sjs referat

34
REFERAT Stevens Johnson Syndrome (SJS) OLEH 1. Eryzki Triardianto 15710068 2. I Gusti Ayu Yulia Mahaadi P 15710082 3. Mayland Margaretha Sunata 15710119 PEMBIMBING dr. Bagus Samsu Tri Nugroho, Sp.A i

Upload: erick-triardianto

Post on 07-Jul-2016

303 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

kulit kelamin

TRANSCRIPT

REFERAT

Stevens Johnson Syndrome (SJS)

OLEH

1. Eryzki Triardianto 15710068

2. I Gusti Ayu Yulia Mahaadi P 15710082

3. Mayland Margaretha Sunata 15710119

PEMBIMBING

dr. Bagus Samsu Tri Nugroho, Sp.A

SMF ILMU KESEHATAN ANAK

KEPANITERAAN KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

DI RSUD SIDOARJO

2016

KATA PENGANTAR

i

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan berbagai kemudahan kepada penulis untuk menyelesaikan tugas Referat di

SMF Ilmu Kesehatan Anak dengan judul ” Stevens Johnson Syndrome (SJS)”.

Penulis terdorong untuk mengangkat topik ini karena berbagai pendapat

mengenai tingginya jumlah penyakit Stevens Johnson Syndrome (SJS) di Indonesia,

terutama pada anak yang datang ke dokter dalam keadaan yang parah akibat masih

minimnya pengetahuan mengenai penyakit ini.

Referat ini berhasil penulis selesaikan karena dukungan dari berbagai pihak.

Oleh sebab itu pada kesempatan ini penulis sampaikan terima kasih yang tak terhingga

kepada dr. Bagus Samsu Tri Nugroho, Sp.A sebagai pembimbing dan seluruh pihak

yang telah mendukung penyusunan referat ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan referat ini masih jauh dari sempurna, oleh

karena itu penulis mengharapkan segala masukan demi sempurnanya tulisan ini.

Akhirnya penulis berharap semoga referat ini bermanfaat bagi berbagai pihak

yang terkait.

Sidoarjo, Mei 2016

Penulis

DAFTAR ISI

ii

HalamanJudul............................................................................................................................ i

Kata Pengantar ........................................................................................................... ii

Daftar Isi .....................................................................................................................iii

Daftar Gambar ............................................................................................................ v

Daftar Tabel ................................................................................................................vi

BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................... 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi ........................................................................................................... 3

B. Epidemiologi ................................................................................................. 3

C. Patofisiologi .................................................................................................... 3

D. Etiologi ........................................................................................................... 4

E. Diagnosis

1. Manifestasi Klinis...................................................................................... 6

2. Pemeriksaan Penunjang ............................................................................ 7

F. Diagnosis Banding.......................................................................................... 8

G. Penatalaksanaan .............................................................................................. 12

H. Prognosa ......................................................................................................... 14

BAB 3 KESIMPULAN ............................................................................................ 16

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR GAMBAR

iii

HalamanGambar 2.1 Manifestasi klinis Stevens Johnson Syndrome........................................ 7

Gambar 2.2 Manifestasi Klinis Eritema multiformis, Stevens-Johnson Syndrome,

Toxic Epidermal Necrolysis....................................................................10

DAFTAR TABEL

iv

HalamanTabel 2.1 Manifestasi Klinis Eritema Multiformis, Stevens-Johnson Syndrome, Toxic

Epidermal Necrolysis ................................................................................. 12

Tabel 2.2 Prognosis SJS dengan SCORTEN.............................................................. 15

v

BAB I

PENDAHULUAN

Stevens Johnson Syndrome (SJS) merupakan suatu sindroma atau kumpulan

gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit berupa

vesikulobulosa, mukosa orifisium, dan mata dengan keadaan umum yang bervariasi dari

ringan sampai berat. Penyakit ini bersifat akut dan pada bentuk yang berat dapat

menyebabkan kematian, oleh karena itu penyakit ini merupakan salah satu

kegawatdaruratan penyakit kulit.1 Stevens Johnson Syndrome pertama diketahui pada

tahun 1922 oleh dua dokter, dr. Stevens dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki.

