kaspan_keratokonjungtivitis ec sjs 2

48
KASUS PANJANG KERATOKONJUNGTIVITIS ET CAUSA STEVEN JOHNSON SYNDROME Oleh : Nur Alfi Dinari 105070100111116 Nur Alfi Dinari 105070100111116 Nur Alfi Dinari 105070100111116 Nur Alfi Dinari 105070100111116 Pembimbing: dr., SpM

Upload: khrisna-rangga-permana

Post on 10-Apr-2016

61 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

okkk

TRANSCRIPT

Page 1: Kaspan_Keratokonjungtivitis Ec SJS 2

KASUS PANJANG

KERATOKONJUNGTIVITIS ET CAUSA STEVEN JOHNSON SYNDROME

Oleh :Nur Alfi Dinari 105070100111116

Nur Alfi Dinari 105070100111116

Nur Alfi Dinari 105070100111116

Nur Alfi Dinari 105070100111116

Pembimbing:dr., SpM

LABORATORIUM ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

RUMAH SAKIT UMUM dr. SAIFUL ANWARMALANG

2015

Page 2: Kaspan_Keratokonjungtivitis Ec SJS 2

BAB 1PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konjungtiva dan kornea merupakan bagian mata yang mudah

berhubungan dengan dunia luar, sehingga penyakit mudah sekali menular.

Keratokonjungtivitis adalah istilah yang digunakan dalam lingkup

peradangan pada mata yang mengenai kornea dan konjungtiva secara

bersamaan. Keratokonjungtivitis disebabkan oleh berbagai faktor (bakteri,

viral, fungal, alergi, toksik, penyakit sistemik) dan seringkali mengalami

kekambuhan (Klasco, 2011).

Stevens Johnson Syndrome (SJS) adalah kumpulan gejala klinis

yang ditandai oleh trias kelianan kulit, mukosa orifisium serta mata disertai

dengan gejala umum berat. Sindroma ini merupakan salah satu contoh

immune-complex-mediated hypersensitivity, atau yang juga disebut reaksi

hipersensitivitas tipe III. Gejala prodromal dari SJS dapat berupa batuk

yang produktif dan terdapat sputum purulen, sakit kepala, malaise, dan

artralgia. SJS dapat menimbulkan kelainan pada mata dan salahsatunya

adalah keratokonjungtivitis (Monica, 2013).

Penatalaksaan keratokonjungtivitis bergantung pada penyebab

terjadinya. Beberapa keratokonjungtivitis dapat disebabkan oleh adanya

konungtivitis yang mengakibatkan terjadinya simptom pada kornea. Perlu

diketahui penyebab utama yang melatar belakangi terjadinya

keratokonjungtivitis dalam rangka memberikan penatalaksanaan yang

adekuat dan efektif.

Penyebab yang lazim dari keratokonjungtivitis adalah alergi,

kurangnya produksi air mata, dan infeksi. Berbagai kelainan yang terjadi

memiliki penanganan yang berbeda dengan tujuan terapi. Mengetahui

gejala utama tentang penyebab masing-masing keratokunjungtivitis,

kelainan yang ditemukan pada anmnesa, pemeriksaan fisik, dan apabila

diperlukan pemeriksaan penunjang merupakan suatu tahapan yang penting

untuk dketahui oleh tenaga kesehatan.

Harapannya, penanganan penegakan diagnosa yang tepat dan

memulai terapi dengan adekuat dan efektif akan memberikan prognosis

pasien yang lebih baik pada pasien keratokonjungtivitis.

1

Page 3: Kaspan_Keratokonjungtivitis Ec SJS 2

1.2 Rumusan Masalah1. Apa definisi dari keratokonjungtivitis?

2. Bagaimana cara mendiagnosis keratokonjungtivitis?

3. Bagaimana penatalaksanaan keratokonjungtivitis secara umum dan

yang disebabkan oleh Steven Johnson Syndrome secara khusus?

1.3 TujuanAdapun tujuan penulisan laporan kasus ini ialah untuk

meningkatkan keilmuan dokter muda agar dapat memahami anamnesis,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, penetapan diagnosis kerja

maupun diagnosis banding serta penatalaksanaan hingga prognosis pasien

keratokonjungtivitis secara umum dan yang disebabkan oleh Steven

Johnson Syndrome secara khusus.

2

Page 4: Kaspan_Keratokonjungtivitis Ec SJS 2

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konjungtiva2.1.1 Anatomi dan Fisiologi

Konjungtiva adalah membran mukosa tipis dan transparan yang melapisi

permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan

anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva palpebralis melapisi

permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior

dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks superior dan

inferior) dan membungkus jaringan episklera dan menjadi konjungtiva bulbaris.

Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbital di forniks dan melipat

berkali-kali.

Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan

memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. Adapun duktus kelenjar

lakrimalis bermuara ke forniks temporal superior. Struktur konjungtiva forniks

sama dengan konjungtiva palpebra, namun hubungan dengan jaringan di

bawahnya lebih lemah dan membentuk lekukan-lekukan. Selain itu, konjungtiva

forniks juga mengandung banyak pembuluh darah. Oleh karena itu, udem akan

mudah terjadi di tempat ini apabila terdapat peradangan mata.

3

Page 5: Kaspan_Keratokonjungtivitis Ec SJS 2

Gambar 2.1 Anatomi KonjungtivaSecara histologis, lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima

lapisan sel epitel silinder bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel

konjungtiva di dekat limbus, di atas kurunkula, dan di dekat persambungan

mukokutan pada tepi kelopak mata yang terdiri dari sel-sel epitel skuamosa. Sel-

sel epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi

mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi

lapisan air mata secara merata di seluruh prekornea. Sel-sel epitel basal

berwarna lebih pekat daripada sel-sel superfisial dan di dekat limbus dapat

mengandung pigmen (Vaughan, 2010).

Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial) dan

satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid

dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa

sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi

berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa konjungtivitis inklusi pada

neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian menjadi

folikuler. Lapisan fibrosa tersusun dari Jaringan penyambung yang melekat pada

lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papiler pada radang

konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar air mata

asesori (kelenjar Krause dan Wolfring), yang struktur dan fungsinya mirip kelenjar

lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar Krause berada di

forniks atas dan sedikit ada di forniks bawah. Kelenjar Wolfring terletak di tepi

atas tarsus atas (Vaughan, 2010).

2.1.2 Vaskularisasi dan PersarafanArteri-arteri konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri

palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama dengan

banyak vena konjungtiva membentuk jaringan vaskular konjungtiva yang sangat

banyak. Konjungtiva juga menerima persarafan dari percabangan pertama

nervus V dengan serabut nyeri yang relatif sedikit (Vaughan, 2010; Tortora,

2009).

2.2 Kornea2.2.1 Anatomi dan Fisiologi

4

Page 6: Kaspan_Keratokonjungtivitis Ec SJS 2

Kornea adalah jaringan transparan yang merupakan selaput bening mata

yang tembus cahaya dan melapisi bagian luar bola mata. Apabila terjadi udem,

maka kornea berfungsi sebagai prisma yang dapat menguraikan sinar yang

masuk ke dalam mata, sehingga pasien akan melihat halo. Kornea merupakan

lensa cembung dengan kekuatan refraksi sebesar + 43 dioptri. Adapun batas

antara sklera dan kornea disebut limbus kornea. Secara histologis, kornea terdiri

dari 5 lapisan yaitu lapisan epitel (yang bersambung dengan epitel konjungtiva

bulbaris), membran Bowman, stroma, membran Descement dan endotel (Ilyas

dan Yulianti, 2011; Kanski, 2015).

a. Epitel

Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling

tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel

basal sering terlihat mitosis sel, sel muda terdorong kedepan menjadi lapisan

sel poligonal dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng. Sel basal

berikatan erat dengan sel basal disampingnya dan sel poligonal didepannya

melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran

air, elektrolit dan glukosa yang merupakan barrier. Sel basal menghasilkan

membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan

menghasilkan erosi rekuren. Epitel berasal dari ektoderm permukaan.

b. Membran Bowman

Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen

yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan

stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.

c. Stroma

Stroma membentuk 90% ketebalan kornea. Stroma terdiri atas lamel yang

merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan yang lainnya. Pada

permukaan terlihat anyaman yang teratur, sedang di bagian perifer serat

kolagen ini bercabang. Terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu

± 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan

fibroblas yang terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit

membentuk bahan dasar serat kolagen dalam perkembangan embrio atau

sesudah trauma.

d. Membran Descement

Merupakan membran aseluler dan merupakan batas belakang stroma kornea

yang bersifat sangat elastis dan tebalnya sekitar 40 μm.

