refrat hipertrofi adenoid

28
Referat HIPERTROFI ADENOID Oleh Rikardo Ladesman, S.Ked 04114705073 Pembimbing dr. H. M. Salim, SpRad. BAGIAN/DEPARTEMEN RADIOLOGI RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2013

Upload: rikardo-ladesman-lumbantobing

Post on 29-Nov-2015

794 views

Category:

Documents


31 download

TRANSCRIPT

Referat

HIPERTROFI ADENOID

Oleh

Rikardo Ladesman, S.Ked

04114705073

Pembimbing

dr. H. M. Salim, SpRad.

BAGIAN/DEPARTEMEN RADIOLOGI

RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2013

ii

HALAMAN PENGESAHAN

Telaah ilmiah yang berjudul

Hipertrofi Adenoid

Dipresentasikan oleh

Rikardo Ladesman, S. Ked

04114705073

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik

Senior (KKS) di Bagian/Departemen Radiologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin

Palembang, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 23 September –

27 Oktober 2013.

Palembang, Oktober 2013

Pembimbing,

dr. H. M. Salim, SpRad.

iii

DAFTAR ISI

Halaman Judul ................................................................................................... i

Halaman Pengesahan ........................................................................................ ii

Daftar Isi .......................................................................................................... iii

BAB I Pendahuluan .......................................................................................... 1

BAB II Tinjauan Pustaka .................................................................................. 2

2.1 Anatomi Adenoid ........................................................................................ 2

2.2 Fisiologi dan Imunologi Adenoid ................................................................ 3

2.3 Definisi Hipertrofi Adenoid ........................................................................ 7

2.4 Etiologi Hipertrofi Adenoid ........................................................................ 7

2.5 Patogenesis Hipertrofi Adenoid ................................................................... 8

2.6 Diagnosis Hipertrofi Adenoid ..................................................................... 9

2.6.1 Anamnesis .......................................................................................... 9

2.6.2 Pemeriksaan Fisik ............................................................................ 12

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang .................................................................... 13

2.7 Penatalaksanaan ........................................................................................ 20

2.8 Komplikasi ............................................................................................... 21

2.9 Prognosis .................................................................................................. 22

BAB III Kesimpulan ....................................................................................... 23

Daftar Pustaka ................................................................................................ 24

1

BAB I

PENDAHULUAN

Adenoid adalah jaringan limfoepitelial berbentuk segitiga yang terletak pada

dinding posterior nasofaring dan merupakan salah satu jaringan yang membentuk

cincin Waldeyer. Secara fisiologis, ukuran adenoid dapat berubah sesuai dengan

perkembangan usia. Adenoid membesar secara cepat setelah lahir dan mencapai

ukuran maksimum pada saat usia 3-7 tahun, kemudian menetap sampai usia 8-9

tahun. Setelah usia 14 tahun, adenoid secara bertahap mengalami involusi.

Apabila sering terjadi infeksi saluran nafas bagian atas maka dapat terjadi

hipertrofi adenoid. Jika terjadi hipertrofi pada adenoid, maka nasofaring sebagai

penghubung udara inspirasi dan sekresi sinonasal yang mengalir dari kavum nasi

ke orofaring akan mengalami penyempitan dan dapat mengakibatkan sumbatan

pada koana dan mulut tuba eustachius. Hipertrofi adenoid, terutama pada anak-

anak, muncul sebagai respon multiantigen virus, bakteri, alergen, makanan, dan

iritasi lingkungan.1,2

Diagnosis hipertrofi adenoid dapat ditegakan berdasarkan tanda dan gejala

klinis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Secara klinis dapat

ditemukan tanda-tanda, seperti bernapas melalui mulut, sleep apnea, fasies

adenoid, mendengkur dan gangguan telinga tengah. Pada pemeriksaan rinoskopi

anterior dapat ditemukan tahanan gerakan palatum mole sewaktu fonasi,

sementara pemeriksaan rinoskopi posterior pada anak biasanya sulit dilakukan

dan tidak dapat menentukan ukuran adenoid. Oleh karena itu, diperlukan

pemeriksaan radiologi dengan membuat foto polos lateral. Pemeriksaan tersebut

dianggap paling baik untuk mengetahui ukuran adenoid dan perbandingan ukuran

adenoid dengan sumbatan jalan napas.3,4

2.1 Anatomi Adenoid

Jaringan limfoid nasofaring dan orofaring tersusun atas adenoid,

tonsils, lateral bands

jaringan limfoid di dinding faring posterior dan

membentuk sebuah cincin yang disebut cincin Waldeyer sesuai dengan nama ahli

anatomi Jerman yang menemukannya. Adenoid atau tonsil faring merupakan

sebuah massa di jaringan piramidal yang memiliki dasar yang terletak di dindi

nasofaring posterior dan apeks yang menusuk ke arah septum nasi.

adenoid berlapis-lapis dalam serangkaian lipatan dengan beberapa kripta namun

tidak disertai kompleks kripta seperti yang terdapat pada tonsil palatina. Jaringan

epitelnya adalah epitel pseudostratified bersilia dan diinfiltrasi oleh folikel

limfoid.5,6

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Adenoid

Jaringan limfoid nasofaring dan orofaring tersusun atas adenoid,

lateral bands, tonsil palatina, dan tonsil di lidah. Terdapat juga beberapa

jaringan limfoid di dinding faring posterior dan ventrikel laring. Struktur ini

membentuk sebuah cincin yang disebut cincin Waldeyer sesuai dengan nama ahli

anatomi Jerman yang menemukannya. Adenoid atau tonsil faring merupakan

sebuah massa di jaringan piramidal yang memiliki dasar yang terletak di dindi

nasofaring posterior dan apeks yang menusuk ke arah septum nasi.

lapis dalam serangkaian lipatan dengan beberapa kripta namun

tidak disertai kompleks kripta seperti yang terdapat pada tonsil palatina. Jaringan

epitel pseudostratified bersilia dan diinfiltrasi oleh folikel

Gambar 1. Anatomi adenoid

Jaringan limfoid nasofaring dan orofaring tersusun atas adenoid, tubal

dan tonsil di lidah. Terdapat juga beberapa

ventrikel laring. Struktur ini

membentuk sebuah cincin yang disebut cincin Waldeyer sesuai dengan nama ahli

anatomi Jerman yang menemukannya. Adenoid atau tonsil faring merupakan

sebuah massa di jaringan piramidal yang memiliki dasar yang terletak di dinding

nasofaring posterior dan apeks yang menusuk ke arah septum nasi. Permukaan

lapis dalam serangkaian lipatan dengan beberapa kripta namun

tidak disertai kompleks kripta seperti yang terdapat pada tonsil palatina. Jaringan

epitel pseudostratified bersilia dan diinfiltrasi oleh folikel

3

Suplai darah berasal dari arteri palatina asenden yakni cabang arteri fasialis,

arteri faringeal asenden, cabang faringeal dari arteri maxillaris interna, arteri

canalis pterygoid, dan cabang cervical asenden dari arteri trunkus thyrocervicalis.

