farfis emulsi.docx
DESCRIPTION
farfisTRANSCRIPT
PERCOBAAN I
EMULSIFIKASI
A. Tujuan
1. Untuk menghitung jumlah emulgator golongan surfaktan yang
digunakan dalam pembuatan emulsi.
2. Untuk membuat emulsi dengan menggunakan emulgator golongan
surfaktan.
3. Untuk mengevaluasi ketidakstabilan suatu emulsi.
4. Untuk menentukan HLB butuh minyak yang digunakan dalam
pembuatan emulsi.
B. Dasar Teori
Emulsifikasi merupakan proses pembentukan emulsi pada suatu
sediaan farmasi . Terdapat beberapa pengertian tentang emulsi, yaitu :
1. Menurut FI III : Emulsi adalah sediaan yang mengandung bahan obat
cair atau cairan obat terdispersi dalam cairan pembawa distabilkan dengan
zat pengemulsi atau surfaktan yang cocok.
2. Menurut Parrot: Emulsi adalah suatu sistem polifase dari 2 campuran
yang tidak saling bercampur. Salah satunya tersuspensi dengan bantuan
emulgator keseluruh partikel lainnya. Ukuran diameter partikelnya 0.2 –
50 m.
3. Menurut Physical Pharmacy : Emulsi adalah sistem yang tidak stabil
secara termodinamika mengandung paling sedikit dua fase cair yang
tidak bercampur satu diantaranya terdispersi sebagai globul-globul (fase
pendispersi) dalam fase cair lainnya (fase kontinyu) distabilkan dengan
adanya bahan pengemulsi/emulgator.
4. Menurut Formularium Nasional : Emulsi adalah sediaan berupa
campuran terdiri dari dua fase cairan dalam sistem dispersi; yang satu
terdispersi sangat halus dan merata dalam fase cairan lainnya; umumnya
dimantapkan dengan zat pengemulsi.
Komponen utama emulsi berupa fase disper (zat cair yang terbagi-
bagi menjadi butiran kecil kedalam zat cair lain (fase internal)); Fase
kontinyu (zat cair yang berfungsi sebagai bahan dasar (pendukung) dari
emulsi tersebut (fase eksternal)); dan Emulgator (zat yang digunakan
dalam kestabilan emulsi).
Berdasarkan macam zat cair yang berfungsi sebagai fase
internal ataupun eksternal, maka emulsi digolongkan menjadi 2 : Emulsi
yang mempunyai fase dalam minyak dan fase luar air disebut emulsi
minyak dalam air dan biasanya diberi tanda sebagai emulsi “m/a”.
Sebaliknya emulsi yang mempunyai fase dalam air dan fase luar minyak
disebut emulsi air dalam minyak dan dikenal sebagai emulsi ‘a/m”.
Karena fase luar dari suatu emulsi bersifat kontinu, suatu emulsi minyak
dalam air diencerkan atau ditambahkan dengan air atau suatu preparat
dalam air. Umumnya untuk membuat suatu emulsi yang stabil, perlu fase
ketiga atau bagian dari emulsi, yakni: zat pengemulsi (emulsifying egent).
Tergantung pada konstituennya, viskositas emulsi dapat sangat bervariasi
dan emulsi farmasi bisa disiapkan sebagai cairan atau semi solid
(setengah padat) .
(Ansel, 1989).
Proses pembuatan emulsi biasanya mencakup tiga hal berikut:
1. Emulsifikasi awal
Ada sejumlah faktor penting dalam emulsifikasi awal, yaitu
temperatur, intensitas dan lama pencampuran, serta keteraturan dan
kecepatan penambahan fase-fase.
Emulsifikasi awal biasanya dijalankan pada suhu yang lebih tinggi
untuk menjamin bahwa kedua fase serta hasil emulsi cukup mobil
geraknya sewaktu di aduk. Intensitas dan lama pengadukan tergantung
efisiensi dispersi emulsifator.
Secara umum ada dua cara penambahan bahan-bahan. Yang
pertama, penambahan fase dalam bentuk dispersi ke dalam fase dalam
bentuk homogen. Yang kedua, kebalikannya. Yang pertama tampak lebih
alamiah, tetapi yang kedua memberikan keuntungan yang lebih besar jika
tidak tersedia alat pengaduk yang memadai.
