referat epistaksis
DESCRIPTION
epistaksisTRANSCRIPT
2.5. Anamnesis dan Pemeriksaan
Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam menentukan sebab perdarahan. Keadaan
umum, tekanan darah dan nadi perlu diperiksa. Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan
adalah lampu kepala, spekulum hidung dan alat penghisap. Kadang-kadang diperlukan
pemeriksaan penunjang laboratorium yaitu pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hemostatis.
A. Anamnesis
Anamnesis dan menentukan lokasi sumber perdarahan serta menemukan penyebabnya
harus segera dilakukan. Berikut ini merupakan poin-poin anamnesis yang harus digali pada
kasus epistaksis.
1. Anamnesis awal harus fokus pada lokasi dan keparahan perdarahan, jumlah episode
perdarahan sebelumnya, apakah hanya satu atau kedua lubang hidung yang terlibat,
serta jumlah dan durasi perdarahan.
Penilaian terhadap jumlah perdarahan dapat dilakukan jika pasien mengetahui
kapan mulai terjadinya perdarahan dan jika pasien menggunakan kain atau handuk
untuk membendung perdarahan. Jumlah handuk atau pakaian yang terkena darah
dapat membantu untuk memperkirakan jumlah darah yang keluar.
2. Hematemesis harus diselidiki karena epistaksis dapat mengacaukan diagnosis
hematemesis. Selain itu, epistaksis dan hematemesis dapat terjadi bersamaan pada
pasien hereditary haemorrhagic telangectasia.
3. Pasien harus ditanya mengenai adanya trauma lokal, mencungkil hidung, ataukah
mengalami infeksi saluran pernapasan, rhinorrhea dan sumbatan hidung unilateral
atau sekret belakangan ini. Pada anak-anak, pengasuh harus ditanya mengenai riwayat
batuk atau bersin, maupun kemungkinan masuknya benda asing serta adanya sekret
hidung yang berbau busuk. Benda asing yang paling penting untuk ditanyakan seperti
manik-manik, kacang-kacangan, baterai, dan lainnya.
4. Riwayat gejala alergi akibat berbagai faktor pencetus, seperti variasi musim.
5. Pada dewasa, berbagai riwayat pengobatan sebelumnya, terutama hipertensi, penyakit
jantung iskemik, diabetes, atau operasi telinga hidung tenggorok sebelumnya harus
dicari.
6. Riwayat penggunaan alkohol, narkoba, dan bahan inhalasi.
7. Riwayat kondisi medis yang menyebabkan trombositopenia atau gangguan trombosit
seperti HIV, penyakit hati. Kepada pasien harus ditanyakan apakah ada riwayat
mudah memar atau perdarahan berlebihan setelah pencabutan gigi, serta riwayat
gejala yang sama pada keluarga.
8. Riwayat pengobatan terutama penggunaan aspirin, NSAID, dipyridamole, warfarin,
dan obat antihipertensi.
9. Episode perdarahan sebelumnya dan penanganan medis yang diperoleh, serta usaha
pertolongan pertama yang dilakukan.
B. Pemeriksaan Fisik
Setelah menstabilkan pasien, pemeriksaan awal hidung harus dilakukan untuk
menemukan lokasi asal perdarahan dengan rhinoskopi anterior, setelah pengangkatan bekuan
darah dan meminimalkan edema dengan dekongestan. Pemeriksaan ini harus menggunakan
pencahayaan adekuat untuk mengevaluasi seluruh rongga hidung. Pasien dengan epistaksis
diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah mengalir keluar dari hidung sehingga bisa dimonitor.
Jika keadaan pasien lemah, sebaiknya posisikan pasien setengah duduk atau berbaring dengan
kepala ditinggikan. Pasien anak duduk dipangku, badan dan tangan dipeluk, kepala dipegangi
agar tidak bergerak-gerak.
Jika pendarahan berhenti setelah pengangkatan bekuan, pengobatan tambahan segera
tidak dibutuhkan. Pemasangan tampon pada rongga hidung tanpa bukti adanya perdarahan
yang tidak berhenti dapat merusak mukosa hidung, bahkan dapat menimbulkan epistaksis.
Pemeriksaan dilakukan dalam cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa
hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konka inferior harus diperiksa cermat.
