polimorfisme -173 g ke c gen macrophage migration
Embed Size (px)
TRANSCRIPT

POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION INHIBITORY FACTOR DENGAN KADAR ANGIOTENSIN II DAN
MACROPHAGE INHIBITORY FACTOR SEBAGAI FAKTOR RISIKO SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID
DISERTASI
OKE RINA RAMAYANI NIM 088102002
PROGRAM STUDI DOKTOR (S-3) ILMU KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2014
Universitas Sumatera Utara

POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION INHIBITORY FACTOR DENGAN KADAR ANGIOTENSIN II DAN
MACROPHAGE INHIBITORY FACTOR SEBAGAI FAKTOR RISIKO SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID
DISERTASI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk memperoleh Gelar Doktor dalam
Program Studi Ilmu Kedokteran pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara di bawah Pimpinan
Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc(CTM),Sp.A(K)
Untuk Dipertahankan Dihadapan Sidang Ujian Terbuka Universitas Sumatera Utara
Oleh
Oke Rina Ramayani NIM 088102002
PROGRAM STUDI DOKTOR (S3) ILMU KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2014
Universitas Sumatera Utara

Judul Penelitian : Polimorfisme -173 G ke C gen macrophage migration inhibitory factor dengan kadar angiotensin II dan macrophage inhibitory factor sebagai faktor risiko sindrom nefrotik resisten steroid
Nama Mahasiswa : Oke Rina Ramayani
No Induk Mahasiswa : 088102002
Program Studi : Doktor Ilmu Kedokteran
Menyetujui
Promotor Prof. dr.H. Aznan Lelo, PhD,SpFK
Co Promotor Prof. Dr.dr.H.Nanan Sekarwana,MARS,SpA(K)
Co Promotor Dr.dr.Hj.Partini P. Trihono, MMPaed, SpA(K)
Universitas Sumatera Utara

PROMOTOR
Prof. dr. H. Aznan Lelo,PhD,SpFK Guru Besar Tetap Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan
KO-PROMOTOR
Prof. Dr.dr.H.Nanan Sekarwana,MARS,SpA(K) Guru Besar Tetap Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung
KO-PROMOTOR
Dr. dr.Hj.Partini P.Trihono,MMPaed,SpA(K) Doktor Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
Universitas Sumatera Utara

Telah diuji pada Ujian Tertutup
Tanggal 16 Desember 2013
PANITIA PENGUJI DISERTASI Ketua : Prof. dr. H. Aznan Lelo,PhD,SpFK
Anggota : Prof. Dr.dr.H.Nanan Sekarwana,MARS,SpA(K) Dr.dr.Hj.Partini P.Trihono,MMPaed,SpA(K) dr.H.Ahmad Hamim Sadewa, PhD
Prof.dr.H.Harun Rasyid Lubis, SpPD-KGH
Dr. dr. Rosita Juwita Sembiring, SpPK
dr.Putri Chairani Eyanoer, MS.Epi, PhD
Universitas Sumatera Utara

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertandatangan dibawah ini: Nama : Oke Rina Ramayani NIM : 088102002 Program Studi : Ilmu Kedokteran
Jenis Karya : Disertasi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-eksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas disertasi saya yang berjudul:
POLIMORFISME -173 G KE C GEN MACROPHAGE MIGRATION INHIBITORY FACTOR DENGAN KADAR ANGIOTENSIN II DAN
MACROPHAGE INHIBITORY FACTOR SEBAGAI FAKTOR RISIKO SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan), dengan Hak Bebas Royalti Non-eksklusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola data bentuk database, merawat, dan mempublikasikan disertasi saya tanpa meminta izin dari saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta. Demikian pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya, Dibuat di Medan Pada tanggal 7 Januari 2014 Yang menyatakan (Oke Rina Ramayani)
Universitas Sumatera Utara

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Hasil penelitian ini adalah hasil karya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar
Nama : Oke Rina Ramayani
NIM : 088102002
Materai 6000
Tanda Tangan
Universitas Sumatera Utara

Success is a journey, not a destination
Universitas Sumatera Utara

RIWAYAT HIDUP
Nama : Oke Rina Ramayani
Tempat/tanggal lahir : Medan, 1 Februari 1974
Agama : Islam
Nama ayah : Prof.Dr.H.Rusdidjas, SpA(K)
Nama ibu : Prof.Dr.H.Rafita Ramayati, SpA(K)
Nama anak :Rasyid Ridha
Putri Ramayuli
Riwayat pendidikan:
1. Lulus S1 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (1997)
2. Lulus Spesialis Anak Fakultas Kedokteran USU (2005)
Riwayat pekerjaan:
1. Dokter PTT Puskesmas Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang,
Sumatera Utara (tahun 1998 – 2000)
2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara (tahun 2005-sekarang)
Organisasi:
1. Anggota Ikatan Dokter Indonesia/IDI
2. Anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia
3. Anggota Pernefri
Universitas Sumatera Utara

UCAPAN TERIMA KASIH
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Dengan mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang sudah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, serta telah memberikan
kesempatan kepada promovendus sehingga mampu menyelesaikan
penulisan disertasi ini. Shalawat kepada suri tauladan manusia, Rasulullah
Muhammad SAW semoga kita mendapat syafaat Baginda kelak di hari
Kebangkitan. Promovendus menyadari penelitian dan penulisan disertasi ini
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan
hati promovendus mengharapkan masukan yang berharga dari semua
pihak pada masa yang akan datang. Pada kesempatan ini pula
perkenankan promovendus menyatakan penghargaan dan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu,
DTM&H,MSc(CTM),SpA(K); Dekan Fakultas Kedokteran USU,
Prof.dr.Gontar Alamsyah Siregar,SpPD,KGEH; Pembantu Dekan I,
Prof.dr.Guslihan Dasa Tjipta,SpA(K); Ketua Program Studi S-3 Kedokteran,
Prof.dr.Chairuddin P.Lubis, DTM&H, MSc, CTM, SpA(K); Sekretaris
Program Studi S-3, Prof.Dr.dr.Delfitri Munir,Sp.THT-KL; seluruh jajaran
yang telah memberi izin, dukungan serta motivasi kepada promovendus
untuk menyelesaikan Program Pascasarjana di USU.
Orang tua kandung promovendus: Ayahanda Prof.dr.H.Rusdidjas,
SpA(K) dan Ibunda Prof.dr.Hj.Rafita Ramayati,SpA(K) yang telah dan terus
Universitas Sumatera Utara

memberi kasih sayang, serta mendidik promovendus hingga saat ini.
Promovendus persembahkan gelar ini untuk keduanya disertai do’a ananda
agar mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat.
Promotor dan kopromotor: Prof.dr.H.Aznan Lelo, PhD, SpFK,
Prof.Dr.dr.H.Nanan Sekarwana, MARS,SpA(K), dan Dr.dr.Hj. Partini P
Trihono, MMPaed,SpA(K) yang telah memberikan bimbingan ilmu kepada
promovendus dan dorongan semangat kerja keras untuk menyelesaikan
disertasi ini. Kepada ketiganya serta keluarga tersayang, promovendus
selalu berdo’a untuk kesehatan dan kebahagiaan dunia akhirat.
Selanjutnya, promovendus juga mengucapkan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada tim penguji disertasi
Alm.Prof.dr.Iskandar Z.Lubis, SpA(K), Dr.Ahmad Hamim Sadewa, PhD,
Prof.dr.Harun Rasyid Lubis,SpPD-KGH, Dr.dr.Rosita Juwita Sembiring,
SpPK, dr.Putri Chairani Eyanoer, MS Epi, PhD serta seluruh staf pengajar
di lingkungan program S-3 Kedokteran FK USU.
Kepala Bagian Anak FK USU, Sekretaris Bagian Anak FK USU,
Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Anak dan seluruh staf pengajar di
lingkungan Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU, Ketua dan
pengurus IDAI, Cabang Sumatera Utara, yang telah memberi masukan dan
pengertian kepada promovendus untuk menyelesaikan disertasi ini
Seluruh pimpinan dan staf Lembaga Penelitian USU, Laboratorium
Terpadu FK USU, Laboratorium Biokimia FK UGM, Laboratorium Prodia,
RS H. Adam Malik, RS Columbia Asia, RS Malahayati, dan RS Santa
Elizabeth yang telah memberi fasilitas pengobatan selama promovendus
Universitas Sumatera Utara

sakit, dan memberi izin fasilitas, sarana serta bantuan tenaga dalam
pelaksanaan penelitian.
Teman teman seperjuangan di bidang Nefrologi Anak terutama
Alm.dr.Dahler Bahrun, SpA(K), dr Syafruddin Haris SpA(K), dr Rosmayanti
Siregar,SpA, dr Afdal SpA, dr.Hertanti SpA, dr.Muhammad Nur,SpA,
promovendus ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas masukan
ilmu dan input pasien dari teman teman semua.
Teman-teman yang promovendus sayangi seperti Kak Bugis, Bang
Hendi, Kak Yuli, Kak Beqi, Bang Irfan, Bang Indra, Alm. Agustiar, Hema
Masyithah, Kak Mardiah, Maria Novalentina, Budi Lestari serta semua pihak
yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan
dalam terlaksananya penelitian serta penulisan disertasi ini.
Akhirnya, kepada Abanganda dr.Kiking Ritarwan,MKT,SpS(K),
drg.Andayani Prasulandari Trisnawiyasanti, Lulu Anindita Putri, Shafira
Pramesti Putri, Auryn Pradipta Ritarwan dan kedua buah hati promovendus:
Rasyid Ridha dan Putri Ramayuli, terima kasih atas kasih sayang dan
pengertian yang diberikan selama ini. Akhirnya promovendus berharap
semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Medan
Oke Rina Ramayani
Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK
Latar belakang: Penderita sindroma nefrotik resisten steroid (SNRS) cenderung berlanjut ke penyakit ginjal tahap akhir. Alel C -173 gen MIF (macrophage migration inhibitory factor) berkaitan dengan gangguan keseimbangan sitokin MIF dengan glukokortikoid, sehingga penderita SN resisten terhadap terapi steroid. Studi in vitro menunjukkan sitokin MIF diatur oleh angiotensin II. Induksi regulasi MIF oleh angiotensin II memengaruhi perkembangan hipertensi. Tujuan: Hubungan alel C -173 gen MIF dengan keberadaan MIF serum dan pengaturan oleh angiotensin II plasma pada individu SNRS belum diketahui.
Metode: Studi sekat lintang dilakukan pada 120 anak (steroid resisten, steroid sensitif dan anak sehat) sejak November 2011 hingga September 2012. Data yang dikumpulkan meliputi pemeriksaan fisis, tekanan darah, rasio albumin kreatinin urin, alel G atau C -173 gen MIF, MIF serum, dan angiotensin II plasma. Hasil: Frekuensi alel C tiga kali lebih tinggi pada SNRS dibandingkan dengan SNSS dan anak sehat (OR 2,79;IK 95% 1,13 sampai 6,89). Kadar MIF serum lebih tinggi pada SNRS (median 31,9 kisaran 14,3 sampai 117,2 ng/mL) dibandingkan dengan kedua grup lain (p=0,04). Kelompok SNRS menunjukkan kadar angiotensin II plasma (median 22,7 kisaran 3,1 sampai 153,4 pg/mL) lebih tinggi dibandingkan dengan grup lain (p=0,01). Korelasi angiotensin II plasma dengan MIF serum adalah korelasi positif yang sangat lemah (rho = 0,27; p=0.003). Pada analisis multivariat ditemukan bahwa alel C, hipertensi sistolik, dan diastolik sebagai variabel yang bermakna terhadap risiko SNRS. Variabel angiotensin II plasma dan MIF serum memengaruhi secara nyata terhadap variabel hipertensi, apabila tidak dimasukkan ke dalam model, sehingga tetap dipakai sebagai model terbaik.
Simpulan: Frekuensi alel C, kadar angiotensin II plasma, dan MIF serum lebih tinggi pada SNRS. Alel C, hipertensi sistolik, hipertensi diastolik, kadar angiotensin II plasma dan MIF serum merupakan model terbaik untuk analisis model keberadaan resisten steroid.
Kata kunci: sindrom nefrotik resisten steroid, polimorfisme -173 G ke C gen MIF, angiotensin II plasma, MIF serum, dan hipertensi
Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT
Background: Steroid-resistant nephrotic syndrome (SRNS) patients tend to progress to end-stage renal disease (ESRD). The MIF high producer -173 C allele has been associated with alterations in balance between MIF and glucocorticoids; resulting in NS patients resistant to steroid therapy. In vitro studies demonstrate cytokine MIF is regulated by angiotensin II. Induction of MIF by angiotensin II affects the development of hypertension
.
Aim:
Relationship MIF gene -173 C allele with the presence of serum MIF and plasma angiotensin II regulation for the individual SRNS is unknown.
Methods: A cross-sectional study was conducted with 120 consecutive children consisting of three groups (steroid-resistant, steroid-sensitive, and well children) between November 2011 and September 2012. Data were collected consist of physical examinations, blood pressure, urinary albumin-creatinine ratio, allele of -173 gene MIF, serum MIF and plasma angiotensin II. Results: The C allele was three times more frequent in SRNS than SSNS and well children (OR 2.79 95% CI 1.13 to 6.89). Group SRNS had significantly higher serum MIF (median 31.9 (14.3 to 117.2) ng/mL) compared to the levels in other groups (p=0.04). Marked increases in median plasma angiotensin II was observed in group SRNS (median 22.7 (3.1 to 153.4) pg/mL) compared with other groups (p=0.01). Plasma angiotensin II concentrations were very weak positive correlated with serum MIF (rho= 0.27; p=0.003). Although multivariate analysis found that the C allele, systolic and diastolic hypertension,as significant variables on the risk of SRNS, but variable levels plasma angiotensin II and serum MIF significantly affect variable hypertension, if not incorporated into this models
.
Conclusions: C allele polymorphism of the -173 MIF gene, plasma angiotensin II and serum MIF concentrations, are higher in SRNS. The C allele, systolic and diastolic hypertension, levels of plasma angiotensin II and serum MIF are the best fit model for steroid-resistant analysis models. Key words: steroid-resistant nephrotic syndrome, polymorphism -173 G to C MIF gene, plasma angiotensin II, serum MIF, hypertension
Universitas Sumatera Utara

RINGKASAN
Sindroma nefrotik (SN) merupakan manifestasi glomerulopati yang
sering dijumpai pada anak. Keadaan ini ditandai dengan proteinuria
masif, hipoalbuminemia, edema dan hiperkolesterolemia. Lebih kurang
85%-90% SN pada anak merupakan sindroma nefrotik sensitif steroid
(SNSS), hanya 10%-15% merupakan sindroma nefrotik resisten steroid
(SNRS). Persentase kelompok ini relatif kecil namun dapat berkembang
menjadi gagal ginjal tahap akhir dalam waktu 1-4 tahun, oleh karena itu
prediksi terjadinya resisten steroid menjadi isu yang penting.
Perkembangan studi tentang biologi sel dan molekular berperan
dalam membantu klinisi menentukan respon terapi steroid. Individu
dengan polimorfisme G ke C -173 gen MIF memiliki risiko resisten
terhadap terapi steroid. Banyak penelitian menyebutkan hal itu, tetapi
belum jelas menerangkan apakah alel C sebagai faktor risiko, terkait
dengan kadar MIF serum yang tinggi
Umumnya sitokin-sitokin proinflamasi ditekan oleh aksi anti
inflamasi glukokortikoid. Sebaliknya pelepasan sitokin MIF dipicu oleh
glukokortikoid dan bekerja antagonis. Konsekuensi klinis hal ini adalah
efek glukokortikoid dapat dihambat oleh MIF apabila konsentrasi MIF
serum meningkat dan menyebabkan kerusakan pada ginjal tetap
berlanjut. Aksi antagonis MIF terhadap efek glukokortikoid diatur oleh
angiotensin II secara lokal (intrarenal) maupun sistemik. Persistensi
angiotensin II sistemik menyebabkan perkembangan hipertensi dan
proteinuria, dan kerusakan ginjal progresif. Subjek SN dengan alel C
gen -173 MIF memiliki risiko resisten terhadap steroid, namun apakah
subjek ini juga mengalami peningkatan kadar angiotensin II plasma dan
MIF serum sehingga resisten terhadap terapi steroid, belum diketahui.
.
Desain penelitian ini adalah studi potong lintang. Subjek terdiri
atas penderita SNRS dengan dua grup pembanding yaitu penderita
SNSS fase remisi dan anak sehat. Penderita SNRS adalah keadaan
pasien SN yang tetap mengalami proteinuria masif, setelah 4 minggu
Universitas Sumatera Utara

dosis penuh prednison (2 mg/kg/hari). Data yang dikumpulkan melalui
rekam medis meliputi: identitas subjek, anamnesis gejala pada awal
masuk, ureum dan kreatinin darah, pengobatan yang diterima dan
luaran. Data yang dikumpulkan pada saat studi meliputi pemeriksaan
fisis (umur saat penelitian, berat dan tinggi badan, tekanan darah),
proteinuria kuantitatif, genotip polimorfisme -173 G ke C gen MIF, kadar
angiotensin II plasma dan MIF serum.
Frekuensi alel C tiga kali lebih tinggi pada SNRS dibandingkan
dengan SNSS dan anak sehat (OR 2,79;IK 95% 1,13 sampai 6,89).
Kadar MIF serum lebih tinggi pada SNRS (median 31,9 kisaran 14,3
sampai 117,2 ng/mL) dibandingkan dengan kedua grup lain (p=0,04).
Kelompok SNRS menunjukkan kadar angiotensin II plasma (median
22,7 kisaran 3,1 sampai 153,4 pg/mL) lebih tinggi dibandingkan
dengan grup lain ( p=0,01). Korelasi angiotensin II plasma dengan MIF
serum adalah korelasi positif yang sangat lemah (rho = 0,27; p =
0,003). Pada analisis multivariat ditemukan bahwa alel C, hipertensi
sistolik, dan diastolik sebagai variabel yang bermakna terhadap risiko
SNRS. Variabel angiotensin II plasma dan MIF serum memengaruhi
secara nyata terhadap variabel hipertensi, apabila tidak dimasukkan ke
dalam model, sehingga tetap dipakai sebagai model terbaik. Akhirnya,
angiotensin II memengaruhi regulasi MIF, merupakan mekanisme yang
berkontribusi terhadap perkembangan/pemeliharaan hipertensi.
Simpulan studi ini adalah frekuensi alel C, kadar angiotensin II
plasma, dan MIF serum lebih tinggi pada SNRS. Alel C, hipertensi
sistolik, hipertensi diastolik, kadar angiotensin II plasma dan MIF serum
merupakan model terbaik untuk analisis model keberadaan resisten
steroid. Mengingat simpulan studi ini, maka analisis polimorfisme gen
MIF dilakukan atas indikasi tertentu (SNRS yang disertai hipertensi)
dan perlu dikembangkan obat anti-MIF/penghambat MIF sebagai terapi
sparring steroid, sehingga pencegahan menuju gagal ginjal dapat
dioptimalkan.
Universitas Sumatera Utara

SUMMARY
Nephrotic syndrome (NS) is a manifestation of glomerulopathy that
often found in children. It is characterized by massive proteinuria,
hypoalbuminemia, oedema and hypercholesterolemia. Approximately
85%-90% NS in children are steroid-sensitive nephrotic syndrome
(SSNS), only 10%-15% patients are steroid-resistant nephrotic
syndrome (SRNS). The percentage of this group is relatively small, but
can progress to end stage renal failure within 1-4 years. Therefore, the
prediction of steroid resistance is an important issue
The development of the study of cell and molecular biology play
a role in helping clinicians determine the response to steroid therapy.
Individuals with polymorphism G to C -173 MIF gene have a risk to
steroid resistance.
.
Many studies mentioned about risk of resistance
steroid in allele C -173 MIF gene but have not been clearly defined
whether this allele as a risk factor associated with serum MIF levels.
Generally, many proinflammatory cytokines suppressed by anti-
inflammatory action of glucocorticoids. This MIF cytokine is induced by
glucocorticoids, and then acts to counter-regulate the inflammatory
action of glucocorticoids. Higher MIF levels can inhibit the action
glucocorticoids and regulated by angiotensin II, either locally or
systemically. Persistence angiotensin II in systemic causes an increase
in the development of hypertension and proteinuria, and could
progressive to kidney damage. While MIF is central to determining
chronicity in steroid resistance, data regarding serum MIF, plasma
angiotensin II levels and hypertension regulation in SRNS are scarce.
The study design was cross-sectional study. Subjects consisted
of patients SRNS with two comparison groups namely phase remission
of SSNS and healthy children. SRNS was diagnosed for children who
had not responded to standard steroid treatment within 4 weeks of
initiation. Data collected through medical records include: identity of the
subject, the history of symptoms in the early entry, blood urea and
Universitas Sumatera Utara

creatinine, treatment received and luaran. Data collected during the
study include physical examination (age at study, weight and height,
blood pressure), quantitative proteinuria, genotyping polymorphisms
-173 G to C MIF gene, plasma angiotensin II and serum MIF levels
The C allele was three times more frequent in SRNS than SSNS
and well children (OR 2.79 95% CI 1.13 to 6.89). Group SRNS had
significantly higher serum MIF (median 31.9 (14.3 to 117.2) ng/mL)
compared to the levels in other groups (p=0.04). Marked increases in
median plasma angiotensin II was observed in group SRNS (median
22.7 (3.1 to 153.4) pg/mL) compared with other groups (p=0.01).
Plasma angiotensin II concentrations were very weak positive
correlated with serum MIF (rho= 0.27; p=0.003).
.
Although multivariate
analysis found that the C allele, systolic hypertension, and diastolic as
significant variables on the risk of SNRS, but variable plasma
angiotensin II and serum MIF significantly affect variable hypertension,
if not incorporated into this models
The C allele polymorphism of -173 MIF gene, plasma
angiotensin II and serum MIF concentrations, are higher in SRNS.
Systolic and diastolic hypertension, C allele, levels of plasma
angiotensin II and serum MIF are the best fit model for steroid-resistant
analysis models.
. Finally, angiotensin II induced MIF
regulation may represent a mechanism that contributes to the
development/maintenance of hypertension.
Based on conclusions of this study, the MIF gene
polymorphism analysis will be conducted on specific indications (SRNS
patients accompanied by hypertension). The main hope for the effective
treatment of SRNS lies with newer drugs and novel treatments (such as
anti-MIF antibodies and antagonist MIF) as sparring steroid therapy.
Both of these approaches are necessary in order to optimally towards
prevention of renal failure
.
Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK........................................................................................... i ABSTRACT………………………………………………………………. ii RINGKASAN……………………………………………………………… iii SUMMARY………………………………………………………………… v DAFTAR ISI ..................................................... ................................ vii DAFTAR TABEL................................................................................. ix DAFTAR GAMBAR............................................................................ x DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................... xi DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH............................................... xii BAB I PENDAHULUAN…………………………………………...... 1
1.1 Latar Belakang......................................................... 1.2 Rumusan Masalah.................................................. 1.3 Tujuan Penelitian.....................................................
1.3.1. Tujuan umum................................................ 1.3.2. Tujuan khusus…………................................
1.4 Manfaat Penelitian.................................................. 1.4.1. Manfaat teori………………………................ 1.4.2. Manfaat bagi masyarakat……………………. 1.4.3. Manfaat aplikatif ........................................... 1.4.4. Manfaat bagi pengembangan ilmu dan penelitian......................................................
1.5. Orisinalitas…………………………………………… 1.6. Potensi Hak Atas Kekayaan Intelektual…………..
1 6 7 7 7 7 7 8 8
8 8 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................... 9 2.1. Tinjauan Pustaka.....................................................
2.1.1. Sindroma Nefrotik, Sindroma Nefrotik Resisten Steroid……………………………....
2.1.2. Hipertensi sebagai Luaran Klinis SNRS…… 2.1.3. Genotip MIF dan Respon terhadap
Glukokortikoid ……………………………….. 2.1.4. Peran Angiotensin II Regulasi Tekanan
Darah…………………………………………. 2.1.5. Angiotensin II sebagai Regulator MIF........... 2.1.6. MIF dan Sensitivitas Glukokortikoid.............. 2.1.7. Hubungan Peningkatan MIF dan
Angiotensin II dengan Kerusakan Ginjal …. 2.2. Kerangka Pemikiran, dan Premis .......................... 2.3 Kerangka Konsep Penelitian………………………. 2.4 Hipotesis Penelitian ………………………………….
9
9 11
13
18 21 25
30 32
36 37
BAB III METODE PENELITIAN ..................................................... 39 3.1 Desain Penelitian.....................................................
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ................................. 3.3 Populasi Penelitian dan Justifikasi.......................... 3.4 Subjek Penelitian dan Cara Pemilihan Subjek …. 3.5 Estimasi Besar Sampel ...........................................
39 39 41 41 42
Universitas Sumatera Utara

3.6 Kriteria Inklusi dan Eksklusi .................................... 3.6.1. Kriteria Inklusi untuk Kasus………………… 3.6.2. Kriteria Inklusi untuk Grup Pembanding…… 3.6.3. Kriteria Eksklusi……………………………….
3.7 Informed Consent dan Ethical Clearence................ 3.8 Alur Kerja................................................................. 3.9 Data yang Dikumpulkan........................................... 3.10 Pemeriksaan............................................................
3.10.1. Pemeriksaan Antropometris………………… 3.10.2. Pemeriksaan Fisis Tekanan Darah ………... 3.10.3. Pemeriksaan Proteinuria Kuantitatif……….. 3.10.4. Analisis Genotip Polimorfisme-173 G ke C
Gen MIF………………………………………. 3.10.5. Analisis Angiotensin II Plasma……………. 3.10.6. Analisis MIF Serum………………………….
3.11 Identifikasi Variabel…………………………………. 3.12 Definisi Operasional………………………………… 3.13 Pengolahan dan Analisis Data.................................
45 45 45 46 46 47 47 48 48 48 49
50 51 52 52 53 55
BAB IV HASIL PENELITIAN…………………………………………. 4.1 Demografi Subjek Penelitian................................... 4.2 Distribusi dan Hubungan Alel C -173 Gen MIF Menurut Grup…………………………………………. 4.3 Sebaran dan Hubungan Konsentrasi Angiotensin II Plasma dan MIF Serum Menurut Grup ……………. 4.4 Korelasi Antara Angiotensin II dan MIF……………. 4.5 Analisis Multivariat…………………………………… 4.6 Pengujian Hipotesis………………………………….
56 56 58 61 62 63 66
BAB V PEMBAHASAN ……………………………………………… 68 5.1 Polimorfisme -173 G Ke C Gen MIF Sebagai
Faktor Risiko SNRS................................................. 5.2 Kadar MIF Serum dan Antagonisme Steroid:
Faktor Risiko SNRS ………………………….……… 5.3 Kadar Angiotensin II Plasma dan Hipertensi:
Faktor Risiko SNRS…………………………………. 5.4 Analisis Korelasi dan Multivariat Frekuensi Alel
MIF, Kadar Angiotensin II Plasma dan Kadar MIF Serum Secara Bersama sama dengan Hipertensi Terhadap Risiko SNRS………………………………
5.5 Hipertensi, Angiotensin II Sistemik dan Peranan dalam Gangguan Struktur/Fungsi Ginjal…………..
5.6 Hubungan Sitokin MIF Terhadap Proteinuria Menetap dan Gangguan Struktur/Fungsi Ginjal….
5.7 Kelebihan dan Kelemahan Studi ............................
68 72 74 76 80 82 84
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN …………………………………. 86 DAFTAR PUSTAKA........................................................................... 88 LAMPIRAN ........................................................................................ 102
Universitas Sumatera Utara

DAFTAR TABEL
No
Judul Halaman
1. Faktor Risiko Genetik Resisten Steroid pada SN………. 15 2. Asal Subjek Penelitian……………………………………… 56 3. Karakteristik Demografi Subjek Penelitian ……………… 57 4. Perbedaan Frekuensi Hipertensi diantara Grup………… 57 5. Frekuensi Tata Laksana yang Diperoleh Subjek SN…… 58 6. Distribusi Antara Grup dan Frekuensi Alel………………. 59 7. Hubungan Grup dengan Alel C -173 Gen MIF………….. 59 8. Kondisi Genotip Polimorfisme -173 G Ke C Gen MIF di
dalam Studi…………………………………………………..
60 9. Hubungan Angiotensin II dan MIF Antara Grup ……….. 62
10. Analisis Bivariat Faktor Risiko Resisten Steroid pada SN……………………………………………………………..
63
11. Model Pertama Keberadaan Resisten Steroid…………... 64 12. Model Kedua Keberadaan Resisten Steroid…………….. 64 13. Nilai Kekuatan Interaksi Variabel Pada Model………….. 65
14. Perbandingan dengan Studi Lain tentang Frekuensi Alel MIF…………………………………………………………….
68
Universitas Sumatera Utara

