laporan penelitian makna pura subak bagi … · pengelolaan pura subak tegal yang menghabiskan...
TRANSCRIPT
LAPORAN PENELITIAN
MAKNA PURA SUBAK BAGI MASYARAKATNONPETANI DI PERUMAHAN BUMI DALUNG
PERMAI, KUTA UTARA
TIM PENELITI :
Dr. I Nyoman Dhana, MA.
Dibiayai dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Universitas UdayanaNomor : DIPA-023.04.2.415253/2014 sesuai SK Nomor : 2767/UN
14.4.5/KU/2014 Tanggal 11 Juni 2014
PROGRAM MAGISTER KAJIAN BUDAYAPROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena kami
sangat yakin bahwa berkat rakhmatNya-lah pelaksanaan dan penyusunan laporan
penelitian ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Selain itu, kami juga
mendapat bantuan dari Ketua Program Studi Magister Kajian Budaya Universitas
Udayana beserta staf pegawainya yang telah memberikan kesempatan, dana, dan
partisipasinya untuk pelaksanaan kegiatan penelitian ini. Oleh karena itu, melalui
kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada mereka.
Kami menyadari bahwa hasil penelitian ini masih banyak kekurangannya.
Karenanya kami mengharapkan masukan untuk menyempurnakannya. Walaupun
demikian, mudah-mudahan hasil penelitian ini memberikan manfaat sesuai
dengan harapan semua pihak terkait.
Denpasar, Desember 2014
Ketua Pelaksana Kegiatan
DAFTAR ISI
JUDUL………………………………………………………………..KATA PENGANTAR ……….......………………………………...DAFTAR ISI ………………………………………………………..
I PENDAHULUAN …………………….……………………………1.1 atar Belakang ..................………..……………………………..1.2 Rumusan Masalah………..…………………………………….1.3 Tujuan .........................................................................................1.4 Manfaat........................................................................................1.5 Kerangka Teoretis.......................................................................1.6 Metode Penelitian........................................................................
II GAMBARAN UMUM KAWASAN WARISAN BUDAYADUNIA JATILUWIH…………………………………….............
2.1 Lokasi dan Lingkungan Alam ………………….......................2.2 Penduduk dan Angka demografi .......………………………..2.3 Organisasi Sosial.........................................................................2.4 Sistem Budaya.............................................................................
III RENCANA AKSI DALAM PENGELOLAAN KAWASANWBD JATILUWIH...........................………………………………...3.1 Rencana Aksi dalam Konteks Parhyangan.................................3.2 Rencana Aksi dalam Konteks Pawongan....................................3.3 Rencana Aksi dalam Konteks Palemahan...................................IV SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………...
5.1 Simpulan………………………………………………………...5.2 Saran……………………………………………………………
Daftar Pustaka……………………………………………………….
Halamaniiiiii
11445
1133
1616222224
29313436393939
41
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penelitian ini dilatari oleh adanya fakta yang unik terkait peran masyarakat
nonpetani dalam pengelolaan Pura Subak Tegal di kawasan Perumahan Bumi
Dalung Permai sebagaimana ditunjukkan dalam hasil penelitian Dhana (2010).
Secara lebih lengkap fakta tersebut menyatakan bahwa di kawasan Perumahan
Bumi Dalung Permai ada pura yang dimiliki oleh kelompok sosial sosial petani,
yakni Subak Tegal. Pura tersebut dikelola tidak hanya oleh petani anggota Subak
Tegal, melainkan juga oleh masyarakat yang tidak menjadi petani dan dengan
demikian tidak pula menjadi anggota Subak Tegal. Masyarakat nonpetani
tersebut adalah umat Hindu yang berasal dari berbagai daerah di Bali; bermukim
di kawasan Perumahan Bumi Dalung Permai, Kuta Utara, Badung, Bali; bekerja
di luar sektor pertanian seperti pegawai negeri sipil, karyawan swasta, dan lain-
lain; dan terhimpun dalam satu kelompok sosial sosial yang bernama Lokantara
Parisuda Hindu Dharma Bumi Dalung Permai. Peran mereka cukup dominan, baik
dalam menggagas maupun melaksanakan program dan kegiatan terkait dengan
pengelolaan Pura Subak Tegal yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan
biaya sehingga wujud fisik dan aktivitas keagamaan di pura tersebut mengalami
perubahan yang cukup signifikan.
Fakta terurai di atas sangatlah unik dan sekaligus menarik untuk dipahami,
mengingat pura subak pada umumnya dikelola hanya oleh para petani anggota
subak yang bersangkutan. Selain itu, betapa unik dan menariknya fakta tersebut
karena justru masyarakat nonpetani itu mau dan mampu berperan aktif dalam
pengelolaan Pura Subak Tegal. Tampaknya keunikan fakta ini dapat dipahami dan
dijelaskan dengan mengacu pendekatan fenomenologis dalam arti sebagaimana
dikemukakan oleh Mulyana (2006 : 20), “pandangan ilmu sosial yang
menempatkan kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus untuk
memahami tindakan sosial”. Dengan mengacu pandangan ini dapat diduga bahwa
ada makna subjektif tersendiri di balik peran aktif masyarakat nonpetani dalam
pengelolaan pura subak sebagaimana dipaparkan di atas. Berdasarkan dugaan
inilah pada judul penelitian ini tertera kalimat “Makna Pura Subak bagi
Masyarakat Nonpetani”.
Judul penelitian serta dugaan yang melandasinya sebagaimana
dipaparkan di atas tampak relevan dengan pandangan yang ada dalam ilmu kajian
budaya (cultural studies). Dalam konteks ini, Barker (2014 : 167) menegaskan
bahwa “ide makna adalah salah satu ide paling penting dalam kajian budaya”.
Penegasan Barker ini terlihat berkontekstual dengan penegasannya yang lain,
bahwa “kajian budaya mempelajari praktik-praktik pemaknaan” (Barker (2005 :
45). Keterkaitan antara dua penegasannya ini secara implisit menunjukkan bahwa
praktik pemaknaan merupakan proses berpikir reflektif yang berkontekstual
dengan makna yang merupakan produk yang dihasilkan melalui proses berpikir
refkeltif tersebut. Dengan demikian, pada dasarnya judul penelitian ini beserta
dugaan yang melandasinya menunjukkan perspektif ilmu kajian budaya.
Mempelajari atau menelaah praktik pemaknaan sebagai proses beserta
makna-makna sebagai produk yang dihasilkan melalui proses tersebut merupakan
langkah yang relevan dan penting dalam melaksanakan penelitian yang
menggunakan perspektif kajian budaya. Dengan mencermati praktik pemaknaan
dan makna yang dihasilkannya itulah kiranya tindakan orang yang diposisikan
sebagai subjek penelitian dapat dipahami. Dikatakan demikian, karena
sebagaimana dikemukakan oleh Barker (2014 : 168), “makna memandu tindakan
kita atau kita gunakan sebagai penjelasan dan pembenaran atas tindakan kita
tersebut”. Oleh karena itu, yang hendak ditelaah dalam penelitian ini adalah
makna pura subak yang tidak dapat dipisahkan dengan praktik pemaknaan yang
dilakukan oleh masyarakat nonpetani terhadap pura subak.
1.2 Rumusan Masalah
Mengingat bahwa makna dapat berfungsi sebagai pemandu atau dapat
dipergunakan sebagai penjelasan dan pembenaran atas tindakan, maka masalah
penelitian yang kiranya relevan dapat diformulasikan dalam bentuk pertanyaan
yang memungkinkan untuk mengeksplorasi penjelasan dan pembenaran atau alas
an atas tindakan. Sejalan dengan pemikiran ini, maka formulasi pertanyaan yang
dianggap relevan khusus dalam penelitian ini adalah pertanyaan yang
memungkinkan untuk memperoleh informasi tentang penjelasan dan pembenaran
atau alasan atas tindakan yang dilakukan oleh masyarakat nonpetani dari
kelompok sosial Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai dalam
pengelolaan Pura Subak Tegal. Dengan demikian, rumusan masalah atau
pertanyaan penelitian ini adalah : Mengapa masyarakat nonpetani dari kelompok
sosial Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai berperan aktif
dalam pengelolaan pura Subak Tegal?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah/pertanyaan penelitian di atas, tujuan
penelitian ini adalah memahami makna Pura Subak Tegal bagi masyarakat
nonpetani dari kelompok sosial Lokantara Parisudha hindu Dharma Bumi Dalung
Permai yang tercermin pada penjelasan dan pembenaran atau alasan atas tindakan
mereka dalam pengelolaan Pura Subak Tegal.