Drainase vena melalui plexus faring dan plexus pterygoideus yang akan

mengalirkan darah ke vena fasialis dan jugularis interna. Saraf yang

menginvervasi berasal dari nervus glossopharyngeal dan nervus vagus. Pengaliran

limfatik dilakukan ke nodus retropharyngeal dan upper deep cervical node.5,6

2.2 Fisiologi dan Imunologi Adenoid

Adenoid merupakan bagian dari sistem imun sekunder. Adenoid duduk di

traktus respiratorius dan traktus gastrointestinalis, menempati posisi yang dapat

diekspos oleh antigen dari udara maupun makanan. Lipatan adenoid yang terpajan

oleh antigen akan ditransfer melalui lapisan epitel.6

Struktur imunologis dari adenoid terbagi ke dalam empat kompartemen,

yakni: reticular crypt epithelium, area ekstrafolikular, mantle zone of the lymphoid

follicle, dan germinal center of the lymphoid follicle. Membran sel dan antigen

presenting cell (APC) terlibat dalam proses transportasi antigen melalui lapisan

epitel dan mempresentasikannya pada sel T-helper. Ketika suatu saat terdapat

antigen yang cukup banyak, sel B di germinal zone of the lymphoid follicle akan

terstimulasi untuk berdiferensiasi dan memproduksi antibodi. Adenoid terlibat

dalam kebanyakan produksi IgA, yang kemudian ditransportasikan ke permukaan

untuk menyediakan proteksi imun lokal. Perlu diingat bahwa adenoid yang

mengalami kelainan tetap bertindak sebagai struktur yang normal seperti jaringan

limfoid lainnya, dengan fungsi yang tetap, yaitu produksi antobodi (IgA lokal,

IgG serta IgM sistemik).4

Efek dari adenotonsilektomi pada fungsi imun tidak diketahui secara pasti.

Namun terdapat beberapa bukti pada anak yang sebelumnya diimunisasi dengan

imunisasi oral untuk polio, titer antibodi anak tersebut menurun setelah

dilakukannya adenotonsilektomi. Begitu juga pada anak-anak yang sebelumnya

4

memeiliki riwayat adenotonsilektomi, terdapat keterlambatan dan penurunan

respon imun pada vaksinasi polio berdasarkan antibodi IgA pada virus polio.6

Ukuran normal adenoid pada usia yang berbeda sulit untuk dipastikan. Studi

yang telah dilakukan selama ini banyak menggunakan teknik foto lateral, namun

kadang dilakukan dengan teknik lateral cephalometric. Ukuran jalan napas

bervariasi selama tidur dan menangis dan hal ini merupakan fisiologis. Hal ini

juga berhubungan dengan posisi mulut dan pergerakan dari palatum molle. Jeans

dkk (1981) menunjukkan bahwa pertumbuhan jaringan lunak dari postnasal space

mewakili pertumbuhan adenoid yang melebihi nasofaring antara usia 3 sampai 5,5

tahun dengan reduksi resultan pada jalan napas nasofaring. Setelah itu,

pertumbuhan dari nasofaring meningkat ketika jaringan lunak relatif tidak

berubah dan dengan demikian jalan napas meningkat. Terdapat perbedaan yang

signifikan pada area rata-rata nasofaring antara pria dan wanita selama proses

pertumbuhan, walaupun akan menjadi persis sama mulai dari usia 13 tahun.

Perbedaan kedua jenis kelamin tersebut dalam nasopharyngeal soft tissues hanya

signifikan pada usia 5 tahun dan perbedaan jalan napas hanya signifikan pada usia

di atas 13 tahun.4

Penelitian yang sangat hati-hati dilakukan oleh Linder-Aronson (1970), yang

menilai hubungan antara ukuran adenoid dan nasofaring dengan gejala obstruksi

nasal. Penelitian ini mengkonfirmasi bahwa pembesaran adenoid dapat

menyebabkan mouth breathing. Obstruksi yang terjadi dapat disimpulkan bahwa

hal ini berhubungan dengan tipe tulang wajah tertentu.4

Penelitian yang telah dilakukan tampak mendukung hipotesis bahwa

adenoid mempengaruhi cara bernapas yang mana akan mempengaruhi

pertumbuhan gigi anak. Hibbert dan Whitehouse (1978) melaporkan korelasi

radiologi lateral dengan ukuran adenoid. Johnson, Murray, dan Maran (1983)

mengindikasikan adanya kekeliruan yang tidak dipisahkan dari teknik ini. Foto

sefalometrik lateral telah direkomendasikan untuk menilai ukuran adenoid dan

ruang jalan napas post nasal dengan akurat. Penelitian pada ukuran adenoid secara

klinis dan radiologis dan korelasinya dengan volume adenoid telah dilakukan oleh

Maw, Jeans, dan Fernando pada tahun 1981. Hal ini mengkonfirmasi temuan dari

5

Hibbert dan Tweedie (1977) yang menemukan adanya korelasi ekstrim antara

berat adenoid dengan volumenya. Jeans, Fernando, dan Maw (1981) melaporkan

penelitian radiologis berdasarkan persetujuan antar peneliti untuk memperkirakan

akurasi dari pengukuran pembesaran adenoid. Quarnberg (1981) menunjukkan

bahwa hubungan antara adenoid yang besar dan kejadian otitis media akut pada

anak-anak usia di bawah 4 tahun. Dia juga menunjukkan hubungan yang serupa

dengan bayangan radiologis pada sinus maksillaris. Hal ini kemungkinan

menandakan kedua faktor ini mungkin saja bertanggungjawab pada prolongasi

otitis media akut. McNicholl (1983) mendemonstrasikan kelainan nasal pada

sutura vomeroethmoid pada anak dengan otitis media efusi. Hal ini kemungkinan

dapat menyebabkan adanya turbulensi pada ruang postnasal. Todd (1984)

mencatat adanya tuba eustachii yang besar pada pasien dengan otitis media dan

palatoschisis bila dibandingkan dengan kontrol. Akan tetapi, diameter tuba

eustachiii lebih kecil pada pasien dengan otitis media efusi dan penyakit alergi

jalan napas.4

Obstruksi dan adenoid

Adenoid cenderung menyumbat tuba eustachii dan juga bertindak sebagai

fokus infeksi dari mana organisme tersebut akan berjalan ke tuba. Akan tetapi,

kontroversi terus berlanjut sebagaimana fungsi sebenarnya dari adenoid pada

otitis media supuratif akut maupun efusi telinga tengah non-supuratif. Maw

(1985) menunjukkan bahwa adenoidektomi bermanfaat untuk menuntaskan efusi

telinga tengah, walaupun usia anak mungkin lebih signifikan, sebagaimana anak

usia di atas 6 tahun menunjukkan bersihan yang lebih baik daripada anak di

bawah 6 tahun. Hal ini dapat dibantah dengan adanya adenoid, pada fungsi tuba

eustachii yang masih baik, memainkan peran yang hampir mirip pada otitis media

supuratif akut. Pada 1963, McKee dua penelitian menunjukkan adanya bukti

efektivitas adenoidektomi secara signifikan menurunkan insidensi otitis media

supuratif akut. Menariknya, dia juga menunjukkan bahwa adenoidektomi itu

sendiri sama efektifnya dalam mengurangi otitis media supuratif akut bila

dibandingkan adenoidotonsilektomi.4

6

Obstruksi nasal

Tidak diragukan lagi bahwa adenoid yang besar dapat menyebabkan

obstruksi nasal parsial maupun total dan menyebabkan dengkuran, hyponasal

speech, dan memaksa anak-anak untuk bernapas melalui mulut. Akan tetapi

terdapat penyebab lain dari obstruksi nasal dan mouth breathing, dan

adenoidektomi tidak bermanfaat pada kasus ini. Salah satu sumber mencatat

bahwa anak dengan open lip posture, yakni bibir yang renggang pada saat

istirahat, secara otomatis diasumsikan sebagai mouth breather. Faktanya,

sejumlah penelitian menunjukkan bahwa hal ini bukan bagian dari masalah dan

open lip posture mungkin saja tidak berpengaruh sama sekali pada pernapasan.