DAFTAR GAMBAR
No
Judul Halaman
1. Hubungan Glomerulopati dengan Hipertensi ........ 13 2. Struktur Gen MIF Manusia..................................... 16 3. Hubungan antara MIF, Glukokortikoid dan
Inflamasi………………………………………………
17 4. Struktur Tiga Dimensi MIF Manusia……………… 25 5. Target Kerja Glukokortikoid dan MIF …………….. 28
6 Hubungan Peningkatan MIF dengan Kerusakan Ginjal…………………………………………………
31
7. Peranan Angiotensin II dalam Kerusakan Ginjal…………………………………………………..
32
8. Kerangka Konsep Penelitian………………………. 38 9. Cara Pemilihan Subjek Studi………………………. 42
10. Alur Kerja ………………………………..…………... 47 11. Gambaran Elektroforesis Produk PCR Setelah
Digesti dengan Enzim Alu I dari Ketiga Genotip…
60 12 Boxplot Kadar Angiotensin II pada Setiap Grup…. 61 13. Boxplot Kadar MIF pada Setiap Grup…………….. 61 14. Scatter Plot Kadar MIF dan Angiotensin II………. 62 15. Ilustrasi Keadaan Respon Individu Terhadap
Steroid Dihubungkan dengan SNP -173 G Ke C Gen MIF………………………………………………
71
Universitas Sumatera Utara

DAFTAR LAMPIRAN
No Judul
Halaman
1. Tabel Tekanan Darah Anak Laki-laki....................... 102 2. Tabel Tekanan Darah Anak Perempuan………….. 103 3 Lembar Penjelasan Subjek/Orang Tua……………. 104 4. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan................. 106 5. Status Pemeriksaan................................................. 107
6. Persetujuan Komite Etik……………………………… 108 7. Prosedur Operasional Standar Pemeriksaan
Polimorfisme -173 G Ke C Gen MIF………………..
109 8. Prosedur Operasional Standar Pemeriksaan
Angiotensin II Plasma..............................................
110 9. Prosedur Operasional Standar Pemeriksaan MIF
Serum.......................................................................
111 10. Daftar Riwayat Hidup............................................... 112
Universitas Sumatera Utara

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH
ACE = Angiotensin converting enzyme
ACEI = Angiotensin converting enzyme inhibitor
ADH = Anti diuretic hormone
Ang II = Angiotensin II
AP-1 = Activator protein-1
ARB = Angiotensin receptor blocker
AT1
AT
R = Angiotensin II type 1 receptor
2
bp = base pair
R = Angiotensin II type 2 receptor
CD = Cluster of differentiation
CDC = Centers for Disease Control and Prevention
cPLA2 = cytoplasmic phospho lipase A2
CREB = cAMP response element binding protein
CVO = Circumventricular organ
DNA = Deoxyribosa Nucleic Acid
EDTA = Ethylen diamine tetra acetate
eGFR = estimated glomerular filtration rate
EIA = Enzyme immune assay
ELISA = Enzyme linked immunosorbent assay
ERK 1/2 = Extracelllular signal-regulated kinase 1/2
ESCAPE = Effect of strict blood pressure control and ACE inhibition
on the progression of CRF in pediatric patients
HPA = Hypothalamic pituitary axis
HTD = Hipertensi diastolik
HTS = Hipertensi sistolik
IFN = Interferon
IK 95% = Interval kepercayaan 95%
IκB = Inhibitor of NF-κB
IL = Interleukin
ISKDC = International Standard of Kidney Disease in Children
JAB 1 = Jun activation-domain binding protein 1
Universitas Sumatera Utara

MAPK = Mitogen activated protein kinase
MDR-1 = Multi drug resistance-1
MHC = Major histocompatibility complex
MIF = Macrophage migration inhibitory factor
mRNA = massengers ribosa nucleic acid
Na K ATP ase= Natrium kalium adenosine tryphosphatease
NCHS = National Center for Health Statistics
NF-κB = Nuclear factor-κB
NHBPEP = National High Blood Pressure Education Program
NKF-K/DOQI= National Kidney Foundation Kidney Disease Outcomes
Quality Initiative
NR3C1 = Nuclear receptor subfamily 3, group C, member 1
OR = Odds ratio
PCR-RFLP = Polymerase chain reaction-restriction fragment length
polymorphism
PGK = Penyakit ginjal kronik
rpm = round per minute
SB = Simpangan baku
SN = Sindroma nefrotik
SNP = Single nucleotide polymorphism
SNRS = Sindrom nefrotik resisten steroid
SNSS = Sindrom nefrotik sensitif steroid
SRAA = Sistim renin angiotensin aldosteron
SSP = Susunan saraf pusat
TDS = Tekanan darah sistolik
TDD = Tekanan darah diastolik
Th = T helper
TLR = Toll-Like receptor
TNF α = Tumor necrosis factor α
UACR = Urinary albumine creatinine ratio
UKK = Unit Kerja Koordinasi
Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK
Latar belakang: Penderita sindroma nefrotik resisten steroid (SNRS) cenderung berlanjut ke penyakit ginjal tahap akhir. Alel C -173 gen MIF (macrophage migration inhibitory factor) berkaitan dengan gangguan keseimbangan sitokin MIF dengan glukokortikoid, sehingga penderita SN resisten terhadap terapi steroid. Studi in vitro menunjukkan sitokin MIF diatur oleh angiotensin II. Induksi regulasi MIF oleh angiotensin II memengaruhi perkembangan hipertensi. Tujuan: Hubungan alel C -173 gen MIF dengan keberadaan MIF serum dan pengaturan oleh angiotensin II plasma pada individu SNRS belum diketahui.
Metode: Studi sekat lintang dilakukan pada 120 anak (steroid resisten, steroid sensitif dan anak sehat) sejak November 2011 hingga September 2012. Data yang dikumpulkan meliputi pemeriksaan fisis, tekanan darah, rasio albumin kreatinin urin, alel G atau C -173 gen MIF, MIF serum, dan angiotensin II plasma. Hasil: Frekuensi alel C tiga kali lebih tinggi pada SNRS dibandingkan dengan SNSS dan anak sehat (OR 2,79;IK 95% 1,13 sampai 6,89). Kadar MIF serum lebih tinggi pada SNRS (median 31,9 kisaran 14,3 sampai 117,2 ng/mL) dibandingkan dengan kedua grup lain (p=0,04). Kelompok SNRS menunjukkan kadar angiotensin II plasma (median 22,7 kisaran 3,1 sampai 153,4 pg/mL) lebih tinggi dibandingkan dengan grup lain (p=0,01). Korelasi angiotensin II plasma dengan MIF serum adalah korelasi positif yang sangat lemah (rho = 0,27; p=0.003). Pada analisis multivariat ditemukan bahwa alel C, hipertensi sistolik, dan diastolik sebagai variabel yang bermakna terhadap risiko SNRS. Variabel angiotensin II plasma dan MIF serum memengaruhi secara nyata terhadap variabel hipertensi, apabila tidak dimasukkan ke dalam model, sehingga tetap dipakai sebagai model terbaik.
Simpulan: Frekuensi alel C, kadar angiotensin II plasma, dan MIF serum lebih tinggi pada SNRS. Alel C, hipertensi sistolik, hipertensi diastolik, kadar angiotensin II plasma dan MIF serum merupakan model terbaik untuk analisis model keberadaan resisten steroid.
Kata kunci: sindrom nefrotik resisten steroid, polimorfisme -173 G ke C gen MIF, angiotensin II plasma, MIF serum, dan hipertensi
Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT
Background: Steroid-resistant nephrotic syndrome (SRNS) patients tend to progress to end-stage renal disease (ESRD). The MIF high producer -173 C allele has been associated with alterations in balance between MIF and glucocorticoids; resulting in NS patients resistant to steroid therapy. In vitro studies demonstrate cytokine MIF is regulated by angiotensin II. Induction of MIF by angiotensin II affects the development of hypertension
.
Aim:
Relationship MIF gene -173 C allele with the presence of serum MIF and plasma angiotensin II regulation for the individual SRNS is unknown.
Methods: A cross-sectional study was conducted with 120 consecutive children consisting of three groups (steroid-resistant, steroid-sensitive, and well children) between November 2011 and September 2012. Data were collected consist of physical examinations, blood pressure, urinary albumin-creatinine ratio, allele of -173 gene MIF, serum MIF and plasma angiotensin II. Results: The C allele was three times more frequent in SRNS than SSNS and well children (OR 2.79 95% CI 1.13 to 6.89). Group SRNS had significantly higher serum MIF (median 31.9 (14.3 to 117.2) ng/mL) compared to the levels in other groups (p=0.04). Marked increases in median plasma angiotensin II was observed in group SRNS (median 22.7 (3.1 to 153.4) pg/mL) compared with other groups (p=0.01). Plasma angiotensin II concentrations were very weak positive correlated with serum MIF (rho= 0.27; p=0.003). Although multivariate analysis found that the C allele, systolic and diastolic hypertension,as significant variables on the risk of SRNS, but variable levels plasma angiotensin II and serum MIF significantly affect variable hypertension, if not incorporated into this models
.
Conclusions: C allele polymorphism of the -173 MIF gene, plasma angiotensin II and serum MIF concentrations, are higher in SRNS. The C allele, systolic and diastolic hypertension, levels of plasma angiotensin II and serum MIF are the best fit model for steroid-resistant analysis models. Key words: steroid-resistant nephrotic syndrome, polymorphism -173 G to C MIF gene, plasma angiotensin II, serum MIF, hypertension
Universitas Sumatera Utara

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sindroma nefrotik (SN) merupakan manifestasi glomerulopati yang
sering dijumpai pada anak. Sindroma nefrotik merupakan keadaan klinis
yang ditandai dengan proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema dan
hiperkolesterolemia (Vogt dan Avner, 2007). Angka kejadian SN di
Amerika berkisar antara 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun (Eddy
dan Symons, 2003). Anak-anak keturunan Asia Selatan memiliki tingkat
insidens 7,4 per 100.000 anak per tahun dan anak ras lain mencapai 1,6
per 100.000 anak per tahun (McKinney et al., 2001). Di Indonesia,
insidens SN dilaporkan 6 per 100.000 anak per tahun pada anak berusia
kurang dari 14 tahun (Wirya, 1992). Data penyakit ginjal anak di
Indonesia yang dikumpulkan dari tujuh Pusat Pendidikan Dokter Spesialis
Anak memperlihatkan bahwa SN merupakan penyakit yang paling sering
dijumpai (35%) di poliklinik nefrologi (UKK Nefrologi, 2008).
Luaran klinis penyakit ini bergantung pada umur saat presentasi,
gambaran histopatologis, keberadaan hematuria dan hipertensi, gangguan
fungsi ginjal, dan respons terhadap terapi steroid (Bagga dan Mantan,
2005). Prognosis SN pada anak berkorelasi dengan spektrum respons
terapi steroid, yaitu mulai dari SN sensitif steroid (SNSS) hingga SN
resisten steroid (SNRS). Kira-kira 90% anak dengan SN idiopatik sensitif
terhadap terapi steroid dan hanya 10% anak yang tidak respon (resisten)
Universitas Sumatera Utara

terhadap steroid (Cattran, 2000). Insidens kasus SNRS pada anak
mencapai 0,3 per 100.000 anak per tahun (Mc Kinney et al., 2001).
SNRS merupakan penyebab tersering penyakit ginjal tahap akhir
pada anak. Walaupun persentase penderita anak dengan SNRS kecil,
grup ini berisiko mengalami komplikasi ekstrarenal dan berkembang
menjadi penyakit ginjal tahap akhir (Niaudet et al., 2004). Prediksi
terhadap kemungkinan menjadi resisten terhadap steroid menjadi amat
penting bagi seorang anak penderita SN agar terhindar dari penyakit ginjal
tahap akhir dan biaya pengobatan yang cukup mahal.
Perkembangan studi tentang biologi sel dan molekular membantu
klinisi dalam menentukan respon terapi. Gen ataupun petanda protein
menjadi tujuan kajian tentang respon steroid pada SN (Yi dan He, 2006).
Adapun faktor yang diduga berpengaruh terhadap respon terapi steroid
adalah jumlah reseptor glukokortikoid dan faktor genetik (Haack et al.,
1999). Individu dengan perubahan gen macrophage migration inhibitory
factor (MIF) nukleotida tunggal G ke C (single nucleotide G to C
polymorphism) pada posisi -173 berisiko resisten terhadap terapi steroid
oleh karena hambatan glukokortikoid endogen dan penurunan respon
terhadap glukokortikoid eksogen. Hal ini menyebabkan individu dengan
polimorfisme G ke C rentan terhadap penyakit inflamasi yang seharusnya
dapat ditata laksana dengan steroid (Vivarelli et al., 2008; Aeberli et al.,
2006), dan berkaitan dengan perburukan fungsi ginjal (Vivarelli et al.,
2008). Polimorfisme secara fungsional berhubungan dengan ekspresi
MIF yang lebih tinggi secara in vitro dan peningkatan level MIF serum
Universitas Sumatera Utara

secara in vivo (Donn et al., 2002). Walaupun demikian berbagai penelitian
di atas belum jelas menerangkan apakah polimorfisme -173 G ke C gen
MIF sebagai faktor risiko pada individu SNRS berhubungan dengan
peningkatan level MIF serum.
Macrophage migration inhibitory factor (MIF) merupakan suatu
sitokin yang bersifat pleiotrophic (suatu sitokin yang bekerja terhadap
berbagai jenis sel yang menimbulkan berbagai efek). Sumber utama MIF
berasal dari berbagai organ dan distribusinya hampir merata di seluruh
jaringan tubuh. Hal ini mendukung teori bahwa pelepasan MIF ke sirkulasi
darah terjadi dari penyimpanan MIF di intra sel (Lue, 2003). MIF tersimpan
pada sitoplasma sel dan pengeluarannya ke ekstrasel dirangsang oleh
berbagai faktor, misalnya oleh angiotensin II (Rice et al.,2003). Studi in
vitro menunjukkan bahwa pelepasan MIF dari intrasel diatur oleh
angiotensin II (Rice et al.,2003), tetapi penelitian in vivo tentang hal ini
belum ada.
Sumber utama MIF di ginjal berasal dari sel-sel glomerulus
terutama podosit dan sel-sel epitel tubulus (Hattori et al., 1999) Peranan
MIF dalam memicu kerusakan ginjal terjadi melalui dua cara yaitu
merangsang pembentukan banyak mediator inflamasi (IL-1B, TNF-α, IL-6,
nitric oxide, reactive oxygen species) dan bekerja antagonis terhadap
glukokortikoid (Stosic et al., 2009). Apabila efek glukokortikoid tidak
bekerja pada sel-sel di ginjal, proses kerusakan ginjal akan berlanjut dan
ditandai dengan proteinuria menetap, walaupun setelah diberikan dosis
penuh terapi steroid (Lan, 2008).
Universitas Sumatera Utara

Efek MIF yang kedua ini menjadi dasar bagi penelitian penyakit-
penyakit yang menggunakan steroid sebagai terapi utama, termasuk juga
SN. Meskipun demikian, bukan berarti efek yang pertama tidak berperan
di dalam patogenesis SN karena efek yang pertama ini dipengaruhi oleh
gambaran/corak histopatologis penderita SN yang juga memunyai
peranan di dalam resistensi terapi steroid. Prosedur biopsi ginjal relatif
invasif pada anak-anak sedangkan pengukuran kadar MIF dalam darah
relatif kurang invasif sehingga dipakai untuk menerangkan peranannya
dalam antagonisme steroid.
Sitokin-sitokin proinflamasi, selain MIF, ditekan oleh aksi anti
inflamasi glukokortikoid. Sebaliknya, pelepasan sitokin MIF dipicu oleh
glukokortikoid dan selanjutnya, bekerja sebagai antagonis glukokortikoid
(Petrovsky et al., 2003; Lan,2008). Konsekuensi klinis hal ini adalah efek
glukokortikoid dapat dihambat oleh MIF apabila konsentrasi MIF serum
meningkat dan menyebabkan kerusakan pada ginjal tetap berlanjut.
Penelitian Yang et al.(1998) menemukan bahwa apabila efek MIF
dinetralkan secara imunologis,akan terjadi peningkatan kadar serum
kortikosteron endogen. Hal ini berkorelasi dengan perbaikan proteinuria,
dan perbaikan kerusakan histologis pada glomerulus. Apabila kadar MIF
serum terlalu meningkat (di atas 100 pg/mL), berarti telah terjadi
kerusakan ginjal yang berat. Hal ini dibuktikan oleh Bruchfeld et al.(2009)
bahwa kadar MIF serum pada penderita penyakit ginjal kronik derajat 3-5
(kerusakan ginjal berat) lebih tinggi secara bermakna dibandingkan
dengan kontrol (p=0,008).
Universitas Sumatera Utara

Glukokortikoid memicu pengeluaran MIF dari dalam sel dan
bersirkulasi di plasma. Apabila pengeluaran MIF telah terjadi maka ia
bekerja antagonis terhadap glukokortikoid. Aksi antagonis MIF terhadap
efek glukokortikoid diatur oleh angiotensin II (Gasparo et al., 2000),
Keberadaan angiotensin II di jaringan ginjal dipengaruhi oleh
pengambilan (uptake) angiotensin II dari sirkulasi ataupun dari
pembentukan lokal di jaringan ginjal. Kedua hal ini menyebabkan
peningkatan kadar angiotensin II di sirkulasi apabila terjadi atau
berlangsung secara terus menerus (van Kats et al., 2001).
Regulasi MIF oleh peningkatan angiotensin II menyebabkan
perkembangan hipertensi dan proteinuria (Rice et al., 2003; Busche et al.,
2001; Wolf et al., 2003). Hipertensi dan proteinuria pada penderita SNRS
memunyai peran penting dalam perburukan fungsi ginjal (Meer et al.,
2010).
Peranan MIF terhadap glukokortikoid ditunjukkan dengan model
tikus defisiensi MIF yang diperankan oleh tikus delesi gen MIF (MIFP
־P /P
־P ).
Sebaliknya, tikus transgenik memiliki kadar MIF yang berlebihan. Pada
tikus delesi gen MIF terjadi peningkatan sensitivitas glukokortikoid (Aeberli
et al., 2006a; Aeberli et al., 2006b).
Pada subjek manusia dengan alel C memiliki kadar MIF yang lebih
tinggi daripada subjek GG homozigot (Donn et al., 2002; De Benedetti et
al., 2003). Subjek penderita SN dengan alel C -173 gen MIF memiliki
risiko resisten terhadap steroid (Berdelli et al., 2005; Vivarelli et al., 2008).
Namun, apakah subjek ini juga mengalami peningkatan kadar angiotensin
Universitas Sumatera Utara

II dan peningkatan kadar MIF sehingga resisten terhadap terapi steroid,
belum pernah diteliti (sepanjang pengetahuan peneliti). Oleh karena itu,
kami ingin meneliti tentang hubungan polimorfisme -173 G ke C gen MIF,
dengan peningkatan kadar angiotensin II plasma dan MIF serum secara
bersama-sama dengan hipertensi pada anak penderita SN resisten steroid
dibandingkan dengan penderita SN sensitif steroid dan anak sehat.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, dapat dirumuskan
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1.2.1 Apakah frekuensi alel C -173 gen MIF lebih tinggi pada anak
SNRS dibandingkan dengan SNSS dan anak sehat?
1.2.2 Apakah kadar angiotensin II plasma lebih tinggi pada anak SNRS
dibandingkan dengan SNSS dan anak sehat?
1.2.3 Apakah kadar MIF serum lebih tinggi pada anak SNRS
dibandingkan dengan SNSS dan anak sehat?
1.2.4 Apakah terdapat korelasi positif antara kadar MIF serum dan
kadar angiotensin II plasma?
1.2.5 Apakah frekuensi alel C -173 gen MIF, peningkatan kadar
angiotensin II plasma, dan MIF serum secara bersama-sama
dengan hipertensi, merupakan faktor risiko SNRS?
Universitas Sumatera Utara

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Menentukan dasar hubungan polimorfisme -173 G ke C gen MIF, dengan
kadar angiotensin II plasma, dan MIF serum terhadap respon steroid
sehingga pasien SNRS terhindar dari progresivitas ke arah gagal ginjal.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Menganalisis data frekuensi genotip polimorfisme -173 G ke C gen
MIF pada anak penderita SNRS, SNSS, dan anak sehat
1.3.2.2 Menganalisis sebaran kadar angiotensin II plasma pada anak
penderita SNRS, SNSS, dan anak sehat
1.3.2.3 Menganalisis sebaran kadar MIF serum pada anak penderita
SNRS, SNSS, dan anak sehat
1.3.2.4 Menganalisis korelasi kadar angiotensin II plasma dan MIF serum.
1.3.2.5 Menganalisis hubungan alel C -173 gen MIF, peningkatan kadar
angiotensin II plasma,dan kadar MIF serum secara bersama-sama
dengan hipertensi terhadap risiko SNRS
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan akan berguna bagi dunia ilmu pengetahuan
dan kehidupan anak. Adapun manfaatnya sebagai berikut:
1.4.1 Manfaat teori. Studi ini meningkatkan pemahaman dan
pengetahuan tentang patofisiologi SNRS sehingga membantu
dokter dalam penatalaksanaan anak SNRS.
Universitas Sumatera Utara

1.4.2 Manfaat bagi masyarakat. Studi ini membantu perencanaan
strategi pengobatan lebih awal terhadap anak SNRS sehingga
dapat mengurangi komplikasi akibat pemberian steroid jangka
panjang.
1.4.3 Manfaat aplikatif. Studi ini membantu anak SNRS dalam
mendapatkan terapi agresif selain steroid.
1.4.4 Manfaat bagi pengembangan ilmu dan penelitian. Sebagai
rujukan penelitian berikutnya yang berkaitan dengan SN.
1.5 Orisinalitas
Berdasarkan penelusuran kepustakaan, peneliti belum menemukan
penelitian tentang peran polimorfisme -173 G ke C gen MIF disertai
peningkatan kadar angiotensin II plasma dan MIF serum secara bersama
sama dengan hipertensi sebagai faktor risiko SNRS.
1.6 Potensi Hak atas Kekayaan Intelektual
Peranan polimorfisme -173 G ke C gen MIF, peningkatan kadar
angiotensin II plasma, dan MIF serum secara bersama-sama dengan
hipertensi dapat membantu klinisi dalam penatalaksanaan anak SNRS
agar terhindar dari progresivitas ke arah gagal ginjal.
Universitas Sumatera Utara

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Sindroma Nefrotik, Sindroma Nefrotik Resisten Steroid
Sindroma nefrotik ditandai dengan gangguan selektif permeabilitas
kapiler glomerulus sehingga terjadi kehilangan protein melalui urin.
Proteinuria pada anak SN relatif selektif yang terdiri atas albumin dengan
kisaran nefrotik proteinuria mencapai 1000 mg/m2
Kejadian proteinuria merupakan kelainan dasar pada SN. Sebagian
besar proteinuria berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuria
glomerular). Filter kapiler glomerulus terdiri atas tiga lapisan, yaitu endotel,
membran basalis, dan sel epitel (podosit) dengan foot processes serta slit
diafragma. Glomerulus memiliki muatan negatif (charge selective barrier)
akibat adanya residu asam sialat pada glikokaliks yang melapisi epitel dan
endotel, serta adanya proteoglikan heparan sulfat pada membran basalis.
Muatan negatif sangat berkurang pada penderita SN sehingga
kemampuan menahan protein yang bermuatan negatif berkurang pula.
Steroid dapat mengembalikan kandungan sialoprotein kembali normal
sehingga penderita SN mengalami remisi. Selain gangguan pada muatan
negatif, pendataran foot process (gangguan pada size selective barrier)
juga diduga menjadi sebab terjadinya kebocoran protein (Haycock, 2003;
per hari atau rasio
protein kreatinin pada random (spot) urin mencapai 2 mg/mg (Bagga dan
Mantan, 2005).
Universitas Sumatera Utara

Jalanko, 2003). Sel ini diduga mengalami perubahan morfologi selama
kejadian proteinuria.
Berbagai penelitian jangka panjang menunjukkan respon terhadap
pengobatan steroid lebih sering dipakai untuk menentukan prognosis
dibandingkan dengan gambaran patologi anatomi. Klasifikasi SN lebih
didasarkan pada respon klinik, yaitu SNSS dan SNRS. SN pada anak
85%-90% merupakan SNSS, hanya 10%-15% merupakan SNRS
(Niaudet, 1999), hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar populasi
anak penderita SN dapat terhindar dari prosedur invasif.
Kelompok SNRS adalah penderita yang tidak mengalami remisi
setelah diberikan terapi steroid dalam waktu empat minggu. Kelompok ini
terbagi atas dua kategori, yaitu resisten steroid primer dan resisten steroid
sekunder (Niaudet, 1999; Fydryk dan Querfeld, 2002). Persentase
kelompok ini relatif kecil, tetapi dapat berkembang menjadi gagal ginjal
tahap akhir dalam waktu 1-4 tahun. Oleh karena itu prediksi terjadinya
resisten steroid menjadi isu yang penting (Niaudet, 1993).
Banyak hal yang berkaitan dengan prediksi resisten steroid pada
anak, walaupun demikian secara garis besar dibagi atas karakteristik klinis
dan histologis. Para klinisi cenderung menggunakan karakteristik klinis
untuk prediksi tersebut, misalnya umur saat presentasi pertama kali,
keberadaan hematuria dan atau hipertensi.
Umur saat presentasi pertama kali di bawah usia 1 tahun, setelah
usia 6 tahun atau setelah pubertas memiliki kemungkinan menjadi resisten
steroid. Kejadian SN tidak biasa terjadi pada tahun pertama kehidupan
Universitas Sumatera Utara

dan sangat jarang terjadi di bawah 6 bulan (Haycock,2003). Puncak
insidens SNSS maupun SNRS adalah umur prasekolah, sebanyak 80%
berumur kurang dari 6 tahun dengan median umur 2,5 tahun untuk SNSS
dan 6 tahun untuk SNRS (Niaudet,1999).
Begitu juga faktor hematuria dan atau hipertensi dapat menjadi
prediksi resisten steroid, masing-masing 30% dan 50%. Keadaan
hipertensi ditemukan pada 13% hingga 20,7% pada SNSS dan meningkat
menjadi 27% sampai 51,4% (masing masing untuk tekanan darah diastolik
dan tekanan darah sistolik) pada SNRS (ISKDC.,1978). Hematuria
mikroskopik ditemukan pada 22,7% kasus SNSS dan meningkat menjadi
67% pada SNRS (Niaudet,1999).
Kadar rasio protein kreatinin urin menjadi dasar bagi klinisi dalam
menentukan respon atau tidak terhadap terapi steroid. Penelitian Partini,
(2007) menemukan pasien SNRS mengalami kadar rasio protein kreatinin
urin yang berbeda secara bermakna bila dibandingkan dengan anak
tanpa penyakit ginjal ataupun anak dengan SN remisi (p<0,0001). Hal ini
menunjukkan bahwa rasio protein kreatinin urin pada pasien SNRS dapat
digunakan sebagai pedoman klinis respon terapi steroid.
2.1.2 Hipertensi sebagai Luaran Klinis SNRS
Hipertensi merupakan salah satu karakteristik klinik sebagai
prediksi resistensi steroid. Kemungkinan terjadinya resistensi steroid pada
anak SN yang mengalami hipertensi adalah 50%-60% (ISKDC, 1981;
ISKDC, 1978).
Universitas Sumatera Utara

Pengaturan tekanan darah amat dipengaruhi oleh pengaturan
volume cairan ekstrasel. Peningkatan volume cairan ekstrasel akan
meningkatkan volume darah dan tekanan darah sehingga pemantauan
jumlah cairan ekstrasel dilakukan dengan pemantauan tekanan darah.
Hipertensi pada SN ini diakibatkan perubahan aktivitas vasopresor atau
volume intravaskular, sedangkan aktivitas plasma renin dapat menurun
atau meningkat. Pada penurunan aktivitas plasma renin biasanya terjadi
retensi natrium, peningkatan volume ekstraselular, penurunan laju filtrasi
glomerulus dan normotensi. Pada penderita dengan peningkatan aktivitas
plasma renin memunyai volume arteri plasma efektif yang rendah dan laju
filtrasi glomerulus yang normal. Edema intrarenal menyebabkan
penurunan laju filtrasi glomerulus yang dapat menyebabkan ekspansi
volume plasma. Terapi kortikosteroid merupakan penyebab utama
hipertensi kronik karena kortikosteroid dapat meningkatkan respon
vaskular terhadap norepinefrin dan angiotensin II. Penderita hipervolemia
yang mengalami penurunan aktivitas plasma renin, lebih sering
mengalami hipertensi akibat terapi kortikosteroid (Gruskin et al., 1999).
Sebaliknya pada penderita hipovolemia dapat juga terjadi hipertensi akibat
respon vasokonstriksi yang diperantarai oleh angiotensin (Gambar 1).
Respon peningkatan tekanan darah akibat angiotensin II ini dapat
diukur dengan kadar angiotensin II di plasma. Penelitian Vollard, et al.
(1999) menemukan bahwa solid phase immobilized epitope immunoassay
merupakan cara yang sensitif dan spesifik dalam pengukuran angiotensin
II plasma (r=0,9).
Universitas Sumatera Utara

