keberdayaan, kemajuan dan keberlanjutan usaha pengrajin: … · deputy sdm kementerian koperasi dan...
TRANSCRIPT
DISERTASI
KEBERDAYAAN, KEMAJUAN, DAN KEBERLANJUTANUSAHA PENGRAJIN : KASUS KABUPATEN SIDOARJO DAN
KABUPATEN MAGETAN PROVINSI JAWA TIMUR
Hamidah Nayati Utami
SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASIDAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul:“Keberdayaan, Kemajuan, dan Keberlanjutan Usaha Pengrajin: Kasus diKabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Magetan Provinsi Jawa Timur” adalah benarmerupakan hasil karya saya sendiri dengan arahan dari pembimbing dan belumdiajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumberdaya dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapatdiperiksa kebenarannya.
Bogor, Pebruari 2007
Hamidah Nayati UtamiNrp.P061020021
ABSTRAK
Industri kecil memiliki kontribusi yang besar dalam pembangunan karenamenyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar, menjadi penyumbangpendapatan asli daerah yang signifikan, prospektif untuk ekspor, dan mampubertahan dalam kondisi krisis. Meskipun industri kecil memiliki peran strategisdalam pembangunan, namun masih banyak permasalahan yang dihadapi pengrajinterutama terkait dengan kualitas SDM pengrajin. Pengrajin masih lemah terutamadalam hal pengelolaan usaha, orientasi jangka panjang, kemampuan menjalinkerjasama.
Tujuan penelitian ini adalah: (1) mendeskripsikan perilaku wirausaha,kemandirian usaha, kemajuan usaha dan keberlanjutan usaha pengrajin di Sidoarjodan Magetan, (2) menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kualitasperilaku wirausaha para pelaku industri kecil, (3) menjelaskan faktor-faktor yangmenentukan tingkat kemandirian berusaha para pelaku industri kecil, (4)menjelaskan faktor-faktor yang cenderung menentukan kemajuan usaha, (5)menjelaskan faktor-faktor yang menentukan keberlanjutan usaha, dan (6)merumuskan model pemberdayaan pengrajin.
Penelitian ini dilakukan terhadap pengrajin dari bahan kulit di KabupatenSidoarjo dan Kabupaten Magetan Jawa Timur. Sidoarjo berada di wilayah yangmewakili daerah yang jauh dengan sumber bahan baku dan Magetan mewakilidaerah yang dekat dengan sumber bahan baku, dengan dasar penentuan strataadalah kedekatan lokasi dengan sumber bahan baku. Sampel diambil denganmetode stratified random sampling. Jumlah populasi sebanyak 741 pengrajin,jumlah sampel dihitung dengan rumus Slovin sehingga diperoleh jumlah 260pengrajin. Pengumpulan data dilakukan pada bulan April 2005 sampai Pebruari2006. Data primer diperoleh dengan mendatangi dan melakukan wawancaraterhadap responden dengan berpedoman pada kuesioner. Data dianalisis dengan:(1) analisis statistik deskriptif, (2) analisis Structural Equation Modelling (SEM),dan (3) uji beda rata-rata one way anova.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengrajin memiliki perilakuwirausaha, tingkat kemandirian usaha, tingkat kemajuan usaha, dan keberlanjutanusaha yang rendah. Perilaku wirausaha secara positif dan nyata dipengaruhi olehkarakteristik individu dan lingkungan. Tingkat kemandirian usaha dipengaruhisecara positif dan nyata oleh karakteristik individu, pendukung usaha, dukunganlingkungan, dan perilaku wirausaha, dan faktor yang paling menentukan adalahperilaku wirausaha. Kemajuan usaha dipengaruhi secara positif dan nyata olehperilaku wirausaha dan tingkat kemandirian usaha. Keberlanjutan usahadipengaruhi secara positif dan nyata oleh kemajuan usaha. Model pemberdayaanyang efektif memberdayakan pengrajin adalah dengan meningkatkan kualitasperilaku wirausaha dan kemandirian usaha dalam organisasi yang didukung olehunsur penunjang dari pemerintah daerah dan organisasi non pemerintah.
Kata Kunci: keberdayaan pengrajin, perilaku wirausaha, kemandirian usaha,kemajuan usaha, keberlanjutan usaha.
ABSTRACT
Small industries potentially could contribute to national development.They do not only enhance the economic growth, potential to export, or improvethe gross domestic product; they can also promote sustainable employment andincome for the working poor. Although small industries have strategic role indevelopment, but there are still many problems faced by craftsmen especiallyrelated to quality of human resources that needs improvement.
The objectives of this study was intended to formulate the model ofcraftsmen empowerment through determining: the influencing factors ofentrepreneurial behavior, business interdependency, business progress, andbusiness sustainability.
This study was conducted the craftsmen of leather goods at Sidoarjoregency and Magetan Regency, East Java. Sample taken with stratified randomsampling method. Survey and interview technique were implemented among 260craftsmen, started April 2005 until Pebruari 2006. Data was analyzed by usingdescriptive statistic, one way anova test, and structural equation modeling.
The results indicated that the craftsmen had a low level of entrepreneurialbehavior, business interdependency, business progress, and businesssustainability. The entrepreneurial behavior was influenced by individual qualityand environment intervention. Especially, the business interdependency wasinfluenced by entrepreneurial behavior, individual quality, and environmentintervention. The business progress was influenced by entrepreneurial behaviorand business interdependency. Finally, business sustainability was influenced bythe business progress. This study suggests a model of craftsmen empowermentwith entrepreneurial behavior and business interdependency improvement in orderto business progress and business sustainability.
Key words: the level of craftsmen empowerment, entrepreneurial behavior,business interdependency, business progress, and business sustainability.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dariInstitut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
Bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya
KEBERDAYAAN, KEMAJUAN, DAN KEBERLANJUTANUSAHA PENGRAJIN : KASUS KABUPATEN SIDOARJO DAN
KABUPATEN MAGETAN PROVINSI JAWA TIMUR
Hamidah Nayati Utami
Disertasisebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor padaProgram Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
Judul Disertasi : Keberdayaan, Kemajuan dan Keberlanjutan UsahaPengrajin: Kasus Kabupaten Sidoarjo dan KabupatenMagetan Provinsi Jawa Timur
Nama Mahasiswa : Hamidah Nayati Utami
Nomor Pokok : P 061020021
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr.Ir. H. Sumardjo, MS.Ketua
Prof. Dr. H. Pang S. Asngari Dr. H. Prabowo Tjitropranoto, M.Sc.Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPBIlmu Penyuluhan Pembangunan
Dr. Ir. Amri Jahi, M.Sc. Prof.Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro,M.S.
Tanggal Ujian: 24 Nopember 2006 Tanggal Lulus:
PRAKATA
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang mahabesar yang menguasai alam semesta ini, atas rahmat dan hidayah-Nya sehinggadisertasi berjudul “Keberdayaan, Kemajuan, dan Keberlanjutan Usaha Pengrajin:Kasus di Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Magetan Provinsi Jawa Timur” inidapat diselesaikan.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulishaturkan kehadapan: Bapak Dr. Ir. H. Sumardjo, MS, Bapak Prof. Dr. H. Pang S.Asngari dan Bapak Dr. H. Prabowo Tjitropranoto, M.Sc., yang telah meluangkanwaktu, memberikan bimbingan dan dukungan yang tidak terhingga sehinggapenulis dapat melewati tahapan studi S3 hingga terselesaikannya disertasi ini.
Ucapan terima kasih juga penulis haturkan kehadapan: Bapak Dr.AmriJahi, MSc. selaku ketua program studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan SekolahPascasarjana IPB yang telah banyak memberi masukan dalam ujian tertutup danpenyempurnaan disertasi ini, Bapak. Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MA selakupenguji luar pada ujian tertutup yang telah banyak memberi masukan kepadapenulis. Penulis juga menghaturkan terimakasih kepada Bapak Dr.Ir.MuhammadTaufik, MSc. Deputy SDM Kementerian Koperasi dan UKM dan BapakProf.Dr.Ravik Karsidi, MS staf pengajar Pascasarjana UNS Surakarta yang telahberkenan menjadi penguji luar pada ujian terbuka.
Penyelesaian Disertasi ini tidak lepas dari dukungan dan pengorbananyang sangat besar dari suami penulis, Ir. Sandra, MP yang juga sedang berjuangmenyelesaikan disertasinya pada program studi Keteknikan Pertanian SPS IPB.Penulis juga mendapat semangat yang sangat besar dari ananda Nisrin NazihaIsma (6 tahun) dan ananda Ahmad Humam Isma (1 bulan).
Secara khusus penulis menghaturkan terimakasih kepada ibunda Hj. SitiMaratusholihah yang tidak pernah berhenti mendoakan penulis dan AyahandaDrs.H.M.Koestoer (alm) yang selalu menjadi semangat dalam hidup penulis.
Penulis juga menghaturkan terima kasih kepada ibu mertua yang turutmemberi dukungan kepada penulis, seluruh keluarga besar di Jawa Timur danSumatera Barat yang telah banyak memberi perhatian kepada penulis.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh pengrajin diSidoarjo dan Magetan yang telah memberi kesempatan kepada penulis untukwawancara dan berdiskusi di sela-sela kesibukan usaha kerajinannya, pada parapengrajin ini saya banyak belajar tentang kehidupan dan usaha.
Kepada pimpinan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijayapenulis sampaikan ucapan terima kasih atas ijin studi, dukungan moril, danbantuan materiil yang diberikan kepada penulis. Kepada seluruh dosen di PPNpenulis ucapkan terima kasih karena telah banyak memberikan pengalamanbelajar selama studi di IPB. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada paraguru penulis di SD, SMP, dan SMA di Lamongan, serta seluruh Dosen di FakultasIlmu Administrasi Unibraw. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepadateman-teman di PPN SPS IPB, Direktorat Apneg Bappenas, IKBUA, dan semuapihak yang banyak memberikan dukungan kepada penulis. Harapan penulissemoga disertasi ini dapat bermanfaat. Amin.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lamongan, pada 17 Nopember 1972 sebagai putrikelima dari enam bersaudara pasangan Bapak Drs.H.M.Koestoer (alm) dan IbuHj. Siti Maratusholihah. Pada Tahun 1994 penulis lulus sebagai Sarjana IlmuAdministrasi pada Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang,Jurusan Administrasi Bisnis. Pada Tahun 1995 penulis melanjutkan studi padaProgram Pascasarjana Universitas Brawijaya Program Studi Ilmu Administrasidan lulus pada Tahun 1997. Studi S3 pada Program Studi Ilmu PenyuluhanPembangunan mulai ditempuh pada Tahun Ajaran 2002/2003.
Sejak Tahun 1996 penulis bertugas sebagai dosen di Jurusan AdministrasiBisnis, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang. Tulisan ilmiahyang dipublikasikan pada jurnal ilmiah selama lima tahun terakhir adalahPengaruh Jaringan Sosial terhadap Penetapan Harga pada Pedagang Asongan(Jurnal Ilmu-ilmu Sosial- Unibraw, 2003), Bentuk Penerapan Strategi PemasaranOn Line pada Sektor Pariwisata (Jurnal Ilmu-ilmu Sosial-Unibraw, 2005),Paradigma dan Revolusi Sains, Merefleksikan Pemikiran Thomas Kuhn dalamIlmu Administrasi (Jurnal Administrasi Bisnis Fakultas Ilmu AdminsitrasiUnibraw, 2005), dan Perilaku Wirausaha Masyarakat Pesisir dalamPengembangan Industri Pariwisata Bahari (Jurnal Ilmu-ilmu Sosial- Unibraw,2006).
DAFTAR ISIHalaman
ABSTRAK ....................................................................................................... iiiDAFTAR TABEL............................................................................................ xiiDAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xivDAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xviPENDAHULUAN ........................................................................................... 1
Latar Belakang .............................................................................................. 1Masalah Penelitian ....................................................................................... 4Tujuan Penelitian .......................................................................................... 6Manfaat Hasil Penelitian ............................................................................... 6Definisi Istilah ............................................................................................... 7
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 9Industri Kecil Kerajinan Rumah Tangga ..................................................... 9Konsep Pengrajin ......................................................................................... 10Karakteristik Individu Pengrajin .................................................................. 12Faktor Lingkungan Usaha Kerajinan ........................................................... 21Potensi Industri Kecil terhadap Pertumbuhan Ekonomi .............................. 22Pembangunan Industri Kecil Berkelanjutan ................................................ 25Keberdayaan Masyarakat Pengrajin............................................................. 27Peranan Penyuluhan dalam Memberdayakan Pengrajin .............................. 29Faktor Perilaku dalam Konteks Keberdayaan.............................................. 33Perubahan Perilaku Melalui Proses Belajar ................................................. 37
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN ........................ 40Kerangka Berpikir........................................................................................ 40
Perkembangan Paradigma Pemberdayaan .............................................. 42Model Pemberdayaan bagi Pengrajin .................................................... 44Konsep Perilaku Wirausaha .................................................................... 48Konsep Kemandirian Usaha.................................................................... 52Konsep Keberdayaan Pengrajin .............................................................. 54Konsep Kemajuan Usaha ........................................................................ 57Konsep Keberlanjutan Usaha.................................................................. 60
Hipotesis Penelitian ..................................................................................... 62
METODE PENELITIAN................................................................................ 63Populasi dan Sampel .................................................................................... 63Rancangan Penelitian ................................................................................... 64Data dan Instrumentasi ................................................................................ 64
Data .......................................................................................................... 64Instrumentasi ............................................................................................ 76Uji Validitas ............................................................................................. 76Uji Reliabilitas ......................................................................................... 77
Pengumpulan Data ....................................................................................... 78Analisis Data ............................................................................................... 79
HASIL DAN PEMBAHASANGambaran Umum Lokasi Penelitian ............................................................ 87Karakteristik Individu Pengrajin .................................................................. 94Faktor Pendukung Usaha ............................................................................. 101Faktor Lingkungan ....................................................................................... 104Gambaran Perilaku Wirausaha Pengrajin .................................................... 107Tingkat Kemandirian Usaha ........................................................................ 113Tingkat Kemajuan Usaha ............................................................................. 120Tingkat Keberlanjutan Usaha ...................................................................... 123Perbedaan Perilaku Wirausaha, Kemajuan dan Keberlanjutan Usaha......... 126Faktor yang Berpengaruh terhadap Perilaku Wirausaha.............................. 129Faktor yang Berpengaruh terhadap Kemandirian Usaha ............................. 140Faktor yang Berpengaruh terhadap Kemajuan Usaha.................................. 150Faktor yang Berpengaruh terhadap Keberlanjutan Usaha ........................... 154Model Persamaan Struktural Keberdayaan Pengrajin ................................ 157Visi, Misi, dan Strategi Pengembangan Industri Kecil ............................... 162Model Pemberdayaan Pengrajin ................................................................. 169
KESIMPULAN DAN SARANKesimpulan ................................................................................................ 194Saran ........................................................................................................... 195
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………. 197
LAMPIRAN………………………………………………………………... 203
DAFTAR TABEL
Halaman1. Sintesa Model Intervensi untuk Komunitas Pengrajin ……...................... 452. Pokok-pokok Pikiran Strategi Penyuluhan Pembangunan
Penunjang........................................................................................................ 463. Kualitas Perilaku Wirausaha ............................................................................ 514. Paradigma Kemandirian Usaha ........................................................................ 55
5. Karakteristik Masyarakat Berdaya ................................................................... 56
6. Paradigma Kemajuan Usaha ............................................................................ 597. Tingkat Keberlanjutan Usaha ........................................................................... 61
8. Kerangka Sampel Penelitian ............................................................................ 64
9. Peubah Karakteristik Individu Pengrajin ......................................................... 66
10. Peubah Pendukung Usaha 6811. Peubah Lingkungan .......................................................................................... 69
12. Peubah Perilaku Wirausaha.............................................................................. 71
13. Peubah Kemandirian Usaha ............................................................................. 7214. Peubah Kemajuan Usaha .................................................................................. 74
15. Peubah Keberlanjutan Usaha ........................................................................... 76
16. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian ................................ 7817. Ringkasan Hasil Perhitungan Model Pengukuran............................................ 82
18. Jenis Produksi Kerajinan Sentra IKKR Barang dari Kulit di KabupatenMagetan dan Kabupaten Sidoarjo .................................................................... 87
19. Jangkauan Pemasaran Produk Kerajinan ......................................................... 89
20. Sebaran Responden Berdasarkan Modal Kerja yang Dikelola ........................ 90
21. Sebaran Responden Menurut Umur ................................................................ 91
22. Sebaran Responden Menurut Pengalaman Berusaha ....................................... 92
23. Sebaran Responden Menurut Tanggungan Keluarga ....................................... 92
24. Kegiatan Pembinaan Bagi Pengrajin di Kabupaten Magetan dan Sidoarjo ..... 93
25. Sebaran Responden Menurut Karakteristik Individu ....................................... 95
26. Distribusi Persentase Pengrajin menurut Motivasi Berusaha danPemenuhan Kebutuhan ..................................................................................... 97
27. Distribusi Persentase Pengrajin menurut Tanggungan Keluarga danMotivasi Berusaha ............................................................................................ 98
28. Distribusi Persentase Responden Pengrajin menurut Komunikasi danPendidikan ........................................................................................................
9929. Distribusi Persen tase Responden Pengrajin menurut Gender dan
Kemandirian Produksi ......................................................................................10030. Sebaran Responden Menurut Kualitas Pendukung Usaha ...............................102
31. Sebaran Responden Menurut Dukungan Lingkungan Usaha ..........................105
32. Sebaran Responden Menurut Perilaku Wirausaha ...........................................107
33. Sebaran Responden Menurut Tingkat Kemandirian Usaha .............................114
34. Sebaran Responden Menurut Tingkat Kemajuan Usaha................................ 12135. Sebaran Responden Menurut Tingkat Keberlanjutan Usaha ...........................123
36. Ringkasan Hasil Uji Beda Rata-Rata One Way Anova ...................................127
37. Ringkasan Hasil Uji Faktor yang Berpengaruh terhadap PerilakuWirausaha .........................................................................................................129
38. Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung Indikator Karakteristik Individudengan Perilaku Wirausaha ..............................................................................135
39. Ringkasan Hasil Uji Faktor-Faktor yang Berpengaruh Tingkatkemandirian usaha ............................................................................................140
40. Ringkasan Hasil Uji Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap KemajuanUsaha ................................................................................................................150
41. Ringkasan Hasil Uji Pengaruh Kemajuan Usaha Keberlanjutan Usaha ..........15542. Paradigma Penyuluhan yang Memberdayakan pengrajin ................................17343. Materi Pokok Penyuluhan Kewirausahaan.......................................................18044. Materi Pokok Penyuluhan tentang Kemandirian Usaha ................................ 181
DAFTAR GAMBAR
Halaman1. Tujuan Penyuluhan Pembangunan (Asngari, 2001)……………………...... 322. Model Dasar Perilaku (Gibson, Ivancevich dan Doonely, 1995) .................... 34
3. Beberapa Faktor yang Berpengaruh terhadap Perilaku dalam ......................... 36
4. Elemen-elemen yang Membentuk Perilaku Wirausaha (Bird, 1996) .............. 37
5. Kerangka Berpikir Pemberdayaan Pengrajin ................................................... 40
6. Hubungan Antar Peubah Penelitian ................................................................ 41
7. Paradigma Intervensi Masyarakat dan Gabungan Beberapa Pola Intervensi(Rothman, 1974) .............................................................................................. 47
8. Skema Lintas Hubungan antar Faktor-Faktor dalam Hipotesis Satu ............... 80
9. Skema Lintas Hubungan antar Faktor-Faktor dalam Hipotesis Dua ............... 80
10. Skema Lintas Hubungan antar Faktor-Faktor dalam Hipotesis Tiga............... 81
11. Skema Lintas Hubungan antar Faktor-Faktor dalam Hipotesis Empat............ 8112. Model Persamaan Struktural (Basic Model) Pemberdayaan Pengrajin
Menuju Kemajuan Usaha dan Keberlanjutan Usaha ....................................... 8513. Saluran Distribusi Produk Kerajinan Barang dari kulit di Jawa Timur ........... 88
14. Tingkat Keinovatifan .......................................................................................10815. Tingkat Inisiatif ................................................................................................109
16. Tingkat Pengelolaan Resiko.............................................................................111
17. Tingkat Daya Saing..........................................................................................11218. Tingkat Kemandirian Permodalan ...................................................................115
19 Tingkat Kemandirian Proses Produksi.............................................................116
20. Tingkat Kemandirian Kerjasama .....................................................................117
21. Tingkat Kemandirian Pemasaran .....................................................................119
22. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Wirausaha ................................130
23. Pengaruh Indikator Karakteristik Individu terhadap Perilaku Wirausaha .......131
24. Pengaruh langsung dan Tidak Langsung Karakteristik Individu terhadapPerilaku Wirausaha ..........................................................................................
135
25. Pengaruh Indikator Dukungan Lingkungan terhadap Perilaku Wirausaha......138
26. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Langsung Tingkat Kemandirian Usaha ......14127. Pengaruh Indikator Perilaku Wirausaha terhadap Tingkat Kemandirian
Usaha................................................................................................................142
28. Pengaruh Indikator Karakteristik Individu terhadap Tingkat KemandirianUsaha ................................................................................................................
144
29. Pengaruh Indikator Karakteristik Individu terhadap Tingkat KemandirianUsaha................................................................................................................
147
30. Pengaruh Indikator Dukungan Lingkungan Tingkat Kemandirian Usaha.......14831. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemajuan Usaha ......................................151
32. Pengaruh Kemajuan Usaha terhadap Keberlanjutan Usaha.............................155
33. Model Persamaan Struktural Keberdayaan Pengrajin .....................................15834. Model Keberdayaan Pengrajin di Sidoarjo ......................................................160
35. Model Keberdayaan Pengrajin di Magetan......................................................161
36. Model Pemberdayaan Pengrajin ......................................................................170
37. Keterkaitan Antar Aktor Yang Terlibat dalam Penyuluhan Untuk Pengrajin 178
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Hasil Analisis SEM Total .............................................................................2032. Hasil Analisis SEM Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Magetan 2063. Hasil Uji Beda Rata-rata One way Anova ...................................................207
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan pada hakekatnya adalah perubahan terencana dari satu
situasi ke situasi lainnya yang dinilai lebih baik. Pembangunan yang terlalu
mengejar pertumbuhan ekonomi dan kurang memperhatikan pengembangan
sumberdaya manusia berakibat pada rendahnya kualitas sumberdaya manusia.
Sumberdaya manusia yang kurang mendapat sentuhan pembangunan menjadi
tidak kuat dan goyah ketika dihadapkan pada situasi krisis. Mereka yang
bergantung pada industri-industri besar menjadi terhempas ketika industri besar
tersebut jatuh. Pemutusan hubungan kerja (akibat penciutan usaha atau kepailitan)
pada industri sering berdampak pada terjadinya pengangguran karena tenaga kerja
tidak terserap dalam pasar kerja tidak terelakkan.
Industri kecil merupakan salah satu soko guru perekonomian yang turut
mempercepat pemerataan pertumbuhan ekonomi karena dapat menyerap tenaga
kerja dalam jumlah yang besar (padat karya). Jumlah tenaga kerja yang bekerja di
sektor industri kecil meningkat tajam sejak tahun 1985 dengan laju pertumbuhan
tenaga kerja 6,4% per tahun. Pada tahun 1989 jumlah tenaga kerja yang bekerja di
sektor ini berjumlah 7.334.874 orang dan pada akhir tahun 2003 mencapai
11.643.072 orang (BPS, 2004)
Selain menyerap tenaga kerja, industri kecil menjadi penyumbang
pendapatan asli daerah yang signifikan. Pada beberapa jenis produk, hasil
produksi industri kecil di bidang pangan, sandang, kulit, kimia dan bahan
bangunan, kerajinan dan umum prospektif untuk ekspor (Hubeis, 1997). Oleh
karena itu, dalam rangka otonomi daerah pemerintah memberikan perhatian yang
lebih optimal guna meningkatkan produktivitas sektor ini. Pemerintah telah
melakukan upaya pembangunan industri kecil dalam jangka waktu puluhan tahun,
namun apabila dilihat fakta yang ada kondisi pengrajinnya masih banyak yang
belum mengalami kemajuan. Kondisi pengrajin pada saat ini sebagian besar masih
seperti pada saat orang tua atau sanak kerabatnya memulai usaha itu puluhan
tahun yang lalu.
Upaya menjalin kerjasama dengan individu lain terutama yang terkait
dengan bidang usaha, meliputi pemasok barang, pemodal, pelanggan atau mitra
usaha lainnya masih lemah. Terdapat beberapa faktor penyebab lemahnya
kemampuan kerjasama ini. Beberapa diantaranya adalah kemampuan komunikasi,
pengetahuan tentang kerjasama itu sendiri, upaya subordinasi dan dominasi elit
bisnis (pemodal, pemasok barang, distributor), dan yang paling utama adalah rasa
percaya diri yang masih rendah (Wijaya, 2001; Karsidi, 1999; Tawardi, 1999).
Karsidi (1999) menemukan bahwa permasalahan utama yang menghambat
peningkatan kesejahteraan pengrajin adalah pola hidup mereka yang masih
tradisional, mereka cepat puas, kurang tanggap terhadap peluang, dan kurang
memiliki kemampuan. Selain itu, para pengrajin industri kecil masih belum siap
dan mereka memiliki latar belakang pendidikan yang kurang. Oleh karena itu,
kompetensi pengrajin perlu dikembangkan dengan kegiatan penyuluhan yang
dirancang sesuai dengan kelompok jabatan: buruh pengrajin, pengrajin dan
pengusaha pengrajin.
Pelham (1999) menemukan bahwasanya industri kecil masih lemah dalam
hal perencanaan, pemikiran strategis dan orientrasi jangka panjang.
Kecenderungan memenuhi kebutuhan jangka pendek mengakibatkan mereka tidak
melakukan perencanaan ke depan tentang pasar, pengelolaan keuangan, atau
persediaan sumber daya yang dibutuhkan. Kurang dari 50% pengusaha industri
kecil yang secara rutin dan berkelanjutan mengumpulkan infromasi tentang
pertumbuhan pasar atau segmen pasar.
Selain itu, pengrajin masih belum memposisikan diri sebagai wirausaha
yang berkualitas, kreativitas menjadi modal dasar untuk menghadapi persaingan
belum dipenuhi dengan optimal dan masih bersifat subsisten menjadikan kualitas
perilakunya masih rendah (Megginson et al., 2000, Sigito 2001, Tawardi, 1999).
Ismawan (2002) mencatat beberapa keterbatasan yang dijumpai pengrajin
yaitu: (1) manajemen, pengelolaan keuangan, keberlanjutan lembaga dan
semacamnya; (2) scope dan skala ekonomi yang terbatas dan tidak dapat dengan
mudah serta cepat dikembangkan karena keterbatasan akses pelayanan keuangan,
informasi, dan pasar; dan (3) lingkungan usaha yang kurang fair, adil,
diskriminatif, kurang jelas aturan mainnya dan konsistensi dalam menjaga aturan
main yang ada.
Permasalahan lain yang dihadapi pengrajin adalah bahwasanya industri
kerajinan sangat dipengaruhi oleh perkembangan mode. Oleh karena itu,
permintaan produk dengan model yang berkembang terus menuntut kreativitas
dan inovasi produk yang tinggi pula. Kenyataan yang ada menunjukkan variasi
produk sangat monoton, sehingga kadang timbul kejenuhan dari konsumen
(Sigito, 2001). Selain itu, tingkat disiplin pengrajin juga kurang sehingga sering
target tidak dapat dipenuhi. Tingginya persaingan dalam industri kerajinan
menuntut ketrampilan pengrajin untuk membaca peluang pasar dan
mengembangkan daerah pemasaran. Perkembangan strategi penjualan produk
juga tampaknya perlu dikuasai oleh pengrajin.
Berdasarkan pendapat tersebut maka permasalahan industri kecil dapat
dikelompokkan menjadi tiga yaitu:
(1) Kapasitas, permasalahan yang terkait dengan rendahnya kapasitas pengrajin
dalam hal: perencanaan, pengelolaan keuangan, kewirausahaan, keberlanjutan
usaha, pertumbuhan skala ekonomi.
(2) Akses, keterbatasan akses terutama dalam hal akses pada pelayanan keuangan,
informasi, dan pasar.
(3) Lingkungan, rendahnya keberpihakan lingkungan terutama pemerintah dalam
memberikan pembinaan terhadap industri kecil, regulasi terhadap arus produk
pesaing dari luar negeri, dan regulasi lainnya yang fair, adil, tidak
diskriminatif, jelas aturan mainnya dan konsistensi dalam menjaga aturan
main yang ada.
Menyadari kenyataan yang ada, maka pada masa mendatang diperlukan
adanya suatu model pemberdayaan yang mampu meningkatkan kemampuan
pengrajin sehingga mampu berkolaborasi dengan pengrajin dan pendukung usaha
lainnya (stakeholder). Selain itu, agar pengrajin yang telah ada mampu
mengembangkan skala usahanya. Pemberdayaan ini tidak terlepas dari upaya yang
ditujukan untuk menempatkan pengrajin menjadi subyek pembangunan, serta
menempatkan sumber daya manusia pengrajin sebagai komponen utama dalam
pembangunan industri kecil sehingga pengrajin mampu mandiri menghadapi
persaingan usaha.
Masalah Penelitian
Kurang berkembangnya industri kecil di Indonesia telah menimbulkan
kesan bahwa berbagai program pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah ter-
hadap industri kecil selama ini kurang banyak manfaatnya. Kurang berhasilnya
kebijakan dan program pengembangan industri kecil di Indonesia disebabkan
antara lain oleh: adanya tumpang tindih dalam program dan populasi sasaran serta
pendekatan yang tidak terkoordinasi dan tidak konsisten. Akibatnya, mereka
sering menjadi obyek pembangunan, tergantung, dan tidak mandiri. Berdasarkan
hasil analisis Pardede (2000) diketahui bahwa kebijakan pemerintah dalam
membangun industri kecil lebih menekankan pada upaya meningkatkan
produktivitas dan kurang menyentuh aspek peningkatan kualitas SDM
Peningkatan kualitas SDM pengrajin adalah sasaran yang seharusnya
menjadi tujuan pembangunan industri kecil, sehingga dengan SDM yang
berkualitas akan dapat membawa pengrajin ke arah keberlanjutan dan kemajuan
usaha, dan keberhasilan pembangunan industri kecil dapat mewujudkan
kesejahteraan masyarakat industri kecil.
Menurut Megginson, Byrd dan Magginson (2000), berbagai penelitian
telah berhasil memetakan permasalahan industri kecil namun aspek perilaku
belum mendapat perhatian khusus. Pada saat ini gaya hidup pengrajin industri
kecil pada umumnya masih berada dalam gaya hidup transisi (pre modern), sebab
untuk mencapai kemandirian perlu diubah menjadi gaya hidup modern, kegiatan
industrialisasi menjadi dominan (Karsidi, 1999).
Sebagai seorang wirausaha pengrajin industri kecil masih belum mem-
punyai sifat tanggap terhadap peluang usaha. Hal ini apabila dikaitkan dengan
sifat perilaku wirausaha yang berhasil adalah bersifat opportunistis (Bird, 1989).
Sebagai salah satu contoh yang terjadi pada industri kecil tas dan sepatu yang
seringkali tidak dapat merespon dengan baik penawaran yang diberikan oleh pasar
berupa pesanan tas dan sepatu, pesanan tidak diselesaikan tepat waktu, kualitas
menjadi menurun karena jumlah pesanan banyak dan sebagainya sehingga pasar
tidak puas. Sifat kurang tanggap ini juga terkait dengan pengambilan keputusan
yang lambat dari pengusaha industri kecil.
Industri kecil dari bahan kulit adalah industri yang terkait dengan mode,
yakni mode akan berjalan sesuai dengan trend. Kejenuhan pasar akan terjadi pada
saat industri kecil tidak mampu menghasilkan kreasi yang sesuai dengan trend
yang ada. Kreativitas pengrajin tas dan koper di Sidoarjo untuk mengikuti trend
yang dibutuhkan pasar adalah masih rendah (Sigito, 2001).
Perilaku pengrajin industri kecil sekarang ini masih belum kondusif.
Berdasarkan penelitian Tawardi (1999) ditemukan bahwa: (1) orientasi hidup
pengusaha kecil masih untuk memenuhi keperluan hari ini, (2) kadang-kadang
merasa rendah diri karena ekonomi lemah, dan (3) percaya diri terlalu tinggi
sehingga merasa mutu produknya lebih baik dibanding orang lain.
Perkembangan teknologi yang cepat dalam proses produksi akan me-
nunjang kualitas produk dan ketepatan waktu pengerjaan. Mengingat karakteristik
produk kerajinan barang dari bahan kulit terkait dengan selera, maka sangat
dibutuhkan peralatan yang bisa menghasilkan produk yang berkualitas, misalnya
jenis mesin jahit, jarum, alat pengguntingan, pengepresan dan sebagainya. Kondisi
yang dihadapi sebagian besar industri kecil kerajinan barang dari bahan kulit
kurang bisa merespon perubahan selera konsumen dan perubahan teknologi
dengan cepat. Apabila dikaji lebih mendalam permasalahan yang dihadapi
industri kecil ini adalah perilaku pengrajinnya yang sedang dituntut berubah.
Aspek perilaku wirausaha terdiri dari aspek kognitif, afektif dan psikomotorik
pengrajin industri kecil masih belum kondusif. Berdasarkan latar belakang
penelitian, dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:
(1) Bagaimana perilaku wirausaha, tingkat kemandirian usaha, tingkat kemajuan
usaha, dan keberlanjutan usaha pengrajin?
(2) Faktor-faktor manakah yang berpengaruh terhadap kualitas perilaku wirausaha
para pelaku industri kecil?
(3) Faktor-faktor manakah yang menentukan tingkat kemandirian berusaha para
pelaku industri kecil?
(4) Faktor-faktor manakah yang cenderung lebih menentukan kemajuan usaha?
(5) Faktor-faktor manakah yang lebih menentukan keberlanjutan usaha?
(6) Bagaimana model pemberdayaan yang efektif untuk memandirikan pengrajin,
membentuk perilaku wirausaha yang berkualitas, dan memajukan usaha?
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan masalah-masalah yang telah disebutkan, maka secara umum
tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
(1) Mendapatkan gambaran tentang perilaku wirausaha, tingkat kemandirian
usaha, tingkat kemajuan usaha, dan keberlanjutan usaha pengrajin.
(2) Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas perilaku wirausaha
para pelaku industri kecil.
(3) Menjelaskan faktor-faktor penentu tingkat kemandirian berusaha para pelaku
industri kecil.
(4) Menjelaskan faktor-faktor yang menentukan kemajuan usaha para pelaku
industri kecil.
(5) Menjelaskan faktor-faktor yang menentukan keberlanjutan usaha para pelaku
industri kecil.
(6) Merumuskan model pemberdayaan yang efektif untuk memandirikan
pengrajin, membentuk perilaku wirausaha yang berkualitas, dan memajukan
usaha.
Manfaat Hasil Penelitian
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan se cara ilmiah dan secara praktis. Diharapkan hasil penelitian ini dapat
memberikan beberapa manfaat sebagai berikut:
(1) Bagi perkembangan ilmu penyuluhan pembangunan, diharapkan penelitian ini
dapat memberikan sumbangan terhadap:
Pengembangan model intervensi terhadap komunitas pengrajin.
Pengembangan paradigma penyuluhan yang memberdayakan pengrajin.
Pengembangan konsep perilaku wirausaha dan kemandirian pengrajin.
Peningkatan kemajuan usaha dan keberlanjutan usaha industri kecil.
(2) Bagi pembangunan industri kecil, diharapkan penelitian ini dapat dimanfaat
sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun kebijakan dan program
pemberdayaan pengrajin.
Definisi Istilah
(1) Industri kerajinan adalah aktivitas usaha di tingkat rumah tangga yang
mencakup semua perusahaan/usaha yang melakukan kegiatan mengubah
barang dasar menjadi barang jadi/setengah jadi dan atau dari barang yang
kurang nilainya menjadi lebih tinggi nilainya dengan maksud untuk dijual.
Yang termasuk dalam kategori tersebut adalah perusahaan/usaha yang
memiliki tenaga kerja antara 1-4 orang, memiliki asset maksimal Rp 200 juta
tidak termasuk tanah dan harta tak bergerak.
(2) Pengrajin adalah orang yang bekerja di bidang kegiatan mengubah barang
dasar menjadi barang jadi/setengah jadi dan atau dari barang yang kurang
nilainya menjadi lebih tinggi nilainya dengan maksud untuk dijual untuk
memenuhi nafkah hidupnya yang memiliki kemampuan menjalankan aktivitas
di bidang produksi dan perdagangan.
(3) Karakteristik individu pengrajin adalah ciri-ciri yang melekat pada individu
pelaku kegiatan mengubah barang dasar menjadi barang jadi/setengah jadi dan
atau dari barang yang kurang nilainya menjadi lebih tinggi nilainya dengan
maksud untuk dijual, yang membedakan dirinya dengan orang lain
berdasarkan waktu tertentu.
(4) Faktor pendukung usaha adalah tingkat ketersediaan faktor-faktor yang sesuai
dengan kebutuhan untuk menunjang kegiatan usaha kerajinan kulit yang
bermutu.
(5) Dukungan lingkungan adalah individu-individu lain, lembaga, atau sistem
yang melingkupi pengrajin dan usahanya, yang memberikan dukungan
sehingga dapat mempengaruhi pola pikir dan tindakan-tindakan pengrajin.
(6) Keberdayaan pengrajin adalah daya yang dimiliki pelaku kegiatan usaha
kerajinan yang ditekankan pada perilaku wirausaha (yang tercermin pada sifat
inovatif, memiliki inisiatif atas usahanya, mampu mengelola resiko, berdaya
saing) dan kemandirian dalam kegiatan usahanya (permodalan, produksi,
kerjasama dan pemasaran).
(7) Perilaku wirausaha adalah aspek-aspek yang terinternalisasi dalam diri
pengrajin yang ditunjukkan oleh pengetahuan, sikap dan ketrampilannya
untuk melakukan usaha dengan inovatif, inisiatif, berani mengambil resiko
dan berdaya saing.
(8) Kemandirian usaha adalah kemampuan pelaku usaha kerajinan dalam kegiatan
produksi, pemasaran dan permodalan yang tidak tersubordinasi dengan pihak
lain serta kemampuan kerjasama dengan individu, kelompok atau organisasi
untuk mencapai kemajuan terbesar bersama.
(9) Kemajuan usaha pengrajin adalah kondisi perkembangan aktivitas di bidang
kerajinan dalam bentuk penjualan, keuntungan dan pangsa pasar yang
diperoleh pengrajin.
(10) Keberlanjutan usaha adalah aktivitas dan sikap proaktif pengrajin dalam
mengantisipasi kebutuhan dan selera konsumen secara terus menerus dari
masa ke masa.
(11) Pemberdayaan pengrajin adalah proses pembelajaran yang
berkesinambungan yang ditujukan untuk mengembangkan kekuatan kepada
masyarakat agar: (1) memiliki kesadaran, rasa percaya diri dan ketegasan
dalam seluruh segi kehidupannya; (2) mampu mengambil keputusan,
memecahkan masalah, berkreasi dalam usaha kerajinannya; (3) mampu
bekerjasama dan membina hubungan dalam lingkungan usaha dan
lingkungan sosialnya; dan (4) mampu mengakses sumberdaya, peluang,
pengetahuan dan ketrampilan untuk kelangsungan usaha dan kehidupan
keluarganya di masa yang akan datang dengan lebih baik.
TINJAUAN PUSTAKA
Industri Kecil Kerajinan Rumah Tangga
Atribut “kecil” pada industri kecil memiliki arti yang berbeda dalam
berbagai konteks dan lembaga yang menggunakannya, dan hal ini seringkali
menimbulkan kekeliruan interpretasi bagi yang mencoba mengadopsi kebijakan
atau pengalaman negara lain dalam pengembangan industri kecil.
Departemen Perindustrian dan Perdagangan mendefinisikan industri kecil
berdasarkan asset dan kepemilikan, yaitu perusahaan yang memiliki asset sampai
Rp 600 juta di luar tanah dan bangunan yang ditempatinya dan dimiliki oleh
warga negara Indonesia. Kriteria industri kecil yang ditetapkan oleh Undang-
undang Usaha Kecil No. 9 tahun 1995 yang digunakan oleh Departemen Koperasi
adalah usaha yang memiliki kekayaan bersih maksimum Rp 200 juta di luar tanah
dan bangunan atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1 milliar
dan dimiliki oleh warga negara Indonesia. Konsep usaha kecil menurut Kamar
Dagang dan Industri (KADIN) adalah sektor usaha yang memiliki asset maksimal
Rp.250 juta, tenaga kerja paling banyak tiga orang dan nilai penjualan di bawah
Rp.100 juta perbulan.
BPS (1995) membagi empat kriteria tentang industri: (1) industri kerajinan
dan rumah tangga yaitu perusahaan dengan jumlah tenaga kerja 1-4 orang, (2)
industri kecil yaitu perusahaan dengan tenaga kerja 5-19, (3) industri sedang atau
menengah yaitu perusahaan dengan tenaga kerja 20-99 orang, dan (4) industri
besar adalah perusahaan dengan tenaga kerja lebih dari 100 orang.
Apabila dilihat dari sifat dan bentuknya, menurut Haeruman (2001),
industri kecil bercirikan: (1) berbasis pada sumber daya lokal sehingga dapat me-
manfaatkan potensi secara maksimal dan memperkuat kemandirian, (2) dimiliki
dan dilaksanakan oleh masyarakat lokal sehingga mampu me-ngembangkan
sumberdaya manusia, (3) menerapkan teknologi lokal (indigenous technology)
agar dapat dilaksanakan dan dikembangkan oleh tenaga lokal, dan (4) tersebar
dalam jumlah yang banyak sehingga merupakan alat pemerataan pembangunan
yang efektif.
Berdasarkan pada penjelasan tersebut di atas, pengertian industri kerajinan
yang dimaksudkan dalam penelitian ini mengacu pada industri rumah tangga yang
mencakup semua perusahaan/usaha yang melakukan kegiatan mengubah barang
dasar menjadi barang jadi/setengah jadi dan atau dari barang yang kurang nilainya
menjadi barang yang lebih tinggi nilainya dengan maksud untuk dijual. Yang
termasuk dalam kategori tersebut jika dilihat dari jumlah tenaga kerjanya
memiliki tenaga kerja antara 1-4 orang, memiliki asset maksimal Rp 200 juta
tidak termasuk tanah dan harta tak bergerak.
Konsep Pengrajin
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengrajin = perajin adalah
subyek melakukan suatu kegiatan yang menghasilkan kerajinan. Kata “kerajinan”
menurut ilmu asal usul bahasa adalah berasal dari kata dasar “rajin” yang
mendapat imbuhan ke-an, menunjuk kata benda yang dihasilkan melalui proses
yang membutuhkan sifat rajin, teliti, cermat dan kreatif dari pembuatnya. Jadi
pengrajin adalah orang yang bekerja membuat barang kerajinan yang memiliki
sifat-sifat rajin, teliti, cermat dan kreatif.
Karsidi (1999) membagi tiga jabatan pengrajin yaitu : (1) tenaga kerja
terampil industri kecil, (2) pengrajin industri kecil, dan (3) pengrajin pengusaha
industri kecil. Wijaya (2001) menemukan pengelompokan pengrajin dalam
industri kerajinan seni ukir dalam tiga kelompok yaitu: (1) buruh pengrajin atau
yang tergolong semi terampil dalam kegiatan produksi, (2) pengrajin yang
tergolong terampil dalam kegiatan produksi, dan (3) pengusaha hiasan seni ukir
yang keterampilan dalam kegiatan produksi dan perdagangan. Sigito (2001)
menemukan dua kelompok pengrajin di Industri Kecil Tas yaitu: (1) pengrajin
sekaligus pedagang dan (2) pengrajin tukang.
Nadvi dan Barientoss (2004) mengelompokkan pekerja sektor industri
kecil menjadi tiga yaitu: (1) small producers, yang memiliki buruh, beberapa asset
dan memiliki keuntungan kecil tetapi rentan terhadap kebangkrutan; (2)
subcontractor, orang-orang yang tergantung pada broker (middle man) yang
menghubungkan ke pasar, bahan baku dan kredit, mereka memiliki pendapatan
yang rendah; dan (3) homeworker and casual day labourer, yang memiliki
pendapatan sangat rendah yaitu 1 dollar per hari.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka konsep pengrajin dalam penelitian
ini adalah orang yang bekerja di bidang kegiatan mengubah barang dasar menjadi
barang jadi/setengah jadi dan atau dari barang yang kurang nilainya menjadi lebih
tinggi nilainya dengan maksud untuk dijual, yang memiliki ketrampilan produksi
dan perdagangan. Kelompok ini memiliki fungsi-fungsi usaha yang masih sangat
sederhana dan masih terikat dengan middle man atau menjadi subkontrak (Wijaya,
2001; Sigito, 2001) dalam mengakses pasar, bahan baku dan kredit sehingga perlu
dikembangkan kemandirian usahanya.
Aspek informalitas, masih banyak ditemui di kalangan pengrajin.
Meskipun terdapat beberapa industri kecil yang memiliki badan hukum, namun
sebagian besar pelaku bekerja diluar kerangka legal dan pengaturan (legal and
regulatory framework) yang ada. Informalitas Industri kecil ini menyebabkan
mereka tidak bisa mengakses lembaga keuangan formal dan terpaksa harus
berhubungan dengan sumber pinjaman informal.
Ketidakformalan industri kecil dapat membawa konsekuensi tiadanya
jaminan keberlanjutan aktivitas yang dijalani. Berbagai kebijakan pemerintah
dapat secara dramatis mempengaruhi keberlangsungan suatu aktifitas industri
kecil. Dalam merespon kondisi yang demikian, sektor industri kecil menjadi
sektor yang relatif mudah dimasuki dan ditinggalkan. Apabila pada aktifitas
ekonomi tertentu terdapat banyak peluang maka dengan segera akan banyak
pelaku yang menerjuninya; sebaliknya, apabila terjadi perubahan yang
mengancam keberlangsungan jenis usaha tertentu maka dengan segera para
pelakunya akan berpindah ke jenis usaha yang lain.
Hal yang perlu dilakukan adalah memperbaiki posisi pengrajin yang lebih
banyak memilih berusaha untuk memenuhi kebutuhan sesaat. Sebagaimana
digambarkan oleh Getz (2005) yang menggambarkan pengrajin dan pengusaha
kecil sebagai seorang seniman, wirausahawan yang bergaya hidup (lifestyle
entrepreneur), usahanya dikelola secara kekeluargaan. Para pengrajin ini sering
diasumsikan sebagai pihak yang menolak resiko atas usahanya karena mereka
lebih memprioritaskan keselamatan keluarga daripada meningkatkan pertumbuhan
usahanya.
Gambaran tersebut menunjukkan bahwa pengrajin merasa nyaman dengan
kondisi saat ini dan kurang senang menghadapi tantangan demi kemajuan
usahanya. Oleh karena itu, perlu kiranya untuk mengarahkan pengrajin pada
peningkatan daya saing dan kualitas usahanya. Sebagaimana hasil penelitian Getz
(2005) yang menemukan adanya kelompok wirausahawan yang berorientasi pada
pertumbuhan (growth). Kelompok ini akan diarahkan untuk memaksimumkan
daya saing, meningkatkan kualitas dan nilai tambah. Selain itu, ada kelompok
wirausahawan yang berorientasi pada laba dan pertumbuhan (profit and growth)
akan diarahkan pada peningkatan inovasi produk dan pemasaran.
Karakteristik Individu Pengrajin
Kegiatan usaha kerajinan digerakkan oleh individu yang sebagian besar
adalah pemilik usaha tersebut. Pengrajin tersebut selain sebagai pemilik usaha,
tenaga produksi / pekerja, pengelola keuangan juga sebagai tenaga pemasar.
Melihat posisi individu yang multi fungsi tersebut, maka perlu mendapatkan
pengetahuan yang lebih dari pada seorang manajer yang spesialis dalam bidang-
bidang tertentu sesuai dengan fungsinya.
Konteks individu menjadi pembahasan yang menarik dalam berbagai riset
tentang SDM, dengan karakteristik yang bersifat multiple, terkait dengan interaksi
sosial yang didasarkan pada aspek-aspek kondisi genetik dan lingkungan prenatal
(seperti karaktersitik biologis, neurologist, dan fisiologis) (Salkind, 1989).
Haber dan Reichel (2006) mengukur SDM pengusaha kecil berdasarkan:
tingkat pendidikan, pengalaman dan ketrampilan. Terdapat hubungan yang
signifikan antara tingkat pendidikan dengan kinerja usaha kecil, serta pengalaman
usaha menjadi prediktor yang bagus untuk memulai usaha yang beresiko dan
kesuksesan penguatan jejaring. Sedangkan ketrampilan managemen pengusaha
sangat kondusif bagi kinerja dan pertumbuhan usaha.
Stewart Jr et al. (1998) memfokuskan penelitiannya pada individu
wirausahawan yang didasarkan pada teori-teori psikologi. Dalam penelitian
tersebut ditemukan bahwa faktor-faktor individu yaitu: umur, pendidikan, gender,
suku (race). Faktor individu tersebut menjadi faktor penentu keberhasilan
kegiatan kewirausahaan. Adapun kegiatan kewirausahaan tersebut diawali dari
perumusan tujuan, pembentukan usaha, perencanaan strategis sampai dengan
dihasilkannya kinerja.
Dalam konteks wirausaha, menururt Bird (1996), faktor individu
wirausaha merupakan individu yang menjalankan usaha, faktor-faktor yang ada
pada individu tersebut adalah: (1) karakteristik biologis meliputi: umur, jenis
kelamin, pendidikan, (2) latar belakang wirausaha yaitu: pengalaman usaha,
alasan berusaha, pekerjaan orang tua dan keluarga, dan (3) motivasi.
Stewart Jr (1998) menemukan bahwa faktor kepribadian memberikan
pengaruh signifikan terhadap kemajuan usaha seorang wirausahawan. Meskipun
faktor sosial dan faktor situational merupakan komponen yang terintegrasi dalam
proses kewirausaahan, tetapi tidak semua wirausahawan mampu mengkombinasi-
kan kedua komponen tersebut, sebab masih ada satu faktor lain yang cukup
penting bagi pengembangan proses kewirausahaan yaitu faktor kepribadian
wirausahwan tersebut.
Menurut Sen (Nadvi dan Barientoss (2004)), kemampuan dan kesungguh-
an individu berhubungan dengan kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya.
Sen cenderung mendefinisikan kemiskinan sebagai deprivasi terhadap kemampu-
an individu daripada rendahnya pendapatan. Oleh karena itu, untuk memberdaya-
kan masyarakat miskin perlu ditingkatkan kemampuan individu terlebih dahulu
yang kemudian akan mendorong peningkatan pendapatan secara berkelanjutan.
Berdasarkan pendapat di atas, maka faktor individu adalah ciri-ciri yang
melekat pada pribadi pengrajin yang membedakan dirinya dengan orang lain
berdasarkan waktu tertentu.
Menurut Rakhmat (2001) faktor internal individu merupakan ciri-ciri yang
dimiliki oleh seseorang yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dengan
lingkungannya. Karakteristik tersebut terbentuk oleh faktor-faktor biologis dan
sosiopsikologis. Untuk mengetahui perilaku masyarakat terhadap sesuatu obyek
tertentu, maka karakteristik individu merupakan salah satu faktor yang penting
untuk diketahui. Azwar (2003), menyebutkan bahwa karakteristik individu
meliputi variabel sepert motif, nilai-nilai, sifat kepribadian, dan sikap yang saling
berinteraksi satu sama lain dan kemudian berinteraksi pula dengan faktor-faktor
lingkungan dalam menentukan perilaku.
Umur
Pada usaha pertanian, umur petani akan sejalan dengan pengalaman dan
pengetahuannya sesuai dengan pertumbuhan biologis dan perkembangan psikis-
nya. Petani yang lebih tua tampaknya cenderung lebih berhati-hati, sehingga ada
kesan mereka relatif kurang responsif atau lambat. Sebenarnya bukan berarti
mereka tidak mau menerima perubahan, tapi mereka mungkin punya pertimbang-
an praktis seperti kesehatan, kekuatan fisik yang kurang mengizinkan, atau ingin
menikmati masa tua mereka (Soekartawi, 1988).
Robbins (1996) memberikan pendapat tentang efek yang ditimbulkan oleh
usia pada pergantian karyawan, kemangkiran, produktivitas dan kepuasan. Ter-
dapat beberapa hasil penelitian yang menyebutkan bahwa: (1) makin tua se-
seorang maka makin kecil kemungkinannya berhenti dari pekerjaan, (2) usia me-
miliki hubungan terbalik dengan kemangkiran, orang dengan usia yang lebih tua
memiliki kemampuan yang lebih tinggi dengan masuk kerja yang lebih teratur, (3)
tidak terbukti bahwasanya semakin tua usia maka produktivitas semakin menurun
akibat menurunnya kecekatan, kecepatan, kekuatan dan koordinasi, jika ada
penuruan karena usia, maka akan diimbangi dengan pengalaman, (4) pada
individu yang profesional kepuasan cenderung meningkat dengan meningkatnya
usia, pada individu yang non profesional kepuasan cenderung menurun dengan
meningkatnya usia pada setengah baya dan akan naik lagi pada tahun-tahun
berikutnya.
Bird (2001) mencatat beberapa hasil penelitian tentang usia wirausahawan
yaitu: (1) kronologis umur memulai usaha berkontribusi terhadap keberhasilan
jangka panjang, wirausahawan muda akan memiliki karir yang lebih lama, (2)
terdapat usia-usia tertentu yang dianggap sebagai titik tumpu untuk memulai
usaha yang akan berkontribusi terhadap motivasi untuk benar-benar akan memulai
usaha, (3) semakin awal seseorang me-mulai karir wirausaha, semakin lama
mereka akan tinggal di dalamnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Perry, Batstone dan Pulsarum (2003)
tentang keberhasilan usaha kecil menengah di Thailand juga menemukan adanya
hubungan yang positif dan memimiliki signifikansi tinggi antara umur dengan
keberhasilan usaha kecil.
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, umur mempengaruhi perilaku
pengrajin dalam melaksanakan aktivitas usaha dan dalam konteks usaha kecil
umur mempunyai pengaruh positif terhadap kemajuan usaha.
Pendidikan
Pendidikan, baik formal maupun non formal adalah sarana untuk
meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan. Pada umumnya seseorang yang
berpendidikan lebih baik dan berpengetahuan teknis yang lebih banyak, akan lebih
mudah dan lebih mampu berkomunikasi dengan baik Semakin tinggi pendidikan
formal akan semakin tinggi pula kemampuannya untuk menerima, menyaring dan
menerapkan inovasi yang dikenalkan kepadanya.
Bird (2001) mengumpulkan beberapa fakta yang menyatakan bahwa
pendidikan adalah penting bagi kebanyakan wirausahawan sehingga upaya
pengembangan kompetensi melalui pendidikan penting untuk keberhasilan usaha.
Perry, Batstone dan Pulsarum (2003) menemukan semakin lama tahun menempuh
pendidikan maka semakin besar kesuksesan yang dapat diraih.
Pendidikan formal ditujukan untuk memperkuat dan mendorong
kreatifitas, keingintahuan (curiosity), open mindedness, dan ketrampilan yang
bagus, hal tersebut berkontribusi terhadap keinovatian dan kemampuan mengelola
sumberdaya dalam kehidupannya. Selain itu, pelatihan teknis penting bagi karir
dan usaha yang menggunakan teknologi dan produksi yang maju. Pendidikan juga
dapat mempengaruhi motivasi, pelatihan profesional dapat memperkuat nilai dan
posisi karir yang mantap.
Pendidikan menunjukkan tingkat intelegensi yang berhubungan dengan
daya pikir seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin luas
pengetahuannya. Gonzales (Jahi, 1988) merangkum pendapat beberapa ilmuwan
bahwa pendidikan merupakan suatu faktor yang menentukan dalam mendapatkan
pengetahuan. Pendidikan menggambarkan tingkat kemampuan kognitif dan
derajat ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang.
Wirausahawan yang bekerja dengan pendidikan rendah dapat menghadapi
kesulitan dalam memperoleh materi-materi pendidikan selanjutnya. Seringkali
sulit untuk menentukan gaji seseorang yang berpendidikan lebih baik, lebih
berpengalaman dan lebih pandai. Pendidikan yang diperoleh pada usia muda
(sebagian besar wirausahawan tidak mau kembali sekolah formal) memiliki
kontribusi yang penting terhadap kemampuan wirausahawan dan menunjang
keberhasilan usaha karena lebih kritis dalam mengakses informasi.
Tanggungan Keluarga
Usaha kecil dilaksanakan dengan mengandalkan anggota keluarga.
Menurut Soekartawi (1988) anggota keluarga sering dijadikan bahan
pertimbangan dalam pengambilan keputusan suatu inovasi. Konsekuensi
penerimaan inovasi akan berpengaruh terhadap keseluruhan sistem keluarga,
mulai dari isteri, anak-anak dan anggota keluarga lainnya.
Besarnya keluarga sangat terkait dengan tingkat pendapatan seseorang.
Jumlah keluarga yang semakin besar menyebabkan seseorang memerlukan
tambahan pengeluaran atau kebutuhan penghasilan yang lebih tinggi untuk
membiayai kehidupannya. Sehingga dibutuhkan tingkat aktifitas yang lebih tinggi
dalam memenuhi kebutuhan (Azwar, 2003).
Pengalaman Usaha
Pengalaman berusaha perlu dijadikan salah satu pertimbangan, karena
menentukan mudah tidaknya bagi wirausahawan untuk menyesuaikan diri dengan
kondisi lingkungan biofisik, sosial ekonomi, dan teknologi. Pengalaman memiliki
kontribusi terhadap perkembangan skill, kemampuan dan kompetensi, yang
memiliki fungsi untuk menggerakkan ide-ide usaha, sama pentingnya dengan nilai
(value), kebutuhan (need) dan insentif.
Hal-hal yang telah kita alami akan ikut membentuk dan mempengaruhi
penghayatan kita terhadap stimulus sosial. Tanggapan akan menjadi salah-satu
dasar terbentuknya sikap. Untuk dapat mempunyai tanggapan dan penghayatan,
seseorang harus mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan obyek psikologis.
Sehubungan dengan itu Azwar (2003) mengatakan bahwa tidak adanya
pengalaman sama sekali dengan suatu obyek psikologis cenderung akan
membentuk sikap negatif terhadap obyek tersebut. Pengalaman merupakan salah
satu cara kepemilikan pengetahuan yang dialami seseorang dalam kurun waktu
yang tidak ditentukan. Secara psikologis seluruh pemikiran manusia, kepribadian
dan temperamen ditentukan oleh pengalaman indera. Pikiran dan perasaan bukan
penyebab perilaku tetapi disebabkan oleh penyebab masa lalu (Rakhmat 2001).
Menurut Bird (2001), pembelajaran yang diperoleh dari pengalaman
memberikan kemampuan (ability) bagi seseorang untuk: (1) belajar dari
pengalaman yang berasal dari kegagalan dan keberhasilan, (2) merefleksikan
pengalaman dengan melibatkan ego, emosi dan asumsi untuk melihat apa yang
akan terjadi, (3) mengabstraksi pengalaman yang dialami dan menghubungkan
dengan pengalaman orang lain, kemudian membuat prediksi apa yang akan
dilakukan, (4) mencoba sesuatu yang baru pada masa yang akan datang. Perry,
Batstone dan Pulsarum (2003) menemukan pengalaman usaha memiliki pengrauh
yang signifikan terhadap keberhasilan usaha kecil menengah.
Jadi pengalaman usaha menjadi prediktor yang baik bagi pengambilan
keputusan, keberhasilan usaha dan perilaku wirausahawan.
Motivasi berusaha
Semua kegiatan manusia selalu berhubungan dengan motivasi. Motivasi
berasal dari dua kata, yaitu motif dan asi (action). Motif berarti dorongan, dan asi
berarti usaha. Sehingga motivasi adalah usaha yang dilakukan manusia untuk
menimbulkan dorongan untuk berbuat atau melakukan tindakan. Setiap tindakan
manusia, pasti memiliki motif atau dorongan. Dorongan atau motif ini ada di
belakang setiap tindakan manusia. Motif adanya di dalam tubuh manusia.
Yang terlihat pada kita adalah tindakan. Motif ada dibelakang tindakan. Motif
mendorong timbulnya tindakan. Namun demikian, timbulnya motif bisa
dilakukan dari luar diri manusia atau dari dalam diri manusia. Oleh karena itu kita
mengenal dua bentuk motivasi yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik.
Motivasi intrinsik adalah motivasi yang menunjukkan bahwa timbulnya dorongan
pada diri seseorang berasal dari kesadarannya sendiri. Motivasi ekstrinsik adalah
motivasi yang menunjukkan bahwa timbulnya dorongan berasal dari luar atau
orang lain (Padmowihardjo 2001).
Usaha yang dilakukan oleh seseorang karena adanya motivasi, dimana
Luthans (Thoha, 1988) menyebutkan ada tiga unsur motif yang saling
berinteraksi, yaitu kebutuhan (need), dorongan (drive), dan tujuan (goal).
Motivasi seseorang tergantung pada kekuatan motivaasinya (motifnya), yakni
semua unsur penggerak atau alasan-alasan dalam diri manusia yang menyebkan ia
berperilaku tertentu (Gerungan, 1999 dan Thoha, 1988), seperti: kebutuhan,
dorongan, keinginan dan aspirasi.