Pada tahun 1969, Rasmus dan Jacobs menunjukkan bahwa anak-anak yang secara

klinis diduga sebagai mouth breathers dengan adanya open lip posture, memiliki

air flow yang serupa dengan anak normal.4

Efek adenoid pada telinga

Konsep klasik adalah pembesaran adenoid, yang kemungkinan

berhubungan dengan infeksi, menyebabkan peningkatan insidensi otitis media

akut dan otitis media non supuratif (glue ear). Hal ini telah didemonstrasikan baik

dengan teknik radiologis (Bluestone, 1971) maupun dengan penelitian tekanan

(Bluestone, 1975a, b). Secara mekanik adenoid dapat menyumbat muara tuba

eustachii dan adenoidektomi dapat mengurangi sumbatan tersebut. Pandangan

alternatif adalah bahwa adenoid mungkin bertanggung jawab pada otitis media

rekuren dan otitis media efusi hanya pada proporsi yang kecil pada anak-anak.

Jika adenoid benar-benar bertanggung jawab, sangat sulit untuk menjelaskan

adanya kelainan telinga pada anak dengan adenoid yang kecil dan pada anak yang

telah dilakukan adenoidektomi. Namun penelitian terkontrol yang membahas

penyakit telinga dan adenoidektomi tidak menyelesaikan pertanyaan ini. Secara

umum, penelitian terkontrol menunjukkan bahwa adenoidektomi memiliki

pengaruh yang sedikit pada kejadian otitis media akut (Rynnel-Dagloo, Ahlbom

and Schiratzki, 1978). Dua penelitian terkontrol menunjukkan beberapa manfaat

dari adenoidektomi pada anak dengan otitis media efusi (Maw, 1983; Bulman,

7

Brook and Berry, 1984) namun penelitian lain menunjukkan tidak adanya manfaat

adenoidektomi (Rynnel-Dagloo, Ahlboom and Schiratzki, 1978; Fiellau-

Nicholajsen, Falbe-Hansen and Knudstrup, 1980; Roydhouse, 1980; Widemar et

al, 1986).4

2.3 Definisi Hipertrofi Adenoid

Gangguan jaringan limfoid nasofaring (adenoid) cenderung paralel dengan

gangguan tonsil di kerongkongan. Hipertrofi dan infeksi dapat terjadi secara

terpisah tetapi sering terjadi bersama; infeksi biasanya primer. Struktur adenoid

yang lunak dan normalnya tersebar dalam nasofaring, terutama pada dinding

posterior dan atapnya, mengalami hipertrofi dan terbentuk massa dengan berbagai

ukuran. Massa ini dapat hampir mengisi ruang nasofaring, mengganggu saluran

udara yang melalui hidung, mengobstruksi tuba eustachii, dan memblokade

pembersihan mukosa hidung.7,8

2.4 Etiologi

Adenoid adalah pembesaran subepitelial dari limfosit pada minggu ke 16

kehamilan. Secara fisiologis, normalnya pada saat lahir nasofaring dan adenoid

banyak di temukan organisme yang terdapat pada bagian atas saluran pernafasan

yang mulai aktif setelah lahir. Organisme-organisme tersebut adalah lactobacillus,

streptococcus anaerobik, actynomycosis, lusobacteriurn dan nocardia. Flora

normal yang ditemukan pada adenoid antara lain streptococcus alfa-hemolyticus,

corynebacterium, staphylococcus, neisseria, micrococcus dan stomatococcus.7

Etiologi hipertrofi adenoid dapat diringkas menjadi dua yaitu secara

fisiologis dan faktor infeksi. Secara fisiologis adenoid akan mengalami hipertrofi

pada masa puncaknya yaitu 3-7 tahun dan kemudian mengecil dan menghilang

sama sekali pada usia 14 tahun. Hipertrofi adenoid biasanya asimptomatik, namun

jika cukup besar akan menyebabkan gejala. Hipertrofi adenoid juga didapatkan

pada anak yang mengalami infeksi kronik atau rekuren pada saluran pernapasan

atas atau ISPA. Etiologi pembesaran adenoid

infeksi yang berulang pada saluran nafas bagian atas

untuk jenis jaringan. Jarang

berulang oleh virus in

2.5 Patogenesis

Pada balita jaringan limfoid dalam cincin waldeyer sangat kecil. Pada anak

berumur 4 tahun bertambah besar karena aktivitas imun, karena tonsil dan adenoid

(pharyngeal tonsil) merupakan organ limfoid

menfagosit kuman-kuman patogen. Jaringan tonsil dan adenoid mempunyai

peranan penting sebagai organ yang khusus dalam respon imun humoral maupun

selular, seperti pada epitel kripta

karena itu, hipertrofi dari jaringan merupakan respons terhadap kolonisasi dari

flora normal itu sendiri

Adenoid dapat membesar seukuran bola ping

tersumbatnya jalan udara yang melalui hidung

yang keras untuk bernafas sebagai akibatnya terjadi ventilasi melalui mulut yang

terbuka. Adenoid dapat menyebabkan obstruksi pada jalan udara pada na

sehingga mempengaruhi suara.

Gambar

Pembesaran adenoid dapat menyebabkan obstruksi pada tuba eustachius

(gambar 2) yang akhirnya menjadi tuli konduktif karena adanya cairan dalam

telinga tengah akibat tuba eustachius yang tidak bekerja efisien karena adanya

sumbatan.3,8

8

Etiologi pembesaran adenoid sebagian besar disebabkan oleh

infeksi yang berulang pada saluran nafas bagian atas pola pertumbuhan normal

untuk jenis jaringan. Jarang sekali hipertrofi terjadi karena infeksi

influenza, streptococcus, mononukleosis, dan

Pada balita jaringan limfoid dalam cincin waldeyer sangat kecil. Pada anak

berumur 4 tahun bertambah besar karena aktivitas imun, karena tonsil dan adenoid

(pharyngeal tonsil) merupakan organ limfoid pertama di dalam tubuh yang

kuman patogen. Jaringan tonsil dan adenoid mempunyai

peranan penting sebagai organ yang khusus dalam respon imun humoral maupun

lular, seperti pada epitel kripta, folikel limfoid, dan bagian ekstrafolikuler. O