1.4 Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian sebagaimana disebutkan di atas, hasil
penelitian ini diharapkan bermanfaat, baik secara teoretis maupun praktis. Secara
teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi
pengembangan Ilmu Kajian Budaya di Universitas Udayana. Secara praktis, hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terutama bagi para pihak
sebagai berikut.
1) Bagi pihak Subak Tegal, yaitu untuk merenungkan kembali apakah makna
Pura Subak Tegal yang dijadikan pembenaran atau alasan atas peran
masyarakat nonpetani tetap dapat diterima dalam konteks kelangsungan
hidup subak tersebut.
2) Bagi masyarakat nonpetani di Perumahan Bumi Dalung Permai, yaitu
untuk merenungkan kembali apakah peran mereka dalam pengelolaan Pura
Subak Tegal yang mengacu kepada makna yang mereka berikan kepada
pura tersebut selama ini masih tetap relevan dalam konteks kehidupan
mereka.
1.5 Kerangka Teoretis : Praktik Pemaknaan, Makna, dan Tindakan Sosial
Pengertian istilah kerangka teoretis dalam hal ini perlu ditegaskan terlebih
dahulu agar dapat disusun dan dipergunakan sebagaimana mestinya dalam
penelitian ini. Menurut Irawan (2006 : 39), kerangka teori diperlukan dalam
penelitian sebagai titik berangkat dan landasan bagi peneliti dalam menganalisis
dan memahami realitas yang ditelitinya. Sehubungan dengan hal ini, isi kerangka
teori adalah rangkaian teori-teori yang relevan dan dipilih oleh peneliti sendiri
berdasarkan argumentasi yang meyakinkan untuk dipakai sebagai alat bantu
dalam mendapatkan jawaban masalah yang dikaji (Ariasumantri, 1984 : 316;
Irawan, 2006 : 39), atau teori-teori yang relevan untuk menganalisis objek (Kutha
Ratna, 2010 : 218). Berdasarkan teori-teori pilihan itulah kerangka teoretis yang
meyakinkan disusun dengan alur-alur pikiran yang logis hingga membuahkan
kesimpulan berupa hipotesis (Ariasumantri, 1984 : 322; Mely G Tan, 1989 : 21),
dan dalam konteks ini pula, kerangka teoritis dalam penelitian kualitatif dianggap
sama dengan hipotesis (Irawan, 2006 : 38). Secara teknis, dalam penyusunan
kerangka teoretis, peneliti memulainya dengan membaca berbagai teori yang
relevan dengan fokus/masalah penelitiannya dilanjutkan dengan membuat sintesis
(“menyatukan”) berbagai teori itu menjadi kerangka teori versinya sendiri
(Irawan, 2006 : 46).
Pengertian istilah kerangka teori sebagaimana dipaparkan di atas secara
implisit menegaskan bahwa uraian tentang kerangka teori, tidaklah hanya memuat
tentang isi teori-teori, melainkan alur-alur pikiran yang logis hingga membuahkan
kesimpulan berupa hipotesis yang disusun berdasarkan pengetahuan teoretis yang
relevan dan hendak dirujuk dalam penelitian yang bersangkutan. Karenanya,
sesuai dengan masalah yang dikaji, maka kerangka teori dalam penelitian ini
diberi judul ”Kerangka Teoretis : Praktik Pemaknaan, Makna, dan Tindakan
Sosial”.
Berdasarkan pemikiran Barker (2005 : 45; 2014 : 167-168), praktik
pemaknaan dapat dilihat sebagai proses aktivitas berpikir yang menghasilkan
makna suatu objek yang dipikirkan, dan kemudian dijadikan alasan atau
pembenaran atas tindakan sosial yang dilakukan oleh pihak yang berkaitan dengan
objek tersebut. Menurut Hoede (2008 : 3), dalam kacamata semiotika, makna
disejajarkan dengan isi yang dipahami oleh manusia pemakai tanda. Dengan
demikian, praktik pemaknaan kiranya dapat diartikan sebagai proses berpikir
dalam rangka memahami suatu objek yang dalam ilmu semiotika disebut tanda.
Berdasarkan pengertian ini, maka dapat diduga bahwa masyarakat nonpetani di
Perumahan Bumi Dalung Permai telah melakukan proses berpikir tentang Pura
Subak Tegal hingga menghasilkan makna, yaitu pemahaman tentang pura
tersebut. Pemahamannya itulah yang mereka pergunakan sebagai rujukan dan/atau
alat pembenar atas tindakan yang mereka lakukan dalam pengelolaan Pura Subak
Tegal.
Jika didekonstruksi, praktik pemaknaan atas suatu objek atau tanda serta
makna yang dihasilkannya bisa jadi tampak adanya beragam makna atas objek
atau tanda tersebut. Hal ini sejalan dengan gagasan Derrida dalam teori dan
metode dekonstruksi yanfg dikembangkannya. Dalam konteks ini, sebagaimana
dikemukakan oleh Hoede (2008 : 68-69), Derrida berpendapat bahwa makna
suatu tanda dapat berubah-ubah sesuai dengan kehendak pemakai tanda, ruang,
dan waktu. Oleh karena itu, dalam konteks berpikir kritis, orang mesti berusaha
menemukan beragam makna tanda. Berdasarkan pemikiran ini, maka satu dugaan
yang dapat dirumuskan adalah bahwa masyarakat nonpetani di kawasan
Perumahan Bumi Dalung Permai memahami atau memaknai Pura Subak Tegal
sesuai pula dengan kehendak mereka sendiri. Jika kehendaknya beragam, maka
beragam pula makna pura yang dihasilkan dalam praktik pemaknaan terhadap
pura tersebut.
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan penelitian kualitatif. Mengacu kepada gagasan Satori dan Komariah
(2009 : 219), dengan pendekatan ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan
peristiwa, perilaku orang atau suatu keadaan pada tempat tertentu secara rinci dan
mendalam dalam bentuk narasi.
1.6.2 Lokasi Penelitian
Fenomena yang diteliti dalam penelitian ini adalah di Perumahan Bumi
Dalung permai, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali. Namun data
yang digunakan diambil dari hasil penelitian Dhana (2010) yang memang
penelitiannya itu dilakukan di lokasi tersebut tadi.
1.6.3 Penentuan Informan
Informan dalam penelitian Dhana (2010) yang sebagian hasilnya berupa
data atau informan dipakai dalam penelitian ini adalah para partisipan dalam
pengelolaan Pura Subak Tegal. Penentuan informan dilakukan secara purposif,
yakni dengan memilih orang-orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman
yang memadai terkait dengan hal-hal yang hendak dikaji dalam penelitian
tersebut. Selain itu, pemilihan informan juga dilakukan secara beranting dengan
teknik snowball.
1.6.4 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dikumpulkan dan dipakai dalam penelitian yasng hasilnya
berupa data digunakan dalam penelitian ini meliputi data kualitatif berupa kata-
kata, kalimat, dan ungkapan. Dilihat dari sumbernya, data tersebut meliputi
sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer yang
dimaksud adalah sumber data yang datanya itu digali sendiri oleh peneliti, baik
melalui pengamatan maupun wawancara, sedangkan sumber data sekunder
adalah sumber data yang datanya itu telah ada dalam dokumentasi terkait yang
disusun oleh orang lain dalam rangka kepentingan lain, tetapi ada gunanya untuk
penelitian yang dilakukan. Sumber data sekunder tersebut, antara lain berupa
dokumen Peraturan Subak Tegal (awig-awig), Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga Lokantara Parisuda Hindu Dharma Bumi Dalung Permai, surat-
surat dan laporan panitia kegiatan terkait dengan pengelolaan Pura Subak Tegal.
1.6.5 Instrumen Penelitian
Mengingat penelitian ini bersifat kualitatif, maka dengan mengacu pada apa
yang dikatakan Moleong (1993 : 4), instrumen utama (primer) penelitian ini
adalah peneliti sendiri.
1.6.6 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian yang datanya itu digunakan
dalam penelitian ini meliputi teknik pengamatan terlibat, teknik wawancara, dan
teknik penggunaan dokumen. Khusus untuk penelitian ini, data dikumpulkan
melalui pengamatan terhadap hasil penelitian Dhana (2010), sehingga mirip
dengan teknik penggunaan dokumen.
