referat epistaksis

18
2.5. Anamnesis dan Pemeriksaan Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam menentukan sebab perdarahan. Keadaan umum, te kanan darah dan nadi perlu diperiksa. Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala, spekulum hidung dan alat penghisap. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan penunjang laboratorium yaitu pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hemostatis. A. Anamnesis Anamnesis dan menentukan lokasi sumber perdarahan serta menemukan penyebabnya harus segera dilakukan. Berikut ini merupakan poin-poin anamnesis yang harus digali pada kasus epistaksis. 1. Anamnesis awal harus fokus pada lokasi dan keparahan perdarahan, jumlah episode perdarahan sebelumnya, apakah hanya satu atau kedua lubang hidung yang terlibat, serta jumlah dan durasi perdarahan. Penilaian terhadap jumlah perdarahan dapat dilakukan jika pasien mengetahui kapan mulai terjadinya perdarahan dan jika pasien menggunakan kain atau handuk untuk membendung perdarahan. Jumlah handuk atau pakaian yang

Upload: sara-fadila-pramadani

Post on 08-Apr-2016

113 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

epistaksis

TRANSCRIPT

Page 1: referat epistaksis

2.5. Anamnesis dan Pemeriksaan

Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam menentukan sebab perdarahan. Keadaan

umum, tekanan darah dan nadi perlu diperiksa. Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan

adalah lampu kepala, spekulum hidung dan alat penghisap. Kadang-kadang diperlukan

pemeriksaan penunjang laboratorium yaitu pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hemostatis.

A. Anamnesis

Anamnesis dan menentukan lokasi sumber perdarahan serta menemukan penyebabnya

harus segera dilakukan. Berikut ini merupakan poin-poin anamnesis yang harus digali pada

kasus epistaksis.

1. Anamnesis awal harus fokus pada lokasi dan keparahan perdarahan, jumlah episode

perdarahan sebelumnya, apakah hanya satu atau kedua lubang hidung yang terlibat,

serta jumlah dan durasi perdarahan.

Penilaian terhadap jumlah perdarahan dapat dilakukan jika pasien mengetahui

kapan mulai terjadinya perdarahan dan jika pasien menggunakan kain atau handuk

untuk membendung perdarahan. Jumlah handuk atau pakaian yang terkena darah

dapat membantu untuk memperkirakan jumlah darah yang keluar.

2. Hematemesis harus diselidiki karena epistaksis dapat mengacaukan diagnosis

hematemesis. Selain itu, epistaksis dan hematemesis dapat terjadi bersamaan pada

pasien hereditary haemorrhagic telangectasia.

3. Pasien harus ditanya mengenai adanya trauma lokal, mencungkil hidung, ataukah

mengalami infeksi saluran pernapasan, rhinorrhea dan sumbatan hidung unilateral

atau sekret belakangan ini. Pada anak-anak, pengasuh harus ditanya mengenai riwayat

batuk atau bersin, maupun kemungkinan masuknya benda asing serta adanya sekret

hidung yang berbau busuk. Benda asing yang paling penting untuk ditanyakan seperti

manik-manik, kacang-kacangan, baterai, dan lainnya.

Page 2: referat epistaksis

4. Riwayat gejala alergi akibat berbagai faktor pencetus, seperti variasi musim.

5. Pada dewasa, berbagai riwayat pengobatan sebelumnya, terutama hipertensi, penyakit

jantung iskemik, diabetes, atau operasi telinga hidung tenggorok sebelumnya harus

dicari.

6. Riwayat penggunaan alkohol, narkoba, dan bahan inhalasi.

7. Riwayat kondisi medis yang menyebabkan trombositopenia atau gangguan trombosit

seperti HIV, penyakit hati. Kepada pasien harus ditanyakan apakah ada riwayat

mudah memar atau perdarahan berlebihan setelah pencabutan gigi, serta riwayat

gejala yang sama pada keluarga.

8. Riwayat pengobatan terutama penggunaan aspirin, NSAID, dipyridamole, warfarin,

dan obat antihipertensi.

9. Episode perdarahan sebelumnya dan penanganan medis yang diperoleh, serta usaha

pertolongan pertama yang dilakukan.

B. Pemeriksaan Fisik

Setelah menstabilkan pasien, pemeriksaan awal hidung harus dilakukan untuk

menemukan lokasi asal perdarahan dengan rhinoskopi anterior, setelah pengangkatan bekuan

darah dan meminimalkan edema dengan dekongestan. Pemeriksaan ini harus menggunakan

pencahayaan adekuat untuk mengevaluasi seluruh rongga hidung. Pasien dengan epistaksis

diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah mengalir keluar dari hidung sehingga bisa dimonitor.