Pemeriksaan nasofaringoskop tak langsung juga sebaiknya dilakukan. Pemeriksaan rhinoskopi
posterior kadang-kadang akan memperlihatkan sumber epistaksis posterior.
Temuan yang paling mungkin adalah pembuluh darah superfisial yang mengalami erosi
pada septum anterior hidung, atau pada konka media pada pasien dengan sebab yang tidak
spesifik.
C. Endoskopi
Dalam kasus epistaksis, baik akut maupun berulang tanpa sumber perdarahan yang
jelas pada rinoskopi anterior, pemeriksaan endoskopi diindikasikan untuk mencoba untuk
mengidentifikasi lokasi perdarahan. Pemeriksaan ini dilakukan secara bilateral dan dengan
pemberian dekongestan serta anestesi topikal menyeluruh
D. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologis rutin memiliki peran kecil dalam diagnosis awal epistaksis.
Namun, pada pasien dengan epistaksis berulang tanpa diketahui sumber atau penyebabnya,
pencitraan memiliki peran penting dalam diagnosis. Pemeriksaan radiologis pilihan untuk
evaluasi awal kondisi patologis hidung maupun sinus, termasuk epistaksis adalah adalah CT
scan. Biasanya tumor yang menyebabkan epistaksis sering ditemukan.
E. Pemeriksaan Laboratorium
Jika perdarahan berjumlah banyak, harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap,
elektrolit, pemeriksaan koagulasi, serta cross matching. Pemeriksaan laboratorium juga
penting pada perdarahan yang persisten, adanya riwayat mudah memar, gangguan trombosit,
neoplasia, atau riwayat kemoterapi dalam waktu dekat. Berdasarkan penelitian retrospektif
pada 3000 pasien hematologi anak, sekitar sepertiga pasien anak dengan epistaksis berulang
didiagnosis mengalami koagulopati.
2.6. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah memperbaiki keadaan umum, cari sumber
perdarahan, hentikan perdarahan, serta cari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya
perdarahan.
Bila pasien datang dengan epistaksis, nilai keadaan umumnya, nadi, pernafasan, serta
tekanan darahnya. Bila ada kelainan atasi terlebih dahulu, misalnya dengan memasang infus.
Jalan nafas dapat tersumbat oleh darah atau bekuan darah sehingga perlu dibersihkan atau
diisap.
Sumber perdarahan harus dicari untuk membersihkan hidung dari bekuan darah dengan
bantuan alat pengisap. Setelah itu, pasang tampon sementara berupa kapas yang telah
dibasahi dengan adrenalin 1/5000-1/10.000 dan pantocain atau lidocain 2% yang dimasukkan
ke dalam rongga hidung. Pertahankan tampon selama 10-15 menit. Setelah terjadi
vasokonstriksi, lihat apakah perdarahan hidung berasal dari bagian anterior atau posterior.
A. Epistaksis Anterior
1. Menekan hidung
Jika perdarahan tidak berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior, terutama yang
terjadi pada anak, dapat dicoba dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-15
menit.
2. Kauterisasi
Bila sumber perdarahan dapat terlihat, tempat tersebut dapat dikaustik dengan larutan
Nitras Argenti (AgNO3) 25-30%. Sebelum dilakukan kauterisasi, rongga hidung diberi
anestesi lokal dengan tampon kapas yang telah dibasahi dengan lidocain 4% dan adrenalin
1/100.000 atau kombinasi lidokain 4% dan penilefrin 0,5%. Tampon ini dipertahankan
selama 5-10 menit agar dapat memberikan efek anestesi lokal serta vasokonstriksi. Setelah
itu tampon dikeluarkan dan dapat dilakukan kauterisasi secara kimia dengan mengoleskan
larutan AgNO3 di sumber perdarahan sampai timbul krusta berwarna kekuningan akibat
nekrosis superfisial. Becker (1994) menggunakan larutan asam trikloroasetat 40-70%.
Selain menggunakan zat kimia, kauterisasi juga dapat dilakukan dengan elektrokauter atau
laser. Setelah selesai, area tersebut diberi krim antibiotik.
