sikap politik elite partai golkar terhadap konflik internal partai golkar (studi kasus dpd ii bandar...

55
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik internal partai golkar yang berlangsung hingga saat ini bermula dari perbedaan dukungan pada Pilpres 2014 lalu. Aburizal Bakrie yang memilih bergabung dengan Prabowo-Hatta membuat kecewa para kader Golkar di provinsi maupun daerah. Golkar sebagai Parpol yang menempati urutan kedua dalam Pileg 2014 (setelah PDIP) seharusnya Golkar mengajukan calon Presiden ataupun wakil Presiden sesuai dengan hasil Rapimnas, tetapi pada kenyataannya Aburizal Bakrie memilih berpihak kepada pasangan Capres-Cawapres Prabowo-Hatta. Keputusan ARB tersebut mengakibatkan gagalnya terbentuknya “poros tengah” untuk mengimbangi kekuatan Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta serta

Upload: lenny-yuliani

Post on 25-Jul-2015

1.480 views

Category:

Government & Nonprofit


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sikap Politik Elite Partai Golkar Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus DPD II Bandar Lampung)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konflik internal partai golkar yang berlangsung hingga saat ini bermula dari

perbedaan dukungan pada Pilpres 2014 lalu. Aburizal Bakrie yang memilih

bergabung dengan Prabowo-Hatta membuat kecewa para kader Golkar di

provinsi maupun daerah. Golkar sebagai Parpol yang menempati urutan

kedua dalam Pileg 2014 (setelah PDIP) seharusnya Golkar mengajukan

calon Presiden ataupun wakil Presiden sesuai dengan hasil Rapimnas, tetapi

pada kenyataannya Aburizal Bakrie memilih berpihak kepada pasangan

Capres-Cawapres Prabowo-Hatta. Keputusan ARB tersebut mengakibatkan

gagalnya terbentuknya “poros tengah” untuk mengimbangi kekuatan

Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta serta menyisakan Partai Demokrat sebagai

partai terakhir yang belum menentukan arah koalisi.

Selain masalah bergabungnya ARB pada pihak Prabowo-Hatta yang

membuat kecewa banyak kader Golkar, juga masalah kader “Partai

Beringin” di daerah banyak yang mendukung pasangan Jokowi-JK. Hal

tersebut dikarenakan Muhammad Jusuf Kalla yang notabene adalah kader

senior dari partai Golkar dicalonkan sebagai wakil Presiden mendampingi

Jokowi. JK mempunyai banyak pengalaman di pemerintahan dan juga

Page 2: Sikap Politik Elite Partai Golkar Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus DPD II Bandar Lampung)

2

mempunyai pengaruh besar terhadap simpatisan dan kader Golkar di

provinsi dan daerah.

Konflik internal partai Golkar bermula saat ARB memecat 3 kader Golkar

yang tidak mendukung Prabowo-Hatta, mereka adalah anggota DPR dari

partai Golkar yaitu Ketua DPP Golkar Agus Gumiwang Kartasasmita,

Wakil Bendahara DPP Golkar Nusron Wahid serta Poempida Hidayatulloh.

Pemecatan ketiga kader tersebut adalah awal mula perpecahan di internal

partai Golkar, dan sampai saat ini konflik internal partai Golkar terus

berkembang sampai ke daerah.

Seperti yang dikutip dari media online (http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2014/11/41126_golkar diakses pada tanggal 07 februari 2015 pukul 15.35 WIB) Persoalan Partai Golkar diperumit dengan pernyataan Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdjiatno yang menyarankan penundaan Munas (pendukung Aburizal Bakri) di Bali, dan mempertanyakan izin penyelenggaraannya. Wakil Ketua Umum Partai Golkar Fadel Muhammad yang berkubu di Aburizal Bakri mengatakan pelaksanaan Munas versi mereka sesuai dengan keputusan rapimnas. Di pihak lain, Presidium Penyelamat Partai Golkar menyatakan keputusan rapat pimpinan nasional di Yogyakarta beberapa waktu lalu tidak sesuai dengan aturan partai, karena diputuskan sepihak oleh kelompok pendukung Abrurizal Bakrie. Perpecahan internal Partai Golkar ini sudah terjadi sejak masa reformasi. Konflik yang terjadi di tingkat elite partai menyebabkan sejumlah tokoh keluar dan membentuk partai politik baru seperti Wiranto dengan Hanura, Prabowo Subianto mendirikan Gerindra dan Surya Paloh memimpin Partai Nasdem setelah kalah dalam Munas di Riau pada 2010 lalu. Konflik Golkar sekarang ini meruncing karena adanya ketidakmampuan pemimpin partai untuk mencari solusi konflik internal dan lebih mengedepankan sikap otoriter dengan memecat kader yang berbeda pendapat dengan elite partai.

