lepto spiros is

45
BAB 1 PENDAHULUAN Leptospirosis adalah salah satu penyakit zoonosis yang tersebar luas di dunia. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Leptospira interrogans dari golongan spirochaeta. Menurut WHO, insidensi leptospirosis pada kejadian luar biasa dan pada kelompok dengan resiko tinggi lebih dari 100/ 100.000 orang/ tahun. International leptospirosis society menyatakan Indonesia sebagai negara dengan insiden leptospirosis tinggi. Di kota Semarang insiden leptospirosis adalah 1,2/100.000 penduduk/ tahun dengan angka kematian 16,7% berdasarkan data tahun 1998-2000. Pada bulan Februari-April 2002, terjadi kejadian luar biasa leptospirosis pasca banjir berkepanjangan di propinsi DKI Jakarta dengan angka kematian cukup tinggi yaitu 21 penderita dari 103 yang dirawat di rumah sakit (20%).Penyakit leptospirosis sering ditemukan di negara tropis karena leptospira dapat bertahan hidup cukup lama pada kondisi yang hangat (Bharti et al. 2003). Nama Leptospirosis berasal dari nama bakteri penimbul penyakitnya yaitu Leptospira. Salah satu penyakit yang dapat terjadi paska-banjir adalah leptospirosis, yakni penyakit infeksi yang dapat menyerang manusia dan binatang. Leptospirosis dikenal dengan nama flood fever atau demam banjir karena muncul dikarenakan banjir. Leptospira tersusun oleh dua kata yaitu Lepto yang berarti sempit, tipis dan spiril yang berarti terpuntir seperti sekrup. Leptospirosis menginfeksi organ ekskresi Ginjal dan salurannya, misalnya pelvis renalis, ureter atau urethra. Leptospirosis termasuk penyakit hewan yang dapat menular ke manusia (zoonosis). Di beberapa negara leptospirosis dikenal dengan nama demam icterohemorrhagic, demam lumpur, penyakit Stuttgart, penyakit Weil, demam canicola, penyakit swineherd, demam rawa atau demam lumpur.. Penyakit ini disebabkan bakteri leptospira berbentuk spiral yang mempunyai ratusan serotipe. Penemuan penderita sering tidak optimal karena sering terjadi 1

Upload: lailatus-syifa-selian

Post on 06-Aug-2015

39 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Lepto Spiros Is

BAB 1PENDAHULUAN

Leptospirosis adalah salah satu penyakit zoonosis yang tersebar luas di dunia. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Leptospira interrogans dari golongan spirochaeta. Menurut WHO, insidensi leptospirosis pada kejadian luar biasa dan pada kelompok dengan resiko tinggi lebih dari 100/ 100.000 orang/ tahun. International leptospirosis society menyatakan Indonesia sebagai negara dengan insiden leptospirosis tinggi. Di kota Semarang insiden leptospirosis adalah 1,2/100.000 penduduk/ tahun dengan angka kematian 16,7% berdasarkan data tahun 1998-2000. Pada bulan Februari-April 2002, terjadi kejadian luar biasa leptospirosis pasca banjir berkepanjangan di propinsi DKI Jakarta dengan angka kematian cukup tinggi yaitu 21 penderita dari 103 yang dirawat di rumah sakit (20%).Penyakit leptospirosis sering ditemukan di negara tropis karena leptospira dapat bertahan hidup cukup lama pada kondisi yang hangat (Bharti et al. 2003).

Nama Leptospirosis berasal dari nama bakteri penimbul penyakitnya yaitu Leptospira. Salah satu penyakit yang dapat terjadi paska-banjir adalah leptospirosis, yakni penyakit infeksi yang dapat menyerang manusia dan binatang. Leptospirosis dikenal dengan nama flood fever atau demam banjir karena muncul dikarenakan banjir. Leptospira tersusun oleh dua kata yaitu Lepto yang berarti sempit, tipis dan spiril yang berarti terpuntir seperti sekrup.

Leptospirosis menginfeksi organ ekskresi Ginjal dan salurannya, misalnya pelvis renalis, ureter atau urethra. Leptospirosis termasuk penyakit hewan yang dapat menular ke manusia (zoonosis). Di beberapa negara leptospirosis dikenal dengan nama demam icterohemorrhagic, demam lumpur, penyakit Stuttgart, penyakit Weil, demam canicola, penyakit swineherd, demam rawa atau demam lumpur.. Penyakit ini disebabkan bakteri leptospira berbentuk spiral yang mempunyai ratusan serotipe. Penemuan penderita sering tidak optimal karena sering terjadi “underdiagnosis” atau misdiagnosis. Hal ini berakibat keterlambatan tatalaksana penderita yang dapat memperburuk prognosis. Meskipun sebenarnya penyakit ini pada umumnya mempunyai prognosis yang baik. Bakteri leptospira bisa terdapat di genangan air saat iklim panas dan terkontaminasi oleh urine binatang.

Leptospirosis merupakan penyakit musiman dengan angka insidensi tertinggi pada musim penghujan di daerah beriklim hangat (tropis/ subtropis).Gambaran klinis leptospirosis bervariasi, mulai dari gejala subklinik sampai berat, yaitu demam biasa dengan onset yang tiba-tiba sampai gejala kegagalan multiorgan yang disertai komplikasi jaundice, gagal ginjal, dan perdarahan serius (Weil’s disease) yang meningkatkan angka kematian. Gangguan perdarahan sangat potensial terjadi pada leptospirosis namun sampai saat ini patofisiologinya masih belum dapat dijelaskan. Kekhasan perdarahan pada leptospirosis adalah adanya perdarahan intraalveolar yang intens dengan gambaran infiltrasi sel radang dan ekstravasasi sel darah merah dari kapiler.

Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 o1eh Adolf Weil dengan gejala panas tinggi disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati dan limpa. Penyakit dengan gejala tersebut di atas oleh Goldsmith (1887) disebut sebagai "Weil's Disease". Pada tahun 1915 Inada berhasil membuktikan bahwa "Weil's Disease" disebabkan oleh bakteri

1

Page 2: Lepto Spiros Is

Leptospira icterohemorrhagiae. Sejak itu beberapa jenis leptospira dapat diisolasi dengan baik dari manusia maupun hewan

Secara teoritis, perdarahan bisa merupakan akibat defek pada hemostasis primer atau ketidakseimbangan pada hemostasis sekunder. Aktivasi siklus koagulasi sehubungan dengan proses infeksi dapat menimbulkan gambaran klinis yang beragam, mulai dari peningkatan marker laboratoris yang tidak signifikan hingga sindrom trombohemoragik berat seperti: disseminated intravascular coagulation (DIC), haemolytic uraemic syndrom (HUS), thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP), dan vaskulitis. Untuk membedakan antara sindrom ini digunakan marker hemostatik yaitu: bleeding time (BT), prothrombin time (PTT), activated partial thromboplastin time (aPTT), fibrinogen, dan D-dimer.

.

2

Page 3: Lepto Spiros Is

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Leptospirosis disebabkan bakteri pathogen leptospira berbentuk spiral termasuk genus Leptospira, family leptospiraceae dan ordo spirochaetales. Genus Leptospira terdiri dari 2 spesies yaitu L interrogans yang merupakan bakteri patogen dan L biflexa adalah saprofit. Bakteri ini merupakan Spirochaeta aerobik (membutuhkan oksigen untuk bertahan hidup), motil (dapat bergerak), gram negatif, bentuknya dapat berkerut-kerut, dan terpilin dengan ketat. Bakteri Lepstospira berukuran panjang 6-20 μm dan diameter 0,1-0,2 μm. Ukuran bakteri yang relatif kecil dan panjang ini, sulit terlihat dengan menggunakan mikroskop cahaya, sehingga diperlukan mikroskop dengan teknik kontras. Bakteri ini dapat bergerak maju dan mundur.

Beberapa tahun yang lalu dikenal banyak spesies patogen, akan tetapi sekarang dikenal hanya satu spesies pathogen yaitu L. interrogans dengan berbagai serotype atau serovar. Serovar tersebut diberi nama dengan nama spesies yang lama. Leptospirosis merupakan penyakit infeksi yang bersifat umum dan terdapat pada berbagai spesies hewan piaraan. Disamping itu penyakit ini ditemukan juga pada hewan liar terutama pada bangsa tikus. Penyakit ini ditemukan di seluruh dunia baik pada hewan dan manusia, terutama di daerah tropis atau sub tropis dengan curah hujan yang tinggi. Epidemiologi penyakit ini memperlihatkan sifat yang sama dengan penyakit infeksi lainnya yakni dapat berpindah dari hewan ke hewan dan dari hewan ke manusia. Selama bertahun-tahun dikira hanya tikus dan anjing merupakan sumber leptospirosis, akan tetapi belakangan ini hewan liar lainnya juga merupakan sumber penularan seperti kelelawar, serigala, dan kucing liar.

Penyakit ini dikenal dengan nama demam banjir, demam lumpur atau demam rawa, karena berkaitan dengan sejarah kejadian penyakit. Kejadian akan meningkat pada saat musim hujan atau paskabanjir. Selain itu penyakit ini juga dikenal dengan nama demam icterohemorrhagic, penyakit Stuttgart, penyakit Weil, demam canicola, dan penyakit swineherd.

ETIOLOGI

Morfologi Bakteri

Leptospira adalah bakteri gram negatif, berbentuk pegas, langsing, lentur, tumbuh lambat pada kondisi aerob, tumbuh optimum pada suhu 280C – 300 C, dengan ukuran panjang 5-25 µm, diameter 0,1-0,3 µm, dan panjang gelombang 0,5 µm. Dia memiliki flagella internal yang khas, sehingga dapat menembus masuk ke dalam jaringan.Leptospira memiliki struktur dua membran yang terdiri dari membran sitoplasma dan dinding sel peptidoglycan yang menempel satu sama-lain, dan dilapisi oleh lapisan bagian luar. Lipopolisakarida Leptospira mempunyai komposisi yang sama dengan bakteri gram negatif

3

Page 4: Lepto Spiros Is

yang lain, tetapi mempunyai aktivitas endotoksik yang lebih rendah. Leptospira dapat diwarnai dengan counterstain carbolfuchsin.

Ciri-ciri bakteri Leptospira antara lain berbentuk spiral, dapat hidup di air tawar selama satu bulan, bersifat patogen dan saprofitik. Spesies Leptospira yang mampu menyebabkan penyakit (patogen) bagi manusia adalah Leptospira interrogans. Leptospirosis disebabkan bakteri pathogen berbentuk spiral termasuk genus Leptospira, famili leptospiraceae dan ordo spirochaetales. Spiroseta berbentuk bergulung-gulung tipis, motil, obligat, dan berkembang pelan secara anaerob. Genus Leptospira terdiri dari 2 spesies yaitu L interrogans yang merupakan bakteri patogen dan L biflexa adalah saprofitik.