Orang berusaha dalam situasi tertentu dapat dilihat dari pendekatan
kognitif, yaitu: adanya kebutuhan, keinginan, hasrat, nilai, dan harapan serta
pendekatan non kognitif, yaitu: pengaruh atau konsekuensi yang mengikutinya
seperti hadiah dan hukuman (Kast dan Rozenzweig, 1995). Dikemukakan pula
bahwa, motivasi dapat didekati dari dua dimensi, yaitu (1) apa yang
menggerakkan orang (isi), teori isi berfokus pada variabel spesifik yang
mempengaruhi usaha seseorang, seperti kebutuhan internal atau kondisi eksternal,
dan (2) bagaimana perilaku itu dihasilkan (proses), teori proses berfokus pada
insentif, dorongan (drive), penguatan (reinvocement), dan harapan (expectations).
Hiks dan Gullet (1996) mengemukakan bahwa, berbagai kebutuhan, keinginan,
harapan yang terdapat di dalam diri seseorang dapat membentuk motivasi internal,
sedangkan upah/gaji, keadaan kerja, penghargaan, tanggung jawab membentuk
motivasi eksternal.
Pemenuhan Kebutuhan
Kebutuhan dalam teori motivasi Maslow merupakan hirarki kebutuhan
(hierarchi of need), yaitu: kebutuhan fisik, keamanan, sosial, penghargaan, dan
aktualisasi diri. Kebutuhan tersebut bisa dicapai secara bertahap tapi bisa juga
melompat pada kebutuhan yang lebih tinggi (Thoha, 1988), sedangkan Aldefer
mengenalkan tiga kelompok inti kebutuhan, yaitu: kebutuhan akan keberadaan
(existence), kebutuhan berhubungan (relatedness), dan kebutuhan untuk
berkembang (growth).
Keberhasilan melakukan usaha agribisnis adalah suatu prestasi, demiian
juga produktivitas adalah sebuah prestasi. Kebutuhan untuk berprestasi (n-Ach)
dari McClelland juga merupakan suatu motif yang dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan budaya (McClelland, 1987) dan seseorang dikatakan
mempunyai motivasi untuk berprestasi jika ia mempunyai keinginan untuk
melakukan suatu karya yang lebih baik dari prestasi karya orang lain.
Karakteristik orang-orang berprestasi tinggi adalah: suka mengambil resiko yang
moderat, memerlukan umpan balik yang segera, lebih memperhitungkan
keberhasilan, dan menyatu dalam tugas-tugasnya (McClelland, 1987).
McClelland (1987) mengemukakan bahwa masyarakat yang memiliki n-Ach
tinggi menghasilkan wiraswatawan-wiraswastawan yang lebih giat, dan pada
gilirannya menghasilkan pembangunan ekonomi yang lebih pesat. Orang yang
mempunyai n-Ach tinggi akan berprestasi lebih tinggi serta bekerja lebih efisien.
Insentif dapat menjadi dorongan bagi pengrajin, seperti: perbandingan
harga yang menguntungkan, pembagian hasil, tersedianya barang dan jasa yang
ingin dibeli, dan penghargaan masyarakat terhadap prestasi (Mosher, 1987), motif
mencari laba menurut Ricardo (McClelland, 1987), harapan untuk memperoleh
penghargaan (keuangan) disebut juga insentir (Thoha, 1988). Kast dan
Rosenzweig (1995) mengemukakan bahwa pekerjaan itu sendiri (yang benar-
benar menarik, menguntungkan dan memuaskan) serta tanggung jawab pribadi
terhadap pekerjaan itu dapat menjadi motivator.
Informasi di atas memberi gambaran bahwa motivasi dapat membentuk
upaya yang dilakukan seseorang, yang terdiri atas: (1) motif kebutuhan (needs),
yakni kebutuhan akan keberadaan (exixtence), kebutuhan berhubungan
(relatedness), kebutuhan untuk berkembang (growth), dan kebutuhan untuk
berprestasi (n-Ach), dan (2) motif dorongan, yakni dorongan karena adanya
desakan atau rangsangan dari luar (eksternal).
Komunikasi
Pada dasarnya komunikasi merupakan proses penyampaian dan
penerimaan lambang-lambang yang mengandung arti. Dalam komunikasi yang
penting adalah pengertian bersama dari lambang-lambang tersebut, dan karena itu
komunikasi merupakan proses sosial. Bila komunikasi itu berlangsung terus-
menerus antara pengrajin dengan pihak lain, maka akan terjadi interaksi yaitu
proses saling mempengaruhi antara individu yang satu dengan yang lain. Terdapat
beberapa hal yang terkait dengan kegiatan komunikasi diantaranya adalah:
aksesibiltas terhadap sumber informasi dan sifat kosmopolitansi.
Golongan masyarakat yang aktif mencari informasi dan ide-ide baru,
biasanya lebih inovatif dibandingkan dengan orang-orang pasif apalagi yang
sekalu skeptis (tidak percaya) terhadap sesuatu yang baru (Lionberger, 1964).
Menurut Lionberger (1964), golongan yang inovatif, biasanya banyak
memanfaatkan beragam sumber informasi, seperti lembaga pendidikan/perguruan
tinggi, lembaga penelitian, dinas-dinas yang terkait, media masa, tokoh-tokoh
masyarakat, sesama pengrajin, maupun dari lembaga-lembaga komersial
(pedagang). Berbeda dengan golongan inovatif, golongan masyarakat yang kurang
inovatif umumnya hanya memanfaatkan informasi dari tokoh-tokoh (pengrajin)
setempat, dan relatif sedikit memanfaatkan informasi dari media masa.
Menurut Mardikanto (1996), sifat kekosmopolitan adalah tingkat
hubungannya dengan “dunia luar” di luar sistem sosialnya sendiri. Sifat
kekosmopolitan dicirikan oleh fekwensi dan jarak perjalanan yang dilakukan,
serta pemanfaatan media masa. Bagi warga masyarakat yang relatif lebih
kosmopolit, adopsi inovasi dapat berlangsung cepat. Tetapi, bagi yang lebih
“localit” (tertutup, terkungkung di dalam sistem sosialnya sendiri), proses adopsi
inovasi akan berlangsung sangat lamban karena tidak adanya keinginan-keinginan
baru untuk hidup lebih “baik” seperti yang telah dapat dinikmati oleh orang-orang
lain di luar sistem sosialnya sendiri.
Sifat kekosmopolitan individu dicirikan oleh sejumlah atribut yang
membedakan mereka dari orang-orang lain di dalam komunitasnya, yaitu
memiliki status sosial yang lebih tinggi, partisipasi sosial yang lebih tinggi, lebih
banyak berhubungan dengan pihak luar, lebih banyak menggunakan media massa,
dan memiliki hubungan lebih banyak dengan orang lain maupun lembaga yang
berada di luar komunitasnya.
Aspek Gender
Gender adalah konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung
jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh
keadaan sosial dan budaya masyarakat.
Berdasarkan Instruksi Presiden RI No.9 Tahun 2000, Kesetaraan Gender
adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh
kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan
keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.
Pada konteks pembangunan masyarakat pengrajin, diperlukan kesetaraan
gender dalam seluruh aspek kegiatan usaha guna meningkatkan peran perempuan
dan laki-laki secara seimbang. Hal ini dapat menunjang keberhasilan usaha
kerajinan dan meningkatkan kesejahteraan perempuan dan laki-laki secara adil.
Faktor Lingkungan Usaha Kerajinan
Lingkungan merupakan suatu tempat dimana suatu unit usaha memulai
atau menjalankan usahanya untuk meraih peluang dan kesempatan serta
kemungkinan akan memperoleh ancaman dari pesaing. Menurut Kotler (1995),
terdapat ada enam kekuatan utama yang membentuk lingkungan usaha yaitu :
(1) Lingkungan demografi, misalnya: pertumbuhan penduduk, perubahan angkaharapan hidup, adat istiadat, tingkat pendidikan, pola berumah tangga,perubahan dari satu mass market ke beberapa micromarkets.
(2) Lingkungan ekonomi, kekuatan membeli konsumen dari sudut ekonomi akandipengaruhi oleh: distribusi pendapatan, harga, tabungan, pinjaman, danketersediaan kredit.
(3) Kondisi alam, perusahaan harus waspada terhadap kecenderungan kondisi :ketersediaan bahan mentah, kenaikan biaya sumber daya energi, kenaikantingkat polusi serta perubahan peraturan pemerintah tentang proteksilingkungan.
(4) Lingkungan teknologi, kecenderungan teknologi berikut ini harus dicermatioleh perusahaan : pengakselerasian perubahan teknologi, kesempatan inovasiyang tidak terbatas, keanekaragaman anggaran riset dan develompent,peningkatan aturan perubahan teknologi.
(5) Lingkungan politik, perkembangan lingkungan politik berpengaruh secarakuat terhadap keputusan pemasaran. Lingkungan ini terdiri dari hukum,lembaga pemerintah dan kelompok yang berkuasa.
(6) Lingkungan budaya, kehidupan masyarakat tidak bisa terlepas darikepercayaan, nilai dan norma-norma. Berikut ini beberapa karakteristikbudaya yang ada dalam masyarakat : nilai-nilai kebudayaan murni yangmemiliki persistensi yang tinggi, di dalam kebudayaan terdapat subkebudayaan.
Senada dengan enam kekuaatan tersebut, Badri et al, (2000) menyatakan
bahwa faktor-faktor lingkungan yang penting dicermati pengusaha yaitu trend
ekonomi, perubahan teknologi, kondisi politik, perubahan sosial, ketersediaan
sumberdaya vital dan kekuatan kolektif konsumen dan supplier.
Haber dan Reichel (2006) menginventarisasi beberapa dukungan yang
diperoleh dari lingkungan luar untuk kemajuan usaha kecil pada masa yang akan
datang, yaitu: (1) bimbingan keuangan (financial assistance), usaha kecil biasanya
memiliki keterbatasan dalam hal mengakses sumber pendanaan. Untuk itu peran
pemerintah sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan usaha pada jangka
pendek, dan pada jangka panjang akan berkontribusi pada pembangunan ekonomi
daerah; dan (2) bimbingan inkubator, diperlukan untuk memperkecil gap dalam
keuangan dengan meningkatkan kualitas talenta wirausaha berbasis lokal dan
pembangunan perusahaan berbasis kearifan lokal (indigenous companies).
Secara singkat, Heizer dan Render (1993) menyebutkan variabel lingkung-
an usaha kecil meliputi: ekonomi, budaya. Teknologi, demografi dan hukum-
politik. Wirausahawan perlu melakukan kontak dengan lingkungan, sebagaimana
dikemukakan oleh Zhao dan Aram (1995), bahwasanya kontak personal antara
wirausahawan dengan orang lain akan dapat memberi dua manfaat yaitu: (1)
meningkatkan dukungan sosial, jaring pengaman (safety net) yang menghindarkan
wirausahawan melanggar norma sosial dalam proses pengambilan resiko, (2)
dapat menjadi alat untuk mengakses sumber daya lingkungan dan sebagai wadah
untuk mewujudkan misi organisasi.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka faktor lingkungan dalam
penelitian didefinisikan sebagai individu-individu lain, lembaga, atau sistem yang
melingkupi pengrajin dan usahanya, yang memberikan dukungan sehingga dapat
mempengaruhi pola pikir dan tindakan-tindakan pengrajin.
Potensi Industri Kecil Kerajinan
Industri kecil kerajinan merupakan salah satu alternatif usaha yang dipilih
oleh masyarakat pada negara-negara berkembang disamping sektor pertanian. Di
Indonesia, usaha kecil banyak ditekuni masyarakat di pedesaan dan di perkotaan
dengan memanfaatkan potensi sumber daya lokal berupa bahan baku, tenaga
kerja, peralatan, metode, atau seni dan budaya lokal. Usaha kecil berbasis pada
sumber daya lokal dan menerapkan indigenous technology ini memiliki potensi
tinggi untuk dikembangkan secara partisipatif.
Industri kecil memiliki daya tahan yang kuat dalam menghadapi
goncangan ekonomi. Mardhuki (APO, 2000) menyatakan: “massive
unemployment, falling unemployment benefits and other welfare transfers and
scarcity of job opportunities in transition economies, have led to a growing
movement towards self-employment and a small business creation.” Permasalahan
di bidang ekonomi yang timbul akibat krisis mendorong manusia untuk
mempertahankan hidupnya dengan menciptakan lapangan kerja untuk dirinya
sendiri melalui kreasi di bidang usaha kecil.
Selain itu, Nadvi dan Barientos (2004 mengemukakan bahwa terdapat
banyak industri kecil pedesaaan dan pinggiran perkotaan (peri-urban) di
Indonesia yaitu: kuningan dan perabot (furniture) mampu bertahan dalam kondisi
krisis, bahkan industri ukiran dari Jepara yang didukung koperasi yang kuat dan
jaringan pemasaran global tetap bertahan mengekspor produknya ke beberapa
pasar luar negeri. Bahkan ketika kondisi krisis menyebabkan beberapa perusahaan
besar mengurangi tenaga kerjanya, industrikecil ini masih mampu mem-
pertahankan tenaga kerjanya dan tingkat upah mereka lebih baik daripada tingkat
upah regional.
Industri kecil memiliki kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan
eknomi lokal maupun nasional. Belajar dari pengalaman China yang memiliki
pertumbuhan ekonomi sangat cepat. Menurut Gibb dan Jun Li (2003), pada dua
dekade terakhir pertumbuhan eknomi cina yang cepat diperoleh keberhasilan
usaha kecil baik di pedesaan maupun perkotaan, usaha kecil tersebut diantaranya
berupa, usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah yang dikenal dengan istilah
Micro, Small and Medium-Sized Entreprisess (MSME), usaha kecil ini dikelola
oleh masyarakat lokal dan dikontrol oleh pemerintah daerah.
Di Indonesia, industri kecil dilaksanakan secara padat karya sehingga
menyerap tenaga kerja yang cukup besar. Hal ini memberikan kontribusi terhadap
permasalahan pengangguran. Dalam konteks pembangunan lokal, hal ini dapat
menjadi sarana pemerataan kesejahteraan masyarakat baik sebagai penyedia
tenaga di bidang produksi, penyedia input bahan baku atau penyedia jasa lainnya,
sebagai efek dari munculnya usaha di tingkat lokal. Meskipun industri kecil
memiliki peran strategis dalam pembangunan ekonomi, beberapa permasalahan
masih banyak dihadapi oleh mereka.
Pola kebijakan sosial ekonomi lokal dan nasional banyak dipengaruhi oleh
ide-ide dan konsep pembangunan internasional. Peningkatan penggunaan
teknologi komunikasi telah memfasilitasi transfer pengetahuan dan ide-ide kepada
dunia usaha secara cepat, tanpa ada batas skala nasional lagi. Trend model bisnis
dan produk terbaru lebih mudah diadopsi dalam skala global.
Kebijakan makro ekonomi memiliki peran terbesar bagi keberhasilan
pembangunan industri kecil. Menurut Ismawan (2002), pergeseran orientasi
pembangunan sudah mulai diarahkan untuk melihat industri kecil sebagai
stakeholder penting yang dibutuhkan untuk mencapai pertumbuhan yang
berkelanjutan (sustainable growth), dahulu industri besar menjadi lokomotif
pembangunan berubah ke strategi pertumbuhan yang berbasis luas (broad based
growth) atau yang oleh Bank Dunia disebut pertumbuhan yang berkualitas (the
quality of growth). Dharmawan (2000) menyatakan bahwa istilah pertumbuhan
masih memberi kesan adanya bias pengukuran kekayaan dan berkembangnya
budaya korupsi.
Apabila kebijakan makro telah dapat mengapresiasi sektor industri kecil
maka akan tercipta lingkungan yang mendukung (enabling environment). Oleh
kartena itu, upaya pengembangan kapasitas sektor industri kecil dan penyediaan
berbagai akses yang dibutuhkan oleh sektor industri kecil dapat dilaksanakan.
Pembinaan terhadap industri kecil telah dilakukan dalam berbagai bentuk
kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, perusahaan, LSM, Perguruan Tinggi
dan sebagainya. Diharapkan pembinaan dapat ditujukan untuk: (1) meningkatkan
kemampuannya agar kuat dan tahan terhadap perubahan-perubahan ekonomi, (2)
meningkatkan posisi tawamya (bargaining position) terhadap konsumen/pasar di
dalam kondisi persaingan yang semakin meningkat, dan (3) meningkatkan
motivasi untuk mencapai kemajuan berusaha di dalam wadah kebersamaan dalam
bentuk koperasi.
Dari beberapa kebijakan tersebut dapat dikritisi bahwa kebijakan
pengembangan industri kecil di Indonesia masih perlu penekanan pada aspek
pengembangan sumber daya manusianya. Kelemahan utamanya adalah aspek
sumber daya manusianya kurang mendapat sentuhan, khususnya berkaitan dengan
kepribadian. Pelatihan-pelatihan maupun insentif yang diberikan perlu
mempertimbangkan aspek keberlanjutannya sehingga akan meningkatkan
efektivitasnya.
Peningkatan kapasitas sektor industri kecil hanya bisa dilaksanakan secara
efektif manakala satu elemen kunci dimasukkan yaitu pendampingan yang
berkelanjutan. akses pada pelayanan keuangan, informasi, dan pasar. Dalam hal
akses terhadap pelayanan keuangan jelas kiranya pendekatan keuangan mikro
menjadi jawaban yang efektif. Selain itu informasi dan pasar yang disediakan
melalui berbagai pihak seringkali diluar kapasitas pengrajin untuk dapat
mengapresiasi dan memenuhinya. Karena itu, akan lebih bijak apabila penyediaan
akses informasi dan pasar dilakukan seiring dengan pengembangan kapasitasnya,
kemitraan perlu dijadikan salah satu oroientasi kebijakan sehingga interdependesi
pengrajin dapat tercapai.
Pembangunan Industri KecilBerkelanjutan
Pembangunan ialah suatu perubahan yang berguna menuju suatu system
sosial dan ekonomi yang diputuskan sebagai kehendak dari suatu negara
(Rogers,1976). Pembangunan menurut Todaro (1998) diartikan sebagai proses
perubahan dan pertumbuhan (change and growth) ke arah yang lebih baik dan
berhubungan dengan masalah ekonomi, kelembagaan dan transformasi sosial.
Banyak teori-teori pembangunan pada saat ini tidak mampu untuk menunjukkan
arah yang pasti pembangunan itu sendiri, sehingga setiap bangsa mempunyai cara-
cara sendiri untuk melaksanakan pembangunan tidak terkandung oleh salah satu
teori pembangunan tertentu.
Kerangka berpikir pembangunan berkelanjutan pada intinya adalah
pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa harus
menghalangi pemenuhan kebutuhan generasi mendatang. Sesuatu yang dimaksud
kebutuhan sekarang, cara untuk dapat memenuhinya, dan cara agar pemenuhan
kebutuhan masa datang tidak terganggu, merupakan permasalahan yang bisa
berlainan dan beraneka untuk setiap tempat.
Menurut Serageldin (Setiana, 2001) pada tahap perkembangan berikutnya,
para pakar mengidentifikasikan tiga pandangan tentang pembangunan
berkelanjutan yang berkembang dari tiga disiplin ilmu pengetahuan yaitu: (1)
pandangan dari sudut ekonomi yang meletakkan pusat perhatiannya pada upaya
peningkatan kemakmuran semaksimal mungkin dalam ketersediaan modal dan
kemampuan teknologi; (2) pandangan dari sudut ekologi yang melihat terjaganya
keutuhan ekosistem alami sebagai satu syarat mutlak untuk menjamin
keberlanjutan perkembangan kehidupan; dan (3) pandangan dari segi sosial yang
menekankan kepada pentingnya demokratisasi, pemberdayaan, peran serta,
transparansi dan keutuhan budaya, sebagai kunci untuk melaksanakan
pembangunan yang berkelanjutan.
Berdasarkan pendapat tersebut kita bisa mencermati bahwa dalam
pembangunan berkelanjutan disamping memfokuskan pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat juga perlu memperhatikan aspek ekologi dan tidak
meninggalkan aspek sosial yang menenkankan pada pentingnya partisipasi
masyarakat.
Dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan, suatu bisnis yang
berkelanjutan adalah bisnis yang sangat mampu memproduksi yang terbaik
(producing better) bukan memproduksi yang biasa-biasa saja (producing less),
memenuhi kebutuhan konsumen yang lain dari yang lain (consumer differently)
bukan kebutuhan yang biasa-biasa saja (consumer less), dan pertumbuhan yang
berkelanjutan (sustainable growth) bukan pertumbuhan yang terbatas (limits to
growth) (Young, 2006).
Faktor-faktor penentu kinerja dan daya tahan usaha kecil menjadi domain
penelitian yang sangat penting, penelitian di bidang kewirausahaan mulai
merubah fokus penelitiannya dari manajemen strategis tradisional ke arah studi
tentang pengujian penciptaan usaha baru yang bermanfaat bagi kesejahteraan
sosial. Penemuan tentang teori-teori dan variabel dependen operasional yang
cocok akan berperan bagi penciptaan usaha baru bagi kesejahteraan sosial.. Hal ini
tentu menjadi tantangan yang berat bagi seluruh stake holder pembangunan
industri kecil karena perlu peningkatan motivasi dan kemampuan SDM untuk
mencipatkan suatu inovasi yang tentunya perlu dukungan teknologi dan
lingkungan yang kondusif.
Variabel dependen yang sesuai dengan kebutuhan usaha yang
berkelanjutan harus bersifat multifaceted (beraneka segi) dan membutuhkan
ukuran yang kompleks, tidak hanya kinerja keuangan, tetapi juga ukuran
kesejahteraan sosial yang meliputi: ekonomi, sosial dan lingkungan.
Sebagaiamana telah diungkapkan di atas bahwa bahwa ketiga segi tersebut
penting bagi pembangunan industri kecil yang berkelanjutan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat diketahui perlunya diadopsi
konsep pembangunan berkelanjutan dalam membangunan industri kecil. Hal ini
menjadi tantangan bagi peneliti yang dimulai dari mengkarakterisasikan variabel
usaha berkelanjutan berdasarkan sudut pandang yang komplek, global,
interdependent, dam memiliki titik pandang ke depan. Tantangan bagi usaha
berkelanjutan tidak hanya menyediakan laba dan lapangan pekerjaan tetapi
aktivitas kewirausahaan yang mengarahkan pada cara hidup yang lebih
berkelanjutan (sustainable ways of living (Cohen dan Winn, 2005).
Keberdayaan Pengrajin
Secara etimologis, istilah pemberdayaan merupakan terjemahan dari kata
empowerment, yang berasal dari kata empower yang mengandung dua pengertian:
(i) to give power to (memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau
mendelegasikan otoritas pada pihak lain), dan (ii) to give ability, to enable (usaha
untuk memberi kemampuan) (Oxfort English Dictionary). Istilah ini menunjukkan
adanya dua pihak atau lebih yang saling berinteraksi yang mengakibatkan salah
satu pihak memiliki kekuatan yang lebih dari kondisi sebelumnya.
Terminologi pemberdayaan berkembang terus seiring dengan perubahan
yang ada pada masyarakat, Oxaal dan Baden (1997) mendefinisikan
pemberdayaan berasal dari asal-usul kata “power” yang dapat dipahami sebagai:
(1) power over, yang terkait dengan kekuatan untuk menghindari dominasi dan
subordinasi, ancaman kejahatan dan intimidasi, (2) power to, yaitu kekuatan yang
berhubungan dengan kemampuan mengambil keputusan, otoritas, pemecahan
masalah dan kreativitas, (3) power with, kekuatan untuk bekerjasama dalam
rangka mencapai tujuan bersama, dan (4) power within, kekuatan dalam diri
individu berupa kepercayaan diri, kesadaran, dan ketegasan (assertiveness). Ife
(1995), mengartikan pemberdayaan sebagai upaya meningkatkan kapasitas
masyarakat dalam menghadapi kehidupan masa depannya dengan memberikan
sumberdaya, peluang, pengetahuan dan ketrampilan.
Berdasarkan sudut pandang ilmu penyuluhan, Slamet (2003) menyatakan
bahwa istilah pemberdayaan masyarakat merupakan ungkapan lain dari tujuan
penyuluhan, yang berarti mampu = berdaya = tahu, mengerti, faham, termotivasi,
berkesempatan melihat peluang, dapat memanfaatkan peluang, berenergi, mampu
bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani
menghadapi resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu
bertindak sesuai situasi.
Dalam konteks pengembangan masyarakat, Sumodiningrat (1999)
menyatakan bahwa upaya memberdayakan masyarakat memerlukan persiapan
penguatan kelembagaan masyarakat. Dengan kelembagaan masyarakat yang kuat
diharapkan menjadi wadah bagi pengembangan masyarakat agar rakyat mampu
mewujudkan kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan dalam suasana keadilan
sosial yang berkelanjutan. Sejalan dengan konteks pengembangan masyarakat
tersebut, Ndraha (1987) memberi ciri-ciri pemberdayaan: (1) meningkatkan
kemampuan, (2) mendorong tumbuhnya kebersamaan, (3) kebebasan memilih
dan memutuskan (4) membangkitkan kemandirian, dan (5) mengurangi
ketergantungan serta menciptakan hubungan yang saling menguntungkan.
Berdasarkan pengertian tentang pemberdayaan di atas, maka dalam
konteks pengrajin makna pemberdayaan diartikan sebagai proses pembelajaran
yang berkesinambungan yang ditujukan untuk memberikan kekuatan kepada
masyarakat agar: (1) memiliki kesadaran, rasa percaya diri dan ketegasan dalam
seluruh segi kehidupannya; (2) mampu mengambil keputusan, memecahkan
masalah, berkreasi dalam usaha kerajinannya; (3) mampu bekerjasama dan
membina hubungan dalam lingkungan usaha dan lingkungan sosialnya; dan (4)
mampu mengakses sumberdaya, informasi, peluang, pengetahuan dan ketrampilan
untuk kelangsungan usaha dan kehidupan keluarganya di masa yang akan datang
dengan lebih baik.
Pengrajin yang berdaya adalah pengrajin yang memiliki ciri-ciri yang ada
pada perilaku wirausaha dan kemandirian. Pengrajin yang berdaya dengan
berperilaku wirausaha dan mandiri dalam berusaha secara gigih berupaya
melakukan kombinasi dari sumberdaya ekonomi yang tersedia, mereka mampu
menciptakan produk dan teknik usaha baru (inovatif), mampu mencari peluang
baru (opportunistis), bekerja dengan metode kerja yang lebih efektif dan efisien,
cepat mengambil keputusan dan berani mengambil resiko, berdayasaing, tidak
terdeprivasi dan tersobordinasi oleh pihak lain.
Melalui proses pemberdayaan masyarakat diharapkan akan dapat
berkembang lebih jauh dengan berkembangnya pola pikir yang kritis dan
sistematis sehingga masyarakat pengrajin lebih mampu melakukan kegiatan
secara berdaya dan partisipatif.
Peranan Penyuluhan dalam Memberdayakan Pengrajin
Seperti yang telah dinyatakan di atas, garis besar upaya pemberdayaan
adalah proses pembelajaran yang merupakan usaha terencana dan sistematis yang
dilaksanakan secara berkesinambungan. Istilah penyuluhan pertama kali digagas
oleh James Stuart dari Trinity College (Canbridge) pada tahun 1967-68, sehingga
kemudian Stuart dikenal sebagai Bapak Penyuluhan (Van Den Ban dan Hawkins,
1999)
Berbagai istilah digunakan pada berbagai negara menggambarkan proses-
proses belajar penyuluhan (extention), seperti’ (1) voorichting (Bahasa Belanda)
yang berarti memberi penerangan untuk menolong seseorang menemukan
jalannya, (2) beratung (Bahasa Inggris dan Jerman) yang mengandung makna
sebagai seorang pakar memberikan petunjuk kepada seseorang tetapi seseorang
tersebut yang berhak untuk menentukan pilihannya, (3) erzeiehung (mirip artinya
dengan pendidikan di Amerika Serikat) yang menekankan tujuan penyuluhan
untuk mengajar seseorang sehingga dapat memecahkan sendiri masalahnya, (3)
fordering (Bahasa Austria) yang diartikan sebagai menggiring seseorang ke arah
yang diinginkan (Van Den Ban, 1999).
Secara harfiah penyuluhan berasal dari kata suluh yang berarti obor
ataupun alat untuk menerangi keadaan yang gelap. Dari asal perkataan tersebut
dapat diartikan bahwa penyuluhan dimaksudkan untuk memberi penerangan
ataupun penjelasan kepada mereka yang disukai, agar tidak lagi berada dalam
kegelapan mengenai suatu masalah tertentu (dalam Rejeki dan Herawati, 1999)
Van Den Ban, A.W. dan H.S Hawkins (1999) mengartikan penyuluhan
sebagai keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara
sadar dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga bisa
membuat keputusan yang benar. Secara sistematis pengertian penyuluhan
tersebut adalah proses yang; (1) membantu petani menganalisis situasi yang
sedang dihadapi dan melakukan perkiraan ke depan, (2) membantu petani
menyadarkan terhadap kemungkinan timbulnya masalah dari analisis tersebut, (3)
Meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan wawasan terhadap suatu
masalah, serta membantu menyusun kerangka berdasarkan pengetahuan yang
dimikili petani, (4) membantu petani memperoleh pengetahuan yang khusus
berkaitan dengan cara pemecahan masalah yang dihadapi serta akibat yang
ditimbulkannya sehingga mereka mempunyai berbagai alternatif tindakan,
(5) membantu petani memutuskan pilihan yang tepat yang menurut pendapat
mereka sudah optimal, (6) meningkatkan motivasi petani untuk dapat menerapkan
pilihannya, (7) membantu petani untuk mengevaluasi dan meningkatkan
keterampilan mereka dalam membentuk pendapat dan mengambil keputusan.
Menurut Slamet (2003), penyuluhan merupakan pendidikan luar sekolah
yang bertujuan: (a) memberdayakan sasaran, (b) meningkatkan kesejahteraan
secara mandiri, dan (c) membangun masyarakat madani. Pengertian penyuluhan
bukanlah sekedar penerapan tentang kebijakan penguasa, bukan hanya diseminasi
teknologi, bukan program charity yang bersifat darurat, dan bukan program untuk
mencapai tujuan yang tak merupakan kepentingan pokok kelompok sasaran.
Tetapi adalah program pendidikan luar sekolah yang bertujuan memberdayakan
sasaran, meningkatkan kesejahteraaan sasaran secara mandiri dan membangun
masyarakat madani; sistem yang berfungsi secara berkelanjutlan dan tidak bersifat
adhoc, serta program yang menghasilkan perubahan perilaku dan tindakan sasaran
yang menguntungkan sasaran dan masyarakatnya.
Sehingga secara singkat penyuluhan dapat diartikan sebagai suatu
pendidikan yang bersifat non formal yang bertujuan untuk membantu
masyarakat/petani merubah perilakunya dalam hal pengetahuan, keterampilan dan
sikap agar mereka dapat memecahkan masalah dan mampu menolong dirinya
sendiri menuju peningkatan kesejahteraan. yang dihadapinya guna mencapai
kehidupan yang lebih baik.
Peran penyuluh adalah menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan-
perubahan, memantapkan hubungan dengan masyarakat sasaran. Menurut Lippit
(1956) peran penyuluh dapat dikembangkan menjadi beberapa peran yaitu:
(1) Pengembangan kebutuhan untuk melakukan perubahan-perubahan yang
mencakup:diagnosa masalah yang benar-benar diperlukan masyarakat
sasaran, pemilihan obyek yang tepat, analisis tentang motivasi dan
kemampuan masyarakat sasaran untuk melakukan perubahan, sehingga
upaya perubahan yang direncanakan mudah diterima dan dapat
dilaksanakan sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki masyarakat
sasaran, analisa sumberdaya yang tersedia dapat digunakan oleh penyuluh
untuk perubahan seperti yang direncanakan
(2) Menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan . Kegiatan yang
harus dilakukan penyuluh meliputi menjalin hubungan yang akrab
dengan masyarakat sasaran, menunjukkan kepada masyarakat sasaran
tentang pentingnya perubahan-perubahan yang harus dilakukan, bersama-
sama masyarakat, menentukan prioritas kegiatan memobilisasi
sumberdaya (mengumpulkan dana, menyelenggarakan pelatihan,
membentuk dan mengembangkan kelembagaan) dan memimpin
perubahan yang direncanakan
(3) Memantapkan hubungan dengan masyarakat sasaran, melalui upaya-
upaya yaitu, terus menerus menjalin kerjasama dan hubungan baik dengan
masyarakat sasaran, terutama tokoh-tokohnya, bersama-sama tokoh
masyarakat memantapkan upaya-upaya perubahan dan merancang
tahapan-tahapan perubahan yang direncanakan, terus menerus
memberikan sumbangan terhadap perubahan yang profesional melalui
kegiatan penelitian dan rumusan-rumusan konseptual.
Berdasarkan hal tersebut kita melihat bahwasanya pemberdayaan
merupakan salah satu tujuan dari penyuluhan. Asngari (2001) menggambarkan
proses penyuluhan dalam rangka pemberdayaan sumber daya manusia
pembangunan terlihat pada Gambar 1, sebagaimana dicontohkan di bidang
pertanian.
Gambar 1. Tujuan Penyuluhan Pembangunan (Asngari, 2001)
Penyuluhan dilakukan secara berkelanjutan, hal ini sesuai dengan “falsafah
kontinyu“; yang dimulai dengan tujuan agar klien tahu, mau dan mampu untuk
melakukan perubahan atas dirinya. Untuk itu, harus dimulai dari proses
penyadaran. Industri kecil kerajinan banyak ditekuni masyarakat pedesaan, namun
kesejahteraan pengusahanya masih belum meningkat. Untuk itu perlu penyadaran
agar mereka tahu masalah yang dihadapi, mau untuk berubah dan mampu
memecahkan masalah.
Perubahan perilaku yang menjadi penentu kemajuan usaha pengrajin
adalah terkait dengan kualitas SDM pengrajin, kemandirian usaha dan perilaku
wirausahanya. Oleh karena itu, perlu disusun suatu program penyuluhan yang
dapat merubah perilaku wirausaha, dengan pelatihan terhadap materi-materi
tersebut, pendampingan (fasilitasi), kredit/modal (misalnya: bantuan langsung
masyarakat), networking untuk membantu memasarkan produk kerajinannya.
Tujuan jangka panjang
Mengubah perilaku :1. Pengetahuan2. Sikap mental3. Ketrampilan
Bertani lebih baik(Better farming)
Berusahatani lebihbaik (Betterbusiness)
TahuMauMampumemanfaatkanIPTEK, dll
Pendapatanmeningkat
Masyarakat lebihmakmur
Penyuluhan
Pembangunan
Hidup lebih baik
Hidup lebihsejahtera
Sarana usaha yangmemadai (agro
support)
Iklim usaha yangkondusif (agro-
climate)
Tujuan jangkapendek
SDM Klien SDM Klien Ditunjang
Proses ini berjalan secara kontinyu sampai terjadi perubahan usaha yang lebih
baik (better business).
Kegiatan penyuluhan tidak hanya sampai pada peningkatan usaha tetapi
sampai pada membuat pengrajin berdaya; berdaya dalam konteks industri kecil
kerajinan ini adalah: (1) berdaya dalam usaha/memproduksi, (2) berdaya dalam
mengambil keputusan (tidak terdeprivasi oleh pihak lain), dan (3) berdaya dalam
keberlanjutan usaha. Keberdayaan akan mengarahkan mereka mencapai
kehidupan yang lebih baik dan makmur sejahtera.
Didalam kegiatan penyuluhan menggunakan prinsip-prinsip pendidikan
orang dewasa, yakni terdapat tujuh falsafah-falsafah yang dapat menyukseskan
keberhasilan penyuluhan (Asngari, 2001) yaitu: (1) Falsafah Pendidikan, (2)
Pentingnya Individu, (3) Falsafah Demokrasi, (4) Falsafah Bekerjasama, (5)
Falsafah Membantu Klien untuk Membantu Dirinya Sendiri, (6) Falsafah
Kontinyu, dan (7) Falsafah membakar sampah secara tradisional yaitu membantu
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi klien dengan memilah-milahkan
keadaan individu klien.
Faktor Perilaku dalam Konteks Keberdayaan
Perilaku adalah cara bertindak yang menunjukkan tingkah laku seseorang
dan merupakan hasil kombinasi antara pengembangan anatomis, fisiologis dan
psikologis (Kast dan Rosenzweig, 1995) dan pola perilaku dikatakan sebagai
tingkah laku yang dipakai seseorang dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya.
Menurut Skinner (Salkind, 1989), perilaku adalah fungsi dari konsekuensi.
Perilaku timbul karena ada stimulus, kualitas dan karakteristik stimulus yang
mengikuti perilaku adalah sangat penting. Konsekuensi perilaku akan
menyebabkan peningkatan, penurunan atau tidak adanya perubahan dalam
probabilitas timbulnya perilaku yang terjadi kemudian. Berdasarkan pada studi
dan analisis konsekuensi Skinner ini, maka pengaruh lingkungan terhadap
perubahan perilaku sangat penting.
Perilaku merupakan fungsi dari interaksi antara sifat individu dengan
lingkungannya, Lewin (Hersey, Blanchard dan Johnson, 1996) membuat
persamaan dasar perilaku manusia : B = f P,S, B adalah perilaku individu, f
berarti fungsi atau disebabkan oleh, P adalah Persons dan S adalah Situations.
Persamaan Lewin ini diartikan bahwa perilaku adalah fungsi yang ada dalam diri
individu dan di luar individu yaitu situasi. Sesuatu yang berasal dari dalam diri
inidvidu digerakkan oleh motif atau kebutuhan yang kemudian direfleksikan
dalam sikap (cara individu merasakan sesuatu hal) dan dimainkan oleh
kepribadian (kecenderungan seseorang untuk bertindak). P dan S tidak
independen tetapi interdependen. Seseorang dipengaruhi oleh situasi dimana dia
temukan diri mereka, dan situasi dipengaruhi oleh orang tersebut.
Menurut Gibson, Ivancevich dan Doonely (1994), terdapat beberapa faktor
penting yang menyebabkan perbedaan individu dalam perilaku (Gambar 2).
Gambar 2. Model Dasar Perilaku (Gibson, Ivancevich dan Doonely, 1995).
Model Dasar Perilaku disajikan sebagai titik pangkal untuk memahami
perilaku individu. Hal penting yang dapat dipetik dari model tersebut adalah:
(1) proses perilaku adalah serupa bagi semua orang; (2) perilaku yang sebenarnya
dapat berbeda karena variabel fisiologis, lingkungan dan psikologis, dan karena
faktor-faktor seperti frustasi, konflik dan kegelisahan; dan (3) banyak variabel
yang mempengaruhi perilaku terbentuk sebelum orang memasuki organisasi
pekerjaan.
Proses yang mendasari perilaku seseorang adalah sama, dengan empat
asumsi penting mengenai perilaku manusia yaitu: (1) perilaku timbul karena
sesuatu sebab (caused), (2) perilaku diarahkan kepada tujuan, (3) perilaku yang
terarah pada tujuan dapat diganggu oleh frustasi, konflik dan kegelisahan, dan (4)
peri-laku timbul karena motivasi. Berdasarkan empat asumsi tersebut, maka dapat
Stimulus Orang
Variabel FisiologisVariabel LingkunganVariabel Psikologis
Frustasi
Kegelisahan
Perilaku Konflik
Umpan balik
Tujuan
diketahui bahwa seseorang berperilaku tidak dapat secara spontan dan tanpa
tujuan, tetapi harus ada sasaran secara eksplisit maupun implisit dan timbul
sebagai reaksi atas sasaran.
Pola perilaku bisa saja berbeda tetapi proses terjadinya adalah hal yang
mendasar bagi semua individu, yakni terjadi karena disebabkan, digerakkan dan
ditunjukkan pada sasaran (Kast dan Rosenzweig, 1995). Berdasarkan teori
perilaku dan asumsi di atas, perilaku itu tidak dapat spontan dan tanpa tujuan,
sehingga harus ada sasaran baik eksplisit maupun implisit. Perilaku kearah sasaran
timbul sebagai reaksi terhadap rangsangan (penyebab) yang dapat berupa jarak
antara kondisi sekarang dan kondisi baru yang diharapkan, dan perilaku yang
timbul adalah untuk menutup jarak tersebut.
Unsur perilaku terdiri atas perilaku yang tak tampak seperti pengetahuan
(cognitive) dan sikap mental (affective), serta perilaku yang tampak seperti
keterampilan (psychomotoric) dan tindakan nyata (action). Gabungan dari atribut
biologis, psikologis dan pola perilaku aktual menghasilkan kepribadian
(character) yakni kombinasi yang kompleks dari sifat-sifat mental, nilai-nilai,
sikap kepercayaan, selera, ambisi, minat, kebiasaan, dan ciri-ciri lain yang
membentuk suatu diri yang unik (unique self) (Kast dan Rosenzweig, 1995)
Untuk mengetahui proses perilaku ini terbentuk dan berkembang,
komponen kognitif, afektif dan psikomotorik, menurut Mar’at (1982), dikaitkan
dengan hal-hal berikut:
(1) Kognisi berhubungan dengan belief, ide dan konsep. Kepercayaan datang dari
apa yang pernah kita lihat atau apa yang telah kita ketahui. Setelah
kepercayaan terbentuk, ia dapat memprediksi masa datang, termasuk
didalamnya pengalamn pribadi yang cenderung membentuk stereotip.
Ranah/domain kognisi akan menjawab pertanyaan sesuatu yang dipkirkan
atau dipersepsikan tentang obyek.
(2) Afeksi, menyangkut kehidupan emosional seseorang. Secara umum
disamakan dengan perasaan seseorang terhadap sesuatu. Reaksi emosional
ditentukan oleh kepercayaan.
(3) Konasi/Psikomotor, merupakan kecenderungan bertingkah laku, berkaitan
dengan obyek yang dihadapi. Kecenderungan berperilaku secara konsisten.
Selaras dengan kepercayaan dan perasaan yang membentuk perilaku individu.
Dalam penelitian ini perilaku adalah cara bertindak yang menunjukkan
tingkah laku seseorang dan merupakan hasil kombinasi pengetahuan, sikap dan
ketrampilannya. Perubahan perilaku lebih banyak dipengaruhi oleh faktor
lingkungan daripada faktor biologi. Faktor lingkungan dapat dibedakan menjadi
lingkungan internal dan eksternal. Menurut Kast dan Rosenzweig (1995), terdapat
beberapa faktor yang berpengaruh terhadap perilaku individual dalam suatu situasi
kerja (Gambar 3). Faktor-faktor tersebut dikelompokkan menjadi tiga konteks
yaitu: konteks individual yang berhubungan dengan konteks organisasi kerja dan
konteks umum yang berada di luar konteks individual dan konteks organisasi
kerja.
Gambar 3. Beberapa Faktor yang Berpengaruh terhadap Perilaku dalamSituasi Kerja (Kast dan Rosenzweig, 1995)
Menurut Bird (1996), terdapat empat elemen yang membentuk perilaku
wirausaha yaitu: (1) faktor individu, (2) faktor organisasi, (3) faktor lingkungan,
dan (4) faktor proses sebagaimana tercantum pada Gambar 4.
Konteks Organisasi KerjaSasaranHarapan dan perananKebijakan prosedur &peraturanNorma-norma formaldan informalSistem imbalan:Ekonomi dan nonekonomiTugasSistem perencanaan danpengawasanTeknologiStrukturDinamika kelompokKepemimpinan
Konteks UmumKebudayaanEkonomiMasyarakatKeluargaHukumPengaruh lain
Konteks PeroranganSifat dan kemampuan bawaan &kemampuan diperolehPengalaman masa lampauKebiasaanNilai dan sikapKepercayaan
Diri atau keprobadian yang unik(kecenderungan untuk berpikiratau bertindak dgn cara tertentu)
Situasi sekarang (persepsi &kognisi)
Motivasi (kebutuhan, hasrat,ambisi, dan harapan yangmenggerakkan, mengarahkandan mempertahankan)
PERILAKU
Gambar 4. Elemen-elemen yang MembentukPerilaku Wirausaha (Bird, 1996)
Faktor individu yang menjalankan usaha adalah karakteristik biologis,
latar belakang wirausaha, dan motivasi. Faktor organizational outcomes, adalah
unit usaha, kekayaan, produk dan sebagainya. Faktor lingkungan mencakup
kekuatan yang lebih besar yaitu : faktor sosial, ekonomi, dan politik yang
mendukung atau menghambat wirausaha. Konteksnya meliputi hak cipta, modal,
keyakinan dan nilai-nilai dalam hal usaha, teknologi, sumber daya lokal,
inkubator, jejaring, teman sesama pengusaha, mitra dan dukungan keluarga.
Faktor perilaku adalah proses yang dijalankan oleh wirausaha dalam kegiatan
usahanya meliputi: pemahaman usaha (conceiving), kreasi (creating), pengelolaan
(organizing), dan promosi (promoting).
Berdasarkan uraian di atas, maka setidak-tidaknya faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku wirausaha dapat digolongkan menjadi dua yaitu: faktor
internal yang merupakan faktor yang ada dalam diri pribadi dan faktor eksternal
yang terdiri dari lingkungan dan faktor pendukung kegiatan usaha.
Perubahan Perilaku melalui Proses Belajar
Belajar merupakan salah satu proses fundamental yang mendasari
perilaku. Gibson, Ivancevich dan Doonely (1995) mendefinisikan belajar sebagai
proses terjadinya perubahan yang relatif tetap dalam perilaku sebagai akibat dari
Individual(s)(Characteristics &
motivations
Process(behaviors & relationships)
Organizations (Outcomes)Environment (context)
praktek. Menurut Robbins (1996), terdapat tiga hal yang perlu mendapat
penjelasan mengenai perubahan perilaku dan belajar yaitu: (1) belajar melibatkan
perubahan, (2) perubahan itu harus relatif permanen, dan (3) belajar berlangsung
dimana ada suatu perubahan tindakan. Suatu perubahan proses berpikir atau sikap
seseorang individu jika tidak diiringi dengan perubahan perilaku, itu bukan
merupakan pembelajaran.
Beberapa ilmuwan yang berperan dalam perkembangan Aliran Behavioris-
tik mengembangkan beberapa teori belajar, diantaranya adalah: Ivan Pavlov
dengan teori Classical Conditioning, John Watson dengan teori Stimulus-Respon,
Skinner dengan Teori Operant Conditioning, Albert Bandura dengan teori Social
Learning, Carl rogers dengan Teori Belajar Bebas, dan lain-lain.
Menurut Gibson, Ivancevich dan Doonely (1995), terdapat tiga teori yang
mendasari pola-pola perilaku, yaitu: (1) Teori Classical Conditioning, (2) Teori
Operant Conditioning dan (3) Teori Observational Learning. Robbins (1996)
menambahkan satu teori belajar dari Albert Bandura, yaitu: Teori Social
Learning. Berdasarkan teori-teori tersebut, dapat dirumsukan empat metode
pembentukan perilaku yaitu: lewat penguatan positif, penguatan negatif, hukuman
dan pemunahan.
Aliran behavioristik merujuk pada sebuah set teori tentang proses
perkembangan pada diri manusia. Atribut teori-teori ini adalah bahwa individu
berkembang karena lebih dipengaruhi oleh faktor lingkungan daripada faktor
biologi. Asumsi-asumsi dasar paham perilaku ini adalah;
(1) Perkembangan adalah suatu fungsi pembelajaran.
Robert Gagne (Salkind, 1989) mendefinisikan perkembangan sebagai
kumpulan efek pembelajaran. Pembelajaran merupakan perubahan perilaku
jangka pendek dan jika perubahan ini digabung dan diorganisir secara hirarkis
akan menghasilkan perkembangan. Jadi perkembangan adalah hasil akumulasi
pengalaman yang terkait satu sama lain. Perkembangan berasal dari
pembelajaran dan pembelajaran bukan hasil perkembangan.
Bijou (Salkind, 1989) juga berpendapat sama tentang perkembangan. Dia
mendefinisikan pembelajaran sebagai hubungan antara penguatan dan
pelemahan fungsi stimulus dan respon. Dalam paradigma ini reinforcement
dan punishment dikontrol oleh perilaku.
(2) Perkembangan adalah hasil dari tipe-tipe belajar yang berbeda.
Mempelajari tipe-tipe belajar yang mengatur perkembangan adalah penting.
Tipe-tipe pembelajaran ini diasosiasikan dengan terori-teori lain.
(3) Perbedaan-perbedaan individu dalam perkembangan menggambarkan
perbedaan-perbedaan dalam sejarah dan pengalaman sebelumnya.
Perbedaan dalam perkembangan individu dihasilkan dari pengalaman masa
lalu yang berbeda-beda. Pengalaman dan sejarah masa lalu menjadi dasar
perkembangan. Cara pengalaman-pengalaman tersebut disimpan, diambil dan
kemudian ditransfer ke dalam situasi baru merupakan elemen penting dalam
perspektif perilaku.
(4) Perkembangan adalah hasil dari pengorganisasian perilaku-perilaku.
Perkembangan adalah proses pengorganisasian perilaku-perilaku sederhana
yang terpisah-pisah (yang dihasilkan dari pengalaman sebelumnya) menjadi
perilaku yang lebih kompleks.
(5) Faktor-faktor biologis membentuk batasan-batasan umum pada jenis perilaku
yang dikembangkan, tetapi lingkungan menentukan perilaku-perilaku dimana
organisme berada.
Meskipun proses biologis menghasilkan framework perilaku, faktor lingkung-
an akan menentukan jenis-jenis perilaku yang dihasilkan.
Lingkungan menentukan perilaku-perilaku yang diperoleh. Kesehatan
kandungan, kematian ibu, merokok, minum alkohol, dapat mempengaruhi
perkembangan, input lingkungan mempengaruhi perkembangan.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa perubahan perilaku
pada individu tidak terlepas dari proses pembelajaran yang terjadi. Dengan
dukungan dari lingkungan pembelajaran yang terjadi secara formal maupun in-
formal maka akan terjadi perubahan perilaku.
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN
Kerangka Berpikir
Alur berpikir dan proses penelitian disajikan dalam Gambar 5. dimulai
dari: (1) alasan penelitian ini dilakukan, (2) menguraikan jawaban secara deduktif
beberapa teori dasar dan hasil penelitian sebelumnya, dan (3) mengkristalisasikan
teori dan hasil penelitian menjadi konsep yang dijadikan landasan untuk
merumuskan model pemberdayaan yang menjadi tujuan utama penelitian ini.
Gambar 5Kerangka Berpikir Pemberdayaan PengrajinGambar 5. Kerangka Berpikir Pemberdayaan Pengrajin
KeberlanjutanUsaha
KarakteristikIndividu Pengrajin
Faktor pendukungusaha
Lingkungan
Model Pemberdayaan Pengrajin
KebijakanPemerintah
ParadigmaPemberdayaan
PersainganGlobal
Kemajuan Usaha
Keberdayaan Pengrajin
Kemandirian Usaha
Perilaku Wirausaha
Berdasarkan kerangka berpikir di atas dan untuk menjawab tujuan
penelitian maka hubungan antar peubah secara keseluruhan digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 6 Hubungan Antar Peubah Penelitian
Gambar 6. Hubungan Antar Peubah Penelitian
Tingkat KemandirianUsaha Y2
▪Permodalan (Y2.1)▪Proses Produksi
(Y2.2)▪Kerjasama (Y2.3)▪Pemasaran (Y2.4)
Karakteristik Individu Pengrajin(X1)
▪Umur (X1.1)▪Pendidikan (X1.2)▪Tanggungan Keluarga (X1.3)▪Pengalaman berusaha (X1.4)▪Motivasi berusaha (X1.5)▪Pemenuhan Kebutuhan (X1.6)▪Intensitas Komunikasi (X1.7)▪Kesetaraan Gender (X1.8)
Faktor pendukung usaha yangtersedia (X2)
▪Bahan baku (X2.1)▪Pasar (X2.2)▪Teknologi (X2.3)▪Transportasi (X2.4)▪Alat Komunikasi (X2.5) Tingkat Kemajuan
Usaha Y3▪Pertumbuhan
Usaha (Y3.1)▪Efisiensi usaha
(Y3.2)▪Efektifitas usaha
(Y3.3)
Dukungan Lingkungan Usaha(X3)
▪Keluarga (X3.1)▪Pemimpin Informal (X3.2)▪Pemerintah Daerah (X3.3)▪Organisasi Non Pemerintah
(X3.4)▪Norma / adat (X3.5)
Keberlanjutan UsahaY4
Kontinyuitasproduksi (Y4.1)
Kontinyuitaspenjualan (Y4.2)
Kontinyuitas Input(Y4.1)
Perilaku WirausahaY1
▪Keinovatifan(Y1.1)
▪Inisiatif (Y1.2)▪Pengelolaan resiko
(Y1.3)▪Daya saing (Y1.4)
Keberdayaan Pengrajin
Perkembangan Paradigma Pemberdayaan
Konsep pemberdayaan terus berkembang dan terus mendapat revisi baik
dari kalangan birokrat maupun kalangan ilmuwan. Perubahan struktur masyarakat,
kebutuhan masyarakat dan berkembangnya pemikiran kritis masyarakat menuntut
perubahan makna, visi, misi dan strategi pembangunan. Konsep pemberdayaan
muncul pada 1970-an, pada masa itu masyarakat mulai berkembang pemikirannya
dan bereaksi untuk mengembangkan kapasitasnya. Mereka melakukan gerakan
populis, antistruktur, antisistem dan antideterminisme yang diaplikasikan dalam
kekuasaan.
Berkaitan dengan konsep pemberdayaan tersebut, Dharmawan (2000)
merangkum beberapa pemahaman tentang pemberdayaan yaitu: (1) pemberdayaan
sebagai proses, mekanisme antara masyarakat, organisasi dan komunitas dalam
menghadapi hidupnya, (2) pemberdayaan digunakan untuk menggambarkan cara
memperoleh kekuatan sehingga dapat keluar dari kemiskinan, ini berarti dalam
pemberdayaan harus ada pengetahuan, pendidikan, organisasi, hak dan suara yang
posisinya sama dengan sumberdaya material dan keuangan, (3) dari sudut
pandang politis, pemberdayaan dipahami sebagai adanya suatu kondisi dimana
masyarakat tidak memiliki kekuatan sehingga menjadikan mereka mampu
menyuarakan keinginannya kepada pemerintah, dan (4) pemberdayaan dipahami
sebagai proses transformasi atas ketidakseimbangan hubungan kekuatan,
ketidakselarasan struktur masyarakat dan kebijakan pembangunan sehingga terjadi
perubahan dan perluasan peluang individu.
Rothman (1974) menyajikan tiga pendekatan pemberdayaan melalui
intervensi komunitas yaitu locality development, social planning dan social
action. Pendekatan ini merupakan upaya peningkatan kapasitas masyarakat
sehingga mampu menolong diri sendiri, melakukan perubahan kekuatan hubungan
dan sumber daya dan menyelesaikan substansi masalah yang dihadapi masyarakat.
Oxaal dan Baden (1997) menjelaskan bahwa pemberdayaan bukan sekedar
membuka akses untuk mengambil keputusan tetapi harus memproses masyarakat
agar mereka untuk merasa mampu dan berhak menduduki ruang pengambilan
keputusan.
Upaya pemberdayaan ditujukan untuk menjadikan suasana kemanusiaan
yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara struktural, baik dalam
kelompok masyarakat, negara, regional maupun internasional. Proses
pemberdayaan mengandung dua kecenderungan yaitu: (1) proses pemberdayaan
yang menekankan kepada proses memberikan atau mengalihkan sebagian
kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi
lebih berdaya, dan (2) proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu
agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan, menentukan hal-hal yang
menjadi pilihan hidupnya melalui proses belajar.
Hubeis (2000) menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat (Community
Empowerement) adalah perwujudan capacity building masyarakat yang bernuansa
pada pemberdayaan sumberdaya manusia melalui pengembangan kelembagaan
pembangunan mulai dari tingkat pusat sampai tingkat pedesaan seiring dengan
pembangunan sistem sosial ekonomi rakyat, prasarana dan sarana, serta
pengembangan Tiga-P; Pendampingan yang dapat menggerakkan partisipasi total
masyarakat, Penyuluhan dapat merespon dan memantau ubahan-ubahan yang
terjadi di masyarakat dan Pelayanan yang berfungsi sebagai unsur pengendali
ketepatan distribusi aset sumberdaya fisik dan non fisik yang diperlukan
masyarakat.
Berpijak pada perkembangan paradigma pemberdayaan diatas, tampak
bahwa kebutuhan peningkatan kapasitas manusia sangat mendesak untuk
dilakukan guna mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemberdayaan
untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia menjadi semakin penting,
apalagi didukung dengan pemberdayaan yang berorientasi pada pertumbuhan
sudah tidak relevan lagi untuk mengatasi permasalahan kemiskinan. Mengkritisi
pendekatan pemberdayaan yang berbasis pada pertumbuhan, bahwasanya dalam
model pembangunan pertumbuhan telah terjadi bias pengukuran kekayaan
(affluent-bias measures) dan berkembangnya budaya korupsi, sehingga visi
pemberdayaan harus disusun dengan semangat untuk membangkitkan kemampuan
mengekspresikan diri (self-expression) dan menentukan nasib sendiri (self
determination) (Dharmawan, (2000); Adi (2003), Nadvi dan Barientoss 2004; dan
Baden 1997)).
Berdasarkan perkembangan paradigma pemberdayaan di atas, maka dalam
konteks pengrajin makna pemberdayaan diartikan sebagai proses pembelajaran
yang berkesinambungan yang ditujukan untuk memberikan kekuatan kepada
masyarakat agar: (1) memiliki kesadaran, rasa percaya diri dan ketegasan dalam
seluruh segi kehidupannya, (2) mampu mengambil keputusan, memecahkan
masalah, dan berkreasi dalam usaha kerajinannya; (3) mampu bekerjasama dan
membina hubungan dalam lingkungan usaha dan lingkungan sosialnya; dan (4)
mampu mengakses sumberdaya, informasi, peluang, pengetahuan dan ketrampilan
untuk kelangsungan usaha dan kehidupan keluarganya di masa yang akan datang
lebih baik. Melalui proses pemberdayaan masyarakat diharapkan akan dapat
berkembang lebih jauh dengan berkembangnya pola pikir yang kritis dan
sistematis sehingga masyarakat pengrajin lebih mampu melakukan kegiatan
secara berdaya dan partisipatif.
Model Pemberdayaan bagi Komunitas Pengrajin
Mengacu pada pengertian pemberdayaan yang telah diuraikan sebelumnya
dan melihat keterbatasan yang dihadapi pengrajin, kualitas perilaku wirausaha dan
kemandirian pengrajin, maka penelitian ini mencoba memformulasikan model
pemberdayaan dengan melakukan peningkatan kualitas SDM pengrajin melalui
proses pembelajaran yang berkesinambungan agar tercapai perilaku wirausaha
berkualitas, tingkat kemandirian dan keberlanjutan usaha yang tinggi, dan
memajukan usaha pengrajin.
Salah satu model pemberdayaan yang memiliki relevansi dengan upaya
pemberdayaan pengrajin adalah yang disintesakan secara deduktif dari tiga model
intervensi komunitas dari Rothman (1974) seperti tercantum pada Tabel 1.
Tabel 1. Sintesa Model Intervensi dalam Pemberdayaan untuk Komunitas Pengrajin
Variabel Model A, (LocalityDevelopment)
Model B (SocialPlanning)
Model C (SocialAction)
Sintesa (Model UntukKomunitas Pengrajin)
Kategori tujuan Peningkatan kapasitas integrasi :menolong diri sendiri
Penyelesaian :Substansi masalahdari komunitas
Perubahankekuatanhubungan dansumberdaya
Peningkatan Kapasitasmenuju kemandirian
Asumsi kondisiproblemkomunitassecarastruktural
Kemundurankomunitas anomi,hubungan yang takharmonis, ke-mampuanmenyelesai-kanmasalah komunitastradisional yangstatis
Substansi masalahsosial padakejaahatan,kesehatan mentaldan fisik, peruma-han, rekreasi dll.
Ketidakadilansosial, deprivasi,unequality
Kemampuanmenyelesaikan masalahkomunitas tradisionalyang statis.
Strategi dasarperubahan
Melibatkankomunitas dalammenentukan danmemecahkan
Memburu datatentang masalahdan membuatkeputusan dalamyang logis
Kristalisasi isudan mobilisasimassa
Melibatkan komunitasdalam menentukan danmemecahkan masalahserta mengambilkeputusan logis
Karakteristikperubahan:taktik dantehnis
Konsensus,komunikasi antarkelompok yg.memperhatikan ke-pentingan melaluidiskusi/musyawarah
Konsensus ataukonflik
Konfrontasikonflik, aksilangsung ataunegosiasi
Konsensus, komunikasiantar kelompok yg.memperhatikankepentingan melaluidiskusi/musyawarah
Peran Praktisi Sebagai katalisator :mengkoordinasi ahlipemecah masalahyang bersumber daridari nilai-nilaiidealistik
Pencari fakta,penganalisis,pengimplentasiprogram sertapelancar/penghubung
Advokasi aktivis,agitator,negosiator,partisipan
Sebagai katalisator,mengkoordinasi ahlipemecah masalah danmenjadi penghubungkomunitas dengan pasaratau mitra.