Saat ini, konflik internal partai Golkar belum dapat diselesaikan. Bahkan

konflik internal ini berimbas pada kepengurusan partai Golkar di daerah.

Page 3: Sikap Politik Elite Partai Golkar Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus DPD II Bandar Lampung)

3

Seperti yang dikutip dari media online Radar Lampung, Kisruh di tubuh Partai Golkar (PG) Lampung antara M.W. Heru Sambodo dan M. Alzier Dianis Tabranie meruncing. Hasil rapat pleno diperluas yang digelar di aula DPD I Partai Golkar Lampung kemarin memutuskan mencabut kartu tanda anggota (KTA) dan mengusulkan pergantian antarwaktu (PAW) Heru Sambodo dan Barlian Mansyur. Rapat pleno dipimpin langsung Ketua DPD I PG Lampung versi Munas Bali M. Alzier. Alasan pencabutan KTA Heru dan Barlian, kata Alzier, karena keduanya sudah melanggar AD/ART partai berlambang pohon beringin ini. “Heru Sambodo dan Barlian Mansyur kita cabut KTA-nya dan akan kita PAW dari anggotaan DPRD Bandar Lampung. Kesalahan Heru yakni karena sudah menghadiri Munas Ancol dan mengaku sebagai Plt ketua DPD I PG Lampung. Sedangkan Barlian Mansyur dicabut KTA dan akan di PAW karena memimpin Musdalub tandingan beberapa waktu lalu,” ungkap Alzier, kemarin. (diakses dari http://reg.gb-forex.com/read/politika/77274-alzier-cabut-kta-dan-paw-heru-barlian pada tanggal 26 Februari 2015 pukul 14.30 WIB)

Konflik DPP Golkar yang berdampak pada konflik kepengurusan partai

Golkar di Bandar Lampung menarik perhatian penelitei. Sehingga dari uraian

di atas, penulis tertarik untuk menelitei tentang “Sikap Politik Elite Partai

Golongan Karya Terhadap Konflik Internal Partai Golongan Karya (Studi

Kasus di DPD II Partai Golongan Karya Bandar Lampung)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah: “Bagaimana Sikap Politik Elite Partai Golongan Karya Terhadap

Konflik Internal Partai Golongan Karya (Studi Kasus di DPD II Partai

Golongan Karya Bandar Lampung)?”

Page 4: Sikap Politik Elite Partai Golkar Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus DPD II Bandar Lampung)

4

C. Tujuan Penelitian

Adapun maksud dan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah

“untuk mengetahui Sikap Politik Elite Partai Golongan Karya Terhadap

Konflik Internal Partai Golongan Karya (Studi Kasus di DPD II Partai

Golongan Karya Bandar Lampung)”.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat Akademik :

Menunjukkan secara ilmiah konflik yang terjadi di Internal Partai Golkar

khususnya di DPD II Partai Golkar Bandar Lampung

Dalam wilayah akademis, memperkaya khasanah kajian ilmu politik untuk

pengembangan keilmuan, khususnya politik kontemporer.

Manfaat Praktis :

a. Memberi rujukan kepada masyarakat yang berminat dalam

memahami realitas ilmu politik.

b. Memberi informasi tenang Sikap Politik Elite Partai Golkar

Terhadap Konflik Internal Partai Golkar Khususnya di DPD II

Partai Golkar Bandar Lampung.