Setiap spesies leptospira terbagi menjadi puluhan serogrup dan terbagi lagi menjadi puluhan, bahkan ratusan serovar. Saat ini, Leptospira interrogans yang bersifat patogen telah dikenal lebih dari 200 serovar. Jasad renik ini biasanya hidup di dalam ginjal host dan dikeluarkan melalui air kencing (urin) saat berkemih. Host tersebut antara lain tikus, babi, kambing, domba, kuda, anjing, kucing, kelelawar, tupai dan landak. Tikus sering menjadi host bagi berbagai serovar leptospira. Akan tetapi, Leptospirosis akan mati apabila masuk ke air laut, selokan, dan air kemih manusia.

Beberapa penelitian terakhir berdasarkan temuan DNA diidentifikasi 7 species patogen yang tampak pada lebih 250 varian serologi (serovars). Leptospira dapat menginfeksi sekurangnya 160 spesies mamalia diantaranya adalah tikus, babi, anjing, kucing, rakun, lembu, dan mamalia lainnya. Hewan peliharaan yang paling berisiko mengidap bakteri ini adalah kambing dan sapi. Setiap hewan berisiko terjangkit bakteri leptospira yang berbeda-beda. Resevoar paling utama adalah binatang pengerat dan tikus adalah yang paling sering ditemukan di seluruh belahan dunia. Di Amerika yang paling utama adalah anjing, ternak, tikus, binatang buas dan kucing. Berberapa serovar dikaitkan dengan beberapa binatang, misalnya L pomona dan L interrogans terdapat pada lembu dan babi, L grippotyphosa pada lembu, domba, kambing, dan tikus, L ballum dan L icterohaemorrhagiae sering dikaitkan dengan tikus dan L canicola dikaitkandengan anjing. Beberapa serotipe yang penting lainnya adalah autumnalis, hebdomidis, dan australis.

Klasifikasi

Kingdom : Monera

Phylum : Spirochaetes

Class : Spirochaetes

Order : Spirochaetales

Family : Leptospiraceae

Genus : Leptospira

4

Page 5: Lepto Spiros Is

Genom

Genom Leptospira terdiri dari dua kromosom sirkuler yang disusun oleh 4,63 juta pasang basa. Kromosom I mempunyai 4,28 juta pasang basa , sementara krosom II jauh lebih kecil yang hanya terdiri dari 350.000 pasang basa. Kromosom I mengkode 3454 gen yang sudah diketahui maupun yang belum diketahui, sedangkan kromosom II mengkode 274 gen.

Peta fisik telah disusun dari serovar pomona subtype kenewicki dan icterohaemorrhagiae. Leptospira ternyata mempunyai dua perangkat gen 16S dan 23S rRNA, tetapi hanya mempunyai satu gen 5S rRNA, dan gen rRNA dipisahkan dengan jarak yang sangat jauh. Saat ini sudah ditemukan elemen ulangan (repetitive element) yang terdiri dari beberapa sikuens selipan (insertion sequences-IS) yang mengkode transposase. Sikuens selipan yang sudah diidentifikasi adalah IS1533 dan IS1500. IS1533 mempunyai kerangka baca terbuka tunggal, sementara IS1500 mempunyai empat kerangka baca terbuka. Kedua sikuens selipan ini ditemukan di berbagai jenis serovar, akan tetapi, jumlah salinan dari masing-masing serovar, dan juga antara isolat serovar yang sama sangat bervariasi. Peranan dari sikuens selipan ini adalah untuk transposisi dan penyusunan ulang genom.

Sejumlah gen dari genom Leptospira sudah diklon dan dianalisis diantaranya adalah, rRNA, protein ribosomal, polymerase RNA, DNA repair, protein heat shock, sphingomyelinase, hemolysin, protein membran luar, protein flagella, dan sintesis polisakarida (LPS). Genom serovar icterohaemorrhagiae tampaknya sangat dilindungi. Daerah yang dilindungi ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi serovar baru dengan cara pulsedfield gel electrophoresis (PFGE). Bila dalam pemeriksaan ini ditemukan adanya pola profil yang berbeda, maka serovar ini dianggap baru.

Klasifikasi

Famili Leptospiraceae hanya terdiri dari tiga genara yaitu: Leptonema, Turmeria, dan Leptospira. Genus Leptospira terdiri dari 10 genomospesies dan yang paling penting adalah, L. interrogens merupakan kelompok patogenik dan L. biflexa merupakan kelompok non patogen. Masing-masing genomospesies dibagi lagi menjadi 23 serogrup yang di dalamnya terdapat serovar yang memiliki hubungan antigenic. Sampai saat ini sudah dikenal lebih dari 250 serovar.

Untuk membuat klasifikasi yang tepat dari masing-masing spesies adalah sangat sulit, karena diantara serovar hampir tidak ditemukan adanya perbedaan yang dapat dilihat. Sebelum berkembangnya analisis DNA, klasifikasi dibuat berdasarkan tes serologis silang (untuk mengelompokkan bakteri yang mempunyai tipe yang sama menggunakan antibodi serum). Dalam pelaksanaan sehari-hari, Grup Spirochaeta Institut Pastur di Paris saat ini memakai sistem pengelompokan yaitu, kelompok serovar L. interrogans adalah kelompok galur patogen, sementara galur L. biflexa adalah kelompok nonpatogen.

Galur L. interrogans termasuk kelompok Leptospira patogen terdiri lebih dari 250 serovar, misalnya icterohaemorrhagiae, hebdomadis, autumnalis, pyrogenes, bataviae, dll, sedangkan L. biflexa terdisi lebih dari 60 serovar, merupakan kelompok Leptospira non-patogen atau saprofit terdiri dari L. biflexa patoc, dll. Penentuan serovar dilakukan dengan cara serum penderita yang terinfeksi direaksikan dengan antigen yang homologous, maka terjadi reaksi aglutinasi. Jika ditemukan titer homologous kurang 10% satu dari dua antisera dengan tes secara berulang, maka kedua galur dikatakan berbeda.

5

Page 6: Lepto Spiros Is

Kedua kelompok Leptospira ini dapat dibedakan secara laboratorium yaitu, L. Biflexa tumbuh pada suhu 130C, dapat tumbuh bila ada 8-azaguanine (225 µg/ml), dapat berubah bentuk menjadi sel sferis di dalam 1 M NaCl. Disamping itu, jenis Leptospira ini dapat dibedakan berdasarkan tes ELISA menggunakan antibodi monoklonal spesifik Leptospira patogen, di mana bila dengan Leptospira non-patogen tidak bereaksi. Teknologi PCR dengan primer spesifik juga dapat digunakan untuk membedakan kedua kelompok Leptospira. Penelitian untuk membedakan Leptospira patogen dan non-patogen yang terdapat di dalam air telah dilakukan oleh Mugia. Kemampuan ini sangat berguna untuk epidemiologi dalam program kesehatan masyarakat.

Lipopolisakarida (LPS) merupakan antigen utama yang terlibat dalam klasifikasi serologis. Heterogenitas struktural dalam komponen karbohidrat LPS yang beragam berasal dari perbedaan di dalam gen yang terlibat dalam biosintesis LPS, merupakan dasar adanya tingkat variasi antigenik yang sangat luas yang dapat diamati pada berbagai serovar.

Klasifikasi berdasarkan serologis tampaknya akan digantikan oleh klasifikasi berdasarkan genetik. Klasifikasi genotipe sangat berbeda dengan klasifikasi berdasarkan serologis, karena di dalam genomospesies sering ditemukan serovar yang berasal dari L. interrogans dan juga dari L. biflexa. Adanya heterogenitas genetik sudah dikenal sejak dahulu. Dengan melakukan studi berdasarkan hibridisasi, maka saat ini sudah dikenal lebih dari 16 genomospesies.

Genomospesies Leptospira tidak mempunyai hubungan dengan dua spesies sebelumnya (L. interrogans dan L. biflexa). Oleh karena itu, serovar maupun serogrup tidak dapat dipakai untuk memprediksi Leptospira. Di samping itu, di dalam serovar yang sama ditemukan adanya heterogenitas genetik. Juga, teknik pengelompokkan L. interrogans dan L. biflexa tidak dapatdipakai untuk membedakan genomospesies

Membuat klasifikasi Leptospira baru berdasarkan genotipe untuk taxonomi merupakan cara klasifikasi yang benar serta memberikan dasar yang kuat di masa yang akan datang. Akan tetapi, klasifikasi molekuler merupakan masalah bagi ahli mikrobiologi klinik, karena tidak cocok dengan sistem serogrup yang telah lama digunakan dengan baik oleh para klinisi dan ahli epidemiologi. Karena teknologi identifikasi berdasarkan DNA masih sangat sulit dilakukan, maka klasifikasi Leptospira patogen berdasarkan serologis tampaknya masih tetap dipertahankan, sambil menunggu metode indentifikasi DNA dapat dilakukan dengan mudah.

Siklus Hidup

Perjalanan penyakit leptospira terdiri dari 2 fase yang berbeda, yaitu fase septisemia dan fase imun. Dalam periode peralihan dari 2 fase tersebut selama 1- 3 hari kondisi penderita menunjukkan beberapa perbaikkan. Manifestasi klinis terdiri dari 2 fase yaitu fase awal dan fase ke dua. Fase Awal tahap ini dikenal sebagai fase septicemic atau fase leptospiremic karena organisma bakteri dapat diisolasi dari klutur darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan tubuh. Selama fase awal yang terjadi sekitar 4-7 hari, penderita mengalami gejala nonspesifik seperti flu dengan beberapa variasinya. Karakteristik manifestasi klinis yang terjadi adalah demam, menggigil kedinginan, lemah dan nyeri terutama tulang rusuk, punggung dan perut. Gejala lain adalah sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah, ruam, sakit kepala regio frontal, fotofobia, gangguan mental, dan gejala lain dari meningitis. Fase ke dua seringdisebut fase imun atau leptospirurik harena sirkulasi antibodi dapat di deteksi dengan isolasi kuman dari urine dan mungkin tidak dapat didapatkan lagi pada darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini terjadi karena akibat respon

6

Page 7: Lepto Spiros Is

pertahanan tubuh terhadap infeksi danterjadi pada 0-30 hari atau lebih. Gangguan dapat timbul tergantung manifestasi pada organ tubuh yang timbul seperti gangguan pada selaput otak, hati, mata atau ginjal.