Untuk emulsi O/W yang lebih kental, misalnya vanishing cream,
sebaiknya jangka waktu pengadukan dengan kecepatan tinggi singkat saja
untuk mencegah masuknya udara. Setalah emulsi awal terbentuk,
kecepatan pengadukan diturunkan sampai sekitar 50°C dan saat itu pula
parfum ditambahkan. Emulsi W/O dikerjakan dengan cara yang sama,
hanya larutan dalam air dimasukkan ke dalam fase lemak sedikit demi
sedikit.
Mungkin cara pembuatan emulsi terbaik adalah dengan menuangkan
serentak proporsi kedua fase yang sama pada setiap waktu ke dalam mixer
yang terus berputar, sehingga emulsi terus-menerus terbentuk. Tapi ini
hanya dapat dilakukan dalam pabrik besar.
2. Pendinginan
Mendinginkan emulsi merupakan proses yang sangat penting,
terutama dalam produk yang berisi bahan-bahan mirip lilin yang berharga.
Selama pendinginan biasanya emulsi terus diaduk untuk mengurangi
lamanya proses serta untuk menghasilkan produk yang homogen.
3. Homogenisasi
Pada suhu yang yinggi, kebanyakan emulsi tidak stabil dan selama
pendinginan dalam batch terbentuk butiran-butiran emulsi. Atau pada
produk yang memiliki fase minyak dengan titik leleh yang tinggi, pada
pendinginan terjadi pengerasan produk. Karena itu, diperlukan
pencampuran tambahan untuk memperoleh produk seperti yang
diinginkan.
Pencampuran tambahan ini bervariasi, mulai dari pelewatan produk
melalui pompa bergir berputar dengan tekanan rendah dari belakang,
misalnya 50 psig, atau penghancuran agregat-agregat kristal lilin atau
pelewatan katup homogenizer dengan tekanan tinggi 5000 psig. Proses ini
disebut homogenisasi.
( Tranggono, 2007)
Salah satu inovasi terbaru dalam teknologi emulsi adalah
pengembangan emulsi ganda yakni emulsi yang fase terdispersinya
mengandung tetesan - tetesan kecil atau globul dengan emulsi ganda
terbagi atas dua tipe emulsi yakni emulsi tipe M/A/M artinya fase minyak
terdispersi pada fase air emulsi A/M, dan tipe emulsi A/M/A dengan
fase air terdispersi pada fase minyak emulsi M/A.
Penggunaan emulsi ini memiliki keuntungan yakni menutupi rasa
yang tidak enak, meningkatkan absorbsi obat, memperpanjang pelepasan
obat serta dapat pula memisahkan dua bahan hidrofilik yang tidak saling
bercampur (incompatible) yakni pada fase air internal dan fase air
eksternal yang dipisahkan oleh fase pertengahan minyak atau emulsi ganda
tipe A/M/A .
Pembentukan emulsi ganda dipengaruhi oleh pemilihan emulgator/
pengemulsi yaitu mempengaruhi kekuatan lapisan antarmuka dari fase
minyak dengan surfaktan hidrofobik maupun lapisan antar muka pada fase
air dengan surfaktan hidrofilik, juga dipengaruhi oleh tekanan osmotik di
dalam globul atau tetesan-tetesan fase internal dan fase eksternal.
Emulgator nonionik merupakan emulgator yang memiliki
kesetimbangan hidrofilik lipofilik yang seimbang di dalam molekulnya.
Tidak seperti emulgator anionik dan kationik, emulgator nonionik tidak
mudah dipengaruhi oleh perubahan pH dan adanya elektrolit.
(Pakki, 2010)
Zat pengemulsi (emulgator) merupakan komponen yang paling
penting agar memperoleh emulsa yang stabil. Zat pengemulsi adalah PGA,
tragakan, gelatin, sapo dan lain-lain. Emulsa dapat dibedakan menjadi dua
macam yaitu emulsi vera (emulsialam) dan emulsi spuria (emulsi buatan).
Emulsi vera dibuat dari biji atau buah,dimana terdapat disamping minyak
lemak juga emulgator yang biasanya merupakanzat seperti putih telur
(Anief, 2000).