Gambar 1. Hubungan Glomerulopati dengan Hipertensi. Hipertensi dapat disebabkan oleh hipervolemia akibat retensi garam/air (perubahan volume) atau perubahan vasopresor oleh angiotensin II sekunder dari iskemia.
2.1.3 Genotip MIF dan Respon Terhadap Glukokortikoid
Perkembangan studi tentang biologi sel dan molekular berperan
dalam membantu klinisi menentukan respon terapi. Gen ataupun petanda
protein menjadi tujuan studi-studi respon terhadap steroid (Yi dan He,
2006). Faktor yang berpengaruh terhadap respon terapi steroid adalah
vasokonstriksi
Glomerulopati
iskemia Ekskresi air dan garam menurun
Pengeluaran renin oleh jukstaglomerular app
Angiotensinogen Angiotensin I
Angiotensin II
Aldosteron ADH Hipervolemia
Peningkatan tonus otot polos
Penghambatan Na K ATP ase peningkatan intrasel Na
Cardiac output meningkat
HIPERTENSI
Kerusakan arteriol
Peningkatan afterload
Kerusakan vaskular
Nefrosklerosis
Universitas Sumatera Utara

jumlah dan afinitas reseptor glukokortikoid yang rendah (Haack et al.,
1999)
Efek biologis glukokortikoid terjadi melalui ikatan glukokortikoid
dengan reseptor glukokortikoid di membran sel. Ekspresi reseptor
glukokortikoid dijumpai pada berbagai jenis sel, termasuk di podosit (Yan
et al.,1999). Konfigurasi kompleks glukokortikoid dengan reseptor
berfungsi mempertahankan reseptor glukokortikoid punya afinitas tinggi
terhadap glukokortikoid (Barnes,2010).
Perubahan protein atau perubahan kuantitas reseptor
glukokortikoid menyebabkan resisten terhadap glukokortikoid.
Kebanyakan pasien anak dengan SN idiopatik memiliki jumlah reseptor
glukokortikoid yang banyak sehingga sensitif terhadap steroid, sedangkan
mereka yang mengalami nefritik nefrosis memiliki jumlah reseptor yang
sedikit sehingga resisten terhadap steroid (Yi dan He, 2006). Kandidat gen
di bawah ini umumnya bekerja dengan cara perubahan protein ataupun
perubahan kuantitas reseptor glukokortikoid (Tabel 1).
Apabila jumlah reseptor glukokortikoid berkurang ataupun afinitas
terhadap reseptor berkurang, respon individu terhadap steroid akan
berkurang. Begitu juga bila ada fosforilasi reseptor yang memengaruhi
sensitivitas terhadap glukokortikoid ataupun adanya peningkatan isoform
reseptor β glukokortikoid (Pujols et al., 2002) yang menyebabkan
terhambatnya pengikatan glukokortikoid oleh reseptor α glukokortikoid dan
menurunnya respon terhadap terapi steroid (Wikstrom, 2003;Towers et al.,
2005).
Universitas Sumatera Utara

Tabel 1. Faktor Risiko Genetik Resisten Steroid pada SN
Gen Peneliti Jumlah peserta
ACE insersi dan delesi
Sasongko, et al., 2005 85 kasus/ 68 kontrol
IL-4 Tripathi, et al., 2008
Acharya, et al., 2005
35 kasus/115 kontrol
84 kasus/ 61 kontrol
IL-12 B Jan, et al., 2008 79 kasus/ 87 kontrol
IL-13 Wei, et al., 2005 72 kasus/78 kontrol
Paraoxonase-1 Biyikli, et al., 2006 55 kasus/ 30 kontrol
MIF Berdelli, et al., 2005
Vivarelli, et al., 2008
214 kasus/103 kontrol
257 kasus/353 kontrol
Apolipoprotein E Kim, et al., 2003
Bruschi, et al.,2003
190 kasus/132 kontrol
139 kasus/70 kontrol
MDR-1 Funaki, et al., 2008
Stachowski, et al., 2000
14 pasien
39 pasien
NR3C1 Cho, et al., 2009 190 kasus/100 kontrol
Hal ini menunjukkan bahwa respon individu terhadap glukokortikoid
banyak dipengaruhi oleh kontrol gen atau perubahan struktur molekular
reseptor glukokortikoid. Pemberian glukokortikoid pada individu dengan
respon yang rendah akan meningkatkan efek samping pemakaian obat ini
bahkan risiko keparahan penyakit akan meningkat.
Posisi 5’ dari gen macrophage migration inhibitory factor (MIF)
mengandung elemen pengatur respon glukokortikoid (glucocorticoid
responsive element). Gen MIF pada genom manusia (Gambar 2) berlokasi
pada bagian long arm dari kromosom 22 (Arenberg dan Bucala, 2003;
Calandra dan Roger, 2003).
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2. Struktur Gen MIF Manusia. Gen MIF mengandung tiga ekson pendek (107, 172, dan 66 pasangan basa) dan dua intron (188 dan 94 pasangan basa). Regio 5’ mempunyai dua polimorfisme yaitu pada posisi -794 dan -173 (Calandra dan Roger, 2003).
Individu dengan perubahan gen macrophage migration inhibitory
factor (MIF) nukleotida tunggal G ke C (single nucleotide G to C
polymorphism) pada posisi -173 memunyai risiko untuk resisten terhadap
terapi steroid. Hal ini menyebabkan individu dengan polimorfisme G ke C
rentan terhadap penyakit inflamasi yang seharusnya dapat ditata laksana
dengan steroid. Individu alel C dengan penyakit SN berisiko terjadinya
hambatan glukokortikoid endogen dan penurunan respon terhadap
glukokortikoid eksogen oleh MIF (Vivarelli et al.,2008). Peningkatan kadar
MIF menghalangi efek glukokortikoid (Gambar 3) sehingga proses
antiinflamasi glukokokortikoid tidak bekerja (Aeberli et al., 2006a).
Gen MIF diekspresikan pada berbagai tipe sel dan diatur oleh
berbagai stimuli. Genotip MIF individual akan mengatur respons fisiologis
MIF dan selanjutnya, mengatur kemampuan MIF dalam antagonistik efek
glukokortikoid. Skrining genotif MIF pada saat awitan penyakit penting
Hal ini
memengaruhi perkembangan penyakit SN menjadi resisten steroid dan
penurunan fungsi ginjal dalam beberapa tahun (Vivarelli et al., 2008).
Universitas Sumatera Utara

dalam mengidentifikasi pasien yang membutuhkan terapi agresif selain
steroid (Vivarelli et al., 2008).
1 2 3
Gambar 3. Hubungan antara MIF, Glukokortikoid dan Inflamasi. Gambar 3.1. Sitokin MIF mempengaruhi inflamasi begitu juga sebaliknya. 3.2. Glukokortikoid yang berasal dari adrenal maupun eksogen bekerja menghambat inflamasi, namun di sisi lain bekerja menginduksi MIF. 3.3. Efek MIF terhadap induksi glukokortikoid bekerja antagonis sehingga inflamasi terus berlangsung.
Aksi MIF dan efek terhadap glukokortikoid memberikan ide pada
berbagai penelitian untuk mencari variasi genetik MIF yang dapat
mempengaruhi ekspresi dan kegunaan fungsional. Glukokortikoid
endogen atau eksogen bekerja menghambat inflamasi, tetapi menginduksi
MIF, yang selanjutnya menghambat efek glukokortikoid. Antagonisme MIF
menghambat efek langsung MIF terhadap inflamasi dan kemudian,
menetralisasi antagonis glukokortikoid terhadap inflamasi (Morand, 2005).
Konsekuensinya adalah aktivitas MIF ini menjadi target potensial dalam
mengobati penyakit tersebut. Efek antagonis terhadap aksi glukokortikoid
memberikan efek yang menguntungkan terhadap netralisasi MIF bersama
dengan aktivitas antiinflamasi glukokortikoid.
Universitas Sumatera Utara

Promoter MIF mengandung polimorfisme nukleotida tunggal G ke C
(single nucleotide G to C polymorphism) pada posisi -173. Studi Berdeli et
al., 2005 di Turki menemukan peran alel C merupakan faktor risiko terjadi
resisten steroid (OR= 3,6; 95 CI% 2,2 sampai 6,0). Penderita dengan
genotip CC menunjukkan umur yang lebih muda saat awitan proteinuria
dan berisiko lebih tinggi mengalami gangguan fungsi ginjal menetap
(OR=5,43, p=0,013). Penelitian lain oleh Vivarelli et al., 2008 menemukan
hubungan polimorfisme MIF dengan progresivitas menuju PGK tahap
akhir, ditunjukkan dengan analisis survival dalam 5 tahun sejak awitan
penyakit. Penderita SN dengan alel C mengalami luaran klinis yang lebih
jelek dibandingkan penderita SN dengan alel G .
Kedua penelitian tersebut di atas belum jelas menerangkan apakah
polimorfisme -173 G ke C gen MIF sebagai faktor risiko SNRS
berhubungan dengan level MIF serum. Polimorfisme secara fungsional
berhubungan dengan ekspresi MIF yang lebih tinggi secara in vitro dan
peningkatan level MIF serum secara in vivo (Donn et al., 2002). Penelitian
lain oleh De Benedetti,et al.(2003) pada penderita juvenil arthritis
menemukan kadar MIF serum lebih tinggi pada subjek yang memiliki alel
C (median 20,8 ng/ml) dibandingkan genotip GG (median 10,8 ng/ml)
(p=0.017), namun belum ada penelitian pada penderita SNRS.
2.1.4 Peran Angiotensin II Regulasi Tekanan Darah
Pengaturan tekanan darah di dalam tubuh dapat dibagi tiga bagian,
yaitu mekanisme cepat, jangka menengah, dan jangka panjang.
Mekanisme kontrol tekanan darah secara cepat diatur oleh mekanisme
Universitas Sumatera Utara

umpan balik baroreseptor, respons iskemik SSP, dan kemoreseptor.
Kombinasi ketiga mekanisme ini bekerja sangat kuat dan cepat dalam
mengatur tekanan darah. Selanjutnya, terdapat mekanisme kontrol
tekanan darah yang bersifat jangka menengah (dalam 30 menit sampai
dengan beberapa jam setelah pengaturan akut) yang diperankan oleh
mekanisme vasokonstriktor renin angiotensin; stres dan relaksasi
pembuluh darah; dan pergeseran cairan melalui dinding kapiler untuk
mengatur volume darah. Mekanisme kontrol tekanan darah yang bersifat
jangka panjang diperankan ginjal melalui mekanisme pengaturan volume
darah dan sistem renin angiotensin aldosteron (Guyton, 1991).
Dua hal utama yang mempengaruhi tekanan darah adalah curah
jantung dan tahanan sistemik vaskular. Keduanya diatur oleh kombinasi
mekanisme jangka pendek (termasuk intermediet) ataupun jangka
panjang. Mekanisme jangka pendek mengatur tahanan sistemik vaskular,
kapasitansi kardiovaskular, dan penampilan kardiak (frekuensi jantung
dan kontraksi). Pada mekanisme jangka panjang curah jantung diatur oleh
alir balik vena. Alir balik vena diatur oleh volume darah dan amat berkaitan
dengan volume cairan ekstrasel serta keseimbangan sodium (Navar dan
Hamm, 1999).
Regulasi jangka panjang tekanan darah berhubungan erat dengan
kemampuan ginjal dalam mengekskresikan sodium klorida untuk
mempertahankan balans sodium yang normal, volume cairan ekstrasel,
dan volume darah. Oleh karena itu, penyakit ginjal merupakan penyebab
paling sering dari hipertensi sekunder. Apabila hipertensi tidak diobati,
Universitas Sumatera Utara

akan terjadi interaksi umpan balik positif yang menyebabkan terjadinya
hipertensi progresif dan kerusakan ginjal lebih lanjut.
Peningkatan asupan sodium klorida pada orang normal
menyebabkan pengaturan mekanisme humoral, neural, dan parakrin
yang memengaruhi hemodinamik renal dan sistemik serta peningkatan
ekskresi sodium tanpa peningkatan tekanan darah. Apabila terjadi
penurunan ekskresi sodium, dapat menyebabkan peningkatan kronik
volume cairan ekstrasel dan volume darah sehingga terjadi hipertensi
(Navar dan Hamm,1999). Pengaturan ekskresi sodium dan air diperantarai
secara langsung dan tidak langsung oleh angiotensin II.
Pembentukan angiotensin II dimulai dari rangsangan terhadap
aktivasi pengeluaran renin yaitu apabila terjadi penurunan asupan sodium,
penurunan tekanan arterial, dan penurunan volume cairan ekstrasel
(Navar dan Hamm, 1999). Enzim renin ini akan memecah
angiotensinogen menjadi bentuk dekapeptida yang inaktif yaitu
angiotensin I selanjutnya diperantarai Angiotensin converting enzyme
(ACE) akan memecah angiotensin I menjadi angiotensin II suatu
oktapeptida yang aktif. Semua komponen SRAA tersebut membentuk
sistem endokrin bersirkulasi yang mengatur keseimbangan sodium dan
tekanan darah (Atlas et al., 2007; Carey et al., 2003).
Aksi angiotensin II dalam pengaturan cepat tekanan darah
diperankan oleh sifat vasokonstriksi langsung terhadap arteriol/vena
ataupun melalui aktivitas saraf simpatis (Hildebrant, 2007). Angiotensin II
menyebabkan penurunan ekskresi sodium dan air di tubulus ginjal dan
Universitas Sumatera Utara

menstimulasi sekresi hormon aldosteron oleh korteks adrenal yang juga
bekerja menurunkan ekskresi sodium dan air. Kedua efek ini cenderung
meningkatkan volume darah dan berperan penting dalam pengaturan
lambat tekanan darah (Victor, 2005). Angiotensin II juga memfasilitasi
aksi simpatis, yaitu melalui peningkatan norepinefrin dan katekolamin. Hal
ini menyebabkan peningkatan tahanan sistemik vaskular dan tekanan
darah (Paradis dan Schiffrin, 2009).
Efek peningkatan tekanan darah oleh angiotensin II ini, pada
jangka pendek berguna untuk proteksi kapilar renal dari kerusakan.
Sebaliknya, pada jangka panjang, keadaan ini menyebabkan
terganggunya aliran darah renal (renal blood flow), retensi garam dan air,
proteinuria dan penurunan laju filtrasi glomerulus (Kaplan, 2006).
2.1.5 Angiotensin II sebagai Regulator MIF
Angiotensin II merupakan suatu peptida dan dapat mencapai
/bekerja pada ginjal melalui tiga jalur, yaitu 1) melalui sirkulasi darah; 2)
melalui konversi angiotensin I menjadi angiotensin II dari aliran darah
yang terjadi pada sel endotelial ginjal, dan 3) melalui pembentukan lokal
angiotensin II di dalam ginjal. Organ target angiotensin II terletak di
adrenal, ginjal, otak, pituitary gland, otot polos vaskular, dan sistem nervus
simpatis (Gasparo et al., 2000) sehingga angiotensin II selain bekerja
pada organnya sendiri (autocrine hormone) dan organ yang berdekatan
(paracrine hormone) juga bekerja pada organ-organ yang jauh melalui
sirkulasi darah (endocrine hormone).
Universitas Sumatera Utara

Efek angiotensin II pada keadaan SNRS sering dihubungkan
dengan keadaan hipertensi. Hipertensi merupakan salah satu luaran klinis
yang berhubungan secara bermakna dengan PGK (Kaplan dan
Lieberman,1990), termasuk juga pada penderita SNRS (Otukesh et
al.,2009). Regulasi tekanan darah oleh angiotensin II sistemik pada
penderita SN diatur bukan hanya di perifer (renal), tetapi juga di susunan
saraf pusat (DiBona,2001;Camici,2007).
Vasokonstriksi arteriol aferen dan eferen (terutama arteriol eferen)
menyebabkan terjadi peningkatan tekanan kapiler glomerulus.
Peningkatan tekanan kapiler intraglomerular menyebabkan kerusakan
mekanis pada ketiga tipe sel glomerulus (podosit, sel endotel, dan sel
mesangial), yang akan meningkatkan ukuran radius pori membran
glomerulus. Hal ini mengganggu fungsi selektif membran glomerulus dan
meningkatkan protein pada filtrat glomerulus. Protein ini akan
diendositosis oleh sel epitel tubulus. Sebaliknya, peningkatan reabsorbsi
albumin di tubulus akan mengaktivasi angiotensin, sehingga terjadi suatu
vicious circle. Apabila hal ini berkepanjangan,akan terjadi kerusakan
nefron bahkan terjadi kerusakan ginjal/ glomerulosklerosis (Kaplan,2006;
Meer et al., 2010).
Infus angiotensin II secara kronik pada binatang percobaan dengan
nefrosis berat menunjukkan terjadi hipertensi, peningkatan permeabilitas
kapiler glomerulus, dan peningkatan albuminuria (Herizi et al., 1998).
Reabsorbsi albumin menginduksi sitokin proinflamasi dan profibrogenik.
Universitas Sumatera Utara

Hal ini menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular, induksi infiltrasi
lekosit, dan hipertensi sistemik.
Selain sebagai mediator hemodinamik yang menyebabkan
hipertensi, angiotensin II juga menyebabkan pengambilan/rekrutmen dan
proliferasi sel mononuklear. Pengambilan dan proliferasi sel monosit
bersirkulasi menyebabkan penumpukan makrofag di jaringan. Pengaturan
akumulasi makrofag di jaringan ini diperankan oleh sitokin MIF (Lan,
2008). Hal ini menstimulasi migrasi sel sel imunokompeten (limfosit dan
makrofag) ke dalam interstisial ginjal (Ruster dan Wolf, 2006). Penarikan
sel-sel inflamasi ke glomerulus dan tubulointerstisium berperan penting
dalam proteinuria persisten dan hipertensi. Peningkatan level angiotensin
II dapat menyebabkan hipertensi dan berkontribusi terhadap progresivitas
penyakit ginjal dengan cara menstimulasi inflamasi dan fibrosis ginjal
(Wolf et al., 2003).
Angiotensin II memperantarai akumulasi makrofag dan sel T
melalui MIF (Rice et al., 2003). Model tikus percobaan dengan hipertensi
menunjukkan peningkatan ekspresi MIF (44,9% ± 22,6%) dan sebaliknya,
blokade angiotensin II dengan antagonis AT1R (Irbesartan) menunjukkan
penurunan ekspresi MIF pada glomerulus dan tubulus (2,8% ± 2,4%). Efek
angiotensin II pada AT2R umumnya bekerja kontradiksi dibandingkan efek
pada AT1R (Carey dan Siragy, 2003). Peningkatan ekspresi MIF
berkorelasi dengan peningkatan makrofag atau sel T. Hal ini mendukung
peran angiotensin II dalam menstimulasi kerusakan ginjal melalui MIF.
Universitas Sumatera Utara

Produksi sistemik ataupun lokal angiotensin II dan MIF penting
dalam perkembangan kerusakan ginjal. Pembentukan lokal angiotensin II
oleh sel mesangial ataupun makrofag setelah suatu kerusakan ginjal
menyebabkan sekresi MIF dari sel epitel tubulus kemudian meningkatkan
aktivasi makrofag dan sel T yang akan meningkatkan kerusakan ginjal
lebih lanjut, sedangkan, angiotensin II sistemik lebih berperan dalam hal
kerusakan ginjal melalui efek hipertensi seperti yang ditunjukkan dalam
binatang coba dengan hipertensi (one clip Goldblatt hypertension). Hal ini
menyebabkan ekspresi MIF meningkat pada ginjal (Rice et al., 2003).
Walaupun studi genetik belum menemukan kaitan kausalitas antara
plasma angiotensin II dan sekuens asam amino pada model tikus
hipertensi (Hubner et al., 1999), namun angiotensin II berkaitan dengan
peningkatan aktivasi NFkB dan AP-1(Ruiz-Ortega et al., 2001). Kedua
kompleks protein yang merupakan faktor transkripsi ini, menjadi dasar
bagi para ilmuwan menerangkan peranan angiotensin II pada ekspresi
gen sitokin.
Ekspresi gen MIF pada manusia diatur oleh angiotensin II melalui
regio promoter. Lokasi ini mempunyai sekuensial ikatan DNA untuk faktor
transkripsi seperti NFkB dan AP-1. Induksi angiotensin II terhadap faktor
transkripsi menyebabkan peningkatan ekspresi MIF (Sun et al., 2004) dan
berperan pada perkembangan hipertensi (Busche et al.,2001).
Konsekuensi klinis hal ini adalah peningkatan angiotensin II memengaruhi
peningkatan tekanan darah dan memengaruhi peningkatan MIF.
Universitas Sumatera Utara

2.1.6 MIF dan Sensitivitas Glukokortikoid
Dekade terakhir ini para ahli menemukan peranan MIF sebagai
sitokin dalam kerusakan ginjal (Lan, 2008). Sumber utama MIF berasal
dari sel imun (limfosit, makrofag, monosit, eosinofil, netrofil dan sel mast)
dan sel nonimun (ginjal, kelenjar pituitary, liver, ovarium, testis, dan
keratinosit). Pada tahun 1989, MIF untuk pertama kalinya berhasil
dikloning dari limfosit T manusia dan berfungsi untuk mengatur fungsi
makrofag, imunitas limfosit, dan fungsi endokrin.
Efek biologis utama MIF adalah immobilisasi sel sel fagosit
mononuklear (makrofag) sehingga makrofag menetap di jaringan
(Arenberg dan Bucala, 2003) dan memicu makrofag untuk pengaturan
sitokin pada sel-sel endotel (Cvetkovic dan Stosic, 2006). Selain memiliki
aktivitas sitokin (Rosengren et al.,1996;Aeberli, Leech dan Morand, 2006),
MIF juga memiliki aktivitas enzim yaitu tautomerase dan oksidoreduktase
(Gambar 4).
Gambar 4. Struktur tiga dimensi MIF manusia (nomor identifikasi model molekul: 15670). Struktur terdiri dari 3 monomer, dimana setiap monomer terdiri dari dua rantai α yang dipisahkan oleh tiga rantai β. Terminal monomer terdiri dari terminal NH3 (satu rantai β) dan terminal COOH (dua rantai β). Jadi konfigurasi setiap monomer adalah βαβββαββ (Arenberg dan Bucala,2003)
Universitas Sumatera Utara

Efek lain MIF adalah mengatur kesensitivan terhadap
glukokortikoid. Hal ini menjadi dasar penelitian tentang MIF pada penyakit-
penyakit kronik dengan glukokortikoid sebagai terapi utama (Aeberli et al.,
2006; Arenberg dan Bucala, 2003). Glukokortikoid menginduksi sekresi
MIF pada dosis rendah/fisiologis. Sebaliknya, pada dosis tinggi
(konsentrasi glukokortikoid > 10-8
Peranan glukokortikoid terhadap respons imun selular
menyebabkan penghambatan efek MIF sehingga makrofag dilepaskan
dari jeratan di sekitar tempat pelepasan MIF dan jaringan setempat
terhindar dari kerusakan akibat penghancuran oleh makrofag. Sebaliknya,
apabila telah dilepaskan dari sitoplasma makrofag/monosit atau sel-sel
intrinsik nonimun maka MIF bekerja antagonis terhadap efek
glukokortikoid dalam menekan pembentukan sitokin makrofag in vitro,
misal TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8 (Oppenheim, Ruscetti, dan Faltynek,2001).
Keseluruhan sitokin ini akan memperantarai aktivasi dan pengambilan
lekosit dari sirkulasi ke jaringan sehingga terjadi kerusakan ginjal (Lan,
2008). Respons inflamasi dan pengaturan sitokin diatur bersama MIF dan
glukokortikoid (Calandra dan Roger, 2003; Aeberli et al., 2006).
M) sekresi MIF dihambat sehingga
mengikuti kurva bell shaped dose response (Lan, 2008).
Glukokortikoid mampu menghambat sitokin pro-inflamasi, kemokin,
molekul adhesi, dan enzim-enzim (Longui, 2007) melalui dua mekanisme
utama yaitu genomik dan nongenomik (Elie et al., 2012). Efek intrasel
glukokortikoid dimulai ketika glukokortikoid berdifusi pasif melalui
membran sel dan berikatan dengan reseptor glukokortikoid intrasel.
Universitas Sumatera Utara

Kompleks glukokortikoid-reseptor bertranslokasi ke intisel dalam
membentuk interaksi dengan sekuens DNA spesifik. Apabila MIF
menghambat ikatan kompleks glukokortikoid dengan reseptor
glukokortikoid pada elemen respon glukokortikoid di intisel, kerja
glukokortikoid akan terhambat pula.
Sitokin MIF berperan dalam regulasi aktivitas imunosupresif dan
antiinflamasi glukokortikoid melalui inhibisi jalur NF-kB. Pada ketiadaan
MIF, glukokortikoid mencegah aktivasi NF-κB dengan cara meningkatkan
ekspresi IκB yang mempertahankan NF-κB agar tetap inaktif di dalam
sitosol (Ito,Chung dan Adcock,2006; Elly et al.,2012). Ekspresi berbagai
gen respon inflamasi diatur oleh NF-κB sehingga menyebabkan respon
abnormal sel T (Zhao et al., 2005). Penggunaan glukokortikoid menekan
aktivasi NF-κB sehingga terjadi keseimbangan respon sel T (Grimbert et
al., 2003).
Selanjutnya, aksi antagonis MIF terhadap efek antiinflamasi
glukokortikoid diperantarai dengan cara menghambat enzim mitogen
activated protein kinase (MAPK) phosphatase (Aeberli & Yang et al.,
2006). Enzim ini berperan dalam inaktivasi MAPK yang bertanggungjawab
dalam proliferasi sel dan merupakan target kerja dari glukokortikoid.
Mitogen activated protein kinase (MAPK) memunyai dua isoenzym, yaitu
ERK (extracelluler signal regulated kinase) 1 / 2 dan aktivitas biologis
pengaturan resistensi terhadap kortikosteroid (Aeberli et al., 2006; Lan,
2008; Cvetcovic & Stosic, 2006; Flaster et al., 2007). Defosforilasi dan
inaktivasi MAPK diatur oleh angiotensin II. Studi in vitro menunjukkan
Universitas Sumatera Utara

bahwa stimulasi terhadap angiotensin II akan menekan inaktivasi MAPK
(Gasparo et al., 2000). Mekanisme ini memengaruhi sensitifitas
glukokortikoid pada penderita resisten steroid.
Aksi MIF sebagai antagonis aktivitas imunosupresif glukokortikoid
secara lengkap dapat dilihat pada gambar 5 di bawah ini. Keseluruhan
mekanisme MIF dalam efek antagonis terhadap glukokortikoid merupakan
mekanisme utama MIF memperantarai kerusakan ginjal (Lan, 2008).
Gambar 5. Target Kerja Glukokortikoid dan MIF. Ikatan glukokortikoid dan reseptornya bekerja di intisel dengan berikatan pada glukokortikoid respon elemen. Penghambatan glukokortikoid terjadi apabila dijumpai 2 molekul utama di sitosol/inti yaitu NF-kB dan AP-1. Keduanya diaktivasi oleh MIF.
Peranan MIF mengatur produksi glukokortikoid ditunjukkan dengan
pemberian antibodi anti-MIF pada hewan percobaan. Antibodi anti-MIF
merupakan antibodi yang menetralkan efek MIF secara imunologis. Pada
model tikus percobaan yang diberikan pengobatan dengan antibodi anti-
Glukokortikoid
Ikatan reseptor glukokortikoid
Glukokortikoid respon elemen
MIF
MAPK
AP-1 NF-kB IkB
MIF
Sitosol
Inti sel
cPLA2
Universitas Sumatera Utara

MIF menunjukkan peningkatan kadar serum kortikosteron endogen yang
lebih tinggi (sekitar 75 ng/mL) bila dibandingkan dengan kontrol (25
ng/mL) (p<0,05). Hal ini berkorelasi pula dengan perbaikan proteinuria,
serum kreatinin, dan perbaikan kerusakan histologis (Yang et al., 1998).
Konsentrasi basal serum MIF pada manusia berkisar antara 2-6
ng/mL. Hubungan sirkadian antara MIF dan kortisol pada subjek yang
normal menunjukkan bahwa level MIF mencapai puncak sewaktu pagi
(sekitar jam 08.00), sedangkan sitokin lain mencapai puncak sewaktu
malam hari. Apabila diberikan oral kortison asetat (25 mg), akan terjadi
peningkatan plasma MIF dalam jangka waktu 1-2 jam.
Hal ini menunjukkan glukokortikoid menginduksi sekresi MIF pada
dosis rendah. Sebaliknya, pada kondisi pemberian glukokortikoid dosis
tinggi (injeksi deksametason 1 mg/jam selama 4 jam) maka level plasma
MIF rendah dan bertahan tetap rendah selama 24 jam (Petrovsky et al.,
2003). Penelitian lain membandingkan level MIF serum pada pasien
penderita penyakit ginjal kronis dan pada orang dewasa normal (kontrol).
Hasilnya ditemukan bahwa median dan kisaran MIF serum pada pasien
penyakit ginjal kronis lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (676 [118-
8275] versus 433 [ 414-4707] pg/mL) (Bruchfeld et al., 2009).
Berbagai metode untuk terapi target MIF akan dan telah ditemukan,
walaupun demikian kegunaannya pada klinis terutama untuk penderita SN
masih terbatas. Walaupun struktur MIF telah lama dikenal, namun konsep
sitokin dan fungsi enzimatik MIF masih terus dikembangkan secara in vitro
/ in vivo untuk memperoleh strategi target MIF (Morand,Leech dan
Universitas Sumatera Utara