EPIDEMIOLOGI

Binatang pengerat terutama tikus merupakan sumber penularan leptospira paling penting; binatang mamalia lain juga dapat sebagai sumbar beberapa jenis leptospira tertentu. Binatang-binatang ini dapat mengeluarkan bakteri leptospira dalam jangka waktu yang lama tanpa gejala. Manusia bisa tertular secara langsung maupun tidak langsung dari binatang yang mengidap bakteri tersebut. Secara alamiah bakteri ini terdapat di air yang terkontaminasi urin binatang pengidap bakteri ini dan dapat bertahan lama. Di air yang pHnya normal dapat bertahan selama 4 minggu. Dengan demikian biasanya kasus penyakit ini sering ditemukan pada musim hujan, terutama pada daerah - daerah banjir

Kuman leptospira yang berada pada suhu udara dan kelembaban yang serasi serta derajat keasaman mendekati netral, dapat bertahan berbulan-bulan dalam tempat yang terbuka, walaupun kumannya sendiri tidak berkembang biak. Begitu juga pada air mengalir, kolam, rawarawa dan lumpur, kuman mampu bertahan lama. Sebaliknya, bakteri yang berada ditempat terbuka dan kering, tidak mampu bertahan dalam jangka waktu yang lama. Sumber pencemaran lingkungan berasal dari urin hewan yang sakit, hewan yang baru sembuh, atau hewan yang bertindak sebagai reservoir tanpa adanya gejala sakit.

Sebagai host (inang), pada hewan dan manusia, dapat dibedakan atas inang reservoir dan inang sasaran. Dalam tubulus ginjal inang reservoir, leptospirosis akan menetap sebagai infeksi kronik. Kuman akan dikeluaran bersama urin dan merupakan sumber penularan leptospirosis. Infeksi biasanya didapat pada usia dini, dan prevalensi ekskresi kronik melalui urin meningkat dengan bertambahnya umur hewan.

Tikus dan anjing merupakan inang reservoir bagi berbagai serotype termasuk yang paling pathogen yaitu L. ichteroherrhagiae. Hewan lainnya seperti kelelawar, tupai dapat juga berperan sebagai reservoir. Leptospira bisa ditemukan pada binatang peliharaan baik sebagai inang perantara maupun inang sasaran seperti anjing, sapi, babi, kerbau, maupun binatang liar seperti tikus, musang, tupai dan sebagainya. Di dalam tubuh hewan hewan ini leptospira hidup di ginjal dan air kemih. Manusia dan hewan terinfeksi bakteri leptospira karena kontak dengan air atau tanah yang terkontaminasi oleh urin atau cairan tubuh lainnya dari hewan yang terinfeksi bakteri leptospira. Leptospira masuk kedalam badan melalui membrane mukosa, mulut, hidung atau melalui luka pada kulit. Pada manusia, penularan melalui kontak tidak langsung dengan inang reservoir. Luasnya penularan tergantung dari banyak faktor yang meliputi iklim, kepadatan populasi, dan derajat kontak antara inang pembawa. Peran hewan piara sebagai sumber penularan leptospirosis pada manusia telah diteliti oleh Scott-Orr dan Darodjat (1978) . Mereka menemukan paling sedikit 20% dari sapi potong di Jawa Tengah dan Jawa Timur positif terhadap serovar hardjo. Scott-Orr et al. (1980) menemukan 37% sapi perah dari Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan dan Sumatera Utara positif terhadap serovar hardjo dan tarassovi serta 48,7% babi dari beberapa propinsi di Jawa dan luar Jawa positif terhadap beberapa serovar dan terbanyak terhadap serovar pomona.

7

Page 8: Lepto Spiros Is

Seroprevalensi leptospirosis dari tahun 2003–2007 berdasarkan pemeriksaan serologik sangat berfluktuasi. Persentase sera dengan antibodi anti leptospira positif dari tahun 2003 ke tahun 2004 terjadi kenaikan sebesar 9,97%, dari tahun 2004 ke tahun 2005 terjadi penurunan sebesar 1,71%, dari tahun 2005 ke tahun 2006 terjadi kenaikan sebesar 20,36% dan dari tahun 2006 ke tahun 2007 terjadi penurunan sebesar 20,62%. Kejadian leptospirosis paling tinggi terjadi pada tahun 2006 (36,03%) (Susanti et al, 2008)

PATOGENESIS

Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui selaput lender, luka lecet di kulit, melalui kulit yang lunak karena terkena air. Selanjunya akan masuk ke jaringan tubuh, dan berkembang dihati, ginjal, kelenjar susu dan selaput otak. Pada beberapa tingkatan penyakit dapat ditemukan di dalam atau di luar sel-sel jaringan yang terkena. Umumnya minggu pertama setelah infeksi diikuti dengan fase leptospiremia. Beberapa serovar menghasilkan endotoksin, sedangkan serovar yang lainnya menghasilkan hemolisin. Adanya hemolisin ini mengakibatkan rusaknya dinding kapiler pembuluh darah. Tetapi leptospira tidak mengeluarkan eksotokin.

Leptospira tumbuh dengan baik di dalam tubulus kontortus ginjal, selanjutnya kumanakan dibebaskan melalui urin dalam jangka waktu yang lama. Pada saat bunting, janin dan pembungkus janin memiliki kerentanan yang tinggi terhadap infeksi pada masa kebuntingan lima bulan ke atas. Janin akan mati, dan keluron akan keluar, dua minggu setelah terlihatnya gejala klinis. Kematian biasanya terjadi akibat septisemia, anemia hemolitika, kerusakan hati, atau oleh terjadinya uremia. Beratnya penderitaan tergantung dari umur penderita dan spesies penderita serta serovar penyebab infeksi.

PATOFISIOLOGI

Transmisi leptospira terjadi melalui kontak langsung maupun tidak langsung dengan

tanah, air, tanaman yang terpapar urine binatang mengerat yang mengandung leptospira.

Leptospira masuk kedalam tubuh manusia melalui kulit yang tidak intak maupun melalui

mukosa mulut, saluran cerna, saluran hidung dan konjungtiva mata selanjutnya mengikuti

aliran darah sistemik, terjadi replikasi serta menyebar ke berbagai jaringan dan organ tubuh.

Inada dkk mempelajari distribusi leptospira pada berbagai jaringan dan organ tubuh.

Ekstraseluler leptospira banyak ditemukan pada berbagai jaringan dan organ, sedangkan

intraseluler ditemukan di dalam sel fagosit dan epitel. Organ yang paling benyak terdapat

akumulasi leptospira adalah liver, kemudian berikutnya kelenjar adrenal, ginjal. Di ginjal,

leptospira berada di dalam jaringan interstitial, juga pada dinding serta lumen tubulus urine

iferous. Sedang organ paling sedikit terdapat leptospira adalah limpa, sumsum tulang,

kelenjar limfe. Dengan adanya respons imun oleh tubuh, maka leptospira dalam sirkulasi

dapat dieliminasi sehingga jumlahnya menurun.

8

Page 9: Lepto Spiros Is

Mekanisme patologis pada leptospirosis dapat terjadi akibat efek toksik langsung dari

leptospira, maupun tidak langsung melalui kompleks imun. Manifestasi klinis dapat berupa

leptospirosis anikterik maupun ikterik, yang keduanya berlangsung melalui fase

leptospiremia atau fase septik dan fase imun.

Pada fase leptospiremia atau fase septik, disini keadaan patologis lebih diakibatkan

oleh efek toksik langsung dari leptospira. Leptospira memiliki struktur kimia dan biologi

yang mirip dengan bakteri gram-negatif. Meskipun demikian efek tidak langsung melalui

respon imun tidak bisa dipisahkan dengan efek toksik langsung tersebut. Efektoksik langsung

tersebut berdampak pada berbagai tipe sel sehingga dikenal adanya neurotoksin, leukotoksin,

hepatotoksin, kardiotoksin. Efek toksik tersebut dimungkinkan karena pada dinding selnya

mengandung lipopolisakarida (endotoksin) yang merupakan bagian integral dari membran sel

(outer membrane). Pada permukaan membran luar terdapat komponen lipid A, serta antigen

9

Page 10: Lepto Spiros Is

O. Lipid A merupakan bgian yang mempunyai efek toksikterhadap sel maupun molekul. Efek

toksik langsung tersebut terjadi bila membran mengalami lisis oleh berbagai faktor, termasuk

akibat aktivitas komplemen, fagositosis, maupun dampak dari pemberian antibiotika. Lipid A

yang toksik tersebut dapat mengekspresi berbagai sel host untuk memproduksi protein

bioaktif termasuk sitokin. Sitokin merupakan salah satu sinyal molekuler yang ikut berperan

pada respon imun terhadap lipoprotein pada membran luar. Leptospira yang berperan seperti

halnya LPS yaitu menginduksi sekresi sitokin-sitokin (cytokine release) berikutnya.

Peptidoglikan dari dinding sel leptospira interogans dapat menginduksi sekresi TNF-α dari

monosit, yang berdampak luas terhadap timbulnya respons inflamasi lokal maupun sistemik

sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan kapiler dari lesi sistemik pada setiap organ

terjadi vaskulitis yang menyeluruh.

Interaksi lipoprotein, LPS dari membran luar leptospira dengan sel-sel imun host

dapat menimbulkan 3 peristiwa penting, yaitu: pertama, produksi sitokin oleh monosit,

makrofag, serta sel-sel lain. Adapun sitokin yang diproduksi adalah IL-1, IL-6, IL-8, TNF-α.

IL-1 diproduksi makrofag, limfosit, sel-sel endotel, dan keratinosit. Dampak dari IL-1

dapat memicu prodiksi prostaglandin dari hipotalamus yang menyebabkan demam, serta

menstimulasi reseptor nyeri. Demam merupakan manifestasi karena dilampauinya set-point

suhu di hipotalamus. Dengan peningkatan set-point tersebut, hipotalamus mengirim sinyal

untuk meningkatkan suhu tubuh. Respon tubuh adalah menggigil dan meningkatnya

metabolisme basal. IL-1 juga menginduksi serta memengaruhi sekresi leukotrin yang

berdampak terhadap permeabilitas vaskuler dan berpotensi besar dalam menurunkan tekanan

darah sistemik. Selain itu IL-1 juga memiliki kontribusi pada beberapa hal seperti anoreksia,

meningkatnya aktivitas PMN, peningkatan kadar transferin. IL-6 diproduksi makrofag dan

fibroblas akibat induksi IL-1.

IL-8 diproduksi makrofag, limfosit, sel-sel endotel setelah diinduksi IL-1 dan TNF-α.