Namun dokter tersebut tidak dapat menentukan penyebabnya.2

Ada berbagai sinonim yang digunakan untuk penyakit ini, diantaranya Ektoderma

Erosive Pluriorifisialis, Sindroma Mukokutanea-Okuler, Eritema Multiformis tipe

Hebra, Eritema Mulitiforme Exudatorum dan Eritema Bulosa Maligna. Meskipun

demikian yang umum digunakan ialah Sindroma Stevens Johnson.1 Kejadian SJS di

dunia cenderung meningkat. Penyebabnya belum diketahui dan diperkirakan dapat

terjadi secara multifaktorial. Salah satu penyebab yang dianggap sering ialah alergi

sistemik terhadap obat. Di negara barat, beberapa obat yang ditemukan sering menjadi

penyebab terjadinya sindroma ini adalah obat-obatan golongan Non Steroidal Anti-

Inflammatory Drugs (NSAID) dan sulfonamid. Sedangkan di negara timur, obat yang

lebih sering menginduksi terjadinya SJS adalah golongan karbamazepin.3 Selain itu,

obat alopurinol juga diketahui merupakan penyebab tersering terjadinya SJS di negara-

negara Asia Tenggara, termasuk Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hongkong.4

Di Indonesia sendiri tidak terdapat data pasti mengenai morbiditas terjadinya

Stevens Johnson Syndrome. Namun, berdasarkan data oleh Djuanda beberapa obat yang

sering menyebabkan SJS di Indonesia adalah obat golongan analgetik/antipiretik (45%),

karbamazepin (20%), jamu (13.3%) dan sisanya merupakan golongan obat lain seperti

amoksisilin, kotrimoksasol, dilantin, klorokuin, dan seftriakson.5

Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) sejak

dahulu dianggap sebagai bentuk eritem multiformis yang berat. Baru-baru ini diajukan

bahwa eritema multiformis mayor berbeda dari SJS dan TEN pada dasar penentuan

kriteria klinis. Konsep yang diajukan tersebut adalah untuk memisahkan spectrum

1

eritem multiformis dari spectrum SJS/TEN. Eritem multiformis, ditandai oleh lesi target

yang umum, terjadi pasca infeksi, sering rekuren namun morbiditasnya rendah.

Sedangkan SJS/TEN ditandai oleh blister yang luas dan makulopapular, biasanya terjadi

karena reaksi yang diinduksi oleh obat dengan angka morbiditas yang tinggi dan

prognosisnya buruk. Dalam konsep ini, SJS dan TEN kemungkinan sama-sama

merupakan proses yang diinduksi obat yang berbeda dalam derajat keparahannya.

Karena menimbulkan gejala yang serius secara akut, Stevens Johnson Syndrome

seringkali dianggap sebagai suatu tindakan malpraktik medis oleh dokter kepada

pasiennya. Padahal sesungguhnya SJS merupakan sindroma yang bisa terjadi kapan saja

kepada pasien. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui lebih lanjut mengenai

Stevens Johnson Syndrome dan bagaimana penanganan yang tepat apabila sindroma ini

terjadi pada pasien. Hal tersebutlah yang akan kami bahas pada referat ini.

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Stevens Johnson Syndrome adalah kumpulan gejala klinis yang ditandai oleh trias

kelainan kulit, mukosa orifisium serta mata disertai dengan gejala umum berat.

Sindroma ini merupakan salah satu contoh immune-complex-mediated hypersensitivity,

atau yang juga disebut reaksi hipersensitivitas tipe III. Gejala prodromal dari SJS dapat

berupa batuk yang produktif dan terdapat sputum purulen, sakit kepala, malaise, dan

arthralgia. Pasien mungkin mengeluhkan ruam yang terasa seperti terbakar yang dimulai

secara simetris pada wajah dan bagian atas dari torso tubuh. Selain itu, ada beberapa

tanda dari keterlibatan kulit dalam SJS, antara lain:

a. Eritema

b. Edema

c. Sloughing

d. Blister atau vesikel

e. Ulserasi

f. Nekrosis.4

B. Epidemiologi

Berdasarkan kasus yang terdaftar dan diobservasi,kejadian sindroma steven jonshon

terjadi 1-3 kasus per satu juta penduduk setiap tahun nya.Sindroma steven jonshon juga

telah dilaporkan lebih sering terjadi pada ras Kaukasia.Walaupun sindroma steven

jonshon dapat mempengaruhi orang setiap umur,tampaknya perempuan sedikit lebih

rentan dari pada laki-laki.