Mediaperubahan
Petunjuk kecil,orientasi tugaskelompok
Petunjuk formalorganisasi dandata
Petunjukorganisasi massadan proses politik
Petunjuk kecil, orientasitugas kelompok
Orientasi thdkekuasaanstruktur
Kekuasaan strukturberada padakolaborasikeanggotaan
Kekuasaanstruktur beradapada penguasadan sponsor
Kekuasaanstruktur bersifateksternal-penindas
Kekuasaan strukturberada pada kolaborasikeanggotaan
Batasan atastarget yangdiuntungkan
Total komunitassecara geografi
Total atausebagiankomunitas
Sebagiankomunitas
Sebagian komunitas yangmemiliki kesamaan usaha
AsumsiKepentingan
Kepentinganbersama atauperdamaian denganperbedaan
Penyatuan kepen-tingan ataukonflik
Pertentangan ke-pentingan yangtidak mudahdidamaikan,sumberdayaterbatas
Kepentingan bersamaatau perdamaian denganperbedaan
Yangdiuntungkan
Warga komunitas Pengguna Korban Warga komunitas
Peran targetyangdiuntungkan
Partisipan yg dapatberinteraksi dgnproses penyelasaianmasalah
Konsumen ataupenerima
Pekerja, pemilih,anggota
Partisipan yg dapatberinteraksi denganproses penyelasaianmasalah
Penggunaanwewenang
Membangunkapasitas komunitasuntuk mendukungkerjasama danpengambilankeputusan
Mendapatkan polakebutuhan danpelayanan sertainformasi pilihanbagi pengguna
Pencapaian sistemkekuasaan yangobjektif terhadapyang memegangperanan
Membangun kapasitaskomunitas untukmendukung kerjasama,penyediaan informasi danpengambilan keputusan
Jadi hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah sintesa model
pemberdayaan yang akan memandirikan pengrajin dalam berusaha, meningkatkan
kualitas perilaku wirausaha dan memajukan usahanya. Pemberdayaan pengrajin
merupakan bagian dari kegiatan penyuluhan pembangunan. Pokok-pokok pikiran
mengenai penyuluhan pembangunan yang menunjang pembangunan industri kecil
di masa depan tidak terlepas dari paradigma baru penyuluhan pembangunan.
Menurut Slamet (2003), penyuluhan adalah jasa pendidikan yang berorientasi
pada kepuasan pelanggan. Oleh karena itu, dapat dirumuskan pokok-pokok
pikiran seperti yang tercantum pada Tabel 2.
Tabel 2. Pokok-pokok Pikiran Strategi Penyuluhan Pembangunan PenunjangPembangunan Industri Kerajinan dan Rumah Tangga
Pokok Pikiran Penyuluhan yang Kurang Memberdayakan(Memperdayai)
Penyuluhan yang Memberdayakan
a. Ruang lingkup Penyuluhan industri kecil merupakanpenyampaian informasi kepada pengrajin agarterjadi peningkatan produksi.
Penyuluhan industri kecil merupakan prosesperubahan perilaku individu pengrajin dankeluarganya.
b. Tujuan. ▪Meningkatkan kuantitas produksi▪Transfer teknologi▪Penguasaan pengetahuan
▪Perubahan Perilaku▪Memecahkan masalah pengrajin▪Peningkatan kualitas usaha▪Meningkatkan kesejahteraan masa depan.
c. Pendekatan. ▪Top Down Planning perencanaan ditetapkandari atas / policy maker, dengan berdasarkanpada kebutuhan dan keinginan policy maker.
▪Non Partisipatif, tidak melibatkan pengrajindalam kegiatan perencanaan implementasidan evaluasi.
▪Bersifat monologis, abstrak dan verbal
▪Bottom up planning, melakukanperencanaan dari bawah / denganberdasarkan pada kebutuhan pengrajin.
▪Partisipatif, melibatkan pengrajin dalamseluruh kegiatan. Mulai dari merencanakan,implementasikan dan mengevaluasi.
▪Bersifat dialogis, nyata dan terapan.d.Peran penyuluh ▪Source of knowledge, penyuluh sebagai
sumber pengetahuan.▪Director, mengarahkan pengrajin untuk
melakukan suatu kegiatan berdasarkanpetunjuknya.
▪Agen Pemerintah, menjalankan tugas sesuaidengan program yang dibuat seragam dalamskala nasional.
▪Evaluator, semata-mata sebagai tim penilaikeberhasilan program.
▪Problem Solver, berperan sebagai pemecahmasalah pengrajin.
▪Educator, penyuluh sebagai pendidik yangmenerapkan prinsip-prinsip pendidikanorang dewasa.
▪Fasilitator, mendampingi pengrajin dalamkegiatan usahanya, membangun network(jejaring) dengan pasar, penyedia input ataudengan pemerintah.
▪Motivator, memotivasi pengrajin untukmenumbuhkan kesadaran kritisnya hinggamampu menolong dirinya sendiri.
▪Advocator, berperan sebagai konsultanuntuk menangani masalah pengrajin.
e. PeranPengrajin
▪Obyek penyuluhan▪Penerima informasi▪Penerap teknologi
▪Subyek penyuluhan▪Pengolah informasi▪Penghasil teknologi
f. TeknikPenyuluhan
▪Ceramah▪Presentasi tulisan atau gambar.▪Tanya jawab.
▪Diskusi kelompok▪Simulasi▪Demonstrasi▪Praktek kerja▪Kunjungan lapangan
f. Outcome ▪Produktifitas, menghasilkan pengrajin yangdapat memenuhi jumlah produksi tertentu,menghasilkan produk tertentu.
▪Ketergantungan, setelah tidak adapenyuluhan kegiatan usaha berhenti.
▪Peningkatan kualitas perilaku.▪Kemandirian, menghasilkan pengrajin
industri kecil yang mandiri.▪Kemajuan usaha.▪Sustainability, perubahan berkelanjutan.
Agar dapat memenuhi pokok-pokok pikiran tentang strategi penyuluhan
pembangunan industri kecil di atas, maka hendaknya didasarkan pada :
Prinsip-prinsip pendidikan orang dewasa, bahwasanya penyuluhan adalah
proses pendidikan orang dewasa maka harus memperhatikan karakteristik
orang dewasa yang kembali belajar. Cara mengorganisasikan pengalaman
belajar akan digunakan teori-teori belajar orang dewasa, misalnya: Teori
Belajar Bebas dari Carl Roger, Teori Belajar Sosial dari Albert Bandura, dan
sebagainya. Hal tersebut akan disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan
orang dewasa.
Intervensi Komunitas Terencana, bahwasanya pemberdayaan pengrajin adalah
salah satu bentuk pengembangan sekelompok masyarakat, sehingga proses
perubahan yang dibutuhkan untuk menuju keberdayaan pengrajin diperlukan
pendekatan intervensi komunitas. Pendekatan yang dimaksud adalah mengacu
pada pendapat Rothman (1974), pendekatan yang sesuai untuk pengrajin
adalah pada area entreprise yang merupakan gabungan (intermixed) antara
pendekatan Social Planning dan Locality Development dengan posisi model
intervensi seperti yang tercantum dalam Gambar 7. Pertimbangan digunakan
model Development Planning (Gabungan Locality Development dan Social
Planning) adalah: (1) pengembangan pada industri kecil masih membutuhkan
kontribusi dari luar, misalnya pemerintah, dan (2) pengrajin merupakan
sekelompok kecil masyarakat yang bersifat spesifik lokal.
Gambar 7 Paradigma Intervensi Masyarakat dan GabunganBeberapa Pola Intervensi (Rothman, 1974)
Gambar 7. Paradigma Intervensi Masyarakat dan GabunganBeberapa Pola Intervensi (Rothman, 1974)
Intermixed
Social Action
Developmentplanning
LocalityDevelopment
Social Planning
ActionDevelopment
Action Planning
Enterprise
Posisi modelintervensi
Partisipatif: proses penyuluhan dilakukan secara partisipatif yang memerlukan
keterlibatan klien secara interaktif dan maksimal dalam kegiatan perencana-
an, pelaksanaan, pemanfaatan dan penilaian dengan tetap memperhatikan
prinsip lokalitas dan kemampuan klien.
Berorientasi pada kebutuhan pengrajin: kebutuhan pengrajin merupakan fokus
kegiatan penyuluhan (bukan kebutuhan program atau penyuluh), sehingga
kelemahan-kelemahan program pemberdayaan masa lalu yang berorientasi
pada kebutuhan nasional bisa dikaji kembali untuk diarahkan pada kebutuhan
pengrajin.
Pendekatan kelompok: penyuluhan dilakukan dengan pendekatan kelompok
bukan hanya karena prinsip efisiensi, tetapi agar terjadi interaksi antar
pengrajin yang sekaligus menjadi forum belajar dan forum pengambilan
keputusan diantara mereka. Selain itu, proses difusi inovasi juga lebih mudah
terjadi dengan pendekatan kelompok.
Konsep Perilaku Wirausaha
Pengertian Wirausaha
Menurut Meredith et al. (1996), para wirausaha adalah orang-orang yang
mempunyai kemampuan melihat dan menilai kesempatan yang ada; mengumpul-
kan sumberdaya-sumberdaya yang dibutuhkan guna mengambil keuntungan dan
mengambil tindakan yang tepat guna memastikan sukses. Wirausaha akan ber-
orientasi kepada tindakan, dan bermotivasi tinggi yang mengambil risiko dalam
mengejar tujuannya.
Sejalan dengan pendapat di atas, Winardi (2003) mendefinisikan
kewirausahaan sebagai semangat, perilaku, dan kemampuan untuk memberikan
tanggapan yang positif terhadap peluang memperoleh keuntungan untuk diri
sendiri dan atau pelayanan yang lebih baik pada pelanggan/masyarakat. Caranya
dengan selalu berusaha mencari dan melayani langganan lebih banyak dan lebih
baik, serta menciptakan dan menyediakan produk yang lebih bermanfaat dan
menerapkan cara kerja yang lebih efisien, melalui keberanian mengambil resiko,
kreativitas dan inovasi serta kemampuan manajemen.
Definisi di atas mengandung asumsi bahwa setiap orang yang mempunyai
kemampuan normal, bisa menjadi wirausaha asal mau dan mempunyai kesempat-
an untuk belajar dan berusaha.
Menurut Sukardi (1991), terdapat sembilan ciri psikologis wirausaha yang
berhasil: (1) selalu tanggap terhadap peluang dan kesempatan berusaha yang ber-
kaitan dengan peluang kinerjanya; (2) selalu berusaha memperbaiki prestasi,
menggunakan umpan balik, menyenangi tantangan dan berupaya agar kinerjanya
lebih baik dari sebelumnya; (3) selalu bergaul dengan siapa saja, membina
kenalan, mencari kenalan baru dan berusaha menyesuaikan diri dalam berbagai
situasi; (4) dalam berusaha selalu terlibat dalam situasi kerja, tidak mudah me-
nyerah sebelum pekerjaan selesai; (5) optimis bahwa usahanya akan berhasil, per-
caya diri dan bergairah, tidak ragu-ragu; (6) tidak khawatir meng-hadapi situasi
yang tidak pasti, berarti mengambil antisipasi terhadap kemungkinan-kemung-
kinan kegagalan, segala tindakan diperhatikan secara cermat; (7) benar-benar
memperhitungkan apa yang harus dilakukan dan bertanggung jawab pada dirinya
sendiri; (8) selalu bekerja keras mencari cara-cara baru yang dapat dimanfaatkan
untuk meningkatkan kinerjanya; dan (9) hal yang dilakukannya merupakan
tanggung jawabnya, kegagalan dan keberhasilan dikaitkan dengan tindakan
pribadinya.
Profil wirausaha, menurut Meredith et al. (1996) adalah memiliki ciri: (1)
percaya diri, (2) berorientasikan tugas dan hasil, (3) pengambil risiko, (4)
kepemimpinan, (5) keorisinilan, dan (6) berorientasi masa depan.
Memperhatikan uraian tersebut di atas, wirausaha bukanlah sekedar
pengetahuan praktis, tetapi lebih cenderung pada suatu gaya hidup dan prinsip-
prinsip tertentu yang akan mempengaruhi kinerja usaha. Apabila hal tersebut
dimiliki oleh pengrajin dengan kualitas yang tinggi, maka kesejahteraan
pengusaha dan tenaga kerja serta keluarga yang menggantungkan hidup pada
usaha tersebut akan dapat ditingkatkan.
Pengertian Perilaku Wirausaha
Menurut Bird (1996), perilaku wirausaha adalah aktivitas wirausahawan
yang: mencermati peluang (opportunistis), mempertimbangkan dorongan nilai-
nilai dalam lingkungan usahanya (value-driven), siap menerima resiko dan kreatif.
Gagasan-gagasannya disesuaikan dengan format dimulainya bisnis, pertumbuhan
usaha atau transformasi bisnis.
Haber dan Reichel (2006) menemukan empat faktor yang menentukan
proses kewirausahaan dalam menciptakan usaha baru: (1) keterlibatan individual
dalam perencanaan usaha, (2) aktivitas yang dilakukan selama proses usaha, (3)
struktur dan strategi organisasi, dan (4) konteks lingkungan usaha.
Perry, Batstone dan Pulsarum (2003) menyatakan bahwa perilaku
wirausaha merupakan aktivitas wirausahawan dalam mengelola usahanya dengan
inovasi radikal, strategi proaktif dan pengambilan resiko yang dimanifestasikan
dalam dukungan proyek dan dengan hasil yang tidak pasti.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka pengertian perilaku
wirausaha dalam konteks pengembangan pengrajin adalah perilaku yang dimiliki
pengrajin dalam menjalankan aktivitas usahanya yang terdiri dari kecermatan
terhadap peluang usaha, keberanian dalam menghadapi resiko, keinovatifan dalam
menghasilkan produk dan daya saing usahanya.
Pengrajin yang memiliki perilaku wirausaha adalah mereka yang secara
gigih berupaya melakukan kombinasi dari sumberdaya ekonomi yang tersedia,
mereka mampu menciptakan produk dan teknik usaha baru (inovatif), mampu
mencari peluang baru (opportunistis), bekerja dengan metode kerja yang lebih
efektif dan efisien, cepat mengambil keputusan dan berani mengambil resiko.
Berdasarkan hasil penelitian Perry, Batstone dan Pulsarum (2003),
pendekatan kewirausahaan akan membimbing dan mengarahkan usaha kecil
meraih hasil yang lebih baik. Ditemukan bahwa keberhasilan usaha kecil
menengah eceran di Thailand meningkat karena dipengaruhi faktor: orientasi
kewirausahaan, pengalaman bisnis wirausahanya, strategi peningkatan penjualan,
dan pembangunan intangible asset.
Kajian yang dilakukan berbagai pihak membuktikan ternyata tidak
terdapat korelasi yang positif antara tingkat pendidikan dan kapasitas berusaha.
Sebaliknya, justru waktu berwirausaha (entrepreneurial age) merupakan variabel
yang dominan. Sehubungan dengan hal ini, kenyataan memang menunjukkan
hanya wirausaha kecil yang memiliki pengalaman panjang dalam jenis usaha
tertentu yang dapat berhasil sedangkan orang-orang yang baru masuk kedalam
usaha atau selalu berganti-ganti usaha lebih sulit berkembang (Ismawan, 2002)
Berpijak pada kajian tentang perilaku wirausaha di atas, dan mengacu pada
definisi perilaku wirausaha dari Bird (1996), Meredith et al. (1996) dan Sukardi
(1991) maka dapat dinyatakan bahwa perilaku wirausaha merupakan aspek-aspek
yang terinternalisasi dalam diri pengrajin yang ditunjukkan oleh pengetahuan,
sikap dan ketrampilannya untuk melakukan usaha dengan inovatif, inisiatif, berani
mengambil resiko dan berdaya saing. Perbandingan kualitas perilaku wirausaha
dapat diliohat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kualitas Perilaku Wirausaha
Aspek PerilakuWirausaha
Perilaku Wirausaha BerkualitasRendah
Perilaku Wirausaha BerkualitasTinggi
Keinovatifan (1) Menunggu datangnyainformasi dari pengrajinlainnya.
(1) Ulet mencari informasi baru
(2) Menerapkan cara-caraberusaha yang telah ada.
(2) Melakukan modifikasi untukmeningkatkan kinerja usaha.
(3) Mencoba menerapkan inovasisetelah orang lainmenerapkannya.
(3) Mampu menghasilkan inovasipenunjang perkembangan usaha.
Inisiatif (1) Menghasilkan produk sejenisdengan pengrajin lain.
(1) Mengupayakan untuk memulaimemproduksi jenis produk baru
(2) Melayani pasar yang sudahada.
(2) Mengupayakan untuk melayanipangsa pasar baru
(3) Mengabaikan peluang usahabaru karena takut mengalamikerugian.
(3) Sesegera mungkin memanfaatkanpeluang usaha.
PengelolaanResiko
(1) Memulai suatu usaha tanpamempertimbangkankemungkinan terjadinyaresiko.
(2) Memprediksi terjadinya resiko padasetiap akan dimulainya usaha.
(3) Takut menghadapi resikokegagalan.
(2) Selalu percaya diri dalammenghadapi resiko.
(3) Berputus asa pada saatmenghadapi resiko
(4) Mengupayakan meningkatkankemungkinan sukses danmengurangi kemungkinan gagal.
Daya saing (1) Menghasilkan produk sesuaidengan standar kemampuandirinya.
(1) Mengupayakan pembuatan produkyang bermutu sesuai selerakonsumen dan permintaan pasar.
(2) Mengupayakan terjualnyaproduk seperti yang dicapaipada hari-hari sebelumnyatanpa persaingan.
(2) Berusaha meraih penjualantertinggi dibanding pengrajinlainnya.
(3) Berusaha tanpa strategi untukmenghadapi perubahanlingkungan.
(3) Mengamati setiap perubahanlingkungan persaingan danmenyiapkan strategi bersaing yangtepat.
Konsep Kemandirian Usaha
Kant (1962) menyatakan bahwa kemandirian seseorang itu terkait dengan
kebebasan dan tanggung jawab. Kemandirian tersebut memiliki nilai-nilai moral
yang harus ditaati. Seseorang yang merasa dirinya mandiri, dia akan bertanggung
jawab terhadap keputusannya dan akan menerima segala konsekuensinya. Orang
yang mandiri sadar bahwa tindakannya harus dapat menggambarkan hak dan
kewajibannya terhadap orang lain dalam sosial. Adapun ciri-ciri individu yang
mandiri antara lain: mempunyai keyakinan diri, kepercayaan moral, visi yang
jelas dan fokus, serta bertanggungjawab terhadap tindakannya.
Menurut Hubeis (2000), kemandirian merupakan perwujudan kemampuan
seseorang untuk memanfaatkan potensi dirinya dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, yang dicirikan oleh
kemampuan kebebasan menentukan pilihan yang terbaik.
Covey (1999) menjelaskan bahwa kematangan individu dalam satu
kontinuum kematangan dimulai dari: ketergantungan (dependence) menuju
kemandirian (independence) hingga kesalingtergantungan (interdependence).
Individu yang tergantung membutuhkan orang lain untuk mendapatkan sesuatu
yang dikehendaki, individu yang mandiri dapat memperoleh apa yang mereka
kehendaki melalui usaha sendiri dan individu yang saling tergantung
menggabungkan upayanya sendiri dan upaya orang lain untuk mencapai
keberhasilan terbesar bersama.
Kemandirian, menurut Hatta (Swasono, 2003), bukan berarti pengucilan
diri, kemandirian berada dalam ujud dinamiknya yaitu interdependensi. Namun
dalam kaitannya dengan kemandirian global dan ekonomi terbuka tetap teguh
mempertahankan prinsip independensi, yaitu bahwa dengan memberikan
kesempatan pada bangsa asing menanam modalnya di Indonesia, namun kita
sendirilah yang harus tetap menentukan syarat-syaratnya. Paham kemandirian
dianggap sebagai lawan dari ketergantungan dan menerima paham inter-
dependensi. Kemandirian memang bukan eksklusivisme, isolasionisme atau
parochialisme sempit namun yang penting adalah terjadi kerjasama antar ummat
manusia.
Sumardjo (1999) mengemukakan bahwa kemandirian adalah kesaling
tergantungan (interdependence), sehingga kemandirian petani akan mantap
apabila potensi petani diwarnai dengan aspek perilaku petani yang berciri
modern, efisien, dalam bisnis pertanian yang berdaya saing yang menghasilkan
kesaling tergantungan yang berkesinambungan.
Di dalam bidang usaha, kemandirian seseorang dapat dikaitkan dengan
aspek permodalan. Modal seringkali menjadikan seseorang tergantung dengan
pihak lain sehingga beberapa aktivitasnya menjadi tersubordinasi dan
dikendalikan (diatur) oleh pihak pemberi modal. Berdasarkan hal tersebut di atas
dan dikaitkan dengan konteks industri kecil, maka pengertian kemandirian
pengrajin meliputi unsur kemampuan yang dimiliki dalam dirinya bergabung
dengan kemampuan individu lain yang membentuk kerjasama guna mewujudkan
kemajuan usahanya. Jadi kemandirian adalah kesaling tergantungan, (Covey,
1999; Sumardjo, (1999); dan Hatta (Swasono, 2003)) bukan individualisme,
eksklusivisme, isolasionisme atau parochialisme dimana dengan kemampuan yang
tidak tersubordinasi oleh pihak lain menjalin kerjasama yang harmonis dengan
individu, kelompok atau organisasi untuk mencapai keberhasilan dan kemajuan
bersama.
Pengrajin yang kurang berminat untuk menjadi mandiri (autonom) dalam
berusaha akhirnya akan kurang dapat merealisasikan pertumbuhan usaha. Hal ini
disebabkan keterbatasan modal, keengganan untuk menambah hutang,
keengganan menambah pekerjaan atau menambah resiko, sehingga orientasi
kemandirian sering dinomorduakan oleh pengusaha kecil, Getz (2005)
Zhao dan Aram (1995) menemukan bahwa aktivitas memperkuat jejaring
(networking) sangat penting untuk memotivasi kemandirian. Jarak dan intensitas
kontak dengan jejaring akan berpengaruh terhadap proses pertumbuhan usaha,
penentu keberhasilan bagi usaha baru, dan keberhasilan meraih sumber daya yang
dibutuhkan. Dalam konteks kemandirian permodalan Zhao dan Aram (1995)
menambahkan pentingnya networking bagi wirausahawan. Hal ini terkait dengan
konteks “asset parsimony” (sikap hemat dalam pengelolaan aktiva/harta).
Networking berperan dalam kegiatan wirausahawan mendistribusikan harta
seminimal mungkin untu mencapai tujuan usaha dan mengatur kebutuhan sumber
daya dengan biaya seminimal mungkin.
Pengrajin yang mempunyai kemandirian dalam berusaha bisa dimengerti
sebagai orang yang mempunyai kepercayaan diri dalam mengambil keputusan
secara bebas dan bijaksana (Karsidi, 1999). Pengrajin yang mandiri akan dapat
terlihat dari potensi yang dimiliki dalam bekerjasama dengan yang lain dalam
rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.
Ismawan (2002) menyatakan bahwa, yang perlu mendapat tekanan dalam
pengembangan industri kecil/UKM adalah agar SDM sektor ini memiliki
kapasitas dan mulai membangun paradigma kerja sama dan kesalingtergantungan
(interdependency).
Berdasarkan kajian tentang pengrajin di atas (Karsidi, 1999 dan Ismawan,
2002) serta pengertian kemandirian dari Hatta (Swasono, 2003), Sumardjo (1999)
dan Covey (1999) maka kemandirian usaha pengrajin dalam penelitian ini
dimaknai sebagai kemampuan pengrajin dalam kegiatan produksi, pemasaran dan
permodalan yang tidak tersubordinasi dengan pihak lain serta kemampuan
kerjasama dengan individu, kelompok atau organisasi untuk mencapai kemajuan
bersama. Perbandingan tingkat kemandirian usaha diuraikan pada Tabel 4.
Konsep Keberdayaan Pengrajin
Arti berdaya menurut Slamet (2003) sama dengan tahu, mengerti, faham,
termotivasi, berkesempatan melihat peluang, dapat memanfaatkan peluang,
berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil
keputusan, berani menghadapi resiko, mampu mencari dan menangkap informasi
dan mampu bertindak sesuai situasi.
Menurut Sumardjo (1999), masyarakat yang berdaya memiliki ciri-ciri: (1)
mampu memahami diri dan potensinya; (2) mampu merencanakan
(mengantisipasi kondisi perubahan ke depan), dan mengarahkan dirinya; (3)
memiliki kekuatan untuk berunding, bekerjasama saling menguntungkan dengan
bargaining power yang memadai; dan (4) bertanggung jawab atas tindakannya
sendiri.
Tabel 4. Paradigma Kemandirian Usaha
KemandirianUsaha
Usaha yang Tergantung (Dependence) Usaha yang Mandiri(Interdependence)
ProsesProduksi
(1) Menghasilkan produk denganmenggunakan pola yang sudahada.
(1) Mampu membuat danmengembangkan desain produksesuai dengan perkembanganpermintaan konsumen.
(2) Lambat dalam berproduksi danbanyak menghasilkan produkcacat.
(2) Terampil, cekatan dan telitidalam berproduksi
(3) Mampu menghasilkan produksebatas dengan standar dirinya.
(3) Mampu menghasilkan produkyang memiliki unifikasi sesuaidengan standar yang diinginkankonsumen.
(4) Menggunakan peralatan yangsudah ada dan memperbaiki jikaada kerusakan.
(4) Melakukan upaya modifikasiperalatan efisien dan sesuaidengan tuntutan produk.
(5) Menerapkan cara-cara produksiyang sudah ada.
(5) Mampu mengembangkan teknikproduksi yang paling efisien dansesuai dengan tuntutan produk.
Pemasaran (1) Menjual yang dapat dihasilkan(orientasi produk).
(1) Menghasilkan produk yangdibutuhkan konsumen (orientasipasar).
(2) Melayani pembeli sebataskemampuan pelayanan.
(2) Melayani pembeli denganpelayanan prima.
(3) Kurang tertarik pada kegiatanpromosi produk.
(3) Mempromosikan produk untukmeraih loyalitas pelanggan.
(4) Mengabaikan kepuasan konsumendan kualitas pelayanan.
(4) Mengutamakan kepuasankonsumen
Permodalan (1) Tergantung pada sumberpermodalan.
(1) Mampu mencari sumberpermodalan alternatif.
(2) Tidak proaktif mencari bantuanmodal.
(2) Mampu meraih modal sesuaikebutuhan usaha.
(3) Mengelola modal denganpertimbangan jangka pendek dantidak ada orientasimengakumulasikan keuntungan kedalam investasi modal.
(3) Mampu mengelola modal danberkeinginan tinggimengakumulasikan keuntunganke dalam investasi modal.
Kerjasama (1) Melakukan kerjasama padalingkup yang terbatas, yangdikenali.
(1) Percaya diri dalam bekerjasamadalam lingkup yang lebih luas.
(2) Bekerja untuk dirinya danusahanya sendiri.
(2) Mampu bekerjasama denganpelanggan, distributor, supplierdan pemodal demi kemajuanbersama.
(3) Menerima tindakan subordinasidan deprivasi asal mendapatkeuntungan.
(3) Mampu bersinergi denganmenghindari subordinasi dandeprivasi dalam kerjasama
(4) Orientasi kerjasama untukkeuntungan jangka pendek.
(4) Orientasi kerjasama untuk jangkapanjang dan kemitraan.
Menurut Ife (1995) masyarakat yang berdaya adalah masyarakat yang
memiliki kekuatan atau kemampuan dalam mengakses sumberdaya dan peluang
serta memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang tinggi. Dharmawan (2000)
menyatakan bahwa masyarakat yang berdaya adalah masyarakat yang memiliki
kemampuan, dapat mengambil keputusan sendiri dan memiliki kemudahan dalam
mengakses sumber daya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat dibuat suatu rangkuman tentang
ciri masyarakat berdaya dan masyarakat yang lemah seperti ditampilkan pada
Tabel 5.
Tabel 5. Karakteristik Masyarakat Berdaya
AspekPerilaku
Masyarakat Lemah Masyarakat Berdaya
Kognitif (1) Mempunyai relatifsedikit ilmupengetahuan
(2) Kurang mampumemahami kebutuhanriil dan potensi diri
(3) Tidak mengetahuiadanya permasalahanyang dihadapi
(1) Mempunyai ilmu pengetahuanyang cukup
(2) Faham atas kebutuhan riilnyadan potensi dirinya
(3) Memiliki pengertian ataspermasalahan yang dihadapi.
Afektif (1) Takut mengalamikegagalan
(2) Meninggalkantanggung jawab
(3) Tergantung pada pihaklain
(4) Menerima hasil yangdiperoleh apa adanya
(1) Berani menghadapi resiko(2) Mempunyai rasa tanggung
jawab atas tindakannya(3) Menolak tindakan subordinasi
atas dirinya(4) Menyukai prestasi
Psikomotorik (1) Ceroboh dan seringsalah dalam bekerja
(2) Memiliki respon yanglemah atas peluangusaha
(3) Bekerjasama tanpamemperhitungkanuntung atau rugi
(4) Bekerja semampunya
(1) Teliti dalam menyelesaikansetiap pekerjaannya
(2) Tanggap dalam memanfaatkanpeluang
(3) Cermat dalam melakukankerjasama yang salingmenguntungkan
(4) Memiliki etos kerja yang tinggi
Berdasarkan terminologi masyarakat berdaya di atas, maka ciri-ciri
perilaku wirausaha dan kemandirian merupakan ciri-ciri yang ada pada
masyarakat yang berdaya. Oleh karena itu, dalam konteks pengrajin dapat
dinyatakan bahwa pengrajin yang berdaya adalah pengrajin yang memiliki ciri-ciri
yang ada pada perilaku wirausaha dan kemandirian. Pengrajin yang berdaya
dengan berperilaku wirausaha dan mandiri dalam berusaha secara gigih berupaya
melakukan kombinasi dari sumberdaya ekonomi yang tersedia, mereka mampu
menciptakan produk dan teknik usaha baru (inovatif), mampu mencari peluang
baru (opportunistis), bekerja dengan metode kerja yang lebih efektif dan efisien,
cepat mengambil keputusan dan berani mengambil resiko.
Konsep Kemajuan Usaha
Dalam konteks industri kecil, kemajuan usaha terkait dengan kemajuan di
bidang keuangan. Perry, Batstone dan Pulsarum (2003) mengindikasikan
kemajuan usaha kecil dari peningkatan penjualan dan peningkatan asset, efisiensi,
diferensiasi mutu dan inovasi produk, dan reduksi biaya. Megginson, Byrd dan
Megginson (2000) mengemukakan bahwa kemajuan usaha dapat dilihat dari dua
sisi yaitu kemajuan di bidang profit, kepuasan konsumen, kepuasan manajer dan
non financial rewards. Menurut (Badri et al., 2000) bagi kebanyakan perusahaan
kemajuan dan pertumbuhan usaha di masa depan tergantung pada ekspansi usaha
pada pasar yang lebih besar yang di luar batas operasi usahanya, terutama pada
pasar global.
Terkait dengan kemajuan usaha, Bird (1996) merumuskan kemajuan usaha
dengan pendekatan model Kinerja Wirausahawan P = A x M, yakni P=Performing
adalah pemilihan karier wirausaha dan profitabilitas, sedangkan A adalah
Abilities (kemampuan) dan M adalah Motivasi. Kemampuan dan motivasi dinilai
melalui ukuran kepribadian dan melalui latar belakang pribadi. Jika keduanya
rendah, maka kinerjanya juga akan rendah.
Menyadari akan pentingnya faktor individual, (Stewart JR et al, 1998)
menilai kemajuan usaha seorang wirausahwan berdasarkan kecemerlangan
aspirasi wirausahawan dalam memandang peluang di masa depan yang penuh
resiko, sehingga hal ini dapat meningkatkan keberhasilan usaha. Hal ini
menunjukkan bahwa kinerja sangat ditentukan oleh faktor individu.
Berdasarkan output dan outcome yang diperoleh, Pelham (1999)
mengukur kinerja usaha kecil berdasarkan (1) pemasaran / efektifitas penjualan
yang merupakan hasil implementasi strategi berupa peningkatan kualitas produk,
keberhasilan produk baru, dan kepuasan konsumen; (2) pertumbuhan usaha yang
terdiri dari item : tingkat pendapatan, pertumbuhan penjualan, peningkatan
efisiensi biaya dan waktu, peningkatan pangsa pasar; dan (3) profitabilitas yang
diukur dari laba bersih, ROE (tingkat pengembalian modal) dan investasi aktiva.
Lebih luas lagi, Getz (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan usaha kecil
diukur dari keberhasilannya dalam memperoleh peningkatan ukuran usaha,
pertumbuhan usahanya, kemandirian pemilik usaha, menjadi bos di tempatnya
sendiri, dimana terdapat perbedaan antara pengrajin yang opportunistis dan
pengrajin yang enggan menghadapi resiko, pertumbuhan usahanya lambat, dan
memfokuskan diri pada kenyaman hidup.
Haber dan Reichel (2006) mengukur kinerja usaha kecil berdasarkan
empat kategori: (1) short-term objective measures, (2) long-term objective
measures, (3) short-term subjective measures, dan (4) long-term subjective
measures. Ditemukan bahwa kinerja obyektif jangka panjang (seperti
pertumbuhan pendapatan dan jumlah tenaga kerja) relatif jarang
Berdasarkan pendapat tersebut di atas dan apabila dikaitkan dengan
konsep kesalingtergantungan, maka kemajuan usaha adalah perkembangan usaha
yang ditunjukkan oleh adanya peningkatan dalam asset, penjualan, keuntungan,
dan diversifikasi produk serta dicapainya efektifitas dan efisiensi usaha. Usaha
kerajinan yang maju adalah usaha yang berkembang secara efektif dan efisien
serta mengalami peningkatan dari segi keuangan (profit dan asset),
pengembangan produk dan perluasan jejaring (networking). Pemikiran tentang
kemajuan usaha digambarkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Paradigma Kemajuan Usaha
Ciri-ciriAspekKemajuan
UsahaUsaha Konvensional Usaha Maju
PertumbuhanUsaha
(1) Tidak ada pertumbuhanpermintaan konsumendan produksi statis.
(1) Volume produksimeningkat sejalan denganpeningkatan kebutuhankonsumen.
(2) Volume penjualanstagnan dan hanyamampu memasarkanproduk ke pasartradisional terdekat.
(2) Mengalami peningkatan(improvement) volumepenjualan dan perluasandaerah pemasaran.
(3) Menghasilkan produkyang monoton.
(3) Terdapat variasi jenisproduk yang dihasilkan.
(4) Beroperasi denganmodal yang terbatas.
(4) Terdapat peningkatanjumlah modal.
Efisiensi (1) Mengabaikanpenjadwalan kerjasehingga terdapatbanyak waktumenganggur.
(1) Selalu mengupayakanpenggunaan waktu secaralebih produktif.
(2) Tidakmempertimbangkanaspek mutu sumberdaya manusia.
(2) Mengupayakanpenggunaan sumber dayamanusia lebih berkualitassecara optimal.
(3) Mengabaikan hal-halyang dapat memberinilai tambah danpendapatan.
(3) Berusaha meningkatkannilai tambah dan meraihpeluang.
(4) Meninggalkan kegiatanperencanaan keuangansehingga meningkatkanbiaya tak terduga.
(4) Melakukan kegiatanpenganggaran pada setiapkegiatan usaha sebagaiacuan pengeluaran biaya.
Efektifitas (1) Tidak menjadikanperencanaan sebagaiawal melaksanakanusaha.
(1) Menyusun perencanaanberbasis pada evaluasi.
(2) Bekerja tidak teraturtanpa ada koordinasi.
(2) Memiliki struktur yangmengikuti fungsipencapaian tugas
(3) Berusaha tanpamenyusun targetpencapaian keuntungan.
(3) Mempunyai target danpencapaian target padasetiap periode tertentu.
(4) Bersikap pasif ataskerugian ataupenurunan keuntungan.
(4) Mengevaluasi pencapaiantarget berdasarkan periodetertentu.
Konsep Keberlanjutan Usaha
Menurut Labuschagne et al. (2005) keberlanjutan usaha didefinisikan
sebagai berikut:
“business sustainability is ‘‘adopting business strategies and activitiesthat meet the needs of the enterprise and its stakeholders todaywhileprotecting, sustaining and enhancing the human and naturalresources that will be needed in the future’’.
Hal ini menunjukkan bahwa seorang wirausahawan tidak cukup
memandang usahanya hari ini saja, tetapi memandang usahanya ke depan juga
sangat penting. Oleh karena itu, Olson et al. (2003) juga menyatakan bahwa
keberlanjutan dan keberhasilan usaha akan dapat menjamin ketahanan keuangan
keluarga dan kesejahkteraan ekonomi lokal. Sejalan dengan itu, Young (2006)
menyatakan bahwa masyarakat bisnis yang menginginkan usahanya dapat
berkelanjutan, mereka hanya harus bersifat inovatif terhadap efektifitas dan
efisiensi usahanya dan bertanggung jawab terhadap masa depannya. Masyarakat
pengusaha akan membutuhkan mekanisme keterjaminan usaha dengan mengelola
resiko dan memanfaatkan inovasi. Tekanan pasar terhadap produk yang bersifat
inovatif menuntut peningkatan eksperimen di kalangan pengusaha. Pembangkitan
inovasi merupakan bagian penting untuk dapat menarik pasar.
Haber dan Reichel (2006) mengindikasikan bahwa peluang usaha kecil
bisa tetap survive dan berkelanjutan adalah rendah. Seringkali usaha kecil
berkonsentrasi pada pemenuhan kebutuhan untuk hidup (survival) dan
meningkatkan pendapatan keluarga secukupnya dan gaya hidup wirausahawan
masih kurang tertarik pada pertumbuhan cepat. Menurut Korten (Supriatna, 1997),
pembangunan yang berorientasi pada manusia sebagai subyek manusia dilandasi
pada tiga kebutuhan dasar yaitu: justice, sustainability and inclusiveness. Konsep
keberlanjutan menjadi sangat penting bagi masyarakat kecil seperti pengrajin,
sebab komunitas ini mampu mempertahankan usahanya secara turun temurun dari
orang tua mereka (Wijaya, 2001).
Orientasi kegiatan penyuluhan tidak semata-mata pada peningkatan
produktivitas saja akan tetapi pada perubahan perilaku klien. Dengan adanya
perubahan perubahan perilaku tersebut diharapkan klien dapat meningkatkan
kesejahteraan hidupnya secara berkelanjutan.
Oleh karena itu, aspek keberlanjutan usaha pengrajin menjadi penting
untuk dikaji. Usaha yang berkelanjutan adalah usaha yang mampu berproduksi
secara terus menerus dan mampu menjual produknya ke pasar secara kontinyu.
Keberlanjutan usaha akan dapat dicapai jika pada pengrajin memiliki kiat-kiat
untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang akan dihadapi usahanya pada
masa yang akan datang. Dalam penelitian ini keberlanjutan usaha diartikan
sebagai sikap proaktif pengrajin dalam mengantisipasi kebutuhan dan selera
konsumen pada masa yang akan datang. Perbandingan tingkat keberlanjutan usaha
diuraikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Tingkat Keberlanjutan Usaha
Keberlanjutan Rendah TinggiKontinyuitasProduksi
(1) Tidak ada keajegan dalammemproduksi barang.
(1) Mampu menghasilkan produksibarang secara terus menerus.
(2) Memproduksi barangberdasarkan “insting”tanpa melakukanperencanaan.
(2) Melakukan perencanaanproduksi dengan didasarkanprediksi jumlah kebutuhankonsumen.
(3) Mengabaikan mutuproduk dan menghasilkanproduk sebataskemampuan saat ini.
(3) Selalu mengupayakandihasilkannya produk bermutusesuai kebutuhan konsumen.
Kontinyuitaspenjualan
(1) Berusaha menjual produksemampunya dan tidakmemiliki target penjualan.
(1) Senantiasa mengupayakanterpenuhinya target penjualan.
(2) Penjualan sangatfluktuatif dan tidakmenentu.
(2) Trend penjualan meningkat.
(3) Pelayanan tidak menjadibagian dari kegiatanusahanya.
(3) Selalu melakukan tindakanproaktif untuk melayanikonsumen.
(4) Tidak tersedia dana untukkegiatan promosi.
(4) Secara sadar mengalokasikandana untuk promosi.
Kontinyuitas bahanbaku
(1) Melakukan pembelianbahan baku secaramendadak pada saatproduksi dijalankan.
(1) Melakukan perencanaankebutuhan bahan baku yangtepat dan secara periodik.
(2) Tidak melakukanpengecekan terhadaptersedianya bahan baku.
(2) Selalu mengupayakanpengendalian bahan baku secaracermat.
(3) Faktor mutu bahan tidakmenjadi pertimbanganutama dalam pengadaanbahan baku.
(3) Selalu mengupayakanterpenuhinya kebutuhan bahanbaku yang bermutu.
HIPOTESIS PENELITIAN
Berdasarkan permasalahan penelitian, tujuan penelitian dan kerangka
berpikir yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dirumuskan hipotesis penelitian
berikut: Keberhasilan pemberdayaan pengrajin menuju kemajuan dan
keberlanjutan usaha dipengaruhi secara nyata oleh karakteristik individu
pengrajin, kualitas pendukung usaha dan lingkungan.
Hipotesis Kerja:
(1) Perilaku wirausaha dipengaruhi secara positif dan nyata oleh karakteristik
individu pengrajin, pendukung usaha dan lingkungannya.
(2) Kemandirian usaha dipengaruhi secara positif dan nyata oleh karakteristik
individu, pendukung usaha, lingkungan dan perilaku wirausaha.
(3) Kemajuan usaha dipengaruhi secara positif dan nyata oleh perilaku wirausaha
dan kemandirian usaha.
(4) Keberlanjutan usaha dipengaruhi secara positif dan nyata oleh kemajuan
usaha.
(5) Terdapat perbedaan secara nyata kemandirian usaha, perilaku wirausaha,
kemajuan usaha, dan keberlanjutan usaha pengrajin di kedua lokasi penelitian.
METODE PENELITIAN
Populasi dan Sampel
Penelitian ini dilakukan di Jawa Timur yang merupakan daerah padat
industri kecil karena 25% dari jumlah industri kecil yang ada di Indonesia berada
di Jawa Timur. Sebagian besar industri kecil di Jawa Timur tumbuh dan
berkembang di Sentra Industri kecil (SIK) sebanyak 2167 SIK yang terdiri dari
177216 unit usaha yang tersebar di 562 kecamatan (97,2% dari 578 kecamatan
yang ada di Jawa Timur). Penelitian dilakukan terhadap seluruh pengrajin industri
kecil kelompok kerajinan barang dari bahan kulit. Alasan dipilihnya kelompok ini
karena: (1) perkembangan yang sangat baik, (2) menyerap tenaga kerja yang
besar, dan (3) menghasilkan produk dan pendapatan paling banyak dari seluruh
kelompok industri kecil di Jawa Timur.
Di Jawa Timur terdapat enam Kabupaten yang memiliki sentra industri
kecil kerajinan paling potensial dari bahan kulit yang paling potensial yaitu: (1)
Sidoarjo, (2) Mojokerto, (3) Malang, (4) Pasuruan, (5) Ponorogo, dan (6)
Magetan. Sampel penelitian ditentukan dengan teknik pengambilan sampel
bertingkat (stratified random sampling), dengan dasar penentuan strata adalah
kedekatan lokasi dengan sumber bahan baku. Lokasi yang terpilih adalah
Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Magetan Jawa Timur. Sidoarjo berada di
wilayah yang mewakili daerah yang jauh dengan sumber bahan baku dan Magetan
mewakili daerah yang dekat dengan sumber bahan baku.
Populasi penelitian ini adalah seluruh pengrajin pada kelompok kerajinan
barang dari bahan kulit yang berada pada Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten
Magetan dengan jumlah populasi pengrajin 741 orang. Penarikan sampel dari
setiap strata dilakukan secara proporsional, yang dalam hal ini jumlah sampel
ditentukan dengan menggunakan rumus Slovin (Umar, 2002) sebagai berikut :
n =2(e)N1
N
Keterangan :
n = ukuran sampelN = ukuran populasie = persen kelonggaran sebesar 5 %
Berdasarkan rumus slovin tersebut jumlah sampel sebesar 260 pengrajin.
Matrik kerangka sampel disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Kerangka Sampel Penelitian
Kabupaten Jumlah PopulasiPengrajin
Jumlah SampelPengrajin
Sidoarjo 413 pengrajin 145 pengrajin
Magetan 328 pengrajin 115 pengrajin
Total 741 pengrajin 260 pengrajinTabel 8Kerangka Sampel Penelitian
Rancangan Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak dicapai, maka jenis penelitian
yang digunakan adalah penelitian survey korelasional yang dilaksanakan untuk
melihat hubungan antara peubah-peubah penelitian dan menguji hipotesa yang
telah dirumuskan sebelumnya. Peubah dalam penelitian ini adalah: (1)
Karakteristik individu Pengrajin (X1), (2) Kualitas pendukung usaha (X2), (3)
Lingkungan (X3), (4) Perilaku wirausaha (Y1), (5) Kemandirian pengrajin (Y2),
(6) kemajuan Usaha (Y3), dan (7) Keberlanjutan usaha (Y4).
Untuk mengetahui adanya hubungan atau pengaruh dilakukan uji statistik
sehingga menggunakan pendekatan kuantitatif. Untuk menjelaskan substansi hasil
uji statistik digunakan pendekatan kualitatif.
Data dan Instrumentasi
Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Data tersebut mencakup
data pada peubah : (1) Karakteristik individu Pengrajin (X1), (2) Kualitas
pendukung usaha (X2), (3) Lingkungan (X3), (4) Perilaku wirausaha (Y1), (5)
Kemandirian Usaha (Y2), (6) Kemajuan usaha (Y3), dan (7) Keberlanjutan Usaha
(Y4):
(1) Karakteristik Individu Pengrajin (X1) adalah ciri-ciri yang melekat
pada individu pengrajin yang dinyatakan dalam tingkatan yang membedakan
dirinya dengan orang lain berdasarkan waktu tertentu. Dalam penelitian ini ciri-
ciri pengrajin industri kecil kerajinan yang diperhatikan adalah:
(a) Umur adalah lamanya tahun kehidupan pengrajin yang diukur berdasarkan
jumlah tahun kehidupan.
(b) Pendidikan adalah tingkat pendidikan formal dan non formal yang ditempuh
pengrajin selama hidupnya. Tingkat pendidikan formal diukur berdasarkan
jumlah tahun pendidikan formal. Tingkat pendidikan non formal diukur
berdasarkan jumlah jam pendidikan non formal.
(c) Tanggungan Keluarga adalah jumlah individu yang masuk dalam tanggungan
biaya pengrajin, diukur berdasarkan jumlah jiwa yang dibiayai hidupnya.
(d) Pengalaman berusaha adalah lamanya waktu dalam tahun dalam hal
melakukan aktivitas dalam bidang kerajinan, diukur berdasarkan jumlah tahun
bekerja.
(e) Motivasi berusaha adalah hal yang mendorong pengrajin bekerja di bidang
kerajinan saat ini, dilihat dari alasan bekerja sebagai pengrajin.
(f) Pemenuhan Kebutuhan adalah aspek fisik dan psikologis yang harus dipenuhi
pengrajin dalam kehidupannya yang terdiri dari sandang, pangan, papan,
rekreasi dan pendidikan. Kebutuhan diukur berdasarkan jumlah pengeluaran
untuk kebutuhan pangan, pakaian, tempat tinggal, rekreasi dan pendidikan
anak dalam rupiah per tahun, serta rencana pencapaian tingkat pendidikan
anak diukur dalam tahun.
(g) Intensitas komunikasi adalah proses pertukaran informasi pengrajin dengan
sumber informasi interpersonal berikut pencarian informasi pada media dan
sumber informasi usaha. Komunikasi diukur berdasarkan: tingkat kekerapan
berkomunikasi dengan sesama pengrajin, pembeli dan pemasok barang
tentang hal yang berkaitan dengan usaha kerajinan, tingkat kekerapan
membaca informasi tentang usaha kerajinan dari surat kabar, majalah, radio
dan televisi, tingkat kekrapan bepergian ke luar desa dan keanggotaan pada
organisasi sosial.
(h) Aspek gender adalah persepsi pengrajin dalam melihat perbedaan yang
tampak antara pria dan wanita berdasar tugas dan haknya, diukur berdasarkan
tingkat perbedaan pembagian tugas antara pria dan wanita dan tingkat
perbedaan upah antara kaum pria dan wanita.
Indikator dan pengukuran masing-masing sub peubah tercantum pada
Tabel 9.
Tabel 9. Peubah Karakteristik Individu Pengrajin
Indikator Parameter(1) Umur Lamanya tahun kehidupan
Tingkat pendidikan formal(2) PendidikanTingkat pendidikan non formal
(3) Tanggungan Keluarga Anggota keluarga yang masuk dalam tanggungan pengrajinLama bekerja sebagai pengrajin(4) Pengalaman berusahaLama bekerja di luar bidang kerajinan
(5) Motif berusaha Pendorong bekerja sebagai pengrajinKebutuhan dasar(6) Tingkat Pemenuhan
Kebutuhan Kebutuhan pendidikan anakAkses jaringan komunikasi interpersonalAkses pada Media cetak dan elektronik
(7) Intensitas Komunikasi
KosmopolitansiPersepsi pengrajin terhadap kesetaraan tugas berdasar jenis kelamin(8) Aspek GenderPersepsi pengrajin terhadap kesetaraan hak berdasar jenis kelamin
Tabel 9Peubah Karakteristik Individu Pengrajin
100xmaksimumskorJumlah
nindikatorskorJumlah
indikator
sitransformaindeks
Pengukuran data dalam peubah karakteristik individu pengrajin terbagi
menjadi dua skala pengukuran yaitu skala rasio dan ordinal. Data yang berskala
pengukuran rasio adalah: umur, pendidikan, tanggungan keluarga, pengalaman
usaha dan kebutuhan, agar terpenuhi kesamaan skala pengukuran, maka terhadap
data berskala rasio ini dilakukan transformasi ke dalam skala pengukuran ordinal
lima jenjang sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Data
motivasi berusaha, intensitas komunikasi, dan aspek gender, diukur dengan skala
likert jenjang empat (1, 2, 3, dan 4) yang kemudian ditranformasikan ke dalam
skala pengukuran ordinal tiga jenjang rendah, sedang dan tinggi.
Guna keperluan analisis statistik dilakukan proses transformasi untuk
mengubah skala ordinal ke skala interval atau rasio, dengan mengunakan rumus
Transformasi indeks indikator :
Transformasi indeks peubah :
100var
var
varx
iabeltiapmaksimumindekjumlahiabeltiapindikatorindekjumlah
iabelindekNilai
(2) Pendukung Usaha (X2) adalah tingkat ketersediaan faktor-faktor
yang diperlukan untuk menunjang kegiatan usaha kerajinan kulit yang meliputi:
(a) Bahan baku adalah ketersediaan bahan yang akan diolah menjadi produk
kerajinan yang berasal dari kulit dan imitasinya, bahan baku diukur
berdasarkan tingkat mutu bahan baku, tingkat kemudahan memperoleh bahan
dan tingkat keterjangkauan harga bahan baku.
(b) Pasar adalah tingkat permintaan dan jangkauan pemasaran yang harus
dilayani pengrajin, diukur berdasarkan tingkat permintaan konsumen,
jangkauan daerah pemasaran dan tingkat kesetiaan konsumen.
(c) Teknologi adalah peralatan yang digunakan dalam membuat kerajinan yang
diukur dari cara memperoleh, keterjangkauan harga dan perkembangan
peralatan.
(d) Transportasi adalah tingkat ketersediaan sarana angkutan yang digunakan
untuk kegiatan usaha, diukur berdasarkan tingkat kemudahan memperoleh,
tingkat kenyamanan dan keterjangkauan harga.
(e) Alat komunikasi adalah tingkat ketersediaan sarana telepon yang diukur
berdasarkan tingkat kekerapan pemakaian telepon rumah, seluler dan warung
telekomunikasi untuk kegiatan usaha.
Keseluruhan pengukuran data dalam variabel kualitas pendukung usaha
adalah menggunakan skala likert dengan empat pilihan (1, 2, 3, dan 4), kemudian
ditransformasikan ke skala ordinal lima jenjang sangat rendah, rendah, sedang,
tinggi, dan sangat tinggi. Guna keperluan analisis statistik maka dilakukan
transformasi untuk mengubah skala ordinal ke skala interval atau rasio dengan
rumus sebagaimana pada peubah karakteristik individu pengrajin. Indikator dan
pengukuran masing-masing sub peubah tercantum pada Tabel 10.
Tabel 10. Peubah Pendukung UsahaIndikator Parameter
1) Kualitas bahan baku2) Ketersediaan bahan baku
(1) Bahan Baku
3) Keterjangkauan harga bahan baku1) Permintaan Pasar2) Jangkauan pasar
(2) Pasar
3) Loyalitas Konsumen1) Cara Memperoleh2) Keterjangkauan harga peralatan
(3) Ketersediaan Teknologi
3) Perkembangan peralatan1) Kemudahan memperoleh angkutan2) Keterjangkauan ongkos angkutan
(4) Ketersediaan SaranaTransportasi
3) Keamanan angkutan1) Kekerapan pemakaian telepon rumah untuk usaha2) Kekerapan pemakaian telepon seluler untuk usaha.
(5) Ketersediaan Alatkomunikasi
3) Kekerapan pemakaian telepon di Wartel untuk usahaTabel 10Peubah Pendukung Usaha
(3) Dukungan Lingkungan (X3) adalah individu lain, sekelompok
individu, atau sistem yang melingkupi pengrajin dan usahanya, yang memberikan
dukungan sehingga dapat mempengaruhi pola pikir dan tindakan-tindakan
pengrajin industri kecil. Dukungan lingkungan ini terdiri dari:
(a) Keluarga adalah individu yang memiliki hubungan darah dengan pengrajin
dan individu yang memiliki hubungan darah dengan suami atau isteri
pengrajin yang mempengaruhi kegiatan usahanya. Indikator ini diukur
berdasarkan tingkat dukungan yang diberikan keluarga terhadap usaha
kerajinan dan kesesuaian jenis usaha dengan jenis pekerjaan keluarga.
(b) Pemimpin informal adalah individu yang tidak mendapat pengangkatan secara
formal sebagai pemimpin namun karena memiliki sejumlah kualitas unggul
memiliki kedudukan sebagai seorang yang mampu mempengaruhi kondisi
psikis dan perilaku pengrajin, diukur berdasarkan tingkat dukungan pemimpin
informal terhadap kegiatan usaha masyarakat dan tingkat kekerapan
pertemuan pemimpin informal dengan masyarakat.
(c) Bimbingan pemerintah paerah adalah bimbingan yang diberikan oleh lembaga
dinas yang ditunjuk pemerintah untuk melakukan koordinasi dalam
pengembangan industri kerajinan, diukur berdasarkan Tingkat kekerapan
kegiatan pelatihan, dan kunjungan petugas.
(d) Bimbingan Organisasi Non Pemerintah adalah organisasi non pemerintah
yang melakukan kegiatan pengembangan industri kerajinan, diukur
berdasarkan tingkat kekerapan kegiatan pelatihan dan kunjungan organisasi
non pemerintah.
(e) Sistem Norma adalah aturan yang dipatuhi masyarakat dan berlaku secara
lokal, diukur berdasarkan tingkat kesesuaian nilai-nilai dalam masyarakat
dengan prinsip-prinsip usaha kerajinan kulit dan tingkat keterikatan pada
norma dan adat istiadat.
Pengukuran data dalam variabel lingkungan adalah menggunakan skala
likert dengan empat pilihan (1, 2, 3, dan 4), kemudian ditransformasikan ke skala
ordinal lima jenjang sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi.
Guna keperluan analisis statistik maka dilakukan transformasi untuk mengubah
skala ordinal ke skala interval atau rasio dengan rumus sebagaimana pada peubah
karakteristik individu pengrajin. Indikator dan pengukuran masing-masing sub
peubah tercantum pada Tabel 11.
Tabel 11. Peubah Lingkungan
Indikator Parameter1) Dukungan pemimpin informal(1) Pemimpin informal2) Pertemuan pemimpin informal dengan masyarakat.1) Dukungan keluarga(2) Keluarga2) Kesesuaian jenis usaha dengan keluarga1) Kekerapan kegiatan pelatihan.(3) Bimbingan
Pemerintah Daerah 2) Kekerapan kunjungan petugas dinas1) Kekerapan kegiatan pelatihan.(4) Bimbingan
Organisasi NonPemerintah
2) Kekerapan kunjungan petugas Organisasi Non Pemerintah
1) Kesesuaian nilai(5) Norma dalammasyarakat 2) Keterikatan pada norma
Tabel 11Peubah Lingkungan
(5) Perilaku Wirausaha (Y1) adalah cara bertindak pengrajin dalam
menjalankan usaha yang ditunjukkan oleh pengetahuan, sikap dan ketrampilannya
untuk melakukan usaha dengan inovatif, inisiatif, berani mengambil resiko dan
berdaya saing.
Keinovatifan adalah cara bertindak pengrajin untuk menghasilkan inovasi
dan menerapkan inovasi tersebut dalam usaha kerajinan kerajinannya. Aspek
kognitif keinovatifan diukur berdasarkan: pengetahuan sumber informasi inovatif,
pemahaman tentang penciptaan inovasi, dan pemahaman tentang penerapan
inovasi. Aspek afektif keinovatifan diukur berdasarkan: ketertarikan terhadap
sumber informasi inovatif, ketertarikan untuk menciptakan inovasi, dan
menerapkan inovasi. Aspek psikomotorik keinovatifan diukur berdasarkan:
kecepatan mencari sumber informasi inovatif, kecepatan menghasilkan inovasi,
dan kecermatan menerapkan inovasi
Inisiatif adalah cara bertindak pengrajin dalam memprakarsai atau
memulai suatu peluang usaha yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Aspek
kognitif inisiatif diukur berdasarkan: pengetahuan tentang peluang usaha,
pengetahuan tentang cara mencari identifikasi peluang usaha, dan pemahaman
tentang cara menjalankan peluang usaha. Aspek afektif inisiatif diukur
berdasarkan: ketertarikan terhadap peluang usaha, ketertarikan melakukan
identifikasi peluang usaha, dan sikap dalam menjalankan peluang usaha. Aspek
psikomotorik inisiatif diukur berdasarkan: kecermatan menemukan peluang usaha,
ketelitian melakukan identifikasi peluang usaha.
Pengelolaan Resiko adalah cara bertindak pengrajin dalam mengelola
resiko usaha kerajinan baik yang akan dihadapi maupun yang sedang dihadapi.
Aktivitas ini meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Aspek kognitif
pengelolaan resiko diukur berdasarkan pengetahuan tentang cara memprediksi
resiko, pemahaman cara menjalankan usaha yang beresiko, dan pengetahuan cara
menghindari resiko. Aspek afektif pengelolaan resiko diukur berdasarkan sikap
terhadap usaha yang beresiko, sikap menghadapi kemungkinan terjadinya resiko,
dan sikap menghindari resiko. Aspek psikomotorik pengelolaan resiko diukur
berdasarkan ketepatan memprediksi terjadinya resiko, kecermatan menjalankan
usaha yang berisiko, dan ketepatan menghindari risiko.
Daya saing adalah cara bertindak pengrajin dalam menghadapi persaingan
usaha di bidang kerajinan. Aktivitas ini meliputi aspek kognitif, afektif dan
psikomotorik. Aspek kognitif daya saing diukur berdasarkan pengetahuan tentang
strategi bersaing, pemahaman cara menghadapi persaingan, dan pemahaman
tentang etika persaingan. Aspek afektif daya saing diukur berdasarkan sikap untuk
menghadapi persaingan, sikap terhadap etika persaingan usaha, dan ketertarikan
terhadap penerapan strategi usaha. Aspek psikomotorik daya saing diukur
berdasarkan: kemampuan menghasilkan keunggulan bersaing, kecepatan
merumuskan strategi bersaing, dan ketepatan memenangkan persaingan
Pengukuran data dalam variabel perilaku wirausaha adalah menggunakan
skala likert dengan empat pilihan (1, 2, 3, dan 4), kemudian ditransformasikan ke
skala ordinal lima jenjang sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi.
Guna keperluan analisis statistik maka dilakukan transformasi untuk mengubah
skala ordinal ke skala interval atau rasio dengan rumus sebagaimana pada peubah
karakteristik individu pengrajin. Indikator dan pengukuran masing-masing sub
peubah tercantum pada Tabel 12.
Tabel 12. Peubah Perilaku WirausahaIndikator Parameter
1) Pengetahuan sumber informasi inovatif2) Pemahaman tentang penciptaan inovasi3) Pemahaman tentang penerapan inovasi4) Ketertarikan terhadap sumber informasi inovatif5) Ketertarikan untuk menciptakan inovasi6) Ketertarikan menerapkan inovasi7) Kecepatan mencari sumber informasi inovatif8) Kecepatan menghasilkan inovasi
Keinovatifan
9) Kecermatan menerapkan inovasi
1) Pengetahuan tentang peluang usaha2) Pengetahuan tentang cara mencari identifikasi peluang usaha3) Pemahaman tentang cara menjalankan peluang usaha4) Ketertarikan terhadap peluang usaha5) Ketertarikan melakukan identifikasi peluang usaha6) Sikap dalam menjalankan peluang usaha7) Kecermatan menemukan peluang usaha8) Ketelitian melakukan identifikasi peluang usaha
Inisiatif
9) Ketepatan menjalankan peluang usaha.1) Pengetahuan tentang cara memprediksi resiko2) Pengetahuan cara menghindari resiko3) Pemahaman cara menjalankan usaha yang beresiko4) Sikap menghadapi kemungkinan terjadinya resiko5) Sikap menghindari resiko6) Sikap terhadap usaha yang beresiko7) Ketepatan memprediksi terjadinya resiko8) Kecermatan menjalankan usaha yang berisiko
Pengelolaan Resiko
9) Kecepatan menghindari risiko1) Pengetahuan tentang strategi bersaing2) Pemahaman cara menghadapi persaingan3) Pemahaman tentang etika persaingan4) Sikap untuk menghadapi persaingan5) Sikap terhadap etika persaingan usaha6) Ketertarikan terhadap penerapan strategi usaha7) Kemampuan menghasilkan keunggulan bersaing8) Kecepatan merumuskan strategi bersaing
Daya Saing
9) Ketepatan memenangkan persainganTabel 12Peubah Perilaku Wirausaha
(4) Kemandirian Usaha (Y2) adalah kemampuan pengrajin dalam
mengatur usahanya secara berkualitas dan kemampuan bekerjasama dengan
individu atau organisasi penunjang kegiatan usaha, kemandirian ini meliputi: (1)
kemandirian dalam proses produksi, (2) kemandirian dalam permodalan, (3)
kemandirian dalam pemasaran, dan (4) kemandirian dalam bekerjasama.