5

Page 7: Kaspan_Keratokonjungtivitis Ec SJS 2

e. Endotel

Berasal dari mesotelium, bentuk heksagonal, besar 20-40 μm. Endotel

melekat pada membran descement melalui hemidoson dan zonula okluden.

Sel endotel mempertahankan deturgensi kornea dengan memompa

kelebihan cairan dari stroma. Pada densitas 500 sel/mm2, terjadi edema dan

transparansi kornea.

Gambar 2.2 Anatomi Mata

Gambar 2.3 Lapisan Kornea

2.2.2 Vaskularisasi dan PersarafanKornea dipersarafi oleh banyak saraf sensorik, terutama berasal dari

saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan

suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran bowman

melepaskan selubung schwannya. Bulbus krause untuk sensasi dingin

ditemukan di antaranya. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah

limbus terjadi dalam waktu 3 bulan. Sumber nutrisi kornea adalah pembuluh-

6

Page 8: Kaspan_Keratokonjungtivitis Ec SJS 2

pembuluh darah limbus, humour aquos dan air mata. Kornea superfisial juga

mendapat oksigen sebagian besar dari atmosfir. Transparansi kornea

dipertahankan oleh strukturnya yang seragam, avaskularitas, dan deturgensinya

(Vaughan, 2010).

2.2. Konjungtivitis2.2.1 Definisi Keratokonjungtivitis

Keratokonjungtivitis merupakan peradangan (“-itis”) pada kornea dan

konjungtiva. Jika peradangan terjadi hanya pada kornea saja disebut keratitis

dan jika peradangan hanya terjadi pada konjungtiva disebut konjungtivitis

(Vaughan, 2010; Ilyas, 2012). Peradangan ini dapat berbentuk akut maupun

kronis (Ilyas, 2012).

2.2.2 EpidemiologiKonjungtivitis adalah salah satu keluhan mata non-trauma paling umum

menyebabkan pasien datang ke rumah sakit: 3% dari semua kunjungan unit

gawat darurat adalah penyakit terkait mata, dan sekitar 30% merupakan

konjungtivitis dari semua keluhan mata (Medscape, 2015).

2.2.3 EtiologiKonjungtivitis dapat diakibatkan oleh bakteri, klamidia, alergi, viral, toksik,

dan berkaitan dengan penyakit sistemik. Konjungtivitis viral lebih sering terjadi

daripada konjungtivitis bakterial. Etiologi konjungtivitis dapat diketahui

berdasarkan klinis pasien. Pada tingkat seluler terdapat infiltrat seluler dan

eksudat pada konjungtiva.

Etiologi keratitis superfisial antara lain adalah infeksi (bakteri, viral, dan

fungal), degeneratif (dry eye, defek neurotropik, atau berhubungan dengan

penyakit sistemik), toksik, dan alergi. Ada beberapa penyebab potensial

keratokonjungtivitis, yaitu kekeringan, infeksi virus, manifestasi dari atopi atau

alergen maupun trauma mekanik. Keratokonjungtivitis juga dapat disebabkan

karena Steven Johnson Syndrome.

2.2.3.1 Steven Johnson Syndrome (SJS)2.2.3.1.1 Definisi

7

Page 9: Kaspan_Keratokonjungtivitis Ec SJS 2

Stevens Johnson Syndrome adalah kumpulan gejala klinis yang ditandai

oleh trias kelianan kulit, mukosa orifisium serta mata disertai dengan gejala

umum berat. Sindroma ini merupakan salah satu contoh immune-complex-

mediated hypersensitivity, atau yang juga disebut reaksi hipersensitivitas tipe III.

Gejala prodromal dari SJS dapat berupa batuk yang produktif dan

terdapat sputum purulen, sakit kepala, malaise, dan arthralgia.

Pasien mungkin mengeluhkan ruam pembakaran yang dimulai secara

simetris pada wajah dan bagian atas dari torso tubuh. Selain itu, ada beberapa

tanda dari keterlibatan kulit dalam SJS, antara lain:

a. Eritema

b. Edema

c. Sloughing

d. Blister atau vesikel

e. Ulserasi

f. Nekrosis.

2.2.3.1.2 PatofisilogiPatofisiologi SJS sampai saat ini belum jelas walaupun sering

dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang

disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metaboliknya dengan

antibody IgM dan IgG, serta reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type

hypersensitivity reactions atau reaksi hipersensitivitas tipe IV) yang merupakan

reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.6 Reaksi tipe III terjadi akibat

terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang membentuk mikropresipitasi

sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil

yang kemudian melepaskan lisosim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada

organ sasaran (target organ). Reaksi tipe IV terjadi akibat limposit T yang

tersensitisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama, kemudian limfokin

dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Monica, 2013).

Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan

endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi.

Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat

merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar.

Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus,

partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor

8

Page 10: Kaspan_Keratokonjungtivitis Ec SJS 2

penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat

infeksi, inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat

mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan

akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan

dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang dihasilkannya.

Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa

dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi

lainnya. Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit

yang akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis (Williams, 2013).

Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga

terjadi seperti kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan,

stress hormonal diikuti peningkatan resistensi terhadap insulin, hiperglikemia dan

glukosuria, kegagalan termoregulasi, kegagalan fungsi imun, dan infeksi.8

2.2.3.1.3 Etiologi SJSPenyebab pasti dari SJS ini idiopatik atau belum diketahui. Namun

penyebab yang paling sering terjadi ialah alergi sistemik terhadap obat yaitu

reaksi berlebihan dari tubuh untuk menolak obat-obatan yang masuk ke dalam

tubuh.

Diperkirakan sekitar 75% kasus SJS disebabkan oleh obat-obatan dan

25% karena infeksi dan penyebab lainnya. Paparan obat dan reaksi

hipersensitivitas yang dihasilkan adalah penyebab mayoritas yangsangat besar

dari kasus SJS. Dalam angka absolut kasus, alopurinol adalah penyebab paling

umum dari SJS di Eropa dan Israel, dan sebagian besar pada pasien yang

menerima dosis harian setidaknya 200 mg (Williams, 2013).

Sindrom ini juga dikatakan multifaktorial. Berikut merupakan beberapa faktor

yang dapat menyebabkan timbulnya SJS antara lain:

1. Obat-obatanAlergi obat tersering adalah golongan obat analgetik (pereda nyeri) dan

antipiretik (penurun demam). Berbagai obat yang diduga dapat menyebabkan

SJS antara lain: Penisilin dan derivatnya, Streptomysin, Sulfonamide, Tetrasiklin,

Analgetik/antipiretik (misalnya Derivat Salisilat, Pirazolon, Metamizol, Metampiron

dan Paracetamol), Digitalis, Hidralazin, Barbiturat (Fenobarbital), Kinin Antipirin,

Chlorpromazin, Karbamazepin dan jamu-jamuan.1

2. Infeksi

9

Page 11: Kaspan_Keratokonjungtivitis Ec SJS 2

a. Virus, antara lain Herpes Simplex Virus, virus Epstein-Barr,

enterovirus, HIV, Coxsackievirus, influenza, hepatitis, gondok,

lymphogranuloma venereum, rickettsia dan variola.

b. Bakteri, antara lain Grup A beta-hemolitik streptokokus, difteri,

brucellosis, mikobakteri, Mycoplasma pneumoniae, tularaemia dan

tifus.

c. Jamur, meliputi coccidioidomycosis, dermatofitosis dan

histoplasmosis.

d. Protozoa, meliputi malaria dan trikomoniasis.