1.6.7 Teknik Analisis Data
Mengacu kepada pendapat Miles dan Huberman (1992), analisis data dalam
penelitian ini dilakukan dengan teknik reduksi data, penyajian data sementara,
penafsiran data, dan menarik simpulan. Reduksi data meliputi berbagai kegiatan,
yakni penyeleksian, pemfokusan, simplifikasi, penggolongan data, pengutipan
informasi dalam wawancara yang memiliki makna subyektif, dan refleksi.
Penyajian data dan penafsiran data dilakukan dengan penyusunan teks naratif
yang menunjukkan keteraturan, penjelasan, dan alur sebab akibat; sedangkan
penarikan kesimpulan atau verifikasi dilakukan dengan mengintisarikan hasil
penelitian yang telah disajikan.
1.6.8 Teknik Penyajian Hasil Penelitian
Penyajian hasil penelitian ini dilakukan dengan mengikuti sistematika
yang disusun sebelumnya sesuai dengan formulasi permasalahan yang dikaji.
Penjabaran hasil analisis data atau informasi dilakukan secara informal, yakni
dengan mendeskripsikan kata-kata dan ungkapan-ungkapan serta secara formal,
yakni dengan menyajikan hasil penelitian dalam bentuk gambar, tabel, dan
matrik.
BAB II
PANDANGAN DAN TINDAKAN MASYARAKAT NONPETANI DALAM
KONTEKS PURA SUBAK TEGAL : PRAKTIK PEMAKNAAN DAN
PRODUKNYA
Judul bab II ini dimaksudkan untuk menjawab masalah penelitian
yang dikaji, yakni Mengapa masyarakat nonpetani dari Lokantara Parisudha
Hindu Dharma Bumi Dalung Permai berperan aktif dalam pengelolaan Pura
Subak Tegal? Terkait dengan hal ini, ada fakta tentang pembenaran atau alasan
masyarakat nonpetani tersebut atas tindakan mereka dalam pengelolaan Pura
Subak Tegal. Pembenaran atau alas an mereka itulah yang dapat dilihat sebagai
proses praktik pemaknaan yang menghasilkan beragam makna Pura Subak Tegal
menurut pandangan mereka, sehingga mereka berperan aktif dengan melakukan
pelbagai tindakan dalam pengelolaan Pura Subak Tegal. Secara lebih lengkap,
fakta-fakta mengenai beragam makna Pura Subak Tegal yang dihasilkan dalam
praktik pemaknaan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
2.1 Pura Subak Tegal sebagai Alat Penguat Kesatuan Sosial
Ada fakta yang menunjukkan bahwa salah satu dari beragam makna Pura
Subak Tegal menurut pandangan masyarakat nonpetani yang terhimpun dalam
kelompok sosial Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai adalah
sebagai alat penguat kesatuan sosial di dalam kelompok sosial tersebut. Hal ini
terlihat dari gagasan yang dinyatakan secara tertulis dalam pasal 3 Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (ADART) kelompok sosial Lokantara
Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai (2000 : 4), sebagai berikut.
”Agar Lokantara Parisudha Hindu Dharma dimaksud Pasal 1 dapatmenjadi satu kesatuan dan mathaksu diperlukan adanya tali pengikatsekaligus sebagai Pancering jagat berupa Parhyangan (Pura) yang diemongoleh seluruh Umat Sedharma Krama dari Lokantara Parisudha HinduDharma”.
Gagasan dalam kutipan teks ini secara jelas menunjukkan betapa pentingnya atau
betapa berartinya pura bagi Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung
Permai, yakni untuk menjadikan kelompok sosial itu sebagai satu kesatuan.
Padahal sebagaimana dikemukakan oleh Soekanto (1983 : 111), kelompok-
kelompok sosial merupakan himpunan atau kesatuan-kesatuan yang hidup
bersama, oleh karena adanya hubungan antara mereka. Berdasarkan pendapat
Soekanto ini, maka pernyataan yang menegaskan keinginan menjadikan
kelompok sosial bernama Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung
Permai sebagai satu kesatuan terlihat kurang tepat, karena kelompok sosial sudah
merupakan kesatuan sosial. Oleh karena itu, tampaknya pernyataan yang lebih
tepat dalam konteks ini adalah bahwa untuk menjadikan kelompok sosial itu
sebagai satu kesatuan yang benar-benar kuat, maka diperlukan pura. Dicermati
secara lebih mendalam tampaklah pemaknaan terhadap pura sebagaimana terlihat
pada petikan teks di atas menunjukkan adanya kesadaran di kalangan Lokantara
Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai, bahwa daya ikat kelompok sosial
ini masih kurang kuat sehingga perlu diperkuat.
Kesadaran akan kurang kuatnya daya ikat kelompok sosial tersebut
memang logis, karena sebagaimana dikemukakan sebelumnya, para angggota
kelompok sosial itu bersifat multikultural, yakni berasal dari berbagai kelompok
sosial yang lain yang ada di seluruh Bali. Dapat dibayangkan mereka berasal dari
desa dan kelompok kekerabatan seperti keluarga luas dan klen yang berbeda-beda
dan masing-masing sudah memiliki tradisi budaya yang berdaya ikat cukup kuat.
Dengan mengacu pendapat Koentjaraningrat (1984 : 377-376), kemultikulturalan
para anggota Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai seperti itu
berpotensi untuk terjadinya konflik, terutama jika mereka saling memaksakan
tradisi satu sama lainnya. Oleh karena itu wajarlah penguatan kesatuan sosial
Lokantara Parisudha Hindu Dharma terus diupayakan dengan pelbagai cara agar
para anggotanya yang bersifat multikultural mampu mewujudkan keharmonisan
sosial berdasarkan ideologi multikulturalisme.
Mengingat pura dimaknai sebagai alat penguat kesatuan sosial hanya
secara internal di kalangan warga Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi
Dalung Permai saja, sedangkan pura yang dimaksud untuk itu adalah Pura Subak
Tegal, maka hal ini juga berpotensi terjadinya masalah konflik antara pihak
Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai versus Subak Tegal.
Masalah konflik antara keduanya bisa muncul, terutama jika antara keduanya
terjadi saling memaksakan kehendak dalam pengelolaan pura tersebut. Dengan
perkataan lain, berdasarkan fakta tersebut, makna Pura Subak Tegal dalam hal ini
dapat dilihat secara emik dan etik. Secara emik (oleh subjek penelitian ini) pura
itu dimaknai sebagai alat penguat kesatuan sosial, namun hanya di kalangan
internal Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai saja, sedangkan
secara etik (peneliti), bisa melihat bahwa makna pura seperti itu juga berpotensi
menimbulkan masalah konflik antara kalangan internal Lokantara Parisudha
Hindu Dharma Bumi Dalung Permai versus kalangan eksternalnya, yakni Subak
Tegal.
Masalah konflik sosial yang bisa saja muncul berdasarkan pemaknaan
Pura Subak Tegal seperti itu tentu saja bisa ditandai oleh relasi kuasa antara
Lokantara Parisudha hindu Dharma bumi Dalung Permai versus Subak Tegal.
Dalam relasi kuasa itulah memungkinkan bagi keduanya untuk saling
menghegemoni dan mendominasi dengan melakukan permainan politik
penggunaan aneka modal yang dimiliki oleh masing-masing pihak, baik modal
sosial budaya maupun modal sosial dan modal ekonomi. Dalam konteks ini, pihak
Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai terlihat memiliki
akumulasi modal yang relatif besar. Mereka terdiri atas orang-orang yang menjadi
pegawai negeri sipil di Pemerintahan Provinsi Bali dan Kabupaten Badung, ada
juga yang menjadi anggota legislatif serta menjadi pengusaha dan banyak pula
yang berpendidikan tinggi. Sementara itu warga Subak Tegal memiliki modal
yang relatif lebih kecil, baik dilihat dari segi jumlah mereka maupun dari
pendidikan dan status sosial- ekonominya, sebagai petani.
Walaupun demikian, keduanya berpeluang menjadi pihak superordinat
atau unggul ataupun menjadi pihak yang subordinat dalam relasi kuasa yang
bernuansa permainan politik penggunaan modal. Lokantara parisudha Hindu
Dharma Bumi Dalung Permai di satu pihak berpeluang untuk mengungguli
Subak Tegal, mengingat mereka memiliki akumulasi modal yang relatif lebaih
besar. Namun di pihak lain, yakni Subak Tegal, meskipun memiliki modal yang
lebih kecil, berpeluang juga untuk unggul dalam relasi kuasa tersebut, terutama
karena mereka memiliki modal utama yang tidak dimiliki oleh Lokantara
Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai, yakni Pura Subak Tegal. Jika
Subak Tegal melarang Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai
ikut mengelola pura tersebut, maka permainan kekuasaan antara keduanya bisa
bubar.