Bernhagen,2006). Hal ini menunjukkan masih sulit memperoleh anti-MIF
yang murni.
Antibodi monoklonal maupun protein reseptor permukaan terhadap
MIF telah dibuat secara biokimiawi sebagai anti-MIF (Leng et al.,2003).
Oleh karena pendekatan metode untuk membuat anti MIF ini berbiaya
tinggi dan hanya dapat diberi secara parenteral maka dikembangkan juga
fungsi enzimatik MIF.
Metode penghambatan enzim tautomerase dan enzim
oksidoreduktase sebagai fungsi katalis MIF merupakan pilihan target
terapi antiinflamasi MIF (Dios et al., 2002;Philo et al., 2004). Struktur
homotrimer MIF memiliki kemiripan dengan enzim tautomerase yang
mengubah dopachrome (2 carboxy 2,3 dihydroindole 5,6 quinone) menjadi
5,6 dihydroxyindole 2 carboxylic acid (Rosengren et al., 1996). Enzim ini
dihambat menggunakan isothiocyanat (sulforaphane), yang juga
menyebabkan penghambatan aktivitas MIF. Selain itu, MIF juga
menunjukkan aktivitas enzim thiol-protein oksidoreduktase (Kleemann et
al., 1998). Struktur molekul sebagai inhibitor enzim redoks ini juga menjadi
alternatif terapi inhibisi MIF. Penemuan obat dengan menghambat enzim
tersebut, memiliki harga yang lebih murah, antigenisitas rendah dan dapat
diberi secara enteral maupun parenteral.
2.1.7 Hubungan Peningkatan MIF dan Angiotensin II dengan Kerusakan Ginjal.
Peningkatan kadar MIF memunyai efek antagonis terhadap respons
glukokortikoid. Selanjutnya, MIF memicu sitokin sitokin proinflamasi lain
Universitas Sumatera Utara

seperti TNF-α dan IL-1 sehingga terjadi penarikan dan aktivasi leukosit ke
sel-sel intrinsik ginjal (Lan, 2008).Keseluruhan keadaan ini menyebabkan
terjadinya kerusakan ginjal (Gambar 6).
Pada individu dengan resisten steroid belum terdapat data
mengenai kadar serum MIF. Namun, penelitian yang menggunakan sel
kultur diperkirakan berhubungan dengan peningkatan angiotensin II. Lebih
50% protein MIF dilepas sel kultur apabila terdapat peningkatan
angiotensin II (Rice et al., 2003).
Gambar 6. Hubungan Peningkatan MIF dengan Kerusakan Ginjal. Peningkatan MIF mempunyai efek antagonis terhadap respons glukokortikoid. Selanjutnya MIF memicu sitokin lain dan penarikan/aktivasi leukosit/makrofag ke sel-sel intrinsik ginjal.
Kerusakan awal di ginjal Steroid
Peningkatan MIF
TNF-α IL-1
Penarikan dan aktifasi lekosit
Kerusakan ginjal lebih lanjut
Universitas Sumatera Utara

Hipertensi dan proteinuria menetap pada penderita resisten steroid
berperan penting dalam progresivitas kerusakan ginjal (Zandi-Nejad et
al.,2004;Meer et al,2010). Penderita SNRS memunyai risiko lebih besar
mengalami PGK tahap akhir. Kebanyakan penyakit ginjal ditandai dengan
adanya kerusakan awal, diikuti dengan progresivitas lesi ginjal menuju
kerusakan parenkim ginjal yang menyeluruh dan akhirnya terjadi gagal
ginjal (Djau et al., 2006). Hal ini mirip dengan penyakit kardiovaskular
pada umumnya (Gambar 7).
Gambar 7. Peranan Angiotensin II dalam Kerusakan Ginjal. Angiotensin II memperantarai setiap tahap kerusakan ginjal yaitu peningkatan tekanan darah, disfungsi endotel, mikro-makroalbuminuria dan PGK tahap akhir. Keadaan ini juga mirip dengan kejadian pada penyakit kardiovaskular umumnya.
2.2 Kerangka Pemikiran dan Premis
Hubungan polimorfisme -173 G ke C gen MIF, dengan kadar
angiotensin II plasma dan MIF serum pada penderita SN resisten steroid
belum pernah diteliti. Oleh karena itu, peneliti mencoba melakukan
penelitian tersebut dengan kerangka pemikiran di bawah ini.
Gen MIF yang dikode untuk memproses protein MIF berperan
penting dalam mengatur respon terhadap terapi steroid. Hubungan
ANGIOTENSIN II
Disfungsi endotel
Mikroalbuminuria
Makroalbuminuria
Nefrotik proteinuria
PGK
LVH
Infark myocard
Remodelling Dilatasi ventrikel Payah
jantung
Peny.jantung tahap akhir
Hipertensi
Universitas Sumatera Utara

peningkatan kadar MIF serum dengan polimorfisme gen MIF tidak
dipengaruhi oleh kadar CRP (De Benedetti et al.,2003). Hal ini
menunjukkan hubungan peningkatan kadar MIF dan polimorfisme gen MIF
tidak dipengaruhi aktivitas inflamasi penyakit. Konsekuensi klinisnya
adalah terjadi luaran klinis penyakit tersebut menjadi lebih jelek (Berdelli et
al., 2005; Vivarelli et al., 2008).
Pada anak penderita SN yang memiliki alel C gen MIF berisiko
terjadinya hambatan glukokortikoid endogen dan penurunan respon
terhadap glukokortikoid eksogen oleh MIF (Aeberli et al., 2006;.Vivarelli et
al.,2008).
Peningkatan angiotensin II secara kronik pada keadaan nefrotik
menyebabkan hipertensi, peningkatan permeabilitas glomerulus, dan
peningkatan albuminuria (Herizi et al.,1998). Reabsorbsi albumin
menginduksi sitokin proinflamasi dan profibrogenik. Hal ini menyebabkan
peningkatan permeabilitas vaskular, induksi infiltrasi leukosit, dan
hipertensi sistemik (Ruster dan Wolf, 2006).
Respon ini diatur oleh angiotensin II yang menyebabkan
peningkatan MIF (Sun et al., 2004).
MIF berperan sebagai sitokin proinflamasi dan sekaligus bekerja
sebagai kontraregulasi steroid. Sitokin-sitokin proinflamasi biasanya
dihambat oleh glukokortikoid, sedangkan MIF dipicu oleh glukokortikoid
dan bekerja sebagai antagonis glukokortikoid di dalam sistem imun.
Induksi kerusakan ginjal oleh MIF berkaitan dengan aksi antagonistik
glukokortikoid (Morand, 2005; Flaster et al., 2007).
Universitas Sumatera Utara

Peningkatan kadar angiotensin II akan memicu peningkatan MIF
(Rice et al., 2003) dan hal ini menimbulkan risiko hipertensi. Peningkatan
MIF menyebabkan terapi steroid tidak bekerja maksimal sehingga
menimbulkan risiko proteinuria menetap (Lan, 2008). Hipertensi dan
proteinuria menetap pada penderita resisten steroid berhubungan dengan
luaran klinis yang lebih buruk dibandingkan dengan penderita sensitif
steroid.
Pada penderita resisten steroid, hipertensi,dan proteinuria persisten
berperan penting di dalam kerusakan ginjal lebih lanjut (Zandi-Nejad et
al., 2004; Meer et al., 2010). Keduanya menyebabkan terjadi sklerosis
pada glomerulus dan tubulus. Kerusakan awal dari sel-sel intrinsik ginjal
akan diikuti dengan progresivitas lesi ginjal menuju kerusakan parenkim
ginjal yang menyeluruh dan akhirnya terjadi gagal ginjal.
Penelusuran kerangka pemikiran di atas dapat dideduksi dalam
rangkuman premis sebagai berikut:
Premis 1. Polimorfisme -173 G ke C gen MIF berhubungan dengan faktor
risiko terjadi SNRS (Berdelli et al., 2005; Vivarelli et al., 2008).
Premis 2. Ekspresi gen MIF pada manusia dapat dikontrol oleh
angiotensin II (Sun et al., 2004).
Premis 3. Angiotensin II memicu peningkatan tekanan kapilar glomerulus
dan peningkatan permeabilitas membran basal glomerulus sehingga
terjadi hipertensi dan proteinuria (Herizi et al.,1998; Ruster dan Wolf,2006)
Universitas Sumatera Utara

Premis 4. MIF merupakan sitokin proinflamasi yang bekerja paling atas
pada kaskade inflamasi dan sekaligus bersifat antagonis steroid (Morand,
2005; Flaster et al., 2007).
Premis 5. Peningkatan kadar angiotensin II dan MIF menyebabkan terjadi
hipertensi dan proteinuria (Rice et al., 2003; Lan, 2008).
Premis 6. Hipertensi dan proteinuria menetap merupakan penyebab
terjadinya kerusakan ginjal lebih lanjut pada penderita SNRS (Zandi-Nejad
et al., 2004; Djau et al., 2006; Meer et al., 2010) sehingga luaran klinis
lebih jelek daripada SNSS..
Universitas Sumatera Utara

2.3 Kerangka Konsep Penelitian
Risiko seorang anak penderita SN menjadi resistan steroid
dipengaruhi oleh banyak hal, misalnya faktor genetik, keberadaan
infeksi/inflamasi gambaran patologi anatomi, usia, ada/tidaknya hematuria,
dan keberadaan hipertensi. Faktor faktor tersebut saling berhubungan
sehingga tata laksana SNRS yang adekuat agar anak terhindar dari PGK
stadium akhir, masih terus dikembangkan.
Glukokortikoid masih menjadi pengobatan utama SN dan
keberadaan resistensi terhadap obat ini telah lama dikenal. Subjek
penderita SN yang memiliki alel C gen -173 MIF berisiko menjadi resisten
steroid dibandingkan dengan alel G homozigot. Hal ini dikaitkan dengan
efek MIF sebagai antagonis glukokortikoid di dalam sel. Walaupun jumlah
dosis steroid cukup besar, manfaat untuk mengatasi proteinuria terbatas.
Individu dengan alel C gen MIF menghasilkan kadar sitokin MIF
yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu alel G homozigot.
Sepanjang pengetahuan peneliti, pada penderita SNRS belum ada data
mengenai kadar sitokin MIF serum. Padahal, kadar ini penting karena
konsentrasi yang tinggi dapat menghambat kerja glukokortikoid di dalam
sel. Keberadaan MIF menurunkan sensitivitas glukokortikoid, sedangkan
ketiadaan MIF meningkatkan sensitivitas terhadap glukokortikoid. Hal ini
terjadi pada binatang percobaan, tetapi pada manusia belum diketahui.
Secara in vitro lebih dari 50% protein MIF akan dilepas pada sel
kultur apabila terdapat peningkatan kadar angiotensin II. Artinya,
angiotensin II berhubungan terhadap pengeluaran sitokin MIF dari dalam
Universitas Sumatera Utara

sel ke luar sel. Pada tingkat yang lebih tinggi (tingkat ekspresi gen)
angiotensin II mengatur regulasi gen MIF dan perkembangan hipertensi.
Penderita SNRS yang mengalami hipertensi akan terjadi
peningkatan tekanan filtrasi kapiler glomerulus dan proteinuria menetap.
Proteinuria menetap dan hipertensi memengaruhi perjalanan penderita
SNRS (tubuloglomerular sklerosis) hingga menuju tahap akhir PGK
(Gambar 8).
Keberadaan plasma angiotensin II dan serum MIF di sirkulasi
berkorelasi dengan hipertensi dan proteinuria menetap pada penderita
SNRS. Kejadian ini telah dibuktikan pada hewan percobaan, tetapi pada
subjek manusia belum ada dilakukan penelitian.
2.4 Hipotesis Penelitian
2.4.1 Frekuensi alel C -173 gen MIF lebih tinggi pada anak SNRS
daripada SNSS dan anak sehat (Premis 1,2).
2.4.2 Kadar angiotensin II plasma lebih tinggi pada anak SNRS daripada
anak SNSS dan anak sehat (Premis 3,4,5).
2.4.3 Kadar MIF serum lebih tinggi pada anak SNRS daripada anak
SNSS dan anak sehat (Premis 5,6).
2.4.4 Terdapat korelasi positif antara kadar MIF serum dan angiotensin
II plasma (Premis 5,6).
2.4.5 Polimorfisme -173 G ke C gen MIF, peningkatan kadar angiotensin
II plasma, dan peningkatan kadar MIF serum secara bersama-
sama dengan hipertensi merupakan faktor risiko SNRS (premis
1,2,5,6).
Universitas Sumatera Utara

Gambar 8. Kerangka Konsep Penelitian. Alel C merupakan faktor genetik pada individu yang dihubungkan dengan peningkatan kadar sitokin MIF di sirkulasi dan reaksi antagonis pada glukokortikoid. Hal ini berkorelasi dengan kadar angiotensin II sistemik dan persistensinya menimbulkan hiperfiltrasi/hipertensi glomerular serta peningkatan tekanan filtrasi kapilar. Peranan angiotensin II sistemik terhadap mekanisme pressure-diuresis-natriuresis dan peningkatan tekanan filtrasi kapilar di samping kontrol saraf, merupakan faktor risiko resisten steroid sehingga terjadi proteinuria menetap. Faktor lain yang perlu diwaspadai juga adalah infeksi/inflamasi, gambaran patologi anatomi, usia, dan keberadaan hematuria. Hipertensi dan proteinuria menetap menimbulkan gangguan struktur dan fungsi ginjal (tubuloglomerular sklerosis) dalam jangka waktu beberapa tahun ke depan setelah awitan proteinuria. Keterangan: = kerangka kerja penelitian; = hubungan langsung; = hubungan tidak langsung
SN RESISTEN STEROID Usia
Gambaran patologi anatomi
Hematuria
Hipertensi
Gangguan struktur dan fungsi ginjal
Proteinuria menetap
Faktor genetik
Kadar MIF meningkat
Polimorfisme alel C -173 gen MIF
Angiotensin II meningkat
Kontrol syaraf
Norepinefrin Vasopressin
Mekanisme pressure –diuresis -
natriuresis
Infeksi/inflamasi
Peningkatan tekanan filtrasi
kapilar
Efek antagonis glukokortikoid
Universitas Sumatera Utara

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Desain penelitian ini adalah studi sekat lintang. Subjek terdiri atas
penderita SNRS dengan dua grup pembanding, yaitu penderita SNSS dan
anak sehat.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Divisi Nefrologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak
RS H. Adam Malik Medan. Subjek penderita SN diperoleh dari beberapa
rumah sakit di kota Medan seperti RS H. Adam Malik, RS Dr. Pirngadi, RS
Malahayati, RS Herna, serta dari rumah sakit di luar Provinsi Sumatera
Utara, seperti RSUD Zainul Abidin Banda Aceh, RSUD M Djamil Padang,
RSUD M Hoesin Palembang, dan RSUD Pekanbaru. Subjek anak sehat
diperoleh dari beberapa SD, SMP dan SMA di Kecamatan Medan Denai,
Kecamatan Medan Area, dan Kecamatan Medan Tuntungan.
Penelitian dimulai bulan November 2011 hingga September 2012.
Setiap dokter yang membantu penelitian, telah diberikan penjelasan dan
pelatihan tentang cara kerja penelitian sehingga menjadi dokter terlatih.
Dokter terlatih melakukan interview dan mengarahkan subjek menjadi
anggota penelitian dengan menggunakan kuesioner/pemeriksaan
kesehatan untuk data demografi dan klinis. Penelitian ini diawali dengan
mengedarkan lembar penjelasan penelitian pada seluruh subjek/orang tua
dan kemudian diikuti dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik kesehatan.
Universitas Sumatera Utara

Ketika subjek sudah teridentifikasi, dilakukan koding saat pengumpulan
sampel tanpa perbedaan untuk tiap-tiap kelompok sehingga dimungkinkan
penyamaran identitas awal .
Setiap uji dilakukan sesuai standar protokol dan petunjuk yang ada.
Sampel dan standar dibuat dalam keadaan duplo. Sampel darah untuk
isolasi DNA dibawa ke laboratotrium terpadu USU dengan menggunakan
dry ice (untuk luar kota Medan) dan batu es suhu 4°C (untuk kota Medan).
Identitas sampel darah yang diterima oleh peneliti/asisten terlatih berupa
nomor batch/nomor punggung. Isolat DNA disimpan pada suhu -20° C
untuk dikumpulkan saat pemeriksaan PCR bersama. Pemeriksaan PCR
dilakukan tiga kali yaitu pada bulan Desember 2011 (di laboratorium
Biokimia Universitas Gadjah Mada Jogjakarta untuk optimasi suhu), Maret
2012, dan Juli 2012 (di laboratorium terpadu FK USU Medan). Analisis
MIF serum dan angiotensin II plasma dilakukan di Laboratorium Prodia.
Sampel dikumpulkan terlebih dulu pada suhu -20 °C hingga tercapai
jumlah yang diinginkan,dan selanjutnya dianalisis bersama. Analisis MIF
dilakukan dalam dua tahapan waktu pada bulan Agustus 2012 dan
analisis angiotensin II dilakukan dalam tiga tahapan waktu pada bulan
September 2012. Pemeriksaan protein urin kuantitatif dilakukan dengan
pengukuran rasio albumin kreatinin sewaktu yang dikumpulkan pada pagi
hari (antara jam 08.00-10.00). Identitas keseluruhan dari sampel dibuka
pada hari yang ditentukan setelah seluruh uji selesai dilaksanakan.
Universitas Sumatera Utara

3.3 Populasi Penelitian dan Justifikasi
Populasi target: populasi SNRS berusia 1-17 tahun. Populasi
terjangkau: populasi SNRS yang berobat ke RSUP. H. Adam Malik, RSU.
Dr Pirngadi Medan, RS. Malahayati, RS. Herna, RS. Zainul Abidin Banda
Aceh, RS. M Djamil Padang, RS. M Hoesin Palembang, dan RSUD.
Pekanbaru.
Alasan justifikasi beberapa RS di atas sebagai lokasi pemilihan
sampel untuk populasi SNRS adalah setiap RS tersebut memiliki
kesetaraan dalam hal karakteristik pasien SNRS yang berobat; memiliki
visi dan misi yang sama dalam hal penatalaksanaan SNRS (karena
merupakan RS pendidikan dan jejaring pendidikan ataupun RS swasta
yang berafiliasi pada pendidikan); serta mampu laksana dalam hal
pengiriman sampel ke kota Medan (tempat awal inisiatif studi).
3.4 Subjek Penelitian dan Cara Pemilihan Subjek
Subjek penelitian adalah penderita SNRS/SNSS usia 1 tahun
sampai dengan 17 tahun, yang berobat ke RSUP. H. Adam Malik, RSU.
Dr Pirngadi Medan, RS. Zainul Abidin Banda Aceh, RS. M Djamil Padang,
RS. M Hoesin Palembang, dan RSUD. Pekanbaru dengan justifikasi
pemilihan seperti dijelaskan di atas dan pemilihan subjek berdasarkan
consecutive. Grup anak sehat diambil dari unrelated individual yang
diperoleh dari sekolah-sekolah di kota Medan. Cara pemilihan subjek anak
sehat dilakukan dengan cluster sampling, kemudian stratifikasi sampling
dan akhirnya convenient sampling yaitu berdasarkan persetujuan orang
Universitas Sumatera Utara

tua untuk subjek mengikuti penelitian (Gambar 9). Surat persetujuan dari
orang tua dimintakan pada setiap subjek. Orang tua menyetujui anaknya
diikutsertakan dalam penelitian setelah diberi penjelasan dan
menandatangani surat persetujuan (informed consent).
Gambar 9. Cara Pemilihan Subjek Studi
Keterangan: Kec.MD = Kecamatan Medan Denai, Kec. MA = Kecamatan Medan Area, Kec.MT = Kecamatan Medan Tuntungan, RSHAM = RS.H Adam Malik, PIR = RS. Pirngadi, MAL = RS.Malahayati, HER = RS.Herna, ZA = RS.Zainul Abidin, MJA= RS. M.Djamil, MHA= RS.M.Hoesin, PKB= RSUD.Pekanbaru
3.5 Estimasi Besar Sampel
Rumus yang akan digunakan untuk membuktikan hipotesis, yaitu
a. Untuk hipotesis pertama digunakan rumus uji hipotesis beda
proporsi dua sampel (Madiyono, 2002):
POPULASI
KASUS (HOSPITAL BASED)
ANAK SEHAT (POPULATION BASED)
JUSTIFIKASI RS KEC. MD KEC. MA KEC. MT
PRA SEKOLAH-SD-SMP-SMA
SUBJEK TERPILIH
CLUSTER
STRATIFIKASI
CONSECUTIVE
RSHAM-PIR-MAL-HER-ZA-MJA-MHA-PKB
SUBJEK TERPILIH
CONVENIENT
Universitas Sumatera Utara

n =
apabila:
α = 0,05 maka Zα = 1,96
β = 0,2 maka Zβ = 0,842
P2 = 0,23 (Berdelli,2005) maka Q2
OR = 3,6 (Berdelli, 2005)
= 1-0,23 = 0,77
OR = =
maka:
P1 = 0,53 maka Q1
P
= 1-0,53 = 0,47
1-P2
P = (P
= 0,3
1+P2
maka:
)/2 = 0,38 maka Q = 1- 0,38 = 0,62
n =
n =
Hasil perhitungan sampel diperlukan 40 orang tiap kelompok.
b. Untuk hipotesis nomor 2 dan 3 diuji dengan uji hipotesis terhadap
rerata dua populasi.
n1 = n2= 2
(P1-P2)
(1,96 2x0,38x0,62 + 0,842 0,53x0.47 +0,23x0,77)
(0,3)
(Zα √ 2PQ + Zβ P1Q1 + P2Q2) 2
2
3,53
0,09
2
2
(x1-x2)
(Zα + Zβ ) x S 2
P1 (1-P2)
P2 (1-P1)
P1 – 0,23P1
0,23- 0,23P1
39,2 = 40 =
Universitas Sumatera Utara

b.1. Untuk hipotesis kadar MIF, apabila:
Zα = 1,96
Zβ = 0,842
S = 2,7 (Petrovsky, 2003)
x1-x2
= 2 (pertimbangan klinis)
maka n1=n2= 2
n1 = n2 = 28 orang tiap kelompok
b.2 Untuk hipotesis kadar angiotensin II, apabila:
Zα = 1,96
Zβ = 0,842
S = 2,5 (Vollard, 1999)
x1-x2
maka n1=n2= 2
= 2 (pertimbangan klinis)
n1 = n2 = 24,6 = 25 orang tiap kelompok
c. Untuk hipotesis nomor 4, diuji dengan uji hipotesis untuk perbedaan
koefisien korelasi pada sampel tunggal, rumus besar sampel adalah:
Apabila:
α = 0,05 maka Zα = 1,96
β = 0,2 maka Zβ = 0,842
r = koefisien korelasi = 0,6 (Vollard, 1999)
n =
(1,96 + 0,842 ) x 2,7
2
2
2
(1,96 + 0,842 ) x 2,5 2
Zα + Zβ
0,5 [ln(1+r)/(1- r)]
2 + 3
Universitas Sumatera Utara

maka diperoleh : n= 17 subjek tiap kelompok. Berdasarkan perhitungan
sampel di atas dipilih perhitungan dengan jumlah sampel yang terbesar,
yaitu minimal 40 subjek setiap kelompok.
3.6 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.6.1 Kriteria Inklusi untuk Kasus
Subjek penelitian harus memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut:
a. Penderita SNRS usia 1 tahun sampai 17 tahun.
b. Fungsi ginjal normal yang dikonfirmasi dengan perhitungan eGFR
sesuai Schwartz (Schwartz et al, 1976). Batasan normal eGFR
bervariasi sesuai usia, jenis kelamin, dan ukuran tubuh. Pada studi
ini mengacu kepada NKF-K/DOQI (Hogg et al, 2003).
c. Penderita tidak menderita penyakit sistemik seperti diabetes
melitus, lupus eritematosus sistemik, atau purpura anafilaktik.
d. Penderita mendapat izin dan persetujuan dari orang tuanya.
3.6.2 Kriteria Inklusi untuk Grup Pembanding
a. Penderita SNSS dan anak sehat.
b. Penderita tidak menderita penyakit sistemik lain seperti, diabetes
melitus, lupus eritematosus sistemik, purpura anafilaktik, penyakit
sel sabit.
c. Penderita mendapat izin dan persetujuan dari orang tuanya.
Universitas Sumatera Utara

3.6.3 Kriteria Eksklusi
a. Penderita sedang dalam pemakaian obat ACEI atau ARB.
b. Penderita mengalami proteinuria transien, proteinuria ortostatik
atau proteinuria nonrenal misalnya karena febris atau gagal
jantung.
c. Penderita mengalami syok atau karena keadaannya memerlukan
perawatan intensif
3.7 Informed Consent dan Ethical Clearance
Penelitian ini dapat menimbulkan beberapa masalah sehubungan
dengan prosedur penelitian, yaitu pengambilan sampel darah. Hal ini
diatasi dengan memberikan penjelasan mengenai prosedur yang akan
dilakukan, manfaat penelitian, efek samping yang mungkin terjadi, dan
cara mengatasi efek yang terjadi. Keikutsertaan peserta dalam penelitian
ini bersifat sukarela dan tanpa mengubah kualitas pelayanan. Selama
peserta ikut dalam penelitian ini, setiap informasi dan data penelitian ini
akan diperlakukan secara rahasia sehingga tidak memungkinkan diketahui
orang lain. Biaya pemeriksaan laboratorium tidak dibebankan kepada
orang tua, tetapi hasil pemeriksaan digunakan untuk pemantauan dan tata
laksana penderita. Penelitian dilaksanakan setelah mendapat persetujuan
Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara. Persetujuan komite etik dikeluarkan pada tanggal 31
Oktober 2011 dengan surat no.275/KOMET/FK USU/2011 (Lampiran 6).
Universitas Sumatera Utara

3.8 Alur Kerja
Gambar 10. Alur Kerja
3.9 Data yang Dikumpulkan
Kuesioner dan data klinis dikumpulkan oleh dokter terlatih untuk
mengisi data demografi/klinis subjek. Rekam medis subjek SNRS dan
SNSS dikumpulkan dan ditelaah secara retrospektif untuk mendapatkan
data klinis dan laboratoris pada saat diagnosis dan tindak lanjut. Data
yang dikumpulkan melalui rekam medis meliputi: identitas subjek (nama,
umur, jenis kelamin, suku, alamat), anamnesis gejala pada awal masuk,
ureum dan kreatinin darah, pengobatan yang diterima, dan luaran. Data
pada saat penelitian meliputi pemeriksaan fisis (umur saat penelitian,
Subjek terpilih
PCR-RFLP Variabel kategorikal
Analisis statistik
ELISA MIF Variabel numerik
EIA Angiotensin II Variabel numerik
Hasil
Informed consent
Anamnesis, pemeriksaan fisis, dan urinalisis
Universitas Sumatera Utara

berat badan, tinggi badan, tekanan darah), proteinuria kuantitatif (UACR),
genotip polimorfisme -173 G ke C gen MIF, kadar angiotensin II plasma,
dan MIF serum.
3.10 Pemeriksaan
3.10.1 Pemeriksaan Antropometris
Pengukuran berat badan menggunakan timbangan berat badan
digital merek AND dengan kapasitas 150 kg dan ketelitian 50 gram. Pada
waktu ditimbang anak hanya menggunakan baju yang tipis dan tidak
menggunakan sepatu. Tinggi badan diukur dengan Statumeter. Pada
waktu diukur anak berdiri dengan kedua tumit bertemu dan bagian
belakang kepala menyentuh dinding pengukur dengan batas ketelitian
pengukuran 0,1 cm dan batas pengukuran terpanjang 200 cm. Untuk anak
yang belum bisa berdiri, pengukuran berat badan dengan menggunakan
timbangan bayi sedangkan pengukuran panjang badan dengan
microtoise. Evaluasi ukuran antropometri tersebut menggunakan
rekomendasi NCHS CDC 2000. Z score (standar deviasi) digunakan
sebagai ambang batas.
3.10.2
Pengukuran tekanan darah dilakukan dalam suasana tenang. Anak
berusia tiga tahun atau lebih diposisikan berbaring atau duduk tenang
lebih kurang lima menit sebelum prosedur pemeriksaan. Manset dipasang
pada lengan atas kanan, sehingga panjang manset melingkupi minimal
80% lingkar lengan atas dan lebar manset lebih dari 40 % lingkar lengan
Pemeriksaan Fisis Tekanan Darah
Universitas Sumatera Utara

atas. Pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali berjarak 30 menit dengan
sphygmomanometer air raksa (merek Riester buatan Jerman dengan
ketelitian 2 mmHg). Hasil pengukuran adalah rerata ketiga pengukuran
tersebut. Cara pengukuran: manset dibalutkan kuat pada lengan atas
dengan batas bawah lebih kurang 3 cm dari fosa kubiti dan dipompa kira-
kira 20-30 mmHg di atas tekanan yang diperlukan untuk menimbulkan
sumbatan pada arteri brakhialis. Tekanan dalam manset kemudian
diturunkan perlahan-lahan dengan kecepatan 2-3 mmHg/detik sampai
terdengar bunyi suara lembut. Bunyi ini merupakan fase-1 Korotkof dan
merupakan petanda tekanan darah sistolik. Fase-1 ini kemudian disusul
fase-2 yang ditandai dengan suara bising (murmur), dan disusul pula
dengan fase-3 berupa suara yang keras. Setelah itu, suara mulai menjadi
lemah (fase-4) dan akhirnya menghilang (fase-5). Fase-5 merupakan
petanda tekanan darah diastolik, tetapi pada beberapa anak, jika fase-5
sulit didengar, fase-4 digunakan sebagai petunjuk tekanan darah diastolik
(NHBPEP., 2004). Batasan tekanan darah normal adalah tekanan darah
sistolik dan diastolik kurang dari 90 persentil menurut jenis kelamin, usia,
dan tinggi badan (Lampiran 1 dan 2).
3.10.3 Pemeriksaan Proteinuria Kuantitatif
Pengukuran proteinuria kuantitatif sebagai indeks perjalanan klinis
penyakit ginjal (Hogg et al., 2000) dipakai metode rasio albumin kreatinin
urin sewaktu (UACR). Sampel urin diambil oleh subjek atau dibantu orang
tua subjek pada urin pertama atau kedua pada pagi hari dan dikumpulkan
di laboratorium bersertifikasi. Albumin urin diukur dengan nephelometri.
Universitas Sumatera Utara