karena itu, hipertrofi dari jaringan merupakan respons terhadap kolonisasi dari

flora normal itu sendiri dan mikroorganisme patogen.8

Adenoid dapat membesar seukuran bola ping-pong, yang mengakibatkan

tersumbatnya jalan udara yang melalui hidung sehingga dibutuhkan adanya usaha

yang keras untuk bernafas sebagai akibatnya terjadi ventilasi melalui mulut yang

terbuka. Adenoid dapat menyebabkan obstruksi pada jalan udara pada na

sehingga mempengaruhi suara.3,8

Gambar 2. Pembesaran adenoid dan proses obstruksi

Pembesaran adenoid dapat menyebabkan obstruksi pada tuba eustachius

yang akhirnya menjadi tuli konduktif karena adanya cairan dalam

telinga tengah akibat tuba eustachius yang tidak bekerja efisien karena adanya

ebagian besar disebabkan oleh

pola pertumbuhan normal

infeksi tenggorokan

dan difteri.7

Pada balita jaringan limfoid dalam cincin waldeyer sangat kecil. Pada anak

berumur 4 tahun bertambah besar karena aktivitas imun, karena tonsil dan adenoid

pertama di dalam tubuh yang

kuman patogen. Jaringan tonsil dan adenoid mempunyai

peranan penting sebagai organ yang khusus dalam respon imun humoral maupun

dan bagian ekstrafolikuler. Oleh

karena itu, hipertrofi dari jaringan merupakan respons terhadap kolonisasi dari

pong, yang mengakibatkan

sehingga dibutuhkan adanya usaha

yang keras untuk bernafas sebagai akibatnya terjadi ventilasi melalui mulut yang

terbuka. Adenoid dapat menyebabkan obstruksi pada jalan udara pada nasal

oses obstruksi

Pembesaran adenoid dapat menyebabkan obstruksi pada tuba eustachius

yang akhirnya menjadi tuli konduktif karena adanya cairan dalam

telinga tengah akibat tuba eustachius yang tidak bekerja efisien karena adanya

9

2.6 Diagnosis

2.6.1 Anamnesis

Pasien dengan hipertrofi adenoid biasanya datang dengan keluhan rhinore,

kualitas suara yang berkurang (hiponasal), dan obstruksi nasal berupa pernapasan

lewat mulut yang kronis (chronic mouth breathing), mendengkur, bisa terjadi

gangguan tidur (obstructive sleep apnea), tuli konduktif (merupakan penyakit

sekunder otitis media rekuren atau efusi telinga tengah yang persisten) dan facies

adenoid.3,4

Apabila sering terjadi infeksi pada saluran napas bagian atas, maka dapat

terjadi hipertrofi adenoid yang akan mengabatkan sumbatan pada koana,

sumbatan tuba eustachius serta gejala umum. Akibat sumbatan koana maka pasien

akan bernapas lewat mulut sehingga terjadi:3,4

a. Jika berlangsung lama menyebabkan palatum durum lengkungnya menjadi

tinggi dan sempit, area dentalis superior lebih sempit dan memanjang daripada

arcus dentalis inferior hingga terjadi malocclusio dan overbite (gigi incisivus

atas lebih menonjol ke depan).

b. Wajah penderita kelihatannya seperti anak yang bodoh, dan dikenal sebagai

facies adenoid.

c. Mouth breathing juga menyebabkan udara pernafasan tidak disaring dan

kelembabannya kurang, sehingga mudah terjadi infeksi saluran pernafasan

bagian bawah.

d. Pada sumbatan, tuba eustachius akan terjadi otitis media serosa baik rekuren

maupun otitis medis akut residif, otitis media kronik dan terjadi ketulian.

Obstruksi ini juga menyebabkan perbedaan dalam kualitas suara.

Secara umum telah diakui bahwa anak

memiliki karakteristik wajah tertentu yang dihasilkan oleh efek obstruksi nasal

dan pertumbuhan maksilla akibat

dari:4

(1) postur bibir yang terbuka

atas yang lebih pendek;

(2) hidung yang kurus, maksilla yang sempit dan hipoplast

sempit, dan high-

Kelainan pertumbuhan ini dikarenakan kelainan oklusi

Pada penelitian yang lebih terperinci dan hati

Aronson (1970) menunjukkan hubungan yang sangat erat antara

pembesaran adenoid dan kelainan dental, serta maksilla. Alasan alternatif adalah

bahwa kelainan rahang atas ini didapat dari variasi normal (Tulley, 1964). Sangat

mungkin bahwa ukuran normal adenoid pada

meningkatkan gejala yang tidak terdapat pada maksilla normal. Hubungan

kausatif antara pembesaran adenoid

Pernapasan mulut dan rhinitis yang terus menerus merupakan gejala yang

paling khas. Pernapasan mulut dapat muncul hanya selama tidur, terutama bila

anak tidur terlentang, bila mendengkur, kemungkinan juga terja

hipertrofi adenoid yang berat, selama siang hari mulut juga akan terbuka, dan

10

Gambar 3. Facies adenoid

Secara umum telah diakui bahwa anak-anak dengan pembesaran adenoid

memiliki karakteristik wajah tertentu yang dihasilkan oleh efek obstruksi nasal

dan pertumbuhan maksilla akibat mouth breathing. Gambaran wajah ini terdiri

postur bibir yang terbuka dengan gigi insisivus atas yang menonjol serta bibir

atas yang lebih pendek;

hidung yang kurus, maksilla yang sempit dan hipoplastik, alveolar atas yang

arched palate.

Kelainan pertumbuhan ini dikarenakan kelainan oklusi cross bite

Pada penelitian yang lebih terperinci dan hati-hati yang dilakukan oleh Linder

Aronson (1970) menunjukkan hubungan yang sangat erat antara mouth breathing

pembesaran adenoid dan kelainan dental, serta maksilla. Alasan alternatif adalah

lainan rahang atas ini didapat dari variasi normal (Tulley, 1964). Sangat

mungkin bahwa ukuran normal adenoid pada inherited hypoplastic maxilla

meningkatkan gejala yang tidak terdapat pada maksilla normal. Hubungan

kausatif antara pembesaran adenoid dan kelainan maksilla tidak pernah diteliti.

Pernapasan mulut dan rhinitis yang terus menerus merupakan gejala yang

paling khas. Pernapasan mulut dapat muncul hanya selama tidur, terutama bila

anak tidur terlentang, bila mendengkur, kemungkinan juga terjadi. Dengan adanya

hipertrofi adenoid yang berat, selama siang hari mulut juga akan terbuka, dan

anak dengan pembesaran adenoid

memiliki karakteristik wajah tertentu yang dihasilkan oleh efek obstruksi nasal

. Gambaran wajah ini terdiri

dengan gigi insisivus atas yang menonjol serta bibir

ik, alveolar atas yang

cross bite dan open bite.

hati yang dilakukan oleh Linder-

mouth breathing,

pembesaran adenoid dan kelainan dental, serta maksilla. Alasan alternatif adalah

lainan rahang atas ini didapat dari variasi normal (Tulley, 1964). Sangat

inherited hypoplastic maxilla akan

meningkatkan gejala yang tidak terdapat pada maksilla normal. Hubungan

dan kelainan maksilla tidak pernah diteliti.4

Pernapasan mulut dan rhinitis yang terus menerus merupakan gejala yang

paling khas. Pernapasan mulut dapat muncul hanya selama tidur, terutama bila

di. Dengan adanya

hipertrofi adenoid yang berat, selama siang hari mulut juga akan terbuka, dan

11

membran mukosa mulut serta bibir menjadi kering. Nasofaringitis kronis dapat

terjadi secara konstan ada, atau sering berulang. Kualitas suara berubah menjadi

suara hidung, serak. Pernapasan sangat menusuk hidung, indra pengecap serta

penciuman pun terganggu. Batuk yang mengganggu dapat muncul terutama di

malam hari, akibat dari drainase nanah ke dalam faring bawah atau iritasi laring

dengan udara inspirasi yang belum dipanasi dan dilembabkan oleh aliran melalui

hidung. Gangguan pendengaran lazim dijumpai. Otitis media kronis dapat terkait

dengan hipertrofi adenoid yang terinfeksi dan blokade orifisium tuba eustachii.

Pernapasan mulut kronis memberi kecenderungan lengkungan palatum tinggi,

sempit, dan mandibula memanjang. Seringkali ada rujukan dari ortodontis untuk

melakukan pemeriksaan obstruksi hidung dan adenoidektomi.4

Sejumlah kecil anak kecil dengan pembesaran adenoid (juga tonsil) yang

nyata tidak mampu bernapas dengan mulut selama waktu tidur. Mereka

mendengus dan mendengkur keras dan sering menampakkan tanda-tanda

kegawatan pernapasan, seperti retraksi interkostal dan pelebaran lubang hidung.