Pengukuran data dalam variabel kemandirian pengrajin adalah
menggunakan skala likert dengan empat pilihan (1, 2, 3, dan 4), kemudian
ditransformasikan ke skala ordinal dengan kategori sangat rendah, rendah, sedang,
tinggi, dan sangat tinggi. Guna keperluan analisis statistik maka dilakukan
transformasi untuk mengubah skala ordinal ke skala interval atau rasio dengan
rumus sebagaimana pada peubah karakteristik individu pengrajin. Indikator dan
pengukuran masing-masing sub peubah tercantum pada Tabel 13.
Tabel 13. Peubah Kemandirian UsahaIndikator Parameter
1) Pengetahuan sumber permodalan2) Pemahaman cara mengakses sumber permodalan3) Pemahaman pengelolaan modal4) Tanggapan terhadap sumber-sumber permodalan5) Ketertarikan mengakses sumber-sumber permodalan6) Sikap hemat dalam pengelolaan modal.7) Kecepatan mencari sumber permodalan
(1) Permodalan
8) Ketepatan mengakses sumber-sumber permodalan
9) Kecermatan mengelola modal.1) Pengetahuan tahapan proses produksi2) Pemahaman cara kerja peralatan produksi3) Pengetahuan persyaratan mutu produksi4) Ketertarikan atas setiap tahapan produksi5) Ketertarikan atas cara kerja peralatan produksi6) Ketertarikan terhadap pentingnya mutu produksi7) Ketepatan menjalankan tahapan produksi8) Kecermatan menggunakan peralatan produksi
(2) Proses Produksi
9) Ketepatan memenuhi persyaratan mutu produksi1) Wawasan tentang bentuk kerjasama2) Pengetahuan perjanjian kerjasama3) Pengetahuan tentang cara melakukan kerjasama4) Sikap mengutamakan kerjasama kemitraan (partnership)5) Sikap percaya diri dalam bekerjasama6) Sikap terhadap tindakan subordinasi dan deprivasi kerjasama7) Kecermatan memilih bentuk kerjasama8) Ketelitian menyusun perjanjian kerjasama
(3) Kerjasama
9) Kecermatan bekerjasama dengan pihak lain1) Pengetahuan bauran promosi2) Pemahaman teknik menjual3) Pengetahuan mutu pelayanan4) Ketertarikan terhadap kegiatan bauran promosi5) Tanggapan terhadap perkembangan teknik menjual6) Sikap mengutamakan kualitas pelayanan7) Kecermatan mempromosikan produk8) Kecepatan menjual produk
(4) Pemasaran
9) Keluwesan melayani pelangganTabel 13Peubah Kemandirian Usaha
(a) Kemandirian dalam permodalan adalah kemampuan pengrajin dalam
pengelolaan modal secara hemat dan akumulatif serta mengakses sumber
permodalan seluas-luasnya. Kemandirian ini meliputi aspek kognitif, afektif
dan psikomotorik. Aspek kognitif permodalan diukur berdasarkan
pengetahuan sumber permodalan, pemahaman cara mengakses sumber
permodalan, pemahaman pengelolaan modal. Aspek afektif permodalan
diukur berdasarkan tanggapan terhadap sumber-sumber permodalan,
ketertarikan mengakses sumber-sumber permodalan, dan sikap hemat dalam
pengelolaan modal. Aspek psikomotorik permodalan diukur berdasarkan
kecepatan mencari sumber permodalan, ketepatan mengakses sumber-sumber
permodalan, dan kecermatan mengelola modal.
(b) Kemandirian dalam proses produksi adalah kemampuan pengrajin dalam
melakukan proses produksi meliputi cara penanganan bahan baku sampai
dengan menghasilkan barang jadi. Kemandirian ini meliputi aspek kognitif,
afektif dan psikomotorik. Aspek kognitif proses produksi diukur berdasarkan
pengetahuan tahapan proses produksi, pemahaman cara kerja peralatan
produksi, dan pengetahuan persyaratan mutu produksi. Aspek afektif proses
produksi diukur berdasarkan ketertarikan atas: setiap tahapan produksi, cara
kerja peralatan produksi, dan pentingnya mutu produksi Aspek psikomotorik
proses produksi diukur berdasarkan ketepatan menjalankan tahapan produksi,
kecermatan menggunakan peralatan produksi, dan ketepatan memenuhi
persyaratan mutu produksi
(c) Kemandirian dalam kerjasama adalah kemampuan pengrajin dalam
melakukan kerjasama usaha kerajinan dengan pihak yang berkaitan dengan
bidang usaha kerajinan, tanpa tersubordinasi dan terdeprivasi. Kemandirian ini
meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Aspek kognitif kerjasama
diukur berdasarkan wawasan tentang bentuk kerjasama pengetahuan
perjanjian kerjasama pengetahuan tentang cara melakukan kerjasama. Aspek
afektif kerjasama diukur berdasarkan sikap mengutamakan kerjasama
kemitraan (partnership) sikap percaya diri dalam bekerjasama sikap terhadap
tindakan subordinasi dan deprivasi kerjasama sikap percaya diri dalam
bekerjasama, sikap terhadap tindakan subordinasi dan deprivasi dalam
kerjasama, dan sikap mengutamakan kerjasama kemitraan. Aspek
psikomotorik kerjasama diukur berdasarkan kecermatan memilih bentuk
kerjasama, ketelitian menyusun perjanjian kerjasama, dan kecermatan
bekerjasama dengan pihak lain
(d) Kemandirian dalam pemasaran adalah kemampuan pengrajin dalam
melakukan kegiatan pemasaran secara prima dengan mengutamakan
pelayanan kepada pelanggan secara memuaskan. Kemandirian ini meliputi
aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Aspek kognitif pemasaran diukur
berdasarkan pengetahuan bauran pemasaran, pemahaman teknik menjual, dan
pengetahuan mutu pelayanan Aspek afektif pemasaran diukur berdasarkan
ketertarikan terhadap kegiatan bauran promosi, tanggapan terhadap teknik
menjual, dan sikap mengutamakan kualitas pelayanan. Aspek psikomotorik
pemasaran diukur berdasarkan kecermatan mempromosikan produk,
kecepatan menjual produk, dan keluwesan melayani pelanggan.
(5) Kemajuan Usaha (Y3) adalah kondisi perkembangan usaha yang
diperoleh pengrajin yang dinilai dari: (1) Pertumbuhan Usaha, (2) Efisiensi
Usaha, dan (3) Efektivitas Usaha.
Pertumbuhan usaha adalah peningkatan dan diversifikasi produk kerajinan
yang dihasilkan dicapai pengrajin dari kondisi saat ini dengan sebelumnya.
Pertumbuhan usaha diukur dari pertumbuhan penjualan, pertumbuhan produksi,
pertumbuhan aktiva, perkembangan jenis produk dan pangsa pasar. Efisiensi
Usaha adalah penghematan dalam biaya dan waktu yang diperoleh dalam
pelaksanaan kegiatan usaha kerajinan, diukur berdasarkan perbandingan jumlah
biaya produksi secara periodik dan perbandingan penggunaan waktu perunit
produk yang dihasilkan secara periodik. Efektivitas usaha adalah pencapaian
tujuan yang ditetapkan pengrajin dalam kurun waktu tertentu, diukur berdasarkan
perbandingan jumlah target penjualan dengan realisasi penjualan dan
perbandingan jumlah target produksi dan realisasi produksi. Indikator dan
pengukuran masing-masing sub peubah tercantum pada Tabel 14.Tabel 14Peubah Kemajuan Usaha
Tabel 14. Peubah Kemajuan Usaha
Indikator Parameter(1) Pertumbuhan Penjualan(2) Pertumbuhan Volume produksi(3) Pertumbuhan Aktiva(4) Perkembangan Jenis produk kerajinan
(1) Pertumbuhan Usaha
(5) Perkembangan Pangsa pasar(1) Tingkat efisiensi biaya(2) Efisiensi usaha(2) Tingkat efisiensi waktu(1) Pencapaian target produksi(3) Efektivitas usaha(2) Pencapaian target penjualan
Pengukuran data dalam variabel kemajuan usaha menggunakan skala
rasio, agar terpenuhi kesamaan skala pengukuran, maka terhadap data berskala
rasio ini dilakukan transformasi ke dalam skala pengukuran ordinal lima jenjang
sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Guna keperluan analisis
statistik maka dilakukan transformasi untuk mengubah skala ordinal ke skala
interval atau rasio dengan rumus sebagaimana pada peubah karakteristik individu
pengrajin.
(6) Keberlanjutan Usaha (Y4), sikap proaktif pengrajin dalam
mengantisipasi kebutuhan dan selera konsumen pada masa yang akan datang.
Keberlanjutan usaha dinilai dari kontinyuitas produksi, kontinyuitas penjualan,
dan kontinyuitas input.
Kontinyuitas produksi adalah sikap pengrajin dalam mengantisipasi
pemenuhan kebutuhan konsumen akan produk kerajinan yang bermutu.
Kontinyuitas produksi diukur dari: kelancaran proses, mutu produk, dan
pemenuhan permintaan.
Kontinyuitas penjualan adalah sikap proaktif pengrajin untuk dapat
memenuhi selera konsumen atas produk kerajinan pada masa yang akan datang.
Kontinyuitas penjualan diukur dari: target penjualan, peningkatan pelayanan, dan
kesadaran melakukan promosi.
Kontinyuitas input adalah sikap antisipatif untuk memperoleh dan
merencanakan terpenuhinya bahan baku dengan jumlah yang tepat dan memiliki
mutu yang sesuai dengan kebutuhan dan selera konsumen pada masa yang akan
datang. Kontinyuitas bahan baku diukur dari: perencanaan persediaan,
pengendalian persediaan, dan mutu persediaan. Indikator dan pengukuran masing
sub peubah tercantum pada Tabel 15.
Tabel 15. Peubah Keberlanjutan UsahaIndikator Parameter
1) Ketertarikan terhadap kelancaran proses produksi.2) Tanggapan terhadap tingkat kekerapan hasil produksi pada masa yang
akan datang.3) Ketertarikan terhadap produk bermutu4) Tanggapan terhadap upaya pengendalian mutu5) Tanggapan tentang permintaan masa yang akan datang
KontinyuitasProduksi
6) Ketertarikan terhadap upaya pemenuhan jumlah permintaan.1) Tanggapan atas pentingnya perencanaan dan penyusunan target2) Ketertarikan pada upaya pemenuhan target3) Tanggapan terhadap pelayanan bermutu4) Ketertarikan pada upaya peningkatan pelayanan5) Ketertarikan mengalokasikan dana untuk promosi
KontinyuitasPenjualan
6) Tanggapan terhadap upaya-upaya promosi1) Tanggapan atas pentingnya perencanaan persediaan bahan baku.2) Ketertarikan pada upaya penyusunan perencanaan persediaan yang tepat.3) Tanggapan terhadap pengendalian persediaan4) Ketertarikan pada upaya pengendalian persediaan5) Ketertarikan terhadap persediaan bahan baku bermutu
KontinyuitasBahan baku
6) Tanggapan terhadap upaya memperoleh bahan baku bermutu.Tabel 15Peubah Keberlanjutan Usaha
Pengukuran data dalam variabel keberlanjutan usaha adalah menggunakan skala
likert dengan empat pilihan (1, 2, 3, dan 4), kemudian ditransformasikan ke skala
ordinal jenjang rendah dan tinggi. Guna keperluan analisis statistik maka
dilakukan transformasi untuk mengubah skala ordinal ke skala interval atau rasio
dengan rumus sebagaimana pada peubah karakteristik individu pengrajin.
Instrumentasi
Dalam penelitian ini untuk memperoleh data primer dilakukan wawancara dengan
responden dengan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan yang
berhubungan dengan peubah-peubah yang diamati dalam obyek penelitian.
Kuesioner tersebut tersusun menjadi 7 (tujuh) bagian yaitu: (1) Karakteristik
individu Pengrajin, (2) Kualitas pendukung usaha, (3) Lingkungan, (4)
Kemandirian Usaha, (5) Perilaku wirausaha, (6) Keberlanjutan Usaha, dan (7)
Kemajuan usaha.
Uji Validitas
Ancok (Singarimbun dan Effendi, 1987) menyatakan bahwa uji validitas
menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang ingin
diukur. Alat ukur dikatakan sahih (valid) apabila alat ukur tersebut dapat
mengukur yang sebenarnya ingin diukur. Peubah-peubah dalam penelitian sosial
bersifat lebih abstrak, oleh karena itu sulit untuk menentukan fenomena secara
persis. Sehingga validitas dalam ilmu sosial merupakan derajat kedekatan kepada
kebenaran, bukan sesuatu yang mutlak.
Untuk menentukan validitas alat ukur dalam penelitian ini dipakai tiga cara:
▪ Uji validitas konstruk, yaitu menyusun tolok ukur operasional berdasarkan
kerangka dari konsep yang akan diukur. Setelah kerangka konsep penelitian
yang dibangun dari hasil pemahaman literatur ditetapkan, kemudian disusun
tolok ukur operasionalnya. Penelitian ini ditekankan pada perilaku wirausaha,
kemandirian usaha, kemajuan usaha dan keberlanjutan usaha.
▪ Uji validitas isi, yaitu mengukur keterwakilan seluruh aspek yang dianggap
sebagai aspek kerangka konsep. Dalam pengujian validitas isi, dilakukan
penyesuaian isi alat ukur atau daftar pertanyaan dengan teori yang telah
diuraikan sebelumnya. Teori yang mendasari penelitian ini adalah: (1) teori
belajar orang dewasa berdasarkan aliran behavioristik yang terdiri dari teori
operant conditioning, teori belajar sosial dan teori belajar bebas, (2) teori
perilaku Kurt Lewin, (3) konsep kewirausahaan, (4) konsep kemandirian, (5)
konsep kinerja usaha, dan (5) konsep keberlanjutan usaha.
▪ Uji validitas konkuren, yaitu mengukur kesahihan prediktif berdasarkan
hubungan yang teratur antar seluruh variabel penelitian. Dalam penelitian ini
validitas konkuren dilihat dari signifikansi hubungan antara item pertanyaan
pada masing-masing variabel penelitian. Hubungan diuji dengan analisis
korelasi product moment pearson. Sebagai pembanding, Masrun (1979)
menyatakan bilamana koefisien korelasi antara skor suatu indikator positif dan
≥0,3 maka instrumen tersebut dianggap valid (validitas kriteria). Hasil uji
validitas dijelaskan pada Tabel 16.
Uji Reliabilitas
Ancok (Singarimbun dan Effendi, 1987) menyatakan bahwa uji reliabilitas
adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat
dipercaya atau dapat diandalkan.
Bila suatu alat pengukur dua kali untuk mengukur gejala yang sama dan
hasil pengukuran yang diperoleh relatif konsisten, maka alat pengukur tersebut
reliabel. Dengan kata lain, reliabilitas menunjukkan konsistensi suatu alat
pengukur di dalam mengukur gejala yang sama.
Reliabilitas data seluruh item pertanyaan dari seluruh variabel penelitian
diuji dengan analisis reliabilitas dengan koefisen αcronbach. Merujuk pada
pendapat Malhotra (1996) suatu instrumen penelitian (keseluruhan indikator)
diangp reliabel (reliabilitas konsistensi internal) bilamana αcronbach ≥0,6. Hasil
uji reliabilitas dapat dilihat pada Tabel 16.Tabel 16Hasil Uji Validitas Dan Reliabilitas Instrumen Penelitian
Tabel 16. Hasil Uji Validitas Dan Reliabilitas Instrumen Penelitian
No Nama Peubah Validitas(Koefisen r)
Reliabilitas(Alpha Cronbach)
Keterangan
1 Karakteristik individu (X1) 0,793(**) 0, ,7370 valid dan reliabel
2 Pendukung Usaha (X2) 0,797(**) 0, ,8237 valid dan reliabel3 Lingkungan (X3) 0,832(**) 0, 8369 valid dan reliabel4 Kemandirian Usaha (Y1) 0,855(**) 0, 6725 valid dan reliabel5 Perilaku wirausaha (Y2) 0,900(**) 0, 6371 valid dan reliabel6 Kemajuan Usaha (Y3) 0,665(**) 0, 6931 valid dan reliabel7 Keberlanjutan usaha (Y4) 0,686(**) 0, 8966 valid dan reliabelKeterangan: ** Signifikan pada alpha = 0,01
Berdasarkan hasil uji validitas dan reliabilitas menunjukkan bahwa keseluruhan
instrumen dari seluruh variabel penelitian adalah valid dan reliabel.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan untuk mendapatkan data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dengan mendatangi dan melakukan wawancara
terhadap responden dengan berpedoman pada kuesioner yang kemudian
diklarifikasi dengan wawancara mendalam dan wawancara bebas. Wawancara ini
dibantu oleh 4 (empat) asisten peneliti dengan latar belakang pendidikan sarjana
ilmu sosial, kemudian dibekali ketrampilan untuk mewancarai responden guna
mendapatkan data.
Dalam penelitian ini selain melakukan tanya jawab dengan responden,
juga dilakukan wawancara dengan pihak-pihak lain yang berhubungan dengan
penelitian, seperti pemuka adat, pengurus koperasi, pengurus LIK, petugas dinas
perindustrian, dinas Koperasi dan UKM, dan lembaga-lembaga lain yang terkait.
Data sekunder yang diperoleh dari dokumen pelengkap yang diterbitkan
oleh instansi pada dua Kabupaten yang meliputi: Kantor Pemerintah Daerah,
Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Koperasi dan UKM, Koperasi, dan
Lingkungan Industri Kecil.
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis
kuantitatif dengan menggunakan statistik meliputi: (1) analisis statistik deskriptif
untuk mendeskripsikan kondisi ketujuh kelompok peubah, (2) analisis SEM
(Structural Equation Modelling) untuk menguji hipotesis kesatu hingga hipotesis
keempat, dan (3) uji beda rata-rata one way anova untuk menguji hipotesis
kelima.
Analisis Structural Equation Modeling (SEM) yang juga dinamakan
Model Persamaan Struktural merupakan salah satu metode analisis data yang
sering digunakan di bidang ilmu-ilmu sosial dan perilaku (Adnyana, 2004).
Metode ini digunakan untuk menunjukkan keterkaitan secara simultan antara
peubah latent / peubah X dan Y (unobserved variabel) dengan peubah manifest /
indikator (observed variabel).
Menurut Ferdinand (2000) Model Persamaan Struktural (SEM) ini dapat
menunjukkan model dalam skema lintas yang menjelaskan posisi dan arah faktor-
faktor yang saling terkait, sehingga jelas faktor mana yang berpengaruh langsung
dan tidak langsung terhadap faktor lain. Alasan digunakan Model Persamaan
Struktural digunakan dalam penelitian ini karena kemampuannya untuk: (1)
menampilkan sebuah model komprehensif, (2) mengkonfirmasikan dimensi-
dimensi dari faktor-faktor yang menentukan keberhasilan program pemberdayaan
pengrajin, dan (3) mengukur pengaruh hubungan-hubungan yang secara teoritis
mendukung.
Sehubungan dengan hipotesis yang diajukan, maka uji statistik pada
hipotesis satu menggunakan analisis lintas yang kemudian digambarkan dalam
model skema lintas. Adapun rumusan hipotesis satu adalah: Perilaku wirausaha
dipengaruhi secara nyata oleh karakteristik individu pengrajin, pendukung usaha
dan lingkungannya. Hubungan antar faktor dijelaskan dengan model skema lintas
pada Gambar 8.
Gambar 8. Skema Lintas Hubungan antar Faktor-Faktor dalam Hipotesis SatuGambar 8Skema Lintas Hubungan antar Faktor-Faktor dalam Hipotesis Satu
Uji statistik pada hipotesis dua menggunakan analisis lintas. Adapun
rumusan hipotesis dua adalah: kemandirian usaha dipengaruhi secara langsung
Lingkungan(X3)
PendukungUsaha (X2)
PerilakuWirausaha
(Y1)
Karakteristikindividu (X1)
oleh karakteristik individu, pendukung usaha, lingkungan, dan perilaku
wirausaha. Hubungan antar faktor dijelaskan dengan model skema lintas pada
Gambar 9.
Gambar 9. Skema Lintas Hubungan antar Faktor-Faktor dalam Hipotesis DuaGambar 9Skema Lintas Hubungan antar Faktor-Faktor dalam Hipotesis Dua
Uji statistik pada hipotesis tiga menggunakan analisis lintas. Adapun
rumusan hipotesis tiga adalah: kemajuan usaha dipengaruhi secara langsung oleh
perilaku wirausaha dan kemandirian usaha. Hubungan antar faktor dijelaskan
dengan model skema lintas pada Gambar 10.
Gambar 10. Skema Lintas Hubungan antar Faktor-Faktor dalam Hipotesis TigaGambar 10Skema Lintas Hubungan antar Faktor-Faktor dalam Hipotesis Tiga
Uji statistik pada hipotesis empat menggunakan analisis lintas. Adapun
rumusan hipotesis empat adalah: keberlanjutan usaha dipengaruhi secara
langsung oleh kemajuan usaha. Hubungan antar faktor dijelaskan dengan model
skema lintas pada Gambar 11.
Pendukung UsahaX2
KEMANDIRIANUSAHA
Y2
LingkunganX3
PerilakuWirausaha
Y1Karakteristik
individuX1
KemandirianUsaha Y2
PerilakuWirausaha
(Y1)
Kemajuan UsahaY3
Gambar 11. Skema Lintas Hubungan antar Faktor-Faktor dalam Hipotesis EmpatGambar 11Skema Lintas Hubungan antar Faktor-Faktor dalam Hipotesis Empat
Tahapan analisis SEM pada penelitian ini mengacu pada Joreskog dan
Sorbom (1998):
(1) pengembangan model berbasis teori, dalam penelitian ini proses
pengembangan dijelaskan pada bagian kerangka berpikir dan hipotesis,
(2) mengembangkan skema lintas hubungan yang komprehensif berdasarkan
landasan teori sebagaimana tercantum pada Gambar 13.
(3) konversi skema lintas ke dalam persamaan model struktural dan model
pengukuran.
(4) Memilih matrik input berupa matrik kovarians dari data yang telah
ditransformasi ke data normal baku dengan menggunakan rumus transformasi
yang telah dijelaskan pada bagian pengukuran variabel dan indikator di atas.
(5) Mengevaluasi kriteria goodnes of fit.
(6) Interpretasi sesuai denga hipotesis yang diajukan.
Model Pengukuran
Penelitian ini adalah penelitian perilaku yang mengukur beberapa variabel
berdasarkan indikator penelitian, agar semua indikator yang dianalisis benar-benar
terbebas dari kekeliruan maka dalam penelitian ini digunakan analisis faktor
konfirmatory yang bertujuan untuk mengevaluasi pola-pola hubungan korelatif
indikator dan konstruknya. Berdasarkan hasil analisis faktor terdapat beberapa
indikator yang tidak fit dengan data (nilai Goodness of Fit < 0,90) sehingga
dikeluarkan dari model dengan didasarkan pada pertimbangan aspek teoritis.
Indikator-indikator yang fit dengan data yang kemudian di analisis lebih lanjut
sehingga diperoleh hasil perhitungan model pengukuran sebagaimana ditampilkan
pada Tabel 17.
Tabel 17Ringkasan Hasil Perhitungan Model Pengukuran
Tabel 17. Ringkasan Hasil Perhitungan Model Pengukuran
KemajuanUsaha
Y3
KeberlanjutanUsaha
Y4
Variabel Kode Indikator Koef.BobotFaktor
Nilait-hitung
HasilUji
x12 Pendidikan 0,47 7.73 *x15 Motivasi berusaha 0.40 6.46 *x16 Pemenuhan Kebutuhan 0.73 13.16 *x17 Intensitas Komunikasi 0.81 15.11 *
Karakteristikindividu X1
x18 Aspek Gender 0.56 9.35 *x21 Bahan baku 0.63 10.83 *x22 Pasar 0.88 17.14 *x23 Ketersediaan teknologi 0.63 10.69 *
Pendukung UsahaX2
x24 Ketersediaan transportasi 0.78 14.32 *x31 Pemimpin informal 0.67 11.93 *x32 Keluarga 0.66 11.71 *x33 Bimbingan Pemda 0.94 19.81 *
DukunganLingkungan X3
x34 Bimbingan Organisasi NonPemerintah
0.95 20.43 *
y11 Keinovatifan 0.91 12.01 *y12 Inisiatif 0.86 11.85 *y13 Pengelolaan Resiko 0.63 9.04 *
Perilaku WirausahaY1
y14 Daya Saing 0.75 10.50 *y21 Kemandirian Permodalan 0.76 10.21 *y22 Kemandirian Produksi 0.81 10.51 *y23 Kemandirian Kerjasama 0.62 8.88 *
TingkatKemandirianUsaha Y2
y24 Kemandirian Pemasaran 0.50 8.69 *y31 Pertumbuhan Usaha 0.88 13.40 *y32 Efisiensi usaha 0.53 8.21 *
Tingkat KemajuanUsaha Y3
y33 Efektivitas usaha 0.55 8.62 *y41 Kontinyuitas Produksi 0.77 12.40 *y42 Kontinyuitas Penjualan 0.97 14.19 *
KeberlanjutanUsaha Y4
y43 Kontinyuitas Bahan baku 0.77 12.40 *Nyata pada α= 0,05; t-hitung > t-tabel (1,965)
Berdasarkan Tabel 17, variabel karakteristik individu yang dimanifeskan
menjadi lima indikator: pendidikan, motif berusaha, pemenuhan kebutuhan,
komunikasi, dan gender memiliki potensi yang nyata untuk meningkatkan
karakteristik individu pengrajin.
Pada tingkat α=0,05 terdapat empat indikator pada variabel pendukung
usaha adalah signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa: bahan baku, pasar,
ketersediaan teknologi, dan ketersediaan transportasi secara nyata dapat
mendukung usaha kerajinan.
Variabel lingkungan dimanifeskan pada empat indikator: pemimpin
informal, keluarga, bimbingan Pemda, bimbingan Organisasi Non Pemerintah,
dan Norma dalam masyarakat. Indikator tersebut merupakan faktor lingkungan
yang secara nyata kondusif bagi pengrajin.
Kemandirian usaha diukur berdasarkan indikator kemandirian permodalan,
kemandirian proses produksi, kemandirian kerjasama, dan kemandirian
pemasaran. Keseluruhan nilai t-hitung indikator lebih besar dari t-tabel. Hal ini
menunjukkan bahwa keseluruhan indikator secara nyata memiliki hubungan
dengan kemandirian usaha. Oleh karena itu, keempat indikator memiliki potensi
untuk menentukan kemandirian usaha pengrajin. Selain itu, keinovatifan, inisiatif,
pengelolaan resiko dan daya saing secara nyata pada α=0,05 menjadi ukuran bagi
kualitas perilaku wirausaha pengrajin.
Secara teoritis, kemajuan usaha dilihat berdasarkan tingkat pertumbuhan
usaha dan efektivitasnya. Pada penelitian ini, terbukti secara nyata bahwa
kemajuan usaha dapat diukur berdasarkan tingkat pertumbuhan usaha, efektivitas
usaha dan efisiensi usaha, yang ditunjukkan dari nila t-hitung> t-tabel.
Pada tingkat α=0,05 nilai t-hitung seluruh indikator pada variabel
keberlanjutan usaha adalah signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa: kontinyuitas
produksi, kontinyuitas penjualan, dan kontinyuitas bahan baku secara nyata dapat
digunakan untuk mengukur tingkat keberlanjutan usaha kerajinan.
Berdasarkan hasil uji model pengukuran atas seluruh indikator dalam
model pemberdayaan pengrajin tersebut, maka dapat dilakukan uji lanjut yaitu
model persamaan struktural
Persamaan model pengukuran dalam penelitian ini adalah:
IndikatorVariabel
X
Karakteristikindividu
PendukungUsaha
Lingkungan Error
x12 = λx12*X1 + δ2x15 = λx15*X1 + δ5x16 = λx16*X1 + δ6x17 = λx17*X1 + δ7x18 = λx18*X1 + δ8x21 = λx21*X2 + δ9x22 = λx22*X2 + δ10x23 = λx23*X2 + δ11x24 = λx24*X2 + δ12x31 = λx31*X2 + δ14x32 = λx32*X2 + δ15x33 = λx33*X2 + δ16x34 = λx34*X2 + δ17
IndikatorVariabel
PerilakuWirausaha
KemandirianUsaha
KemajuanUsaha
KeberlanjutanUsaha
Error
Yy11 = λy11*Y1 + ε19y12 = λy12*Y1 + ε20y13 = λy13*Y1 + ε21y14 = λy14*Y1 + ε22y21 = λy21*Y2 + ε23y22 = λy22*Y2 + ε24y23 = λy23*Y2 + ε25y24 = λy24*Y2 + ε26y31 = λy31*Y3 + ε27y32 = λy32*Y3 + ε28y33 = λy33*Y3 + ε29y34 = λy34*Y3 + ε30y41 = λy41*Y4 + ε31y42 = λy42*Y4 + ε32y43 = λy43*Y4 + ε33y44 = λy44*Y4 + ε34
Keterangan:
λ= koefisien bobot faktor
δ= kesalahan pengukuran indikator pada variabel X
ε= kesalahan pengukuran indikator pada variabel Y
Model Struktural
Hubungan kausal antar faktor dalam penelitian ini dirumuskan dalam
persamaan struktural sebagai berikut:
Perilaku Wirausaha (Y1) = γ1X1+γ2X2+γ3X3 + + ζ1
Kemandirian Usaha (Y2) = γ41X1+γ5X2+ γ6X3 + β1Y1 ζ2
Kemajuan Usaha (Y3) = β2Y1+ β3Y2 + ζ3
Keberlanjutan Usaha (Y4) = β4Y3 + ζ4
Keterangan:
γ= koefisien jalur variabel X terhadap Y, β= koefisien jalur variabel Y terhadap Y , ζ= residu persamaan struktural
Secara keseluruhan model persamaan struktural pemberdayaan pengrajin
digambarkan pada Gambar 12.Gambar 12Model Persamaan Struktural (Basic Model) Pemberdayaan Pengrajin Menuju Kemajuan Usaha dan Keberlanjutan Usaha
δ λ β λ ε
X 1 2
X 1 5
X 1 6
X 1 7
X 1 8
X 2 1
X 2 2
X 2 3
X 2 4
X 3 1
PRIBADI
PENDUSAH
WIRA
MAND
MAJU
Y 1 1
Y 1 2
Y 1 3
Y 1 4
Y 2 1
Y 2 2
Y 2 3
Y 2 4
Y 3 1
Y 3 2
Y 3 3
Keterangan:Variabel X: Variabel Y:PRIBADI = Karakteristik individu (X1) MAND = Kemandirian Usaha (Y1)PENDUSAH= Pendukung Usaha (X2) WIRA = Perilaku Wirausaha (Y2)LING = Lingkungan (X4) MAJU = Kemajuan Usaha (Y3)
LANJUT = Keberlanjutan Usaha (Y4)Indikator Variabel X: Indikator Variabel X:X12 = Pendidikan Y11= KeinovatifanX15 = Motivasi berusaha Y12=InisiatifX16 = Pemenuhan kebutuhan Y13=Pengelolaan resikoX17 = Intensitas Komunikasi Y14=Daya saingX18 = Kesetaraan Gender Y21=Kemandirian PermodalanX21 = Bahan baku Y22=Proses ProduksiX22 = Pasar Y23=KerjasamaX23 = Teknologi Y24=PemasaranX24 = Transportasi Y31=Pertumbuhan UsahaX31= Keluarga Y32=Pertumbuhan UsahaX32 = Pemimpin informal Y33=Efisiensi usahaX33 = Bimbingan Pemda Y41=Kontinyuitas produksiX34 = Bimbingan Organisasi NonPemerintah
Y42=Kontinyuitas penjualan
Y43=Kontinyuitas penjualan
Gambar 12. Model Persamaan Struktural (Basic Model) Pemberdayaan PengrajinMenuju Kemajuan Usaha dan Keberlanjutan Usaha
Gambar 12 menggambarkan posisi dan arah faktor-faktor yang
mempengaruhi keberhasil pemberdayaan pengrajin. Pada model tersebut terlihat
faktor-faktor yang berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap: (1)
perilaku wirausaha, (2) kemandirian usaha, (3) kemajuan usaha, dan (4)
keberlanjutan usaha. Berdasarkan hasil uji hipotesis dilakukan analisis kualitatif
dengan pendekatan induktif yakni tidak hanya menyajikan hasil berupa penolakan
atau penerimaan hipotesis tetapi menjelaskan dan memahami situasi yang ada di
lapangan.
Analisis kualitatif dilakukan melalui kajian mendalam terhadap: (a) alasan
filosofis pengrajin untuk melakukan usaha kerajinan (b) harapan-harapan
pengrajin (c) hambatan-hambatan yang dihadapi pengrajin dalam melakukan
usaha dan (d) peranan pembinaan pemerintah
Hasil akhir penelitian ini adalah menyusun model pemberdayaan yang
efektif memandirikan pengrajin, membentuk perilaku wirausaha yang berkualitas
guna memajukan usaha kerajinan dan meningkatkan keberlanjutan usaha.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Posisi geografis Kabupaten Sidoarjo terletak berdekatan dengan Ibukota
Provinsi Jawa Timur. Batas sebelah utara Kabupaten Sidoarjo adalah Kota
Surabaya dan Kabupaten Gresik, sebelah selatan adalah Kabupaten Pasuruan,
sebelah timur adalah Selat Madura dan sebelah barat adalah Kabupaten
Mojokerto. Kabupaten Magetan terletak di bagian barat Jawa Timur, sekitar 200
km arah barat Kota Surabaya. Sebelah barat berbatasan dengan provinsi Jawa
Tengah, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Ngawi, sebelah timur
berbatasan dengan Kabupaten Madiun dan sebelah selatan berbatasan dengan
Kabupaten Ponorogo. Kedua daerah ini merupakan daerah yang menjadi sentra
Industri Kecil Kerajinan Rumah Tangga (IKKR) barang dari bahan kulit di Jawa
Timur. Beberapa jenis produk yang mampu dihasilkan pengrajin di beberapa desa
di kedua kabupaten ini dijelaskan pada Tabel 18.Tabel 18Jenis Produksi Kerajinan Sentra IKKR Barang dari Kulit di Kabupaten Magetan dan Kabupaten Sidoarjo
Tabel 18. Jenis Produksi Kerajinan Sentra IKKR Barang dari Kulitdi Kabupaten Magetan dan Kabupaten Sidoarjo
Desa Kecamatan Kabupaten Jenis Produksi
Balegondo Magetan Magetan
Ringinagung Magetan Magetan
Sepatu dan sandal, ikat pinggang,jaket, dompet, tas, dan berbagaiasesories dari kulit.
Kludan Tanggulangin SidoarjoKalisampurno Tanggulangin SidoarjoKedensari Tanggulangin Sidoarjo
Tas, koper, dompet, ikatpinggang, jaket, sepatu sandal,sepatu, rompi, rok, celana, danberbagai asesories dari kulit.
Berdasarkan Tabel 18, pengrajin memiliki variasi dalam menghasilkan
produk kerajinannya. Pengrajin Sidoarjo merupakan penghasil produksi tas dan
koper yang dominan. Usaha ini diawali oleh orang tua mereka yang membuat
koper terlebih dahulu, kemudian mengembangkan jenis produk dengan membuat
tas, ikat pinggang, dompet, jaket, dan berbagai perlengkapan dari kulit. Pengrajin
di Magetan memulai usaha dengan membuat sepatu dan sandal, yang kemudian
berkembang menghasilkan ikat pinggang, jaket, dan berbagai produk dari kulit.
Terdapat beberapa pola saluran distribusi produk kerajinan di Sidoarjo dan
Magetan. Gambaran saluran distribusi yang diterapkan pengrajin dijelaskan pada
Gambar 13.
Gambar 13. Saluran Distribusi Produk KerajinanBarang dari kulit di Jawa Timur
Gambar 13Saluran Distribusi Produk Kerajinan Barang dari kulit di Jawa Timur
Pengrajin mendistribusikan produknya di dalam negeri dengan satu atau
lebih pola saluran distribusi sebagaimana tercantum pada Gambar 14. Pengrajin
yang menjadi anggota koperasi dapat memasarkan produknya melalui koperasi.
Bagi non anggota dapat memasarkan melalui: show room sendiri, agen kota, atau
juragan. Pada saluran distribusi ekspor, pengrajin masih belum bisa mengekspor
langsung tetapi melalui perusahaan trading atau eksportir.
Pengrajin Konsumen
Pengrajin Juragan Agen luarkota
Konsumen
Pengrajin Koperasi /Agen kota
Konsumen
Pengrajin Juragan Konsumen
Pengrajin Juragan Eksportir /Trading
Konsumenpemakai
Saluran distribusi dalam negeri
Saluran distribusi Ekspor
Daerah pemasaran produk kerajinan meliputi: seluruh Jawa Timur,
sebagian kota besar di pulau Jawa, Sumatera, Bali, Sulawesi, dan Kalimantan.
Sebagian kecil adalah ekspor ke Malaysia, Singapura, Brunei, Australia, Arab
Saudi, dan beberapa negara di timur tengah. Kemampuan pengrajin
mendistribusikan produknya ke beberapa daerah pemasaran (jangkauan
pemasaran) dikelompokkan menjadi tiga yaitu: (1) lokal meliputi kota di wilayah
Jawa Timur, (2) nasional meliputi kota-kota diseluruh Indonesia, (3) nasional dan
ekspor meliputi kota di seluruh Indonesia dan ekspor ke luar negeri. Sebaran
jangkauan pemasaran produk kerajinan ditampilkan pada Tabel 19.Tabel 19Jangkauan Pemasaran Produk Kerajinan
Tabel 19. Jangkauan Pemasaran Produk Kerajinan
KabupatenSidoarjo Magetan
TotalJangkauan pemasaran *
N % N % N %Lokal (Jawa Timur) saja 48 33.1 63 55.3 111 42.9Nasional 90 62.1 45 39.5 135 52.1Nasional dan Ekspor 7 4.8 6 5.3 13 5.0Jumlah 145 100.0 115 100.0 260 100
*Hasil Uji Beda One Way Anova, Nyata pada α= 0,05, (P=0,003; F-Hitung=9,226)Modus = Nasional
Sebagian besar (95 persen) pengrajin memiliki jangkauan pemasaran
secara nasional, pengrajin mampu memasarkan produk kerajinannya di kota-kota
di Indonesia. Terdapat perbedaan yang nyata pada jangkauan pemasaran pengrajin
di Sidoarjo dan Magetan; jangkauan pasar pengrajin Sidoarjo lebih luas dibanding
pengrajin Magetan. Keterjangkauan transportasi dan jarak antara Sidoarjo dengan
Surabaya yang dekat mendukung pengrajin menjangkau pasar yang lebih luas.
Untuk menjalankan usaha kerajinan, pengrajin mempergunakan modal
kerja. Modal kerja yang dijalankan pengrajin adalah jumlah dana yang dimiliki
pengrajin untuk kegiatan produksi dalam jangka waktu satu bulan diluar aktiva
tetap berupa mesin, peralatan, dan tempat usaha. Modal kerja ini yang diputar
pengrajin setiap bulannya untuk membeli bahan baku, bahan penunjang dan
biaya produksi lainnya. Sebaran responden menurut modal kerja yang dikelola
terdapat pada Tabel 20.
Tabel 20. Sebaran Responden Berdasarkan Modal Kerja yang Dikelola
KabupatenModal Kerja*Sidoarjo Total
Total
N % N % N %< Rp.2juta 83 57.2 75 51.7 158 60.8
Rp.2 juta - Rp.4 juta 38 26.2 30 20.7 68 26.2
> Rp.4 juta 24 16.6 10 6.9 34 13.1
Total 145 100.0 115 100.0 260 100.0*Hasil Uji Beda One Way Anova, Nyata pada α= 0,05, (P=0,035; F hitung=4,469)Rataan= Rp.2.650.000Tabel 20Sebaran Responden Berdasarkan Modal Kerja yang Dikelola
Rata-rata pengrajin mempergunakan modal kerja perbulan Rp. 2.650.000.
Jika diperhatikan persentasenya, lebih dari setengah pengrajin mempergunakan
modal kerja dibawah dua juta rupiah. Pengrajin memperoleh modal dari beberapa
sumber permodalan yaitu: (1) modal sendiri, (2) modal pinjaman (diperoleh dari:
bank, koperasi, dan pribadi), (3) modal dari juragan, dan (4) modal ventura.
Seorang pengrajin bisa mengakses satu atau lebih sumber permodalan tergantung
pada kemauan dan kemampuan pengrajin. Pada beberapa pengrajin tidak mau
mengakses modal dari bank dengan alasan tidak tahu prosedurnya dan beberapa
pengrajin tidak mampu mengakses modal dari lembaga keuangan formal
(perbankan atau koperasi) karena tidak mampu memenuhi persyaratan agunannya.
Modal kerja yang dikelola dipergunakan untuk membeli bahan baku dan
perlengkapan usaha. Bahan baku diperoleh di lokasi industri melalui pedagang
pemasok bahan baku. Bahan baku tersebut sebagian diperoleh dari sentra
penyamakan kulit di Magetan, Yogyakarta, Blitar, dan Malang dengan harga Rp
13.000 - Rp 15.000 per feet. (1 feet = 28 cm persegi). Menurut pengrajin, bahan
baku dari Indonesia diakui kualitasnya terbaik sehingga banyak industri luar
negeri yang mencari bahan baku kulit dari Indonesia. Kebijakan yang kurang
mendukung menyebabkan banyak bahan baku yang diekspor, dalam hal ini tidak
ada kuota dalam ekspor bahan baku kulit sehingga kebutuhan lokal terganggu.
Menurut beberapa pengrajin, kulit yang diekspor itu adalah kulit dengan kualitas
terbaik sehingga pengrajin kesulitan untuk memperolehnya.
Pemda Kabupaten Sidoarjo telah mendirikan pabrik yang mampu
mengerjakan pengecoran segala jenis logam non besi, untuk keperluan usaha
kerajinan, misalnya: asesoris tas dan koper serta perhiasan dari bahan kuningan,
tembaga dan zink. Para pengrajin yang sebelumnya tergantung pada asesoris dari
luar dapat lebih menghemat dan dapat mengembangkan kreativitasnya dalam
mendapatkan model tertentu sebagai ciri khas. Di Kabupaten Magetan terdapat
UPT Penelitian dan Pengembangan Kulit, sehingga beberapa hasil kajian tentang
pengembangan industri penyamakan dapat mendukung perkembangan bahan baku
yang dapat memenuhi kebutuhan pengrajin di Magetan dan Sidoarjo.
Seluruh pengrajin memiliki peralatan pokok usaha kerajinan kulita yaitu
mesin jahit, dan alat pemotong. Pengrajin yang memiliki modal besar memiliki
beberapa mesin yang diberi nama lokal: mesin plong, mesin seset, mesin press,
mesin grinda, oven listrik, dan lain-lain. Pengrajin yang tidak memiliki mesin
tersebut dapat menggunakan mesin milik pengrajin lain dengan membayar uang
sewa. Pengrajin melaksanakan kegiatan produksi di rumah masing-masing (secara
home industry).
Pengrajin yang menjalankan usaha kerajinan dikelompokkan
menjadi tiga kelompok umur, sebagaimana ditampilan pada Tabel 21.
Rata-rata pengrajin yang menjalankan usaha kerajinan kulit di Jawa Timur
berusia 37 tahun, mereka adalah generasi penerus usaha kerajinan yang
dijalankan orang tua atau keluarga. Para pengrajin telah menjalankan
usaha secara turun menurun dari orang tua dan keluarga mereka
sebelumnya.
Tabel 21. Sebaran Responden Menurut Umur
Kabupaten TotalUmur Sidoarjo Magetan
N % N % N %Muda ( < 31 tahun) 45 31.0 42 36.5 87 33.5Dewasa (31-47 tahun) 52 35.9 34 29.6 86 33.1Lanjut (>47 tahun) 48 33.1 39 33.9 87 33.5Total 145 100 115 100 260 100
Hasil Uji Beda One Way Anova, Tidak Nyata pada α= 0,05, (P=0,208; F hitung=0,649)Rataan=37,4 tahun
Tabel 21Sebaran Responden Menurut Umur
Pengalaman usaha yang dimiliki juga bervariasi, sebaran responden
menurut pengalaman berusaha di bidang kerajinan dapat dilihat pada Tabel 22.
Rata-rata pengalaman berusaha di bidang kerajinan kulit 12 tahun, suatu masa
yang cukup penting untuk mengembangkan usahanya menjadi lebih baik.
Pengrajin bekerja sebagai petani, pedagang, karyawan swasta dan buruh pabrik
sebelum bekerja di bidang kerajinan ini.
Tabel 22Sebaran Responden Menurut Pengalaman BerusahaTabel 22. Sebaran Responden Menurut Pengalaman Berusaha
Kabupaten TotalPengalaman Berusaha Sidoarjo Magetan
N % N % N %Pemula ( <14 tahun) 42 29.0 42 36.5 84 32.3Menengah (14-24tahun) 48 33.1 35 30.4 83 31.9
Lanjut (>24 tahun) 55 37.9 38 33.0 93 35.8Jumlah 145 100 115 100 260 100
Hasil Uji Beda One Way Anova, Tidak Nyata pada α= 0,05, (P=0,228; F hitung=1,458)Rataan=12,7 tahun
Apabila pengalaman usaha tersebut dikaitkan dengan umur pengrajin
(rata-rata pengrajin berumur 37 tahun), maka dapat diketahui bahwa mereka rata-
rata memulai karir pengrajin pada usia 24 tahun. Kronologis umur memulai usaha
berkontribusi terhadap keberhasilan jangka panjang karena wirausahawan muda
cenderung akan memiliki karir yang lebih lama dan potensial untuk dapat
mengembangkan karir wirausahanya (Perry, Batstone dan Pulsarum, 2003).
Hasil usaha kerajinan yang dijalankan pengrajin dipergunakan untuk
menghidupi anggota keluarga yang menjadi tanggungannya. Pengrajin memiliki
tanggungan keluarga yang dijelaskan pada Tabel 23.
Tabel 23Sebaran Responden Menurut Tanggungan KeluargaTabel 23. Sebaran Responden Menurut Tanggungan Keluarga
Kabupaten TotalSidoarjo Magetan
Jumlah Tanggungankeluarga
N % N % N %Sedikit (< 2 jiwa) 24 16.6 31 27.0 55 21.2Sedang (2-4 jiwa) 66 45.5 57 49.6 123 47.3Banyak (>4 jiwa) 55 37.9 27 23.5 82 31.5Jumlah 145 100 115 100 260 100.0
*Hasil Uji Beda One Way Anova, Nyata pada α= 0,05, (P=0,005; F hitung=7,851)
Rataan=4 jiwaBerdasarkan Tabel 23, diketahui bahwa jumlah anggota keluarga yang
menjadi tanggungan pengrajin rata-rata 4 orang. Terdapat perbedaan yang nyata
pada aspek tanggungan keluarga di kedua lokasi, tanggungan keluarga pengrajin
di Sidoarjo lebih besar dari Magetan. Sidoarjo adalah daerah pinggiran perkotaan
yang memiliki daya tarik bagi pendatang, sehingga anggota keluarga yang
berasal dari daerah lain di wilayah Jawa Timur turut tinggal di tempat pengrajin
dan menjadi tanggungan keluarganya.
Kegiatan pembinaan belum banyak dirasakan oleh pengrajin. Kegiatan
pembinaan berupa pelatihan baru dirasakan oleh 67 persen pengrajin, artinya 33
persen pengrajin pengrajin belum pernah mendapatkan pembinaan melalui
pelatihan atau pendidikan non formal, mereka bisa melakukan proses produksi
karena belajar dari pengrajin lainnya. Beberapa kegiatan pembinaan yang pernah
dilakukan di kedua lokasi dijelaskan pada Tabel 24.
Tabel 24Kegiatan Pembinaan Bagi Pengrajin di Kabupaten Magetan dan SidoarjoTabel 24. Kegiatan Pembinaan Bagi Pengrajin di
Kabupaten Magetan dan Sidoarjo
Kegiatan Substansi/Materi Tempat Penyelenggara
Produksi Magetan danSidoarjo
Manajemen Magetan danSidoarjo
SDM Sidoarjo
Pelatihan
Akuntansi Sidoarjo
Disperindag, Diskop & UKM,Koperasi, LIPI, PerguruanTinggi, LSM.
Pendampingan Bantuan modalpinjaman danteknik produksi.
Magetan danSidoarjo
PT POS, PT Telkom, PT BRI,NOKIA.
Penyelenggaraan pembinaan dilaksanakan berdasarkan keinginan
penyelenggara dan bersifat tidak kontinyu. Karena tidak ada koordinasi antar
penyelenggara, sering materi yang diberikan saling overlap. Aspek pemerataan
untuk mengakses kegiatan pembinaan masih rendah karena mereka terhalangi
oleh beberapa klik pada jalur birokrasi desa seperti perangkat desa (pamong
praja), koperasi, atau aktor-aktor dalam Lingkungan Industri Kecil (LIK). Faktor
klik yang ada pada jalur birokrasi tersebut terbentuk dari aspek kekeluargaan dan
kepemilikan modal
Sarana promosi industri kecil di Jawa Timur yang sering diakses pengrajin
adalah kegiatan pameran kerajinan di tingkat Provinsi atau Nasional. Selain itu,
Dinas Koperasi dan UKM juga telah membuat situs internet dengan alamat
www.diskopjatim.go.id yang menampilkan fitur potensi UKM kulit di Jawa
Timur.
Karakteristik Individu Pengrajin
Usaha kerajinan barang dari bahan kulit di Kabupaten Sidoarjo dan
Magetan dikelola oleh pengrajin yang selain sebagai pemilik usaha, tenaga
produksi / pekerja, pengelola keuangan juga sebagai tenaga pemasar. Pada usaha
kerajinan ini pengrajin merupakan aktor kunci dalam menggerakkan usaha
kerajinan. Melihat posisi individu yang multi fungsi tersebut, maka karakteristik
individunya akan menentukan bagi upaya pengembangan usahanya.
Karakteristik individu pengrajin diukur berdasarkan: pendidikan,
pengalaman usaha, motivasi berusaha, tingkat pemenuhan kebutuhan, intensitas
komunikasi dan aspek gender. Ukuran ini diperoleh dari hasil analisis faktor
konfirmatori, sebelumnya terdapat delapan indikator yang diperoleh dari sintesis
teori dalam kerangka berpikir penelitian. Setelah dilakukan analisis faktor,
indikator umur, tanggungan keluarga, dan pengalaman usaha tidak valid untuk
dimasukkan dalam model pengukuran variabel karakteristik individu. Deskripsi
responden menurut karakteristik individu ditampilkan pada Tabel 25.
Berdasarkan Tabel 25, terlihat bahwa aspek karaketeristik individu yang
menonjol pada pengrajin di Sidoarjo dan Magetan adalah motivasi berusaha dan
intensitas komunikasi. Setengah pengrajin di Sidoarjo memiliki motivasi berusaha
yang tinggi dan sangat tinggi, pengrajin telah memiliki motivasi berusaha yang
mengarah pada orientasi ekonomi dan perkembangan usaha. Intensitas
komunikasi yang dilakukan pengrajin di Sidoarjo juga tinggi, hampir setengah
pengrajin melakukan komunikasi dengan intensitas yang tinggi dan sangat tinggi
karena didukung oleh kemudahan menggunakan alat komunikasi, keterbukan, dan
kemudahan memperoleh sarana transportasi dan prasarana transportasi.
Aspek pendidikan non formal pengrajin di kedua lokasi masih sangat
rendah. Pengrajin mendapat pendidikan non formal melalui pelatihan yang
diselenggarakan pemerintah daerah dan organisasi non pemerintah namun dengan
intensitas yang masih sangat rendah.
Tabel 25. Sebaran Responden Menurut Karakteristik Individu
Kabupaten TotalSidoarjo Magetan
Karakteristik Individu Kriteria
N % N % N %Lulus SD 50 34,5 46 40,0 96 36,9Lulus SMP 61 42,1 41 35,7 102 39,2Lulus SMA/PT 34 23,4 28 24,3 62 23,8
Pendidikan FormalSelang skor (6-16)Rataan=9 tahun
Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0Rendah ( < 10 jam) 119 82,1 89 77,4 208 80,0Sedang (10–20jam) 18 12,4 12 10,4 30 11,5Tinggi (> 20 jam) 8 5,5 14 12,2 22 8,5
Pendidikan Non FormalSelang skor (skor 0-40)Rataan=2,8jam
Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0Sangat rendah 16 11,0 21 18,3 37 14,2Rendah 36 24,8 44 38,3 80 30,8Sedang 32 22,1 12 10,4 26 10,0Tinggi 20 13,8 12 10,4 50 19,2Sangat Tinggi 41 28,3 26 22,6 67 25,8
Motivasi Berusaha(X15)*Selang skor (skor 0-100)Rataan=55.5
Jumlah 145 100 115 100 260 100Sangat rendah 21 14,5 28 24,3 49 18,9Rendah 29 20,0 20 17,4 49 18,9Sedang 32 22,0 34 29,6 66 25,4Tinggi 28 19,3 21 18,3 49 18,9Sangat Tinggi 35 24,1 12 10,4 47 18,1
PemenuhanKebuthn(X16)*Selang skor (skor 0-100)Rataan=50.2
Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0Sangat rendah 16 11,0 32 27,8 48 18,5Rendah 23 15,9 24 20,9 47 18,1Sedang 40 27,6 23 20,0 63 24,2Tinggi 39 26,9 20 17,4 59 22,7Sangat Tinggi 27 18,6 16 13,9 43 16,5
Komunikasi (X17)*Selang skor (skor 0-100)Rataan=52.0
Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0Sangat rendah 50 34,5 42 36,5 92 35,4Rendah 23 15,9 9 7,8 32 12,3Sedang 36 24,8 39 33,9 75 28,8Tinggi 6 4,1 5 4,3 11 4,2Sangat Tinggi 30 20,7 20 17,4 50 19,2
Aspek Gender (X18)*Selang skor (skor 0-100)Rataan=33.3
Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0Tabel 25Sebaran Responden Menurut Karakteristik Individu
Keterangan:Kriteria Sangat Rendah: skor 0-20; Rendah: skor 21-40, Sedang: skor 41-60, Tinggi:skor 61-80, Sangat Tinggi: skor 81-100.* Berdasarkan hasil uji beda rata-rata One Way Anova, nyata padaα= 0,05.
Pendidikan
Berdasarkan Tabel 25, hasil analisis statistik deskriptif menunjukkan bahwa
rata-rata pengrajin menempuh tingkat pendidikan formal di tingkat SMTP atau
masa studi pendidikan formal 9 tahun. Tidak terdapat perbedaan yang nyata pada
tingkat pendidikan di kedua lokasi. Masa tempuh pendidikan non formal
pengrajin masih sangat rendah, rata-rata pengrajin hanya menempuh pendidikan
non formal 8 jam selama kurun waktu menjalankan usaha di bidang kerajinan.
Pendidikan (baik formal maupun non formal) merupakan sarana untuk
meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan. Pada umumnya seseorang yang
berpendidikan lebih baik dan berpengetahuan teknis yang lebih banyak, akan lebih
mudah dan lebih mampu berkomunikasi dengan baik Semakin tinggi pendidikan
formal akan semakin tinggi pula kemampuannya untuk menerima, menyaring dan
menerapkan inovasi yang dikenalkan kepadanya.
Rata-rata pendidikan pengrajin rendah atau setingkat SMP. Pengrajin yang
berpendidikan tinggi mempunyai potensi untuk meraih keberhasilan lebih lanjut
dengan memanfaatkan pendidikan yang dimilikinya, sebagaimana dikemukakan
oleh Perry, Batstone dan Pulsarum (2003) yang menemukan bahwa pendidikan
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keberhasilan usaha kecil menengah.
Rajagapolan dan Datta (1996) menemukan adanya hubungan antara tingkat
pendidikan dan pengalaman usaha terhadap tingkat pertumbuhan usaha. Temuan
ini juga mendukung temuan Haber dan Reichel (2006) yang menyatakan bahwa
pendidikan menjadi prediktor yang bagus untuk memulai usaha yang beresiko dan
kesuksesan penguatan jejaring.
Motivasi dan Pemenuhan Kebutuhan
Rata-rata motivasi berusaha pengrajin di Sidoarjo adalah sedang
(skor=55,5). Terdapat perbedaan yang nyata pada motivasi berusaha pengrajin di
kedua lokasi, pengrajin di Sidoarjo memiliki motivasi yang lebih tinggi dari
pengrajin Magetan. Kabupaten Sidoarjo merupakan kawasan industri di Jawa
Timur, dinamika lingkungan usaha yang tinggi cenderung mendorong pengrajin
untuk tidak hanya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tetapi juga kebutuhan
pertumbuhan dan keberlanjutan usahanya di masa depan.
Motivasi merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk menimbulkan
dorongan untuk berbuat atau melakukan tindakan. Motivasi berusaha merupakan
alasan pokok yang mendasari pengrajin untuk berperilaku dan memutuskan untuk
tetap bertahan melakukan kegiatan usaha di bidang kerajinan. Agar dapat
mengembangkan usahanya, seyogyanya seorang pengrajin yang juga seorang
wirausahawan memiliki motivasi berusaha yang tinggi guna menggerakkan
pengrajin untuk memenuhi kebutuhan perkembangan usaha.
Motivasi berhubungan dengan kebutuhan, minat (sifat nurani yang timbul
dengan sendirinya dan memiliki daya dorong) dan keinginan (sifat hati nurani
yang timbul karena orang berminat terhadap sesuatu dan mendorong terbentuknya
motif untuk berbuat). Motif yang besar akan timbul manakala ada kebutuhan yang
disadari yang menimbulkan keinginan, menimbulkan minat dan menimbulkan
motif. Salah satu faktor pendorong yang penting bagi pengrajin dalam berusaha
adalah tuntutan memenuhi kebutuhan keluarga. Hubungan antara tingkat
pemenuhan kebutuhan dan motivasi berusaha ditampilkan pada Tabel 26.
Tabel 26. Distribusi Persentase Pengrajin menurut MotivasiBerusaha dan Pemenuhan Kebutuhan
Tingkat Pemenuhan Kebutuhan TotalMotivasiberusaha Sangat
rendahRendah Sedang Tinggi Sangat
TinggiN % N % N % N % N % N %
Sangat rendah 12 32 20 25 3 13 7 13 7 10 49 19Rendah 12 32 21 26 4 14 7 14 5 7 49 19Sedang 10 27 22 28 7 28 14 28 13 19 66 25Tinggi 0 0 8 10 7 25 13 25 22 33 49 19Sangat Tinggi 3 8 9 11 5 20 10 20 20 30 47 18Jumlah 37 100 80 100 26 100 50 100 67 100 260 100
*Hasil Uji Chi-Square, Nyata pada α= 0,05, (P=0,00)Kriteria Sangat Rendah: skor 0-20; Rendah: skor 21-40, Sedang: skor 41-60, Tinggi:skor 61-80, Sangat Tinggi: skor 81-100.Rata-rata motivasi berusaha sedang (skor=55,5)Tabel 26Distribusi Persentase Pengrajin menurut Motivasi Berusaha dan Pemenuhan Kebutuhan
Rendahnya tingkat pemenuhan kebutuhan karena pengrajin memiliki
motivasi yang rendah. Mereka menjalankan usaha kerajinan mengikuti teman,
tetangga dan orang tua. Alasan-alasan ekonomi kurang menjadi pertimbangan
dalam memilih berusaha sebagai pengrajin. Upaya memenuhi kebutuhan hidup
merupakan salah satu bentuk tanggung jawab terhadap keluarga yang menjadi
tanggungannya.
Hubungan antara motivasi berusaha dengan tanggungan keluarga pada
Tabel 27 menunjukkan bahwa semakin tinggi tanggungan keluarga, maka
semakin tinggi motivasi berusaha. Pada komunitas pengrajin, terdapat satu
keterkaitan antara tingkat pemenuhan kebutuhan, tanggungan keluarga dan
motivasi berusaha. Tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang
menjadi tanggungannya, menjadi pendorong yang signifikan bagi pengrajin untuk
berusaha.
Tabel 27. Distribusi Persentase Pengrajin menurut TanggunganKeluarga dan Motivasi Berusaha
Motivasi berusaha* TotalTanggungan
KeluargaSangatrendah
Rendah Sedang Tinggi SangatTinggi
N % N % N % N % N % N %Kurang dari 2 orang 6 17 13 17 4 17 8 17 11 17 43 172-4 orang 9 23 19 23 6 23 12 23 16 23 61 23Lebih dari 4 orang 22 60 48 60 16 60 30 60 40 60 156 60Jumlah 37 100 80 100 26 100 50 100 67 100 260 100
Keterangan:*Hasil uji chi-square nyata pada α= 0,05.Kriteria Sangat Rendah: skor 0-20; Rendah: skor 21-40, Sedang: skor 41-60, Tinggi:skor 61-80, Sangat Tinggi: skor 81-100.Tabel27Distribusi Persentase Pengrajin menurut Tanggungan Keluarga dan Motivasi Berus aha
Komunikasi
Pengrajin melakukan komunikasi dengan tingkat yang baik dengan rataan
sedang (rata-rata skor=52). Suatu kondisi yang potensial untuk mendukung
program pemberdayaan pengrajin, karena mereka telah memiliki bekal intensitas
komunikasi yang baik. Intensitas komunikasi yang dilakukan pengrajin
berhubungan dengan tingkat pendidikannya. Hubungan antara intensitas
komunikasi dan pendidikan ditampilkan pada Tabel 28.