Page 5: Sikap Politik Elite Partai Golkar Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus DPD II Bandar Lampung)

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Sikap Politik

1. Tinjauan Tentang sikap

a. Definisi Sikap

Menurut Petty dan Cacioppo, dalam Saifudin Azwar (1995:6)

sikap merupakan evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap

dirinya sendiri, orang lain, objek atau isu-isu. Sedangkan menurut

Mar’at dalam Abu Ahmadi (1999:161) sikap merupakan kesiapan

bereaksi terhadap obyek lingkungan tertentu sebagai penghayatan

terhadap objek tersebut. Kerch dan Crutchfield dalam Sears,

Freedman dan peplau (1999:137), mendefinisikan sikap sebagai

organisasi yang bersifat menetap dari proses motivasional,

emosional, perseptual dan kognitif mengenai beberapa aspek dunia

individu. Menurut Robbins (Ardana, dkk., 2009: 21) sikap adalah

Pernyataan evaluatif baik yang menguntungkan atau tidak tentang

obyek, orang atau peristiwa. Sikap mencerminkan bagaimana

seseorang merasakan sesuatu. Misalnya “Saya menyenangi

pekerjaan saya”.

Page 6: Sikap Politik Elite Partai Golkar Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus DPD II Bandar Lampung)

6

Menurut Sudjono (1995:4) definisi sikap adalah :

Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek lingkunngan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek tersebut. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan tetapi baru merupakan kecenderungan atau pre-disposisi. Sikap mengandung tiga komponen yaitu kognisi, afeksi dan konasi. Konasi berkenaan dengan ide dan konsep, afeksi menyangkut dengan kehidupan emosional, sedangkan konasi merupakan kecenderungan bertingkah laku.

Selanjutnya sikap di artikan sebagai kesiapan merespon yang

sifatnya positif, negatif dan netral terhadap objek atau situasi

secara konsisten. Adapun definisi sikap oleh Abu Ahmadi

(2002:163) sikap positif, sikap negatif, dan netral adalah :

1) Sikap positif adalah sikap yang menunjukan atau memperlihatkan, menerima, mengakui, menyetujui serta melaksanakan norma-norma yang berlaku dimana individu itu berada.

2) Sikap negatif adalah sikap yang menunjukan atau memperlihatkan penolakan atau tidak menyetujui terhadap melaksanakan norma-norma yang berlaku dimana individu itu berada.

3) Sikap nertal adalah sikap masyarakat yang tidak menunjukan setuju atau menolak.

Berdasarkan pengertian sikap yang dikemukakan oleh beberapa

ahli di atas, maka sikap yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

suatu kecenderungan individu untuk memberikan respon atau

tanggapan yang berupa kesiapan dari perwujudan perasaan

individu terhadap objek tertentu. Dalam penelitian ini penulis akan

menelitei bagaimana sikap politik elite Partai Golkar di DPC

Page 7: Sikap Politik Elite Partai Golkar Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus DPD II Bandar Lampung)

7

Bandar Lampung terhadap konflik yang terjadi pada tubuh partai

beringin itu.

b. Ciri-ciri Sikap

Sikap menentukan jenis atau tabiat tingkah laku dalam

hubungannya dengan perangsang yang relevan, dapat dikatakan

bahwa sikap merupakan faktor internal, tetapi tidak semua faktor

internal adalah sikap. Adapun ciri-ciri sikap menurut Gerungan

(2004:151) yaitu:

1) Sikap bukan dibawa orang sejak ia dilahirkan, melainkan dibentuk dan dipelajari sepanjang perkembangan orang itu dalam hubungan dengan objeknya.

2) Sikap itu dapat berubah-ubah, karena itu sikap dapat dipelajari orang, atau sebaliknya, sikap itu dapat dipelajari karena itu sikap dapat berubah-ubah pada orang-orang bila terdapat keadaan dan syarat-syarat tertentu yang mempermudah berubahnya sikap orang itu.

3) Sikap itu berdiri sendiri, akan tetapi senantiasa mengandung relasi tertentu terhadap suatu objek. Dengan kata lain sikap itu terbentuk, dipalajari atau berubah.

4) Objek sikap dapat merupakan suatu hal tertentu, akan tetapi dapat merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut.

5) Sikap mempunyai segi-segi motivasi dan segi-segi perasaan.

Berdasarkan ciri-ciri sikap yang dikemukakan di atas, maka ciri-

ciri sikap yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sikap dapat

terbentuk dan berubah sesuai dengan hal-hal yang

mempengaruhinya dan dalam sikap mengandung segi motivasi dan

perasaan.