Anak ini berisiko mengalami insufisiensi pernapasan (hipoksia, hiperkapnea,

asidosis) selama waktu tidur. Apnea obstruktif saat tidur dapat terjadi, dan pada

beberapa dari anak ini berkembang hipertensi arteri pulmonalis dan akhirnya, kor

pulmonale. Pembesaran jaringan limfoid saluran pernapasan atas dengan akibat

kor pulmonale telah dihubungkan dengan hipersensitivitas susu sapi dalam

sejumlah anak pada umur prasekolah. Anak yang amat gemuk (misalnya sindrom

Prader-Willi) dan pada anak dengan lidah besar atau terletak sebelah posterior

(misalnya sindrom Pierre Robin) dapat juga berkembang obstruksi saluran

pernapasan atas pada saat tidur, sehingga menyerupai sindrom hipertrofi adenoid.

Penderita sindrom Down sering menderita makroglosia, pembesaran tonsil, dan

anomali dasar tengkorak, yang membuatnya rentan terhadap obstruksi.8

Sebuah penelitian mengklasifikasikan hipertrofi adenoid menurut

gejalanya antara lain sebagai berikut:10

- Mendengkur (grade 0 = tidak ada, grade 1 = 1–2 malam dalam seminggu,

grade 2 = 3–5 malam dalam seminggu, dan grade 3 = 6–7 malam dalam

seminggu),

12

- Hidung tersumbat (chronic mouth breathing) (grade 0 = tidak ada, grade 1

= ¼ hingga ½ hari, grade 2 = ½ hingga ¾ hari, dan grade 3 = ¾ hingga

sehari penuh)

- Sleep apnea (grade 0 = tidak ada, grade 1 = 1–2 malam dalam seminggu,

grade 2 = 3–5 malam dalam seminggu, dan grade 3 = 6–7 malam dalam

seminggu),

- Otitis media (grade 0 = tidak ada, grade 1=1–3 episode per tahun, grade 2

= 4–6 episode per tahun, dan grade3 = lebih dari 6 episode per tahun),

serta

- faringitis rekuren (grade 0 = tidak ada, grade 1 = 1–3 episode per tahun,

grade 2 = 4–6 episode per tahun, dan grade3 = lebih dari 6 episode per

tahun).

2.6.2 Pemeriksaan Fisik

Langsung:

Dengan melihat transoral langsung ke dalam nasofaring setelah palatum

molle di retraksi.

Dengan rhinoskopi anterior melihat gerakan keatas palatum molle waktu

mengucapkan "i" yang terhambat oleh pembesaran adenoid, hal ini disebut

fenomena palatum molle yang negatif

Tidak langsung:

Dengan cermin dan lampu kepala melihat nasofaring dari arah orofaring

dinamakan rhinoskopi posterior.

Dengan nasofaringioskop, suatu alat seperti scytoskop yang mempunyai

sistem lensa dan prisma dan lampu diujungnya, dimasukkan lewat cavum

nasi, seluruh nasofaring dapat dilihat.

Pemeriksaan klinis yang dilakukan pada anak dengan obstruksi nasal

kebanyakan tidak dapat dipercaya. Pemeriksaan cavum nasi yang dilakukan

dengan rinoskopi anterior dapat terlihat normal atau dapat menunjukkan

peningkatan sekresi, hipertrofi, maupun kongesti (hiperemis atau kebiruan) di

13

konka. Murray (1972) menunjukkan korelasi positif antara pembesaran adenoid

dan kongesti nasal pada pemeriksaan rinoskopi anterior, dan ketika hubungan ini

mungkin saja benar pada beberapa orang anak, hal ini juga tampak pada gambaran

rinoskopi anterior anak-anak dengan rinitis alergi. Pada beberapa anak,

pemeriksaan nasofaring dengan kaca laring dapat mengidentifikasi adenoid yang

besar. Akan tetapi, pada beberapa orang anak pemeriksaan dengan kaca laring ini

tidak mungkin dilakukan. Cara yang paling mungkin untuk mengidentifikasi

ukuran adenoid ini adalah dengan menggunakan foto lateral. Foto radiologi ini

akan memberikan pengukuran absolut dari adenoid dan juga dapat memberikan

taksiran hubungannya dengan ukuran jalan napas. Hal ini adalah metode terbaik

untuk menentukan apakah adenoidektomi dapat memperbaiki gejala obstruksi

nasal.4,9

2.6.3 Pemeriksaan penunjang

a. Foto polos (4,5)

Ukuran adenoid biasanya dideteksi dengan menggunakan foto polos true

lateral. Hal ini memiliki kekurangan karena hanya menggambarkan ukuran

nasofaring dan massa adenoid dua dimensi. Namun, Holmberg dan Linder-

Aronson (1979) menemukan hubungan yang signifikan antara ukuran adenoid

yang diukur pada foto kepala lateral dan adenoid yang diukur secara klinis

menggunakan nasofaringoskopi.3,4

Pengambilan foto polos leher lateral juga bisa membantu dalam

mendiagnosis hipertrofi adenoid jika endoskopi tidak dilakukan karena ruang

postnasal kadang sulit dilihat pada anak-anak, dan dengan pengambilan foto

lateral bisa menunjukkan ukuran adenoid dan derajat obstruksi.4

Terdapat beberapa metode untuk mengukur besar adenoid, antara lain

yang pernah diteliti adalah:10

1. Ketebalan adenoid

Ketebalan adenoid, seperti yang dideskripsikan oleh Johannesson, didefinisikan

sebagai jarak yang diukur (mm) tegak lurus dari tuberkel faring di basis cranii ke

puncak adenoid dengan menggunakan

gambar 4 dan 7C.11

Gambar 4. Skema tebal adenoid menurut Johannesson. PT: Tonsil faring

2. Rasio jalan napas

Rasio jalan napas dan palatum molle, seperti yang dideskripsikan oleh Cohen

Konak, merupakan perbandingan antara

dan titik kelengkungan tertinggi adenoid

mm di bawah palatum durum atau 5

menggunakan cavum x

lebih sempit daripada ketebalan palatum; medium, ketika kolom udara sempit

namun lebih lebar dari setengah tebal palat

lebih sempit dari setengah tebal palatum.

7B. Sementara itu,

kelompok berdasarkan perhitungan pada skema, yakni

Kecil : AC/SfP

Medium : 0,5 ≤ AC/SfP

Besar : AC/SfP < 0,5

14

dengan menggunakan cavum x-ray. Skema ditunjukkan oleh

Gambar 4. Skema tebal adenoid menurut Johannesson. PT: Tonsil faring

(adenoid), NF: nasofaring

Rasio jalan napas dan palatum molle

Rasio jalan napas dan palatum molle, seperti yang dideskripsikan oleh Cohen

merupakan perbandingan antara lebar kolom udara (AC)

dan titik kelengkungan tertinggi adenoid dan ketebalan palatum molle (

m di bawah palatum durum atau 5 mm pada anak < 3 tahun)

cavum x-ray. Adenoid disebut sebagai kecil, ketika kolom udara

lebih sempit daripada ketebalan palatum; medium, ketika kolom udara sempit

namun lebih lebar dari setengah tebal palatum; dan besar, ketika kolom udara

dari setengah tebal palatum. Skema ditunjukkan oleh gambar 5 dan

itu, Cohen dan Konak mengkategorikan adenoid ke dalam 3

kelompok berdasarkan perhitungan pada skema, yakni:9,12

: AC/SfP ≥ 1,0

≤ AC/SfP < 1,0

: AC/SfP < 0,5

Skema ditunjukkan oleh

Gambar 4. Skema tebal adenoid menurut Johannesson. PT: Tonsil faring

Rasio jalan napas dan palatum molle, seperti yang dideskripsikan oleh Cohen dan

(AC) antara palatum

ketebalan palatum molle (SfP; 10

m pada anak < 3 tahun) dengan

Adenoid disebut sebagai kecil, ketika kolom udara

lebih sempit daripada ketebalan palatum; medium, ketika kolom udara sempit

um; dan besar, ketika kolom udara

Skema ditunjukkan oleh gambar 5 dan

mengkategorikan adenoid ke dalam 3

Gambar 5. Metode Cohen dan Konakposterior

3. Rasio adenoid

Rasio adenoid-nasofar

rasio antara ketebalan adenoid

cavum x-ray. Di mana A adalah garis tepi anterior tulang basiooksipital yang

tegak lurus ke puncak tonsil faring (adenoid); d

posterosuperior dari palatum durum

sfenooksipital. Skema ini ditunjukkan oleh gambar 6 dan 7A.