IL-8 berperan menstimulasi migrasi dan degranulasi PMN, serta dapat memicu kerusakan

endotel. TNF-α diproduksi makrofag, limfosit dan sel mast. Peran TNF-α adalah ikut serta

dalam naik turunnya suhu tubuh, wasting, meningkatnya frekuensi pernafasan dan frekuensi

denyut jantung, hipotensi dan timbulnya perdarahan pada berbagai organ. Peristiwa kedua

adalah, aktivasi komplemen. Meningkatnya aktivitas komplemen selama leptospirosis,

terutama C3a dan C5a juga merusak endotel. Peran C5a adalah menginduksi dan sekresi

enzim lisosom yang merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan kebocoran.

10

Page 11: Lepto Spiros Is

IL-6,IL-8, TNF-α, prostaglandin, serta leukotrien semuanya mempunyai potensi

memicu kerusakan endotel sel sehingga memprovokasi terjadinya gangguan fungsi endotel,

termasuk keikutsertaan dalam proses relaksasi dan kontriksi vaskuler . Akibat efek simultan

dari sitokin dan komplemen tersebut menyebabkan terganggunya sirkulasi darah terutama

yang melalui pembuluh darah kecil ke berbagai organ tubuh termasuk paru, ginjal, hati, dan

otak. Situasi tersebut merupakan manifestasi dari perubahan vaskuler selama peradangan

yang dimulai segera setelah paparan Leptospira. Arteriol, pada awalnya mengalami

vasokontriksi dalam waktu singkat, kemudian disusl dengan terjadinya vasodilatasi

berkepanjangan yang meningkatkan tekanan cairan dikapiler-kapiler disebelah hilir sehingga

terjadi peningkatan pemindahan filtrat plasma ke ruang interstisial. Histamin, bradikinin

merupakan mediator kimia yang disekresi selama fase leptospiremia menyebabkan sel-sel

endotel kapiler menjadi renggang sehingga permeabilitas kapiler menjadi meningkat.

Peristiwa ketiga, adalah peran dalam aktivasi kaskade koagulasi. Gangguan pada kaskade

koagulasi menyebabkan konsumsi fibrinogen dan trombosit yang abnormal mengakibatkan

insuffisiensi komponen pembekuan dan terjadi manifestasi perdarahan pada berbagai organ.

Rangkaian yang terbentuk akibat ketiga peristiwa penting tersebut, maka pada

leptospirosis terjadi berbagai kelainan pada sel, jaringan dan organ. Pada liver terjadi

disfungsi hepatoseluler termasuk menurunnya produksi faktor pembekuan, menurunnya

produksi albumin, menurunnya esterifikasi kolesterol, terjadi kolestasis intrahepatik serta

hiperplasia dan hipertrofi sel kupffer, serta apoptosis hepatosit selama berlangsungnya

infeksi. Manifestasi leptospirosis ikterik yang disertai gagal ginjal dilaporkan pertama kali

oleh Adolf Weil di Heidelberg 100 tahun yang lalu.

Kelainan di ginjal terjadi akibat kompleks imun serta efek toksik langsung dari

leptospira yang merusak tubulus, vaskulitis, kerusakan endotel, terjadi hipoksemia, nefritis

interstisial, nekrosis tubuler akut. Nefritis interstisial dan nekrosis tubuler akut keduanya

diakibatkan oleh migrasi spirochaeta kedalam ginjal serta deposis antigen leptospira pada

glomerulus dan tubulus yang mengakibatkan terjadinya gagal ginjal dan kematian penderita.

11

Page 12: Lepto Spiros Is

Pada paru terjadi kongesti pulmonum, perdarahan-perdarahan, infiltrasi monosit dan

neutrofil di rongga alveolar, dan leptospira juga dapat ditemukan didalan sel-sel endotel septa

interalveoler serta kapiler. Kerusakan kapiler pulmoner mendorong terjadinya perdarahan di

paru dan gagal napas akut sebagai penyebab kematian penderita leptospirosis berat. Pada

jantung terjadi miokarditis interstisial dan arteritis koroner.

Gangguan pada susunan saraf pusat terutama terjadi pada minggu pertama infeksi.

Dalam masa tersebut leptospira dapat ditemukan dalam cairan serebrospinal, tetapi tidak akan

menimbulkan meningitis sepanjang cukup tersedia imunoglobulin. Manifestasi gangguan

pada sistem saraf adalah neuritis atau polineuritis, perubahan mental termasuk perasaan

12

Page 13: Lepto Spiros Is

bingung, delirium, depresi mental maupun psikosis yang dapat berlangsung beberapa bulan

sampai 2 tahun atau lebih. Pada mata manifestasinya berupa iritis, iridosiklitis dan uveitis

kronis. Pada otot terjadi perubahan vakuola-vakuola sitoplasma dan infiltrasi leukosit

polimorfonuklear . Pada vaskuler terjadi vaskulitis, jejas endotel kapiler. Pada eritrosit dapat

terjadi hemolisis. Manifestasi perdarahan terjadi pada 33% kasus leptospirosis. Pada otot

kerangka, terutama daerah betis terjadi nekrosis fokal, miositis pada sel-sel otot yang disertai

infiltrasi sel-sel histiosit, neutrofil dan sel plasma.

Pada fase imun infeksi leptospira, terkait dengan respons imun. Respons imun diawali

sewaktu sel B dan sel T berikatan dengan suatu protein yang di identifikasi oleh sel B dan sel

T sebagai benda asing. Lipoprotein pada membran luar leptospira merupakan protein

permukaan yang akan dikenali sebagai benda asing oleh sel B dan sel T. Karena dianggap

asing maka lipoprotein tersebut berperan sebagai antigen, dan bersifat imunogenik sehingga

dapat menstimulasi sel B dan sel T menjadi aktif, terjadi multiplikasi dan berdiferensiasi

lebih lanjut.

Respon sel B terhadap lipoprotein pada protein membran luar leptospira potensial

memicu keradangan. Sel plasma yang terdapat dalam sirkulasi, limpa segera merespon

terhadap lipoprotein leptospira tersebut dengan menghasilkan antibodi atau imunoglobulin

yang kemudian berikatan dengan antigen tersebut dan terbentuk kompleks antigen antibodi.

Meningkatnya aktivitas sel plasma selama berlangsungnya leptospirosis termasuk

meningkatnya aktivitas pembelahan secara ekstensif dan menghasilkan lebih 100 juta salinan

antibodi dalam satu jam.

Selama berlangsungnya infeksi leptospira akan terjadi respon imun humoral yang

mempengaruhi ekspresi protein. Ada tujuh gen terekspresi selama berlangsungnya

leptospirosis yaitu: p76, p62, p48, p45, p41, p37, dan p32 yang dapat menjadi target respon

imun humoral.

Pembentukan antibodi pada paparan pertama sel B memerlukan waktu 2 minggu

hingga lebih dari satu tahun. IgM merupakan imunoglobulin berukuran besar dan paling

tinggi kadarnya pada paparan pertama. IgG merupakan imunoglobulin yang terbentuk

kemudian meskipun perlahan selama respons primer, tetapi pasti. IgG merupakan 80% dari

semua imunoglobulin dalam sirkulasi. Pada [paparan kedua IgG meningkat secara cepat

dengan kekuatan yang lebih besar. Pada waktu leptospiremia, sebagian besar leptospira akan

dimusnahlkan oleh imunoglobulin. Imunoglobulin akan menghancurkan leptospira yang

13

Page 14: Lepto Spiros Is

mereka ikat melalui mekanisme langsung maupun tidak langsung. Efek langsung, terjadi

sewaktu pengikatan antigen kebagian Fab antibodi menyebabkan komplek antigen antibodi

terpresipitasi keluar sirkulasi atau mengalami aglutinasi bersama kompleks lain. Efek tidak

langsung terjadi bila bagian Fc diaktifkan. Hal ini merangsang terjadi reaksi peradangan,

termasuk pengaktifan komplemen, peningkatan aktivitas makrofag, dan fagositosis.

Leptospira yang tinggal pada beberapa organ liver, limpa, ginjal dan lai-lain menginduksi

terjadinya berbagai keadaan patologis sehingga memunculkan sindroma klinis.

GEJALA KLINIS

Kasus leptospirosis pada hewan ternak ruminansia dan babi bunting menimbulkan gejala abortus, pedet lahir mati atau lemah. Pada sapi, muncul demam dan penurunan produksi sususedangkan pada babi, sering muncul gangguan reproduksi. Pada kuda, terjadi keratitis, conjunctivitis, iridocyclitis, jaundice sampai abortus (Swan et al., 1981).

Gejala klinis leptospirosis pada sapi dapat bervariasi mulai dari yang ringan, infeksi yang tidak tampak, sampai infeksi akut yang dapat mengakibatkan kematian. Infeksi akut paling sering terjadi pada pedet/sapi muda (Hudson, 1978). Berat ringannya gejala klinis tergantungdari serovar Leptospira yang menginfeksi dan species hewan yang terinfeksi.

Leptospira interrogans serovar pomona pada sapi menyebabkan demam, depresi, anemia akut, haemorrhagis, dan redwater; serovar hardjo biasanya pada sapi bunting atau laktasi menyebabkan demam, penurunan produksi susu dan abortus. Sedangkan pada anjing, infeksi leptospirosis sering bersifat subklinik; gejala klinis yang muncul sangat umum seperti demam, muntah, jaundice. Penyakit dimulai dengan demam tinggi, yang disertai gejala umum sepeti lesu, sering haus, sering muntah-muntah dan diare kadang berdarah. Jika penyakitnya berlanjut akan mati karena uremia.

Fase akut atau disebut pula sebagai fase septik dimulai setelah masa inkubasi yang berkisar antara 2–20 hari. Timbulnya lesi jaringan akibat invasi langsung leptospira dan toksin yang secara teoritis belum dapat dijelaskan, menandakan fase akut. Manifestasi klinikakan berkurang bersamaan dengan berhentinya proliferasi organisme di dalam darah.

Fase kedua atau fase imun ditandai dengan meningkatnya titer antibodi dan inflamasi organ yang terinfeksi. Secara garis besar manifestasi klinis dapat dibagi menjadi leptospirosisan-ikterik dan ikterik.

1. Leptospirosis an-ikterik. Fase septik dengan gejala demam, nyeri kepala, mialgia, nyeri perut, mual. Dan muntah. Fase imun terdiri dari demam yang tidak begitu tinggi, nyeri kepla hebat, meningitis aseptik, konjungtiva hiperemis, uveitis, hepatospenomegali, kelainan paru, dan ruam kulit.

2. Leptospirosis ikterik. Fase septik sama dengan fase an-ikterik. Manifestasi yang mencolok terjadi pada fase imun, ditandai dengan disfungsi hepatorenal disertai diastesis hemoragik.

