keragaman gen mhc drb3 exon 2 (major histocompatibility ... fileanalisis polimorfisme meliputi...

53
i KERAGAMAN GEN MHC DRB3 exon 2 (Major Histocompatibility Complex) PADA POPULASI SAPI BALI DAN SAPI HASIL PERSILANGAN SKRIPSI WENY DWI NINGTIYAS I 111 10 259 JURUSAN PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2014

Upload: haminh

Post on 31-Mar-2019

226 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

i

KERAGAMAN GEN MHC DRB3 exon 2 (Major Histocompatibility

Complex) PADA POPULASI SAPI BALI DAN SAPI HASIL

PERSILANGAN

SKRIPSI

WENY DWI NINGTIYAS

I 111 10 259

JURUSAN PRODUKSI TERNAK

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2014

ii

KERAGAMAN GEN MHC DRB3 exon 2 (Major Histocompatibility Complex)

PADA POPULASI SAPI BALI DAN SAPI HASIL PERSILANGAN

SKRIPSI

WENY DWI NINGTIYAS

I 111 10 259

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas

Peternakan Universitas Hasanuddin

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2014

iii

PERNYATAAN KEASLIAN

1. Yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Weny Dwi Ningtiyas

NIM : I 111 10 259

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa:

a. Karya skripsi yang saya tulis adalah asli

b. Apabila sebagian atau seluruhnya dari karya skripsi, terutama dalam Bab

Hasil dan Pembahasan tidak asli atau plagiasi maka bersedia dibatalkan

atau dikenakan sanksi akademik yang berlaku.

2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat dipergunakan

sepenuhnya.

Makassar, Juni 2014

TTD

Weny Dwi Ningtiyas

iv

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Penelitian : Keragaman Gen MHC DRB3 exon 2 (Major

Histocompatibility Complex) pada Populasi Sapi

Bali dan Sapi Hasil Persilangan

Nama : Weny Dwi Ningtiyas

No. Pokok : I 111 10 259

Program Studi : Produksi Ternak

Jurusan : Produksi Ternak

Fakultas : Peternakan

Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui oleh:

Pembimbing Utama

Dr. Muh. Ihsan A.Dagong, S.Pt., M.Si.

NIP. 19770526200212 1 003

Dekan Fakultas Peternakan

Prof. Dr. Ir. Syamsuddin Hasan, M.Sc.

NIP. 19520923 197903 1 002

Tanggal Lulus : Juni 2014

Pembimbing Anggota

Dr. Andi Baso Lompengeng Ishak, S.Pt., M.P

NIP. 19691029 199603 1 001

Ketua Jurusan Produksi Ternak

Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Baco, M.Sc.

NIP. 19641231 198903 1 025

v

ABSTRAK

WENY DWI NINGTIYAS (I 111 10 259). Keragaman Gen MHC DRB3 exon 2

(Major Histocompatibility Complex) pada Populasi Sapi Bali dan Sapi Hasil

Persilangan Dibimbing oleh Muh. Ihsan A. Dagong sebagai pembimbing Utama

dan Andi Baso Lompengeng Ishak sebagai pembimbing anggota.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman (polimorfisme) gen

MHC DRB3 (exon 2), pada populasi sapi Bali dan sapi hasil persilangan (Sapi

Simmental, Limousin, Brahman, Ongole, Angus, Hereford, dan Brangus). Sampel

darah diekstraksi dengan menggunakan Kit DNA ekstraksi Genjet Genomic DNA

Extraction (Thermo Scientific), diamplifikasi dengan teknik PCR (Polymerase

Chain Reaction), kemudian produk PCR dipotong dengan enzim restriksi HaeIII.

Analisis polimorfisme meliputi frekuensi alel dan genotipe, heterozigositas

pengamatan (Ho), heterozigositas harapan (He) dan kesetimbangan Hardy

Weinberg. Variasi genetik diantara populasi dihitung berdasarkan frekuensi alel

dan genotipnya. Sebagian besar populasi yang diteliti menunjukkan polimorfisme

gen MHC dengan frekuensi masing-masing alel yang ditemukan pada sapi Bali

dan sapi hasil persilangan yaitu alel A, B, C, D, E dan F. Alel C dan E adalah alel

yang paling umum pada seluruh populasi sedangkan alel langka adalah alel D.

Dari hasil penelitian genotipe yang ditemukan pada sapi Bali yaitu AC (0,02), BC

(0,02), CC (0,10), EB (0,02), EC (0,40), EE (0,14), FA (0), FC (0,16), FE ( 0,12)

dan FF (0). Sedangkan frekuensi genotipe pada sapi hasil persilangan yaitu AC

(0,18), BC (0,06), CC (0,16), EB (0,06), EC (0,14), EE (0,10), FA (0,06), FC

(0,08), FE ( 0,10) dan FF (0,02). Pada populasi sapi Bali diperoleh nilai (Ho)

0,755 dan nilai (He) yaitu 0,644. Pada sapi hasil persilangan nilai (Ho) 0,708, dan

nilai (He) 0,734. Nilai chi- square pada sapi Bali 5,553 dan pada sapi hasil

persilangan 14,395 (P< 0,05) menunjukkan bahwa MHC|HaeIII tidak berada

dalam keseimbangan Hardy- Weinberg.

Kata Kunci : Sapi Bali, Sapi Hasil Persilangan, MHC, Alel

vi

ABSTRACT

WENY DWI NINGTIYAS (I 111 10 259). Polymorphisms of MHC DRB3

exon 2 Gene In Bali and Crossbred Cattle. Supervised by Muhammad Ihsan A

Dagong as the main supervisor and Andi Baso Lompengeng Ishak as the co

supervisor.

The aim of this study to analyzed the genetic polymorphisms of MHC DRB3 exon

2 genes in Bali and Crossbreds cattle. The genomic DNA was extracted by using

Genomic DNA extraction Kit and then MHC DRB3 genes were amplified by PCR

with predicted amplicon length 285bp. To identified allelic variation the PCR

product were cut with HaeIII enzymes restriction. Genetic variation between the

population were calculated based on genotypic and allelic frequencies, observed

heterozygosity (Ho), expected heterozygosity (He) and the Hardy-Weinberg

equilibrium. Most populations studied were polymorphic, with 6 allele found in

Bali and Crossbreeds cattle A, B, C, D, E and F,were the most common allele

found in all populations were C and E, while the rare allele was D. The MHC

genotypes frequencies of Bali cattle were AC (0,02), BC (0,02), CC (0,10), EB

(0,02), EC (0,40), EE (0,14), FA (0), FC (0,16), FE ( 0,12) and FF (0). While the

MHC genotypes frequencies from Crosbreeds cattle were AC (0,18), BC (0,06),

CC (0,16), EB (0,06), EC (0,14), EE (0,10), FA (0,06), FC (0,08), FE ( 0,10) and

FF (0,02). In Bali cattle population the observed heterozygosity value (Ho) was

0,755 while in Crossbreds cattle, value (Ho) was 0,708. And the expected

heterozygosity in Bali population (He) was 0,644, while in the Crossbreeds (He)

was 0,734. Chi- square value in Bali cattle 5,553 and Crossbred cattle 14,395 (P<

0,05) showed that MHC|HaeIII were not Hardy- Weinberg equilibrium.

Keyword : Bali Cattle, Crossbred Cattle, MHC, Alelle

vii

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirahim…..

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena rahmat dan

hidayah-Nya sehingga Tugas Akhir / Skripsi ini dapat diselesaikan dengan tepat

waktu. Skripsi dengan judul “Keragaman Gen MHC DRB3 exon 2 (Major

Histocompatibility Complex) pada Populasi Sapi Bali dan Sapi Hasil Persilangan”

Sebagai Salah Satu Syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas

Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.

Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis

hanturkan dengan penuh rasa hormat kepada :

1. Dr. Muh. Ihsan A. Dagong, S.Pt., M.Si selaku Pembimbing utama dan Dr.

Andi Baso Lompengeng Ishak, S.Pt., M.P selaku pembimbing Anggota, atas

segala bantuan, saran, nasehat serta keikhlasannya untuk memberikan

bimbingan , dari awal penelitian sampai selesainya penulisan skripsi ini.

2. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

dengan segenap cinta dan hormat kepada ayah tercinta Bayu Nugroho, S.Pd

dan ibu St. Hartati atas segala doa, motivasi, dan kasih sayang serta materi

yang diberikan kepada penulis dan saudara saya Yuyun Wulandari S.Ip yang

senantiasa memberikan arahan dan ocehan ketika penulis mengalami masalah.

viii

3. Prof. Dr. Ir. Syamsuddin Hasan, M.Sc selaku Dekan Fakultas Peternakan

dan seluruh Staf Pegawai Fakultas Peternakan, terima kasih atas segala bantuan

kepada penulis selama menjadi mahasiswa.

4. Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Baco, M,Sc selaku ketua Jurusan Produksi Ternak

beserta seluruh Dosen dan Staf jurusan Produksi Ternak atas segala bantuan

kepada penulis selama menjadi mahasiswi.

5. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Basit Wello, M.Sc. selaku Penasehat Akademik.

6. Ibu Dosen drh. Hj. Farida Nur Yuliati, M.Si sebagai Koordinator

Laboratorium Mikrobiologi Hewan dan Prof. Dr. Ir. H. Herry Sonjaya,

DEA. DES sebagai Koordinator Laboratorium Fisiologi Ternak terima kasih

atas bimbingan dan arahannya selama 2 tahun.

7. Terima Kasih kepada Samsu Alam Rab selaku teman setia yang telah banyak

memberikan dukungan baik berupa moril dan materi, semangat dalam aktivitas

perkuliahan sampai penyusunan skripsi.

8. Teman-teman setim penelitian Tendhy, Ipha, K’endha, K’piiy, K’jaidin, dan

terkhusus kepada kanda Nurul Purnomo, S.Pt., M.Si, K’Tri, K’Uya, dan Ibu

Ida atas segala bantuan sarana dan prasarana, ilmu dan doa dari awal penelitian

sampai akhir penelitian

9. Sahabat-sahabat ”Manajemen Ternak Potong” – Pute, David, Ewink,

K’anjar, K’Lina’ K’abid, terima kasih atas segala canda tawa, ke-usilan, serta

kebersamaan selama ini.