menurut Fujioka adalah:

A/N ≤ 0,8 : normal

A/N > 0,8 : pembesaran

Gambar 6. Skema adenoid

15

etode Cohen dan Konak. A. Pengukuran dilakukan 10 mm dari posterior nasal spine B. Gambaran adenoid yang besar

Rasio adenoid-nasofaring (rasio A/N)

aring, yang diusulkan oleh Fujioka dkk, didefinisikan sebagai

rasio antara ketebalan adenoid (A) dengan nasofaring (N) dengan menggunakan

Di mana A adalah garis tepi anterior tulang basiooksipital yang

tegak lurus ke puncak tonsil faring (adenoid); dan N adalah jarak antara bagian

dari palatum durum dan tepi anterior dari sinkondrosis

Skema ini ditunjukkan oleh gambar 6 dan 7A. Adapun kategori

adalah:13

: normal

: pembesaran

. Skema adenoid-nasofaring menurut Fujioka dkk. A: adenoid,

N: nasofaring.

A. Pengukuran dilakukan 10 mm dari

adenoid yang besar.

didefinisikan sebagai

dengan menggunakan

Di mana A adalah garis tepi anterior tulang basiooksipital yang

an N adalah jarak antara bagian

dan tepi anterior dari sinkondrosis

Adapun kategori

nasofaring menurut Fujioka dkk. A: adenoid,

16

4. Persentase oklusi jalan napas

Persentase oklusi jalan napas yang diukur dengan lateral neck soft tissue

radiographs (LNXR), yang dinilai sebagai rasio tebal adenoid yang didefinisikan

oleh Johanneson dengan jarak dari tuberkel faring di basis cranii ke permukaan

superior dari palatum molle. Skema ini ditunjukkan oleh gambar 7D. Adapun

klasifikasi menurut persentase oklusi jalan napas, yang juga ditunjukkan oleh

gambar 8, adalah:10,14

Grade I: Besar adenoid kurang dari 25% dari jalan napas nasofaring

Grade II: Adenoid sebesar 25% hingga 50% dari jalan napas nasofaring

Grade III: Adenoid sebesar 50% hingga 75% dari jalan napas nasofaring

Grade IV: Besar adenoid lebih dari 75% jalan napas nasofaring.

Gambar 7. Metode untuk menilai pembesaran adenoid pada lateral neck radiography A. Rasio adenoid dan nasofaring oleh Fujioka dkk B. Rasio jalan napas dan palatum molle oleh Cohen dan Konak C. Ketebalan adenoid oleh Johannesson D. Persentase oklusi jalan napas, diukur dari rasio ketebalan adenoid dan jarak tuberkel faring-permukaan superior palatum molle.

Gambar 8. Foto sefalograf lateral pada gambar menunjukkan perbedaan tingkatan obstruksi jalan napas yang dihubungkan dengan ukuran adenoid.tahun 3 bulan. B. Grade anak usia 4 tahun 9 bulan yang juga memiliki morfologi khas gigi dan syndrome.

5. Faring Superior

Faring superior, yang didefinisikan oleh McNamara (gambar 9), adalah jarak

terpendek (mm) antara satu titik pada batas superior palatum molle dan satu titik

pada tepi tonsil faring (adenoid). McNamara pun mengkategorikannya ke dalam

dua kategori jalan napas, yakni:

Non obstructive

Apparently obstructive

Gambar 9. Skema faring superior menurut

Foto cavum x

tenggorokan, ketika ahli ortodonsia lebih sering menggunakan foto sefalometrik

lateral. Walaupun hal ini merupakan

memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mengevaluasi jalan napas nasofari

17

Gambar 8. Foto sefalograf lateral pada 3 anak dengan mouth breathinggambar menunjukkan perbedaan tingkatan obstruksi jalan napas yang dihubungkan dengan ukuran adenoid. A. Grade I pada anak perempuan usia 12

Grade II pada anak laki-laki usia 4 tahun 4 bulanbulan yang juga memiliki morfologi khas gigi dan

Faring Superior

Faring superior, yang didefinisikan oleh McNamara (gambar 9), adalah jarak

terpendek (mm) antara satu titik pada batas superior palatum molle dan satu titik

tonsil faring (adenoid). McNamara pun mengkategorikannya ke dalam

dua kategori jalan napas, yakni:21

: SP > 5 mm

Apparently obstructive : SP ≤ 5 mm

Gambar 9. Skema faring superior menurut McNamara.

cavum x-ray sering digunakan oleh ahli telinga, hidung, dan

ketika ahli ortodonsia lebih sering menggunakan foto sefalometrik

Walaupun hal ini merupakan dua jenis foto yang berbeda

memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mengevaluasi jalan napas nasofari

breathing kronis,

gambar menunjukkan perbedaan tingkatan obstruksi jalan napas yang pada anak perempuan usia 12

bulan. C. Grade III bulan yang juga memiliki morfologi khas gigi dan long face

Faring superior, yang didefinisikan oleh McNamara (gambar 9), adalah jarak

terpendek (mm) antara satu titik pada batas superior palatum molle dan satu titik

tonsil faring (adenoid). McNamara pun mengkategorikannya ke dalam

McNamara.

oleh ahli telinga, hidung, dan

ketika ahli ortodonsia lebih sering menggunakan foto sefalometrik

dua jenis foto yang berbeda, foto ini

memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mengevaluasi jalan napas nasofaring.

Namun penilaian ukuran adenoid dengan menggunakan foto polos lateral

dianggap kontroversial, bahkan manfaatnya

beberapa kasus juga dipertanyakan.

Mlynarek dkk, menunjukkan

menggunakan foto lateral memiliki kore

gejala klinis penderita.

pengukuran dari McNamara memiliki kemampuan yang paling

subyektivitas pemeriksa, dan dimungkinkan untuk tidak terjadi kesalahpahaman

antar pemeriksa. Meskipun demikian terdapat korelasi signifikan antara volume

adenoid absolut yang ditemukan pada saat pembedahan dengan skor obstruksi

nasal, dan hasil pemeriksaan radiologis. Bagaimanapun juga, metode

sefalometrik, dengan pengukuran adenoid dan lebar jalan napas post nasal yang

hati-hati perlu dilakukan, sesuai dengan pengalaman pemeriksa.