Berbeda halnya jika pura subak itu dimaknai sebagai alat penguat
kesatuan sosial dalam rangka menyatukan masyarakat nonpetani tersebut dan
masyarakat petani Subak Tegal. Dengan gagasan Soekanto (1983 : 111; dan
Koentjaraningrat, 1984 : 378), pemaknaan seperti ini terlihat memungkinkan
terjadinya integrasi antara keduanya, terutama jika mereka secara bersama-sama
menyadari bahwa mereka saling membutuhkan. Rasa saling membutuhkan dalam
hal ini tampak sangat penting, karena sebagaimana dikemukakan oleh Susanto
(1985 : 61), dengan tempat tinggal yang sama sudah cukup bagi suatu kelompok
sosial untuk mengikat orang dalam satu kesatuan. Mengingtat tempat tinggal
masyarakat petani Subak Tegal berbeda dengan tempat tinggal masyarakat
nonpetani yang terhimpun dalam kelompok sosial Lokantara Parisudha Hindu
Dharma Bumi Dalung Permai, maka rasa saling membutuhkan antara keduanya
menjadi penting dalam rangka menyatukan keduanya. Berdasarkan rasa saling
membutuhkan itulah kiranya bisa dikembangkan hubungan sosial yang bersifat
simbiotik dalam suasana saling toleransi.
Praktik pemaknaan pura sebagai alat penguat kesatuan sosial bagi
kelompok sosial Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai
tampaknya berkaitan pula dengan ideologi yang dianut orang Bali, yakni Tri Hita
Karana. Ideologi ini mengidealkan keharmonisan hubungan manusia-Tuhan
(parhyangan), manusia-manusia (pawongan), dan manusia-lingkungan alam
(palemahan). Keterkaitan praktik pemaknaan terhadap pura sebagai alat penguat
kesatuan sosial dengan ideologi Tri Hita Karana terlihat dalam pernyataan yang
tertulis dalam Pembukaan ADRT Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi
Dalung Permai (2000 : 2 ), sebagai berikut.
”..... perlu dibentuk suatu wadah yang merupakan Himpunan dariseluruh Suka Duka Hindu/Banjar yang ada di Kawasan Perumahan BumiDalung Permai sebagai tempat konsolidasi, komunikasi dan pembinaancrada keumatan dengan mengambil landasan palsafah Tri Hita Karanauntuk selanjutnya dirumuskan ke dalam Anggaran Dasar/Piagem IlikitaPatra/Pikukuh Dasar dan Anggaran Rumah Tangga/Perarem yangmengatur keberadaan Himpunan dan Pengaturan kewajiban umatsedharma sesuai dengan palsafah yang dimaksud yaitu :1. Pengaturan Krama terhadap Parhyangan.2. Pengaturan Krama terhadap sesama umat sedharma dan umat
lainnya.3. Pengaturan Krama terhadap lingkungannya baik fisik maupun non
fisik”(Pembukaan Anggaran Dasar Lokantara Parisudha HinduDharma Bumi Dalung Permai, 2000 : 2).
Petikan teks ini terlihat sangat ideal, terutama karena Tri Hita Karana dijadikan
landasan untuk pengembangan kelompok Lokantara Parisudha Hindu Dharma
Bumi Dalung Permai. Landasan ideal seperti ini tentu tidak mudah
diimplementasikan, dan tidak tertutup kemungkinan dalam tindakan nyata sehari-
hari terjadi pelanggaran terhadap landasan ideal. Bahkan di kalangan Desa
Pakraman di Bali yang juga menjadikan ideologi Tri Hita Karana sebagai
landasan idealnya justru sering terjadi masalah konflik, baik secara internal
maupun eksternal (Windia, 2008).
Potensi untuk terjadinya pelanggaran terhadap ideologi Tri hita Karana
terlihat dalam ADRT Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai
(2000 : 1) sebagai berikut.
”...sebagai umat Hindu yang mayoritas bermukim di Perumahan tersebutdisamping diharapkan dapat menjadi motor dan inisiator penciptaankondisi dimaksud, diwajibkan pula untuk mentaati Hukum dan Perundang-undangan yang bersifat formal yang mengikat selaku warga negara sertamenjalankan kegiatan adat kebiasaan yang menjadi ciri khas pendudukmayoritas serta kegiatan yang berhubungan dengan ajaran agama menurutDesa, Kala, Patra”.
Dengan menggarisbawahi pemakaian istilah mayoritas pada petikan teks ini, maka
terlihatlah adanya potensi terjadinya pelanggaran atas ideologi Tri Hita Karana,
karena kelompok mayoritas merupakan kelompok sosial yang jumlah anggotanya
lebih banyak dan kekuasaannya lebih kuat dibandingkan dengan kelompok sosial
lainnya. Kemayoritasan dalam artiseperti inilah yang bisa mendorong orang untuk
melakukan tindakan yang kurang sesuai dengan asas keadilan, asas toleransi, dan
sebaginya. Dalam kenyataannya, pengelolaan Pura Subak Tegal tidak luput dari
kontroversi, baik di kalangan internal pengelola maupun antara pengelola versus
pihak eksternal (Dhana, 2010).
Berdasarkan paparan mengenai pemaknaan Pura Subak Tegal sebagai alat
penguat kesatuan sosial, maka dapat disimpulkan bahwa disadari atau tidak oleh
para pihak terkait pengelolaan pura itu, pemaknaan tersebut pada dasarnya
merupakan wacana. Di satu sisi wacana tersebut memang perlu dimunculkan
terutama untuk tujuan membangun kesatuan sosial dalam suasana damai, nyaman,
dan tenteram di kalangan para pihak terkait pengelolaan pura tersebut. Namun di
sisi lain, wacana itu juga justru berpotensi untuk terjadinya fenomena yang
bertolakbelakang dengan tujuan tersebut, yakni terjadinya masalah konflik sosial.
Untuk menghindarkan dan/atau memecahkan masalah seperti itu, maka Pura
Subak Tegal sebaiknya dimaknai sebagai alat penguat kesatuan sosial di kalangan
para pihak terkait dengan pengelolaan pura tersebut.
2.2 Pura sebagai Tempat Memohon Kekuatan : Pemaknaan Berbasis
Keyakinan
Mencermati pemakaian istilah mathaksu dalam pernyataan Pasal 3
Anggaran Dasar Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai sebagaimana
telah dikutip di atas, tampaklah pura dimaknai sebagai tempat memohon
kekuatan. Adapun pemakaian istilah thaksu dalam pernyataan tersebut, yakni
”Agar Lokantara Parisudha Hindu Dharma ..... dapat menjadi ...... dan mathaksu
diperlukan adanya tali pengikat sekaligus sebagai Pancering jagat berupa
Parhyangan (Pura)”. Mathaksu adalah kata dalam bahasa Bali. Dalam Kamus
Bahasa Bali yang dikarang oleh Sri Reshi Anandakusuma (1986) terdapat istilah
taksu yang berarti ”suatu bangunan di pura untuk memohon kekuatan”.
Berdasarkan hal ini, maka mathaksu atau mataksu dapat diartikan mempunyai
kekuatan. Dengan demikian, pernyataan bahwa ”Agar Lokantara Parisudha
Hindu Dharma ..... dapat menjadi ...... dan mathaksu diperlukan adanya tali
pengikat sekaligus sebagai Pancering jagat berupa Parhyangan (Pura)” terlihat
mengandung arti bahwa pura diperlukan agar kelompok sosial tersebut
mempunyai kekuatan yang diyakini dapat diperoleh dengan memohon di pura.
Mengingat Pura Subak Tegal yang dijadikan tempat sembahyang oleh para
anggota kelompok sosial tersebut, maka pura itulah yang dimaknai sebagai tempat
memohon kekuatan bagi kelompokm sosial tersebut.