Koefisien variasi interpemeriksaan adalah 4,4% dan intrapemeriksaan
adalah 4,3%. Konsentrasi kreatinin urin diukur dengan metode standar
Jaffe (koefisien variasi inter dan intrapemeriksaan 3,3 %).
3.10.4
Pengambilan sampel darah untuk isolasi DNA dilakukan di
laboratorium sebanyak 1 ml dan disesuaikan dengan waktu pemeriksaan
darah lainnya (pukul 08.00-10.00 pagi). Proses isolasi DNA dilakukan
dengan menggunakan kit buatan Amerika (Promega). Sampel darah
diproses oleh peneliti/asisten sampai tahap pembentukan isolat DNA,
PCR, pelaksanaan restriksi, dan elektroforesis di Laboratorium terpadu FK
USU. Empat puluh isolat dikirim ke Laboratorium Biokimia Universitas
Gadjah Mada Jogjakarta untuk proses optimasi suhu.
Analisis Genotip Polimorfisme -173 G ke C Gen MIF
Pemeriksaan genotif polimorfisme -173 G ke C gen MIF telah
diterangkan oleh Donn et al. (Donn et al., 2002). Polymerase Chain
Reaction dengan metode Restriction Fragment Length Polymorphism
(PCR-RFLP) digunakan untuk mengamplifikasi fragment 366 bp. Metode
ini dipilih karena mudah dan sederhana dalam menentukan lokasi
kromosom spesifik (Read dan Donnai, 2007). Forward primer adalah 5’-
ACT- AAG-AAA-GAC-CCGAGGC-3’ dan reverse primer adalah 5’-GGG-
GCA-CGT-TGG-TGT-TTA-C-3’.Untuk pencernaan produk PCR digunakan
enzim restriksi Alu I, pada suhu 37 ° C semalaman. Hasil PCR DNA
dianalisis pada gel agarose 2,5% dengan pewarnaan 10% etidium
bromide sehingga dapat divisualisasi dengan kamera ultraviolet. Genotip
GG ditandai dengan 2 pita, yaitu pada 98 bp dan 268 bp. Genotip CC
Universitas Sumatera Utara

ditandai dengan 3 pita, yaitu pada 205 bp, 98 bp, dan 63 bp. Genotip GC
ditandai dengan 4 pita, yaitu pada 268 bp, 205 bp, 98 bp dan 63 bp
(Lampiran 7). Validitas pemeriksaan dilakukan dengan duplikasi sampel.
3.10.5 Analisis Angiotensin II Plasma
Subjek berpuasa pada malam hari sebelum pengambilan darah
pada hari berikutnya. Kelompok SNRS dan SNSS dalam fase remisi
dilakukan pengambilan sampel darah setelah minimal dua minggu selesai
dari dosis penuh prednison. Pengambilan sampel darah dilakukan pada
pagi hari (08.00-10.00) sebanyak 2 ml dan dianalisis di laboratorium
bersertifikasi. Angiotensin II plasma diukur dengan metode ELISA
(Calbreath,1992) dengan menggunakan kit merk Enzo katalog ADI-900-
204 lot 10191101. Sensitivitas pemeriksaan adalah 1 pg/mL. Koefisien
variasi inter dan intrapemeriksaan adalah 7%.
Reaksi imunologis antara angiotensin II dan antiangiotensin II diikat
secara kovalen dengan glutaraldehid. Setelah pencucian dan denaturasi,
angiotensin II bereaksi kembali dengan acetylcholinesterase antibodi yang
digunakan sebagai tracer. Selanjutnya, sumuran dicuci kembali dan
ditambahkan kromogen yang dapat menyebabkan perubahan warna.
Intensitas warna diukur dengan spektrofotometri dan hal ini proporsional
dengan kadar angiotensin II (Lampiran 8). Validitas pengukuran
dilakukan dengan duplikasi sampel dan pengulangan kadar angiotensin II
dilakukan pada saat pengukuran yang berbeda.
Universitas Sumatera Utara

3.10.6 Analisis MIF serum
Pengambilan sampel darah sebanyak 2 ml dilakukan pada pukul 8-
10 pagi di laboratorium bersertifikasi. Pada kelompok SNRS dan SNSS
dalam fase remisi dilakukan pengambilan sampel darah setelah minimal 2
minggu selesai dari dosis penuh prednison. Sampel darah kemudian
disimpan pada suhu -20°C. Pengukuran kadar MIF serum dilakukan
dengan metode sandwich ELISA (Calbreath,1992) menggunakan
Quantikine buatan R&D Systems Amerika Serikat katalog DMF008 lot
294789. Batas kemampuan mendeteksi MIF serum dengan menggunakan
ELISA adalah 1-2 ng/mL. Koefisien variasi intrapemeriksaan adalah di
bawah 5%. Koefisien variasi interpemeriksaan adalah di bawah 7%.
Antibodi monoklonal spesifik untuk MIF dilapisi ke mikroplate.
Standar dan sampel dipipet ke dalam sumuran dan setiap keberadaan
MIF diikat dengan antibodi. Setelah dilakukan pencucian terhadap
substansi yang tak terikat, ditambahkan antibodi poliklonal spesifik untuk
MIF. Setelah pencucian reagen antibodi dan enzim yang tak terikat,
ditambahkan larutan substrat ke dalam sumuran dan timbul warna yang
proporsional dengan jumlah MIF yang terikat. Intensitas warna kemudian
diukur (Lampiran 9). Validitas pengukuran dilakukan dengan duplikasi
sampel dan pengulangan kadar MIF dilakukan pada saat pengukuran
yang berbeda.
3.11 Identifikasi Variabel
Variabel bebas adalah SN resisten steroid, SN sensitif steroid, dan anak
sehat. Variabel tergantung adalah genotip MIF (skala kategorikal), kadar
Universitas Sumatera Utara

angiotensin II plasma (skala numerik), kadar MIF serum (skala numerik),
dan tekanan darah (skala numerik).
3.12 Definisi Operasional
a) Pasien SNRS ialah keadaan pasien SN tetap mengalami proteinuria
masif (di atas atau sama dengan +2 secara semikuantitatif) pada 3
kali pemeriksaan berturut dalam 1 minggu setelah 4 minggu dosis
penuh prednison (2 mg/kg/hari).
b) Pasien SNSS adalah suatu keadaan pasien SN yang mengalami
remisi (proteinuria lebih kecil dari 4 mg/m2
c) Anak sehat didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18
tahun (UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak; UU No.36
tahun 2009 tentang kesehatan) dan dikonfirmasi dengan fungsi ginjal
normal (kisaran eGFR normal sesuai umur, jenis kelamin dan ukuran
tubuh) serta rasio albumin kreatinin urin kurang 150 µg/mg kreatinin.
LPT/jam) dengan
pemberian prednison pada 3 kali pemeriksaan berturut-turut dalam 1
minggu. Berdasarkan frekuensi dan waktu terjadinya relaps pasien
SNSS diklasifikasikan atas relaps jarang, relaps sering dan dependen
steroid. Karena itu, dalam penelitian ini diambil sebagai panduan,
yaitu SN remisi (rasio albumin kreatinin urin di bawah 2 mg/mg)
d) Alel C sebagai faktor risiko SNRS adalah apabila mempunyai genotip
GC atau CC -173 gen MIF. Genotip MIF merupakan variabel
kategorikal dan dikelompokkan atas GG (alel G),GC dan CC (alel C).
Universitas Sumatera Utara

Pengelompokan atas alel ini penting oleh karena analisis data yang
akan dipresentasikan, lebih bersifat hubungan yang multiplikatif.
e) Angiotensin II plasma: angiotensin II yang diukur kadar pada plasma.
Angiotensin II plasma merupakan variabel numerik. Nilai cut off
diambil dari perpotongan sensitivitas dan spesifisitas dan nilai tinggi
bila di atas 18,2 pg/mL.
f) MIF serum ialah kadar MIF yang diukur pada serum. MIF serum
merupakan variabel numerik. Nilai cut off diambil dari perpotongan
sensitivitas dan spesifisitas dan nilai tinggi bila di atas 27,9 ng/mL
g) Tekanan darah: diukur dengan menggunakan sphygmomanometer
air raksa merek Riester buatan Jerman dengan ketelitian 2 mmHg.
Tekanan darah diukur dengan variabel numerik dan dikelompokkan
atas dua kelompok, yaitu hipertensi dan normotensi. Hipertensi ialah
rata-rata tekanan darah sistolik (TDS) dan atau diastolik (TDD) lebih
dari atau sama dengan persentil ke 95 untuk usia, jenis kelamin dan
tinggi badan. Normotensi ialah rata-rata TDS dan atau TDD kurang
dari persentil 95.
h) Proteinuria adalah ditemukan protein dalam urin secara kuantitatif
berdasarkan rasio albumin kreatinin. Rasio albumin kreatinin urin
yang lebih besar dari 2000 µg/mg kreatinin disebut sebagai
proteinuria nefrotik. Remisi adalah apabila lebih kecil dari 2000
µg/mg kreatinin dan pada anak sehat adalah apabila lebih kecil dari
150 µg/mg kreatinin.
Universitas Sumatera Utara

3.13 Pengolahan dan Analisis Data
a) Analisis univariat untuk frekuensi alel G atau alel C -173 gen MIF
dinyatakan dalam proporsi dan tabel distribusi frekuensi. Data
numerik seperti tekanan darah, kadar angiotensin II, kadar MIF, dan
kadar proteinuria dinyatakan dalam rerata dan simpangan baku
atau median dan rentang (untuk data tidak berdistribusi normal).
b) Selanjutnya dilakukan analisis bivariat untuk menentukan
kemaknaan antara variabel bebas dan variabel tergantung. Uji
regresi logistik digunakan untuk analisis perbedaan berbagai
kelompok subjek dan frekuensi alel G atau alel C-173 gen MIF. Uji
Kruskal Wallis digunakan untuk analisis perbedaan kadar MIF
serum dan kadar angiotensin II plasma di antara berbagai
kelompok subjek. Uji korelasi Spearman digunakan untuk analisis
korelasi kadar MIF dan angiotensin II .
c) Tahap akhir dilakukan analisis multivariat untuk mengetahui
hubungan kandidat variabel bebas terhadap variabel tergantung
secara bersama sama. Analisis multivariat antara alel G atau C
-173 gen MIF, peningkatan kadar angiotensin II plasma dan MIF
serum, serta hipertensi secara bersama sama terhadap risiko
SNRS menggunakan uji regresi logistik. Kebermaknaan secara
statistika diperoleh jika nilai p di bawah 0,05 dengan nilai interval
kepercayaan 95%. Analisis statistik yang digunakan memakai
perangkat statistik SPSS versi 12.0.
Universitas Sumatera Utara

BAB IV
HASIL PENELITIAN
Selama kurun waktu penelitian (November 2011 - September 2012)
berpartisipasi 120 subjek yang terbagi atas tiga kelompok yaitu
kelompok SNRS (40 anak), kelompok SNSS fase remisi (40 anak), dan
kelompok anak sehat (40 anak).
4.1 Demografi Subjek Penelitian
Subjek penderita SN berasal dari berbagai rumah sakit di
Sumatera dengan perincian pada Tabel 2 di bawah ini. Mayoritas
penderita SN diperoleh dari RS.H. Adam Malik Medan. Subjek anak
sehat terbanyak berasal dari sekolah menengah pertama.
Tabel 2. Asal Subjek Penelitian
Subjek Asal subjek SNRS (orang)
SNSS fase remisi
(orang)
Jumlah (orang)
Penderita SN
RS. H. Adam Malik 17 38 55 RS. Dr. Pirngadi 3 3 RS. Herna 3 3 RS. Malahayati 2 2 RS. Zainul Abidin 4 2 6 RS. M. Djamil 4 4 RS. M. Hoesin 1 1 RSUD. Pekanbaru 6 6
Anak sehat
Pra sekolah Sekolah Dasar Sekolah Menengah Pertama Sekolah Menengah Atas
3 14 15 8
Jumlah 120
Universitas Sumatera Utara

Tabel 3. Karakteristik Demografi Subjek Penelitian
Karakteristik SNRS n= 40
SNSS n = 40
Anak Sehat n = 40
Umur saat studi, rerata (SB) (tahun)
8,3 (4,5) 8,3 (3,9) 11,6 (3,8)
Umur awitan, rerata (SB) (tahun)
5,9 (3,3) 6,2 (3,2) -
Jenis kelamin,n (%) Laki laki 31(77,5) 24(60) 22 (55) Perempuan 9 (22,5) 16 (40) 18 (45) UACR, rerata (SB) (µg/mg) 6273 (4245) 125 (328) 6 (5,7)
Karakteristik demografi subjek dapat dilihat pada tabel 3. Rerata umur
awitan grup SNRS 5,9(3,3) tahun dan 77,5% berjenis kelamin laki-laki.
Lama sakit sejak awitan hingga saat studi berkisar 1 hingga 13 tahun.
Rerata UACR pada grup SNRS adalah 6273(4245) µg/mg, hal ini amat
berbeda dengan grup SNSS fase remisi dan anak sehat .
Tabel 4. Perbedaan Frekuensi Hipertensi diantara Grup
Tekanan darah SNRS n=40
SNSS n=40
Anak sehat n=40
HTS dan atau HTD 23 5 4 Normotensi 17 35 36
Proporsi hipertensi pada grup SNRS adalah 23 dari 40 orang, dan pada
grup SNSS fase remisi 5 dari 40 orang. Sedangkan pada anak sehat
masih dijumpai hipertensi pada 4 dari 40 anak. Tiga orang diantara
anak yang sehat mengalami overweight dan satu orang lainnya
memiliki riwayat hipertensi pada kedua orang tua.
Tata laksana yang diperoleh pada subjek SN dapat dilihat pada
tabel 5. Grup SNRS paling banyak mendapatkan tata laksana berupa
prednison dan cyclophosphamid intravena, sedangkan grup SNSS fase
remisi terbanyak berada dalam masa tanpa pengobatan prednison
Universitas Sumatera Utara

selang hari. Masa ini dihitung maksimal 2 minggu sejak saat
penghentian dosis prednison terakhir hingga saat pengambilan darah.
Tabel 5. Frekuensi Tata Laksana yang Diperoleh Subjek SN
Tata laksana Regimen pengobatan SNRS n =40
SNSS n=40
Total dosis prednison saat inklusi
(mg/m2 LPT) Pred + CPA iv 750 mg/m2
+ Pred AD / bln x 6 bln 22 - 38,5 (2,1)
Pred + CPA oral
2-2,5 mg/kg/hari x 12 mgg + Pred AD
14 - 39 (2,8)
Pred + CsA 3-5 mg/kg/hari dalam dosis terbagi x 1-2 thn
+ Pred AD
2 - 32,3 (4,2)
Pulse MP + Pred+CPAoral
30 mg/kg 4 mgg sekali + Pred + CPA oral
2 - 31,4 (3,4)
Pred AD saja 0,5-1,5 mg/kg/hari - 17 12,3 (8,5) Tanpa pengobatan*
- - 23 -
Keterangan: Pred : Prednison;CPA :Cyclophosphamide;CsA : Cyclosporine A; Pulse MP: pulse metil prednisolone; Pred AD: Prednison alternating days; *tanpa pengobatan adalah apabila sampel darah diambil di dalam masa 2 minggu setelah stop Pred AD; iv : intravena, LPT: luas permukaan tubuh; mgg: minggu; bln: bulan; thn: tahun 4.2 Distribusi dan Hubungan Alel C -173 Gen MIF Menurut Grup
Distrtibusi dan hubungan antara kelompok diagnosis anak
(SNRS, SNSS. anak sehat) dan alel gen MIF ditunjukkan pada Tabel 6
dan 7.
Pada Tabel 6, studi ini lebih fokus pada frekuensi alel (tabel 2x3
antara alel G dan alel C dengan grup studi) daripada frekuensi genotip
(frekuensi GG, GC dan CC dengan grup studi) oleh karena adanya
dugaan bahwa risiko penyakit meningkat apabila frekuensi suatu alel
meningkat. Jadi, frekuensi genotip GC dan CC dianggap suatu alel
yang tidak dapat dipisah-pisahkan (inherensia).
Universitas Sumatera Utara

Tabel 6. Distribusi Antara Grup dan Frekuensi Alel
Grup N Frekuensi alel p
Alel G Alel C GG GC CC
SNRS SNSS Anak sehat
40 40 40
14 28 24
22 11 13
4 1 3
0,005*
*uji chi square untuk melihat hubungan antara kelompok diagnosis dengan alel
Pada tabel 6 ditunjukkan bahwa frekuensi alel C gen -173 MIF pada
kelompok SNRS lebih tinggi dibandingkan kelompok SNSS dan anak
sehat.
Hubungan alel C dengan probabilitas mendapatkan penyakit SN
ditunjukkan pada tabel 7. Regresi logistik merupakan metode analisis
statistika yang tepat untuk menyatakan prediksi suatu alel di dalam pola
interaksi genotip (Lewis dan Knight,2012). Hal ini penting dilakukan
untuk meningkatkan kekuatan hubungan di dalam studi.
Tabel 7. Hubungan Grup dengan Alel C-173 Gen MIF
Grup p OR (IK95%)
SNRS 0,025 2,79 (1,13-6,89)*
SNSS 0,348 0,64 (0,25-1,62)
Anak sehat ref
Keterangan: * uji regresi logistik
Pada Tabel 7 diperlihatkan bahwa ada asosiasi antara SNRS dan alel
C. Penderita SNRS memunyai alel C tiga kali lebih banyak
dibandingkan dengan SNSS/anak sehat (OR 2,79 ; IK 95% 1,13 sampai
6,89). Kondisi annealing primer paling optimal adalah pada suhu 60 °C
Universitas Sumatera Utara

selama 45 detik (Tabel 8). Kondisi suhu dan waktu annealing yang
optimal perlu ditetapkan dahulu, agar hasil optimal.
Tabel 8. Kondisi Genotip Polimorfisme -173 G Ke C Gen MIF di dalam Studi
Marker MIF
Sekuens primer Kondisi annealing
ER Alel Hasil (bp)
G-173C F:5’-ACT-AAG-AAA-GAC-CCG-AGG-C-3’ R:5’-GGG-GCA-CGT-TGG-TGT-TTA-C-3’
60°C 45 detik Alu-I G C
268 205,63
Keterangan:G-173C=G ke C -173 gen MIF;F=forward;R=reverse;ER=enzim restriksi
Gambaran elektroforesis produk PCR setelah digesti dengan enzim Alu
I dapat dilihat pada Gambar 11 di bawah ini.
.
Gambar 11. Gambaran Elektroforesis Produk PCR Setelah Digesti dengan Enzim Alu I dari Ketiga Genotip. Keterangan: K= kontrol; M= marker; lane 4 dan 5 genotip GC tampak pita pada 268 bp, 205 bp dan 98 bp; lane 6,11,12 genotip GG tampak pita pada 268 bp dan 98 bp; lane 10 genotip CC tampak pita pada 205 bp.
268 bp
205 bp
98 bp
Universitas Sumatera Utara

4.3 Sebaran dan Hubungan Konsentrasi Angiotensin II Plasma dan MIF Serum Menurut Grup
Sebaran konsentrasi angiotensin II plasma dan MIF serum dapat
dilihat pada gambar 12 dan 13 berikut ini.
Gambar 12. Boxplot Kadar Angiotensin II pada Setiap Grup
Gambar 13. Boxplot Kadar MIF pada Setiap Grup
Universitas Sumatera Utara

Hubungan antara ketiga grup pada setiap parameter dapat dilihat pada
tabel 9 di bawah ini.
Tabel 9. Hubungan Angiotensin II dan MIF antara Grup
Parameter SNRS n = 40
SNSS n=40
Anak sehat n = 40 p
MIF median (range, ng/mL)
31,9 (14,3-117,2) 25,7 (10,4-64,8) 27,4 (11,4 -96) 0,04•
Ang II median (range, pg/mL)
22,7 (3,1-153,4) 15,7 (1,7-139,5) 13,2 (5,2-72,7) 0,01•
* uji Kruskal Wallis
4.4 Korelasi Antara Angiotensin II dan MIF Korelasi antara nilai MIF dan angiotensin II dapat dilihat pada
Gambar 14. Korelasi Spearman digunakan karena data tidak
berdistribusi normal. Korelasi ini menunjukkan arah korelasi positif dan
kekuatan korelasi sangat lemah.
Gambar 14. Scatter Plot Kadar MIF dan Angiotensin II
Universitas Sumatera Utara

4.5 Analisis Multivariat
Untuk mengetahui hubungan alel C, angiotensin II dan MIF
secara bersama sama dengan hipertensi terhadap faktor risiko SNRS
maka dilakukan uji multipel regresi logistik. Karena nilai MIF dan
angiotensin II dikatakan tinggi belum ada batasan,yang diambil sebagai
cut off adalah nilai perpotongan sensitivitas dan spesivisitas. Setiap
variabel yang memiliki nilai p lebih kecil dari 0,25 pada analisis bivariat
(Tabel 10) akan dimasukkan ke dalam model regresi logistik.
Tabel 10. Analisis Bivariat Faktor Risiko Resisten Steroid pada SN
Variabel SNSS n=40
SNRS n=40
p
Alel Alel G Alel C
28 12
14 26
0,002
TDS Hipertensi Normotensi
3 37
18 22
0,001
TDD Hipertensi Normotensi
3 37
17 23
0,000
MIF >27,9 ng/mL ≤27,9 ng/mL
23 17
16 24
0,117
Ang II >18,2 pg/mL ≤18,2 pg/mL
25 15
16 24
0,044
Variabel kelompok SNSS diberi kode 0, kelompok SNRS diberi
kode 1. Variabel alel C, angiotensin II dan MIF yang tinggi, hipertensi
sistolik dan diastolik diberi kode 1, sedangkan alel G, angiotensin II dan
MIF yang normal, normotensi sistolik dan diastolik diberi nilai 0,
sehingga didapat model persamaan keberadaan resisten steroid
(Tabel 11).
Universitas Sumatera Utara

Tabel 11. Model Pertama Keberadaan Resisten Steroid
Model
Koefisien SE p OR IK 95%
Konstanta -1,96 0,59 0,001
HTS 1,86 0,78 0,018 6,45 1,38-30,01
HTD 1,23 0,78 0,117 3,42 0,73-15,91
Alel C 1,36 0,55 0,013 3,91 1,33-11,50
MIF> 27,9 ng/mL 0,76 0,57 0,180 2,14 0,70-6,50
Ang II> 18,2 pg/mL 0,45 0,56 0,416 1,58 0,53-4,72
Selanjutnya dilakukan uji regresi logistik dengan metode forward
stepwise (Wald) untuk menemukan model sesuai dengan data yang
ada (Tabel 12).
Tabel 12. Model Kedua Keberadaan Resisten Steroid
Model
Koefisien SE p OR IK 95%
Konstanta -1,3 0,4 0,001
HTS 1,8 0,7 0,020 5,84 1,3-25,7
HTD 1,5 0,7 0,057 4,30 1,0-19,3
Alel C 1,4 0,5 0,012 3,90 1,4-11,1
Model pada Tabel 11 dan Tabel 12 di atas menunjukkan adanya
perubahan nilai OR untuk hipertensi sistolik dan hipertensi diastolik,
sedangkan untuk alel C tidak terjadi. Walaupun variabel angiotensin II
dan MIF tidak signifikan (Tabel 11), ternyata mampu menyebabkan
perubahan nilai OR pada hipertensi sistolik dan diastolik, apabila kedua
variabel tersebut tidak dimasukkan ke dalam model (Tabel 12). Hal ini
menunjukkan pentingnya mengambil Tabel 11 sebagai model terbaik,
Universitas Sumatera Utara

sekaligus menunjukkan peran kedua variabel ini pada keberadaan
resisten steroid. Sehingga didapat nilai probabilitas yaitu:
p =
dimana:
p = nilai probabilitas untuk risiko SNRS pada individu,
e = bilangan alamiah,
TDS = tekanan darah sistolik,1= hipertensi sitolik (HTS),
TDD = tekanan darah diastolik,1= hipertensi diastolik (HTD),
0= normotensi
Alel = alel G atau C, 1 = alel C , 0 = alel G ,
Kadar MIF dan angiotensin II , 1= kadar di atas nilai cut off,
0 = kadar di bawah atau sama dengan nilai cut off.
Berdasarkan perhitungan di atas bahwa interaksi variabel dengan
probabilitas di atas 50% adalah (Tabel 13):
Tabel 13. Nilai Kekuatan Interaksi Variabel Pada Model
Interaksi variabel Probabilitas HTS+HTD+Alel C+ MIF+Ang II 97,7% HTS+HTD+Alel C 91,7% HTS+HTD+MIF+AngII 91,2% HTS+HTD 74% Alel C+MIF+AngII 67%
Interaksi variabel HTS+HTD+MIF+Ang II memiliki probabilitas 91,2 %
sedangkan HTS+HTS saja memiliki probabilitas 74%. Interaksi variabel
ini penting dan memiliki aplikasi klinis, oleh karena variabel MIF dan
angiotensin II memengaruhi secara nyata variabel hipertensi.
1
1 + e – (-1,96 + 1,8 x HTS + 1,2 x HTD + 1.4 x alel C + 0,8 x MIF + 0,5 x angII )
Universitas Sumatera Utara

4.6 Pengujian Hipotesis
4.6.1 Hipotesis I
Frekuensi alel C -173 gen MIF lebih tinggi pada anak SNRS daripada
SNSS dan anak sehat
Uji hipotesis: hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa kelompok
SNRS memiliki OR sebesar 2,79 (IK 95% 1,13 sampai 6,89) memiliki
alel C dibandingkan dengan anak sehat dengan nilai p sama dengan
0,025 (signifikan). Hasil analisis multivariat dengan regresi logistik
menunjukkan bahwa alel C memunyai nilai p sama dengan 0,013 (IK
95% 1,3 sampai 11,5). Hal ini berarti menjawab hipotesis I.
4.6.2 Hipotesis II
Kadar angiotensin II plasma lebih tinggi pada anak SNRS daripada
anak SNSS dan anak sehat.
Uji hipotesis : hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa kelompok
SNRS memiliki kadar angiotensin II plasma yang lebih tinggi dengan
median dan kisaran 22,7 (3,1-153,4) pg/mL dibandingkan dengan
kedua kelompok lainnya (p sama dengan 0,01). Hal ini berarti
menjawab hipotesis II.
4.6.3 Hipotesis III
Kadar MIF serum lebih tinggi pada anak SNRS daripada anak SNSS
dan anak sehat
Uji hipotesis : hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa kelompok
SNRS memiliki kadar MIF serum yang lebih tinggi dengan median dan
Universitas Sumatera Utara

kisaran 31,9 (14,3-117,2) ng/mL dibandingkan dengan kedua kelompok
lainnya (p sama dengan 0,04). Hal ini berarti menjawab hipotesis III.
4.6.4 Hipotesis IV
Ada korelasi positif antara kadar MIF serum dan angiotensin II plasma
Uji hipotesis : Uji korelasi Spearman menunjukkan arah korelasi positif
dengan kekuatan korelasi sangat lemah (r sama dengan 0,27) dan p
sama dengan 0,003. Hal ini berarti menjawab hipotesis IV.
4.6.5 Hipotesis V
Polimorfisme alel C, peningkatan kadar angiotensin II, dan peningkatan
kadar MIF secara bersama sama dengan hipertensi merupakan faktor
risiko SNRS.
Uji hipotesis: analisis bivariat menunjukkan bahwa setiap variabel
berkontribusi terhadap SNRS dengan p lebih kecil dari 0,25. Hasil
analisis multivariat menunjukkan bahwa hanya hipertensi dan alel C
yang berkontribusi terhadap SNRS (p lebih kecil 0,05) dan tidak
terhadap angiotensin II, serta MIF (p lebih besar 0,05). Walaupun
kedua variabel tersebut tidak signifikan, kontribusi keduanya terhadap
variabel hipertensi amat penting. Oleh karena itu, model multivariat
dengan memasukkan seluruh variabel termasuk juga variabel
angiotensin II dan MIF merupakan model terbaik. Hal ini berarti
menjawab hipotesis V.
Universitas Sumatera Utara

BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Polimorfisme -173 G Ke C Gen MIF Sebagai Faktor Risiko SNRS
Gen MIF berada pada kromosom 22 dan lokasi polimorfisme -173
merupakan bagian promoter gen. Lokasi ini merupakan tempat awal
transkripsi (coding area) yang penting dalam hal ekspresi respon terhadap
glukokortikoid,sebagai protein. Perubahan urutan DNA pada polimorfisme
terjadi ketika nukleotida tunggal seperti: Adenin=A, Timin=T, Guanin=G,
Cytocine=C di genom, berbeda diantara spesies biologis (manusia).
Variasi basa Guanine ke Cytocine (G ke C) memengaruhi variasi respon
individu terhadap obat-obatan (steroid). Pada studi ini ditemukan bahwa
penderita SNRS memunyai alel C tiga kali lebih banyak (IK 95% 1,13
sampai 6,89) dibandingkan dengan SNSS/anak sehat.
Tabel 14. Perbandingan dengan Studi Lain tentang Frekuensi Alel MIF
Penelitian Frekuensi alel G Frekuensi alel C IK 95% Vivarelli et al SNRS SNSS
56,5 % 77,2 %
43,5 % 22,8 %
1,52-4,47
Berdetelli et al SNRS SNSS
67,5% 88,3%
32,5% 11,7%
2,2 – 6,0
Studi ini SNRS SNSS
35% 70%
65% 30%
1,13 – 6,89
Frekuensi alel polimorfisme ini penting dan memunyai arti klinis, karena
miniatur genotip setiap individu menerangkan peranan genetik terhadap
lokasi histokompatibilitas mayor. Lokasi histokompatibilitas mayor
Universitas Sumatera Utara

merupakan lokasi spesifik protein yang berperan dalam sistem imun,
termasuk limfosit T, limfosit B dan makrofag (Lewin B., 2000), serta respon
tubuh terhadap sitokin.
Pada galur sel T penghasil reseptor glukokortikoid menunjukkan
adanya perbedaan sekresi sitokin MIF antara galur sensitif dan resistan
glukokortikoid (Leng et al., 2009). Hal ini menunjukkan peranan sel T
dalam mengatur sekresi MIF yang diantarai oleh glukokortikoid.
Podosit dan sel T memunyai mekanisme regulasi bersama yang
menerangkan hubungan respon imun adaptif dan podosit. Podosit
merupakan suatu sel yang kompleks dengan kemampuan regulasi gen.
Kemampuan sel dalam mengatur diri sendiri melalui jalur autokrin ataupun
jalur mediator eksogen merupakan hal yang menarik dari sel ini, termasuk
juga ketidakseimbangan terhadap respon sitokin (Mathieson, 2003).
Fosforilasi reseptor glukokortikoid pada podosit mengganggu ikatan
glukokortikoid dengan reseptor. Aktivasi fosforilasi reseptor glukokortikoid
diatur oleh sitokin proinflamasi (Che dan Zhang, 2013). Persistensi
produksi sistemik sitokin MIF sebagai salah satu sitokin tipe 1 (dominasi
imunitas selular) memengaruhi aktifasi reseptor glukokortikoid dan
mengganggu permeabilitas glomerulus yang menyebabkan proteinuria.
Teknologi SNP dapat dipergunakan untuk mengetahui variasi inter
individu tentang respon obat. Beda utama antara “mutasi” dan
“polimorfisme” tentang variasi sekuensial DNA ialah pada mutasi,
perubahan variasi sekuensial DNA jarang terjadi (frekuensi < 1%). Hal ini
berarti alel yang jarang dijumpai tersebut, merupakan varian abnormal.
Universitas Sumatera Utara

Sedangkan, pada polimorfisme, variasi sekuensial DNA lebih sering
ditemukan pada populasi (frekuensi ≥ 1%), sehingga dapat dijumpai dua
atau lebih alel sebagai alternativ dan tidak ada alel tertentu yang menjadi
standar sekuensial. Variasi genetik ini berperan pada kerentanan individu
terhadap penyakit maupun respon terhadap pengobatan (Shastry, 2007).
Polimorfisme -173 G ke C gen MIF menentukan konsentrasi
sitokin dan respon inflamasi yang dihasilkan sehingga berpengaruh
kepada respon steroid individu. Keadaan ini dipengaruhi oleh adanya
perubahan sekuensial asam amino/protein pada proses transkripsi gen.
Apabila ditelusuri ulang, maka posisi -173 gen MIF merupakan coding
area, yang berperan pada perubahan sekuensial asam amino/protein.
Predisposisi genetik terhadap peningkatan produksi MIF akan
memengaruhi keseimbangan antara glukokortikoid dan MIF.
Keseimbangan glukokortikoid pada individu dengan alel C menjadi
terganggu akibat aktivitas kontraregulasi glukokortikoid oleh peningkatan
kadar MIF (Vivarelli et al., 2008). Ilustrasi dari keadaan di atas dapat
dilihat pada Gambar 15 di bawah ini.
Pada penderita SN dengan alel C respon terhadap glukokortikoid
menjadi lebih rendah karena jumlah MIF bersirkulasi lebih tinggi. Oleh
karena MIF merupakan sitokin pleiotropik yang distimulasi di perifer
ataupun di sentral (podosit dan SSP), konsentrasi MIF yang tinggi akan
mempertahankan aktivasi HPA dengan cara menurunkan ekspresi
reseptor glukokortikoid di inti sel (Zhao et al., 2005; Hammad et al., 2013).
Akibatnya, walaupun jumlah kortikosteroid endogen dan eksogen besar di
Universitas Sumatera Utara

dalam sirkulasi (Tabel 5), efeknya untuk menurunkan proteinuria terbatas
(van Rossum dan Lamberts, 2006).
Gambar 15. Ilustrasi Keadaan Respon Individu Terhadap Steroid Dihubungkan dengan SNP -173 G Ke C Gen MIF (diambil dari Shastry, 2007 dengan sedikit modifikasi dari penulis (Lampiran 10)).
Apabila kerja steroid terbatas, resistensi steroid bukan hanya
didasarkan kepada corakan histopatologis saja (Berdeli et al., 2005),
melainkan juga pada efek genomik dan nongenomik glukokortikoid (Elly
et al., 2012). Apabila diamati, lokasi gen MIF pada kromosom 22
merupakan kandidat gen hipertensi, walaupun hipertensi secara
keseluruhan masih bisa dipengaruhi oleh multipel gen (Ingelfinger, 2004).
Selain itu keterkaitan gen MIF dengan resisten steroid perlu diwaspadai
sebagai faktor risiko SNRS.
C T A T A C A C A G C
C T A T A G A C A G C
RENDAH (low responder)
TINGGI (high responder)
Respon steroid
SNP -173 G ke C gen MIF
Indivdu A
Indivdu B
G
C
Universitas Sumatera Utara

5.2 Kadar MIF Serum dan Antagonisme Steroid: Faktor Risiko SNRS
Efek sistemik MIF terhadap respon imun adalah efek
antagonisme terhadap antiinflamasi glukokortikoid melalui jalur HPA dan
sel mononuklear (Daun dan Cannon, 2000). Predisposisi genetik
terhadap peningkatan produksi MIF akan memengaruhi keseimbangan
antara glukokortikoid dan MIF. Oleh karena itu, terapi dengan antibodi
netralisasi anti-MIF, antagonis reseptor MIF, ataupun transkripsi gen
merupakan pilihan terapi untuk SNRS yang sedang dan akan
dikembangkan pada masa mendatang.
Induksi steroid pada fase remisi membuat level MIF akan lebih
rendah apabila dibandingkan dengan pasien yang tidak/sulit mencapai
remisi pada sindrom nefrotik. Namun, apakah peningkatan level MIF ini
berpengaruh terhadap gradasi keparahan (crescent) di glomerulus tidak
dapat disimpulkan dari penelitian ini, dikarenakan juga bukan tujuan yang
ingin dicapai. Akan tetapi studi Yang et al.(1998); Hattori et al.(1999), dan
Sasaki et al.(2004), pada model tikus percobaan ataupun tikus transgenik
menemukan adanya peningkatan glomerular MIF dan kerusakan podosit.
Kadar MIF bersirkulasi memengaruhi influks makrofag ke dinding
sel pembuluh darah terutama glomerular dan interstisial. Keadaan ini
dibuktikan dengan adanya korelasi antara derajat influks makrofag dengan
albuminuria dan luaran fungsi ginjal (Murea et al., 2012;Viannna et al.,
2012). Proses ini merupakan suatu protracted process yang terjadi sejak
tahap awal dari nefropati (eGFR di atas 90ml/menit/1,73m2). Pada
keadaan predialisis, inflamasi bersama faktor lain seperti malnutrisi dan
Universitas Sumatera Utara

aterosklerosis merupakan hal yang memperberat penyakit ginjal kronis
(Stenvinkel et al., 1999). Bahkan, keseimbangan sitokin MIF memunyai
efek protektif pada kerusakan vaskular (Pan et al., 2004). Keadaan ini
menunjukkan bahwa belum ada yang sempurna dalam penatalaksanaan
pasien SNRS bila hanya mengatasi faktor proteinuria saja. Faktor lain
seperti peningkatan MIF yang bersirkulasi dan penatalaksanaan
hipertensi, juga perlu diwaspadai.
Kadar MIF yang tinggi pada pasien resisten steroid (Tabel 9)
menunjukkan peranan MIF dalam antagonisme efek glukokortikoid. Efek
steroid dihalangi oleh peningkatan MIF bersirkulasi. Glukokortikoid
seharusnya bekerja menghambat pembentukan sitokin yang dihasilkan
oleh makrofag in vitro. Namun, dengan peningkatan kadar MIF, kerja
glukokortikoid tadi dihambat (Donnely dan Bucala, 1997; Lan, 2008).
Penghambatan kerja glukokortikoid diperankan MIF dengan cara
menghambat aktivasi reseptor glukokortikoid di sel.
Proteinuria “sedikit banyak” disebabkan oleh efek sitokin yang
bersirkulasi terhadap permeabilitas glomerular. Keberadaan faktor ekstra
renal sebagai agen penyebab proteinuria dibuktikan dengan minimnya
perubahan inflamasi pada parenkim renal penderita SN. Apabila serum
pasien GSFS diinkubasi pada glomerulus tikus tanpa kelainan renal
secara in vitro, akan menunjukkan peningkatan permeabilitas glomerulus
terhadap albumin (Savin et al., 1996). Carvalho et al.(2004) menemukan
bahwa konsentrasi sitokin tetap tinggi walaupun diberikan dosis tinggi
glukokortikoid. Hal ini memengaruhi sensitivitas jaringan terhadap
Universitas Sumatera Utara

glukokortikoid (Mehls dan Hoyer, 2011). Risiko resisten steroid pada SN
lebih besar apabila sensitivitas podosit terhadap glukokortikoid terganggu.
5.3 Kadar Angiotensin II Plasma dan Hipertensi: Faktor Risiko SNRS
Studi tentang efek angiotensin II sistemik khususnya pada pasien
sindrom nefrotik masih terbatas. Karena itu, studi ini mencoba meneliti
tentang efek angiotensin II sistemik dalam mengendalikan tekanan darah
dan albuminuria pada anak SN.
Efek vasokonstriktor angiotensin II lebih nyata pada arteriol efferen
dibandingkan dengan arteriol afferen dan menyebabkan peningkatan
tekanan kapilar glomerulus. Kerusakan target organ akibat hipertensi
umumnya terjadi akibat pengaruh peningkatan pembentukan angiotensin
II ataupun karena penurunan degradasi angiotensin II. Hal ini
menimbulkan abnormalitas tonus pembuluh darah, abnormalitas
pengaturan air dan sodium,serta adanya remodeling vaskular (Raij, 2001).
Apabila kadar sistemik angiotensin II meningkat, aliran darah renal
menurun secara progresif. Hal ini menyebabkan peningkatan fraksi filtrasi
glomerulus. Resistensi pembuluh darah yang lebih rendah dibandingkan
dengan korteks dapat meningkat sebagai respon peningkatan angiotensin
II. Keadaan ini memberi efek proteksi karena aliran darah ke medulla
relatif lebih ‘terjaga’ dibandingkan dengan aliran ke korteks ginjal (Denton,
Anderson dan Sinniah, 2000; Takenaka, Hayashi dan Ikenaga, 2004).
Mekanisme efek angiotensin II pada pasase protein transglomerular
dipengaruhi oleh tonus arteriol efferen, tekanan intra glomerular, dan
aliran plasma ke glomerular (Langham et al., 2004). Penelitian dengan
Universitas Sumatera Utara

tikus yang diberi infus angiotensin II selama 14 hari disertai diet normal
menyebabkan peningkatan tekanan darah dan hal ini berhubungan
bermakna dengan peningkatan eksresi protein urin. Beberapa model tikus
penelitian yang menunjukkan hasil yang sama ternyata berbeda dalam hal
produksi degradasi angiotensin II (Raij, 2001).Herizi et al.(1998)
menemukan perbedaan yang bermakna antara ekskresi albumin urin dan
tekanan arteri sistolik sebelum/sesudah diberikan angiotensin II pada tikus
percobaan.Pemakaian obat penghambat ACEI ataupun ARB dalam
praktik sehari-hari memengaruhi degradasi angiotensin II sehingga
mengurangi proteinuria dan memunyai efek protektif renal (Tsikouris dan
Cox, 2003; Partini, 2007). Keadaan ini masih “berbahaya” karena manfaat
ACEI dalam menghambat progresif ke arah gagal ginjal akan “hilang”
dengan bertambahnya waktu (Neild, 2009).Hal ini menunjukkan bahwa
masih ada mekanisme lain bekerja menghambat regresi PGK (Fogo,2006)
Efek lain peningkatan angiotensin II sistemik pada SN adalah
berkurangnya kemampuan ginjal untuk mengekskresikan sodium melalui
beberapa cara, bukan hanya di ginjal melainkan juga melalui kontrol SSP.
Peningkatan reabsorbsi sodium di tubulus ginjal; peningkatan pelepasan
norepinefrin dari ujung saraf simpatis ginjal; terganggunya pengaturan
barorefleks kardiak oleh nervus simpatis renal (Sanchez-Palachios,Jones,
dan DiBona, 1998;Kumagai et al., 2004) merupakan contoh interaksi renal
dan SSP dalam penanganan sodium.Keseluruhan keadaan ini
memfasilitasi aksi simpatis dan hemodinamik (peningkatan preload,
Universitas Sumatera Utara

afterload, dan tegangan vaskular) terhadap tekanan darah pada individu
dengan peningkatan angiotensin II sistemik.
Studi ini memperlihatkan kadar angiotensin II plasma pada
berbagai kelompok subjek. Kadar angiotensin II plasma pada subjek
SNRS lebih tinggi dibandingkan dengan SNSS fase remisi ataupun anak
sehat. Walaupun demikian, peneliti gagal menemukan kenormalan
distribusi kadar angiotensin II di antara subjek (Tabel 9) sehingga
hipotesis yang diuji menjadi kurang spesifik karena hanya didasarkan
pada urutan kadar angiotensin II di antara subjek.
Peningkatan kadar angiotensin II sistemik secara terus menerus
(kronik) pada penderita SN merupakan penyebab utama respon
vasokonstriksi vaskular. Respon ini menyebabkan peningkatan tekanan
intraglomerulus dan hiperfiltrasi glomerulus. Respon glomerulus terhadap
hiperfiltrasi glomerulus menyebabkan terjadinya proteinuria (Kaplan, 2006;
Wolf, Butzman dan Wenzel., 2003). Efek steroid dalam mengatasi
proteinuria akibat sekunder hiperfiltrasi glomerulus ini menjadi terbatas
dan dapat meningkatkan risiko resistensi steroid pada penderita SN.
Keadaan proteinuria persisten juga menyebabkan percepatan menuju
PGK tahap akhir (Abbate, Zoja dan Remuzzi, 2006).
5.4 Analisis Korelasi dan Multivariat Frekuensi Alel MIF, Kadar
Angiotensin II Plasma dan Kadar MIF Serum Secara Bersama- sama dengan Hipertensi terhadap Risiko SNRS
Pada studi ini ditemukan korelasi (walaupun sangat lemah) antara
angiotensin II plasma dan MIF yang bersirkulasi, walaupun tidak berarti
memiliki hubungan sebab akibat. Hal ini memperkuat penjelasan bahwa
Universitas Sumatera Utara

perlekatan monosit/makrofag disertai dengan dihasilkannya sitokin MIF
dan peranan angiotensin II sistemik terhadap MIF yang bersirkulasi.
Hasil menunjukkan korelasi yang sangat lemah, tetapi dapat
dijelaskan bahwa aktivitas MIF cenderung mengikuti kurva sigmoid
daripada kurva linier sehingga efek penuh peningkatan MIF yang
bersirkulasi dapat saja terjadi pada kadar angiotensin II sistemik yang
rendah. Temuan ini lebih lanjut menerangkan bahwa angiotensin II
sistemik bukan merupakan satu satunya faktor yang bertanggungjawab
terhadap peningkatan MIF serum.
Interaksi angiotensin II dan MIF secara sistemik dalam pengaturan
resistensi terhadap glukokortikoid ternyata jauh lebih komplek daripada
yang dibayangkan sebelumnya. Walaupun SSP memiliki barier yang sulit
dilalui oleh hormon, organ sirkumventrikel (CVO) (sebagai lokasi awal
angiotensin II sistemik bekerja di otak) memunyai kelebihan anatomis
berupa kekurangan barier tersebut (Ferguson, Washburn dan Latchford,
2001) sehingga angiotensin II dapat bekerja pada HPA. Aktivasi HPA
akibat respon angiotensin II dalam hubungannya dengan resisten steroid
merupakan kejadian tingkat sel yang diperantarai signal transduksi yang
kompleks dan bila tidak terkoordinasi dapat menimbulkan komplikasi klinis
yang nyata (Tharaux et al., 2000; Sayeski dan Bernstein, 2001).
Pengaruh angiotensin II sistemik terhadap ekspresi gen hipertensi,
belum ditemukan sebagai hubungan kausalitas (Hubner et al., 1999).
Aktivasi NFkB dan AP-1; kompleks protein sebagai pengatur signal tahap
kedua (second messangers) di dalam proses selular angiotensin II untuk
Universitas Sumatera Utara

ekspresi gen (Ruiz-Ortega et al., 2001), merupakan peran tidak langsung
angiotensin II. Kedua kompleks protein ini mengatur transkripsi mRNA dari
DNA yang komplementer. Walaupun studi ini tidak menganalisis kedua
kompleks protein tersebut oleh karena berbagai keterbatasan; kaitan
angiotensin II terhadap ekspresi gen MIF terjadi melalui kedua kompleks.
Disamping itu, kunci peranan disregulasi angiotensin II bersirkulasi pada
homeostasis hemodinamik, paling baik (secara klinis) diperlihatkan pada
tingkat SSP dan kardiorenal berupa hipertensi.
Apabila angiotensin II sudah bekerja pada tingkat sel, sitokin
seperti MIF juga diatur pada tingkat tersebut sehingga studi ini cukup sulit
menemukan korelasi kuat antara kadar MIF dan angiotensin II. Hal yang
juga sulit diungkapkan melalui studi ini adalah apakah angiotensin II
ataukah MIF yang lebih superior dalam aktifasi HPA. Perlu diingat bahwa
hormonal/neurotransmitter bekerja seperti tongkat komando (Don, Biglieri,
dan Schambelan,1997) dalam pengaturan intrasel selanjutnya bersama-
sama dengan faktor genetik. Hal ini dibuktikan dengan studi mikroarray
ekspresi DNA yang menggunakan kultur neuron tikus. Hasilnya
menunjukkan bahwa angiotensin II adalah terbesar dalam mengatur
regulasi gen MIF (Busche et al., 2001)
Masalah utama pemodelan pada analisis multivariat adalah
memilih sedemikian banyak kovariat ke dalam model terbaik. Keputusan
untuk tetap mempertahankan variabel tertentu dalam suatu model
didasarkan pada keputusan klinis atau signifikan secara statistika. Hal ini
nyata pada hipotesis V studi ini. Walaupun model final regresi logistik
Universitas Sumatera Utara

hanya menjawab sebahagian variabel yang disangkakan hipotesis V studi
ini (Tabel 12), kadar MIF dan angiotensin II sebagai faktor risiko SNRS
tetap perlu diperhatikan (Tabel 11). Hal ini disebabkan model regresi Wald
mengandung kelemahan mendasar, yaitu hanya didasarkan uji signifikansi
variabel dan tidak dilandasi kerangka teoritik/keputusan klinis. Sebagai
klinisi hal di atas memang penting. Namun, lebih penting lagi adalah hasil
akhir pada penderita SNRS. Manifestasi nyata dari keseluruhan proses
biomolekul angiotensin II dan MIF dalam resistensi glukokortikoid adalah
hipertensi yang perlu diwaspadai bersama proteinuria persisten dalam
pengelolaan SNRS. Oleh karena itu, studi ini tetap memilih seluruh
variabel (Tabel 11) sebagai model terbaik.
Nilai probabilitas peningkatan risiko SNRS pada individu apabila
ditemukan hipertensi bersama alel C berkisar 91,7% (Tabel 13). Data studi
ini mengenai risiko SNRS menjelaskan peranan hipertensi saja lebih
kurang 74%, sedangkan apabila ditambah alel C berkisar 91,7%. Hal ini
berarti beda peran gen dan nongen terhadap risiko SNRS pada individu
dengan hipertensi berkisar 18% lagi. Walaupun demikian, validasi nilai ini
dalam praktik sehari hari, masih memerlukan penelitian lanjutan.
Studi ini merupakan studi pertama yang menjelaskan hubungan
sitokin MIF dan angiotensin II terhadap SNRS dengan fungsi ginjal di atas
90 ml/menit/1,73m2. Walaupun dalam studi ini belum ditemukan pasien
SNRS dengan fungsi ginjal di bawah 90 ml/menit/1.73m2 secara kohort
(menandakan sekuele renal jangka panjang), bagi para klinisi amat
penting mencegah pasien SNRS yang merupakan derajat I K/DOQI,
Universitas Sumatera Utara

progresif ke derajat yang lebih tinggi. Pengaturan kadar sitokin MIF dan
penatalaksanaan hipertensi berdampak terhadap penyakit ginjal
dini/disfungsi vaskular dan akan dapat memberikan inovasi terapi untuk
mencegah atau memperbaiki nefropati/kerusakan vaskular.
5.5 Hipertensi, Angiotensin II Sistemik dan Peranan dalam Gangguan
Struktur/Fungsi Ginjal
Peninggian tekanan darah sistemik merupakan prediktor
terjadinya kerusakan ginjal lebih lanjut pada anak. Infus dosis kronik
angiotensin II pada tikus percobaan menyebabkan peningkatan tekanan
darah sistolik dan gangguan relaksasi vaskular lebih nyata daripada
subjek dengan kadar angiotensin II rendah (Rajagopalan et al.,1996).
Hipertensi yang diinduksi angiotensin II pada tikus percobaan juga
menyebabkan infiltrasi makrofag di sel glomerular dan tubular disertai
induksi berbagai sitokin (Hurairah dan Ferro, 2004; Liao et al., 2008).
Salah satunya adalah sitokin MIF (Lan, 2008).
Hal di atas menunjukkan bahwa angiotensin II sistemik bukan
hanya menyebabkan vasokonstriksi (sebagai fungsi hemodinamik), tetapi
juga berperan dalam pengambilan/rekrutmen makrofag lokal di ginjal
(fungsi non hemodinamik). Walaupun studi ini tidak melakukan
pengukuran angiotensin II di jaringan ginjal karena keberadaan
mekanisme independen renin angiotensin pada ginjal juga perlu
diperhatikan (van Kats et al., 2001), data kami tentang angiotensin II
sistemik perlu dipertimbangkan karena studi tentang angiotensin II
sistemik dalam hubungannya dengan SNRS masih sedikit diteliti.
Universitas Sumatera Utara

Pasien SNRS yang mengalami hipertensi memunyai risiko
terjadinya penurunan faal ginjal yang progresif di kemudian hari
(Kaplan,2006). Memang bukan hanya angiotensin II sistemik saja yang
dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah. Artinya, cukup banyak
hal yang memengaruhi tekanan darah (misalnya pengaturan tekanan
darah jangka pendek dan jangka menengah). Namun, angiotensin II
sistemik merupakan efektor SRAA yang berperan penting dalam
pengaturan tekanan darah jangka panjang (Guyton, 1991;.Navar dan
Hamm,1999). Persistensi peningkatan angiotensin II di sirkulasi
menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri, yang pada gilirannya
dapat menyebabkan respon glomerulus berupa hiperfiltrasi dan proteinuria
persisten (Miller, Rennke, dan Meyer,1991; Kaplan, 2006; Wolf,Butzman
dan Wenzel, 2003).
Hal yang perlu diingat adalah bahwa hiperfiltrasi dan hipertensi
kapiler glomerulus umumnya disertai hipertensi sistemik walaupun tidak
mutlak terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan untuk menurunkan
hipertensi sistemik saja, tanpa melakukan koreksi terhadap hiperfiltrasi
dan hipertensi glomerular, juga tidak banyak manfaatnya dalam
menurunkan derajat kerusakan glomerular (Brenner,Lawler dan
Mackenzie, 1996; Taal,Lucyckx dan Brenner, 2003). Oleh karena itu,
terapi dietatik yang optimal (Mitch, 1997) dan terapi farmakologis yang
rasional perlu dilakukan untuk mengendalikan tekanan darah dan
proteinuria (Taal, Lucyckx dan Brenner, 2003). Target tekanan darah pada
batas bawah normal akan menurunkan 35% risiko terjadinya penurunan
Universitas Sumatera Utara

50% fungsi ginjal. Begitu juga dengan proteinuria akan menurun 50%
dengan kontrol tekanan darah yang ketat (The ESCAPE Trial Group,
2009). Oleh karena itu, skrining rutin albuminuria pada pasien yang
mengalami peningkatan tekanan darah menjadi pilihan (Volpe, 2008).
Angiotensin II berperan dalam perburukan proteinuria dan
kerusakan renal lebih lanjut (Fogo, 2006). Walaupun kebanyakan jurnal ini
mengetengahkan pasien dewasa dengan hipertensi esensial, perburukan
proteinuria dan kerusakan ginjal lebih kurang sama prosesnya dengan
pasien anak yang mengalami hipertensi disertai gangguan ginjal
(hipertensi sekunder) sehingga peranan angiotensin II sistemik menjadi
kritikal dalam penatalaksanaan SNRS.
5.6 Hubungan Sitokin MIF Terhadap Proteinuria Menetap dan Gangguan Struktur/Fungsi Ginjal
Peranan proteinuria menetap dengan kerusakan struktur (tubulo
interstisial) dan gangguan fungsi ginjal merupakan dasar studi
eksperimental dan studi klinis tentang kerusakan ginjal (Zandi-Nejad et al.,
2004). Pasien proteinuria nefrotik menetap lebih sering mengalami PGK
stadium lanjut daripada pasien dengan derajat rendah atau tidak ada
proteinuria (Abate, Zoja dan Remuzzi, 2006).
Tubulus dan interstisial renal memiliki peranan penting terhadap
terjadinya kerusakan struktur dan gangguan fungsi ginjal pada proteinuria
menetap. Albumin bekerja sebagai pembawa (carrier) terhadap mediator
inflamasi yang diperankan oleh angiotensin II dan selanjutnya
menyebabkan influks sel-sel imunokompeten (makrofag maupun monosit)
Universitas Sumatera Utara

ke tubulointerstisial. Hal ini mengaktifkan sel tubulus proksimal melalui
signal intrasel terhadap aktivasi transkripsi gen sitokin serta fibrosis (Wolf,
2000; Takase et al., 2003; Eddy, 2004).
Pada keadaan normal membran basalis tubulus berfungsi sebagai
barier antara tubulus dan kapiler, tetapi bila proteinuria persisten terjadi
kerusakan barier. Hal ini berperan dalam sintesis protein matriks (Zeisberg
et al., 2002) hingga terjadi kerusakan berat tubulointerstisial (Eddy, 2004).
Makrofag merupakan sel multifungsi yang berkemampuan mensekresi
sitokin/protein matriks, dan berdampak terhadap kerusakan
tubulointerstisial (Abate et al, 1998; Donadelli et al., 2000). Penarikan sel
ini dari sirkulasi pada tahap awal kerusakan akut sebenarnya merupakan
langkah yang penting dalam penyembuhan kerusakan semua organ
termasuk ginjal. Namun, jika sel ini persisten/menetap setelah kerusakan
akut menyembuh, respon fibrogenik akan terus berlanjut hingga terjadi
kerusakan berat sel-sel ginjal (Abate, Zoja dan Remuzzi, 2006)
Sitokin MIF dihasilkan oleh makrofag, tetapi bekerja menghambat
migrasi makrofag dari tempat awal kerusakan akut sehingga makrofag
persisten di lokasi tersebut (Subowo, 2009). Akibatnya, terjadi aktivasi
reseptor MIF dan berperan dalam kerusakan renal (Lan, 2008). Ekspresi
MIF pada sel tubulus proksimal (secara in vivo) meningkat signifikan bila
dipajan dengan urin penderita proteinuria masif (Huang et.al., 2008). Hal
ini menunjukkan peranan overload proteinuria terhadap aktivasi mediator
inflamasi dan kerusakan tubulointerstisial.
Universitas Sumatera Utara