Pemeriksaan hipertrofi adenoid harus dilakukan deng

Perubahan posisi pasien, seperti halnya tipe pernapasan pada saat pengambilan

foto, memiliki efek yang signifikan pada penampang jaringan lunak nasofaring,

seperti ditunjukkan oleh gambar

menjadi sangat tidak akurat untuk mendeteksi pembesaran adenoid dan dapat

menyebabkan perbedaan pendapat antar pemeriksa

Gambar 10. Foto polos leher lateral yang dilakukan pada anak yang sama dengan gambar 7, namun dengan mulut terbuka

18

enilaian ukuran adenoid dengan menggunakan foto polos lateral

p kontroversial, bahkan manfaatnya untuk penentuan adenoidektomi pada

beberapa kasus juga dipertanyakan. Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh

, menunjukkan bahwa persentase oklusi jalan napas yang

menggunakan foto lateral memiliki korelasi yang tinggi bila dihubungkan dengan

gejala klinis penderita. Bila seluruh sistem pengkategorian dibandingkan, metode

pengukuran dari McNamara memiliki kemampuan yang paling

subyektivitas pemeriksa, dan dimungkinkan untuk tidak terjadi kesalahpahaman

Meskipun demikian terdapat korelasi signifikan antara volume

adenoid absolut yang ditemukan pada saat pembedahan dengan skor obstruksi

hasil pemeriksaan radiologis. Bagaimanapun juga, metode

sefalometrik, dengan pengukuran adenoid dan lebar jalan napas post nasal yang

perlu dilakukan, sesuai dengan pengalaman pemeriksa.10,1

Pemeriksaan hipertrofi adenoid harus dilakukan deng

Perubahan posisi pasien, seperti halnya tipe pernapasan pada saat pengambilan

foto, memiliki efek yang signifikan pada penampang jaringan lunak nasofaring,

seperti ditunjukkan oleh gambar 10. Oleh karena itu, foto dua dimensi dapat

sangat tidak akurat untuk mendeteksi pembesaran adenoid dan dapat

menyebabkan perbedaan pendapat antar pemeriksa.16,17

. Foto polos leher lateral yang dilakukan pada anak yang sama dengan

, namun dengan mulut terbuka. Tampak perbedaan penampang adenoid.

enilaian ukuran adenoid dengan menggunakan foto polos lateral

adenoidektomi pada

enelitian yang dilakukan oleh

bahwa persentase oklusi jalan napas yang

asi yang tinggi bila dihubungkan dengan

Bila seluruh sistem pengkategorian dibandingkan, metode

baik dalam hal

subyektivitas pemeriksa, dan dimungkinkan untuk tidak terjadi kesalahpahaman

Meskipun demikian terdapat korelasi signifikan antara volume

adenoid absolut yang ditemukan pada saat pembedahan dengan skor obstruksi

hasil pemeriksaan radiologis. Bagaimanapun juga, metode

sefalometrik, dengan pengukuran adenoid dan lebar jalan napas post nasal yang

0,15,22

Pemeriksaan hipertrofi adenoid harus dilakukan dengan hati-hati.

Perubahan posisi pasien, seperti halnya tipe pernapasan pada saat pengambilan

foto, memiliki efek yang signifikan pada penampang jaringan lunak nasofaring,

Oleh karena itu, foto dua dimensi dapat

sangat tidak akurat untuk mendeteksi pembesaran adenoid dan dapat

. Foto polos leher lateral yang dilakukan pada anak yang sama dengan

nampang adenoid.

b. CT Scan dan MRI

CT scan dan MRI

hipertrofi adenoid seperti kista maupun tumor

terdapat pada CT scan

adanya central midline cyst

Gambar 11. MRI dan CT scan nasofaring B. potongan

c. Endoskopi

Endoskopi cukup

infeksi adenoid, dan insufisiensi velopharyngeal (VPi),

penyebab lain dari obstruksi nasal.

menurut klasifikasi Clemens

jaringan adenoid mengisi sepertiga dari apertura nasal posterior bagian vertikal

(choanae), grade II ketika mengisi sepertiga hingga dua per tiga dari

III ketika mengisi dua per tiga hingga obstruksi

grade IV adalah obstruksi

19

dan MRI dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding dari

seperti kista maupun tumor. Gambaran hipertrofi adenoid

terdapat pada CT scan dan MRI adalah gambaran densitas/intensitas

central midline cyst (gambar 11).18,19

MRI dan CT scan nasofaring. A. potongan axial MRI T1 potongan sagittal CT scan yang menunjukkan soft tissue shadow

pada nasofaring

cukup membantu dalam mendiagnosis hipertrofi

infeksi adenoid, dan insufisiensi velopharyngeal (VPi), serta untuk

penyebab lain dari obstruksi nasal. Adapun ukuran adenoid diklasifikasikan

menurut klasifikasi Clemens et al, yang mana adenoid grade I adalah ketika

jaringan adenoid mengisi sepertiga dari apertura nasal posterior bagian vertikal

ketika mengisi sepertiga hingga dua per tiga dari

ketika mengisi dua per tiga hingga obstruksi koana yang hampi

adalah obstruksi koana sempurna.20

dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding dari

hipertrofi adenoid yang

/intensitas rendah tanpa

MRI T1 pada

soft tissue shadow

hipertrofi adenoid,

serta untuk menyingkirkan

Adapun ukuran adenoid diklasifikasikan

id grade I adalah ketika

jaringan adenoid mengisi sepertiga dari apertura nasal posterior bagian vertikal

ketika mengisi sepertiga hingga dua per tiga dari koana, grade

yang hampir lengkap dan

20

Gambar 12. A. Gambaran endoskopi adenoid pada orang dewasa B. Gambaran CT scan potongan aksial pada pasien yang sama, menunjukkan adenoid yang

kontak dengan konka inferior

2.7 Penatalaksanaan

Tidak ada bukti yang mendukung bahwa adanya pengobatan medis untuk

infeksi kronis adenoid. Pengobatan dengan menggunakan antibiotik sistemik

dalam jangka waktu yang panjang untuk infeksi jaringan limfoid tidak berhasil

membunuh bakteri. Sebenarnya, banyak kuman yang mengalami resistensi pada

penggunaan antibiotik jangka panjang. Beberapa penelitian menerangkan manfaat

dengan menggunakan steroid pada anak dengan hipertrofi adenoid. Penelitian

menujukkan bahwa selagi menggunakan pengobatan dapat mengecilkan adenoid

(sampai 10%). Tetapi jika pengobatan tersebut itu dihentikan adenoid tersebut

akan terulang lagi. Pada anak dengan efusi telinga tengah yang persisten atau

otitis media yang rekuren, adeinoidektomi meminimalkan terjadinya rekurensi.

Indikasi adenoidektomi adalah:

1. Sumbatan

• Sumbatan hidung yang menyebabkan bernafas melalui mulut

• Sleep apnea

• Gangguan menelan

• Gangguan berbicara

• Kelainan bentuk wajah dan gigi (facies adenoid)

21

2. Infeksi

• Adenoiditis berulang/kronik

• Otitis media efusi berulang/kronik

• Otitis media akut berulang

3. Kecurigaan neoplasma jinak/ganas

Adenoidektomi dan tonsilektomi dilakukan dengan anestesi general dan

penyembuhan terjadi dalam waktu 48 hingga 72 jam. Terdapat beberapa keadaan

yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun bila sebelumnya dapat diatasi,

operasi dapat dilaksanakan dengan tetap mempertimbangkan "manfaat dan

risiko". Keadaan tersebut antara lain:

1. Gangguan perdarahan

2. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat

3. Anemia

4. Infeksi akut yang berat

2.8 Komplikasi

Komplikasi dari tindakan adenoidektomi adalah perdarahan bila

pengerokan adenoid kurang bersih. Jika terlalu dalam menyebabkan akan terjadi

kerusakan dinding belakang faring. Bila kuretase terlalu ke lateral maka torus

tubarius akan rusak dan dapat mengakibatkan oklusi tuba eustachius dan timbul

tuli konduktif.

