polimorfisme -173 g ke c gen macrophage migration

140
POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION INHIBITORY FACTOR DENGAN KADAR ANGIOTENSIN II DAN MACROPHAGE INHIBITORY FACTOR SEBAGAI FAKTOR RISIKO SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID DISERTASI OKE RINA RAMAYANI NIM 088102002 PROGRAM STUDI DOKTOR (S-3) ILMU KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2014 Universitas Sumatera Utara

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION INHIBITORY FACTOR DENGAN KADAR ANGIOTENSIN II DAN

MACROPHAGE INHIBITORY FACTOR SEBAGAI FAKTOR RISIKO SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID

DISERTASI

OKE RINA RAMAYANI NIM 088102002

PROGRAM STUDI DOKTOR (S-3) ILMU KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2014

Universitas Sumatera Utara

Page 2: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION INHIBITORY FACTOR DENGAN KADAR ANGIOTENSIN II DAN

MACROPHAGE INHIBITORY FACTOR SEBAGAI FAKTOR RISIKO SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID

DISERTASI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk memperoleh Gelar Doktor dalam

Program Studi Ilmu Kedokteran pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara di bawah Pimpinan

Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc(CTM),Sp.A(K)

Untuk Dipertahankan Dihadapan Sidang Ujian Terbuka Universitas Sumatera Utara

Oleh

Oke Rina Ramayani NIM 088102002

PROGRAM STUDI DOKTOR (S3) ILMU KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2014

Universitas Sumatera Utara

Page 3: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Judul Penelitian : Polimorfisme -173 G ke C gen macrophage migration inhibitory factor dengan kadar angiotensin II dan macrophage inhibitory factor sebagai faktor risiko sindrom nefrotik resisten steroid

Nama Mahasiswa : Oke Rina Ramayani

No Induk Mahasiswa : 088102002

Program Studi : Doktor Ilmu Kedokteran

Menyetujui

Promotor Prof. dr.H. Aznan Lelo, PhD,SpFK

Co Promotor Prof. Dr.dr.H.Nanan Sekarwana,MARS,SpA(K)

Co Promotor Dr.dr.Hj.Partini P. Trihono, MMPaed, SpA(K)

Universitas Sumatera Utara

Page 4: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

PROMOTOR

Prof. dr. H. Aznan Lelo,PhD,SpFK Guru Besar Tetap Farmakologi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan

KO-PROMOTOR

Prof. Dr.dr.H.Nanan Sekarwana,MARS,SpA(K) Guru Besar Tetap Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung

KO-PROMOTOR

Dr. dr.Hj.Partini P.Trihono,MMPaed,SpA(K) Doktor Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

Universitas Sumatera Utara

Page 5: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Telah diuji pada Ujian Tertutup

Tanggal 16 Desember 2013

PANITIA PENGUJI DISERTASI Ketua : Prof. dr. H. Aznan Lelo,PhD,SpFK

Anggota : Prof. Dr.dr.H.Nanan Sekarwana,MARS,SpA(K) Dr.dr.Hj.Partini P.Trihono,MMPaed,SpA(K) dr.H.Ahmad Hamim Sadewa, PhD

Prof.dr.H.Harun Rasyid Lubis, SpPD-KGH

Dr. dr. Rosita Juwita Sembiring, SpPK

dr.Putri Chairani Eyanoer, MS.Epi, PhD

Universitas Sumatera Utara

Page 6: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertandatangan dibawah ini: Nama : Oke Rina Ramayani NIM : 088102002 Program Studi : Ilmu Kedokteran

Jenis Karya : Disertasi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-eksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas disertasi saya yang berjudul:

POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION INHIBITORY FACTOR DENGAN KADAR ANGIOTENSIN II DAN

MACROPHAGE INHIBITORY FACTOR SEBAGAI FAKTOR RISIKO SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan), dengan Hak Bebas Royalti Non-eksklusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola data bentuk database, merawat, dan mempublikasikan disertasi saya tanpa meminta izin dari saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta. Demikian pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya, Dibuat di Medan Pada tanggal 7 Januari 2014 Yang menyatakan (Oke Rina Ramayani)

Universitas Sumatera Utara

Page 7: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Hasil penelitian ini adalah hasil karya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Oke Rina Ramayani

NIM : 088102002

Materai 6000

Tanda Tangan

Universitas Sumatera Utara

Page 8: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Success is a journey, not a destination

Universitas Sumatera Utara

Page 9: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

RIWAYAT HIDUP

Nama : Oke Rina Ramayani

Tempat/tanggal lahir : Medan, 1 Februari 1974

Agama : Islam

Nama ayah : Prof.Dr.H.Rusdidjas, SpA(K)

Nama ibu : Prof.Dr.H.Rafita Ramayati, SpA(K)

Nama anak :Rasyid Ridha

Putri Ramayuli

Riwayat pendidikan:

1. Lulus S1 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (1997)

2. Lulus Spesialis Anak Fakultas Kedokteran USU (2005)

Riwayat pekerjaan:

1. Dokter PTT Puskesmas Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang,

Sumatera Utara (tahun 1998 – 2000)

2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara (tahun 2005-sekarang)

Organisasi:

1. Anggota Ikatan Dokter Indonesia/IDI

2. Anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia

3. Anggota Pernefri

Universitas Sumatera Utara

Page 10: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

UCAPAN TERIMA KASIH

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Dengan mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang sudah

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, serta telah memberikan

kesempatan kepada promovendus sehingga mampu menyelesaikan

penulisan disertasi ini. Shalawat kepada suri tauladan manusia, Rasulullah

Muhammad SAW semoga kita mendapat syafaat Baginda kelak di hari

Kebangkitan. Promovendus menyadari penelitian dan penulisan disertasi ini

masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan

hati promovendus mengharapkan masukan yang berharga dari semua

pihak pada masa yang akan datang. Pada kesempatan ini pula

perkenankan promovendus menyatakan penghargaan dan ucapan terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada:

Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu,

DTM&H,MSc(CTM),SpA(K); Dekan Fakultas Kedokteran USU,

Prof.dr.Gontar Alamsyah Siregar,SpPD,KGEH; Pembantu Dekan I,

Prof.dr.Guslihan Dasa Tjipta,SpA(K); Ketua Program Studi S-3 Kedokteran,

Prof.dr.Chairuddin P.Lubis, DTM&H, MSc, CTM, SpA(K); Sekretaris

Program Studi S-3, Prof.Dr.dr.Delfitri Munir,Sp.THT-KL; seluruh jajaran

yang telah memberi izin, dukungan serta motivasi kepada promovendus

untuk menyelesaikan Program Pascasarjana di USU.

Orang tua kandung promovendus: Ayahanda Prof.dr.H.Rusdidjas,

SpA(K) dan Ibunda Prof.dr.Hj.Rafita Ramayati,SpA(K) yang telah dan terus

Universitas Sumatera Utara

Page 11: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

memberi kasih sayang, serta mendidik promovendus hingga saat ini.

Promovendus persembahkan gelar ini untuk keduanya disertai do’a ananda

agar mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat.

Promotor dan kopromotor: Prof.dr.H.Aznan Lelo, PhD, SpFK,

Prof.Dr.dr.H.Nanan Sekarwana, MARS,SpA(K), dan Dr.dr.Hj. Partini P

Trihono, MMPaed,SpA(K) yang telah memberikan bimbingan ilmu kepada

promovendus dan dorongan semangat kerja keras untuk menyelesaikan

disertasi ini. Kepada ketiganya serta keluarga tersayang, promovendus

selalu berdo’a untuk kesehatan dan kebahagiaan dunia akhirat.

Selanjutnya, promovendus juga mengucapkan terima kasih dan

penghargaan setinggi-tingginya kepada tim penguji disertasi

Alm.Prof.dr.Iskandar Z.Lubis, SpA(K), Dr.Ahmad Hamim Sadewa, PhD,

Prof.dr.Harun Rasyid Lubis,SpPD-KGH, Dr.dr.Rosita Juwita Sembiring,

SpPK, dr.Putri Chairani Eyanoer, MS Epi, PhD serta seluruh staf pengajar

di lingkungan program S-3 Kedokteran FK USU.

Kepala Bagian Anak FK USU, Sekretaris Bagian Anak FK USU,

Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Anak dan seluruh staf pengajar di

lingkungan Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU, Ketua dan

pengurus IDAI, Cabang Sumatera Utara, yang telah memberi masukan dan

pengertian kepada promovendus untuk menyelesaikan disertasi ini

Seluruh pimpinan dan staf Lembaga Penelitian USU, Laboratorium

Terpadu FK USU, Laboratorium Biokimia FK UGM, Laboratorium Prodia,

RS H. Adam Malik, RS Columbia Asia, RS Malahayati, dan RS Santa

Elizabeth yang telah memberi fasilitas pengobatan selama promovendus

Universitas Sumatera Utara

Page 12: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

sakit, dan memberi izin fasilitas, sarana serta bantuan tenaga dalam

pelaksanaan penelitian.

Teman teman seperjuangan di bidang Nefrologi Anak terutama

Alm.dr.Dahler Bahrun, SpA(K), dr Syafruddin Haris SpA(K), dr Rosmayanti

Siregar,SpA, dr Afdal SpA, dr.Hertanti SpA, dr.Muhammad Nur,SpA,

promovendus ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas masukan

ilmu dan input pasien dari teman teman semua.

Teman-teman yang promovendus sayangi seperti Kak Bugis, Bang

Hendi, Kak Yuli, Kak Beqi, Bang Irfan, Bang Indra, Alm. Agustiar, Hema

Masyithah, Kak Mardiah, Maria Novalentina, Budi Lestari serta semua pihak

yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan

dalam terlaksananya penelitian serta penulisan disertasi ini.

Akhirnya, kepada Abanganda dr.Kiking Ritarwan,MKT,SpS(K),

drg.Andayani Prasulandari Trisnawiyasanti, Lulu Anindita Putri, Shafira

Pramesti Putri, Auryn Pradipta Ritarwan dan kedua buah hati promovendus:

Rasyid Ridha dan Putri Ramayuli, terima kasih atas kasih sayang dan

pengertian yang diberikan selama ini. Akhirnya promovendus berharap

semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Medan

Oke Rina Ramayani

Universitas Sumatera Utara

Page 13: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

ABSTRAK

Latar belakang: Penderita sindroma nefrotik resisten steroid (SNRS) cenderung berlanjut ke penyakit ginjal tahap akhir. Alel C -173 gen MIF (macrophage migration inhibitory factor) berkaitan dengan gangguan keseimbangan sitokin MIF dengan glukokortikoid, sehingga penderita SN resisten terhadap terapi steroid. Studi in vitro menunjukkan sitokin MIF diatur oleh angiotensin II. Induksi regulasi MIF oleh angiotensin II memengaruhi perkembangan hipertensi. Tujuan: Hubungan alel C -173 gen MIF dengan keberadaan MIF serum dan pengaturan oleh angiotensin II plasma pada individu SNRS belum diketahui.

Metode: Studi sekat lintang dilakukan pada 120 anak (steroid resisten, steroid sensitif dan anak sehat) sejak November 2011 hingga September 2012. Data yang dikumpulkan meliputi pemeriksaan fisis, tekanan darah, rasio albumin kreatinin urin, alel G atau C -173 gen MIF, MIF serum, dan angiotensin II plasma. Hasil: Frekuensi alel C tiga kali lebih tinggi pada SNRS dibandingkan dengan SNSS dan anak sehat (OR 2,79;IK 95% 1,13 sampai 6,89). Kadar MIF serum lebih tinggi pada SNRS (median 31,9 kisaran 14,3 sampai 117,2 ng/mL) dibandingkan dengan kedua grup lain (p=0,04). Kelompok SNRS menunjukkan kadar angiotensin II plasma (median 22,7 kisaran 3,1 sampai 153,4 pg/mL) lebih tinggi dibandingkan dengan grup lain (p=0,01). Korelasi angiotensin II plasma dengan MIF serum adalah korelasi positif yang sangat lemah (rho = 0,27; p=0.003). Pada analisis multivariat ditemukan bahwa alel C, hipertensi sistolik, dan diastolik sebagai variabel yang bermakna terhadap risiko SNRS. Variabel angiotensin II plasma dan MIF serum memengaruhi secara nyata terhadap variabel hipertensi, apabila tidak dimasukkan ke dalam model, sehingga tetap dipakai sebagai model terbaik.

Simpulan: Frekuensi alel C, kadar angiotensin II plasma, dan MIF serum lebih tinggi pada SNRS. Alel C, hipertensi sistolik, hipertensi diastolik, kadar angiotensin II plasma dan MIF serum merupakan model terbaik untuk analisis model keberadaan resisten steroid.

Kata kunci: sindrom nefrotik resisten steroid, polimorfisme -173 G ke C gen MIF, angiotensin II plasma, MIF serum, dan hipertensi

Universitas Sumatera Utara

Page 14: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

ABSTRACT

Background: Steroid-resistant nephrotic syndrome (SRNS) patients tend to progress to end-stage renal disease (ESRD). The MIF high producer -173 C allele has been associated with alterations in balance between MIF and glucocorticoids; resulting in NS patients resistant to steroid therapy. In vitro studies demonstrate cytokine MIF is regulated by angiotensin II. Induction of MIF by angiotensin II affects the development of hypertension

.

Aim:

Relationship MIF gene -173 C allele with the presence of serum MIF and plasma angiotensin II regulation for the individual SRNS is unknown.

Methods: A cross-sectional study was conducted with 120 consecutive children consisting of three groups (steroid-resistant, steroid-sensitive, and well children) between November 2011 and September 2012. Data were collected consist of physical examinations, blood pressure, urinary albumin-creatinine ratio, allele of -173 gene MIF, serum MIF and plasma angiotensin II. Results: The C allele was three times more frequent in SRNS than SSNS and well children (OR 2.79 95% CI 1.13 to 6.89). Group SRNS had significantly higher serum MIF (median 31.9 (14.3 to 117.2) ng/mL) compared to the levels in other groups (p=0.04). Marked increases in median plasma angiotensin II was observed in group SRNS (median 22.7 (3.1 to 153.4) pg/mL) compared with other groups (p=0.01). Plasma angiotensin II concentrations were very weak positive correlated with serum MIF (rho= 0.27; p=0.003). Although multivariate analysis found that the C allele, systolic and diastolic hypertension,as significant variables on the risk of SRNS, but variable levels plasma angiotensin II and serum MIF significantly affect variable hypertension, if not incorporated into this models

.

Conclusions: C allele polymorphism of the -173 MIF gene, plasma angiotensin II and serum MIF concentrations, are higher in SRNS. The C allele, systolic and diastolic hypertension, levels of plasma angiotensin II and serum MIF are the best fit model for steroid-resistant analysis models. Key words: steroid-resistant nephrotic syndrome, polymorphism -173 G to C MIF gene, plasma angiotensin II, serum MIF, hypertension

Universitas Sumatera Utara

Page 15: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

RINGKASAN

Sindroma nefrotik (SN) merupakan manifestasi glomerulopati yang

sering dijumpai pada anak. Keadaan ini ditandai dengan proteinuria

masif, hipoalbuminemia, edema dan hiperkolesterolemia. Lebih kurang

85%-90% SN pada anak merupakan sindroma nefrotik sensitif steroid

(SNSS), hanya 10%-15% merupakan sindroma nefrotik resisten steroid

(SNRS). Persentase kelompok ini relatif kecil namun dapat berkembang

menjadi gagal ginjal tahap akhir dalam waktu 1-4 tahun, oleh karena itu

prediksi terjadinya resisten steroid menjadi isu yang penting.

Perkembangan studi tentang biologi sel dan molekular berperan

dalam membantu klinisi menentukan respon terapi steroid. Individu

dengan polimorfisme G ke C -173 gen MIF memiliki risiko resisten

terhadap terapi steroid. Banyak penelitian menyebutkan hal itu, tetapi

belum jelas menerangkan apakah alel C sebagai faktor risiko, terkait

dengan kadar MIF serum yang tinggi

Umumnya sitokin-sitokin proinflamasi ditekan oleh aksi anti

inflamasi glukokortikoid. Sebaliknya pelepasan sitokin MIF dipicu oleh

glukokortikoid dan bekerja antagonis. Konsekuensi klinis hal ini adalah

efek glukokortikoid dapat dihambat oleh MIF apabila konsentrasi MIF

serum meningkat dan menyebabkan kerusakan pada ginjal tetap

berlanjut. Aksi antagonis MIF terhadap efek glukokortikoid diatur oleh

angiotensin II secara lokal (intrarenal) maupun sistemik. Persistensi

angiotensin II sistemik menyebabkan perkembangan hipertensi dan

proteinuria, dan kerusakan ginjal progresif. Subjek SN dengan alel C

gen -173 MIF memiliki risiko resisten terhadap steroid, namun apakah

subjek ini juga mengalami peningkatan kadar angiotensin II plasma dan

MIF serum sehingga resisten terhadap terapi steroid, belum diketahui.

.

Desain penelitian ini adalah studi potong lintang. Subjek terdiri

atas penderita SNRS dengan dua grup pembanding yaitu penderita

SNSS fase remisi dan anak sehat. Penderita SNRS adalah keadaan

pasien SN yang tetap mengalami proteinuria masif, setelah 4 minggu

Universitas Sumatera Utara

Page 16: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

dosis penuh prednison (2 mg/kg/hari). Data yang dikumpulkan melalui

rekam medis meliputi: identitas subjek, anamnesis gejala pada awal

masuk, ureum dan kreatinin darah, pengobatan yang diterima dan

luaran. Data yang dikumpulkan pada saat studi meliputi pemeriksaan

fisis (umur saat penelitian, berat dan tinggi badan, tekanan darah),

proteinuria kuantitatif, genotip polimorfisme -173 G ke C gen MIF, kadar

angiotensin II plasma dan MIF serum.

Frekuensi alel C tiga kali lebih tinggi pada SNRS dibandingkan

dengan SNSS dan anak sehat (OR 2,79;IK 95% 1,13 sampai 6,89).

Kadar MIF serum lebih tinggi pada SNRS (median 31,9 kisaran 14,3

sampai 117,2 ng/mL) dibandingkan dengan kedua grup lain (p=0,04).

Kelompok SNRS menunjukkan kadar angiotensin II plasma (median

22,7 kisaran 3,1 sampai 153,4 pg/mL) lebih tinggi dibandingkan

dengan grup lain ( p=0,01). Korelasi angiotensin II plasma dengan MIF

serum adalah korelasi positif yang sangat lemah (rho = 0,27; p =

0,003). Pada analisis multivariat ditemukan bahwa alel C, hipertensi

sistolik, dan diastolik sebagai variabel yang bermakna terhadap risiko

SNRS. Variabel angiotensin II plasma dan MIF serum memengaruhi

secara nyata terhadap variabel hipertensi, apabila tidak dimasukkan ke

dalam model, sehingga tetap dipakai sebagai model terbaik. Akhirnya,

angiotensin II memengaruhi regulasi MIF, merupakan mekanisme yang

berkontribusi terhadap perkembangan/pemeliharaan hipertensi.

Simpulan studi ini adalah frekuensi alel C, kadar angiotensin II

plasma, dan MIF serum lebih tinggi pada SNRS. Alel C, hipertensi

sistolik, hipertensi diastolik, kadar angiotensin II plasma dan MIF serum

merupakan model terbaik untuk analisis model keberadaan resisten

steroid. Mengingat simpulan studi ini, maka analisis polimorfisme gen

MIF dilakukan atas indikasi tertentu (SNRS yang disertai hipertensi)

dan perlu dikembangkan obat anti-MIF/penghambat MIF sebagai terapi

sparring steroid, sehingga pencegahan menuju gagal ginjal dapat

dioptimalkan.

Universitas Sumatera Utara

Page 17: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

SUMMARY

Nephrotic syndrome (NS) is a manifestation of glomerulopathy that

often found in children. It is characterized by massive proteinuria,

hypoalbuminemia, oedema and hypercholesterolemia. Approximately

85%-90% NS in children are steroid-sensitive nephrotic syndrome

(SSNS), only 10%-15% patients are steroid-resistant nephrotic

syndrome (SRNS). The percentage of this group is relatively small, but

can progress to end stage renal failure within 1-4 years. Therefore, the

prediction of steroid resistance is an important issue

The development of the study of cell and molecular biology play

a role in helping clinicians determine the response to steroid therapy.

Individuals with polymorphism G to C -173 MIF gene have a risk to

steroid resistance.

.

Many studies mentioned about risk of resistance

steroid in allele C -173 MIF gene but have not been clearly defined

whether this allele as a risk factor associated with serum MIF levels.

Generally, many proinflammatory cytokines suppressed by anti-

inflammatory action of glucocorticoids. This MIF cytokine is induced by

glucocorticoids, and then acts to counter-regulate the inflammatory

action of glucocorticoids. Higher MIF levels can inhibit the action

glucocorticoids and regulated by angiotensin II, either locally or

systemically. Persistence angiotensin II in systemic causes an increase

in the development of hypertension and proteinuria, and could

progressive to kidney damage. While MIF is central to determining

chronicity in steroid resistance, data regarding serum MIF, plasma

angiotensin II levels and hypertension regulation in SRNS are scarce.

The study design was cross-sectional study. Subjects consisted

of patients SRNS with two comparison groups namely phase remission

of SSNS and healthy children. SRNS was diagnosed for children who

had not responded to standard steroid treatment within 4 weeks of

initiation. Data collected through medical records include: identity of the

subject, the history of symptoms in the early entry, blood urea and

Universitas Sumatera Utara

Page 18: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

creatinine, treatment received and luaran. Data collected during the

study include physical examination (age at study, weight and height,

blood pressure), quantitative proteinuria, genotyping polymorphisms

-173 G to C MIF gene, plasma angiotensin II and serum MIF levels

The C allele was three times more frequent in SRNS than SSNS

and well children (OR 2.79 95% CI 1.13 to 6.89). Group SRNS had

significantly higher serum MIF (median 31.9 (14.3 to 117.2) ng/mL)

compared to the levels in other groups (p=0.04). Marked increases in

median plasma angiotensin II was observed in group SRNS (median

22.7 (3.1 to 153.4) pg/mL) compared with other groups (p=0.01).

Plasma angiotensin II concentrations were very weak positive

correlated with serum MIF (rho= 0.27; p=0.003).

.

Although multivariate

analysis found that the C allele, systolic hypertension, and diastolic as

significant variables on the risk of SNRS, but variable plasma

angiotensin II and serum MIF significantly affect variable hypertension,

if not incorporated into this models

The C allele polymorphism of -173 MIF gene, plasma

angiotensin II and serum MIF concentrations, are higher in SRNS.

Systolic and diastolic hypertension, C allele, levels of plasma

angiotensin II and serum MIF are the best fit model for steroid-resistant

analysis models.

. Finally, angiotensin II induced MIF

regulation may represent a mechanism that contributes to the

development/maintenance of hypertension.

Based on conclusions of this study, the MIF gene

polymorphism analysis will be conducted on specific indications (SRNS

patients accompanied by hypertension). The main hope for the effective

treatment of SRNS lies with newer drugs and novel treatments (such as

anti-MIF antibodies and antagonist MIF) as sparring steroid therapy.

Both of these approaches are necessary in order to optimally towards

prevention of renal failure

.

Universitas Sumatera Utara

Page 19: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

DAFTAR ISI

Halaman ABSTRAK........................................................................................... i ABSTRACT………………………………………………………………. ii RINGKASAN……………………………………………………………… iii SUMMARY………………………………………………………………… v DAFTAR ISI ..................................................... ................................ vii DAFTAR TABEL................................................................................. ix DAFTAR GAMBAR............................................................................ x DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................... xi DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH............................................... xii BAB I PENDAHULUAN…………………………………………...... 1

1.1 Latar Belakang......................................................... 1.2 Rumusan Masalah.................................................. 1.3 Tujuan Penelitian.....................................................

1.3.1. Tujuan umum................................................ 1.3.2. Tujuan khusus…………................................

1.4 Manfaat Penelitian.................................................. 1.4.1. Manfaat teori………………………................ 1.4.2. Manfaat bagi masyarakat……………………. 1.4.3. Manfaat aplikatif ........................................... 1.4.4. Manfaat bagi pengembangan ilmu dan penelitian......................................................

1.5. Orisinalitas…………………………………………… 1.6. Potensi Hak Atas Kekayaan Intelektual…………..

1 6 7 7 7 7 7 8 8

8 8 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................... 9 2.1. Tinjauan Pustaka.....................................................

2.1.1. Sindroma Nefrotik, Sindroma Nefrotik Resisten Steroid……………………………....

2.1.2. Hipertensi sebagai Luaran Klinis SNRS…… 2.1.3. Genotip MIF dan Respon terhadap

Glukokortikoid ……………………………….. 2.1.4. Peran Angiotensin II Regulasi Tekanan

Darah…………………………………………. 2.1.5. Angiotensin II sebagai Regulator MIF........... 2.1.6. MIF dan Sensitivitas Glukokortikoid.............. 2.1.7. Hubungan Peningkatan MIF dan

Angiotensin II dengan Kerusakan Ginjal …. 2.2. Kerangka Pemikiran, dan Premis .......................... 2.3 Kerangka Konsep Penelitian………………………. 2.4 Hipotesis Penelitian ………………………………….

9

9 11

13

18 21 25

30 32

36 37

BAB III METODE PENELITIAN ..................................................... 39 3.1 Desain Penelitian.....................................................

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ................................. 3.3 Populasi Penelitian dan Justifikasi.......................... 3.4 Subjek Penelitian dan Cara Pemilihan Subjek …. 3.5 Estimasi Besar Sampel ...........................................

39 39 41 41 42

Universitas Sumatera Utara

Page 20: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

3.6 Kriteria Inklusi dan Eksklusi .................................... 3.6.1. Kriteria Inklusi untuk Kasus………………… 3.6.2. Kriteria Inklusi untuk Grup Pembanding…… 3.6.3. Kriteria Eksklusi……………………………….

3.7 Informed Consent dan Ethical Clearence................ 3.8 Alur Kerja................................................................. 3.9 Data yang Dikumpulkan........................................... 3.10 Pemeriksaan............................................................

3.10.1. Pemeriksaan Antropometris………………… 3.10.2. Pemeriksaan Fisis Tekanan Darah ………... 3.10.3. Pemeriksaan Proteinuria Kuantitatif……….. 3.10.4. Analisis Genotip Polimorfisme-173 G ke C

Gen MIF………………………………………. 3.10.5. Analisis Angiotensin II Plasma……………. 3.10.6. Analisis MIF Serum………………………….

3.11 Identifikasi Variabel…………………………………. 3.12 Definisi Operasional………………………………… 3.13 Pengolahan dan Analisis Data.................................

45 45 45 46 46 47 47 48 48 48 49

50 51 52 52 53 55

BAB IV HASIL PENELITIAN…………………………………………. 4.1 Demografi Subjek Penelitian................................... 4.2 Distribusi dan Hubungan Alel C -173 Gen MIF Menurut Grup…………………………………………. 4.3 Sebaran dan Hubungan Konsentrasi Angiotensin II Plasma dan MIF Serum Menurut Grup ……………. 4.4 Korelasi Antara Angiotensin II dan MIF……………. 4.5 Analisis Multivariat…………………………………… 4.6 Pengujian Hipotesis………………………………….

56 56 58 61 62 63 66

BAB V PEMBAHASAN ……………………………………………… 68 5.1 Polimorfisme -173 G Ke C Gen MIF Sebagai

Faktor Risiko SNRS................................................. 5.2 Kadar MIF Serum dan Antagonisme Steroid:

Faktor Risiko SNRS ………………………….……… 5.3 Kadar Angiotensin II Plasma dan Hipertensi:

Faktor Risiko SNRS…………………………………. 5.4 Analisis Korelasi dan Multivariat Frekuensi Alel

MIF, Kadar Angiotensin II Plasma dan Kadar MIF Serum Secara Bersama sama dengan Hipertensi Terhadap Risiko SNRS………………………………

5.5 Hipertensi, Angiotensin II Sistemik dan Peranan dalam Gangguan Struktur/Fungsi Ginjal…………..

5.6 Hubungan Sitokin MIF Terhadap Proteinuria Menetap dan Gangguan Struktur/Fungsi Ginjal….

5.7 Kelebihan dan Kelemahan Studi ............................

68 72 74 76 80 82 84

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN …………………………………. 86 DAFTAR PUSTAKA........................................................................... 88 LAMPIRAN ........................................................................................ 102

Universitas Sumatera Utara

Page 21: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

DAFTAR TABEL

No

Judul Halaman

1. Faktor Risiko Genetik Resisten Steroid pada SN………. 15 2. Asal Subjek Penelitian……………………………………… 56 3. Karakteristik Demografi Subjek Penelitian ……………… 57 4. Perbedaan Frekuensi Hipertensi diantara Grup………… 57 5. Frekuensi Tata Laksana yang Diperoleh Subjek SN…… 58 6. Distribusi Antara Grup dan Frekuensi Alel………………. 59 7. Hubungan Grup dengan Alel C -173 Gen MIF………….. 59 8. Kondisi Genotip Polimorfisme -173 G Ke C Gen MIF di

dalam Studi…………………………………………………..