Selain itu, makna pura sebagai tempat memohon kekuatan juga terlihat
dari pemakaian istilah Pancering Jagat yang tertera dalam petikan Pasal 3
Anggaran Dasar di atas, bahwa pura diperlukan pura sebagai tali pengikat
sekaligus sebagai Pancering Jagat. Tampaknya kata pancering yang akar katanya
pancer dalam hal ini dipakai sebagai kata kias, karena kata tersebut mempunyai
arti ganda, yaitu ”akar tunggang” dan ”kemudi jukung atau perahu”(Sri Rsi
Anandakusuma :1986 : 137). Sedangkan jagat berarti ”negeri” (Sri Rsi
Anandakusuma, 1986 : 73). Sebagaimana diketahui fungsi akar tunggang (pancer)
adalah sebagai penguat atau pengokoh pohon yang bersangkutan, sedangkan
kemudi berfungsi sebagai pengendali atau pengarah, dan negeri (jagat) dapat
diartikan sebagai negara atau masyarakat. Berdasarkan kombinasi beberapa arti
istilah tersebut, maka pernyataan dalam petikan di atas dapat dilihat sebagai
pernyataan yang menunjukkan makna pura sebagai sumber kekuatan bagi
Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai agar dengan kekuatan
itu kelompok sosial kelompok sosial mampu mengikat, mengendalikan atau
mengarahkan masyarakat dalam rangka mencapai tujuannya. Kekuatan dalam
arti sebagaimana diterangkan di atas dimaksudkan juga untuk menjadikan
Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai sebagai kelompok
sosial yang tetap hidup kokoh.
Mengingat pemaknaan pura dalam hal ini berbasis pada keyakinan, maka
pernyataan tentang yang menunjukkan pemaknaan tersebut pada dasarnya dapat
dilihat sebagai sebuah teks atau disebut juga wacana. Artinya, bahwa pernyataan
tersebut tidaklah menggambarkan realita sebagaimana adanya, melainkan lebih
tepat dikatakan sebagai pernyataan yang menunjukkan harapan atau angan-angan
yang diyakini bisa terkabulkan dengan melakukan permohonan kepada Tuhan di
pura. Di satu sisi, hal ini memungkinkan untuk mengikat serta mengarahkan
warga masyarakat, terutama mereka yang berkeyakinan bahwa kekuatan bisa
diperoleh dengan memohonnya di pura. Orang-orang seperti inilah yang kiranya
lebih mudah terhegemoni oleh pernyataan yang menunjukkan makna pura sebagai
tempat memohon kekuatan, sehingga mereka dengan sukarela atau senang hati
melakukan tindakan berupa persembahyangan di pura untuk memohon kekuatan.
Mungkin saja mereka akan semakin terhegemoni jika kekuatan yang dimaksud
adalah kekuatan untuk memperoleh pelbagai barang, jasa, kedudukan, kekayaan,
kewibawaan, kesaktian, dan lain-lain yang mereka perlukan untuk memenuhi
kehidupan mereka.
Sebaliknya di sisi lain, pernyataan tentang makna pura sebagai tempat
memohon kekuatan tersebut juga memungkinkan untuk ditanggapi dengan dengan
sikap permisif bahkan perlawanan, terutama oleh orang yang tidak terhegemoni
oleh pernyataan tersebut. Kemungkinan seperti ini bisa muncul dari orang yang
keikutsertaannya menjadi anggota kelompok sosial lebih dilatari oleh
keinginannya untuk memperoleh pelbagai hal dari sesama anggota kelompok
sosial tersebut. Dikatakan demikian, karena sebagaimana dikemukakan oleh
Soekanto (1983 : 111), bahwa timbulnya kelompok sosial karena manusia tidak
bisa sendirian memenuhi semua kebutuhannya yang sangat banyak dan/atau
sangat beragam. Terkait dengan hal ini, suatu himpunan manusia akan dapat
disebut kelompok sosial jika anggota-anggotanya secara bersama-sama memiliki
kepentingan, tujuan, ideologi, dan lain-lain.
Berdasarkan pemikiran Soekanto tersebut di atas, maka dapat dipahami
bahwa para anggota kelompok sosial akan bersinergi membangun kesatuan sosial
dengan melakukan kegiatan tertentu secara bersama-sama jikalau dengan
demikian mereka merasa yakin akan mendapat bahkan sudah mendapat banyak
hal yang dibutuhkannya. Oleh karena itu, agar pernyataan tenatng makna pura
sebagai tempat memohon kekuatan itu berdaya hegemonik yang memadai,
tampaknya pernyataan tersebut perlu diiringi dengan tindakan nyata yang kreatif,
yakni menciptakan pelbagai peluang yang memungkinkan bagi orang untuk
memperoleh apa yang dibutuhkannya. Hal ini penting karena, sebagaimana
diasumsikan dalam teori rasionalitas, bahwa setiap manusia pada dasarnya
rasional dengan selalu mempertimbangkan prinsip efisiensi dan efektifitas dalam
melakukan setiap tindakan, termasuk tindakan dalam melakukan gerakan sosial
(Basrowi dan Sukidin, 2003; dan Mustain, 2007). Sementara itu, teori tentang
“tindakan individu yang rasional” menyatakan bahwa individu-individu dalam
kehidupan bermasyarakat memiliki pertimbangan rasional dan kesadaran akan
adanya keuntungan yang dapat diperoleh melalui tindakan-tindakannya (Yunita,
1986). Demikian juga “teori insentif selektif” menjelaskan bahwa keikutsertaan
seseorang dalam suatu gerakan sosial banyak dipengaruhi oleh jenis, bentuk, dan
isi harapan-harapan yang bakal menguntungkan : insentif selektif (Mustain, 2007 :
49).
Jika Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai mampu
mengadakan peluang bagi para anggotanya untuk memperoleh apa yang mereka
butuhkan, maka para anggotanya akan lebih mendukung pelaksanaan program-
program kerjanya. Dikatakan demikian karena manusia pada era global sekarang
ini sudah dihinggapi oleh ideologi kapitaalisme yang menekankan pada perolehan
keuntungan. Dalam keadaan demikian manusia menganut apa yang oleh
Habermas (dalam Thompson, 2007), sebagai ”rasio instrumental), yang
mengarahkan pikiran manusia untuk menanggapi objek-objek sebagai alat untuk
memenuhi kebutuhan, kepentingan, tujuan, dan sebagainya sesuai dengan ideologi
yasng dianutnya, misalnya ideologi pasar yang bersifat materialistik atau
ekonomistik.
2.3 Pura sebagai Alat Pencitraan
Pemakaian istilah taksu dalam ADRT Lokantara Parisudha Hindu Dharma
Bumi Dalung Permai sebagaimana diulas di atas, kiranya dapat pula dilihat
sebagai tanda bahwa pura dimaknai sebagai alat pencitraan, terutama jika dilihat
dengan menggunakan konsep taksu yang dikemukakan oleh Mantra (1993), yakni
sebagai berikut.
”Adalah kekuatan dalam, inner power, yang memberikan kecerdasan,keindahan, dan mujizat. Dalam kaitannya dengan pelbagai aktivitasbudaya Bali, taksu juga punya arti sebagai kreativitas budaya murni,genuine creativity, yang memberi kekuatan spiritual kepada seorangseniman untuk mengungkapkan dirinya ”lebih besar” dari kehidupansehari-harinya. Seorang seniman dapat dikatakan memiliki taksu apabila iamampu mentransformasikan dirinya secara utuh sesuai dengan peran yangditampilkannya dan muncul dengan stage presence yang memukau,sehingga dengan penampilan itu ia dapat menyatu dengan masyarakatpendukungnya” (Mantra, 1993 : 16-17).
Berdasarkan konsep taksu ini, maka pernyataan dalam ADRT Lokantara
Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai, bahwa ”agar kelompok sosial
tersebut mataksu maka diperlukan pura” terlihat berkontekstual dengan nama
kelompok sosial tersebut yang bernuansa keagamaan Hindu, yakni Parisadha
Hindu Dharma. Jika kelompok sosial ini tidak aktif melaksanakan aktivitas
keagamaan di pura yang merupakan tempat suci agama Hindu, maka bisa jadi
muncul citra atau kesan bahwa hanya namanya saja Parisudha Hindu Dharma
tetapi tidak melakukan aktivitas keagamaan Hindu. Keinginan untuk mencegah
kemungkinan munculnya citra seperti inilah kiranya merupakan salah satu hal
yang melatari pemakaian istilah taksu dalam ADRT Lokantara Parisudha Hindu
Dharma Bumi Dalung Permai sebagaimana telah dikutip di atas.
Pencegahan citra yang tidak bagus seperti di atas dilakukan dengan
memakai kata atau istilah taksu itu juga terlihat untuk membangun citra yang
ideal, yakni dengan memaknai pura sebagai sumber taksu yang diperlukan
mengokohkan Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai. Dalam
hal ini taksu diyakini sekaligus diharapkan dapat memberikan kekuatan dahsyat
yang disebut kekuatan dalam (inner power). Inner power diyakini dan diharapkan
bisa bermanfaat untuk membangun kecerdasan, keindahan, mujizat, kreativitas,
sehingga mereka dapat menunjukkan diri ”lebih besar” dari kehidupan sehari-
harinya atau memiliki prestasi yang lebih berbobot dibandingkan prestasinya
yang mungkin terkesan tidak seberapa jika dilihat dari penampilannya sehari-
hari.