C. Patofisiologi

Patofisiologi SJS sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan

reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks

soluble dari antigen atau metaboliknya dengan antibody IgM dan IgG, serta reaksi

hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions atau reaksi

hipersensitivitas tipe IV) yang merupakan reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang

3

spesifik.6 Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang

membentuk mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen. Akibatnya

terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisosim dan menyebabkan

kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi tipe IV terjadi akibat

limfosit T yang tersensitisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama, kemudian

limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.1

Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM,

IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi. Antigen penyebab

berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang respons imun

spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat

berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk

yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang

rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolik).

Kompleks imun yang beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta

menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang

terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang

dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit

dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk

inflamasi lainnya. Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis

keratinosit yang akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis.7

Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi

seperti kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan, stress hormonal

diikuti peningkatan resistensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuria, kegagalan

termoregulasi, kegagalan fungsi imun, dan infeksi.8

D. Etiologi

Penyebab pasti dari SJS ini idiopatik atau belum diketahui. Namun penyebab yang

paling sering terjadi ialah alergi sistemik terhadap obat yaitu reaksi berlebihan dari

tubuh untuk menolak obat-obatan yang masuk ke dalam tubuh. Ada pula yang

beranggapan bahwa sindrom ini merupakan Eritema Multiforme yang berat dan disebut

Eritema Multiforme Mayor, sehingga dikatakan mempunyai penyebab yang sama.1

4

Diperkirakan sekitar 75% kasus SJS disebabkan oleh obat-obatan dan 25% karena

infeksi dan penyebab lainnya.9 Paparan obat dan reaksi hipersensitivitas yang dihasilkan

adalah penyebab mayoritas yang sangat besar dari kasus SJS. Dalam angka absolut

kasus, alopurinol adalah penyebab paling umum dari SJS di Eropa dan Israel, dan

sebagian besar pada pasien yang menerima dosis harian setidaknya 200 mg.10

Sindrom ini juga dikatakan multifaktorial. Berikut merupakan beberapa faktor yang

dapat menyebabkan timbulnya SJS antara lain:

1. Obat-obatan

Alergi obat tersering adalah golongan obat analgetik (pereda nyeri) dan antipiretik

(penurun demam). Berbagai obat yang diduga dapat menyebabkan SJS antara lain:

Penisilin dan derivatnya, Streptomysin, Sulfonamide, Tetrasiklin,

Analgetik/antipiretik (misalnya Derivat Salisilat, Pirazolon, Metamizol, Metampiron

dan Paracetamol), Digitalis, Hidralazin, Barbiturat (Fenobarbital), Kinin Antipirin,

Chlorpromazin, Karbamazepin dan jamu-jamuan.1

2. Infeksi

a. Virus, antara lain Herpes Simplex Virus, virus Epstein-Barr, enterovirus, HIV,

Coxsackievirus, influenza, hepatitis, gondok, lymphogranuloma venereum,

rickettsia dan variola.

b. Bakteri, antara lain Grup A beta-hemolitik streptokokus, difteri, brucellosis,

mikobakteri, Mycoplasma pneumoniae, tularaemia dan tifus.

c. Jamur , meliputi coccidioidomycosis, dermatofitosis dan histoplasmosis.

d. Protozoa, meliputi malaria dan trikomoniasis.9

3. Imunisasi

Terkait dengan imunisasi - misalnya, campak, hepatitis B.9

4. Penyebab lain :

a. Zat tambahan pada makanan (Food Additive) dan zat warna

b. Faktor Fisik: Sinar X, sinar matahari, cuaca dan lain- lain

c. Penyakit penyakit Kolagen Vaskuler

5

d. Penyakit-penyakit keganasan: karsinoma penyakit Hodgkins, Limfoma,

Myeloma, dan Polisitemia

e. Kehamilan dan Menstruasi

f. Neoplasma

g. Radioterapi.1

E. Diagnosis

Dokter sering dapat mengidentifikasi sindromStevens-Johnson berdasarkan riwayat

kesehatan, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan.

1. Manifestasi Klinis

Stevens Johnson Syndrome memiliki fase perjalanan penyakit yang sangat akut.