60 9. Hubungan Angiotensin II dan MIF Antara Grup ……….. 62

10. Analisis Bivariat Faktor Risiko Resisten Steroid pada SN……………………………………………………………..

63

11. Model Pertama Keberadaan Resisten Steroid…………... 64 12. Model Kedua Keberadaan Resisten Steroid…………….. 64 13. Nilai Kekuatan Interaksi Variabel Pada Model………….. 65

14. Perbandingan dengan Studi Lain tentang Frekuensi Alel MIF…………………………………………………………….

68

Universitas Sumatera Utara

Page 22: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

DAFTAR GAMBAR

No

Judul Halaman

1. Hubungan Glomerulopati dengan Hipertensi ........ 13 2. Struktur Gen MIF Manusia..................................... 16 3. Hubungan antara MIF, Glukokortikoid dan

Inflamasi………………………………………………

17 4. Struktur Tiga Dimensi MIF Manusia……………… 25 5. Target Kerja Glukokortikoid dan MIF …………….. 28

6 Hubungan Peningkatan MIF dengan Kerusakan Ginjal…………………………………………………

31

7. Peranan Angiotensin II dalam Kerusakan Ginjal…………………………………………………..

32

8. Kerangka Konsep Penelitian………………………. 38 9. Cara Pemilihan Subjek Studi………………………. 42

10. Alur Kerja ………………………………..…………... 47 11. Gambaran Elektroforesis Produk PCR Setelah

Digesti dengan Enzim Alu I dari Ketiga Genotip…

60 12 Boxplot Kadar Angiotensin II pada Setiap Grup…. 61 13. Boxplot Kadar MIF pada Setiap Grup…………….. 61 14. Scatter Plot Kadar MIF dan Angiotensin II………. 62 15. Ilustrasi Keadaan Respon Individu Terhadap

Steroid Dihubungkan dengan SNP -173 G Ke C Gen MIF………………………………………………

71

Universitas Sumatera Utara

Page 23: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul

Halaman

1. Tabel Tekanan Darah Anak Laki-laki....................... 102 2. Tabel Tekanan Darah Anak Perempuan………….. 103 3 Lembar Penjelasan Subjek/Orang Tua……………. 104 4. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan................. 106 5. Status Pemeriksaan................................................. 107

6. Persetujuan Komite Etik……………………………… 108 7. Prosedur Operasional Standar Pemeriksaan

Polimorfisme -173 G Ke C Gen MIF………………..

109 8. Prosedur Operasional Standar Pemeriksaan

Angiotensin II Plasma..............................................

110 9. Prosedur Operasional Standar Pemeriksaan MIF

Serum.......................................................................

111 10. Daftar Riwayat Hidup............................................... 112

Universitas Sumatera Utara

Page 24: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH

ACE = Angiotensin converting enzyme

ACEI = Angiotensin converting enzyme inhibitor

ADH = Anti diuretic hormone

Ang II = Angiotensin II

AP-1 = Activator protein-1

ARB = Angiotensin receptor blocker

AT1

AT

R = Angiotensin II type 1 receptor

2

bp = base pair

R = Angiotensin II type 2 receptor

CD = Cluster of differentiation

CDC = Centers for Disease Control and Prevention

cPLA2 = cytoplasmic phospho lipase A2

CREB = cAMP response element binding protein

CVO = Circumventricular organ

DNA = Deoxyribosa Nucleic Acid

EDTA = Ethylen diamine tetra acetate

eGFR = estimated glomerular filtration rate

EIA = Enzyme immune assay

ELISA = Enzyme linked immunosorbent assay

ERK 1/2 = Extracelllular signal-regulated kinase 1/2

ESCAPE = Effect of strict blood pressure control and ACE inhibition

on the progression of CRF in pediatric patients

HPA = Hypothalamic pituitary axis

HTD = Hipertensi diastolik

HTS = Hipertensi sistolik

IFN = Interferon

IK 95% = Interval kepercayaan 95%

IκB = Inhibitor of NF-κB

IL = Interleukin

ISKDC = International Standard of Kidney Disease in Children

JAB 1 = Jun activation-domain binding protein 1

Universitas Sumatera Utara

Page 25: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

MAPK = Mitogen activated protein kinase

MDR-1 = Multi drug resistance-1

MHC = Major histocompatibility complex

MIF = Macrophage migration inhibitory factor

mRNA = massengers ribosa nucleic acid

Na K ATP ase= Natrium kalium adenosine tryphosphatease

NCHS = National Center for Health Statistics

NF-κB = Nuclear factor-κB

NHBPEP = National High Blood Pressure Education Program

NKF-K/DOQI= National Kidney Foundation Kidney Disease Outcomes

Quality Initiative

NR3C1 = Nuclear receptor subfamily 3, group C, member 1

OR = Odds ratio

PCR-RFLP = Polymerase chain reaction-restriction fragment length

polymorphism

PGK = Penyakit ginjal kronik

rpm = round per minute

SB = Simpangan baku

SN = Sindroma nefrotik

SNP = Single nucleotide polymorphism

SNRS = Sindrom nefrotik resisten steroid

SNSS = Sindrom nefrotik sensitif steroid

SRAA = Sistim renin angiotensin aldosteron

SSP = Susunan saraf pusat

TDS = Tekanan darah sistolik

TDD = Tekanan darah diastolik

Th = T helper

TLR = Toll-Like receptor

TNF α = Tumor necrosis factor α

UACR = Urinary albumine creatinine ratio

UKK = Unit Kerja Koordinasi

Universitas Sumatera Utara

Page 26: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

ABSTRAK

Latar belakang: Penderita sindroma nefrotik resisten steroid (SNRS) cenderung berlanjut ke penyakit ginjal tahap akhir. Alel C -173 gen MIF (macrophage migration inhibitory factor) berkaitan dengan gangguan keseimbangan sitokin MIF dengan glukokortikoid, sehingga penderita SN resisten terhadap terapi steroid. Studi in vitro menunjukkan sitokin MIF diatur oleh angiotensin II. Induksi regulasi MIF oleh angiotensin II memengaruhi perkembangan hipertensi. Tujuan: Hubungan alel C -173 gen MIF dengan keberadaan MIF serum dan pengaturan oleh angiotensin II plasma pada individu SNRS belum diketahui.

Metode: Studi sekat lintang dilakukan pada 120 anak (steroid resisten, steroid sensitif dan anak sehat) sejak November 2011 hingga September 2012. Data yang dikumpulkan meliputi pemeriksaan fisis, tekanan darah, rasio albumin kreatinin urin, alel G atau C -173 gen MIF, MIF serum, dan angiotensin II plasma. Hasil: Frekuensi alel C tiga kali lebih tinggi pada SNRS dibandingkan dengan SNSS dan anak sehat (OR 2,79;IK 95% 1,13 sampai 6,89). Kadar MIF serum lebih tinggi pada SNRS (median 31,9 kisaran 14,3 sampai 117,2 ng/mL) dibandingkan dengan kedua grup lain (p=0,04). Kelompok SNRS menunjukkan kadar angiotensin II plasma (median 22,7 kisaran 3,1 sampai 153,4 pg/mL) lebih tinggi dibandingkan dengan grup lain (p=0,01). Korelasi angiotensin II plasma dengan MIF serum adalah korelasi positif yang sangat lemah (rho = 0,27; p=0.003). Pada analisis multivariat ditemukan bahwa alel C, hipertensi sistolik, dan diastolik sebagai variabel yang bermakna terhadap risiko SNRS. Variabel angiotensin II plasma dan MIF serum memengaruhi secara nyata terhadap variabel hipertensi, apabila tidak dimasukkan ke dalam model, sehingga tetap dipakai sebagai model terbaik.

Simpulan: Frekuensi alel C, kadar angiotensin II plasma, dan MIF serum lebih tinggi pada SNRS. Alel C, hipertensi sistolik, hipertensi diastolik, kadar angiotensin II plasma dan MIF serum merupakan model terbaik untuk analisis model keberadaan resisten steroid.

Kata kunci: sindrom nefrotik resisten steroid, polimorfisme -173 G ke C gen MIF, angiotensin II plasma, MIF serum, dan hipertensi

Universitas Sumatera Utara

Page 27: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

ABSTRACT

Background: Steroid-resistant nephrotic syndrome (SRNS) patients tend to progress to end-stage renal disease (ESRD). The MIF high producer -173 C allele has been associated with alterations in balance between MIF and glucocorticoids; resulting in NS patients resistant to steroid therapy. In vitro studies demonstrate cytokine MIF is regulated by angiotensin II. Induction of MIF by angiotensin II affects the development of hypertension

.

Aim:

Relationship MIF gene -173 C allele with the presence of serum MIF and plasma angiotensin II regulation for the individual SRNS is unknown.

Methods: A cross-sectional study was conducted with 120 consecutive children consisting of three groups (steroid-resistant, steroid-sensitive, and well children) between November 2011 and September 2012. Data were collected consist of physical examinations, blood pressure, urinary albumin-creatinine ratio, allele of -173 gene MIF, serum MIF and plasma angiotensin II. Results: The C allele was three times more frequent in SRNS than SSNS and well children (OR 2.79 95% CI 1.13 to 6.89). Group SRNS had significantly higher serum MIF (median 31.9 (14.3 to 117.2) ng/mL) compared to the levels in other groups (p=0.04). Marked increases in median plasma angiotensin II was observed in group SRNS (median 22.7 (3.1 to 153.4) pg/mL) compared with other groups (p=0.01). Plasma angiotensin II concentrations were very weak positive correlated with serum MIF (rho= 0.27; p=0.003). Although multivariate analysis found that the C allele, systolic and diastolic hypertension,as significant variables on the risk of SRNS, but variable levels plasma angiotensin II and serum MIF significantly affect variable hypertension, if not incorporated into this models

.

Conclusions: C allele polymorphism of the -173 MIF gene, plasma angiotensin II and serum MIF concentrations, are higher in SRNS. The C allele, systolic and diastolic hypertension, levels of plasma angiotensin II and serum MIF are the best fit model for steroid-resistant analysis models. Key words: steroid-resistant nephrotic syndrome, polymorphism -173 G to C MIF gene, plasma angiotensin II, serum MIF, hypertension

Universitas Sumatera Utara

Page 28: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindroma nefrotik (SN) merupakan manifestasi glomerulopati yang

sering dijumpai pada anak. Sindroma nefrotik merupakan keadaan klinis

yang ditandai dengan proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema dan

hiperkolesterolemia (Vogt dan Avner, 2007). Angka kejadian SN di

Amerika berkisar antara 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun (Eddy

dan Symons, 2003). Anak-anak keturunan Asia Selatan memiliki tingkat

insidens 7,4 per 100.000 anak per tahun dan anak ras lain mencapai 1,6

per 100.000 anak per tahun (McKinney et al., 2001). Di Indonesia,

insidens SN dilaporkan 6 per 100.000 anak per tahun pada anak berusia

kurang dari 14 tahun (Wirya, 1992). Data penyakit ginjal anak di

Indonesia yang dikumpulkan dari tujuh Pusat Pendidikan Dokter Spesialis

Anak memperlihatkan bahwa SN merupakan penyakit yang paling sering

dijumpai (35%) di poliklinik nefrologi (UKK Nefrologi, 2008).

Luaran klinis penyakit ini bergantung pada umur saat presentasi,

gambaran histopatologis, keberadaan hematuria dan hipertensi, gangguan

fungsi ginjal, dan respons terhadap terapi steroid (Bagga dan Mantan,

2005). Prognosis SN pada anak berkorelasi dengan spektrum respons

terapi steroid, yaitu mulai dari SN sensitif steroid (SNSS) hingga SN

resisten steroid (SNRS). Kira-kira 90% anak dengan SN idiopatik sensitif

terhadap terapi steroid dan hanya 10% anak yang tidak respon (resisten)

Universitas Sumatera Utara

Page 29: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

terhadap steroid (Cattran, 2000). Insidens kasus SNRS pada anak

mencapai 0,3 per 100.000 anak per tahun (Mc Kinney et al., 2001).

SNRS merupakan penyebab tersering penyakit ginjal tahap akhir

pada anak. Walaupun persentase penderita anak dengan SNRS kecil,

grup ini berisiko mengalami komplikasi ekstrarenal dan berkembang

menjadi penyakit ginjal tahap akhir (Niaudet et al., 2004). Prediksi

terhadap kemungkinan menjadi resisten terhadap steroid menjadi amat

penting bagi seorang anak penderita SN agar terhindar dari penyakit ginjal

tahap akhir dan biaya pengobatan yang cukup mahal.

Perkembangan studi tentang biologi sel dan molekular membantu

klinisi dalam menentukan respon terapi. Gen ataupun petanda protein

menjadi tujuan kajian tentang respon steroid pada SN (Yi dan He, 2006).

Adapun faktor yang diduga berpengaruh terhadap respon terapi steroid

adalah jumlah reseptor glukokortikoid dan faktor genetik (Haack et al.,

1999). Individu dengan perubahan gen macrophage migration inhibitory

factor (MIF) nukleotida tunggal G ke C (single nucleotide G to C

polymorphism) pada posisi -173 berisiko resisten terhadap terapi steroid

oleh karena hambatan glukokortikoid endogen dan penurunan respon

terhadap glukokortikoid eksogen. Hal ini menyebabkan individu dengan

polimorfisme G ke C rentan terhadap penyakit inflamasi yang seharusnya

dapat ditata laksana dengan steroid (Vivarelli et al., 2008; Aeberli et al.,

2006), dan berkaitan dengan perburukan fungsi ginjal (Vivarelli et al.,

2008). Polimorfisme secara fungsional berhubungan dengan ekspresi

MIF yang lebih tinggi secara in vitro dan peningkatan level MIF serum

Universitas Sumatera Utara

Page 30: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

secara in vivo (Donn et al., 2002). Walaupun demikian berbagai penelitian

di atas belum jelas menerangkan apakah polimorfisme -173 G ke C gen

MIF sebagai faktor risiko pada individu SNRS berhubungan dengan

peningkatan level MIF serum.

Macrophage migration inhibitory factor (MIF) merupakan suatu

sitokin yang bersifat pleiotrophic (suatu sitokin yang bekerja terhadap

berbagai jenis sel yang menimbulkan berbagai efek). Sumber utama MIF

berasal dari berbagai organ dan distribusinya hampir merata di seluruh

jaringan tubuh. Hal ini mendukung teori bahwa pelepasan MIF ke sirkulasi

darah terjadi dari penyimpanan MIF di intra sel (Lue, 2003). MIF tersimpan

pada sitoplasma sel dan pengeluarannya ke ekstrasel dirangsang oleh

berbagai faktor, misalnya oleh angiotensin II (Rice et al.,2003). Studi in

vitro menunjukkan bahwa pelepasan MIF dari intrasel diatur oleh

angiotensin II (Rice et al.,2003), tetapi penelitian in vivo tentang hal ini

belum ada.

Sumber utama MIF di ginjal berasal dari sel-sel glomerulus

terutama podosit dan sel-sel epitel tubulus (Hattori et al., 1999) Peranan

MIF dalam memicu kerusakan ginjal terjadi melalui dua cara yaitu

merangsang pembentukan banyak mediator inflamasi (IL-1B, TNF-α, IL-6,

nitric oxide, reactive oxygen species) dan bekerja antagonis terhadap

glukokortikoid (Stosic et al., 2009). Apabila efek glukokortikoid tidak

bekerja pada sel-sel di ginjal, proses kerusakan ginjal akan berlanjut dan

ditandai dengan proteinuria menetap, walaupun setelah diberikan dosis

penuh terapi steroid (Lan, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Page 31: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Efek MIF yang kedua ini menjadi dasar bagi penelitian penyakit-

penyakit yang menggunakan steroid sebagai terapi utama, termasuk juga

SN. Meskipun demikian, bukan berarti efek yang pertama tidak berperan

di dalam patogenesis SN karena efek yang pertama ini dipengaruhi oleh

gambaran/corak histopatologis penderita SN yang juga memunyai

peranan di dalam resistensi terapi steroid. Prosedur biopsi ginjal relatif

invasif pada anak-anak sedangkan pengukuran kadar MIF dalam darah

relatif kurang invasif sehingga dipakai untuk menerangkan peranannya

dalam antagonisme steroid.

Sitokin-sitokin proinflamasi, selain MIF, ditekan oleh aksi anti

inflamasi glukokortikoid. Sebaliknya, pelepasan sitokin MIF dipicu oleh

glukokortikoid dan selanjutnya, bekerja sebagai antagonis glukokortikoid

(Petrovsky et al., 2003; Lan,2008). Konsekuensi klinis hal ini adalah efek

glukokortikoid dapat dihambat oleh MIF apabila konsentrasi MIF serum

meningkat dan menyebabkan kerusakan pada ginjal tetap berlanjut.

Penelitian Yang et al.(1998) menemukan bahwa apabila efek MIF

dinetralkan secara imunologis,akan terjadi peningkatan kadar serum

kortikosteron endogen. Hal ini berkorelasi dengan perbaikan proteinuria,

dan perbaikan kerusakan histologis pada glomerulus. Apabila kadar MIF

serum terlalu meningkat (di atas 100 pg/mL), berarti telah terjadi

kerusakan ginjal yang berat. Hal ini dibuktikan oleh Bruchfeld et al.(2009)

bahwa kadar MIF serum pada penderita penyakit ginjal kronik derajat 3-5

(kerusakan ginjal berat) lebih tinggi secara bermakna dibandingkan

dengan kontrol (p=0,008).

Universitas Sumatera Utara

Page 32: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Glukokortikoid memicu pengeluaran MIF dari dalam sel dan

bersirkulasi di plasma. Apabila pengeluaran MIF telah terjadi maka ia

bekerja antagonis terhadap glukokortikoid. Aksi antagonis MIF terhadap

efek glukokortikoid diatur oleh angiotensin II (Gasparo et al., 2000),

Keberadaan angiotensin II di jaringan ginjal dipengaruhi oleh

pengambilan (uptake) angiotensin II dari sirkulasi ataupun dari

pembentukan lokal di jaringan ginjal. Kedua hal ini menyebabkan

peningkatan kadar angiotensin II di sirkulasi apabila terjadi atau

berlangsung secara terus menerus (van Kats et al., 2001).

Regulasi MIF oleh peningkatan angiotensin II menyebabkan

perkembangan hipertensi dan proteinuria (Rice et al., 2003; Busche et al.,

2001; Wolf et al., 2003). Hipertensi dan proteinuria pada penderita SNRS

memunyai peran penting dalam perburukan fungsi ginjal (Meer et al.,

2010).

Peranan MIF terhadap glukokortikoid ditunjukkan dengan model

tikus defisiensi MIF yang diperankan oleh tikus delesi gen MIF (MIFP

־P /P

־P ).

Sebaliknya, tikus transgenik memiliki kadar MIF yang berlebihan. Pada

tikus delesi gen MIF terjadi peningkatan sensitivitas glukokortikoid (Aeberli

et al., 2006a; Aeberli et al., 2006b).

Pada subjek manusia dengan alel C memiliki kadar MIF yang lebih

tinggi daripada subjek GG homozigot (Donn et al., 2002; De Benedetti et

al., 2003). Subjek penderita SN dengan alel C -173 gen MIF memiliki

risiko resisten terhadap steroid (Berdelli et al., 2005; Vivarelli et al., 2008).

Namun, apakah subjek ini juga mengalami peningkatan kadar angiotensin

Universitas Sumatera Utara

Page 33: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

II dan peningkatan kadar MIF sehingga resisten terhadap terapi steroid,

belum pernah diteliti (sepanjang pengetahuan peneliti). Oleh karena itu,

kami ingin meneliti tentang hubungan polimorfisme -173 G ke C gen MIF,

dengan peningkatan kadar angiotensin II plasma dan MIF serum secara

bersama-sama dengan hipertensi pada anak penderita SN resisten steroid

dibandingkan dengan penderita SN sensitif steroid dan anak sehat.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, dapat dirumuskan

pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1.2.1 Apakah frekuensi alel C -173 gen MIF lebih tinggi pada anak

SNRS dibandingkan dengan SNSS dan anak sehat?

1.2.2 Apakah kadar angiotensin II plasma lebih tinggi pada anak SNRS

dibandingkan dengan SNSS dan anak sehat?

1.2.3 Apakah kadar MIF serum lebih tinggi pada anak SNRS

dibandingkan dengan SNSS dan anak sehat?

1.2.4 Apakah terdapat korelasi positif antara kadar MIF serum dan

kadar angiotensin II plasma?

1.2.5 Apakah frekuensi alel C -173 gen MIF, peningkatan kadar

angiotensin II plasma, dan MIF serum secara bersama-sama

dengan hipertensi, merupakan faktor risiko SNRS?

Universitas Sumatera Utara

Page 34: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Menentukan dasar hubungan polimorfisme -173 G ke C gen MIF, dengan

kadar angiotensin II plasma, dan MIF serum terhadap respon steroid

sehingga pasien SNRS terhindar dari progresivitas ke arah gagal ginjal.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Menganalisis data frekuensi genotip polimorfisme -173 G ke C gen

MIF pada anak penderita SNRS, SNSS, dan anak sehat

1.3.2.2 Menganalisis sebaran kadar angiotensin II plasma pada anak

penderita SNRS, SNSS, dan anak sehat

1.3.2.3 Menganalisis sebaran kadar MIF serum pada anak penderita

SNRS, SNSS, dan anak sehat

1.3.2.4 Menganalisis korelasi kadar angiotensin II plasma dan MIF serum.

1.3.2.5 Menganalisis hubungan alel C -173 gen MIF, peningkatan kadar

angiotensin II plasma,dan kadar MIF serum secara bersama-sama

dengan hipertensi terhadap risiko SNRS

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan berguna bagi dunia ilmu pengetahuan

dan kehidupan anak. Adapun manfaatnya sebagai berikut:

1.4.1 Manfaat teori. Studi ini meningkatkan pemahaman dan

pengetahuan tentang patofisiologi SNRS sehingga membantu

dokter dalam penatalaksanaan anak SNRS.

Universitas Sumatera Utara

Page 35: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

1.4.2 Manfaat bagi masyarakat. Studi ini membantu perencanaan

strategi pengobatan lebih awal terhadap anak SNRS sehingga

dapat mengurangi komplikasi akibat pemberian steroid jangka

panjang.

1.4.3 Manfaat aplikatif. Studi ini membantu anak SNRS dalam

mendapatkan terapi agresif selain steroid.

1.4.4 Manfaat bagi pengembangan ilmu dan penelitian. Sebagai

rujukan penelitian berikutnya yang berkaitan dengan SN.

1.5 Orisinalitas

Berdasarkan penelusuran kepustakaan, peneliti belum menemukan

penelitian tentang peran polimorfisme -173 G ke C gen MIF disertai

peningkatan kadar angiotensin II plasma dan MIF serum secara bersama

sama dengan hipertensi sebagai faktor risiko SNRS.

1.6 Potensi Hak atas Kekayaan Intelektual

Peranan polimorfisme -173 G ke C gen MIF, peningkatan kadar

angiotensin II plasma, dan MIF serum secara bersama-sama dengan

hipertensi dapat membantu klinisi dalam penatalaksanaan anak SNRS

agar terhindar dari progresivitas ke arah gagal ginjal.

Universitas Sumatera Utara

Page 36: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Sindroma Nefrotik, Sindroma Nefrotik Resisten Steroid

Sindroma nefrotik ditandai dengan gangguan selektif permeabilitas

kapiler glomerulus sehingga terjadi kehilangan protein melalui urin.

Proteinuria pada anak SN relatif selektif yang terdiri atas albumin dengan

kisaran nefrotik proteinuria mencapai 1000 mg/m2

Kejadian proteinuria merupakan kelainan dasar pada SN. Sebagian

besar proteinuria berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuria

glomerular). Filter kapiler glomerulus terdiri atas tiga lapisan, yaitu endotel,

membran basalis, dan sel epitel (podosit) dengan foot processes serta slit

diafragma. Glomerulus memiliki muatan negatif (charge selective barrier)

akibat adanya residu asam sialat pada glikokaliks yang melapisi epitel dan

endotel, serta adanya proteoglikan heparan sulfat pada membran basalis.

Muatan negatif sangat berkurang pada penderita SN sehingga

kemampuan menahan protein yang bermuatan negatif berkurang pula.

Steroid dapat mengembalikan kandungan sialoprotein kembali normal

sehingga penderita SN mengalami remisi. Selain gangguan pada muatan

negatif, pendataran foot process (gangguan pada size selective barrier)

juga diduga menjadi sebab terjadinya kebocoran protein (Haycock, 2003;

per hari atau rasio

protein kreatinin pada random (spot) urin mencapai 2 mg/mg (Bagga dan

Mantan, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Page 37: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Jalanko, 2003). Sel ini diduga mengalami perubahan morfologi selama

kejadian proteinuria.

Berbagai penelitian jangka panjang menunjukkan respon terhadap

pengobatan steroid lebih sering dipakai untuk menentukan prognosis

dibandingkan dengan gambaran patologi anatomi. Klasifikasi SN lebih

didasarkan pada respon klinik, yaitu SNSS dan SNRS. SN pada anak

85%-90% merupakan SNSS, hanya 10%-15% merupakan SNRS

(Niaudet, 1999), hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar populasi

anak penderita SN dapat terhindar dari prosedur invasif.

Kelompok SNRS adalah penderita yang tidak mengalami remisi

setelah diberikan terapi steroid dalam waktu empat minggu. Kelompok ini

terbagi atas dua kategori, yaitu resisten steroid primer dan resisten steroid

sekunder (Niaudet, 1999; Fydryk dan Querfeld, 2002). Persentase

kelompok ini relatif kecil, tetapi dapat berkembang menjadi gagal ginjal

tahap akhir dalam waktu 1-4 tahun. Oleh karena itu prediksi terjadinya

resisten steroid menjadi isu yang penting (Niaudet, 1993).

Banyak hal yang berkaitan dengan prediksi resisten steroid pada

anak, walaupun demikian secara garis besar dibagi atas karakteristik klinis

dan histologis. Para klinisi cenderung menggunakan karakteristik klinis

untuk prediksi tersebut, misalnya umur saat presentasi pertama kali,

keberadaan hematuria dan atau hipertensi.

Umur saat presentasi pertama kali di bawah usia 1 tahun, setelah

usia 6 tahun atau setelah pubertas memiliki kemungkinan menjadi resisten

steroid. Kejadian SN tidak biasa terjadi pada tahun pertama kehidupan

Universitas Sumatera Utara

Page 38: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

dan sangat jarang terjadi di bawah 6 bulan (Haycock,2003). Puncak

insidens SNSS maupun SNRS adalah umur prasekolah, sebanyak 80%

berumur kurang dari 6 tahun dengan median umur 2,5 tahun untuk SNSS

dan 6 tahun untuk SNRS (Niaudet,1999).

Begitu juga faktor hematuria dan atau hipertensi dapat menjadi

prediksi resisten steroid, masing-masing 30% dan 50%. Keadaan

hipertensi ditemukan pada 13% hingga 20,7% pada SNSS dan meningkat

menjadi 27% sampai 51,4% (masing masing untuk tekanan darah diastolik

dan tekanan darah sistolik) pada SNRS (ISKDC.,1978). Hematuria

mikroskopik ditemukan pada 22,7% kasus SNSS dan meningkat menjadi

67% pada SNRS (Niaudet,1999).

Kadar rasio protein kreatinin urin menjadi dasar bagi klinisi dalam

menentukan respon atau tidak terhadap terapi steroid. Penelitian Partini,

(2007) menemukan pasien SNRS mengalami kadar rasio protein kreatinin

urin yang berbeda secara bermakna bila dibandingkan dengan anak

tanpa penyakit ginjal ataupun anak dengan SN remisi (p<0,0001). Hal ini

menunjukkan bahwa rasio protein kreatinin urin pada pasien SNRS dapat

digunakan sebagai pedoman klinis respon terapi steroid.

2.1.2 Hipertensi sebagai Luaran Klinis SNRS

Hipertensi merupakan salah satu karakteristik klinik sebagai

prediksi resistensi steroid. Kemungkinan terjadinya resistensi steroid pada

anak SN yang mengalami hipertensi adalah 50%-60% (ISKDC, 1981;

ISKDC, 1978).

Universitas Sumatera Utara

Page 39: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Pengaturan tekanan darah amat dipengaruhi oleh pengaturan

volume cairan ekstrasel. Peningkatan volume cairan ekstrasel akan

meningkatkan volume darah dan tekanan darah sehingga pemantauan

jumlah cairan ekstrasel dilakukan dengan pemantauan tekanan darah.

Hipertensi pada SN ini diakibatkan perubahan aktivitas vasopresor atau

volume intravaskular, sedangkan aktivitas plasma renin dapat menurun

atau meningkat. Pada penurunan aktivitas plasma renin biasanya terjadi

retensi natrium, peningkatan volume ekstraselular, penurunan laju filtrasi

glomerulus dan normotensi. Pada penderita dengan peningkatan aktivitas

plasma renin memunyai volume arteri plasma efektif yang rendah dan laju

filtrasi glomerulus yang normal. Edema intrarenal menyebabkan

penurunan laju filtrasi glomerulus yang dapat menyebabkan ekspansi

volume plasma. Terapi kortikosteroid merupakan penyebab utama

hipertensi kronik karena kortikosteroid dapat meningkatkan respon

vaskular terhadap norepinefrin dan angiotensin II. Penderita hipervolemia

yang mengalami penurunan aktivitas plasma renin, lebih sering

mengalami hipertensi akibat terapi kortikosteroid (Gruskin et al., 1999).

Sebaliknya pada penderita hipovolemia dapat juga terjadi hipertensi akibat

respon vasokonstriksi yang diperantarai oleh angiotensin (Gambar 1).

Respon peningkatan tekanan darah akibat angiotensin II ini dapat

diukur dengan kadar angiotensin II di plasma. Penelitian Vollard, et al.

(1999) menemukan bahwa solid phase immobilized epitope immunoassay

merupakan cara yang sensitif dan spesifik dalam pengukuran angiotensin

II plasma (r=0,9).