10 Kepada sahabat terkasih dan tersayang “Dinda_ ucy, tendhy, mhy2, inna,

manyu, lilo, iyand, ipha, bundha, vivong, chotenk, atas segala kebaikan dan

ix

kebersamaan yang kalian berikan, semoga dilain waktu dan kesempatan kita

dapat bertemu kembali.

11 Kepada teman seperjuangan Ciwank, Ryan, Saddank, Linda, Farid, Ibnu,

Yafet, Herman, Aldes, April, Evy, Kiki, Maya, Iccank, Aidil, Yogi, Ayhi,

Nawir dan sahabat “L10N” Terima kasih atas Kebersamaan dan kebaikan

yang kalian berikan selama penulis kuliah di Fakultas Peternakan.

12 Seluruh staf Dosen dan Pegawai di Fakultas Peternakan Universitas

Hasanuddin yang banyak memberikan ilmu, bantuan, moril dan materil

sehingga penulis bisa sampai pada hari ini.

13 Terima kasih kepada kakanda Rumput 07 Bakteri 08, Merpati 09.

14 Terima kasih kepada Teman- teman KKN Gel. 85 Desa Komba Selatan dan

Rantebelu : Ryan, Athi, Ancha, Akhsan, K’Wahyu, Ceky, Nita, Imha, dan

K’ Didit. Terima Kasih telah mengajarkan arti kekeluargaan dan dukungannya

selama KKN.

15 Semua pihak yang tidak dapat penulis sebut satu persatu, Terimah Kasih atas

bantunnya.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih terdapat

kekurangan dan kesalahan. Penulis mengharapkan kritikan dan saran yang

sifatnya membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Makassar, Juni 2014

Weny Dwi Ningtiyas

x

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL ................................................................................... i

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... ii

PERNYATAAN KEASLIAN ....................................................................... iii

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iv

ABSTRAK ..................................................................................................... v

ABSTRACT ................................................................................................... vi

KATA PENGANTAR .................................................................................... vii

DAFTAR ISI .................................................................................................. x

DAFTAR TABEL ......................................................................................... xii

DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xiv

PENDAHULUAN .......................................................................................... 1

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Umum Sapi Bali............................................... ....................... 3

Sistem Imun ............................................................................................ 4

Keragaman Genetik ............................................................................... 6

Marker Assisted Selection (MAS) ......................................................... 8

Major Histocompatibility Complex (MHC) ........................................... 10

Lokus DRB3 exon 2 ............................................................................... 13

PCR RFLP (Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length

Polymorphism) ....................................................................................... 15

xi

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat ................................................................................. 18

Materi Penelitian ..................................................................................... 18

Tahapan Penelitian.................................................................................. 19

Analisa Data............................................................................................ 22

HASIL DAN PEMBAHASAN

Amplifikasi Gen MHC DRB3 exon 2 ............................................... ..... 24

Keragaman Gen MHC DRB3 exon 2 dengan metode PCR-RFLP ........ 25

Frekuensi Genotipe dan Alel ................................................................. 27

Nilai Heterozigositas Gen MHC HaeIII ................................................. 30

PENUTUP

Kesimpulan ............................................... ............................................. 32

Saran ...................................................................................................... 32

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 33

xii

DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

1. Sekuen primer beserta enzim restriksi endonuklease untuk

PCR-RFLP ........................................................................................... 18

2. Potongan Pita DNA Gen MHC HaeIII ............................................... 27

3. Frekuensi Genotipe Gen MHC HaeIII ................................................ 27

4. Frekuensi Alel Gen MHC HaeIII ......................................................... 28

5. Nilai Heterozogositas Gen MHC HaeIII.............................................. 30

xiii

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1. Ilustrasi kompleks BoLA (MHC Sapi/Bovine) ................................. 14

2. Hasil Amplifikasi Gen MHC DRB3 exon 2 yang divisualisasi pada

Gel Agarose 1,5%...................................... ....................................... 24

3. Hasil Pendeteksian Keragaman Gen MHC DRB3 exon 2 ................ 26

4. Letak Sequend Primer Forward dan Reverse MHC DRB3 exon 2 ... 28

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

No. Teks Halaman

1. Data Sampel Darah Sapi Hasil Persilangan Kabupaten Bantaeng ....... 39

2. Analisis Genetik Populasi Sapi Bali dan Sapi Hasil Persilangan ........ 39

3. Analisis Genetik Total Populasi Sapi Bali dan Sapi Hasil Persilangan 46

4. Dokumentasi Kegiatan Laboratorium .................................................. 49

1

PENDAHULUAN

Indonesia termasuk sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman

hayati yang cukup tinggi. Salah satu dari keanekaragaman hayati yang dimiliki adalah

sapi Bali. Sapi Bali sebagai sapi asli Indonesia telah tersebar di seluruh wilayah

Indonesia dan dipelihara umumnya dipeternakan rakyat dan berskala kecil. Sebagai

sapi asli Indonesia, sapi Bali memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap

lingkungan yang kurang baik, namun demikian sapi Bali ternyata memiliki

kerentanan yang sangat tinggi terhadap beberapa jenis penyakit, antara lain penyakit

jembrana, SE, antraks dan brucella. Informasi mengenai daya tahan penyakit pada

sapi Bali dan molekuler biasanya digunakan untuk melakukan seleksi terhadap sapi

Bali yang ada di populasi dengan menggunakan penanda molekuler.

Upaya yang dilakukan untuk memperbaiki mutu genetik sapi Bali yaitu

seleksi untuk menghasilkan bibit sapi Bali unggul dan mempunyai tingkat resistensi

yang tinggi terhadap penyakit. Deteksi genotipik antigen limfosit sapi adalah salah

satu cara untuk mengungkapkan permasalahan dengan konsep imunogenetik, yakni

suatu konsep pendekatan genetik yang mengendalikan perbedaan reaktivitas respons

imun dan kerentanan tubuh terhadap suatu penyakit. Antigen limfosit sapi disebut

juga Major Histocompatibility Complex (MHC) atau BoLA (Bovine Lymphocyte

Antigen) adalah salah satu antigen permukaan yang terdapat pada sel berinti, terutama

sel limfosit, bersifat lebih imunogenik dibandingkan dengan antigen permukaan yang

lain. MHC merupakan suatu glikoprotein yang terdiri atas kumpulan gen penting

2

(major), yang dibedakan atas tiga klas yaitu MHC klas I, klas II dan klas III.MHC

pada setiap spesies mempunyai sifat polimorfisme yang tinggi.

Sifat polimorphisme dari gen MHC dapat menimbulkan perubahan karakter-

karakter genetik yang berbeda dengan induknya. Keragaman genetik dalam suatu

populasi sapi Bali akan mengakibatkan perbedaan aktivitas imun pada setiap individu

dalam suatu populasi sehingga berpengaruh terhadap ketahanan dan kerentanan

individu terhadap penyakit. Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan

penelitian untuk mengidentifikasi keragaman gen MHC (Major Histocompatibility

Complex) pada populasi sapi Bali dan sapi hasil persilangan.

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui keragaman (polimorfisme) gen

MHC DRB3 exon 2, pada populasi sapi Bali dan sapi hasil persilangan (Sapi

Simmental, Limousin, Brahman, Ongole, Angus, Hereford, dan Brangus). Kegunaan

penelitian ini yaitu sebagai informasi keragaman genetik dan dapat digunakan dalam

membantu program seleksi untuk mengidentifikasi ternak yang tahan terhadap

penyakit, serta dapat menghasilkan ternak yang dapat mewarisi sistem imun /

kekebalan kepada keturunannya.

3

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Umum Sapi Bali

Sapi Bali merupakan ternak asli Indonesia. Keaslian sapi Bali telah dibuktikan

oleh Mohamad et al., (2009) menggunakan pendekatan genetika molekuler berupa

analisa DNA mitokondria yang mempunyai potensi genetik dan nilai ekonomis yang

cukup potensial untuk dikembangkan sebagai ternak potong. Sapi Bali adalah

domestikasi dari banteng (Bibos banteng Syn. Bos sondaicus) yang telah terjadi sejak

zaman prasejarah (Purwantara, 2012).Namun ada juga yang menduga bahwa sapi

Bali adalah asli berasal dari pulau Bali yang dalam perkembangan selanjutnya dapat

dipertahankan kemurniannya (Gunawan et al., 2004).

Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan sapi asli Indonesia yang diduga sebagai

hasil domestikasi (penjinakan)dari Banteng liar. Sebagian ahli yakin bahwa

domestikasi tersebut berlangsung di Bali sehingga disebut sapi Bali. Sebagai

keturunan Banteng, sapi Bali memiliki warna dan bentuk tubuh persis seperti Banteng

liar (Guntoro,2002). Sapi Bali di Indonesia hampir semuanya bermula dari sapi Bali

yang ada di Bali dan hasil pembuktian lanjutan menunjukkan bahwa sapi Bali di Bali

adalah yang paling murni (Namikawa et al., 1980).

Keunggulan sapi Bali dibandingkan bangsa sapi lainnya, misalnya sapi Bali

akan memperlihatkan perbaikan performan pada lingkungan baru dan menunjukkan

sifat-sifat yang baik bila dipindahkan dari lingkungan kurang baik ke lingkungan

4

yang lebih baik. Selain cepat beradaptasi pada lingkungan yang baru, sapi Bali juga

cepat berkembang biak dengan angka kelahiran 40% - 85% (Martojo, 1988).

Salah satu sapi asli di dunia adalah sapi Bali dan merupakan sapi yang

mempunyai beberapa karakteristik. Ciri khas sapi Bali (Bos sondaicus) adalah warna

bulunya merah bata dan mempunyai garis belut di sepanjang punggungnya (Guntoro,

2002). Sapi Bali juga mudah beradaptasi di lingkungan yang buruk dan tidak selektif

terhadap makanan. Selain itu, sapi Bali cepat beranak, jinak, mudah dikendalikan dan

memiliki daya cerna terhadap makanan serat yang baik (Batan, 2006).