Glukokortikoid seharusnya mampu menghambat aksi sitokin ini,
tetapi MIF diinduksi glukokortikoid bekerja antagonis. Konsentrasi
glukokortikoid yang besar di sirkulasi menimbulkan komplikasi respon
endotel vaskular (Iuchi et al., 2003), yang kemudian menimbulkan
hiperfiltrasi/hipertensi glomerular sehingga timbul proteinuria persisten.
Pada keadaan stres akut, peran fungsional MIF memunyai dua efek
yang berbeda, yaitu penting dalam pertahanan tubuh, pada sisi lain
ketidakseimbangan MIF menyebabkan disfungsi organ (Stoppe,
Bernhagen dan Rex, 2013). Namun, di dalam kronisitas penyakit, efek
peningkatan MIF serum tidak selalu menguntungkan. Kontribusi studi ini
dalam aplikasi selanjutnya adalah apabila peningkatan kadar MIF serum
diperbaiki bersama dengan pengelolaan tekanan darah, akan membantu
menurunkan proteinuria dan memperlambat progresivitas PGK.
Studi ini memang hanya studi sekat lintang dan hal ini merupakan
keterbatasan studi ini. Namun, pada era sekarang ini sudah tidak
zamannya lagi “menangisi” keterbatasan, tetapi bagaimana membuat
keterbatasan itu berguna bagi orang banyak (Walach et al., 2006). Oleh
karena itu, data dalam studi ini juga berperan dalam peningkatan kualitas
hidup penderita SNRS dan pencegahan menuju PGK tahap akhir.
5.7 Kelebihan dan Kelemahan Studi
Studi ini memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan. Studi ini
memberikan informasi tambahan tentang hubungan antara polimorfisme
MIF dengan kadar angiotensin II dan MIF pada anak. Studi ini merupakan
Universitas Sumatera Utara

studi pertama, setelah melakukan studi literatur yang intensif, yang
mengukur kadar MIF serum dan angiotensin II plasma pada penderita SN.
Kadar MIF serum dan angiotensin II plasma dari subjek manusia lebih
menggambarkan keadaan klinis penderita dibandingkan dengan hasil
percobaan binatang. Akhirnya, pada analisis multivariat studi ini, nyata
bahwa angiotensin II memengaruhi regulasi MIF merupakan mekanisme
yang berkontribusi terhadap perkembangan/pemeliharaan hipertensi.
Temuan dari studi ini diharapkan membantu klinisi untuk melakukan
penatalaksanaan yang optimal pada anak SNRS.
Beberapa kelemahan yang terjadi pada studi ini antara lain:
pertama, populasi studi secara klinis amat bervariasi (misalnya, umur dan
lama sakit) dan kemungkinan heterogenitas secara histopatologis besar
sehingga memengaruhi hasil studi ini. Kedua, studi ini merupakan studi
potong lintang sehingga tidak semua relevan data diperoleh, misalnya,
hubungan sebab akibat peninggian MIF serum dan angiotensin II pada
SNRS dengan alel G dan alel C. Hal ini dikarenakan adanya temporal
ambiguity dalam studi. Studi genetika tentunya sudah dimulai sejak masa
prenatal, sedangkan penilaian kadar MIF dan angiotensin II diperiksa
sesaat. Namun, keadaan ini menurut kami tidak memengaruhi hasil yang
substansial dari studi karena adanya analisis multivariat. Analisis
multivariat menggunakan banyak asumsi sehingga penilaiannya
bergantung pada teori yang mendasari. Studi lebih lanjut tetap dibutuhkan
untuk menjelaskan peranan antibodi MIF dan/atau penghambat enzim MIF
sebagai terapi sparring steroid bagi penderita SNRS.
Universitas Sumatera Utara

BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
1. Frekuensi alel C pada kelompok SNRS lebih tinggi dibandingkan
kelompok SNSS dan anak sehat.
2. Kadar MIF serum lebih tinggi pada SNRS dibandingkan SNSS dan
anak sehat.
3. Grup SNRS menunjukkan kadar angiotensin II plasma lebih tinggi
dibandingkan SNSS dan anak sehat.
4. Ada kekuatan korelasi positif sangat lemah antara kadar angiotensin
II plasma dan MIF serum.
5. Model regresi menjawab sebahagian variabel, yaitu alel C -173 gen
MIF secara bersama sama dengan hipertensi berkontribusi terhadap
SNRS. Walaupun angiotensin II plasma dan MIF serum secara
bersama-sama belum menjawab model yang ada, kepentingan
kedua variabel terhadap variabel hipertensi menunjukkan peran
keduanya dalam analisis model terbaik, untuk keberadaan resisten
steroid.
6.2 Saran
1. Karena pemeriksaan genetika MIF masih mahal, pemeriksaan
polimorfisme dibuat atas indikasi, misalnya pasien SNRS dengan
hipertensi. Data studi ini mengenai risiko SNRS menjelaskan
peranan hipertensi saja lebih kurang 74%, sedangkan apabila
Universitas Sumatera Utara

ditambah alel C berkisar 91,7%. Hal ini berarti beda peran gen dan
nongen terhadap risiko SNRS pada individu dengan hipertensi
berkisar 18% lagi. Walaupun demikian, validasi nilai ini dalam
praktik sehari hari, masih memerlukan penelitian lanjutan.
2. Mengingat bahwa angiotensin II memengaruhi regulasi MIF
merupakan mekanisme yang berkontribusi terhadap
perkembangan/pemeliharaan hipertensi, maka perlu dikembangkan
antibodi anti-MIF atau inhibitor aktivitas enzim katalis MIF sebagai
terapi sparring steroid bersama dengan pengelolaan hipertensi untuk
mengatasi proteinuria pada SNRS.
Universitas Sumatera Utara

DAFTAR PUSTAKA
Acharya, B., Shirakawa, T., Pungky, A., Damanik,M. P.,Massi, M. N.,Miyata, M., et al.,2005.Polymorphism of the interleukin 4, Interleukin 13, and signal transducer and activator of transcription 6 genes in Indonesian children with minimal change nephrotic syndrome.Am J Nephrol.25,30-5.
Abbate,M., Zoja,C., Corna,D., Capitanio,M., Bertani,T., Remuzzi,G.,1998. In progressive nephropathis, overload of tubular cells with filtered proteins translates glomerular permeability dysfunction into celluler signals of interstitial inflammation. J Am Soc Nephrol.9,1213-24.
Abbate,M.,Zoja,C.,Remuzzi,G.,2006. How does proteinuria cause progressive renal damage? J Am Soc Nephrol.17,2974-84.
Aeberli, D., Leech, M., and Morand, E., 2006a.Macrophage migration inhibitory factor and glucocorticoid sensitivity.Rheumatology.45,937-43.
Aeberli, D., Yang, Y., Mansell, A., Santos, L., Leech, M., and Morand,E.F., 2006b. Endogenous macrophage migration inhibitory factor modulates glucocorticoid sensitivity in macrophages via effects on MAP kinase phosphatase-1 and p-38 MAP kinase.FEBS.580,974-81.
Arenberg, D. and Bucala, R., 2003.Macrophage migration inhibitory factor (MIF). In: A.W.Thomson, M.T.Lotze, eds.The Cytokine Handbook. 4th
Atlas, S.A., 2007. The renin-angiotensin aldosteron system: pathophysiological role and pharmacologic inhibition. J Manag Care Pharm.13(8),S9-20.
ed.London: Elsevier Science.pp.1037-49.
Bagga, A., and Mantan, M., 2005. Nephrotic syndrome in children.Indian J Med Res.122,13-28.
Barnes,P.J., and Adcock,I.M., 2009.Glucocorticoid resistance in inflamatory diseases.Lancet.373,1905-17.
Barnes,P.J.,2011. Glucocorticoids: current and future directions. Br J Pharmacol.163,111-33.
Berdeli, A., Mir, S., Ozkayin, N., Serdaroglu, E., Tabel, Y., and Cura, A., 2005. Association of macrophage migration inhibitory factor -173 C allele polymorphism with steroid resistance in children with nephrotic syndrome.Pediatr Nephrol.20,1566-71.
Universitas Sumatera Utara

Biyikli, N., Alpay.H, Yildiz, N., Agachan, B., and Ergen, A.,2006. Paraoxonase 1 192 and 55 polymorphisms in nephrotic children. Pediatr Nephrol. 21, 649-54.
Brenner,B.M.,Lawler,E.V., and Mackenzie,H.S.,1996. The hyperfiltration theory:a paradigm shift in nephrology. Stategies for interrupting progressive renal disease.Kidney Int.49,1774-7.
Bruchfeld, A., Carrero, J., Qureshi, A., Lindholm, B., Heimburger, O., Hu, M., et al., 2009. Elevated serum macrophage migration inhibitory factor (MIF) concentration in chronic kidney disease are associated with markers of oxidative stress and endothelial activation.Mol Med.15,70-5.
Bruschi, M., Catarsi, P., Candiano, G., and Rastaldi, M.P., 2003.Apolipoprotein A in idiopathic nephrotic syndrome and focal segmental glomerulosclerosis.Kidney Int.63,686-95.
Busche, S., Gallinat, S., Fleegal, M.A., Raizada, M.K., Sumners, C., 2001. Novel role of macrophage migration inhibitory factor in angiotensin II regulation of neuromodulation in rat brain.Endocrinol.142,4623-30.
Calandra, T.,and Roger,T.,2003.Macrophage migration inhibitory factor: a regulator of innate immunity.Nat Rev Immunol.3,1038-48.
Calbreath,D.F.,1992.Clinical Chemistry: A Fundamental Textbook. Philadelphia: W.B.Saunders Company.
Camici,M.,2007. Nephrotic proteinuria and the autonomic nervous system.Saudi J Kidney Dis Transplant.18(4),512-22.
Carey, R.M., and Siragy, H.M., 2003. Newly recognized components of the renin angiotensin system: potential roles in cardiovascular and renal regulation.Endocrine Rev.24(3),261-71.
Carvalho, P., Franco, P., Elias, L., Facincani, L., Laurenco, E., and Foss, N., 2004. Glucocorticoid receptors, in vitro steroid sensitivity, and cytocine secretion in idiopathic nephrotic syndrome.Kidney Int.65,403-8.
Che,R.,Zhang,A.,2013.Mechanism of glucocorticoid resistance in idiopathic nephrotic syndrome.Kidney Blood Press Res.,37:360-78.
Cho, H.Y., Choi, H.J., Lee, S.H., Lee, H.K., Kang, H.K., Ha, I.S., et al., 2009. Polymorphisms of the NR3CI gene in Korean children with nephrotic syndrome.Korean J Pediatrics.52,1260-6.
Universitas Sumatera Utara

Cvetkovic,I., and Stosic-Grujicic,S.,2006. Neutralization of macrophage migration inhibitory factor-novel approach for the treatment of immunoinflamatory disorders.Int Immunopharmacol.6,1527-34.
Daun, J., and Cannon, J.,2000. Macrophage migration inhibitory factor antagonizes hydrocortisone-induced increases in cytosolic IkB.Am J Physiol Reg Integrative Comp Pysiol.279,R1043-9.
De Benedetti, F., Meazza, C., Vivarelli, M., Rossi, F., Pistorio, A., Lamb, R., et al., 2003.Functional and prognostic relevance of the -173 polymorphism of the macrophage migration inhibitory factor gene in systemic onset juvenile idiopathic arthritis.Arthritis Rheum.48(5),1398 - 407.
Denton, K.M., Anderson, W.P.,and Sinniah R.,2000. Effect of angiotensin II on regional afferent and efferent arteriole dimensions and the glomerular pole. Am J Physiol Regulatory Integrative Comp Physiol.279, R629-38.
DiBona,G.F.,2001.Peripheral and central interactions between the renin-angiotensin system and the renal sympathetic nerves control of renal function.Am N Y Acad Sci.940,395-406.
Dios,A., Mitchell,R.A., Aljabari,B., Lubetsky,J., O’Connor,K., Liao,H.,et al., 2002. Inhibition of MIF bioactivity by rational design of pharmacological inhibitors of MIF tautomerase activity. J Med Chem.45,2410-16.
Djau,V.J., Antman,E.M., Black,H.R., Hayes,D.L., Manson,J.E., Plutzky,J., et al., 2006. The cardiovascular disease continuum validated:clinical evidence of improved patient outcomes.Circulation.114,2850-70.
Don,B.R.,Biglieri,E.G.,Schambelan,M.,1997. Endocrine hypertension. In: F.S.Greenspan, G.J.Strewler,eds. Basic & Clinical Endocrinology. 5th
Donadelli,R.,Abbate,M.,Zanchi,C.,Corna,D.,Tomasoni,S.,Benigni,A.,etal., 2000. Protein traffic activates NF-kappaB gene signaling and promotes MCP-1-dependent interstitial inflammation.Am J Kidney Dis.36,1226-41.
ed. Stanford:Appleton& Lange, pp.359-80.
Donn, R., Alourfi, Z., De Benedetti, F., Meazza, C., Zeggini, E., Lunt, M., et al., 2002.Mutation screening if the macrophage migration inhibitory factor gene.Arthritis & Rheumatism.46,2402-9.
Donnely,S.C.,and Bucala.,1997.Macrophage pigration inhibitory factor: a regulator of glucocorticoid activity with a critical role in inflamatory disease.Mol Med.502-7.
Universitas Sumatera Utara

Eddy,A.A, and Symons,J.,2003. Nephrotic syndrome in childhood. Lancet 362,629-39.
Eddy,A.A.,2004. Proteinuria and interstitial injury. Nephrol Dial Transplant. 19,277-81.
Elly,V., Fakhoury,M., Deschenes,G., Jacqz-Aigrain,E., 2012. Physiopathology of idioptahic nephrotic syndrome: lessons from glucocorticoids and epigenetic perspectives.Pediatr Nephrol.27,1249-56.
Ferguson,A.V., Washburn,D.L.S., and Latchford,K.J.,2001. Hormonal and neurotransmitter roles for angiotensin in the regulation of central autonomic function.Exp Biol Med.226,85-96.
Flaster,H., Bernhagen,J., Calandra, T., and Bucala, R.,2007. The macrophage migration inhibitory factor-glucocorticoid dyad: regulation of inflamation and immunity.Mol Endocrinol.21,1267-80.
Fogo,A.B.,2006. Progression versus regression of chronic kidney disease. Nephrol Dial Transplant.21,281-4.
Funaki, S., Takahashi, S., Wada, N., Murakami, H., Harada, K., 2008. Multiple drug resistant gene 1 in children with steroid-sensitive nephrotic syndrome.Pediatr Int.50,159-61.
Fydryk, J., and Querfeld, U., 2002. The nephrotic syndrome-idiopathic steroid resistant nephrotic syndrome. In:P.Cochat,ed. ESPN Handbook. Switzerland:ESPN,pp.259-62.
Gasparo,M., Catt,K., Inagami,T., Wright, J., and Unger, T.,2000.International union of pharmacology.XXIII.The angiotensin II receptors.Pharmacol Rev.52,415-72.
Glassock,R.,2003. Circulating permeability factors in the nephrotic syndrome:a fresh look at an old problem.J Am Soc Nephrol.14,541-3.
Gruskin,A.B., Dabbagh, S., Fleischmann, L.E., Apostol, E.L., and Mattoo, T.K.,1999.Mechanism of hypertension in childhood diseases. In: T.M.Barratt, E.D.Avner, W.E.Harmon, eds.Pediatric Nephrology. 4th
Guyton, A.C.,1991.Text book of Medical Physiology.8
ed. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins,pp.987-1005.
th
Haack,D.,Scharer,K.,and Vecsei,P.,1999. Glucocorticoid receptors in idiopathic nephrotic syndrome.Pediatr Nephrol.13,653-6.
ed.Philadelphia:WB Saunders Company.
Universitas Sumatera Utara

Hammad,A., Yahia,S., Gouida,M.S., Bakr,A., El-farahaty,R.M.,2013. Low expression of glucocorticoid receptors in children with steroid-resistant nephrotic syndrome.Pediatric Nephrol.28,759-63.
Hattori,M.,Nikolic-Paterson D.J., Miyazaki K., Isbel N.M., Lan H.Y., Atkins R.C., et al.,1999.Mechanism of glomerular macrophage infiltration in lipid induced renal injury.Kidney Int. 55(71),S47-50
Haycock,G.,2003. The child with idiopathic nephrotic syndrome. In: J.A. Nicholas,R.J.Postlethwaite, eds. 2003. Clinical Paediatric Nephrology. 3rd
Herizi, A., Jover, B., Bouriquet, N., and Mimran, A.,1998. Prevention of the cardiovascular and renal effects of angiotensin II by endothelin blockade.Hypertension.31,10-4.
ed. New York: Oxford University Press,pp.341-66.
Hildebrandt, J.D.,2007.Renin Angiotensin System (RAS). Online. Available from: http://www.slideword.org/slidestag.aspx/raas
Hogg,R.J.,Portman,R.J.,Milliner,D.,Lemley,K.V.,Eddy,A., & Ingelfinger,J., 2000. Evaluation and management of proteinuria and nephrotic syndrome in children: recommendations from a pediatric nephrology panel established at the National Kidney Foundation conference on proteinuria, albuminuria, risk, assessment, detection, elimination (PARADE).Pediatrics.105,1242-9.
[Accessed 25 April 2009]
Hogg,R.J., Furth,S., Lemley,K.V., Portman,R., Schwartz,G.J., Coresh,J., et al., 2003. National Kidney Foundation’s Kidney Disease Outcomes Quality Initiative Clinical practice guidelines for chronic kidney disease in children and adolescents:evaluation,classification and stratification. Pediatrics.111,1416-21.
Huang,Z.,Wen,Q.,Zhou,S.,Yu,X.,2008.Differential chemokine expression in tubular cells in response to urinary proteins from patients with nephrotic syndrome.Cytokine.42,222-33.
Hubner,N., Kreutz,R., Takahashi,S., Ganten,D., Lindpaintner,K., 1995. Altered angiotensinogen amino acid sequence and plasma angiotensin II levels in genetically hypertensive rats. A study of cause and effect. Hypertension,26(2),279-84.
Hurairah, H.,Ferro, A.,2004. The role of the endothelium in the control of vascular function.J Clin Pract.58,173-83.
Universitas Sumatera Utara

Ingelfinger,J.R.,2004. Monogenic and polygenic genetic contributions to hypertension. In: R.J.Portman, J.M.Sorof, J.R.Ingelfinger, eds.Clinical Hypertension and Vascular disease: Pediatric Hypertension.New Jersey: Humana Press Inc.,pp.225-38.
ISKDC.,1978. Nephrotic syndrome in children: prediction of histopathology from clinical and laboratory characteristic at time of diagnostic.Kidney Int.13,159-65.
ISKDC.,1981. The primary nephrotic syndrome in children. Identification of patients with minimal change nephrotic syndrome from initial response to prednisone.J Pediatr.98,561-4.
Ito,K.,Chung,F.,and Adcock,I.M.,2006. Update on glucocorticoid action and resistance.J Allergy Clin Immunol.117,522-43.
Iuchi,T., Akaike,M., Mitsui,T., Ohshima,Y., Shintani,Y., Azuma,H., et al., 2003. Glucocorticoid excess induces superoxide production in vascular endothelial cells and elicits vascular endothelial dysfunction.Circ Res.92,81-7.
Jalanko,H.,2003. Pathogenesis of proteinuria: lesson learned from nephrin and podocin.Pediatr Nephrol.18,487-91.
Jan, M., Markus, J., Bernd, H., Querfeld, U., Dirk, E., Grant, M., et al., 2008. The clinical course of steroid sensitive childhood nephrotic syndrome is associated with a functional IL12B promoter polymorphism.Nephrol Dial Transplant.23,3841-4.
Kaplan,N.M.,2006.Clinical Hypertension.9th
Kim, S., Kim, I., Lee, B., Choi, K., Chung, J., Ihm, C., et al.,2003. Apolipoprotein E polymorphism and clinical course in childhood nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol.18, 230-3.
ed.Taunton:Lippincott Williams & Wilkins
Kleemann,R.,Kapurniotu,A.,Frank,R.W.,Gessner,A.,Mischke,R.,Flieger,O.,et al., 1998. Disulfide analysis reveals a role for macrophage migration inhibitory factor as thiol-protein oxidoreductase.J Mol Biol.280,85-102.
Kleinbaum,D.G and Klein,M.,2002. Statistics for Biology and Health. Logistic Regression: A Self Learning Text. 2nd
Kumagai,H., Onami,T., Iigaya,K., Takimoto,C., Imai,M., Matsuura,T., et al., 2004. Involvement of renal sympathetic nerve in pahogenesis of
ed. New York: Springer Science
Universitas Sumatera Utara

hypertension. In: H.Suzuki,T.Saruta,eds.Kidney and Blood Pressure Regulation.Basel:Karger, vol.143,pp.32-45.
Lan, H.Y.,2008. Role of macrophage migration inhibition factor in kidney disease.Nephron Exp Nephrol.109,e79-83.
Langham,R.G.,Kelly,D.J.,Cox,A.J.,Gow,R.M.,Holthofer,H.,Gilbert,R.,2004.Angiotensin II induces proteinuria and expression of the podocyte slit pore membrane protein, nephrin. Nephrol Dial Transplant.19(1),262-3
Leng, L., Metz, C., Fang, Y., Xu, J., Donnelly, S., Baugh, J.,et al.,2003. MIF signal transduction initiated by binding to CD 74.J Exp Med.197(11), 1467-76.
Leng,L., Wang,W., Roger,T., Merk,M., Wuttke,M., Calandra,T., et al.,2009. Glucocorticoid induced MIF expression by human CEM T cells. Cytokine.48,177-85.
Lewin, B.,2000. Genes VII. 1st
Lewis,C.M., and Knight,J.,2012. Introduction to genetic association studies.Cold Spring Harb Protoc.,doi:10.1101/pdb.top068163.
ed. Massachussets. Oxford University Press
Liao, T., Yang, X., Liu, Y., Shesely, E., Cavasin, M., Kuziel, W., et al., 2008. Role of inflamation in the development of renal damage and dysfunction in angiotensin II induced hypertension.Hypertension.52,256-63.
Lue, H., Kleemann, R., Calandra, T., Roger, T., and Bernhagen,J.,2002. Macrophage migration inhibitory factor (MIF): mechanisms of action and role in disease.Microbes and Infection.4,449-60.
Madiyono, B., Moeslichan, M., Sastroasmoro, S., Budiman, I., and Harry, P., 2002. Perkiraan besar sampel. In: S.Sastroasmoro , S. Ismael, eds. 2002. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. 2nd
Mathieson,P.W.,2003. Immune dysregulation in minimal change nephropathy. Nephrol Dial Transplant.18,26-9.
ed. Jakarta: Sagung Seto,pp.259-86.
McKinney,P.A., Feltbower,R.G., and Brocklebank, J.T.,2001. Time trends and ethnic patterns of childhood nephrotic syndrome in Yorkshire, UK. Pediatr Nephrol.16,1040-4.
Meer,V.D.,Cravedi,P., and Remuzzi,G.,2010. The role of renin angiotensin system inhibition in kidney repair.Fibrogen & Tissue Repair.1-11.
Universitas Sumatera Utara

Mehls,O.,and Hoyer,P.F.,2011. Dosing glucocorticoids in nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol.26,2095-8.
Miller,P.L., Rennke,H.G., and Meyer,T.W.,1991. Glomerular hypertrophy accelerates hypertensive glomerular injury in rats.Am J Physiol. 261,F459-65.
Mitch,W.E.,1997. Influences of diet on the progression of chronic renal insufficiency. In: J.D.Kopple, S.G.Massry,eds. Nutritional Management of Renal Disease. Baltimore:William&Wilkins,pp.317-40.
Morand,E.F,2005. New therapeutic target in inflamatory disease: macrophage migration inhibitory factor.Intern Med J.35,419-26.
Morand,E.F.,Leech,M.,and Bernhagen,J.,2006.MIF: new cytokine link between rheumatoid arthritis and atherosclerosis.Nature Rev Drug Discov.10,1-10.
Murea,M., Register,T.C., Divers, J., Bowden, D.W., Carr, J.J., Hightower, C.R.,et al.,2012. Relationship between serum MCP-1 and subclinical kidney disease.BMC Nephrol.13,148-64.
National Center for Health Statistics in collaboration with the National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion, 2000. Growth charts for the United States: methods and development. Available from: http://www.cdc.gov/growthcharts
Navar, L. and Hamm, L.,1999. The kidney in blood pressure regulation. In: Schrier R.W.,ed. Atlas of disease of the kidney. Denver: University of Colorado School of Medicine, pp.1.1-22.
Neild,G.,2009. What do we know about chronic renal failure in young adults? II. adult outcome of pediatric renal disease.Pediatr Nephrol.24,1921-8.
NHBPEP.,2004. The fourth report on the diagnosis, evaluation, and treatment of high blood pressure in children and adolescent.Pediatrics,114,555-76.
Niaudet,P.,1993. Nephrotic syndrome in children.Cur Opin Pediatr.5,174-9.
Niaudet, P.,1999. Steroid resistant idiopathic nephrotic syndrome.In: T.M.Barrat, E.D.Avner, and W.E.Harmon,eds.1999. Pediatric Nephrology.4th
Niaudet,P.,2004. Steroid resistant idiopathic nephrotic syndrome in children. In: E.D.Avner, W.E.Harmon, P.Niaudet, eds.Pediatric Nephrology. 5
ed.Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins,pp.749-63.
thed.Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins,pp.557-73.
Universitas Sumatera Utara

Oppenheim,J.J., Ruscetti,F.W., and Faltynek,C., 2001. Cytokines.In: D.P.Stites, A.I.Terr,T.G.Parslow,eds. Basic & Clinical Immunology.8th
Otukesh,H., Otukesh,S., Mojahedzadeh,M.,Hoseini,R., Fareshtehnejad, S.M., and Fard, A., 2009. Management and outcome of steroid resistant nephrotic syndrome in children.Iran J Kidney Dis.3,210-7.
ed. Connecticut: Appleton & Lange.pp.105-23.
Pagano,M., and Gauvreau,K.,2000. Principles of Biostatistics. 2nd
Pan,J.H.,Sukhova,G.K.,Yang,J.T.,Wang,B.,Xie,T.,Fu,H.,etal.,2004. Macrophage migration inhibitory factor deficiency impairs atherosclerosis in low-density lipoprotein receptor-deficient mice.Circulation.109,3149-53.
ed. Boston:Duxbury Thomson Learning.
Paradis,P.,Schiffrin,E.L.,2009.Renin angiotensin aldosteron and pathobiology of hypertension.In:W.C.Demello, and E.D.Frohlich,eds.Renin Angiotensin System and Cardiovascular disease.New Jersey:Humana Press,pp.35-57.
Partini, P.T.,2007 Kadar Transforming Growth Factor Beta-1 (TGF-β1) urin pada berbagai keadaan proteinuria dan efek penambahan losartan pada lisinopril terhadap kadar TGF-β1 urin pada anak dengan sindrom nefrotik resisten steroid: suatu uji klinis acak terkontrol. Disertasi. Jakarta, Indonesia: FK UI.
Petrovsky, N., Socha, L., Silva, D., Grossman, A., Metz, C. and Bucala, R., 2003. Macrophage migration inhibitory factor exhibits a pronounced circadian rhytm relevant to its role as a glucocorticoid counter regulator. Immunol.& Cell Biol.81,137-43.
Philo,J.S.,Yang,T.H.,LaBarre M.,2004.Re-examining the oligomerization state of macrophage migration inhibitory factor (MIF) in solution.Biophys Chem.108,77-87.
Pujols,L.,Mullol,J.,Roca-Ferrer,J.,Torrego,A.,Xaubet,A.,Cidlowski,J.A.,Picado, C 2002. Expression of glucocorticoid receptor α and β-isoforms in human cells and tissues.Am J Physiol Cell Physiol.283,C1324-31.
Raij,L.,2001.Hypertension and cardiovascular risk factor: role of the angiotensin II- nitric oxide interaction.Hypertension.37,767-73.
Rajagopalan, S., Kurz, S., Munzel, T., Tarpey, M., Freeman, B., Griendling, K., et al.,1996.Angiotensin II mediated hypertension in the rat increases
Universitas Sumatera Utara

vascular superoxide production via membrane NADH/NADPH oxidase activation.The Journal of Clin Invest.97,1916-23.
Read,A and Donnai,D.,2007. New Clinical Genetics. Oxfordshire:Scion Publishing Ltd.
Reidy, K., and Kaskel, F.,2007. Pathophysiology of focal segmental glomerulosclerosis.Pediatr Nephrol.22,350-4.
Rice, E.K., Tesch, G.H., Cao, Z., Cooper, M.E., Metz, C.N., Bucala, R., et al., 2003. Induction of MIF synthesis and secretion by tubular epithelial cells: a novel action of angiotensin II.Kidney Int.63,1265-75.
Rosengren,E., Bucala,R., Aman,P., Jacobsson.L., Odh,G., et al., 1996. The immunoregulatory mediator macrophage migration inhibitory factor (MIF) catalyzes a tautomerization reaction.Mol Med.2(1),143-9.
Ruiz-Ortega,M., Lorenzo,O., Ruperez,M., Blanco,J., Eqido,J., 2001. Systemic infusion of angiotensin II into normal rats activates nuclear factor kappaB and AP-1 in the kidney: role of AT(1) and AT(2) receptors.Am J Pathol.158(5),1743-56.
Ruster, C. and Wolf, G.,2006. Renin-angiotensin-aldosteron system and progression of renal disease.J Am Soc Nephrol.17,2985-91.
Sanchez-Palacios,M.,Jones,S.Y.,and DiBona,G.F.,1998. Role of angiotensin in renal sympathetic activation in nephrotic syndrome.Am J Physiol Regulatory Integrative Comp Physiol.274,808-13.
Sasaki,S.,Nishihira,J.,Ishibashi,T.,Yamasaki,Y.,Obikane,K.,Echigoya,M.,et al., 2004. Transgene of MIF induces podocyte injury and progressive mesangial sclerosis in the mouse kidney.Kidney Int.65,469-81.
Sasongko, T., Sadewa, A., Kusuma, P., Damanik, M., Lee, M. J., Ayaki, H., et al.,2005. ACE gene polymorphism in children with nephrotic syndrome in Indonesian population.Kobe J Med Sci.51,41-7.
Savin, V. J., Sharma, R., Sharma, M., McCarthy, E. T., Swan, S. K., Ellis, E., et al.,1996.Circulating factor associated with increased glomerular permeability to albumin in recurrent focal segmental glomerulosclerosis. N Engl J Med.334,878-83.
Sayeski, P., and Bernstein, K., 2001. Signal transduction mechanism of the angiotensin II type AT1-receptor: looking beyond the heterotrimeric G protein paradigm.JRAAS.2,4-10.
Universitas Sumatera Utara