Universitas Sumatera Utara

Page 40: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Gambar 1. Hubungan Glomerulopati dengan Hipertensi. Hipertensi dapat disebabkan oleh hipervolemia akibat retensi garam/air (perubahan volume) atau perubahan vasopresor oleh angiotensin II sekunder dari iskemia.

2.1.3 Genotip MIF dan Respon Terhadap Glukokortikoid

Perkembangan studi tentang biologi sel dan molekular berperan

dalam membantu klinisi menentukan respon terapi. Gen ataupun petanda

protein menjadi tujuan studi-studi respon terhadap steroid (Yi dan He,

2006). Faktor yang berpengaruh terhadap respon terapi steroid adalah

vasokonstriksi

Glomerulopati

iskemia Ekskresi air dan garam menurun

Pengeluaran renin oleh jukstaglomerular app

Angiotensinogen Angiotensin I

Angiotensin II

Aldosteron ADH Hipervolemia

Peningkatan tonus otot polos

Penghambatan Na K ATP ase peningkatan intrasel Na

Cardiac output meningkat

HIPERTENSI

Kerusakan arteriol

Peningkatan afterload

Kerusakan vaskular

Nefrosklerosis

Universitas Sumatera Utara

Page 41: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

jumlah dan afinitas reseptor glukokortikoid yang rendah (Haack et al.,

1999)

Efek biologis glukokortikoid terjadi melalui ikatan glukokortikoid

dengan reseptor glukokortikoid di membran sel. Ekspresi reseptor

glukokortikoid dijumpai pada berbagai jenis sel, termasuk di podosit (Yan

et al.,1999). Konfigurasi kompleks glukokortikoid dengan reseptor

berfungsi mempertahankan reseptor glukokortikoid punya afinitas tinggi

terhadap glukokortikoid (Barnes,2010).

Perubahan protein atau perubahan kuantitas reseptor

glukokortikoid menyebabkan resisten terhadap glukokortikoid.

Kebanyakan pasien anak dengan SN idiopatik memiliki jumlah reseptor

glukokortikoid yang banyak sehingga sensitif terhadap steroid, sedangkan

mereka yang mengalami nefritik nefrosis memiliki jumlah reseptor yang

sedikit sehingga resisten terhadap steroid (Yi dan He, 2006). Kandidat gen

di bawah ini umumnya bekerja dengan cara perubahan protein ataupun

perubahan kuantitas reseptor glukokortikoid (Tabel 1).

Apabila jumlah reseptor glukokortikoid berkurang ataupun afinitas

terhadap reseptor berkurang, respon individu terhadap steroid akan

berkurang. Begitu juga bila ada fosforilasi reseptor yang memengaruhi

sensitivitas terhadap glukokortikoid ataupun adanya peningkatan isoform

reseptor β glukokortikoid (Pujols et al., 2002) yang menyebabkan

terhambatnya pengikatan glukokortikoid oleh reseptor α glukokortikoid dan

menurunnya respon terhadap terapi steroid (Wikstrom, 2003;Towers et al.,

2005).

Universitas Sumatera Utara

Page 42: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Tabel 1. Faktor Risiko Genetik Resisten Steroid pada SN

Gen Peneliti Jumlah peserta

ACE insersi dan delesi

Sasongko, et al., 2005 85 kasus/ 68 kontrol

IL-4 Tripathi, et al., 2008

Acharya, et al., 2005

35 kasus/115 kontrol

84 kasus/ 61 kontrol

IL-12 B Jan, et al., 2008 79 kasus/ 87 kontrol

IL-13 Wei, et al., 2005 72 kasus/78 kontrol

Paraoxonase-1 Biyikli, et al., 2006 55 kasus/ 30 kontrol

MIF Berdelli, et al., 2005

Vivarelli, et al., 2008

214 kasus/103 kontrol

257 kasus/353 kontrol

Apolipoprotein E Kim, et al., 2003

Bruschi, et al.,2003

190 kasus/132 kontrol

139 kasus/70 kontrol

MDR-1 Funaki, et al., 2008

Stachowski, et al., 2000

14 pasien

39 pasien

NR3C1 Cho, et al., 2009 190 kasus/100 kontrol

Hal ini menunjukkan bahwa respon individu terhadap glukokortikoid

banyak dipengaruhi oleh kontrol gen atau perubahan struktur molekular

reseptor glukokortikoid. Pemberian glukokortikoid pada individu dengan

respon yang rendah akan meningkatkan efek samping pemakaian obat ini

bahkan risiko keparahan penyakit akan meningkat.

Posisi 5’ dari gen macrophage migration inhibitory factor (MIF)

mengandung elemen pengatur respon glukokortikoid (glucocorticoid

responsive element). Gen MIF pada genom manusia (Gambar 2) berlokasi

pada bagian long arm dari kromosom 22 (Arenberg dan Bucala, 2003;

Calandra dan Roger, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Page 43: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Gambar 2. Struktur Gen MIF Manusia. Gen MIF mengandung tiga ekson pendek (107, 172, dan 66 pasangan basa) dan dua intron (188 dan 94 pasangan basa). Regio 5’ mempunyai dua polimorfisme yaitu pada posisi -794 dan -173 (Calandra dan Roger, 2003).

Individu dengan perubahan gen macrophage migration inhibitory

factor (MIF) nukleotida tunggal G ke C (single nucleotide G to C

polymorphism) pada posisi -173 memunyai risiko untuk resisten terhadap

terapi steroid. Hal ini menyebabkan individu dengan polimorfisme G ke C

rentan terhadap penyakit inflamasi yang seharusnya dapat ditata laksana

dengan steroid. Individu alel C dengan penyakit SN berisiko terjadinya

hambatan glukokortikoid endogen dan penurunan respon terhadap

glukokortikoid eksogen oleh MIF (Vivarelli et al.,2008). Peningkatan kadar

MIF menghalangi efek glukokortikoid (Gambar 3) sehingga proses

antiinflamasi glukokokortikoid tidak bekerja (Aeberli et al., 2006a).

Gen MIF diekspresikan pada berbagai tipe sel dan diatur oleh

berbagai stimuli. Genotip MIF individual akan mengatur respons fisiologis

MIF dan selanjutnya, mengatur kemampuan MIF dalam antagonistik efek

glukokortikoid. Skrining genotif MIF pada saat awitan penyakit penting

Hal ini

memengaruhi perkembangan penyakit SN menjadi resisten steroid dan

penurunan fungsi ginjal dalam beberapa tahun (Vivarelli et al., 2008).

Universitas Sumatera Utara

Page 44: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

dalam mengidentifikasi pasien yang membutuhkan terapi agresif selain

steroid (Vivarelli et al., 2008).

1 2 3

Gambar 3. Hubungan antara MIF, Glukokortikoid dan Inflamasi. Gambar 3.1. Sitokin MIF mempengaruhi inflamasi begitu juga sebaliknya. 3.2. Glukokortikoid yang berasal dari adrenal maupun eksogen bekerja menghambat inflamasi, namun di sisi lain bekerja menginduksi MIF. 3.3. Efek MIF terhadap induksi glukokortikoid bekerja antagonis sehingga inflamasi terus berlangsung.

Aksi MIF dan efek terhadap glukokortikoid memberikan ide pada

berbagai penelitian untuk mencari variasi genetik MIF yang dapat

mempengaruhi ekspresi dan kegunaan fungsional. Glukokortikoid

endogen atau eksogen bekerja menghambat inflamasi, tetapi menginduksi

MIF, yang selanjutnya menghambat efek glukokortikoid. Antagonisme MIF

menghambat efek langsung MIF terhadap inflamasi dan kemudian,

menetralisasi antagonis glukokortikoid terhadap inflamasi (Morand, 2005).

Konsekuensinya adalah aktivitas MIF ini menjadi target potensial dalam

mengobati penyakit tersebut. Efek antagonis terhadap aksi glukokortikoid

memberikan efek yang menguntungkan terhadap netralisasi MIF bersama

dengan aktivitas antiinflamasi glukokortikoid.

Universitas Sumatera Utara

Page 45: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Promoter MIF mengandung polimorfisme nukleotida tunggal G ke C

(single nucleotide G to C polymorphism) pada posisi -173. Studi Berdeli et

al., 2005 di Turki menemukan peran alel C merupakan faktor risiko terjadi

resisten steroid (OR= 3,6; 95 CI% 2,2 sampai 6,0). Penderita dengan

genotip CC menunjukkan umur yang lebih muda saat awitan proteinuria

dan berisiko lebih tinggi mengalami gangguan fungsi ginjal menetap

(OR=5,43, p=0,013). Penelitian lain oleh Vivarelli et al., 2008 menemukan

hubungan polimorfisme MIF dengan progresivitas menuju PGK tahap

akhir, ditunjukkan dengan analisis survival dalam 5 tahun sejak awitan

penyakit. Penderita SN dengan alel C mengalami luaran klinis yang lebih

jelek dibandingkan penderita SN dengan alel G .

Kedua penelitian tersebut di atas belum jelas menerangkan apakah

polimorfisme -173 G ke C gen MIF sebagai faktor risiko SNRS

berhubungan dengan level MIF serum. Polimorfisme secara fungsional

berhubungan dengan ekspresi MIF yang lebih tinggi secara in vitro dan

peningkatan level MIF serum secara in vivo (Donn et al., 2002). Penelitian

lain oleh De Benedetti,et al.(2003) pada penderita juvenil arthritis

menemukan kadar MIF serum lebih tinggi pada subjek yang memiliki alel

C (median 20,8 ng/ml) dibandingkan genotip GG (median 10,8 ng/ml)

(p=0.017), namun belum ada penelitian pada penderita SNRS.

2.1.4 Peran Angiotensin II Regulasi Tekanan Darah

Pengaturan tekanan darah di dalam tubuh dapat dibagi tiga bagian,

yaitu mekanisme cepat, jangka menengah, dan jangka panjang.

Mekanisme kontrol tekanan darah secara cepat diatur oleh mekanisme

Universitas Sumatera Utara

Page 46: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

umpan balik baroreseptor, respons iskemik SSP, dan kemoreseptor.

Kombinasi ketiga mekanisme ini bekerja sangat kuat dan cepat dalam

mengatur tekanan darah. Selanjutnya, terdapat mekanisme kontrol

tekanan darah yang bersifat jangka menengah (dalam 30 menit sampai

dengan beberapa jam setelah pengaturan akut) yang diperankan oleh

mekanisme vasokonstriktor renin angiotensin; stres dan relaksasi

pembuluh darah; dan pergeseran cairan melalui dinding kapiler untuk

mengatur volume darah. Mekanisme kontrol tekanan darah yang bersifat

jangka panjang diperankan ginjal melalui mekanisme pengaturan volume

darah dan sistem renin angiotensin aldosteron (Guyton, 1991).

Dua hal utama yang mempengaruhi tekanan darah adalah curah

jantung dan tahanan sistemik vaskular. Keduanya diatur oleh kombinasi

mekanisme jangka pendek (termasuk intermediet) ataupun jangka

panjang. Mekanisme jangka pendek mengatur tahanan sistemik vaskular,

kapasitansi kardiovaskular, dan penampilan kardiak (frekuensi jantung

dan kontraksi). Pada mekanisme jangka panjang curah jantung diatur oleh

alir balik vena. Alir balik vena diatur oleh volume darah dan amat berkaitan

dengan volume cairan ekstrasel serta keseimbangan sodium (Navar dan

Hamm, 1999).

Regulasi jangka panjang tekanan darah berhubungan erat dengan

kemampuan ginjal dalam mengekskresikan sodium klorida untuk

mempertahankan balans sodium yang normal, volume cairan ekstrasel,

dan volume darah. Oleh karena itu, penyakit ginjal merupakan penyebab

paling sering dari hipertensi sekunder. Apabila hipertensi tidak diobati,

Universitas Sumatera Utara

Page 47: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

akan terjadi interaksi umpan balik positif yang menyebabkan terjadinya

hipertensi progresif dan kerusakan ginjal lebih lanjut.

Peningkatan asupan sodium klorida pada orang normal

menyebabkan pengaturan mekanisme humoral, neural, dan parakrin

yang memengaruhi hemodinamik renal dan sistemik serta peningkatan

ekskresi sodium tanpa peningkatan tekanan darah. Apabila terjadi

penurunan ekskresi sodium, dapat menyebabkan peningkatan kronik

volume cairan ekstrasel dan volume darah sehingga terjadi hipertensi

(Navar dan Hamm,1999). Pengaturan ekskresi sodium dan air diperantarai

secara langsung dan tidak langsung oleh angiotensin II.

Pembentukan angiotensin II dimulai dari rangsangan terhadap

aktivasi pengeluaran renin yaitu apabila terjadi penurunan asupan sodium,

penurunan tekanan arterial, dan penurunan volume cairan ekstrasel

(Navar dan Hamm, 1999). Enzim renin ini akan memecah

angiotensinogen menjadi bentuk dekapeptida yang inaktif yaitu

angiotensin I selanjutnya diperantarai Angiotensin converting enzyme

(ACE) akan memecah angiotensin I menjadi angiotensin II suatu

oktapeptida yang aktif. Semua komponen SRAA tersebut membentuk

sistem endokrin bersirkulasi yang mengatur keseimbangan sodium dan

tekanan darah (Atlas et al., 2007; Carey et al., 2003).

Aksi angiotensin II dalam pengaturan cepat tekanan darah

diperankan oleh sifat vasokonstriksi langsung terhadap arteriol/vena

ataupun melalui aktivitas saraf simpatis (Hildebrant, 2007). Angiotensin II

menyebabkan penurunan ekskresi sodium dan air di tubulus ginjal dan

Universitas Sumatera Utara

Page 48: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

menstimulasi sekresi hormon aldosteron oleh korteks adrenal yang juga

bekerja menurunkan ekskresi sodium dan air. Kedua efek ini cenderung

meningkatkan volume darah dan berperan penting dalam pengaturan

lambat tekanan darah (Victor, 2005). Angiotensin II juga memfasilitasi

aksi simpatis, yaitu melalui peningkatan norepinefrin dan katekolamin. Hal

ini menyebabkan peningkatan tahanan sistemik vaskular dan tekanan

darah (Paradis dan Schiffrin, 2009).

Efek peningkatan tekanan darah oleh angiotensin II ini, pada

jangka pendek berguna untuk proteksi kapilar renal dari kerusakan.

Sebaliknya, pada jangka panjang, keadaan ini menyebabkan

terganggunya aliran darah renal (renal blood flow), retensi garam dan air,

proteinuria dan penurunan laju filtrasi glomerulus (Kaplan, 2006).

2.1.5 Angiotensin II sebagai Regulator MIF

Angiotensin II merupakan suatu peptida dan dapat mencapai

/bekerja pada ginjal melalui tiga jalur, yaitu 1) melalui sirkulasi darah; 2)

melalui konversi angiotensin I menjadi angiotensin II dari aliran darah

yang terjadi pada sel endotelial ginjal, dan 3) melalui pembentukan lokal

angiotensin II di dalam ginjal. Organ target angiotensin II terletak di

adrenal, ginjal, otak, pituitary gland, otot polos vaskular, dan sistem nervus

simpatis (Gasparo et al., 2000) sehingga angiotensin II selain bekerja

pada organnya sendiri (autocrine hormone) dan organ yang berdekatan

(paracrine hormone) juga bekerja pada organ-organ yang jauh melalui

sirkulasi darah (endocrine hormone).

Universitas Sumatera Utara

Page 49: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Efek angiotensin II pada keadaan SNRS sering dihubungkan

dengan keadaan hipertensi. Hipertensi merupakan salah satu luaran klinis

yang berhubungan secara bermakna dengan PGK (Kaplan dan

Lieberman,1990), termasuk juga pada penderita SNRS (Otukesh et

al.,2009). Regulasi tekanan darah oleh angiotensin II sistemik pada

penderita SN diatur bukan hanya di perifer (renal), tetapi juga di susunan

saraf pusat (DiBona,2001;Camici,2007).

Vasokonstriksi arteriol aferen dan eferen (terutama arteriol eferen)

menyebabkan terjadi peningkatan tekanan kapiler glomerulus.

Peningkatan tekanan kapiler intraglomerular menyebabkan kerusakan

mekanis pada ketiga tipe sel glomerulus (podosit, sel endotel, dan sel

mesangial), yang akan meningkatkan ukuran radius pori membran

glomerulus. Hal ini mengganggu fungsi selektif membran glomerulus dan

meningkatkan protein pada filtrat glomerulus. Protein ini akan

diendositosis oleh sel epitel tubulus. Sebaliknya, peningkatan reabsorbsi

albumin di tubulus akan mengaktivasi angiotensin, sehingga terjadi suatu

vicious circle. Apabila hal ini berkepanjangan,akan terjadi kerusakan

nefron bahkan terjadi kerusakan ginjal/ glomerulosklerosis (Kaplan,2006;

Meer et al., 2010).

Infus angiotensin II secara kronik pada binatang percobaan dengan

nefrosis berat menunjukkan terjadi hipertensi, peningkatan permeabilitas

kapiler glomerulus, dan peningkatan albuminuria (Herizi et al., 1998).

Reabsorbsi albumin menginduksi sitokin proinflamasi dan profibrogenik.

Universitas Sumatera Utara

Page 50: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Hal ini menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular, induksi infiltrasi

lekosit, dan hipertensi sistemik.

Selain sebagai mediator hemodinamik yang menyebabkan

hipertensi, angiotensin II juga menyebabkan pengambilan/rekrutmen dan

proliferasi sel mononuklear. Pengambilan dan proliferasi sel monosit

bersirkulasi menyebabkan penumpukan makrofag di jaringan. Pengaturan

akumulasi makrofag di jaringan ini diperankan oleh sitokin MIF (Lan,

2008). Hal ini menstimulasi migrasi sel sel imunokompeten (limfosit dan

makrofag) ke dalam interstisial ginjal (Ruster dan Wolf, 2006). Penarikan

sel-sel inflamasi ke glomerulus dan tubulointerstisium berperan penting

dalam proteinuria persisten dan hipertensi. Peningkatan level angiotensin

II dapat menyebabkan hipertensi dan berkontribusi terhadap progresivitas

penyakit ginjal dengan cara menstimulasi inflamasi dan fibrosis ginjal

(Wolf et al., 2003).

Angiotensin II memperantarai akumulasi makrofag dan sel T

melalui MIF (Rice et al., 2003). Model tikus percobaan dengan hipertensi

menunjukkan peningkatan ekspresi MIF (44,9% ± 22,6%) dan sebaliknya,

blokade angiotensin II dengan antagonis AT1R (Irbesartan) menunjukkan

penurunan ekspresi MIF pada glomerulus dan tubulus (2,8% ± 2,4%). Efek

angiotensin II pada AT2R umumnya bekerja kontradiksi dibandingkan efek

pada AT1R (Carey dan Siragy, 2003). Peningkatan ekspresi MIF

berkorelasi dengan peningkatan makrofag atau sel T. Hal ini mendukung

peran angiotensin II dalam menstimulasi kerusakan ginjal melalui MIF.

Universitas Sumatera Utara

Page 51: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Produksi sistemik ataupun lokal angiotensin II dan MIF penting

dalam perkembangan kerusakan ginjal. Pembentukan lokal angiotensin II

oleh sel mesangial ataupun makrofag setelah suatu kerusakan ginjal

menyebabkan sekresi MIF dari sel epitel tubulus kemudian meningkatkan

aktivasi makrofag dan sel T yang akan meningkatkan kerusakan ginjal

lebih lanjut, sedangkan, angiotensin II sistemik lebih berperan dalam hal

kerusakan ginjal melalui efek hipertensi seperti yang ditunjukkan dalam

binatang coba dengan hipertensi (one clip Goldblatt hypertension). Hal ini

menyebabkan ekspresi MIF meningkat pada ginjal (Rice et al., 2003).

Walaupun studi genetik belum menemukan kaitan kausalitas antara

plasma angiotensin II dan sekuens asam amino pada model tikus

hipertensi (Hubner et al., 1999), namun angiotensin II berkaitan dengan

peningkatan aktivasi NFkB dan AP-1(Ruiz-Ortega et al., 2001). Kedua

kompleks protein yang merupakan faktor transkripsi ini, menjadi dasar

bagi para ilmuwan menerangkan peranan angiotensin II pada ekspresi

gen sitokin.

Ekspresi gen MIF pada manusia diatur oleh angiotensin II melalui

regio promoter. Lokasi ini mempunyai sekuensial ikatan DNA untuk faktor

transkripsi seperti NFkB dan AP-1. Induksi angiotensin II terhadap faktor

transkripsi menyebabkan peningkatan ekspresi MIF (Sun et al., 2004) dan

berperan pada perkembangan hipertensi (Busche et al.,2001).

Konsekuensi klinis hal ini adalah peningkatan angiotensin II memengaruhi

peningkatan tekanan darah dan memengaruhi peningkatan MIF.

Universitas Sumatera Utara

Page 52: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

2.1.6 MIF dan Sensitivitas Glukokortikoid

Dekade terakhir ini para ahli menemukan peranan MIF sebagai

sitokin dalam kerusakan ginjal (Lan, 2008). Sumber utama MIF berasal

dari sel imun (limfosit, makrofag, monosit, eosinofil, netrofil dan sel mast)

dan sel nonimun (ginjal, kelenjar pituitary, liver, ovarium, testis, dan

keratinosit). Pada tahun 1989, MIF untuk pertama kalinya berhasil

dikloning dari limfosit T manusia dan berfungsi untuk mengatur fungsi

makrofag, imunitas limfosit, dan fungsi endokrin.

Efek biologis utama MIF adalah immobilisasi sel sel fagosit

mononuklear (makrofag) sehingga makrofag menetap di jaringan

(Arenberg dan Bucala, 2003) dan memicu makrofag untuk pengaturan

sitokin pada sel-sel endotel (Cvetkovic dan Stosic, 2006). Selain memiliki

aktivitas sitokin (Rosengren et al.,1996;Aeberli, Leech dan Morand, 2006),

MIF juga memiliki aktivitas enzim yaitu tautomerase dan oksidoreduktase

(Gambar 4).

Gambar 4. Struktur tiga dimensi MIF manusia (nomor identifikasi model molekul: 15670). Struktur terdiri dari 3 monomer, dimana setiap monomer terdiri dari dua rantai α yang dipisahkan oleh tiga rantai β. Terminal monomer terdiri dari terminal NH3 (satu rantai β) dan terminal COOH (dua rantai β). Jadi konfigurasi setiap monomer adalah βαβββαββ (Arenberg dan Bucala,2003)

Universitas Sumatera Utara

Page 53: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Efek lain MIF adalah mengatur kesensitivan terhadap

glukokortikoid. Hal ini menjadi dasar penelitian tentang MIF pada penyakit-

penyakit kronik dengan glukokortikoid sebagai terapi utama (Aeberli et al.,

2006; Arenberg dan Bucala, 2003). Glukokortikoid menginduksi sekresi

MIF pada dosis rendah/fisiologis. Sebaliknya, pada dosis tinggi

(konsentrasi glukokortikoid > 10-8

Peranan glukokortikoid terhadap respons imun selular

menyebabkan penghambatan efek MIF sehingga makrofag dilepaskan

dari jeratan di sekitar tempat pelepasan MIF dan jaringan setempat

terhindar dari kerusakan akibat penghancuran oleh makrofag. Sebaliknya,

apabila telah dilepaskan dari sitoplasma makrofag/monosit atau sel-sel

intrinsik nonimun maka MIF bekerja antagonis terhadap efek

glukokortikoid dalam menekan pembentukan sitokin makrofag in vitro,

misal TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8 (Oppenheim, Ruscetti, dan Faltynek,2001).

Keseluruhan sitokin ini akan memperantarai aktivasi dan pengambilan

lekosit dari sirkulasi ke jaringan sehingga terjadi kerusakan ginjal (Lan,

2008). Respons inflamasi dan pengaturan sitokin diatur bersama MIF dan

glukokortikoid (Calandra dan Roger, 2003; Aeberli et al., 2006).

M) sekresi MIF dihambat sehingga

mengikuti kurva bell shaped dose response (Lan, 2008).

Glukokortikoid mampu menghambat sitokin pro-inflamasi, kemokin,

molekul adhesi, dan enzim-enzim (Longui, 2007) melalui dua mekanisme

utama yaitu genomik dan nongenomik (Elie et al., 2012). Efek intrasel

glukokortikoid dimulai ketika glukokortikoid berdifusi pasif melalui

membran sel dan berikatan dengan reseptor glukokortikoid intrasel.

Universitas Sumatera Utara

Page 54: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Kompleks glukokortikoid-reseptor bertranslokasi ke intisel dalam

membentuk interaksi dengan sekuens DNA spesifik. Apabila MIF

menghambat ikatan kompleks glukokortikoid dengan reseptor

glukokortikoid pada elemen respon glukokortikoid di intisel, kerja

glukokortikoid akan terhambat pula.

Sitokin MIF berperan dalam regulasi aktivitas imunosupresif dan

antiinflamasi glukokortikoid melalui inhibisi jalur NF-kB. Pada ketiadaan

MIF, glukokortikoid mencegah aktivasi NF-κB dengan cara meningkatkan

ekspresi IκB yang mempertahankan NF-κB agar tetap inaktif di dalam

sitosol (Ito,Chung dan Adcock,2006; Elly et al.,2012). Ekspresi berbagai

gen respon inflamasi diatur oleh NF-κB sehingga menyebabkan respon

abnormal sel T (Zhao et al., 2005). Penggunaan glukokortikoid menekan

aktivasi NF-κB sehingga terjadi keseimbangan respon sel T (Grimbert et

al., 2003).

Selanjutnya, aksi antagonis MIF terhadap efek antiinflamasi

glukokortikoid diperantarai dengan cara menghambat enzim mitogen

activated protein kinase (MAPK) phosphatase (Aeberli & Yang et al.,

2006). Enzim ini berperan dalam inaktivasi MAPK yang bertanggungjawab

dalam proliferasi sel dan merupakan target kerja dari glukokortikoid.

Mitogen activated protein kinase (MAPK) memunyai dua isoenzym, yaitu

ERK (extracelluler signal regulated kinase) 1 / 2 dan aktivitas biologis

pengaturan resistensi terhadap kortikosteroid (Aeberli et al., 2006; Lan,

2008; Cvetcovic & Stosic, 2006; Flaster et al., 2007). Defosforilasi dan

inaktivasi MAPK diatur oleh angiotensin II. Studi in vitro menunjukkan

Universitas Sumatera Utara

Page 55: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

bahwa stimulasi terhadap angiotensin II akan menekan inaktivasi MAPK

(Gasparo et al., 2000). Mekanisme ini memengaruhi sensitifitas

glukokortikoid pada penderita resisten steroid.

Aksi MIF sebagai antagonis aktivitas imunosupresif glukokortikoid

secara lengkap dapat dilihat pada gambar 5 di bawah ini. Keseluruhan

mekanisme MIF dalam efek antagonis terhadap glukokortikoid merupakan

mekanisme utama MIF memperantarai kerusakan ginjal (Lan, 2008).

Gambar 5. Target Kerja Glukokortikoid dan MIF. Ikatan glukokortikoid dan reseptornya bekerja di intisel dengan berikatan pada glukokortikoid respon elemen. Penghambatan glukokortikoid terjadi apabila dijumpai 2 molekul utama di sitosol/inti yaitu NF-kB dan AP-1. Keduanya diaktivasi oleh MIF.

Peranan MIF mengatur produksi glukokortikoid ditunjukkan dengan

pemberian antibodi anti-MIF pada hewan percobaan. Antibodi anti-MIF

merupakan antibodi yang menetralkan efek MIF secara imunologis. Pada

model tikus percobaan yang diberikan pengobatan dengan antibodi anti-

Glukokortikoid

Ikatan reseptor glukokortikoid

Glukokortikoid respon elemen

MIF

MAPK

AP-1 NF-kB IkB

MIF

Sitosol

Inti sel

cPLA2

Universitas Sumatera Utara

Page 56: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

MIF menunjukkan peningkatan kadar serum kortikosteron endogen yang

lebih tinggi (sekitar 75 ng/mL) bila dibandingkan dengan kontrol (25

ng/mL) (p<0,05). Hal ini berkorelasi pula dengan perbaikan proteinuria,

serum kreatinin, dan perbaikan kerusakan histologis (Yang et al., 1998).

Konsentrasi basal serum MIF pada manusia berkisar antara 2-6

ng/mL. Hubungan sirkadian antara MIF dan kortisol pada subjek yang

normal menunjukkan bahwa level MIF mencapai puncak sewaktu pagi

(sekitar jam 08.00), sedangkan sitokin lain mencapai puncak sewaktu

malam hari. Apabila diberikan oral kortison asetat (25 mg), akan terjadi

peningkatan plasma MIF dalam jangka waktu 1-2 jam.

Hal ini menunjukkan glukokortikoid menginduksi sekresi MIF pada

dosis rendah. Sebaliknya, pada kondisi pemberian glukokortikoid dosis

tinggi (injeksi deksametason 1 mg/jam selama 4 jam) maka level plasma

MIF rendah dan bertahan tetap rendah selama 24 jam (Petrovsky et al.,

2003). Penelitian lain membandingkan level MIF serum pada pasien

penderita penyakit ginjal kronis dan pada orang dewasa normal (kontrol).

Hasilnya ditemukan bahwa median dan kisaran MIF serum pada pasien

penyakit ginjal kronis lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (676 [118-

8275] versus 433 [ 414-4707] pg/mL) (Bruchfeld et al., 2009).