Meningitis aseptik dan disfungsi ginjal merupakan tanda dari fase imun. Gejala dapat bertahan hingga 6 hari sampai lebih dari 4 minggu, dengan rata-rata 14 hari. Sekitar 10% kasus leptospirosis berkembang menjadi Weil disease yaitu leptospirosis berat yang disertai

14

Page 15: Lepto Spiros Is

ikterus, gagal ginjal, dan perdarahan paru. Mortalitas tetap tinggi walaupun dengan perawatan ICU dan akan meningkat apabila perawatan kurang memadai. Kasus leptospirosis berat dapat terjadi tanpa disertai ikterus. Pada anakanak dan dewasa, leptospirosis ditandai dengan demam, mialgia, dan nyeri kepala. Letargi, muntah, nyeri perut, fotofobia, artralgia, batuk, diare, atau konstipasi. Meskipun keluhan demam merupakan gejala utama, suatu penelitian di Hawai menemukan bahwa demam timbul bervariasi. Dari kasus leptospirosis yang terdiagnosis secara serologi, didapatkan 5% pasien tidak disertai riwayat demam dan 55% kasus pada saat datang tidak terdapat demam. Mialgia dan nyeri kepala merupakan gejala yang paling banyak dikeluhkan dan merupakan keluhan utama dari 25% pasien.

MATAPada fase akut dapat ditemukan dilatasi pembuluh darah konjungtiva, perdarahan

subkonjungtiva, dan retinal vasculitis. Sedangkan pada fase imun, sering ditemukan iridosiklitis. SALURAN CERNA

Gejala klinik pada saluran cerna termasuk ikterus, hepatitis, kolesistitis, pankreatitis, dan perdarahan saluran cerna. Terdapat peningkatan ringan kadar enzim transaminase dan gamma-GT, namun pada anak yang menderita ikterus kadar enzim transaminase dapat normal; sedangkan bilirubin pada Weil disease dapat mencapai 30 mg/dl. Pada leptospirosis yang disertai keluhan nyeri perut, mual dan muntah perlu dipikirkan adanya pankreatitis. PARU

Gejala klinik dapat berupa batuk, hemoptisis, dan pneumonia. Pada pemeriksaan foto toraks dapat ditemukan infiltrat unilateral atau bilateral, dan efusi pleura. Gangguan pernafasan dapat berkembang menjadi adult respiratory distress syndrome (ARDS) yang memerlukan tindakan intubasi dan ventilator. SISTEM SARAF PUSAT

Meningitis pada leptospirosis mempunyai hubungan yang klasik dengan fase imun. Nyeri kepala merupakan gejala awal. Leptospira dapat ditemukan pada likuor serebrospinal pada fase leptospiremia. Limfosit predominan terjadi pada hari ke-4. Hitung jenis mencapai puncak antara hari ke-5 sampai hari ke-10. Meskipun lebih dari 80% ditemukan organisme pada biakan likuor serebrospinal pada kasus meningitis, hanya setengah dari kasus tersebut terdapat tanda rangsang meningeal. GINJAL

Kelainan ginjal dapat bervariasi selama perjalanan penyakit. Pada urinalisis dapat ditemukan piuria, hematuria, dan proteinuia yang steril. Nekrosis tubulus akut dan nefritis interstisial merupakan 2 kelainan ginjal klasik pada leptospirosis. Nekrosis tubulus akut dapat disebabkan langsung oleh leptospira, sedangkan nefritis terjadi lebih lambat yang diduga berhubungan dengan komplek antigenantibodi pada fase imun. Fungsi ginjal yang semula normal dapat menjadi gagal ginjal yang memerlukan dialisis. Hipokalemia sekunder dapat terjadi akibat rusaknya tubulus. Hiperkalemia yang berhubungan dengan asidosis metabolik dan hiponatremia telah dilaporkan pada kasus leptospirosis. Gagal ginjal akut yang ditandai oleh oliguria atau poliuria dapat timbul 4–10 hari setelah gejala timbul. KULIT

Ruam pada kulit dapat timbul dalam bentuk makulopapular dengan eritema, urtikaria, petekie, atau lesi deskuamasi. OTO

Miositis sering timbul pada minggu pertama dan berakhir hingga minggu ketiga atau keempat dari perjalanan penyakit. Perdarahan pada otot, sebagian pada dinding

15

Page 16: Lepto Spiros Is

abdomen dan ekstremitas bawah menyebabkan nyeri yang hebat dan diyakini sebagai penyebab akut abdomen. PERDARAHAN

Perdarahan dapat terjadi pada 39% pasien yang berupa epistaksis, perdarahan gusi, hematuria, hemoptisis, dan perdarahan paru. SISTEM KARDIOVASKULAR

Vaskulitis akibat leptospira dapat menimbulkan syok hipovolemik dan pembuluh darah yang kolaps. Komplikasi pada jantung terjadi pada kasus berat. Dapat timbul miokarditis, arteritis koroner, dan pada beberapa pasien ditemukan friction rubs. Pada pemeriksaan EKG dapat dijumpai kelainan berupa blok AV derajat 1, inversi gelombang T, elevasi segmen ST, dan disritmia. KELENJAR GETAH BENING

Limfadenopati pada kelenjar ketah bening leher, aksila, dan mediastium dapat timbul dan berkembang selama perjalanan penyakit.

Tabel 1. Gejala klinik 150 pasien leptospirosis di Vietnam. 5

No Tanda dan gejala persent

ase

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

Nyeri kepala

Demam

Nyeri otot

Menggigil

Mual

Diare

Sakit perut

Batuk

Konjuctivitis

Pembesaran limpa

Pembesaran kelenjar limfe

Sakit tenggorokan

Pembesaran hati

98

97

79

78

41

29

28

20

42

22

21

17

15

DIAGNOSIS

Diagnose secara pasti tidak mungkin ditentukan hanya berdasarkan atas temuan gejalaklinis dan pemeriksaan perubahan pasca mati. Konfirmasi laboratorik selalu dipandang perlu.Jika memungkinkan inokulasi pada hewan percobaan dan pemeriksaan mikroskop medan gelap dilakukan ditempat kejadian. Karena kondisi lapangan yang kurang mendukung pemberantasan leptospirosis merupakan pekerjaan yang sulit dilakukan. Pada ternak yang dipelihara secara berkelompok dapat dikendalikan secara efektif dengan jalan melakukan

16

Page 17: Lepto Spiros Is

vaksinasi. Pencegahan penularan Leptospira dapat dilakukan meliputi 3 aspek yaitu hewan sebagai sumber infeksi, jalur penularan, dan manusia. Melakukan vaksinasi untuk hewan ternak dan hewan kesayangan guna meningkatkan kekebalan merupakan salah satu cara yang cukup efektif.

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium sangat perlu untuk menegakkan diagnosis penyakit leptospirosis secara dini dengan cepat dan tepat.

1. Pemeriksaan Laboratorium Klinik UmumPemeriksaan laboratorium klinik umum memberikan hasil berbeda antara leptospirosis yang ringan dan berat. Hasil pemeriksaan laboratorium penderita dengan gejala leptospirosis berat memperlihatkan kelainan hasil laboratorium yang sangat jelas.1.a. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Pada Kasus yang Ringan

Hasil pemeriksaan darah tepi penderita leptospirosis ringan, ditemukan laju endap darah meningkat, jumlah lekosit tidak jelas, kadangkadang di bawah nilai normal, normal, atau sedikit meningkat. Hasil tes fungsi hati ditemukan sedikit peningkatan aminotransferase, bilirubin, dan alkalinphospatase, sedangkan secara klinis ikterus tidak tampak dengan jelas. Hasil pemeriksaan urine ditemukan proteinuria, pyuria, dan sering ditemukan hamaturia mikroskopik. Juga ditemukan adanya hialin dan granular cast pada minggu pertama sakit.1.b. Hasil Pemeriksaan Laboratorium pada Kasus yang Sangat Berat

Pemeriksaan darah tepi tampak leukositosis dengan pergeseran ke arah kiri, dan trombositopeni berat. Dari tes fungsi ginjal ditemukan gangguan fungsi ginjal ditandai dengan peningkatan kadar kreatinin plasma. Tingkat azotemia terjadi bervariasi tergantung beratnya penyakit.Tes fungsi hati pada leptospirosis berat umumnya memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin darah cukup bermakna dengan sedikit peningkatan kadar alkalin phospatase. Peningkatan bilirubin umumnya tidak sesuai dengan nilai tes fungsi hati yang lain. Hasil pemeriksaan pungsi lumbal terutama ditemukan sel limfosit, kadar protein normal atau sedikit meningkat, sementara kadar glukose normal. Pada penderita dengan ikterus berat, cairan serebrospinal tampak xantochrom. Kelainan cairan serebrospinal tampak jelas pada minggu ke-2 sakit, dan pleositosis pada cairan serebrospinal dapat terjadi sampai berminggu-minggu. Perubahan alami yang tidak spesifik ini hanya dapat dipakai untuk menduga adanya infeksi leptospirosis. Untuk memastikan diagnosis, perlu dilakukan pemeriksaan mikrobiologi spesifik.

2. Pemeriksaan laboratorium spesifik

2.a. Pemeriksaan Bakteri2.a.1. Pemeriksaan bakteri secara langsung dengan mikroskopHasil pemeriksaan ini dapat digunakan menegakkan diagnosis leptospirosis

secara pasti. Leptospira dari spesimen klinik dilihat secara langsung menggunakan mikroskop lapangan gelap atau menggunakan mikroskop cahaya setelah preparat dicat dengan pewarnaan yang sesuai. Agar bakteri tampak pada mikroskop lapangan gelap diperlukan 104 Leptospira/ml, dengan harapan setiap lapangan pandang tampak satu sel. Agar pemeriksaan mikroskopis berhasil, sampel darah diambil dalam 6 hari sesudah timbul gejala, jika lebih Leptospira sulit ditemukan. Juga sangat sulit menemukan Leptospira pada cairan serebrospinal, karena jumlah bakteri sangat

17

Page 18: Lepto Spiros Is

sedikit. Pemeriksaan ini sering memberikan hasil yang keliru, karena adanya fibrin atau protein yang kelihatan bergerak dan berwarna coklat (Brownian motion), sehingga spesifisitasnya rendah. Leptospira tampak sebagai organisme bergerak cepat, berbentuk spiral pegas yang kurus, umumnya ditemukan dalam biakan, darah, dan urine.

Dari hasil penelitian, sensitifitas pemeriksaan mikroskop lapangan gelap 40,2% dan spesifisitas 61,5%, dengan nilai ramal positif 55,2% dan nilai ramal negatif 46,6%. Nilai ratarata positif pada penderita dengan pemeriksaan biakan positif cukup rendah yaitu 40%.12 Walaupun pemeriksaan ini merupakan tes yang cepat, tetapi tidak disarankan digunakan sebagai prosedur tes tunggal untuk mendiagnosis leptospirosis.