Sistem Imun

Imunitas adalah suatu reaksi yang dilakukan oleh individu terhadap substansi

asing misalnya mikroorganisme (bakteri, virus, parasit) dan molekul substrak

misalnya protein maupun polisakarida. Reaksi yang terjadi meliputi reaksi seluler dan

molekul. Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi

terhadap infeksi disebut sistem imun. Reaksi yang dikoordinasi oleh sel ataupun

molekul terhadap mikroba dan bahan lainnya disebut respons imun. Pada ternak

sistem imun dibutuhkan untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang

dapat ditimbulkan dari lingkungan (Baratawidjaja, 2006). Selanjutnya Anthony et

al.,(2007) menyatakan sistem imun adalah semua mekanisme yang digunakan tubuh

untuk mempertahankan keutuhan tubuh, sebagai perlindungan terhadap bahaya yang

dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Fungsi sistem imun yaitu:

5

1. Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan dan

menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur,

dan virus, serta tumor) yang masuk ke dalam tubuh .

2. Menghilangkan jaringan atau sel yg mati atau rusak (debris sel) untuk perbaikan

jaringan.

3. Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal.

Secara umum sistem imun terbagi dalam dua yaitu : alamiah dan adaptif

(spesifik). Sistem imun alamiah seperti air liur, selaput lendir, serta asam lambung

termasuk di dalamnya. Sedangkan pada sistem imun adaptif terdapat sistem dan

struktur fungsi yang lebih kompleks dan beragam. Sistem imun adaptif terdiri dari

sub sistem seluler yaitu keluarga sel limfosit T (T penolong dan T sitotoksik) dan

keluarga sel mononuklear (berinti tunggal). Sub sistem kedua adalah sub sistem

humoral, yang terdiri dari kelompok protein globulin terlarut yaitu: imunoglobulin.

Imunoglobulin dihasilkan oleh sel limfosit B melalui suatu proses aktivasi khusus

(Pandjassarame, 2009).

Keberadaan mikroba patogen dapat menimbulkan dampak-dampak yang tidak

diharapkan akan memicu sistem imun untuk bereaksi dengan urutan mekanisme

sebagai berikut : introduksi, persuasi, dan represi. Meskipun komplemen dapat

diasosiasikan sesuai artinya, yaitu pelengkap, namun sesungguhnya fungsinya

amatlah vital. Faktor komplemen bertugas untuk menganalisa masalah untuk

selanjutnya mengenalkannya kepada imunoglobulin, untuk selanjutnya akan diolah

dan dipecah-pecah menjadi bagian-bagian molekul yang tidak berbahaya bagi tubuh.

6

Setelah itu limfosit T bekerja dengan memakan mikroba patogen. Sel limfosit terdiri

dari dua spesies besar, yaitu limfosit T dan B (Price, 2005)

Dalam kondisi yang berat akan terjadi beberapa proses berikut, sel limfosit T

akan meminimalisasi efek patogenik dari mikroba patogen dengan cara bekerjasama

dengan antibodi untuk mengenali dan merubah antigen dari mikroba patogen menjadi

serpihan asam amino melalui sebuah mekanisme yang disebut Antibody Dependent

Cell Cytotoxicity (ADCC) (Baratawidjaja, 2006).

Sedangkan Sel limfosit B bertugas untuk membangun sistem manajemen

komunikasi terpadu di wilayah cairan tubuh (imunitas humoral). Bila ada antigen dari

unsur asing yang masuk, maka sel limfosit B akan merespon dengan cara membentuk

sel plasma yang spesifik untuk menghasilkan molekul imunoglobulin yang sesuai

dengan karakteristik antigen dari unsur asing tersebut (David, 2004).

Darwin (2012) mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang

mempengaruhi sistem imun, yaitu : faktor genetik dan fisiologis, usia, lingkungan,

gaya hidup, gender, metabolis, anatomis, dan microbial.

Keragaman Genetik

Keanekaragaman hayati (biodiversitas) adalah keanekaragaman organisme

yang menunjukkan keseluruhan atau totalitas variasi gen, jenis, dan ekosistem pada

suatu daerah. Keseluruhan gen, jenis dan ekosistem merupakan dasar kehidupan di

bumi. Keanekaragaman hayati melingkupi berbagai perbedaan atau variasi bentuk

penampilan, jumlah, dan sifat-sifat yang terlihat pada berbagai tingkatan, baik

7

tingkatan gen, tingkatan spesies maupun tingkatan ekosistem. Berdasarkan hal

tersebut, para pakar membedakan keanekaragaman hayati menjadi tiga tingkatan,

yaitu keanekaragaman gen, keanekaragaman jenis dan keanekaragaman ekosistem

(Nicholas, 1996).

Keragaman genetik terdapat dalam empat level organisasi: antar spesies, antar

populasi, antar individu dalam populasi dan dalam individu. Keragaman antar spesies

sebagai manifestasi dari keragaman genetik walaupun pembedaan spesies dengan

mudah tanpa mengetahui komposisi gennya (Indrawan et al., 2007).

Keragaman genetik dalam sebuah populasi organisme terutama dihasilkan

oleh tiga mekanisme yaitu mutasi, perpasangan alel secara bebas atau rekombinasi

dan migrasi gen dari satu tempat ketempat lain (Suryanto, 2003; Elrod dan Stansfield,

2007).

Keanekaragaman gen adalah keanekaragaman individu dalam satu jenis

makhluk hidup. Keanekaragaman gen mengakibatkan variasi antarindividu sejenis.

Keragaman genetik di antara populasi dari suatu spesies bisa sangat besar. Demikian

juga dalam populasi kebanyakan populasi alami, perbedaan genetik di antara individu

sering juga besar. Akhirnya keragaman genetik terdapat di dalam suatu individu

bilamana ada dua alel untuk gen yang sama merupakan perbedaan konfigurasi DNA

yang menduduki lokus yang sama pada suatu kromosom (Indrawan et al., 2007).

Polimorfisme pada suatu populasi digunakan sebagai salah satu indeks

keragaman genetik. Sifat polimorfik ini ditentukan dengan mengidentifikasi jumlah

alel pada suatu populasi. Dengan adanya identifikasi jumlah alel maka akan dapat

8

ditentukan frekuensi alel dan nilai heterozigositas suatu populasi (Barendse et al.,

2008).

Dalam jangka panjang, keragaman genetik akan lebih lestari dalam populasi

besar daripada dalam populasi kecil. Melalui efek genetik (genetic drift) yaitu

perubahan dalam gen dari suatu populasi kecil yang berlangsung semata-mata karena

proses kebetulan, suatu sifat genetik dapat hilang dari populasi kecil dengan cepat

(Indrawan et al., 2007).

Marker Assisted Selection( MAS )

Perkembangan teknologi biologi molekuler pada dua dasawarsa belakangan

ini, telah membuktikan banyaknya gen/lokus.Ilmuan kemudian menyebutnya sebagai

Quantitative Trait Loci (QTL), yaitu lokus-lokus/segmen DNA yang mempengaruhi

sifat-sifat kuantitatif. QTL diidentifikasi dengan memanfaatkan fenomena bahwa jika

suatu QTL terpaut pada suatu DNA marker, maka akan terdapat perbedaan pada nilai

fenotipe antar kelas genotipe marker tersebut. Sehingga, keberadaan QTL yang

menguntungkan pada suatu individu dapat dideteksi dengan bantuan DNA marker.

Ketika QTL tersebut sudah teridentifikasi (jumlah, lokasi, aksi gen dan efeknya),

maka informasi tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan efektivitas pemuliaan

konvensional. Sistem pemuliaan yang menggabungkan informasi QTL dalam

pemuliaan konvensional tersebut disebut dengan Marker Assisted Selection (MAS)

(Bowling, 2001).

9

Penggunaan MAS pada sapi potong dapat menunjang cara seleksi

konvensional yang berdasarkan fenotip, sebab seleksi dilakukan pada arah molekuler

sehingga tidak terpengaruh lingkungan. Pemarkah DNA memiliki keunggulan karena

sifatnya sangat polimorfik dan beberapa pemarkah DNA antara lain Restriction

Fragments Lengths Polymorphisms (RFLP), Mikrosatelit, dan sidik jari DNA

(Sumadi et al., 2008).

Menurut Soller (1983) informasi tentang variasi genetik dapatdijadikan dasar

dalam seleksi hewan melalui teknik yang dikenal dengan Marker Assisted Selection

(MAS) atau seleksi berdasarkan penanda gen. Variasi genetik juga dapat dijadikan

dasar untuk konservasi jenis. Suatu jenis tertentu mungkin dihasilkan darisuatu proses

adaptasi terhadap keadaan lingkungan yang mengarahkan pada terbentuknya

kombinasi alel yang unik. Penggunaan Marker Assisted Selection (MAS) didasarkan

pada gagasan bahwa terdapat gen yang memegang peranan utama dan menjadi

sasaran atau target secara spesifik dalam seleksi (Van der Warf, 2000).

Beberapa sifat yang dikendalikan oleh gen tunggal seperti warna bulu

merupakan pola pewarisan sifat yang sederhana, namun beberapa sifat utamanya sifat

produksi yang kompleks (kuantitatif) dikontrol oleh banyak gen (polygenes)

(Nicholas, 1996). MAS dapat meningkatkan efisiensi pemuliaan ternak dapat

dijelaskan sebagai berikut ; (Anonymous, 2000)

1. DNA marker menyediakan informasi tambahan mengenai genotipe seekor

ternak, maka dapat digunakan untuk meningkatkan akurasi seleksi. Dengan

meningkatnya akurasi seleksi, maka respon seleksipun menjadi meningkat.

10

2. DNA marker dapat digunakan untuk menurunkan interval generasi dengan

cara menseleksi ternak pada umur yang lebih muda. Penurunan interval

generasi tersebut menyebabkan respons seleksi per tahun menjadi semakin

meningkat.

3. DNA marker dapat digunakan untuk meningkatkan intensitas dan efisiensi

seleksi, karena DNA marker dapat digunakan untuk menseleksi lebih banyak

ternak daripada menggunakan informasi fenotipe saja. Karena intensitas

seleksi berbanding lurus dengan respon seleksi, maka peningkatan intensitas

seleksi akan diikuti dengan peningkatan respons seleksi.

Maka secara umum, dengan memanfaatkan informasi DNA marker, maka

MAS menghasilkan respon seleksi yang lebih cepat dibandingkan dengan pemuliaan

konvensional yang hanya mengandalkan informasi fenotipe.