Berbagai metode untuk terapi target MIF akan dan telah ditemukan,

walaupun demikian kegunaannya pada klinis terutama untuk penderita SN

masih terbatas. Walaupun struktur MIF telah lama dikenal, namun konsep

sitokin dan fungsi enzimatik MIF masih terus dikembangkan secara in vitro

/ in vivo untuk memperoleh strategi target MIF (Morand,Leech dan

Universitas Sumatera Utara

Page 57: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Bernhagen,2006). Hal ini menunjukkan masih sulit memperoleh anti-MIF

yang murni.

Antibodi monoklonal maupun protein reseptor permukaan terhadap

MIF telah dibuat secara biokimiawi sebagai anti-MIF (Leng et al.,2003).

Oleh karena pendekatan metode untuk membuat anti MIF ini berbiaya

tinggi dan hanya dapat diberi secara parenteral maka dikembangkan juga

fungsi enzimatik MIF.

Metode penghambatan enzim tautomerase dan enzim

oksidoreduktase sebagai fungsi katalis MIF merupakan pilihan target

terapi antiinflamasi MIF (Dios et al., 2002;Philo et al., 2004). Struktur

homotrimer MIF memiliki kemiripan dengan enzim tautomerase yang

mengubah dopachrome (2 carboxy 2,3 dihydroindole 5,6 quinone) menjadi

5,6 dihydroxyindole 2 carboxylic acid (Rosengren et al., 1996). Enzim ini

dihambat menggunakan isothiocyanat (sulforaphane), yang juga

menyebabkan penghambatan aktivitas MIF. Selain itu, MIF juga

menunjukkan aktivitas enzim thiol-protein oksidoreduktase (Kleemann et

al., 1998). Struktur molekul sebagai inhibitor enzim redoks ini juga menjadi

alternatif terapi inhibisi MIF. Penemuan obat dengan menghambat enzim

tersebut, memiliki harga yang lebih murah, antigenisitas rendah dan dapat

diberi secara enteral maupun parenteral.

2.1.7 Hubungan Peningkatan MIF dan Angiotensin II dengan Kerusakan Ginjal.

Peningkatan kadar MIF memunyai efek antagonis terhadap respons

glukokortikoid. Selanjutnya, MIF memicu sitokin sitokin proinflamasi lain

Universitas Sumatera Utara

Page 58: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

seperti TNF-α dan IL-1 sehingga terjadi penarikan dan aktivasi leukosit ke

sel-sel intrinsik ginjal (Lan, 2008).Keseluruhan keadaan ini menyebabkan

terjadinya kerusakan ginjal (Gambar 6).

Pada individu dengan resisten steroid belum terdapat data

mengenai kadar serum MIF. Namun, penelitian yang menggunakan sel

kultur diperkirakan berhubungan dengan peningkatan angiotensin II. Lebih

50% protein MIF dilepas sel kultur apabila terdapat peningkatan

angiotensin II (Rice et al., 2003).

Gambar 6. Hubungan Peningkatan MIF dengan Kerusakan Ginjal. Peningkatan MIF mempunyai efek antagonis terhadap respons glukokortikoid. Selanjutnya MIF memicu sitokin lain dan penarikan/aktivasi leukosit/makrofag ke sel-sel intrinsik ginjal.

Kerusakan awal di ginjal Steroid

Peningkatan MIF

TNF-α IL-1

Penarikan dan aktifasi lekosit

Kerusakan ginjal lebih lanjut

Universitas Sumatera Utara

Page 59: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Hipertensi dan proteinuria menetap pada penderita resisten steroid

berperan penting dalam progresivitas kerusakan ginjal (Zandi-Nejad et

al.,2004;Meer et al,2010). Penderita SNRS memunyai risiko lebih besar

mengalami PGK tahap akhir. Kebanyakan penyakit ginjal ditandai dengan

adanya kerusakan awal, diikuti dengan progresivitas lesi ginjal menuju

kerusakan parenkim ginjal yang menyeluruh dan akhirnya terjadi gagal

ginjal (Djau et al., 2006). Hal ini mirip dengan penyakit kardiovaskular

pada umumnya (Gambar 7).

Gambar 7. Peranan Angiotensin II dalam Kerusakan Ginjal. Angiotensin II memperantarai setiap tahap kerusakan ginjal yaitu peningkatan tekanan darah, disfungsi endotel, mikro-makroalbuminuria dan PGK tahap akhir. Keadaan ini juga mirip dengan kejadian pada penyakit kardiovaskular umumnya.

2.2 Kerangka Pemikiran dan Premis

Hubungan polimorfisme -173 G ke C gen MIF, dengan kadar

angiotensin II plasma dan MIF serum pada penderita SN resisten steroid

belum pernah diteliti. Oleh karena itu, peneliti mencoba melakukan

penelitian tersebut dengan kerangka pemikiran di bawah ini.

Gen MIF yang dikode untuk memproses protein MIF berperan

penting dalam mengatur respon terhadap terapi steroid. Hubungan

ANGIOTENSIN II

Disfungsi endotel

Mikroalbuminuria

Makroalbuminuria

Nefrotik proteinuria

PGK

LVH

Infark myocard

Remodelling Dilatasi ventrikel Payah

jantung

Peny.jantung tahap akhir

Hipertensi

Universitas Sumatera Utara

Page 60: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

peningkatan kadar MIF serum dengan polimorfisme gen MIF tidak

dipengaruhi oleh kadar CRP (De Benedetti et al.,2003). Hal ini

menunjukkan hubungan peningkatan kadar MIF dan polimorfisme gen MIF

tidak dipengaruhi aktivitas inflamasi penyakit. Konsekuensi klinisnya

adalah terjadi luaran klinis penyakit tersebut menjadi lebih jelek (Berdelli et

al., 2005; Vivarelli et al., 2008).

Pada anak penderita SN yang memiliki alel C gen MIF berisiko

terjadinya hambatan glukokortikoid endogen dan penurunan respon

terhadap glukokortikoid eksogen oleh MIF (Aeberli et al., 2006;.Vivarelli et

al.,2008).

Peningkatan angiotensin II secara kronik pada keadaan nefrotik

menyebabkan hipertensi, peningkatan permeabilitas glomerulus, dan

peningkatan albuminuria (Herizi et al.,1998). Reabsorbsi albumin

menginduksi sitokin proinflamasi dan profibrogenik. Hal ini menyebabkan

peningkatan permeabilitas vaskular, induksi infiltrasi leukosit, dan

hipertensi sistemik (Ruster dan Wolf, 2006).

Respon ini diatur oleh angiotensin II yang menyebabkan

peningkatan MIF (Sun et al., 2004).

MIF berperan sebagai sitokin proinflamasi dan sekaligus bekerja

sebagai kontraregulasi steroid. Sitokin-sitokin proinflamasi biasanya

dihambat oleh glukokortikoid, sedangkan MIF dipicu oleh glukokortikoid

dan bekerja sebagai antagonis glukokortikoid di dalam sistem imun.

Induksi kerusakan ginjal oleh MIF berkaitan dengan aksi antagonistik

glukokortikoid (Morand, 2005; Flaster et al., 2007).

Universitas Sumatera Utara

Page 61: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Peningkatan kadar angiotensin II akan memicu peningkatan MIF

(Rice et al., 2003) dan hal ini menimbulkan risiko hipertensi. Peningkatan

MIF menyebabkan terapi steroid tidak bekerja maksimal sehingga

menimbulkan risiko proteinuria menetap (Lan, 2008). Hipertensi dan

proteinuria menetap pada penderita resisten steroid berhubungan dengan

luaran klinis yang lebih buruk dibandingkan dengan penderita sensitif

steroid.

Pada penderita resisten steroid, hipertensi,dan proteinuria persisten

berperan penting di dalam kerusakan ginjal lebih lanjut (Zandi-Nejad et

al., 2004; Meer et al., 2010). Keduanya menyebabkan terjadi sklerosis

pada glomerulus dan tubulus. Kerusakan awal dari sel-sel intrinsik ginjal

akan diikuti dengan progresivitas lesi ginjal menuju kerusakan parenkim

ginjal yang menyeluruh dan akhirnya terjadi gagal ginjal.

Penelusuran kerangka pemikiran di atas dapat dideduksi dalam

rangkuman premis sebagai berikut:

Premis 1. Polimorfisme -173 G ke C gen MIF berhubungan dengan faktor

risiko terjadi SNRS (Berdelli et al., 2005; Vivarelli et al., 2008).

Premis 2. Ekspresi gen MIF pada manusia dapat dikontrol oleh

angiotensin II (Sun et al., 2004).

Premis 3. Angiotensin II memicu peningkatan tekanan kapilar glomerulus

dan peningkatan permeabilitas membran basal glomerulus sehingga

terjadi hipertensi dan proteinuria (Herizi et al.,1998; Ruster dan Wolf,2006)

Universitas Sumatera Utara

Page 62: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Premis 4. MIF merupakan sitokin proinflamasi yang bekerja paling atas

pada kaskade inflamasi dan sekaligus bersifat antagonis steroid (Morand,

2005; Flaster et al., 2007).

Premis 5. Peningkatan kadar angiotensin II dan MIF menyebabkan terjadi

hipertensi dan proteinuria (Rice et al., 2003; Lan, 2008).

Premis 6. Hipertensi dan proteinuria menetap merupakan penyebab

terjadinya kerusakan ginjal lebih lanjut pada penderita SNRS (Zandi-Nejad

et al., 2004; Djau et al., 2006; Meer et al., 2010) sehingga luaran klinis

lebih jelek daripada SNSS..

Universitas Sumatera Utara

Page 63: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

2.3 Kerangka Konsep Penelitian

Risiko seorang anak penderita SN menjadi resistan steroid

dipengaruhi oleh banyak hal, misalnya faktor genetik, keberadaan

infeksi/inflamasi gambaran patologi anatomi, usia, ada/tidaknya hematuria,

dan keberadaan hipertensi. Faktor faktor tersebut saling berhubungan

sehingga tata laksana SNRS yang adekuat agar anak terhindar dari PGK

stadium akhir, masih terus dikembangkan.

Glukokortikoid masih menjadi pengobatan utama SN dan

keberadaan resistensi terhadap obat ini telah lama dikenal. Subjek

penderita SN yang memiliki alel C gen -173 MIF berisiko menjadi resisten

steroid dibandingkan dengan alel G homozigot. Hal ini dikaitkan dengan

efek MIF sebagai antagonis glukokortikoid di dalam sel. Walaupun jumlah

dosis steroid cukup besar, manfaat untuk mengatasi proteinuria terbatas.

Individu dengan alel C gen MIF menghasilkan kadar sitokin MIF

yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu alel G homozigot.

Sepanjang pengetahuan peneliti, pada penderita SNRS belum ada data

mengenai kadar sitokin MIF serum. Padahal, kadar ini penting karena

konsentrasi yang tinggi dapat menghambat kerja glukokortikoid di dalam

sel. Keberadaan MIF menurunkan sensitivitas glukokortikoid, sedangkan

ketiadaan MIF meningkatkan sensitivitas terhadap glukokortikoid. Hal ini

terjadi pada binatang percobaan, tetapi pada manusia belum diketahui.

Secara in vitro lebih dari 50% protein MIF akan dilepas pada sel

kultur apabila terdapat peningkatan kadar angiotensin II. Artinya,

angiotensin II berhubungan terhadap pengeluaran sitokin MIF dari dalam

Universitas Sumatera Utara

Page 64: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

sel ke luar sel. Pada tingkat yang lebih tinggi (tingkat ekspresi gen)

angiotensin II mengatur regulasi gen MIF dan perkembangan hipertensi.

Penderita SNRS yang mengalami hipertensi akan terjadi

peningkatan tekanan filtrasi kapiler glomerulus dan proteinuria menetap.

Proteinuria menetap dan hipertensi memengaruhi perjalanan penderita

SNRS (tubuloglomerular sklerosis) hingga menuju tahap akhir PGK

(Gambar 8).

Keberadaan plasma angiotensin II dan serum MIF di sirkulasi

berkorelasi dengan hipertensi dan proteinuria menetap pada penderita

SNRS. Kejadian ini telah dibuktikan pada hewan percobaan, tetapi pada

subjek manusia belum ada dilakukan penelitian.

2.4 Hipotesis Penelitian

2.4.1 Frekuensi alel C -173 gen MIF lebih tinggi pada anak SNRS

daripada SNSS dan anak sehat (Premis 1,2).

2.4.2 Kadar angiotensin II plasma lebih tinggi pada anak SNRS daripada

anak SNSS dan anak sehat (Premis 3,4,5).

2.4.3 Kadar MIF serum lebih tinggi pada anak SNRS daripada anak

SNSS dan anak sehat (Premis 5,6).

2.4.4 Terdapat korelasi positif antara kadar MIF serum dan angiotensin

II plasma (Premis 5,6).

2.4.5 Polimorfisme -173 G ke C gen MIF, peningkatan kadar angiotensin

II plasma, dan peningkatan kadar MIF serum secara bersama-

sama dengan hipertensi merupakan faktor risiko SNRS (premis

1,2,5,6).

Universitas Sumatera Utara

Page 65: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Gambar 8. Kerangka Konsep Penelitian. Alel C merupakan faktor genetik pada individu yang dihubungkan dengan peningkatan kadar sitokin MIF di sirkulasi dan reaksi antagonis pada glukokortikoid. Hal ini berkorelasi dengan kadar angiotensin II sistemik dan persistensinya menimbulkan hiperfiltrasi/hipertensi glomerular serta peningkatan tekanan filtrasi kapilar. Peranan angiotensin II sistemik terhadap mekanisme pressure-diuresis-natriuresis dan peningkatan tekanan filtrasi kapilar di samping kontrol saraf, merupakan faktor risiko resisten steroid sehingga terjadi proteinuria menetap. Faktor lain yang perlu diwaspadai juga adalah infeksi/inflamasi, gambaran patologi anatomi, usia, dan keberadaan hematuria. Hipertensi dan proteinuria menetap menimbulkan gangguan struktur dan fungsi ginjal (tubuloglomerular sklerosis) dalam jangka waktu beberapa tahun ke depan setelah awitan proteinuria. Keterangan: = kerangka kerja penelitian; = hubungan langsung; = hubungan tidak langsung

SN RESISTEN STEROID Usia

Gambaran patologi anatomi

Hematuria

Hipertensi

Gangguan struktur dan fungsi ginjal

Proteinuria menetap

Faktor genetik

Kadar MIF meningkat

Polimorfisme alel C -173 gen MIF

Angiotensin II meningkat

Kontrol syaraf

Norepinefrin Vasopressin

Mekanisme pressure –diuresis -

natriuresis

Infeksi/inflamasi

Peningkatan tekanan filtrasi

kapilar

Efek antagonis glukokortikoid

Universitas Sumatera Utara

Page 66: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian ini adalah studi sekat lintang. Subjek terdiri atas

penderita SNRS dengan dua grup pembanding, yaitu penderita SNSS dan

anak sehat.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Divisi Nefrologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak

RS H. Adam Malik Medan. Subjek penderita SN diperoleh dari beberapa

rumah sakit di kota Medan seperti RS H. Adam Malik, RS Dr. Pirngadi, RS

Malahayati, RS Herna, serta dari rumah sakit di luar Provinsi Sumatera

Utara, seperti RSUD Zainul Abidin Banda Aceh, RSUD M Djamil Padang,

RSUD M Hoesin Palembang, dan RSUD Pekanbaru. Subjek anak sehat

diperoleh dari beberapa SD, SMP dan SMA di Kecamatan Medan Denai,

Kecamatan Medan Area, dan Kecamatan Medan Tuntungan.

Penelitian dimulai bulan November 2011 hingga September 2012.

Setiap dokter yang membantu penelitian, telah diberikan penjelasan dan

pelatihan tentang cara kerja penelitian sehingga menjadi dokter terlatih.

Dokter terlatih melakukan interview dan mengarahkan subjek menjadi

anggota penelitian dengan menggunakan kuesioner/pemeriksaan

kesehatan untuk data demografi dan klinis. Penelitian ini diawali dengan

mengedarkan lembar penjelasan penelitian pada seluruh subjek/orang tua

dan kemudian diikuti dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik kesehatan.

Universitas Sumatera Utara

Page 67: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Ketika subjek sudah teridentifikasi, dilakukan koding saat pengumpulan

sampel tanpa perbedaan untuk tiap-tiap kelompok sehingga dimungkinkan

penyamaran identitas awal .

Setiap uji dilakukan sesuai standar protokol dan petunjuk yang ada.

Sampel dan standar dibuat dalam keadaan duplo. Sampel darah untuk

isolasi DNA dibawa ke laboratotrium terpadu USU dengan menggunakan

dry ice (untuk luar kota Medan) dan batu es suhu 4°C (untuk kota Medan).

Identitas sampel darah yang diterima oleh peneliti/asisten terlatih berupa

nomor batch/nomor punggung. Isolat DNA disimpan pada suhu -20° C

untuk dikumpulkan saat pemeriksaan PCR bersama. Pemeriksaan PCR

dilakukan tiga kali yaitu pada bulan Desember 2011 (di laboratorium

Biokimia Universitas Gadjah Mada Jogjakarta untuk optimasi suhu), Maret

2012, dan Juli 2012 (di laboratorium terpadu FK USU Medan). Analisis

MIF serum dan angiotensin II plasma dilakukan di Laboratorium Prodia.

Sampel dikumpulkan terlebih dulu pada suhu -20 °C hingga tercapai

jumlah yang diinginkan,dan selanjutnya dianalisis bersama. Analisis MIF

dilakukan dalam dua tahapan waktu pada bulan Agustus 2012 dan

analisis angiotensin II dilakukan dalam tiga tahapan waktu pada bulan

September 2012. Pemeriksaan protein urin kuantitatif dilakukan dengan

pengukuran rasio albumin kreatinin sewaktu yang dikumpulkan pada pagi

hari (antara jam 08.00-10.00). Identitas keseluruhan dari sampel dibuka

pada hari yang ditentukan setelah seluruh uji selesai dilaksanakan.

Universitas Sumatera Utara

Page 68: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

3.3 Populasi Penelitian dan Justifikasi

Populasi target: populasi SNRS berusia 1-17 tahun. Populasi

terjangkau: populasi SNRS yang berobat ke RSUP. H. Adam Malik, RSU.

Dr Pirngadi Medan, RS. Malahayati, RS. Herna, RS. Zainul Abidin Banda

Aceh, RS. M Djamil Padang, RS. M Hoesin Palembang, dan RSUD.

Pekanbaru.

Alasan justifikasi beberapa RS di atas sebagai lokasi pemilihan

sampel untuk populasi SNRS adalah setiap RS tersebut memiliki

kesetaraan dalam hal karakteristik pasien SNRS yang berobat; memiliki

visi dan misi yang sama dalam hal penatalaksanaan SNRS (karena

merupakan RS pendidikan dan jejaring pendidikan ataupun RS swasta

yang berafiliasi pada pendidikan); serta mampu laksana dalam hal

pengiriman sampel ke kota Medan (tempat awal inisiatif studi).

3.4 Subjek Penelitian dan Cara Pemilihan Subjek

Subjek penelitian adalah penderita SNRS/SNSS usia 1 tahun

sampai dengan 17 tahun, yang berobat ke RSUP. H. Adam Malik, RSU.

Dr Pirngadi Medan, RS. Zainul Abidin Banda Aceh, RS. M Djamil Padang,

RS. M Hoesin Palembang, dan RSUD. Pekanbaru dengan justifikasi

pemilihan seperti dijelaskan di atas dan pemilihan subjek berdasarkan

consecutive. Grup anak sehat diambil dari unrelated individual yang

diperoleh dari sekolah-sekolah di kota Medan. Cara pemilihan subjek anak

sehat dilakukan dengan cluster sampling, kemudian stratifikasi sampling

dan akhirnya convenient sampling yaitu berdasarkan persetujuan orang

Universitas Sumatera Utara

Page 69: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

tua untuk subjek mengikuti penelitian (Gambar 9). Surat persetujuan dari

orang tua dimintakan pada setiap subjek. Orang tua menyetujui anaknya

diikutsertakan dalam penelitian setelah diberi penjelasan dan

menandatangani surat persetujuan (informed consent).

Gambar 9. Cara Pemilihan Subjek Studi

Keterangan: Kec.MD = Kecamatan Medan Denai, Kec. MA = Kecamatan Medan Area, Kec.MT = Kecamatan Medan Tuntungan, RSHAM = RS.H Adam Malik, PIR = RS. Pirngadi, MAL = RS.Malahayati, HER = RS.Herna, ZA = RS.Zainul Abidin, MJA= RS. M.Djamil, MHA= RS.M.Hoesin, PKB= RSUD.Pekanbaru

3.5 Estimasi Besar Sampel

Rumus yang akan digunakan untuk membuktikan hipotesis, yaitu

a. Untuk hipotesis pertama digunakan rumus uji hipotesis beda

proporsi dua sampel (Madiyono, 2002):

POPULASI

KASUS (HOSPITAL BASED)

ANAK SEHAT (POPULATION BASED)

JUSTIFIKASI RS KEC. MD KEC. MA KEC. MT

PRA SEKOLAH-SD-SMP-SMA

SUBJEK TERPILIH

CLUSTER

STRATIFIKASI

CONSECUTIVE

RSHAM-PIR-MAL-HER-ZA-MJA-MHA-PKB

SUBJEK TERPILIH

CONVENIENT

Universitas Sumatera Utara

Page 70: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

n =

apabila:

α = 0,05 maka Zα = 1,96

β = 0,2 maka Zβ = 0,842

P2 = 0,23 (Berdelli,2005) maka Q2

OR = 3,6 (Berdelli, 2005)

= 1-0,23 = 0,77

OR = =

maka:

P1 = 0,53 maka Q1

P

= 1-0,53 = 0,47

1-P2

P = (P

= 0,3

1+P2

maka:

)/2 = 0,38 maka Q = 1- 0,38 = 0,62

n =

n =

Hasil perhitungan sampel diperlukan 40 orang tiap kelompok.

b. Untuk hipotesis nomor 2 dan 3 diuji dengan uji hipotesis terhadap

rerata dua populasi.

n1 = n2= 2

(P1-P2)

(1,96 2x0,38x0,62 + 0,842 0,53x0.47 +0,23x0,77)

(0,3)

(Zα √ 2PQ + Zβ P1Q1 + P2Q2) 2

2

3,53

0,09

2

2

(x1-x2)

(Zα + Zβ ) x S 2

P1 (1-P2)

P2 (1-P1)

P1 – 0,23P1

0,23- 0,23P1

39,2 = 40 =

Universitas Sumatera Utara

Page 71: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

b.1. Untuk hipotesis kadar MIF, apabila:

Zα = 1,96

Zβ = 0,842

S = 2,7 (Petrovsky, 2003)

x1-x2

= 2 (pertimbangan klinis)

maka n1=n2= 2

n1 = n2 = 28 orang tiap kelompok

b.2 Untuk hipotesis kadar angiotensin II, apabila:

Zα = 1,96

Zβ = 0,842

S = 2,5 (Vollard, 1999)

x1-x2

maka n1=n2= 2

= 2 (pertimbangan klinis)

n1 = n2 = 24,6 = 25 orang tiap kelompok

c. Untuk hipotesis nomor 4, diuji dengan uji hipotesis untuk perbedaan

koefisien korelasi pada sampel tunggal, rumus besar sampel adalah:

Apabila:

α = 0,05 maka Zα = 1,96

β = 0,2 maka Zβ = 0,842

r = koefisien korelasi = 0,6 (Vollard, 1999)

n =

(1,96 + 0,842 ) x 2,7

2

2

2

(1,96 + 0,842 ) x 2,5 2

Zα + Zβ

0,5 [ln(1+r)/(1- r)]

2 + 3

Universitas Sumatera Utara

Page 72: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

maka diperoleh : n= 17 subjek tiap kelompok. Berdasarkan perhitungan

sampel di atas dipilih perhitungan dengan jumlah sampel yang terbesar,

yaitu minimal 40 subjek setiap kelompok.

3.6 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.6.1 Kriteria Inklusi untuk Kasus

Subjek penelitian harus memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut:

a. Penderita SNRS usia 1 tahun sampai 17 tahun.

b. Fungsi ginjal normal yang dikonfirmasi dengan perhitungan eGFR

sesuai Schwartz (Schwartz et al, 1976). Batasan normal eGFR

bervariasi sesuai usia, jenis kelamin, dan ukuran tubuh. Pada studi

ini mengacu kepada NKF-K/DOQI (Hogg et al, 2003).

c. Penderita tidak menderita penyakit sistemik seperti diabetes

melitus, lupus eritematosus sistemik, atau purpura anafilaktik.

d. Penderita mendapat izin dan persetujuan dari orang tuanya.

3.6.2 Kriteria Inklusi untuk Grup Pembanding

a. Penderita SNSS dan anak sehat.

b. Penderita tidak menderita penyakit sistemik lain seperti, diabetes

melitus, lupus eritematosus sistemik, purpura anafilaktik, penyakit

sel sabit.

c. Penderita mendapat izin dan persetujuan dari orang tuanya.

Universitas Sumatera Utara

Page 73: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

3.6.3 Kriteria Eksklusi

a. Penderita sedang dalam pemakaian obat ACEI atau ARB.

b. Penderita mengalami proteinuria transien, proteinuria ortostatik

atau proteinuria nonrenal misalnya karena febris atau gagal

jantung.

c. Penderita mengalami syok atau karena keadaannya memerlukan

perawatan intensif

3.7 Informed Consent dan Ethical Clearance

Penelitian ini dapat menimbulkan beberapa masalah sehubungan

dengan prosedur penelitian, yaitu pengambilan sampel darah. Hal ini

diatasi dengan memberikan penjelasan mengenai prosedur yang akan

dilakukan, manfaat penelitian, efek samping yang mungkin terjadi, dan

cara mengatasi efek yang terjadi. Keikutsertaan peserta dalam penelitian

ini bersifat sukarela dan tanpa mengubah kualitas pelayanan. Selama

peserta ikut dalam penelitian ini, setiap informasi dan data penelitian ini

akan diperlakukan secara rahasia sehingga tidak memungkinkan diketahui

orang lain. Biaya pemeriksaan laboratorium tidak dibebankan kepada

orang tua, tetapi hasil pemeriksaan digunakan untuk pemantauan dan tata

laksana penderita. Penelitian dilaksanakan setelah mendapat persetujuan

Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara. Persetujuan komite etik dikeluarkan pada tanggal 31

Oktober 2011 dengan surat no.275/KOMET/FK USU/2011 (Lampiran 6).

Universitas Sumatera Utara

Page 74: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

3.8 Alur Kerja

Gambar 10. Alur Kerja

3.9 Data yang Dikumpulkan

Kuesioner dan data klinis dikumpulkan oleh dokter terlatih untuk

mengisi data demografi/klinis subjek. Rekam medis subjek SNRS dan

SNSS dikumpulkan dan ditelaah secara retrospektif untuk mendapatkan

data klinis dan laboratoris pada saat diagnosis dan tindak lanjut. Data

yang dikumpulkan melalui rekam medis meliputi: identitas subjek (nama,

umur, jenis kelamin, suku, alamat), anamnesis gejala pada awal masuk,

ureum dan kreatinin darah, pengobatan yang diterima, dan luaran. Data

pada saat penelitian meliputi pemeriksaan fisis (umur saat penelitian,

Subjek terpilih

PCR-RFLP Variabel kategorikal

Analisis statistik

ELISA MIF Variabel numerik

EIA Angiotensin II Variabel numerik

Hasil

Informed consent

Anamnesis, pemeriksaan fisis, dan urinalisis

Universitas Sumatera Utara

Page 75: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

berat badan, tinggi badan, tekanan darah), proteinuria kuantitatif (UACR),

genotip polimorfisme -173 G ke C gen MIF, kadar angiotensin II plasma,

dan MIF serum.

3.10 Pemeriksaan

3.10.1 Pemeriksaan Antropometris

Pengukuran berat badan menggunakan timbangan berat badan

digital merek AND dengan kapasitas 150 kg dan ketelitian 50 gram. Pada

waktu ditimbang anak hanya menggunakan baju yang tipis dan tidak

menggunakan sepatu. Tinggi badan diukur dengan Statumeter. Pada

waktu diukur anak berdiri dengan kedua tumit bertemu dan bagian

belakang kepala menyentuh dinding pengukur dengan batas ketelitian

pengukuran 0,1 cm dan batas pengukuran terpanjang 200 cm. Untuk anak

yang belum bisa berdiri, pengukuran berat badan dengan menggunakan

timbangan bayi sedangkan pengukuran panjang badan dengan

microtoise. Evaluasi ukuran antropometri tersebut menggunakan

rekomendasi NCHS CDC 2000. Z score (standar deviasi) digunakan

sebagai ambang batas.

3.10.2

Pengukuran tekanan darah dilakukan dalam suasana tenang. Anak

berusia tiga tahun atau lebih diposisikan berbaring atau duduk tenang

lebih kurang lima menit sebelum prosedur pemeriksaan. Manset dipasang

pada lengan atas kanan, sehingga panjang manset melingkupi minimal

80% lingkar lengan atas dan lebar manset lebih dari 40 % lingkar lengan

Pemeriksaan Fisis Tekanan Darah

Universitas Sumatera Utara

Page 76: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

atas. Pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali berjarak 30 menit dengan

sphygmomanometer air raksa (merek Riester buatan Jerman dengan

ketelitian 2 mmHg). Hasil pengukuran adalah rerata ketiga pengukuran

tersebut. Cara pengukuran: manset dibalutkan kuat pada lengan atas

dengan batas bawah lebih kurang 3 cm dari fosa kubiti dan dipompa kira-

kira 20-30 mmHg di atas tekanan yang diperlukan untuk menimbulkan

sumbatan pada arteri brakhialis. Tekanan dalam manset kemudian

diturunkan perlahan-lahan dengan kecepatan 2-3 mmHg/detik sampai

terdengar bunyi suara lembut. Bunyi ini merupakan fase-1 Korotkof dan

merupakan petanda tekanan darah sistolik. Fase-1 ini kemudian disusul

fase-2 yang ditandai dengan suara bising (murmur), dan disusul pula

dengan fase-3 berupa suara yang keras. Setelah itu, suara mulai menjadi

lemah (fase-4) dan akhirnya menghilang (fase-5). Fase-5 merupakan

petanda tekanan darah diastolik, tetapi pada beberapa anak, jika fase-5

sulit didengar, fase-4 digunakan sebagai petunjuk tekanan darah diastolik

(NHBPEP., 2004). Batasan tekanan darah normal adalah tekanan darah

sistolik dan diastolik kurang dari 90 persentil menurut jenis kelamin, usia,

dan tinggi badan (Lampiran 1 dan 2).