Keuntungan pemeriksaan ini: dapat digunakan untuk mengamati Leptospira dalam biakan, terutama bila bakteri dalam jumlah banyak, dan untuk mengamati aglutinasi pada pemeriksaan MAT. Kelemahannya, memerlukan tenaga ahli berpengalaman. Bila jumlah bakteri sedikit, Leptospira sulit ditemukan. Sensitifitas pemeriksaan ini dapat ditingkatkan dengan memberikan pewarnaan. Metode pewarnaan yang sering dipakai immunofluorescence. Teknik ini dapat dilakukan untuk pemeriksaan urine, darah, dan tanah. Di samping itu, Leptospira dapat juga diwarnai dengan immunoperoksidase, sering digunakan untuk pemeriksaan sampel darah dan urine. Pewarnaan histologis yang paling sering digunakan untuk memperlihatkan Leptospira adalah pewarnaan perak dan pewarnaan Warthin-Starry.

2.a.2. Isolasi Bakteri HidupSpesimen dari penderita dibiakkan pada media untuk memperbanyak bakteri.

Metode ini membutuhkan waktu cukup lama, sangat mahal, dan memerlukan tenaga ahli berpengalaman, dan sensitifitasnya rendah. Biakan bakteri memerlukan media yang komplek dan rumit, yang harus mengandung perangsang pertumbuhan dan antibiotika untuk menekan pertumbuhan kontaminan. Masa pertumbuhan bakteri cukup panjang yaitu 6-8 jam/siklus, sehingga tidak mungkin dipakai mendiagnosis lepotospirosis secara dini.

Infeksi Leptospira pada binatang dan manusia diperkirakan terjadi sangat singkat. Biasanya bakteri ditemukan di dalam darah selama 8 hari dari pertama sakit. Oleh karena itu, darah diambil secepat mungkin. Pemberian antibiotika dapat mempengaruhi keberhasilan isolasi bakteri. Cairan serebrospinal untuk biakan harus diambil pada minggu pertama sakit. Sampel urine diambil pada minggu kedua sakit. Masa hidup Leptospira dalam urine sangat terbatas.

Urine harus cepat diproses dengan sentrifugasi, sedimen yang diperoleh diresuspensi ke dalam phosphate buffer salin-PBS (untuk menetralisasi pH), kemudian diinokulasi ke dalam medium dan diinkubasi pada temperatur 28o-30oC diamati setiap minggu. Sekarang sudah tersedia sistem biakan yang dijual secara komersial.14

2.a.3. Deteksi Antigen BakteriAda berbagai metode untuk mendeteksi antigen Leptospira d antaranya, teknik

radioimmunoassay (RIA), enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), dan chemiluminescent immunoassay. Deteksi antigen Leptospira pada spesimen klinik lebih sensitif dan spesifik dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskop lapangan gelap. Beberapa teknik ini telah dievaluasi, misalnya, metode RIA dapat mendeteksi 104 sampai 105 Leptospira/ml, metode ELISA dapat mendeteksi 105 Leptospira/ml. RIA lebih sensitif dibandingkan pemeriksaan langsung dengan mikroskop lapangan gelap, tetapi kurang sensitif dibandingkan biakan, terutama untuk pemeriksaan urine. Metode chemiluminescent immunoassay memberi hasil tidak berbeda dengan ELISA.

18

Page 19: Lepto Spiros Is

Berdasarkan hasil penelitian, pemeriksaan antigen Leptospira dalam urine penderita dengan metode dot-ELISA menggunakan antobodi monoklonal LD5 dan LE1 memberi hasil positif berturut-turut 75%, 88,9%, 97,2%, 97,2% dan 100% bila sampel urine secara berurutan diambil pada hari ke 1, 2, 3, 7, dan 14 perawatan. Hasil penelitian ini cukup kuat untuk dapat diterapkan dalam mendeteksi antigen di dalam urine.

Leptospira yang sudah diisolasi juga dapat dideteksi menggunakan metode absorbsi aglutinin silang. Dengan memiliki panel antibodi monoklonal, maka laboratorium yang mampu melakukan tes aglutinasi mikroskopis, dapat mengidentifikasi isolat dalam waktu relatif lebih cepat. Metode molekuler seperti polymerase chain reaction (PCR), restriction fragment length polymorphisms (RFLP) juga dapat dipakai mendeteksi Leptospira.3,8 Di samping itu, serovar atau serogup juga dapat ditentukan dari isolat Leptospira yang diperoleh.

2.b. Pemeriksaan SerologisSebagian besar kasus leptospirosis didiagnosis dengan tes serologi. Antibodi

dapat dideteksi di dalam darah 5-7 hari sesudah munculnya gejala. Ada banyak metode serologis yang dapat digunakan, dan yang dianggap paling baik sampai saat ini adalah microscopic agglutination test (MAT).

2.b.1. Microscopic Aglutination Test (MAT) Microscopic aglutination test (MAT) adalah tes untuk menentukan antibodi

aglutinasidi dalam serum penderita. Cara melakukan tes adalah, serum penderita direaksikan dengan suspensi antigen serovar Leptospira hidup atau mati. Setelah diinkubasi, reaksi antigen-antibodi diperiksa di bawah mikroskop lapangan gelap untuk melihat aglutinasi. Yang dipakai batas akhir (end point) pengenceran adalah pengenceran serum tertinggi yang memperlihatkan 50% aglutinasi.8 Metode ini dipakai sebagai metode referensi untuk mengembangkan teknik lain dengan membandingkan sensitifitas, spesifisitas, dan akurasi. MAT sering mengalami beberapa kendala terutama di negara yang sedang berkembang, karena memerlukan banyak jenis serovar dan tenaga ahli yang berpengalaman.

Metode MAT sangat rumit terutama saat pengawasan, pelaksanaan, dan penilaian hasil. Seluruh biakan serovar hidup harus dipelihara dengan baik. Perlakuan terhadap tes menggunakan Leptospira hidup maupun mati harus sama. Memelihara

19

Page 20: Lepto Spiros Is

biakan Leptospira di dalam laboratorium cukup berbahaya bagi para petugas. Di samping itu, sering terjadi kontaminasi silang antara serovar, sehingga perlu dilakukan verifikasi serovar secara berkala. Pemeriksaan MAT memerlukan antigen serovar Leptospira yang banyak beredar di suatu wilayah. Serovar yang sering digunakan adalah Leptospira Interrogens yaitu, Australis, Autumnalis, Bataviae, Canicola, Copenhageni, Grippotyphosa, Hebdomadis, dan Pomona. Leptospira biflexa adalah serovar Patoe. Maksud penggunaan banyak jenis antigen, agar dapat mendeteksi infeksi serovar yang tidak umum, yang sebelumnya tidak pernah terdeteksi.

Sampai saat ini, serovar Leptospira yang beredar di Indonesia belum seluruhnya diketahui secara pasti. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk mengetahui seluruh serovar yang beredar di Indonesia, sehingga antigen yang digunakan sesuai dengan serovar yang beredar, untuk memperoleh hasil MAT yang lebih tepat dan menghindari hasil negatif palsu. Untuk mengatasi kesulitan MAT dengan antigen hidup, maka digunakan antigen mati.

Antigen mati umumnya menghasilkan titer antibodi sedikit lebih rendah, dan reaksi silang lebih sering terjadi. Aglutinasi antigen mati kualitasnya berbeda dengan antigen hidup. Akan tetapi, untuk laboratorium yang tidak memiliki tenaga ahli, maka antigen ini merupakan alternatif yang cukup baik. Pada tubuh penderita biasanya muncul antibodi aglutinasi terhadap serovar yang menginfeksi. Sering ditemukan antibodi yang bereaksi silang dengan serovar lain, terutama ditemukan pada fase dini penyakit. Pada minggu pertama, reaksi heterologous serovar lain terjadi lebih kuat dibanding reaksi homologous serovar yang menginfeksi. Kadang-kadang ditemukan reaksi heterologous positif, sementara reaksi homologous masih negatif. Fenomena ini disebut reaksi paradoxical. Titer antibodi reaksi silang cendrung menurun relatif lebih cepat sampai beberapa bulan, sementara antibodi spesifik serogrup dan spesifik serovar tetap ada dalam waktu lama sampai bertahun-tahun.8 Hal ini disebabkan karena penderita sudah mempunyai antibodi terhadap serogrup Leptospira lain sebelum terkena infeksi serogrup Leptospira yang baru.

Untuk diagnosis, diperlukan sepasang serum. Adanya peningkatan titer empat kali lipat dari sepasang serum dapat memastikan diagnosis tanpa memperhatikan jarak waktu pengambilan di antara kedua sampel. Jarak pengambilan antara sampel pertama dan kedua sangat tergantung pada waktu antara munculnya gejala dan penampilan gejala penyakit yang berat pada penderita. Jika gejala penyakit leptospirosis sangat jelas, maka jarak 3-5 hari sudah dapat mendeteksi peningkatan titer. Untuk penderita dengan perjalanan penyakit kurang jelas atau jika munculnya gejala tidak diketahui, maka jarak pengambilan sampel pertama dan kedua antara 10-14 hari. Jarang serokonversi tidak terjadi dengan jarak waktu tersebut. Selang waktu antara sampel pertama dan kedua sebaiknya lebih lama.

Pemeriksaan serologis menggunakan MAT kurang sensitif terutama untuk pemeriksaan spesimen yang diambil pada permulaan fase akut, sehingga tidak dapat digunakan menentukan diagnosis pada penderita berat yang meninggal sebelum terjadinya serokonversi. Infeksi Leptospira akut sangat sulit didiagnosis dengan pemeriksaan sampel tunggal, karena titer antibodi penderita dipengaruhi oleh tingkat paparan yang terjadi di dalam populasi dan seroprevalensi. Oleh karena itu, menurut communicable disease controle (CDC), yang dianggap kasus mungkin (probable) adalah penderita yang memiliki titer antibodi ≥200 dengan gejala klinis yang sesuai. Penilaian ini dapat diterapkan di negara dengan paparan Leptospira yang jarang, sedangkan untuk negara tropis dengan tingkat paparan Leptospira yang tinggi, maka titer tunggal adalah ≥800, tetapi untuk lebih pasti disarankan titer ≥1.600.