Pada pembuatan emulsi, surfaktan juga dapat digunakan sebagai
emulgator. Jika surfaktan yang digunakan sebagai emulgator maka dapat
terbentuk suatu emulsi ganda(multiple emulsion). Sistem ini merupakan
jenis emulsi air-minyak-air atau sebaliknya. Mekanisme kerja emulgator
semacam ini berdasarkan atas kemampuanny amenurunkan tegangan
permukaan air dan minyak serta membentuk lapisan monomolecular pada
permukaan globul fase terdispersi.
( Sartini,2009 )
Penggunaan surfaktan pada kadar yang lebih tinggi akan berkumpul
membentuk agregat yang disebut misel. Selain itu pada pemakaiannya
dengan kadar tinggi sampai Critical Micelle Concentration (CMC)
surfaktan diasumsikan mampu berinteraksi kompleks dengan obat tertentu
selanjutnya dapat pula mempengaruhi permeabilitas membran tempat
absorbsi obat karena surfaktan dan membran mengandung komponen
penyusun yang sama (Zulkarnain, 2008).
Secara kimia molekul surfaktan terdiri atas gugus polar dan non
polar. Apabila surfaktan dimasukkan ke dalam sistem yang terdiri dari air
dan minyak, maka gugus polar akan mengarah ke fase air sedangkan
gugus non polar akan mengarah ke faseminyak. Surfaktan yang
didominasi gugus polar akan cenderung membentuk emulsi minyak dalam
air. Sedangkan jika molekul surfaktan lebih didominasi gugus non
polar akan cenderung menghasilkan emulsi air dalam minyak.
Metode yang dapat digunakan untuk menilai efisiensi surfaktan
sebagai emulgator adalah Metode HLB (hydrophilic-lipophilic balance).
Griffin menyusun suatu skala ukuran HLB surfaktan yang dapat
digunakan menyusun daerah efisiensi HLB optimum untuk setiap fungsi
surfaktan. Semakin tinggi nilai HLB suatu surfakatan, sifat kepolarannnya
akan meningkat. Disamping itu, HLB butuh minyak yang digunakan juga
perlu diketahui. Pada umumnya nialai HLB butuh suatu minyak adalah
tetap untuk suatu emulsi tertentu dan nilai ini ditentukan
berdasarkan percobaan.
Menurut Griffin, nilai HLB butuh setara dengan nilai HLB
surfaktan yang digunakan untuk mengemulsikan minyak dengan air
sehingga membentuk suatu emulsi yang stabil.
(Tim Penyusun, 2009)
Kemungkinan besar pertimbangan yang terpenting bagi emulsi di
bidang farmasi dan kosmetika adalah stabilitas dari produk jadi.
Kestabilan dari emulsi farmasi berciri tidak adanya penggabungan fase
dalam, tidak adanya creaming, dan memberikan penampilan, bau, warna
dan sifat-sifat fisik lainnya yang baik.
Beberapa peneliti mendefinisikan ketidakstabilan suatu emulsi hanya
dalam ha lterbentuknya penimbunan dari fase dalam dan pemisahannya
dari produk. Creaming yang diakibatkan oleh flokulasi dan konsentrasi
bola-bola fase dalam, kadang-kadangtidak dipertimbangkan sebagai suatu
tanda ketidakstabilan. Tetapi suatu emulsi adalahsuatu sistem yang
dinamis, dan flokulasi serta creaming yang dihasilkanmenggambarkan
tahap-tahap potensial terhadap terjadinya penggabungan fase dalamyang
sempurna. Lebih-lebih lagi dalam hal emulsi farmasi creaming
mengakibatkanketidakrataan dari distribusi obat dan, tanpa pengocokan
yang sempurna sebelumdigunakan, berakibat terjadinya pemberian dosis
yang berbeda. Tentunya bentuk penampilan dari suatu emulsi dipengaruhi
oleh creaming, dan ini benar-benar merupakan suatu masalah nyata bagi
pembuatannya jika terjadi pemisahan dari fase dalam.
(Martin,2008)
Berdasarkan atas fenomena semacam itu, dikenal beberapa peristiwa
ketidakstabilan emulsi, yaitu:
1. Flokulasi dan creaming. Flokulasi adalah suatu peristiwa terbentuknya
kelompok-kelompok globul yang posisinya tidak beraturan di dalam
emulsi.