3.10.3 Pemeriksaan Proteinuria Kuantitatif

Pengukuran proteinuria kuantitatif sebagai indeks perjalanan klinis

penyakit ginjal (Hogg et al., 2000) dipakai metode rasio albumin kreatinin

urin sewaktu (UACR). Sampel urin diambil oleh subjek atau dibantu orang

tua subjek pada urin pertama atau kedua pada pagi hari dan dikumpulkan

di laboratorium bersertifikasi. Albumin urin diukur dengan nephelometri.

Universitas Sumatera Utara

Page 77: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Koefisien variasi interpemeriksaan adalah 4,4% dan intrapemeriksaan

adalah 4,3%. Konsentrasi kreatinin urin diukur dengan metode standar

Jaffe (koefisien variasi inter dan intrapemeriksaan 3,3 %).

3.10.4

Pengambilan sampel darah untuk isolasi DNA dilakukan di

laboratorium sebanyak 1 ml dan disesuaikan dengan waktu pemeriksaan

darah lainnya (pukul 08.00-10.00 pagi). Proses isolasi DNA dilakukan

dengan menggunakan kit buatan Amerika (Promega). Sampel darah

diproses oleh peneliti/asisten sampai tahap pembentukan isolat DNA,

PCR, pelaksanaan restriksi, dan elektroforesis di Laboratorium terpadu FK

USU. Empat puluh isolat dikirim ke Laboratorium Biokimia Universitas

Gadjah Mada Jogjakarta untuk proses optimasi suhu.

Analisis Genotip Polimorfisme -173 G ke C Gen MIF

Pemeriksaan genotif polimorfisme -173 G ke C gen MIF telah

diterangkan oleh Donn et al. (Donn et al., 2002). Polymerase Chain

Reaction dengan metode Restriction Fragment Length Polymorphism

(PCR-RFLP) digunakan untuk mengamplifikasi fragment 366 bp. Metode

ini dipilih karena mudah dan sederhana dalam menentukan lokasi

kromosom spesifik (Read dan Donnai, 2007). Forward primer adalah 5’-

ACT- AAG-AAA-GAC-CCGAGGC-3’ dan reverse primer adalah 5’-GGG-

GCA-CGT-TGG-TGT-TTA-C-3’.Untuk pencernaan produk PCR digunakan

enzim restriksi Alu I, pada suhu 37 ° C semalaman. Hasil PCR DNA

dianalisis pada gel agarose 2,5% dengan pewarnaan 10% etidium

bromide sehingga dapat divisualisasi dengan kamera ultraviolet. Genotip

GG ditandai dengan 2 pita, yaitu pada 98 bp dan 268 bp. Genotip CC

Universitas Sumatera Utara

Page 78: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

ditandai dengan 3 pita, yaitu pada 205 bp, 98 bp, dan 63 bp. Genotip GC

ditandai dengan 4 pita, yaitu pada 268 bp, 205 bp, 98 bp dan 63 bp

(Lampiran 7). Validitas pemeriksaan dilakukan dengan duplikasi sampel.

3.10.5 Analisis Angiotensin II Plasma

Subjek berpuasa pada malam hari sebelum pengambilan darah

pada hari berikutnya. Kelompok SNRS dan SNSS dalam fase remisi

dilakukan pengambilan sampel darah setelah minimal dua minggu selesai

dari dosis penuh prednison. Pengambilan sampel darah dilakukan pada

pagi hari (08.00-10.00) sebanyak 2 ml dan dianalisis di laboratorium

bersertifikasi. Angiotensin II plasma diukur dengan metode ELISA

(Calbreath,1992) dengan menggunakan kit merk Enzo katalog ADI-900-

204 lot 10191101. Sensitivitas pemeriksaan adalah 1 pg/mL. Koefisien

variasi inter dan intrapemeriksaan adalah 7%.

Reaksi imunologis antara angiotensin II dan antiangiotensin II diikat

secara kovalen dengan glutaraldehid. Setelah pencucian dan denaturasi,

angiotensin II bereaksi kembali dengan acetylcholinesterase antibodi yang

digunakan sebagai tracer. Selanjutnya, sumuran dicuci kembali dan

ditambahkan kromogen yang dapat menyebabkan perubahan warna.

Intensitas warna diukur dengan spektrofotometri dan hal ini proporsional

dengan kadar angiotensin II (Lampiran 8). Validitas pengukuran

dilakukan dengan duplikasi sampel dan pengulangan kadar angiotensin II

dilakukan pada saat pengukuran yang berbeda.

Universitas Sumatera Utara

Page 79: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

3.10.6 Analisis MIF serum

Pengambilan sampel darah sebanyak 2 ml dilakukan pada pukul 8-

10 pagi di laboratorium bersertifikasi. Pada kelompok SNRS dan SNSS

dalam fase remisi dilakukan pengambilan sampel darah setelah minimal 2

minggu selesai dari dosis penuh prednison. Sampel darah kemudian

disimpan pada suhu -20°C. Pengukuran kadar MIF serum dilakukan

dengan metode sandwich ELISA (Calbreath,1992) menggunakan

Quantikine buatan R&D Systems Amerika Serikat katalog DMF008 lot

294789. Batas kemampuan mendeteksi MIF serum dengan menggunakan

ELISA adalah 1-2 ng/mL. Koefisien variasi intrapemeriksaan adalah di

bawah 5%. Koefisien variasi interpemeriksaan adalah di bawah 7%.

Antibodi monoklonal spesifik untuk MIF dilapisi ke mikroplate.

Standar dan sampel dipipet ke dalam sumuran dan setiap keberadaan

MIF diikat dengan antibodi. Setelah dilakukan pencucian terhadap

substansi yang tak terikat, ditambahkan antibodi poliklonal spesifik untuk

MIF. Setelah pencucian reagen antibodi dan enzim yang tak terikat,

ditambahkan larutan substrat ke dalam sumuran dan timbul warna yang

proporsional dengan jumlah MIF yang terikat. Intensitas warna kemudian

diukur (Lampiran 9). Validitas pengukuran dilakukan dengan duplikasi

sampel dan pengulangan kadar MIF dilakukan pada saat pengukuran

yang berbeda.

3.11 Identifikasi Variabel

Variabel bebas adalah SN resisten steroid, SN sensitif steroid, dan anak

sehat. Variabel tergantung adalah genotip MIF (skala kategorikal), kadar

Universitas Sumatera Utara

Page 80: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

angiotensin II plasma (skala numerik), kadar MIF serum (skala numerik),

dan tekanan darah (skala numerik).

3.12 Definisi Operasional

a) Pasien SNRS ialah keadaan pasien SN tetap mengalami proteinuria

masif (di atas atau sama dengan +2 secara semikuantitatif) pada 3

kali pemeriksaan berturut dalam 1 minggu setelah 4 minggu dosis

penuh prednison (2 mg/kg/hari).

b) Pasien SNSS adalah suatu keadaan pasien SN yang mengalami

remisi (proteinuria lebih kecil dari 4 mg/m2

c) Anak sehat didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18

tahun (UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak; UU No.36

tahun 2009 tentang kesehatan) dan dikonfirmasi dengan fungsi ginjal

normal (kisaran eGFR normal sesuai umur, jenis kelamin dan ukuran

tubuh) serta rasio albumin kreatinin urin kurang 150 µg/mg kreatinin.

LPT/jam) dengan

pemberian prednison pada 3 kali pemeriksaan berturut-turut dalam 1

minggu. Berdasarkan frekuensi dan waktu terjadinya relaps pasien

SNSS diklasifikasikan atas relaps jarang, relaps sering dan dependen

steroid. Karena itu, dalam penelitian ini diambil sebagai panduan,

yaitu SN remisi (rasio albumin kreatinin urin di bawah 2 mg/mg)

d) Alel C sebagai faktor risiko SNRS adalah apabila mempunyai genotip

GC atau CC -173 gen MIF. Genotip MIF merupakan variabel

kategorikal dan dikelompokkan atas GG (alel G),GC dan CC (alel C).

Universitas Sumatera Utara

Page 81: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Pengelompokan atas alel ini penting oleh karena analisis data yang

akan dipresentasikan, lebih bersifat hubungan yang multiplikatif.

e) Angiotensin II plasma: angiotensin II yang diukur kadar pada plasma.

Angiotensin II plasma merupakan variabel numerik. Nilai cut off

diambil dari perpotongan sensitivitas dan spesifisitas dan nilai tinggi

bila di atas 18,2 pg/mL.

f) MIF serum ialah kadar MIF yang diukur pada serum. MIF serum

merupakan variabel numerik. Nilai cut off diambil dari perpotongan

sensitivitas dan spesifisitas dan nilai tinggi bila di atas 27,9 ng/mL

g) Tekanan darah: diukur dengan menggunakan sphygmomanometer

air raksa merek Riester buatan Jerman dengan ketelitian 2 mmHg.

Tekanan darah diukur dengan variabel numerik dan dikelompokkan

atas dua kelompok, yaitu hipertensi dan normotensi. Hipertensi ialah

rata-rata tekanan darah sistolik (TDS) dan atau diastolik (TDD) lebih

dari atau sama dengan persentil ke 95 untuk usia, jenis kelamin dan

tinggi badan. Normotensi ialah rata-rata TDS dan atau TDD kurang

dari persentil 95.

h) Proteinuria adalah ditemukan protein dalam urin secara kuantitatif

berdasarkan rasio albumin kreatinin. Rasio albumin kreatinin urin

yang lebih besar dari 2000 µg/mg kreatinin disebut sebagai

proteinuria nefrotik. Remisi adalah apabila lebih kecil dari 2000

µg/mg kreatinin dan pada anak sehat adalah apabila lebih kecil dari

150 µg/mg kreatinin.

Universitas Sumatera Utara

Page 82: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

3.13 Pengolahan dan Analisis Data

a) Analisis univariat untuk frekuensi alel G atau alel C -173 gen MIF

dinyatakan dalam proporsi dan tabel distribusi frekuensi. Data

numerik seperti tekanan darah, kadar angiotensin II, kadar MIF, dan

kadar proteinuria dinyatakan dalam rerata dan simpangan baku

atau median dan rentang (untuk data tidak berdistribusi normal).

b) Selanjutnya dilakukan analisis bivariat untuk menentukan

kemaknaan antara variabel bebas dan variabel tergantung. Uji

regresi logistik digunakan untuk analisis perbedaan berbagai

kelompok subjek dan frekuensi alel G atau alel C-173 gen MIF. Uji

Kruskal Wallis digunakan untuk analisis perbedaan kadar MIF

serum dan kadar angiotensin II plasma di antara berbagai

kelompok subjek. Uji korelasi Spearman digunakan untuk analisis

korelasi kadar MIF dan angiotensin II .

c) Tahap akhir dilakukan analisis multivariat untuk mengetahui

hubungan kandidat variabel bebas terhadap variabel tergantung

secara bersama sama. Analisis multivariat antara alel G atau C

-173 gen MIF, peningkatan kadar angiotensin II plasma dan MIF

serum, serta hipertensi secara bersama sama terhadap risiko

SNRS menggunakan uji regresi logistik. Kebermaknaan secara

statistika diperoleh jika nilai p di bawah 0,05 dengan nilai interval

kepercayaan 95%. Analisis statistik yang digunakan memakai

perangkat statistik SPSS versi 12.0.

Universitas Sumatera Utara

Page 83: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Selama kurun waktu penelitian (November 2011 - September 2012)

berpartisipasi 120 subjek yang terbagi atas tiga kelompok yaitu

kelompok SNRS (40 anak), kelompok SNSS fase remisi (40 anak), dan

kelompok anak sehat (40 anak).

4.1 Demografi Subjek Penelitian

Subjek penderita SN berasal dari berbagai rumah sakit di

Sumatera dengan perincian pada Tabel 2 di bawah ini. Mayoritas

penderita SN diperoleh dari RS.H. Adam Malik Medan. Subjek anak

sehat terbanyak berasal dari sekolah menengah pertama.

Tabel 2. Asal Subjek Penelitian

Subjek Asal subjek SNRS (orang)

SNSS fase remisi

(orang)

Jumlah (orang)

Penderita SN

RS. H. Adam Malik 17 38 55 RS. Dr. Pirngadi 3 3 RS. Herna 3 3 RS. Malahayati 2 2 RS. Zainul Abidin 4 2 6 RS. M. Djamil 4 4 RS. M. Hoesin 1 1 RSUD. Pekanbaru 6 6

Anak sehat

Pra sekolah Sekolah Dasar Sekolah Menengah Pertama Sekolah Menengah Atas

3 14 15 8

Jumlah 120

Universitas Sumatera Utara

Page 84: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Tabel 3. Karakteristik Demografi Subjek Penelitian

Karakteristik SNRS n= 40

SNSS n = 40

Anak Sehat n = 40

Umur saat studi, rerata (SB) (tahun)

8,3 (4,5) 8,3 (3,9) 11,6 (3,8)

Umur awitan, rerata (SB) (tahun)

5,9 (3,3) 6,2 (3,2) -

Jenis kelamin,n (%) Laki laki 31(77,5) 24(60) 22 (55) Perempuan 9 (22,5) 16 (40) 18 (45) UACR, rerata (SB) (µg/mg) 6273 (4245) 125 (328) 6 (5,7)

Karakteristik demografi subjek dapat dilihat pada tabel 3. Rerata umur

awitan grup SNRS 5,9(3,3) tahun dan 77,5% berjenis kelamin laki-laki.

Lama sakit sejak awitan hingga saat studi berkisar 1 hingga 13 tahun.

Rerata UACR pada grup SNRS adalah 6273(4245) µg/mg, hal ini amat

berbeda dengan grup SNSS fase remisi dan anak sehat .

Tabel 4. Perbedaan Frekuensi Hipertensi diantara Grup

Tekanan darah SNRS n=40

SNSS n=40

Anak sehat n=40

HTS dan atau HTD 23 5 4 Normotensi 17 35 36

Proporsi hipertensi pada grup SNRS adalah 23 dari 40 orang, dan pada

grup SNSS fase remisi 5 dari 40 orang. Sedangkan pada anak sehat

masih dijumpai hipertensi pada 4 dari 40 anak. Tiga orang diantara

anak yang sehat mengalami overweight dan satu orang lainnya

memiliki riwayat hipertensi pada kedua orang tua.

Tata laksana yang diperoleh pada subjek SN dapat dilihat pada

tabel 5. Grup SNRS paling banyak mendapatkan tata laksana berupa

prednison dan cyclophosphamid intravena, sedangkan grup SNSS fase

remisi terbanyak berada dalam masa tanpa pengobatan prednison

Universitas Sumatera Utara

Page 85: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

selang hari. Masa ini dihitung maksimal 2 minggu sejak saat

penghentian dosis prednison terakhir hingga saat pengambilan darah.

Tabel 5. Frekuensi Tata Laksana yang Diperoleh Subjek SN

Tata laksana Regimen pengobatan SNRS n =40

SNSS n=40

Total dosis prednison saat inklusi

(mg/m2 LPT) Pred + CPA iv 750 mg/m2

+ Pred AD / bln x 6 bln 22 - 38,5 (2,1)

Pred + CPA oral

2-2,5 mg/kg/hari x 12 mgg + Pred AD

14 - 39 (2,8)

Pred + CsA 3-5 mg/kg/hari dalam dosis terbagi x 1-2 thn

+ Pred AD

2 - 32,3 (4,2)

Pulse MP + Pred+CPAoral

30 mg/kg 4 mgg sekali + Pred + CPA oral

2 - 31,4 (3,4)

Pred AD saja 0,5-1,5 mg/kg/hari - 17 12,3 (8,5) Tanpa pengobatan*

- - 23 -

Keterangan: Pred : Prednison;CPA :Cyclophosphamide;CsA : Cyclosporine A; Pulse MP: pulse metil prednisolone; Pred AD: Prednison alternating days; *tanpa pengobatan adalah apabila sampel darah diambil di dalam masa 2 minggu setelah stop Pred AD; iv : intravena, LPT: luas permukaan tubuh; mgg: minggu; bln: bulan; thn: tahun 4.2 Distribusi dan Hubungan Alel C -173 Gen MIF Menurut Grup

Distrtibusi dan hubungan antara kelompok diagnosis anak

(SNRS, SNSS. anak sehat) dan alel gen MIF ditunjukkan pada Tabel 6

dan 7.

Pada Tabel 6, studi ini lebih fokus pada frekuensi alel (tabel 2x3

antara alel G dan alel C dengan grup studi) daripada frekuensi genotip

(frekuensi GG, GC dan CC dengan grup studi) oleh karena adanya

dugaan bahwa risiko penyakit meningkat apabila frekuensi suatu alel

meningkat. Jadi, frekuensi genotip GC dan CC dianggap suatu alel

yang tidak dapat dipisah-pisahkan (inherensia).

Universitas Sumatera Utara

Page 86: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Tabel 6. Distribusi Antara Grup dan Frekuensi Alel

Grup N Frekuensi alel p

Alel G Alel C GG GC CC

SNRS SNSS Anak sehat

40 40 40

14 28 24

22 11 13

4 1 3

0,005*

*uji chi square untuk melihat hubungan antara kelompok diagnosis dengan alel

Pada tabel 6 ditunjukkan bahwa frekuensi alel C gen -173 MIF pada

kelompok SNRS lebih tinggi dibandingkan kelompok SNSS dan anak

sehat.

Hubungan alel C dengan probabilitas mendapatkan penyakit SN

ditunjukkan pada tabel 7. Regresi logistik merupakan metode analisis

statistika yang tepat untuk menyatakan prediksi suatu alel di dalam pola

interaksi genotip (Lewis dan Knight,2012). Hal ini penting dilakukan

untuk meningkatkan kekuatan hubungan di dalam studi.

Tabel 7. Hubungan Grup dengan Alel C-173 Gen MIF

Grup p OR (IK95%)

SNRS 0,025 2,79 (1,13-6,89)*

SNSS 0,348 0,64 (0,25-1,62)

Anak sehat ref

Keterangan: * uji regresi logistik

Pada Tabel 7 diperlihatkan bahwa ada asosiasi antara SNRS dan alel

C. Penderita SNRS memunyai alel C tiga kali lebih banyak

dibandingkan dengan SNSS/anak sehat (OR 2,79 ; IK 95% 1,13 sampai

6,89). Kondisi annealing primer paling optimal adalah pada suhu 60 °C

Universitas Sumatera Utara

Page 87: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

selama 45 detik (Tabel 8). Kondisi suhu dan waktu annealing yang

optimal perlu ditetapkan dahulu, agar hasil optimal.

Tabel 8. Kondisi Genotip Polimorfisme -173 G Ke C Gen MIF di dalam Studi

Marker MIF

Sekuens primer Kondisi annealing

ER Alel Hasil (bp)

G-173C F:5’-ACT-AAG-AAA-GAC-CCG-AGG-C-3’ R:5’-GGG-GCA-CGT-TGG-TGT-TTA-C-3’

60°C 45 detik Alu-I G C

268 205,63

Keterangan:G-173C=G ke C -173 gen MIF;F=forward;R=reverse;ER=enzim restriksi

Gambaran elektroforesis produk PCR setelah digesti dengan enzim Alu

I dapat dilihat pada Gambar 11 di bawah ini.

.

Gambar 11. Gambaran Elektroforesis Produk PCR Setelah Digesti dengan Enzim Alu I dari Ketiga Genotip. Keterangan: K= kontrol; M= marker; lane 4 dan 5 genotip GC tampak pita pada 268 bp, 205 bp dan 98 bp; lane 6,11,12 genotip GG tampak pita pada 268 bp dan 98 bp; lane 10 genotip CC tampak pita pada 205 bp.

268 bp

205 bp

98 bp

Universitas Sumatera Utara

Page 88: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

4.3 Sebaran dan Hubungan Konsentrasi Angiotensin II Plasma dan MIF Serum Menurut Grup

Sebaran konsentrasi angiotensin II plasma dan MIF serum dapat

dilihat pada gambar 12 dan 13 berikut ini.

Gambar 12. Boxplot Kadar Angiotensin II pada Setiap Grup

Gambar 13. Boxplot Kadar MIF pada Setiap Grup

Universitas Sumatera Utara

Page 89: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Hubungan antara ketiga grup pada setiap parameter dapat dilihat pada

tabel 9 di bawah ini.

Tabel 9. Hubungan Angiotensin II dan MIF antara Grup

Parameter SNRS n = 40

SNSS n=40

Anak sehat n = 40 p

MIF median (range, ng/mL)

31,9 (14,3-117,2) 25,7 (10,4-64,8) 27,4 (11,4 -96) 0,04•

Ang II median (range, pg/mL)

22,7 (3,1-153,4) 15,7 (1,7-139,5) 13,2 (5,2-72,7) 0,01•

* uji Kruskal Wallis

4.4 Korelasi Antara Angiotensin II dan MIF Korelasi antara nilai MIF dan angiotensin II dapat dilihat pada

Gambar 14. Korelasi Spearman digunakan karena data tidak

berdistribusi normal. Korelasi ini menunjukkan arah korelasi positif dan

kekuatan korelasi sangat lemah.

Gambar 14. Scatter Plot Kadar MIF dan Angiotensin II

Universitas Sumatera Utara

Page 90: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

4.5 Analisis Multivariat

Untuk mengetahui hubungan alel C, angiotensin II dan MIF

secara bersama sama dengan hipertensi terhadap faktor risiko SNRS

maka dilakukan uji multipel regresi logistik. Karena nilai MIF dan

angiotensin II dikatakan tinggi belum ada batasan,yang diambil sebagai

cut off adalah nilai perpotongan sensitivitas dan spesivisitas. Setiap

variabel yang memiliki nilai p lebih kecil dari 0,25 pada analisis bivariat

(Tabel 10) akan dimasukkan ke dalam model regresi logistik.

Tabel 10. Analisis Bivariat Faktor Risiko Resisten Steroid pada SN

Variabel SNSS n=40

SNRS n=40

p

Alel Alel G Alel C

28 12

14 26

0,002

TDS Hipertensi Normotensi

3 37

18 22

0,001

TDD Hipertensi Normotensi

3 37

17 23

0,000

MIF >27,9 ng/mL ≤27,9 ng/mL

23 17

16 24

0,117

Ang II >18,2 pg/mL ≤18,2 pg/mL

25 15

16 24

0,044

Variabel kelompok SNSS diberi kode 0, kelompok SNRS diberi

kode 1. Variabel alel C, angiotensin II dan MIF yang tinggi, hipertensi

sistolik dan diastolik diberi kode 1, sedangkan alel G, angiotensin II dan

MIF yang normal, normotensi sistolik dan diastolik diberi nilai 0,

sehingga didapat model persamaan keberadaan resisten steroid

(Tabel 11).

Universitas Sumatera Utara

Page 91: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Tabel 11. Model Pertama Keberadaan Resisten Steroid

Model

Koefisien SE p OR IK 95%

Konstanta -1,96 0,59 0,001

HTS 1,86 0,78 0,018 6,45 1,38-30,01

HTD 1,23 0,78 0,117 3,42 0,73-15,91

Alel C 1,36 0,55 0,013 3,91 1,33-11,50

MIF> 27,9 ng/mL 0,76 0,57 0,180 2,14 0,70-6,50

Ang II> 18,2 pg/mL 0,45 0,56 0,416 1,58 0,53-4,72

Selanjutnya dilakukan uji regresi logistik dengan metode forward

stepwise (Wald) untuk menemukan model sesuai dengan data yang

ada (Tabel 12).

Tabel 12. Model Kedua Keberadaan Resisten Steroid

Model

Koefisien SE p OR IK 95%

Konstanta -1,3 0,4 0,001

HTS 1,8 0,7 0,020 5,84 1,3-25,7

HTD 1,5 0,7 0,057 4,30 1,0-19,3

Alel C 1,4 0,5 0,012 3,90 1,4-11,1

Model pada Tabel 11 dan Tabel 12 di atas menunjukkan adanya

perubahan nilai OR untuk hipertensi sistolik dan hipertensi diastolik,

sedangkan untuk alel C tidak terjadi. Walaupun variabel angiotensin II

dan MIF tidak signifikan (Tabel 11), ternyata mampu menyebabkan

perubahan nilai OR pada hipertensi sistolik dan diastolik, apabila kedua

variabel tersebut tidak dimasukkan ke dalam model (Tabel 12). Hal ini

menunjukkan pentingnya mengambil Tabel 11 sebagai model terbaik,

Universitas Sumatera Utara

Page 92: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

sekaligus menunjukkan peran kedua variabel ini pada keberadaan

resisten steroid. Sehingga didapat nilai probabilitas yaitu:

p =

dimana:

p = nilai probabilitas untuk risiko SNRS pada individu,

e = bilangan alamiah,

TDS = tekanan darah sistolik,1= hipertensi sitolik (HTS),

TDD = tekanan darah diastolik,1= hipertensi diastolik (HTD),

0= normotensi

Alel = alel G atau C, 1 = alel C , 0 = alel G ,

Kadar MIF dan angiotensin II , 1= kadar di atas nilai cut off,

0 = kadar di bawah atau sama dengan nilai cut off.

Berdasarkan perhitungan di atas bahwa interaksi variabel dengan

probabilitas di atas 50% adalah (Tabel 13):

Tabel 13. Nilai Kekuatan Interaksi Variabel Pada Model

Interaksi variabel Probabilitas HTS+HTD+Alel C+ MIF+Ang II 97,7% HTS+HTD+Alel C 91,7% HTS+HTD+MIF+AngII 91,2% HTS+HTD 74% Alel C+MIF+AngII 67%

Interaksi variabel HTS+HTD+MIF+Ang II memiliki probabilitas 91,2 %

sedangkan HTS+HTS saja memiliki probabilitas 74%. Interaksi variabel

ini penting dan memiliki aplikasi klinis, oleh karena variabel MIF dan

angiotensin II memengaruhi secara nyata variabel hipertensi.

1

1 + e – (-1,96 + 1,8 x HTS + 1,2 x HTD + 1.4 x alel C + 0,8 x MIF + 0,5 x angII )

Universitas Sumatera Utara

Page 93: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

4.6 Pengujian Hipotesis

4.6.1 Hipotesis I

Frekuensi alel C -173 gen MIF lebih tinggi pada anak SNRS daripada

SNSS dan anak sehat

Uji hipotesis: hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa kelompok

SNRS memiliki OR sebesar 2,79 (IK 95% 1,13 sampai 6,89) memiliki

alel C dibandingkan dengan anak sehat dengan nilai p sama dengan

0,025 (signifikan). Hasil analisis multivariat dengan regresi logistik

menunjukkan bahwa alel C memunyai nilai p sama dengan 0,013 (IK

95% 1,3 sampai 11,5). Hal ini berarti menjawab hipotesis I.

4.6.2 Hipotesis II

Kadar angiotensin II plasma lebih tinggi pada anak SNRS daripada

anak SNSS dan anak sehat.

Uji hipotesis : hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa kelompok

SNRS memiliki kadar angiotensin II plasma yang lebih tinggi dengan

median dan kisaran 22,7 (3,1-153,4) pg/mL dibandingkan dengan

kedua kelompok lainnya (p sama dengan 0,01). Hal ini berarti

menjawab hipotesis II.

4.6.3 Hipotesis III

Kadar MIF serum lebih tinggi pada anak SNRS daripada anak SNSS

dan anak sehat

Uji hipotesis : hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa kelompok

SNRS memiliki kadar MIF serum yang lebih tinggi dengan median dan

Universitas Sumatera Utara

Page 94: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

kisaran 31,9 (14,3-117,2) ng/mL dibandingkan dengan kedua kelompok

lainnya (p sama dengan 0,04). Hal ini berarti menjawab hipotesis III.

4.6.4 Hipotesis IV

Ada korelasi positif antara kadar MIF serum dan angiotensin II plasma

Uji hipotesis : Uji korelasi Spearman menunjukkan arah korelasi positif

dengan kekuatan korelasi sangat lemah (r sama dengan 0,27) dan p

sama dengan 0,003. Hal ini berarti menjawab hipotesis IV.

4.6.5 Hipotesis V

Polimorfisme alel C, peningkatan kadar angiotensin II, dan peningkatan

kadar MIF secara bersama sama dengan hipertensi merupakan faktor

risiko SNRS.

Uji hipotesis: analisis bivariat menunjukkan bahwa setiap variabel

berkontribusi terhadap SNRS dengan p lebih kecil dari 0,25. Hasil

analisis multivariat menunjukkan bahwa hanya hipertensi dan alel C

yang berkontribusi terhadap SNRS (p lebih kecil 0,05) dan tidak

terhadap angiotensin II, serta MIF (p lebih besar 0,05). Walaupun

kedua variabel tersebut tidak signifikan, kontribusi keduanya terhadap

variabel hipertensi amat penting. Oleh karena itu, model multivariat

dengan memasukkan seluruh variabel termasuk juga variabel

angiotensin II dan MIF merupakan model terbaik. Hal ini berarti

menjawab hipotesis V.