Major Histocompatibility Complex ( MHC )

Major Histocompatibility Complex (MHC) merupakan kelompok lokus yang

terdiri atas kumpulan gen penting (major) yang mengendalikan respon imun (Kuby

1997). Respon imun terutama disebabkan oleh adanya aksi limfosit yang dihasilkan

dalam sel sumsum tulang. Aksi limfosit dalam sistem kekebalan dipacu oleh adanya

antigen. Peranan MHC dalam sistem kekebalan seluler diawali dari masuknya antigen

ke dalam tubuh melalui proses up take oleh makrofag yang kemudian memicu

limfosit T untuk mematikan sel yang terinfeksi. Sementara itu, dalam sistem

11

kekebalan humoral, MHC berperan dalam membantu pembentukan antibodi oleh

limfosit B (Tizard, 2000).

MHC atau antigen histokompatibilitas utama adalah antigen yang terdapat

pada sel limfosit yang bersifat lebih imunogenik dibandingkan antigen lainnya.

Antigen ini ditemukan pertama pada leukosit darah, nomenklatur MHC pada setiap

hewan berbeda. Diawali dengan singkatan yang merujuk pada jenis hewan dan

dilanjutkan dengan huruf L (Limfosit) dan A (Antigen) (Tizard, 2000).

Peranan keseluruhan MHC yang berkaitan dengan antigen adalah menentukan

kemampuan individu untuk membedakan self dan non-self serta mengatur interaksi

fungsi imunitas. Berkaitan dengan peranannya tersebut, MHC disebut immune

response associated antigen (Nicholas 1987; Guillemot et al., 1988; Kuby 1997).

MHC yang terdapat pada sapi disebut Bovine Lymphocyte Antigen (BoLA) (Lewin et

al., 1999). BoLA atau antigen limfosit sapi merupakan glikoprotein. Peranan

keseluruhan antigen BoLA adalah menentukan kemampuan individu untuk

membedakan self dan non-self, mengatur interaksi fungsi imunitas, karena peranan

tersebut maka disebut dengan immune response associated antigen.

Gen BoLA merupakan kompleks gen yang berada pada kromosom 23 sapi

dan berperan penting pada penampilan reproduksi, produksi, dan ketahanan penyakit

(Nascimento et al., 2006). Struktur gen BoLA sama dengan gen MHC pada manusia

(Firouzamandi et al., 2010). Gen BoLA dibedakan menjadi tiga klas yaitu MHC klas

I, klas II dan klas III (Bastos-Silveira et al., 2008).

12

MHC kelas I berisi beberapa gen yang berperan dalam respon imun selular.

MHC kelas II merupakan gabungan gen yang berperan penting dalam respon imun

selular dan humoral. MHC kelas III mengandung beberapa gen yang memiliki fungsi

luas, berperan dalam pembentukan komponen protein dan sistem komplemen, hanya

beberapa diantaranya yang terlibat dalam respon imun (Guillemot et al., 1988).

Menurut Caron et al., (1997), MHC berhubungan dengan kepekaan terhadap

infeksi parasit. MHC kelas II menciri dengan jumlah alel yang besar pada setiap

lokus dan terdapat perbedaan jumlah asam amino yang besar pada setiap alelnya.

Keragaman ini berhubungan dengan keragaman reseptor pada limfosit T, yang

berkontribusi pada perbedaan respon kekebalan pada individu (Sommer, 2005).

Menurut Stear et al.,(2007) beberapa keragaman yang sifatnya non-imunologi

telah diketahui berhubungan dengan gen BoLA, seperti misalnya angka pertumbuhan,

berat lahir, karkas, dan fertilitas. Polimorfisme pada alel gen BoLA tersebut juga

berhubungan dengan produksi, persentase lemak dan protein air susu, angka

pertumbuhan, kinerja reproduksi, respons imun, dan ketahanan penyakit (Nascimento

et al., 2006).

Gen BoLA mempunyai ciri khas dengan banyaknya alel dalam setiap lokus

serta keragamam asam amino pada setiap alelnya. Sifat polimorfisme yang tinggi ini

menimbulkan variasi ekspresi yang berbeda pada setiap individu. Keragaman alel

pada gen BoLA sangat memungkinkan menggunakan keragaman ini sebagai marka

untuk seleksi. Pengungkapan keragaman genetika dengan marka molekuler DNA

mikrosatelit akan mampu mendeteksi variasi dan polimorfisme pada DNA di antara

13

anggota kelompok ternak. Polimorfisme inidapat digunakan untuk mengetahui

perbedaan marka spesifik dengan ekspresi fenotipe pada suatu populasi (Albert et al.,

1994).

Lokus DRB3 exon 2

MHC pada setiap spesies mempunyai sifat polimorfisme yang tinggi

(Guillemot et al., 1988). Sifat polimorfisme pada BoLA menyebabkan kemampuan

setiap individu untuk bereaksi terhadap antigen berbeda-beda dan sangat spesifik.

Dengan kata lain, BoLA berperan dalam menentukan ketahanan dan kerentanan

setiap individu dalam suatu populasi terhadap suatu penyakit secara spesifik. Pada

sapi, kompleks BoLA terdapat pada lengan pendek kromosom 23. Sebagaimana

MHC pada mamalia lainnya, BoLA dibagi menjadi tiga kelas gen. BoLA kelas I

memiliki tiga gen fungsional, yaitu A, B dan C. BoLA kelas II atau disebut region D

dibagi menjadi tiga subregion, yaitu DP, DQ dan DR. Beberapa peneliti juga telah

mengeksplorasi keragaman genetik dari gen BoLA DRB3 exon 2pada sapi perah

dengan menggunakan teknik PCR-RFLP (Wu et al., 2010)

Masing-masing subregion paling tidak memiliki dua gen fungsional, yaitu

satu gen penyandi rantai α (disebut gen DPA, DQA dan DRA) dan gen lainnya

penyandi rantai β (disebut gen DPB, DQB dan DRB). Sampai saat ini, telah diketahui

setidaknya ada tiga lokus gen BoLA penyandi rantai β pada subregion DR, yaitu

BoLA DRB1, BoLA DRB2 dan BoLA DRB3 (Gambar 1) (Nicholas 1987; Guillemot

et al., 1988; Ellis, 1999).

14

Gambar 1.Ilustrasi kompleks BoLA (MHC Sapi/Bovine) (Guillemot et al., 1988)

Penamaan alel BoLA mengikuti format nomenklatur alel HLA ( Human

Leucocyt Antigen) yang dibuat oleh WHO Nomenclature Committee, yaitu

lokus.exon*alel (Lewin et al., 1999).

DRB3 exon 2 (BoLA DRB3.2) merupakan lokus gen pada kompleks BoLA

yang memiliki polimorfisme yang paling tinggi (Maillard et al., 2000; Gilliespie et

al., 1999; Takeshima et al., 2002;). Berdasarkan metode PCR-RFLP, Van Eijk et al.,

(1992) telah mengidentifikasi 30 Alel BoLA DRB 3 exon 2 berbeda pada 10

peranakan sapi Eropa. Berdasarkan metode yang sama, Gelhaus et al. (1995)

menambahkan 10 alel baru yang ditemukannya pada sapi peranakan Afrika dan FH.

Alel BoLA DRB3 exon 2 yang telah diidentifikasi dengan metode PCR-RFLP hingga

saat ini ada 54 tipe, dengan tambahan 14 alel baru yang ditemukan Maillard et al.

(2000) pada sapi zebu Brahman.

Dietz et al. (1997) menemukan bahwa alel – alel BoLA DRB3 exon 2

berhubungan erat dengan karakter imunitas. Alel-alel BoLA DRB3 exon 2 diketahui

berhubungan dengan ketahanan dan kerentanan individu sapi terhadap beberapa

15

penyakit. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui hubungan alel-alel

BoLA DRB3 dengan sifat produksi dan imunitas, seperti Mastitis (Baltian et al.,

2012), Limfositosis persisten yang disebabkan bovine leukemia virus (Lewin et al.

1999), Penyakit Kuku dan Mulut (Lewin et al. 1999), Dermatofilosis (Maillard et al.

2003), East Coast Fever (ECF) dan Penyakit yang disebabkan serangan kutu

Boophilus microplus (Martinez et al. 2006).

Selain itu,variasi alel pada BoLA DRB3 juga berhubungan dengan karakter

produksi susu (Sharif et al. 1998b). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa variasi

dan distribusi alel BoLA DRB3 exon 2 berbeda untuk setiap jenis sapi, antara lain

sapi Jersey (Gilliespie et al. 1999), Holstein (Dietz et al. 1997).Polimorfisme pada

kompleks BoLA yang dimiliki oleh populasi sapi mungkin berhubungan dengan asal

usulnya (Ellis 1999).Polimorfisme pada kompleks BoLA juga berpengaruh terhadap

fitnes individu dalam populasi. Hal ini berkaitan dengan respon masing-masing gen

dalam kompleks BoLA terhadap tekanan lingkungan. Polimorfisme yang tinggi

dalam populasi akan memungkinkan populasi tersebut bertahan dalam berbagai

kondisi lingkungan (Ellis 1999).

PCR-RFLP ( Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length

Polymorphism)

Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu reaksi invitro untuk

menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu dengan cara mensintesis

molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target tersebut dengan

16

bantuan enzim dan oligonukleotida sebagai primer dalam suatu thermocycler

(Muladno, 2002). Teknik PCR dipengaruhi oleh empat komponen utama yaitu: DNA

cetakan, oligonukleotida primer, deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP) dan enzim

DNA polymerase (Sambrook et al.,1989).

Prinsip kerja PCR adalah denaturasi, penempelan (annaeling), dan

pemanjangan (elongasi). Proses denaturasi cetakan DNA berlangsung pada suhu

tinggi (94 – 96 °C) sehingga memungkinkan rantai ganda fragmen DNA akan

terpisah menjadi rantai tunggal. Proses dilanjutkan dengan penempelan (annealing)

primer pada bagian cetakan DNA yang komplementer. Penempelan ini bersifat

spesifik tergantung pada panjang-pendeknya primer. Suhu yang tidak tepat

menyebabkan penempelan tidak terjadi atau primer menempel pada tempat yang

salah. Tahapan selanjutnya adalah pemanjangan (elongasi) pada suhu 72°C. Proses

dari denaturasi, penempelan, dan pemanjangan disebut satu siklus. Pada umumnya,

proses PCR berlangsung dengan 25 – 40 siklus (Sambrook et al.,1989).