Jika keadaan pasien lemah, sebaiknya posisikan pasien setengah duduk atau berbaring dengan

kepala ditinggikan. Pasien anak duduk dipangku, badan dan tangan dipeluk, kepala dipegangi

agar tidak bergerak-gerak.

Jika pendarahan berhenti setelah pengangkatan bekuan, pengobatan tambahan segera

tidak dibutuhkan. Pemasangan tampon pada rongga hidung tanpa bukti adanya perdarahan

yang tidak berhenti dapat merusak mukosa hidung, bahkan dapat menimbulkan epistaksis.

Page 3: referat epistaksis

Pemeriksaan dilakukan dalam cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa

hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konka inferior harus diperiksa cermat.

Pemeriksaan nasofaringoskop tak langsung juga sebaiknya dilakukan. Pemeriksaan rhinoskopi

posterior kadang-kadang akan memperlihatkan sumber epistaksis posterior.

Temuan yang paling mungkin adalah pembuluh darah superfisial yang mengalami erosi

pada septum anterior hidung, atau pada konka media pada pasien dengan sebab yang tidak

spesifik.

C. Endoskopi

Dalam kasus epistaksis, baik akut maupun berulang tanpa sumber perdarahan yang

jelas pada rinoskopi anterior, pemeriksaan endoskopi diindikasikan untuk mencoba untuk

mengidentifikasi lokasi perdarahan. Pemeriksaan ini dilakukan secara bilateral dan dengan

pemberian dekongestan serta anestesi topikal menyeluruh

D. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologis rutin memiliki peran kecil dalam diagnosis awal epistaksis.

Namun, pada pasien dengan epistaksis berulang tanpa diketahui sumber atau penyebabnya,

pencitraan memiliki peran penting dalam diagnosis. Pemeriksaan radiologis pilihan untuk

evaluasi awal kondisi patologis hidung maupun sinus, termasuk epistaksis adalah adalah CT

scan. Biasanya tumor yang menyebabkan epistaksis sering ditemukan.

E. Pemeriksaan Laboratorium

Jika perdarahan berjumlah banyak, harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap,

elektrolit, pemeriksaan koagulasi, serta cross matching. Pemeriksaan laboratorium juga

penting pada perdarahan yang persisten, adanya riwayat mudah memar, gangguan trombosit,

neoplasia, atau riwayat kemoterapi dalam waktu dekat. Berdasarkan penelitian retrospektif

pada 3000 pasien hematologi anak, sekitar sepertiga pasien anak dengan epistaksis berulang

didiagnosis mengalami koagulopati.

Page 4: referat epistaksis

2.6. Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah memperbaiki keadaan umum, cari sumber

perdarahan, hentikan perdarahan, serta cari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya

perdarahan.

Bila pasien datang dengan epistaksis, nilai keadaan umumnya, nadi, pernafasan, serta

tekanan darahnya. Bila ada kelainan atasi terlebih dahulu, misalnya dengan memasang infus.

Jalan nafas dapat tersumbat oleh darah atau bekuan darah sehingga perlu dibersihkan atau

diisap.

Sumber perdarahan harus dicari untuk membersihkan hidung dari bekuan darah dengan

bantuan alat pengisap. Setelah itu, pasang tampon sementara berupa kapas yang telah

dibasahi dengan adrenalin 1/5000-1/10.000 dan pantocain atau lidocain 2% yang dimasukkan

ke dalam rongga hidung. Pertahankan tampon selama 10-15 menit. Setelah terjadi

vasokonstriksi, lihat apakah perdarahan hidung berasal dari bagian anterior atau posterior.

Page 5: referat epistaksis
Page 6: referat epistaksis

A. Epistaksis Anterior

1. Menekan hidung

Jika perdarahan tidak berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior, terutama yang

terjadi pada anak, dapat dicoba dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-15

menit.

2. Kauterisasi

Bila sumber perdarahan dapat terlihat, tempat tersebut dapat dikaustik dengan larutan

Nitras Argenti (AgNO3) 25-30%. Sebelum dilakukan kauterisasi, rongga hidung diberi

anestesi lokal dengan tampon kapas yang telah dibasahi dengan lidocain 4% dan adrenalin

1/100.000 atau kombinasi lidokain 4% dan penilefrin 0,5%. Tampon ini dipertahankan

selama 5-10 menit agar dapat memberikan efek anestesi lokal serta vasokonstriksi. Setelah

Page 7: referat epistaksis

itu tampon dikeluarkan dan dapat dilakukan kauterisasi secara kimia dengan mengoleskan

larutan AgNO3 di sumber perdarahan sampai timbul krusta berwarna kekuningan akibat

nekrosis superfisial. Becker (1994) menggunakan larutan asam trikloroasetat 40-70%.