Gejala awal yang muncul dapat berupa demam tinggi, nyeri kepala, batuk berdahak,

pilek, nyeri tenggorokan, dan nyeri sendi yang dapat berlangsung selama 1-14 hari.1

Muntah dan diare juga dapat muncul sebagai gejala awal.4 Gejala awal tersebut

dapat berkembang menjadi gejala yang lebih berat, yang ditandai dengan

peningkatan kecepatan denyut nadi dan laju pernapasan, rasa lemah, serta penurunan

kesadaran.1

Adapun 3 kelainan utama yang muncul pada SJS, antara lain:

a. Kelainan pada kulit

Kelainan yang dapat terjadi pada kulit penderita sindrom Stevens-Johnson,

antara lain timbulnya ruam yang berkembang menjadi eritema, papula, vesikel, dan

bula.1 Sedangkan tanda patognomonik yang muncul adalah adanya lesi target atau

targetoid lesions.

Berbeda dengan lesi target pada eritema multiforme, lesi target pada sindrom

Stevens-Johnson merupakan lesi atipikal datar yang hanya memiliki 2 zona warna

dengan batasan yang buruk. Selain itu, makula purpura yang banyak dan luas juga

ditemukan pada bagian tubuh penderita sindrom Stevens-Johnson.11 Lesi yang

muncul dapat pecah dan meninggalkan kulit yang terbuka. Hal tersebut

menyebabkan tubuh rentan terhadap infeksi sekunder.4

Pengelupasan kulit umum terjadi pada sindrom ini, ditandai dengan tanda

Nikolsky positif. Pengelupasan paling banyak terjadi pada area tubuh yang tertekan

seperti pada bagian punggung dan bokong. Apabila pengelupasan menyebar kurang

6

dari 10% area tubuh, maka termasuk sindrom Stevens-Johnson. Jika 10-30%

disebut Stevens Johnson Syndrome – Toxic Epidermal Necrolysis (SJS-TEN). Serta

jika lebih dari 30% area tubuh, maka disebut Toxic Epidermal Necrolysis

(TEN).11,12

b. Kelainan pada mukosa

Kelainan pada mukosa sebagian besar melibatkan mukosa mulut dan esofageal,

namun dapat pula melibatkan mukosa pada paru-paru dan bagian genital.13 Adanya

kelainan pada mukosa dapat menyebabkan eritema, edema, pengelupasan,

pelepuhan, ulserasi, dan nekrosis.4

Pada mukosa mulut, kelainan dapat berupa stomatitis pada bibir, lidah, dan

mukosa bukal mulut. Stomatitis tersebut diperparah dengan timbulnya bula yang

dapat pecah sewaktu-waktu. Bula yang pecah dapat menimbulkan krusta atau kerak

kehitaman terutama pada bibir penderita.1 Selain itu, lesi juga dapat timbul pada

mukosa orofaring, percabangan bronkitrakeal, dan esofagus, sehingga

menyebabkan penderita sulit untuk bernapas dan mencerna makanan. Serta pada

saluran genitalurinaria sehingga menyulitkan proses mikturia atau buang air kecil.12

Gambar 2.1 Manifestasi klinis Stevens Johnson Syndrome

7

c. Kelainan pada mata

Kelainan pada mata yang terjadi dapat berupa hiperemia konjungtiva. Kelopak

mata dapat melekat dan apabila dipaksakan untuk lepas, maka dapat merobek

epidermis. Erosi pseudomembran pada konjungtiva juga dapat menyebabkan

sinekia atau pelekatan antara konjungtiva dan kelopak mata. Seringkali dapat pula

terjadi peradangan atau keratitis pada kornea mata.4,13

2. Pemeriksaan Penunjang

Untuk mengkonfirmasi diagnosis, dokter akan mengambil sampel jaringan kulit

pasien (biopsi) untuk diperiksa di bawah mikroskop.14 Infiltrasi sel dermal inflamasi

yang minim dan nekrosis sel yang tebal juga luas di epidermis merupakan temuan

histopatologis yang khas yang dapat ditemui pada pasien dengan Steven Johnson

Syndrome. Pemeriksaan histopatologis lain dari kulit yang juga dapat ditemukan

antara lain:

a. Perubahan epidermal-dermal junction mulai dari perubahan vacuolar subepidermal

b. Infiltrasi dermal: superfisial dan sebagian perivaskular

c. Apoptosis keratinosit

d. Limfosit T CD4+ mendominasi dalam dermis, CD8+ mendominasi di epidermis;

persimpangan dermoepidermal dan epidermis sebagian besar disusupi oleh CD8+.4

Pemeriksaan mata dapat menunjukkan sebagai berikut:

a. Biopsi konjungtiva dari pasien dengan penyakit mata aktif menunjukkan sel-sel

plasma dan infiltrasi limfosit subepitel, limfosit juga hadir di sekitar dinding

pembuluh, sedangkan limfosit infiltrasi dominan adalah sel T Helper

b. Immunohistology konjungtiva mengungkapkan banyak sel HLA-DR-positif dalam

substantia propria, dinding pembuluh, dan epitel.4

F. Diagnosis Banding

Beberapa penyakit yang merupakan diagnosa banding SJS:

1. Eritema multiformis (EM)

Bagian tubuh yang terkena EM ialah kulit dan kadang-kadang selaput lendir.