Universitas Sumatera Utara

Page 95: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Polimorfisme -173 G Ke C Gen MIF Sebagai Faktor Risiko SNRS

Gen MIF berada pada kromosom 22 dan lokasi polimorfisme -173

merupakan bagian promoter gen. Lokasi ini merupakan tempat awal

transkripsi (coding area) yang penting dalam hal ekspresi respon terhadap

glukokortikoid,sebagai protein. Perubahan urutan DNA pada polimorfisme

terjadi ketika nukleotida tunggal seperti: Adenin=A, Timin=T, Guanin=G,

Cytocine=C di genom, berbeda diantara spesies biologis (manusia).

Variasi basa Guanine ke Cytocine (G ke C) memengaruhi variasi respon

individu terhadap obat-obatan (steroid). Pada studi ini ditemukan bahwa

penderita SNRS memunyai alel C tiga kali lebih banyak (IK 95% 1,13

sampai 6,89) dibandingkan dengan SNSS/anak sehat.

Tabel 14. Perbandingan dengan Studi Lain tentang Frekuensi Alel MIF

Penelitian Frekuensi alel G Frekuensi alel C IK 95% Vivarelli et al SNRS SNSS

56,5 % 77,2 %

43,5 % 22,8 %

1,52-4,47

Berdetelli et al SNRS SNSS

67,5% 88,3%

32,5% 11,7%

2,2 – 6,0

Studi ini SNRS SNSS

35% 70%

65% 30%

1,13 – 6,89

Frekuensi alel polimorfisme ini penting dan memunyai arti klinis, karena

miniatur genotip setiap individu menerangkan peranan genetik terhadap

lokasi histokompatibilitas mayor. Lokasi histokompatibilitas mayor

Universitas Sumatera Utara

Page 96: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

merupakan lokasi spesifik protein yang berperan dalam sistem imun,

termasuk limfosit T, limfosit B dan makrofag (Lewin B., 2000), serta respon

tubuh terhadap sitokin.

Pada galur sel T penghasil reseptor glukokortikoid menunjukkan

adanya perbedaan sekresi sitokin MIF antara galur sensitif dan resistan

glukokortikoid (Leng et al., 2009). Hal ini menunjukkan peranan sel T

dalam mengatur sekresi MIF yang diantarai oleh glukokortikoid.

Podosit dan sel T memunyai mekanisme regulasi bersama yang

menerangkan hubungan respon imun adaptif dan podosit. Podosit

merupakan suatu sel yang kompleks dengan kemampuan regulasi gen.

Kemampuan sel dalam mengatur diri sendiri melalui jalur autokrin ataupun

jalur mediator eksogen merupakan hal yang menarik dari sel ini, termasuk

juga ketidakseimbangan terhadap respon sitokin (Mathieson, 2003).

Fosforilasi reseptor glukokortikoid pada podosit mengganggu ikatan

glukokortikoid dengan reseptor. Aktivasi fosforilasi reseptor glukokortikoid

diatur oleh sitokin proinflamasi (Che dan Zhang, 2013). Persistensi

produksi sistemik sitokin MIF sebagai salah satu sitokin tipe 1 (dominasi

imunitas selular) memengaruhi aktifasi reseptor glukokortikoid dan

mengganggu permeabilitas glomerulus yang menyebabkan proteinuria.

Teknologi SNP dapat dipergunakan untuk mengetahui variasi inter

individu tentang respon obat. Beda utama antara “mutasi” dan

“polimorfisme” tentang variasi sekuensial DNA ialah pada mutasi,

perubahan variasi sekuensial DNA jarang terjadi (frekuensi < 1%). Hal ini

berarti alel yang jarang dijumpai tersebut, merupakan varian abnormal.

Universitas Sumatera Utara

Page 97: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Sedangkan, pada polimorfisme, variasi sekuensial DNA lebih sering

ditemukan pada populasi (frekuensi ≥ 1%), sehingga dapat dijumpai dua

atau lebih alel sebagai alternativ dan tidak ada alel tertentu yang menjadi

standar sekuensial. Variasi genetik ini berperan pada kerentanan individu

terhadap penyakit maupun respon terhadap pengobatan (Shastry, 2007).

Polimorfisme -173 G ke C gen MIF menentukan konsentrasi

sitokin dan respon inflamasi yang dihasilkan sehingga berpengaruh

kepada respon steroid individu. Keadaan ini dipengaruhi oleh adanya

perubahan sekuensial asam amino/protein pada proses transkripsi gen.

Apabila ditelusuri ulang, maka posisi -173 gen MIF merupakan coding

area, yang berperan pada perubahan sekuensial asam amino/protein.

Predisposisi genetik terhadap peningkatan produksi MIF akan

memengaruhi keseimbangan antara glukokortikoid dan MIF.

Keseimbangan glukokortikoid pada individu dengan alel C menjadi

terganggu akibat aktivitas kontraregulasi glukokortikoid oleh peningkatan

kadar MIF (Vivarelli et al., 2008). Ilustrasi dari keadaan di atas dapat

dilihat pada Gambar 15 di bawah ini.

Pada penderita SN dengan alel C respon terhadap glukokortikoid

menjadi lebih rendah karena jumlah MIF bersirkulasi lebih tinggi. Oleh

karena MIF merupakan sitokin pleiotropik yang distimulasi di perifer

ataupun di sentral (podosit dan SSP), konsentrasi MIF yang tinggi akan

mempertahankan aktivasi HPA dengan cara menurunkan ekspresi

reseptor glukokortikoid di inti sel (Zhao et al., 2005; Hammad et al., 2013).

Akibatnya, walaupun jumlah kortikosteroid endogen dan eksogen besar di

Universitas Sumatera Utara

Page 98: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

dalam sirkulasi (Tabel 5), efeknya untuk menurunkan proteinuria terbatas

(van Rossum dan Lamberts, 2006).

Gambar 15. Ilustrasi Keadaan Respon Individu Terhadap Steroid Dihubungkan dengan SNP -173 G Ke C Gen MIF (diambil dari Shastry, 2007 dengan sedikit modifikasi dari penulis (Lampiran 10)).

Apabila kerja steroid terbatas, resistensi steroid bukan hanya

didasarkan kepada corakan histopatologis saja (Berdeli et al., 2005),

melainkan juga pada efek genomik dan nongenomik glukokortikoid (Elly

et al., 2012). Apabila diamati, lokasi gen MIF pada kromosom 22

merupakan kandidat gen hipertensi, walaupun hipertensi secara

keseluruhan masih bisa dipengaruhi oleh multipel gen (Ingelfinger, 2004).

Selain itu keterkaitan gen MIF dengan resisten steroid perlu diwaspadai

sebagai faktor risiko SNRS.

C T A T A C A C A G C

C T A T A G A C A G C

RENDAH (low responder)

TINGGI (high responder)

Respon steroid

SNP -173 G ke C gen MIF

Indivdu A

Indivdu B

G

C

Universitas Sumatera Utara

Page 99: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

5.2 Kadar MIF Serum dan Antagonisme Steroid: Faktor Risiko SNRS

Efek sistemik MIF terhadap respon imun adalah efek

antagonisme terhadap antiinflamasi glukokortikoid melalui jalur HPA dan

sel mononuklear (Daun dan Cannon, 2000). Predisposisi genetik

terhadap peningkatan produksi MIF akan memengaruhi keseimbangan

antara glukokortikoid dan MIF. Oleh karena itu, terapi dengan antibodi

netralisasi anti-MIF, antagonis reseptor MIF, ataupun transkripsi gen

merupakan pilihan terapi untuk SNRS yang sedang dan akan

dikembangkan pada masa mendatang.

Induksi steroid pada fase remisi membuat level MIF akan lebih

rendah apabila dibandingkan dengan pasien yang tidak/sulit mencapai

remisi pada sindrom nefrotik. Namun, apakah peningkatan level MIF ini

berpengaruh terhadap gradasi keparahan (crescent) di glomerulus tidak

dapat disimpulkan dari penelitian ini, dikarenakan juga bukan tujuan yang

ingin dicapai. Akan tetapi studi Yang et al.(1998); Hattori et al.(1999), dan

Sasaki et al.(2004), pada model tikus percobaan ataupun tikus transgenik

menemukan adanya peningkatan glomerular MIF dan kerusakan podosit.

Kadar MIF bersirkulasi memengaruhi influks makrofag ke dinding

sel pembuluh darah terutama glomerular dan interstisial. Keadaan ini

dibuktikan dengan adanya korelasi antara derajat influks makrofag dengan

albuminuria dan luaran fungsi ginjal (Murea et al., 2012;Viannna et al.,

2012). Proses ini merupakan suatu protracted process yang terjadi sejak

tahap awal dari nefropati (eGFR di atas 90ml/menit/1,73m2). Pada

keadaan predialisis, inflamasi bersama faktor lain seperti malnutrisi dan

Universitas Sumatera Utara

Page 100: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

aterosklerosis merupakan hal yang memperberat penyakit ginjal kronis

(Stenvinkel et al., 1999). Bahkan, keseimbangan sitokin MIF memunyai

efek protektif pada kerusakan vaskular (Pan et al., 2004). Keadaan ini

menunjukkan bahwa belum ada yang sempurna dalam penatalaksanaan

pasien SNRS bila hanya mengatasi faktor proteinuria saja. Faktor lain

seperti peningkatan MIF yang bersirkulasi dan penatalaksanaan

hipertensi, juga perlu diwaspadai.

Kadar MIF yang tinggi pada pasien resisten steroid (Tabel 9)

menunjukkan peranan MIF dalam antagonisme efek glukokortikoid. Efek

steroid dihalangi oleh peningkatan MIF bersirkulasi. Glukokortikoid

seharusnya bekerja menghambat pembentukan sitokin yang dihasilkan

oleh makrofag in vitro. Namun, dengan peningkatan kadar MIF, kerja

glukokortikoid tadi dihambat (Donnely dan Bucala, 1997; Lan, 2008).

Penghambatan kerja glukokortikoid diperankan MIF dengan cara

menghambat aktivasi reseptor glukokortikoid di sel.

Proteinuria “sedikit banyak” disebabkan oleh efek sitokin yang

bersirkulasi terhadap permeabilitas glomerular. Keberadaan faktor ekstra

renal sebagai agen penyebab proteinuria dibuktikan dengan minimnya

perubahan inflamasi pada parenkim renal penderita SN. Apabila serum

pasien GSFS diinkubasi pada glomerulus tikus tanpa kelainan renal

secara in vitro, akan menunjukkan peningkatan permeabilitas glomerulus

terhadap albumin (Savin et al., 1996). Carvalho et al.(2004) menemukan

bahwa konsentrasi sitokin tetap tinggi walaupun diberikan dosis tinggi

glukokortikoid. Hal ini memengaruhi sensitivitas jaringan terhadap

Universitas Sumatera Utara

Page 101: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

glukokortikoid (Mehls dan Hoyer, 2011). Risiko resisten steroid pada SN

lebih besar apabila sensitivitas podosit terhadap glukokortikoid terganggu.

5.3 Kadar Angiotensin II Plasma dan Hipertensi: Faktor Risiko SNRS

Studi tentang efek angiotensin II sistemik khususnya pada pasien

sindrom nefrotik masih terbatas. Karena itu, studi ini mencoba meneliti

tentang efek angiotensin II sistemik dalam mengendalikan tekanan darah

dan albuminuria pada anak SN.

Efek vasokonstriktor angiotensin II lebih nyata pada arteriol efferen

dibandingkan dengan arteriol afferen dan menyebabkan peningkatan

tekanan kapilar glomerulus. Kerusakan target organ akibat hipertensi

umumnya terjadi akibat pengaruh peningkatan pembentukan angiotensin

II ataupun karena penurunan degradasi angiotensin II. Hal ini

menimbulkan abnormalitas tonus pembuluh darah, abnormalitas

pengaturan air dan sodium,serta adanya remodeling vaskular (Raij, 2001).

Apabila kadar sistemik angiotensin II meningkat, aliran darah renal

menurun secara progresif. Hal ini menyebabkan peningkatan fraksi filtrasi

glomerulus. Resistensi pembuluh darah yang lebih rendah dibandingkan

dengan korteks dapat meningkat sebagai respon peningkatan angiotensin

II. Keadaan ini memberi efek proteksi karena aliran darah ke medulla

relatif lebih ‘terjaga’ dibandingkan dengan aliran ke korteks ginjal (Denton,

Anderson dan Sinniah, 2000; Takenaka, Hayashi dan Ikenaga, 2004).

Mekanisme efek angiotensin II pada pasase protein transglomerular

dipengaruhi oleh tonus arteriol efferen, tekanan intra glomerular, dan

aliran plasma ke glomerular (Langham et al., 2004). Penelitian dengan

Universitas Sumatera Utara

Page 102: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

tikus yang diberi infus angiotensin II selama 14 hari disertai diet normal

menyebabkan peningkatan tekanan darah dan hal ini berhubungan

bermakna dengan peningkatan eksresi protein urin. Beberapa model tikus

penelitian yang menunjukkan hasil yang sama ternyata berbeda dalam hal

produksi degradasi angiotensin II (Raij, 2001).Herizi et al.(1998)

menemukan perbedaan yang bermakna antara ekskresi albumin urin dan

tekanan arteri sistolik sebelum/sesudah diberikan angiotensin II pada tikus

percobaan.Pemakaian obat penghambat ACEI ataupun ARB dalam

praktik sehari-hari memengaruhi degradasi angiotensin II sehingga

mengurangi proteinuria dan memunyai efek protektif renal (Tsikouris dan

Cox, 2003; Partini, 2007). Keadaan ini masih “berbahaya” karena manfaat

ACEI dalam menghambat progresif ke arah gagal ginjal akan “hilang”

dengan bertambahnya waktu (Neild, 2009).Hal ini menunjukkan bahwa

masih ada mekanisme lain bekerja menghambat regresi PGK (Fogo,2006)

Efek lain peningkatan angiotensin II sistemik pada SN adalah

berkurangnya kemampuan ginjal untuk mengekskresikan sodium melalui

beberapa cara, bukan hanya di ginjal melainkan juga melalui kontrol SSP.

Peningkatan reabsorbsi sodium di tubulus ginjal; peningkatan pelepasan

norepinefrin dari ujung saraf simpatis ginjal; terganggunya pengaturan

barorefleks kardiak oleh nervus simpatis renal (Sanchez-Palachios,Jones,

dan DiBona, 1998;Kumagai et al., 2004) merupakan contoh interaksi renal

dan SSP dalam penanganan sodium.Keseluruhan keadaan ini

memfasilitasi aksi simpatis dan hemodinamik (peningkatan preload,

Universitas Sumatera Utara

Page 103: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

afterload, dan tegangan vaskular) terhadap tekanan darah pada individu

dengan peningkatan angiotensin II sistemik.

Studi ini memperlihatkan kadar angiotensin II plasma pada

berbagai kelompok subjek. Kadar angiotensin II plasma pada subjek

SNRS lebih tinggi dibandingkan dengan SNSS fase remisi ataupun anak

sehat. Walaupun demikian, peneliti gagal menemukan kenormalan

distribusi kadar angiotensin II di antara subjek (Tabel 9) sehingga

hipotesis yang diuji menjadi kurang spesifik karena hanya didasarkan

pada urutan kadar angiotensin II di antara subjek.

Peningkatan kadar angiotensin II sistemik secara terus menerus

(kronik) pada penderita SN merupakan penyebab utama respon

vasokonstriksi vaskular. Respon ini menyebabkan peningkatan tekanan

intraglomerulus dan hiperfiltrasi glomerulus. Respon glomerulus terhadap

hiperfiltrasi glomerulus menyebabkan terjadinya proteinuria (Kaplan, 2006;

Wolf, Butzman dan Wenzel., 2003). Efek steroid dalam mengatasi

proteinuria akibat sekunder hiperfiltrasi glomerulus ini menjadi terbatas

dan dapat meningkatkan risiko resistensi steroid pada penderita SN.

Keadaan proteinuria persisten juga menyebabkan percepatan menuju

PGK tahap akhir (Abbate, Zoja dan Remuzzi, 2006).

5.4 Analisis Korelasi dan Multivariat Frekuensi Alel MIF, Kadar

Angiotensin II Plasma dan Kadar MIF Serum Secara Bersama- sama dengan Hipertensi terhadap Risiko SNRS

Pada studi ini ditemukan korelasi (walaupun sangat lemah) antara

angiotensin II plasma dan MIF yang bersirkulasi, walaupun tidak berarti

memiliki hubungan sebab akibat. Hal ini memperkuat penjelasan bahwa

Universitas Sumatera Utara

Page 104: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

perlekatan monosit/makrofag disertai dengan dihasilkannya sitokin MIF

dan peranan angiotensin II sistemik terhadap MIF yang bersirkulasi.

Hasil menunjukkan korelasi yang sangat lemah, tetapi dapat

dijelaskan bahwa aktivitas MIF cenderung mengikuti kurva sigmoid

daripada kurva linier sehingga efek penuh peningkatan MIF yang

bersirkulasi dapat saja terjadi pada kadar angiotensin II sistemik yang

rendah. Temuan ini lebih lanjut menerangkan bahwa angiotensin II

sistemik bukan merupakan satu satunya faktor yang bertanggungjawab

terhadap peningkatan MIF serum.

Interaksi angiotensin II dan MIF secara sistemik dalam pengaturan

resistensi terhadap glukokortikoid ternyata jauh lebih komplek daripada

yang dibayangkan sebelumnya. Walaupun SSP memiliki barier yang sulit

dilalui oleh hormon, organ sirkumventrikel (CVO) (sebagai lokasi awal

angiotensin II sistemik bekerja di otak) memunyai kelebihan anatomis

berupa kekurangan barier tersebut (Ferguson, Washburn dan Latchford,

2001) sehingga angiotensin II dapat bekerja pada HPA. Aktivasi HPA

akibat respon angiotensin II dalam hubungannya dengan resisten steroid

merupakan kejadian tingkat sel yang diperantarai signal transduksi yang

kompleks dan bila tidak terkoordinasi dapat menimbulkan komplikasi klinis

yang nyata (Tharaux et al., 2000; Sayeski dan Bernstein, 2001).

Pengaruh angiotensin II sistemik terhadap ekspresi gen hipertensi,

belum ditemukan sebagai hubungan kausalitas (Hubner et al., 1999).

Aktivasi NFkB dan AP-1; kompleks protein sebagai pengatur signal tahap

kedua (second messangers) di dalam proses selular angiotensin II untuk

Universitas Sumatera Utara

Page 105: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

ekspresi gen (Ruiz-Ortega et al., 2001), merupakan peran tidak langsung

angiotensin II. Kedua kompleks protein ini mengatur transkripsi mRNA dari

DNA yang komplementer. Walaupun studi ini tidak menganalisis kedua

kompleks protein tersebut oleh karena berbagai keterbatasan; kaitan

angiotensin II terhadap ekspresi gen MIF terjadi melalui kedua kompleks.

Disamping itu, kunci peranan disregulasi angiotensin II bersirkulasi pada

homeostasis hemodinamik, paling baik (secara klinis) diperlihatkan pada

tingkat SSP dan kardiorenal berupa hipertensi.

Apabila angiotensin II sudah bekerja pada tingkat sel, sitokin

seperti MIF juga diatur pada tingkat tersebut sehingga studi ini cukup sulit

menemukan korelasi kuat antara kadar MIF dan angiotensin II. Hal yang

juga sulit diungkapkan melalui studi ini adalah apakah angiotensin II

ataukah MIF yang lebih superior dalam aktifasi HPA. Perlu diingat bahwa

hormonal/neurotransmitter bekerja seperti tongkat komando (Don, Biglieri,

dan Schambelan,1997) dalam pengaturan intrasel selanjutnya bersama-

sama dengan faktor genetik. Hal ini dibuktikan dengan studi mikroarray

ekspresi DNA yang menggunakan kultur neuron tikus. Hasilnya

menunjukkan bahwa angiotensin II adalah terbesar dalam mengatur

regulasi gen MIF (Busche et al., 2001)

Masalah utama pemodelan pada analisis multivariat adalah

memilih sedemikian banyak kovariat ke dalam model terbaik. Keputusan

untuk tetap mempertahankan variabel tertentu dalam suatu model

didasarkan pada keputusan klinis atau signifikan secara statistika. Hal ini

nyata pada hipotesis V studi ini. Walaupun model final regresi logistik

Universitas Sumatera Utara

Page 106: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

hanya menjawab sebahagian variabel yang disangkakan hipotesis V studi

ini (Tabel 12), kadar MIF dan angiotensin II sebagai faktor risiko SNRS

tetap perlu diperhatikan (Tabel 11). Hal ini disebabkan model regresi Wald

mengandung kelemahan mendasar, yaitu hanya didasarkan uji signifikansi

variabel dan tidak dilandasi kerangka teoritik/keputusan klinis. Sebagai

klinisi hal di atas memang penting. Namun, lebih penting lagi adalah hasil

akhir pada penderita SNRS. Manifestasi nyata dari keseluruhan proses

biomolekul angiotensin II dan MIF dalam resistensi glukokortikoid adalah

hipertensi yang perlu diwaspadai bersama proteinuria persisten dalam

pengelolaan SNRS. Oleh karena itu, studi ini tetap memilih seluruh

variabel (Tabel 11) sebagai model terbaik.

Nilai probabilitas peningkatan risiko SNRS pada individu apabila

ditemukan hipertensi bersama alel C berkisar 91,7% (Tabel 13). Data studi

ini mengenai risiko SNRS menjelaskan peranan hipertensi saja lebih

kurang 74%, sedangkan apabila ditambah alel C berkisar 91,7%. Hal ini

berarti beda peran gen dan nongen terhadap risiko SNRS pada individu

dengan hipertensi berkisar 18% lagi. Walaupun demikian, validasi nilai ini

dalam praktik sehari hari, masih memerlukan penelitian lanjutan.

Studi ini merupakan studi pertama yang menjelaskan hubungan

sitokin MIF dan angiotensin II terhadap SNRS dengan fungsi ginjal di atas

90 ml/menit/1,73m2. Walaupun dalam studi ini belum ditemukan pasien

SNRS dengan fungsi ginjal di bawah 90 ml/menit/1.73m2 secara kohort

(menandakan sekuele renal jangka panjang), bagi para klinisi amat

penting mencegah pasien SNRS yang merupakan derajat I K/DOQI,

Universitas Sumatera Utara

Page 107: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

progresif ke derajat yang lebih tinggi. Pengaturan kadar sitokin MIF dan

penatalaksanaan hipertensi berdampak terhadap penyakit ginjal

dini/disfungsi vaskular dan akan dapat memberikan inovasi terapi untuk

mencegah atau memperbaiki nefropati/kerusakan vaskular.

5.5 Hipertensi, Angiotensin II Sistemik dan Peranan dalam Gangguan

Struktur/Fungsi Ginjal

Peninggian tekanan darah sistemik merupakan prediktor

terjadinya kerusakan ginjal lebih lanjut pada anak. Infus dosis kronik

angiotensin II pada tikus percobaan menyebabkan peningkatan tekanan

darah sistolik dan gangguan relaksasi vaskular lebih nyata daripada

subjek dengan kadar angiotensin II rendah (Rajagopalan et al.,1996).

Hipertensi yang diinduksi angiotensin II pada tikus percobaan juga

menyebabkan infiltrasi makrofag di sel glomerular dan tubular disertai

induksi berbagai sitokin (Hurairah dan Ferro, 2004; Liao et al., 2008).

Salah satunya adalah sitokin MIF (Lan, 2008).

Hal di atas menunjukkan bahwa angiotensin II sistemik bukan

hanya menyebabkan vasokonstriksi (sebagai fungsi hemodinamik), tetapi

juga berperan dalam pengambilan/rekrutmen makrofag lokal di ginjal

(fungsi non hemodinamik). Walaupun studi ini tidak melakukan

pengukuran angiotensin II di jaringan ginjal karena keberadaan

mekanisme independen renin angiotensin pada ginjal juga perlu

diperhatikan (van Kats et al., 2001), data kami tentang angiotensin II

sistemik perlu dipertimbangkan karena studi tentang angiotensin II

sistemik dalam hubungannya dengan SNRS masih sedikit diteliti.

Universitas Sumatera Utara

Page 108: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Pasien SNRS yang mengalami hipertensi memunyai risiko

terjadinya penurunan faal ginjal yang progresif di kemudian hari

(Kaplan,2006). Memang bukan hanya angiotensin II sistemik saja yang

dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah. Artinya, cukup banyak

hal yang memengaruhi tekanan darah (misalnya pengaturan tekanan

darah jangka pendek dan jangka menengah). Namun, angiotensin II

sistemik merupakan efektor SRAA yang berperan penting dalam

pengaturan tekanan darah jangka panjang (Guyton, 1991;.Navar dan

Hamm,1999). Persistensi peningkatan angiotensin II di sirkulasi

menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri, yang pada gilirannya

dapat menyebabkan respon glomerulus berupa hiperfiltrasi dan proteinuria

persisten (Miller, Rennke, dan Meyer,1991; Kaplan, 2006; Wolf,Butzman

dan Wenzel, 2003).

Hal yang perlu diingat adalah bahwa hiperfiltrasi dan hipertensi

kapiler glomerulus umumnya disertai hipertensi sistemik walaupun tidak

mutlak terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan untuk menurunkan

hipertensi sistemik saja, tanpa melakukan koreksi terhadap hiperfiltrasi

dan hipertensi glomerular, juga tidak banyak manfaatnya dalam

menurunkan derajat kerusakan glomerular (Brenner,Lawler dan

Mackenzie, 1996; Taal,Lucyckx dan Brenner, 2003). Oleh karena itu,

terapi dietatik yang optimal (Mitch, 1997) dan terapi farmakologis yang

rasional perlu dilakukan untuk mengendalikan tekanan darah dan

proteinuria (Taal, Lucyckx dan Brenner, 2003). Target tekanan darah pada

batas bawah normal akan menurunkan 35% risiko terjadinya penurunan

Universitas Sumatera Utara

Page 109: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

50% fungsi ginjal. Begitu juga dengan proteinuria akan menurun 50%

dengan kontrol tekanan darah yang ketat (The ESCAPE Trial Group,

2009). Oleh karena itu, skrining rutin albuminuria pada pasien yang

mengalami peningkatan tekanan darah menjadi pilihan (Volpe, 2008).

Angiotensin II berperan dalam perburukan proteinuria dan

kerusakan renal lebih lanjut (Fogo, 2006). Walaupun kebanyakan jurnal ini

mengetengahkan pasien dewasa dengan hipertensi esensial, perburukan

proteinuria dan kerusakan ginjal lebih kurang sama prosesnya dengan

pasien anak yang mengalami hipertensi disertai gangguan ginjal

(hipertensi sekunder) sehingga peranan angiotensin II sistemik menjadi

kritikal dalam penatalaksanaan SNRS.

5.6 Hubungan Sitokin MIF Terhadap Proteinuria Menetap dan Gangguan Struktur/Fungsi Ginjal

Peranan proteinuria menetap dengan kerusakan struktur (tubulo

interstisial) dan gangguan fungsi ginjal merupakan dasar studi

eksperimental dan studi klinis tentang kerusakan ginjal (Zandi-Nejad et al.,

2004). Pasien proteinuria nefrotik menetap lebih sering mengalami PGK

stadium lanjut daripada pasien dengan derajat rendah atau tidak ada

proteinuria (Abate, Zoja dan Remuzzi, 2006).

Tubulus dan interstisial renal memiliki peranan penting terhadap

terjadinya kerusakan struktur dan gangguan fungsi ginjal pada proteinuria

menetap. Albumin bekerja sebagai pembawa (carrier) terhadap mediator

inflamasi yang diperankan oleh angiotensin II dan selanjutnya

menyebabkan influks sel-sel imunokompeten (makrofag maupun monosit)

Universitas Sumatera Utara

Page 110: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

ke tubulointerstisial. Hal ini mengaktifkan sel tubulus proksimal melalui

signal intrasel terhadap aktivasi transkripsi gen sitokin serta fibrosis (Wolf,

2000; Takase et al., 2003; Eddy, 2004).

Pada keadaan normal membran basalis tubulus berfungsi sebagai

barier antara tubulus dan kapiler, tetapi bila proteinuria persisten terjadi

kerusakan barier. Hal ini berperan dalam sintesis protein matriks (Zeisberg

et al., 2002) hingga terjadi kerusakan berat tubulointerstisial (Eddy, 2004).

Makrofag merupakan sel multifungsi yang berkemampuan mensekresi

sitokin/protein matriks, dan berdampak terhadap kerusakan

tubulointerstisial (Abate et al, 1998; Donadelli et al., 2000). Penarikan sel

ini dari sirkulasi pada tahap awal kerusakan akut sebenarnya merupakan

langkah yang penting dalam penyembuhan kerusakan semua organ

termasuk ginjal. Namun, jika sel ini persisten/menetap setelah kerusakan

akut menyembuh, respon fibrogenik akan terus berlanjut hingga terjadi

kerusakan berat sel-sel ginjal (Abate, Zoja dan Remuzzi, 2006)

Sitokin MIF dihasilkan oleh makrofag, tetapi bekerja menghambat

migrasi makrofag dari tempat awal kerusakan akut sehingga makrofag

persisten di lokasi tersebut (Subowo, 2009). Akibatnya, terjadi aktivasi

reseptor MIF dan berperan dalam kerusakan renal (Lan, 2008). Ekspresi

MIF pada sel tubulus proksimal (secara in vivo) meningkat signifikan bila

dipajan dengan urin penderita proteinuria masif (Huang et.al., 2008). Hal

ini menunjukkan peranan overload proteinuria terhadap aktivasi mediator

inflamasi dan kerusakan tubulointerstisial.