Perkembangan teknologi molekuler telah banyak membantu dalam

menghasilkan data tentang variasi genetik pada tingkat DNA.PCR-RFLP yang

merupakan teknik RFLP yang memanfaatkan amplifikasi DNA dengan PCR yang

mampu mendeteksi adanya variasi genetik dalam waktu yang relatif singkat. Teknik

molekuler yang biasanya digunakan untuk mempelajari molekuler ekologi adalah

Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD), Amplified Fragment Length

Polymorphism(AFLP), Resctriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) dan

perunutan DNA (DNA sequencing). Keempat teknik tersebut dikembangkan

17

berdasarkan Polymerase Chain Reaction (PCR-based), (Kusumadarma, 2011).

Keuntungan menggunakan PCR dalam mengamplifikasi DNA adalah dapat

menghasilkan DNA dalam jumlah yang banyak meskipun hanya dari beberapa atau

bahkan satu molekul DNA saja dalam waktu yang relatif singkat (White, 1996).

RFLP merupakan teknik yang banyak digunakan dalam mempelajari variasi

inter maupun antar spesies dengan memanfaatkan enzim restriksi. Teknik ini dapat

mendeteksi adanya variasi genetik dengan akurat.Posisi dan besarnya variasi dapat

diperkirakan dengan tepat (Sutarno, 1999).

PCR-RFLP merupakan teknik PCR yang dikembangkan untuk

memvisualisasikan perbedaan runutan nukleotida DNA mengunakan enzim restriksi

(Park et al., 1995). Enzim restriksi bersifat spesifik, yaitu suatu jenis enzim hanya

akan memotong runutan nukleotida yang dikenalinya (situs restriksi). Profil fragmen

hasil pemotongan menggambarkan variasi runutan nukleotida situs restriksi. Dengan

kata lain, perbedaan runutan nukleotida pada setiap fragmen DNA akan menghasilkan

pola pemotongan yang berbeda. Fragmen DNA hasil pemotongan tersebut dapat

dipisahkan dengan elektroforesis melalui matriks gel yang berbentuk pita-pita dan

divisualisasikan dengan gel dokumentasi. Berdasarkan perbedaan panjang pita yang

dihasilkan dapat diketahui variasi genetik antar individu dan populasi (Acharya et al.

2002).

18

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Maret 2014 bertempat di

Laboratorium Bioteknologi Terpadu, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin,

Makassar.

Materi Penelitian

Bahan utama dari penelitian ini adalah sampel darah sapi hasil persilangan

yang berjumlah 23 sampel dari Kabupaten Bantaeng, 25 sampel dari Kabupaten

Sidrap, dan sapi Bali 49 sampel dari Kabupaten Barru. Bahan pendukung antara lain:

enzim restriksi HaeIII, bahan ekstraksi DNA (lysis buffer, proteinaseK, wash buffer I,

wash buffer II, elution buffer, ethanol absolute 96%), bahan PCR (dNTP mix, MgCl2,

enzim Taq DNA polymerase), bahan elektroforesis (tris base, asam borat, agarose,

Na2 EDTA, ethidium bromide, marker DNA, DNA loading dye), tissue, plastik mika

dan primer gen MHC DRB3 exon 2.

Tabel 1. Sequen primer beserta enzim restriksi endonuklease untuk PCR-RFLP

Primer Sekuen DNA

Enzim

restriksi

Panjang

PCR

Sumber

MHC F : 5’-TATCCCGTCTCTGCAGCACATTTC-3’

R : 5’-TCGCCGCTGCACACTGAAACTCTC-3’

HaeIII

285 bp

Ahmed,

2006

Alat yang digunakan yaitu : Kit DNA ekstraksi (Thermo Scientific), venoject,

tabung vacutainer, mesin thermo cycler (sensoQuest Germany), centrifuge, alat

19

pendingin, tabung eppendorf besar dan kecil, gel dokumentasi (syngene G:BOX) ,

mikropipet, tip, rak tabung, elektroforesis, autoclave, timbangan, sarung tangan.

Tahapan Penelitian

Koleksi Sampel Darah

Sampel darah diperoleh dari Kabupaten Bantaeng, Sidrap dan Kabupaten

Barru. Pengambilan darah melalui vena jugularis ditampung pada tabung vacutainer

yang telah berisi antikoagulan EDTA untuk mencegah penggumpalan darah.

Ekstraksi DNA

DNA diisolasi dan dimurnikan dengan menggunakan Kit DNA ekstraksi

(Genjet Genomic DNA Extraction Thermo Scientific) dengan mengikuti protokol

ekstraksi yang disediakan. Sebanyak 200 µl sampel darah dilisis dengan menambah

400 µl larutan buffer (lysis buffer), 20 µl proitenaseK (10 mg/ml), kemudian

dicampur dan diinkubasi pada suhu 56 ºC selama 60 menit pada waterbath shaker.

Setelah inkubasi larutan, ditambahkan 200 µl ethanol absolute 96% dan

disentrifugasi 6.000 x g selama 1 menit.

Pemurnian DNA dilakukan menggunakan spin column dengan penambahan

500 µl larutan pencuci wash buffer I yang kemudian dilanjutkan dengan sentrifugasi

pada 8.000 x g selama 1 menit. Setelah supernatanya dibuang, DNA kemudian dicuci

lagi dengan 500 µl wash buffer II dan disentrifugasi pada 12.000 x g selama 3 menit.

Setelah supernatanya dibuang, DNA kemudian dilarutkan dalam 200 µl elution buffer

20

dan disentrifugasi pada 8.000 x g untuk selanjutnya DNA hasil ekstraksi ditampung

dan disimpan pada suhu -20 ºC.

Teknik PCR-RFLP

Komposisi reaksi PCR dikondisikan pada volume reaksi 25 µl yang terdiri

atas 100 ng DNA, 0.25 mM masing-masing primer, 150 µM dNTP, 2.5 mM Mg2+

,

0.5µl Taq DNA polymerase dan 1x buffer. Kondisi mesin PCR dimulai dengan

denaturasi awal pada suhu 94 oC x 2 menit, diikuti dengan 35 siklus berikutnya

masing-masing denaturasi 94 oC x 45 detik, dengan suhu annealing yaitu : 64

oC x 60

detik, yang dilanjutkan dengan ekstensi : 72 oC x 60 detik, yang kemudian diakhiri

dengan satu siklus ekstensi akhir pada suhu 72 oC selama 5 menit dengan

menggunakan mesin PCR (SensoQuest, Germany). Produk PCR kemudian

dielektroforesis pada gel agarose 1.5 % dengan buffer 1x TBE (89 mM Tris, 89 mM

asam borat, 2 mM Na2EDTA) yang mengandung 100 ng/ml ethidium bromide.

Kemudian divisualisasi pada UV transiluminator (gel documentation system ;syngene

G:BOX)).

Produk PCR yang diperoleh dari masing-masing gen target kemudian

dianalisis menggunakan RFLP melalui pemotongan menggunakan enzim restriksi

yang memiliki situs pemotongan pada gen MHC HaeIII (gg cc). Sebanyak 5l DNA

produk PCR ditambahkan 0,3 l enzim restriksi (5U) ; 0,7 l buffer enzim dan 1l

milique water sampai volume 7l, selanjutnya dilakukan inkubasi selama 18 jam

21

pada suhu 37oC. Analisis produk RFLP dilakukan dengan elektroforesis pada gel

polyacrylamide dan pewarnaan dengan perak mengikuti metode Tegelstrom (1992).

Elektroforesis pada Gel Poliakrilamid

Komponen gel polyacrylamide terdiri atas campuran 30% acrylamida dan bis-

acrylamida sebanyak 6 ml, 10 x TBE sebanyak 6 ml, H2O sampai mencapai volume

30 ml, temed sbanyak 20 μl, 10% APS 200 μl. Sampel DNA tersebut kemudian

dimasukkan ke dalam sumur gel setelah gel diletakkan pada tangki elektroforesis

yang telah berisi larutan penyangga 1 x TBE. Elektroforesis dilakukan pada voltase

konstan 250 V selama 120 menit pada suhu ruang.

Silver stainning (Pewarnaan Perak)

Pewarnaan dengan perak dilakukan melalui serangkaian proses yaitu

pewaraan gel dengan larutan stainning dengan merendam gel dalam larutan yang

terdiri atas 0,2 g AgNO3 ; 80 μl NaOH 10 N ; 0,8 ml NH4OH ; 200 ml akuades

selama selama 15 menit. Gel kemudian dicuci kembali dengan aquades selama 20

menit sambil digoyang untuk menghilangkan perak yang tidak berikatan dengan

DNA. Fragmen DNA yang berikatan dengan perak dapat dideteksi dengan merendam

gel dalam larutan NaOH 0,03 g/ml dan formalin yang dipanaskan pada suhu 45 oC

sampai fragmen pita DNA tampak. Setelah fragmen DNA tampak, reaksi kemudian

dihentikan dengan menggunakan asam asetat glasial (200 μl / 200 ml aquades).

Penentuan alel dilakukan dengan cara menginterpretasi pita (band) yang terbentuk

paling jauh migrasinya ke kutub anoda sebagai alel "a", berikutnya alel "b" dan

seterusnya.

22

Analisa Data

Keragaman genotipe tiap-tiap individu dapat ditentukan dari pita-pita DNA

gen yang ditemukan. Masing-masing sampel dibandingkan berdasarkan ukuran

(marker) yang sama dan dihitung frekuensi alelnya. Frekuensi alel bisa dihitung

dengan menggunakan rumus Nei dan Kumar (2000) :

( ∑

)

Keterangan :

Xi = frekuensi alel ke -i

nii = jumlah sampel yang bergenotip ii ( homozigot)

nij = jumlah sampel yang bergenotip ij ( heterozigot)

n = jumlah sampel

Nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan heterozigositas harapan (He)

berdasarkan rumus heterozigositas Nei dan dihitung dengan menggunakan software

PopGene32versi 1.31 (Yeh et al., 1999).