8

Penyebabnya belum diketahui secara pasti. Yang dapat membedakan EM dengan

SJS ialah luas permukaan tubuh yang terkena. Pada EM ialah <10% sedangkan

pada SJS ialah >30%.

2. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)

Penyakit ini sangat mirip dengan Sindrom Stevens- Johnson. Pada NET terdapat

Epidemolisis (Epidermis terlepas dari dasarnya) yang menyeluruh dan keadaan

umum penderita biasanya lebih buruk/berat.

3. Eritroderma dan erupsi obat eritematosa

Eritema makulopapular yang umum dan simetris dari erupsi obat dapat meniru awal

SJS/NET. Namun, pada erupsi obat eritematosa keterlibatan mukosa kurang tapi

nyeri kulit pada TEN menonjol.

4. Erupsi Pustural Obat

Reaksi obat pustular, termasuk acute generalized exanthematous pustulosis

(AGEP), juga bisa menjadi berat dan mirip dengan gejala awal SJS/NET. AGEP

merupakan erupsi yang terdiri dari non-follicularly centered pustulesyang sering

dimulai di leher dan daerah intertriginosa.

5. Erupsi Fototoksik

Erupsi fototoksik disebabkan oleh interaksi langsung bahan kimia dengan sinar

matahari yang dapat menjadi racun untuk kulit. Reaksi fototoksik paling umum

yang dibingungkan dengan SJS/NET adalah reaksi fototoksik yang terjadi akibat

pemakaian oral. Sebagai contoh, fluoroquinolones dapat menghasilkan reaksi

fototoksik, yang dapat menyebabkan pengelupasan epidermis luas.

9

Gambar 2.2. Manifestasi Klinis Eritema multiformis, Stevens-Johnson Syndrome, Toxic

Epidermal Necrolysis

10

6. Toxic shock syndrome

Toxic shock syndrome (TSS) yang klasik disebabkan oleh Staphylococcus aureus,

meskipun gangguan yang sama dapat disebabkan oleh racun rantai elaborasi dari

Grup A streptokokus. Dibandingkan dengan SJS/NET, TSS hadiah dengan

keterlibatan lebih menonjol dari beberapa sistem organ.

7. Staphylococcal scalded skin syndrome

SSSS dibedakan secara klinis dari SJS/NET terutama oleh epidemiologi dan dari

selaput lendir. Diagnosis didukung oleh pemeriksaan histologis, yang

mengungkapkan peluruhan hanya lapisan atas epidermis.15

11

Tabel 2.1. Manifestasi Klinis Eritema Multiformis, Stevens-Johnson Syndrome, Toxic

Epidermal Necrolysis

G. Penatalaksanaan

Pasien harus ditangani dengan perhatian khusus pada jalan nafas dan stabilitas

hemodinamik, status cairan, luka/perawatan luka bakar, dan kontrol nyeri.

Menghentikan penggunaan obat-obatan yang mungkin menyebabkan hal itu adalah hal

yang paling penting dalam mengobati SJS. Karena sulit untuk menentukan mana obat

yang dapat menyebabkan masalah tersebut.4

Saat ini tidak ada rekomendasi standar untuk mengobati SJS. Perawatan suportif

mungkin dapat di terima saat dirawat di rumah sakit meliputi:

12

a. Pengganti cairan dan nutrisi. Karena kehilangan kulit dapat mengakibatkan

kerugian yang signifikan cairan dari tubuh, menggantikan cairan merupakan bagian

penting dari pengobatan.

b. Perawatan luka, kompres basah akan membantu menenangkan lecet saat mereka

sembuh. Tim medisakanmengeliminasi kulit mati, dan kemudian menempatkan

krim dengan anestesi topikal di atas area yang terkena, jika diperlukan.