3. ImunisasiTerkait dengan imunisasi - misalnya, campak, hepatitis B.

4. Penyebab lain :a. Zat tambahan pada makanan (Food Additive) dan zat warna

b. Faktor Fisik: Sinar X, sinar matahari, cuaca dan lain- lain

c. Penyakit penyakit Kolagen Vaskuler

d. Penyakit-penyakit keganasan: karsinoma penyakit Hodgkins,

Limfoma, Myeloma, dan Polisitemia

e. Kehamilan dan Menstruasi

f. Neoplasma

g. Radioterapi.

2.2.3.1.4 Manifestasi KlinisSteven Johnson Syndrome memiliki fase perjalanan penyakit yang sangat

akut. Gejala awal yang muncul dapat berupa demam tinggi, nyeri kepala, batuk

berdahak, pilek, nyeri tenggorokan, dan nyeri sendi yang dapat berlangsung

selama 1-14 hari.1 Muntah dan diare juga dapat muncul sebagai gejala awal.

Gejala awal tersebut dapat berkembang menjadi gejala yang lebih berat, yang

ditandai dengan peningkatan kecepatan denyut nadi dan laju pernapasan, rasa

lemah, serta penurunan kesadaran.

Adapun 3 kelainan utama yang muncul pada SJS, antara lain:

a. Kelainan pada kulitKelainan yang dapat terjadi pada kulit penderita sindrom Stevens-

Johnson, antara lain timbulnya ruam yang berkembang menjadi eritema, papula,

vesikel, dan bula.1 Sedangkan tanda patognomonik yang muncul adalah adanya

lesi target atau targetoid lesions.

10

Page 12: Kaspan_Keratokonjungtivitis Ec SJS 2

Pengelupasan kulit umum terjadi pada sindrom ini, ditandai dengan tanda

Nikolsky positif. Pengelupasan paling banyak terjadi pada area tubuh yang

tertekan seperti pada bagian punggung dan bokong. Apabila pengelupasan

menyebar kurang dari 10% area tubuh, maka termasuk sindrom Stevens-

Johnson. Jika 10-30% disebut Stevens Johnson Syndrome – Toxic Epidermal

Necrolysis (SJS-TEN). Serta jika lebih dari 30% area tubuh, maka disebut Toxic

Epidermal Necrolysis (TEN).

b. Kelainan pada mukosaKelainan pada mukosa sebagian besar melibatkan mukosa mulut dan

esofageal, namun dapat pula melibatkan mukosa pada paru-paru dan bagian

genital.13 Adanya kelainan pada mukosa dapat menyebabkan eritema, edema,

pengelupasan, pelepuhan, ulserasi, dan nekrosis.

Pada mukosa mulut, kelainan dapat berupa stomatitis pada bibir, lidah,

dan mukosa bukal mulut. Stomatitis tersebut diperparah dengan timbulnya bula

yang dapat pecah sewaktu-waktu. Bula yang pecah dapat menimbulkan krusta

atau kerak kehitaman terutama pada bibir penderita.1 Selain itu, lesi juga dapat

timbul pada mukosa orofaring, percabangan bronkitrakeal, dan esofagus,

sehingga menyebabkan penderita sulit untuk bernapas dan mencerna makanan.

Serta pada saluran genitalurinaria sehingga menyulitkan proses mikturia atau

buang air kecil.12

c. Kelainan pada mataKelainan pada mata yang terjadi dapat berupa hiperemia konjungtiva.

Kelopak mata dapat melekat dan apabila dipaksakan untuk lepas, maka dapat

merobek epidermis. Erosi pseudomembran pada konjungtiva juga dapat

menyebabkan sinekia atau pelekatan antara konjungtiva dan kelopak mata.

Seringkali dapat pula terjadi peradangan atau keratitis pada kornea mata.

2.2.3.1.4 Diagnosis SJSDokter sering dapat mengidentifikasi sindrom Stevens-Johnson

berdasarkan riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik dan tanda-tanda khas

gangguan dan gejala. Untuk mengkonfirmasi diagnosis, dokter akan mengambil

sampel jaringan kulit pasien (biopsi) untuk diperiksa di bawah mikroskop.

Infiltrasi sel dermal inflamasi yang minim dan nekrosis sel yang tebal juga

luas di epidermis merupakan temuan histopatologis yang khas yang dapat

11

Page 13: Kaspan_Keratokonjungtivitis Ec SJS 2

ditemui pada pasien dengan Steven Johnson Syndrome. Pemeriksaan

histopatologis lain dari kulit yang juga dapat ditemukan antara lain:

a. Perubahan pertemuan epidermal-dermal mulai dari perubahan vacuolar

lecet subepidermal

b. Infiltrasi dermal: superfisial dan sebagian perivaskular

c. Apoptosis keratinosit

d. CD4+ T limfosit mendominasi dalam dermis, CD8 + T limfosit

mendominasi di epidermis; persimpangan dermoepidermal dan epidermis

sebagian besar disusupi oleh CD8+ T limfosit.

Pemeriksaan mata dapat menunjukkan sebagai berikut:

a. Biopsi konjungtiva dari pasien dengan penyakit mata aktif menunjukkan

sel-sel plasma dan infiltrasi limfosit subepitel, limfosit juga hadir di sekitar

dinding pembuluh, sedangkan limfosit infiltrasi dominan adalah sel T

Helper

b. Immunohistology konjungtiva mengungkapkan banyak sel HLA-DR-positif

dalam substantia propria, dinding pembuluh, dan epitel.

2.2.3.1.5 Penatalaksanaan SJSPasien harus ditangani dengan perhatian khusus pada jalan nafas dan

stabilitas hemodinamik, status cairan, luka/perawatan luka bakar, dan kontrol

nyeri. Menghentikan penggunaan obat-obatan yang mungkin menyebabkan hal

itu adalah hal yang paling penting dalam mengobati SJS. Karena sulit untuk

menentukan mana obat yang dapat menyebabkan masalah tersebut.

2.3 Klasifikasi keratokonjungtivitisBeberapa klasifikasi yang mengacu pada keratokonjungtivitis antara lain

(Bawazeer dan Hodge, 2008; Ilyas dan Yulianti, 2011; Smedt dkk., 2013):

a. Vernal keratokonjunctivitis (VKC) digunakan ketika peradangan konjungtiva

dan kornea terjadi di musim semi yang biasanya diakibatkan oleh alergen.

VKC seringkali mengenai usia dekade pertama dan kedua kehidupan.

b. Atopic keratokonjunctivitis adalah ketika peradangan konjungtiva dan kornea

yang merupakan salah satu manifestasi dari atopi. AKC seringkali mengenai

usia remaja akhir dan dekade kelima kehidupan.

c. Epidemi keratokonjunctivitis (EKC) yang disebabkan oleh infeksi adenovirus.

12

Page 14: Kaspan_Keratokonjungtivitis Ec SJS 2

d. Keratokonjunctivitis sicca ("Sicca" berarti "kering") digunakan ketika

peradangan konjungtiva dan kornea diakibatkan oleh kekeringan.

e. Keratokonjungtivitis limbus superior yang diduga disebabkan oleh trauma

mekanik

2.3.4 Diagnosis Keratokonjungtivitis2.3.4.1 Anamnesis

Gejala penting konjungtivitis yang dapat kita temukan dari anamnesis

antara lain adalah sensasi adanya benda asing, yaitu tergores atau panas,

sensasi penuh di sekitar mata, gatal, merah, dan fotofobia. Sensasi benda asing

dan tergores atau terbakar sering berhubungan dengan edema dan hipertrofi

papiler yang biasanya menyertai hiperemi konjungtiva. Nyeri pada iris atau

corpus siliaris mengesankan terkenanya kornea (Vaughan, 2010). Diagnosis

ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, gejala klinik dan hasil pemeriksaan

mata. Dari hasil anamnesis pasien biasanya mengeluhkan trias keratitis berupa

berair (epifora) silau (fotofobia) serta sulit membuka mata (blepharospasme)

serta , penglihatan yang sedikit kabur dan mata merah. Dari hasil pemeriksaan

mata dapat menggunakan slit lamp, tes fluoresensi.