Hipertrofi adenoid merupakan salah satu penyebab tersering dari obstruksi

nasal dan dengkuran, dan merupakan salah satu penyebab terpenting dari

obstructive sleep apnoea syndrome, khususnya ketika terdapat beberapa faktor

lain yang mempengaruhi jalan napas bagian atas, antara lain seperti anomali

kraniofasial, maupun micrognathia akibat sindrom Treacher Collins.

22

2.9 Prognosis

Adenotonsillektomi merupakan suatu tindakan yang kuratif pada

kebanyakan individu. Jika pasien ditangani dengan baik diharapkan dapat sembuh

sempurna, kerusakan akibat cor pulmonal tidak menetap dan sleep apnea dan

obstruksi jalan nafas dapat diatasi.

Otitis media persisten kronik

Maw and Speller, Paradise menunjukkan bahwa sekitar 30-50% terjadi penurunan

otitis media setelah dilakukan adenoidectomy.

Sinusitis kronik

Studi dari Lee and Rosenfeld pada tahun 1997, menunjukkan bahwa sinusitis

kronik tidak berkurang meskipun telah dilakukan pengangkatan adenoid. Namun

penelitian yang lain tetap menunjukkan adanya resolusi gejala sinusitis setelah

pengangkatan adenoid.

Obstruksi jalan napas

Adenoidektomi menghilangkan obstruksi sehingga gejala-gejala obstruksi nasal

seperti sleep apnea, hiponasal menghilang dengan sendirinya.

23

BAB III

KESIMPULAN

1. Hipertrofi adenoid adalah pembesaran adenoid yang tidak fisiologis yang

biasanya disebabkan oleh inflamasi kronik.

2. Hipertrofi adenoid biasanya disertai keluhan rhinore, kualitas suara yang

berkurang, chronic mouth breathing, mendengkur, obstructive sleep apnea,

tuli konduktif dan facies adenoid.

3. Foto radiologi dapat memberikan pengukuran absolut dari adenoid dan juga

dapat memberikan taksiran hubungannya dengan ukuran jalan napas.

4. Foto radiologi dapat menentukan apakah adenoidektomi dapat memperbaiki

gejala obstruksi nasal atau tidak.

5. Foto cavum x-ray sering digunakan oleh ahli telinga, hidung, dan

tenggorokan, sementara ahli ortodonsia lebih sering menggunakan foto

sefalometrik lateral.

6. Pengukuran jalan napas dengan menggunakan foto lateral memiliki korealsi

yang tinggi bila dihubungkan dengan gejala klinis penderita hipertrofi

adenoid.

7. Bila seluruh sistem pengkategorian dibandingkan, metode pengukuran dari

McNamara memiliki kemampuan yang paling baik dalam hal subyektivitas

pemeriksa.

8. CT scan dan MRI dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding dari

hipertrofi adenoid seperti kista maupun tumor.

24

DAFTAR PUSTAKA

1. M. Arman Amar, Riskiana Djamin, Abdul Qadar Punagi. Rasio Adenoid-

Nasofaring dan Gangguan Telinga Tengah pada Penderita Hipertrofi Adenoid.

J Indon Med Assoc. 2013; 63:21-6

2. Havas T, Lowinger D. Obstructive adenoid tissue: an indication for powered-

shaver adenoidectomy. Arch Otolaringol Head Neck Surg. 2002; 128(7):789-

91

3. Ballenger JJ. 1994. Penyakit hidung, tenggorok, kepala dan leher jilid satu

edisi 13. Jakarta: Binarupa Aksara; p. 347-9.

4. John H, David C. Tonsils and adenoids. In: Scott-Brown WG, Kerr AG.

Paediatric otolaryngology (Scott Brown’s otolaryngology) 6th ed. Oxford:

Butterworth-Heinemann. p.1-15.

5. Goeringer GC, Vidic SD. The Embryogenesis and Anatomy of Waldeyer’s

ring. Otolaryngology Clinics of North America 1987;20(2):207-217.

6. Gordon Shields, Ronald Deskin. 2002. The Tonsils and Adenoids in Pediatric

Patients. Diakses dari pada tanggal 18 Oktober 2013 pukul 20.00 WIB

7. Brodsky L, Poje C. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In :Head

and Neck Surgery-Otolaryngology. Bailey BJ editor. Philadelphia: Lippincott

Williams& Wilkins. 2001:979-991

8. Richard E Behrman, Robert M Kliegman, Hal B Jenson. 2004. Nelson

Textbook of Pediatrics, 17th ed. Philadelphia: W. B. Saunders Co.

9. Cohen D, Konak S. The evaluation of radiographs of the nasopharynx. Clin

Otolaryngol. 1985;10:73–8.

10. Alex Mlynarek, Marc A. Tewfik, Abdulrahman Hagr. Lateral Neck

Radiography versus Direct Video Rhinoscopy in Assessing Adenoid Size. The

Journal of Otolaryngology. 2004;33:360–6.

11. Johannesson S. Roentgenologic investigation of the nasopharyngeal tonsil in

children of different ages. Acta Radiol. 1968;7:299–5

25

12. Edmir Américo Lourenço, Karen de Carvalho Lopes, Álvaro Pontes Jr.

Comparison between radiological and nasopharyngolaryngoscopic assessment

of adenoid tissue volume in mouth breathing children. Rev Bras

Otorrinolaringol. 2005; 71:23–8

13. Fujioka M, Young LW, Girdnay BR. Radiographic evaluation of adenoidal

size in children: adenoidal-nasopharyngeal ratio. AJR Am J Roentgenol.

1979;133:401–4.

14. Mohammed Wahba. Adenoids grades. Diakses dari radiopaedia.org pada

tanggal 18 Oktober 2013 pukul 21.00 WIB

15. Mariana de Aguiar Bulhões Galvão, Marco Antonio de Oliveira Almeida.

Comparison of two extraoral radiographic techniques used for nasopharyngeal

airway space evaluation. Dental Press J. Orthod. 2010; 15:2176–4

16. Britton PD. Effect of respiration on nasopharyngeal radiographs when

assessing adenoidal enlargement. J Laryngol Otol. 1989;103:71–3.

17. Maw AR, Jeans WD, Fermando DCJ. Inter-observer variability in the clinical

radiological assessment of adenoid size, and the correlation with adenoid

volume. Clin Otolaryngol. 1981;6:317–22.

18. Karodpati N, Shinde V, Deogawkar S, Ghate G. Adenoid Hypertrophy in

Adults - A Myth or Reality. WebmedCentral OTORHINOLARYNGOLOGY

2013;4(3):WMC004079

19. H. Ric Harnsberger et al. 2004. Diagnostic Imaging: Head and Neck 1st ed.

Utah: Amirsys Inc.

20. Nyildirim, M Sahan, Y Karslioglu. Adenoid Hypertrophy in Adults: Clinical

and Morphological Characteristics. The Journal of International Medical

Research. 2008; 36: 157–5

21. McNamara JA Jr. A method of cephalometric evaluation. Am J Orthod.

1984;86(6):449-69.

22. Murilo Fernando Neuppmann Feres, Helder Inocêncio Paulo de Sousa.

Reliability of radiographic parameters in adenoid evaluation. Braz J

Otorhinolaryngol. 2012;78(4):80-90