Berdasarkan hasil uji chi square pada Tabel 28 terbukti bahwa terdapat
hubungan yang nyata antara komunikasi dengan tingkat pendidikan. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan pengrajin, maka semakin
tinggi intensitas komunikasinya. Pengrajin yang memiliki tingkat pendidikan yang
tinggi lebih mampu melakukan komunikasi interpersonal, akses media cetak dan
elektronik serta kosmopolitansi daripada pengrajin yang tingkat pendidikannya
rendah.
Tabel 28. Distribusi Persentase Responden Pengrajin menurutIntensitas Komunikasi dan Pendidikan
Intensitas Komunikasi* TotalTingkatPendidikan Sangat
rendahRendah Sedang Tinggi Sangat
TinggiN % N % N % N % N % N %
LulusSD/Kurang
18 37 17 37 23 37 22 37 16 37 96 37
Lulus SMTP 19 39 18 39 25 39 23 39 17 39 102 39Lulus SMTA keatas
11 24 11 24 15 24 14 24 10 24 62 24
Jumlah 48 100 47 100 63 100 59 100 43 100 260 100Keterangan:*Hasil uji chi-square nyata pada α= 0,05.Kriteria Sangat Rendah: skor 0-20; Rendah: skor 21-40, Sedang: skor 41-60, Tinggi: skor 61-80,Sangat Tinggi: skor 81-100.Rata-rata intensitas komunikasi sedang (skor=52,03)Tabel 28Distribusi Persentase Responden Pengrajin menurut Komunikasi dan Pendidikan
Komunikasi diperlukan oleh seseorang demi terpenuhinya kebutuhan
berinteraksi dengan orang lain. Hampir setiap orang membutuhkan hubungan
sosial dengan orang lain, yang terpenuhi melalui pertukaran pesan yang
merupakan jembatan untuk relasi sosial antar manusia. Begitu pula pada
pengrajin, tanpa komunikasi pengrajin akan terisolasi dengan dunia di luar
dirinya, yang diperlukan untuk kebutuhan usaha dan sosialnya.
Bagi pengrajin, berkomunikasi dengan konsumen, pemasok, teman sesama
pengrajin, pemberi modal sangat penting untuk keberlangsungan usaha
kerajinannya. Pengrajin memiliki kemampuan untuk mengkases media cetak dan
elektronik yang masih rendah, akses ini terkait dengan informasi model produk.
Aspek Gender
Berdasarkan hasil analisis statistik deskriptif, aspek Gender dalam
kegiatan usaha kerajinan masih rendah dengan skor rataan kesetaraan gender pada
kedua lokasi menunjukkan nilai yang rendah (33,26). Terdapat perbedaan yang
nyata pada aspek gender di kedua lokasi, aspek gender di Sidoarjo lebih tinggi
dari Magetan. Pengrajin di Sidoarjo memiliki persepsi tentang adanya kesetaraan
hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan dalam pekerjaan yang lebih
tinggi dari pengrajin Magetan. Kabupaten Sidoarjo merupakan wilayah industri
dan dekat dengan pusat perdagangan di Jawa Timur. Hal ini menyebabkan banyak
tenaga kerja wanita yang bekerja di sektor industri / pabrik yang mengikuti
standar upah minimum. Kesadaran wanita akan hak-haknya menjadi lebih baik,
posisi tawar wanita untuk bekerja dengan upah yang setara dengan laki-laki
menjadi lebih tinggi karena ada pembanding yaitu bekerja di pabrik.
Pada Kabupaten Magetan yang wilayahnya jauh dari pusat industri dan
lebih dekat dengan pertanian, pengrajin masih membedakan upah untuk tenaga
kerja wanita dan laki-laki. Terdapat kesenjangan dalam pembagian tugas
kerajinan, kegiatan produksi lebih banyak dilakukan oleh laki-laki. Perempuan
mendapat tugas di bagian penjualan sebagai penjaga toko (show room), finishing
dan tenaga pemasaran. Sedangkan kegiatan produksi, pengadaan bahan baku,
pengaturan keuangan dan permodalan lebih banyak dijalankan oleh laki-laki.
Sistem pengupahan pada kegiatan produksi dilakukan per unit produk yang
dihasilkan dengan upah untuk sepatu Rp. 6.000,- per unit, tas Rp.3.000,- sampai
Rp.5.000, perunit, ikat pinggang dan dompet Rp.3.000 per unit. Sedangkan untuk
pekerjaan yang biasa dikerjakan perempuan di bidang kerajinan digaji
Rp.200.000,- per bulan, sehingga terdapat kesenjangan dalam upah yang diperoleh
pengrajin laki-laki dan perempuan. Kesetaraan gender dalam hal penggajian dan
pembagian tugas diangkat dalam penelitian kerajinan ini karena usaha kerajinan
membutuhkan ketelitian dan kecermatan dalam proses produksi. Hubungan antara
aspek gender dengan kemandirian produksi diuji dengan chi square, yang
ditampilkan pada Tabel 29.
Tabel 29. Distribusi Persentase Responden Pengrajin menurutAspek Gender dan Kemandirian Produksi
Aspek Gender* TotalSangatrendah
Rendah Sedang Tinggi SangatTinggi
KemandirianProduksi
N % N % N % N % N % N %Sangat rendah 22 24 9 28 14 19 0 0 14 10 49 19Rendah 41 45 2 6 14 19 2 18 3 7 49 19Sedang 16 17 2 7 9 12 2 18 3,7 19 66 25Tinggi 8 9 8 24 24 32 2 18 12 33 49 19Sangat Tinggi 5 5 11 34 14 19 5 45 17 30 47 18Jumlah 92 100 32 100 75 100 11 100 50 100 260 100
Keterangan:*Hasil uji chi-square nyata pada α= 0,05. Chi-square hitung=16,07
Kriteria Sangat Rendah: skor 0-20; Rendah: skor 21-40, Sedang: skor 41-60, Tinggi:skor 61-80, Sangat Tinggi: skor 81-100.Rata-rata aspek gender rendah (skor=33,26)Tabel29Distribusi Persentase Responden Pengrajin menurut Gender dan Kemandirian Produksi
Terdapat hubungan yang nyata antara aspek gender dengan kemandirian
produksi, rendahnya kemandirian produksi salah satunya adalah disebabkan oleh
kesetaraan gender yang rendah. Ada diskriminasi penggajian dan pembagian
tugas antara laki-laki dan perempuan sehingga perempuan kurang memiliki
kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam usaha kerajinan ini.
Proses produksi yang dijalankan pengrajin dalam membuat tas, sepatu atau
asesoris lainnya membutuhkan kegiatan menjahit, mengelem atau merapikan yang
membutuhkan ketelitian. Keterlibatan perempuan berpeluang lebih meningkatkan
hasil dan mutu produk kerajinan ini.
Peran dan posisi perempuan dalam kegiatan usaha tidak lepas dari
konstruksi masyarakat yang dikuatkan dengan produk-produk budaya yang bias
laki-laki. Produk budaya yang bias laki-laki yang terkait dengan kondisi kedua
kabupaten adalah bahwasanya perempuan memiliki tugas primer sebagai ibu
rumah tangga, sehingga dalam usaha kerajinan memiliki fungsi sekunder.
Faktor Pendukung Usaha
Berdasarkan hasil analisis faktor diperoleh empat faktor yang layak untuk
mengukur kualitas pendukung usaha yaitu: berdasarkan kualitas bahan baku,
ketersediaan pasar, ketersediaan teknologi peralatan produksi, dan
keterjangkauan sarana transportasi. Deskripsi responden menurut kualitas
pendukung usaha ditampilkan pada Tabel 30.
Ketersediaan Bahan Baku
Rata-rata faktor ketersediaan bahan baku adalah rendah (skor rataan=37,4).
Ketersediaan bahan baku di kedua lokasi berbeda nyata, ketersediaan bahan baku
di kabupaten Magetan lebih tinggi jika dibandingkan dengan kabupaten Sidoarjo.
Bahan baku sangat mutlak diperlukan untuk menghasilkan produk kerajinan
bermutu. Kabupaten Magetan merupakan salah satu penghasil kulit yang potensial
di Indonesia sehingga pengrajin lebih mudah mengakses bahan baku ini. Pengrajin
di Kabupaten Sidoarjo mengeluh sering kekurangan bahan baku. Kurangnya
bahan baku kulit ini menyebabkan pengrajin hanya mampu memenuhi 50 persen
pesanannya, proses produksi menjadi terlambat dua minggu dari jadwal dan biaya
produksi meningkat dua kali lipat.
Tabel 30. Sebaran Responden Menurut Kualitas Pendukung Usaha
KabupatenSidoarjo Magetan
TotalKualitasPendukung Usaha
Kriteria
N % N % N %Sangat rendah 45 31,0 19 16,5 64 24,6Rendah 11 7,6 6 5,2 17 6,5Sedang 56 38,6 39 33,9 95 36,5Tinggi 15 10,3 25 21,8 40 15,4Sangat Tinggi 18 12,4 26 22,6 44 16,9
Bahan Baku*Selang skor(0-100)Rataan=37,4
Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0Sangat rendah 17 11,7 27 23,5 44 16,9Rendah 50 34,5 37 32,2 87 33,5Sedang 19 13,1 18 15,7 37 14,2Tinggi 30 20,7 15 13,0 45 17,3Sangat Tinggi 29 20,0 18 15,6 47 18,1
Pasar*Selang skor (0-100)Rataan=40,3
Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0Sangat rendah 11 7,6 30 26,1 41 15,8Rendah 36 24,8 47 40,9 83 31,9Sedang 14 9,6 7 6,1 21 8,1Tinggi 56 38,6 24 20,9 80 30,8Sangat Tinggi 28 19,4 7 6,0 35 13,4
Teknologi*Selang skor (0-100)Rataan=44,4
Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0Sangat rendah 14 9,6 29 25,2 43 16,5Rendah 28 19,3 28 24,3 56 21,5Sedang 26 17,9 19 16,5 45 17,3Tinggi 36 24,8 23 20,0 59 22,7Sangat Tinggi 41 28,4 16 13,9 57 21,9
Transportasi*Selang skor (0-100)Rataan=44,6
Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0Keterangan:Kriteria Sangat Rendah: skor 0-20; Rendah: skor 21-40, Sedang: skor 41-60, Tinggi:skor 61-80, Sangat Tinggi: skor 81-100.* Berdasarkan hasil uji beda rata-rata One Way Anova, nyata padaα= 0,05.Tabel 30Sebaran Responden Menurut Kualitas Pendukung Usaha
Meskipun peraturan pemerintah melarang ekspor bahan baku kulit setengah
jadi, masih banyak industri penyamak kulit yang mengekspor bahan bakunya ke
luar negeri tanpa memperhatikan kebutuhan lokal. Keterbatasan bahan baku
menyebabkan harga menjadi naik. Pengrajin juga semakin kesulitan mendapat
bahan baku karena industri penyamakan kini menerapkan sistem pembayaran
uang tunai. Pengrajin mengharapkan pemerintah ikut memikirkan persediaan
bahan baku bagi industri kecil. Dampak dari kelangkaan bahan baku ini sangat
dirasakan oleh pengrajin yang berorientasi ekspor.
Ketersediaan Pasar
Faktor ketersediaan pasar bagi pengrajin adalah rendah (rata-rata 37,4).
Terdapat perbedaan yang nyata pada ketersediaan pasar diantara kedua lokasi,
lebih dari setengah pengrajin Magetan berhadapan dengan ketersediaan pasar yang
rendah sedangkan empat puluh persen pengrajin di Sidoarjo menyatakan bahwa
ketersediaan pasar tinggi.
Jangkauan pemasaran produk kerajinan masih belum optimal dilayani oleh
pengrajin Magetan. Pengrajin baru mampu menjangkau pasar lokal (wilayah Jawa
Timur). Pasar nasional dan ekspor belum banyak dijangkau oleh pengrajin
Magetan, tetapi aspek loyalitas konsumennya bagus. Pengrajin Magetan memiliki
konsumen yang loyal dengan produk tersebut karena sepatu kulit yang dihasilkan
lebih tahan lama, khususnya produk sepatu sekolah.
Ketersediaan pasar di Sidoarjo relatif lebih tinggi karena konsumen lebih
mudah menjangkau produk dengan mendatangi lokasi sentra kerajinan dan
perdagangan di Sidoarjo, selain itu kedekatan dengan pusat perdagangan
(Surabaya) juga mendukung kemudahan pendistribusian produk ke daerah lain.
Ketersediaan Sarana Teknologi
Ketersediaan sarana teknologi penunjang proses produksi tas dan sepatu
pada kedua lokasi adalah sedang (skor rataan= 44,4). Ketersediaan teknologi
kerajinan di kedua lokasi berbeda nyata, lebih dari setengah pengrajin di Sidoarjo
memiliki ketersediaan teknologi relatif tinggi sedangkan hampir tujuh puluh
persen pengrajin di Magetan memiliki ketersediaan teknologi yang rendah.
Pengrajin di Sidoarjo memiliki ketersediaan teknologi yang lebih tinggi dari
Magetan karena perkembangan peralatan pada pengrajin di Sidoarjo dipengaruhi
oleh lingkungan industri yang berkembang pesat di kawasan tersebut. Pengrajin
lebih mudah melakukan modifikasi mesin-mesin yang tersedia karena komponen
mudah diperoleh di sekitar Sidoarjo. Pada pengrajin di Magetan, peralatan yang
dimiliki jarang diperbaharui, pengrajin kurang mempertimbangkan aspek
penyusutan peralatan terutama acuan ukuran sepatu, sehingga mempengaruhi
kualitas proses dan produk yang dihasilkan.
Keterjangkauan Sarana Transportasi
Keterjangkauan sarana transportasi untuk kegiatan usaha kerajinan di kedua
lokasi berbeda nyata, lebih dari setengah pengrajin di Sidoarjo memiliki
keterjangkauan teknologi relatif tinggi sedangkan lebih setengah pengrajin
Magetan memiliki keterjangkauan transportasi yang rendah.
Pengrajin di Magetan mengalami hambatan dalam biaya transportasi yang
semakin meningkat, kenaikan harga bahan bakar minyak dirasakan amat
memberatkan pengrajin dalam melakukan pengiriman ke luar daerah. Selain itu
kepemilikan sarana transportasi yang masih rendah mengakibatkan semakin
mahalnya biaya yang berdampak pada keterjangkauan sarana transportasi rendah.
Pengrajin Sidoarjo dapat mengakses sarana transportasi Kereta Api untuk
pendistribusian produknya, keberadaan sarana transportasi kereta api meringankan
beban biaya transportasi karena pengiriman barang di Pulau Jawa bisa di jangkau
dengan transportasi ini dengan biaya relatif murah.
Faktor Lingkungan
Lingkungan ini memberikan dukungan pada pelaksanaan usaha kerajinan,
sehingga dapat mempengaruhi pola pikir dan tindakan-tindakan pengrajin. Hasil
analisis faktor membuktikan bahwa dukungan lingkungan yang melingkupi
pengrajin dan usaha kerajinan layak diukur berdasarkan: dukungan keluarga,
dukungan pemimpin informal, bimbingan Pemerintah Daerah, dan bimbingan
Organisasi non pemerintah. Deskripsi indikator dalam variabel lingkungan
tercantum pada Tabel 31.
Dukungan Pemimpin Informal
Tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh pemuda di lingkungan pengrajin
berinteraksi dengan pengrajin pada kegiatan sosial dan keagamaan. Pada
pertemuan-pertemuan tersebut terjadi komunikasi antara pemimpin informal
dengan pengrajin yang menyampaikan informasi di bidang sosial kemasyarakatan
dan pesan-pesan yang terkait dengan kegiatan kerajinan. Dukungan pemimpin
informal terhadap usaha kerajinan ini adalah sedang (rata-rata 50,3), terdapat
perbedaan nyata pada dukungan pemimpin informal di kedua lokasi.
Tabel 31. Sebaran Responden Menurut Dukungan Lingkungan Usaha
KabupatenDukungan LingkunganUsaha Sidoarjo Magetan
TotalKriteria
N % N % N %Pemimpin Informal* Sangat rendah 34 23,4 14 12,2 48 18,5Selang skor (0-100) Rendah 26 17,9 29 25,2 55 21,1Rataan=50,3 Sedang 32 22,1 18 15,6 50 19,2
Tinggi 29 20,0 30 26,1 59 22,7Sangat Tinggi 24 16,5 24 20,9 48 18,4Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0
Keluarga* Sangat rendah 35 24,1 19 16,5 54 20,8Selang skor (0-100) Rendah 11 7,6 18 15,7 29 11,1Rataan=51,2 Sedang 48 33,1 19 16,5 67 25,8
Tinggi 34 23,5 33 28,7 67 25,8Sangat Tinggi 17 11,7 26 22,6 43 16,5Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0
Bimbingan Pemda* Sangat rendah 32 22,1 39 33,9 71 27,3Selang skor (0-100) Rendah 30 20,7 31 26,9 61 23,5Rataan=31,2 Sedang 23 15,9 13 11,4 36 13,8
Tinggi 25 17,2 15 13,0 40 15,4Sangat Tinggi 35 24,1 17 14,8 52 20,0Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0
Bimbingan Ornop* Sangat rendah 18 12,4 47 40,9 65 25,0Selang skor (0-100) Rendah 43 29,7 22 19,1 65 25,0Rataan=33,7 Sedang 30 20,7 5 4,3 35 13,5
Tinggi 18 12,4 11 9,6 29 11,1Sangat Tinggi 36 24,8 30 26,1 66 25,4Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0
Keterangan:Kriteria Sangat Rendah: skor 0-20; Rendah: skor 21-40, Sedang: skor 41-60, Tinggi: skor 61-80,Sangat Tinggi: skor 81-100.* Berdasarkan hasil uji beda rata-rata One Way Anova, nyata padaα= 0,05.Tabel 31Sebaran Responden Menurut Dukungan Lingkungan Usaha
Hubungan sosial kemasyarakatan antara pemimpin informal dan
masyarakat mengarahkan masyarakat berinteraksi lebih intensif dengan
pemimpinnya. Hampir setengah pengrajin Magetan mendapat dukungan
pemimpin informal relatif tinggi, namun terdapat hubungan sosial
kemasyarakatan yang cenderung lemah pada masyarakat di Sidoarjo yang dekat
dengan pusat pertumbuhan ekonomi.
Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga pada usaha kerajinan di kedua lokasi adalah sedang
(rata-rata 51,2). Terdapat perbedaan yang nyata dukungan keluarga pada usaha
kerajinan di kedua lokasi, pengrajin di Sidoarjo mendapat dukungan keluarga
lebih rendah dari Magetan. Pengrajin menjalankan usaha kerajinan ini secara
turun temurun dalam lingkup rumah tangga. Kegiatan kerajinan yang dijalankan
dalam keluarga menjadikan mereka memiliki pemahaman yang mendalam dalam
usaha kerajinan ini.
Terdapat hal menarik untuk dikaji pada pengrajin di Sidoarjo, meskipun
keluarga besar telah menjalankan usaha kerajinan yang sama namun dukungan
terhadap usaha kerajinan yang dijalankan pengrajin relatif rendah. Lingkungan
berusaha di Sidoarjo mengarah pada lingkungan yang kompetitif sehingga tingkat
dukungan kepada anggota keluarga yang menjalankan usaha kerajinan cenderung
kurang. Hal ini tidak ditemui pada pengrajin di Magetan, lebih dari setengah
pengrajin di Magetan mendapat dukungan keluarga relatif tinggi.
Bimbingan Pemerintah Daerah
Bimbingan yang diberikan pemerintah daerah pada pengrajin di kedua lokasi
berbeda nyata, lebih dari setengah pengrajin di Magetan mendapat bimbingan dari
pemerintah daerah yang relatif masih rendah. Kurang intensifnya bimbingan yang
diberikan pemerintah daerah pada pengrajin di Magetan diketahui berdasarkan
banyaknya pengrajin yang belum pernah mendapat bimbingan pelatihan atau
pendampingan (33 persen). Kunjungan petugas dinas kepada pengrajin juga
jarang dilakukan kepada pengrajin di Magetan ini.
Pengrajin di Sidoarjo memperoleh bimbingan yang lebih baik dari pengrajin
di Magetan, kedekatan dengan pusat pemerintahan menjadikan pengrajin relatif
lebih sering mendapat pelatihan atau kunjungan baik dari dinas perindustrian dan
perdagangan maupun dinas koperasi dan UKM provinsi dan kabupaten.
Bimbingan Organisasi Non Pemerintah
Organisasi non pemerintah yang memberikan bimbingan kepada pengrajin
adalah: perusahaan swasta, perusahaan milik negara, perguruan tinggi, lembaga
penelitian, dan LSM. Bimbingan yang diberikan organisasi non pemerintah pada
pengrajin di kedua lokasi adalah relatif rendah (skor rata-rata 33,7). Terdapat
perbedaan yang nyata pada faktor bimbingan organisasi non pemerintah antar
pengrajin Magetan dan Sidoarjo. Bimbingan organisasi non pemerintah kepada
pengrajin di Sidoarjo relatif lebih tinggi dari Magetan karena lokasi Sidoarjo
relatif lebih dekat dan mudah untuk didatangi oleh organisasi tersebut.
Gambaran Perilaku Wirausaha Pengrajin
Perilaku wirausaha merupakan aspek-aspek yang terinternalisasi dalam
diri pengrajin yang ditunjukkan oleh pengetahuan, sikap dan ketrampilannya
untuk melakukan usaha dengan inovatif, inisiatif, berani mengambil resiko dan
berdaya saing. Gambaran tentang perilaku wirausaha pengrajin di kedua lokasi
penelitian ditampilkan pada Tabel 32.
Tabel 32. Sebaran Responden Menurut Perilaku WirausahaKabupaten
Sidoarjo Magetan TotalIndikator PerilakuWirausaha Kriteria
N % N % N %Keinovatifan* Sangat rendah 23 15,9 34 29,6 57 21,9Selang skor (0-100) Rendah 14 9,7 28 24,3 42 16,2Rataan=32,5 Sedang 25 17,2 31 27,0 56 21,5
Tinggi 45 31,0 13 11,3 58 22,3Sangat Tinggi 38 26,2 9 7,8 47 18,1Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0
Inisatif* Sangat rendah 27 18,6 27 23,5 54 20,8Selang skor (0-100) Rendah 25 17,2 26 22,6 51 19,6Rataan=34,4 Sedang 27 18,6 27 23,5 54 20,8
Tinggi 48 33,1 18 15,7 66 25,4Sangat Tinggi 18 12,4 17 14,8 35 13,5Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0
Pengelolaan Resiko* Sangat rendah 41 28,3 18 15,7 59 22,7Selang skor (0-100) Rendah 34 23,4 28 24,3 62 23,8Rataan=27,6 Sedang 14 9,7 19 16,5 33 12,7
Tinggi 29 20,0 25 21,7 54 20,8Sangat Tinggi 27 18,6 25 21,7 52 20,0Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0
Daya Saing* Sangat rendah 29 20,0 32 27,8 61 23,5Selang skor (0-100) Rendah 32 22,1 25 21,7 57 21,9Rataan=31,7 Sedang 18 12,4 5 4,4 23 8,9
Tinggi 33 22,8 34 29,6 67 25,8Sangat Tinggi 33 22,8 19 16,5 52 20,0Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0
Perilaku Wirausaha Sangat rendah 30 20,7 21 18,3 51 19,6Selang skor (0-100) Rendah 24 16,6 24 20,9 48 18,5Rataan=33,8 Sedang 28 19,3 30 26,1 58 22,3
Tinggi 29 20,0 21 18,3 50 19,2Sangat Tinggi 34 23,4 19 16,5 53 20,4Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0
Keterangan:Kriteria Sangat Rendah: skor 0-20; Rendah: skor 21-40, Sedang: skor 41-60, Tinggi: skor 61-80,Sangat Tinggi: skor 81-100.* Berdasarkan hasil uji beda rata-rata One Way Anova, nyata padaα= 0,05.Tabel 32Sebaran Responden Menurut Perilaku Wirausaha
Perilaku wirausaha pengrajin (keinovatifan, inisiatif, pengelolaan resiko,
dan daya saing) adalah relatif rendah (rata-rata skor dibawah 40). Terdapat
perbedaan yang nyata pada seluruh faktor perilaku wirausaha pengrajin di kedua
lokasi. Aspek perilaku wirausaha yang menonjol pada pengrajin Sidoarjo adalah
keinovatifan dan inisiatif, sedangkan pengrajin Magetan yang menonjol adalah
pengelolaan resiko dan daya saing.
Keinovatifan Pengrajin
Rata-rata tingkat keinovatifan pengrajin adalah masih rendah (skor=32,5).
Terdapat perbedaan yang nyata pada tingkat keinovatifan pengrajin, lima puluh
tujuh persen pengrajin Sidoarjo memiliki tingkat keinovatifan tinggi dan lima
puluh empat persen pengrajin Magetan memiliki tingkat keinovatifan rendah.
Tingkat keinovatifan pengrajin yang diukur berdasarkan parameter
pengetahuan, sikap dan ketrampilan pengrajin ditampilkan pada Gambar 15.
Gambar 14Tingkat Keinovatifan Pengrajin
Keterangan:Kriteria: (1) Sangat Rendah: skor 0-20; (2) Rendah: skor 21-40, (3) Sedang: skor 41-60,(4)Tinggi: skor 61-80, (5)Sangat Tinggi: skor 81-100.
Gambar 14. Tingkat Keinovatifan Pengrajin
Magetan TotalSidoarjo
Pengetahuan
0
5
10
15
2025
30
35
4045
50
1 2 3 4 5
Per
sen
Sikap
0
510
1520
25
30
35
4045
50
1 2 3 4 5
Pers
en
Ketrampilan
0
5
1015
20
25
30
3540
45
50
1 2 3 4 5
Pers
en
Berdasarkan Gambar 14 diketahui bahwa lebih dari setengah pengrajin di
kedua lokasi memiliki pengetahuan inovasi usaha yang rendah, empat puluh
persen pengrajin memiliki ketertarikan untuk menerapkan inovasi pengrajin yang
tinggi, dan hampir setengah pengrajin memiliki ketrampilan penerapan inovasi
yang masih rendah.
Setengah pengrajin di kedua lokasi memiliki pengetahuan dalam inovasi
usaha rendah, namun pengrajin memiliki ketertarikan terhadap inovasi berusaha
yang lebih baik. Empat puluh persen pengrajin memiliki ketertarikan untuk
menerapkan inovasi yang tinggi, pengrajin di Sidoarjo memiliki ketertarikan
untuk mencari inovasi baru yang terkait dengan model atau bentuk produk.
Ketrampilan penerapan inovasi secara keseluruhan adalah rendah.
Pengrajin kurang cermat dan teliti untuk mencoba membuat cara-cara berusaha
baru yang lebih baik. Pengrajin cenderung mengikuti cara-cara berusaha yang
telah ada dan mencoba menerapkan inovasi setelah orang lain menerapkannya.
Inisiatif Pengrajin
Inisiatif pengrajin dalam berusaha di kedua lokasi adalah relatif rendah
(rata-rata skor 34,4). Gambaran pengetahuan, sikap dan ketrampilan pengrajin
dalam menginisiasi suatu usaha dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15Tingkat Inisatif PengrajinKeterangan:Kriteria: (1) Sangat Rendah: skor 0-20; (2) Rendah: skor 21-40, (3) Sedang: skor 41-60,(4)Tinggi: skor 61-80, (5)Sangat Tinggi: skor 81-100.
Pengetahuan
05
1015
2025
3035
4045
50
1 2 3 4 5
Per
sen
Sikap
05
1015
20
25
3035
4045
50
1 2 3 4 5
Pers
en
Ketrampilan
05
10
15
2025
3035
4045
50
1 2 3 4 5
Pers
en
Magetan TotalSidoarjo
Gambar 15. Tingkat Inisatif Pengrajin
Aspek pengetahuan, sikap,dan ketrampilan dalam faktor inisiatif berusaha
pengrajin di kedua lokasi lebih kondusif dibandingkan ketiga faktor lain dalam
variabel perilaku wirausaha. Aspek yang menonjol pada faktor inisiatif berusaha
adalah aspek sikap, lebih dari empat puluh persen memiliki ketertarikan terhadap
peluang usaha yang tinggi. Lebih dari setengah pengrajin memiliki pengetahuan
tentang insiatif memulai usaha pada kategori sedang, dan tiga puluh lima persen
pengrajin memiliki ketrampilan memulai usaha baru yang masih rendah.
Terdapat perbedaan nyata pada inisiatif pengrajin di kedua lokasi, empat
puluh lima persen pengrajin di Sidoarjo memiliki inisiatif relatif tinggi sedangkan
empat puluh enam persen pengrajin di Magetan memiliki inisiatif relatif rendah.
Rendahnya inisiatif berusaha pengrajin di Kabupaten Magetan ini dapat dilihat
dari rendahnya pengetahuan, sikap dan ketrampilannya. Tiga puluh sembilan
persen pengrajin memiliki tingkat pengetahuan (tentang peluang usaha, cara
memanfaatkan peluang usaha dan cara mengidentifikasi peluang usaha) yang
rendah. Terdapat pemikiran pengrajin untuk tidak memproduksi kerajinan dengan
jenis produk, model dan pelanggan yang lain karena produk yang dihasilkan saat
ini dianggap bisa dipasarkan.
Ketertarikan pengrajin (terhadap peluang usaha, cara memanfaatkan
peluang usaha dan cara mengidentifikasi peluang usaha) adalah rendah. Sikap
pengrajin ketika berhadapan dengan jenis produk dan pangsa pasar baru juga tidak
kondusif, mereka tidak tertarik untuk memanfaatkan peluang usaha yang baru
sebelum ada teman sesama pengrajin yang memulainya. Selain itu mereka lebih
tertarik melayani dan menekuni pasar yang sudah ada sehingga cenderung
mengabaikan peluang usaha baru karena takut mengalami kerugian.
Ketrampilan pengrajin dalam (menemukan peluang, melakukan
identifikasi peluang usaha, dan memanfaatkan peluang usaha) cenderung rendah,
tingkat ketelitian dan kecermatan memulai usaha juga cenderung rendah. Lima
puluh lima persen pengrajin menjalankan kegiatan usaha kerajinan mengacu
kegiatan yang sejenis dengan pengrajin lain.
Inisiatif yang lebih baik terdapat pada pengrajin di Kabupaten Sidoarjo,
mereka senang terhadap jenis dan pangsa pasar baru serta cermat dalam
memproduksi dan memanfaatkan peluang pasar baru. Ketika produk telepon
seluler (ponsel) mulai banyak digunakan orang, beberapa pengrajin menjalin
hubungan dengan produsen ponsel Nokia untuk membuat sarung ponsel dari kulit.
Pengelolaan Resiko
Pengelolaan resiko usaha pada kedua lokasi adalah rendah dengan rata–
rata skor 27,6. Kemampuan mengelola resiko pengrajin di kedua lokasi berbeda
nyata, lebih dari setengah pengrajin di Sidoarjo memiliki pengelolaan resiko
relatif rendah sedangkan setengah pengrajin di Magetan memiliki pengelolaan
resiko yang relatif tinggi. Pengrajin di Magetan melaksanakan pekerjaan
cenderung tanpa mempertimbangkan kemungkinan terjadinya resiko, mereka juga
takut menghadapi resiko kegagalan dan berputus asa pada saat menghadapi resiko.
Hal ini relevan dengan pernyataan sebelumnya bahwa mereka memiliki
keengganan untuk memproduksi produk dengan jenis lain yang berbeda dengan
produk dan pasar yang telah ditekuninya. Gambaran kemampuan pengrajin dalam
pengelolaan resiko para pengrajin dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16Tingkat Pengelolaan Resiko
Keterangan:Kriteria: (1) Sangat Rendah: skor 0-20; (2) Rendah: skor 21-40, (3) Sedang: skor 41-60,(4)Tinggi: skor 61-80, (5) Sangat Tinggi: skor 81-100.
Gambar 16. Tingkat Pengelolaan Resiko
Magetan TotalSidoarjo
Pengetahuan
0
510
152025
3035
4045
50
1 2 3 4 5
Per
sen
Sikap
0
5
1015
202530
35
40
4550
1 2 3 4 5
Pers
en
Ketrampilan
0
5
1015
2025
3035
40
4550
1 2 3 4 5
Pers
en
Berdasarkan Gambar 16 terlihat bahwa aspek pengetahuan dan
ketrampilan di bidang pengelolaan resiko masih rendah, setengah pengrajin
memiliki pengetahuan tentang pengelolan resiko yang rendah, dan empat puluh
persen pengrajin memiliki ketrampilan pengelolaan resiko yang rendah. Aspek
sikap dalam pengelolaan resiko menunjukkan arah yang lebih kondusif, empat
puluh persen pengrajin memiliki kategori sikap yang positif untuk mengelola
resiko usaha.
Tingkat pengetahuan tentang pengelolaan resiko pengrajin adalah sedang.
Pengrajin telah mengetahui cara-cara memperkiraan resiko, menjalankan usaha
beresiko, dan menghindari resiko meskipun masih terbatas. Pengetahuan
pengelolaan resiko pengrajin Sidoarjo lebih unggul dari pengrajin Magetan.
Sikap pengrajin pada usaha yang beresiko cenderung rendah, pengrajin
cenderung menolak terhadap kemungkinan terjadinya resiko dalam berusaha.
Pengrajin juga masih rendah ketrampilan pengelolaan resikonya. Pengrajin sering
dihadapkan pada pembayaran dengan cek kosong, pemesan yang tidak mengambil
pesanannya karena ketidakjelasan perjanjian dan proses pemesanan khususnya
untuk produk dalam jumlah besar.
Daya Saing
Daya saing pengrajin di kedua lokasi adalah relatif rendah dengan rata-rata
skor 31,7. Terdapat perbedaan yang nyata pada aspek daya saing pengrajin di
kedua lokasi, sebagian besar pengrajin di Sidoarjo memiliki daya saing relatif
lebih tinggi dari pengrajin di Magetan. Gambaran aspek pengetahuan, sikap, dan
ketrampilan tercantum pada Gambar 17.
Magetan TotalSidoarjo
Pengetahuan
0
510
15
2025
3035
4045
50
1 2 3 4 5
Per
sen
Sikap
05
10
1520
25
3035
40
4550
1 2 3 4 5
Pers
en
Ketrampilan
0
510
15
2025
3035
4045
50
1 2 3 4 5
Per
sen
Gambar 17Tingkat Daya Saing PengrajinKeterangan:Kriteria: (1) Sangat Rendah: skor 0-20; (2) Rendah: skor 21-40, (3) Sedang: skor 41-60,(4)Tinggi: skor 61-80, (5) Sangat Tinggi: skor 81-100.
Gambar 17. Tingkat Daya Saing Pengrajin
Aspek yang paling menonjol pada faktor daya saing adalah aspek sikap,empat puluh persen pengrajin memiliki sikap yang cenderung tinggi dalam haldaya saing, namun aspek pengetahuan dan ketrampilan masih rendah.Pengetahuan pengrajin tentang daya saing sangat kondusif untuk keberlanjutanusahanya pada masa mendatang.
Pengrajin memiliki kiat-kiat menghadapi persaingan secara normatif telahdimiliki sebagian besar pengrajin. Sikap ulet dalam usaha dan bersaing secaraetis serta ketertarikan terhadap persaingan relatif tinggi. Pengrajin memilikiketertarikan terhadap persaingan yang diwujudkan secara sederhana dalamkegiatan usaha keseharian berupa pengamatan terhadap setiap perubahan hargaproduk kerajinan dan jumlah permintaan/pesanan dari pengrajin lain. Namunketrampilan mencapai tingginya daya saing masih kurang, pengrajin belummemperhatikan kecenderungan model yang dibutuhkan konsumen, serta kualitashasil produksi belum menjadi perhatian pengrajin untuk meningkatkan daya saingusahanya.
Tingkat Kemandirian Usaha
Gambaran tentang total tingkat kemandirian usaha pengrajin (aspek
pengetahuan, sikap, dan ketrampilan) dalam hal permodalan, proses produksi,
kerjasama dan pemasaran terdapat pada Tabel 32. Tingkat kemandirian usaha
(modal, produksi, kerjasama, dan pemasaran) adalah relatif rendah (rata-rata skor
dibawah 40), sedangkan tingkat kemandirian proses produksi adalah sedang (rata-
rata skor 47,3). Terdapat perbedaan yang nyata pada tingkat kemandirian usaha di
kedua lokasi. Aspek yang menonjol pada pengrajin di Sidoarjo adalah faktor
kemandirian pemasaran sedangkan pengrajin Magetan memiliki kelebihan dalam
kemandirian produksi. Pengrajin yang mempunyai kemandirian dalam berusaha
adalah pengrajin yang memiliki kemampuan dalam kegiatan produksi, pemasaran
dan permodalan yang tidak tersubordinasi dengan pihak lain.
Tabel 33. Sebaran Responden Menurut Tingkat Kemandirian Usaha
KabupatenIndikator TingkatKemandirian Usaha Sidoarjo Magetan
Total
(Selang Skor )
Kriteria
N % N % N %Sangat rendah 18 12,4 37 32,2 55 21,2Rendah 30 20,7 26 22,6 56 21,5Sedang 25 17,2 10 8,7 35 13,5Tinggi 35 24,1 27 23,5 62 23,8Sangat Tinggi 37 25,5 15 13,0 52 20,0
Kemandirian Modal*Selang skor (0-100)Rataan=28.7
Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0Sangat rendah 24 16,6 39 33,9 63 24,2Rendah 17 11,7 29 25,2 46 17,7Sedang 29 20,0 27 23,5 56 21,5Tinggi 28 19,3 12 10,4 40 15,4Sangat Tinggi 47 32,4 8 6,96 55 21,2
Kemandirian Produksi*Selang skor (0-100)Rataan=37.3
Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0Sangat rendah 33 22,8 23 20,0 56 21,5Rendah 16 11,0 33 28,7 49 18,8Sedang 39 26,9 17 14,8 56 21,5Tinggi 29 20,0 20 17,4 49 18,8Sangat Tinggi 28 19,3 22 19,1 50 19,2
Kemandirian Kerjasama*Selang skor (0-100)Rataan=29,2
Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0Sangat rendah 31 21,4 21 18,3 52 20,0Rendah 25 17,2 16 13,9 41 15,8Sedang 36 24,8 26 22,6 62 23,8Tinggi 30 20,7 24 20,9 54 20,8Sangat Tinggi 23 15,9 28 24,3 51 19,6
Kemandirian Pemasaran*Selang skor (0-100)Rataan=31.6
Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0Kemandirian Usaha Sangat rendah 21 14,5 29 25,2 50 19,2Selang skor (0-100) Rendah 28 19,3 24 20,9 52 20,0Rataan=35,9 Sedang 37 25,5 19 16,5 56 21,5
Tinggi 29 20,0 19 16,5 48 18,5Sangat Tinggi 30 20,7 24 20,9 54 20,8Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0
Keterangan: Tabel 33Sebaran Responden Menurut Tingkat Kemandirian UsahaKriteria Sangat Rendah: skor 0-20; Rendah: skor 21-40, Sedang: skor 41-60, Tinggi:skor 61-80, Sangat Tinggi: skor 81-100.* Berdasarkan hasil uji beda rata-rata One Way Anova, nyata padaα= 0,05.
Kemandirian Permodalan
Kemandirian permodalan relatif adalah rendah (rata-rata skor 28,7).
Kemandirian permodalan pengrajin di Sidoarjo lebih unggul dari pengrajin
Magetan, artinya pengrajin di Sidoarjo memiliki kemampuan dalam
pengelolaan modal secara hemat dan akumulatif. Pengrajin di Magetan
masih tergantung pada sumber permodalan yang dapat diakses saat ini
yaitu modal sendiri dan modal pinjaman pribadi dari lembaga keuangan
non bank. Gambaran tingkat kemandirian pengrajin di bidang permodalan
disajikan pada Gambar 18.
Magetan TotalSidoarjo
Pengetahuan
05
101520253035404550
1 2 3 4 5
Pers
en
Sikap
05
101520253035404550
1 2 3 4 5
Pers
en
Ketrampilan
05
10
1520
25
30
3540
45
50
1 2 3 4 5
Per
sen
r 18Tingkat Kemandirian PermodalanKeterangan:Kriteria: (1) Sangat Rendah: skor 0-20; (2) Rendah: skor 21-40, (3) Sedang: skor 41-60,(4)Tinggi: skor 61-80, (5)Sangat Tinggi: skor 81-100.
Gambar 18. Tingkat Kemandirian Permodalan
Berdasarkan Gambar 18, aspek yang paling menonjol pada faktor
kemandirian permodalan adalah aspek sikap, sebanyak empat puluh lima persen
pengrajin memiliki ketertarikan pada sumber permodalan alternatif dan menyukai
sifat hemat dalam pengelolaan modal yang tinggi sedangkang aspek pengetahuan
dan ketrampilan di bidang permodalan masih belum kondusif.
Tingkat pengetahuan tentang sumber-sumber permodalan, cara mengakses
modal, dan cara pengelolaan modal cenderung rendah. Ketrampilan di bidang
permodalan cenderung rendah, pengrajin masih lambat dalam mencari dan
mengakses sumber permodalan. Aspek permodalan yang menonjol pada pengrajin
Magetan adalah sikap. Pengrajin memiliki ketertarikan pada sumber permodalan
alternatif dan menyukai sifat hemat dalam pengelolaan modal. Pengrajin di
Sidoarjo memiliki ketrampilan mengelola permodalan yang cenderung tinggi,
pengrajin mampu secara cepat mengakses sumber permodalan alternatif dan
secara cermat mengelola modal untuk usaha kerajinannya.
Kemandirian Proses Produksi
Kemandirian proses produksi adalah relatif rendah (rata-rata skor 47,3).
Faktor kemandirian produksi di kedua lokasi berbeda nyata, empat puluh persen
pengrajin di Sidoarjo mencapai kemandirian kerjasama yang relatif tinggi,
sedangkan hampir setengah pengrajin di Magetan memiliki kemandirian proses
produksi yang rendah.
Pengetahuan
10152025303540
4550
Pers
en
Sikap
10152025303540
4550
Ketrampilan
1015202530
35404550
Pers
en
Keterangan: Gambar 19Tingkat Kemandirian ProduksiKriteria: (1) Sangat Rendah: skor 0-20; (2) Rendah: skor 21-40, (3) Sedang: skor 41-60,(4)Tinggi: skor 61-80, (5)Sangat Tinggi: skor 81-100.
Gambar 19. Tingkat Kemandirian Produksi
Berdasarkan Gambar 19 setengah pengrajin memiliki tingkat pengetahuan
produksi yang rendah, empat puluh persen pengrajin memiliki sikap mandiri
dalam melakukan proses produksi yang cenderung tinggi, dan lebih dari empat
puluh persen pengrajin memiliki ketrampilan proses produksi yang tinggi.
Setengah dari pengrajin memiliki tingkat pengetahuan produksi rendah, artinya
aspek pengetahuan rancangan produksi, tahapan proses produksi, dan
pemahaman cara kerja peralatan belum banyak dikuasi pengrajin. Sikap pengrajin
di bidang proses produksi, tanggapan terhadap perkembangan peralatan/mesin
yang lebih modern, dan sikap terhadap perkembangan bahan baku dan
perlengkapan produksi relatif bagus.
Pengrajin di Sidoarjo memiliki ketrampilan produksi cenderung tinggi.
Pengrajin mampu membuat dan mengembangkan desain produk sesuai dengan
perkembangan permintaan konsumen. Kecermatan dan kecepatan merancang pola
cenderung tinggi, pengrajin bisa membuat pengembangan desain dengan cepat
beserta polanya setelah melihat suatu produk di suatu Media, namun aspek
kehalusan dan kerapian dalam menghasilkan produksi masih rendah. Pengrajin di
Magetan belum memiliki ketrampilan produksi yang kondusif terhadap tuntutan
konsumen. Pengrajin juga belum berupaya melakukan modifikasi peralatan secara
efisien dan sesuai dengan tuntutan standar produk. Pengrajin cenderung puas
dengan produksi yang telah dihasilkan saat ini.
Kemandirian Kerjasama
Kemandirian kerjasama adalah relatif rendah (rata-rata skor 29,2). Faktor
kemandirian kerjasama di kedua lokasi berbeda nyata, lebih sepertiga pengrajin di
Sidoarjo mencapai kemandirian kerjasama yang relatif tinggi, sedangkan hampir
setengah pengrajin di Magetan memiliki kemandirian kerjasama rendah. Tingkat
kemandirian kerjasama tercantum pada Gambar 20.
Keterangan: Gambar 20Tingkat Kemandirian KerjasamaKriteria: (1) Sangat Rendah: skor 0-20; (2) Rendah: skor 21-40, (3) Sedang: skor 41-60,(4)Tinggi: skor 61-80, (5)Sangat Tinggi: skor 81-100.
Gambar 20. Tingkat Kemandirian Kerjasama
Berdasarkan Gambar 20, terlihat bahwa aspek yang paling menonjol pada
tingkat kemandirian kerjasama aadalah aspek sikap. Empat puluh lima persen
pengrajin memiliki sikap mandiri dalam kerjasama. Sikap pengrajin terhadap
tindakan subordinasi dan deprivasi dalam kerjasama, sikap mengutamakan
kerjasama kemitraan (partnership), dan sikap percaya diri dalam bekerjasama
adalah kondusif. Pengrajin tidak setuju terhadap bentuk tindakan deprivasi
terhadap dirinya atau orang lain. Namun aspek pengetahuan dan ketrampilan
dalam bekerjasama masih rendah.
Keberdayaan pengrajin ditentukan oleh kemandiriannya dalam melakukan
kerjasama dengan pihak lain yang terkait dengan kegiatan usahanya. Wawasan
yang dimiliki pengrajin di kedua lokasi tentang bentuk kerjasama, pengetahuan
perjanjian kerjasama, dan pengetahuan tentang cara melakukan kerjasama relatif
rendah. Mereka memperoleh pengetahuan tentang kerjasama sebatas dari sesama
pengrajin atau pemasok bahan baku kulit yang sebagian besar diperoleh dari
sekitar lingkungan mereka. Sikap pengrajin terhadap tindakan subordinasi dan
Magetan TotalSidoarjo
Pengetahuan
05
101520253035404550
1 2 3 4 5
Pers
en
Sikap
05
1015
202530
3540
4550
1 2 3 4 5
Per
sen
Ketrampilan
05
101520253035404550
1 2 3 4 5
Pers
en
deprivasi dalam kerjasama, sikap mengutamakan kerjasama kemitraan
(partnership), dan sikap percaya diri dalam bekerjasama cenderung tinggi.
Pengrajin tidak setuju terhadap bentuk tindakan deprivasi.
Ketrampilan dalam bekerjasama relatif rendah, artinya masih rendah
kemampuannya dalam melakukan kerjasama dengan pemodal dan pemasok bahan
baku, pengrajin kurang cermat dalam melakukan kesepakatan kerjasama karena
berorientasi pada tercukupinya kebutuhan akan modal atau bahan baku saja.
Kerjasama dengan pembeli juga masih lemah, hanya berlandaskan pada azas
kepercayaan. Pada beberapa pengrajin sering mengalami pembayaran dengan cek
kosong karena tidak ada data pembeli yang jelas dan belum adanya perjanjian
kerjasama dengan pembeli. Rendahnya kemandirian kerjasama pengrajin di kedua
lokasi rentan terhadap bentuk-bentuk penindasan oleh pihak yang memiliki
penguasaan tinggi atas sumber daya yang dibutuhkan pengrajin, diantaranya:
pemodal, penyedia bahan baku atau pihak yang terlibat dalam pendistribusian
produk hasil kerajinan.
Kemandirian Pemasaran
Kemandirian pemasaran adalah relatif rendah (rata-rata skor 31,6). Faktor
kemandirian pemasaran di kedua lokasi berbeda nyata, kemandirian pemasaran
pengrajin di Sidoarjo lebih unggul dari pengrajin di Magetan. Tingkat
kemandirian pemasaran pengrajin ditampilkan pada Gambar 21.
Keterangan: Gambar 21Tingkat Kemandirian PemasaranKriteria: (1) Sangat Rendah: skor 0-20; (2) Rendah: skor 21-40, (3) Sedang: skor 41-60,(4)Tinggi: skor 61-80, (5)Sangat Tinggi: skor 81-100.
Gambar 21. Tingkat Kemandirian Pemasaran
Magetan TotalSidoarjo
Pengetahuan
05
101520253035404550
1 2 3 4 5
per
sen
Sikap
05
101520253035404550
1 2 3 4 5
Pers
en
Ketrampilan
05
101520253035404550
1 2 3 4 5
Pers
en
Berdasarkan Gambar 21, terlihat bahwa secara keseluruhan aspek
pengetahuan, sikap, dan ketrampilan pengrajin dalam melakukan kegiatan
pemasaran secara mandiri masih rendah. Empat puluh persen pengrajin
memiliki pengetahuan pemasaran yang rendah, empat puluh delapan
persen pengrajin memiliki sikap memasarkan produknya secara mandiri
yang rendah, dan empat puluh persen pengrajin adalah rendah
ketrampilan pemasarannya.
Aspek kemandirian pemasaran yang lemah pada pengrajin di Magetan
terutama pada sikap, pengrajin belum tertarik melakukan promosi untuk
memperkenalkan produknya pada jangkauan pasar yang lebih luas. Pengrajin
masih rendah ketanggapannya terhadap perkembangan teknik-teknik menjual, dan
kurang mengutamakan kualitas pelayanan prima.
Pengrajin di Sidoarjo memiliki keunggulan pada pengetahuan di bidang
pemasaran. Artinya pengrajin telah memiliki pengetahuan tentang bauran
promosi, teknik menjual, dan mutu mutu pelayanan yang bermanfaat bagi
pelaksanaan kegiatan pemasaran produk kerajinan. Pengrajin di kedua lokasi
memiliki ketrampilan yang rendah di bidang pemasaran (kecermatan
mempromosikan produk, kecepatan menjual produk, dan keluwesan melayani
pelanggan). Pengrajin hanya mampu memasarkan produk yang dapat dibuat
(berorientasi produk), belum mampu memenuhi kebutuhan konsumen dengan
optimal. Pelayanan yang dilakukan terhadap pembeli adalah masih sebatas
kemampuan pelayanan sehinggga cenderung mengabaikan kepuasan konsumen
dan kualitas pelayanan.
Keberdayaan Pengrajin
Pengrajin dikedua lokasi rata-rata masih memiliki kualitas perilaku
wirausaha dan tingkat kemandirian usaha yang relatif masih rendah. Hanya
sebagian kecil pengrajin yang mempunyai kualitas perilaku wirausaha dan tingkat
kemandirian usaha yang tinggi. Pengrajin yang berperilaku wirausaha dan mandiri
dalam berusaha merupakan pengrajin yang berdaya dalam usaha kerajinan dari
bahan kulit.
Berdasarkan hasil wawancara mendalam terhadap pengrajin yang
termasuk dalam kategori pengrajin yang berdaya terdapat beberapa ciri yaitu: (1)
mampu menghasilkan produk secara inovatif sesuai dengan perkembangan model
yang ada di pasar, (2) mampu memenuhi permintaan konsumen dengan pelayanan
yang memuaskan, (3) sanggup menerima dan memulai usaha baru yang diyakini
akan memajukan usahanya pada masa yang akan datang, (4) mampu
menghasilkan produk yang berkualitas dengan memiliki ciri khas usaha
kerajinannya terutama untuk kebutuhan ekspor, (5) mampu menyediakan modal
untuk usahanya secara mandiri dan tanpa tekanan dari pihak penyedia modal jika
modal berasal dari pihak lain, (6) mampu mengelola kegiatan penjualan produk
kerajinan secara luas dengan jumlah yang cenderung meningkat dan menghasilkan
marjin laba yang tinggi, (7) mampu menjalankan proses produksi dengan teknik
yang selalu diperbaharui dan didukung dengan peralatan yang cukup, (8) terbebas
dari tekanan atau penindasan oleh pihak lain dalam menjalankan usahanya. Ciri
pengrajin yang berdaya tersebut telah dimiliki oleh sebagian pengrajin di
Kabupaten Sidoarjo dan Magetan namun dalam jumlah yang relatif kecil (kurang
dari 20 persen).
Tingkat Kemajuan Usaha
Kemajuan usaha pengrajin dari bahan kulit di Provinsi Jawa Timur diukur
berdasarkan pertumbuhan usaha, efisiensi usaha dan efektivitas usahanya.
Gambaran tentang tingkat kemajuan usaha pengrajin tercantum pada Tabel 34.
terlihat bahwa kemajuan usaha pengrajin relatif rendah (rata-rata skor 37,8). Tidak
terdapat perbedaan yang nyata pada faktor kemajuan usaha pengrajin di kedua
lokasi, hampir setengah pengrajin di Sidoarjo dan Magetan memiliki kemajuan
usaha yang rendah.
Pertumbuhan Usaha
Pertumbuhan usaha pengrajin adalah rendah (skor rata-rata=27,0),
rendahnya pertumbuhan usaha pengrajin di kedua lokasi diketahui dari rendahnya:
pertumbuhan volume penjualan yang diperoleh pengrajin, pertumbuhan
permintaan konsumen. Akumulasi keuntungan yang diperoleh dari pertumbuhan
permintaan konsumen dan pertumbuhan volume penjualan belum mampu
meningkatkan pertumbuhan aktiva.
Pengrajin menghasilkan produk dengan variasi jenis produk kerajinan
yang masih rendah, terutama pada pengrajin di Magetan yang cenderung bertahan
dengan jenis produk yang ada. Perkembangan pangsa pasar produk kerajinan juga
masih rendah, pengrajin belum memiliki segmen pasar yang lebih variatif.
Sebagian besar pengrajin memenuhi kebutuhan konsumen individu, konsumen
industri masih belum banyak dijangkau pengrajin (misalnya: permintaan souvenir
untuk industri perhotelan atau kemasan beberapa produk industri).
Tabel 34. Sebaran Responden Menurut Tingkat Kemajuan Usaha
KabupatenSidoarjo Magetan TotalIndikator Tingkat
Kemajuan UsahaKriteria
N % N % N %Pertumbuhan Usaha* Sangat rendah 40 27,6 24 20,9 64 24,6Selang skor (0-100) Rendah 24 16,6 12 10,4 36 13,8Rataan=27,0 Sedang 23 15,9 29 25,2 52 20,0
Tinggi 34 23,4 18 15,7 52 20,0Sangat Tinggi 24 16,6 32 27,8 56 21,5Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0
Efisiensi Usaha* Sangat rendah 51 35,2 19 16,5 70 26,9Selang skor (0-100) Rendah 24 16,6 17 14,8 41 15,8Rataan=31,5 Sedang 15 10,3 40 34,8 55 21,2
Tinggi 31 21,4 22 19,1 53 20,4Sangat Tinggi 24 16,6 17 14,8 41 15,8Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0
Efektivitas Usaha* Sangat rendah 24 16,6 43 37,4 67 25,8Selang skor (0-100) Rendah 29 20,0 36 31,3 65 25,0Rataan=46,3 Sedang 30 20,7 11 9,57 41 15,8
Tinggi 19 13,1 16 13,9 35 13,5Sangat Tinggi 43 29,7 9 7,83 52 20,0Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0
Kemajuan Usaha Sangat rendah 37 25,5 22 19,1 59 22,7Selang skor (0-100) Rendah 27 18,6 25 21,7 52 20,0Rataan=37,8 Sedang 18 12,4 24 20,9 42 16,2
Tinggi 31 21,4 23 20,0 54 20,8Sangat Tinggi 32 22,1 21 18,3 53 20,4Total 145 100,0 115 100,0 260 100,0
Keterangan: Tabel 34Sebaran Responden Menurut Tingkat Kemajuan UsahaKriteria Sangat Rendah: skor 0-20; Rendah: skor 21-40, Sedang: skor 41-60, Tinggi: skor 61-80,Sangat Tinggi: skor 81-100.* Berdasarkan hasil uji beda rata-rata One Way Anova, nyata pada α= 0,05.
Efisiensi Usaha
Pengrajin di Sidoarjo lebih menonjol efisiensi usahanya dibanding
pengrajin Magetan, tiga puluh delapan persen pengrajin memiliki tingkat efisiensi
yang relatif tinggi, namun secara keseluruhan rata-rata efisiensi usaha pengrajin di
kedua lokasi adalah rendah (skor rata-rata=31,5).
Pengrajin di Magetan masih kurang efisien dalam memanfaatkan waktu
dalam berusaha. Masih ada waktu menganggur (idle time) di kalangan pengrajin
karena belum memiliki penjadwalan kerja, dan urutan proses produksi yang belum
terencana dengan baik. Pada pengrajin yang belum memiliki mesin seset atau pres
dia tergantung pada penggunaan fasilitas milik pengrajin lain. Pengrajin yang
memiliki tukang, masih belum mempertimbangkan aspek mutu sumber daya
manusia dalam mencari tenaga kerja.
Efisiensi biaya belum diperhatikan secara baik oleh pengrajin, hal-hal
yang dapat memberi nilai tambah dan pendapatan masih belum menjadi perhatian.
Limbah potongan kulit (perca) yang bisa dimanfaatkan belum dikaji secara baik
agar dapat dimanfaatkan untuk menambah pendapatan. Perencanaan keuangan
juga belum dilakukan dengan baik oleh pengrajin, yang berakibat meningkatnya
biaya tak terduga.
Efektivitas Usaha
Efektivitas usaha pengrajin di Kabupaten Magetan relatif lebih rendah,
lebih dari tiga perempat pengrajin tingkat efektivitas usahanya rendah. Hal ini
berbeda nyata dengan pengrajin di Sidoarjo yang empat puluh persen
pengrajinnya mencapai efektivitas usaha yang relatif tinggi.
Pengrajin di Magetan belum membuat target produksi dan target penjualan
yang didasarkan perkiraan sederhana tentang jumlah barang yang akan dihasilkan
atau akan dijual. Pengrajin menetapkan jumlah barang yang dihasilkan
berdasarkan kebiasaan menghasilkan seperti hari-hari sebelumnya. Pengrajin
belum membuat perencanaan target pencapaian keuntungan, dan cenderung
bersikap pasif atas kerugian atau penurunan keuntungan.
Berdasarkan deskripsi tentang pertumbuhan usaha, efisiensi usaha, dan
efektivitas usaha di atas, maka diketahui bahwa tingkat kemajuan usaha pengrajin
di kedua lokasi relatif rendah. Kemajuan usaha adalah perkembangan usaha yang
ditunjukkan oleh adanya peningkatan asset, penjualan, keuntungan, dan
diversifikasi produk serta dicapainya efektivitas dan efisiensi usaha. Usaha
kerajinan yang maju adalah usaha yang berkembang secara efektif dan efisien
serta mengalami peningkatan dari segi keuangan (profit dan asset),
pengembangan produk dan perluasan jejaring (networking). Upaya peningkatan
kemajuan usaha dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan pertumbuhan
usaha, efisiensi, dan efektivitasnya.
Tingkat Keberlanjutan Usaha
Keberlanjutan usaha pengrajin di Jawa Timur diukur berdasarkan sikap
proaktif terhadap kontinyuitas produksi, kontinyuitas penjualan dan kontinyuitas
bahan baku pada masa yang akan datang. Sebaran keberlanjutan usaha
berdasarkan indikator penelitian yang terdiri dari kontinyuitas produksi, dan
kontinyuitas bahan baku ditampilkan pada Tabel 35.
Tabel 35. Sebaran Responden Menurut Tingkat Keberlanjutan Usaha
KabupatenIndikator KeberlanjutanUsaha Sidoarjo Magetan
Total
(Selang Skor danRataan)
Kriteria
N % N % N %
Sangat rendah 12 8,3 34 29,6 46 17,7Rendah 41 28,3 23 20,0 64 24,6Sedang 37 25,5 24 20,9 61 23,5Tinggi 27 18,6 17 14,8 44 16,9Sangat Tinggi 28 19,3 17 14,8 45 17,3
Kontinyuitas Produksi*Selang skor (0-100)Rataan=50,9
Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0Sangat rendah 13 8,97 38 33 51 19,6Rendah 39 26,9 23 20 62 23,8Sedang 30 20,7 15 13 45 17,3Tinggi 36 24,8 18 15,7 54 20,8Sangat Tinggi 27 18,6 21 18,3 48 18,5
Kontinyuitas Penjualan*Selang skor (0-100)Rataan=59,5
Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0Sangat rendah 32 22,1 14 12,2 46 17,7Rendah 24 16,6 24 20,9 48 18,5Sedang 47 32,4 31 27 78 30,0Tinggi 17 11,7 37 32,2 54 20,8Sangat Tinggi 25 17,2 9 7,83 34 13,1
Kontinyuitas BahanBaku*Selang skor (0-100)Rataan=58,9
Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0Keberlanjutan Usaha * Sangat rendah 18 12,4 34 29,6 52 20,0Selang skor (0-100) Rendah 27 18,6 26 22,6 53 20,4Rataan=48,9 Sedang 34 23,4 17 14,8 51 19,6
Tinggi 36 24,8 14 12,2 50 19,2Sangat Tinggi 30 20,7 24 20,9 54 20,8Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0
Keterangan: Tabel 35Sebaran Responden Menurut Tingkat Keberlanjutan UsahaKriteria Sangat Rendah: skor 0-20; Rendah: skor 21-40, Sedang: skor 41-60, Tinggi: skor 61-80,Sangat Tinggi: skor 81-100.* Berdasarkan hasil uji beda rata-rata One Way Anova, nyata padaα= 0,05.
Kontinyuitas Produksi
Secara keseluruhan, kontinyuitas produksi pengrajin di kedua lokasi
adalah sedang (rata-rata skor 50,9). Empat puluh sembilan persen pengrajin di
Magetan memiliki tingkat keberlanjutan produksi yang relatif rendah dan tiga
puluh delapan persen pengrajin Sidoarjo memiliki tingkat keberlanjutan produksi
yang relatif tinggi.
Pengrajin di Sidoarjo telah memiliki sikap proaktif tentang kelancaran
proses, dan memiliki tanggapan yang baik terhadap tingkat kontinyuitas hasil
produksi pada masa yang akan datang sehingga kontinyuitas produksinya lebih
tinggi dari pengrajin di Magetan. Pengrajin memiliki ketergantungan yang tinggi
pada usaha kerajinan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Hal ini menjadi salah
satu pendorong bagi pengrajin untuk tetap proaktif menjaga kelancaran
produksinya. Pengrajin mampu memproduksi kerajinan secara terus menerus
sepanjang tahun.
