingginya tingkat kemajuan ekonomi yang menyebabkan berubahnya tuntutan

kebutuhan masyarakat.

2.7.7 Ketertiban Umum

Pasca MoU Helsinky dan UU-PA, ketertiban umum di Pemerintah Aceh

relatif kondusif namun masih perlu terus ditingkatkan, terutama dalam pelayanan

dan penegakan hukum. Persoalan utama dalam pelayanan dan penegakan hukum

adalah masih kurang profesionalnya lembaga pelayanan dan penegakan hukum.

Lembaga kepolisian harus memiliki profesionalisme dalam mengintegrasikan aspek

struktural (institusi, organisasi, susunan dan kedudukan), aspek (filosofi, doktrin,

kewenangan, kompetensi, kemampuan, fungsi dan iptek), dan aspek kultural

(manajemen sumberdaya, manajemen operasional dan sistem pengamanan di

masyarakat). Sumberdaya manusia sebagai tulang punggung institusi polisi masih

memprihatinkan, kuantitas polisi belum memenuhi standar yang ditetapkan oleh

PBB yaitu 1 (satu) personil polisi untuk 400 orang penduduk (1:40). Rasio jumlah

personil polisi dengan jumlah penduduk pada Tahun 2004 secara nasional adalah

1 berbanding 475.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-125

Dari segi kuantitas lebih baik, namun mengingat luasnya wilayah, jumlah

personil polisi di Aceh harus disesuaikan dengan luas wilayah daerah ini.

Peningkatan profesionalisme polisi secara keseluruhan memerlukan penguatan

kapasitas yang meliputi moral dan etika, budaya kerja, motivasi, pendidikan, dan

pelatihan, serta peralatan. Disamping itu, agar masyarakat mampu membina

sistem keamanan dan ketertiban di lingkungannya, polisi harus berperan sebagai

pembina dan penyelia dalam rangka mendukung terbentuknya mekanisme

community policing. Ketertiban umum merupakan tanggung jawab bersama, oleh

karena itu menjaga ketertiban harus dimulai dari diri setiap warga negara dan

masyarakat. Kewenangan pemerintah hanya sebatas menjalankan kebijakan

melalui berbagai regulasi. Setiap warga negara dan masyarakat wajib setia

menjaga ketertiban dan keamanan, serta berhak mendapat jaminan perlindungan

hukum, jaminan keamanan dan ketertiban.

2.8 Rencana Aksi Kesinambungan Rekonstruksi Aceh

Penyusunan Rencana Aksi Kesinambungan Rekonstruksi dan Percepatan

Pembangunan Aceh adalah untuk menyediakan pedoman bagi upaya

kesinambungan rekonstruksi dan percepatan pembangunan Aceh, untuk mengejar

ketertinggalan menuju kesejahteraan rakyat dan pembangunan berkelanjutan.

Rencana Aksi Kesinambungan Rekontruksi Provinsi Aceh 2010-2012

dengan Peraturan Gubernur Nomor 13 Tahun 2010 merupakan penajaman fokus

kepada penuntasan program, pengelolaan dan pemeliharaan aset hasil rehabilitasi

dan rekontruksi, fungsionalisasi hasil rehabilitasi dan rekontruksi serta penguatan

kapasitas pemerintah daerah, upaya penguatan institusi daerah ini diperlukan

dalam rangka memastikan terjadinya keselarasan dan kesinambungan

pembangunan di Provinsi Aceh pasca 2009 baik dalam memelihara dan merawat

seluruh kemajuan yang ada maupun melanjutkan dan mengembangkan program-

program percepatan pembangunan provinsi Aceh ke depan. Selanjutnya, untuk

mengatasi ketertinggalan Aceh akibat dihimpit konflik dan bencana tsunami maka

diperlukan suatu rencana aksi percepatan pembangunan Aceh ke depan yang

difokuskan kepada pengembangan infrastruktur stretegis, pengembangan

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-126

ekonomi strategis, dan pengembangan sosial kemasyarakatan. Rencana Aksi

Kesinambungan Rekontruksi Provinsi Aceh 2010-2012.

2.9 Badan Reintegrasi Aceh

Sebagai tindaklanjut kesepakatan damai MoU-Helsinki, telah disusun

serangkaian kebijakan serta pelaksanaannya, yang secara keseluruhan terus

berproses sampai saat ini, melalui penerbitan Inpres 15/2005 tentang Pelaksanaan

Nota Kesepahaman Helsinki, dan diditegaskan melalui Direktif Menko Polhukam

No. Dir-67/Menko.Polhukam/12/2005 tentang Optimalisasi Inpres 15/2005.

Khususnya tentang Program Reintegrasi telah dilakukan berbagai langkah

tindaklanjut melalui BRA (Badan Reintegrasi-Damai Aceh), sesuai agenda

pelaksanaan program reintegrasi yang disepakati Pusat-Daerah untuk 3 (tiga)

Tahun mulai 2005 hingga 2007, dan dilanjutkan pada Tahun 2008-2011.

Berdasarkan rencana kerja dan pendanaan Program Reintegrasi yang disusun

bersama oleh Bappenas dan BRA pada September 2005, total kebutuhan

pendanaan untuk proses reintegrasi Aceh secara keseluruhan berjumlah Rp 1.500

miliar, untuk tiga Tahun (2005-2007), dan telah dikoreksi pada Tahun 2010

menjadi berjumlah Rp 2.100 miliar.

MoU-Helsinki yang memuat prinsip-prinsip dasar bagi terciptanya suasana

damai yang berkelanjutan, telah ditandatangani pada 15 Agustus 2005 di Helsinki.

Prinsip-prinsip dasar tersebut harus diimplementasikan oleh Pemerintah RI,

termasuk Pemda Aceh, dan GAM. Dalam MoU Helsinki terdapat minimal 19 butir

kewajiban RI dalam MoU tersebut yang harus segera ditindaklanjuti meliputi:

aspek politik, hukum, HAM, keamanan, sosial, dan aspek ekonomi.

Pemerintah Aceh membentuk Badan Reintegrasi-Damai Aceh berdasarkan

Keputusan Gubernur No. 330/438/2007 tanggal 26 Agustus 2008 tentang

Pembentukan Badan Reintegrasi-Damai Aceh. Dana reintegrasi bersumber dari

APBN dan APBD. Kebutuhan pendanaan dialokasikan secara bertahap dalam 3

Tahun anggaran:

1. Tahun 2005 dialokasikan Rp200 miliar, melalui APBN-P 2005;

2. Tahun 2006 dialokasikan Rp600 miliar melalui APBN 2006;

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-127

3. Tahun 2007 dialokasikan Rp250 miliar melalui APBN 2007.

Dengan adanya koreksi kebutuhan pendanaan reintegrasi damai Aceh yang

memerlukan tambahan dana sebesar Rp 600 miliar, yang disebabkan adanya

eskalasi satuan harga rumah yang perlu dibangun, maka pada Tahun 2008-2010,

dengan rincian:

1. Tahun 2008 dialokasikan Rp 250 miliar melalui APBN 2008;

2. Tahun 2009 dialokasikan Rp 200 miliar melalui APBN-P 2009;

3. Tahun 2010 dialokasikan Rp 200 miliar melalui APBN 2010.

Untuk memenuhi kebutuhan keseluruhan, maka pada Tahun 2011 akan

dialokasikan Rp 200 miliar melalui APBN 2011. Permasalahan-permasalahan yang

selama ini timbul adalah belum adanya kepastian dana yang tersedia bagi

kelanjutan program Reintegrasi Aceh, Penyaluran dana APBN tidak bersamaan,

perlakuan terhadap date line sama dengan APBN lainnya, kemudian belum adanya

suatu ketetapan atau aturan terhadap besarnya bantuan (kompensasi diyat), dan

sebagian besar penerima bantuan rumah di pedalaman, sehingga dana yang

tersedia kurang memadai.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 III-1

BAB III

VISI DAN MISI

3.1 Visi

Terwujudnya perubahan yang fundamental di Aceh dalam segala sektor

kehidupan masyarakat Aceh dan pemerintahan, yang menjunjung tinggi asas

transparansi dan akuntabilitas bagi terbentuknya suatu pemerintahan Aceh yang

bebas dari praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, sehingga pada tahun

2012 Aceh akan tumbuh menjadi negeri makmur yang berkeadilan dan adil dalam

kemakmuran.

3.2 Misi

a. Kepemimpinan Yang Aspiratif, Inovatif, dan Intuitif

1) Membangun suatu mekanisme kontrol yang ketat agar para pemimpin

formal dari level tertinggi sampai level yang terendah memperlihatkan

keteladanan yang baik, taat beragama, hidup sederhana, menegakkan

keadilan, taat pada hukum, tidak melakukan KKN dalam bentuk

apapun, sehingga memberi contoh keteladanan bagi masyarakat.

2) Pemimpin harus memiliki sikap inovatif dan intuitif yang tinggi dalam

menciptakan dan melaksanakan kebijakan agar selalu dalam koridor

kepentingan rakyat. Pemimpin dan pejabat negara adalah "Orang

Besar", namun kebesarannya bukan karena dia berpangkat tinggi,

kaya raya atau berketurunan bangsawan tetapi karena dia dengan

setia telah menjadi pelayan rakyatnya.

b. Aparatur Pemerintah Yang Bersih, Kompeten dan Berwibawa,

Bebas Dari Korupsi dan Penyalahgunaan Kekuasaan

1) Memperbaiki kesejahteraan PNS/pejabat negara sebagai prioritas

utama, melalui pendapatan dan gaji yang layak.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 III-2

2) Memberikan reward bagi PNS/pejabat negara yang berprestasi dan

punishment (sanksi/hukuman) bagi mereka yang melalaikan tugasnya.

3) Memperbaiki kembali system penerimaan PNS dimana akan dilakukan

secara lebih ketat sehingga diperoleh PNS yang berkualitas dan tidak

mengandung unsur KKN.

c. Penegakan Hukum

1) Pemerintah Aceh akan berusaha sekuat tenaga membantu agar

pengadilan dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Walaupun bidang

kehakiman menjadi wewenang Pemerintah Indonesia, Pemerintah

Aceh akan berusaha agar pejabat dan PNS yang berdinas di Aceh

dalam bidang penegakan hukum akan mendapat fasilitas yang sama

dengan pejabat dan PNS yang berada di bawah Pemerintah Aceh.

2) Pemerintah Aceh dengan bekerjasama dengan aparat penegak hukum

akan membangun mekanisme agar rakyat pencari keadilan dapat dan

berani mengawasi proses hukum yang terjadi di dalam dan di luar

pengadilan dan mengawasi perilaku para hakim serta aparat penegak

hukum lainnya.

d. Pengembangan Sumberdaya Manusia

1) Pendidikan akan dijadikan sebagai media pemerataan kesempatan

untuk berkembang (mobilitas vertikal) bagi semua lapisan masyarakat,

terutama masyarakat lapisan bawah.

2) Kualitas dan mutu sekolah di seluruh Aceh akan ditingkatkan baik

kualitas fisik bangunannya maupun kualitas para pendidik terutama

administrasinya.

3) Pemerintah Aceh akan memberikan subsidi untuk universitas-

universitas atau perguruan tinggi di Aceh guna meningkatkan mutu

sumberdaya manusia dan fasilitas pendidikan (sarana penunjang).

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 III-3

4) Pemerintah Aceh akan mengusahakan pendidikan gratis minimal bagi

murid sekolah dasar (SD/MI) sampai dengan Sekolah Lanjutan Atas

(SLTA/MA) Sekolah akan dibersihkan dari pungutan yang membebani

orang tua siswa.

5) Pemerintah Aceh juga mengupayakan sesuai dengan kemampuan

ekonomi Pemerintah Aceh pembebasan biaya pendidikan bagi semua

anak yatim korban konflik dan korban tsunami sampai tamat

Perguruan Tinggi (S1).

6) Pemerintah Aceh akan mengusahakan (sesuai kemampuan

pemerintahan Aceh) pembebasan uang kuliah atau sekurang-

kurangnya akan dikembangkan sistem subsidi yang adil untuk semua

program studi S1 yang memenuhi kriteria dan kualifikasi tertentu.

7) Pemerintah Aceh akan meminta kepada institusi-institusi/lembaga

pendidikan pencetak tenaga pendidik untuk meningkatkan standar

mutu penerimaan calon tenaga pendidik dengan menaikkan rating

kualifikasi penerimaan mahasiswa baru. Institusi ini akan mendapat

perhatian khusus dari Pemerintah Aceh.

8) Institusi-institusi pendidikan agama seperti dayah akan mendapat

perhatian serius dari Pemerintah Aceh.

9) Pemerintah Aceh akan memberikan perhatian khusus dalam bentuk

program-program beasiswa secara luas untuk mahasiswa cerdas dan

berprestasi untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang S2 dan S3 di

universitas-universitas terkemuka di luar negeri.

10) Dalam rangka pemerataan kesempatan pendidikan, Pemerintah Aceh

akan mengembangkan sistem subsidi/beasiswa kepada mereka yang

secara ekonomi tidak mampu namun memiliki keinginan dan

kemampuan kecerdasan untuk melanjutkan pendidikan.

11) Di daerah-daerah tertentu akan dikembangkan sekolah-sekolah

kejuruan (vocational).

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 III-4

12) Sekurang-kurangnya 30% APBA akan digunakan untuk pendidikan.

13) Pemerintah Aceh akan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan

kepada masyarakat.

14) Pemerintah Aceh bertekad akan memberantas penyakit-penyakit

menular klasik seperti Malaria, TBC, DBD, Lepra, dan sebagaimana.

15) Pemerintah Aceh akan memberikan pelayanan medis gratis bagi ibu

hamil dan anak.

16) Meningkatkan kualitas hidup perempuan dan anak dalam berbagai

bidang khususnya pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum, politik,

adat istiadat dan agama.

e. Perekonomian

1) Membangun kembali infrastruktur perekonomian di seluruh Aceh

sehingga akhirnya seluruh teritorial Aceh dapat menjadi satu kesatuan

politik dan satu kesatuan ekonomi.

2) Pemerintah Aceh akan memperlakukan pelaku ekonomi sebagai

partner pembangunan.

3) Pemerintah Aceh akan memberikan perhatian serius pada

pengembangan ekonomi kerakyatan untuk mencapai keadilan di

bidang ekonomi.

4) Pemerintah Aceh secara proaktif akan mengidentifikasi semua sumber

ekonomi yang berbiaya tinggi (high cost economy) untuk mengatasi

dan mencari jalan keluarnya.

5) Pemerintah Aceh akan mendorong bangkitnya kembali semangat

kewirausahaan rakyat Aceh seperti yang pernah kita saksikan pada

periode tahun 1940-an sampai dengan tahun 1980-an. Pengusaha

Aceh harus dapat bangkit kembali menjadi masyarakat ekonomi yang

handal.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 III-5

6) Perdagangan luar negeri, terutama dengan Malaysia, Singapura,

Thailand, India, dan lain-lain harus kembali digalakkan.

7) Produksi agrobisnis tradisional masyarakat harus memperoleh pasar

yang layak, yaitu dengan membuka pemasaran ke luar negeri.

8) Di setiap kabupaten akan dibangun kebun-kebun percobaan dan

percontohan (pilot project) agar rakyat dapat memperoleh penyuluhan

dan dapat memperoleh bibit unggul sesuai dengan kondisi alam di

tempat itu.

9) Para mantan gerilyawan GAM dan korban konflik akan diperhatikan

secara serius untuk memperoleh kehidupan ekonomi yang layak

melalui penyediaan modal dan lapangan kerja yang memadai.

10) Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, berwawasan lingkungan,

dan berkesadaran resiko bencana.

11) Keberhasilan transisi dari rehabilitasi dan rekonstruksi dampak

tsunami.

f. Politik

1) Pemerintah Aceh akan berusaha sekuat tenaga agar seluruh Rakyat

Aceh mendapat perlakuan yang adil, baik dalam bidang politik dan

hukum maupun dalam bidang ekonomi, dengan memperhatikan

potensi dan karakteristik masing-masing.

2) Kepala dan Wakil Kepala Pemerintahan di setiap level harus menjadi

satu kesatuan yang saling mengisi dengan pembagian tugas yang

jelas. Sementara Bupati/Walikota menjadi mandataris rakyat di

daerahnya masing-masing.

3) Semua lembaga politik, lembaga adat, dan lembaga keagamaan harus

menjalankan kegiatannya berdasarkan fungsi masing-masing dan tidak

boleh ada tumpang tindih dalam hal fungsi dan wewenang.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 III-6

4) Partai lokal harus menjadi sarana demokrasi yang menciptakan

kestabilan politik, kemandirian, dan kemakmuran bagi Rakyat Aceh.

g. Sumber Daya Alam

1) Penerimaan Pemerintah Aceh yang berasal dari bagi hasil kekayaan

alam akan digunakan secara adil, efisien, dan bertanggungjawab

untuk kesejahteraan dan kemakmuran seluruh Rakyat Aceh.

2) Pemerintah Aceh akan meninjau kembali Hak Pengelolaan Hutan

(HPH). Jika selama ini HPH hanya diberikan kepada pengusaha, maka

dimasa mendatang, Pemerintah Aceh akan menciptakan sistem

pengelolaan hutan yang dikelola sendiri oleh rakyat secara lestari,

berkesinambungan dan bertanggung jawab untuk kepentingan rakyat

Aceh sendiri.

3) Pemerintah Aceh akan melarang dan membatasi penebangan hutan

yang dilakukan secara liar, kecuali untuk keperluan domestik rakyat

yang dilakukan secara terkontrol.

4) Pemerintah Aceh akan melakukan eksploitasi dan eksplorasi sumber

kekayaan alam lainnya, terutama pertambangan, dengan

mempertimbangkan secara serius kelestarian ekosistem.

h. Adat Istiadat, Kebudayaan, dan Olahraga

1) Pemerintah Aceh akan memberi perhatian lebih secara seksama dan

mendukung upaya-upaya untuk mengembangan adat istiadat dan

budaya Aceh, antara lain dengan mendorong rakyat untuk

menghidupkan kembali pendidikan tatacara sopan-santun ke-Acehan

dalam keluarga serta akan menyelenggarakan secara reguler festival

dan seni Aceh.

2) Pemerintah Aceh akan membangun sarana olahraga dan seni yang

merata di seluruh Aceh dan akan mendukung partisipasi Aceh dalam

event olahraga dan seni secara lokal, nasional, dan internasional.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 IV-1

BAB IV

STRATEGI PEMBANGUNAN ACEH

Perumusan strategi pembangunan didasarkan pada kerangka analisis

terhadap faktor lingkungan strategis. Proses perumusan strategi perlu dilakukan

mengingat faktor strategis lingkungan akan menentukan keberhasilan

pelaksanaan visi dan misi yang ditetapkan. Keberadaan faktor-faktor lingkungan

strategis yang dimaksud terdiri dari faktor lingkungan internal strategis dan

faktor lingkungan eksternal strategis yang merupakan kerangka dasar,

mengingat pada faktor tersebut dapat ditemukan berbagai kekuatan,

kelemahan, peluang dan tantangan. Analisis faktor lingkungan internal strategis

dan faktor eksternal strategis mengisyaratkan bahwa implementasi strategi

yang tepat dapat mewujudkan peningkatan dan optimalisasi setiap program

dan kegiatan secara menyeluruh.

Visi dan misi Pemerintah Aceh diwujudkan melalui pelaksanaan 7 (tujuh)

prioritas pembangunan secara proporsional yaitu: 1) Pemberdayaan ekonomi

masyarakat, perluasan kesempatan kerja dan penanggulangan kemiskinan, 2)

Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur dan sumber daya energi

pendukung investasi, 3). Peningkatan mutu pendidikan dan pemerataan

kesempatan belajar, 4). Peningkatan mutu dan pemerataan pelayanan

kesehatan, 5). Pembangunan syariat islam sosial dan budaya, 6). Penciptaan

pemerintah yang baik dan bersih serta penyehatan birokrasi pemerintaan, 7).

Penanganan dan pengurangan resiko bencana.

4.1 Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat, Perluasan Kesempatan

Kerja dan Penanggulangan Kemiskinan

Pembangunan perekonomian Aceh tidak terlepas sebagai upaya

pemberdayaan ekonomi masyarakat, perluasan kesempatan kerja dan

penanggulangan kemiskinan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan

masyarakat. Ketiga prioritas tersebut sangat ditentukan oleh tiga aspek

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 IV-2

ekonomi makro yaitu pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan dan tingkat

pengangguran terbuka.

Pertumbuhan ekonomi Aceh saat ini telah menunjukkan perkembangan

yang positif, namun kondisi tersebut masih dibawah rata-rata nasional.

Demikian pula halnya dengan tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran

yang semakin menurun, hal tersebut masih berada diatas rata-rata nasional.

Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menurunkan tingkat

kemiskinan dan tingkat pengangguran hingga mencapai kondisi yang lebih baik,

maka strategi yang ditempuh adalah:

1. Peningkatan serta percepatan upaya revitalisasi pertanian dan perikanan

sehingga menjadi sektor ekonomi andalan yang berkelanjutan

2. Meningkatkan produksi sektor ril baik secara kuantitas maupun kualitas,

terutama fokus pada komoditi-komoditi unggulan yang berorientasi pasar

3. Mengembangkan dan meningkatkan kapasitas sarana dan prasarana

pendukung produksi serta pemasaran secara terintegrasi

4. Membangun serta mendorong pengembangan unit-unit penyedia sarana

produksi

5. Melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap pendistribusian sarana

produksi bagi masyarakat

6. Mendorong tumbuhnya industri-industri pengolahan terutama yang

berbasis bahan baku lokal

7. Pemberdayaan UMKM, koperasi, serta memfasilitasi terjalinnya kemitraan

dengan kelompok usaha besar

8. Mendorong terjadinya peningkatan realisasi investasi swasta baik nasional

maupun asing

9. Mendorong terjadinya peningkatan aktivitas perdagangan dalam dan luar

negeri

10. Mendorong peningkatan kapasitas sektor finansial serta peningkatan fungsi

intermediasi perbankan

11. Peningkatkan kualitas sumber daya petani, nelayan, dan kompetensi tenaga

kerja

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 IV-3

12. Pengembangan kawasan-kawasan potensial dan cepat tumbuh melalui

pembangunan pemukiman baru

13. Peningkatan ketahanan dan keamanan pangan serta perbaikan gizi

masyarakat

14. Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan di kawasan sekitar hutan,

serta pengembangan hutan tanaman rakyat

15. Pelestarian sumber daya hutan dan pengendalian Daerah Aliran Sungai

(DAS)

16. Mengupayakan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam rangka

kemandirian dan kesinambungan pembiayaan pembangunan

17. Meningkatkan kerjasama pembanguanan ekonomi baik secara kelembagaan

maupun kawasan

4.2 Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur dan Sumber Daya

Energi Pendukung Investasi

Dalam rangka penyediaan infrastruktur dan sumber daya energy

pendukung investasi diperlukan strategi yang diselaraskan dengan prioritas

pembangunan Pemerintah Aceh sesuai dengan kondisi dan potensi daerah.

Sarana dan prasarana pendukung investasi yang belum memadai menyebabkan

masih adanya daerah terpencil dan terisolir. Pembangunan Bidang Sarana dan

Prasarana memegang peranan penting untuk menghilangkan disparitas antar

wilayah, maka diperlukan langkah-langkah atau strategi sebagai berikut:

4.2.1 Sumber Daya Air

Strategi Pembangunan Bidang Sumber Daya Air Tahun 2007–2012

adalah:

1. Menyusun pola terpadu pengembangan pengelolaan sumber daya air

sebagai kerangka dasar dalam merencanakan, melaksanakan, memantau

dan mengevaluasi kegiatan konservasi sumber daya air, pendayagunaan

sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 IV-4

2. Menyusun pola pengelolaan aset irigasi untuk mengetahui kondisi kinerja

masing-masing jaringan irigasi dengan membentuk Dewan Sumber Daya

Air Aceh dan Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air (TKPSDA) di

masing-masing Wilayah Sungai.

3. Membangun waduk dan embung beserta sarana dan prasarana yang

berfungsi sebagai pengawaten air, sumber daya air, dan pengendali daya

rusak air, yang dibarengi dengan kegiatan konservasi DAS.

4. Membuat perangkat hukum yang berhubungan dengan sumber daya air di

Aceh.

5. Memelihara dan meningkatkan fungsi sarana dan prasarana konservasi

sumber daya air dan jaringan irigasi yang telah ada, melalui kegiatan

operasi dan pemeliharaan (OP) irigasi dan membangun laboratorium

konservasi pada DAS.

6. Mengoptimalkan fungsi dan peran Perkumpulan Petani Pemakai Air

(P3A)/Kejruen Blang, dengan membentuk Komisi Irigasi (Komir) Aceh.

7. Membangun dan meningkatkan irigasi teknis pada lahan-lahan potensial

serta membangun sarana dan prasarana pemanfaatan air tanah secara

terkendali.

8. Memelihara dan meningkatkan fungsi konstruksi sungai, muara, dan pantai

yang berfungsi sebagai pengendali daya rusak air.

9. Membangun konstruksi pengendali daya rusak air di sungai, muara, dan

pantai serta fasilitas sarana peringatan dini banjir kiriman sungai.

4.2.2 Bina Marga dan Cipta Karya

Strategi pembangunan bidang kebinamargaan dan keciptakaryaan

adalah:

1. Pembangunan, peningkatan dan pemeliharaan jalan nasional lintas Timur,

lintas Barat, lintas tengah, pembangunan, peningkatan dan pemeliharaan

jalan provinsi, jalan kabupaten/Kota, jalan menuju sentra produksi dan

jalan strategis lainnya.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 IV-5

2. Mendukung pembangunan kawasan yang berpotensi dan cepat tumbuh

dengan menyediakan jaringan jalan dan jembatan yang memenuhi

kebutuhan pergerakan barang dan jasa di seluruh wilayah kawasan.

3. Membuka dan meningkatkan aksesibilitas daerah terpencil/terisolir,

perbatasan dan kepulauan untuk mengurangai kesenjangan antar daerah.

4. Meningkatkan penguasaan teknologi tepat guna di bidang prasarana jalan.

5. Meningkatkan daya dukung, kapasitas, dan geometrik jalan.

6. Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat dalam pemanfaatan

prasarana jalan.

7. Pembangunan jalan highway lintas Timur dari Banda Aceh ke perbatasan

Sumatra Utara dengan dimulai dengan penentuan alignment jalan

highway, studi Amdal, dan pembebasan tanah.

8. Menyediakan sarana dan prasarana dasar pemukiman, air bersih, sanitasi,

fasilitas umum bagi masyarakat, dengan berpedoman kepada tata ruang

serta tata bangunan yang mempertimbangkan resiko bencana sesuai

dengan aturan yang sudah ditetapkan termasuk pembangunan kawasan

perbatasan dan terisolir.

9. Menyediakan rumah sederhana bagi kaum dhuafa/korban kerusuhan/

bencana alam,

10. Menyiapkan/memberikan informasi pembangunan infrastruktur/

permukiman kepada pihak swasta dan masyarakat.

11. Mendorong peningkatan kemampuan SDM jasa konstruksi.

12. Meningkatkan dukungan terhadap pengembangan teknologi permukiman

yang berorientasi terhadap faktor alam.

4.2.3 Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Telematika

Strategi Pembangunan Bidang Perhubungan, Komunikasi, Informasi, dan

Telematika Tahun 2007 - 2012 adalah :

1. Melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi prasarana dan sarana transportasi

darat dan penyeberangan, pelabuhan laut, pelabuhan rakyat, bandar

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 IV-6

udara yang hancur akibat gempa tektonik dan gelombang tsunami

sehingga pelayanan terhadap masyarakat dapat pulih kembali.

2. Mengembangkan prasarana dan sarana transportasi darat dan

penyeberangan, pelabuhan laut, pelabuhan rakyat, bandar udara sehingga

memberikan akses transportasi yang lebih baik bagi masyarakat.

3. Melakukan penambahan armada ferry dan lintasan baru sebagai upaya

penyediaan sarana transportasi bagi masyarakat kepulauan.

4. Meningkatkan pelayanan dan menekan angka kecelakaan lalu lintas bagi

pengguna kendaraan di jalan raya.

5. Mempertahankan subsidi angkutan perintis penyeberangan sebagai upaya

membuka isolasi daerah dan memacu perkembangan perekonomian

wilayah.

6. Mengembangkan angkutan kereta api sebagai angkutan massal yang

cepat, murah, hemat energi, berwawasan lingkungan untuk meningkatkan

mobilitas barang dan penumpang.

7. Membangun pelabuhan baru dengan kapasitas >10.000 DWT di wilayah

pantai Barat-Selatan dan pantai Utara-Timur sehingga dapat menjadi

pusat penyebaran (hub) dan pintu masuk bagi kegiatan ekspor-impor bagi

masing-masing wilayah tersebut sekaligus menghilangkan ketergantungan

terhadap pelabuhan Belawan (SUMUT).

8. Mengembangkan pelabuhan Sabang sebagai International Hub dan pintu

masuk Indonesia wilayah barat di masa depan.

9. Mengembangkan Pelabuhan Malahayati untuk mendukung Kawasan

Ekonomi Terpadu (KAPET) Bandar Aceh Darussalam.

10. Membangun bandara baru dalam rangka menyediakan alternatif moda

transportasi yang cepat dan dapat membuka isolasi daerah serta

mengantisipasi terputusnya hubungan darat dan laut sebagai akibat

bencana seperti yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 dan gempa

tanggal 28 Maret 2005.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 IV-7

11. Mengembangkan Bandara Sultan Iskandar Muda (Banda Aceh) sebagai

Bandara Internasional Hub dan Embarkasi Haji agar dapat didarati oleh

pesawat sejenis B747 serta pengembangan fasilitas pendukung lainnya.

12. Mengembangkan Bandara Maimun Saleh Sabang, Cut Nyak Dhien

Meulaboh, Lasikin Sinabang dan Rembele Takengon sebagai bandara

utama di Provinsi Aceh yang dapat didarati oleh pesawat sejenis F-28.

13. Meningkatkan kuantitas dan kualitas infrastruktur telematika daerah dalam

rangka integrasi data dan pelayanan informasi kepada publik.

14. Menyediakan koneksi dengan menggunakan teknologi Wireless 5,8 Ghz

dari dishubkomintel dengan seluruh SKPA

15. Menyediakan sarana dan prasarana jaringan di 23 kabupaten/kota masing-

masing berupa VSAT, 1 Noc dan 2 remote client, 3 BTS yang memiliki

Wireless Akses Point yang bisa di gunakan oleh masyarakat secara gratis,

8 unit personal komputer untuk telecenter bagi masyarakat, 8 unit telpon

analog berbasis Voip.