2.3.4.2 Pemeriksaan fisikTanda penting konjungtivitis adalah hiperemia, mata berair (nrocoh),

eksudasi, pseudoptosis, hipertrofi papiler, kemosis (edem stroma konjungtiva),

folikel (hipertrofi lapis limfoid stroma), pseudomembranosa dan membran,

granuloma, dan limfadenopati preaurikuler. Pemeriksaan awal termasuk

pengukuran ketajaman visus, pemeriksaan eksternal dan slit-lamp biomikroskopi.

Adapun pemeriksaan eksternal harus mencakup elemen berikut ini (Vaughan,

2010):

- Limfadenopati regional, terutama kelenjar getah bening preaurikuler.

- Kulit: tanda-tanda rossacea, eksema, seborrhea.

- Kelainan kelopak mata dan adneksa: pembengkakan, perubahan warna,

malposisi, kelemahan, ulserasi, nodul, ekimosis, keganasan.

- Konjungtiva: bentuk injeksi, perdarahan subkonjungtiva, kemosis, perubahan

sikatrikal, simblepharon (perlekatan konjungtiva palpebral ke konjungtiva

bulbaris; terjadi sebanyak 20% kasus), massa, dan sekret.

2.3.4.3 Pemeriksaan penunjang

13

Page 15: Kaspan_Keratokonjungtivitis Ec SJS 2

Slit-lamp biomikroskopi harus mencakup pemeriksaan yang hati-hati

terhadap:

- Margo palpebra: inflamasi, ulserasi, sekret, nodul atau vesikel, sisa kulit

berwarna darah, keratinisasi

- Bulu mata: kerontokan bulu mata, kerak kulit, ketombe, telur kutu

- Punctum lacrimal dan canaliculi: penonjolan, sekret

- Konjungtiva tarsal dan forniks: Adanya papila, folikel dan ukurannya;

perubahan sikatrikal, termasuk penonjolan ke dalam dan simblepharon;

membran dan psudomembran, ulserasi, perdarahan, benda asing, massa,

kelemahan palpebra

- Konjungtiva bulbar/limbus: folikel, edema, nodul, kemosis, kelemahan, papila,

ulserasi, luka, flikten, perdarahan, benda asing, keratinisasi

- Kornea: Defek epitelial, keratopati punctata dan keratitis dendritik, filamen,

ulserasi, infiltrasi, termasuk infiltrat subepitelial dan flikten, vaskularisasi,

keratik presipitat

- Bilik mata depan: reaksi inflamasi, sinekia, defek transiluminasi

- Corak pewarnaan: konjungtiva dan kornea

Gambar 2.4 Keratokonjungtivitis vernalis (VKC)

14

Page 16: Kaspan_Keratokonjungtivitis Ec SJS 2

Gambar 2.5 Keratokonjungtivitis epidemika (EKC)

Gambar 2.6 Keratokonjungtivitis alergi (AKC)

Gambar 2.7 Keratokonjungtivitis limbus superior

15

Page 17: Kaspan_Keratokonjungtivitis Ec SJS 2

2.3.5 PenatalaksanaanPenatalaksanaan keratokonjungtivitis tergantung pada berat ringannya

gejala klinik. Pada kasus ringan sampai sedang, cukup diberikan obat tetes mata

tergantung jenis penyebabnya seperti pada KKV dapat diberikan anti histamin

topikal dan dapat ditambahkan vasokonstriktor, kemudian dilanjutkan dengan

stabilasator sel mast. Pada kasus yang berat dapat dikombinasi dalam

pengobatannya ataupun dilakukan pembedahan (Ilyas dan Yulianti, 2011).

Pada konjungtivitis virus yang merupakan “self limiting disease”

penanganan yang diberikan bersifat simtomatik serta dapat pula diberikan

antibiotik tetes mata (kloramfenikol) untuk mencegah infeksi bakteri sekunder.

Steroid tetes mata dapat diberikan jika terdapat lesi epithelial kornea, namun

pemberian steroid hanya berdasarkan pengawasan dokter spesialis mata karena

bahaya efek sampingnya cukup besar bila digunakan berkepanjangan, antara

lain infeksi fungal sekunder, katarak maupun glaucoma (Sambursky dkk., 2007).

Penanganan primer keratokonjungtivitis epidemika ialah dengan kompres

dingin dan menggunakan tetes mata astrigen. Agen antivirus tidak efektif.

Antibiotik topikal bermanfaat untuk mencegah infeksi sekunder. Steroid topikal 3

kali sehari akan menghambat terjadinya infiltrate kornea subepitel atau jika

terdapat kekeruhan pada kornea yang mengakibatkan penurunan visus yang

berat, namun pemakaian berkepanjangan akan mengakibatkan sakit mata yang

berkelanjutan. Pemakaian steroid harus di tapering off setelah pemakaian lebih

dari 1 minggu (Yanoff dkk., 2003).

Penanganan konjungtivitis bakteri ialah dengan antibiotik topikal tetes

mata (misalnya kloramfenikol) yang harus diberikan setiap 2 jam dalam 24 jam

pertama untuk mempercepat proses penyembuhan, kemudian dikurangi menjadi

setiap empat jam pada hari berikutnya. Penggunaan salep mata pada malam

hari akan mengurangi kekakuan pada kelopak mata di pagi hari.

Antibiotik lainnya yang dapat dipilih untuk gram negatif ialah tobramisin,

gentamisin dan polimiksin; sedangkan untuk gram positif berupa sefazolin,

vankomisin dan basitrasin (Khaw dan Shah, 2004). Penanganan infeksi jamur

ialah dengan natamisin 5% setiap 1-2 jam saat bangun, atau dapat pula

diberikan pilihan antijamur lainnya yaitu mikonazol, amfoterisin, nistatin dan lain-

lain (Ilyas dan Yulianti, 2011).

16

Page 18: Kaspan_Keratokonjungtivitis Ec SJS 2

Selain terapi medikamentosa sebaiknya diberikan pula edukasi pada

pasien keratitis. Pasien diberikan pengertian bahwa penyakit ini dapat

berlangsung kronik dan juga dapat terjadi kekambuhan. Pasien pun diminta

untuk tidak mengucek matanya karena dapat memperberat lesi yang telah ada.

Pada keratitis dengan etiologi bakteri, virus, maupun jamur sebaiknya kita

menyarankan pasien untuk mencegah transmisi penyakitnya dengan menjaga

kebersihan diri dengan mencuci tangan, membersihkan lap atau handuk, sapu

tangan, dan tissue.

2.3.6 KomplikasiKebanyakan konjungtivitis dapat sembuh sendiri, namun apabila

konjungtivitis tidak memperoleh penanganan yang adekuat maka dapat

menyebabkan komplikasi (Ilyas dan Yulianti, 2011) :

a. Blefaritis marginal hingga krusta akibat konjungtivitis akibat staphilococcus

b. Jaringan parut pada konjungtiva akibat konjungtivitis chlamidia pada orang

dewasa yang tidak diobati adekuat

c. Keratitis punctata akibat konjungtivitis viral

d. Keratokonus (perubahan bentuk kornea berupa penipisan kornea sehingga

bentuknya menyerupai kerucut) akibat konjungtivitis alergi.

e. Ulserasi kornea marginal, perforasi kornea hingga endoftalmitis dapat terjadi

pada infeksi N. gonorrhoeae, N. kochii, N. meningitidis, H. aegypticus, S.

aureus dan M. catarrhalis.

f. Pneumonia terjadi 10-20 % pada bayi yang mengalami konjungtivitis

chlamydia.

g. Meningitis dan septikemia akibat konjungtivitis yang diakibatkan

meningococcus.