Keterangan:

Ho = heterozigositas pengamatan di antara populasi,

He = heterozigositas harapan di antara populasi,

= ukuran relatif populasi,

23

Xkij (i≠j) = frekuensi AiAj pada populasi ke-k.

Test keseimbangan Hardy-Weinberg (HWE) dengan uji chi-square (Hartl,

1988) sebagai berikut :

∑( )

Keterangan :

χ² = chi-square ,

Obs = jumlah genotipe ke-ii atau ke-ij hasil pengamatan,

Exp = jumlah genotipe ke-ii atau ke-ij yang diharapkan.

24

HASIL DAN PEMBAHASAN

Amplifikasi Gen MHC DRB3 exon 2

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan bahwa Gen MHC DRB3 exon 2

berhasil diamplifikasi dengan menggunakan mesin thermocycler SensoQuest

Germany, dengan suhu annealing 64oC. Hasil amplifikasi ruas gen dapat

divisualisasikan pada gel agarose 1,5% yang dapat dilihat pada Gambar 2. Panjang

produk hasil amplifikasi gen MHC DRB3 exon 2 adalah 285 bp.

Gambar 2. Hasil Amplifikasi Gen MHC DRB3 exon 2 yang divisualisasi pada Gel

Agarose 1,5%. M : Marker (100 bp) ; 1-6 : sampel Sapi Hasil

Persilangan dari Kabupaten Bantaeng ; bp : base pair

Panjang fragmen gen MHC DRB3 exon 2 pada penelitian yang dihasilkan

yaitu 285 bp. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dihasilkan oleh Ahmed (2006),

bahwa panjang produk PCR yang dihasilkan adalah 285 bp. Sedangkan Wu et al.,

200 bp

300 bp

100 bp

285 bp

6 4

3

3

5 1 2 3 M

25

(2010); Chu et al., (2012) menghasilkan panjang produk PCR untuk BoLA yaitu

284bp dan 280 bp pada penelitian yang dilakukan oleh Gilliespie et al., (1999).

Beberapa hal yang umum dilakukan untuk optimasi PCR diantaranya adalah

suhu annealing, konsentrasi MgCl2 konsentrasi primer, dan konsentrasi DNA target

Viljoen et al.,(2005). Suhu annealing sangat menentukan keberhasilan amplifikasi

karena proses perpanjangan DNA dimulai dari primer. Primer merupakan bagian

yang penting dalam PCR karena primer merupakan inisiator pada sintesis DNA

target. Ketepatan kondisi PCR ditentukan oleh ketepatan campuran reaksi dan

ketepatan kondisi suhu pada masing-masing siklus Rahayu et al., (2006).

Keragaman Gen MHC DRB3 exon 2 dengan Metode PCR-RFLP

Penentuan genotip gen MHC DRB3 exon 2 pada sapi Bali dan sapi hasil

persilangan dalam penelitian ini menggunakan metode PCR-RFLP yang dideteksi

berdasarkan banyaknya pita yang muncul dan laju migrasi fragmen DNA, dengan

HaeIII sebagai enzim pemotong. Enzim HaeIII mengenali situs pemotongan (gg cc).

Hasil visualisasi menggunakan gel Polyacrylamide 8% dengan melihat

panjang fragmen ruas gen MHC DRB3 exon 2 dan enzim HaeIII sebagai enzim

pemotong menunjukkan bahwa fragmen yang didapatkan adalah 10 macam genotipe,

diantaranya, AC, AF, BC, BE, CC, CE CF, EE, EF, FF. Terdapat tiga macam

genotipe yang homozigot dan 7 macam genotipe yang heterozigot. Hasil tersebut

menunjukkan bahwa gen MHC DRB3 exon 2 pada sapi Bali dan sapi hasil

26

persilangan yang diamati sangat beragam. Hasil pendeteksian keragaman gen MHC

HaeIII dapat dilihat pada Gambar 3.

300 220

200 180

154

100

117 65

52

AC AF CC CE CF EE EF FF BE BC

Gambar 3. Hasil pendeteksian keragaman gen MHC DRB3 exon 2; 1-10:

sampel sapi Bali dan sapi hasil persilangan

Hasil yang diperoleh pada penelitian ini yaitu masing-masing genotipe

dibedakan berdasakan jumlah pita yang muncul dalam gel Polyacrylamide 8%.

Jumlah alel dilihat berdasarkan jumlah potongan pita dengan panjang potongan yang

berbeda seperti yang ditampilkan pada Tabel 2.

1 2 3 4 5 8 7 6 9 10

27

Tabel 2. Potongan Pita DNA Gen MHC HaeIII

Alel Pita

A / BoLA-DRB*0201 168/117

B / BoLA-DRB*0202 154/14/117

C / BoLA-DRB*0203 154/14/52/65

D / BoLA-DRB*0204 154/131

E / BoLA-DRB*0205 220/65

F / BoLA-DRB*0206 40/180/65

Sumber :Ahmed (2006)

Pita-pita DNA yang terdapat dalam Tabel 2. memiliki jarak laju migrasi yang

berbeda-beda sehingga dapat dibedakan menjadi 6 tipe pita (alel) dengan basis pasang

basa. Keenam tipe alel tersebut yaitu alel A (168/117), B (154/14/117), C

(154/14/52/65), D (1544/131), E (220/65) dan F (40/180/65).Alel BoLA DRB3 exon

2 yang telah teridentifikasi dengan metode PCR-RFLP hingga saat ini ada 54 alel

(Van Eijk et al., 1992; Gelhaus et al., 1995; Maillard et al., 1999).

Frekuensi Genotipe dan Alel

Hasil analisis frekuensi genotipe pada fragmen gen MHC sapi Bali dan sapi

hasil persilangan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Frekuensi Genotipe Gen MHC HaeIII

Populasi Jumlah

(ekor)

Frekuensi Genotipe

CA CB CC EB EC EE FA FC FE FF

Bali 49 0,021 0,021 0,102 0,021 0,408 0,142 - 0,163 0,122 -

CrossBreed 48 0,188 0,063 0,167 0,062 0,146 0,104 0,062 0,083 0,104 0,021

Total 97 0,103 0,041 0,134 0,041 0,278 0,123 0,03 0,123 0,113 0,010

28

Frekuensi genotipe fragmen gen MHC pada sapi Bali memiliki 8 macam

genotipe yaitu CA, CB, CC, EB, EC, EE, FC, dan FE. Sedangkan pada sapi hasil

persilangan memiliki 10 macam genotipe yaitu CA, CB, CC, EB, EC, EE, FA, FC,

FE, dan FF. Sapi Bali memiliki genotipe EC yang lebih tinggi (0,408), dibandingkan

dengan sapi hasil persilangan (0,145) tetapi genotipe FA dan FF tidak ditemukan

pada sapi Bali sedangkan pada sapi hasil persilangan ditemukan genotipe FA dan FF.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Chu et al., (2012) menemukan 7 macam

genotipe dari sapi Beijing.Pendeteksian keragaman gen MHC DRB3 exon 2 dengan

metode PCR-RFLP dengan HaeIII sebagai enzim pemotong (gg|cc). Runutan sequen

MHC DRB3 exon 2 dapat dilihat pada Gambar 4.

FORWARD

10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|

ATCCTCTCTCTGCAGCACATTTCCTGGAGTATTCTAAGAGCGAGTGTCATTTCTTCAACGGGACCGAGCGGGTGCGGTTCCTGGACAGATACTTCTATAA

110 120 130 140 150 160 170 180 190 200

....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|

TGGAGAAGAGTACGTGCGCTTCGACAGCGACTGGGGCGAGTTCCGGGCGGTGACCGAGCTGGGGCGGCCGGACGCCGAGTACTGGAACAGCCAGAAGGAC

210 220 230 240 250 260 270 280 Cut Size HaeIII

....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|....|

ATCCTGGAGGAGAAGCGGGCCGAGGTGGACAGGGTGTGCAGACACAACTACGGGGTCGGTGAGAGTTTCACTGTGCAGCGGCGAA

REVERSE

Gambar 4. Letak sequend primer forward dan reverse MHC DRB3 exon 2

Tabel 4. Frekuensi Alel Gen MHC HaeIII

Populasi Jumlah

(ekor)

Frekuensi Alel

A B C D E F

Bali 49 0,01 0,02 0,41 - 0,42 0,14

CrossBreed 48 0,13 0,06 0,40 - 0,26 0,15

Total 97 0,07 0,04 0,41 0,34 0,14

29

Frekuensi alel yang tertinggi pada sapi Bali terdapat pada alel E (0,41) dan

frekuensi alel terendah terdapat pada alel A (0,01). Sedangkan pada sapi hasil

persilangan frekuensi alel tertinggi C (0,40) dan frekuensi alel terendah yaitu alel B

(0,06). Jumlah alel pada penelitian ini lebih sedikit dibandingkan alel yang ditemukan

pada penelitian sapi bali sebelumnya oleh Puja et al.,(2011), yakni pada sapi Bali

jantan asal Bali teridentifikasi sebanyak 7 alel dan pada sapi Bali jantan asal Nusa

Penida sebanyak 9 alel. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Trinayani et al.,

(2013) menemukan 10 alel.Jumlah alel yang ditemukan pada sapi Bali masih lebih

sedikit dibandingkan pada bangsa sapi lainnya, seperti yang dilaporkan Acosta-

Rodriguez et al.,(2005) yang mengidentifikasi 18 alel pada sapi persilangan antara

bangsa sapi Eropa, Simmenthal, Holstein dan Zebu.

Menurut Dietz et al., (1997) bahwa teridentifikasi 22 allel pada bangsa sapi

Holstein dan Baltian et al., (2012) menemukan 11 alel pada sapi perah dari

Argentina. Martinezet al., (2006) mengidentifikasi 20 allel pada sapi persilangan

antara Gyr dengan Holstein, 22 allel pada sapi zebu di India (Sachinandan De et al.,

2011), sedangkan Nascimento et al., (2006) menemukan 37 allel pada sapi Brazilian

Gyr dairy cattle (Bos indicus).