16. Penyediaan pusat informasi dan komunikasi Aceh dalam mewujudkan Aceh

Cyber Province melalui membangun Gedung Seuramo Aceh yang berfungsi

sebagai Media Center Aceh.

17. Penyediaan sistem telekomunikasi dengan dasar BWA (Broadband Wireless

Access) yang bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan sistem

tekhnologi informasi/ komunikasi oleh seluruh kalangan masyarakat di

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

4.2.4 Lingkungan Hidup

Strategi pembangunan bidang lingkungan hidup tahun 2007 - 2012

adalah:

1. Meningkatkan kualitas lingkungan hidup secara merata dengan melibatkan

partisipasi semua stake holders dan penegakan hukum dalam pengelolaan

sumber daya alam dan lingkungan.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 IV-8

2. Melakukan penelitian dampak lingkungan penggunaan mercury, khususnya

di kawasan pertambangan emas Gunong Ujeun Kabupaten Aceh Jaya;

Sawang Kabupaten Aceh Selatan dan Geumpang Kabupaten Pidie, serta

Valuasi Ekonomi Danau Laut Tawar Kabupaten Aceh Tengah dan Aneuk

Laot di Kota Sabang.

3. Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang meliputi antara lain

pengendalian konflik satwa, penetapan tapal batas antara Kawasan

Ekosistem Leuser (KEL) dan diluar KEL.

4. Pengelolaan dan Rehabilitasi Terumbu Karang dan Mangrove 35 ha di

Kabupaten Aceh Besar dan Pidie Jaya.

5. Pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) seluas 5 - 10 ha masing-

masing di Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Kota Lhokseumawe,

Kota Langsa, Aceh Tamiang, Kabupaten Aceh Barat.

6. Pengembangan desa model yang ramah lingkungan merupakan prioritas

untuk dijadikan pilot project pada masing-masing Kabupaten/Kota.

7. Konservasi sumberdaya air dan pengendalian kerusakan sungai Alas

Kabupaten Aceh Singkil.

4.2.5 Pertanahan

Strategi Pembangunan Bidang Lingkungan Hidup Tahun 2007 - 2012

adalah:

1. Menginventarisasi penguasaan, pemilikan, pemanfaatan dan penggunaan

tanah (P4T) serta menyediakan sertifikat tanah bagi masyarakat ekonomi

lemah dan wilayah perbatasan.

2. Pecepatan pelimpahan Badan pertanahan menjadi Badan Otonomi di

Daerah.

4.2.6 Energi dan Sumber Daya Mineral

Strategi Pembangunan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun

2007 - 2012 adalah:

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 IV-9

1. Mengupayakan percepatan pembangunan pusat-pusat pembangkit yang

akan diinterkoneksikan ke sistem 150 kV Sumut-Aceh, dimana saat ini

sedang dalam pelaksanaan (committed) yaitu:

a. PLTU Batubara di Kabupaten Nagan Raya dengan total kapasitas 2 x

100 MW yang direncanakan beroperasi pada akhir tahun 2011 (tahap

konstruksi).

b. PLTP Seulawah di Kabupaten Aceh Besar dengan total kapasitas 2 x

20 MW yang akan beroperasi pada akhir tahun 2012.

c. PLTA Peusangan I dan II di Kabupaten Aceh Tengah dengan total

kapasitas 2 x 43 MW dibiayai dari Loan JBIC (Japan Bank International

Company) dan direncanakan beroperasi pada tahun 2011 dan 2013.

d. PLTA Lawe Mamas di Kabupaten Aceh Tenggara dengan total

kapasitas 3 x 30 MW yang direncanakan beroperasi pada tahun 2015.

2. Meningkatkan pengembangan pembangkit di system isolated yang

memiliki kapasitas terpasang sebesar 146,5 MW, dimana saat ini dengan

daya mampu sebesar 96 MW.

3. Pengembangan system transmisi 150 kV Tahun 2011 adalah Brastagi-

Kutacane, Bireun-Takengon, Sidikalang-Subulussalam. Pada Tahun 2012

adalah Sigli-Meulaboh, Meulaboh-Blangpidie, Blangpidie-Tapaktuan,

Incomer GI Jantho, Incomer GI Panton Labu, Incomer GI Cot Trueng.

Pada tahun 2013 dilakukan pembangunan Incomer GI Samalanga dan

pada tahun 2014 pengembangan transmisi Jantho-Krueng Raya dan

Kutacane-Blangkejeren.

4. Penambahan kapasitas trafo gardu induk (GI) dilakukan sejak tahun 2010

sampai dengan 2019 sebesar 420 MVA dan GI uprating adalah sebesar

350 MVA.

5. Menyediakan dan mendayagunakan sumberdaya alam tambang yang

berkelanjutan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup serta

menyediakan informasi geologi dan sumber daya mineral.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 IV-10

4.3 Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pemerataan Kesempatan

Belajar

Permasalahan pendidikan tidak hanya menyangkut penyediaan layanan

pendidikan formal bagi peserta didik, tetapi juga pembekalan ilmu pengetahuan

(knowledge) dan ketrampilan (life skills) bagi setiap anggota masyarakat

melalui program Pendidikan Non Formal (PNF). Pemberantasan buta aksara

(illiteracy) perlu dilakukan secara serius sebagai upaya untuk mencerdaskan

seluruh rakyat dan mendukung pembelajaran sepanjang hidup (life long

learning).

Strategi pembangunan Pendidikan dan pemerataan kesempatan belajar di

Aceh akan dilakukan melalui:

4.3.1 Pemerataan dan Perluasan Akses

Strategi utama untuk meningkatkan pemerataan dan perluasan akses

adalah:

1. Mengurangi hambatan biaya pada tingkat pendidikan usia dini, pendidikan

dasar, menengah, dayah dan luar sekolah.

2. Meningkatkan efektivitas internal dan tingkat kelangsungan sekolah di

setiap jenjang pendidikan.

3. Meningkatkan partisipasi yang lebih besar dari masyarakat dan dunia

usaha.

4. Mengembangkan fasilitas pendidikan yang fokus dalam rangka menghapus

hambatan kesempatan belajar dan perluasan akses penyediaan pendidikan

dasar dan menengah di daerah-daerah terpencil, pemukiman terpencar dan

daerah kepulauan.

5. Meningkatkan pengembangan Perguruan Tinggi sesuai dengan prioritas

dan arah pengembangan daerah.

6. Pengembangan fasilitas dayah dalam menunjang pelayanan pendidikan

yang bermutu.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 IV-11

4.3.2 Mutu, Relevansi dan Daya Saing

Strategi utama untuk meningkatkan mutu, relevansi, dan daya saing

adalah:

1. Meningkatkan kinerja pelayanan pendidikan pada semua jenjang

pendidikan

2. Mengupayakan desentralisasi sekolah/manajemen kelembagaan, dan

manajemen perencanaan pengembangan guru.

3. Meningkatkan reformasi kurikulum dan bahan ajar sesuai dengan standar

yang telah ditetapkan.

4. Meningkatkan monitoring kinerja sekolah/kelembagaan dan prestasi siswa.

5. Meningkatkan kuantitas dan kualitas sarana penunjang pembelajaran yang

bermutu.

6. Mengembangkan pendidikan unggulan pada jenjang pendidikan dasar,

menengah dan dayah.

7. Mengoptimalkan pembinaan dan pengembangan kelembagaan, kurikulum,

manajemen, serta akreditasi dayah.

8. Mengoptimalkan penelitian dan pengembangan pendidikan.

4.3.3 Tata Kelola, Akuntabilitas dan Pencitraan Publik

Strategi utama untuk meningkatkan tata kelola, akuntabilitas, dan

pencitraan publik adalah :

1. Memperkuat sistem perencanaan, pengawasan, monitoring dan evaluasi.

2. Meningkatkan sistem manajemen kelembagaan dan sekolah.

3. Meningkatkan tata kelola yang akuntabel dan transparan.

4. Meningkatkan koordinasi antar PT/PTS dan Akreditasi pendidikan.

4.3.4 Penerapan Sistem Pendidikan Bernuansa Islami

Strategi utama untuk mempercepat penerapan sistem pendidikan yang

bernuansa Islami adalah:

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 IV-12

1. Meningkatkan koordinasi dengan berbagai pihak terkait dalam rangka

penerapan syari’at Islam.

2. Meningkatkan sarana peribadatan, media pembelajaran dan penerapan

budaya yang menunjang pendidikan bernuansa Islami.

3. Meningkatkan kualitas guru dalam metode internalisasi nilai-nilai Islami.

4. Meningkatkan monitoring dan evaluasi pelaksanaan sistem pendidikan yang

bernuansa Islami secara berkala.

5. Mengupayakan penambahan jam pelajaran agama di sekolah dan pelatihan

tentang pemahaman Al-Qur’an.

4.4 Peningkatan Mutu dan Pemerataan Pelayanan Kesehatan

Dalam rangka peningkatan mutu dan pemerataan pelayanan kesehatan

Aceh yang pada saat ini masih perlu ditingkatkan meliputi aspek status

kesehatan (umur harapan hidup, angka kematian ibu dan angka kematian bayi,

angka kesakitan, status gizi), pelayanan kesehatan, kondisi kesehatan

lingkungan, pembiayaan kesehatan, fasilitas kesehatan dan sumber daya

kesehatan maka perlu ditempuh Strategi sebagai berikut:

1. Meningkatkan pelayanan kesehatan minimal bagi masyarakat.

2. Meningkatkan kuantitas dan kualitas tenaga kesehatan melalui

perencanaan yang tepat, penempatan tenaga kesehatan dan peningkatan

kapasitas yang sesuai untuk mendukung pembangunan sistem kesehatan

daerah.

3. Meningkatkan jangkauan, pemerataan, efisiensi dan mutu pelayanan

kesehatan.

4. Meningkatkan pencegahan dan pengendalian penyakit serta kesehatan

lingkungan termasuk penanggulangan bencana.

5. Memperkuat mekanisme rujukan dengan memanfaatkan rumah sakit

dengan pelayanan unggulan.

6. Meningkatkan pendidikan kesehatan masyarakat melalui promosi kesehatan

dan mengembangkan sistem informasi kesehatan berbasis data teknologi.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 IV-13

7. Melakukan penelitian terhadap kebijakan dan masalah kesehatan.

8. Mengembangkan pola Badan Layanan Umum (BLU) di rumah sakit provinsi

dan kabupaten/kota.

9. Meningkatkan koordinasi dan kerjasama lintas sektor, masyarakat,

termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat Lokal, Nasional dan Internasional

di setiap upaya pembangunan kesehatan melalui advokasi.

10. Meningkatkan fasilitas pendidikan kesehatan dan kedokteran.

11. Meningkatkan fasilitas pelayanan kesehatan dasar.

12. Meningkatkan Jaminan Kesehatan kepada Masyarakat Miskin diseluruh

Aceh (JKA) dalam bentuk pengobatan gratis.

13. Meningkatkan sarana dan prasarana pendukung lainnya.

4.5 Pembangunan Syariat Islam, Sosial dan Budaya

4.5.1 Syari’at Islam

Syari`at Islam di Aceh secara resmi telah menjadi sumber nilai dan

sumber penuntun perilaku dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam tataran

kehidupan pribadi, kehidupan bermasyarakat, maupun dalam penyelenggaraan

pemerintahan. Strategi pembangunan syari’at Islam adalah sebagai berikut:

1. Meningkatkan peran ulama dalam semua sektor kehidupan pemerintah dan

masyarakat.

2. Meningkatkan kerjasama dan koordinasi keagamaan baik dengan instansi

terkait maupun lembaga keagamaan tingkat Nasional dan Internasional.

3. Meningkatkan kualitas pendidikan agama di sekolah-sekolah dan perguruan

tinggi.

4. Meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran masyarakat

tentang pelaksanaan Syari’at Islam.

5. Meningkatkan pengawasan tentang pelaksanaan Syari’at Islam.

6. Meningkatkan pemberdayaan lembaga keagamaan dalam melakukan

sertifikasi, penatausahaan, pengelolaan dan pemberdayaan harta agama.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 IV-14

4.5.2 Sosial Budaya

Budaya masyarakat Aceh memiliki karakteristik yang berbeda dengan

budaya daerah lain, masyarakat Aceh selalu mempertahankan jati diri dan

kepribadian yang mendasari nilai-nilai islami. Begitu juga kehidupan sosial erat

kaitannya dengan budaya dan adat istiadat yang bersendikan syari’at

sebagaimana ditamsilkan dalam syair ”hukom ngoen adat lage zat ngoen

sifeut”. Untuk itu strategi yang ditempuh sebagai berikut:

1. Meningkatkan kualitas dan pelayanan kesejahteraan sosial di seluruh Aceh.

2. Meningkatkan dan mengembangkan potensi sumber daya sosial.

3. Mengembangkan dan membangun ekonomi masyarakat pedesaan dan

pengentasan kemiskinan.

4. Meningkatkan dan penguatan kelembagaan pengarusutamaan gender dan

anak dalam pengambilan keputusan dan kebijakan pembangunan.

5. Meningkatkan kualitas hidup dan perlindungan hukum terhadap perempuan

dan anak.

6. Meningkatkan peran dan hubungan antar lembaga pemuda serta

pengembangan sistem kaderisasi organisasi kepemudaan.

7. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pemuda dalam rangka

Menanggulangi dampak demoralitas pemuda.

8. Membudayakan olahraga di kalangan masyarakat.

9. Memotivasi penguatan institusi keolahragaan di daerah melalui

bantuan/subsidi.

10. Meningkatkan penguatan peran kelembagaan adat.

11. Memaksimalkan peran dan koordinasi antar lembaga adat dengan pihak-

pihak yang terkait.

12. Mengembangkan apresiasi budaya, kesenian, bahasa dan adat istiadat.

13. Melestarikan dan memelihara situs dan cagar budaya.

14. Meningkatkan jumlah wisatawan dalam dan luar negeri dengan

mengikutsertakan peran serta masyarakat, berlandaskan pada sosial

budaya ke-Acehan dan bernuansa Islami.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 IV-15

15. Menumbuhkan kultur demokrasi yang sehat, kompetitif dialogis dan

rasional.

16. Melestarikan dan menghargai nilai-nilai kepahlawanan para pejuang.

17. Menggali dan membina kekayaan adat istiadat, seni, budaya dan bahasa.

18. Meningkatkan penguatan fungsi meunasah sebagai pusat pemberdayaan

masyarakat.

19. Meningkatkan penegakan hukum adat di tingkat gampong dan kemukiman.

4.6 Penciptaan Pemerintah Yang Baik dan Bersih Serta Penyehatan

Birokrasi Pemerintahan

Dalam rangka menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih

sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat dalam menjalankan roda

pemerintahan mulai dari pemerintah gampong, mukim, kecamatan, kabupaten

dan provinsi perlu dilakukan strategi sebagai berikut:

1. Mewujudkan pemerintahan yang transparan, partisipatif dan akuntabel.

2. Membangun kelembagaan pemerintah daerah yang sesuai dengan

kebutuhan.

3. Meningkatkan sarana dan prasarana pendukung kinerja.

4. Memperjelas kewenangan antara pemerintah provinsi, kabupaten/kota,

kecamatan dan gampong.

5. Memfasilitasi penyelesaian masalah tata ruang dan batas wilayah

administrasi bagi kabupaten/kota.

6. Menyelesaikan pemetaan, pemberian nama-nama, toponomi pulau kecil

dan terluar.

7. Menetapkan batas wilayah administrasi, titik kordinat, dan penguasaan

wilayah secara ekonomi dan sosial budaya.