2.3.7 PrognosisPrognosis pada kasus keratokonjungtivitis tergantung pada berat

ringannya gejala klinis yang dirasakan pasien, namun umumnya baik terutama

pada kasus yang tidak terjadi parut atau vaskularisasi pada kornea (Vaughan,

2010).

17

Page 19: Kaspan_Keratokonjungtivitis Ec SJS 2

18

Page 20: Kaspan_Keratokonjungtivitis Ec SJS 2

BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas PasienNama : Sdr. FFUmur : 22 tahunJenis Kelamin : Laki-lakiSuku : JawaAgama : IslamPekerjaan : PengangguranAlamat : Jl. Joyo Utomo gg.5, Merjosari, MalangNo. RM : 112668xxTanggal Pemeriksaan: Kamis, 10 Desember 2015

3.2 Anamnesis (Kamis, 10 Desember 2015)

3.2.1 Keluhan Utama (alasan MRS)Bercak kemerahan dengan lepuh pada seluruh tubuh

3.2.2 Riwayat Penyakit SekarangPasien mengeluh kedua mata bengkak, merah, nyerocos dan batuk sejak 3 hari yang lalu (Senin, 7 Desember 2015). Pasien berobat ke puskesmas dan diberi paracetamol, obat tetes mata (pasien lupa nama obat), obat batuk (pasien lupa nama obat), GG dan pada malam harinya minum jamu racikan. Keesokan harinya (Selasa, 8 Desember 2015) pasien demam dan mata tidak bias dibuka serta muncul bercak-bercak kemerahan pada dada. Pasien dibawa ke dokter umum pada sore hari itu dan diberi pil 3 macam dan disuntik (pasien tidak ingat nama obat). Malam harinya, bercak menyebar ke wajah, punggung, ekstremitas dan kelamin, serta bibir bengkak dan luka. Nyeri saat BAK (+), tidak bias makan (+), tidak bias minum (+). Selanjutnya esoknya (Rabu, 9 Desember 2015) pasien membeli sendiri di apotek antibiotik cefadroxil 500mg diminum 2x. Riwayat gejala yang sebelumnya, riwayat alergi pada pasien dan keluarga semua disangkal. Pasien mengaku baru pertama kali meminum paracetamol dan jamu racikan.

3.2.3 Riwayat Terapi Selama sakit ini pasien berobat ke puskesmas dan diberi paracetamol, obat tetes mata (pasien lupa nama obat), obat batuk (pasien lupa nama obat), GG dan minum jamu racikan.

Lalu pasien dibawa ke dokter umum dan diberi pil 3 macam dan disuntik (pasien tidak ingat nama obat). Pasien juga membeli sendiri di apotek antibiotic cefadroxil 500mg diminum 2x.

19

Page 21: Kaspan_Keratokonjungtivitis Ec SJS 2

3.2.4 Riwayat Penyakit DahuluPasien tidak memiliki riwayat sakit mata sebelumnya. Riwayat

sakit lainnya disangkal.

3.2.5 Riwayat KeluargaSakit mata disangkal pada keluarga

3.2.6 Riwayat Pemakaian KacamataPasien menyangkal riwayat penggunaan kacamata atau alat bantu

melihat lainnya.

3.2.7 Riwayat SosialPasien saat ini bekerja sebagai pengangguran. Tinggal di rumah

bersama orangtuanya. Riwayat teman tinggal menderita keluhan yang sama seperti pasien disangkal.

3.3 Pemeriksaan Fisik

>2/60 BP Visus >2/60 BP

Ortoforia Kedudukan Ortoforia

Gerakan Bola Mata

Epidermolisis (+), Spasme (+), Edema (-),

hiperemi (+) Palpebra

Epidermolisis (+), Spasme (+), Edema (-),

hiperemi (+)

Sekret (+) purulen, CI (+), PCI (+), simblefaron (-) Konjungtiva

Sekret (+) purulen, CI (+), PCI (+), simblefaron (-)

Defek epitel (+), Fluoresin test (+) inferior Kornea

Defek epitel (+), Fluoresin test (+) inferior

Dalam C.O.A Dalam

Radline (+) Normal Iris Radline (+) Normal

Bulat, Ø 3 mm, RP (+) Pupil Bulat, Ø 3 mm, RP (+)

Jernih Lensa Jernih

20

Page 22: Kaspan_Keratokonjungtivitis Ec SJS 2

n/p TIO n/p

Dbn Funduskopi dbn

3.4 Status Generalis

GCS 456, compos mentis, tampak sakit sedangTekanan Darah : 100/60 mmHgNadi : 106x/menitRespirasi : 26x/menitSuhu aksial : 38ºC

3.5 Status Lokalis Mata (10 Desember 2015)

ODS

OD OS

3.6 Diagnosis Kerja

- ODS Keratokonjungtivitis et cause Steven Johnson Syndrome

3.8 Planning

3.8.1 Diagnosis

21

Page 23: Kaspan_Keratokonjungtivitis Ec SJS 2

-

3.8.2 Terapi- Swab konjungtiva palpebra superior dan inferior ODS setiap pagi dan sore hari dengan salep kloramfenikol untuk mencegah simblefaron- Kloramfenikol eo 4x1 ODS- Tobro ed 8x1 ODS- Repithel eg 4x1 ODS- Eyefresh ed 8x1 ODS- Bersihkan sekret sesering mungkin- Rawat bersama dengan TS kulit

3.8.3 MonitoringSubjektif, tanda-tanda vital, visus, konjungtiva, kornea

3.8.4 Edukasi• Penyakit yang diderita oleh pasien kemungkinan besar disebabkan

oleh Steven Johnson Syndrome• Rencana penatalaksanaan penyakit pasien meliputi jenis-jenis obat

mata yang harus digunakan dan bagaimana cara memakainya• Meminta pasien untuk kontrol sesuai dengan jadwal yang telah

diberikan oleh dokter.

3.8 PrognosisAd visam : dubia ad bonamAd fungsionam : dubia ad bonamAd kosmetika : dubia ad bonamAd sanam : dubia ad bonamAd vitam : bonam

22

Page 24: Kaspan_Keratokonjungtivitis Ec SJS 2

3.9 Follow Up Hari Pertama (11 Desember 2015)SUBJEKTIF

OBJEKTIF

>2/60 BP Visus >2/60 BP

Ortoforia Kedudukan Ortoforia

Gerakan Bola Mata

Epidermolisis (+), Spasme (+), Edema (-),

hiperemi (+) Palpebra

Epidermolisis (+), Spasme (+), Edema (-),

hiperemi (+)

Sekret (+) purulen, CI (+), PCI (+), simblefaron (-) Konjungtiva

Sekret (+) purulen, CI (+), PCI (+), simblefaron (-)

Defek epitel (+), Fluoresin test (+) inferior Kornea

Defek epitel (+), Fluoresin test (+) inferior

Dalam C.O.A Dalam

Radline (+) Normal Iris Radline (+) Normal

Bulat, Ø 3 mm, RP (+) Pupil Bulat, Ø 3 mm, RP (+)

Jernih Lensa Jernih

n/p TIO n/p

Dbn Funduskopi dbn

ASSESSMENTODS Keratokonjungtivitis et cause Steven Johnson Syndrome

PLANNINGDx :-Tx :

- Swab konjungtiva palpebra superior dan inferior ODS setiap pagi dan sore hari dengan salep kloramfenikol untuk mencegah simblefaron- Kloramfenikol eo 4x1 ODS- Tobro ed 8x1 ODS- Repithel eg 4x1 ODS- Eyefresh ed 8x1 ODS- Bersihkan sekret sesering mungkin- Rawat bersama dengan TS kulit