Universitas Sumatera Utara

Page 111: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Glukokortikoid seharusnya mampu menghambat aksi sitokin ini,

tetapi MIF diinduksi glukokortikoid bekerja antagonis. Konsentrasi

glukokortikoid yang besar di sirkulasi menimbulkan komplikasi respon

endotel vaskular (Iuchi et al., 2003), yang kemudian menimbulkan

hiperfiltrasi/hipertensi glomerular sehingga timbul proteinuria persisten.

Pada keadaan stres akut, peran fungsional MIF memunyai dua efek

yang berbeda, yaitu penting dalam pertahanan tubuh, pada sisi lain

ketidakseimbangan MIF menyebabkan disfungsi organ (Stoppe,

Bernhagen dan Rex, 2013). Namun, di dalam kronisitas penyakit, efek

peningkatan MIF serum tidak selalu menguntungkan. Kontribusi studi ini

dalam aplikasi selanjutnya adalah apabila peningkatan kadar MIF serum

diperbaiki bersama dengan pengelolaan tekanan darah, akan membantu

menurunkan proteinuria dan memperlambat progresivitas PGK.

Studi ini memang hanya studi sekat lintang dan hal ini merupakan

keterbatasan studi ini. Namun, pada era sekarang ini sudah tidak

zamannya lagi “menangisi” keterbatasan, tetapi bagaimana membuat

keterbatasan itu berguna bagi orang banyak (Walach et al., 2006). Oleh

karena itu, data dalam studi ini juga berperan dalam peningkatan kualitas

hidup penderita SNRS dan pencegahan menuju PGK tahap akhir.

5.7 Kelebihan dan Kelemahan Studi

Studi ini memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan. Studi ini

memberikan informasi tambahan tentang hubungan antara polimorfisme

MIF dengan kadar angiotensin II dan MIF pada anak. Studi ini merupakan

Universitas Sumatera Utara

Page 112: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

studi pertama, setelah melakukan studi literatur yang intensif, yang

mengukur kadar MIF serum dan angiotensin II plasma pada penderita SN.

Kadar MIF serum dan angiotensin II plasma dari subjek manusia lebih

menggambarkan keadaan klinis penderita dibandingkan dengan hasil

percobaan binatang. Akhirnya, pada analisis multivariat studi ini, nyata

bahwa angiotensin II memengaruhi regulasi MIF merupakan mekanisme

yang berkontribusi terhadap perkembangan/pemeliharaan hipertensi.

Temuan dari studi ini diharapkan membantu klinisi untuk melakukan

penatalaksanaan yang optimal pada anak SNRS.

Beberapa kelemahan yang terjadi pada studi ini antara lain:

pertama, populasi studi secara klinis amat bervariasi (misalnya, umur dan

lama sakit) dan kemungkinan heterogenitas secara histopatologis besar

sehingga memengaruhi hasil studi ini. Kedua, studi ini merupakan studi

potong lintang sehingga tidak semua relevan data diperoleh, misalnya,

hubungan sebab akibat peninggian MIF serum dan angiotensin II pada

SNRS dengan alel G dan alel C. Hal ini dikarenakan adanya temporal

ambiguity dalam studi. Studi genetika tentunya sudah dimulai sejak masa

prenatal, sedangkan penilaian kadar MIF dan angiotensin II diperiksa

sesaat. Namun, keadaan ini menurut kami tidak memengaruhi hasil yang

substansial dari studi karena adanya analisis multivariat. Analisis

multivariat menggunakan banyak asumsi sehingga penilaiannya

bergantung pada teori yang mendasari. Studi lebih lanjut tetap dibutuhkan

untuk menjelaskan peranan antibodi MIF dan/atau penghambat enzim MIF

sebagai terapi sparring steroid bagi penderita SNRS.

Universitas Sumatera Utara

Page 113: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

1. Frekuensi alel C pada kelompok SNRS lebih tinggi dibandingkan

kelompok SNSS dan anak sehat.

2. Kadar MIF serum lebih tinggi pada SNRS dibandingkan SNSS dan

anak sehat.

3. Grup SNRS menunjukkan kadar angiotensin II plasma lebih tinggi

dibandingkan SNSS dan anak sehat.

4. Ada kekuatan korelasi positif sangat lemah antara kadar angiotensin

II plasma dan MIF serum.

5. Model regresi menjawab sebahagian variabel, yaitu alel C -173 gen

MIF secara bersama sama dengan hipertensi berkontribusi terhadap

SNRS. Walaupun angiotensin II plasma dan MIF serum secara

bersama-sama belum menjawab model yang ada, kepentingan

kedua variabel terhadap variabel hipertensi menunjukkan peran

keduanya dalam analisis model terbaik, untuk keberadaan resisten

steroid.

6.2 Saran

1. Karena pemeriksaan genetika MIF masih mahal, pemeriksaan

polimorfisme dibuat atas indikasi, misalnya pasien SNRS dengan

hipertensi. Data studi ini mengenai risiko SNRS menjelaskan

peranan hipertensi saja lebih kurang 74%, sedangkan apabila

Universitas Sumatera Utara

Page 114: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

ditambah alel C berkisar 91,7%. Hal ini berarti beda peran gen dan

nongen terhadap risiko SNRS pada individu dengan hipertensi

berkisar 18% lagi. Walaupun demikian, validasi nilai ini dalam

praktik sehari hari, masih memerlukan penelitian lanjutan.

2. Mengingat bahwa angiotensin II memengaruhi regulasi MIF

merupakan mekanisme yang berkontribusi terhadap

perkembangan/pemeliharaan hipertensi, maka perlu dikembangkan

antibodi anti-MIF atau inhibitor aktivitas enzim katalis MIF sebagai

terapi sparring steroid bersama dengan pengelolaan hipertensi untuk

mengatasi proteinuria pada SNRS.

Universitas Sumatera Utara

Page 115: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

DAFTAR PUSTAKA

Acharya, B., Shirakawa, T., Pungky, A., Damanik,M. P.,Massi, M. N.,Miyata, M., et al.,2005.Polymorphism of the interleukin 4, Interleukin 13, and signal transducer and activator of transcription 6 genes in Indonesian children with minimal change nephrotic syndrome.Am J Nephrol.25,30-5.

Abbate,M., Zoja,C., Corna,D., Capitanio,M., Bertani,T., Remuzzi,G.,1998. In progressive nephropathis, overload of tubular cells with filtered proteins translates glomerular permeability dysfunction into celluler signals of interstitial inflammation. J Am Soc Nephrol.9,1213-24.

Abbate,M.,Zoja,C.,Remuzzi,G.,2006. How does proteinuria cause progressive renal damage? J Am Soc Nephrol.17,2974-84.

Aeberli, D., Leech, M., and Morand, E., 2006a.Macrophage migration inhibitory factor and glucocorticoid sensitivity.Rheumatology.45,937-43.

Aeberli, D., Yang, Y., Mansell, A., Santos, L., Leech, M., and Morand,E.F., 2006b. Endogenous macrophage migration inhibitory factor modulates glucocorticoid sensitivity in macrophages via effects on MAP kinase phosphatase-1 and p-38 MAP kinase.FEBS.580,974-81.

Arenberg, D. and Bucala, R., 2003.Macrophage migration inhibitory factor (MIF). In: A.W.Thomson, M.T.Lotze, eds.The Cytokine Handbook. 4th

Atlas, S.A., 2007. The renin-angiotensin aldosteron system: pathophysiological role and pharmacologic inhibition. J Manag Care Pharm.13(8),S9-20.

ed.London: Elsevier Science.pp.1037-49.

Bagga, A., and Mantan, M., 2005. Nephrotic syndrome in children.Indian J Med Res.122,13-28.

Barnes,P.J., and Adcock,I.M., 2009.Glucocorticoid resistance in inflamatory diseases.Lancet.373,1905-17.

Barnes,P.J.,2011. Glucocorticoids: current and future directions. Br J Pharmacol.163,111-33.

Berdeli, A., Mir, S., Ozkayin, N., Serdaroglu, E., Tabel, Y., and Cura, A., 2005. Association of macrophage migration inhibitory factor -173 C allele polymorphism with steroid resistance in children with nephrotic syndrome.Pediatr Nephrol.20,1566-71.

Universitas Sumatera Utara

Page 116: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Biyikli, N., Alpay.H, Yildiz, N., Agachan, B., and Ergen, A.,2006. Paraoxonase 1 192 and 55 polymorphisms in nephrotic children. Pediatr Nephrol. 21, 649-54.

Brenner,B.M.,Lawler,E.V., and Mackenzie,H.S.,1996. The hyperfiltration theory:a paradigm shift in nephrology. Stategies for interrupting progressive renal disease.Kidney Int.49,1774-7.

Bruchfeld, A., Carrero, J., Qureshi, A., Lindholm, B., Heimburger, O., Hu, M., et al., 2009. Elevated serum macrophage migration inhibitory factor (MIF) concentration in chronic kidney disease are associated with markers of oxidative stress and endothelial activation.Mol Med.15,70-5.

Bruschi, M., Catarsi, P., Candiano, G., and Rastaldi, M.P., 2003.Apolipoprotein A in idiopathic nephrotic syndrome and focal segmental glomerulosclerosis.Kidney Int.63,686-95.

Busche, S., Gallinat, S., Fleegal, M.A., Raizada, M.K., Sumners, C., 2001. Novel role of macrophage migration inhibitory factor in angiotensin II regulation of neuromodulation in rat brain.Endocrinol.142,4623-30.

Calandra, T.,and Roger,T.,2003.Macrophage migration inhibitory factor: a regulator of innate immunity.Nat Rev Immunol.3,1038-48.

Calbreath,D.F.,1992.Clinical Chemistry: A Fundamental Textbook. Philadelphia: W.B.Saunders Company.

Camici,M.,2007. Nephrotic proteinuria and the autonomic nervous system.Saudi J Kidney Dis Transplant.18(4),512-22.

Carey, R.M., and Siragy, H.M., 2003. Newly recognized components of the renin angiotensin system: potential roles in cardiovascular and renal regulation.Endocrine Rev.24(3),261-71.

Carvalho, P., Franco, P., Elias, L., Facincani, L., Laurenco, E., and Foss, N., 2004. Glucocorticoid receptors, in vitro steroid sensitivity, and cytocine secretion in idiopathic nephrotic syndrome.Kidney Int.65,403-8.

Che,R.,Zhang,A.,2013.Mechanism of glucocorticoid resistance in idiopathic nephrotic syndrome.Kidney Blood Press Res.,37:360-78.

Cho, H.Y., Choi, H.J., Lee, S.H., Lee, H.K., Kang, H.K., Ha, I.S., et al., 2009. Polymorphisms of the NR3CI gene in Korean children with nephrotic syndrome.Korean J Pediatrics.52,1260-6.

Universitas Sumatera Utara

Page 117: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Cvetkovic,I., and Stosic-Grujicic,S.,2006. Neutralization of macrophage migration inhibitory factor-novel approach for the treatment of immunoinflamatory disorders.Int Immunopharmacol.6,1527-34.

Daun, J., and Cannon, J.,2000. Macrophage migration inhibitory factor antagonizes hydrocortisone-induced increases in cytosolic IkB.Am J Physiol Reg Integrative Comp Pysiol.279,R1043-9.

De Benedetti, F., Meazza, C., Vivarelli, M., Rossi, F., Pistorio, A., Lamb, R., et al., 2003.Functional and prognostic relevance of the -173 polymorphism of the macrophage migration inhibitory factor gene in systemic onset juvenile idiopathic arthritis.Arthritis Rheum.48(5),1398 - 407.

Denton, K.M., Anderson, W.P.,and Sinniah R.,2000. Effect of angiotensin II on regional afferent and efferent arteriole dimensions and the glomerular pole. Am J Physiol Regulatory Integrative Comp Physiol.279, R629-38.

DiBona,G.F.,2001.Peripheral and central interactions between the renin-angiotensin system and the renal sympathetic nerves control of renal function.Am N Y Acad Sci.940,395-406.

Dios,A., Mitchell,R.A., Aljabari,B., Lubetsky,J., O’Connor,K., Liao,H.,et al., 2002. Inhibition of MIF bioactivity by rational design of pharmacological inhibitors of MIF tautomerase activity. J Med Chem.45,2410-16.

Djau,V.J., Antman,E.M., Black,H.R., Hayes,D.L., Manson,J.E., Plutzky,J., et al., 2006. The cardiovascular disease continuum validated:clinical evidence of improved patient outcomes.Circulation.114,2850-70.

Don,B.R.,Biglieri,E.G.,Schambelan,M.,1997. Endocrine hypertension. In: F.S.Greenspan, G.J.Strewler,eds. Basic & Clinical Endocrinology. 5th

Donadelli,R.,Abbate,M.,Zanchi,C.,Corna,D.,Tomasoni,S.,Benigni,A.,etal., 2000. Protein traffic activates NF-kappaB gene signaling and promotes MCP-1-dependent interstitial inflammation.Am J Kidney Dis.36,1226-41.

ed. Stanford:Appleton& Lange, pp.359-80.

Donn, R., Alourfi, Z., De Benedetti, F., Meazza, C., Zeggini, E., Lunt, M., et al., 2002.Mutation screening if the macrophage migration inhibitory factor gene.Arthritis & Rheumatism.46,2402-9.

Donnely,S.C.,and Bucala.,1997.Macrophage pigration inhibitory factor: a regulator of glucocorticoid activity with a critical role in inflamatory disease.Mol Med.502-7.

Universitas Sumatera Utara

Page 118: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Eddy,A.A, and Symons,J.,2003. Nephrotic syndrome in childhood. Lancet 362,629-39.

Eddy,A.A.,2004. Proteinuria and interstitial injury. Nephrol Dial Transplant. 19,277-81.

Elly,V., Fakhoury,M., Deschenes,G., Jacqz-Aigrain,E., 2012. Physiopathology of idioptahic nephrotic syndrome: lessons from glucocorticoids and epigenetic perspectives.Pediatr Nephrol.27,1249-56.

Ferguson,A.V., Washburn,D.L.S., and Latchford,K.J.,2001. Hormonal and neurotransmitter roles for angiotensin in the regulation of central autonomic function.Exp Biol Med.226,85-96.

Flaster,H., Bernhagen,J., Calandra, T., and Bucala, R.,2007. The macrophage migration inhibitory factor-glucocorticoid dyad: regulation of inflamation and immunity.Mol Endocrinol.21,1267-80.

Fogo,A.B.,2006. Progression versus regression of chronic kidney disease. Nephrol Dial Transplant.21,281-4.

Funaki, S., Takahashi, S., Wada, N., Murakami, H., Harada, K., 2008. Multiple drug resistant gene 1 in children with steroid-sensitive nephrotic syndrome.Pediatr Int.50,159-61.

Fydryk, J., and Querfeld, U., 2002. The nephrotic syndrome-idiopathic steroid resistant nephrotic syndrome. In:P.Cochat,ed. ESPN Handbook. Switzerland:ESPN,pp.259-62.

Gasparo,M., Catt,K., Inagami,T., Wright, J., and Unger, T.,2000.International union of pharmacology.XXIII.The angiotensin II receptors.Pharmacol Rev.52,415-72.

Glassock,R.,2003. Circulating permeability factors in the nephrotic syndrome:a fresh look at an old problem.J Am Soc Nephrol.14,541-3.

Gruskin,A.B., Dabbagh, S., Fleischmann, L.E., Apostol, E.L., and Mattoo, T.K.,1999.Mechanism of hypertension in childhood diseases. In: T.M.Barratt, E.D.Avner, W.E.Harmon, eds.Pediatric Nephrology. 4th

Guyton, A.C.,1991.Text book of Medical Physiology.8

ed. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins,pp.987-1005.

th

Haack,D.,Scharer,K.,and Vecsei,P.,1999. Glucocorticoid receptors in idiopathic nephrotic syndrome.Pediatr Nephrol.13,653-6.

ed.Philadelphia:WB Saunders Company.

Universitas Sumatera Utara

Page 119: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Hammad,A., Yahia,S., Gouida,M.S., Bakr,A., El-farahaty,R.M.,2013. Low expression of glucocorticoid receptors in children with steroid-resistant nephrotic syndrome.Pediatric Nephrol.28,759-63.

Hattori,M.,Nikolic-Paterson D.J., Miyazaki K., Isbel N.M., Lan H.Y., Atkins R.C., et al.,1999.Mechanism of glomerular macrophage infiltration in lipid induced renal injury.Kidney Int. 55(71),S47-50

Haycock,G.,2003. The child with idiopathic nephrotic syndrome. In: J.A. Nicholas,R.J.Postlethwaite, eds. 2003. Clinical Paediatric Nephrology. 3rd

Herizi, A., Jover, B., Bouriquet, N., and Mimran, A.,1998. Prevention of the cardiovascular and renal effects of angiotensin II by endothelin blockade.Hypertension.31,10-4.

ed. New York: Oxford University Press,pp.341-66.

Hildebrandt, J.D.,2007.Renin Angiotensin System (RAS). Online. Available from: http://www.slideword.org/slidestag.aspx/raas

Hogg,R.J.,Portman,R.J.,Milliner,D.,Lemley,K.V.,Eddy,A., & Ingelfinger,J., 2000. Evaluation and management of proteinuria and nephrotic syndrome in children: recommendations from a pediatric nephrology panel established at the National Kidney Foundation conference on proteinuria, albuminuria, risk, assessment, detection, elimination (PARADE).Pediatrics.105,1242-9.

[Accessed 25 April 2009]

Hogg,R.J., Furth,S., Lemley,K.V., Portman,R., Schwartz,G.J., Coresh,J., et al., 2003. National Kidney Foundation’s Kidney Disease Outcomes Quality Initiative Clinical practice guidelines for chronic kidney disease in children and adolescents:evaluation,classification and stratification. Pediatrics.111,1416-21.

Huang,Z.,Wen,Q.,Zhou,S.,Yu,X.,2008.Differential chemokine expression in tubular cells in response to urinary proteins from patients with nephrotic syndrome.Cytokine.42,222-33.

Hubner,N., Kreutz,R., Takahashi,S., Ganten,D., Lindpaintner,K., 1995. Altered angiotensinogen amino acid sequence and plasma angiotensin II levels in genetically hypertensive rats. A study of cause and effect. Hypertension,26(2),279-84.

Hurairah, H.,Ferro, A.,2004. The role of the endothelium in the control of vascular function.J Clin Pract.58,173-83.

Universitas Sumatera Utara

Page 120: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Ingelfinger,J.R.,2004. Monogenic and polygenic genetic contributions to hypertension. In: R.J.Portman, J.M.Sorof, J.R.Ingelfinger, eds.Clinical Hypertension and Vascular disease: Pediatric Hypertension.New Jersey: Humana Press Inc.,pp.225-38.

ISKDC.,1978. Nephrotic syndrome in children: prediction of histopathology from clinical and laboratory characteristic at time of diagnostic.Kidney Int.13,159-65.

ISKDC.,1981. The primary nephrotic syndrome in children. Identification of patients with minimal change nephrotic syndrome from initial response to prednisone.J Pediatr.98,561-4.

Ito,K.,Chung,F.,and Adcock,I.M.,2006. Update on glucocorticoid action and resistance.J Allergy Clin Immunol.117,522-43.

Iuchi,T., Akaike,M., Mitsui,T., Ohshima,Y., Shintani,Y., Azuma,H., et al., 2003. Glucocorticoid excess induces superoxide production in vascular endothelial cells and elicits vascular endothelial dysfunction.Circ Res.92,81-7.

Jalanko,H.,2003. Pathogenesis of proteinuria: lesson learned from nephrin and podocin.Pediatr Nephrol.18,487-91.

Jan, M., Markus, J., Bernd, H., Querfeld, U., Dirk, E., Grant, M., et al., 2008. The clinical course of steroid sensitive childhood nephrotic syndrome is associated with a functional IL12B promoter polymorphism.Nephrol Dial Transplant.23,3841-4.

Kaplan,N.M.,2006.Clinical Hypertension.9th

Kim, S., Kim, I., Lee, B., Choi, K., Chung, J., Ihm, C., et al.,2003. Apolipoprotein E polymorphism and clinical course in childhood nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol.18, 230-3.

ed.Taunton:Lippincott Williams & Wilkins

Kleemann,R.,Kapurniotu,A.,Frank,R.W.,Gessner,A.,Mischke,R.,Flieger,O.,et al., 1998. Disulfide analysis reveals a role for macrophage migration inhibitory factor as thiol-protein oxidoreductase.J Mol Biol.280,85-102.

Kleinbaum,D.G and Klein,M.,2002. Statistics for Biology and Health. Logistic Regression: A Self Learning Text. 2nd

Kumagai,H., Onami,T., Iigaya,K., Takimoto,C., Imai,M., Matsuura,T., et al., 2004. Involvement of renal sympathetic nerve in pahogenesis of

ed. New York: Springer Science

Universitas Sumatera Utara

Page 121: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

hypertension. In: H.Suzuki,T.Saruta,eds.Kidney and Blood Pressure Regulation.Basel:Karger, vol.143,pp.32-45.

Lan, H.Y.,2008. Role of macrophage migration inhibition factor in kidney disease.Nephron Exp Nephrol.109,e79-83.

Langham,R.G.,Kelly,D.J.,Cox,A.J.,Gow,R.M.,Holthofer,H.,Gilbert,R.,2004.Angiotensin II induces proteinuria and expression of the podocyte slit pore membrane protein, nephrin. Nephrol Dial Transplant.19(1),262-3

Leng, L., Metz, C., Fang, Y., Xu, J., Donnelly, S., Baugh, J.,et al.,2003. MIF signal transduction initiated by binding to CD 74.J Exp Med.197(11), 1467-76.

Leng,L., Wang,W., Roger,T., Merk,M., Wuttke,M., Calandra,T., et al.,2009. Glucocorticoid induced MIF expression by human CEM T cells. Cytokine.48,177-85.

Lewin, B.,2000. Genes VII. 1st

Lewis,C.M., and Knight,J.,2012. Introduction to genetic association studies.Cold Spring Harb Protoc.,doi:10.1101/pdb.top068163.

ed. Massachussets. Oxford University Press

Liao, T., Yang, X., Liu, Y., Shesely, E., Cavasin, M., Kuziel, W., et al., 2008. Role of inflamation in the development of renal damage and dysfunction in angiotensin II induced hypertension.Hypertension.52,256-63.

Lue, H., Kleemann, R., Calandra, T., Roger, T., and Bernhagen,J.,2002. Macrophage migration inhibitory factor (MIF): mechanisms of action and role in disease.Microbes and Infection.4,449-60.

Madiyono, B., Moeslichan, M., Sastroasmoro, S., Budiman, I., and Harry, P., 2002. Perkiraan besar sampel. In: S.Sastroasmoro , S. Ismael, eds. 2002. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. 2nd

Mathieson,P.W.,2003. Immune dysregulation in minimal change nephropathy. Nephrol Dial Transplant.18,26-9.

ed. Jakarta: Sagung Seto,pp.259-86.

McKinney,P.A., Feltbower,R.G., and Brocklebank, J.T.,2001. Time trends and ethnic patterns of childhood nephrotic syndrome in Yorkshire, UK. Pediatr Nephrol.16,1040-4.

Meer,V.D.,Cravedi,P., and Remuzzi,G.,2010. The role of renin angiotensin system inhibition in kidney repair.Fibrogen & Tissue Repair.1-11.

Universitas Sumatera Utara

Page 122: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Mehls,O.,and Hoyer,P.F.,2011. Dosing glucocorticoids in nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol.26,2095-8.

Miller,P.L., Rennke,H.G., and Meyer,T.W.,1991. Glomerular hypertrophy accelerates hypertensive glomerular injury in rats.Am J Physiol. 261,F459-65.

Mitch,W.E.,1997. Influences of diet on the progression of chronic renal insufficiency. In: J.D.Kopple, S.G.Massry,eds. Nutritional Management of Renal Disease. Baltimore:William&Wilkins,pp.317-40.

Morand,E.F,2005. New therapeutic target in inflamatory disease: macrophage migration inhibitory factor.Intern Med J.35,419-26.

Morand,E.F.,Leech,M.,and Bernhagen,J.,2006.MIF: new cytokine link between rheumatoid arthritis and atherosclerosis.Nature Rev Drug Discov.10,1-10.

Murea,M., Register,T.C., Divers, J., Bowden, D.W., Carr, J.J., Hightower, C.R.,et al.,2012. Relationship between serum MCP-1 and subclinical kidney disease.BMC Nephrol.13,148-64.

National Center for Health Statistics in collaboration with the National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion, 2000. Growth charts for the United States: methods and development. Available from: http://www.cdc.gov/growthcharts

Navar, L. and Hamm, L.,1999. The kidney in blood pressure regulation. In: Schrier R.W.,ed. Atlas of disease of the kidney. Denver: University of Colorado School of Medicine, pp.1.1-22.

Neild,G.,2009. What do we know about chronic renal failure in young adults? II. adult outcome of pediatric renal disease.Pediatr Nephrol.24,1921-8.

NHBPEP.,2004. The fourth report on the diagnosis, evaluation, and treatment of high blood pressure in children and adolescent.Pediatrics,114,555-76.

Niaudet,P.,1993. Nephrotic syndrome in children.Cur Opin Pediatr.5,174-9.

Niaudet, P.,1999. Steroid resistant idiopathic nephrotic syndrome.In: T.M.Barrat, E.D.Avner, and W.E.Harmon,eds.1999. Pediatric Nephrology.4th

Niaudet,P.,2004. Steroid resistant idiopathic nephrotic syndrome in children. In: E.D.Avner, W.E.Harmon, P.Niaudet, eds.Pediatric Nephrology. 5

ed.Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins,pp.749-63.

thed.Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins,pp.557-73.

Universitas Sumatera Utara

Page 123: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Oppenheim,J.J., Ruscetti,F.W., and Faltynek,C., 2001. Cytokines.In: D.P.Stites, A.I.Terr,T.G.Parslow,eds. Basic & Clinical Immunology.8th

Otukesh,H., Otukesh,S., Mojahedzadeh,M.,Hoseini,R., Fareshtehnejad, S.M., and Fard, A., 2009. Management and outcome of steroid resistant nephrotic syndrome in children.Iran J Kidney Dis.3,210-7.

ed. Connecticut: Appleton & Lange.pp.105-23.

Pagano,M., and Gauvreau,K.,2000. Principles of Biostatistics. 2nd

Pan,J.H.,Sukhova,G.K.,Yang,J.T.,Wang,B.,Xie,T.,Fu,H.,etal.,2004. Macrophage migration inhibitory factor deficiency impairs atherosclerosis in low-density lipoprotein receptor-deficient mice.Circulation.109,3149-53.

ed. Boston:Duxbury Thomson Learning.

Paradis,P.,Schiffrin,E.L.,2009.Renin angiotensin aldosteron and pathobiology of hypertension.In:W.C.Demello, and E.D.Frohlich,eds.Renin Angiotensin System and Cardiovascular disease.New Jersey:Humana Press,pp.35-57.

Partini, P.T.,2007 Kadar Transforming Growth Factor Beta-1 (TGF-β1) urin pada berbagai keadaan proteinuria dan efek penambahan losartan pada lisinopril terhadap kadar TGF-β1 urin pada anak dengan sindrom nefrotik resisten steroid: suatu uji klinis acak terkontrol. Disertasi. Jakarta, Indonesia: FK UI.

Petrovsky, N., Socha, L., Silva, D., Grossman, A., Metz, C. and Bucala, R., 2003. Macrophage migration inhibitory factor exhibits a pronounced circadian rhytm relevant to its role as a glucocorticoid counter regulator. Immunol.& Cell Biol.81,137-43.

Philo,J.S.,Yang,T.H.,LaBarre M.,2004.Re-examining the oligomerization state of macrophage migration inhibitory factor (MIF) in solution.Biophys Chem.108,77-87.

Pujols,L.,Mullol,J.,Roca-Ferrer,J.,Torrego,A.,Xaubet,A.,Cidlowski,J.A.,Picado, C 2002. Expression of glucocorticoid receptor α and β-isoforms in human cells and tissues.Am J Physiol Cell Physiol.283,C1324-31.

Raij,L.,2001.Hypertension and cardiovascular risk factor: role of the angiotensin II- nitric oxide interaction.Hypertension.37,767-73.

Rajagopalan, S., Kurz, S., Munzel, T., Tarpey, M., Freeman, B., Griendling, K., et al.,1996.Angiotensin II mediated hypertension in the rat increases

Universitas Sumatera Utara

Page 124: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

vascular superoxide production via membrane NADH/NADPH oxidase activation.The Journal of Clin Invest.97,1916-23.

Read,A and Donnai,D.,2007. New Clinical Genetics. Oxfordshire:Scion Publishing Ltd.

Reidy, K., and Kaskel, F.,2007. Pathophysiology of focal segmental glomerulosclerosis.Pediatr Nephrol.22,350-4.

Rice, E.K., Tesch, G.H., Cao, Z., Cooper, M.E., Metz, C.N., Bucala, R., et al., 2003. Induction of MIF synthesis and secretion by tubular epithelial cells: a novel action of angiotensin II.Kidney Int.63,1265-75.

Rosengren,E., Bucala,R., Aman,P., Jacobsson.L., Odh,G., et al., 1996. The immunoregulatory mediator macrophage migration inhibitory factor (MIF) catalyzes a tautomerization reaction.Mol Med.2(1),143-9.

Ruiz-Ortega,M., Lorenzo,O., Ruperez,M., Blanco,J., Eqido,J., 2001. Systemic infusion of angiotensin II into normal rats activates nuclear factor kappaB and AP-1 in the kidney: role of AT(1) and AT(2) receptors.Am J Pathol.158(5),1743-56.