Ketertarikan pengrajin Magetan terhadap upaya meningkatkan produksiyang kondusif bagi pemenuhan kebutuhan dan selera konsumen masih rendah.Pengrajin merasa aman dengan produksi yang sudah ada dan kurang proaktifdalam mengupayakan keberlanjutan produksinya.
Kontinyuitas Penjualan
Kontinyuitas penjualan di kedua lokasi berbeda nyata, empat puluh dua
persen pengrajin di Sidoarjo mencapai kontinyuitas penjualan yang relatif tinggi
sedangkan empat puluh tiga persen pengrajin di Magetan memiliki kontinyuitas
usaha yang relatif rendah.
Pengrajin di Magetan kurang proaktif dalam mengupayakan menarik
minat konsumen untuk membeli. Promosi yang dilakukan pengrajin di Magetan
masih belum menjangkau khalayak sasaran di luar Jawa Timur, tidak seperti yang
telah dilakukan pengrajin Sidoarjo yang secara proaktif melakukan promosi ke
luar Jawa Timur melalui agen atau pembeli yang datang ke Sidoarjo.
Tanggapan terhadap pelayanan bermutu kepada pelanggan masih belum
optimal dilaksanakan pengrajin Magetan, masih sering terjadi penundaan
pengiriman barang yang dipesan. Hal ini mengganggu keberlanjutan penjualan
pada masa yang akan datang karena konsumen tidak puas dengan pelayanan yang
diberikan pengrajin.
Kontinyuitas Bahan Baku
Kontinyuitas bahan baku pengrajin di Magetan lebih menonjol dari
pengrajin Sidoarjo. Tiga puluh sembilan persen pengrajin Magetan memiliki
kontinyuitas bahan baku relatif tinggi. Sikap antisipatif terhadap kelancaran bahan
baku pada pengrajin Magetan ditunjukkan melalui tingginya persediaan bahan
baku bermutu dan sikap antisipatif merencanakan kebutuhan bahan baku yang
tepat. Secara periodik pengrajin telah mengupayakan tersedianya bahan baku
secara kontinyu.
Pengrajin di Sidoarjo memiliki tanggapan perencanaan bahan baku yangrelatif rendah, pengrajin melakukan pembelian bahan baku secara mendadak padasaat produksi dijalankan. Ketersediaan bahan baku saat ini dirasakan pengrajinmasih mencukupi kebutuhan mereka, sehingga pengrajin tidak memilikipersediaan bahan baku untuk jangka waktu lebih dari satu minggu karenadianggap sebagai modal kerja yang menganggur. Kondisi ini akan berpengaruhpada keberlanjutan bahan baku pada masa depan. Jika pengrajin tidak tertarikpada perencanaan bahan baku untuk masa depan, maka kondisi ketidakpastianharga bahan baku akan berpengaruh terhadap kemampuan menyediakan bahanbaku secara berkelanjutan.
Berdasarkan deskripsi kontinyuitas produksi, penjualan, dan bahan baku diatas, sebagian besar pengrajin di kedua lokasi memiliki tingkat keberlanjutanusaha yaitu kontinyuitas produksi, kontinyuitas penjualan, dan kontinyuitas bahanbaku dalam kategori sedang. Terdapat kecenderungan yang baik pada diripengrajin di kedua lokasi, dalam menyikapi posisi usaha pada masa depan beradapada tingkat yang sedang. Usaha kerajinan barang dari kulit sudah dimulai padatahun 1960-an, sampai saat ini usaha ini masih berjalan terus menerus. Aktivitasproduksi yang dilakukan pengrajin dan penjualan produk kerajinan ini berjalansecara berkelanjutan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pengrajin, permintaan barang daribahan kulit tidak pernah berhenti sehingga penjualan tetap berjalan dari waktu kewaktu. Keunikan yang ada pada produk sepatu dari bahan kulit yang dihasilkanpengrajin adalah kekuatan/daya tahan sepatu yang dapat diandalkan sehinggakonsumen loyal terhadap produk sepatu yang dihasilkan pengrajin di Magetan.Pada pengrajin di Sidoarjo, produksi tas dan koper yang dihasilkan pengrajinmemiliki keunggulan beberapa keunggulan. Tas dari bahan kulit yang halus,harga terjangkau, mengikuti trend mode, tersedia dalam variasi yang banyaksehingga permintaan konsumen yang beroerientasi pada mode dan harga tetap adadari waktu ke waktu.
Pada sisi produsen, semangat pengrajin untuk tetap berusaha di bidangkerajinan ini telah menggantungkan hidupnya pada usaha kerajinan ini sejak lama.Pengrajin merasakan usaha ini mampu menghidupi diri dan keluarganyameskipun dengan keterbatasan. Usaha yang telah dijalankan oleh keluarga secaraturun temurun juga menjadi alasan bagi pengrajin untuk tetap menekuni usahakerajinan ini. Keunikan dari sisi permintaan dan dari sisi pengrajin inilah yangmenghasilkan tingkat keberlanjutan usaha yang cenderung sedang.
Usaha yang berkelanjutan adalah usaha yang mampu berproduksi
secara terus menerus dan mampu menjual produknya ke pasar secara
kontinyu. Keberlanjutan usaha akan dapat dicapai jika para pengrajin
memiliki kiat-kiat untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang akan
dihadapi usahanya pada masa yang akan datang. Keberlanjutan usaha
diartikan sebagai sikap proaktif pengrajin dalam mengantisipasi kebutuhan
dan selera konsumen mendatang.
Perbedaan Perilaku Wirausaha, Kemandirian,Kemajuan dan Keberlanjutan Usaha
Deskripsi tentang tingkat kemandirian usaha, perilaku wirausaha, kemajuan
usaha dan keberlanjutan usaha pada kedua lokasi akan diuji lebih lanjut tingkat
perbedaannya. Sebagaimana dirumuskan pada hipotesis 5 ”Terdapat perbedaan
tingkat kemandirian usaha, perilaku wirausaha, kemajuan usaha, dan
keberlanjutan usaha pengrajin di kedua lokasi penelitian”. Hipotesis ini diuji
dengan menggunakan uji beda rata-rata one way anova. Ringkasan hasil uji beda
One Way Anova ditampilkan pada Tabel 36.
Tabel 36. Ringkasan Hasil Uji Beda Rata-Rata One Way Anova
Variabel Kabupaten N Rata-rata F-hit P
Sidoarjo 145 36.3 4.365 0.038Keinovatifan
Magetan 115 29.5
Sidoarjo 145 39.2 12.714 0.000Inisiatif
Magetan 115 28.4
Sidoarjo 145 18.3 40.310 0.000PengelolaanResiko Magetan 115 35.1
PerilakuWirausaha
Daya Saing Sidoarjo 145 29.1 4.620 0.033
Magetan 115 35.0
Sidoarjo 145 32.1 4.456 0.036Kemandirianpermodalan Magetan 115 26.0
Sidoarjo 145 51.6 5.721 0.017Kemandirianproduksi
Magetan 115 43.8
Sidoarjo 145 32.4 5.439 0.020Kemandiriankerjasama Magetan 115 25.2
Sidoarjo 145 39.1 35.879 0.000
Tingkatkemandirianusaha
Kemandirianpemasaran
Magetan 115 22.2
Sidoarjo 145 30.3 4.620 0.033Pertumbuhanusaha
Magetan 115 24.3
Sidoarjo 145 35.2 4.207 0.041Efisiensi usaha
Magetan 115 28.6
Sidoarjo 145 54.4 30.912 0.000
KemajuanUsaha
Efektivitasusaha
Magetan 115 36.1
Sidoarjo 145 55.2 6.682 0.010Kontinyuitasproduksi Magetan 115 45.6
Sidoarjo 145 54.1 4.140 0.043Kontinyuitaspenjualan Magetan 115 43.9
Sidoarjo 145 45.7 7.073 0.008
KeberlanjutanUsaha
Kontinyuitasbahan baku
Magetan 115 51.5
* Nyata pada α= 0,05. Tabel 36Ringkasan Hasil Uji Beda Rata-Rata One Way Anova
Berdasarkan hasil uji beda pada Tabel 36, terbukti bahwa perilaku wirausaha
(keinovatifan, inisiatif, pengelolaan resiko, dan daya saing) pengrajin Sidoarjo
berebda nyata dengan pengrajin Magetan. Rata-rata keinovatifan dan daya saing
pengrajin Sidosrjo lebih tinggi dari Magetan, sedangkan rata-rata pengelolaan
resiko dan daya saing pengrajin Magetan lebih tinggi dari Sidoarjo.
Tingkat kemandirian usaha (permodalan, produksi, kerjasama, dan
pemasaran) pengrajin Sidoarjo dan Magetan berbeda nyata. Rata-rata kemandirian
permodalan, produksi, kerjasama, dan pemasaran pengrajin Sidoarjo lebih tinggi
dari Magetan.
Tingkat kemajuan usaha (pertumbuhan usaha, efisiensi usaha, dan
efektivitas usaha) pengrajin Sidoarjo dan Magetan berbeda nyata. Rata-rata
pertumbuhan usaha, efisiensi usaha, dan efektivitas usaha pengrajin Sidoarjo lebih
tinggi dari Magetan.
Terdapat perbedaan yang nyata pada keberlanjutan usaha (kontinyuitas
produksi, penjualan, dan bahan baku) di kedua lokasi; rata-rata kontinyuitas
produksi dan penjualan pengrajin di Sidoarjo lebih tinggi dibanding Magetan.
Pengrajin di Sidoarjo sudah terlihat proaktif dalam mengantisipasi kebutuhan dan
selera konsumen pada masa yang akan datang. Meskipun belum mengalokasikan
dana untuk kegiatan promosi, namun keramahtamahan dalam melayani konsumen
merupakan refleksi dari tindakan proaktif untuk melayani konsumen cenderung
baik. Promosi dan perencanaan produksi belum dilaksanakan dengan intensif
sehingga trend penjualan masih stagnant meskipun pengrajin mampu
menghasilkan produksi barang secara terus menerus. Keberlanjutan usaha yang
menonjol pada pengrajin Magetan adalah kontinyuitas bahan baku, aspek
kontyuitas bahan baku pengrajin magetan lebih tinggi dari pengrajin Sidoarjo
karena kedekatan lokasi dengan sumber bahan baku.
Faktor-Faktor yang Berpengaruhterhadap Perilaku Wirausaha
Hipotesis 1 yang diajukan dalam penelitian ini adalah: ”Perilaku wirausaha
dipengaruhi secara nyata oleh karakteristik individu pengrajin, pendukung usaha
dan lingkungannya.” Hipotesis ini untuk menjawab pertanyaan penelitian yang
pertama. Pengujian hipotesis penelitian ini dilakukan melalui uji lintas. Hasil uji
faktor yang berpengaruh terhadap perilaku wirausaha tercantum pada Tabel 37.
Tabel 37. Ringkasan Hasil Uji Faktor-Faktor yang Berpengaruhterhadap Perilaku Wirausaha
PeubahTerikat
PeubahBebas
KoefisienJalur
(Standardized)
StandarError
Nilai thitung
HasilUji
α=0,05.
R2
PerilakuWirausaha
KarakteristikIndividu
0,50 0,17 3,02 * 0,88
PendukungUsaha
0,05 0,11 0,43 NS
DukunganLingkungan
0,39 0,08 4,84 *
*Nyata pada α= 0,05, t-tabel = 1,965 . Tabel 37Ringkasan Hasil UjiFaktor -Faktor yang Berpengaruh terhadap Perilaku Wirausaha
Perilaku wirausaha dipengaruhi secara nyata oleh faktor karakteristik
individu dan dukungan lingkungan, berarti rendahnya perilaku wirausaha
pengrajin disebabkan oleh rendahnya karakteristik individu dan dukungan
lingkungan. Faktor pribadi pengrajin merupakan faktor yang paling besar
pengaruhnya terhadap perilaku wirausaha. Faktor pendukung usaha tidak
berpengaruh secara nyata positif terhadap perilaku wirausaha. Rendahnya faktor
pendukung usaha bukan menjadi penyebab rendahnya perilaku wirausaha.
Peningkatan perilaku wirausaha pengrajin perlu dilakukan karena
pengrajin yang memiliki perilaku wirausaha yang berkualitas adalah ciri-ciri
pengrajin yang berdaya, dan keberdayaan pengrajin sangat diperlukan untuk
meningkatkan kemajuan dan kesejahteraan hidupnya. Menurut Perry, Batstone
dan Pulsarum (2003), pendekatan kewirausahaan akan membimbing dan
mengarahkan usaha kecil meraih hasil yang lebih baik. Faktor-faktor yang
berpengaruh langsung pada perilaku wirausaha digambarkan dalam Gambar 22.
R 2 = 0,88
KarakteristikIndividu
0,05
ζ=0,22
PendukungUsaha
PerilakuWirausaha
0,50
Gambar 22Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Wirausaha
Gambar 22. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Wirausaha
Pengaruh Karakteristik Individuterhadap Perilaku Wirausaha
Faktor karakteristik individu memiliki pengaruh yang terbesar terhadap
perilaku wirausaha. Aspek-aspek yang menjadi indikator karakteristik individu
yang diajukan dalam penelitian ini adalah : umur, pendidikan, tanggungan
keluarga, pengalaman berusaha, motivasi berusaha, pemenuhan kebutuhan,
intensitas komunikasi, dan aspek gender. Pengujian hipotesis penelitian dilakukan
dengan analisis SEM, agar semua indikator yang dianalisis benar-benar terbebas
dari kekeliruan maka dalam penelitian ini digunakan analisis faktor konfirmatori
yang bertujuan untuk mengevaluasi pola-pola hubungan korelatif indikator dan
konstruknya.
Berdasarkan hasil analisis faktor terhadap karakteristik individu pengrajin
terdapat beberapa indikator yang tidak fit dengan data yaitu indikator umur,
tanggungan keluarga, dan pengalaman berusaha yang ditunjukkan oleh nilai GFI
yang kurang dari 0,90 sebagaimana tercantum pada Lampiran 3. Indikator yang
tidak fit tersebut dikeluarkan dari model dengan didasarkan pada pertimbangan
aspek teoritis, sehingga diperoleh lima aspek yang mengukur tingkat karakteristik
individu pengrajin yaitu: pendidikan, pendidikan, motivasi, pemenuhan
kebutuhan, intensitas komunikasi, dan aspek gender.
Hasil analisis SEM menunjukkan adanya pengaruh yang nyata antara
karakteristik individu dengan perilaku wirausaha. Beberapa aspek penting pada
pribadi pengrajin adalah pendidikan, motivasi, pemenuhan kebutuhan, intensitas
komunikasi, dan aspek gender. Penjelasan lebih lanjut tentang pengaruh masing-
Lingkungan0,39
masing aspek dalam karakteristik individu terhadap perilaku wirausaha adalah
melalui analisis jalur yang digambarkan pada Gambar 23.
Gambar 23Pengaruh Indikator Karakteristik Individu terhadap Perilaku Wirausaha
Gambar 23. Pengaruh Indikator Karakteristik Individuterhadap Perilaku Wirausaha
Aspek intensitas komunikasi yang dilakukan pengrajin memiliki pengaruh
terbesar pada perilaku wirausaha dengan koefisien lintas sebesar 0,76.
Kemampuan pengrajin dalam mengakses jaringan komunikasi interpersonal masih
rendah. Kontak dengan pemodal alternatif masih kurang, biasanya pengrajin
cenderung melakukan kontak dengan pemodal (yang mereka sebut sebagai
juragan) yang ada di desanya ketika mereka berada pada kondisi membutuhkan
modal. Pada aspek kontak dengan sesama pengrajin, mereka melakukannya secara
intensif karena tinggal dalam lingkungan yang sama. Pertukaran informasi yang
bersifat inovatif terjadi pada saat mereka melakukan kontak dengan sesama
pengrajin ini.
Komunikasi dengan konsumen terjadi pada saat konsumen datang ke lokasi
usaha kerajinan mereka dan tempat berjualan, informasi yang dipertukarkan
terkait dengan harga, model produk, atau kualitas produk. Informasi dari
konsumen ini ditanggapi secara beragam oleh pengrajin. Pada pengrajin yang
tanggap akan menangkap informasi ini sebagai bahan untuk mengembangkan
daya inovasi usahanya, tetapi pada pengrajin yang kurang tanggap akan
Perilaku Wirausaha
Kebutuhan
Motivasi
Pendidikan
0,46
0,41
0,58
0,76
Aspek Gender
0,26
Komunikasi
membiarkan informasi itu berlalu tanpa dijadikan pertimbangan dalam kegiatan
usahanya.
Pada pengrajin di Sidoarjo, kontak dengan pemasok bahan baku sangat
kurang dengan alasan jarak antara pemasok dengan pengrajin, sehingga mereka
mengalami kendala dalam penyediaan bahan bakunya. Sebaliknya, pengrajin di
Magetan tidak mengalami kendala dalam hal aksesibilitas dengan pemasok bahan
baku, karena penyamak kulit berada pada lingkungan mereka, bahkan dalam satu
keluarga ada yang berprofesi sebagai penyamak kulit sehingga dapat memenuhi
kebutuhan bahan bakunya.
Akses pada media cetak berupa surat kabar dan majalah tidak dilakukan
secara rutin dengan berlangganan atau membeli media cetak secara kontinyu.
Keterbatasan dalam akses media cetak ini sangat tampak pada pengrajin di
Magetan, sehingga inovasi tentang trend produk yang banyak diinformasikan oleh
majalah, tabloid atau surat kabar yang menyajikan perkembangan mode tidak
dapat diakses dengan optimal oleh pengrajin.
Tingkat kosmopolitansi pengrajin relatif tinggi terjadi pada pengrajin di
Sidoarjo, pengrajin sering mengunjungi pusat-pusat perbelanjaan di Surabaya
untuk mencari informasi tentang model atau perkembangan teknik menjual
produk barang dari kulit. Sehingga banyak ditemui jenis produk terbaru yang
dijual pada butik terkenal dari luar negeri yang mampu diproduksi pengrajin di
Sidoarjo ini.
Pengrajin di Magetan relatif rendah dalam mencari informasi tentang
usaha kerajinan keluar dari sistem sosialnya (sifat kekosmopolitan). Rata-rata
intensitas pengrajin mencari informasi keluar sistem sosialnya rendah (43%),
maka dapat dikatakan pengrajin di Magetan masih bersifat lokalit. Sifat ini
berpengaruh terhadap rendahnya perilaku wirausaha. Hasil penelitian ini
dikuatkan oleh Mardikanto (1996) yang menyatakan bahwa bagi masyarakat yang
bersifat “localite” (tertutup, terkungkung di dalam sistem sosialnya sendiri, proses
adopsi inovasi akan berlangsung sangat lamban karena tidak adanya keinginan-
keinginan baru untuk hidup lebih baik seperti yang telah dinikmati oleh orang-
orang lain di luar sistem sosialnya sendiri
Pengrajin yang melakukan kontak dengan sumber informasi inovatif
(pemasok bahan baku, sesama pengrajin, konsumen, dan penyedia modal) untuk
membicarakan hal-hal yang terkait dengan kegiatan usaha secara intensif dan
memiliki frekuensi terpaan media massa yang tinggi, mampu meningkatkan
perilaku wirausaha terutama dari aspek keinovatifan dan inisiatif. Menurut Rogers
dan Shoemaker (1976) tingginya komunikasi akan berpengaruh terhadap
tingginya kemampuan petani melakukan adopsi inovasi.
Pemenuhan kebutuhan merupakan aspek kedua yang memiliki pengaruh
besar terhadap perilaku wirausaha dengan koefisien bobot faktor sebesar 0,58.
Rendahnya pemenuhan kebutuhan menyebabkan rendahnya perilaku wirausaha
pengrajin yang muncul dalam bentuk perasaan minder atau tidak percaya diri
dalam mengambil keputusan.
Aspek karakteristik individu berikutnya yang memiliki pengaruh terhadap
perilaku wirausaha adalah motivasi berusaha. Rendahnya motivasi berusaha
menimbulkan rendahnya ketertarikan pengrajin untuk: menerapkan inovasi,
memanfaatkan peluang usaha, mengelola usaha yang dianggap beresiko, dan
menerapkan strategi bersaing. Pengrajin lebih tertarik untuk berusaha nyaman
dengan cara-cara berusaha yang diterapkan saat ini. Rendahnya motivasi dan
pemenuhan kebutuhan menyebabkan rendahnya perilaku wirausaha. Hal ini ini
relevan dengan pernyataan Bird (1996) yang memasukkan faktor motivasi sebagai
elemen pembentuk perilaku wirausaha yang penting bagi peningkatan kemajuan
usaha.
Aspek gender memiliki pengaruh yang nyata terhadap perilaku wirausaha.
Terdapat kesenjangan dalam hal penggajian dan kewajiban dikalangan pengrajin
pria dan wanita pada usaha kerajinan ini. Sehingga menyebabkan rendahnya
keinovatifan, inisiatif, pengelolaan resiko, dan daya saing pengrajin. Bias gender
pada usaha kerajinan barang dari kulit seyogyanya tidak terjadi karena pengrajin
wanita memiliki potensi untuk bekerja secara ulet dalam usaha kerajinan ini serta
pengrajin wanita memiliki ketangguhan dalam mengelola resiko.
Pendidikan juga mempunyai pengaruh yang nyata terhadap perilaku
wirausaha, dengan koefisen lintas sebesar 0,46. Rendahnya pendidikan formal dan
pendidikan non formal pengrajin menyebabkan rendahnya perilaku wirausaha.
Sebagian besar pengrajin memiliki pendidikan non formal yang rendah, pengrajin
kurang mendapat pelatihan yang terkait dengan faktor kewirausahaan berpengaruh
terhadap rendahnya kemampuan pengrajin pada aspek keinovatifan, inisiatif,
pengelolaan resiko, dan daya saing). Pengetahuan dan ketrampilan mengelola
resiko usaha masih rendah, pendidikan nonformal tentang manajemen resiko
masih rendah. Pemerintah daerah atau organisasi non pemerintah belum pernah
memberikan bimbingan atau pelatihan dengan materi manajemen resiko.
Pengrajin juga masih rendah keunggulan bersaingnya (penerapan standar mutu
produk dan strategi bersaing), sehingga rendah kemampuannya untuk menembus
pasar ekspor. Rendahnya keunggulan bersaing ini karena pengrajin masih rendah
tingkat pendidikan tentang keunggulan bersaing
Faktor pendidikan memiliki pengaruh langsung yang relatif lebih rendah
jika dibandingkan dengan intensitas komunikasi dan tingkat pemenuhan
kebutuhan, padahal pendidikan merupakan faktor penting untuk meningkatkan
perilaku wirausaha, sebagaimana dikemukakan oleh Stewart Jr. et al. (1998).
Haber dan Reichel (2006) juga menyatakan bahwa pendidikan menjadi penentu
keberhasilan kewirausahaan. Oleh karena itu dilakukan penelusuran terhadap
pengaruh tidak langsung faktor pendidikan melalui intensitas komunikasi dan
pemenuhan kebutuhan terhadap perilaku wirausaha sebagaimana digambarkan
pada diagram lintas pada Gambar 24.
PerilakuWirausaha
Kebutuhan
Motivasi
Pendidikan
0,4676
0,41
0,58
0,76
AspekGender
0,43
0,230,36
0,36
0,42
0,38
Komunikasi
Gambar 24Pengaruh langsung dan Tidak Langsung Karakteristik Individu terhadap Perilaku Wirausaha
Gambar 24. Pengaruh langsung dan Tidak Langsung KarakteristikIndividu terhadap Perilaku Wirausaha
Secara grafis, dapat diketahui pengaruh langsung pendidikan, motivasi,
pemenuhan kebutuhan, intensitas komunikasi, dan aspek gender terhadap perilaku
wirausaha. Selain itu juga dapat diketahui pengaruh tidak langsung pendidikan,
motivasi, dan aspek gender terhadap perilaku wirausaha melalui komunikasi dan
pemenuhan kebutuhannya terhadap perilaku wirausaha, yang kemudian diringkas
dalam Tabel 38.
Tabel 38. Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung IndikatorKarakteristik Individu dengan Perilaku Wirausaha
PengaruhTak langsung melalui
Indikator KarakteristikIndividu Langsung
PemenuhanKebutuhan
IntensitasKomunikasi
Total taklangsung
Total
Pendidikan 0,46 0,25 0,28 0,53 0,99Motivasi 0,41 0,22 0,17 0,39 0,80Pemenuhan Kebutuhan 0,58 - - - 0,58Intensitas Komunikasi 0,76 - - - 0,76Aspek gender 0,26 0,24 0,27 0,51 0,77*Nyata pada α= 0,05. Tabel 38Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung Indikator Karakteristik Individu dengan Perilaku Wirausaha
Berdasarkan Tabel 38 diketahui bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan,
maka semakin tinggi perilaku wirausaha. Melalui pemenuhan kebutuhan dan
intensitas komunikasi ternyata pendidikan memiliki total pengaruh yang paling
besar terhadap perilaku wirausaha. Hal ini berarti pendidikan mampu
meningkatkan perilaku wirausaha dengan didukung oleh pemenuhan kebutuhan
dan intensitas komunikasi yang tinggi.
Tingkat pendidikan formal pengrajin rata-rata pada tingkat SMTP (masa
pendidikan 9 tahun) dan tingkat pendidikan formal yang dalam kategori rendah
(rata-rata 2,8 jam). Rendahnya tingkat pendidikan ini berpengaruh terhadap
rendahnya kemampuan komunikasi pengrajin terutama ketika pengrajin
berhadapan dengan aktor penyedia sumber daya usaha yang memiliki kemampuan
lebih tinggi, baik pemodal, pemasok bahan baku maupun konsumen. Tingkat
pendidikan menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya perilaku wirausaha di
kalangan pengrajin di kedua lokasi. Sebagai salah satu contoh, berdasarkan hasil
wawancara, rendahnya aspek kognitif pada aspek pengelolaan resiko dan daya
saing usaha disebabkan pengrajin belum pernah mendapat pendidikan non formal
tentang kedua aspek tersebut.
Tingkat pendidikan pengrajin yang rendah menyebabkan rendahnya tingkat
pemenuhan dasar dan tingkat pemenuhan kebutuhan pendidikan anak. Tingkat
pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan di kalangan pengrajin rendah yang
disebabkan pengetahuan tentang kesehatan yang rendah, sehingga berdasarkan
hasil wawancara diketahui bahwa pengrajin tidak memeriksakan diri ke dokter
atau Puskesmas jika menderita sakit, kecuali jika sudah dalam kondisi yang parah.
Begitupula pada pemenuhan kebutuhan pendidikan anak yang masih rendah
karena rendahnya pengetahuan tentang pentingnya pendidikan bagi masa depan
anak. Rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan rendahnya tingkat pemenuhan
kebutuhan, selanjutnya rendahnya tingkat pemenuhan kebutuhan menjadi salah
satu penyebab rendahnya perilaku wirausaha.
Melalui pemenuhan kebutuhan dan intensitas komunikasi, motivasi
memiliki pengaruh terbesar kedua setelah aspek pendidikan terhadap perilaku
wirausaha. Motivasi yang dimiliki pengrajin mampu mendorong tingkat
pemenuhan kebutuhan pengrajin. Motivasi berhubungan dengan kebutuhan, minat
dan keinginan. Motif yang besar pada diri pengrajin muncul ketika mereka
dihadapkan pada kebutuhan yang disadarinya. Salah satu faktor pendorong yang
penting bagi pengrajin dalam berusaha adalah tuntutan memenuhi kebutuhan
keluarga. Rendahnya motivasi berusaha di kalangan pengrajin menyebabkan
rendahnya pemenuhan kebutuhan, dan rendahnya pemenuhan kebutuhan menjadi
salah satu penyebab rendahnya perilaku wirausaha.
Motivasi berusaha juga memiliki pengaruh yang nyata terhadap perilaku
wirausaha melalui intensitas komunikasi. Kesadaran tentang pentingnya
berkomunikasi dengan aktor penyedia sumber daya usaha masih belum dimiliki
pengrajin, hal ini ditunjukkan dari hasil wawancara yang menyatakan bahwa
mereka berkomunikasi dengan penyedia sumberdaya usaha seperlunya atau jika
dibutuhkan, motivasi untuk berkomunikasi secara intensif masih rendah karena
pengrajin belum sadar terhadap kebutuhan berkomunikasi. Rendahnya motivasi
ini menjadi penyebab rendahnya intensitas komunikasi, selanjutnya rendahnya
komunikasi menyebabkan rendahnya perilaku wirausaha.
Secara tidak langsung, aspek gender memberikan pengaruh yang lebih
besar terhadap perilaku wirausaha melalui intensitas komunikasi. Kesenjangan
dalam melihat posisi gender membelenggu seseorang untuk dapat berkomunikasi
dengan bebas dengan orang yang berlawanan jenis, hal ini dipengaruhi oleh nilai-
nilai dan budaya yang ada pada kelompok masyarakat tersebut. Hal ini terjadi juga
pada kelompok masyarakat pengrajin di Magetan dan Sidoarjo. Kesenjangan
dalam pembagian tugas antara pria dan wanita, pengelolaan sebagian besar usaha
dilakukan kaum pria dan kaum wanita mengelola sebagian kecil tugas dalam
usaha kerajinan ini. Rendahnya kesetaraan gender menyebabkan rendahnya
intensitas komunikasi di kalangan pengrajin, yang kemudian menyebabkan
rendahnya perilaku wirausaha.
Aspek gender juga memiliki pengaruh tidak langsung terhadap perilaku
wirausaha melalui pemenuhan kebutuhan. Kesenjangan dalam hal penggajian
antara kaum pria dan wanita pada usaha kerajinan ini secara logika menyebabkan
rendahnya penerimaan pendapatan di kalangan pengrajin wanita yang bekerja di
sektor ini, sehingga rendahnya kesetaraan gender menyebabkan rendahnya
pemenuhan kebutuhan, dan rendahnya pemenuhan kebutuhan menjadi salah satu
penyebab rendahnya perilaku wirausaha.
Pengaruh Dukungan Lingkunganterhadap Perilaku Wirausaha
Dukungan lingkungan mempunyai pengaruh yang nyata terhadap perilaku
wirausaha, artinya rendahnya aspek dukungan lingkungan (pemimpin informal,
keluarga, bimbingan pemerintah daerah, dan bimbingan organisasi non
pemerintah) menyebabkan rendahnya perilaku wirausaha pengrajin. Peran
masing-masing aktor dalam lingkungan dalam meningkatkan perilaku wirausaha
pengrajin dianalisis lebih lanjut dengan analisis jalur sebagaimana tercantum pada
Gambar 25.
Perilaku Wirausaha
Bimbingan Pemerintah
Pemimpin Informal
Keluarga
0,49
0,42
0,62
Gambar 25Pengaruh Indikator Dukungan Lingkungan terhadap Perilaku WirausahaGambar 25. Pengaruh Indikator Dukungan Lingkungan
terhadap Perilaku Wirausaha
Bimbingan pemerintah daerah memiliki pengaruh yang paling besar
terhadap perilaku wirausaha dengan koefisen lintas sebesar 0,62. Rendahnya
bimbingan dari pemerintah daerah dan bimbingan organisasi non pemerintah
selama ini menjadi salah satu penyebab rendahnya perilaku wirausaha. Bimbingan
pemerintah relatif rendah (rata-rata skor 31,2), bahkan jika dirinci lagi terdapat
lebih dari seperempat pengrajin mendapat bimbingan yang sangat rendah dari
pemerintah daerah. Bimbingan yang diberikan pemerintah daerah dalam bentuk
pelatihan, yaitu pelatihan tentang produksi dan manajemen usaha kecil masih
belum berkesinambungan. Oleh karena itu peningkatan bimbingan pemerintah
daerah dapat meningkatkan perilaku wirausaha pengrajin.
Bimbingan organisasi non pemerintah terhadap pengrajin memiliki pengaruh
besar, namun organisasi non pemerintahan yang memberikan pembinaan terhadap
pengrajin kulit di Jawa Timur masih sedikit (1,9 persen) dari total pembinaan bagi
pengrajin kulit di Jawa Timur (BPS, 2003). Kegiatan pembinaan yang pernah
dilakukan di kedua lokasi belum menyentuh aspek perilaku wirausaha. Rendahnya
perilaku wirausaha pengrajin (terutama pada aspek pengelolaan resiko dan daya
saing) disebabkan oleh rendahnya bimbingan organisasi non pemerintah.
Dukungan faktor lingkungan yang penting berikutnya adalah dukungan yang
berasal dari keluarga dengan koefisien lintas sebesar 0,49. Dukungan keluarga
secara nyata berpengaruh terhadap keinovatifan, inisiatif, pengelolaan resiko, dan
daya saing. Keberadaan keluarga sangat penting dalam memberikan pembelajaran
tentang wirausaha bagi pengrajin sebab sebagian besar pengrajin memiliki orang
tua dan keluarga yang telah menekuni usaha ini sebelumnya. Pembelajaran yang
diterima dari keluarga penting untuk membentuk keinovatifan, orang tua dan
anggota keluarga yang lebih tua telah terbiasa membuat pola. Pembuatan pola
mengacu pada majalah mode yang berisi iklan produk tas merek terkenal yang
kemudian diajarkan kepada anak atau keluarganya.
Pada komunitas pengrajin di Jawa Timur terdapat pemimpin informal yang
disegani yaitu tokoh agama, pengrajin yang maju, juragan, dan guru pada lembaga
pendidikan formal. Pertemuan dengan pemimpin informal terjadi pada saat
kegiatan keagamaan, kebiasaan saling berkunjung pemimpin informal juga sering
dilakukan masyarakat pengrajin. Dukungan pemimpin informal merupakan salah
satu aspek yang mempengaruhi perilaku wirausaha dengan koefisien lintas 0,42
Indikator pembentuk konstruk lingkungan kondusif memberikan pengaruh
terhadap perilaku wirausaha dan menjadi faktor penting dalam membangun
perilaku wirausaha pengrajin di Jawa Timur. Pada persamaan Lewin (Hersey,
Blanchard dan Johnson, 1996) dinyatakan bahwa perilaku merupakan fungsi dari
interaksi antara sifat individu dengan lingkungannya, persamaan ini diartikan
bahwa perilaku adalah fungsi yang ada dalam diri individu dan di luar individu
yaitu situasi.
Hal ini sejalan dengan konteks kewirausahaan yang dikembangkan oleh Bird
(2000) bahwasanya faktor lingkungan yang memiliki kekuatan yang lebih besar
adalah faktor: sosial, ekonomi, dan politik yang mendukung atau menghambat
wirausaha. Konteksnya meliputi hak cipta, modal, keyakinan dan nilai-nilai dalam
hal usaha, teknologi, sumber daya lokal, inkubator, jejaring, teman sesama
pengusaha, partner dan dukungan keluarga.
Faktor-Faktor yang Berpengaruh TerhadapTingkat Kemandirian Usaha
Pengujian terhadap hipotesis kedua penelitian ini tercantum pada Tabel 39.
Hasil uji hipotesis menunjukkan diterimanya hipotesis yang menyatakan bahwa:
”Tingkat kemandirian usaha dipengaruhi secara nyata oleh karakteristik individu,
pendukung usaha, lingkungan dan perilaku wirausaha.”
Faktor karakteristik individu, perilaku wirausaha, dukungan lingkungan, dan
kualitas pendukung usaha berpengaruh secara positif dan nyata terhadap tingkat
kemandirian usaha dengan koefisien lintas masing-masing sebesar 0,58, 0,56,
0,26, dan 0,20. Rendahnya tingkat kemandirian usaha pada pengrajin barang dari
kulit disebabkan oleh masih rendahnya karakteristik individu, perilaku wirausaha,
dukungan lingkungan, dan kualitas pendukung usaha.
Tabel 39. Ringkasan Hasil Uji Faktor-Faktor yang BerpengaruhTerhadap Tingkat kemandirian usaha
Peubah Bebas PeubahTerikat
Koefisien Jalur(Standardized)
StandarError
Nilai thitung
Hasil Ujiα=0,05.
R2
KarakteristikIndividu
0,58 0,12 4,67 * 0,87
PendukungUsaha
0,26 0,09 3,06 *
DukunganLingkungan
0,20 0,07 2,86 *
Tingkatkemandirianusaha
PerilakuWirausaha
0,56 0,12 4,66 *
*Nyata pada α= 0,05, t-tabel = 1,965. Tabel 39Ringkasan Hasil Uji Faktor- Faktor yang Berpengaruh Tingkat kemandirian usaha
Hubungan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kemandirian
usaha digambarkan dalam Gambar 26.
Berdasarkan Gambar 26 terlihat bahwa tingkat kemandirian usaha
dipengaruhi secara langsung oleh faktor-faktor: karakteristik individu, pendukung
usaha, dukungan lingkungan, dan perilaku wirausaha.
Gambar 26 Faktor-Faktor yang Berpengaruh Langsung Tingkat Kemandirian UsahaGambar 26. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Langsung
terhadap Tingkat Kemandirian Usaha
Pengaruh Faktor Perilaku Wirausaha terhadapTingkat Kemandirian Usaha
Perilaku wirausaha yang dibentuk dari faktor keinovatifan, inisiatif,
pengelolaan resiko, dan daya saing berpengaruh secara nyata terhadap
kemandirian usaha. Pada konteks pertanian, kemandirian petani akan mantap
apabila potensi petani diwarnai dengan aspek perilaku petani yang berciri
modern, efisien, dalam bisnis pertanian yang berdaya saing yang menghasilkan
kesaling tergantungan yang berkesinambungan (Sumardjo, 1999). Sedangkan
pada konteks industri kecil, kemandirian usaha di bidang kerajinan dimaknai
sebagai kemampuan pengrajin dalam kegiatan produksi, pemasaran dan
permodalan yang tidak tersubordinasi dengan pihak lain serta kemampuan
kerjasama dengan individu, kelompok atau organisasi untuk mencapai kemajuan
terbesar bersama. Kemandirian usaha yang tinggi dapat dicapai ketika pengrajin
mengelola usaha mengelola usaha dengan perilaku wirausaha yang berkualitas.
Untuk menjelaskan lebih lanjut pengaruh masing-masing aspek dalam
perilaku wirausaha terhadap tingkat kemandirian usaha adalah melalui analisis
jalur yang digambarkan pada Gambar 27.
R 2 = 0,87
KarakteristikIndividu
0,26
ζ=0,13
PendukungUsaha
DukunganLingkungan
KemandirianUsaha
0,58
0,20
PerilakuWirausaha
0,56
Gambar 27 Pengaruh Indikator Perilaku Wirausaha terhadap Tingkat Kemandirian Usaha
Gambar 27. Pengaruh Indikator Perilaku Wirausahaterhadap Tingkat Kemandirian Usaha
Keinovatifan pengrajin paling besar pengaruhnya terhadap tingkat
kemandirian usaha dengan koefisen lintas sebesar 0,67. Rendahnya aspek
keinovatifan pada pengrajin menyebabkan rendahnya tingkat kemandirian
permodalan, kemandirian produksi, kemandirian pemasaran, dan kemandirian
kerjasama. Keinovatifan pengrajin dalam usaha kerajinan kerajinan masih rendah
(rata-rata skor 32,5), pengrajin cenderung menerapkan cara-cara berproduksi
yang sudah mereka terapkan selama bertahun-tahun. Hal ini menyebabkan
rendahnya kemandirian produksi (rata-rata skor 47,3).
Rendahnya keinovatifan pengrajin juga menyebabkan rendahnya
kemampuan pengrajin menghasilkan produk yang memiliki unifikasi sesuai
dengan standar yang diinginkan konsumen. Keunikan ini merupakan salah satu
ciri kemandirian produksi bagi pengrajin barang dari kulit. Perkembangan
permintaan konsumen terhadap produk dari bahan kulit mengikuti perkembangan
cara-cara berpakaian masyarakat saat ini. Konsumen akan memilih produk yang
sesuai dengan mode, sehingga pengrajin yang tidak mampu menghasilkan produk
yang sesuai dengan perkembangan kebutuhan konsumen kurang diminati
konsumen. Jadi keinovatifan penting bagi upaya peningkatan kemampuan
pengrajin meraih kemandirian produksi (menghasilkan produk bermutu) dan
berdaya saing.
Rendahnya faktor keinovatifan relevan dibahas bersama-sama dengan
rendahnya inisiatif, karena inisiatif juga memiliki pengaruh yang nyata terhadap
kemandirian usaha. Ketidakmampuan menghasilkan produk sesuai standar
Tingkat KemandirianUsaha
Pengelolaan Resiko
Inisiatif
Keinovatifan
0,67
0,63
0,49
0,57
Daya Saing
kebutuhan konsumen disamping karena rendahnya keinovatifan, juga karena
kemampuan untuk memasuki pasar baru yang masih rendah. Hal ini ditunjukkan
dari inisiatif pengrajin untuk memprakarsai atau memulai usaha pada pangsa pasar
dan jangkauan pasar baru yang masih rendah (rata-rata 34,4 persen). Pengrajin
masih memproduksi produk yang sejenis dengan pengrajin lainnya, kemampuan
untuk segera memulai memproduksi jenis produk baru yang dibutuhkan pasar
masih rendah.
Inisiatif yang rendah ini juga berdampak pada rendahnya kemandirian
pemasaran (rata-rata skor 31,6). Pengrajin masih memiliki ketergantungan pada
agen pemasaran yang memasarkan produknya, karena belum mampu mencari
alternatif agen pemasaran baru. Agen pemasaran yang menjual produk kerajinan
berupa lembaga (koperasi dan toko eceran) dan individu (juragan dan tenaga
penjual) merupakan saluran pemasaran yang dipergunakan pengrajin untuk
memasarkan produknya. Agen pemasaran hanya memberikan pemasukan sebesar
30 persen dari nilai penjualan yang diterima. Tingginya selisih pemasukan yang
diterima pengrajin dengan yang diterima agen pemasaran mengindikasikan
ketidakberdayaan pengrajin dalam pemasaran hasil produksinya.
Apabila inisiatif pengrajin untuk memulai memasuki pangsa pasar baru atau
saluran pemasaran baru ditingkatkan, maka akan meningkatkan alternatif saluran
distribusi produknya, hal ini akan meningkatkan kemandirian pengrajin di bidang
pemasaran. Aspek inisiatif yang ditingkatkan terutama adalah terkait dengan sikap
dan ketertarikan mengidentifikasi peluang pasar dan alternatif saluran distribusi
yang ada, karena ketertarikan ini yang akan mendorong pengrajin bertindak untuk
memulai peluang usaha baru sehingga tidak tergantung pada saluran distribusi
pemasaran yang ada. Saluran distribusi pemasaran ini tidak harus berupa lembaga
yang besar tetapi individu yang berusaha di bidang eceran yang potensial dan
memiliki perputaran yang kontinyu dapat menjadi alternatif saluran distribusi baru
bagi pengrajin.
Upaya mendorong pengrajin meningkatkan keinovatifan dan inisiatif sangat
penting untuk meningkatkan kemandirian produksi dan pemasaran, pengrajin
mampu sesegera mungkin memanfaatkan peluang usaha yang ada dengan
menghasilkan produk yang sesuai dengan perkembangan kebutuhan konsumen.
Daya saing memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap tingkat
kemandirian usaha, setelah aspek keinovatifan dan inisiatif. Pengrajin yang
berdaya saing memiliki kekuatan untuk memenangkan persaingan pasar yang
semakin banyak dimasuki oleh produk dari China dengan harga yang sangat
murah. Berdasarkan hasil wawancara, pengrajin yang memiliki keinovatifan
tinggi berupa keunikan model dan kehalusan produk yang dihasilkan tidak merasa
kesulitan menghadapi pesaing dari luar karena mereka mampu menjalin kerjasama
yang baik dengan agen pemasaran. Perilaku wirausaha yang berkualitas secara
nyata mampu membentuk kemandirian usaha pengrajin.
Pengaruh Faktor Karakteristik Individu terhadapTingkat Kemandirian Usaha
Berdasarkan Gambar 26, terlihat bahwa karakteristik individu berpengaruh
secara positif dan nyata terhadap tingkat kemandirian usaha, faktor karakteristik
individu yang rendah menyebabkan tingkat kemandirian usaha rendah. Teori
perkembangan manusia juga menyatakan bahwa faktor pribadi berpengaruh
terhadap perkembangan kemandirian individu (Salkind, 1989). Untuk
menjelaskan lebih lanjut pengaruh masing-masing aspek dalam karakteristik
individu terhadap perilaku wirausaha adalah melalui analisis jalur yang
digambarkan pada Gambar 28.
Gambar 28Pengaruh Indikator Karakteristik Individu terhadap Tingkat Kemandirian Usaha
Gambar 28. Pengaruh Indikator Karakteristik Individuterhadap Tingkat Kemandirian Usaha
Tingkat KemandirianUsaha
Kebutuhan
Motivasi
Pendidikan
0,47
0,36
0,50
0,63
Aspek Gender
0,44
Komunikasi
Faktor intensitas komunikasi besar pengaruhnya terhadap tingkat
kemandirian usaha, yang ditunjukkan oleh tingginya pengaruh intensitas
komunikasi terhadap kemandirian (koefisien lintas 0,63). Rendahnya faktor
intensitas komunikasi pengrajin dengan aktor penyedia sumber daya usaha
(pemodal, pemasok bahan baku, agen pemasaran, dan konsumen) menyebabkan
rendahnya tingkat kemandirian usaha. Pengrajin masih rendah intensitas
komunikasinya dengan pemodal dan pemasok bahan baku, sehingga pengrajin
belum memiliki kemampuan untuk melawan tindakan subordinasi yang dilakukan
kedua aktor tersebut. Pengrajin yang melakukan pemesanan bahan baku sering
dihadapkan pada ketidakpastian dalam waktu penerimaan dan kualitas bahan.
Pengrajin masih rendah kemampuannya melawan tindakan subordinasi ini
karena tidak dimilikinya informasi yang cukup tentang keberadaan aktor penyedia
sumber daya alternatif. Terdapat ketidakseimbangan hak dan kewajiban dalam
kerjasama yang dilakukan antara pengrajin dan pemodal. Pengrajin memperoleh
modal dari juragan tetapi pengrajin memiliki kewajiban untuk mendistribusikan
produk kerajinannya kepada pemodal dengan harga yang ditentukan oleh
pemodal.
Pemenuhan kebutuhan merupakan aspek yang berpengaruh nyata terhadap
tingkat kemandirian usaha dengan koefisen lintas sebesar 0,50. Rendahnya
pemenuhan kebutuhan menyebabkan rendahnya tingkat kemandirian usaha
pengrajin, dengan kata lain pengrajin memiliki ketergantungan yang tinggi pada
aktor penyedia sumber daya usaha kerajinan, baik itu pemodal, penyedia bahan
baku, agen pemasaran, maupun konsumen.
Aspek karakteristik individu berikutnya yang memiliki pengaruh terhadap
kemandirian adalah pendidikan pengrajin, dengan koefsien lintas 0,47. Rendahnya
tingkat pendidikan pengrajin terutama pendidikan non formal menyebabkan
rendahnya kemandirian pengrajin. Pengetahun dan ketrampilan pengrajin di
bidang proses produksi masih rendah, terutama tentang mutu produk. Pengrajin
belum mengetahui standar nasional tentang mutu produk barang kerajinan dari
kulit. Pengrajin juga belum memiliki ketrampilan yang tinggi untuk menghasilkan
produk bermutu secara tepat. Hal ini disebabkan pengrajin belum pernah
mendapat sentuhan pendidikan nonformal tentang standar mutu produk.
Pengrajin pernah mendapat pendampingan tentang pengelolaan modal yang
diberikan oleh badan usaha, namun pengrajin belum pernah mendapat penyuluhan
tentang aksesibilitas sumber permodalan alternatif dan metode bekerjasama
dengan sumber permodalan. Sehingga pengetahuan tentang sumber permodalan
alternatif dan ketrampilan mengakses sumber permodalan masih rendah.
Ketrampilan mempromosikan produk dan menjual produk secara luwes yang
berorientasi pada kepuasan pelanggan adalah rendah, pengrajin belum pernah
mendapat bimbingan tentang teknik-teknik promosi, teknik menjual, dan
pengelolaan kepuasan pelanggan.
Pengrajin sering menerima tindakan subordinasi pada saat bekerjasama.
Pengrajin belum memiliki pengetahuan dan ketrampilan membuat perjanjian
secara tertulis. Sehingga ketika terjadi pelanggaran dalam perjanjian pengrajin
berada pada pihak yang lemah dan terkalahkan. Rendahnya kemandirian dalam
kerjasama ini disebabkan pengrajin belum pernah mendapat pendidikan
nonformal tentang perjanjian kerjasama. Pendidikan sangat penting bagi
peningkatan pengetahuan, pemahaman, sikap, dan ketrampilan pengrajin dalam
memproduksi produk kerajinan bermutu yang sesuai dengan perkembangan
kebutuhan konsumen.
Rendahnya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam hal penggajian
dan kewajiban dalam usaha kerajinan berpengaruh terhadap kemandirian usah
adengan koefisen lintas sebesar 0,44. Hal ini terutama terjadi pada aspek
kemandirian produksi dan pemasaran. Terdapat bias gender pada usaha kerajinan
barang dari kulit, seluruh pekerjaan utama produksi dikerjakan oleh kaum laki-
laki sedangkan wanita menjadi asisten pekerjaan suami dalam produksi atau
melakukan pekerjaan sebagai tenaga penjaga toko dan pemasaran. Keterbatasan
pekerjaan wanita di bidang produksi mengurangi satu peluang dihasilkannya
produk yang bermutu, wanita bisa menyelesaikannya dengan lebih halus dan teliti.
Pengaruh Faktor Pendukung Usaha terhadapTingkat Kemandirian Usaha
Tingkat kemandirian usaha mendapat pengaruh positif yang nyata dari
pendukung usaha. Rendahnya faktor pendukung usaha yang tersedia (ketersediaan
bahan baku, ketersediaan pasar, ketersediaan teknologi, dan keterjangkauan
transportasi) berpengaruh terhadap rendahnya tingkat kemandirian (permodalan,
produksi, pemasaran, dan kerjasama). Pengaruh masing-masing faktor tersebut
terhadap tingkat kemandirian pengrajin akan ditelusuri lebih lebih lanjut
berdasarkan analisis jalur pada Gambar 29.
Gambar 29Pengaruh Indikator Karakteristik Individu terhadap Tingkat Kemandirian UsahaGambar 29. Pengaruh Indikator Pendukung Usaha
terhadap Tingkat Kemandirian Usaha
Pengaruh paling besar dari aspek pendukung usaha terdapat pada faktor
ketersediaan pasar, dengan koefisien lintas sebesar 0,62. Ketersediaan pasar
kondusif bagi upaya peningkatan kemampuan pengrajin untuk memasarkan
produk sesuai dengan kebutuhan pasar dan berpengaruh kecermatan pengrajin
dalam bekerjasama dengan pihak yang terlibat dalam pendistribusian produk hasil
kerajinan. Ketersediaan pasar akan mendorong pengrajin untuk mampu membuat
dan mengembangkan desain produk sesuai dengan perkembangan permintaan
konsumen, serta memiliki unifikasi sesuai dengan standar yang diinginkan
konsumen. Terhadap aspek kemandirian kerjasama, ketersediaan pasar akan
mendorong pengrajin untuk menjalin kerjasama seluas-luasnya dengan konsumen,
penyalur, penyedia bahan baku, dan pihak yang terlibat dalam usaha kerajinan.
Ketersediaan bahan baku berpengaruh nyata terhadap peningkatan
kemandirian usaha dengan koefisien lintas sebesar 0,54. Bahan baku yang
terjamin (mutu, kuantitas, dan ketersediaannya) akan mendorong pengrajin untuk
melakukan proses produksi secara tepat waktu dan menghasilkan produk bermutu.
Tingkat KemandirianUsaha
Teknologi
Pasar
Bahan Baku
0,54
0,62
0,51
0,53
Transportasi
Faktor transportasi juga berpengrauh nyata terhadap tingkat kemandirian
usaha dengan koefisien lintas sebesar 0,53. Transportasi yang terjangkau oleh
pengrajin akan memfasilitasi pengrajin untuk menjangkau bahan baku, melakukan
kontak dengan penyedia sumber daya, mempercepat pendistribusian hasil
produksi penjualan, dan memberikan pelayanan yang memuaskan kepada
konsumen. Kehalusan dalam melakukan produksi ditunjang oleh ketersediaan
peralatan yaitu peralatan yang berkembang sesuai kebutuhan, harga peralatan
yang terjangkau dan kemudahan memperoleh peralatan.
Faktor penting lainnya yang berpengaruh nyata terhadap tingkat
kemandirian usaha adalah ketersediaan teknologi dengan koefsien lintas sebesar
0,51. Teknologi yang tersedia akan menjamin kelancaran proses produksi dan
mendukung pengrajinmenghasilkan produk bermutu sesuai dengan tuntutan pasar.
Pengaruh Dukungan Lingkungan terhadapTingkat Kemandirian Usaha
Dukungan lingkungan (keluarga, pemimpin informal, bimbingan pemerintah
daerah, dan organisasi non pemerintah) mempunyai pengaruh yang nyata terhadap
tingkat kemandirian usaha. Rendahnya dukungan keempat aktor tersebut terhadap
pengrajin di kedua lokasi menyebabkan rendahnya tingkat kemandirian usaha.
Aktor yang paling berperan dalam meningkatkan kemandirian usaha
pengrajin dapat dilihat dari hasil analisis jalur pada Gambar 30.
Gambar 30 Pengaruh Indikator Dukungan Lingkungan Tingkat Kemandirian UsahaGambar 30. Pengaruh Indikator Dukungan Lingkungan
terhadap Tingkat Kemandirian Usaha
Tingkat KemandirianUsaha
Bimbingan Pemerintah
Pemimpin Informal
Keluarga
0,35
0,42
0,63
0,61
Bimbingan OrganisasiNon Pemerintah
Dukungan pemerintah melalui bimbingan yang diberikan kepada pengrajin
memiliki pengaruh yang besar bagi peningkatan kemandirian usaha. Bimbingan
yang diberikan pemerintah daerah berupa pelatihan tentang ketrampilan produksi
kerajinan bermutu sehingga pengetahuan dan kemampuan pengrajin dalam
menghasilkan produk bermutu dan berdaya saing masih rendah. Pemerintah
daerah juga telah memberikan pelatihan manajemen usaha kerajinan, namun
frekuensinya masih sedikit sehingga masih banyak pengrajin yang memiliki
kemampuan yang rendah dalam mengelola usaha kerajinan. Pelatihan tentang
perjanjian kerjasama dan permodalan belum pernah dilakukan pemerintah daerah
yang menyebabkan rendahnya kemandirian di bidang kerjasama dan permodalan.
Organisasi non pemerintahan yang memberikan bimbingan kepada pengrajin
terdiri dari: badan usaha, lembaga pendidikan, lembaga penelitian, dan lembaga
swadaya masyarakat. Bimbingan yang diberikan organisasi non pemerintah
memiliki kontribusi yang besar bagi peningkatan kemandirian usaha pengrajin
dengan koefsien lintas sebesar 0,61. Pembinaan yang pernah dilakukan oleh badan
usaha berupa pendampingan terhadap pengrajin yang diberi modal. Pembinaan
dari aspek produksi berupa pelatihan produksi sepatu, tas, dan penanganan bahan
kulit dilakukan oleh badan usaha dan lembaga swadaya masyarakat, namun
pembinaan tersebut tidak berkesinambungan dan jumlah pengrajin yang mendapat
pembinaan juga masih terbatas. Oleh karena itu, rendahnya pembinaan yang
dilakukan organisasi pemerintah menyebabkan masih rendahnya tingkat
kemandirian usaha. Aspek pemasaran masih belum pernah mendapat sentuhan
pembinaan atau bimbingan baik oleh pemerintah daerah atau organisasi non
pemerintah, sehingga kemampuan pengrajin dalam menerapkan teknik pemasaran
baru, dan kecepatan menjual produk kepada konsumen dengan pelayanan bermutu
msih rendah.
Pemimpin informal pada komunitas pengrajin di kedua lokasi memiliki
kontribusi yang cukup besar bagi peningkatan kemandirian pengrajin dengan
koesfien lintas sebesar 0,42. Pengrajin maju dan pemimpin kelompok usaha pada
sentra kerajinan memberikan dukungan dalam kegiatan pengrajin berupa arahan
tentang informasi pasar, model produk, atau tentang proses produksi.
Dukungan faktor lingkungan yang penting berikutnya adalah dukungan yang
berasal dari keluarga dengan koefisien lintas sebesar 0,35. Pembelajaran yang
diberikan oleh keluarga lebih mudah diterima pengrajin karena mereka melihat
dan mempraktekkan langsung (learning by doing) terutama tentang proses
produksi dan pemasaran.
Faktor-Faktor yang Berpengaruhterhadap Kemajuan Usaha
Ringkasan hasil uji hipotesis ketiga yang tercantum pada Tabel 40,
menunjukkan diterimanya hipotesis yang menyatakan bahwa ”Kemajuan usaha
dipengaruhi secara langsung oleh perilaku wirausaha dan tingkat kemandirian
usaha.”
Tabel 40. Ringkasan Hasil Uji Faktor-Faktor yang BerpengaruhTerhadap Kemajuan Usaha
VariabelBebas
VariabelTerikat
KoefisienJalur
(Standardized)
StandarError
Nilai thitung
HasilUji
α=0,05.
R2
PerilakuWirausaha
0,35 0,18 1,97 * 0,49KemajuanUsaha
Tingkatkemandirianusaha
0,34 0,15 2,26 *
*Nyata pada α= 0,05, t-tabel = 1,965 Tabel 40 Ringkasan Hasil Uji Faktor- Faktor yang Berpengaruh TerhadapKemajuan Usaha
Perilaku wirausaha dan tingkat kemandirian usaha berpengaruh secara
positif dan nyata terhadap kemajuan usaha, masing-masing sebesar 0,35 dan 0,34.
Rendahnya perilaku wirausaha dan tingkat kemandirian usaha menyebabkan
rendahnya tingkat kemajuan usaha. Hubungan langsung antara faktor perilaku
wirausaha dan tingkat kemandirian usaha terhadap kemajuan usaha terlihat pada
Gambar 31.
Pengaruh Faktor Perilaku Wirausahaterhadap Kemajuan Usaha
Berdasarkan Tabel 40 terlihat bahwa perilaku wirausaha berpengaruh
secara positif dan nyata terhadap kemajuan usaha. Perilaku wirausaha sangat
penting bagi peningkatan kemajuan usaha, aspek keinovatifan, inisiatif,
pengelolaan resiko, dan daya saing memiliki kontribusi yang besar bagi kemajuan
usaha. Stewart JR et al (1998) menilai kemajuan usaha seorang wirausahwan
berdasarkan kecemerlangan aspirasi wirausahawan dalam memandang peluang di
masa depan yang penuh resiko, hal ini dapat meningkatkan keberhasilan usaha.
Gambar 31Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemajuan Usaha
Gambar 31. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemajuan Usaha
Rendahnya tingkat kemajuan usaha disebabkan oleh rendahnya
kemampuan pengrajin untuk menghasilkan inovasi dan menerapkan inovasi
tersebut dalam usaha kerajinan kerajinannya masih rendah (rata-rata skor 32,5).
Kecenderungan menerapkan cara-cara yang sudah lama mereka terapkan,
menyebabkan kejenuhan pada model yang dihasilkan sehingga tidak sesuai lagi
dengan mode yang disukai konsumen terutama untuk produk yang berorientasi
ekspor. Lebih dari seperempat pengrajin di Kabupaten Magetan memiliki
keinovatifan rendah yang berakibat produk sepatu yang dihasilkan tidak mampu
diserap pasar secara optimal dari segi kuantitas dan jangkauan pemasaran.
Pengrajin Magetan sebagian besar memasarkan produknya untuk kebutuhan lokal
(55,3 persen). Rendahnya keinovatifan menyebabkan seperempat pengrajin
memiliki tingkat pertumbuhan usaha (penjualan, jenis produk, aktiva, volume
produksi, dan pangsa pasar) sangat rendah.
Keinovatifan (pemahaman tentang penciptaan inovasi produk, ketertarikan
untuk menciptakan inovasi, dan kecermatan menghasilkan inovasi dengan
peralatan produksi atau teknik produksi terbaru kondusif) akan meningkatkan
pertumbuhan produksi. Pengetahuan sumber informasi tentang teknik pemasaran
PerilakuWirausaha
R 2 = 0,49
ζ=0,51
KemandirianUsaha
KemajuanUsaha
0,34
0,35
dan pelayanan kepada pelanggan yang inovatif akan mendorong pengrajin untuk
meningkatkan pertumbuhan penjualan.
Faktor inisiatif juga memiliki pengaruh besar terhadap tingkat kemajuan
usaha. Ketidakmampuan sebagian besar pengrajin menjangkau pasar ekspor
disamping karena rendahnya keinovatifan juga karena kemampuan untuk
memasuki pasar baru yang masih rendah yang ditunjukkan dari inisiatif pengrajin
untuk memprakarsai atau memulai usaha pada pangsa pasar dan jangkauan pasar
baru yang masih rendah (rata-rata 34,4). Upaya mendorong pengrajin
meningkatkan inisiatif sangat penting untuk meningkatkan kemampuan pengrajin
menjangkau pasar yang lebih luas terutama pasar ekspor yang baru 5 persen
dijangkau pengrajin. Kecermatan dalam memanfaatkan peluang usaha dengan
perencanaan yang matang kondusif untuk mengembangkan kecermatan dan
ketepatan mengelola usaha ecara efisien. Ketertarikan dan ketelitian dalam
mengidentifikasi peluang usaha yang didukung dengan kemampuan pengrajin
dalam mencari sumber informasi inovatif dan kecermatan dalam menghasilkan
inovasi usaha akan menjadikan usaha lebih dinamis dan produk menjadi lebih
bervariasi.