Mo : Subjektif, status lokalis mata, TTVEd : perkembangan penyakit dan terapi

Follow Up Hari Kedua (12 Desember 2015)SUBJEKTIF

23

Page 25: Kaspan_Keratokonjungtivitis Ec SJS 2

OBJEKTIF

>2/60 BP Visus >2/60 BP

Ortoforia Kedudukan Ortoforia

Gerakan Bola Mata

Epidermolisis (+), Spasme (+), Edema (-) membaik, hiperemi (+) Palpebra

Epidermolisis (+), Spasme (+), Edema (-),

hiperemi (+)

Sekret (+) purulen, CI (+), PCI (+), simblefaron (-) Konjungtiva

Sekret (+) purulen, CI (+), PCI (+), simblefaron (-)

Defek epitel (+), Fluoresin test (+) inferior Kornea

Defek epitel (+), Fluoresin test (+) inferior

Dalam C.O.A Dalam

Radline (+) Normal Iris Radline (+) Normal

Bulat, Ø 3 mm, RP (+) Pupil Bulat, Ø 3 mm, RP (+)

Jernih Lensa Jernih

n/p TIO n/p

Dbn Funduskopi dbn

ASSESSMENTODS Keratokonjungtivitis et cause Steven Johnson Syndrome

PLANNINGDx :-Tx :

- Swab konjungtiva palpebra superior dan inferior ODS setiap pagi dan sore hari dengan salep kloramfenikol untuk mencegah simblefaron- Kloramfenikol eo 4x1 ODS- Tobro ed 8x1 ODS- Repithel eg 4x1 ODS- Eyefresh ed 8x1 ODS- Bersihkan sekret sesering mungkin- Rawat bersama dengan TS kulit

Mo : Subjektif, status lokalis mata, TTVEd : perkembangan penyakit dan terapi

Follow Up Hari Ketiga (13 Desember 2015)SUBJEKTIF

OBJEKTIF

>2/60 BP Visus >2/60 BP

24

Page 26: Kaspan_Keratokonjungtivitis Ec SJS 2

Ortoforia Kedudukan Ortoforia

Gerakan Bola Mata

Epidermolisis (+), Spasme (+), Edema (-),

hiperemi (+) Palpebra

Epidermolisis (+), Spasme (+), Edema (-),

hiperemi (+)

Sekret (+) purulen, CI (+), PCI (+), simblefaron (-), Kemosis

(+) membaik Konjungtiva

Sekret (+) purulen, CI (+), PCI (+), simblefaron (-),Kemosis (+)

membaik

Defek epitel (+), Fluoresin test (+) inferior Kornea

Defek epitel (+), Fluoresin test (+) inferior

Dalam C.O.A Dalam

Radline (+) Normal Iris Radline (+) Normal

Bulat, Ø 3 mm, RP (+) Pupil Bulat, Ø 3 mm, RP (+)

Jernih Lensa Jernih

n/p TIO n/p

Dbn Funduskopi dbn

ASSESSMENTODS Keratokonjungtivitis et cause Steven Johnson Syndrome

PLANNINGDx :-Tx : - Swab konjungtiva palpebra superior dan inferior ODS setiap pagi dan sore hari dengan salep kloramfenikol untuk mencegah simblefaron

- Kloramfenikol eo 4x1 ODS- Tobro ed 8x1 ODS- Repithel eg 4x1 ODS- Eyefresh ed 8x1 ODS- Bersihkan sekret sesering mungkin- Rawat bersama dengan TS kulit

Mo : Subjektif, status lokalis mata, TTVEd : perkembangan penyakit dan terapi

Follow Up Hari Keempat (14 Desember 2015)SUBJEKTIF

OBJEKTIF

>2/60 BP Visus >2/60 BP

Ortoforia Kedudukan Ortoforia

25

Page 27: Kaspan_Keratokonjungtivitis Ec SJS 2

Gerakan Bola Mata

Epidermolisis (+), Spasme (+), Edema (-),

hiperemi (+) Palpebra

Epidermolisis (+), Spasme (+), Edema (-),

hiperemi (+)

Sekret (+) purulent minimal, CI (+), PCI (+), simblefaron (-), Kemosis (+) membaik Konjungtiva

Sekret (+) purulent minimal, CI (+), PCI (+), simblefaron (-), Kemosis (+) membaik

Defek epitel (+), Fluoresin test (+) inferior Kornea

Defek epitel (+), Fluoresin test (+) inferior

Dalam C.O.A Dalam

Radline (+) Normal Iris Radline (+) Normal

Bulat, Ø 3 mm, RP (+) Pupil Bulat, Ø 3 mm, RP (+)

Jernih Lensa Jernih

n/p TIO n/p

Dbn Funduskopi dbn

ASSESSMENTODS Keratokonjungtivitis et cause Steven Johnson Syndrome Perbaikan

PLANNINGDx :-Tx : - Swab konjungtiva palpebra superior dan inferior ODS setiap pagi dan sore hari dengan salep kloramfenikol untuk mencegah simblefaron

- Kloramfenikol eo 4x1 ODS- Tobro ed 8x1 ODS- Repithel eg 4x1 ODS- Eyefresh ed 8x1 ODS- Bersihkan sekret sesering mungkin- Rawat bersama dengan TS kulit

Mo : Subjektif, status lokalis mata, TTVEd : perkembangan penyakit dan terapi

Follow Up Hari Kelima (15 Desember 2015)SUBJEKTIF

OBJEKTIF

>2/60 BP Visus >2/60 BP

Ortoforia Kedudukan Ortoforia

Gerakan Bola Mata

26

Page 28: Kaspan_Keratokonjungtivitis Ec SJS 2

Epidermolisis (+), Spasme (+), Edema (-),

hiperemi (+) Palpebra

Epidermolisis (+), Spasme (+), Edema (-),

hiperemi (+)

Sekret (+) purulent minimal, CI (+), PCI (+), simblefaron (-), Kemosis (+) membaik Konjungtiva

Sekret (+) purulent minimal, CI (+), PCI (+), simblefaron (-), Kemosis (+) membaik

Defek epitel (+), Fluoresin test (+) inferior Kornea

Defek epitel (+), Fluoresin test (+) inferior

Dalam C.O.A Dalam

Radline (+) Normal Iris Radline (+) Normal

Bulat, Ø 3 mm, RP (+) Pupil Bulat, Ø 3 mm, RP (+)

Jernih Lensa Jernih

n/p TIO n/p

Dbn Funduskopi dbn

ASSESSMENTODS Keratokonjungtivitis et cause Steven Johnson Syndrome Perbaikan

PLANNINGDx :-Tx : - Swab konjungtiva palpebra superior dan inferior ODS setiap pagi dan sore hari dengan salep kloramfenikol untuk mencegah simblefaron

- Kloramfenikol eo 4x1 ODS- Tobro ed 8x1 ODS- Repithel eg 4x1 ODS- Eyefresh ed 8x1 ODS- Bersihkan sekret sesering mungkin- Rawat bersama dengan TS kulit

Mo : Subjektif, status lokalis mata, TTVEd : perkembangan penyakit dan terapi

Follow Up Hari Kelima (15 Desember 2015)SUBJEKTIF

OBJEKTIF

>2/60 BP Visus >2/60 BP

Ortoforia Kedudukan Ortoforia

Gerakan Bola Mata

Epidermolisis (+), Spasme (+), Edema (-),

Palpebra Epidermolisis (+), Spasme (+), Edema (-),

27

Page 29: Kaspan_Keratokonjungtivitis Ec SJS 2

hiperemi (+) hiperemi (+)