3. Tampon anterior
Jika sumber perdarahan tidak dapat dikontrol dengan epistaksis atau jika sumber
perdarahan tidak dapat didentifikasi, diperlukan pemasangan tampon anterior. Tampon ini
dibuat dari kapas atau kasa yang diberi pelumas vaselin atau salap antibiotik. Masukkan
tampon sebanyak 2-4 buah, susun secara teratur sehingga dapat menekan sumber
perdarahan. Pertahankan tampon selama 2x24 jam.
B. Epistaksis Posterior
Perdarahan dari bagian posterior biasanya hebat dan sulit dicari sumber
perdarahannya dengan rinoskopi anterior sehingga sulit diatasi. Terdapat beberapa
penanganan untuk epistaksis posterior, seperti tampon posterior, balloon tamponade, ligasi
arteri dan embolisasi.
1. Tampon posterior
Tampon posterior, yang disebut juga tampon Bellocq, dibuat dari kasa padat yang
dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini terikat 3 utas benang, 2
buah di satu sisi dan sebuah di sisi lainnya. Prosedur pemasangan tampon Bellocq ini
dapat menimbulkan rasa nyeri sehingga memerlukan anestesi umum atau anestesi lokal
yang adekuat. Tampon harus dapat menutup koana dan terfiksasi di nasofaring untuk
menghindari mengalirnya darah ke nasofaring. Lalu, dilakukan pemasangan tampon
anterior.
Cara pemasangan tampon ini adalah sebagai berikut. Masukkan kateter karet
kecil melalui hidung kedalam faring, kemudian ujungnya dipegang
dengan cunam dan dikeluarkan dari mulut agar dapat diikat pada
kedua ujung pita yang telah disediakan. Kateter ditarik kembali melalui
rongga hidung sehingga tampon tertarik ke dalam koana melalui
nasofaring. Bantuan jari untuk memasukkan tampon kedalam
nasofaring akan mempermudah tindakan ini. Apabila masih tampak
perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan
tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua pita yang keluar dari
nares anterior kemudian diikat pada sebuah gulungan kain kasa
didepan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring
tidak bergerak. Pita yang terdapat di rongga mulut dilekatkan pada pipi pasien. Gunanya
untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2 –3 hari.
2. Tampon balon
Tampon balon dapat digunakan sebagai pengganti tampon Bellocq. Pemakaian tampon
balon lebih mudah daripada tampon posterior konvensional. Ada dua jenis tampon balon,
yaitu kateter Foley dan tampon balon yang dirancang khusus.
Setelah bekuan darah dari hidung dibersihkan, tentukan asal perdarahan. Kemudian
lakukan anestesi topikal yang ditambahkan vasokonstriktor. Letakkan kateter Foley no. 12
- 16 F di sepanjang dasar hidung sampai balon terlihat di nasofaring. Kemudian balon diisi
dengan 10 -20 cc larutan salin dan kateter Foley ditarik kearah anterior sehingga balon
menutup rongga hidung posterior. Jika dorongan terlalu kuat pada palatum mole atau bila
terasa sakit yang mengganggu, kurangi tekanan pada balon. Selanjutnya tampon anterior
dipasang dan kateter difiksasi dengan mengunakan kain kasa yang dilekatkan pada cuping
hidung. Apabila tampon balon ini gagal mengontrol perdarahan, maka dilakukan
pemasangan tampon posterior.
3. Ligasi arteri
Ligasi pembuluh darah yang ruptur merupakan penanganan yang paling efektif untuk
perdarahan. Namun, identifikasi sumber perdarahan sulit dilakukan pada epistaksis yang
berat atau persisten sehingga ligasi arteri juga tidak mudah. Terdapat beberapa pendekatan
ligasi arteri yang mensuplai darah ke mukosa hidung.
a. Ligasi Arteri Karotis Eksterna
Ligasi dilakukan tepat dibagian distal a. tiroid superior untuk melindungi suplai darah
ke tiroid dan memastikan ligasi arteri karotis eksterna. Tindakan ini dapat dilakukan
dibawah anestesi lokal.
b. Ligasi Arteri Maksilaris Interna
Ligasi arteri maksilaris interna dapat dilakukan dengan pendekatan transantral.