8. Meningkatkan kapasitas Sumber Daya aparatur.

9. Melakukan revitalisasi baperjakat dalam penempatan dan penjenjangan

karir aparatur.

10. Memberikan penghargaan dan sanksi kepada aparatur secara adil.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 IV-16

11. Menerapkan sistem birokrasi pemerintahan yang baik dan bersih.

12. Meningkatkan pemahaman berbangsa dan bernegara dalam rangka

memeliharan keutuhan NKRI.

13. Meningkatkan pengetahuan kader politik yang bebas, adil dan islami serta

memihak kepentingan masyarakat.

14. menjamin perbedaan berpendapat dan berpolitik

15. Meningkatkan etika dan pendidikan politik yang sehat melalui rasa saling

percaya dan menghargai (sportifitas) di dalam kelompok masyarakat.

16. Meningkatkan pemahaman terhadap hukum di Aceh dan Pengkajian

materi hukum sesuai dengan amanah UUPA.

17. Meningkatkan kapasitas dan sumber daya aparat penegak hukum serta

dukungan sarana dan prasarana.

18. Mengupayakan bantuan hukum dalam kasus prodeo dan Peningkatan

penyuluhan hukum kepada masyarakat.

19. Melakukan Inventarisasi kebijakan kabupaten/kota yang bertentangan

dengan kepentingan umum dan ketentuan perundang-undangan lebih

tinggi.

20. Meningkatkan kapasitas aparatur dan penyediaan fasilitas sarana,

prasarana Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).

4.7 Penanganan dan Pengurangan Resiko Bencana

Secara substansial, penanggulangan bencana dilakukan sejak awal yaitu

dengan mengurangi ancaman, meningkatkan kapasitas dan mengurangi

kerentanan individu dan masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan pemetaan

ancaman bencana, kerentanan dan kapasitas masyarakat dengan menganalisa

risiko secara komprehensif.

Strategi penanggulangan bencana secara umum dilakukan dengan

mengurangi resiko ancaman yang meliputi :

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 IV-17

1. Meningkatkan perlindungan daerah atau kawasan lindung dari eksploitasi

ekonomi yang bersifat destruktif, melalui regulasi dan penegakan hukum

serta perkuatan fungsi masyarakat sekitar kawasan untuk mengelolanya.

2. Meningkatkan pembangunan ekonomi masyarakat bagi pelaku usaha skala

mikro, kecil dan menengah sebagai bagian peningkatan kapasitas ekonomi

masyarakat.

3. Meningkatkan pembangunan, pemeliharaan dan pendayagunaan

infrastruktur secara optimal sebagai salah satu bagian dari pengurangan

ancaman bencana.

4. Mengupayakan penyediaan sarana dan prasarana dasar yang bersifat

antisipatif dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana termasuk

prosedur standar pelayanan.

5. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat melalui penyebarluasan

informasi, pelatihan ketrampilan dalam rangka penanganan pengurangan

resiko bencana.

6. Meningkatkan peran aktif semua komponen masyarakat (termasuk dunia

usaha dan instansi vertikal di daerah) sebagai satu kesatuan sistem

masyarakat Aceh sebagai subyek dan atau obyek dalam pengurangan

risiko bencana.

7. Meningkatkan pemahaman dan peran SKPA/SKPK dalam penyelenggaraan

pengurangan risiko bencana.

8. Memberikan perhatian khusus kepada wanita, anak dan lansia dalam hal

mewujudkan kesejajaran dan menumbuhkan kemitraan.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 V-1

BAB V

ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN ACEH

Arah kebijakan keuangan Aceh yaitu mengelola pendapatan dan belanja

daerah sehingga mendukung berbagai kebijakan Pemerintah Daerah dalam

penyusunan program dan kegiatan secara efektif dan efisien sehingga tercapai

sasaran sesuai dengan tujuan yang direncanakan.

Pengelolaan keuangan Aceh dilaksanakan dalam suatu sistem yang

terintegrasi yang diwujudkan dalam APBA mengacu kepada penyusunan anggaran

berbasis kinerja yang setiap tahun ditetapkan dengan qanun. Adapun ruang

lingkup pengelolaan keuangan Aceh meliputi:

1. Hak untuk memungut pajak dan retribusi serta melakukan pinjaman;

2. Kewajiban untuk membiayai penyelenggaraan urusan pemerintahan,

melaksanakan pembangunan dan membayar tagihan pihak ketiga;

3. Pengelolaan pendapatan Aceh;

4. Pengelolaan belanja Aceh;

5. Pengelolaan pembiayaan daerah yang meliputi aspek kekayaan daerah yang

dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang,

barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan

yang dipisahkan pada perusahaan daerah, kekayaan pihak lain yang dikuasai

oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan

daerah dan/atau kepentingan umum.

Dalam rangka penyelenggaraan urusan Pemerintahan Aceh berdasarkan

UUPA, diikuti dengan pemberian sumber pendanaan kepada Pemerintah Aceh.

Oleh karena itu, keuangan daerah harus diarahkan pengelolaannya secara tertib,

taat azas sesuai peraturan perundang-undangan, efisien, efektif, transparan, dan

akuntabel dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan memberi manfaat

yang besar bagi masyarakat.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 V-2

5.1 Arah Kebijakan Pengelolaan Pendapatan

Dalam pengelolaan anggaran pendapatan daerah harus diperhatikan upaya

peningkatan pendapatan pajak dan retribusi daerah secara terus menerus tanpa

harus menambah beban bagi masyarakat. Pendapatan daerah yang berasal dari

PAA dalam struktur APBA merupakan elemen yang cukup penting peranannya

dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan dan pemberian pelayanan

kepada publik. Apabila dikaitkan dengan pembiayaan daerah secara keseluruhan,

maka pendapatan daerah yang berasal dari daerah sendiri (PAA) merupakan

alternatif utama dalam mendukung program kegiatan penyelenggaraan

pemerintahan dan pelayanan publik di samping pendapatan yang berasal dari

Pemerintah berdasarkan UUPA.

Kondisi Umum Anggaran Pendapatan Aceh tahun 2007-2012 disusun

dengan mempertimbangkan adanya berbagai perubahan ke arah semakin

membaiknya kondisi keamanan pasca kesepakatan damai antara RI-GAM di

Helsinki Finlandia yang ditindaklanjuti dengan pengesahan Undang-undang Nomor

11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Kondisi ini diikuti dengan mulai

normalnya kondisi sosial serta psikologis masyarakat pasca bencana alam dan

gelombang Tsunami yang berpengaruh kepada semakin membaiknya tatanan

kehidupan masyarakat.

Untuk membiayai berbagai program kegiatan Pemerintah Daerah, baik

urusan wajib maupun urusan pilihan dalam kerangka meningkatkan pelayanan

kepada masyarakat sangat ditentukan oleh ketersediaan dana. Berdasarkan pasal

179 ayat (2) UUPA, Pendapatan Daerah terdiri atas PAA, Dana Perimbangan, Dana

Otonomi Khusus, dan lain-lain pendapatan yang sah.

Adapun jenis PAA terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil

pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, keuntungan perusahaan daerah,

zakat dan lain-lain Pendapatan Asli Aceh yang sah.

Dana perimbangan sebagaimana dimaksud di atas terdiri atas:

1. Dana bagi hasil pajak, yaitu bagian dari : (a) penerimaan Pajak Bumi dan

Bangunan (PBB) sebesar 90 persen (sembilan puluh persen); (b) penerimaan

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 80 persen

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 V-3

(delapan puluh persen); dan (c) penerimaan Pajak Penghasilan (PPh Pasal 25

dan Pasal 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh Pasal 21)

sebesar 20 persen (dua puluh persen).

2. Dana bagi hasil yang bersumber dari hidrokarbon dan sumber daya alam lain,

yaitu: (a) bagian dari kehutanan sebesar 80 persen (delapan puluh persen);

(b) bagian dari perikanan sebesar 80 persen (delapan puluh persen); (c)

bagian dari pertambangan umum sebesar 80 persen (delapan puluh persen);

(d) bagian dari pertambangan panas bumi sebesar 80 persen (delapan puluh

persen);(e) bagian dari pertambangan minyak sebesar 15 persen (lima belas

persen); dan (f) bagian dari pertambangan gas bumi sebesar 30 persen (tiga

puluh persen).

3. Dana Alokasi Umum (DAU).

4. Dana Alokasi Khusus (DAK).

5. Dana Tambahan Bagi Hasil Migas dan Dana OTSUS tambahan 2 persen dari

DAU Nasional selama 15 Tahun dan dilanjutkan 1 persen dari DAU Nasional

selama 5 tahun.

Selain dana bagi hasil sebagaimana disebutkan di atas, Pemerintah Aceh

mendapat tambahan dana bagi hasil minyak dan gas bumi yang merupakan

bagian dari penerimaan Pemerintah Aceh, yaitu bagian dari: 1). pertambangan

minyak sebesar 55 persen (lima puluh lima persen); dan 2) pertambangan gas

bumi sebesar 40 persen (empat puluh persen).

Pemerintah Aceh berwenang mengelola tambahan dana bagi hasil minyak

dan gas bumi sebagaimana dimaksud di atas. Dana tersebut merupakan

pendapatan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA). Dimana 30

persen (tiga puluh persen) dari pendapatan tersebut dialokasikan untuk

membiayai pendidikan dan 70 persen (tujuh puluh persen) dialokasikan untuk

membiayai program pembangunan yang disepakati bersama antara Pemerintah

Aceh dengan pemerintah kabupaten/kota. Program pembangunan yang sudah

disepakati tersebut dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh.

Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota mengelola APBA/APBK

secara tertib, taat kepada peraturan perundang-undangan, efisien, efektif,

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 V-4

transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan,

kepatutan dan manfaat untuk masyarakat. Pengelolaan APBA dan APBK

dilaksanakan melalui suatu sistem yang diwujudkan dalam APBA dan APBK,

mengacu kepada penyusunan anggaran yang berbasis kinerja yang setiap

tahunnya diatur dengan qanun.

Alokasi anggaran belanja untuk pelayanan publik dalam APBA/APBK

diupayakan lebih besar dari alokasi anggaran belanja untuk aparatur. Dalam

keadaan tertentu, Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota dapat

menyusun APBA/APBK yang berbeda dengan ketentuan di atas.

Anggaran untuk penyelenggaraan pendidikan paling sedikit 20 persen (dua

puluh persen) dari APBA/APBK dan diperuntukkan bagi pendidikan Pada tingkat

sekolah dasar dan menengah. Pengelolaan dana pendidikan

dipertanggungjawabkan oleh Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota

dalam pertanggungjawaban APBA/APBK.

Pemerintah melaksanakan prinsip transparansi dalam pengelolaan

keuangan daerah. Pemerintah Aceh harus menerima auditor independen yang

ditunjuk oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan pemeriksaan

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BPK menyerahkan

hasil pemeriksaan tersebut kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh.

Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berwenang mengatur

tata cara pengadaan barang dan jasa yang menggunakan dana APBA dan APBK

dengan berpedoman Padaperaturan perundang-undangan. Pemerintah Aceh

menetapkan sistem akuntansi keuangan dengan berpedoman Pada standar

akuntansi pemerintahan.

Pemerintah Aceh berwenang menetapkan persyaratan untuk lembaga

keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank dalam penyaluran kredit di

Aceh sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya pemerintah Aceh dapat menetapkan tingkat suku bunga tertentu

setelah mendapatkan kesepakatan dengan lembaga keuangan bank dan lembaga

keuangan bukan bank terkait.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 V-5

Pemerintah Aceh dapat menanggung beban bunga akibat tingkat suku

bunga untuk program pembangunan tertentu yang telah disepakati dengan DPRA.

Bank asing dapat membuka cabang atau perwakilan di Aceh sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

Setiap pelimpahan wewenang pemerintah kepada Gubernur sebagai Wakil

Pemerintah di daerah disertai dengan dana. Kegiatan dekonsentrasi di daerah

dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat daerah yang ditetapkan oleh Gubernur.

Gubernur Aceh memberitahukan rencana kerja dan anggaran pemerintah yang

berkaitan dengan tugas yang dilimpahkan dalam rangka dekonsentrasi kepada

DPRA.

Dalam hal tugas pembantuan dari Pemerintah kepada Pemerintah Aceh dan

pemerintah kabupaten/kota, mukim/gampong disertai dengan dana. Kegiatan

tugas pembantuan dilaksanakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah yang

ditetapkan oleh gubernur, bupati/walikota. Gubernur, bupati/ walikota

memberitahukan rencana kerja dan anggaran Pemerintah yang berkaitan dengan

tugas pembantuan kepada DPRA/DPRK. Semua barang yang diperoleh dari dana

tugas pembantuan menjadi barang milik negara. Barang milik negara dapat

dihibahkan kepada Pemerintah Daerah, pemerintah kabupaten/kota, dan

mukim/gampong.

Arah dan kebijakan keuangan daerah tahun 2007 - 2012 yang ditempuh

dalam meningkatkan Pendapatan Daerah adalah :

1. Menghimpun penerimaan dari semua sumber pendapatan daerah secara

optimal sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku;

2. Mengupayakan peningkatan PAA dari masing-masing bagian pendapatan

daerah sehingga kebutuhan pembiayaan Pemerintah Aceh dapat dipenuhi

secara tepat dan cukup; dan

3. Memberdayakan segenap potensi yang dimiliki untuk dapat meningkatkan

pendapatan daerah.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 V-6

Agar arah dan kebijakan pendapatan daerah tersebut dapat dicapai, maka

ditetapkan beberapa strategi yaitu:

1. Pemberdayaan segenap aparatur, dengan cara meningkatkan motivasi, disiplin

dan etos kerja guna dapat meningkatkan kinerja;

2. Meningkatkan koordinasi dengan segenap instansi/institusi dalam rangka

mengoptimalkan pendapatan daerah baik di daerah maupun pusat serta antar

provinsi;

3. Memperluas jangkauan pelayanan, dengan membuka tempat-tempat

pelayanan pajak daerah, retribusi daerah dan pendapatan lainnya di

kabupaten/kota sepanjang dapat meningkatkan penerimaan pendapatan

daerah;

4. Sosialisasi melalui pemanfaatan berbagai media komunikasi dalam rangka

intensifikasi pemungutan pajak daerah, retribusi daerah, dan penerimaan

lain-lain yang sah;

5. Melakukan pendekatan yang intensif dengan berbagai pihak, baik dalam

rangka peningkatan sumbangan pihak ketiga maupun penerimaan yang

bersumber dari bagi hasil dan Dana Alokasi Umum (DAU);

6. Mempecepat penetapan qanun yang mengatur tentang berbagai PAA yang

belum ada pengaturannya; dan

7. Reformasi pelayanan investasi sebagai bagian dari sistem perekonomian

nasional dalam rangka penciptaan perekonomian Aceh yang terbuka dan

tanpa hambatan.

5.2 Arah Kebijakan Pengelolaan Belanja

Belanja Aceh diarahkan kepada peningkatan proporsi belanja yang berpihak

untuk kepentingan publik, di samping tetap menjaga eksistensi penyelenggaraan

pemerintahan. Dalam penggunaannya, belanja daerah harus tetap

mengedepankan efisiensi dan efektivitas serta penghematan yang dilakukan

dengan cara penganggaran belanja yang mengacu pada penyusunan anggaran

berbasis kinerja sesuai dengan prioritas program kegiatan.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 V-7

Dalam rangka peningkatan sumber daya manusia, Pemerintah Aceh

mengupayakan 20 persen dari total belanja setiap tahunnya untuk membiayai

pembangunan pendidikan sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang

Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Selanjutnya

sebagaimana yang diamanatkan oleh UUPA bahwa kebijakan belanja khusus

pemanfaatan pendapatan yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus dan

Tambahan Dana Bagi Hasil Migas adalah sesuai yang diatur oleh Qanun Nomor 2

Tahun 2008.