Pernyataan yang memakai istilah taksu untuk membangun citra dalam
ADRT Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai sebagaimana
dikutip di atas tampaknya bisa juga dilihat sebagai upaya untuk membangun citra
ideal, yakni agar kelompok sosial tersebut mampu memukau guna memperoleh
dukungan dari kalangan publik untuk membesarkan dan menguatkan kelompok
sosial tersebut. Hal ini tampak, terutama teks pada ADRT kelompok sosial itu
dicermati dengan menggunakan konsep taksu di atas, khususnya yang
menyatakan :
”Seorang seniman dapat dikatakan memiliki taksu apabila ia mampumentransformasikan dirinya secara utuh sesuai dengan peran yangditampilkannya dan muncul dengan stage presence yang memukau,sehingga dengan penampilan itu ia dapat menyatu dengan masyarakatpendukungnya”.
Jika pengertian istilah taksu pada teks ini digunakan dalam
menginterpretasi pernyataan pada ADRT Lokantara Parisudha Hindu Dharmas
Bumi Dalung Permai sebagaimana telah dikutip di atas, maka dapat dikatakan
bahwa dengan pernyataan yang menunjukkan makna pura sebagai alat pencitraan
itu, tampaknya Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai hendak
menebar pesona. Pesona yang hendak ditebar dengan menyatakan bahwa agar
kelompok sosial itu ber-taksu maka diperlukan adanya pura. Dengan demikian,
pura dalam konteks ini dimaknai sebagai sumber taksu, yaitu innerpower yang
bisa menjadikan kelompok sosial itu tampil mempesona, baik di hadapan para
anggotanya maupun di hadapan publik. Dalam keadaan terpesona atau terpukau
itulah orang diharapkan mau mendengar dan sekaligus mengikuti wacana tentang
segala sesuatu mengenai kelompok sosial itu, baik wacana yang ada di dalam
ADRT-nya maupun wacana yang dikembangkan dalam rangka pelaksanaan
program yang telah ditetapkan berdasarkan ADRT tersebut.
Di satu sisi wacana seperti itu tampak penting dan memungkinkan untuk
menarik simpati dalam rangka pengembangan kelompok sosial tersebut, karena
orang pada umumnya tertarik dan simpati kepada sesuatu yang unggul sehingga
berdaya terik tinggi atau memukau. Sebaliknya di sisi lain, hal itu juga bisa
menimbulkan antipati, terutama jika wacana tentang keunggulan itu tidak disertai
dengan tanda-tanda bukti nyata.
5.4 Pura sebagai Modal Ekonomi dan Penetral Kepentingan Umat Lain
Pengertian istilah modal ekonomidalam hal ini mengacu kepada konsep
modal menurut Pierre Bourdieu sebagaimana diulas oleh Harker dkk (t.t. 276),
yakni ”sesuatu yang dihargai masyarakat dan (oleh sebab itu) diperjuangkan
mereka”. Menurut Bourdieu, salah satu jenis modal adalah modal ekonomi, yaitu
modal yang cakupannya antara lain berupa tanah, pendapatan, benda-benda, dan
uang yang dengan mudah dapat digunakan untuk segala tujuan serta diwariskan
dari satu generasi ke generasi berikutnya (Fahri, 2007 : 98).
Ada fakta-fakta yang menunjukkan pemaknaan pura sebagai modal
ekonomi oleh pihak Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung terhadap
Pura Subak Tegal, terungkap dalam hasil penelitian Dhana (2010 : 149-151).
Dalam hasil penelitiannya itu dikemukakan bahwa keputusan Lokantara
Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai untuk ikut mengelola Pura Subak
Tegal berkaitan juga dengan pertimbangan ekonomis. Hal ini terlihat dari gagasan
yang dipakai dasar untuk mengambil keputusan ikut mengelola Pura Subak Tegal.
Gagasan tersebut adalah bahwa Pura Subak Tegal memang cocok untuk
memenuhi keperluan Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai
akan pura. Cocoknya pura tersebut karena jika kelompok sosial ini mendirikan
pura baru tentu saja memerlukan biaya yang tidak sedikit, dan sudah dapat
dibayangkan jumlahnya sekian kali lipat jika dibandingkan dengan biaya yang
diperlukan hanya untuk ikut mengelola Pura Subak Tegal.
Selain itu, jika kelompok sosial itu mendirikan pura khusus oleh dan untuk
mereka saja, maka selain perlu banyak biaya untuk mendirikannya juga
memerlukan biaya untuk merawat pura dan biaya untuk melaksanakan upacara
di pura tersebut secara rutin pada hari-hari tertentu. Jika hanya ikut mengelola
pura yang sudah ada, yakni Pura Subak Tegal, sudah dipastikan tidak perlu lagi
biaya pengadaan lahan dan biaya pembangunan pura baru. Lagipula biaya
perawatan dan upacara bisa ditanggung bersama Subak Tegal sehingga beban
biaya relatif jauh lebih ringan ketimbang biaya untuk perawatan pura khusus
untuk Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai saja.
Berdasarkan kenyataan itu terlihatlah gagasan dasar Lokantara Parisudha
Hindu Dharma Bumi Dalung Permai dalam proses pengambilan keputusan untuk
ikut mengelola Pura Subak Tegal terurai di atas mencerminkan pemaknaan
terhadap pura tersebut. Pura dalam hal ini dimaknai sebagai modal ekonomi yang
diharapkan dapat meringankan beban ekonomi mereka dalam rangka memenuhi
keperluannya akan pura sebagaimana telah ditegaskan dalam ADART-nya.
Pemaknaan Pura Subak Tegal seperti itu dipandang tidak hanya
bermanfaat bagi Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai saja,
melainkan juga bagi Subak Tegal, karena dengan demikian beban ekonomi Subak
Tegal untuk keperluan terkait puranya itu bisa berkurang. Artinya bahwa dengan
kehadiran Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai dalam
pengelolaan Pura Subak Tegal menyebabkan beban biaya perawatan dan beban
biaya upacara di pura itu diharapkan akan terbagi, sehingga mengurangi beban
ekonomi bagi Subak Tegal dalam mengelola puranya. Dengan demikian, baik
Subak Tegal maupun Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai
dalam konteks ini secara bersama-sama memperoleh penghematan untuk dalam
upaya pemenuhan keperluannya.
Hasil penelitian Dhana (2010 : 151-155) juga memaparkan fakta-fakta
yang menunjukkan bahwa pihak Lokantara parisudha Hindu Dharma Bumi
Dalung Permai memaknai Pura Subak Tegal sebagai alat untuk menetralkan
kemungkinan adanya kepentingan umat non-Hindu yang juga memrlukan lahan
untuk mendirikan tempat ibadahnya di Perumahan Bumi Dalung Permai. Jika
umat lain mendirikan tempat ibadah di kawasan perumahan tersebut, warga
Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai mengkhawatirkan diri
mereka akan mengalami masalah. Logika mereka dalam hal ini dapat dicermati
dan diuilustrasikan sebagai berikut.
Munculnya pemaknaan terhadap Pura Subak Tegal sebagai alat penetral
kepentingan umat lain itu bermula ketika pihak Lokantara Parisudha Hindu
Dharma Bumi Dalung Permai menyadari bahwa jika mereka mendirikan pura
baru, maka mereka membutuhkan dana yang banyak, sedangkan sumber dana
untuk itu belum dapat mereka pastikan. Banyaknya dana yang dibutuhkan untuk
itu, baik untuk pengadaan lahan maupun untuk membangun pura, bahkan juga
untuk melakukan upacara secara berkala di pura tersebut. Berkaitan dengan ini, di
kawasan Perumahan Bumi Dalung Permai ada lahan untuk fasilitas sosial yang
disediakan oleh investor yang mengadakan perumahan tersebut, tetapi luasnya
dipandang terbatas. Lahan untuk fasilitas sosial tersebut bisa dimohon untuk
kepentingan kelompok penduduk setempat, sedangkan kelompok penduduk
menurut agama di perumahan tersebut bukan hanya kelompok umat Hindu,
melainkan juga kelompok umat Islan, Kristen, dan Budha. Jika pihak Lokantara
Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai memohon lahan tersebut dan juga
memohon dana bantuan kepada pihak terkait untuk mendirikan pura baru,
dikhawatirkan kelompok umat agama lain juga ikut mendirikan tempat ibadah di
kawasan perumahan tersebut dengan cara yang sama, sehingga luas lahan yang
diperoleh oleh pihak Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai
tidak sesuai dengan keperluannya.