Pendekatan ini dilakukan dengan anestesi lokal. Maceri (1984) menjelaskan pendekatan
transoral untuk ligasi a. maksilaris interna apabila pendekatan transantral tidak dapat
dilakukan oleh karena trauma sinus atau malignansi.
c. Ligasi Arteri Etmoidalis
Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling baik diterapi dengan
ligasi a. etmoidalis anterior atau posterior, atau keduanya. Ligasi dilakukan pada tempat
arteri keluar melalui foramen etmoidalis anterior dan posterior yang berada pada sutura
frontoetmoid.
d. Angiografi dan Embolisasi
Merland (1980) melaporkan penggunaan embolisasi untuk pengobatan telangiektasi
hemoragik herediter, epistaksis (primer dan traumatik), angiofibroma nasofaring, tumor
ganas dan penyakit pendarahan. Komplikasi embolisasi mencakup paralisis fasial dan
hemiplegi. Rasa nyeri pada wajah dan trismus juga sering dijumpai. Walaupun tekhnik ini
masih kontroversi, ada kesepakatan bahwa embolisasi pada penanganan epistaksis
dilakukan bila terapi lainnya gagal dan apabila ada kontraindikasi untuk operasi.
2.7. Komplikasi Tindakan
Komplikasi dapat terjadi akibat epistaksis maupun akibat usaha penanggulangan
epsitaksis. Perdarahan hebat dapat menyebabkan terjadinya aspirasi darah ke dalam saluran
napas bawah. Selain itu, syok, anemia, dan gagal ginjal juga dapat terjadi. Tekanan darah
yang turun secara mendadak dapat menyebabkan iskemia otak, insufisiensi koroner dan
infark miokard, hingga kematian.
Pembuluh darah yang terbuka dapat menimbulkan infeksi sehingga perlu diberikan
antibiotik.
Pemasangan tampon dapat menimbulkan rinosinustis, otitis media, bahkan septikemia.
Oleh karena itu pada setiap pemasangan tampon harus selalu diberikan antibiotik dan setelah 2-3
hari harus dicabut.
Akibat mengalirnya darah retrograd melalui tuba Eustachius, dapat terjadi hemotimpanum.
Air mata yang berdarah (bloody tears) juga dapat terjadi akibat mengalirnya darah secara
retrograd melalui duktus nasolakrimalis.
Pemasangan tampon Bellocq dapat menimbulkan laserasi palatum mole atau sudut bibir
karena benang terlalu kencang dilekatkan pada pipi. Tampon balom yang dipompa terlalu keras
juga dapat menimbulkan nekrosis mukosa hidung atau septum.
http://www.intechopen.com/books/otolaryngology/epistaxis
DAFTAR PUSTAKA
1. Ikhsan M, 2001. Cermin Dunia Kedokteran. Diakses dari: http
://www.kalbe.co.id/files/15 Penatalaksanaan Epistaksis.pdf/15 Penatalaksanaan
Epistaksis.html. Tanggal akses 24 Desember 2008, pukul 13.30 WIB.
2. Mangunkusumo E, 2007. Perdarahan Hidung dan Gangguan Penghidu. In: Soepardi
EA, Iskandar N editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher. 6 th ed. Jakarta : Balai Penerbit FK-UI.
3. Anto, 2007. Epistaxis. RCH CPG. Diakses dari : http://
www.rch.org.au/clinicalguide/cpg.cmf?doc_id=97 49. Tanggal akses : 24 Desember
2008, pukul 13.40.
4. Ballenger, John, Jacob. 1994. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, Ed 13.
Binarupa Aksara. Jakarta. p, 113-116.
5. Thaller, Seth, R, et al., 1990. Diagram Diagnostik Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok, EGC. Jakarta. p, 89-93.
6. Pope L.E.R., Hobbs C.G.L., 2005. Epistaxis un update on current management.
Department of Otolaryngology and Head and Neck Surgery. www.epistaxis
management.com/ent/topic 701.htm
7. Kucik Corry, 2005. http://www.aafp.org/afp/20050115/305.html. Diakses tanggal 24
Desember 2008.
8. Arif Mansur, 2006. http://www.geocities.com/kliniktehate/penyakithidung/
epistaksis.htm. Diakses tanggal 24 Desember 2008.