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui hubungan alel-alel

BoLA DRB3 dengan sifat produksi dan imunitas. Dietz et al. (1997) menemukan

bahwa alel – alel BoLA DRB3 exon 2 berhubungan erat dengan karakter imunitas.

Alel-alel BoLA DRB3 exon 2 diketahui berhubungan dengan ketahanan dan

kerentanan individu sapi terhadap beberapa penyakit seperti penyakit kuku dan mulut

30

(Lewin et al., 1999), Baltian et al., (2012) menemukan bahwa alel yang tahan

terhadap penyakit mastitis yaitu alel A pada sapi perah Argentina, sedangkan Gowane

(2013) menemukan bahwa alel A mempunyai tingkat ketahanan yang lebih tinggi

terhadap FMD (Food and Mouth Disease) dan penyakit yang disebabkan serangan

kutu/ caplak (Boophilus microplus) (Martinez et al.,2006).

Nilai Heterozigositas

Hasil analisis nilai heterozigositas pada fragmen gen MHC sapi Bali dan sapi

hasil persilangan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Nilai Heterozigositas Gen MHC HaeIII

Populasi n Heterozigositas

Nei X2

Ho He

Bali 49 0,755 0,644 0,637 5,553

CrossBreed 48 0,708 0,734 0,726 14,395

Total 97 0,732 0,695 0,691 13,538

n= jumlah sampel (ekor) ; Ho= Heterozigositas pengamatan ; He=

Heterozigositas harapan; X2= chi-square

Menurut Nei dan Kumar (2000), keragaman genetik dapat diukur berdasarkan

nilai heterozigositas. Nilai heterozigositas merupakan cara yang paling akurat untuk

mengukur variasi genetik. Nilai heterozigositas pengamatan pada sapi Bali (0,755) dan

pada sapi hasil persilangan (0,708). Sedangkan nilai heterozigositas harapan pada

sapi Bali (0,644) dan pada sapi hasil persilangan (0,734). Menurut Tambasco, et al

(2003), perbedaan antara nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan nilai

31

heterozigositas harapan (He) dapat dijadikan indikator tidak adanya keseimbangan

genotipe pada populasi yang diamati.

Pengujian keseimbangan Hukum Hardy-Weinberg pada populasi sapi Bali dan

sapi hasil persilangan, dilakukan dengan menggunakan uji chi-square untuk

mengetahui apakah data pengamatan diperoleh menyimpang atautidak menyimpang

dari yang diharapkan. Pada Tabel 5. menunjukkan bahwa frekuensi alel gen MHC

DRB3 exon 2 tidak berada dalam keseimbangan Hardy-Weinberg (P < 0,05). Hal ini

mengindikasikan bahwa telah terjadi proses seleksi pada sapi Bali dan sapi hasil

persilangan.

Hardy-Weinberg menyatakan bahwa frekuensi alel dan frekuensi genotipe

dalam suatu populasi akan tetap konstan, yakni berada dalam keseimbangan dari satu

generasi ke generasi lainnya kecuali apabila terdapat pengaruh-pengaruh tertentu

yang mengganggu keseimbangan tersebut. Pengaruh-pengaruh tersebut meliputi

perkawinan tak acak, mutasi, seleksi, dan ukuran populasi terbatas. Dalam suatu

populasi satu atau lebih pengaruh ini akan selalu ada. Oleh karena itu, keseimbangan

Hardy-Weinberg sangatlah tidak mungkin terjadi di alam. Keseimbangan genetik

adalah suatu keadaan ideal yang dapat dijadikan sebagai garis dasar untuk mengukur

perubahan genetik (Burns, 1980).

32

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan

sebagai berikut :

- Gen MHC DRB3 exon 2 pada populasi sapi Bali dan sapi hasil persilangan

bersifat polimorfik, terdapat 8 macam genotipe pada sapi Bali dan 10 macam

genotipe pada sapi hasil persilangan.

- Hasil analisis menunjukkan bahwa alel yang umum ditemukan pada sapi Bali

dan sapi hasil persilangan yaitu alel C dan alel E. Hasil uji chi square

terhadap genotip MHC DRB3 exon 2| HaeIII menunjukkan bahwa frekuensi

genotipe tidak berada dalam keseimbangan Hardy-Weinberg.

Saran

Berdasarkan kesimpulan penelitian ini perlu dilakukan penelitian lebih lanjut

untuk mencari hubungan variasi alel-alel yang ditemukan dengan kemampuan daya

tahan dan responimun dari sapi Bali dan sapi hasil persilangan terhadap penyakit.

33

DAFTAR PUSTAKA

Acharya, C.P., D.L. Pipalia, D.N. Rank, C.G. Joshi, B.P. Brahmkshtri, J.V. Solanki

and R.R. Shah. 2002. BoLA-DRB3 gene polymorphism in jaffrabadi and

mehsani buffaloes as revealed by PCR-RFLP. Indian Veterinary Journal 79:

652-56.

Acosta-Rodriguez, R., R. Alonso-Morales, S. Balladares, H. Flores-Aguilar, Z.

Garcia-Vazquez, and C. Gorodezky. 2005. Analysis of BoLA class II

microsatellites in cattle infested with Boophilus microplus ticks: class II is

probably associated with susceptibility. Vet. Parasitol., 127: 313–21.

Ahmed, S. and E. Othman. 2006. A PCR-RFLP method for the analysis of Egyptian

goat MHC class II DRB gene. Department of Cell Biology, National

Research Center. Biotechnology 5 (1): 58-61, 2006.

Albert, B., D. Bray, J. Lewis, M.B. Raff, K. Roberts, and J.D. Watson. 1994.

Molecular Biology of the Cell. Garland Publishing, Inc., New York.

Anonymous. 2000. Kumpulan dokumen PORDASI (Komisi Peternakan dan

Kesehatan Veteriner PP. PORDASI 1966 – 2000). Jakarta.

Anthony, L., DeFranco, Richard M. Locksley, Miranda Robertson (2007). Immunity:

The Immune response in infectious and inflammatory disease. Oxford

University Press.

Baltian, L.R., M.V. Ripoli, S. Sanfilippo, S.N. Takeshima, Y. Aida, G.

Giovambattista. 2012. Association between BoLA-DRB3 and somatic cell

count in Holstein cattle from Argentina. Mol Biol Rep (2012) 39:7215–7220

DOI 10.1007/s11033-012-1526.

Baratawidjaja, K.G. 2006. Imunologi Dasar. 7th

ed. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

Barendse, W., B.E. Harrison, R,J. Bunchand M.B. Thomas. 2008. Variation at the

calpain 3 gene is associated with meat tenderness in Zebu and composite

breeds of cattle. BMC Genet9:41.

Bastos-Silveira C., C. Luís, C. Ginja, L.T. Gama and M.M. Oom.2008. Genetic

variation in BoLA microsatellite loci in Portuguese cattle breeds. Animal

Genetic40: 101-105.

34

Batan, I.W. 2006. Sapi Bali dan Penyakitnya. Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Udayana. Denpasar.

Bowling, A.T. 2001. Historical development and application of moleculer genetic

tests for horse identification and parentage control. Liv. Prod. Sci. 72: 111-

116.

Burns, G.W. 1980. The Science of Genetics : Chapter 14. Macmillan Publishing Co.

New York.

Caron, L.A., H. Abplanalpand R.L. Taylor.1997. Resistance, susceptibility, and

immunity to Eimeria tenella in major histocompatibility (B) complex

congenic lines. Poult Sci., 76: 677−682.

Chu, M.X., S.C. Ye, L. Qiao, J.X. Wang, T. Feng, D.W. Huang, G.L. Cao, R. Di, L.

Fang, G.H. Chen. 2012. Polymorphism of exon 2 of BoLA-DRB3 gene and

its relationshipwith somatic cell score in Beijing Holstein cows. Mol Biol

Rep (2012) 39:2909–2914 DOI 10.1007/s11033-011-1052-3

David, S.W., J. WilliamBurlingham. 2004. Immunobiology of organ transplantation.

Springer.

Darwin, Eryati. 2012. Dasar Imunologi. Padang: Fakultas Kedokteran Universitas

Andalas

Dietz, A.B., J.C. Detilleux, A.E. Freeman, D,H. Kelley, J.R. Stabel, and M.E.

Kehrli.1997. Genetic association of bovine lymphocyte antigen DRB3

alleles with immunological traits of Holstein cattle. J. Dairy Sci., 80: 400–

405.

Ellis, S.A., E.C. Holmes, K.A. Staines, K.B. Smith, M.J. Stear, D.J. McKeever, N.D.

MacHugh, W.I. Morrison. 1999 Variation in the number of expressed MHC

genes in different cattle class I haplotypes. Dec;50(5-6):319-28.

Elrod, S. dan W. Stansfield. 2007. Genetika. (Damaring Tyas W. Pentj).

Erlangga.Jakarta.

Firouzamandi, M., J. Shoja, A. Barzegaridan E. Roshani. 2010. Study on the

association of BoLA-DRB3.2 alleles with clinical mastitis in Iranian

Holstein and Sarabi (Iranian native) cattle. African Journal of

Biotechnology. 9(15) : 2224-2228.

35

Gelhaus, A., L. Schnittger, D. Mehlitz, R. D. Horstmann, and C. G. Meyer. 1995.

Sequence and PCR-RFLP analysis of 14 novel BoLA-DRB3 alleles. Anim.

Genet. 26:147–153.

Gowane, G.R. A.K. Sharma, M. Sankar, K. Narayanan, B. Das, S. Subramaniam, B.

Pattnaik. 2013. Association of BoLA DRB3 alleles with variability in

immune response amongthe crossbred cattle vaccinated for foot-and-mouth

disease (FMD). Research in Veterinary Science 95 (2013) 156–163

Gilliespie, B.E. B.M. Jayarao, H.H. Dowlen and S.P. Oliver. 1999. Analysis and

frequency of bovine lymphocyte antigen DRB3.2 Alleles in Jersey cows.

Department of Animal Science, Institute of Agriculture, The University of

Tennessee, Knoxville, 37996. Department of Veterinary Science.

Pennsylvania State University, University Park, 16802-3500

Gunawan, D. Pamungkas, dan L. Affandhy. 2004. Sapi Bali, Potensi, Produktivitas

dan Nilai Ekonomi. Cetakan keenam. Kanisius, Yogyakarta.