Sebagaimana ketentuan yang telah diatur pada penjelasan pasal 17 ayat 3

dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan pasal

83 ayat 2 berikut penjelasannya dalam Undang-undang Nomor 33 tahun 2004

tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,

maka jumlah kumulatif defisit anggaran tidak diperkenankan melebihi 3 persen

dari Produk Domestik Regional Bruto tahun bersangkutan.

5.3 Arah Kebijakan Umum Anggaran

a) Pendapatan Daerah

Formulasi kebijakan dalam mendukung pengelolaan anggaran pendapatan

Aceh akan lebih difokuskan Pada upaya untuk mobilisasi pendapatan asli daerah

dan penerimaan daerah lainnya. Kebijakan pendapatan daerah Provinsi Aceh

tahun 2007-2012 diperkirakan akan mengalami pertumbuhan rata-rata sekitar 5 -

6 persen serta diperkirakan akan dapat meningkatkan penerimaan daerah.

Pertumbuhan komponen pajak daerah, retribusi daerah, penerimaan dari zakat,

bagian laba dari BUMD dan hasil Perusahaan Daerah akan menjadi faktor yang

penting dalam mendorong pertumbuhan PAA untuk masa yang akan datang. PAA

yang besar akan meningkatkan kemampuan membiayai kegiatan

pembangunan/investasi, sedangkan biaya rutin dibiayai oleh dana pemerintah

pusat.

Dana Perimbangan merupakan komponen dari Bagi Hasil Pajak sebagai

bagian yang penting dalam meningkatkan pendapatan daerah untuk periode 2007-

2012. Disamping dana perimbangan, pemerintah Aceh mendapat Dana Otonomi

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 V-8

Khusus sebagaimana diatur dalam UUPA. Dana Otonomi khusus ini ditujukan

untuk membiayai kegiatan pembangunan seperti pembangunan dan pemeliharaan

infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, perbaikan

pendidikan, kehidupan sosial, dan kesehatan. Dana Otonomi Khusus ini berlaku

untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, dengan rincian untuk tahun pertama

sampai dengan tahun kelima belas yang besarnya setara dengan 2% (dua persen)

plafon Dana Alokasi Umum Nasional dan untuk tahun keenam belas sampai

dengan tahun kedua puluh yang besarnya setara dengan 1% (satu persen) plafon

Dana Alokasi Umum Nasional.

Ketentuan dimaksud berlaku untuk daerah Aceh sesuai dengan batas

wilayah Aceh. Program pembangunannya dituangkan dalam program

pembangunan provinsi dan kabupaten/kota di Aceh dengan memperhatikan

keseimbangan kemajuan pembangunan antar kabupaten/kota untuk dijadikan

dasar pemanfaatan dana otonomi khusus yang pengelolaannya diadministrasikan

Pada Pemerintah Provinsi Aceh. Penggunaan Dana Otonomi Khusus dilakukan

untuk setiap tahun anggaran yang diatur lebih lanjut dalam Qanun Aceh.

Selanjutnya untuk mengkoordinasikan tambahan Dana Bagi Hasil dan Dana

Otonomi Khusus, Gubernur dapat membentuk satuan unit kerja.

Terdapat beberapa hal yang cukup signifikan terkait dengan prospek

keuangan daerah ke depan antara lain adalah, Bahwa peranan pajak daerah dan

BUMD dalam memberikan sumbangan kepada PAA kedepan akan semakin

penting. Untuk itu, upaya ekstensifikasi melalui perluasan basis pajak tanpa harus

menambah beban kepada masyarakat dan intensifikasi melalui upaya yang terus

menerus dalam melakukan perbaikan kedalam dan senantiasa meningkatkan

kesadaran wajib pajak dan retribusi tetap dilanjutkan secara konsisten, termasuk

upaya meningkatkan efisiensi, baik di tubuh penyelenggara pemerintahan daerah

Provinsi Aceh maupun pada setiap perusahaan daerah.

Disamping upaya ekstensifikasi PAA sebagaimana yang telah disampaikan,

juga perlu prioritas pembangunan harus benar-benar fokus pada sektor-sektor

yang mampu menarik investasi guna mendorong pertumbuhan ekonomi dalam

upaya memperluas basis PAA dan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 V-9

Penerimaan PAA selama ini sangat didominasi oleh Pajak Kendaraan

Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB). Pada tahun

2007, kedua jenis PAA ini diperkirakan akan mengalami kenaikan yang cukup

berarti, terutama dengan meningkatnya penambahan jumlah kenderaan baru

akibat meningkatnya kesejahteraan rakyat. Perubahan-perubahan yang terjadi

perlu dicermati secara tepat dalam menetapkan perkiraan yang lebih realistik

untuk tahun 2007 - 2012.

Di samping itu, pasca pengesahan UUPA dan suksesnya Pemilihan Kepala

Daerah secara langsung akan berdampak Pada berkembangnya perekonomian

daerah yang Padagilirannya dapat memperbesar jumlah basis dan kapasitas PAA.

Perkiraan PAA yang direncanakan tetap mengacu kepada ketentuan

Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000, Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 65

Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 tentang

Retribusi Daerah.

Retribusi daerah merupakan bagian yang cukup berarti dari penerimaan

PAA. Retribusi ini terkait dengan pengelolaan kepemilikan sumber daya alam yang

dikuasai oleh Pemerintah Daerah dan pungutan atas pelayanan publik. Pelayanan

publik yang baik dan luas berpengaruh secara positif terhadap peningkatan

retribusi daerah.

Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah termasuk bagi hasil keuntungan

yang diperoleh dari Perusahaan Daerah, sumbangan pihak ketiga, penerimaan

atas pelayanan oleh Dinas atau Unit Kerja lainnya, jasa giro dan lain-lain, dapat

ditingkatkan melalui pembinaan dan sosialisasi yang intensif.

Penetapan zakat sebagai salah satu sumber PAA oleh Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 2001 jo UUPA No. 11 Tahun 2006. Zakat, harta wakaf, dan

harta agama dikelola oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal Kabupaten/Kota. Zakat

yang dibayar menjadi faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan

terhutang dari wajib pajak. Oleh karena itu, potensi ini perlu ditangani secara

tepat dengan mempersiapkan Qanun dan manajemen yang baik untuk

mengelolanya.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 V-10

Secara teoritis, pendapatan daerah akan sangat dipengaruhi oleh kondisi

perekonomian Aceh yang akan terjadi sampai dengan tahun 2012, atau dengan

kata lain, bahwa suatu pendapatan daerah - termasuk Pendapatan Asli Aceh -

harus benar-benar mampu merespon perkembangan ekonomi yang diperkirakan

akan terjadi.

Basis PAA pada dasarnya ditentukan oleh besaran kegiatan ekonomi di

daerah. Besaran kegiatan ekonomi dapat diukur dengan perkembangaan PDRB.

Seterusnya perkembangan PDRB tergantung pada besaran investasi dan efisiensi

penggunaan modal yang dapat diukur dengan rasio tambahan modal terhadap

tambahan pendapatan (ICOR). Beberapa asumsi ekonomi makro yang

berpengaruh pada peningkatan PAA antara lain:

a. Pertumbuhan ekonomi Aceh diperkirakan berkisar antara 5 - 6% selama

periode 2007 - 2012.

b. Selama periode 2007-2012 proyeksi tingkat inflasi diperkirakan akan mencapai

sekitar 8 persen untuk setiap tahunnya, dan;

c. Incremental Capital Output Ratio (ICOR) tahunan selama periode proyeksi

adalah sekitar antara 3,9 kemudian menurun menjadi 3,5 dalam tahun 2012.

Proyeksi pendapatan daerah sesuai dengan berbagai sumber pendapatan

yang telah dijelaskan dapat ditunjukkan PadaTabel 5.1.

Tabel V.1Proyeksi dan Prospek Pendapatan Daerah Aceh

Tahun 2007-2012(Jutaan rupiah)

NoJenis

Pendapatan2007 2008 2009 2010 2011 2012

1 PAA 537.500 625.500 714.700 806.208 897.310 989.909

2 Dana

Perimbangan3.319.647 3.443.123 3.624.648 3.846.620 4.126.316 4.642.948

3 Dana Otsus - 3.800.000 4.180.000 4.598.000 5.057.800 5.563.580

Jumlah 3.857.147 7.868.623 8.519.348 9.250.828 10.081.426 11.196.437

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 V-11

b) Belanja Aceh

Kebijakan belanja daerah sampai dengan tahun 2012 diperkirakan masih

didominasi oleh belanja langsung berkisar sekitar 75 - 80 persen. Sedangkan

untuk belanja tidak langsung berkisar 20 - 25 persen. Belanja daerah yang

diakomodasi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) merupakan

rencana belanja tahunan untuk membiayai berbagai kegiatan pemerintah baik

yang bersifat rutin maupun pembangunan ditetapkan dengan qanun. Berdasarkan

pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan

Keuangan Daerah, belanja daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan

urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota

yang terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan ditetapkan dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Belanja penyelenggaraan urusan wajib diprioritaskan untuk melindungi dan

meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban

daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan,

kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan

sistem jaminan sosial.

Peningkatan kualitas kehidupan masyarakat diwujudkan melalui perluasan

lapangan kerja, pencapaian standar hidup minimal berdasarkan urusan wajib

pemerintah Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan

kegiatan, serta jenis belanja. Sedangkan klasifikasi belanja menurut organisasi

disesuaikan dengan susunan organisasi pemerintahan daerah. Adapun klasifikasi

belanja menurut fungsi terdiri dari:

a. Klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan;

b. Klasifikasi untuk tujuan keselarasan serta keterpaduan dalam rangka

pengelolaan keuangan negara.

c. Klasifikasi belanja berdasarkan urusan pemerintahan diklasifikasikan menurut

kewenangan pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota. Sedangkan

klasifikasi belanja menurut fungsi digunakan untuk tujuan keselarasan dan

keterpaduan pengelolaan keuangan negara terdiri dari: 1) pelayanan umum;

2) ketertiban dan keamanan; 3) ekonomi; 4) lingkungan hidup; 5) perumahan

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 V-12

dan fasilitas umum; 6) kesehatan; 7) pariwisata dan budaya; 8) agama; 9)

pendidikan; serta 10) perlindungan sosial.

d. Klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan disesuaikan dengan urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.

Beberapa asumsi pokok yang akan mempengaruhi kebijakan belanja daerah

kedepan adalah:

a. Perkiraan penerimaan pendapatan daerah diharapkan dapat terpenuhi,

sehingga dapat memberikan dukungan terhadap pertumbuhan perekonomian

daerah dan mampu mencukupi kebutuhan pelayanan dasar serta

penyelenggaraan pemerintahan

b. Perkiraan kebutuhan belanja daerah dapat mendanai program-program

strategis daerah dalam mendukung dan menjaga target-target indikator yang

telah ditetapkan.

Dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan yang lebih berkualitas

dan berdaya guna bagi masyarakat maka prioritas belanja Aceh juga diarahkan

untuk membiayai penuntasan asset, fungsionalisasi asset dan percepatan

pembangunan Aceh.

c) Pembiayaan Daerah

Pembiayaan Daerah merupakan setiap penerimaan yang perlu dibayar

kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun

anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.

Pembiayaan daerah tersebut meliputi semua transaksi keuangan untuk menutup

defisit atau untuk memanfaatkan surplus.

Pembiayaan daerah terdiri dari penerimaan pembiayaan dan pengeluaran

pembiayaan. Berdasarkan PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan

Keuangan Daerah yang merupakan pelaksanaan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Penerimaan

pembiayaan mencakup;

a. SiLPA tahun anggaran sebelumnya;

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 V-13

b. SiLPA tahun anggaran sebelumnya mencakup sisa dana untuk mendanai

kegiatan lanjutan, uang pihak ketiga yang belum diselesaikan, pelampauan

target pendapatan daerah, penerimaan dan pengeluaran lainnya yang belum

diselesaikan melalui kas daerah sampai dengan akhir tahun anggaran

sebelumnya.

c. Pencairan dana cadangan;

d. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan;

e. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan dapat berupa hasil penjualan

perusahaan milik daerah/BUMD dan penjualan aset milik pemerintah daerah

yang dikerjasamakan dengan pihak ketiga, atau hasil divestasi penyertaan

modal pemerintah daerah;

f. Penerimaan pinjaman;

g. Termasuk dalam penerimaan pinjaman daerah adalah penerbitan obligasi

daerah yang akan direalisasikan PAA tahun anggaran berkenan;

h. Penerimaan kembali pemberian pinjaman;

Sedangkan pengeluaran pembiayaan mencakup:

a. Pembentukan dana cadangan;

b. Penyertaan modal pemerintah daerah;

c. Pembayaran pokok utang; dan

d. Pemberian pinjaman.

Pembiayaan netto merupakan selisih lebih penerimaan pembiayaan

terhadap pengeluaran pembiayaan. Jumlah pembiayaan netto harus dapat

menutup defisit anggaran.

Adapun kebijakan yang ditetapkan dalam menyertai Pembiayaan Daerah

yang dapat ditempuh adalah optimalisasi sumber penerimaan pembiayaan yang

paling mungkin dapat dilakukan secara cepat, yaitu dari Sisa Lebih Perhitungan

Anggaran Tahun Lalu. Selain itu juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan

pengeluaran pembiayaan yang timbul dari pernyertaan modal dan pembayaran

utang pokok yang jatuh tempo.

Asumsi dasar yang menyertai dalam penetapan kebijakan pembiayaan di

atas, adalah alternatif pembiayaan dari sisi penerimaan diharapkan mampu

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 V-14

memenuhi kebutuhan pembiayaan dari sisi pengeluaran. Alternatif penerimaan

pembiayaan yang bisa dikembangkan, seperti : pinjaman daerah, penerbitan surat

obligasi dan penjualan aset, baik yang akan dipergunakan untuk penyertaan modal

maupun pembayaran angsuran utang pokok yang akan jatuh tempo, ataupun

program pengeluaran pembiayaan lainnya yang timbul sebagai akibat dari

pengembangan alternatif penerimaan pembiayaan.

Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat memperoleh

pinjaman dari Pemerintah yang dananya bersumber dari luar negeri atau

bersumber selain dari pinjaman luar negeri dengan persetujuan Menteri Keuangan

setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri. Pemerintah Aceh dan

pemerintah kabupaten/kota dapat memperoleh pinjaman dari dalam negeri yang

bukan berasal dari pemerintah dengan pertimbangan Menteri Dalam Negeri.

Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat menerima hibah

dari luar negeri dengan kewajiban memberitahukan kepada Pemerintah dan

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)/ Dewan Perwakilan Rakyat

Kabupaten/Kota (DPRK). Penerimaan hibah bersifat tidak mengikat secara politis

baik terhadap Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota;

tidak mempengaruhi kebijakan Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota;

tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan; dan tidak bertentangan

dengan ideologi negara. Dalam hal hibah mensyaratkan adanya kewajiban yang

harus dipenuhi Pemerintah seperti hibah yang terkait dengan pinjaman dan yang

mensyaratkan adanya dana pendamping, harus dilakukan melalui Pemerintah dan

diberitahukan kepada DPRA/DPRK.

Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat menerbitkan

obligasi daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemerintah Aceh

dan pemerintah kabupaten/kota dapat menyediakan dana cadangan yang

disisihkan untuk menampung kebutuhan yang memerlukan dana relatif besar yang

tidak dapat dipenuhi dalam satu tahun anggaran.

Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat melakukan

penyertaan modal/kerja sama pada/dengan Badan Usaha Milik Negara/Daerah

dan/atau badan usaha milik swasta atas dasar prinsip saling menguntungkan.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 V-15

Penyertaan modal/kerja sama dapat ditambah, dikurangi, dijual kepada pihak lain,

dan/atau dapat dilakukan divestasi atau dialihkan kepada badan usaha milik

daerah. Penyertaan modal/kerja sama tersebut dilaksanakan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan dan anggaran yang timbul akibat penyertaan

modal/kerja sama dicantumkan dalam APBA/APBK.

Adapun kebijakan yang ditetapkan dalam menyertai Pembiayaan Daerah

adalah sebagai berikut :

a. Pendapatan Daerah tahun 2007 - 2012 diperkirakan akan mengalami

pertumbuhan rata-rata sekitar 25 persen, sedangkan kebutuhan Belanja

Daerah diperkirakan akan mengalami pertumbuhan rata-rata sekitar 30

persen. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa perkiraan kebutuhan belanja

daerah lebih besar dari perkiraan pendapatan daerah, sehingga APBD tahun

2007 - 2012 diperkirakan akan mengalami defisit anggaran rata-rata sekitar

15 persen.

b. Optimalisasi sumber penerimaan pembiayaan yang paling mungkin dapat

dilakukan secara cepat, yaitu dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun

Lalu. Selain itu juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran

pembiayaan yang timbul dari pernyertaan modal dan pembayaran utang

pokok yang jatuh tempo.

Asumsi dasar yang menyertai dalam penetapan kebijakan pembiayaan

diatas, adalah :

a. Kumulatif defisit APBD tahun 2007 - 2012 diperkirakan rata-rata sekitar 38

persen dari proyeksi PDRB tahun 2006 - 2010.

b. Alternatif pembiayaan dari sisi penerimaan diharapkan mampu memenuhi

kebutuhan pembiayaan dari sisi pengeluaran.

Alternatif penerimaan pembiayaan yang bisa dikembangkan, seperti:

pinjaman daerah, penerbitan surat obligasi dan penjualan aset - baik yang akan

dipergunakan untuk penyertaan modal maupun pembayaran angsuran utang

pokok yang akan jatuh tempo, ataupun program pengeluaraan pembiayaan

lainnya yang timbul sebagai akibat dari pengembangan alternatif penerimaan

pembiayaan.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 V-16

Khusus dalam pengelolaan pinjaman daerah, harus diperhatikan

kemampuan daerah dalam menyediakan sejumlah dana untuk menutup kewajiban

membayar. Berdasarkan perhitungan kasar dengan menerapkan metode kalkulasi

Debt Service Coverage Ratio (DSCR) menunjukkan bahwa, prospek kemampuan

daerah (APBA) Aceh selama periode 2007 - 2012 menunjukkan rata-rata DSCR

sebesar 46,22 atau rata-rata diatas batas rasio yang dipersyaratkan (2,5). Hal ini

mengindikasikan bahwa kemampuan APBA dalam menyediakan sejumlah dana

dalam periode waktu tertentu untuk menutup kewajiban membayar pinjaman

masih bisa dilakukan.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VI-1

BAB VI

ARAH KEBIJAKAN UMUM

Berdasarkan UU No 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,

penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah menggunakan asas otonomi dan

tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan yang bertujuan untuk meningkatkan

kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Untuk itu pemerintah daerah

mempunyai peluang yang besar untuk melakukan perubahan-perubahan yang

bersifat fundamental dalam segala aspek kehidupan masyarakat yang di

implimentasikan melalui berbagai kebijakan umum pemerintah daerah.

Arah kebijakan umum pemerintah Provinsi Aceh selama jangka waktu 2007-

2012 adalah sebagai berikut:

6.1 Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat, Perluasan Kesempatan Kerja

dan Penanggulangan Kemiskinan

Arah kebijakan umum pembangunan ekonomi Aceh pada dasarnya adalah

dalam rangka mewujudkan peningkatan aktivitas perekonomian daerah yang

bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melalui upaya

peningkatan pertumbuhan ekonomi hingga mencapai 5 -6 persen, penurunan

tingkat kemiskinan menjadi sekitar 16 persen dan tingkat pengangguran mampu

ditekan menjadi 7,6 persen.

Adapun untuk mencapai hal sebagaimana tersebut diatas maka perlu

ditempuh beberapa kebijakan sebagai berikut:

1. Peningkatan pengelolaan potensi pertanian dan perikanan seoptimal mungkin

dengan prinsip-prinsip agribisnis sebagai tulang punggung ekonomi daerah

yang berkelanjutan

2. Pengembangan komoditi unggulan daerah melalui pola kluster dengan

memperkuat sistim mata rantai produksi (supply chain)

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VI-2

3. Pembangunan dan peningkatan kapasitas sarana dan prasarana pendukung

produksi termasuk prioritas fungsionalisasi aset, terutama di kawasan-

kawasan sentra produksi pertanian, perikanan, industri, dan perdagangan

4. Percepatan pemanfaatan mekanisasi di sektor industri kerajinan, pertanian

dan perikanan, termasuk motorisasi armada perikanan dalam upaya

meningkatkan daya jelajah dan produktivitas nelayan.

5. Pengembangan dan peningkatan kapasitas unit penyedia sarana produksi

serta peningkatan pengendalian dan pengawasan distribusi sarana produksi

sehingga mudah dapat diakses oleh masyarakat

6. Peningkatan produktivitas lahan budidaya pertanian dan perikanan melalui

upaya intensifikasi, diversifikasi, optimalisasi termasuk peningkatan Indeks

Penanaman (IP), dan rehabilitasi lahan-lahan yang terlantar

7. Mengupayakan tumbuhnya dan berkembangnya industri pengolahan hasil,

terutama yang berbasis bahan baku lokal di kawasan-kawasan sentra produksi

8. Peningkatan kompetensi tenaga kerja formal dan informal, serta pelaku UMKM

melalui pengembangan dan peningkatan kapasitas Balai Latihan Kerja serta

pelatihan-pelatihan kejuruan

9. Melakukan pembinaan dan pengawasan penggunaan dan penyaluran tenaga

kerja untuk kebutuhan lokal maupun luar negeri

10. Percepatan aplikasi teknologi di sektor pertanian dan perikanan melalui

penguatan kelembagaan dan sistem penyuluhan

11. Penguatan kelembagaan ekonomi masyarakat dengan sasaran utama usaha-

usaha kelompok dan koperasi

12. Memfasilitasi peningkatan jalinan kemitraan usaha yang lebih luas antara

kelompok usaha besar dengan pelaku UMKM dan industri rumah tangga

13. Mengupayakan peningkatan fungsi intermediasi perbankan, terutama

penyaluran kredit bagi pelaku UMKM dan industri rumah tangga

14. Pencegahan penebangan dan perdagangan kayu illegal melalui penguatan dan

pembinaan satuan pengamanan hutan dalam rangka terciptanya hutan lestari

dan pengembangan ekonomi berkelanjutan

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VI-3

15. Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan

melalui pemanfaatan hasil hutan non kayu dan pengembangan hutan rakyat

16. Meningkatkan kemandirian pangan bagi masyarakat di kawasan-kawasan

yang teridentifikasi rawan pangan, serta peningkatan penganekaragaman

pangan berbasis sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal

17. Melakukan pengendalian dan pengawasan distribusi bahan pangan, serta

meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap konsumsi pangan beragam,

bergizi seimbang dan aman

18. Penyediaan fasilitas pemukiman baru pada kawasab-kawasan potensi dan

memberikan bantuan stimulasi untuk pengembangan usaha ekonomi bagi

penduduk yang dimukimkan berbasis potensi lokal.

19. Pengembangan sistem informasi dan promosi yang dapat menarik investasi

untuk menanamkan modalnya di daerah, baik PMA maupun PMDN.

20. Mengupayakan terjadinya peningkatan aktivitas perdagangan dalam daerah

hingga terjadinya pasar sempurna, termasuk melakukan pengawasan dan

pengendalian distribusi barang serta pengembangan dan peningkatan sarana

dan prasarana pemasaran

21. Melakukan upaya meningkatnya ekspor daerah baik peningkatan volume

maupun nilai, terutama komoditi-komoditi yang memiliki nilai tambah tinggi

bagi daerah

6.2 Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur dan Sumber Daya

Energi Pendukung Investasi

Untuk tercapainya tujuan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

dan Sumber Daya Energi Pendukung Investasi sesuai dengan strategi yang telah

ditetapkan, maka perlu adanya dukungan kebijakan pembangunan dalam

pelaksanaan program dan kegiatan yang dilaksanakan.

Arah Kebijakan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur dan Sumber

Daya Energi Pendukung Investasi tahun 2007 - 2012 sebagai berikut:

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VI-4

6.2.1 Sumber Daya Air

Kebijakan pembangunan sumber daya air dilakukan dengan 9 (sembilan)

pendekatan pokok, yaitu:

1. Terkelolanya penyelenggaraan konservasi sumber daya air demi terjaganya

kelangsungan keberadaan daya dukung, daya tampung, dan fungsi sumber

daya air.

2. Terkelolanya penyelenggaraan pendayagunaan sumber daya air demi

terwujudnya pemanfaatan sumber daya air secara berkelanjutan dengan

mengutamakan kebutuhan pokok kehidupan masyarakat secara adil.

3. Terkelolanya penyelenggaraan pengendalian daya rusak air demi terwujudnya

rasa aman masyarakat terhadap daya rusak air.

4. Terkelolanya sistem informasi sumber daya air demi terwujudnya jaringan

informasi sumber daya air yang tersebar dan dapat diakses oleh berbagai pihak

yang berkepentingan dalam bidang sumber daya air.

5. Terbangunnya jaringan irigasi baru Wilayah Pantai Barat-Selatan di 4 daerah

irigasi dan di 5 daerah rawa; Wilayah Pantai Utara-Timur di 4 daerah irigasi.

6. Terperbaikinya jaringan irigasi berdasarkan kewenangan nasional seluas

146.536 ha (15 DI), kewenangan provinsi seluas 69.354 ha (40 DI) dan

kewenangan Kabupaten/Kota seluas 127.706 ha (652 DI).

7. Tersedianya air baku untuk irigasi dengan membangun dan meningkatkan

fungsi waduk sebanyak 4 unit, embung sebanyak 3 unit dan situ sebanyak 9

unit.

8. Memfungsikan kembali DI yang rusak : DI Jambo Aye (19.360 ha) dan DI.

Pante Lhong (6.562 ha) serta optimalisasi daerah irigasi sebanyak 9 DI.

9. Terkendalinya banjir dan pengamanan pantai secara selektif terutama pada

areal produktif.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VI-5

6.2.2 Bina Marga dan Cipta Karya

Kebijakan pembangunan kebinamargaan dan keciptakaryaan dilakukan

dengan 10 (sepuluh) pendekatan pokok, yaitu:

1. Terbukanya aksesibilitas daerah terpencil/terisolir, perbatasan dan kepulauan

dengan menyediakan jaringan jalan dan jembatan untuk mendukung kawasan

yang berpotensi dan cepat tumbuh.

2. Terselenggaranya peningkatkan pelayanan prasarana jalan yang terintegrasi

dengan standar minimal MST 10 ton pada ruas jalan nasional dan provinsi

serta MST 8 ton pada ruas-ruas jalan strategis.

3. Terlaksananya rehabilitasi dan pemeliharaan prasarana jalan sehingga tercapai

fungsional jalan nasional sepanjang 1.782,78 km dan jalan provinsi sepanjang

1.701,82 km dapat tercapai.

4. Terlaksananya pembangunan dan peningkatan ruas-ruas jalan nasional lintas

timur sepanjang 55 km, lintas barat sepanjang 30 km, lintas tengah sepanjang

11 km. Selanjutnya pembangunan dan peningkatanruas-ruas jalan provinsi

sepanjang 95 km, serta jalan strategis lainnya termasuk jalan desa sepanjang

10 km.

5. Terwujudnya pembangunan jalan yang menghubungkan Pantai Barat – Tengah

- Pantai Timur untuk menghilangkan disparitas antar wilayah.

6. Terlaksananya pembangunan dan rehabilitasi rumah korban bencana/dhuafa

sebanyak 500 unit serta penyediaan prasarana dan sarana dasar permukiman.

7. Terbangunnya prasarana air minum dan sanitasi baik di perkotaan maupun di

pedesan sebanyak 500 unit.

8. Terselenggaranya pembinaan tata bangunan dan pemberdayaan jasa

konstruksi;

9. Terpadunya tata ruang provinsi dengan tata ruang kabupaten/kota, dengan

titik berat pada penanganan kawasan-kawasan strategis/prioritas dan kawasan

lintas kabupaten.

10.Terbangunnya kawasan perbatasan dan terisolir dalam rangka peningkatan

ekonomi masyarakat.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VI-6

6.2.3 Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Telematika

Kebijakan pembangunan perhubungan, komunikasi, informasi dan

telematika dilakukan dengan 10 (sepuluh) pendekatan pokok, yaitu :

1. Terlaksananya pembangunan, pengembangan sarana dan prasarana

transportasi, pos dan telekomunikasi di wilayah perbatasan dan terisolir serta

terehabilitasinya sarana dan prasarana transportasi, pos dan telekomunikasi

yang hancur akibat gempa tektonik dan tsunami,

2. Terlaksananya pengembangan sistem transportasi wilayah terpadu, harmonis

dan sinergi serta aparatur yang mandiri.

3. Terindentifikasi inventarisasi data dan penyebaran informasi pembangunan

dengan melakukan peningkatan kerjasama pemerintah daerah dengan

organisasi, lembaga pers dan media massa.

4. Terjalinnya hubungan kerjasama penyebarluasan informasi melalui TVRI dan

RRI serta melakukan pengawasan terhadap penyiaran media informasi swasta

5. Terbangunnya fasilitas e-Government Pemerintah Aceh guna meningkatkan

kualitas penyelenggaraan administrasi Pemerintahan Aceh yang berbasis

teknologi komunikasi dan informasi dalam rangka memberikan palayanan

informasi kepada publik secara transparan dan akuntabel.

6. Terselenggaranya pembinaan sumberdaya aparatur Pemerintah Aceh yang

memiliki pengetahuan dan keahlian dalam mengelola teknologi komunikasi dan

sistem informasi.

7. Terbangunnya sarana angkutan kereta api diwilayah pesisir timur Aceh yang

menghubungkan Aceh ke batas Sumatera Utara sepanjang 486 Km.

8. Terbangunnya pelabuhan baru di wilayah Pantai Barat-Selatan dan pantai

Utara -Timur dengan kapasitas 10.000 DTW.

9. Terlaksnanya pengembangan pelabuhan Malahayati untuk mendukung

Kawasan Ekonomi Terpadu (KAPET) Bandar Aceh Darussalam.

10. Terlaksananya pembangunan dan pengembangan bandara untuk melayani

penerbangan Domestik dan Internasional serta meningkatkan pelayanan

trasportasi udar antar kabupaten/Kota.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VI-7

6.2.4 Lingkungan Hidup

Kebijakan pembangunan lingkungan hidup dilakukan dengan 6 (enam)

pendekatan pokok, yaitu:

1. Terkendalinya pencemaran lingkungan melalui pencegahan dan pengendalian

dampak dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan

lingkungan hidup yang berkelanjutan.

2. Tersedianya peralatan dan sumber daya aparatur dalam pengendalian dampak

lingkungan dengan memanfaatkan media massa untuk pelayanan informasi

lingkungan hidup kepada masyarakat.

3. Melakukan optimalisasi bentuk dan kinerja institusi pengelolaan lingkungan

serta peningkatan koordinasi antar pemangku kepentingan dalam pengelolaan

lingkungan hidup.

4. Terkendalinya pengelolaan Kawasan Ekosistem Lauser (KEL) secara

berkelanjutan dalam menjaga keseimbangan pemanfaatan ruang yang serasi

antara kawasan lindung dan budidaya.

5. Terpeliharanya terumbu karang, manggrove dan konservasi daerah aliran

sungai dalam rangka memulihkan kembali daya dukung lingkungan dan

antisipasi ancaman terhadap abrasi pantai dan sungai.

6. Terbangunnya ruang terbuka hijau dan desa model yang ramah lingkungan di

setiap kabupaten/kota.

6.2.5 Pertanahan

Kebijakan pembangunan pertanahan dilakukan dengan 3 (tiga) pendekatan

pokok, yaitu:

1. Terselenggaranya peningkatan kualitas pelayanan dan administrasi

pertanahan serta penyediaan informasi pertanahan bagi keperluan

pembangunan dan investasi.

2. Terlaksananya penataan dan pengendalian penguasaan, penggunaan,

pemanfaatan dan pemilikan tanah serta pengembangan dan penguatan

lembaga pertanahan.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VI-8

3. Menyelesaikan sengketa pertanahan, penyusunan neraca penggunaan tanah,

pemetaan/revisi penatagunaan tanah, konsolidasi tanah, identifikasi dan

penegasan tanah negara serta penertiban administrasi land reform.

6.2.6 Energi dan Sumber Daya Mineral

Kebijakan pembangunan energi dan sumber daya mineral dilakukan dengan

9 (sembilan) pendekatan pokok, yaitu:

1. Terealisasinya peningkatan peluang eksploitasi pertambangan skala besar,

menengah dan kecil serta membina, mengawasi dan menertibkan usaha

pertambangan yang berpotensi merusak lingkungan.

2. Terlaksananya peningkatkan keterampilan sumber daya aparatur dalam

pengelolaan dan pengawasan usaha pertambangan.

3. Terlaksananya peningkatan pemahaman masyarakat penambang dan dunia

usaha terhadap peraturan dan perundang-undangan di bidang pertambangan.

4. Terselenggaranya peningkatan pelayanan dan informasi pertambangan,

termasuk informasi kawasan-kawasan yang rentan terhadap bencana geologi.

5. Tersedianya data potensi sumber-sumber energi baru sebagai energi alternatif

dan potensi pertambangan.

6. Terbangunnya sarana dan prasarana sumber-sumber air bawah tanah yang

memenuhi standar kesehatan di kawasan krisis air.

7. Tersedianya perangkat hukum di bidang energi, mineral, batubara, panas

bumi dan air bawah tanah.

8. Terlaksananya pembangunan PLTMH baik skala besar maupun kecil terutama

untuk pedesaan/kawasan yang tidak terjangkau jaringan listrik PLN.

9. Terealisasinya penambahan pembangkit listrin non diesel dengan

memanfaatkan potensi energi primer pada sub-sistem isolated dengan

sasaran pengurangan biaya pokok penyediaan (BPP) yang berpengaruh

terhadap usaha menekan biaya operasional pada sektor pembangkitan dan harga

tarif (Rp/kWh) penjualan energi listrik. Pembangkit-pembangkit dimaksud adalah:

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VI-9

a. PLTU batubara di Kabupaten Nagan Raya dengan total kapasitas 2 x 100

MW yang direncanakan beroperasi pada akhir tahun 2011 (tahap

konstruksi).

b. PLTP Seulawah di Kabupaten Aceh Besar dengan total kapasitas 2 x 20

MW yang akan beroperasi pada akhir tahun 2012. Pre-feasibility (FS)

telah dilakukan pada tahun 2008 dan saat ini dalam proses pelelangan

WKP oleh Pemerintah Aceh.

c. PLTA Peusangan I dan II di Kabupaten Aceh Tengah dengan total

kapasitas 2 x 43 MW dibiayai dari Loan JBIC (Japan Bank International

Company) dan direncanakan beroperasi pada tahun 2011 dan 2013.

Contract Loan Aggreement dengan pihak JBIC telah ditandatangani pada

29 Maret 2006.

d. PLTA Lawe Mamas di Kabupaten Aceh Tenggara dengan total kapasitas 3

x 30 MW yang direncanakan beroperasi pada tahun 2015. Saat ini masih

dalam Pre-FS dan MoU.

6.3 Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pemerataan Kesempatan

Belajar

Menindaklanjuti strategi Pembangunan dalam rangka peningkatan mutu

pendidikan dan pemerataan kesempatan belajar baik pendidikan formal maupun

pendidikan non formal bagi peserta didik dan anggota masyarakat melalui

perbekalan ilmu pengetahuan (knowledge) dan ketrampilan (life skills).

Pemberantasan buta aksara (illiteracy) perlu dilakukan secara serius sebagai

upaya untuk mencerdaskan seluruh rakyat dan mendukung pembelajaran

sepanjang hidup (life long learning) maka kebijakan yang ditempuh sebagai

berikut:

6.3.1 Pemerataan dan Perluasan Akses

1. Tersedianya beasiswa dan bantuan biaya pendidikan usia dini, pendidikan

dasar, menengah, dayah dan luar sekolah.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VI-10

2. Terlaksananya efektivitas internal dan tingkat kelangsungan sekolah di setiap

jenjang pendidikan.

3. Terciptanya partisipasi yang lebih besar dari masyarakat dan dunia usaha.

4. Tersedianya fasilitas pendidikan yang fokus dalam rangka menghapus

hambatan kesempatan belajar dan perluasan akses penyediaan pendidikan

dasar dan menengah di daerah-daerah terpencil, pemukiman terpencar dan

daerah kepulauan.

5. Terciptanya pengembangan Perguruan Tinggi sesuai dengan prioritas dan arah

pengembangan daerah.

6. Tersedianya fasilitas dayah dalam menunjang pelayanan pendidikan yang

bermutu.

6.3.2 Mutu, Relevansi dan Daya Saing

1. Terciptanya kinerja pelayanan pendidikan pada semua jenjang pendidikan

2. Terwujudnya desentralisasi sekolah/manajemen kelembagaan, dan manajemen

perencanaan pengembangan guru.

3. Tersedianyan kurikulum dan bahan ajar sesuai dengan standar yang telah

ditetapkan.

4. Terlaksananya monitoring kinerja sekolah/kelembagaan dan prestasi siswa.

5. Tersedianya sarana penunjang pembelajaran yang bermutu dan berkualitas.

6. Terwujudnya pendidikan unggulan pada jenjang pendidikan dasar, menengah

dan dayah.

7. Terlaksananya pembinaan dan pengembangan kelembagaan, kurikulum,

manajemen, serta akreditasi dayah.

8. Terlaksananya penelitian dan pengembangan pendidikan secara optimal.

6.3.3 Tata Kelola, Akuntabilitas dan Pencitraan Publik

1. Tersedianya sistem perencanaan, pengawasan, monitoring dan evaluasi.

2. Tersedianya sistem manajemen kelembagaan dan sekolah.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VI-11

3. Terlaksananya tata kelola yang akuntabel dan transparan.

4. Terlaksananya koordinasi antar PT/PTS dan Akreditasi pendidikan.

6.3.4 Penerapan Sistem Pendidikan Bernuansa Islami

1. Terlaksananya koordinasi dengan berbagai pihak terkait dalam rangka

penerapan syari’at Islam.

2. Tersedianya sarana peribadatan, media pembelajaran dan penerapan budaya

yang menunjang pendidikan bernuansa Islami.

3. Terciptanya kualitas guru dalam metode internalisasi nilai-nilai Islami.

4. Terlaksananya monitoring dan evaluasi pelaksanaan sistem pendidikan yang

bernuansa Islami secara berkala.

5. Terlaksananya penambahan jam pelajaran agama di sekolah dan pelatihan

tentang pemahaman Al-Qur’an.

6.4 Peningkatan Mutu dan Pemerataan Pelayanan Kesehatan

Menindaklanjuti strategi Pembangunan dalam rangka peningkatan mutu dan

pemerataan pelayanan kesehatan yang meliputi aspek status kesehatan (umur

harapan hidup, angka kematian ibu dan angka kematian bayi, angka kesakitan,

status gizi), pelayanan kesehatan, kondisi kesehatan lingkungan, pembiayaan

kesehatan, fasilitas kesehatan dan sumber daya kesehatan maka kebijakan umum

yang ditempuh sebagai berikut:

1. Terbangunnya sarana dan prasarana pelayanan kesehatan dasar, rujukan dan

pelayanan kesehatan khusus.

2. Tersedianya tenaga kesehatan sesuai kebutuhan daerah dalam rangka

penyediaan pelayanan kesehatan bagi seluruh masyarakat.

3. Tersedianya fasilitas kesehatan kepada masyarakat yang mudah dijangkau .

4. Terlaksananya sosialisasi pencegahan dan pengendalian penyakit serta

terciptanya lingkungan yang bersih dan sehat.

5. Terciptanya mekanisme rujukan yang baik antar institusi pelayanan

kesehatan.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VI-12

6. Bertambahnya pemahaman masyarakat tentang kesehatan diseluruh lapisan

masyarakat.

7. Tersedianya arah dan kebijakan yang jelas dalam hal pelayanan kesehatan.

8. Terlaksananya penerapan pola BLU Rumah Sakit di Kabupaten/Kota.

9. Terlaksananya koordinasi lintas sektor, LSM lokal maupun luar negeri dalam

rangka pelayanan kesehatan.

10. Terbangunnya fasilitas pendidikan yang memadai dalam rangka peningkatan

pengetahuan tenaga medis.

11. Terwujudnya pelaksanaan program JKA dalam rangka pelayanan kesehatan

yang baik, berkualitas secara gratis kepada masyarakat miskin.

6.5 Pembangunan Syariat Islam, Sosial dan Budaya

Pelaksanaan Syari`at Islam di Aceh yang mennjadi sumber nilai dan sumber

penuntun perilaku dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam tataran kehidupan

pribadi, kehidupan bermasyarakat, maupun dalam penyelenggaraan

pemerintahan. Kebijakan umum yang ditempuh dalam pelaksanaan pembangunan

syari’at Islam secara kaffah di Aceh sebagai berikut:

1. Terpadunya pelaksanaan kegiatan pelayanan keagamaan antara pemerintah,

ulama dan masyarakat secara optimal.

2. Terkoordinasinya kerja sama keagamaan baik dengan instansi terkait maupun

lembaga keagamaan tingkat Nasional dan Internasional.

3. Terlaksananya pendidikan agama di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi

yang berkualitas.

4. Terjadinya peningkatan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran masyarakat

tentang pelaksanaan syari’at Islam.

5. Terlaksananya pengawasan syari’at Islam secara kaffah dalam masyarakat.

6. Terlaksananya pemberdayaan lembaga keagamaan dalam melakukan

sertifikasi, penatausahaan, pengelolaan dan pemberdayaan harta agama.

7. Terlaksananya pelayanan kesejahteraan sosial yang berkualitas di seluruh

Aceh.

8. Terlaksananya peningkatan dan pengembangan potensi sumber daya sosial.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VI-13

9. Terbangun dan berkembangnya ekonomi masyarakat pedesaan dalam rangka

pengentasan kemiskinan.

10. Terlaksananya peningkatan dan penguatan kelembagaan pengarusutamaan

gender dan anak dalam pengambilan keputusan dan kebijakan pembangunan.

11. Terlaksananya peningkatan kualitas hidup dan perlindungan hukum terhadap

perempuan dan anak.

12. Terlaksananya peningkatan terhadap peran dan hubungan antar lembaga

pemuda serta pengembangan sistem kaderisasi organisasi kepemudaan.

13. Terjadinya peningkatan pengetahuan dan keterampilan pemuda dalam rangka

menanggulangi dampak demoralitas pemuda.

14. Terciptanyan hidup yang sehat dalam masyarakat melalui kegiatan olahraga.

15. Termotivasinya penguatan institusi keolahragaan di daerah melalui

bantuan/subsidi.

16. Terjadinya peningkatan dan penguatan peran kelembagaan adat dalam

masyarakat.

17. Terjadinya peningkatan peran dan koordinasi antar lembaga adat dengan

pihak-pihak yang terkait secara maksimal

18. Terwujudnya pengembangan apresiasi budaya, kesenian, bahasa dan adat

istiadat.

19. Terwujudnya pelestarian dan pemeliharaan situs dan cagar budaya.

20. Terjadinya peningkatan jumlah wisatawan dalam dan luar negeri dengan

mengikutsertakan masyarakat.

21. Terwujudnya pertumbuhan kultur demokrasi yang sehat, kompetitif dialogis

dan rasional.

22. Terciptanya penghargaan terhadap nilai-nilai kepahlawanan para pejuang.

23. Terbinanya kekayaan adat istiadat, seni, budaya dan bahasa dalam kehidupan

masyarakat.

24. Terjadinya peningkatan penguatan fungsi meunasah sebagai pusat

pemberdayaan masyarakat.

25. Terlaksananya penegakan hukum adat di tingkat gampong dan kemukiman.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VI-14

6.6 Penciptaan Pemerintah Yang Baik dan Bersih Serta Penyehatan

Birokrasi Pemerintahan

Untuk menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih sebagaimana yang

diharapkan oleh masyarakat mulai dari pemerintah gampong, mukim, kecamatan,

kabupaten dan provinsi dilakukan melalui kebijakan sebagai berikut:

1. Terwujudnya pemerintahan yang transparan, partisipatif dan akuntabel.

2. Terbangunnya kelembagaan pemerintah daerah yang sesuai dengan

kebutuhan.

3. Tersedianya sarana dan prasarana pendukung yang dibutuhkah dalam rangka

pencapaian target kinerja.

4. Terselenggaranya kewenangan antara pemerintah provinsi, kabupaten/kota,

kecamatan dan gampong.

5. Terfasilitasi penyelesaian masalah tata ruang dan batas wilayah administrasi

bagi kabupaten/kota.

6. Terlaksananya pemetaan, pemberian nama-nama, toponomi pulau kecil dan

terluar.

7. Tertatanya batas wilayah administrasi, titik kordinat, dan penguasaan wilayah

secara ekonomi dan sosial budaya.

8. Tersedianya kapasitas sumber daya aparatur.

9. Terwujudnya revitalisasi baperjakat dalam penempatan dan penjenjangan

karir aparatur.

10. Terlaksananya penghargaan dan sanksi kepada aparatur secara adil.

11. Terlaksananya penerapan sistem birokrasi pemerintahan yang baik dan bersih.

12. Terlaksananya peningkatan pemahaman berbangsa dan bernegara dalam

rangka memeliharan keutuhan NKRI.

13. Terlaksananya peningkatan pengetahuan kader politik yang bebas, adil dan

islami serta memihak kepentingan masyarakat.

14. Terjaminnya perbedaan berpendapat dan berpolitik

15. Terselenggaranya peningkatan etika dan pendidikan politik yang sehat melalui

rasa saling percaya dan menghargai (sportifitas) di dalam kelompok

masyarakat.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VI-15

16. Terselenggaranya peningkatan pemahaman terhadap hukum di Aceh dan

Pengkajian materi hukum sesuai dengan amanah UUPA.

17. Terselenggaranya peningkatan kapasitas dan sumber daya aparat penegak

hukum serta dukungan sarana dan prasarana.

18. Terlaksananya pemberian bantuan hukum dalam kasus prodeo dan

Peningkatan penyuluhan hukum kepada masyarakat.

19. Terlaksananya inventarisasi kebijakan kabupaten/kota yang bertentangan

dengan kepentingan umum dan ketentuan perundang-undangan lebih tinggi.

20. Terlaksananya peningkatan kapasitas aparatur dan penyediaan fasilitas

sarana, prasarana Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).

6.7 Penanganan dan Pengurangan Resiko Bencana

Pengurangan risiko bencana merupakan tanggungjawab pemerintah,

masyarakat dan lembaga - lembaga kemasyarakatan yang dilaksanakan secara

bersama - sama dengan prinsip kemitraan dan kesejajaran peran, maka

diperlukan kebijakan dalam penanganannya.

Arah Kebijakan Penanganan dan Pengurangan Resiko Bencana adalah

sebagai berikut:

1. Mengurangi ancaman bahaya melalui pendekatan ilmu pengetahuan dan

kearifan lokal dengan tetap memperhatikan perubahan - perubahan global

yang berdampak pada kondisi lokal.

2. Mengurangi kerentanan masyarakat di daerah ancaman bahaya dengan cara

memberikan pengetahuan yang memadahi tentang ancaman mendasarkan

pada analisis risiko.

3. Meningkatkan kapasitas masyarakat melalui pendidikan, pelatihan dan

pemberdayaan secara terus menerus khususnya di daerah ancaman.

4. Mengedepankan keterbukaan dengan pola kemitraan dalam penyelenggaraan

Pengurangan Risiko Bencana melalui keterbukaan tatakelola termasuk

penyediaan informasi yang berimbang bagi masyarakat.

5. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan pemerintah lokal dengan

mengoptimalkan potensi, sumber daya dan kearifan local melalui optimalisasi

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VI-16

peran birokrasi, tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh adat serta

pimpinan informal lain yang berkembang dalam masyarakat.

6. Mendorong dan meningkatkan peran dan partisipasi perempuan dalam

pengurangan risiko bencana baik dalam ranah domestic(rumah tangga)

maupun diluar rumah tangga melalui pengarus utamaan gender dalam semua

kegiatan yang melibatkan masyarakat.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VII-1

BAB VII

PROGRAM PEMBANGUNAN ACEH

7.1 Midterm Review Pelaksanaan RPJM 2007-2012

Program dan kegiatan yang tercantum di dalam Rencana Pembangunan

Jangka Menengah (RPJM) 2007-2009 yang telah ditetapkan melalui Peraturan

Gubernur Nomor 21 tahun 2007 merupakan acuan yang harus dipedomani oleh

seluruh Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA). Walaupun demikian, seiring

dengan perkembangan situasi dan kondisi daerah yang sangat dinamis, masih

diperlukannya kelanjutan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami, adanya

anggaran tambahan yang bersumber dari Otsus Migas, dan perlunya penyesuaian

program RPJM Daerah akibat ditetapkannya PP No. 5 tahun 2010, maka program

dan kegiatan yang tercantum dalam RPJM 2007-2012 perlu untuk direview.

Hasil review RPJM 2007-2012 diharapkan tidak hanya dapat memberikan

gambaran tentang pencapaian kinerja Pemerintah Aceh, tetapi juga menjadi

pedoman penyusunan program dan kegiatan lanjutan pada Tahun 2011-2012.

Review RPJM dilaksanakan dengan mengikuti beberapa kriteria yang

digambarkan pada Gambar VII.1. Program dan kegiatan dikelompokkan ke dalam

4 (empat) kuadran yakni Kuadran I, II, III dan IV dengan kriteria sebagai berikut:

1. Kuadran I adalah program/kegiatan prioritas yang ada dalam RPJM Aceh

2007 - 2012 dan sudah tuntas dilaksanakan pada periode tahun 2007-2010.

2. Kuadran II merupakan program/kegiatan yang ada dalam RPJM Aceh 2007 -

2012, tetapi dalam pelaksanaannya belum mencapai target.

3. Kuadran III berisi program/kegiatan yang ada dalam RPJM Aceh 2007 - 2012,

tetapi bukan prioritas sehingga tidak dilaksanakan.

4. Sedangkan Kuadran IV adalah program/kegiatan yang tidak ada dalam RPJM

Aceh 2007 - 2012, tetapi dilaksanakan pada tahun 2007 - 2010 dan masih

perlu dituntaskan pada tahun 2011 - 2012.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VII-2

Gambar VII.1 Skema Kuadran dan Kriteria Review Program RPJM Aceh 2007-2012

Hasil dari review pelaksanaan program dan kegiatan RPJM 2007-2012,

khususnya untuk pelaksanaan program dan kegiatan RPJM 2007-2009 disajikan

pada Tabel VII.1 dan VII.2

Tabel VII.1Review Pelaksanaan Kegiatan/Anggaran Pembangunan periode tahun

2007 - 2010 menurut kriteria Kuadran

Jlh% thdp

total(Rp)

% thdp total

(Rp)% thdp

total(Rp)

% thdp RPJM

1. I 150 6.00 2,853,380,009,385 4.5 8,063,635,099,239 29.2 5,924,441,932,246 207.6

2. II 706 26.00 43,360,100,241,747 68.4 11,862,364,304,677 43.0 9,876,247,141,392 22.8

3. III 766 28.00 17,199,159,788,868 27.1 - - - -

4. IV 1,094 40.00 - - 7,658,531,849,774 27.8 6,343,876,464,718 -

2,716 100.0 63,412,640,040,000 100.0 27,584,531,253,690 100.0 22,144,565,538,355 34.92

PAGU INDIKATIF RPJM 2007-2012

ANGGARAN DEFINITIF 2007-2010

REALISASI 2007-2009 + ASUMSI REALISASI 2010

Grand Total

No.Kualifikasi Kuadaran

Indikasi Kegiatan

TARGET RPJM YANG TARGET RPJM YANG BELUM

SELESAI SEMPURNA SELESAI, PRIORITAS YANG

AKAN DILANJUTKA UNTUK

2011-2012

TIDAK ADA DI DALAM RPJM TARGET RPJM YANG TIDAK

TETAPI PRIORITAS/TELAH DAN DILAKSANAKAN, DIHAPUS

DILANJUTKAN UNTUK KARENA TIDAK PRIORITAS

DILAKSANAKAN

I II

IV III

6 %

40 % 28 %

26 %

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VII-3

Tabel VII.1 memberikan gambaran bahwa realiasi kegiatan/anggaran yang

termasuk ke dalam Kuadran I hanya mencapai 6 persen dari total 150 kegiatan

dalam RPJM 2007-2012. Hal ini mengindikasikan bahwa pada umumnya kegiatan

yang telah ditetapkan di dalam RPJM Aceh 2007-2012 belum sepenuhnya

dipedomani oleh para SKPA. Hal ini disebabkan antara lain terlambatnya

pengesahan DIPA APBA pada tahun berjalan, masih terkonsentrasinya program

dan kegiatan penuntasan rehabilitasi dan rekonstruksi dan beban pekerjaan yang

semakin berat akibat penambahan program yang bersumber dari dana

Otsus/Migas.

Kegiatan yang masih belum memenuhi target (Kuadran II) mencapai 26

persen akan dituntaskan pada tahun berikutnya. Kegiatan ini menjadi prioritas

untuk dipedomani oleh para SKPA untuk dilaksanakan sesuai dengan hasil revisi

RPJM Aceh 2007 - 2012.

Kegiatan yang tergolong ke dalam Kuadran III mencapai 28 persen adalah

kegiatan yang ada dalam RPJM 2007 - 2012 tetapi tidak menjadi prioritas lagi

untuk dilaksanakan oleh para SKPA.

Kegiatan yang tergolong ke dalam Kuadran IV mencapai 40 persen adalah

kegiatan yang tidak ada dalam RPJM 2007 - 2012 tetapi dianggap prioritas untuk

dilaksanakan oleh para SKPA. Kenyataan ini (Kuadran III dan IV) terjadi karena

adanya perubahan kondisi aktual di lapangan yang memerlukan penyesuaian. Di

samping itu, adanya perubahan kebijakan Nasional dengan ditetapkannya

Peraturan Pemerintah No. 5 tahun 2010 yang mengharuskan penyesuaian antara

RPJM Daerah dengan RPJM Nasional.

Dari evaluasi pelaksanaan pembangunan pada periode tahun 2007-2010,

dapat dilihat kualifikasi program/kegiatan ke dalam kuadran I, II, III, dan IV yang

masing-masing menunjukkan tingkat prioritas pelaksanaan pembangunan yang

digunakan untuk melakukan penyesuaian (revisi) RPJM 2007-2012. Adapun revisi

yang dilakukan adalah penyesuaian target, penghapusan program yang tidak

prioritas lagi untuk dilaksanakan, dan penambahan program baru yang telah

dilaksanakan tetapi belum ada pada RPJM 2007-2012.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VII-4

7.2 Revisi dan Penyesuaian RPJM 2007-2012

Revisi dan penyesuaian RPJM 2007-2012 dilakukan dengan cara melakukan

penyesuaian target, penghapusan program yang tidak prioritas lagi untuk

dilaksanakan, dan penambahan program prioritas baru yang sebelumnya telah

dilaksanakan pada periode 2007-2010 tetapi belum ada pada RPJM 2007-2012.

Hasil revisi dan penyesuaian RPJM 2007-2012 berdasarkan 7 (tujuh) Prioritas

Pembangunan menunjukkan bahwa pada awalnya total program yang telah

ditetapkan sebanyak 197 program, maka setelah direvisi total program tersebut

berubah menjadi 261 program. Perubahan jumlah program ini berkaitan dengan

penetapan PP No.5 tahun 2010 yang mengharuskan penyesuaian RPJM daerah

dengan RPJM Nasional. Seiring dengan perubahan total program tersebut, maka

total anggaran indikatif juga berubah menjadi Rp 59.903.248.000.000. Perubahan

program berdasarkan prioritas pembangunan dapat dilihat pada Tabel VII.2.

Tabel VII.2Review perubahan RPJM 2007-2012 berdasarkan 7 (tujuh)

Prioritas Pembangunan

1Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat, Perluasan Kesempatan Kerja dan Penanggulangan Kemiskinan

59 90 53% 19.585.817 12.902.007 -34%

2Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur dan Sumber Daya Energi Pendukung Investasi

41 46 12% 26.525.077 24.960.814 -6%

3Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pemerataan Kesempatan Belajar

11 19 73% 5.474.307 10.414.128 90%

4 Peningkatan Mutu dan Pemerataan Pelayanan Kesehatan 13 19 46% 1.054.938 3.811.338 261%

5 Pembangunan Syariat Islam, Sosial dan Budaya 40 46 15% 2.649.253 2.255.337 -15%

6Penciptaan Pemerintahan yang Baik dan Bersih serta Penyehatan Birokrasi Pemerintahan

28 37 32% 1.534.944 1.224.684 -20%

7 Penanganan dan Pengurangan Resiko Bencana 5 7 40% 6.588.304 4.334.941 -34%

197 264 41% 63.412.640 59.903.248 -6%

Awal Direvisi Perubahan

Total

No Prioritas PembangunanJumlah Program

Indikatif Kebutuhan Anggaran (dalam juta rupiah)

Awal Direvisi Perubahan

7.3 Hasil Revisi Program dan Kegiatan

Hasil revisi program dan kegiatan Pembangunan Daerah (Matrik tahunan

dan lima tahunan) disajikan dalam Buku II. Hasil revisi RPJM Aceh 2007-2012

akan menjadi acuan bagi para SKPA dalam menyusun program dan kegiatan

prioritas pada Tahun 2011-2012.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VIII-1

BAB VIII

PENUTUP

8.1 Program Transisi

Apabila hasil penyesuaian dan evaluasi Rencana Pembangunan Jangka

Menengah (RPJM) Aceh priode 2007 - 2012 ini sudah habis masa berlakunya dan

Gubernur Wakil Gubernur berikutnya belum terpilih, maka pada masa vakum ini

arah pembangunan daerah masih berpedoman pada penyesuaian dan evaluasi

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh 2007 - 2012. Rencana Jangka

Menengah transisi ini akan dipakai sampai Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih

berikut sudah dilantik.

8.2 Kaidah Pelaksanaan

Hasil penyesuaian dan evaluasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Provinsi Aceh Tahun 2007-2012 ini tetap merupakan penjabaran dari visi, misi dan

program Gubernur dan Wakil Gubernur hasil Pilkada yang dilangsungkan secara

langsung Tahun 2006.

Hasil penyesuaian dan evaluasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Aceh Tahun 2007 - 2012 ini menjadi pedoman bagi Satuan Kerja Perangkat

Daerah Aceh (SKPA) dalam menyusun Rencana Strategis (RENSTRA) SKPA dan

merupakan pedoman bagi kabupaten/kota. Hasil Penyesuaian Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Aceh Tahun 2007 - 2012 ini selanjutnya menjadi

pedoman bagi menyusun Rencana Kerja Pemerintah Aceh (RKPA).

Untuk itu perlu ditetapkan kaidah-kaidah pelaksanaan sebagai berikut:

8.3 Satuan Kerja Perangkat Daerah Aceh (SKPA) berkewajiban menyusun Rencana

Strategis Dinas yang memuat Visi, Misi, Tujuan, Sasaran, Strategi, kebijakan

dan Program serta Kegiatan Pokok pembangunan sesuai dengan tugas dan

fungsinya. Renstra tersebut harus disusun berdasarkan dan berpedoman

kepada hasil penyesuaian dan evaluasi Rencana Pembangunan Jangka

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VIII-2

Menengah Aceh Tahun 2007 - 2012 yang nantinya akan menjadi Rencana

Kerja Pemerintah Aceh (RKPA).

8.4Penguatan peran para stakeholders/pelaku dalam pelaksanaan hasil penyesuaian

dan evalusi RPJM Aceh, Satuan Kerja Perangkat Daerah Aceh (SKPA),

Pemerintah kabupaten/kota maupun masyarakat termasuk dunia usaha juga

berkewajiban untuk melaksanakan program-program yang tertera dalam Hasil

penyesuaian Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh 2007 - 2012

dengan sebaik-baiknya.

8.5Pemerintah kabupaten/kota berkewajiban melakukan penyesuaian dan evaluasi

terhadap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah kabupaten/kota

yang sudah pernah ditetapkan, dengan tetap berisi penjabaran Visi, Misi, dan

Program Kepala Daerah kabuapten/kota. Satuan Kerja Perangkat Daerah

Kabupaten/Kota harus juga melakukan penyesuaian Rencana Strategis

Dinasnya dengan berpedoman pada hasil penyesuaian dan evaluasi Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2007 - 2012.

8.6Merupakan dasar evalusi dan laporan pelaksanaan atas kinerja lima tahunan dan

tahunan, dalam rangka meningkatkan efektifitas dalam pelaksanaan

pembangunan yang telah ditetapkan dalam hasil penyesuaian dan evaluasi

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh 2007 - 2012, Badan

Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh berkewajiban untuk melaksanakan

pemantauan terhadap penjabaran hasil penyesuaian dan evaluasi Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Aceh 2007 - 2012 ke dalam Rencana

Strategis Satuan Kerja Perangkat Aceh dan Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Kabupaten/Kota.