Schneider,E. and Dy,M.,1985.Activation of macrophages.Comp Immune Microbial Infect Dis.135-46.
Schwartz, G.J., Haycock, G.B., Edelmann, C.M.Jr., Spitzer,A.,1976. A simple estimate of glomerular filtration rate in children derived from body length and plasma creatinine.Pediatrics.58,259-63.
Shastry,B.S.,2007.SNPs in disease gene mapping, medicinal drug development and evolution.J Hum Genet.52,871-80.
Stachowski, J.,Zanker, C.,Runowski, D.,Zaniew, M.,Peszko, A., and Medynska, A.,2000.Resistance to therapy in primary nephrotic syndrome: effect of MDR gene activity.Pol Merkur Lekarski.8,218-21.
Stenvinkel, P.,Heimburger, O.,Paultre, F.,Diczfalusy, U.,Wang, T.,Berglund, L.,et al.,1999. Strong association between malnutrition, inflamation, and atherosclerosis in chronic renal failure.Kidney Int.55,1899-911.
Stoppe,C.,Bernhagen,J.and Rex,S.,2013.Macrophage migration inhibitory factor in critical illness:Dr.Jekyll and Mr.Hyde.In: J.L.Vincent,ed.Annual Update in Intensive Care and Emergency Medicine.Berlin:Springer-Verlag Heidelberg.pp.153-61.
Stosic, S.G.,Stojanovic, I. and Nicoletti, F.,2009.MIF in autoimmunity and novel therapeutic approaches.Autoimmunity Rev.8,244-9.
Subowo,S.,2009. Imunobiologi. 2nd
Sun, C., Li, H., Leng, L., Raizada, M. K., Bucala, R., and Sumners, C., 2004. Macrophage migration inhibitory factor: an intracellular inhibitor of angiotensin II-induced increases in neuronal activity.J Neurosci. 24(44),9944-52.
ed. Jakarta: Sagung Seto
Taal, M.W.,and Brenner,B.M.,2000.Renoprotective benefits of RAS inhibition: from ACEI to angiotensin II antagonist.Kidney Int.57,1803-17.
Taal,M.W., Lucyckx,V.A., and Brenner,B.M., 2003.Adaptation to nephron loss. In:B.M.Brenner, F.C.Rector, eds. Brenner & Rector’s The Kidney.7th
Takase,O.,Hirahashi,J.,Takayanagi,A.,Chikaraishi,A.,Marumo,T.,Ozawa,Y.,et al.,2003. Gene transfer of truncated IkappaB prevents tubulointerstitisial injury.Kidney Int.63,501-13.
ed. Philadelphia:WB Saunders,pp.1955-83.
Universitas Sumatera Utara

Takenaka,T.,Hayashi,K.,and Ikenaga,H., 2004. Blood pressure regulation and renal microcirculation. In: H.Suzuki, T.Saruta, eds.Kidney and Blood Pressure Regulation.Basel:Karger,vol.143,pp.46-64.
Textor, S.C.,1999. Renal parenchymal disease and hypertension. In: Schrier R.W.,ed. Atlas of disease of the kidney. Denver: University of Colorado School of Medicine,pp.2.1-15.
Tharaux, P.,Chatziantoniou, C.,Fakhouri, F.,and Dussaule, J.,2000. Angiotensin II activates collagen I gene through a mechanism involving the MAP/ER kinase pathway.Hypertension.36,330-6.
The ESCAPE Trial Group, 2009. Strict blood pressure control and progression of renal failure in children.N Engl J Med.361(17),1639-50.
Towers,R.,Naftali,T.,Gabay,G.,Carlebach,M., Klein,A. and Novis,R., 2005. High levels of glucocorticoid receptors in patients with active Chrohn's disease may predict steroid resistance.Clin and Experiment Imunol. 141,357-62.
Tripathi, G.,Jafar, T.,Mahdi, A., Awasthi, S., Sharma, R., Kumar, A., et al., 2008. Does cytokine gene polymorphism affect steroid responses in idiopathic nephrotic syndrome?Indian J Med Sci.62,383-91.
Tsikouris, J., and Cox, C., 2003. Pharmacologic blockade of the renin angiotensin system: vascular benefits beyond commonly understood pharmacologic action. Pharmacotherapy.23(9),19-22.
UKK, Nefrologi. 2008. Konsensus tata laksana sindrom nefrotik idiopatik pada anak.Jakarta:Badan Penerbit IDAI.
Undang-undang RI.,2002. Undang-undang Republik Indonesia No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Online. Available from: http://www.mastel.or.id/files
Undang-undang RI.,2009. Undang-undang Republik Indonesia No 36 tahun 2009 tentang kesehatan. Online. Available from:
[Accessed 1 Juni 2011]
http://www.digilib.ampl.net
Van Kats,J., Schalekamp,M., Verdouw,P., Duncker, D., and Jan Danser, A.,2001. Intrarenal angiotensin II: interstitial and cellular levels and site of production.Kidney Int. 60,2311-7.
[Accessed 1 Juni 2011]
van Rossum, E.F., and Lamberts, S.W., 2006.Glucocorticoid resistance syndrome a diagnostic and therapeutic approach.Best Pract Res Clin Endocrinol & Metab.20,611-26.
Universitas Sumatera Utara

Vianna,H.R., Soares,C.M.B., Silviera,K.D., Elmiro,G.S., Mendes,P.M., et al., 2012. Cytokine in chronic kidney disease: potential link of MCP-1 and dyslipidemia in glomerular diseases. Pediatr Nephrol. DOI 10.1007/s00467-012-2363-x
Victor,X.V.,2005. Angiotensin II mediated regulation of the human angiotensin II type 1 receptor gene.Disertasi. Brigham Young University, England.
Vivarelli, M., D'Urbano, L.E., Stringini, G., Ghiggeri, G.M., and Caridi, G., 2008. Association of macrophage migration inhibitory factor -173C allele with childhood nephrotic syndrome.Pediatr Nephrol.23,743-8.
Volpe,M.,2008. Microalbuminuria screening in patients with hypertension: recommendations for clinical practice.Int J Clin Pract.62(1),97-108
Vogt, A., and Avner, E.,2007. Nephrotic syndrome. In Behrman, R.M., Kliegman, R.M. & Jenson H.B. (Eds.).Nelson Textbook of Pediatrics.18th
Vollard H., Pradelles Ph., Ronco P., Azizi M., Simon D., Creminon C., Grassi J.,1999. A solid-phase immobilized epitope immunoassay (SPIE-IA) permitting very sensitive and specific measurement of angiotensin II in plasma. J Immunol Methods.228,37-47.
ed. Philadelphia: WB Saunders, pp.2190-5.
Walach,H.,Falkenberg,T.,Fonnebo,V.,Lewith,G.,Jonas,W.B.,2006. Circular instead of hierarchical: methodological principles for the evaluation of complex interventions.BMC Medical Research Method.6,29.
Wei, C.L., Cheung, W., Chew-Kiat, Arty, N., Chong, S.S., Lee, B.W., et al.,2005. Interleukin 13 genetic polymorphisms in Singapore Chinese children correlate with long term outcome of minimal-change disease. Nephrol Dial Tansplant.20,728-34.
Wikstrom, A.C.,2003. Mechanism of steroid action and resistance in inflamation. Glucocorticoid action and novel mechanism of steroid resistance: role of glucocorticoid receptor-interacting proteins for glucocorticoid responsiveness. J Endocrinol.178,331-7.
Wila Wirya,I.,1992. Penelitian beberapa aspek klinis dan patologi anatomis sindrom nefrotik primer pada anak di Indonesia. Disertasi. Jakarta, Indonesia:FK UI.
Wolf,G.,2000. Angiotensin II as a mediator of tubulointerstitial injury.Nephrol Dial Transplant.15,61-3.
Universitas Sumatera Utara

Wolf,G., Butzman,U., Wenzel,U.O., 2003. The renin angiotensin system and progression of renal disease: from hemodynamics to cell biology. Nephron Physiol.93,3-13.
Yan,K., Kudo,A., Hirano,H., Watanabe,T., Tasaka,T., Kataoka,S., et al.,1999. Subcellular localization of glucocorticoid receptor protein in the human kidney glomerulus.Kidney Int.56,65-73.
Yang,N., Nikolic-Paterson,D.J., Ng,Y., Mu,W., Metz,C., Bacher,M.,et al.,1998. Reversal of established rat crescentic glomerulonephritis by blockade of macrophage migration inhibitory factor (MIF):potential role of MIF in regulating glucocorticoid production.Mol Med.4,413-24.
Yi, Z.W., and He, Q.N., 2006. Strengthening clinical research in chilhood steroid-resistant nephrotic syndrome.World J Pediatr.2,165-8.
Zandi-Nejad,K.,Eddy,A.A.,Glassock,R.J.,Brenner,B.M.,2004. Why is proteinuria an ominous biomarker of progressive kidney disease?Kidney Int. 66(92),S76-89.
Zhao,H.Y.,Sun,R.P.,Dong,J.H.,Zhen,J.H.,2005. Relations of nuclear factor-kappa B activity in the kidney of children with primary nephrotic syndrome to clinical manifestations, pathological types and urinary protein excretion.Chin Med J.118(10),54-6.
Zeisber,M., Maeshima,Y., Mosterman,B., Kalluri,R., 2002. Renal fibrosis. Extracellular matrix microenvironment regulates migratory behavior of activated tubular epithelial cell.Am J Pathol.160,2001-8.
Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN 1. Tabel Tekanan Darah untuk Anak Laki-laki
Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN 2. Tabel Tekanan Darah untuk Anak Perempuan
Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN 3. Lembar Penjelasan Subjek/Orang Tua
Yth Bapak/Ibu
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran USU dan divisi
Nefrologi Anak membuat suatu kerja sama tentang anak yang menderita
Sindrom Nefrotik dan anak yang sehat. Sindrom nefrotik adalah kumpulan
gejala yang terdiri atas bengkak (sembab) seluruh tubuh disertai dengan zat
putih telur dalam buang air kecil anak yaitu lebih dari +2 (>100 mg/dL) dan
kadar zat albumin dalam darah rendah (< 2,5 g /dL). Pemberian obat steroid
(golongan prednison) pada kasus sindrom nefrotik pada anak masih menjadi
terapi utama dalam mengatasi penyakit ini selama maksimal 4 minggu. Namun
dalam perjalanannya anak bisa tidak respon dengan obat prednison. Respon
terhadap prednison diamati dari jumlah albumin (zat putih telur) yang keluar
melalui buang air kecil pagi. Hal ini sering dihubungkan dengan faktor genetik
dan faktor lain seperti tekanan darah tinggi.
Pada anak yang sehat mengapa perlu juga diperiksa? Karena anak yang
sehat juga berisiko menjadi resisten terhadap pengobatan steroid (kalau
diperlukan misal apabila menderita alergi atau penyakit lain) sehingga sangat
bermanfaat menentukannya sejak dini.
Kerja sama ini berjudul POLIMORFISME GEN ALEL -173 C
MACROPHAGE MIGRATION INHIBITORY FACTOR DENGAN KADAR
ANGIOTENSIN II PLASMA DAN MIF SERUM SEBAGAI FAKTOR RISIKO
SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID dan bertujuan mengetahui
hubungan polimorfisme gen MIF dengan kadar MIF dan angiotensin II pada
penderita sindrom nefrotik ataupun anak sehat.
Universitas Sumatera Utara

Pengambilan darah sebanyak 5 ml menimbulkan nyeri ringan dan relatif
tidak menimbulkan bahaya. Begitupun, kalau timbul nyeri yang berlebihan,
Bapak/Ibu dapat menghubungi peneliti. Pengambilan buang air kecil dilakukan
pada buang air kecil pertama/kedua pagi hari.
Partisipasi Bapak/Ibu/Adik bersifat suka rela dan tanpa paksaan. Setiap
data yang ada akan dirahasiakan dan digunakan untuk kepentingan
Bapak/Ibu/Adik. Untuk penelitian ini Bapak/Ibu/Adik tidak akan dikenakan biaya
apa pun.
Demikian penjelasan ini, apabila Bapak/Ibu masih belum
mengerti/mempunyai keluhan dapat menghubungi dr.Oke Rina Ramayani
dengan alamat Departemen Ilmu Kesehatan Anak Divisi Nefrologi RS H. Adam
Malik Jalan Bunga Lau No1 Medan, telepon 061-8361721 atau HP
08126553814.
Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN 4. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan Saya yang namanya tersebut di bawah ini :
Nama :
Umur :
Jenis kelamin :
Alamat :
bertindak sebagai orang tua/ wali dari anak:
Nama :
Umur :
Jenis kelamin :
Setelah mendapatkan keterangan dan penjelasan secara lengkap, maka
dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan saya menandatangani dan
menyatakan bersedia berpartisipasi pada penelitian ini. Bila saya ingin
mendapatkan penjelasan lebih lanjut, saya bisa mendapatkannya dari
dokter peneliti.
Medan, 2011
Dokter Peserta Penelitian
_________________________
Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN 5 Status Pemeriksaan
Nomor:
RS/No RM:
Tanggal:
1. Data pribadi
a. Nama :
b. Umur :
c. Suku/ras :
d. Alamat :
e. Jenis kelamin :
f. Berat badan (kg)/tinggi badan (cm):
g. Umur mulai menderita SN:
h. Diagnosis: a. SNRS: primer atau sekunder
b. SNSS
c. kontrol
i. Jumlah serangan: a. pertama
b. kambuh infrekuen
c. kambuh frekuen
j. Riwayat penggunaan obat :
2. Pemeriksaan umum
a. Tanda vital :
Tekanan darah sistol dan diastole: MAP :
Hipertensi / tidak
b. Fisik diagnostik :
3. Pemeriksaan darah : ureum creatninin LFG
4. Pemeriksaan urinalisis :
5. Pemeriksaan ELISA :
6. Pemeriksaan EIA :
7. Pemeriksaan PCR :
Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN 6. Persetujuan Komite Etik
Lampiran 7. Prosedur operasional standar polimorfisme gen -173 MIF
Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN 7. Prosedur Operasional Standar Pemeriksaan Polimorfisme -173 G Ke C Gen MIF
Tahap Prosedur operasional standar Isolasi DNA
1. Ambil darah 0.5 cc ke dalam tabung EDTA, disentrifugasi 3000 rpm 10-15 menit
2. Plasma dipisahkan dan diambil lekosit sebanyak 300 µL pada tabung eppendorf 1,5 ml lalu ditambah EL buffer 900 µL
3. Diinkubasi 10 menit lalu disentrifugasi 13.000 rpm selama 3 menit 4. Supernatan dibuang, diulangi sampai 5 kali hingga warna supernatan
jernih dan endapan sudah berwarna putih. Endapan divorteks 20 detik 5. Tambahkan 300 µL nuclei lysis solution dan dibolak balik 6. Tambahkan protein precipitation 100 µL, vorteks selama 20 detik 7. Sentrifugasi 13.000 rpm 3 menit lalu supernatant dipindah ke tabung
1,5 steril yang telah berisi 300 µL isopropanol, divorteks 3 detik 8. Sentrifugasi 13.000 rpm 1 menit hingga tampak pellet putih, lalu
supernatan dibuang, ditambah 70% etanol 300 µL, disentrifugasi 13.000 rpm 1 menit
9. Aspirasi etanol menggunakan pipet dan keringkan hingga 1 jam. 10. Tambahkan 100 µL DNA rehydration solution dan disimpan pada suhu 4
°C selama 1 malam. Beri identitas. Esoknya disimpan pada -20 °C. PCR 1. Pengenceran Primer MIF dilakukan dengan MIF-F ditambah 463 µL
buffer TE, juga MIF-R ditambah 430 µL buffer TE, lalu 20 µL masing masing ditambahkan 160 µL buffer TE.
2. Kedalam tabung PCR 0.2 µL diisi dengan: master mix 15 µL, ddH2O 11 µL, primer pengenceran 2 µL, isolat DNA 2 µL dan beri identitas. Sentrifugasi 13.000 rpm 3 menit
3. Kemudian dimasukkan ke alat thermocycle dengan kondisi suhu : - Hot start 0 menit 1 cycle 95 °C - Denaturasi 45 detik 95 °C - Annealing 45 detik 35 cycle 60 °C - Extension 45 detik 72 °C - Extension 7 menit 72 °C - Soaking 4 °C
4. Agar 2,5% dibuat dengan mencampur agarose 2,5 gram; TBE 0.5x,100 cc,dipanaskan,ditambah ETBR 2 µL. Agar dibiarkan di suhu kamar 2 jam
5. Agar dipindahkan ke alat elfo dan dibasahi dengan TBE 0,5 x hingga seluruhnya terbenam. Produk PCR dan marker diisi ke well 2 µL
6. Setelah itu dilakukan elektroforesis 100 mV selama 30 menit 7. Hasil produk PCR dilihat di bawah kamera ultra violet di posisi 366 bp.
Enzim restriksi
1. Restriksi dilakukan dengan mengisikan ke dalam tabung eppendorf 0.5 uL masing masing dd H2O 3,5 uL; Alu I 0,5 uL ; Buffer Tango 10x 1 uL; PCR product 5 uL. Lalu diinkubasi pada suhu 37 °C selama 16 jam (semalaman)
2. Keesokan harinya dibuat agar. Hasil restriksi dan marker diisikan ke well sebanyak 2 uL. Setelah itu dielektroforesis 100 mV selama 30 menit.
3. Dilihat hasil pita GC, CC dan GG di bawah kamera ultra violet Keterangan
EL:erytrocyte lysis
:
MIF-F:MIF forward MIF-R: MIF reverse TBE: Tris Boric EDTA
TE; Tris EDTA
ETBR: ethydium bromide
Alu I: Aluminium I GC: Guanin cytosin GG: Guanin guanin CC:cytosin cytosin
Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN 8. Prosedur Operasional Standar Pemeriksaan Angiotensin II Plasma
Tahap Prosedur operasional standar Penanganan sampel
1. Ambil darah 2 cc ke dalam tabung EDTA yang telah didinginkan 2-8°C, bolak balik hingga homogen
2. Sampel disentrifugasi 3500 rpm 15 menit pada suhu 4°C 3. Sampel dipisahkan dari serum dan masukkan plasma ke dalam 2
sampel cup @ 1 cc plasma (beri identitas) 4. Segera dibekukan dalam -20 °C, menunggu sampel lain
Protokol ekstraksi
1. Sampel plasma 500 µL ditambahkan 500 µL TFA 1%, disentrifugasi 4 °C 20 menit . Supernatan dipindah hati hati.
2. Column dipersiapkan: mencuci dengan methanol 0.5 ml selanjutnya 1 ml TFA 1% sebanyak 3 kali pada alat vakum
3. Sampel sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam column dan biarkan melewatinya secara lambat (± 2 menit) lalu column dicuci 2 kali dengan 1 ml TFA 1%
4. Letakkan column ke tabung polypropylene 15 ml yang sudah dilabel lalu ditambahkan 1 ml 60% ACN, 1% TFA dan dispin 300-500 rpm hingga terelusi .
5. Tabung ditutup dengan parafilm, dilyophilisasi semalaman. 6. Rekonstitusi pellet dengan 250 µL assay buffer
Penanganan reagen
1. Dilusi 2.5 ml wash buffer konsentrat dengan 475 ml air destilata 2. Satu vial angiotensin II standar dicampur dengan 1 ml assay
buffer. Pengenceran standar konsentrasi angiotensin II dilakukan pada 6 tabung hingga menjadi 6 standar yaitu 10,0001000 250 62,515.63,9 pg/ml serta dilabel.
3. Streptavidin HRP konsentrat dilarutkan ke 250 µL air dan divorteks lalu diencerkan 1:1000 dalam assay buffer.
EIA Angiotensin II
1. Microplate dibuka dari kemasan 2. Assay buffer sebanyak 75 µL dipipet ke NSB well, dan
sebanyak 50 µL ke B0 (0 ng/mL) well 3. Standar 1 hingga 6 dipipet 50 µL ke well, juga sampel. 4. Angiotensin II antibody dipipet 25 µL ke setiap well kecuali NSB
dan B0 well 5. Microplate ditutup strip perekat dan diinkubasi 1 jam pada suhu
kamar (500 rpm). 6. Angiotensin II conjugate dipipet sebanyak 25 µL ke setiap well
kecuali B0 well, lalu diulangi langkah 5 7. Setiap well diaspirasi dan dicuci dengan wash buffer (400 µL).
Prosedur pencucian diulangi hingga 4 kali lalu dikeringkan. 8. Streptavidin HRP conjugate dipipet sebanyak 100 µL ke setiap
well kecuali B0, lalu langkah 8 dan 9 diulangi. 9. Substrate solution 100 µL ditambahkan ke well lalu diinkubasi
selama 30 menit pada suhu kamar dan dijauhkan dari cahaya 10. Stop solution 100 µL ditambahkan ke setiap well 11. Densitas optik dibaca pada panjang gelombang 450 nm 12. Kurva standar dibuat dengan memplot absorbans rata-rata
setiap standar pada aksis y dan konsentrasi pada aksis x. Keterangan
ACN : acetonide
:
TFA : trifloro acetic acid
NSB : non specific binding
HRP : horse reddish peroxidase
EDTA : ethylene diamine tetraacetate
Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN 9. Prosedur Operasional Standar Pemeriksaan MIF Serum
Tahap Prosedur operasional standar Penanganan sampel
1. Ambil darah 2 cc ke dalam tabung SST, bolak balik 5-10 kali hingga homogen
2. Diamkan selama 30-45 menit hingga darah beku 3. Segera disentrifugasi 3000 rpm 15 menit 4. Segera dipisahkan serum dan masukkan ke dalam 2 sampel cup @
0,3 cc serum (beri identitas) 5. Segera dibekukan dalam -20 °C, menunggu sampel lain 6. Pada waktu pemeriksaan, sampel diencerkan 10 x yaitu 50 µL sampel
ditambah 450 µL Calibrator Diluent RD5-20 (1x) Penanganan reagen
1. Semua reagen diletakkan pada suhu kamar sebelum digunakan 2. Calibrator Diluent RD5-20 pekat 20 mL diencerkan dengan 80
mL air destilata sehingga menjadi 100 mL Calibrator Diluent RD5-20 (1x)
3. Wash buffer pekat 20 mL diencerkan dengan air destilata sehingga menjadi 500 mL
4. Color reagen A dan B dicampur dengan volume yang sama dalam 15 menit sebelum digunakan da dijauhkan dari cahaya. Campuran substrate solution ini dibutuhkan 200 µL pada setiap well
5. MIF standar ditambahkan 1 mL air destilata sehingga menjadi larutan 100 ng/mL. Larutan dicampur merata dengan shaker, minimal 15 menit sebelum digunakan.
6. Pipet 900 µL Calibrator Diluent RD5-20 (1x) dan 100 µL MIF standar ke dalam tabung sehingga menjadi 10 ng/mL. Pipet 500 µL Calibrator Diluent RD5-20 (1x) ke dalam tabung lainnya sehingga menghasilkan pengenceran serial (5 2,5 1,25 0,625 0,3130,156 ng/mL).Campurkan setiap tabung secara merata sebelum perpindahan ke tabung lainnya. Tabung 10 ng/mL digunakan sebagai standar tinggi. Calibrator Diluent RD5-20 (1x) digunakan sebagai standar nol.
Sandwich ELISA
1. Microplate dibuka dari kemasan 2. Assay Diluent RD1-53 sebanyak 100 µL ditambahkan ke well 3. Standar, kontrol dan sampel sebanyak 50 µL ditambahkan ke
well lalu ditutup strip perekat. Microplate diinkubasi 2 jam di suhu kamar pada alat shaker.
4. Setiap well diaspirasi dan dicuci dengan wash buffer (400 µL). Prosedur pencucian diulangi hingga 4 kali lalu dikeringkan.
5. MIF conjugate 200 µL ditambahkan ke well lalu ditutup dengan strip perekat. Microplate diinkubasi 2 jam di suhu kamar pada alat shaker.
6. Pencucian diulangi seperti langkah 4. 7. Substrate solution 200 µL ditambahkan ke well lalu diinkubasi
selama 30 menit pada suhu kamar dan dijauhkan dari cahaya 8. Stop solution 50 µL ditambahkan ke setiap well sehingga terjadi
perubahan warna dari biru menjadi kuning. 9. Densitas optik setiap well ditentukan dalam 30 menit pada
panjang gelombang 450 nm 10. Kurva standar dibuat dengan memplot absorbans rata-rata
setiap standar pada aksis y dan konsentrasi pada aksis x.
Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN 10. Daftar Riwayat Hidup
Nama Oke Rina Ramayani Tempat/tanggal lahir Medan, 1 Februari 1974 Alamat rumah Jl. Amaliun No 123 Medan NIP 19740201 200501 2 001 Putra / putri 1. Rasyid Ridha 2. Putri Ramayuli Riwayat pendidikan SD Bhayangkari Medan, tamat tahun 1985
SMP Negeri 1 Medan. tamat tahun 1988 SMA Negeri 1 Medan, tamat tahun 1991 Dokter umum FK USU, tamat tahun 1997 Dokter spesialis anak FK USU, tamat tahun 2005 CREED program 2007 Pendidikan tambahan Nefrologi Anak FK UI-RSCM
Riwayat pekerjaan Dokter Puskesmas Tg Morawa Deli Serdang 1998-2000 Dokter umum RS Malahayati, Kodya Medan 2000-2001 Dokter tim bencana RS Zainul Abidin Banda Aceh 2004 Dokter anak RS H.Adam Malik Medan 2005 - sekarang
Riwayat publikasi penelitian
1. Factors related to miss opportunities for immunization at urban and suburban primary health centres in Medan. Pediatr Indones.2007;47:21-26.(Author)
2. The efficacy of trimethoprim-sulfamethoxazole treatment in children with acute bloody diarrhea. Pediatr Indones. 2007;47:17-20.(Co-author)
3. Effect of classical music on reducing blood pressure in children.Pediatr Indones.2008;48:142-6.(Co author)
4. Comparison of diagnostic test for detecting proteinuria. Pediatr Indones.2011;51(1):17-21.(Co author)
5. Hubungan mikroalbuminuria dan latihan fisik terhadap tekanan darah anak obes. MKN.2011;44:12-5.(Author)
6. Luaran pasien anak dengan gagal ginjal terminal. Sari Pediatri 2013;14(5):277-82.(Author)
7. Frequency of disposable diaper changing and urinary tractinfection.Pediatr Indones.2013;53:70-5.(Co author)
8. Urine Gram stain and culture to diagnose urinary tract infection. Pediatr Indones.2013;53:121-4.(Co author)
9. Increased serum macrophage migration inhibitory factor concentrations as potential risk factors in steroid resistant nephrotic syndrome. JNT.doi: 10.4172/2161-0959.1000143 (Author)
Riwayat publikasi non penelitian
1. Sindrom nefrotik congenital (PIT IKA II-Batam Juli 2004) 2. Hematuria (dalam Buku Ragam Pediatrik Praktis 50
tahun Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU,2009) 3. Penggunaan vitamin E pada sindrom nefrotik.Ibnu Sina
2010;5(2),11-3 4. Childhood hyperuricemia as risk factor of hypertension in
adulthood. Indones Biomed J.2012;4(1):12-6. 5. Renal manifestations in tuberous sclerosis patients: two
case reports. Pediatr Indones.2013;53:56-8.
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara