presentasi kasus epistaksis surya 2016
DESCRIPTION
epistaksisTRANSCRIPT
![Page 1: Presentasi Kasus Epistaksis Surya 2016](https://reader035.vdocuments.net/reader035/viewer/2022081723/577c7ce01a28abe0549c6b7e/html5/thumbnails/1.jpg)
1
Presentasi Kasus
EPISTAKSIS ANTERIOR
Presentator : dr. Hermawan Surya D
Moderator : dr. Agrina Nurlisyari
Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok – Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/ RS DR.SardjitoYogyakarta
2016
![Page 2: Presentasi Kasus Epistaksis Surya 2016](https://reader035.vdocuments.net/reader035/viewer/2022081723/577c7ce01a28abe0549c6b7e/html5/thumbnails/2.jpg)
2
PENDAHULUAN
Epistaksis merupakan masalah yang
sering terjadi mulai dari hanya
ditemukannya berkas darah sampai bekuan
darah pada perdarahan masif yang dapat
mengancam jiwa.1 Epistaksis anterior
adalah terjadinya suatu perdarahan dari
dalam hidung bagian anterior.2 Epistaksis
sering sekali merupakan gejala atau
manifestasi penyakit lain. Kebanyakan
ringan dan dapat berhenti sendiri tanpa
memerlukan bantuan medis, tetapi epistaksis
yang berat walaupun jarang merupakan
masalah kedaruratan yang dapat berakibat
fatal bila tidak segera ditangani.3
Epistaksis merupakan salah satu
kasus kegawatdaruratan sehingga lebih
sering dijumpai di IGD, dimana setiap
dokter harus siap menangani kasus tersebut.
Beberapa penelitian di Amerika,
Skandinavia dan Inggris menyatakan
insidensi epistaksis rata-rata sebesar 7-14%.4
Sekitar 60% penduduk dunia pasti pernah
mengalami epistaksis, terutama epistaksis
anterior setidaknya sekali dalam periode
hidupnya dan hanya 6% yang
membutuhkan pertolongan medis.5
Epistaksis anterior umumnya sering terjadi
pada masa anak-anak tetapi jarang pada
anak dibawah usia 2 tahun.1
Perdarahan hidung diawali oleh
pecahnya pembuluh darah di dalam selaput
mukosa hidung. 80% perdarahan berasal
dari pleksus kiesselbach (little area).
Pleksus kiesselbach terletak di septum nasi
anterior di belakang persambungan
mukokutaneus merupakan tempat pembuluh
darah yang kaya akan anastomosis, 90%
daerah septum anterior divaskuarisasi oleh
pleksus kiesselbach. Penyebab epistaksis
multifaktor, epistaksis dapat ditimbulkan
oleh sebab-sebab lokal, kelainan sistemik
maupun idiopatik.6,7
Orang yang berusia menengah dan
lanjut, terlihat adanya perubahan progresif
dari otot pembuluh darah tunika media
menjadi jaringan kolagen. Perubahan
tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial
sampai perubahan yang komplit menjadi
jaringan parut. Perubahan tersebut dapat
menyebabkan gagalnya kontraksi pembuluh
darah karena hilangnya otot tunika media
sehingga menyebabkan perdarahan yang
banyak dan lama. Pada orang yang lebih
muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan
setelah terjadinya epistaksis memperlihatkan
area yang tipis dan lemah. Kelemahan
dinding pembuluh darah ini disebabkan oleh
iskemia lokal atau trauma.1
![Page 3: Presentasi Kasus Epistaksis Surya 2016](https://reader035.vdocuments.net/reader035/viewer/2022081723/577c7ce01a28abe0549c6b7e/html5/thumbnails/3.jpg)
3
Gambaran klinis yang perlu
diperhatikan pada pasien dengan epistaksis
adalah 1) adanya perdarahan berasal dari
anterior atau posterior, 2) perkiraan jumlah
perdarahannya, 3) perdarahan yang timbul
apakah terus menerus atau intermitten, 4)
hemoptisis atau hematemesis, 5) anxietas
biasanya timbul pada pasien dengan
epistaksis, 6) Shock dapat terjadi bila
perdarahannya banyak.8
Pasien epistaksis anterior akan
terlihat adanya perdarahan dari hidung
dengan jumlah perdarahan yang bervariasi,
bisa sedikit atau banyak sehingga bisa
membahayakan. Perdarahan dapat keluar
dari anterior atau posterior (post nasal),
dimana darah bisa ditelan atau diludahkan
pasien. Sifat perdarahan bisa terus menerus
(continuous) atau hilang timbul (internitten).
Kadang kala pasien juga mengeluhkan
adanya hemoptisis atau hematemesis dan
biasanya datang dengan keadaan cemas.
Bahkan pada kasus perdarahan yang hebat
bisa terjadi syok. 8,9
Penegakan diagnosis pada kasus
epistaksis lebih ditekankan pada kelainan
atau penyakit yang mendasari, untuk itu
perlu anamnesis yang teliti, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada
anamnesis perlu ditanyakan apakah darah
terutama mengalir ke tenggorokan
(posterior) atau keluar dari hidung depan
(anterior), lamanya perdarahan dan
frekwensinya, riwayat perdarahan
sebelumnya, riwayat gangguan perdarahan
dalam keluarga, hipertensi, diabetes melitus,
penyakit hati, gangguan koagulasi trauma
hidung yang belum lama terjadi dan
konsumsi obat-obatan.8
Tiga prinsip utama dalam
penanganan epistaksis yaitu menghentikan
perdarahan, mencegah komplikasi, dan
mencegah berulangnya epistaksis.
Penatalaksanaan epistaksis dibagi dalam
penatalaksanaan keadaan akut dan
penatalaksanaan definitif. Penatalaksanaan
akut adalah upaya untuk mengidentifikasi
sumber perdarahan dan menghentikan
perdarahan tersebut, sedangkan
penatalaksanaan definitif adalah untuk
mengetahui penyebab dari epistaksis
tersebut. 7,8
Penanganan epistaksis, yang
terutama harus diperhatikan adalah
perkiraan jumlah dan kecepatan perdarahan.
Pemeriksaan tanda-tanda vital, hematokrit,
hemoglobin harus cepat dilakukan untuk
mengevaluasi kondisi pasien.8
Prognosis epistaksis secara umum
baik namun bervariasi. Dengan terapi yang
![Page 4: Presentasi Kasus Epistaksis Surya 2016](https://reader035.vdocuments.net/reader035/viewer/2022081723/577c7ce01a28abe0549c6b7e/html5/thumbnails/4.jpg)
4
adekuat dan kontrol penyakit yang teratur.,
sebagian besar pasien tidak mengalami
perdarahan ulang. Pada beberapa penderita,
epistaksis dapat sembuh spontan tanpa
pengobatan. Hanya sedikit penderita yang
memerlukan pengobatan yang lebih
agresif.6,7
LAPORAN KASUS
Seorang laki-laki usia 24 tahun
datang ke IGD RS. Sardjito dengan keluhan
utama keluar darah dari hidung sebelah kiri.
Keluhan dirasakan sejak 1 jam sebelum
masuk rumah sakit setelah pasien mengorek-
ngorek hidung kirinya. Darah yang keluar
sedikit tapi terus menerus dan pasien
menekan dan menyumpal hidung kirinya
dengan tissue tapi darah masih tetap
mengalir keluar. Pasien tidak merasakan ada
darah yang tertelan, hidung tersumbat atau
nyeri pada hidung. Sebelum perdarahan
pasien tidak demam, batuk dan pilek.
Pemeriksaan tanda-tanda vital
pasien, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi
84x/menit, respirasi 20x/menit, suhu 36.50C,
keadaan umum pasien baik, tenang dan
stabil. Dari pemeriksaan fisik telinga
didapatkan aurikula dextra dan sinistra
dalam batas normal, dari pemeriksaan
otoskopi didapatkan membran timpani
dextra dan sinistra intak dengan reflex
cahaya (+). Pada pemeriksaan rhinoskopi
anterior tampak darah keluar dari septum
nasi sebelah kiri, letak keluar perdarahan
sulit dinilai, pada pemeriksaan rhinoskopi
posterior tidak tampak perdarahan dari
dinding posterior rongga hidung. Pada
pemeriksaan orofaring dalam batas normal.
Pasien mengaku sudah dua kali
mempunyai riwayat mimisan dalam 3 bulan
terakhir. Riwayat mimisan 3 bulan lalu
pasien mengaku keluar darah dari hidung
kiri setelah mengorek hidung kirinya dan
berhenti dengan sendirinya tanpa
pengobatan. Pasien menyangkal
mempunyai riwayat gangguan pembekuan
darah, hipertensi, diabetes melitus. Pasien di
diagnosa dengan epistaksis anterior.
Pada pasien tersebut dilakukan
tampon adrenalin selama 5 menit, kemudian
dilepas. Diobservasi selama 15 menit,
setelah 15 menit tidak tampak lagi
perdarahan. Pasien diperbolehkan pulang
dan diberikan edukasi untuk sementara
tidak mengorek-ngorek rongga hidung.
Permasalahan pada kasus ini adalah
rekurensi.
![Page 5: Presentasi Kasus Epistaksis Surya 2016](https://reader035.vdocuments.net/reader035/viewer/2022081723/577c7ce01a28abe0549c6b7e/html5/thumbnails/5.jpg)
5
DISKUSI
Pada pasien ini diagnosis epistaksis
anterior ditegakkan berdasarkan anamnesa,
yaitu adanya keluhan keluar darah dari
hidung sebelah kiri kurang lebih 1 jam
sebelum pasien datang ke ugd. Sebelumnya
pasien mengaku mengorek- ngorek
hidungnya. Pasien tidak mengeluhkan
adanya darah yang mengalir di tenggorokan.
Dari pemeriksaan fisik, pada
pemeriksaan rhinoskopi anterior tampak
darah keluar dari septum nasi sebelah kiri,
letak keluar perdarahan sulit dinilai. Pada
pemeriksaan rhinoskopi posterior tidak
tampak adanya perdarahan dari dinding
posterior rongga hidung.
Epistaksis anterior sering berasal dari
depan septum yang kaya akan anastomosis
dari cabang-cabang arteri sfenopalatina,
arteri etmoid anterior, arteri labialis superior
dan arteri palatina mayor yang disebut
plexus kiesselbach (little’s area). Plexus
kiesselbach letaknya superfisial dan mudah
cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi
sumber epistaksis pada anak. Pasien dengan
epistaksis anterior akan terlihat adanya
perdarahan yang keluar dari hidung dengan
jumlah perdarahan yang bervariasi, bisa
sedikit atau profus sehingga
membahayakan.8
Prinsip dari penatalaksanaan
epistaksis yang pertama adalah menjaga 1)
jalan nafas : pastikan jalan nafas tidak
tersumbat atau bebas, posisikan pasien
duduk dan menunduk 2) pernafasan :
pastikan proses bernafas dapat berlangsung,
batukkan atau keluarkan darah yang
mengalir ke belakang tenggorokan, 3)
sirkulasi : pastikan proses perdarahan tidak
mengganggu sirkulasi darah tubuh, pastikan
pasang jalur infus intravena bila terdapat
gangguan sirkulasi.9
Penatalaksanaan epistaksis anterior
pada pasien ini adalah dengan diberikan
tampon kassa dan adrenalin (1:10.000)
selama 5 menit, kemudian diambil.
Diobservasi selama 15 menit, karena sudah
tidak terjadi perdarahan pasien
diperbolehkan pulang dan diberikan edukasi
untuk tidak mengorek- ngorek atau
manipulasi lain di hidung.
Penatalaksanaan epistaksis anterior
disesuaikan dengan keadaan pasien. Pada
epistaksis ringan perdarahan dapat
dihentikan dengan cara duduk, kepala
ditegakkan kemudian cuping hidung ditekan
dengan jari kearah septum selama 15 menit.
Setelah menentukan lokasi perdarahan,
dilakukan pemasangan tampon adrenalin
dan lidokain serta bantuan alat penghisap
![Page 6: Presentasi Kasus Epistaksis Surya 2016](https://reader035.vdocuments.net/reader035/viewer/2022081723/577c7ce01a28abe0549c6b7e/html5/thumbnails/6.jpg)
6
untuk membersihkan bekuan darah bila
darah banyak dan sumber perdarahan sulit
dinilai.7,9
Penggunaan dekongestan jenis
oxymetazoline bisa digunakan sebagai
pengganti adrenalin terutama pada pasien
dengan hipertensi, hal ini dikarenakan sifat
oxymetazoline yang lebih spesifik
mempengaruhi reseptor alfa 1 dan sebagian
alfa 2.10
Pada epistaksis anterior jika sumber
perdarahan dapat dilihat dengan jelas dapat
dilakukan kaustik dengan larutan nitras
argenti 20%-30% (asam trikloroasetat 10%)
atau dengan elektrokauter. Sebelum
dilakukan kaustik diberi analgetik topikal
terlebih dahulu. Tindakan kauterisasi dapat
dilakukan dengan menggunakan nasal
endoskopi untuk melihat lebih jelas sumber
perdarahan sehingga dapat dilakukan
kauterisasi dengan tepat.10,11 Bila dengan
kaustik perdarahan masih berlangsung,
diperlukan pemasangan tampon anterior.10
Bila sumber perdarahan sulit untuk
dievaluasi dilakukan tampon anterior.
Tampon anterior rongga hidung berupa kasa
pita lebar 3 cm, pemasangan mulai dari atas
sampai bawah yang sebelumnya sudah
dilumasi dengan antibiotik. Pemasangan
tampon sampai konka inferior. Penggunaan
tampon anterior ini sampai 2 x 24 jam,
kemudian dievaluasi apakah masih ada
perdarahan. Jika sudah tidak ada bisa
dilepas. Tetapi jika masih terdapat
perdarahan, diberikan tampon lagi sampai 2
x 24 jam. Jika dalam evaluasi selanjutnya
masih terdapat perdarahan perlu
dipertimbangkan intervensi tindakan bedah,
seperti ligasi, septoplasti dan embolisasi.2
Pada kasus yang tidak responsif
dengan kauter, tampon anterior maupun
posterior, perdarahan rekuren atau berat
yang mengancam jiwa bila dengan terapi
medis gagal bisa dilakukan tindakan
pembedahan. Tindakan pembedahan
dilakukan untuk meligasi arteri maksilaris,
arteri karotis eksterna dan arteri ethmoid.12
Kekambuhan pada pasein ini
kemungkinan disebabkan pasien sering
menggosok dan mengorek hidungnya.
Dua faktor yang paling penting dari
epistaksis adalah 1) Trauma Minor seperti
mengorek-ngorek hidung, menggaruk
hidung, bersin, batuk atau mengejan. 2)
Mukosa hidung yang rapuh seperti adanya
infeksi saluran nafas atas, inflamasi kronis
pengeringan mukosa.7,8
![Page 7: Presentasi Kasus Epistaksis Surya 2016](https://reader035.vdocuments.net/reader035/viewer/2022081723/577c7ce01a28abe0549c6b7e/html5/thumbnails/7.jpg)
7
RINGKASAN
Telah dilaporkan pasien laki-laki usia 24
tahun dengan diagnosis epistaksis anterior.
Pada pasien ini dilakukan pemasangan
tampon adrenalin dan diobservasi selama 15
menit, perdarahan dapat teratasi pasien
diperbolehkan pulang dan diberi edukasi
supaya tidak mengorek-ngorek rongga
hidungnya.
![Page 8: Presentasi Kasus Epistaksis Surya 2016](https://reader035.vdocuments.net/reader035/viewer/2022081723/577c7ce01a28abe0549c6b7e/html5/thumbnails/8.jpg)
8
DAFTAR PUSTAKA
1. Schlosser,J,Rodney, Bleier,SB,
Epistaxis, In Baley BJ & Johnson JT,
Otolaryngology Head & Neck
Surgery-. 5th edition. Lippincott
Williams & Wilkins. 2014.P: 501-7.
2. Krichener, J Lang dalam Buku Acuan
Modul Hidung Epistaksis, Kolegium
THT-KL 2008, hal.2.
3. A Soepardi Efiaty. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala & Leher edisi 7, Balai
Penerbit FKUI. Jakarta, 2015. Hlm
131-7.
4. Calder,N,et,al. A double blind
randomized controlled trial of
management of reccurent nosebleeds
in children. Otolaryngology Head &
Neck Surgery. 2009.
5. Vikram,V,J et.al, Aetiology and
management of epistaxis in Children,
Otoloaryngology Online Journal Vol.
4 issue 4.2014.
6. S. Gailard et,al. Tranexamid acid for
epistaxis in hereditary hemorrhagic
teleangiectasis patients. Juornal of
homeostasis, Europe. 2014.
7. Steve Caroll DOEM Basic Epistaxis.
Departement of Defense, the US
Army, or the SAUSHEC EM
Residency.2014.
8. Chethan Kumar,et.al. A clinic study
Of Epistaxis, International Journal of
Clinical and Diagnostic research
volume 2, Issue 4, Jul-Aug 2014.
9. Kalzi,AE (eds), Lea and Febiger
Manual of Otolaryngology Head
anad Neck Therapeutic Philadelphia.
2004.
10. Henri Traboulsi,et.al. Changing trend
in management of epistaxis.
Departement Otolaryngology Head &
Neck Surgery, American University
of Beirut Phase I, 6th floor Medical
Cebtre, Libanon 2015.
11. McGarry GW. Nasal endoscope in
posterior epistaxis, a preliminary
evaluation. The journal of
Laryngology and Otology
1991:105:428-431.