Suatu langkah yang menurut pihak Lokantara Parisudha Hindu Dharma
Bumi Dalung Permai strategis untuk mencegah apa yang mereka khawatirkan itu
adalah dengan ikut mengelola Pura Subak Tegal. Dipandang strategis karena
dengan ikut mengelola pura itu, pihak Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi
Dalung Permai yakin bahwa pihaknya akan bisa mendapatkan sebagian dari lahan
(fasilitas sosial) yang disediakan oleh investor itu yang luasnya sesuai dengan
keperluan mereka. Logika mereka dalam hal ini adalah bahwa dengan ikut
mengelola Pura Subak Tegal, mereka bisa memohon dan mendapatkan lahan
fasilitas sosial itu bukan untuk membangun pura baru, tetapi untuk
mengembangkan pura yang sudah ada. Kalaupun dengan cara demikian, umat lain
juga akan memohon lahan untuk mendirikan tempat ibadah, maka pihak
Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai yakin akan bisa
menghalanginya dengan cara tidak menyetujuinya. Mereka yakin bisa
menghalangi umat non-Hindu, karena mereka menganggap pihak umat lain itu
sebagai penduduk pendatang dari luar Bali yang dari segi jumlahnya merupakan
penduduk minoritas; sedangkan mereka sendiri sebagaimana dinyatakan dalam
Pembukaan Anggaran Dasar kelompok sosial itu (2000 : 1), merupakan penduduk
mayoritas di Perumahan Bumi Dalung Permai. Logikanya inilah yang ikut
mendorong pihak Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai untuk
ikut mengelola Pura Subak Tegal dalam rangka memenuhi kepentingan mereka.
Dengan demikian, tampaklah pihak Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi
Dalung Permai dalam hal ini memaknai Pura Subak Tegal sebagai alat penetral
kepentingan umat lain yang diperkirakan dan/atau dikhawatirkan bisa muncul di
Perumahan Bumi Dalung Permai.
Gagasan Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai terurai
di atas menarik untuk dicermati lebih jauh, karena gagasannya itu mencerminkan
mereka secara sadar atau tidak sadar hendak melarang umat non-Hindu
membangun tempat ibadah menggunakan fasilitas sosial yang pada dasarnya
diperuntukkan bagi semua warga masyarakat setempat. Hal seperti ini berpeluang
untuk menimbulkan perebutan sumber daya berupa fasilitas sosial tersebut, yang
busa juga berlanjut dengan persaingan yang menimbulkan masalah konflik sosial.
Hal ini bisa terjadi karena semua orang mengetahui bahwa Pasal 29 Undang-
Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti orang tidak oleh melarang pihak
lain untuk mendirikan tempat ibadah tanpa alasan yang sah menurut ketentuan
hukum yang berlaku.
Dicermati dengan berpegang pada konsep mayoritas dan minoritas
sebagaimana dikemukakan Leliweri (2005), gagasan pihak Lokantara Parisudha
Hindu Dharama Bumi Dalung Permai terurai di atas menunjukkan sikap mereka
yang hendak memposisikan diri mereka sebagai golongan mayoritas di
Perumahan Bumi Dalung Permai, dan sebaliknya penduduk non-Hindu yang
jumlahnya lebih kecil hendak diposisikannya sebagai golongan minoritas di
perumahan tersebut. Selain itu, secara sadar atau tidak sadar mereka mempunyai
rasa khawartir dan mencurigai umat non-Hindu itu sebagai golongan minoritas
yang mempunyai keinginan dan rencana untuk membangun tempat ibadah
dengan menggunakan lahan yang disediakan oleh investor sebagai fasilitas sosial
di Kawasan Parumahan Bumi Dalung Permai. Hal ini dikhawatirkan dapat
mengurangi keuntungan ekonomis yang hendak mereka raih dengan memohon
lahan tersebut untuk keperluan mereka sendiri, yakni keprrluan akan pura.
Lebih jauh, gagasan pihak Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi
Dalung Permai terurai di atas juga terlihat mencerminkan bahwa sebagai golongan
mayoritas mereka secara sadar atau tidak sadar merasa lebih berkuasa di
Perumahan Bumi Dalung Permai. Oleh karena itu mereka merasa mempunyai
status sosial yang tinggi dan karena itu pula mereka mempunyai hak dan harga
diri yang harus dihormati oleh orang lain. Berdasarkan identitas diri mereka itu
juga mereka merasa sebagai pihak yang superior di hadapan umat non-Hindu
yang hendak diposisikannya sebagai golongan imferior.
Dicermati dengan mengacu Sudagung (2001), gagasan Lokantara
Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai terurai di atas juga mencerminkan
adanya prasangka stereotipe mereka terhadap umat non-Hindu. Akibatnya mereka
sebagai golongan mayoritas dan superior mengembangkan paham ”kekamian”
dan ”kemerekaan” sehingga mereka menganggap umat non-Hindu sebagai pihak
yang berlainan daripada diri mereka. ”Kami” adalah orang Hindu Bali, dan
”mereka” adalah orang non-Hindu dan bukan orang Bali melainkan orang asing,
pendatang atau tamu. Dengan mengikuti pendapat Cahyadi (2004), anggapan
seperti itu terlihat bersifat oposisi biner yang memperlawankan diri sendiri atau
kelompok sendiri dengan orang atau kelompok lain. Oleh karena itu,
mendominasi dan mendiskriminasi orang lain itu secara sosial, budaya, ekonomi,
dan politik dianggap sebagai sikap yang sah.
BAB II
SIMPULAN DAN SARAN
3.1 Simpulan
Simpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian sebagaimana dipaparkan
di atas adalah bahwa peran aktif masyarakat nonpetani yang terhimpun dalam
kelompok sosial bernama Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung
Permai dalam pengelolaan Pura Subak Tegal yang berdiri di kawasan Perumahan
Bumi Dalung Permai, Kuta Utara dilatari oleh beragam makna yang mereka
berikan kepada pura tersebut. Adapun beragam makna pura tersebut adalah
sebagai alat penguat kesatuan sosial secara internal, tempat memohon kekuatan,
alat pencitraan, modal ekonomi dan penetral kepentingan umat lain.
3.2 Saran
Saran yang dapat diajukan atas dasar hasil penelitian ini adalah bahwa
dalam rangka mengimplementasikan falsafah Tri Hita Karana yang telah
dinyatakan sebagai landasan bagi kelompok sosial Lokantara Parisudha Hindu
Dharma Bumi Dalung Permai yang beranggotakan warga nonpetani, sebaiknya
mereka mengubah pemaknaan yang mereka lakukan terhadap Pura Subak Tegal
sebagaimana telah dikemukakan dalam simpulan di atas. Adapun perubahan
pemaknaan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Makna pura sebagai alat penguat kesatuan sosial secara internal, sebaiknya
diubah menjadi pura sebagai alat penguat kesatuan sosial di kalangan para
pihak terkait atau hendak dilibatkan dengan pengelolaan Pura Subak
Tegal.
2. Makna pura sebagai tempat memohon kekuatan hendaknya diiringi dengan
upaya kreatif yang nyata agar tujuan yang melatari keikutsertaan orang
menjadi anggota kelompok sosial itu dapat dipenuhi.
3. Makna pura sebagai alat pencitraan sebaiknya diiringi dengan sikap dan
perilaku yang sesuai dengan citra yang hendak dibangun.
4. Makna pura sebagai modal ekonomi dan penetral kepentingan orang lain
sebaiknya diikuti dengan perilaku yang tidak merugikan pihak manapun.
Dengan demikian, keharmonisan hubungan mereka dengan sesama manusia
yang dalam konteks Tri Hitas Karana disebut pawongan dapat diwujudkan.
DAFTAR PUSTAKA
Barker, Chris. Cultural Studies Teori dan Praktik. Yogyakarta : PT BentangPustaka.
Barker, Chris. 2014. Kamus kajian Budaya. Yogyakarta : Kanisius.Cahyadi, Haryanto. 2004. ”Keterlemparan Manusia dalam Dunia Ambigu”, dalam
Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed.), HermeneutikaPascakolonial Soal Identitas. Yogyakarta : Kanisius. Halaman 31-60.
Dhana, I Nyoman. 2010. Revitalisasi Ideologi Tri Hita Karana Versus IdeologiPasar pada Masyarakat Multikultural : Studi Kasus PengelolaanPura Subak Tegal di Perumahan Bumi Dalung Permai, Kuta Utara.Disertasi Program Studi Doktor Universitas Udayana.