Page 8: Sikap Politik Elite Partai Golkar Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus DPD II Bandar Lampung)

8

c. Fungsi Sikap

Menurut Ahmadi (1999:179) bahwa fungsi sikap dapat

dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu :

Pertama, sikap berfungsi sebagai alat untuk menyesuaikan diri. Bahwa sikap adalah sesuatu yang bersifat communicable, artinya sesuatu yang mudah menjalar, sehingga mudah pula dimiliki bersama. Justru karena itu suatu golongan yang mendasarkan atas kepentingan bersama dan biasanya ditandai oleh adanya sikap anggotanya yang sama terhadap suatu objek.

Kedua, sikap berfungsi sebagai alat pengukur tingkah laku, bahwa tingkah laku timbul karena hasil pertimbangan-pertimbangan perangsang-perangsang yang tidak reaksi secara spontan, akan tetapi mendapat proses yang secara sadar untuk menilai perangsang-perangsang tersebut. Jadi diantara perangsang dan reaksi disisipkannya sesuatu yang berwujud pertimbangan-pertimbangan terhadap perangsang itu sebenarnya.

Ketiga, sikap berfungsi sebagai alat pengatur pengalaman-pengalaman. Dalam hal ini perlu dikemukakan bahwa manusia dalam menerima pengalaman-pengalaman dari luar yang sikapnya tidak pasif, tetapi diterima secara aktif, artinya semua pengalaman yang berasal dari luar tidak sepenuhnya dilayani oleh manusia, tetapi manusia memilih mana-mana yang perlu dan tidak perlu dilayani. Jadi semua pengalaman ini diberi penilaian, lalu dipilih.

Keempat, sikap politik berfungsi sebagai pernyataan pribadi. Sikap sering mencerminkan pribadi seseorang. Ini sebabnya bahwa sikap tidak pernah terpisah dari pribadi yang mendukungnya. Oleh karena itu dengan melihat sikap-sikap pada objek-objek tertentu, sedikit banyak orang dapat mengetahui pribadi orang tersebut. Jadi disimpulkan bahwa sikap merupakan pernyataan pribadi.

Page 9: Sikap Politik Elite Partai Golkar Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus DPD II Bandar Lampung)

9

Berdasarkan fungsi sikap yang dikemukakan di atas, maka dapat

ditarik kesimpulan bahwa fungsi sikap yang diharapkan dalam

penelitian ini adalah sebagai tolak ukur tingkah laku yang timbul

karena hasil pertimbangan dari perangsang yang tidak bereaksi

secara spontan.

d. Komponen-komponen Sikap

Dilihat dari strukturnya, sikap terdiri atas tiga komponen. Menurut

L. Mann yang dikutip oleh Azwar (1995:4), ketiga komponen

sikap terdiri dari :

1) Komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan yang dimiliki individu mengenai sesuatu. Sering kali komponen kognitif ini dapat disamakan dengan pandangan (opini), terutama apabila menyangkut isu atau problem yang kontroversial.

2) Komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi. Aspek emosional ini lah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin akan merubah sikap seseorang.

3) Komponen perilaku berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak atau bereaksi terhadap suatu dengan cara-cara tertentu.

Selanjutnya Abu Ahmadi (1999:163), menyatakan bahwa tiap

sikap mempunyai tiga aspek, yaitu :

1) Aspek kognitif yaitu yang berhubungan dengan gejala mengenal pikiran, yang berwujud pengolahan, pengalaman, dan keyakinan serta harapan-harapan individu tentang objek atau kelompok objek tertentu.

2) Aspek afektif yaitu berwujud proses yang menyangkut perasaan-perasaan tertentu seperti ketakutan,

Page 10: Sikap Politik Elite Partai Golkar Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus DPD II Bandar Lampung)

10

kedengkian, simpati dan sebagainya yang ditujukan terhadap objek-objek tertentu.

3) Aspek evaluatif yaitu berwujud proses tendensi atau kecenderungan untuk berbuat sesuatu kepada objek misalnya, kecenderungan memberi pertolongan, menjauhkan diri dan sebagainya.

Berdasarkan penjelasan komponen-komponen sikap di atas, maka

dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap mempunyai tiga komponen

yaitu aspek kognitif (pandangan/pengetahuan), aspek afektif

(perasaan) dan aspek perilaku/evaluatif (kecenderungan bertindak).

2. Tinjauan Tentang Politik

a. Definisi Politik

1) Menurut David Easton yang dikutip oleh Philipus (2004: 90)

politik merupakan semua aktifitas yang mempengaruhi

kebijaksanaan itu dilakukan.

2) Menurut Joyce Mitchel yang dikutip oleh Philipus (2004: 92)

politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan

kebijaksanaan umum untuk masyarakat seluruhnya.

3) Menurut Maran yang dikutip oleh Susilo (2003:4) politik

merupakan studi khusus tentang cara-cara manusia

memecahkan permasalahan bersama dengan masalah lain.

Dengan kata lain, politik meripakan bermacam-macam

kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara menyangkut

proses penentuan dan pelaksanaan tujuan-tujuan.

4) Menurut Surbakti yang dikutip oleh Susilo (2003:5) politik

merupakan interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam

Page 11: Sikap Politik Elite Partai Golkar Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus DPD II Bandar Lampung)

11

rangka bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah

tertentu.

Dari berbagai definisi politik di atas, dapat disimpulkan bahwa politik

sebagai aktifitas yang mempengaruhi pengambilan keputusan dan

pelaksanaan kebijaksanaan demi kepentingan bersama.

3. Tinjauan tentang Sikap Politik

Menurut Plano (Khoirudin, 2004: 95) sikap politik merupakan

pertalian diantara berbagai keyakinan yang telah melekat dan

mendorong seseorang untuk menanggapi suatu objek atau situasi

poplitik dengan suatu cara-cara tertentu. Sikap politik tergantung dari

persoalan-persoalan para pemimpin, gagasan-gagasan, lembaga-

lembaga atau peristiwa-peristiwa politik. Walaupun sikap lebih abadi

daripada pikiran atau suasana hati yang fana, namun sikap cenderung

berubah sesuai dengan berlakunya waktu dan dengan berubahnya

keadaan dan cenderung dipengaruhi oleh berbagai macam motif

(karena sikap itu sifatnya insidentil) tergantung dari kondisi atau

peristiwa yang mendukung dan melatarbelakanginya.

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap politik

adalah kecenderungan yang mempunyai pengaruh tertentu terhadap

tanggapan orang lain untuk menilai objek dalam sistem politik.

Pada penelitian ini, penelitei mengkaji komponen dan sikap politik

elite Partai Golkar terhadap konflik internal Partai Golkar di DPD II

Page 12: Sikap Politik Elite Partai Golkar Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus DPD II Bandar Lampung)

12

Bandar Lampung dimana komponen sikap tersebut terdiri dari

komponen kognitif (pengetahuan), komponen afektif (perasaan), dan

komponen evaluatif (kecenderungan bertindak).

B. Tinjauan Tentang Elite

1. Definisi Elite

Teori elite politik lahir dari para ilmuan sosial amerika serikat diantaranya Vilvredo Pareto (1848-1923) dan Gaetano Mosca (1858-1941), Roberto Michels (1876-1936) dan Joseph ortega Y. Gasset (Sitepu, 2012: 82) percaya bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang memiliki kualitas yang diperlukan bagi kehadiran mereka pada kekuasaan sosial politik yang penuh. Mereka yang mampu menjagkau pusat kekuasaan adalah selalu merupakan yang terbaik. Merekalah yang disebut sebagai elite. Elite merupakan orang-orang berhasil yang mampu menduduki jabatan –jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Karena itu menurut pandangan Vilvredo pareto masyarakat dibagi atas dua kelas yaitu (a). Lapisan atas yaitu elite terbagi ke dalam elite yang memerintah (governing elite) dan elite yang tidak emerintah (non-governing elite), (b). Lapisan yang lebih rendah yaitu non-elite. Pareto sendiri memusatkan perhatiannya pada elite yang memerintah.

Menurut Vilfredo Pareto (Sitepu, 2012: 82) elite adalah kelompok orang

yang mempunyai indeks kemampuan yang tinggi dalam aktivitas mereka,

apapun bentuknya akan tetapi dia mengkonstruksikan diri pada apa yang

disebutnya “elite penguasa”.

Konsep pergantian elite (Varma, 2007: 201) juga dikembangkan oleh

Pareto. Ia mengemukakan berbagai jenis pergantian elite, yaitu pergantian:

1) Di antara kelompok-kelompok elite yang memerintah itu sendiri2) Di antara elite dengan penduduk lainnya.

Pergantian yang terakhir itu bisa berupa pemasukan:a. Individu-individu dari lapisan yang berbeda ke dalam

kelompok elite yang sudah ada

Page 13: Sikap Politik Elite Partai Golkar Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus DPD II Bandar Lampung)

13

b. Individu-individu dari lapisan bawah yang membentuk kelompok elite baru dan masuk ke dalam suatu kancah perebutan kekuasaan dengan elite yang sudah ada.

Mengenai penyebab runtuhnya elite yang berkuasa, Pareto menjawab pertanyaan ini dengan memperhatikan perubahan-perubahan yang terjadi dalam sifat psikologis berbagai kelompok elite yang berbeda. Dalam hubungan inilah Pareto mengembangkan konsep residu. Konsep ini didasarkan pada perbedaan antara tindakan logis dan non-logis dari individu-individu dalam kehidupan sosialnya.

Selain Pareto yang mengembangkan teorinya atas dasar keahiannya sebagai sosiolog dan psikolog, Gaetano Mosca (Sitepu, 2012: 202) juga mengembangkan teori elite politik secara lebih jauh. Ia menegaskan bahwa hanya ada satu bentuk pemerintahan, yaitu Oligarki. Mosca menolak dengan gigih klasifikasi pemerintahan ke dalam bentuk-bentuk Monarki, Demokrasi, dan Aristokrasi.Menurut Mosca, selalu muncul dua kelas dalam masyarakat, yaitu kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang pertama, yang biasanya jumlahnya lebih sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan yang didapatnya dari kekuasaan. Sementara kelas yang kedua yang jumlahnya lebih besar, lebih legal, terwakili dan keras serta mensuplai kebutuhan kelas yang pertama, paling tidak pada saat kemunculannya, dengan instrumen-instrumen yang penting bagi vitalitas organisme politik.

2. Elite Partai Golkar

Menurut Mosca (Sitepu, 2012: 202) elite partai politik adalah sekelompok

orang yang memegang semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan

menikmati keuntungan-keuntungan yang didapatnya dari kekuasaan. Dalam

struktur kepengurusan partai Golkar, yang termasuk kedalam elite partai

politik yaitu terdiri dari tingkat nasional, provinsi, kota/kabupaten, kecamatan,

kelurahan/desa, dusun/kampung.

Berdasarkan sumber (AD/ART Partai Golkar, di akses dari http://partaigolkar.or.id/golkar/art/ pada tanggal 16 Maret 2015 pukul

Page 14: Sikap Politik Elite Partai Golkar Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus DPD II Bandar Lampung)

14

13.45 WIB ) Anggaran Dasar Rumah Tangga (AD/ART) Partai Golkar Bab Viii tentang Struktur Organisasi Serta Wewenang Dan Kewajiban Pimpinan Pasal 17 yaitu:

Struktur Organisasi Partai GOLKAR terdiri atas tingkat Pusat, tingkat Provinsi, tingkat Kabupaten/Kota, tingkat Kecamatan, dan tingkat Desa/Kelurahan atau sebutan lainnya, yang masing-masing berturut-turut dipimpin oleh Dewan Pimpinan Pusat, Dewan Pimpinan Daerah Provinsi, Dewan Pimpinan Daerah Kabupaten/Kota, Pimpinan Kecamatan dan Pimpinan Desa/Kelurahan atau sebutan lain.

Pada AD/ART Partai Golkar Bab V tentang struktur kepengurusan Partai

golkar yaitu sebagai berikut:

Pasal 6

1. Susunan Dewan Pimpinan Pusat Partai, terdiri atas :

1) Ketua Umum;

2) Wakil Ketua Umum, apabila diperlukan;

3) Ketua-ketua;

4) Sekretaris Jenderal;

5) Wakil-wakil Sekretaris Jenderal;

6) Bendahara;

7) Wakil-wakil Bendahara;

8) Ketua-ketua Departemen;

9) Dewan Pimpinan Pusat terdiri atas Pengurus Pleno dan Pengurus Harian;

10) Pengurus Pleno adalah seluruh Pengurus Dewan Pimpinan Pusat;

2. Pengurus Harian, terdiri atas :

1) Ketua Umum;

2) Wakil Ketua Umum;

Page 15: Sikap Politik Elite Partai Golkar Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus DPD II Bandar Lampung)

15

3) Ketua-ketua;

4) Sekretaris Jenderal;

5) Wakil-wakil Sekretaris Jenderal;

6) Bendahara;

7) Wakil-wakil Bendahara.

Pasal 7

1. Susunan Dewan Pimpinan Daerah Provinsi, terdiri atas:

1) Ketua;

2) Ketua Harian, apabila diperlukan;

3) Wakil-wakil Ketua;

4) Sekretaris;

5) Wakil-wakil Sekretaris;

6) Bendahara;

7) Wakil-wakil Bendahara;

8) Ketua-ketua Biro;

9) Dewan Pimpinan Daerah Provinsi terdiri atas Pengurus Pleno dan Pengurus Harian;

10) Pengurus Pleno adalah seluruh Pengurus Dewan Pimpinan Daerah Provinsi;

2. Pengurus Harian, terdiri atas:

1) Ketua;

2) Ketua Harian;

3) Wakil-wakil Ketua;

4) Sekretaris;

5) Wakil-wakil Sekretaris;

Page 16: Sikap Politik Elite Partai Golkar Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus DPD II Bandar Lampung)

16

6) Bendahara;

7) Wakil-wakil Bendahara.

Pasal 8

1. Susunan Dewan Pimpinan Daerah Kabupaten/Kota, terdiri atas :

1) Ketua;

2) Ketua Harian, apabila diperlukan;

3) Wakil-wakil Ketua;

4) Sekretaris;

5) Wakil-wakil Sekretaris;

6) Bendahara;

7) Wakil-wakil Bendahara;

8) Ketua-ketua Bagian;

9) Dewan Pimpinan Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas Pengurus Pleno dan Pengurus Harian;

10)Pengurus Pleno adalah seluruh Pengurus Dewan Pimpinan Daerah Kabupaten/Kota;

2. Pengurus Harian, terdiri atas :

1) Ketua;

2) Ketua Harian;

3) Wakil-wakil Ketua;

4) Sekretaris;

5) Wakil-wakil Sekretaris;

6) Bendahara;

7) Wakil-wakil Bendahara.

Pasal 9

Page 17: Sikap Politik Elite Partai Golkar Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus DPD II Bandar Lampung)

17

1. Susunan Pimpinan Kecamatan, terdiri atas :

1) Ketua;

2) Wakil-wakil Ketua;

3) Sekretaris;

4) Wakil-wakil Sekretaris;

5) Bendahara;

6) Wakil-wakil Bendahara;

7) Ketua-ketua Seksi;

8) Pimpinan Kecamatan terdiri atas Pengurus Pleno dan Pengurus Harian;

9) Pengurus Pleno adalah seluruh Pengurus Pimpinan Kecamatan;

2. Pengurus Harian, terdiri atas :

1) Ketua;

2) Wakil-wakil Ketua;

3) Sekretaris;

4) Wakil-wakil Sekretaris;

5) Bendahara;

6) Wakil-wakil Bendahara.

Pasal 10

1. Susunan Pimpinan Desa/Kelurahan atau sebutan lain, terdiri atas :

1) Ketua;

2) Wakil-wakil Ketua;

3) Sekretaris;

4) Wakil-wakil Sekretaris;

Page 18: Sikap Politik Elite Partai Golkar Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus DPD II Bandar Lampung)

18

5) Bendahara;

6) Wakil-wakil Bendahara;

7) Ketua-ketua Sub Seksi;

8) Pimpinan Desa/Kelurahan atau sebutan lain terdiri atas Pengurus Pleno dan Pengurus Harian;

9) Pengurus Pleno adalah seluruh Pengurus Pimpinan Desa/Kelurahan atau sebutan lain;

2. Pengurus Harian, terdiri atas :

1) Ketua;

2) Wakil-wakil Ketua;

3) Sekretaris;

4) Wakil-wakil Sekretaris;

5) Bendahara;

6) Wakil-wakil Bendahara;

7) Pimpinan Desa/Kelurahan atau sebutan lain membentuk Kelompok Kader (POKKAR);

3. Ketentuan lebih lanjut tentang pembentukan Kelompok Kader diatur dalam Peraturan Organisasi.

Pasal 11

1. Perwakilan Partai di Luar Negeri dibentuk di satu negara dan/atau gabungan beberapa negara;

2. Susunan Pengurus Perwakilan Partai di Luar Negeri, sekurang-kurangnya terdiri atas :

1) Ketua;

2) Sekretaris;

3) Bendahara;

4) Biro-biro.