2. Creaming adalah suatu peristiwa terjadinya lapisan-lapisan dengan
konsentrasi yang berbeda-beda di dalam emulsi. Lapisan dengan
konsentrasi paling pekat akan berada di sebelah atas atau bawah
tergantung dari bobot jenis.
3. Koalesense dan Demulsifikasi. Peristiwa ini terjadi tidak semata-mata
disebabkan oleh energy bebas permukaan, tetapi disebabkan pula oleh
ketidaksempurnaan lapisan globul. Koalesen adalah peristiwa
penggabungan globul-globul menjadi lebih besar. Sedangkan
Demulsifikasi adalah peristiwa yang disebabkan oleh terjadinya proses
lanjut darikoalesen. Kedua fase akhirnya terpisah kembali menjadi dua
cairan yang tidak dapat bercampur. Kedua peristiwa semacam ini emulsi
tidak dapat diperbaiki kembalimelalui pengocokan.
(Tim Penyusun, 2009)
Beberapa metode umum digunakan untuk membedakan suatu tipe
emulsi.nsedikit bahan pewarna yang larut dalam air, seperti biru metilen
atau brilliant blue FCT dapat ditaburkan pada permukaan emulsi. Jika air
merupakan fase eksternal (yaitu jika emulsi bertipe m/a), bahan pewarna
akan terlarut dan berdifusi merata dalam air. Jika emulsi bertipe a/m,
partikel-partikel bahan pewarna akan menggumpal pada permukaan.
Metode kedua dilakukan dengan mengencerkan emulsi dengan air. Jika
emulsi tercampur bebas dengan air, emulsi bertipe m/a (Patrick,2006).
DAFTAR PUSTAKA
Anief, Moh. 2000. Ilmu Meracik Obat, Teori dan Praktek. Gajah Mada
University Press : Yogyakarta.
Ansel, Howard C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Universitas
Indonesia Press: Jakarta.
Atwood, David dan Alexander T. F. 2006. Physical Pharmacy. School of
Pharmacy and Pharmaceutical. Science University of Manchester:
London.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1979. Farmakope Indonesia
Edisi III . Departemen Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia
Edisi IV. Departemen Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta.
Martin, Alfred dkk. 1990. Farmasi Fisik: Dasar-Dasar Kimia Fisik Dalam
Ilmu Farmasetik 1 (Edisi 3). UI Press: Jakarta.
Parki, Ermina dkk. 2010. Formulasi dan Evaluasi Kestabilan Fisik
Emulsi Ganda Tipe A/M/A Dengan Emulgator Sorbitan Monooleat
dan Polisorbat 80. Majalah Farmasi dan Farmakologi Vol. 14 No. 2.
Sartini. 2009. Formulasi dan Evaluasi Kestabilan Fisik Krim Antioksidan
Ekstrak Biji Kakao (Theobroma cacao L.). Majalah Farmasi dan
Farmakologi Vol. 13 No. 2.
Sinko, Patrick J. 2011. Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika Martin.
EGC: Jakarta.
Tim Penyusun. 2008. Buku Ajar Farmasi Fisik . FakultasMatematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Udayana: Bali.
Tim Penyusun. 2009. Petunjuk Praktikum Farmasi Fisik. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Udayana:
Bali.
Tranggono, Retni Iswari dan Fatmah Latifah. 2007. Buku Pegangan Ilmu
Pengetahuan Kosmetik. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Zulkarnain, Abdul Karim. 2008. Pengaruh Penambahan Tween 80 dan
Polietilen Glikol 400 Terhadap Absorpsi Piroksikam melalui Lumen
Usus In Situ. Majalah Farmasi Indonesia Vol. 19 No. 1.
C. Alat dan Bahan
1. Alat
a. Gelas kimia 50 Ml
b. Batang pengaduk
c. Penangas air
d. Penjepit tabung
e. Cawan porselin
f. Gelas ukur 10 mL
g. Timbangan analitik
2. Bahan
a. Span 80
b. Tween 80
c. Aquades
d. Parafin cair
D. Prosedur Kerja
1. Dihitung jumlah Span dan Tween yang diperlukan untuk setiap
nilai HLB butuh.
2. Ditimbang masing-masing minyak, air, Tween dan Span sejumlah
yang diperlukan.
3. Dicampurkan minyak dengan span dan tween dengan air lalu
dipanaskan di penangas air.
4. Ditambahkan campuran minyak kedalam campuran airdan segera
diaduk.
5. Dimasukkan emulsi kedalam gelas ukur sebanyak 10 Ml
6. Diamati jenis ketidakstabilan emulsi yang terjadi selama 6 ( enam
hari ).
7. Ditentukan nilai HLB berapa emulsi tampak relative paling stabil.
F. Pembahasan
Emulsi adalah suatu disperse di mana fase terdispers terdiri dari
bulatan-bulatan kecil zat cair yang terdistribusi ke seluruh pembawa yang
tidak bercampur. Dalam batasan emulsi, fase terdispers dianggap sebagai
fase dalam dan medium disperse sebagai fase luar atau fase kontinu.
Emulsi yang mempunyai fase dalam minyak dan fase luar disebut
emulsi minyak-dalam-air dan biasanya diberi tanda sebagai emulsi M/A.
sebaliknya emulsi yang mempunyai fase dalam air dan fase luar minyak
disebut emulsi air-dalam-minyak dan dikenal sebagai A/M. Untuk
membuat suatu emulsi yang stabil, perlu fase ketiga atau bagian ketiga dari
emulsi, yakni zat pengemulsi (emulsifying agent). Jika menggunakan
surfaktan sebagai emulgator dapat terbentuk emulsi ganda (multiple
emulsion). System ini merupakan jenis emulsi air-minyak-air atau minyak-
air-minyak.
Proses emulsifikasi memungkinkan dapat membuat suatu sediaan
yang stabil dan rata dari campuran dua cairan yang saling tidak bercampur.
Untuk mengetahui terbentuknya emulsi dikenal empat macam teori yang
melihat proses terjadinya emulsi dari sudut pandang yang berbeda-beda.
Menurut teori tegangan permukaan (Surface Tension) menyatakan
bahwa semakin tinggi perbedaan tengan yang terjadi di bidang batas
adhesi dan kohesi, maka semakin sulit kedua cairan tersebut untuk
bercampur. Dalam teori ini menyatakan bahwa penambahan emulgator
akan menurunkan atau menghilangkan tegangan yang terjadi pada bidang
batas sehingga antara kedua zat cair tersebut akan bercampur.
Menurut teori orientasi bentuk biji (Oriented Wedge) menjelaskan
fenonema terbentuknya emulsi berdasarkan adanya kelarutan selektif dari
bagian molekul emulgator yang bersifat suka air atau mudah larut dalam
air dan ada bagian yang suka minyak atau mudah larut dalam minyak.
Bagian emulgator yang suka air di sebut kelompok hidrofilik dan bagian
emulgator yang suka minyak di sebut kelompok lipofilik. Di mana
masing-masing kelompok akan bergabung dengan zat cair yang
disenanginya, kelompok hidrofil ke dalam air dan kelompok lipofil ke
dalam minyak. Dengan demikian, emulgator seolah-olah menjadi tali
pengikat antara air dan minyak. Antara keuda kelompok tersebut akan
membuat suatu keseimbangan.
Menurut teori film plastik (Interfacial Film) mengatakan bahwa
emulgator akan diserap pada batas antara air dan minyak, sehingga
terbentuk lapisan film yang akan membungkus partikel fase dispers atau
fase internal. Emulgator dengan jumlah yang cukup akan menutupi semua
permukaan partikel fase dispers. Dengan kata lain fase terdispers menjadi
stabil.
Menurut teori lapisan listrik rangkap (Elektrik Doubleak Layer)
menyatakan bahwa minyak yang terdispersi ke dalam air akan
berhubungan dengan permukaan minyak yang bermuatan sejenis,
sedangkan lapisan berikutnya akan mempunyai muatan yang berlawanan
dengan lapisan di depannya. Dengan demikian antara sesame partikel akan
tolak menolak, dan stabilitas emulsi akan bertambah.
Zat pengemulsi (emulgator) merupakan komponen yang paling
penting agar memperoleh emulsa yang stabil. Zat pengemulsi adalah PGA,
tragakan, gelatin, sapodan lain-lain. Dalam pembuatan suatu emulsi,
pemiihan emulgator merupakan faktor penting untuk diperhatikan karena
mutu dan kestabilan suatu emulsi banyak dipengaruhi emulgator yang
digunakan. Pada pembuatan emulsi, surfaktan juga dapat digunakan
sebagai emulgator. Jika surfaktan yang digunakan sebagai emulgator maka
dapat terbentuk suatu emulsi ganda (multiple emulsion). Sistem ini
merupakan jenis emulsi air-minyak-air atau sebaliknya.
Mekanisme kerja emulgator semacam ini berdasarkan atas
kemampuannya menurunkan tegangan permukaan air dan minyak serta
membentuk lapisan monomolekular pada permukaan globul fase
terdispersi. Secara kimia molekul surfaktan terdiri atas gugus polar dan
non polar. Apabila surfaktan dimasukkan ke dalam sistem yang terdiri dari
air dan minyak, maka gugus polar akan mengarah ke fase air sedangkan
gugus non polar akan mengarah ke fase air sedangkan gugus non polar
akan mengarah ke fase minyak. Surfaktan yang didominasi gugus
polar akan cenderung membentuk emulsi minyak dalam air.
Sedangkan jika molekul surfaktan lebih didominasi gugus non polar akan
cenderung menghasilkan emulsi air dalam minyak.
Percobaan kali ini adalah emulsifikasi bertujuan untuk menghitung
jumlah emulgator golongan surfaktan yang digunakan dalam pembuatan
emulsi, membuat emulsi dengan menggunakan emulgator golongan
surfaktan, mengevaluasi ketidakstabilan suatu emulsi, dan menentukan
HLB butuh minyak yang digunakan dalam pembuatan emulsi. Metode
yang dapat digunakan untuk menilai efisiensi surfaktan sebagai emulgator
adalah metode HLB (hydrophilic-lipophilic balance). Susunan suatu setiap
fungsi surfaktan skala ukuran HLB surfaktan yang dapat digunakan
menyusun daerah efisien HLB optimum untuk setiap fungsi surfaktan.
Semakin tinggi nilai HLB suatu surfaktan, sifat kepolarannya akan
meningkat. Disamping itu, HLB butuh minyak yang digunakan juga perlu
diketahui. Pada percobaan kali ini berprinsip pada nilai HLB butuh suatu
minyak adalah tetap untuk suatu emulsi tertentu dan nilai ini ditentukan
berdasakan percobaan, nilai HLB butuh setara dengan nilai HLB surfaktan
yang digunakan untuk mengemulsikan minyak dengan air. Sehingga nilai
HLB butuh setara dengan nilai HLB surfaktan yang digunakan
membentuk suatu emulsi yang stabil. Emulsi dapat dikatakan stabil
apabila tidak ada perubahan ukuran partikel dan tidak terjadi perubahan
warna, bau dan bentuk. Span dan Tween yang digunakan dalam
percobaan ini adalah span 80 dan tween 80. Ester asam lemak sorbitan
monooleat ( Span 80 ) adalah emulgator nonionik yang larut dalam
minyak yang menunjang terbentuknya emulsi A/M, karena memiliki nilai
HLB yang rendah (HLB=4,3). Ester-ester asam lemak polioksietilen
sorbitan mono-oleat (polisorbat 80) merupakan emulgator larut dalam air
membantu terbentuknya emulsi M/A karena memiliki nilai HLB yang
tinggi (HLB=15). Tween 80 dan Span 80 dapat meningkatkan viskositas
fase pendispersi dan membentuk lapisan tipis yang kuat yang dapat
mencegah penggabungan fase terdispersi sehingga tidak terjadi
pengendapan. Prinsip kerjanya HLB butuh yang berbeda-beda dimana
akan menentukan yang mana HLB butuh yang stabil. Pertama-tama
dihitung jumlah tween dan span untuk setiap nilai HLB butuh, ditimbang
masing masing minyak, air, tween dan span, dicampurkan minyak dengan
span, tween dengan air, kemudian dipanaskan pada suhu 60°C,
dicampurkan fase minyak ke dalam fase air, emulsi yang terbentuk,
dikocok kuat kemudian diletakkan pada gelas ukur, didiamkan selama 6
hari dengan mencatat tinggi emulsi dalam gelas ukur yang terbentuk per
hari. Selama pengocokan atau pemindahan suatu emulsi, busa bisa
terbentuk. Pembentukan busa terjadi karena surfaktan yang melarut dalam
air, yang dibutuhkan untuk emulsifikasi, umumnya juga mengurangi
tegangan permukaan antarmuka udara-air. Untuk memperkecil atau
meminimumkan pembentukan busa, emulsifikasi harus dilaksankan dalam
sistem tertutup dan atau di bawah vakum. Bila terjadi creaming, ukur
tinggi emulsi yang membentuk cream yang apabila dilakukan pengocokan
akan bersifat reversible ( kembali seperti awal ) yang dikarenakan
energi bebas permukaan yang dihasilkan oleh proses creaming relatif
rendah karena endapan cenderung bergerak ke bawah mendekati fase
emulsi. Oleh karena itu, ketidakstabilan emulsi yang disebabkan oleh
proses creaming ini dapat segera dikembalikan dalam bentuk
kestabilannya dengan pengocokan yang tidak terlalu kuat ( emulsi
cenderung stabil ). Selanjutnya dihitung nilai HLB emulsi tampak relative
stabil.
Dari percobaan yang telah didapatkan hasil pada.HLB butuh 5
dengan tween 0,08 dan span 1,17 memiliki ketinggian creaming dari hari
ke-0 sampai hari ke-6 adalah berturut-turut 25, 18,5, 18,5, 18,5, 18,5, 18,5,
18,5. Pada HLB butuh 10 dengan tween 0,67 dan span 0,58 memiliki
ketinggian creaming dari hari ke-0 sampai hari ke-6 adalah berturut-turut
25, 18,5, 18,5, 18,5, 18,5, 18,5, 18,5. Pada HLB butuh 11 dengan tween
0,8 dan span 0,45 memiliki ketinggian creaming dari hari ke-0 sampai hari
ke-6 adalah berturut-turut 25, 18,5, 18,5, 18,5, 18,5, 18,5, 18,5.
Pengamatan pada hari-hari berikutnya menunjukkan bahwa semua emulsi
mengalami creaming. Tinggi creaming yang terjadi pada masing-masing
emulsi berbeda setiap harinya. Dari data pengamatan, dapat dilihat bahwa
semua emulsi yang dibuat ternyata tidak stabil karena terjadi creming pada
semua tabung sedimentasi. Creaming berpotensi terhadap terjadinya
penggabungan fase dalam yang sempurna. Jadi, semakin tinggi creaming
yang terjadi, semakin besar pula potensi fase dalam untuk bergabung
secara sempurna. Adapun creaming yang terbentuk pada emulsi mengarah
ke atas yang ditandai dengan menurunnya tinggi emulsi dalam gelas ukur
dan disebabkan oleh kerapatan fase terdispersi ( dalam hal ini minyak )
yang lebih besar daripada kerapatan air sehingga endapan cenderung
bergerak ke atas, karena berat jenis minyak lebih kecil daripada air. Dari
percobaan yang dilakukan dapat terlihat bahwa, emulsi dengan nilai HLB
5, 10, dan 11 merupakan emulsi yang paling stabil karena memiliki laju
creaming yang sangat kecil sehingga tinggi creaming lebih rendah
daripada HLB lain. Sedangkan untuk emulsi dengan nilai HLB 4, 9, 11,
12, 13 merupakan emulsi yang paling tidak stabil karena memiliki laju
creaming yang sangat besar dan kadang tidak beraturan, karena sebagian
besar terjadi perubahan tinggi creaming setiap harinya.
G. Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Emulsi adalah suatu sistem dispersi yang secara termodinamika tidak
stabil, terdiri dari paling sedikit dua cairan yang tidak bercampur dan satu
diantaranya terdispersi sebagai globul-globul dalam cairan lainnya. Sistem
ini umumnya distabilkan dengan emulgator.
2. Emulgator golongan surfaktan yang digunakan adalah Tween 80 dan
Span 80
3.
Ketidakstabilan emulsi dapat terjadi karena penggunaan emulgator yang ti
dak sesuai, selain itu penurunan suhu yang tiba-tiba dapat menyebabkan
emulsi menjadi tidak stabil. Penambahan air secara langsung dalam
campuran juga mempengaruhi pembentukan emulsi yang tidak stabil.
4. HLB butuh minyak yang digunakan untuk membuat emulsi stabil
adalah 5, 10 dan 11.