Selain menggunakan zat kimia, kauterisasi juga dapat dilakukan dengan elektrokauter atau

laser. Setelah selesai, area tersebut diberi krim antibiotik.

3. Tampon anterior

Jika sumber perdarahan tidak dapat dikontrol dengan epistaksis atau jika sumber

perdarahan tidak dapat didentifikasi, diperlukan pemasangan tampon anterior. Tampon ini

dibuat dari kapas atau kasa yang diberi pelumas vaselin atau salap antibiotik. Masukkan

tampon sebanyak 2-4 buah, susun secara teratur sehingga dapat menekan sumber

perdarahan. Pertahankan tampon selama 2x24 jam.

Page 8: referat epistaksis

B. Epistaksis Posterior

Perdarahan dari bagian posterior biasanya hebat dan sulit dicari sumber

perdarahannya dengan rinoskopi anterior sehingga sulit diatasi. Terdapat beberapa

penanganan untuk epistaksis posterior, seperti tampon posterior, balloon tamponade, ligasi

arteri dan embolisasi.

1. Tampon posterior

Tampon posterior, yang disebut juga tampon Bellocq, dibuat dari kasa padat yang

dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini terikat 3 utas benang, 2

buah di satu sisi dan sebuah di sisi lainnya. Prosedur pemasangan tampon Bellocq ini

dapat menimbulkan rasa nyeri sehingga memerlukan anestesi umum atau anestesi lokal

yang adekuat. Tampon harus dapat menutup koana dan terfiksasi di nasofaring untuk

menghindari mengalirnya darah ke nasofaring. Lalu, dilakukan pemasangan tampon

anterior.

Cara pemasangan tampon ini adalah sebagai berikut. Masukkan kateter karet

kecil melalui hidung kedalam faring, kemudian ujungnya dipegang

dengan cunam dan dikeluarkan dari mulut agar dapat diikat pada

kedua ujung pita yang telah disediakan. Kateter ditarik kembali melalui

rongga hidung sehingga tampon tertarik ke dalam koana melalui

nasofaring. Bantuan jari untuk memasukkan tampon kedalam

nasofaring akan mempermudah tindakan ini. Apabila masih tampak

perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan

tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua pita yang keluar dari

nares anterior kemudian diikat pada sebuah gulungan kain kasa

didepan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring

Page 9: referat epistaksis

tidak bergerak. Pita yang terdapat di rongga mulut dilekatkan pada pipi pasien. Gunanya

untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2 –3 hari.

2. Tampon balon

Tampon balon dapat digunakan sebagai pengganti tampon Bellocq. Pemakaian tampon

balon lebih mudah daripada tampon posterior konvensional. Ada dua jenis tampon balon,

yaitu kateter Foley dan tampon balon yang dirancang khusus.

Setelah bekuan darah dari hidung dibersihkan, tentukan asal perdarahan. Kemudian

lakukan anestesi topikal yang ditambahkan vasokonstriktor. Letakkan kateter Foley no. 12

- 16 F di sepanjang dasar hidung sampai balon terlihat di nasofaring. Kemudian balon diisi

dengan 10 -20 cc larutan salin dan kateter Foley ditarik kearah anterior sehingga balon

menutup rongga hidung posterior. Jika dorongan terlalu kuat pada palatum mole atau bila

terasa sakit yang mengganggu, kurangi tekanan pada balon. Selanjutnya tampon anterior

dipasang dan kateter difiksasi dengan mengunakan kain kasa yang dilekatkan pada cuping

Page 10: referat epistaksis

hidung. Apabila tampon balon ini gagal mengontrol perdarahan, maka dilakukan

pemasangan tampon posterior.

3. Ligasi arteri

Ligasi pembuluh darah yang ruptur merupakan penanganan yang paling efektif untuk

perdarahan. Namun, identifikasi sumber perdarahan sulit dilakukan pada epistaksis yang

berat atau persisten sehingga ligasi arteri juga tidak mudah. Terdapat beberapa pendekatan

ligasi arteri yang mensuplai darah ke mukosa hidung.

a. Ligasi Arteri Karotis Eksterna

Ligasi dilakukan tepat dibagian distal a. tiroid superior untuk melindungi suplai darah

ke tiroid dan memastikan ligasi arteri karotis eksterna. Tindakan ini dapat dilakukan

dibawah anestesi lokal.

b. Ligasi Arteri Maksilaris Interna

Ligasi arteri maksilaris interna dapat dilakukan dengan pendekatan transantral.