c. Perawatan mata, karena risiko kerusakan mata, pengobatan harus mencakup

konsultasi dengan seorang spesialis mata (ophthalmologist).4

Obat-obatan yang biasa digunakan dalam pengobatan SJS meliputi:

a. Obat nyeri untuk mengurangi ketidaknyamanan

b. Antihistamin untuk meredakan gatal

c. Antibiotik untuk mengendalikan infeksi, bila diperlukan

d. Steroid topikal untuk mengurangi peradangan kulit.4

Selain itu, salah satu dari jenis berikut obat yang saat ini sedang dipelajari dalam

pengobatan SJS:

a. Kortikosteroid intravena

Untuk orang dewasa, obat ini dapat mengurangi keparahan gejala dan

mempersingkat waktu pemulihan jika dimulai dalam satu atau dua hari ketika

gejala muncul pertama kali. Untuk anak-anak, mereka dapat meningkatkan risiko

komplikasi.

b. Imunoglobulin intravena (IVIG)

Obat ini mengandung antibodi yang dapat membantu sistem kekebalan tubuh Anda

menghentikan proses SJS.

c. Pencangkokan kulit

Jika area besar tubuh Anda terpengaruh, pencangkokan kulit, yaitu menghilangkan

kulit dari satu area tubuh dan melampirkan ke lain atau menggunakan pengganti

kulit sintetis mungkin diperlukan untuk membantu penyembuhan. Perawatan ini

jarang diperlukan.

13

Jika penyebab SJS dapat dihilangkan dan reaksi kulit berhenti, kulit Anda mungkin

mulai tumbuh lagi dalam beberapa hari. Dalam kasus yang parah, pemulihan penuh

mungkin memakan waktu beberapa bulan.4

H. Prognosis

Pada kasus SJS kematian dilihat dari tingkat pengelupasan kulit.Ketika permukaan

tubuh mengelupas kurang dari 10% itu menandakan presentase tingkat kematianya

adalah sekitar 1-5%.Namun ketika pengelupasan kulit lebih dari 30% maka tingkat

presentase kematiannya adalah sekitar 25-35% bahkan bisa mencapai 50%.

Selain pengelupasan di kulit pada kasus SJS ini bisa dilihat juga dari variabel yang

berhubungan dengan usia penderita, keganasan penyakit tersebut,denyut jantung,kadar

glukosa,kadar BUN dan tingkat bikarbonat.Untuk usia penderita biasanya lebih dari 40

tahun selain itu bisa juga dilihat dari keganasan yang ditimbulkan,denyut jantung

>120,kadar glukosa >14 mmol / L,kadar BUN >10 mmol / L, dan tingkat

bikarbonatnya < 20 mmol / L.

Disetiap variabel ini kita berikan nilai 1 point, dari variabel itu kita bisa melihat

tingkat mortalitasnya adalah sebagai berikut: untuk skor 0-1 presentasenya adalah 3.2%,

skor 2 presentasenya adalah 12.1% , skor 3 presentasenya adalah 35.3%, skor 4

presentasenya adalah 58.3%, skor 5 atau lebih presentasenya adalah 90%.4

Resiko kematian bisa diperkirakan dengan menggunakan skala SCORTEN, dengan

menggunakan sejumlah faktor prognostik yang dijumlahkan.

14

Tabel 2.2 Prognosis SJS dengan SCORTENSeverity-of-Illness Score for Toxic Epidermal Necrolysis (SCORTEN)

Risk Factor* Score

  0 1

Age < 40 yr ≥ 40 yr

Associated cancer No Yes

Heart rate (beats/min) < 120 ≥ 120

Serum BUN (mg/dL) ≤ 28 > 28

Detached or compromised body surface < 10% ≥ 10%

Serum bicarbonate (mEq/L) > 20 ≤ 20

Serum glucose (mg/dL) ≤ 250 > 250

Angka mortalitas :

SCORTEN Mortalitas (%)

0-1 3,2

2 12,1

3 35,8

4 58,3

5 90

15

BAB III

SIMPULAN

Stevens Johnson Syndrome (SJS) merupakan suatu sindroma atau kumpulan gejala

yang mengenai kulit, selaput lendir, dan mata dengan keadaan umum yang bervariasi

dari ringan sampai berat. Adapun gejala dari SJS dapat berupa batuk yang produktif dan

terdapat sputum purulen, sakit kepala, malaise, arthralgia, disertai dengan kelainan yang

terjadi pada kulit, mukosa, dan mata.