20

Page 21: Lepto Spiros Is

MAT juga merupakan tes yang cukup baik untuk serosurvei epidemiologi, karena dapat juga dipakai pemeriksaan pada binatang, dan antigen yang dipakai dapat ditambah atau dikurangi sesuai dengan kebutuhan. Biasanya sebagai bukti mendapat paparan sebelumnya adalah titer ≥100. MAT dapat memberikan gambaran umum tentang serogrup yang ada dalam populasi. Karena pemeriksaan MAT sangat komplek, maka dikembangkan sistem pemeriksaan antibodi Leptospira yang cepat. Ada berbagai metode serodiagnostik untuk leptospirosis. Beberapa di antaranya sudah tersedia secara komersial. Tes yang paling sering digunakan sebagai pengganti MAT adalah tes enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).

2.b.2. Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)Tes ELISA sangat popular dan bahan yang diperlukan untuk pemeriksaan

sudah tersedia secara komersial dengan antigen yang diproduksi sendiri (in house). Untuk mendeteksi IgM umumnya digunakan antigen spesifik genus yang bereaksi secara luas, teknik ini kadang-kadang juga digunakan untuk mendeteksi antibodi IgG. Adanya antibodi IgM merupakan pertanda adanya infeksi baru Leptospira, atau infeksi yang terjadi beberapa minggu terakhir.

Test ELISA cukup sensitif untuk mendeteksi Leptospira dengan cepat pada fase akut, dan lebih sensitif dibandingkan dengan MAT. Tes ini dapat mendeteksi antibodi IgM yang muncul pada minggu pertama sakit, sehingga cukup efektif untuk mendiagnosis penyakit. ELISA dapat juga digunakan untuk mendeteksi antibodi IgM dalam cairan serebrospinal, saliva dan urine. Harus diingat bahwa, antibodi klas IgM kadang-kadang masih dapat dideteksi sampai bertahun-tahun, sehingga titer positif (cut-off point) harus ditentukan dengan dasar pertimbangan yang sama seperti MATTes ELISA spesifik genus cendrung memberikan reaksi positif lebih dini dibandingkan dengan MAT. ELISA biasanya hanya mendeteksi antibodi yang bereaksi dengan antigen spesifik genus yang sangat luas, sehingga tidak dapat menentukan serovar atau serogrup penyebab.

Metode ELISA telah banyak dimodifikasi, misalnya, Dot-ELISA spesifik IgM dikembangkan menggunakan antigen Leptospira polivalen yang diteteskan di atas kertas filter selulose sumur mikrotiter. Dengan metode ini, jumlah reagen yang dibutuhkan sedikit. Di samping untuk mendeteksi IgM, metode ini dimodifikasi untuk mendeteksi IgG dan IgA. Dipstick assay telah digunakan secara luas di beberapa negara. Dari hasil pemeriksaan sampel darah yang diambil pada fase akut, tes ini memberikan sensitifitas 60,1%, dan bila sampel darah diambil pada fase konvalesen sensitifitasnya meningkat menjadi 87,4%.17 Dari hasil penelitian ternyata sensitifitas IgM-ELISA dan IgM-dipstick komersial untuk mendeteksi leptospirosis akut adalah 89,6-98% dan spesifisitasnya 90-92,7% dengan nilai ramal positif 87,6-90% dan nilai ramal negatif 90,7-92%. Pemeriksaan dot immunoblot dengan menggunakan conjugate koloid emas dapat memberikan hasil pemeriksaan dalam waktu 30 menit.3,1

2.b.3. Tes serologis lainTes macroscopic slide agglutination sudah pernah dilakukan pada binatang

dan manusia. Sering digunakan untuk penapisan serum manusia atau binatang, tetapi sering memberikan hasil positif palsu. Juga dapat digunakan sel darah merah yang disensitisasi, bila ditambahkan komplemen akan mengalami hemolitik. Di samping itu, juga dapat dilakukan pemeriksaan hemaglutinasi. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG.

Pemeriksaan indirect hemagglutination (IHA) dikembangkan oleh communicable disease control (CDC), mempunyai sensitifitas 92%, spesifisitas 95%, dan dengan nilai ramal negatif 92%, bila dibandingkan dengan MAT. Metode ini

21

Page 22: Lepto Spiros Is

tersedia secara komersial. Sensitifitas IHA pada populasi yang endemi Leptospira memberikan hasil yang sangat bervariasi.

Tes aglutinasi mikrokapsul menggunakan polimer sintetik sebagai pengganti sel darah merah telah dievaluasi secara luas di Jepang dan China, ternyata lebih sensitif dibandingkan dengan MAT atau ELISA-IgM untuk pemeriksaan fase akut, tetapi gagal mendeteksi infeksi yang disebabkan oleh banyak serovar.

Pemeriksaan aglutinasi latex sederhana (simple latex agglutination assay) mempunyai sensitifitas 82,3% dan spesifisitas 94,6%. Pemeriksaan ini sangat mudah dilakukan dan tidak memerlukan keahlian dan peralatan khusus. Reagen mempunyai masa hidup lama, walaupun pada temperatur lingkungan daerah tropis. Teknik lain adalah immunofluorescence, RIA, counterimmunoelectroforesis dan immuno assay tetes tebal, tetapi jarang digunakan.

3. Pemeriksaan MolekulerDNA Leptospira dapat dideteksi menggunakan metode dot-blotting dan

hybridisasi. Probe rekombinan yang spesifik untuk serovar patogen sudah dibuat dari serovar lai. Probe spesifik untuk serovar hardjobovis juga sudah dikembangkan dan digunakan untuk mendeteksi Leptospira dari urine sapi. Agar dapat mendeteksi, probe yang dilabel dengan 32P membutuhkan 103 Leptospira, sedangkan jumlah Leptospira yang dapat dideteksi oleh PCR jauh lebih rendah, sehingga sekarang teknik probe sudah tidak digunakan lagi.

3.a. Teknologi PCRPolymerase chain reaction (PCR) adalah metode amplifikasi segmen DNA

Leptospira yang terdapat di dalam sampel klinik. Jadi, adanya Leptospira dipastikan dengan menemukan segmen DNA Leptospira yang spesifik. Metode ini sangat berguna untuk mendiagnosis leptospirosis terutama pada fase permulaan penyakit. Alat ini dapat mendeteksi Leptospira beberapa hari setelah munculnya gejala penyakit. Akan tetapi, alat ini belum tersedia secara luas terutama di negara yang sedang berkembang. Untuk mendeteksi DNA Leptospira, teknologi PCR membutuhkan sepasang primer dengan sasaran gen spesifik, seperti gen Rrna 16S dan 23S, atau elemen pengulangan. Di samping itu, ada juga yang disusun dari pustaka genom. Umumnya teknologi ini sangat jarang dipakai untuk memeriksa spesimen klinik.

Dari hasil penelitian penderita yang sudah didiagnosis leptospirosis secara pasti, ternyata yang menunjukkan hasil biakan positif sekitar 48%, sementara PCR 62%, sedangkan pemeriksaan serologis 97%. Pada keadaan tertentu pemeriksaan PCR lebih menguntungkan. Sebagai contoh, pemeriksaan ini dapat memberikan hasil positif pada 2 penderita yang meninggal sebelum terjadi serokonversi, dan juga memberi hasil positif pada 18% penderita seronegatif padapermulaan fase akut. Merien dkk. (1992) membuat sepasang primer yang dapat mengamplifikasi fragmen yang panjangnya 331 pasang basa dari gen rrs (rRNA 16S) Leptospira patogen dan non-patogen dengan harapan agar dapat mendeteksi seluruh serovarpatogen. Gravekamp dkk. (1993) membuat primer G1 dan G2.25 Primer ini mempunyai kelemahan yaitu tidak dapat mengamplifikasi serovar L. kirschneri. Kedua pasang primer ini sudah digunakan secara luas untuk studi klinik.

Keterbatasan PCR adalah tidak mampu untuk mendeteksi jenis serovar yang menginfeksi. Walaupun demikian PCR bermanfaat untuk epidemiologi dan kesehatan masyarakat. Agar lebih bermanfaat, maka hasil yang diperoleh dicerna dengan enzim endonuclease restriksi, kemudian amplicon yang diperoleh disikuens langsung, atau dianalisis dengan metode konformasi untai tunggal.

22

Page 23: Lepto Spiros Is

Keuntungan pemeriksaan PCR adalah, bila bakteri ada maka diagnosis dapat dipastikan dengan cepat terutama pada fase dini penyakit sebelum titer antibodi dapat dideteksi. Kelemahannya, memerlukan peralatan dan tenaga ahli yang khusus. Disamping itu, PCR dapat memberikan hasil positif palsu, apabila terkontaminasi oleh DNA asing. Dia juga dapat memberi hasil negatif palsu, karena spesimen klinik yang diperiksa sering mengandung inhibitor seperti heparin dan saponin.

3.b. Pemetaan molekulerMetode yang digunakan adalah mencerna DNA kromosom menggunakan

restriction endonuclease (REA), restriction fragment length polymorphism (RFLP), ribotyping, pulsed-field gel electrophoresis (PFGE) dari hasil PCR. Metode-metode ini dapat digunakan untuk mendeteksi berbagai serovar.

Diagnosis BandingTermasyuk dalam diagnosis banding adalah infeksi virus dengue, baik demam dengue

maupun demam berdarah dengue, hemorrhagic fever yang lain, dan penyakit lain yang ditularkan melalui arthropod-borne dan rodent-borne yang patogen.

KomplikasiMeningitis aseptik merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan. Gagal gnjal,

kerusakan hati, perdarahan paru, vaskulitis, dan miokarditis jarang ditemukan walaupun pada umumnya sebagai menyebabkan kematian.

PENATALAKSANAAN LEPTOSPIROSIS

PENGOBATAN

Pengobatan kasus leptospirosis masih diperdebatkan. Sebagian ahli mengatakan

bahwa pengobatan leptospirosis hanya berguna pada kasus – kasus dini (early stage)

sedangkan pada fase ke dua atau fase imunitas (late phase) yang paling penting adalah

perawatan.10 Tujuan pengobatan dengan antibiotik adalah:

1. mempercepat pulih ke keadaan normal

2. mempersingkat lamanya demam

3.mempersingkat lamanya perawatan

4. mencegah komplikasi seperti gagal ginjal (leptospiruria)

5. menurunkan angka kematian

Obat pilihan adalah Benzyl Penicillin. Selain itu dapat digunakan Tetracycline,

Streptomicyn, Erythromycin, Doxycycline, Ampicillin atau Amoxicillin. Pengobatan dengan

Benzyl Penicillin 6-8 MU iv dosis terbagi selama 5-7 hari. Atau Procain Penicillin 4-5

MU/hari kemudian dosis diturunkan menjadi setengahnya setelah demam hilang, biasanya

lama pengobatan 5-6 hari. Jika pasien alergi penicillin digunakan Tetracycline dengan dosis

23

Page 24: Lepto Spiros Is

awal 500 mg, kemudian 250 mg IV/IM perjam selama 24 jam, kemudian 250-500mg /6jam

peroral selama 6 hari. Atau Erythromicyn dengan dosis 250 mg/ 6jam selama 5 hari.