Daya saing yang dimiliki pengrajin juga berpengaruh secara nyata terhadap
tingkat kemandirian usaha. Rendahnya daya saing produk kerajinan menyebabkan
rendahnya tingkat kemandirian usaha. Pengrajin masih menggunakan standar
lokal pada produk yang dihasilkan. Secara logika, dengan jangkauan pasar yang
lebih luas akan menuntut standar mutu produk yang lebih tinggi karena persaingan
semakin luas. Produk yang menjadi pesaing tidak hanya produk lokal tapi produk
nasional bahkan internasional. Sebagai salah satu contoh, pengrajin tidak dapat
menggunakan standar ukuran sepatu untuk orang Indonesia untuk memenuhi
kebutuhan pasar Eropa atau Timur Tengah.
Pengetahuan dan pemahaman tentang cara memprediksi resiko, sikap
terhadap resiko, dan ketepatan dan kecermatan mengelola resiko masih rendah
yang menyebabkan pertumbuhan usaha dan efektivitas usaha juga rendah.
Pengrajin perlu berhati-hati dan teliti dalam menjalankan usaha secara efisien dan
efektif. Peluang usaha baru yang berhasil diidentifikasi dan dijalankan pengrajin
akan membuka kesempatan untuk meningkatkan volume penjualan dan perluasan
pangsa pasar. Kecermatan menemukan peluang usaha dan ketepatan memprediksi
terjadinya resiko dalam menjalankan usaha baru yang didukung perencanaan
biaya produksi yang baik akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas usaha.
Berdasarkan hasil tersebut di atas, faktor perilaku wirausaha sangat penting
diperhatikan untuk meningkatkan kemajuan usaha pengrajin. Pengrajin yang
berkualitas perilaku wirausaha sangat kondusif untuk dapat meraih kemajuan
usaha. Variabel tersebut penting untuk dikembangkan melalui program
pemberdayaan masyarakat. Sehingga pengrajin mampu meraih pertumbuhan
usahanya serta dapat bekerja secara efisien dan efektif. Hasil temuan ini relevan
dengan temuan Perry et al (2001), Adnyana (2004), dan Steier (2000).
Pengaruh Faktor Tingkat KemandirianUsaha terhadap Kemajuan Usaha
Kemandirian usaha berpengaruh secara positif dan nyata terhadap kemajuan
usaha. Rendahnya kemajuan usaha (pertumbuhan usaha, efektivitas usaha, dan
efisiensi usaha) dengan rata-rata skor 35,9 disebabkan oleh rendahnya tingkat
kemandirian usaha (kemandirian permodalan, produksi, pemasaran, dan
kerjasama) dengan rata-rata skor 37,8.
Pertumbuhan usaha yang rendah (terutama faktor pertumbuhan volume
produksi) disebabkan oleh kemandirian produksi yang rendah (ketrampilan proses
produksi). Pengrajin masih belum mampu mencapai tingkat pertumbuhan
produksi yang tinggi karena ketepatan dalam menjalankan tahapan produksi masih
rendah, pengrajin masih belum membuat perencanaan jumlah barang yang akan
diproduksi sehingga tidak bisa selesai tepat waktu.
Efek kemandirian produksi yang rendah juga berpengaruh pada rendahnya
efisiensi waktu. Pengrajin memiliki keterbatasan akses terhadap peralatan besar
(mesin pres, pemotong, dan seset) yang tidak dimilikinya dengan menyewa pada
pengrajin lain sehingga menimbulkan waktu menganggur.
Faktor kemandirian permodalan yang dimiliki pengrajin masih rendah, hal
ini menyebabkan rendahnya kemajuan usaha. Pemahaman tentang pengelolaan
modal, sikap hemat dalam mengelola modal, dan ketepatan mengakses sumber
permodalan alternatif masih rendah, sehingga pertumbuhan usaha menjadi rendah,
terutama pertumbuhan volume produksi dan pertumbuhan aktiva.
Rendahnya pertumbuhan usaha (pertumbuhan penjualan dan perkembangan
pangsa pasar) disebabkan oleh kemandirian pemasaran pengrajin yang masih
rendah. Kemandirian pemasaran pengrajin masih belum kondusif untuk
meningkatkan volume penjualan dan menjangkau pasar yang lebih luas terutama
pasar ekspor. Pengrajin masih rendah dalam ketanggapan terhadap perkembangan
teknik menjual, promosi produk kerajinan dan keluwesan dalam memberikan
pelayanan yang memuaskan pelanggan sehingga pencapaian target penjualan dan
perkembangan pangsa pasar masih rendah.
Kemandirian kerjasama yang rendah juga menyebabkan kemajuan usaha
yang rendah. Kemampuan pengrajin dalam melakukan kerjasama dengan pihak
yang berkaitan dengan bidang usaha kerajinan (pemodal, pemasok bahan baku,
agen pemasaran, dan konsumen) masih rendah sehingga pertumbuhan usaha
terutama perkembangan pangsa pasar, pertumbuhan penjualan dan pertumbuhan
aktiva menjadi rendah. Pengrajin belum mampu membuat perjanjian dalam
kerjasama dan belum mampu memposisikan dirinya sebagai mitra yang sejajar
dengan aktor terkait sehingga timbul tindakan subordinasi oleh aktor tersebut.
Sikap percaya diri pengrajin dalam menjalin kerjasama masih rendah,
sehingga menghambat perkembangan jangkauan pemasaran. Pengrajin belum
mampu memperluas akses jaringan kerjasama, jika pengrajin mampu maka
semakin luas dan semakin banyak alternatif jaringan kerjasama yang dimiliki
pengrajin akan semakin tinggi kemampuan mencapai pertumbuhan usaha dan
semakin tinggi pencapaian target usaha.
Faktor-Faktor yang Berpengaruhterhadap Keberlanjutan Usaha
Kemajuan usaha yang dicapai oleh pengrajin diuji pengaruhnya terhadap
tingkat keberlanjutan usaha. Ringkasan hasil uji hipotesis yang tersebut pada
Tabel 41 menunjukkan bahwa hipotesis ”Keberlanjutan usaha dipengaruhi secara
langsung oleh kemajuan usaha” diterima.
Tabel 41. Ringkasan Hasil Uji Pengaruh Kemajuan Usahaterhadap Keberlanjutan Usaha
VariabelBebas
VariabelTerikat
KoefisienJalur
(Standardized)
StandarError
Nilai thitung
HasilUji
α=0,05.
R2
KeberlanjutanUsaha
KemajuanUsaha
0,76 0,09 8,46 * 0,57
*Nyata pada α= 0,05, t-tabel=1,965. Tabel41 Ringkasan Hasil Uji Pengaruh Kemajuan Usaha Keberlanjutan Usaha
Kemajuan usaha berpengaruh secara positif dan nyata terhadap
keberlanjutan usaha sebesar 0,76. Rendahnya keberlanjutan usaha disebabkan
rendahnya tingkat kemajuan usaha yang diraih pengrajin dari satu periode ke
periode. Usaha yang senantiasa tumbuh dari aspek penjualan, keuntungan dan
modal yang dimiliki serta berjalan secara efektif dan efisien mampu
meningkatkan keberlanjutan usahanya pada masa mendatang. Hubungan langsung
kemajuan usaha terhadap keberlanjutan usaha terlihat pada Gambar 32.
Gambar 32Pengaruh Kemajuan Usaha terhadap Keberlanjutan UsahaGambar 32. Pengaruh Kemajuan Usaha terhadap Keberlanjutan Usaha
Rendahnya keberlanjutan usaha disebabkan oleh rendahnya tingkat
kemajuan usaha. Hampir setengah pengrajin (43 persen) memiliki kontinyuitas
produksi rendah yang disebabkan oleh rendahnya pertumbuhan usaha, efektivitas,
dan efisiensi usaha. Pengrajin kurang tanggap terhadap pentingnya perencanaan
dan penyusunan target produksi. Jumlah barang yang akan diproduksi ditentukan
dengan pendekatan tradisional, jumlah yang diproduksi pada bulan ini sama
dengan jumlah yang diproduksi pada bulan lalu, tanpa melakukan prediksi atau
Kemajuan Usaha
Keberlanjutan usaha
0,76
ζ=0,43
perencanaan produksi. Ketanggapan pengrajin terhadap tingkat kekerapan hasil
produksi pada masa yang akan datang masih rendah dan pengrajin kurang proaktif
pada kelancaran proses produksi.
Sikap pengrajin dalam mengantisipasi tercapainya kontinyuitas produksi
berupa kelancaran proses produksi, meningkatnya mutu produk dan terpenuhinya
kebutuhan konsumen akan produk kerajinan yang bermutu masih rendah, hal ini
disebabkan pertumbuhan usaha masih rendah dan pengrajin belum menjalankan
usahanya secara efektif dan efisien.
Tingkat kontinyuitas penjualan cenderung rendah, hampir setengah
pengrajin (43 persen) memiliki kontinyuitas penjualan rendah dan sangat rendah.
Rendahnya kontinyuitas penjualan disebabkan oleh rendahnya pertumbuhan usaha
(pertumbuhan penjualan dan perkembangan jenis produk kerajinan) dan
efektivitas (pencapaian target penjualan) yang rendah.
Kesadaran akan pentingnya pelayanan bermutu dalam usaha kerajinannya
masih rendah. Penerapan standar mutu produk yang berlaku di pasar masih
rendah, standar yang digunakan sebatas kemampuan yang dimiliki dan masih
rendah penerapan prinsip-prinsip pelayanan yang memberikan kepuasan pada
pelanggan.
Peningkatan dan diversifikasi produk kerajinan yang dihasilkan dicapai
pengrajin pada kondisi saat ini dengan sebelumnya akan mendorong sikap
proaktif pengrajin untuk dapat memenuhi selera konsumen atas produk kerajinan
pada masa yang akan datang. Sikap proaktif atas kontinyuitas penjualan ini masih
rendah terutama dalam hal membuat perencanaan biaya dan target penjualan,
peningkatan pelayanan, dan kesadaran melakukan promosi.
Rata-rata kontinyuitas penjualan sedang (rata-rata 59,5), hal ini
ditunjukkan oleh oleh pencapaian target produksi dan penjualan yang rendah.
Pengrajin masih lemah dalam hal mengantisipasi terpenuhinya input bahan baku
dengan jumlah yang tepat dan memiliki mutu yang sesuai dengan kebutuhan dan
selera konsumen pada masa karena pertumbuhan volume produksi dan penjualan
masih rendah. Semakin tinggi tingkat pertumbuhan usaha maka akan
meningkatkan semangat pengrajin untuk mengantisipasi keterpenuhan bahan baku
dengan membuat perencanaan persediaan, pengendalian persediaan, dan mutu
persediaan.
Model Persamaan Struktural Keberdayaan Pengrajin
Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa pengrajin masih memiliki
keberdayaan yang rendah, hal ini ditunjukkan dengan perilaku wirausaha dan
tingkat kemandirian usaha yang rendah. Perilaku wirausaha (tingkat keinovatifan,
inisiatif, pengelolaan resiko dan daya saing) pengrajin adalah rendah. Pengrajin
lebih sering menerapkan cara-cara berusaha yang telah ada dan mencoba
menerapkan inovasi setelah pengrajin lain menerapkannya. Kecenderungan yang
terjadi pada pengrajin adalah memproduksi barang yang sejenis dengan pengrajin
yang lain. Mereka kurang merespon peluang usaha baru karena takut mengalami
kerugian atau kegagalan. Sebagian besar pengrajin hanya berupaya menjual
produk semampunya, seperti yang telah dicapai pada hari-hari sebelumnya.
Tingkat kemandirian usaha (permodalan, proses produksi, kerjasama dan
pemasaran) masih rendah. Pengrajin mengelola modal dengan pertimbangan
jangka pendek dan belum memiliki orientasi mengakumulasikan keuntungan
dalam investasi modal. Pada aspek permodalan pengrajin juga kurang proaktif
dalam mencari sumber permodalan alternatif. Pengrajin menghasilkan produk
dengan menggunakan pola yang sudah ada yang telah lama mereka pergunakan
dengan mengacu pada standar internal. Kemampuan memodifikasi peralatan agar
sesuai dengan kebutuhan pasar masih belum banyak dilakukan. Kemandirian
kerjasama belum dicapai pengrajin karena mereka melakukan kerjasama dalam
lingkup yang masih terbatas, sehingga tidak jarang mereka menerima tindakan
subordinasi karena tidak mampu mencari alternatif lain. Orientasi kerjasama juga
masih dalam tujuan keuntungan jangka pendek sehingga kurang kontinyu.
Berdasarkan kondisi perilaku wirausaha dan tingkat kemandirian usaha
pengrajin yang dijelaskan di atas, tampak bahwa pengrajin masih belum berdaya
dalam menjalankan usaha kerajinannya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu model
pemberdayaan bagi pengrajin, sehingga pada masa mendatang diperoleh pengrajin
yang berdaya dan mampu meraih kemajuan dan keberlanjutan usahanya. Hasil
model persamaan struktural secara keseluruhan (overall) yang digunakan dalam
menguji hipotesis satu sampai dengan hipotesis empat dievaluasi lebih lanjut
untuk mengkonfirmasi layak-tidaknya model teoritis yang diajukan untuk
menduga hipotesis penelitian. Menurut Ferdinand (2002) suatu model dikatakan
fit atau sesuai dengan data apabila matriks kovarian sampel tidak berbeda dengan
estimasi matrik kovarians populasi yang dihasilkan. Sehingga model baik untuk
digunakan menduga populasi. Nilai Goodness-of-Fit Index (GFI) merupakan
ukuran kesesuaian model secara deskriptif. Dalam penelitian ini nilai GFI adalah
sebesar 0,93 atau lebih besar dari 0,90 yang mengindikasikan model fit atau
model dapat diterima. Nilai GFI ini juga menunjukkan bahwa 93 persen data
penelitian mampu menerangkan kenyataan di lapangan.
Model persamaan struktural digunakan sebagai landasan untuk
merumuskan model pemberdayaan pengrajin menuju kemajuan dan keberlanjutan
usaha. Pengujian hipotesis telah membuktikan bahwa secara empiris pada
komunitas pengrajin faktor-faktor karakteristik individu, pendukung usaha, dan
lingkungan berpengaruh nyata terhadap keberdayaan pengrajin (perilaku
wirausaha dan tingkat kemandirian usaha). Keberdayaan pengrajin berpengaruh
secara nyata terhadap kemajuan usaha yang menjadi faktor penentu keberlanjutan
usaha pengrajin di masa depan. Faktor-faktor penentu keberdayaan pengrajin
menuju kemajuan dan keberlanjutan usaha tersusun dalam model persamaan
struktural (SEM) pada Gambar 33.
Gambar 33Model Persamaan Struktural Keberdayaan Pengrajin* Nyata pada α= 0,05.Jalur Strategis: Karakteristik Individu Perilaku Wirausaha Tingkat kemandirian usahaTingkat kemajuan usaha Keberlanjutan usaha
Gambar 33. Model Persamaan Struktural Keberdayaan Pengrajin
ζ=0,13
KarakteristikIndividu
PendukungUsaha
DukunganLingkungan
KemandirianUsaha
PerilakuWirausaha
KemajuanUsaha
KeberlanjutanUsaha
0,34*
0,35*
ζ=0,51
ζ=0,22 ζ=0,43
0,26*
0,58*
0,39*
0,20*
0,050,50*
0,56*0,76*
Keberdayaan Pengrajin
Model persamaan struktural keberdayaan pengrajin pada Gambar 33
menunjukkan bahwa faktor-faktor dalam karakteristik individu (pendidikan,
motivasi, pemenuhan kebutuhan, intensitas komunikasi, dan aspek gender)
memiliki peran strategis untuk memberdayakan pengrajin yaitu meningkatkan
kualitas perilaku wirausaha dan kemandirian usahanya. Peningkatan keberdayaan
pengrajin ini didukung oleh lingkungan dan pendukung usahanya. Terdapat nilai
residu (ζ) yang merupakan faktor di luar model yang diduga berpengaruh terhadap
keberdayaan, kemajuan, dan keberlanjutan usaha pengrajin. Berdasarkan hasil
wawancara dengan pengrajin, iklim usaha merupakan salah satu faktor yang
diduga berpengaruh terhadap keberdayaan pengrajin.
Hasil penelusuran melalui analisis jalur dari indikator yang ada pada
karakteristik individu pada Tabel 38 menunjukkan bahwa faktor pendidikan dan
motivasi merupakan faktor strategis yang menentukan kualitas perilaku
wirausaha, terutama setelah melalui pemenuhan kebutuhan dan intensitas
komunikasi. Seyogyanya pemberdayaan diarahkan pada upaya memotivasi
pengrajin dan menambah intensitas penyuluhan guna meningkatkan perilaku
wirausahanya melalui komunikasi yang intensif antara penyuluh dan aktor yang
terlibat dalam pemberdayaan. Dukungan lingkungan (keluarga, pemimpin
informal, bimbingan pemerintah daerah, dan bimbingan organisasi non
pemerintah) secara nyata berpengaruh terhadap perilaku wirausaha, terutama yang
diperankan oleh pemerintah daerah dan organisasi non pemerintah, sehingga
keterlibatan kedua aktor tersebut secara intensif sangat diperlukan untuk
meningkatkan kualitas perilaku wirausaha.
Penelitian ini juga mengkaji lebih lanjut pengaruh keberdayaan pengrajin
pada kemajuan dan keberlanjutan usaha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kemajuan usaha secara nyata dan positif dipengaruhi oleh keberdayaan pengrajin
yaitu perilaku wirausaha dan tingkat kemandirian usahanya. Kemajuan usaha
masih rendah (rata-rata skor 37,8), ini terjadi karena keberdayaan pengrajin masih
rendah (perilaku wirausaha rendah dengan rata-rata skor 33,8 dan tingkat
kemandirian usaha rendah dengan rata-rata skor 35,9). Kemajuan usaha yang
masih rendah berdampak pada masih banyaknya usaha pengrajin yang memiliki
tingkat keberlanjutan yang rendah.
Pengembangan kemandirian usaha perlu dilakukan melalui peningkatan
perilaku wirausaha pengrajin terutama pada aspek keinovatifan, inisiatif, dan daya
saing bagi pengrajin. Hal ini telah dibuktikan melalui analisis jalur pengaruh
indikator perilaku wirausaha dan tingkat kemandirian usaha pada Gambar 27.
Selain itu, juga sangat ditentukan oleh karakteristik individu (intensitas
komunikasi, pemenuhan kebutuhan, pendidikan, motivasi, dan aspek gender) dan
dukungan lingkungan. Dukungan lingkungan perlu mendapat perhatian serius
terutama bimbingan pemerintah daerah, bimbingan organisasi non pemerintah,
keluarga, dan pemimpin informal. Pendukung usaha juga perlu mendapat
perhatian terutama pada aspek pasar, bahan baku, transportasi, dan teknologi.
Faktor strategis penentu keberdayaan pengrajin pada kedua lokasi adalah
sama yaitu faktor karakteristik individu dan lingkungan, namun penekanan
pengembangan masing-masing faktor berbeda. Model persamaan struktural
keberdayaan pengrajin Sidoarjo disajikan pada Gambar 34.
Gambar 34Model Keberdayaan Pengrajin di Sidoarjo
* Nyata pada α= 0,05.Jalur Strategis: Karakteristik Individu Perilaku Wirausaha Tingkat kemandirian usahaTingkat kemajuan usaha Keberlanjutan usaha
Gambar 34. Model Keberdayaan Pengrajin di Sidoarjo
Pengembangan dukungan lingkungan menjadi faktor selanjutnya yang
perlu diperhatikan untuk meningkatkan keberdayaan pengrajin di Sidoarjo
terutama melalui bimbingan organisasi non pemerintah dan bimbingan pemerintah
daerah. Faktor keluarga dan pemimpin informal memiliki peran yang seimbang,
KarakteristikIndividu
0,14*PendukungUsaha
DukunganLingkungan
TingkatKemandirian
Usaha
0,42*
0,12* PerilakuWirausaha
0,49*
ζ=0,04
TingkatKemajuan
Usaha
KeberlanjutanUsaha
0,28*
0,44*
0,28*
0,35* 0,36*
ζ=0,09
ζ=0,06 ζ=0,41
0,77*
Keberdayaan Pengrajin
sehingga kedua-duanya sama diperlukan untuk meningkatkan keberdayaan
pengrajin. Adapun model persamaan struktural keberdayaan pengrajin Magetan
disajikan pada Gambar 35.
Gambar35Model Keberdayaan Pengrajin di Magetan* Nyata pada α= 0,05.Jalur Strategis: Dukungan Lingkungan Perilaku Wirausaha Tingkat kemandirian usahaTingkat kemajuan usaha Keberlanjutan usaha
Gambar 35. Model Keberdayaan Pengrajin di Magetan
Rendahnya keberdayaan pengrajin di Magetan perlu ditingkatkan melalui
pengembangan dukungan lingkungan terutama melalui bimbingan pemerintah
daerah. Intervensi yang dilakukan oleh pemerintah daerah penting untuk
mengembangkan perilaku wirausaha pengrajin yang masih rendah.
Pengembangan perilaku wirausaha dan intervensi yang dilakukan pemerintah
daerah akan meningkatkan kemandirian pengrajin. Keterlibatan organisasi non
pemerintah dan keluarga juga penting bagi peningkatan keberdayaan pengrajin
Magetan yang memiliki hubungan yang kuat antar sesama anggota keluarga yang
secara sinergis mendukung kegiatan usaha kerajinan.
Perhatian yang serius terhadap karakteristik individu pengrajin mampu
meningkatkan perilaku wirausaha dan tingkat kemandirian usaha pengrajin
Magetan. Faktor karakteristik individu yang mempunyai kontribusi paling penting
bagi keberdayaan pengrajin Magetan adalah pendidikan pengrajin. peningkatan
pendidikan pengrajin terutama pada aspek pendidikan non formal mampu
meningkatkan keberdayaan pengrajin.
KualitasPribadi
0,04
ζ=0,17
PendukungUsaha
DukunganLingkungan
TingkatKemandirian
Usaha
0,21*
0,35* PerilakuWirausaha
0,42*
TingkatKemajuan
Usaha
KeberlanjutanUsaha
0,36*
0,31*0,33*
0,060,29*
ζ=0,25
ζ=0,05 ζ=0,51
0,70*
Keberdayaan Pengrajin
Visi, Misi dan Strategi Pengembangan Industri Kecil
Visi Pengembangan Industri Kecil
Pengembangan industri kecil diorientasikan kepada visi agar menjelang
tahun 2020 dapat terwujud industri kecil berbasis ekonomi kerakyatan yang maju,
kompetitif, mandiri dan berperan secara berarti sebagai basis dan salah satu motor
penggerak bagi pengembangan sektor industri secara keseluruhan (Deperindag,
2002).
Memperhatikan visi tersebut, maka yang dibangun oleh pemerintah adalah
aspek industri kecilnya agar menjadi tumpuan utama kehidupan ekonomi
masyarakat di sektor industri, menjadi penyedia lapangan kerja ataupun sumber
penghidupan yang luas dengan sumbangan nilai tambah yang besar.
Menurut O’Connor (1996) visi atau wawasan adalah lampu jarak jauhyang dapat memberikan arah untuk setiap upaya. Jika visi ini jelas dancemerlang, maka perhatian orangpun akan tertarik dan minat sertapengetahuannya akan terangsang. Bahkan sekalipun rinciannya tersamar atautidak jelas, maka visi dapat digunakan sebagai pengikat.
Nilai-nilai filosofis yang dijadikan acuan atau landasan perilaku dari setiap
pelaku pengembangan industri kecil demi tercapainya tujuan yang ditetapkan
tersirat dalam pernyataan “industri kecil sebagai motor penggerak
pengembangan”, yang diartikan sebagai suatu kondisi industri kecil pada saat
menjelang 2020 merupakan segmen industri yang (bersama-sama dengan segmen
lainnya) telah berkemampuan mendinamisasi dan memajukan dirinya sendiri
bekerja bersama-sama dengan segmen usaha dan pemerintah tanpa saling
membebabni Hal ini sejalan dengan falsafah penyuluhan “helping people to help
them selves”. Bahwasanya pengembangan industri kecil diarahkan pada upaya
memberi kemampuan pada industri kecil untuk menolong dirinya sendiri, namun
di dalam visi tersebut tidak tercantum secara jelas adanya aspek pendidikan dalam
kegiatan pengembangan industri kecil, sehingga masih belum relevan dengan
konteks penyuluhan.
Misi Pengembangan Industri Kecil
Misi pengembangan industri kecil adalah memperluas penciptaan lapangan
kerja melalui penciptaan dan pengembangan lapangan berusaha, meningkatkan
pendapatan masyarakat luas secara lebih merata, menyebarkan kegiatan
pembangunan dengan seoptimal mungkin mendayagunakan sumberdaya dalam
negeri (indigeneous resources) secara efisien dalam rangka pendalaman struktur
industri atas prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan,
meningkatkan ekspor, serta menjadikan industri kecil sebagai wahana bagi
pelestarian dan pengembangan seni-budaya bangsa (Deperindag, 2002).
Misi berisi penjabaran visi ke dalam kegiatan operasional yang nyata
untuk mendorong tercapainya tujuan. Untuk mewujudkan industri kecil berbasis
ekonomi kerakyatan yang maju, kompetitif, mandiri dan berperan sebagai basis
dan motor pengembangan tidak hanya dapat dicapai dengan penciptaan dan
pengembangan lapangan berusaha dan meningkatkan pendapatan masyarakat luas
secara lebih merata sebab berdasarkan hasil penelitian ini terbukti bahwa aspek
karakteristik individu dan intervensi lingkungan secara nyata berpengaruh
terhadap kemandirian usaha. Misi pengembangan belum mencantumkan aspek
sumber daya manusia dan industri kecil yaitu pengelola usaha atau pengrajinnya.
Tujuan Pengembangan Industri Kecil
Deperindag (2002) menetapkan tujuan dilakukannya pengembangan
Industri Kecil adalah untuk mewujudkan kemajuan pembangunan industri berupa:
(1) Meningkatnya kesempatan berusaha, kesempatan kerja, dan pendapatan
masyarakat secara lebih merata. Hal tersebut ditandai dengan meningkatnya
jumlah unit usaha, sentra produksi, lapangan kerja, output, serta nilai
tambah yang dihasilkan.
(2) Terwujudnya struktur industri yang kuat, yang ditandai dengan tingginya
keterkaitan antara industri kecil dengan industri menengah dan dengan
industri besar. Hal tersebut juga ditandai dengan berkembangnya industri
pendukung skala kecil menengah, berkurangnya impor suku cadang,
komponen dan bahan baku, serta meningkatnya penggunaan hasil produksi
dalam negeri.
(3) Semakin banyaknya industri kecil yang berbasis pada hasil karya intelektual
yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi (knowledgebased) yang ditandai
dengan meluasnya penggunaan teknologi informasi yang dapat
mendinamisasi bisnis industri kecil, serta tumbuhnya industri kecil
menengah software komputer (beserta komponen hardwarenya), serta
industri yang berbasis bio-teknologi.
(4) Meningkatnya persebaran industri kecil ke berbagai daerah di luar Pulau
Jawa, khususnya daerah terpencil dan daerah perbatasan, yang berarti akan
mendorong pemerataan kegiatan pembangunan, penggairahan kehidupan
dan pertumbuhan ekonomi daerah, serta memperkecil kesenjangan sosial
antar daerah maupun dengan masyarakat di negara tetangga.
(5) Meningkatnya ekspor produk industri kecil, baik dalam nilai, dalam ragam
jenis produk yang semakin bergeser ke arah produk industri hilir, produk
industri yang berteknologi/bernilai tinggi, maupun dalam pangsa saham
kontribusinya terhadap nilai ekspor nasional.
(6) Terwujudnya upaya pelestarian dan pengembangan seni-budaya melalui
kegiatan produktif yang bernilai ekonomis, yang ditandai dengan lestarinya
berbagai produk seni dan budaya utamanya yang berciri khas daerah dan
mempunyai nilai sejarah maupun nilai seni yang tinggi, sehingga kekayaan
seni dan budaya nasional tersebut sekaligus dapat berkembang karena dapat
dijadikan sumber penghidupan bagi masyarakat secara berkesinambungan.
Memperhatikan keenam tujuan pengembangan industri kecil yang
dicanangkan oleh pemerintah yang dalam hal ini adalah Departemen
Perindustrian, maka terlihat bahwa tujuan lebih diarahkan pada upaya mendorong
produktivitas dengan terwujudnya struktur industri yang kuat, penyebaran industri
kecil ke beberapa daerah di luar Pulau Jawa, dan peningkatan orientasi ekspor.
Pengembangan industri kecil juga ditujukan untuk menciptakan lapangan
kerja dan pendapatan masyarakat, namun aspek kualitas sumber daya manusianya
terutama peningkatan perilaku wirausaha dan kemandirian usaha belum menjadi
salah satu tujuan pengembangan, padahal kedua aspek ini secara nyata
berpengaruh terhadap kemajuan usaha yang diukur dari peningkatan pendapatan
dan keuntungan industri kecil. Selain itu aspek keberlanjutan usaha belum
menjadi salah satu tujuan pengembangan industri kecil, meskipun di Pulau Jawa
memiliki populasi industri kecil dalam jumlah yang besar, namun hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa aspek keberlanjutan usahanya masih rendah.
Misi Pengembangan Industri KecilBarang dari Kulit
Misi pengembangan industri kecil barang dari kulit yang termasuk dalam
kelompok industri kecil berorientasi ekspor adalah untuk :
(1) Meningkatkan nilai perolehan devisa bersih (net foreign currency gain) dan
sekaligus meningkatkan kontribusi ekspornya terhadap ekspor nasional.
(2) Memberikan motivasi dan semangat orientasi ekspor kepada semua pelaku
industri nasional khususnya industri kecil, dengan memacu peningkatan mutu
dan kapasitas pemasokan tepat waktu.
(3) Menjadi wahana untuk peningkatan penggunaan teknologi, termasuk
teknologi informasi.
(4) Menjadi motor penghela bagi kemajuan/modernisasi industri kecil, dengan
tujuan untuk memperluas lapangan kerja dan meningkatkan sumbangan nilai
tambah bagi ekonomi.
(5) Mendorong industri kecil yang memiliki kemampuan diversifikasi produk
ekspor yang bernilai tambah lebih tinggi.
(6) Memacu industri kecil lainnya untuk meningkatkan daya saing.
(7) Memperluas lapangan kerja.
(8) Menciptakan hubungan bisnis (networking) antara industri kecil lokal dengan
pemasok dunia.
Strategi Umum Pengembangan Industri KecilBarang dari Kulit
Pengembangan industri kecil berorientasi ekspor diarahkan untuk
meningkatkan volume dan nilai ekspor industri kecil, baik yang selama ini secara
potensial mempunyai kinerja ekspor yang tinggi maupun produk-produk yang
berpotensi dapat diekspor melalui peningkatan berbagai faktor internal dan
eksternal perusahaan agar dayasaingnya di luar negeri meningkat. Selain itu juga
akan didorong kemampuan mengakses pasar ekspor dalam rangka membantu
persaingan pasar ekspor yang semakin ketat.
Pengembangan industri kecil orientasi ekspor diarahkan untuk menggeser
basis dayasaing ekspor industri kecil dari resoursed-based dan labour-based
industries ke arah knowledged-based industries menuju ke pembentukan
keunggulan kompetitif. Kemajuan yang ingin dicapai ini antara lain akan
ditunjukkan dengan porsi saham nilai ekspor industri kecil yang semakin
membesar terhadap nilai outputnya, serta indikator daya saing komparatif
terhadap produk sejenis dari negara lain.
Strategi umum pengembangannya mengikuti prinsip demand-pull dan
supply-push strategy dengan mengutamakan muatan pembinaan dari aspek
teknologi mutu, sistim perangsang, pemberdayaan manajerial khususnya dari
aspek fasilitasi dan pengembangan jaringan ekspor, serta dukungan sumberdaya/
pendanaan. Peningkatan permintaan pasar (pull factors) dilakukan dengan cara:
(a) Membuka outlet-outlet pemasaran untuk produk ekspor di dalam dan luar
negeri.
(b) Meningkatkan bisnis intelejen dan marketing di luar negeri.
(c) Meningkatkan promosi dan pemasaran melalui pameran di luar negeri dan
pameran internasional di dalam negeri
(d) Melakukan kemitraan usaha dengan trader/eksportir besar
(e) Memperbaiki iklim usaha perdagangan luar negeri agar para pedagang
eceran dengan mudah dan murah keluar masuk Indonesia.
(f) Peningkatan intensitas komunikasi dengan Departemen Perindustrian
Peningkatan kemampuan produksi perusahaan (push factors) dilakukan melalui
(a) Meningkatkan produktivitas dan effisiensi perusahaan industri kecil
(b) Meningkatkan kemampuan teknis produksi industri kecil melalui service
centre, Bisnis Development Centre, maupun bantuan langsung ke
perusahaan.
(c) Meningkatkan kemampuan diversifikasi produk dan berkembangnya
desain/ produk baru
(d) Fasilitasi permodalan ( modal investasi dan modal kerja).
(e) Peningkatan manajemen mutu ditingkat perusahaan.
Aspek produktivitas juga masih menjadi hal yang penting pada misi dan
strategi pengembangan kelompok industri kecil barang dari kulit, aspek SDM
pengrajin belum banyak dibahas dalam misi tersebut.
Kebijakan Pengembangan Industri Kecil
Pemerintah menetapkan kebijakan pengembangan industri kecil yang
pelaksanaannya akan didukung bersama oleh semua pihak/instansi terkait, serta
tersusun dari komponenkomponen kebijakan yang universal (kebijakan dan
strategi yang bersifat spesifik bagi industri kecil terletak pada kadar kepedulian di
tiap komponen kebijakan, serta bentuk langkah dan program spesifik dalam
strategi pembinaannya,misalnya diprioritaskannya pengolahan SDA dan karya
seni tradisional di masing-masing daerah (fokus pembinaan), insentif khusus,
prioritas pemberdayaan untuk industri kecil, bantuan teknik, kampanye penyatuan
visi tentang keberpihakan industri kecil semua instansi, dan proyek-proyek
spesifik industri kecil) yaitu :
(1) Menggariskan prioritas sektoral pengembangan industri kecil melalui
pemilihan jenis-jenis industri yang dijadikan fokus pengembangan, untuk
dijadikan acuan prioritas bagi aparat pembina secara terpadu/lintas instansi,
baik di pusat maupun di daerah, di mana pilihan jenis industri dan komoditi
yang akan dikembangkan disesuaikan dengan kecocokan potensi dan prospek
tumbuh di daerah pengembangan yang bersangkutan, dengan mengutamakan
pengembangan ke daerah luar Pulau Jawa, khususnya daerah terpencil,
wilayah perbatasan dan kawasan timur Indonesia.
(2) Melakukan kegiatan pemberdayaan agar para pelaku industri kecil:
(a) Mempunyai wawasan dan jiwa wirausaha yang ulet, patriotik (cinta
produk dalam negeri), dan profesional.
(b) Mampu mengidentifikasi, mengembangkan ataupun memanfaatkan
peluang usaha.
(c) Mampu mendayagunakan sumberdaya produktif dan mengakses pasar
(lokal, dalam negeri maupun ekspor).
(d) Mempunyai kemampuan manajemen usaha, keahlian dan ketrampilan
teknis/teknologis.
(e) Mampu membangun daya saing (berwawasan efisiensi, produktivitas dan
mutu, proaktif-kreatif-inovatif).
Pemberdayaan terhadap institusi (instansi-instansi teknis pembina, lembaga
litbang industri, lembaga pendidikan dan pelatihan, lembaga keuangan, dunia
usaha, LSM, politisi, tokoh masyarakat, dan sebagainya) yang berkaitan
dengan pengembangan industri kecil juga dilakukan agar mereka :
(a) Mempunyai komitmen kuat untuk memajukan industri kecil yang
diwujudkan dalam bentuk pemberian perhatian, alokasi sumberdaya/dana,
upaya dan waktu yang lebih banyak untuk pengembangan industri kecil.
(b) Mempunyai wawasan konseptual untuk membuat program pengembangan
industri kecil yang berdayaguna dan berhasilguna.
(c) Bersikap konsisten dalam semangat keterpaduan untuk secara bersama
mendukung/melaksanakan program pengembangan industri kecil sesuai
dengan peran, fungsi dan tugas masing-masing.
(3) Mengembangkan iklim usaha yang lebih mendorong, melindungi dan
memberikan keleluasaan lebih besar kepada para pebisnis industri kecil untuk
tumbuh berkembang maju. Komponen iklim usaha yang bersifat teknis
utamanya adalah :
(a) Kepastian hukum dan kejelasan/kesederhanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang kondusif dan tidak membebani ekonomi.
(b) Tersedia cukupnya prasarana dan sarana penunjang kegiatan ekonomi
(investasi publik maupun swasta).
(c) Sistim insentif yang secara efektif dapat merangsang kegairahan ekonomi
melalui industri kecil.
(d) Kebijakan makro ekonomi yang menunjang, khususnya dari segi
ketersediaan dan kemudahan akses permodalan, suku bunga yang relatif
rendah, kestabilan nilai tukar valuta asing, dan sebagainya.
(e) Bantuan teknik dan subsidi pemerintah untuk program prioritas.
(f) Citra aparat pembina/fasilitator yang bersih (good governance).
(4) Meningkatkan pemberian layanan prima (fasilitasi) kepada pelaku industri
kecil, baik layanan administratif (perijinan/pencatatan/legalisasi/ketetapan
fasilitas/ rekomendasi, informasi kebijakan, dan sebagainya), maupun layanan
bisnis berupa informasi bisnis yang diperlukan (pasar, peluang usaha,
teknologi, permodalan, mitra usaha, dan sebagainya.) maupun sistem dan
sarana penunjang yang dapat mendinamisasi dan memajukan daya-saingnya
(utamanya dengan mensosialisasikan penggunaan teknologi informasi yang
mutakhir).
(5) Selalu mengembangkan program yang inovatif, realistik dan membumi
(menyentuh kepentingan pelaku pasar di sektor riil), mampu menjawab
masalah aktual yang dihadapi sesuai kondisi nyata obyek binaan di lapangan.
Model Pemberdayaan Pengrajin
Kebutuhan peningkatan kapasitas pengrajin sangat mendesak untuk
dilakukan guna mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pada konteks
pengrajin, makna pemberdayaan diartikan sebagai proses pembelajaran
berkesinambungan yang ditujukan untuk memberikan kekuatan kepada pengrajin
agar: (1) memiliki kesadaran atas kebutuhannya, (2) meningkat kualitas perilaku
berusahanya, (3) mandiri dalam seluruh aspek kegiatan usahanya, (4) memiliki
motivasi yang tinggi untuk memajukan usahanya, dan (5) peka dan tanggap dalam
melakukan perencanaan untuk keberlanjutan usahanya di masa mendatang.
Penyuluhan mempunyai fungsi yang sangat penting bagi pemberdayaan
pengrajin terutama dalam fungsi pengembangan sumberdaya manusia.
Penyuluhan yang telah dilakukan pada sentra industri kecil kerajinan di
Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Magetan belum dilakukan secara melembaga
oleh penyuluh resmi yang ditugasi untuk pengembangan industri kecil.
Keberlanjutan program juga masih kurang, bahkan beberapa pengrajin
menyatakan belum pernah mendapat sentuhan penyuluhan.
Model pemberdayaan bagi komunitas pengrajin di kabupaten Sidoarjo dan
Magetan disusun dengan pendekatan input-process-output-outcome yang
didasarkan pada model teoritis yang telah teruji dan dikonfirmasi melalui model
persamaan struktural. Model pemberdayaan ini juga dilandasi oleh hasil sintesa
model intervensi komunitas Rothman (1974), yang merupakan gabungan
(intermixed) antara pendekatan development planning dan local development.
Pertimbangannya adalah: (1) masih rendahnya intensitas kegiatan penyuluhan, (2)
pengrajin masih sangat membutuhkan kontribusi dari pihak luar, (3) pengrajin
memiliki potensi untuk berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi, namun
masih banyak aspek yang belum kondusif.
Pada dasarnya model pemberdayaan ini merupakan upaya meningkatkan
keberdayaan pengrajin melalui proses pembelajaran yang menggunakan prinsip-
prinsip pendidikan orang dewasa yang dilaksanakan secara berkelanjutan oleh
seluruh stakeholder pembangunan komunitas pengrajin. Berdasarkan model
persamaan SEM yang terlihat pada Gambar 28, maka dirumuskan model
pemberdayaan pengrajin menuju kemandirian dan keberlanjutan usaha yang
tergambarkan pada Gambar 36.
Gambar 36 Model Pemberdayaan Pengrajin
Gambar 36. Model Pemberdayaan Pengrajin
Input Pengrajin
PROSESPenyuluhan yangmemberdayakan:
Fokus padaperubahanperilaku
PartisipatifPengrajin subyek
penyuluhanPenyuluh sebagai
educator,motivator,fasilitator, danadvokator.
Kelembagaanyang tepat
Diskusikelompok, praktekkerja, kunjunganlapangan.
OUTCOMEKemajuan
UsahaKeberlan-
jutanUsaha
INPUT
PengrajinLingkungan
(Pemda,NGO,Keluarga,Pemimpininformal)KebijakanPendukung
Usaha
OUTPUT
KualitasPerilakuWirausahaPengrajin:InovatifMampu
berinisiatifMampu
mengelolaresiko
Berdayasaing
KemandirianUsahaPengrajin:Permodala
nProses
produksiKerjasamaPemasaran
Pengrajin berdaya
Monitoring dan evaluasi
Kebutuhan pengrajin perlu diidentifikasi dengan jelas agar tidak terjadi
bias dalam penyelenggaraan kegiatan penyuluhan. Diharapkan penyuluhan dapat
memberikan kepuasan bagi pelanggan, untuk memberikan kepuasan diperlukan
kesamaan antara kebutuhan pengrajin dengan substansi penyuluhan.
Berdasarkan hasil analisis desriptif, keberdayaan pengrajin masih rendah
yang ditunjukkan oleh aspek pengetahuan, sikap, dan ketrampilan pengrajin dalam
berwirausaha dan dalam kemandirian usaha. Oleh karena itu, identifikasi
kebutuhan materi penyuluhan didasarkan pada perlunya peningkatan pengetahuan,
sikap dan ketrampilannya. Data tentang SDM pengrajin ini menjadi input bagi
penyelenggaraan program pemberdayaan.
Input Lingkungan
Tersedianya penyuluh yang kompeten merupakan prasarat
terselenggaranya penyuluhan yang mampu memberdayakan pengrajin. Karena
belum tersedia penyuluh lapang, maka proses fasilitasi dapat dilakukan oleh
penyuluh swakarsa atau swadaya. Penyuluh dikoordinasikan oleh pemerintah
daerah (melalui dinas perindustrian dan perdagangan dan dinas koperasi dan
UKM) bersama-sama dengan organisasi non pemerintah (badan usaha swasta,
perguruan tinggi, LSM, atau orkemas lainnya) dengan melibatkan pengrajin maju,
tokoh masyarakat, dan anggota masyarakat yang berpengalaman dalam persoalaan
pengrajin.
Persyaratan yang harus dipenuhi oleh penyuluh adalah komitmen yang
kuat untuk membimbing pengrajin melakukan perubahan mencapai keberdayaan
hidupnya. Penyuluh hendaknya: (1) memiliki pemahaman tentang masalah yang
dihadapi pengrajin, (2) mampu mengembangkan interaksi sosial yang harmonis
dengan segenap lapisan masyarakat, (3) memfasilitasi pengrajin agar dapat
melaksanakan siklus program secara mandiri dan berkelanjutan, dan (4) mampu
menumbuhkan jejaring secara internal dan eksternal untuk kebutuhan
pengembangan pengrajin.
Input Pendukung Usaha
Ketersediaan pendukung usaha terbukti berpengaruh positif terhadap
perkembangan kemandirian usaha. Oleh karena itu dibutuhkan ketersediaan
pendukung tersebut yaitu: bahan baku yang berkualitas, kepastian pasar,
ketersediaan teknologi peralatan produksi, dan keterjangkauan sarana transportasi.
Pemerintah perlu memberi dukungan kebijakan yang kondusif bagi ketersediaan
dan keterjangkauan pendukung usaha pengrajin.
Input Kebijakan
Dukungan kebijakan diperlukan dalam pengembangan industri kecil,
berupa pengalokasian anggaran untuk program pemberdayaan pengrajin dan
kebijakan untuk melembagakan kegiatan penyuluhan bagi pengrajin mengingat
belum adanya organisasi penyuluhan industri kecil yang otonom di kedua lokasi
usaha pengrajin.
Pemerintah juga perlu membuat kebijakan yang mendukung terciptanya
iklim berusaha yang kondusif, tata niaga bahan baku kulit, kebijakan impor
produk-produk sejenis yang dihasilkan negara lain, penyediaan infrastruktur yang
mampu mendukung perkembangan industri kecil seperti membangun sarana
informasi yang merata (akses informasi yang mudah). Sebab dalam rangka
otonomi daerah, pemerintah daerah paling berperan dalam pengambilan
keputusan pembangunan industri kecil.
Proses Penyuluhan Pemberdaya Pengrajin
Pokok-pokok pikiran mengenai proses penyuluhan yang memberdayakan
pengrajin merupakan hasil sintesa model intervensi komunitas (Rothman, 1968)
dan paradigma baru penyuluhan pembangunan (Slamet, 2003). Paradigma
penyuluhan yang memberdayakan pengrajin dideskripsikan pada Tabel 42.
Fokus Penyuluhan
Pengembangan industri kecil barang dari kulit didasarkan kepada
semangat untuk menumbuhkan ekonomi yang berciri kerakyatan, serta demi
untuk menghemat sumberdaya pembangunan yang terbatas. Pengembangan
industri kecil ditempuh dengan memilih sektor-sektor atau kelompok industri
pilihan yang diprioritaskan sebagai penghela pertumbuhan industri kecil (fokus
pengembangan).
Tabel 42. Paradigma Penyuluhan yang Memberdayakan Pengrajin
Pokok Pikiran Paradigma Penyuluhan yang Memberdayakan
Fokus Penyuluhan Perubahan perilaku pengrajin dan keluarganya agardapat meningkatkan kesejahteraanya melalui usahakerajinan.
Pendekatan ▪PartisipatifPeran Pengrajin ▪Subyek penyuluhan
▪Sumber informasi dan pengolah informasiPeran penyuluh ▪Educator, penyuluh sebagai pendidik yang
menerapkan prinsip-prinsip pendidikan orang dewasa.▪Fasilitator, mendampingi pengrajin dalam kegiatan
usahanya, membangun network (jejaring) denganpasar, penyedia input atau dengan pemerintah.
▪Motivator, memotivasi pengrajin untuk menumbuhkankesadaran kritisnya hingga mampu menolong dirinyasendiri.
▪Advocator, berperan sebagai konsultan untukmenangani masalah pengrajin.
Aktor yang terlibat ▪Pemerintah daerah; organisasi non pemerintah(lembaga pendidikan, badan usaha swasta, koperasi,LSM, lembaga penelitian, atau LSM); pemimpininformal; dan keluarga.
Kelembagaan ▪Lembaga pemberdayaan yang independen adalahlembaga yang memiliki tenaga profesional dalambidang perilaku dan pemberdayaan yang memilikiakses pada tenaga ahli lintas disiplin ilmu.
Teknik Penyuluhan ▪Pelatihan▪Diskusi kelompok▪Simulasi▪Demonstrasi▪Praktek kerja▪Kunjungan lapangan
Output ▪Peningkatan kualitas perilaku wirausaha.▪Peningkatan kemandirian usaha.
Outcome ▪Kemajuan dan keberlanjutan usaha pengrajinTabel 42Paradigma Penyuluhan yang Memberdayakan Pengrajin
Pemerintah mengelompokkan industri kecil barang dari kulit
dikelompokkan ke dalam kelompok industri kecil berorientasi ekspor dengan
kriteria yang digunakan sebagai dasar untuk memilih sektor-sektor prioritas atau
dijadikan fokus pengembangan adalah :
(1) Ketersediaan bahan baku di dalam negeri.
(2) Tingkat dan jenis ketrampilan yang diperlukan sudah ada di dalam negeri.
(3) Tersedia dan terbukanya pasar.
(4) Komoditas/produk mempunyai prospek dipasarkan meskipun pada waktu ini
produksinya belum berkembang.
(5) Membutuhkan banyak tenaga kerja.
(6) Menunjang daerah terbelakang yang akan dikembangkan, khususnya daerah
terpencil, daerah perbatasan dan kawasan timur Indonesia.
(7) Terkait dengan upaya pelestarian seni-budaya daerah.
Industri berorientasi ekspor adalah industri yang telah mempunyai peluang
untuk mengisi/memasok kebutuhan pasar dunia di bidang produk yang dihasilkan,
baik atas dasar kelangkaan karena kurangnya pemasokan dari negara lain,
tingginya permintaan akan jenis produk spesifik dari Indonesia (keunggulan
komparatif), maupun terutama karena produknya telah berdayasaing tinggi
(unggul kompetitif).
Fokus pengembangan industri kecil yang ditetapkan pemerintah belum
menyentuh aspek afektif pengrajin sebagai pelaku usahanya padahal aspek ini
merupakan inti yang menggerakkan pengrajin untuk bertindak. Kegiatan
penyuluhan tidak hanya terfokus pada peningkatan pengetahuan dan ketrampilan
yang terbatas pada teknologi dan informasi yang dianjurkan, tetapi pada juga pada
teknologi dan informasi yang dibutuhkan petani dan keluarganya. Serta perubahan
pada kawasan afektif yang selama ini jarang mendapat sentuhan kegiatan
penyuluhan perlu lebih ditekankan (Tjitropranoto, 2003).
Berpijak pada pendapat tersebut, maka dalam konteks penyuluhan bagi
pengrajin, perlu difokuskan pada kawasan sikap pengrajin untuk berusaha secara
mandiri serta meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam mengembangkan
usaha kerajinannya sesuai dengan kebutuhan riilnya. Agar dapat mewujudkan
harapan tersebut, maka proses penyadaran pengrajin akan kebutuhan riilnya
menjadi salah satu prioritas kegiatan penyuluhan.
Penyuluhan yang memberdayakan pengrajin membutuhkan partisipasi
pengrajin dalam kegiatan perencanaan, implementasi, evaluasi. Oleh karena itu
kesadaran pengrajin akan kebutuhan untuk berubah mampu menarik minat
pengrajin untuk terlibat dalam kegiatan penyuluhan.
Peran Pengrajin dan Penyuluh
Penyuluhan bagi pengrajin merupakan proses perubahan perilaku individu
pengrajin dan keluarganya melalui kapasitasi atau pengembangan kapasitas
sumberdaya manusia yang memegang prinsip-prinsip pendidikan orang dewasa.
Pengrajin dibantu penyuluh untuk: mengakses informasi, menganalisis situasi
yang sedang mereka hadapi dan menemukan masalah-masalah, melakukan
perkiraan ke depan, melihat peluang dan tantangan, meningkatkan pengetahuan
dan mengembangkan wawasan, menyusun kerangka berpikir berdasarkan
pengetahuan yang mereka miliki, menyusun berbagai alternatif pemecahan
masalah yang mereka hadapi, dan melakukan monitoring dan evaluasi.
Pemerintah memposisikan pengelola usaha industri kecil sebagai
kelompok yang menjadi target pembinaan dan pengembangan industri kecil
barang dari kulit, sebagaimana disebutkan bahwa : “target group pembinaan
industri kecil adalah: (1) pengusaha industri kecil menengah yang produk dan
proses produksinya sudah mampu memenuhi persyaratan ekspor atau dapat
dengan mudah dibina sehingga memenuhi ketentuan dan persyaratan ekspor, dan
(2) para pedagang/trader yang menjembatani produsen industri kecil menengah
dengan pasar ekspor” (Deperindag, 2002).
Seyogyanya pengrajin diposisikan sebagai subyek pengembangan yang
sangat diharapkan keterlibatannya dalam proses penyuluhan, karena pengrajin
sebagai subyek pembangunan memiliki informasi yang sangat penting untuk
merencanakan program yang berhasil, termasuk tujuan, situasi, pengetahuan, serta
pengalaman mereka dengan teknologi dan struktur sosial masyarakat mereka.
Pengrajin yang dibina seyogyanya tidak dipatok persyaratan tertentu (misalnya:
ekspor atau mudah dibina) karena hal tersebut belum tentu menjadi kebutuhan
pengrajin. Selain itu, pengrajin akan lebih termotivasi untuk bekerjasama dalam
program pembangunan jika ikut bertanggung jawab didalamnya. Pada masyarakat
yang demokratis, pengrajin berhak terlibat dalam keputusan mengenai tujuan
yang ingin mereka capai. Partisipasi masyarakat sebagai kelompok sasaran dalam
keputusan kolektif sangat dibutuhkan (van den Ban, 1999).
Peran penyuluh dalam kegiatan pemberdayaan pengrajin adalah sebagai:
(1) Educator, penyuluh sebagai pendidik yang menerapkan prinsip-prinsip
pendidikan orang dewasa; (2) Fasilitator, mendampingi pengrajin dalam kegiatan
usahanya, membangun network (jejaring) dengan pasar, penyedia input atau
dengan pemerintah, dan (3) Motivator, memotivasi pengrajin untuk
menumbuhkan kesadaran kritisnya hingga mampu menolong dirinya sendiri.
Pemerintah telah mengupayakan pemberdayaan aktor yang berperan dalam
pengembangan industri kecil agar: (1) mempunyai komitmen kuat untuk
memajukan industri kecil yang diwujudkan dalam bentuk pemberian perhatian,
alokasi sumberdaya/dana, upaya dan waktu yang lebih banyak untuk
pengembangan industri kecil, (2) mempunyai wawasan konseptual untuk
membuat program pengembangan industri kecil yang berdayaguna dan
berhasilguna, dan (3) bersikap konsisten dalam semangat keterpaduan untuk
secara bersama mendukung/melaksanakan program pengembangan industri kecil
sesuai dengan peran, fungsi dan tugas masing-masing (Deperindag, 2002).
Pemberdayaan aktor ini diharapkan dapat meningkatkan komitmen dan
profesionalitas aktor dalam menyelenggarakan kegiatan penyuluhan.
Pada penyuluhan yang memberdayakan pengrajin, diperlukan penyuluh
profesional yang memiliki keahlian sebagai penyuluh bukan keahlian dalam
penguasaan materi penyuluh. Menurut Tjitropranoto (2003) penyuluh yang
profesional tidak cukup hanya sebagai penyedia atau penyampai teknologi dan
informasi saja tetapi lebih diperlukan sebagai motivator, dinamisator, fasilitator
dan sebagai konsultan.
Kelembagaan penyuluhan danAktor yang Terlibat
Sebelum dilaksanakan tahap proses pemberdayaan dibutuhkan pelembaga-
an kegiatan penyuluhan melalui koordinasi dan komunikasi antar aktor yang
terlibat dalam penyelenggaran penyuluhan karena ini selamam ini penyuluhan
masih bersifat sporadis.
Pemerintah daerah didorong untuk secara bottom-up mengembangkan
program/proyek berdasarkan kajian potensi ekonomi daerah dan prospek pasar
masing-masing, dengan mengikuti kebijakan nasional sebagaimana termuat dalam
pedoman dan arahan pengembangan industri kecil. Setiap daerah didorong untuk
melakukan :
(1) Identifikasi sentra industri kecil yang berpotensi untuk ditumbuhkembangkan
berdasarkan peluang pasar lokal/regional dan nasional.
(2) Identifikasi terhadap peluang intervensi pemerintah, aspek kelemahan, dan
hambatan yang mengganggu suksesnya pengembangan industri kecil di
daerahnya, misalnya :
(a) Investasi pemerintah daerah (maupun kerjasama dengan swasta) untuk
pengembangan prasarana dan sarana usaha industri kecil.
(b) Bantuan teknik yang diperlukan.
(c) Pengaturan yang dapat menciptakan kepastian usaha dan iklim kondusif
bagi kegiatan usaha industri kecil, termasuk sistim insentif.
(d) Pengembangan sistim layanan fasilitatif dan penataran aparat pembina.
(e) Pemberdayaan para pelaku usaha.
(3) Identifikasi peluang investasi industri kecil yang memiliki bobot manfaat
tinggi bagi pembangunan masyarakat dan memiliki prospek layak usaha.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak hanya pemerintah
(pemerintah daerah) saja yang perlu memberikan dukungan bagi pada
pemberdayaan pengrajin, akan tetapi organisasi non pemerintah, keluarga dan
tokoh masyarakat juga sangat dibutuhkan keterlibatannya. Oleh karena itu
diperlukan koordinasi dalam bentuk fasilitasi program penyuluhan (penjadwalan,
penyiapan materi, penyediaan tenaga penyuluh, dan pendanaan) yang disesuaikan
dengan kebutuhan riil pengrajin. Keterkaitan antar aktor yang terlibat dalam
penyuluhan untuk pengrajin digambarkan pada Gambar 37.
Gambar 37Keterkaitan Antar Aktor Yang Terlibat dalam Penyuluhan Untuk PengrajinGambar 37. Keterkaitan Antar Aktor Yang Terlibat dalam
Penyuluhan Untuk Pengrajin
Peran aktor-aktor yang terlibat dalam kegiatan penyuluhan adalah:
(1) Pemerintah Daerah yang terdiri dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan
Dinas Koperasi dan UKM sebagai fasilitator (penyuluh) yang selama ini
menyelenggarakan kegiatan pembinanaan dan pengembangan usaha kerajinan.
(2) Lembaga Pendidikan (Perguruan Tinggi Negeri atau Swasta) yang berfungsi
sebagai pakar, penyedia informasi IPTEK dan dukungan pendidikan,
pelatihan, konsultasi, bimbingan dan penyuluhan.
(3) Lembaga Swadaya Masyarakat, sebagai fasilitator/penyuluh yang
menyelenggarakan proyek pembinaan dan pendampingan bagi pengrajin.
(4) Badan usaha (Perusahaan Swasta, BUMN, dan koperasi) memberikan
pembinaan terhadap pengrajin dalam bentuk pendanaan, konsultansi,
penguatan jejaring, dan pemagangan.
Selama proses pelaksanaan penyuluhan, pemerintah daerah dan organisasi
non pemerintah berkoordinasi dan berkomunikasi agar tidak terjadi overlapping
pada materi kegiatan. Pengrajin perlu berkelompok dengan didukung keluarga dan
pemimpin informal menyediakan suasana yang kondusif dalam penyelenggaraan
kegiatan penyuluhan.
Sumber dana pengembangan industri kecil dapat disediakan dari APBN,
APBD, hasil penyisihan laba BUMN untuk pembinaan usaha kecil dan koperasi
Pengrajin
Penyuluh
LembagaPendidikan
Pemda Badan Usaha
LSM
Kebutuhan Riilpengrajin
Fasilitasi programpenyuluhan
(PUKK), dana untuk pelatihan tenaga kerja hasil kontribusi dari tenaga ekspatriat
(DPKK), dana dari hasil kerjasama gabungan antara pemerintah dengan swasta
(misalnya program Riset Unggulan Kemitraan/RUK untuk inovasi teknologi,
khususnya yang berkaitan dengan upaya memajukan industri kecil), serta dana
dari hibah maupun pinjaman dari luar negeri untuk pengembangan industri kecil.
Sumber dana alternatif yang perlu ditingkatkan penggunaannya adalah dari badan
usaha sebagai bentuk dari tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat,
khususnya pengrajin, yang dalam penelitian ini ditemukan terdapat beberapa
instansi badan usaha swasta yang telah mengalokasikan dananya untuk
pengembangan industri kecil.
Teknik dan Materi Penyuluhan
Menurut Tjitropranoto (2003) materi penyuluhan yang dibutuhkan klien
harus didasarkan pada kesempatan, kemauan dan kemampuan klien untuk
menerapkan dan atau memanfaatkannya.
Berdasarkan hasil temuan di lapangan yang menunjukkan rendahnya
perilaku wirausaha dan kemandirian pengrajin, serta kecilnya kesempatan
pengrajin untuk memperoleh pendidika n non formal yang terkait dengan aspek
kognitif, afektif dan psikomotorik dalam berwirausaha secara mandiri, maka
dirumuskan materi penyuluhan untuk memberdayakan pengrajin. Tujuan
penyuluhan adalah menyadarkan pengrajin akan kebutuhan mengelola usaha
secara mandiri agar kesejahteraannya meningkat oleh karena intervensi yang
dilakukan melalui kegiatan penyuluhan akan memberikan kesempatan pengrajin
untuk mencapai tujuan tersebut.
Kegiatan penyuluhan kewirausahaan lebih menekankan pada upaya
perubahan perilaku yang meliputi: pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang
berhubungan dengan keinovatifan, inisiatif, daya saing, dan pengelolaan resiko.
Materi yang perlu disampaikan dalam kegiatan penyuluhan kewirausahaan secara
ringkas tersaji pada Tabel 43
Tabel 43. Materi Pokok Penyuluhan Kewirausahaan
Materi PokokPerilaku Ranah Materi Penyuluhan
Teknik Penyuluhan
WirausahaPengetahuan Sumber informasi inovatif
Penciptaan inovasiPenerapan inovasi
Sikap Ketertarikan terhadap sumber informasiinovatifKetertarikan untuk menciptakan inovasiKetertarikan menerapkan inovasi
Ketrampilan Kecepatan mencari sumber informasiinovatifKecepatan menghasilkan inovasi
Keinovatifan
Kecermatan menerapkan inovasi
Pendidikan/pelatihanMagangRiset danpengembangan
Pengetahuan Peluang usahaCara mengidentifikasi peluang usahaCara menjalankan peluang usaha
Sikap Ketertarikan terhadap peluang usahaKetertarikan melakukan identifikasipeluang usahaSikap dalam menjalankan peluang usaha
Ketrampilan Kecermatan menemukan peluang usahaKetelitian melakukan identifikasipeluang usaha
Inisiatif
Ketepatan menjalankan peluang usaha.