Guntoro, S. 2002. Membudidayakan Sapi Bali. Kanisius. Yogyakarta.

Guillemot, F., N. Fréchin, A. Billault, A.M. Chaussé, R. Zoorob, C. Auffray, J.

Embo. 1988. Isolation of chicken major histocompatibility complex class II

(B-L) beta chain sequences: comparison with mammalian beta chains and

expression in lymphoid organs. Apr;7(4):1031-9.

Hartl, D.L. 1988. Principle of Population Genetic.Sinauer Associates, Inc.

Publisher.Sunderland.

Indrawan, M., R.B. Primack dan J. Supriatna. 2007. Biologi Konservasi. Yayasan

Obor Indonesia. Jakarta.

Kuby. 1997. Immunology. W.H. Freemsn Company. 3rdEdition. New York.

Kusumadarma.2011. Teknik Molekuler dalam Analisis Keragaman DNA.

http://kusumadarma17.blogspot.com/2011/07/teknik-molekuler-dalam-

analisis.html. Diakses Tanggal 11 Januari 2014.

Lewin, H.A., G.C. Russell, E. Glass. 1999. Comparative organization and function of

the major histocompatibility complex of domesticated cattle. Immunological

Revieews.Vol.167:145-158.

36

Maillard J.C., I. Chantal I, D. Berthier, I. Sidibe and H. Raza®ndraibe. 2000. BoLA-

DRB/DQB haplotypes as molecular markers of genetic susceptibility and

resistance to bovine dermatophilosis. ISAG 2000 (Abstract). Proceedings of

the 27th International Conference on Animal Genetics. July 22±26, 2000.

Minneapolis, Minnesota, p. 62.

Martojo, H. 1988. Performans Sapi Bali dan Persilanggannya. Dalam “Seminar

Eksport Ternak Potong”. Jakarta.

Martinez, M.L., M.A. Machado, C.S. Nascimento, M.V.G.B. Silva, L.R. Teodoro, J.

Furlong, M.C.A. Prata, A.L. Campos, M.F.M. Guimarães, A.L.S. Azevedo,

M.F.A. PiresandR.S. Verneque. 2006. Association of BoLA-DRB3.2 alleles

with tick (Boophilus microplus) resistance in cattle. Genetics and Molecular

Research, 5 (3): 513−524.

Mohamad, K., M. Olsson, H.T.A. Van Tol, S. Mikko, B.H. Vlamings, G. Andersson,

H.R. Martinez, B. Purwantara, R.W. Paling, B. Colenbranderand J. A.

Lenstra. 2009. On the origin of Indonesia cattle. Plos One 4(5): e5490.

Muladno. 2002. Teknologi Rekayasa Genetika. Pustaka Wirausaha Muda.Bogor.

Namikawa, T., Y. Matsuda, K. Kondo, B. Pangestu, and H. Martojo. 1980. Blood

groups and blood protein polymorphisms of different type s of cattle in

Indonesia. In the origin and phylogeny of Indonesia Native Livestock 33-

35.In The Research Group of Overseas Scientific Survey.

Nascimento, C.S., M.A. Machado, and M.L. Martinez. 2006. Association of the

bovine major histocompatibility complex (BoLA) BoLA-DRB3 gene with

fat and protein production and somatic cell score in Brazilian Gyr dairy

cattle (Bos indicus). Genetics Mol. Biol. 29:641-647.

Nei M, and Kumar S. 2000. Molecular Evolutian and Phylogenetics.Oxford

University Press.New York.

Nicholas, F.W. 1987. Veterinary Genetics.Oxford University Press.New York.

Nicholas, F.W. 1996. Introduction to Veterinary Genetics.Oxford University

Press.New York.

Pandjassarame, K. 2009. Bioinformation Discovery: Data to Knowledge in Biology.

Springer.

37

Park, L. K., P. Moran, D.A. Dightman. 1995. A polymorphism in intron D of the

chinook salmon growth hormone 2 gene. Animal Genetics, 26:277-

285.Diakses Tanggal 11 Januari 2014

Price, Wilson. 2005. Pathophysiology Edisi 6. EGC. Jakarta.

Puja, I.K., I.N. Wandia, P. Suastika, I.N.Sulabd. 2011. Polimorfisme genetik DNA

mikrosatellite gen BoLA lokus DRB3 pada sapi Bali (Bos indicus). Biota

Vol. 16 (2): 336−341, Juni 2011 ISSN 0853-8670

Purwantara, B., R.R. Noor, G. Anderson, and H. Rodriguez-Martinez. 2012. Banteng

and Bali cattle in Indonesia: status and forecast. Reprod Dom Anim, 47: 2-6.

Rahayu S., S.B Sumitro, T. Susilawati, dan Soemarno. 2006. Identifikasi

polimorfisme gen GH (Growth Hormone) sapi Bali dengan metode PCR-

RFLP. Berk.Penel. Hayati: 12 (7-11).

Sachinandan De, R.K. Singh and B. Brahma. 2011. Allelic diversity of major

histocompatibility complex class II DRB gene in Indian cattle and buffalo.

Molecular Biology International, 17.

Sambrook, K.J., E.F. Fritsch and T. Maniatis. 1989. Molecular Cloning Laboratory

manual 3rd

Ed. Cold Spring Harbour Lab. Press New York

Soller, M. and J.S. Backman.1983. Genetic polymorphism varietal identification and

genetic improvement. Theor. Appl. Genet., 67, 25-33.

Sommer, S. 2005. The importance of immune gene variability (MHC) in evolutionary

ecology and conservation.Frontiers in Zoology, 2: 1.

Stear, M.J., T.S. Pokony, S.E. Echternkamp, and D.D. Lunstra. 2007. The influence

of the BoLA-a locus on reproductive traits in cattle. Inter. J.

Immunogenetics. 16(1):77-88.

Sumadi, T., E. Hartatik,Romjali, S. Subandriyo,Subandiyah dan Hartati. 2008.

Identifikasi Karakteristik Genetik Sapi PO dan Silangannya di Peternakan

Rakyat. Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi

(KKP3T) TA 2008. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.

Suryanto, D. 2003. Melihat Keanekaragaman Organisme Melalui Beberapa Teknik

Genetika Molekuler. Program Studi Biologi Fakultas Matematika Dan Ilmu

Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. ©2003 Digitized By Usu

Digital Library.

38

Sutarno. 1999. Polimorphisme DNA Mitokondria dari BerbagaiJenis Sapi Pedaging

di Western Australia dan Bali. Universitas Sebelas Maret.Surakarta.

Tambasco D. D., C. C. P. Paz, M. Tambasco-Studart, A. P. Pereira, M. M. Alencar,

A. R. Freitas, L. L. Countinho, I.U. Packer and L. C. A. Regitano. 2003.

Candidate genes for growth traits in beef cattle Bos Taurus x Bos Indicus. J.

Anim. Bred. Genet. 120: 51-60.

Tegelstrom, H. 1992. Mithocondrial DNA in natural population: An improved routine

for screening of genetic bariation breed on sensitive silver staining.

Electrophoresis. 7:226-22.

Trinayani, N.N., I.N. Wandia, I.K. Puja. 2013. Asosiasi keragaman lokus DNA

mikrosatelit DRB3 gen BoLA dengan berat badan induk dan berat lahir

pedet pada sapi bali. Vol . 1, No. 2: 58-63

Tizard, I.R. 2000. Veterinary Immunology An Introduction. Sixth Edition. WB

Saunders Company. Harcourt Health Sciences Company. Philadelphia,

Pennsylvania.

Van der Warf, J. 2000. An overview of animal breeding programs. Di dalam :

Kinghorn B, Van der Werf J, editor. QTL course :Identifiying and

Incorporating Genetic Markers and Major Genes in Animal Breeding

Programs. Armidale, Australia : University of New England

Van Eijk M.J.T., Stewart-Haynes J.A. & Lewin H.A. (1992) Extensive polymorphism

of the BoLA-DRB3 gene distinguished by PCRRFLP. Animal Genetics, 23,

483±96.

Viljoen, G. J., L. H. Nel and J. R. Crowther. 2005. Molecular Diagnostic PCR

Handbook. Springer, Dordrecht, Netherland.

White, T.J. 1996. The future ofPCR technology: diversification of technologies and

applications. TIBTECH 14: 478-483.

Wu, X.X., Z.P. Yang, X.L. Wang, Y.J. Mao, S.C. Li, X.K. Shi, Y. Chen. 2010.

Restriction fragment length polymorphism in the exon 2 of the BoLA-DRB3

gene in Chinese Holstein of the south China. J. Biomedical Science and

Engineering 3: 221-225.

Yeh, F.C., R.C. Yang and T. Boyle.1999. POPGENE version 1.31 : Microsoft

Window-based Freeware for Population Genetic Analysis. Edmonton, AB.

Canada : University of Alberta Canada.

50

RIWAYAT HIDUP

WENY DWI NINGTIYAS (I 111 10 259), lahir di

Kendari, pada tanggal 20 Oktober 1992 dari pasangan Bayu

Nugroho, S.Pd dan St. Hartati. Penulis menyelesaikan

Pendidikan Taman Kanak-Kanak di TK. Islam Maradekaya

Makassar pada tahun 1998. Kemudian melanjutkan ke

tingkat Sekolah Dasar di SD. Negeri 01 Baruga selesai pada

tahun 2004, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah

Pertama di SMP. Negeri 4 Kendari selesai pada tahun 2007 dan melanjutkan ke

Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 5 Kendari selesai pada tahun 2010. Penulis

kemudian diterima di Universitas Hasanuddin Makassar, Fakultas Peternakan,

Jurusan Produksi Ternak melalui jalur SNMPTN pada tahun 2010. Selama kuliah

penulis pernah menjadi Asisten Mikrobiologi Hewan dan Fisiologi Ternak. Penulis

juga merupakan anggota Himpunan Produksi Ternak (HIMAPROTEK) periode

2011-2012, menjadi anggota Drum Corporation Hasanuddin Univercity periode

2012-2013, dan merupakan anggota KOHATI Himpunan Mahasiswa Islam Cabang

Makassar Timur periode 2012-2013.