Ruster, C. and Wolf, G.,2006. Renin-angiotensin-aldosteron system and progression of renal disease.J Am Soc Nephrol.17,2985-91.

Sanchez-Palacios,M.,Jones,S.Y.,and DiBona,G.F.,1998. Role of angiotensin in renal sympathetic activation in nephrotic syndrome.Am J Physiol Regulatory Integrative Comp Physiol.274,808-13.

Sasaki,S.,Nishihira,J.,Ishibashi,T.,Yamasaki,Y.,Obikane,K.,Echigoya,M.,et al., 2004. Transgene of MIF induces podocyte injury and progressive mesangial sclerosis in the mouse kidney.Kidney Int.65,469-81.

Sasongko, T., Sadewa, A., Kusuma, P., Damanik, M., Lee, M. J., Ayaki, H., et al.,2005. ACE gene polymorphism in children with nephrotic syndrome in Indonesian population.Kobe J Med Sci.51,41-7.

Savin, V. J., Sharma, R., Sharma, M., McCarthy, E. T., Swan, S. K., Ellis, E., et al.,1996.Circulating factor associated with increased glomerular permeability to albumin in recurrent focal segmental glomerulosclerosis. N Engl J Med.334,878-83.

Sayeski, P., and Bernstein, K., 2001. Signal transduction mechanism of the angiotensin II type AT1-receptor: looking beyond the heterotrimeric G protein paradigm.JRAAS.2,4-10.

Universitas Sumatera Utara

Page 125: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Schneider,E. and Dy,M.,1985.Activation of macrophages.Comp Immune Microbial Infect Dis.135-46.

Schwartz, G.J., Haycock, G.B., Edelmann, C.M.Jr., Spitzer,A.,1976. A simple estimate of glomerular filtration rate in children derived from body length and plasma creatinine.Pediatrics.58,259-63.

Shastry,B.S.,2007.SNPs in disease gene mapping, medicinal drug development and evolution.J Hum Genet.52,871-80.

Stachowski, J.,Zanker, C.,Runowski, D.,Zaniew, M.,Peszko, A., and Medynska, A.,2000.Resistance to therapy in primary nephrotic syndrome: effect of MDR gene activity.Pol Merkur Lekarski.8,218-21.

Stenvinkel, P.,Heimburger, O.,Paultre, F.,Diczfalusy, U.,Wang, T.,Berglund, L.,et al.,1999. Strong association between malnutrition, inflamation, and atherosclerosis in chronic renal failure.Kidney Int.55,1899-911.

Stoppe,C.,Bernhagen,J.and Rex,S.,2013.Macrophage migration inhibitory factor in critical illness:Dr.Jekyll and Mr.Hyde.In: J.L.Vincent,ed.Annual Update in Intensive Care and Emergency Medicine.Berlin:Springer-Verlag Heidelberg.pp.153-61.

Stosic, S.G.,Stojanovic, I. and Nicoletti, F.,2009.MIF in autoimmunity and novel therapeutic approaches.Autoimmunity Rev.8,244-9.

Subowo,S.,2009. Imunobiologi. 2nd

Sun, C., Li, H., Leng, L., Raizada, M. K., Bucala, R., and Sumners, C., 2004. Macrophage migration inhibitory factor: an intracellular inhibitor of angiotensin II-induced increases in neuronal activity.J Neurosci. 24(44),9944-52.

ed. Jakarta: Sagung Seto

Taal, M.W.,and Brenner,B.M.,2000.Renoprotective benefits of RAS inhibition: from ACEI to angiotensin II antagonist.Kidney Int.57,1803-17.

Taal,M.W., Lucyckx,V.A., and Brenner,B.M., 2003.Adaptation to nephron loss. In:B.M.Brenner, F.C.Rector, eds. Brenner & Rector’s The Kidney.7th

Takase,O.,Hirahashi,J.,Takayanagi,A.,Chikaraishi,A.,Marumo,T.,Ozawa,Y.,et al.,2003. Gene transfer of truncated IkappaB prevents tubulointerstitisial injury.Kidney Int.63,501-13.

ed. Philadelphia:WB Saunders,pp.1955-83.

Universitas Sumatera Utara

Page 126: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Takenaka,T.,Hayashi,K.,and Ikenaga,H., 2004. Blood pressure regulation and renal microcirculation. In: H.Suzuki, T.Saruta, eds.Kidney and Blood Pressure Regulation.Basel:Karger,vol.143,pp.46-64.

Textor, S.C.,1999. Renal parenchymal disease and hypertension. In: Schrier R.W.,ed. Atlas of disease of the kidney. Denver: University of Colorado School of Medicine,pp.2.1-15.

Tharaux, P.,Chatziantoniou, C.,Fakhouri, F.,and Dussaule, J.,2000. Angiotensin II activates collagen I gene through a mechanism involving the MAP/ER kinase pathway.Hypertension.36,330-6.

The ESCAPE Trial Group, 2009. Strict blood pressure control and progression of renal failure in children.N Engl J Med.361(17),1639-50.

Towers,R.,Naftali,T.,Gabay,G.,Carlebach,M., Klein,A. and Novis,R., 2005. High levels of glucocorticoid receptors in patients with active Chrohn's disease may predict steroid resistance.Clin and Experiment Imunol. 141,357-62.

Tripathi, G.,Jafar, T.,Mahdi, A., Awasthi, S., Sharma, R., Kumar, A., et al., 2008. Does cytokine gene polymorphism affect steroid responses in idiopathic nephrotic syndrome?Indian J Med Sci.62,383-91.

Tsikouris, J., and Cox, C., 2003. Pharmacologic blockade of the renin angiotensin system: vascular benefits beyond commonly understood pharmacologic action. Pharmacotherapy.23(9),19-22.

UKK, Nefrologi. 2008. Konsensus tata laksana sindrom nefrotik idiopatik pada anak.Jakarta:Badan Penerbit IDAI.

Undang-undang RI.,2002. Undang-undang Republik Indonesia No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Online. Available from: http://www.mastel.or.id/files

Undang-undang RI.,2009. Undang-undang Republik Indonesia No 36 tahun 2009 tentang kesehatan. Online. Available from:

[Accessed 1 Juni 2011]

http://www.digilib.ampl.net

Van Kats,J., Schalekamp,M., Verdouw,P., Duncker, D., and Jan Danser, A.,2001. Intrarenal angiotensin II: interstitial and cellular levels and site of production.Kidney Int. 60,2311-7.

[Accessed 1 Juni 2011]

van Rossum, E.F., and Lamberts, S.W., 2006.Glucocorticoid resistance syndrome a diagnostic and therapeutic approach.Best Pract Res Clin Endocrinol & Metab.20,611-26.

Universitas Sumatera Utara

Page 127: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Vianna,H.R., Soares,C.M.B., Silviera,K.D., Elmiro,G.S., Mendes,P.M., et al., 2012. Cytokine in chronic kidney disease: potential link of MCP-1 and dyslipidemia in glomerular diseases. Pediatr Nephrol. DOI 10.1007/s00467-012-2363-x

Victor,X.V.,2005. Angiotensin II mediated regulation of the human angiotensin II type 1 receptor gene.Disertasi. Brigham Young University, England.

Vivarelli, M., D'Urbano, L.E., Stringini, G., Ghiggeri, G.M., and Caridi, G., 2008. Association of macrophage migration inhibitory factor -173C allele with childhood nephrotic syndrome.Pediatr Nephrol.23,743-8.

Volpe,M.,2008. Microalbuminuria screening in patients with hypertension: recommendations for clinical practice.Int J Clin Pract.62(1),97-108

Vogt, A., and Avner, E.,2007. Nephrotic syndrome. In Behrman, R.M., Kliegman, R.M. & Jenson H.B. (Eds.).Nelson Textbook of Pediatrics.18th

Vollard H., Pradelles Ph., Ronco P., Azizi M., Simon D., Creminon C., Grassi J.,1999. A solid-phase immobilized epitope immunoassay (SPIE-IA) permitting very sensitive and specific measurement of angiotensin II in plasma. J Immunol Methods.228,37-47.

ed. Philadelphia: WB Saunders, pp.2190-5.

Walach,H.,Falkenberg,T.,Fonnebo,V.,Lewith,G.,Jonas,W.B.,2006. Circular instead of hierarchical: methodological principles for the evaluation of complex interventions.BMC Medical Research Method.6,29.

Wei, C.L., Cheung, W., Chew-Kiat, Arty, N., Chong, S.S., Lee, B.W., et al.,2005. Interleukin 13 genetic polymorphisms in Singapore Chinese children correlate with long term outcome of minimal-change disease. Nephrol Dial Tansplant.20,728-34.

Wikstrom, A.C.,2003. Mechanism of steroid action and resistance in inflamation. Glucocorticoid action and novel mechanism of steroid resistance: role of glucocorticoid receptor-interacting proteins for glucocorticoid responsiveness. J Endocrinol.178,331-7.

Wila Wirya,I.,1992. Penelitian beberapa aspek klinis dan patologi anatomis sindrom nefrotik primer pada anak di Indonesia. Disertasi. Jakarta, Indonesia:FK UI.

Wolf,G.,2000. Angiotensin II as a mediator of tubulointerstitial injury.Nephrol Dial Transplant.15,61-3.

Universitas Sumatera Utara

Page 128: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Wolf,G., Butzman,U., Wenzel,U.O., 2003. The renin angiotensin system and progression of renal disease: from hemodynamics to cell biology. Nephron Physiol.93,3-13.

Yan,K., Kudo,A., Hirano,H., Watanabe,T., Tasaka,T., Kataoka,S., et al.,1999. Subcellular localization of glucocorticoid receptor protein in the human kidney glomerulus.Kidney Int.56,65-73.

Yang,N., Nikolic-Paterson,D.J., Ng,Y., Mu,W., Metz,C., Bacher,M.,et al.,1998. Reversal of established rat crescentic glomerulonephritis by blockade of macrophage migration inhibitory factor (MIF):potential role of MIF in regulating glucocorticoid production.Mol Med.4,413-24.

Yi, Z.W., and He, Q.N., 2006. Strengthening clinical research in chilhood steroid-resistant nephrotic syndrome.World J Pediatr.2,165-8.

Zandi-Nejad,K.,Eddy,A.A.,Glassock,R.J.,Brenner,B.M.,2004. Why is proteinuria an ominous biomarker of progressive kidney disease?Kidney Int. 66(92),S76-89.

Zhao,H.Y.,Sun,R.P.,Dong,J.H.,Zhen,J.H.,2005. Relations of nuclear factor-kappa B activity in the kidney of children with primary nephrotic syndrome to clinical manifestations, pathological types and urinary protein excretion.Chin Med J.118(10),54-6.

Zeisber,M., Maeshima,Y., Mosterman,B., Kalluri,R., 2002. Renal fibrosis. Extracellular matrix microenvironment regulates migratory behavior of activated tubular epithelial cell.Am J Pathol.160,2001-8.

Universitas Sumatera Utara

Page 129: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

LAMPIRAN 1. Tabel Tekanan Darah untuk Anak Laki-laki

Universitas Sumatera Utara

Page 130: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

LAMPIRAN 2. Tabel Tekanan Darah untuk Anak Perempuan

Universitas Sumatera Utara

Page 131: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

LAMPIRAN 3. Lembar Penjelasan Subjek/Orang Tua

Yth Bapak/Ibu

Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran USU dan divisi

Nefrologi Anak membuat suatu kerja sama tentang anak yang menderita

Sindrom Nefrotik dan anak yang sehat. Sindrom nefrotik adalah kumpulan

gejala yang terdiri atas bengkak (sembab) seluruh tubuh disertai dengan zat

putih telur dalam buang air kecil anak yaitu lebih dari +2 (>100 mg/dL) dan

kadar zat albumin dalam darah rendah (< 2,5 g /dL). Pemberian obat steroid

(golongan prednison) pada kasus sindrom nefrotik pada anak masih menjadi

terapi utama dalam mengatasi penyakit ini selama maksimal 4 minggu. Namun

dalam perjalanannya anak bisa tidak respon dengan obat prednison. Respon

terhadap prednison diamati dari jumlah albumin (zat putih telur) yang keluar

melalui buang air kecil pagi. Hal ini sering dihubungkan dengan faktor genetik

dan faktor lain seperti tekanan darah tinggi.

Pada anak yang sehat mengapa perlu juga diperiksa? Karena anak yang

sehat juga berisiko menjadi resisten terhadap pengobatan steroid (kalau

diperlukan misal apabila menderita alergi atau penyakit lain) sehingga sangat

bermanfaat menentukannya sejak dini.

Kerja sama ini berjudul POLIMORFISME GEN ALEL -173 C

MACROPHAGE MIGRATION INHIBITORY FACTOR DENGAN KADAR

ANGIOTENSIN II PLASMA DAN MIF SERUM SEBAGAI FAKTOR RISIKO

SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID dan bertujuan mengetahui

hubungan polimorfisme gen MIF dengan kadar MIF dan angiotensin II pada

penderita sindrom nefrotik ataupun anak sehat.

Universitas Sumatera Utara

Page 132: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Pengambilan darah sebanyak 5 ml menimbulkan nyeri ringan dan relatif

tidak menimbulkan bahaya. Begitupun, kalau timbul nyeri yang berlebihan,

Bapak/Ibu dapat menghubungi peneliti. Pengambilan buang air kecil dilakukan

pada buang air kecil pertama/kedua pagi hari.

Partisipasi Bapak/Ibu/Adik bersifat suka rela dan tanpa paksaan. Setiap

data yang ada akan dirahasiakan dan digunakan untuk kepentingan

Bapak/Ibu/Adik. Untuk penelitian ini Bapak/Ibu/Adik tidak akan dikenakan biaya

apa pun.

Demikian penjelasan ini, apabila Bapak/Ibu masih belum

mengerti/mempunyai keluhan dapat menghubungi dr.Oke Rina Ramayani

dengan alamat Departemen Ilmu Kesehatan Anak Divisi Nefrologi RS H. Adam

Malik Jalan Bunga Lau No1 Medan, telepon 061-8361721 atau HP

08126553814.

Universitas Sumatera Utara

Page 133: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

LAMPIRAN 4. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan Saya yang namanya tersebut di bawah ini :

Nama :

Umur :

Jenis kelamin :

Alamat :

bertindak sebagai orang tua/ wali dari anak:

Nama :

Umur :

Jenis kelamin :

Setelah mendapatkan keterangan dan penjelasan secara lengkap, maka

dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan saya menandatangani dan

menyatakan bersedia berpartisipasi pada penelitian ini. Bila saya ingin

mendapatkan penjelasan lebih lanjut, saya bisa mendapatkannya dari

dokter peneliti.

Medan, 2011

Dokter Peserta Penelitian

_________________________

Universitas Sumatera Utara

Page 134: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

LAMPIRAN 5 Status Pemeriksaan

Nomor:

RS/No RM:

Tanggal:

1. Data pribadi

a. Nama :

b. Umur :

c. Suku/ras :

d. Alamat :

e. Jenis kelamin :

f. Berat badan (kg)/tinggi badan (cm):

g. Umur mulai menderita SN:

h. Diagnosis: a. SNRS: primer atau sekunder

b. SNSS

c. kontrol

i. Jumlah serangan: a. pertama

b. kambuh infrekuen

c. kambuh frekuen

j. Riwayat penggunaan obat :

2. Pemeriksaan umum

a. Tanda vital :

Tekanan darah sistol dan diastole: MAP :

Hipertensi / tidak

b. Fisik diagnostik :

3. Pemeriksaan darah : ureum creatninin LFG

4. Pemeriksaan urinalisis :

5. Pemeriksaan ELISA :

6. Pemeriksaan EIA :

7. Pemeriksaan PCR :

Universitas Sumatera Utara

Page 135: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

LAMPIRAN 6. Persetujuan Komite Etik

Lampiran 7. Prosedur operasional standar polimorfisme gen -173 MIF

Universitas Sumatera Utara

Page 136: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

LAMPIRAN 7. Prosedur Operasional Standar Pemeriksaan Polimorfisme -173 G Ke C Gen MIF

Tahap Prosedur operasional standar Isolasi DNA

1. Ambil darah 0.5 cc ke dalam tabung EDTA, disentrifugasi 3000 rpm 10-15 menit

2. Plasma dipisahkan dan diambil lekosit sebanyak 300 µL pada tabung eppendorf 1,5 ml lalu ditambah EL buffer 900 µL

3. Diinkubasi 10 menit lalu disentrifugasi 13.000 rpm selama 3 menit 4. Supernatan dibuang, diulangi sampai 5 kali hingga warna supernatan

jernih dan endapan sudah berwarna putih. Endapan divorteks 20 detik 5. Tambahkan 300 µL nuclei lysis solution dan dibolak balik 6. Tambahkan protein precipitation 100 µL, vorteks selama 20 detik 7. Sentrifugasi 13.000 rpm 3 menit lalu supernatant dipindah ke tabung

1,5 steril yang telah berisi 300 µL isopropanol, divorteks 3 detik 8. Sentrifugasi 13.000 rpm 1 menit hingga tampak pellet putih, lalu

supernatan dibuang, ditambah 70% etanol 300 µL, disentrifugasi 13.000 rpm 1 menit

9. Aspirasi etanol menggunakan pipet dan keringkan hingga 1 jam. 10. Tambahkan 100 µL DNA rehydration solution dan disimpan pada suhu 4

°C selama 1 malam. Beri identitas. Esoknya disimpan pada -20 °C. PCR 1. Pengenceran Primer MIF dilakukan dengan MIF-F ditambah 463 µL

buffer TE, juga MIF-R ditambah 430 µL buffer TE, lalu 20 µL masing masing ditambahkan 160 µL buffer TE.

2. Kedalam tabung PCR 0.2 µL diisi dengan: master mix 15 µL, ddH2O 11 µL, primer pengenceran 2 µL, isolat DNA 2 µL dan beri identitas. Sentrifugasi 13.000 rpm 3 menit

3. Kemudian dimasukkan ke alat thermocycle dengan kondisi suhu : - Hot start 0 menit 1 cycle 95 °C - Denaturasi 45 detik 95 °C - Annealing 45 detik 35 cycle 60 °C - Extension 45 detik 72 °C - Extension 7 menit 72 °C - Soaking 4 °C

4. Agar 2,5% dibuat dengan mencampur agarose 2,5 gram; TBE 0.5x,100 cc,dipanaskan,ditambah ETBR 2 µL. Agar dibiarkan di suhu kamar 2 jam

5. Agar dipindahkan ke alat elfo dan dibasahi dengan TBE 0,5 x hingga seluruhnya terbenam. Produk PCR dan marker diisi ke well 2 µL

6. Setelah itu dilakukan elektroforesis 100 mV selama 30 menit 7. Hasil produk PCR dilihat di bawah kamera ultra violet di posisi 366 bp.

Enzim restriksi

1. Restriksi dilakukan dengan mengisikan ke dalam tabung eppendorf 0.5 uL masing masing dd H2O 3,5 uL; Alu I 0,5 uL ; Buffer Tango 10x 1 uL; PCR product 5 uL. Lalu diinkubasi pada suhu 37 °C selama 16 jam (semalaman)

2. Keesokan harinya dibuat agar. Hasil restriksi dan marker diisikan ke well sebanyak 2 uL. Setelah itu dielektroforesis 100 mV selama 30 menit.

3. Dilihat hasil pita GC, CC dan GG di bawah kamera ultra violet Keterangan

EL:erytrocyte lysis

:

MIF-F:MIF forward MIF-R: MIF reverse TBE: Tris Boric EDTA

TE; Tris EDTA

ETBR: ethydium bromide

Alu I: Aluminium I GC: Guanin cytosin GG: Guanin guanin CC:cytosin cytosin

Universitas Sumatera Utara

Page 137: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

LAMPIRAN 8. Prosedur Operasional Standar Pemeriksaan Angiotensin II Plasma

Tahap Prosedur operasional standar Penanganan sampel

1. Ambil darah 2 cc ke dalam tabung EDTA yang telah didinginkan 2-8°C, bolak balik hingga homogen

2. Sampel disentrifugasi 3500 rpm 15 menit pada suhu 4°C 3. Sampel dipisahkan dari serum dan masukkan plasma ke dalam 2

sampel cup @ 1 cc plasma (beri identitas) 4. Segera dibekukan dalam -20 °C, menunggu sampel lain

Protokol ekstraksi

1. Sampel plasma 500 µL ditambahkan 500 µL TFA 1%, disentrifugasi 4 °C 20 menit . Supernatan dipindah hati hati.

2. Column dipersiapkan: mencuci dengan methanol 0.5 ml selanjutnya 1 ml TFA 1% sebanyak 3 kali pada alat vakum

3. Sampel sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam column dan biarkan melewatinya secara lambat (± 2 menit) lalu column dicuci 2 kali dengan 1 ml TFA 1%

4. Letakkan column ke tabung polypropylene 15 ml yang sudah dilabel lalu ditambahkan 1 ml 60% ACN, 1% TFA dan dispin 300-500 rpm hingga terelusi .

5. Tabung ditutup dengan parafilm, dilyophilisasi semalaman. 6. Rekonstitusi pellet dengan 250 µL assay buffer

Penanganan reagen

1. Dilusi 2.5 ml wash buffer konsentrat dengan 475 ml air destilata 2. Satu vial angiotensin II standar dicampur dengan 1 ml assay

buffer. Pengenceran standar konsentrasi angiotensin II dilakukan pada 6 tabung hingga menjadi 6 standar yaitu 10,0001000 250 62,515.63,9 pg/ml serta dilabel.

3. Streptavidin HRP konsentrat dilarutkan ke 250 µL air dan divorteks lalu diencerkan 1:1000 dalam assay buffer.

EIA Angiotensin II

1. Microplate dibuka dari kemasan 2. Assay buffer sebanyak 75 µL dipipet ke NSB well, dan

sebanyak 50 µL ke B0 (0 ng/mL) well 3. Standar 1 hingga 6 dipipet 50 µL ke well, juga sampel. 4. Angiotensin II antibody dipipet 25 µL ke setiap well kecuali NSB

dan B0 well 5. Microplate ditutup strip perekat dan diinkubasi 1 jam pada suhu

kamar (500 rpm). 6. Angiotensin II conjugate dipipet sebanyak 25 µL ke setiap well

kecuali B0 well, lalu diulangi langkah 5 7. Setiap well diaspirasi dan dicuci dengan wash buffer (400 µL).

Prosedur pencucian diulangi hingga 4 kali lalu dikeringkan. 8. Streptavidin HRP conjugate dipipet sebanyak 100 µL ke setiap

well kecuali B0, lalu langkah 8 dan 9 diulangi. 9. Substrate solution 100 µL ditambahkan ke well lalu diinkubasi

selama 30 menit pada suhu kamar dan dijauhkan dari cahaya 10. Stop solution 100 µL ditambahkan ke setiap well 11. Densitas optik dibaca pada panjang gelombang 450 nm 12. Kurva standar dibuat dengan memplot absorbans rata-rata

setiap standar pada aksis y dan konsentrasi pada aksis x. Keterangan

ACN : acetonide

:

TFA : trifloro acetic acid

NSB : non specific binding

HRP : horse reddish peroxidase

EDTA : ethylene diamine tetraacetate

Universitas Sumatera Utara

Page 138: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

LAMPIRAN 9. Prosedur Operasional Standar Pemeriksaan MIF Serum

Tahap Prosedur operasional standar Penanganan sampel

1. Ambil darah 2 cc ke dalam tabung SST, bolak balik 5-10 kali hingga homogen

2. Diamkan selama 30-45 menit hingga darah beku 3. Segera disentrifugasi 3000 rpm 15 menit 4. Segera dipisahkan serum dan masukkan ke dalam 2 sampel cup @

0,3 cc serum (beri identitas) 5. Segera dibekukan dalam -20 °C, menunggu sampel lain 6. Pada waktu pemeriksaan, sampel diencerkan 10 x yaitu 50 µL sampel

ditambah 450 µL Calibrator Diluent RD5-20 (1x) Penanganan reagen

1. Semua reagen diletakkan pada suhu kamar sebelum digunakan 2. Calibrator Diluent RD5-20 pekat 20 mL diencerkan dengan 80

mL air destilata sehingga menjadi 100 mL Calibrator Diluent RD5-20 (1x)

3. Wash buffer pekat 20 mL diencerkan dengan air destilata sehingga menjadi 500 mL

4. Color reagen A dan B dicampur dengan volume yang sama dalam 15 menit sebelum digunakan da dijauhkan dari cahaya. Campuran substrate solution ini dibutuhkan 200 µL pada setiap well

5. MIF standar ditambahkan 1 mL air destilata sehingga menjadi larutan 100 ng/mL. Larutan dicampur merata dengan shaker, minimal 15 menit sebelum digunakan.

6. Pipet 900 µL Calibrator Diluent RD5-20 (1x) dan 100 µL MIF standar ke dalam tabung sehingga menjadi 10 ng/mL. Pipet 500 µL Calibrator Diluent RD5-20 (1x) ke dalam tabung lainnya sehingga menghasilkan pengenceran serial (5 2,5 1,25 0,625 0,3130,156 ng/mL).Campurkan setiap tabung secara merata sebelum perpindahan ke tabung lainnya. Tabung 10 ng/mL digunakan sebagai standar tinggi. Calibrator Diluent RD5-20 (1x) digunakan sebagai standar nol.

Sandwich ELISA

1. Microplate dibuka dari kemasan 2. Assay Diluent RD1-53 sebanyak 100 µL ditambahkan ke well 3. Standar, kontrol dan sampel sebanyak 50 µL ditambahkan ke

well lalu ditutup strip perekat. Microplate diinkubasi 2 jam di suhu kamar pada alat shaker.

4. Setiap well diaspirasi dan dicuci dengan wash buffer (400 µL). Prosedur pencucian diulangi hingga 4 kali lalu dikeringkan.

5. MIF conjugate 200 µL ditambahkan ke well lalu ditutup dengan strip perekat. Microplate diinkubasi 2 jam di suhu kamar pada alat shaker.

6. Pencucian diulangi seperti langkah 4. 7. Substrate solution 200 µL ditambahkan ke well lalu diinkubasi

selama 30 menit pada suhu kamar dan dijauhkan dari cahaya 8. Stop solution 50 µL ditambahkan ke setiap well sehingga terjadi

perubahan warna dari biru menjadi kuning. 9. Densitas optik setiap well ditentukan dalam 30 menit pada

panjang gelombang 450 nm 10. Kurva standar dibuat dengan memplot absorbans rata-rata

setiap standar pada aksis y dan konsentrasi pada aksis x.

Universitas Sumatera Utara

Page 139: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

LAMPIRAN 10. Daftar Riwayat Hidup

Nama Oke Rina Ramayani Tempat/tanggal lahir Medan, 1 Februari 1974 Alamat rumah Jl. Amaliun No 123 Medan NIP 19740201 200501 2 001 Putra / putri 1. Rasyid Ridha 2. Putri Ramayuli Riwayat pendidikan SD Bhayangkari Medan, tamat tahun 1985

SMP Negeri 1 Medan. tamat tahun 1988 SMA Negeri 1 Medan, tamat tahun 1991 Dokter umum FK USU, tamat tahun 1997 Dokter spesialis anak FK USU, tamat tahun 2005 CREED program 2007 Pendidikan tambahan Nefrologi Anak FK UI-RSCM

Riwayat pekerjaan Dokter Puskesmas Tg Morawa Deli Serdang 1998-2000 Dokter umum RS Malahayati, Kodya Medan 2000-2001 Dokter tim bencana RS Zainul Abidin Banda Aceh 2004 Dokter anak RS H.Adam Malik Medan 2005 - sekarang

Riwayat publikasi penelitian

1. Factors related to miss opportunities for immunization at urban and suburban primary health centres in Medan. Pediatr Indones.2007;47:21-26.(Author)

2. The efficacy of trimethoprim-sulfamethoxazole treatment in children with acute bloody diarrhea. Pediatr Indones. 2007;47:17-20.(Co-author)

3. Effect of classical music on reducing blood pressure in children.Pediatr Indones.2008;48:142-6.(Co author)

4. Comparison of diagnostic test for detecting proteinuria. Pediatr Indones.2011;51(1):17-21.(Co author)

5. Hubungan mikroalbuminuria dan latihan fisik terhadap tekanan darah anak obes. MKN.2011;44:12-5.(Author)

6. Luaran pasien anak dengan gagal ginjal terminal. Sari Pediatri 2013;14(5):277-82.(Author)

7. Frequency of disposable diaper changing and urinary tractinfection.Pediatr Indones.2013;53:70-5.(Co author)

8. Urine Gram stain and culture to diagnose urinary tract infection. Pediatr Indones.2013;53:121-4.(Co author)

9. Increased serum macrophage migration inhibitory factor concentrations as potential risk factors in steroid resistant nephrotic syndrome. JNT.doi: 10.4172/2161-0959.1000143 (Author)

Riwayat publikasi non penelitian

1. Sindrom nefrotik congenital (PIT IKA II-Batam Juli 2004) 2. Hematuria (dalam Buku Ragam Pediatrik Praktis 50

tahun Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU,2009) 3. Penggunaan vitamin E pada sindrom nefrotik.Ibnu Sina

2010;5(2),11-3 4. Childhood hyperuricemia as risk factor of hypertension in

adulthood. Indones Biomed J.2012;4(1):12-6. 5. Renal manifestations in tuberous sclerosis patients: two

case reports. Pediatr Indones.2013;53:56-8.

Universitas Sumatera Utara

Page 140: POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION

Universitas Sumatera Utara