Pendidikan/pelatihanMagangBimbingan usaha
Pengetahuan Cara memprediksi resikoCara menghindari resikoCara menjalankan usaha yang beresiko
Sikap Sikap menghadapi kemungkinanterjadinya resikoSikap menghindari resikoSikap terhadap usaha yang beresiko
Ketrampilan Ketepatan memprediksi terjadinyaresikoKecermatan menjalankan usaha yangberisiko
PengelolaanResiko
Kecepatan menghindari risiko
MagangPendidikan/pelatihanBimbingan usaha
Pengetahuan Strategi bersaingKeunggulan bersaingEtika persaingan
Sikap Sikap untuk menghadapi persainganSikap terhadap etika persaingan usahaKetertarikan terhadap penerapan strategiusaha
Ketrampilan Kemampuan menghasilkan keunggulanbersaingKecepatan merumuskan strategibersaing
Daya Saing
Ketepatan memenangkan persaingan
MagangPendidikan/pelatihanBimbingan usaha
Tabel 43Materi Pokok Penyuluhan KewirausahaanKegiatan penyuluhan tentang kemandirian usaha bertujuan meningkatkan
kemandirian pengrajin melalui berubahnya perilaku meliputi: pengetahuan,
ketrampilan dan sikap yang berhubungan dengan proses produksi, pemasaran,
permodalan, kerjasama dan pengelolaan usaha dengan tujuan untuk meningkatan
pendapatan dan kesejahteraan pengrajin dan akhirnya dapat memperbaiki kualitas
kehidupan pengrajin. Materi yang perlu disampaikan dalam kegiatan penyuluhan
tentang kemandirian usaha secara ringkas tersaji pada Tabel 44.
Tabel 44. Materi Pokok Penyuluhan tentangKemandirian Usaha
Materi PokokKemandirianUsaha
Ranah Materi penyuluhanTeknikPenyuluhan
Pengetahuan Sumber permodalanCara mengakses sumber permodalanPengelolaan modal
Sikap Tanggapan terhadap sumber permodalan alternatifKetertarikan mengakses sumber permodalan alternatifHemat dalam pengelolaan modal.
Ketrampilan Kecepatan mencari modalKetepatan mengakses sumber permodalan
(5) Permodalan
Kecermatan mengelola modal.
Pendidikan/pelatihanBimbinganpermodalan
Pengetahuan Tahapan proses produksiCara kerja peralatan produksiPersyaratan mutu produksi
Sikap Ketertarikan atas setiap tahapan produksiKetertarikan atas cara kerja peralatan produksiKetertarikan terhadap pentingnya mutu produksi
Ketrampilan Ketepatan menjalankan tahapan produksiKecermatan menggunakan peralatan produksi
(6) ProsesProduksi
Ketepatan memenuhi persyaratan mutu produksi
MagangPendidikan/pelatihanRiset danpengembanganBimbinganproduksi
Pengetahuan Bentuk kerjasamaPerjanjian kerjasamaCara melakukan kerjasama
Sikap Sikap mengutamakan kerjasama kemitraan(partnership)Sikap percaya diri dalam bekerjasamaSikap terhadap tindakan subordinasi dan deprivasikerjasama
Ketrampilan Kecermatan memilih bentuk kerjasamaKetelitian menyusun perjanjian kerjasama
(7) Kerjasama
Kecermatan bekerjasama dengan pihak lain
MagangPendidikan/pelatihanBimbingankerjasama
Pengetahuan Bauran promosiTeknik menjualMutu pelayanan
Sikap Ketertarikan terhadap kegiatan bauran promosiTanggapan terhadap perkembangan teknik menjualSikap mengutamakan kualitas pelayanan
Ketrampilan Kecermatan mempromosikan produkKecepatan menjual produk
(8) Pemasaran
Keluwesan melayani pelanggan
MagangPendidikan/pelatihanBimbinganpemasaran
Tabel 44Materi Pokok Penyuluhan tentang Kemandirian Usaha
Dalam program penyuluhan bagi pengrajin, warga belajarnya adalah orang
yang dewasa, mereka mempraktekkan langsung hal yang ingin dikembangkan
pada dirinya, terutama kemampuan untuk mengelola usaha serta dalam mengubah
sikap sendiri. Memperhatikan kondisi tersebut, maka teknik penyelenggaraan
penyuluhan menekankan pada cara berfikir reflektif dengan konsep aksi dan
refleksi. Penyuluhan dilakukan dalam bentuk: (1) pendidikan/pelatihan yang
menggunakan teknik diskusi kelompok, simulasi, atau demonstrasi, (2)
pemagangan pada badan usaha yang lebih besar atau pengrajin maju untuk
memberi pengalaman langsung tentang materi tertentu, (3) bimbingan usaha oleh
penyuluh/fasilitator secara berkelanjutan dalam membantu pemecahan masalah
pengrajin.
Proses belajar dapat dilakukan dimana saja, sehingga proses belajar tidak
hanya harus berlangsung di dalam kelas. Setiap materi yang diberikan dalam
proses belajar merupakan alternatif pemecahan masalah. Warga belajar akan
mengenal proses pemecahan masalah melalui keikutsertaannya secara langsung
dan mereka mampu menghubungkan pemecahan masalah yang dipelajari.
Kegiatan penyuluhan yang menggunakan prinsip-prinsip pendidikan orang
dewasa perlu memegang teguh tujuh falsafah-falsafah yang dapat menyukseskan
keberhasilan penyuluhan (Asngari, 2001) yaitu: (1) Falsafah Pendidikan, (2)
Pentingnya Individu, (3) Falsafah Demokrasi, (4) Falsafah Bekerjasama, (5)
Falsafah Membantu Klien untuk Membantu Dirinya Sendiri, (6) Falsafah
Kontinyu, dan (7) Falsafah membakar sampah secara tradisional yaitu membantu
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi klien dengan memilah-milahkan
keadaan individu klien.
Upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah pusat dalam
mengembangkan industri kecil pada kelompok industri kecil barang dari kulit
adalah:
(1). Pemberian Bantuan Teknik, Bantuan Modal dan Prasarana /Sarana Penunjang
Dalam rangka peningkatan kemampuan, pemberian dukungan kelancaran
usaha, akses pasar, penyediaan prasarana dan sarana usaha, dukungan
permodalan, pengenalan teknologi dan alat produksi, dan sebagainya., intervensi
pemerintah untuk memajukan Industri Kecil (selain melalui pemberdayaan SDM)
dapat berupa pemberian bantuan antara lain : (a) pengembangan feeder points
untuk penyediaan bahan baku/ bahan penolong, (b) bantuan hibah barang modal
(mesin dan peralatan), (c) bantuan promosi melalui penyelenggaraan pameran, (d)
bantuan sarana usaha lingkungan industri kecil, dan (e) bantuan alokasi dana
untuk modal usaha kecil (modal ventura, dana bergulir, penyisihan laba BUMN,
kredit industri kecil, kredit modal kerja permanen.).
(2). Pemberdayaan SDM (Pendidikan dan Pelatihan)
Kegiatan pemberdayaan kemampuan SDM melalui Pendidikan dan
Pelatihan yang pernah dilakukan adalah : (a) kursus/pelatihan manajemen
sederhana, (b) pelatihan teknologi produksi untuk berbagai jenis usaha industri
kecil, (c) pelatihan manajemen dan teknik pemasaran, dan (d) pelatihan desain
produk.
(3). Kelembagaan
Pengembangan kelembagaan yang telah dilakukan untuk memajukan
industri kecil, antara lain: (a) pembangunan sentra-sentra industri kecil dan (b)
pengembangan pusat promosi khusus.
Output
Pemerintah menetapkan output yang dihasilkan oleh pengembangan
industri kecil kelompok barang dari kulit yaitu:
(1) Bertambahnya jumlah perusahaan yang mampu membuat produk yang
memenuhi permintaan ekspor (memenuhi persyaratan QCD)
(2) Meningkatnya produktivitas dan effisiensi industri kecil binaan sehingga
mampu memenuhi persyaratan permitaan ekspor.
(3) Berkurangnya jumlah dan nilai impor dari produk orientasi ekspor dipasaran.
(4) Meningkatnya minat, volume dan nilai ekspor para eksportir produk IKM.
(5) Penghematan devisa.
Kelima output tersebut belum mampu menunjukkan keberdayaan dan
keberlanjutan usaha pengrajin karena lebih banyak pada output produktivitas dan
ekspor. Penelitian ini menunjukkan bahwa ukuran keberhasilan kegiatan program
pemberdayaan pengrajin adalah perubahan perilaku wirausaha dan tingkat
kemandirian usahanya. Oleh karena itu, disamping aspek produktivitas dan
orientasi ekspor, seyogyanya program pengembangan industri kecil mampu
menghasilkan pengrajin dengan perilaku wirausaha yang berkualitas tinggi adalah
memiliki ciri: (1) ulet mencari informasi baru, (2) melakukan modifikasi untuk
meningkatkan kinerja usaha, (3) mampu menghasilkan inovasi penunjang
perkembangan usaha, (4) mengupayakan untuk memulai memproduksi jenis
produk baru, (5) mengupayakan untuk melayani pangsa pasar baru, (6) sesegera
mungkin memanfaatkan peluang usaha, (7) memprediksi terjadinya resiko pada
setiap akan dimulainya usaha, (8) selalu percaya diri dalam menghadapi resiko,
(9) mengupayakan meningkatkan kemungkinan sukses dan mengurangi
kemungkinan gagal, (10) mengupayakan pembuatan produk yang bermutu sesuai
selera konsumen dan permintaan pasar, (11) berusaha meraih penjualan tertinggi
dibanding pengrajin lainnya, dan (12) mengamati setiap perubahan lingkungan
persaingan dan menyiapkan strategi bersaing yang tepat/sehat.
Pengrajin yang mandiri usahanya adalah memiliki ciri: (1) mampu
membuat dan mengembangkan desain produk sesuai dengan perkembangan
permintaan konsumen, (2) terampil, cekatan dan teliti dalam berproduksi mampu
menghasilkan produk sesuai memiliki unifikasi sesuai dengan standar yang
diinginkan konsumen, (3) melakukan upaya modifikasi peralatan efisien dan
sesuai dengan tuntutan produk, (4) mampu mengembangkan teknik produksi yang
paling efisien dan sesuai dengan tuntutan produk, (5) menghasilkan produk yang
dibutuhkan konsumen (orientasi pasar), (6) melayani pembeli dengan pelayanan
prima, (7)mempromosikan produk untuk meraih loyalitas pelanggan, (8) meng-
utamakan kepuasan konsumen mampu mencari sumber permodalan alternatif, (9)
mampu meraih modal sesuai kebutuhan usaha, (10) mampu mengelola modal dan
berkeinginan tinggi mengakumulasikan keuntungan ke dalam investasi modal,
(11) percaya diri dalam bekerjasama dalam lingkup yang lebih luas, (12) mampu
bekerjasama dengan pelanggan, distributor, supplier dan pemodal demi kemajuan
bersama, (13) mampu bersinergi dengan menghindari subordinasi dan deprivasi
dalam kerjasama, dan (14) memiliki orientasi kerjasama untuk jangka panjang dan
kemitraan.
Penilaian keberhasilan pemberdayaan sebaiknya dilakukan pengrajin
karena mereka yang paling merasakan adanya perubahan perilaku tersebut.
Apabila pengrajin menilai program belum memberikan hasil yang memuaskan,
maka pengrajin dapat memberikan umpan balik untuk penyempurnaan
pemberdayaan pada masa mendatang.
Outcome
Hasil jangka panjang dari peningkatan pemberdayaan pengrajin adalah
tercapainya kemajuan usaha dan keberlanjutan usaha. Usaha yang maju ditandai
dengan: (1) volume produksi meningkat sejalan dengan peningkatan kebutuhan
konsumen, (2) mengalami peningkatan (improvement) volume penjualan dan
perluasan daerah pemasaran, (3) terdapat variasi jenis produk yang dihasilkan, (4)
terdapat peningkatan jumlah modal, (5) selalu mengupayakan penggunaan waktu
secara lebih produktif, (6) mengupayakan penggunaan sumber daya manusia lebih
berkualitas secara optimal, (7) berusaha meningkatkan nilai tambah dan meraih
peluang, (8) melakukan kegiatan penganggaran pada setiap kegiatan usaha
sebagai acuan pengeluaran biaya, (9) menyusun perencanaan berbasis pada
evaluasi, (10) memiliki struktur yang mengikuti fungsi pencapaian tugas,
(11)mempunyai target dan pencapaian target pada setiap periode tertentu, dan
(12)mengevaluasi pencapaian target berdasarkan periode tertentu.
Usaha yang berkelanjutan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) mampu
menghasilkan produksi barang secara terus menerus, (2) melakukan perencanaan
produksi dengan didasarkan prediksi jumlah kebutuhan konsumen, (3) selalu
mengupayakan dihasilkannya produk bermutu sesuai kebutuhan konsumen,
(4)senantiasa mengupayakan terpenuhinya target penjualan trend penjualan
meningkat, (5) selalu melakukan tindakan proaktif untuk melayani konsumen,
(6)secara sadar mengalokasikan dana untuk promosi, (7) melakukan perencanaan
kebutuhan bahan baku yang tepat dan secara periodik, dan (8) selalu
mengupayakan pengendalian bahan baku secara cermat selalu mengupayakan
terpenuhinya kebutuhan bahan baku yang bermutu.
Monitoring dan Evaluasi
Tujuan dari monitoring dan evaluasi adalah untuk memberikan umpan
balik berupa koreksi atau pelurusan apabila terjadi penyimpangan dalam
pelaksanaan dan berupa rekomendasi-rekomendasi bagi perbaikan dan
penyempurnaan proses perencanaan selanjutnya.
Kegiatan monitoring dan evaluasi dapat dilakukan secara formal oleh
penyuluh berdasarkan tolak ukur perilaku wirausaha dan kemandirian usaha yang
telah disusun bersama-sama dengan pengrajin pada tahap perencanaan. Ukuran
keberhasilan program yang dilakukan oleh penyuluh tersebut tidak akan
memberikan dampak yang lebih baik bagi penyempurnaan kegiataan tanpa
didukung evaluasi yang dilakukan oleh pengrajin, mengingat pengrajin sebagai
subyek pemberdayaan yang lebih merasakan terjadinya perubahan pada
perilakunya.
Program Aksi Pengembangan Industri Kecil
Model pemberdayaan pengrajin yang dirumuskan di atas, juga masih
relevan untuk memperoleh dukungan dari beberapa program aksi pengembangan
industri kecil dan menengah yang telah dirumuskan pemerintah melalui jalur
pengembangan sektoral yaitu pengembangan kelompok-kelompok industri.
Pemerintah telah merumuskan beberapa program pendukung yang secara umum
diperlukan untuk memfasilitasi pengembangan dan merangsang pertumbuhan
kelompok-kelompok industri kecil. Namun program tersebut belum sepenuhnya
diterapkan pada kelompok industri kecil barang dari kulit. Perlu dilakukan
evaluasi terhadap efektifitas dan pemerataan program-program tersebu pada
kelompok industrik ecil yang ada pada masing-masing daerah. Adapun jenis-jenis
program pendukung yang masih relevan dengan model pemberdayaan pengrajin
adalah program yang bersifat pengembangan kelembagaan, program penunjang
iklim usaha, dan fasilitasi bagi kemajuand an keberlanjutan usaha pengrajin.
Pengembangan Business Development Services (BDS)
BDS atau Layanan Pengembangan Usaha didefinisikan oleh Committee of
Donor Agencies for Small Enterprise Development sebagai jasa layanan non-
finansial yang mencakup beraneka upaya untuk meningkatkan kinerja perusahaan
dan pembangunan daya tumbuhnya ke depan (khususnya industri kecil), seperti
penguatan sumberdaya produktifnya, akses dan pengembangan pasarnya, maupun
peningkatan kemampuan bersaing lainnya.
Keaneka-ragaman layanan BDS meliputi berbagai bentuk seperti :
konsultansi manajemen (teknis, produksi, riset pasar, pemasaran, keuangan,
pengembangan usaha), pelatihan, pengembangan desain, jasa informasi, dan
sebagainya. dengan bentuk lembaga pelayanan antara lain melalui pembangunan
Unit Pelayanan Teknis (UPT), pembentukan kelompok Tenaga Fungsional
Penyuluh Perindustrian (TFPP), Klinik Layanan Kemasan dan Merk, Unit
Pelayanan Informasi, Unit Pengembangan Desain Produk, maupun dorongan
pembentukan usaha jasa di bidang BDS oleh swasta yang beroperasi secara
profesional dan komersial, khususnya bagi segmen industri menengah atas
(maupun besar). Keberadaan BDS bagi industri kecil binaan akan banyak
membantu penyehatan dan pengembangan usahanya, dalam batas-batas beban
biaya yang ringan atau tidak terlalu berat.
Jenis-jenis layanan yang diberikan melalui BDS disesuaikan dengan
kebutuhan industri kecil di tiap daerah, tergantung pada jenis industrinya maupun
kondisi kehidupan industri di lokasi masing-masing. Pembiayaan operasi
pelayanan BDS untuk industri kecil utamanya dipikul oleh pemerintah, baik dari
APBN, APBD, maupun yang berasal dari dana bantuan luar negeri, kecuali bagi
usaha industri menengah atas yang sudah mampu tumbuh sehat secara mandiri
dibenarkan untuk memungut fee oleh lembaga swadana pemberi layanan milik
pemerintah maupun oleh konsultan swasta.
Klinik Layanan Kemasan dan Merek
Klinik ini berfungsi membantu pengusaha industri kecil untuk
memperbaiki dan mengembangkan sistim pengemasan produk yang dihasilkan,
serta memecahkan masalah kemasan yang dihadapinya. Klinik ini juga membantu
pengusaha industri kecil dalam pengembangan merek produk yang dihasilkan,
dengan adanya klinik ini diharapkan para pengusaha industri kecil akan lebih
terbantu dan teringankan upaya dan bebannya untuk melakukan promosi
penjualan produknya dengan penuh percaya-diri karena lebih memperoleh citra
positif dari segi mutu dan kesan elitis di mata konsumen.
Lingkup Industri yang dilayani klinik ini adalah: industri-industri pangan,
sandang dan kerajinan tertentu. Lokasi/Daerah diadakannya Klinik ini disesuaikan
dengan populasi industri sasaran layanan yang tergolong prioritas.
Pengembangan Trading House
Trading House merupakan kegiatan usaha bersemangat kemitraan yang
berfungsi membantu memasarkan berbagai produk-produk industri kecil secara
bulk khususnya untuk ekspor, berhubung kemampuan mengekspor para produsen
industri kecil secara individual terbatas, atau kalau dilakukan sendiri kurang
efisien (upaya ekspor kurang sepadan dengan hasilnya). Trading house diharapkan
dapat membantu melakukan modifikasi penampilan produk (misalnya melalui
pengemasan dan pemberian merk) agar dapat lebih memenuhi selera pasar di
negara tujuan ekspor.
Trading house juga berfungsi untuk melakukan survey pasar dan
mempelajari fenomena pasar dalam rangka menghimpun permintaan pasar dunia,
termasuk menghimpun pesanan barang beserta spesifikasi teknis dan mutunya,
untuk dipesankan pembuatannya kepada para produsen industri kecil dalam
negeri. Trading house juga dapat menyelenggarakan promosi dagang, dengan
adanya trading house maka pemasaran ekspor produk industri kecil akan sangat
terbantu kelancaran dan peningkatannya. Lingkup komoditi yang ditangani
ekspornya lebih diutamakan bagi produk-produk industri kecil.
Layanan Informasi
Layanan Informasi baik informasi bisnis maupun informasi mengenai
kebijakan dan ketentuan administratif dimaksudkan untuk memberikan
kemudahan dan keringanan bagi pengusaha industri kecil yang pada umumnya
kurang berkemampuan dalam mendapatkan informasi yang sangat mereka
perlukan untuk menunjang usahanya. Tersedianya informasi yang dapat diperoleh
secara mudah dan murah akan sangat membantu para pengusaha untuk
mengambil keputusan dan langkah bisnisnya secara cepat dan tepat. Hal ini akan
membantu pengusaha industri kecil dalam memanfaatkan peluang pasar, peluang
usaha, peluang akses permodalan, peluang kemitraan usaha, peluang
memanfaatkan fasilitas, dan sebagainya.
Jenis informasi yang ditawarkan dalam layanan terutama diutamakan yang
berkaitan dengan kebutuhan kalangan industri kecil, khususnya industri kecil yang
tergolong prioritas untuk dikembangkan. Adapun fungsi dan kegunaannya adalah:
memasyarakatkan penggunaan perangkat penunjang (yaitu teknologi
informasi) untuk memodernisasi sistim pengelolaan usaha bagi industri
kecil.
membantu pengusaha industri kecil untuk mendinamisasi langkah-langkah
bisnis yang perlu diambil oleh para pengusaha agar dapat mengambil
keputusan cepat, memudahkan pengelolaan dan pengendalian bisnisnya
secara lebih cepat, tepat dan akurat, sehingga tidak akan ketinggalan dalam
persaingan usaha.
Adapun lingkup teknologi informasi yang perlu dimasyarakatkan di
kalangan industri kecil terutama adalah yang berkaitan dengan kegiatan spesifik
bidang usahanya, misalnya sistim administrasi pengadaan barang, keuangan,
pemasaran dan informasi pasar.
Pengembangan Desain Produk
Program ini dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran para pengusaha
industri kecil akan peran pentingnya desain produk untuk merebut pasar. Dengan
tumbuhnya kesadaran dan tertariknya para pengusaha untuk berpeduli kepada
aspek desain produk, diharapkan akan dapat menambah kemampuan bersaing dan
agresivitas para pengusaha industri kecil dalam merebut pasar.
Pemberian SME’s Award
Pemberian penghargaan kepada pihak yang telah berjasa ikut
mengembangkan industri kecil dimaksudkan sebagai salah satu sistim perangsang
pelengkap yang ditujukan untuk mendorong semua pihak berpeduli kepada upaya
memajukan industri kecil. Sistim pemberian award ini memperoleh dukungan dari
pemegang otoritas tertinggi (Kepala Negara). Hal ini diharapkan akan dapat
menimbulkan citra dan reputasi baik bagi mereka yang telah berjasa
mengembangkan industri kecil, selain itu juga dapat berpengaruh terhadap simpati
dan dukungan pemerintah dan masyarakat terhadap kegiatan profesi/usaha
maupun gerakan moral pembangunan dari yang bersangkutan.
Sistim perangsang pemberian award ini diharapkan akan bisa ikut
mendorong semakin banyaknya peminat dan pemerduli untuk menjadi penggerak
pengembangan industri kecil. Lingkup Penerima Penghargaan adalah:
Para pengusaha industri kecil yang telah berhasil mengembangkan industri
kecil dengan sukses dan berkembang, dengan bobot nilai prestasi yang
besar.
Anggota masyarakat lainnya yang dinilai telah berjasa ikut memajukan
industri kecil.
Pemasyarakatan HaKI
Pemasyarakatan HaKI di kalangan pengusaha industri kecil dimaksudkan
untuk menimbulkan kesadaran akan pentingnya daya kreasi dan inovasi
intelektual sebagai kemampuan yang perlu diraih oleh para pengusaha industri
yang ingin maju sebagai faktor pembentuk kemampuan daya saing industri. Oleh
karena itu karya temuan orang lain yang didaftarkan untuk dilindungi harus
dihormati dan dihargai.
Di samping itu kesadaran dan wawasan mengenai HaKI diharapkan akan
dapat menimbulkan motivasi dan dorongan agar pengusaha industri kecil
terdorong untuk berkreasi dan berinovasi di bidang produk dan teknologi
produksi, serta manajemen. Lingkup pemasyarakatan dilakukan terhadap:
Pemasyarakatan HaKI kepada para pengusaha.
Bimbingan penerapan HaKI pada level unit usaha.
Pengembangan Klinik HaKI di daerah.
Pengembangan kerjasama antara Klinik HaKI Pusat dan Daerah.
Pengembangan Prasarana dan Sarana Fisik
Prasarana dan Sarana Fisik bagi industri kecil antara lain meliputi :
Kawasan Industri Kecil dan Menengah dengan sewa murah, showroom bagi
produk industri kecil menengah dan kerajinan, pergudangan dan pengangkutan,
unit pengo lahan limbah, situs informasi (website) dan fasilitas penunjang lainnya.
Kebutuhan akan prasarana dan sarana penunjang ini dipertimbangkan menurut
tingkat kebutuhan, efisiensi dan kelaikannya untuk diadakan/dibangun bagi
kepentingan industri kecil secara bersama di suatu daerah/atau skala nasional
Prasarana dan sarana fisik ini diadakan untuk memfasilitasi kegiatan usaha
industri kecil di suatu daerah/nasional secara lebih efisien, cepat dan efektif,
termasuk promosi pemasarannya, dengan efisiensi dan kelancaran operasi yang
diraih akan menimbulkan dampak peningkatan daya saing industri kecil (di
tingkat daerah, nasional maupun global) yang pada gilirannya akan memperluas
pasar dan kapasitas produksi.
Industri kecil yang dibantu dengan fasilitas prasarana/sarana penunjang
hanya segmen industri kecil yang kondisinya di daerah yang bersangkutan dinilai
mendesak dan mutlak tingkat kebutuhannya akan dukungan fasilitas tersebut
untuk bisa tumbuh berkembang secara sehat dan berkelanjutan.
Pemasyarakatan Sistim Gugus Kendali Mutu (GKM)
GKM adalah suatu sistim dalam manajemen usaha yang ditujukan untuk
meningkatkan efisiensi, produktivitas dan mutu produksi, dalam rangka
meningkatkan daya-saing produk yang dihasilkan. Sistim ini dilaksanakan melalui
pemasyarakatan cara pandang, cara analisa dan diagnosa dan solusi sesuatu
masalah (inefisiensi, produktivitas rendah dan rendahnya mutu pekerjaan/produk)
di lingkungan kerja seluruh jajaran SDM perusahaan, sehingga dapat membentuk
kebiasaan (habit) yang diterapkan dalam etos kerja dan budaya produksi
kompetitif.
Penerapan/pentradisian GKM di lingkungan perusahaan industri kecil akan
ikut mempercepat sosialisasi budaya produksi kompetitif melalui praktek nyata
dalam kehidupan perusahaan sehari-hari, sehingga hasilnya akan jauh lebih efektif
daripada sistim ceramah teori yang sering terkendala oleh daya-serap peserta dari
kalangan industri kecil.
Apabila pemasyarakatan GKM dapat diterapkan semakin meluas di
kalangan industri kecil, hal ini akan berdampak positif bagi kemajuan dan
pertumbuhan industri kecil terutama oleh faktor pendorong knowledge-based.
Mengingat luasnya sasaran/populasi obyek binaan, maka penerapan
gerakan GKM di kalangan industri kecil perlu menempuh prioritas dengan
mendahulukan industri kecil yang tingkat tantangan kompetisi pasarnya cukup
tajam. Meskipun demikian, pemasyarakatan GKM tidak boleh diskriminatif bagi
jenis-jenis industri yang sudah waktunya memerlukan, dan penerapannya
dilakukan simultan di semua daerah. Keterbatasan kapasitas pemasyarakatan
GKM mendorong perlunya ditempuh program TOT (Training of Trainers).
Pengembangan Bakat Ketrampilan Tradisional
Karya seni tradisional berpangkal dari bakat seni tradisional yang
diwariskan secara turun-temurun. Potensi adanya bakat ketrampilan karya seni
tradisional ini apabila tidak didayagunakan melalui kegiatan produksi barang seni
yang laku dijual dengan menimbulkan nilai-tambah yang dapat menghidupi, lama
kelamaan akan bisa punah (generasi muda tidak tertarik untuk menggeluti) karena
tidak bisa bersaing dengan lapangan kerja yang lain. Dilain pihak apabila
kekayaan budaya ini dapat dilestarikan dengan improvisasi seni, sentuhan
teknologi dan manajemen yang tepat, maka potensi sumberdaya berupa bakat
ketrampilan seni tradisional daerah tersebut akan dapat dikembangkan menjadi
kegiatan ekonomi yang menghidupi masyarakat secara berkelanjutan, yang
karenanya justru dapat melestarikan peninggalan budaya tersebut.
Pengembangan bakat ketrampilan seni tradisional berguna untuk
menumbuhkannya menjadi kegiatan produktif yang menghasilkan nilai-tambah.
Dengan demikian akan dapat melestarikan bahkan mengembangkan/ memajukan
seni tradisional daerah. Bakat ketrampilan yang dikembangkan tergantung jenis
bakat yang mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi kegiatan ekonomi
yang menghasilkan nilai-tambah (terutama yang dapat prospek untuk
menghasilkan produk ketrampilan unggulan daerah) yang terdapat di daerah
masing-masing.
Peningkatan Peran Wanita di bidang IDKM
Peningkatan peran partisipasi wanita dalam kegiatan usaha lebih tepat
dimaksudkan sebagai upaya untuk mensosialisasikan wawasan industri atau
wawasan produktif secara lebih cepat meluas ke kalangan masyarakat dengan
mendayagunakan wanita sebagai media sosialisasi/penyebaran. Pendayagunaan
wanita sebagai media sosialisasi wawasan industri dan wawasan produktif ini
berarti juga untuk mendayagunakannya sebagai media modernisasi bagi
masyarakat. Tingkat peran wanita dalam kegiatan industri tersebar dari tataran
sebagai tenaga pekerja biasa, tenaga pekerja trampil, sampai dengan tingkat
manajemen maupun sebagai wirausaha.
Secara bersamaan, metoda tersebut sekaligus akan menimbulkan dampak
manfaat dan kegunaan dari berbagai aspek, antara lain :
(a) Secara psikologis kaum wanita akan mempunyai kepercayaan diri yang
meningkat karena semakin banyak yang terlibat dalam kegiatan
produktif/industri, sehingga posisi mereka yang pada umumnya terkesan
termarjinalkan akan semakin bergeser menjadi tenaga produktif dalam
ekonomi nasional.
(b) Secara ekonomis, dengan semakin meningkatnya partisipasi kaum wanita
dalam kegiatan produktif, maka secara agregat potensi tenaga produktif secara
nasional akan meningkat secara nyata.
(c) Memperkecil risiko negatif yang dapat diakibatkan oleh kerawanan
pengangguran di kalangan angkatan kerja wanita.
(d) Membantu peningkatan pemerataan kesejahteraan ekonomis di kalangan
masyarakat.
(e) Karakter kerja dan talenta kaum wanita banyak yang cocok dan menunjang
upaya pemenuhan tuntutan mutu produk industri kecil (industri kerajinan,
produk seni, dan produk yang memerlukan ketelitian dan ketelatenan
pengerjaan/workmanship).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
(1) Gambaran tentang komponen dalam penelitian keberdayaan pengrajin adalah:
- Kualitas perilaku wirausaha (tingkat keinovatifan, inisiatif, pengelolaan
resiko, dan daya saing) adalah rendah.
- Tingkat kemandirian usaha (kemandirian permodalan, kemandirian
produksi, kemandirian kerjasama, dan kemandirian pemasaran) adalah
rendah.
- Kemajuan usaha (pertumbuhan usaha, efektivitas usaha, dan efisiensi
usaha) adalah rendah.
- Keberlanjutan usaha (kontinyuitas produksi, penjualan, dan bahan baku)
adalah sedang.
(2) Faktor karakteristik individu dan lingkungan berpengaruh positif yang nyata
terhadap perilaku wirausaha, semakin meningkatnya karakteristik individu
dan intervensi lingkungan akan mendorong pengrajin berperilaku wirausaha
yang berkualitas. Beberapa aspek karakteristik individu yang memiliki
pengaruh besar terhadap perilaku wirausaha adalah pendidikan, motivasi
berusaha, dan aspek gender melalui intensitas komunikasi dan pemenuhan
kebutuhan. Intervensi lingkungan yang menentukan peningkatan kualitas
perilaku wirausaha adalah bimbingan pemerintah daerah, bimbingan
organisasi non pemerintah, keluarga, dan pemimpin informal.
(3) Faktor karakteristik individu, pendukung usaha, dukungan lingkungan, dan
perilaku wirausaha berpengaruh positif yang nyata terhadap tingkat
kemandirian usaha. Faktor karakteristik individu dan perilaku wirausaha
merupakan faktor yang paling menentukan tingkat kemandirian usaha. Aspek
perilaku wirausaha yang penting adalah: keinovatifan dan inisiatif, aspek
karakteristik individu yang penting adalah pendidikan, motivasi, dan aspek
gender. Faktor pribadi pengrajin dan perilaku wirausaha secara positif dapat
meningkatkan kemandirian usaha, dalam hal ini aspek perilaku wirausaha
yang penting adalah: keinovatifan, inisiatif, kemampuan mengelola resiko dan
daya saing yang dimiliki. Materi penyuluhan yang terkait dengan
pengetahuan, sikap, dan ketrampilan telah dirumuskan untuk meningkatkan
kemandirian usaha yang disampaikan melalui teknik penyuluhan yang
berpedoman pada prinsip pendidikan orang dewasa.
(4) Kemajuan usaha dipengaruhi secara positif yang nyata oleh perilaku
wirausaha dan tingkat kemandirian usaha. Perilaku wirausaha merupakan
faktor yang paling menentukan kemajuan usaha. Secara tidak langsung
karakteristik individu, pendukung usaha, dan lingkungan berpengaruh secara
positif terhadap kemajuan usaha, karakteristik individu memiliki pengaruh
tidak langsung yang paling besar terhadap kemajuan usaha melalui perilaku
wirausaha. Pengrajin yang maju akan dapat meningkatkan keberlanjutan
usahanya di masa depan.
(5) Faktor kemajuan secara positif dan nyata berpengaruh langsung terhadap
keberlanjutan usaha. Secara tidak langsung karakteristik individu, pendukung
usaha, lingkungan, perilaku wirausaha dan tingkat kemandirian usaha
berpengaruh positif terhadap keberlanjutan usaha. Perilaku wirausaha
memiliki pengaruh tidak langsung terbesar terhadap keberlanjutan usaha.
(6) Model pemberdayaan yang efektif memberdayakan pengrajin dengan
meningkatkan kualitas perilaku wirausaha dan kemandirian usaha adalah yang
telah terlembagakan dalam organisasi yang didukung oleh unsur penunjang
dari pemerintah daerah, organisasi non pemerintah (lembaga keuangan,
perusahaan, perguruan tinggi, LSM, lembaga penelitian dan koperasi).
Kegiatan pemberdayaan membutuhkan input data kebutuhan pengrajin,
penyuluh yang kompeten dan pengrajin yang telah dikelompokkan
berdasarkan karakteristiknya.
Saran
(1) Perilaku wirausaha memiliki nilai strategis untuk meningkatkan kemandirian,
kemajuan dan keberlanjutan usaha, oleh karena itu yang perlu dilakukan
adalah penyuluhan yang berorientasi pada peningkatan perilaku wirausaha
terutama aspek keinovatifan dan insiatif yang disertai pengembangan
dukungan pemerintah daerah dan organisasi non pemerintah.
(2) Mengingat kemandirian usaha sangat menentukan kemajuan usaha, maka
penyuluhan seyogyanya dimaksudkan untuk memandirikan pengrajin dari
aspek permodalan, pemasaran, dan produksi. Masih rendahnya kemandirian
dan kemajuan usaha pengrajin, maka yang diperlukan adalah pemerintah
memfasilitasi pengrajin agar lebih mandiri dalam mengakses sumber
permodalan, pasar, dan bahan baku (pengrajin tidak tersubordinasi aktor
penyedia sumber daya tersebut).
(3) Pemerintah daerah dan seluruh aktor penunjang kegiatan pemberdayaan (yang
terdiri dari LSM, badan usaha, dan lembaga pendidikan) perlu melakukan
koordinasi untuk menyusun kelembagaan penyuluhan bagi pengrajin, dan
menyusun program aksi peningkatan perilaku wirausaha dan kemandirian
pengrajin.
(4) Diperlukan penyuluhan yang berkelanjutan dan terkoordinir dalam suatu
sistem penyuluhan industri kecil, sehingga akan dapat memantau
perkembangan keberdayaan pengrajin menuju kemajuan dan keberlanjutan
usahanya.
(5) Paradigma penyuluhan yang memberdayakan pengrajin yang dihasilkan
dalam penelitian ini menghasilkan beberapa pokok pikiran tentang: fokus,
pendekatan, kelembagaan, dan teknik penyuluhan yang memerlukan
penelitian lebih lanjut untuk penyempurnaan model penyuluhan yang
memberdayakan pengrajin. Faktor iklim usaha merupakan salah satu faktor di
luar model yang diduga berpengaruh terhadap keberdayaan pengrajin yang
perlu dikaji dalam penelitian selanjutnya.
(6) Aspek sumber daya manusia merupakan faktor penting bagi pembangunan
industri kecil oleh karena itu aspek SDM (potensi individu) perlu ditonjolkan
dalam perumusan misi pembangunan industri kecil.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, I.R. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan IntervensiKomunitas (Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis). Jakarta:Lembaga Penerbit FE-UI.
APO Agriculture Report. 2000. Promotion Of Rural-Based Small Industries inAsia and The Pacific. Tokyo: Asian Productivity Organization.
Asngari, P.S. 2001. Peranan Agen Pembaruan/Penyuluh dalam Usahamemberdayakan (Empowerment) Sumberdaya Manusia PengelolaAgribisnis. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Sosial Ekonomi. Bogor:IPB.
Azwar, S. 2003. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta:Liberty.
Badri, M., D. Davis, dan D Davis. 2000. Operations Strategy, EnvironmentalUncertainty and Performance: A Path Analytic Model of Industries inDeveloping Countries. The International Journal of Management Science.New York: Elsevier Science Inc.
Bird, M.J. 1996. Entrepreneurial Behavior. Singapore: Irwin Mc Graw Hill.
BPS. 1995. Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga Indonesia.Jakarta.
BPS. 2004, Survei Usaha Terintegrasi Statistik Industri Kecil dan KerajinanRumah Tangga, Jakarta: Biro Pusat Statistik.
Covey, S.R. 1999. The Seven Habits of Highly Effective People. Edisi revisi.Dialihbahasakan oleh Lyndo Saputra. Jakarta: Binarupa Aksara.
Cohen, B. dan M.I. Winn. 2003. Market Imperfections, Opportunity andSustainable Entrepreneurship. Journal of Business Venturing. New York:Elsevier Science Inc
Deperindag. 2002a. Rencana Induk Pengembangan Industri Kecil, Buku I,Deperindag: Jakarta.
Deperindag. 2002b. Rencana Induk Pengembangan Industri Kecil, Buku II,Deperindag: Jakarta
Dharmawan, A.H. 2000. Poverty, Powerlessness, and Poor PeopleEmpowerment: A Conceptual Analysis with Special Reference to the Case ofIndonesia. Makalah Workshop on Rural Institutional Empowerment held inthe Indonesian Consulate General of the Republic of Indonesia in Frankfurtam Main Germany: 26 Agustus 2000.
Ferdinand, A. 2002. SEM dalam Penelitian Manajemen. Semarang: BP UNDIP.
Gerungan, W.A. 1996. Psikologi Sosial. Ed. Ke-2. Cet. Ke-13. Bandung: PT.Eresco.
Getz, D., dan T. Peterson. 2005. Growth and Profitt-Oriented EntrepreneurshipAmong Family Business Owners In The Tourism and Hospitality Industry.International Journal of Hospitality Management. New York: ElsevierScience Inc.
Gibb, A. dan J Li. 2003. Organizing for Enterprise In China: What Can We LearnFrom The Chinese Micro, Small, and Medium Enterprise DevelopmentExperience Futures. New York: Elsevier Science Inc.
Gibson, J.L., J.M. Ivancevich, dan J.H. Doonelly. 1995. Organisasi danManajemen, Perilaku, Struktur dan Proses. Edisi Keempat.Dialihbahasakan oleh Djoerban Wahid. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Haeruman, H., dan Eriyatno. 2001. Kemitraan dalam Pengembangan EkonomiLokal. Jakarta: Penerbit Yayasan Mitra Pembangunan Desa-Kota danBusines Inovation Centre Indonesia.
Haber, S., dan A. Reichel. 2006. The Cumulative Nature Of The EntrepreneurialProcess: The Contribution Of Human Capital, Planning And EnvironmentResources To Small Venture Performance. Journal of Business Venturing.New York: Elsevier Science Inc
Heizer, J., dan B. Render. 1993. Production and Operations Management:Strategies And Tactics, 3rd ed. Prentice Hall: New York.
Hersey, P., dan K.H. Blanchard. 1996. Management of Organizational
Behavior. Prentice Hall Inc. Engelwood Cliffs, New Jersey.
Hikmat, H. 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: HumanioraUtama
Hiks, H.G., dan G.R. Gullet. 1996. Organisasi Teori dan Tingkah Laku. EdisiBahasa Indonesia. Cet. Ke-3. G. Kartasaputra, Penerjemah. Jakarta: PenerbitBumi Aksara.
Hubeis, A.V. 2000. Tantangan dan Prospek Teknologi Informasi dan Komunikasidalam Otonomi Daerah. Dalam Proseeding Seminar PemberdayaanManusia Menuju Masyarakat Madani. Bogor: 25-26 September 2000.
Hubeis, M. 1997. Menuju Industri Kecil Profesional di Era Globalisasi MelaluiPemberdayaan Manajemen Industri. Orasi Ilmiah Guru besar Tetap IlmuManajemen Industri. Bogor: IPB.
Ife, J.W. 1995. Community Development: Creating Community Alternatives(Vision, Analysis and Practice). Australia: Longman Press.
Ismawan, B. 2002, “Masalah UKM dan Peran LSM”. Jakarta:www.binaswadaya.org 23 Des 2003.
Joreskog, K.G, dan D. Sorbom. 1998. LISREL 8, User’s Reference Guide.Chicago: SSI Software International.
Kant, I. 1962. Fundamental Principles of the Metaphysics of Ethics. Australia:Trans. T.K. Abbott Longman.
Karsidi, R. 1999. “Kajian Keberhasilan Transformasi Pekerjaan dari Petani KePengrajin Industri Kecil.” Disertasi. Institut Pertanian Bogor.
Kast, F.E., dan J.E. Rosensweig. 1995. Organisasi dan Manajemen.Dialihbahasakan oleh Hasyim Ali. Jakarta: Bumi Aksara.
Kotler, P. 1995. Manajemen Pemasaran: Analisis, Perencanaan, ImplementasiDan Pengendalian. Alih bahasa: Jaka Wasana. Edisi 6. Jilid 1. Jakarta:Penerbit Erlangga.
Labuschagne, C. A.C. Brent, dan R.P.G. van Erck. 2005. “Assessing TheSustainability Performances of Industries.” Journal of Cleaner Industries.New York: Elsevier Science Inc
Lionberger, H.F., 1964, Adoption of New Ideas and Practices. New York: TheIOWA State University Press.
Lippitt R., J.Watson., dan B.Westley. 1958. The Dynamics of Planned Change.Harcourt, Brace& World, Inc.
Mar’at. 1982. Sikap Manusia: Perubahan dan Pengukuran. Bandung: GhaliaIndonesia.
Mardikanto, T. 1996. Penyuluhan Pembangunan Kehutanan. Jakarta: Kerjasama:Pusat Penyuluhan Kehutanan Departemen Kehutanan RI, dan FakultasPertanian Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta.
McClelland, D.C. 1987. Memacu Masyarakat Berprestasi: Mempercepat LajuPertumbuhan Ekonomi Melakui Peningkatan Motif Berprestasi. S. Suparna,Editor. S. Suyanto dan W.W Bakowatun, Penerjemah. Jakarta: CV. Intermedia.Terjemahan dari: The Achieving Society.
Megginson, W.L., M.J. Byrd, dan L.C. Megginson. 2000. Small BusinessManagement, An Entreprneurs’s Guidebook. Singapore: Irwin Mc GrawHill.
Meredith, G.G., R.E. Nelson, dan P.A. Nick. 1996. Kewirausahaan Teori danPraktek. Dialihbahasakan oleh Andre Asparsayogi. Jakarta: PustakaBinaman Pressindo.
Mosher, A.T. 1977. Menggerakkan dan Membangun Pertanian, Syarat-syaratPokok Pembangunan dan Modernisasi. Disadur oleh Krisnandhi danBahrin Samad. Jakarta: CV Yasaguna.
Nadvi, K., dan S. Barrientos, 2004, Industrial Clusters and Poverty Reduction”.London: Jurnal Institute of Development Studies, http://www.ids.ac.uk.20 Des 2004.
Ndraha, T. 1987. Pembangunan Masyarakat, Mempersiapkan MasyarakatTinggal Landas. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Olson, P.D., V.S. Zuikera, dan S.M. Danesa. 2003. “The Impact of The Familyand The Business On Family Business Sustainability.” Journal ofBusiness Venturing. New York: Elsevier Science Inc
Oxaal, Z., dan S. Baden. 1997. Gender and empowerment: Definitions,Approaches and Implications for policy. Report 40 for the SwedishInternational Development Cooperation Agency (CIDA), Institute ofDevelopment Studies, University of Sussex, Brighton. UK
Padmowihadjo, S. 2001. Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian dalamPembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis. Jakarta: Departemen Pertanian RI.
Pardede, F.R. 2000. Analisis Kebijakan Pengembangan Industri Kecil. [thesis].ITB.
Perry, G., C. Batstone, P. Pulsarum. 2002. The Determinants of Retail SMESuccess in Thailand.: Makalah International Seminar Graduates StudiesProgram UMM. Malang
Pelham, A.M. 1999. Influence of Environment, Strategy, and Market Orientationon Performance in Small Manufacturing Firms. Journal of BusinessResearch. New York: Elsevier Science Inc.
Pranarka, A.M.W., dan Vidhyandika. 1996. Pemberdayaan: Konsep, Kebijakandan Implementasi. Jakarta: CSIS.
Rakhmat, J. 1986. Teori-Teori Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Robbins, S.P. 1996. Perilaku Organisasi, Kosep, Kontroversi, Aplikasi.Dialihbahasakan oleh Hadayana Pujaatmaka. Jakarta: PT Prenhallindo.
Rogers, E.M. 1976. Communication and Development. London: Sage Publication.
_______, Kincaid L. 1981. Communication Network. New York: Mac MillanPublishing Co. Inc.
_______, R.J Burdge, dan P.F. Korsching. 1983. Diffusion of Innovation.s (3rd
editions). New York: The Free Press A Division of Mc Millan PublishingCo. Inc.
Rothman, J.E. 1974. Strategies to Community Intervention. Colombia: ColombiaUniversity Press Copyright NCSW
Salkind, N.J. 1989. Theories of Human Development. New York: John Willey andSons.
Setiana, D.D.. 2001. “Membangun Struktur Industri Indonesia yang Kokoh danSeimbang”. Bandung: Jurnal Politea Vol.1 No.1
Sigito, S.P. 2001. Pengembangan Model Pendaftaran Merek Secara Massalsebagai Sarana Pemberdayaan Kalangan Pengusaha Industri Kecil di BidangHaKI Menghadapi Era Pelaksanaan Trip’s di Indonesia. Jurnal Ilmu-IlmuSosial Universitas Brawijaya Malang Vol 13 No 2.
Singarimbun, M., dan S. Effendy. 1987. Metodologi Penelitian Survei. Jakarta:LP3ES.
Slamet, M. 2003. Pemberdayaan Masyarakat. Dalam Membentuk Pola PerilakuManusia Pembangunan. Disunting oleh Ida Yustina dan Adjat Sudradjat.Bogor: IPB Press.
Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Jakarta: UI Press.
Steers, R.M., L.W. Porter, dan G.A. Bigley. 1991. Motivation and Leadership atWork. San Fransico: The Mcgraw-Hill Company.
Stewart Jr, W.H., W.E. Watson, J.C Carland, dan J.W. Carland. 1998. AProclivity for Entrepreneurship: A Comparison of Entrepreneurs, SmallBusiness Owners, and Corporate Managers. Journal of Business Venturing.New York: Elsevier Science Inc.
Sumardjo. 1999. Transformasi Model Penyuluhan Pertanian menujuPengembangan Kemandirian Petani. [disertasi]. IPB
Sumodiningrat, G. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring PengamanSosial. Jakarta: Gramedia
Sukardi, I.S. 1991. Intervensi Terencana Faktor-faktor Lingkungan terhadapPembentukan Sifat Entrepreneur. [Disertasi]. UI.
Sulekale. 2003. Pemberdayaan Masyarakat Miskin Di Era Otonomi Daerah.Jakarta: Jurnal Ekonomi Rakyat. www.ekonomirakyat.org. 12 Sept 2003
Supriatna, T. 1997. Birokrasi Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan.Bandung: Humaniora Utama Press.
Susanto, D. 2001. Peran Penyuluh Pertanian dalam Mewujudkan KemandirianPetani, Tasikmalaya: Makalah disajikan pada Seminar Perhiptani 2001.
Swasono, S. 2003. Kemandirian, Dasar Martabat Bangsa. Jakarta: Jurnal EkonomiRakyat. II-No.6-September 2003.
Tawardi, B. 1999. Sikap Kewirausahaan Anggota Kelompok Belajar Usaha danBeberapa faktor yang Mempengaruhinya. [tesis]. IPB.
Todaro, M.P. 1998. Pembangunan Ekonomi Dunia Ketiga. Alih Bahasa: HarisMunandar. Edisi keenam. Jakarta: penerbit Erlangga.
Thoha, M. 1988. Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya. Ed. Ke-1,Cet. Ke-3. Jakarta: CV. Rajawali.
Umar, H. 2003. Riset Sumber Daya Manusia. Jakarta: Gramedia.
van den Ban, A.W., dan H.S. Hawkins. 1999. Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta:Kanisius.
Wijaya, M. 2001. Prospek Industrialisasi Pedesaan. Surakarta: Pustaka CakraSurakarta.
Winardi. 2003. Entrepreneur dan Entrepreneurship. Bogor: Penerbit Kencana.
Young, R. 2005. Sustainability: From Rhetoric to Reality Through Markets.Journal of Cleaner Production. New York: Elsevier Science Inc
Zhao, L., dan J.D. Aram. 1995. Networking and Growth of Young Technology-Intensive Ventures In China. Journal of Business Venturing. New York:Elsevier Science Inc
Lampiran 1. Analisis SEM
DATE: 9/ 6/2006TIME: 11:59
L I S R E L 8.30
BY
Karl G. Jöreskog & Dag Sörbom
This program is published exclusively byScientific Software International, Inc.
7383 N. Lincoln Avenue, Suite 100Chicago, IL 60646-1704, U.S.A.
Phone: (800)247-6113, (847)675-0720, Fax: (847)675-2140Copyright by Scientific Software International, Inc., 1981-99
Use of this program is subject to the terms specified in theUniversal Copyright Convention.
Website: www.ssicentral.com
The following lines were read from file C:\HAMIDAH\NEW.SPJ:
JUDUL PEMBERDAYAAN PENGRAJINOBSERVED VARIABLESX11 X12 X13 X14 X15 X16 X17 X18 X21 X22 X23 X24 X25 X31 X32 X33 X34 X35 Y11 Y12 Y13 Y14 Y21 Y22Y23 Y24 Y31 Y32 Y33 Y41 Y42 Y43COVARIANCE MATRIX FROM FILE NEW.COVSAMPLE SIZE=260LATENT VARIABLESPRIBADI PENDUSAHA LING WIRA MAND MAJU LANJUTRELATIONSHIPSX12 X15 X16 X17 X18=PRIBADIX21 X22 X23 X24=PENDUSAHAX31 X32 X33 X34=LINGY11 Y12 Y13 Y14=WIRAY21 Y22 Y23 Y24=MANDY31 Y32 Y33=MAJUY41 Y42 Y43=LANJUTWIRA=PRIBADI PENDUSAHA LINGMAND=PRIBADI PENDUSAHA LING WIRAMAJU=WIRA MANDLANJUT=MAJULISREL OUTPUT SC MI RS EF SC AD=OFFPATH DIAGRAMEND OF PROBLEM
X1211.07
X1511.18
X169.98
X178.80
X1810.89
X2110.43
X226.33
X2310.46
X249.10
X3110.94
X3210.97
X336.87
X345.54
PRIBADI
PENDUSAH
LING
WIRA
MAND
MAJU
LANJUT
Y11 8.10
Y12 8.87
Y13 10.97
Y14 10.54
Y21 11.32
Y22 10.97
Y23 11.63
Y24 11.63
Y31 4.85
Y32 10.66
Y3310.56
Y41 9.85
Y42 11.91
Y43 9.84
12.01
11.85
9.04
10.50
10.21
10.50
8.88
8.69
13.40
8.21
8.62
12.40
14.19
12.40
7.73
6.46
13.16
15.11
9.35
10.83
17.14
10.69
14.32
11.93
11.71
19.81
20.43
4.66
1.97
2.26
8.46
3.02
0.43
4.84
4.67
3.06
2.86
X120.78
X150.84
X160.47
X170.35
X180.69
X210.60
X220.22
X230.61
X240.39
X310.56
X320.57
X330.12
X340.09
PRIBADI
PENDUSAH
LING
WIRA
MAND
MAJU
LANJUT
Y110.17
Y12 0.21
Y13 0.61
Y140.43
Y21 0.41
Y22 0.35
Y23 0.62
Y240.64
Y31 0.22
Y32 0.72
Y330.69
Y41 0.40
Y42 0.06
Y43 0.40
0.910.890.630.75
0.760.810.62
0.60
0.88
0.530.55
0.770.970.77
0.47
0.400.73
0.810.56
0.63
0.880.63
0.78
0.67
0.660.94
0.95
0.56
0.350.34
0.76
0.50
0.05
0.39
0.58
0.26
0.20
Model Konsep Keseluruhan (Overall) Nilai t-hitung
Model Konsep Keseluruhan (Overall) Nilai koefisien lintas
Goodness of Fit Statistics
Degrees of Freedom = 450Minimum Fit Function Chi-Square = 288.73 (P = 1.00)
Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 316.60 (P = 1.00)Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 0.0
90 Percent Confidence Interval for NCP = (0.0 ; 0.0)
Minimum Fit Function Value = 1.11Population Discrepancy Function Value (F0) = 0.0
90 Percent Confidence Interval for F0 = (0.0 ; 0.0)Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.090 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.0 ; 0.0)P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 1.00
Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 2.3490 Percent Confidence Interval for ECVI = (2.34 ; 2.34)
ECVI for Saturated Model = 4.08ECVI for Independence Model = 10.00
Chi-Square for Independence Model with 496 Degrees of Freedom = 2524.84Independence AIC = 2588.84
Model AIC = 472.60Saturated AIC = 1056.00
Independence CAIC = 2734.78Model CAIC = 828.33
Saturated CAIC = 3464.04
Root Mean Square Residual (RMR) = 16.81Standardized RMR = 0.043
Goodness of Fit Index (GFI) = 0.93Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.92Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.79
Normed Fit Index (NFI) = 0.89Non-Normed Fit Index (NNFI) = 1.09
Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.80Comparative Fit Index (CFI) = 1.00Incremental Fit Index (IFI) = 1.08Relative Fit Index (RFI) = 0.87
Critical N (CN) = 469.89
Lampiran 2. Analisis SEM Kabupaten Sidoarjo dan Magetan
X120.57
X150.42
X160.58
X170.56
X180.50
X210.71
X220.22
X230.44
X240.28
X310.21
X320.28
X330.28
X340.17
PRIBADI
PENDUSAH
LING
WIRA
MAND
MAJU
LANJUT
Y11 0.45
Y12 0.59
Y13 0.43
Y14 0.41
Y21 0.49
Y22 0.57
Y23 0.54
Y24 0.90
Y31 0.43
Y32 0.26
Y33 0.41
Y41 0.48
Y42 0.19
Y43 0.51
0.740.640.760.77
0.720.660.680.32
0.760.860.77
0.720.900.70
0.660.760.650.710.66
0.880.880.750.54
0.850.850.890.91
0.49
0.440.28
0.77
0.42
0.35
0.28
0.36
0.14
0.12
X120.63
X150.48
X160.54
X170.63
X180.51
X210.57
X220.21
X230.37
X240.33
X310.32
X320.31
X330.34
X340.19
PRIBADI
PENDUSAH
LING
WIRA
MAND
MAJU
LANJUT
Y11 0.51
Y12 0.76
Y13 0.58
Y14 0.49
Y21 0.50
Y22 0.72
Y23 0.66
Y24 0.95
Y31 0.41
Y32 0.25
Y33 0.48
Y41 0.56
Y42 0.15
Y43 0.56
0.70
0.490.65
0.71
0.710.53
0.580.23
0.77
0.870.72
0.67
0.920.66
0.72
0.68
0.61
0.70
0.61
0.85
0.89
0.80
0.82
0.89
0.81
0.93
0.90
0.42
0.36
0.70
0.21
0.04
0.35
0.29
0.06
0.33
0.31
Model Konsep Keseluruhan (Overall) Nilai Koefisien Lintas Sidoarjo
Model Konsep Keseluruhan (Overall) Nilai Koefisien Lintas Magetan
Lampiran 3Hasil Uji Beda Rata-rata One Way Anova
Indikator Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Umur Between Groups 18.35230077 1 18.352 0.185 0.667
Within Groups 25529.89385 258 98.953
Total 25548.24615 259
Pendidikan Between Groups 8.894960212 1 8.895 1.193 0.276
Within Groups 1923.489655 258 7.455
Total 1932.384615 259TanggunganKel Between Groups 40.83105178 1 40.831 13.594 0.000
Within Groups 774.9343328 258 3.004
Total 815.7653846 259PengalamanKerja Between Groups 145.777788 1 145.778 2.207 0.014
Within Groups 17038.46837 258 66.041
Total 17184.24615 259
Motivasi Between Groups 8159.171122 1 8159.171 7.283 0.007
Within Groups 289037.8135 258 1120.302
Total 297196.9846 259PemenuhanKebutuhan Between Groups 3879.183306 1 3879.183 6.925 0.009
Within Groups 144523.3205 258 560.168
Total 148402.5038 259IntensitasKomunikasi Between Groups 13559.41681 1 13559.417 16.060 0.000
Within Groups 217826.337 258 844.288
Total 231385.7538 259Aspekgender Between Groups 4666.639972 1 4666.640 4.598 0.033
Within Groups 261847.5754 258 1014.913
Total 266514.2154 259KetersediaanBahan baku Between Groups 11160.60452 1 11160.605 19.746 0.000
Within Groups 145826.1493 258 565.218
Total 156986.7538 259KetersediaanPasar Between Groups 2538.359826 1 2538.360 4.784 0.030
Within Groups 136895.5286 258 530.603
Total 139433.8885 259KetersediaanTeknologi Between Groups 26431.96642 1 26431.966 42.936 0.000
Within Groups 158826.4336 258 615.606
Total 185258.4 259KetersediaanTransportasi Between Groups 9369.715719 1 9369.716 19.201 0.000
Within Groups 125899.1304 258 487.981
Total 135268.8462 259AlatKomunikasi Between Groups 2313.001868 1 2313.002 6.425 0.012
Within Groups 92879.85967 258 359.999
Total 95192.86154 259
IndikatorSum of
Squares df Mean Square F Sig.PemimpinInformal Between Groups 2861.634927 1 2861.635 4.140 0.043
Within Groups 178341.5766 258 691.246
Total 181203.2115 259Dukungankeluarga Between Groups 4426.058269 1 4426.058 6.682 0.010
Within Groups 170894.4456 258 662.382
Total 175320.5038 259BimbinganPemda Between Groups 5424.815961 1 5424.816 7.073 0.008
Within Groups 197869.2456 258 766.935
Total 203294.0615 259DukunganNGO Between Groups 3536.245508 1 3536.246 3.968 0.047
Within Groups 229905.693 258 891.107
Total 233441.9385 259
Keinovatifan Between Groups 2940.790503 1 2940.791 4.365 0.038
Within Groups 173828.1133 258 673.752
Total 176768.9038 259
Inisiatif Between Groups 7543.098974 1 7543.099 12.714 0.000
Within Groups 153064.6549 258 593.274
Total 160607.7538 259PengelolaanResiko Between Groups 17987.80939 1 17987.809 40.310 0.000
Within Groups 115128.406 258 446.234
Total 133116.2154 259
Daya Saing Between Groups 2171.341397 1 2171.341 4.620 0.033
Within Groups 121258.024 258 469.992
Total 123429.3654 259KemandirianPemasaran Between Groups 18253.51845 1 18253.518 35.879 0.000
Within Groups 131258.77 258 508.755
Total 149512.2885 259Kemandirianpemodalan Between Groups 2375.083756 1 2375.084 4.456 0.036
Within Groups 137505.4201 258 532.967
Total 139880.5038 259Kemandirianproduksi Between Groups 3858.869571 1 3858.870 5.721 0.017
Within Groups 174017.8189 258 674.488
Total 177876.6885 259Kemandiriankerjasama Between Groups 3269.03529 1 3269.035 5.439 0.020
Within Groups 155053.7493 258 600.984
Total 158322.7846 259
Indikator Sum of Squares df Mean Square F Sig.PertumbuhanUsaha Between Groups 2315.081127 1 2315.081 4.224 0.041
Within Groups 141397.8843 258 548.054
Total 143712.9654 259
Efisiensi Usaha Between Groups 2806.664998 1 2806.665 4.207 0.041
Within Groups 172108.2735 258 667.086
Total 174914.9385 259EfektifitasUsaha Between Groups 21565.0543 1 21565.054 30.912 0.000
Within Groups 179988.4996 258 697.630
Total 201553.5538 259KontinyuitasPenjualan Between Groups 2861.634927 1 2861.635 4.140 0.043
Within Groups 178341.5766 258 691.246
Total 181203.2115 259KontinyuitasProduksi Between Groups 4426.058269 1 4426.058 6.682 0.010
Within Groups 170894.4456 258 662.382
Total 175320.5038 259Kontinyuitasbahan baku Between Groups 5424.815961 1 5424.816 7.073 0.008
Within Groups 197869.2456 258 766.935
Total 203294.0615 259