Fashri, Fauzi, 2007. Penyingkapan Kuasa Simbol Apropriasi Reflektif PemikiranPierre Bourdieu. Yogyakarta : Juxtapose.
Harker, Richard. t.t. ”Bourdieu-Pendidikan dan Reproduksi”, dalam (Habitus xModal) + Ranah = Praktik (Richard Harker, ed.; Pipit Maizier,penerjemah). Yogyakarta : Jalasutra. Halaman 109-138.
Hoed, Benny H. 2008. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Depok :Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Irawan, Prasetya. 2006. Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Jakarta :Penerbit Universitas Indonesia.
Koentjaraningrat. 1984. “Aneka Warna Manusia dan Kebudayaan Indonesiadalam Pembangunan”. Dalam Koentjaraningrat (red.), Manusia danKebudayaan di Indonesia. Jakarta : Penerbit Djambatan. Halaman 367-388.
Leliweri, A. 2005. Prasangka dan Etnik Komunikasi Lintas Budaya MasyarakatMultikultur. Yogyakarta: LKiS.
Mantra, Ida Bagus. 1993. Bali masalah Sosial Budaya dan Modernisasi (SukayaSukawati, ed.). Denpasar : Penerbit PT Upada sastra.
Mely G. Tan. 1989. ”Masalah Perencanaan Penelitian”. Dalam Koentjaraningrat(ed.) Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : PTGramedia. Halaman 14-43.
Miles, M.B. dan A.M. Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif Buku Sumbertentang Metode-Metode Baru (Tjetjep Rohindi, penerjemah). Jakarta :Penerbit Universitas Indonesia.
Moleong, J Lexy. 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : RemajaRosdakarya.
Mulyana, Deddy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Penerbit PTRemaja Rosdakarya.
Mustain. 2007. Petani VS Negara Gerakan Sosial Petani Melawan HegemoniNegara. Yogyakarta : AR-Ruzz Media.
Pitana dan I Gede Setiawan. 2005. “Keterhimpitan Subak dalam Derasnya ArusPerdagangan Bebas’, dalam Revitalisasi Subak dalam Memasuki EraGlobalisasi (Pitana dan I Gede Setiawan AP, ed.). Yogyakarta :Penerbit Andi. Halaman xuuu-xix.
Satori, Djaman dan Aan Komariah. 2009. Metodologi penelitian Kualitatif.Bandung : Penerbit Alfabeta.
Sri Reshi Anandakusuma. 1986. Kamus Bahasa Bali. Denpasar : CV. Kayumas.Suriasumantri, Jujun S. 1984. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta : Penerbit Sinar
Harapan.
Susanto, Astrid S. 1985. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Jakarta :Binacipta.
Sutawan, Nyoman. 2005. “Subak Menghadapi Tantangan Globalisasi PerliuUpaya Pelestarian dan Pemberdayaan Secara Lebih Serius”, dalamRevitalisasi Subak dalam Memasuki Era Globalisasi (Pitana dan IGede Setiawan AP, ed.). Yogyakarta : Penerbit Andi. Halaman 1-18.
________ . 1993. “Strategi Pengembangan Subak sebagai Lembaga IrigasiTradisional di Bali’ dalam dalam Subak Sistem Irigasi Tradisional diBali Sebuah Canangsari (Pitana, ed.). Denpasar : Penerbit UpadaSastra. Halaman 33-48.
Sudagung, H.S. 2001. Mengurai Pertikaian Etnis Migrasi Swakarsa EtnisMadura ke Kalimantan Barat. Yogyakarta: ISAI.
Soekanto, Soerjono. 1983. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : CV Rajawali.Thompson, John B. 2007. Analisis Ideologi, Kritik Wacana Ideologi-Ideologi
Dunia (Haqqul Yaqin, penerjemah). Yogyakarta : IRCiSoD.Yunita, T Winarto. 1986. “Perberdaan Antara Interpretasi Neofungsionalisme dan
Tindakan Individu yang Rasional”, dalam Berita Antropologi.Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,Universitas Indonesia. Jakarta. Halaman 66-80
Kamus :
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga. 2005. Jakarta : Pusat BahasaDepartemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka.
Surat Kabar :
Bali Post, 9 Desember 2006, halaman 13.Bali Post, 24 Pebruari 2007, halaman 13.Bali Post, 17 Nopember 2007, halaman 13.
LAMPIRAN
Lampiran 1 : Pedoman Wawancaraa. Latar Belakang Revitalisasi Ideologi Tri Hita Karana Versus Ideologi
Pasar Menggunakan Pura Subak Tegal sebagai Simbol dan ArenaPerjuangan
1. Bagaimana pemikiran pihak Lokantara Parisudha Hindu Dharma BumiDalung Permai terkait dengan perlunya revitalisasi ideologi Tri Hita Karanaversus ideologi pasar?
2. Mengapa Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai ikutmengelola Pura Subak Tegal?
3. Bagaimana pemikiran pihak Subak Tegal mengenai keberadaan Pura SubakTegal terkait dengan jumlah anggotanya yang banyak berkurang akibatpenjualan dan alih fungsi sawahnya?
4. Mengapa pihak Subak Tegal mengajak Lokantara Parisudha Hindu DharmaBumi Dalung Permai mengelola Pura Subak Tegal?
b. Strategi Revitalisasi Ideologi Tri Hita Karana versus Ideologi Pasarpada Masyarakat Multikultural
1. Langkah-langkah apa yang menurut pihak Lokantara Parisudha HinduDharma Bumi Dalung Permai perlu dilakukan dalam rangka revitalisasiideologi Tri Hita Karana versus ideologi pasar pada masyarakatmultikultural di Perumahan Bumi Dalung Permai?
2. Mengapa langkah-langkah itu dianggap penting?3. Langkah-langkah apa yang menurut pihak Subak Tegal perlu dilakukan dalam
rangka pengelolaan Pura Subak Tegal bersama Lokantara Parisudha HinduDharma Bumi Dalung Permai?
4. Mengapa langkah-langkah itu dianggap penting?
c. Implikasi Revitalisasi Ideologi Tri Hita Karana Versus Ideologi Pasarpada Masyarakat Multikultural
1. Masalah apa saja yang terjadi sebagai implikasi langkah-langkah yangdilakukan pihak Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permaibersama pihak Subak Tegal dalam rangka pengelolaan Pura Subak Tegal?
2. Apa saja yang dilakukan pihak Lokantara Parisudha Hindu Dharma BumiDalung Permai dalam menangani masalah yang muncul sebagai implikasikegiatan-kegiatan yang dilakukan sebelumnya dalam pengelolaan Pura subakTegal?
3. Mengapa hal itu dilakukan?4. Apa saja yang dilakukan pihak Subak Tegal dalam menangani masalah yang
muncul sebagai implikasi kegiatan-kegiatan yang dilakukan sebelumnyadalam pengelolaan Pura subak Tegal?
5. Mengapa hal itu dilakukan?
Lampiran 2 : Daftar Informan
No. Nama Pekerjaan Alamat1. Drs. I Nyoman Widya, .Si. Pegawai Negeri
SipilDusun Taman Tira,Dalung
2. Ir. I Wayan Suratnya, M.M. Pegawai NegeriSipil
Dusun CampuanAsri, Dalung
3 I Wayan Sumawa Swasta Lingkungan BlubuhSari, KerobokanKaja
4 I Wayan Ginantra, S.H Pegawai Negeri Dusun Campuan
Sipil Asri, Dalung5 I Nyoman Bendiyasa Pegawai Negeri
SipilLingkungan BuanaShanti, KerobokanKaja
6 I Gusti Putu Suparta Pegawai NegeriSipil
Dusun SuksmaBakti, Dalung
7 Ida bagus Subali Pegawai NegeriSipil
Lingkungan BuanaShanti, KerobokanKaja
8 I Made Arya Santosa Swasta Lingkungan SuryaBhuana, KerobokanKaja
9 Ir. I Made Suarnata Swasta Tegal Permai,Kerobokan Kaja
10 A.A Oka Saputra, S.H. M.H. Pegawai NegeriSipil
Lingkungan TegalPermai, KerobokanKaja
11 Pemangku Pura Subak Tegal Rohaniawan Dusun Taman Tirta,Dalung
12 I Gusti Ketut Setiawan Pensiunan Polisi/Petani
Lingkungan Jambe,Kerobokan Kaja
13 Nyoman Rina Petani Lingkungan Anyar,Kerobokan Kaja