Sekret (-), CI (+), PCI (+), simblefaron

(-), Kemosis (+) membaik Konjungtiva

Sekret (-), CI (+), PCI (+), simblefaron

(-), Kemosis (+) membaik

Defek epitel (+), Fluoresin test (+) inferior Kornea

Defek epitel (+), Fluoresin test (+) inferior

Dalam C.O.A Dalam

Radline (+) Normal Iris Radline (+) Normal

Bulat, Ø 3 mm, RP (+) Pupil Bulat, Ø 3 mm, RP (+)

Jernih Lensa Jernih

n/p TIO n/p

Dbn Funduskopi dbn

ASSESSMENTODS Keratokonjungtivitis et cause Steven Johnson Syndrome Perbaikan

PLANNINGDx :-Tx : - Swab konjungtiva palpebra superior dan inferior ODS setiap pagi dan sore hari dengan salep kloramfenikol untuk mencegah simblefaron

- Kloramfenikol eo 4x1 ODS- Tobro ed 8x1 ODS- Repithel eg 4x1 ODS- Eyefresh ed 8x1 ODS- Bersihkan sekret sesering mungkin- Rawat bersama dengan TS kulit

Mo : Subjektif, status lokalis mata, TTVEd : perkembangan penyakit dan terapi

Follow Up Hari Kesembilan (19 Desember 2015)SUBJEKTIF

OBJEKTIF

>2/60 BP Visus >2/60 BP

Ortoforia Kedudukan Ortoforia

Gerakan Bola Mata

Epidermolisis (+), Spasme (+), Edema (-),

hiperemi (+) Palpebra

Epidermolisis (+), Spasme (+), Edema (-),

hiperemi (+)

Sekret (+), CI (+), PCI (+), Konjungtiva Sekret (+), CI (+), PCI (+),

28

Page 30: Kaspan_Keratokonjungtivitis Ec SJS 2

simblefaron (-), Kemosis (+) membaik

simblefaron (-), Kemosis (+) membaik

Defek epitel (+), Fluoresin test (+) inferior Kornea

Defek epitel (+), Fluoresin test (+) inferior

Dalam C.O.A Dalam

Radline (+) Normal Iris Radline (+) Normal

Bulat, Ø 3 mm, RP (+) Pupil Bulat, Ø 3 mm, RP (+)

Jernih Lensa Jernih

n/p TIO n/p

Dbn Funduskopi dbn

ASSESSMENTODS Keratokonjungtivitis et cause Steven Johnson Syndrome Perbaikan

PLANNINGDx :-Tx : - Swab konjungtiva palpebra superior dan inferior ODS setiap pagi dan sore hari dengan salep kloramfenikol untuk mencegah simblefaron

- Kloramfenikol eo 4x1 ODS- Tobro ed 8x1 ODS- Repithel eg 4x1 ODS- Eyefresh ed 8x1 ODS- Bersihkan sekret sesering mungkin- Rawat bersama dengan TS kulit

Mo : Subjektif, status lokalis mata, TTVEd : perkembangan penyakit dan terapi

BAB 4PEMBAHASAN

Pasien dengan keratitis secara umum akan mengeluhkan adanya mata

merah, silau, dan perasaan adanya benda asing (kelilipan), dan penglihatan

turun mendadak pada mata yang terinfeksi. Pada keratitis bakterial, akan

didapatkan keluhan yang lebih spesifik berupa sekret mukopurulen hingga

purulen. Keratitis akibat infeksi virus (misalnya infeksi adenovirus) akan

memberikan gambaran berupa mata merah, nyeri, mata berair, sekret mukoid,

dan rasa gatal pada mata. Namun, pada EKC pasien akan cenderung

mengeluhkan adanya mata berair, silau, dan sensasi adanya benda asing di

mata. Ciri khas dari EKC adalah keluhan biasanya muncul setelah terjadi suatu

episode ISPA. Sedangkan gejala konjungtivitis secara umum adalah mata

29

Page 31: Kaspan_Keratokonjungtivitis Ec SJS 2

merah, nyeri, fotofobia, nrocoh, sekret yang lebih nyata di pagi hari, pseudoptosis

akibat membengkaknya kelopak mata, hipertrofi papil, folikel, membran,

pseudomembran, granulasi, terasa seperti adanya benda asing pada mata, dan

adenopati preaurikular.

Pada kasus ini, pasien datang dengan keluhan pandangan kedua mata

terasa gatal dan kabur, merah, silau bila terkena cahaya, nrocoh, ada rasa

mengganjal pada mata, dan adanya sekret mata. Pasien mengaku tidak

mengalami sakit batuk atau pilek sebelumnya, tidak memiliki riwayat alergi,

riwayat pemakaian lensa kontak, dan riwayat kontak dengan orang di sekitarnya

dengan keluhan yang sama. Maka berdasarkan keluhan yang dialami oleh

pasien, pasien ini dapat didiagnosis sebagai keratokonjungtivitis dengan

kecurigaan SJS penyebab.

Secara teori, pada pemeriksaan fisik berupa inspeksi pada pasien dengan

kerato-konjungtivitis akan didapatkan tanda berupa konjungtiva hiperemis,

sekret, pseudoptosis, dan kemosis (edema stroma konjungtiva). Dari

pemeriksaan tajam penglihatan didapatkan visus yang menurun. Dari

pemeriksaan menggunakan slit lamp didapatkan adanya Conjunctival Injection

(CI) dan Peri Corneal Injection (PCI). Selain itu, pada tes fluoresens akan

menunjukkan hasil positif (defek kornea berwarna hijau pada pemeriksaan slit

lamp). Pada kasus ini, dari pemeriksaan fisik pasien didapatkan hasil

pemeriksaan berupa sekret, CI, dan PCI. Tes fluoresens pada pasien juga

memberikan hasil yang positif (berwarna hijau). Oleh karena itu, berdasarkan

gejala yang dialami oleh pasien yang didudukung dengan pemeriksaan fisik

dapat mengarahkan diagnosis yang paling mungkin adalah keratokonjungtivitis.

Penatalaksanaan keratokonjungtivitis disesuaikan dengan etiologinya.

Pada kasus ini, berdasarkan klinis lebih mengarah ke keratokonjungtivitis akibat

SJS. Stevens Johnson Syndrome adalah kumpulan gejala klinis yang ditandai

oleh trias kelianan kulit, mukosa orifisium serta mata disertai dengan gejala

umum berat. Sindroma ini merupakan salah satu contoh immune-complex-

mediated hypersensitivity, atau yang juga disebut reaksi hipersensitivitas tipe III.

SJS dapat menyebabkan kelainan pada mata yang dapat berupa

hiperemia konjungtiva. Kelopak mata dapat melekat dan apabila dipaksakan

untuk lepas, maka dapat merobek epidermis. Erosi pseudomembran pada

konjungtiva juga dapat menyebabkan sinekia atau pelekatan antara konjungtiva

30

Page 32: Kaspan_Keratokonjungtivitis Ec SJS 2

dan kelopak mata. Seringkali dapat pula terjadi peradangan atau keratitis pada

kornea mata.

Namun hal tersebut tidak menutup kemungkinan penyebab lain terutama

bakteri. Oleh karena itu, pasien diberi terapi medikamentosa berupa tobromisin

dan deksametason tetes mata 6 x 1 OD. Tobromisin diberikan pada pasien ini

untuk mencegah terjadinya komplikasi yang mungkin terjadi. Pada pasien ini

dipilih.. Efek samping tobromisin adalah penurunan daya penglihatan untuk

sementara waktu, sensasi seperti ada benda asing pada mata, demam, sakit

kepala, rasa panas terbakar atau tidak nyaman pada mata, fotofobia, iritasi, gatal

pada kelopak mata, syok, dan reaksi anafilaktoid. Sehingga diperlukan KIE yang

baik pada pasien. Kombinasi dengan deksametason yang menyertainya juga

dapat membantu mengurangi inflamasi.