Penyakit ini bersifat akut dan pada bentuk yang berat dapat menyebabkan kematian,

oleh karena itu penyakit ini merupakan salah satu kegawatdaruratan penyakit kulit.

Sindroma ini merupakan salah satu contoh immune-complex-mediated hypersensitivity,

atau yang juga disebut reaksi hipersensitivitas tipe III, di mana kejadiaannya dapat

diinduksi oleh paparan obat, infeksi, imunisasi, maupun akibat paparan fisik lain kepada

pasien.

Karena berisiko menimbulkan kematian, perawatan dan pengobatan pasien SJS

sangat membutuhkan penanganan yang tepat dan cepat. Adapun terapi yang bisa

diberikan antara lain perawatan terhadap kulit dan penggantian cairan tubuh, perawatan

terhadap luka, serta perawatan terhadap mata. Obat-obatan yang dapat diberikan antara

lain, obat penghilang nyeri, antihistamin untuk meringankan reaksi hipersensitivitas,

antibiotik apabila terjadi infeksi, dan steroid topikal untuk mengobati peradangan kulit.

Kelangsungan hidup pasien Stevens Johnson Syndromebergantung pada tingkat

pengelupasan kulit, di mana apabila pengelupasan kulit semakin meluas, maka

prognosisnya dapat menjadi semakin buruk. Selain itu, variabel lain seperti dengan usia

penderita, keganasan penyakit tersebut,denyut jantung,kadar glukosa,kadar BUN dan

tingkat bikarbonat juga dapat mempengaruhi kelangsungan hidup pasien.

16

DAFTAR PUSTAKA

1. Monica. Sindrom Stevens-Johnson. Didapat dari: http://elib.fk.uwks.ac.id/.

Diakses pada: 5 November 2013.

2. Adithan C. Stevens-Johnson syndrome in drug alert. Department of

Pharmacology. JIPMER. 2006;2(1). Didapat dari: http//www.jipmer.edu. Diakses

tanggal: 9 November 2013.

3. Fernando SL, Broadfoot AJ. Prevention of severe cutaneous adverse drug

reactions: the emerging value of pharmacogenetic screening. CMAJ.

2010;182(5):476-80.

4. Foster CS. Stevens-Johnson syndrome. Medscape. 2013. Didapat dari:

http://emedicine.medscape.com/. Diakses pada: 5 November 2013.

5. Djuanda A. Sindrom Stevens-Johnson. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5.

Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

2007:163-5.

6. NN. Sindrom Steven - Johnson. Didapat dari:

http://childrenallergyclinic.wordpress.com. Diakses pada: 9 November 2013.

7. NN. Sindrom Steven-Johnson, manifestasi klinis, dan penanganannya. Didapat

dari: http://allergycliniconline.com. Diakses pada: 9 November 2013.

8. Majiid Sumardi. Steven Johnsons Syndrome. Didapat dari:

http://majiidsumardi.blogspot.com. Diakses pada: 9 November 2013.

9. Williams M. Stevens-Johnson Syndrome. Didapat dari: http://www.patient.co.uk.

Diakses pada: 2 November 2013.

10. Halevy S, Ghislain PD, Mockenhaupt M, Fagot JP, Bouwes Bavinck JN, Sidoroff

A, Naldi L, Dunant A, Viboud C, Roujeau JC: Allopurinol is the most common

cause of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis in Europe and

Israel. J Am Acad Dermatol 2008, 58:25-32.

11. Mockenhaupt M. The current understanding of Stevens-Johnson syndrome and

toxic epidermal necrolysis. Expert Review Clinical Immunology. 2011;7(6):803-

15.

12. Klein PA. Dermatologic manifestation of Stevens-Johnson syndrome and toxic

epidermal necrolysis. Medscape. 2013. Didapat dari:

http://emedicine.medscape.com/. Diakses pada: 5 November 2013.

13. Harr T, French LE. Toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson syndrome.

Orphanet Journal of Rare Disease. 2010;5:39.

14. NN. Stevens-Johnson syndrome. Mayo Clinic. Didapat dari:

http://mayoclinic.com. Diakses pada: 10 November 2013.

15. Nirken, M. H. dan High, W. A. Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal

necrolysis: Clinical manifestations; pathogenesis; and diagnosis. Didapat dari

http://nihlibrary.ors.nih.gov/. Diakses pada 10 November 2013.