Pendekatan ini dilakukan dengan anestesi lokal. Maceri (1984) menjelaskan pendekatan

transoral untuk ligasi a. maksilaris interna apabila pendekatan transantral tidak dapat

dilakukan oleh karena trauma sinus atau malignansi.

c. Ligasi Arteri Etmoidalis

Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling baik diterapi dengan

ligasi a. etmoidalis anterior atau posterior, atau keduanya. Ligasi dilakukan pada tempat

arteri keluar melalui foramen etmoidalis anterior dan posterior yang berada pada sutura

frontoetmoid.

d. Angiografi dan Embolisasi

Merland (1980) melaporkan penggunaan embolisasi untuk pengobatan telangiektasi

hemoragik herediter, epistaksis (primer dan traumatik), angiofibroma nasofaring, tumor

Page 11: referat epistaksis

ganas dan penyakit pendarahan. Komplikasi embolisasi mencakup paralisis fasial dan

hemiplegi. Rasa nyeri pada wajah dan trismus juga sering dijumpai. Walaupun tekhnik ini

masih kontroversi, ada kesepakatan bahwa embolisasi pada penanganan epistaksis

dilakukan bila terapi lainnya gagal dan apabila ada kontraindikasi untuk operasi.

2.7. Komplikasi Tindakan

Komplikasi dapat terjadi akibat epistaksis maupun akibat usaha penanggulangan

epsitaksis. Perdarahan hebat dapat menyebabkan terjadinya aspirasi darah ke dalam saluran

napas bawah. Selain itu, syok, anemia, dan gagal ginjal juga dapat terjadi. Tekanan darah

yang turun secara mendadak dapat menyebabkan iskemia otak, insufisiensi koroner dan

infark miokard, hingga kematian.

Pembuluh darah yang terbuka dapat menimbulkan infeksi sehingga perlu diberikan

antibiotik.

Pemasangan tampon dapat menimbulkan rinosinustis, otitis media, bahkan septikemia.

Oleh karena itu pada setiap pemasangan tampon harus selalu diberikan antibiotik dan setelah 2-3

hari harus dicabut.

Akibat mengalirnya darah retrograd melalui tuba Eustachius, dapat terjadi hemotimpanum.

Air mata yang berdarah (bloody tears) juga dapat terjadi akibat mengalirnya darah secara

retrograd melalui duktus nasolakrimalis.

Pemasangan tampon Bellocq dapat menimbulkan laserasi palatum mole atau sudut bibir

karena benang terlalu kencang dilekatkan pada pipi. Tampon balom yang dipompa terlalu keras

juga dapat menimbulkan nekrosis mukosa hidung atau septum.

Page 12: referat epistaksis

http://www.intechopen.com/books/otolaryngology/epistaxis

DAFTAR PUSTAKA

1. Ikhsan M, 2001. Cermin Dunia Kedokteran. Diakses dari: http

://www.kalbe.co.id/files/15 Penatalaksanaan Epistaksis.pdf/15 Penatalaksanaan

Epistaksis.html. Tanggal akses 24 Desember 2008, pukul 13.30 WIB.

2. Mangunkusumo E, 2007. Perdarahan Hidung dan Gangguan Penghidu. In: Soepardi

EA, Iskandar N editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Kepala Leher. 6 th ed. Jakarta : Balai Penerbit FK-UI.

3. Anto, 2007. Epistaxis. RCH CPG. Diakses dari : http://

www.rch.org.au/clinicalguide/cpg.cmf?doc_id=97 49. Tanggal akses : 24 Desember

2008, pukul 13.40.

4. Ballenger, John, Jacob. 1994. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, Ed 13.

Binarupa Aksara. Jakarta. p, 113-116.

5. Thaller, Seth, R, et al., 1990. Diagram Diagnostik Penyakit Telinga Hidung

Tenggorok, EGC. Jakarta. p, 89-93.

6. Pope L.E.R., Hobbs C.G.L., 2005. Epistaxis un update on current management.

Department of Otolaryngology and Head and Neck Surgery. www.epistaxis

management.com/ent/topic 701.htm

7. Kucik Corry, 2005. http://www.aafp.org/afp/20050115/305.html. Diakses tanggal 24

Desember 2008.

8. Arif Mansur, 2006. http://www.geocities.com/kliniktehate/penyakithidung/

epistaksis.htm. Diakses tanggal 24 Desember 2008.

Page 13: referat epistaksis