Repitel salep 4 x 1 OD diberikan untuk membantu mempercepat proses

re-epitelialisasi dan melindungi kornea. Hal ini diindikasikan karena pada

pemeriksaan fisik telah didapatkan defek epitel kornea yang cukup luas. Adapun

kandungan dari obat ini adalah vitamin A, kalsium pantotenat, dan aneurin

hidroklorida.

Sedangkan Lyteers tetes mata 6 x 1 OD memiliki kandungan narium

klorida 4,4 mg dan kalium klorida 0,8 mg per ml nya. Adapun zat tambahannya

adalah Saliva Orthana (musin) yang merupakan sediaan steril mata yang

berfungsi sebagai lubrikan pada mata kering dan mempertahankan agar

permukaan mata tetap basah. Mekanismenya adalah dengan membentuk

lapisan pelindung pada permukaan mata yang disebut lapisan air mata (tears

film).

Prognosis pada kasus keratokonjungtivitis secara teori bergantung pada

berat ringannya gejala yang dirasakan pasien. Umumnya prognosis baik. Pada

kasus ini dapat dikatakan prognosis pasien secara umum dubia ad bonam. Untuk

KIE pada pasien perlu kita sampaikan agar pasien selalu menjaga kebersihan

tubuh khususnya mata, juga kebersihan lingkungan. Sebaiknya menghindari

kontak dengan penderita penyakit yang sama untuk mencegah terkena penyakit

seperti ini lagi. Apabila telah terjadi kontak, pasien harus mencuci tangan, karena

mencuci tangan akan menghindarkan kita dari infeksi. Serta perlu kita sampaikan

juga perlunya pola hidup sehat dan teratur untuk menjaga imunitas agar selalu

baik.

31

Page 33: Kaspan_Keratokonjungtivitis Ec SJS 2

32

Page 34: Kaspan_Keratokonjungtivitis Ec SJS 2

BAB 5

KESIMPULAN

Keratokonjungtivitis adalah inflamasi yang terjadi pada konjungtiva dan

kornea. Keratitis adalah inflamasi yang terjadi pada kornea sedangkan

konjungtivitis adalah peradangan yang terjadi pada konjungtiva.

Gejala dari keratokonjungtivitis antara lain adalah mata merah, gatal,

terasa berpasir, silau bila terkena cahaya, nyeri, nrocoh, dan dapat disertai

dengan sekret, meskipun tidak seluruh gejala ini dikeluhkan oleh satu pasien.

Diagnosis keratokonjungtivitis ditegakkan berdasarkan klinis pasien.

Pasien kasus ini dilaporkan pria usia 22 tahun dengan keluhan utama kedua

mata merah dan nerocoh. Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya spasme

pada palpebra, pada konjungtiva kanan didapatkan adanya sekret, CI (+), PCI

(+). Pasien didiagnosa mengalami ODS keratokonjungtivitis et causa SJS.

Penatalaksanaan keratokonjungtivitis bergantung pada jenis kerato-

konjungtivitis yang dialami oleh pasien. Pengobatan yang diberikan pada pasien

ini adalah tobramycin, protegen, dan kontrol poli mata 1 minggu lagi.

Edukasi pada pasien dengan keratokonjungtivitis sangat diperlukan

karena infeksi ini seringkali berhubungan dengan SJS. SJS dapat menyebabkan

kelainan pada mata yang dapat berupa hiperemia konjungtiva. Kelopak mata

dapat melekat dan apabila dipaksakan untuk lepas, maka dapat merobek

epidermis. Erosi pseudomembran pada konjungtiva juga dapat menyebabkan

sinekia atau pelekatan antara konjungtiva dan kelopak mata. Seringkali dapat

pula terjadi peradangan atau keratitis pada kornea mata

Pasien diberi edukasi tentang penggunaan obat-obatan yang diberikan, dan

kontrol ke poli mata. Selain itu, pasien juga dapat diajarkan untuk melindungi diri

dan mengedukasi orang di sekitarnya yang mengalami hal serupa. Prognosis

pasien dubia et bonam tergantung dengan perbaikan SJS-nya.

33

Page 35: Kaspan_Keratokonjungtivitis Ec SJS 2

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghozie, M. 2002. Handbook of Ophthalmology : A Guide to Medical

Examination, FK UMY, Yogyakarta

American Academy of Ophthalmology. 2003. Preferred practice pattern: conjunctivitis, 2nd ed. San Francisco: American Academy of Ophthalmology.

American Academy of Opthalmology. 2013. Preferred practice pattern:

Conjungtivitis, 2nd ed. San Francisco, CA: American Academy of

Opthalmology

Bawazeer, A dan Hodge, W.G. 2008. Keratoconjunctivitis Epidemic. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/1192751-print pada tanggal 27 Oktober 2015.

Biswell, R., 2010. Kornea. In: Vaughan, Asbury. Oftalmologi Umum Edisi 17.

Jakarta: EGC.

Bremond D, Chiambareta F, Millazo S. 2011. A European Perspective on Topical

Opthalmic Antibioti: Current and Evolving Options. Opthalmology and Eye

Disease.

Hollwich F. 1993. Ophtalmology. Edisi 2. Binarupa Aksara. Jakarta. Hal. 23.

Ilyas DSM, Sidarta. 2012. Penuntun Ilmu Penyakit Mata Edisi Keempat. Fakultas

Kedokteran Univesitas Indonesia. Jakarta.

Ilyas, S dan Yulianti, S.R. 2011. Ilmu Penyakit Mata Edisi Keempat Cetakan ke-1. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

James, Brus, dkk. Lecture Notes Oftalmologi. Erlangga. Jakarta. 2005

Jatla, K.K., 2009. Neonatal Conjunctivitis. University of Colorado Denver Health.

Science Center.

Kanski, J. J. 2003. Clinical Ophtalmology, A Systematic Approach. Fifth Edition. Butterworth Heinemann. Edinburgh.

Khaw, P.T. dan Shah Pand Elkington AR. 2004. ABC of Eyes. Fourth edition. BMJ Publishing Group.

McGinnigle, S., Naroo, S.A., dan Eperjesi, F. 2012. Evaluation of Dry Eye, Journal Sourvey of Ophtalmology Volume 57 Nomer 4. USA: Elsevier.

Monica. Sindrom Stevens-Johnson. Didapat dari: http://elib.fk.uwks.ac.id/.

Diakses pada: 15 Desember 2015.

Morbidity and Mortality Weekly Report. 2013. Adenovirus-Associated Epidemic Keratoconjunctivitis Outbreaks–Four States: 2008-2010, Vol. 62, No. 32. Amerika: CDC.

Sambursky, R.P., Fram, N., dan Cohen, E. 2007. The prevalence of adenoviral conjunctivitis at the Wills Eye Hospital emergency room. Optometry 78:236-914.

Scott, IU., 2010. Viral Conjunctivitis. Departement of Opthalmology and Public

Sciences

34

Page 36: Kaspan_Keratokonjungtivitis Ec SJS 2

Smedt, S.D., Wildner, G., dan Kestelyn, P. 2013. Vernal Keratoconjunctivitis: an update, Journal Ophtalmol 2013;97:9-14.

Vaughan, D.G, Asbury, T., Eva, P.R. 2010. General Ophthalmology. Original

English Language edition: EGC

Vaughan, Daniel G. dkk. 2010. Oftalmologi Umum. Widya Medika. Jakarta: Widya Medika.

Vichyanond, P., Pacharn, P., Pleyer, U. dan Leonardi, A. 2014. Vernal Keratokonjunctivitis: A severe allergic eye disease with remodeling changes; Pediatric Allergy and Immunology. Thailand: John and Wiley & Sons Ltd.

Wijana, N. 1993. Konjungtiva dalam Ilmu Penyakit Mata. hal: 41-69

Williams M. Stevens-Johnson Syndrome. Didapat dari:

http://www.patient.co.uk. Diakses pada: 2 November 2013.

Yanoff, M., Duker J.S., dan Augsburger J.J. 2003. Opthalmology 2nd edition

35