Tetracycline dan Erythromycin kurang efektif dibandingkan dengan Penicillin. Ceftriaxone

dosis 1 g. iv. selama 7 hari hasilnya tidak jauh berbeda dengan pengobatan menggunakan

penicillin.(11) Oxytetracycline digunakan dengan dosis 1.5 g. peroral, dilanjutkan dengan 0.6

g. tiap 6 jam selama 5 hari; tetapi cara ini menurut beberapa penelitian tidak dapat mencegah

terjadinya komplikasi hati dan ginjal.

Pengobatan dengan Penicillin dilaporkan bisa menyebabkan komplikasi berupa reaksi

Jarisch-Herxheimer. Komplikasi ini biasanya timbul dalam beberapa waktu sampai dengan 3

jam setelah pemberian penicillin intravena; berupa demam, malaise dan nyeri kepala; pada

kasus berat dapat timbul gangguan pernafasan.

Pengobatan harus segera dilakukan seawal mungkin terutama dalam 2-3 hari pertama.

Imunoterapi dengan menggunakan imunoglobulin spesifik serum kuda yang diberikan

lima hari pertama terbukti efektif untuk mencegah progresivitas penyakit serta

memperbaiki prognosis.

Antibiotika perannya sangat penting dalam penaggulangan leptospirosis.

Berbagai antibiotika bermanfaat karena cukup sensitive terhadap leptospira seperti

streptomicin, penisilinn, tetrasiklin, eritromicin, siprofloksasin, sefalosporin. Untuk penicilin

dan cephema mempunyai minimal inhibitory concentration ( MIC) terendah terhadap

leptospira. Penicilin potensial membunuh leptospira pada fase pertumbuhan logaritmik,

kurang efektif pada fase-fase stasioner. Pada infeksi 4-5 hari pertama streptomisin sangat

efektif mengeliminasi leptospira. Streptomisin 1-2 gram 2 kali sehari intramuskuler,

diberikan 2-4 hari sangat efektif pada sindroma weil’s. Antibiotika yang dapat bekerja pada

24

Page 25: Lepto Spiros Is

fase pertumbuhan logaritmik maupun stasioner adalah gentamisin, tobramisin dan

isepamisin.6

Tabel 3. Terapi dan kemoprofilaksis leptospirosis

Indikasi Regimen

Terapi leptospirosis ringan

Terapi leptospirosis sedang dan berat

Kemoprofilaksis

Doksisiklin 100 mg per oral 2 kali, atau

ampicilin 500-750 mg per oral 4 kali sehari,

atau amoksisilin 500 mg 4 kali sehari.

Penicilin G 1,5 juta unit intravena 4 kali,

atau ampicillin 4 kali 1 gram, atau

amoksisilin 4 kali 1 gram, atau eritromisin 4

kali 500 mg.

Doksisiklin 200 mg per oral per minggu.

Catatan: untuk terapi semua regimen diberikan 7 hari

PENCEGAHAN

Yang paling penting adalah menghindari daerah yang diperkirakan banyak binatang

pengeratnya dengan risiko kontaminasi urine hewan tersebut. Beberapa peneliti

menganjurkan antibiotik untuk pencegahan; yang terbaik adalah doxycycline 200

mg./minggu. Selain itu pemberian antibiotik tersebut pada awal penyakit (fase dini) dapat

mengurangi gejala seperti: demam, nyeri kepala, badan tidak enak dan nyeri otot; juga dapat

mencegah terjadinya leptospiruria (ditemukannya kuman leptospira dalam urin) dan yang

penting tidak ditemukan efek samping yang merugikan pasien.

Kontrol infeksi leptospira harus dilandasi upaya pencegahan dan menurunkan karier

leptospira antara lain sebagai berikut.13

Salah satu upaya adalah melindungi kulit pada saat kontak dengan air kotor dengan

baju pelindung, sepatu boot, sarung tangan.

Bagi pekerja ditempat berisiko tinggi perlu dilakukan vaksinasi menggunakan vaksin

serovar copenhageni, autumnalis, hebdomadis, australis, pyrogenes.

Karena transmisi sering terdapat pada air kotor maupun tanah yang terpapar

leptospira, maka mengusahakan drainase air, melakukan disinfeksi tanah

25

Page 26: Lepto Spiros Is

menggunakan lime, serta menghindari penularan infeksi melalui kulit intak maupun

mukosa saluran cerna.

Inada dan kawan-kawan juga menyarankan untuk dilakukan imunisasi pada binatang

dengan spirochaeta yang telah dimatikan dengan menggunakan carbolic acid.

Paling efektif dengan kontrol terhadap tikus, dan menghindari kontak dengan urine

dan air terkontaminasi leptospira.

Bagi induvidu yang berisiko tinggi terpapar leptospira atau akan mengunjungi daerah

endemik dianjurkan memakai doksisiklin 200 mg perminggu.

PROGNOSIS

Secara umum kasus yang ditangani dengan baik dengan perawatan yang dianjurkan,

prognosisnya baik. Angka kematian menjadi tinggi pada penderita lanjut usia, yang

mengalami jaundice berat, datang dengan komplikasi gagal ginjal akut dan dengan kegagalan

pernafasan akut. Mortalitas leptospirosis berat mencapai 15-40%.

26

Page 27: Lepto Spiros Is

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

1. Penyakit leptospirosis mungkin banyak terdapat di Indonesia terutama di musim

penghujan.

2. Pengobatan dengan antibiotik merupakan pilihan terbaik pada fase awal ataupun fase

lanjut (fase imunitas).

3. Selain pengobatan antibiotik, perawatan pasien tidak kalah pentingnya untuk

menurunkan angka kematian.

4. Angka kematian pada pasien leptospirosis menjadi tinggi terutama pada usia lanjut,

pasien dengan ikterus yang parah, gagal ginjal akut, gagal pernafasan akut.

SARAN

1. Pada orang berisiko tinggi terutama yang bepergian ke daerah berawa-rawa

dianjurkan untuk menggunakan profilaksis dengan doxycycline.

2. Masyarakat terutama di daerah persawahan, atau pada saat banjir mungkin ada

baiknya diberi doxycycline untuk pencegahan.

3. Para klinisi diharapkan memberikan perhatian pada leptospirosis ini terutama di

daerah-daerah yang sering mengalami banjir.

4. Penerangan tentang penyakit leptospirosis sehingga masyarakat dapat segera

menghubungi sarana kesehatan terdekat.

27

Page 28: Lepto Spiros Is

DAFTAR PUSTAKA

1. Scott G, Coleman TJ. Leptospirosis. In: Cook GC, Zumla AI eds. Manson’s Tropical

Diseases 21st ed. London: Saunders 2003;68:1165-73

2. Farrar WE, Leptospira species (leptospirosis). In: Mandel GL, Bennet JE, Dolin R,

eds. Principles and Practice of Infectious Diseases 3rd ed. New York: Churchill

Livingstone; 1995: p.2137-41

3. Sitprija V. Leptospirosis. In:Weatherall, Ledingham, Warrel, eds. Oxford Textbook of

Medicine 3rd ed. Oxford: Oxford University Press 1996:p.689-91

4. Faine S. Leptospirosis. Turano A, ed. Laboratory Diagnosis of Infectious Diseases:

Principles and Practice. New York: Springer-Verlag, 1988.

5. Faine S. Leptospirosis. WHO 1982 (WHO Offset Publ. 67) Guidugli F, Castro AA,

Atallah AN. Antibiotic for preventing leptospira. Cochrane database of systematic

reviews. The Cochrane Library 2004;2

6. Watt G, Padre LP, Tuazon ML, Calubaquib C, Santigo E, Ranoa CP, et al. Placebo

controlled trial of intravenous penicillin for severe and late leptospirosis. Lancet

1988;1(8583): 433-5

7. Panaphut T, Domrongkitchairporn S, Vibhagool A, Thinkamrop B, Susaengrat W.

Ceftriaxone compared with sodium penicillin G for treatment of severe leptospirosis.

CID 2003;36(12):1507-13

8. Bovet P, Yersin C, Merien F, et al. Factors associated with clinical leptospirosis: a

population-based case control study in the seychelles (Indian Ocean). International

Epidemiological Association. 1998; 28: 583-586.

9. Chaparro S, Montoyo JG. Borrelia and leptospira species. In : Current Diagnosis and

Treatment in Infectious Disease. Editors: Wilson WR, Sande MA. International

edition. New York. 2001.680-9.

10. Guerreiro, Croda J, Flannery B, et al. Leptospiral proteins recognized during the

humoral immune response to leptospirosis in humans. Infection and immunity. 2001;

69: 49-58.

11. Kobayashi Y. Discovery of the causative organism of Weil’s disease: historical

review. J infect chemother. 2001; 7: 10.

28

Page 29: Lepto Spiros Is

12. Koizumi N, Watanabe H. Identification of a novel antigen of pathogenic leptospira

spp. That reacted with convalescent mice sera. Journal of medical microbiology.

2003; 52: 585.

13. Lee SH, Kim S, Park SC, et al. Cytotoxic activities of leptospira interrogans

hemolysin SphH as a pore forming protein on mammalian cells. Infections and

immunity. 2002; 70: 315.

14. Levett PN. Leptospirosis. Clinical microbiology review. 2001; 14: 296.

15. Lomar AV, Diament D, Torres JR. Leptospirosis in Laten America. Infectious disease

clinics of North America. 2000; 14: 23.

16. Periera MM, Matsuo MGS, Bauab AR, et al. A clonal subpopulation of leptospira

interrogans sensu stricto is the mayor cause of leptospirosis outbreaks in Brazil.

Journal of clinical microbiology. 2000; 38: 450.

17. Saengjaruk P, Chaicumpa W, Watt G. Diagnosis of human leptospirosis by

monoclonal antibody-based antigen detection in urine. Journal of clinical

microbiology. 2002; 40: 480.

18. Speelman P. Leptospirosis. In: Harrison’s principles of Internal medicine. Volume

17th edition. Editors: Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, et al. 2001. New York:

McGraw Hill, Medical publishing division. 988.

19. Widarso, Wilfried. Kebijakan departemen kesehatan dalam penanggulangan

leptospirosis di Indonesia. Dalam: Simposium leptospirosis. Editor: Riyanto B,

Gasem MH, Sofro MAU, et al. 2002. Semarang: Balai penerbit Undip: 1-10.

20. Nasranudin. Kegawatan pada leptospirosis. Dalam: Penyakit infeksi di Indonesia.

Editors: Nasronudin, Hadi U, Vitanata, et al. 2007. Airlangga University Press. 154-

165.

29