Page 19: Sikap Politik Elite Partai Golkar Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus DPD II Bandar Lampung)

19

Dalam penelitian ini penulis akan menelitei elite Golkar pada jenjang

kepengurusan kabupaten/kota, yaitu Dewan Perwakilan Daerah Tingkat II

(DPD II) Golkar kabupaten/kota Bandar Lampung.

C. Tinjauan Tentang Partai Politik

1. Definisi Partai Politik

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 (Safa’at, 2011: 1)

tentang Partai Politik, hak membentuk partai politik diakui setelah

dikekang selama Orde Baru. Muncul 141 partai politik yang

mendaftarkan diri ke Departemen Kehakiman dan Ham.

Banyak sekali definisi mengenai partai politik yang dibuat oleh para

ahli. Diantaranya ahli ilmu klasik kontemporer (Budiardjo, 2008: 404)

yaitu :

Carl J. Freidrich mendefinisikan partai politik adalah sebgai kelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil serta meteriil. Sigmund Neumann mengemukakan definisi partai politik sebagai organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan lain atau golongan-golongan lain yang memiliki pandangan yang berbeda.

Menurut Max Weber (Firmanzah, 2007: 66) partai politik didefinisikan sebagai organisasi publik yang bertujuan untuk membawa pemimpinnya berkuasa dan memungkinkan para pendukungnya (politisi) untuk mendapatkan keuntungan dari dukungan tersebut. Partai politik menurut Max Weber sangat berkembang pesat di abad ke-19 karena didukung oleh legitimasi legal-rasional. Partai politik adalah organisasi yang bertujuan untuk membentuk opini publik. Sebagai suatu

Page 20: Sikap Politik Elite Partai Golkar Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus DPD II Bandar Lampung)

20

organisasi yang khas, partai politik dilihat sebagai suatu bentuk organisasi yang berbeda dengan organisasi lain. Sementara itu Renney dan Kendal mendefinisikan partai politik sebagai grup atau kelompok masyarakat yang memiliki tingkat otonomi tinggi untuk mencalonkan dan terlibat dalam pemilu dengan harapan mendapatkan serta menjalankan kontrol atas birokrasi dan kebijakan publik. Definisi partai politik yang hampir serupa juga diberikan Crowe dan Mayo. Mereka melihat bahwa partai politik adalah institusi yang mengaktifkan dan memobilisasi orang, kepentingan, menyediakan instrumen kompromi dari beragam pendapat, dan memfasilitasi munculnya seorang pemimpin. Seiler mendefinisikan partai politik sebagai organisasi yang bertujuan untuk memobilisasi individu-individu dalam suatu aksi kolektif untuk melawan kelompok lain, atau melakukan koalisi dengan pihak yang tengah duduk dalam pemerintahan.

Menurut Marijan (2010: 60) munculnya partai-partai politik di Indonesia tidak lepas dari adanya iklim kebebasan yang luas pada masyarakat pasca pemerintahan kolonial Belanda. Kebebasan demikian memberikan ruang kepada masyarakat untuk membentuk organisasi, termasuk partai politik. Selain itu, lahirnya partai politik di Indonesia juga tidak terlepas dari peranan gerakan-gerakan, yang tidak saja dimaksudkan untuk memperoleh kebebasan yang lebih luas dari pemerintahan kolonial Belanda, juga menuntut adanya kemerdekaan. Hal ini bisa kita lihat dengan lahirnya partai-partai sebelum kemerdekaan.

2. Sistem Kepartaian

Menurut Safaat (2011: 59) sistem kepartaian dibagi menjadi tiga yaitu;

a. Sistem satu partaiSistem satu partai adalah sistem politik dalam suatu negara yang hanya dikuasai oleh satu partai dominan. Dalam sistem ini mungkin terdapat partai-partai lain, namun kekuatannya tidak signifikan dan hanya satu partai yang menguasai pemerintahan. Partai politik yang dominan dalam sistem satu partai atau partai politik tunggal di suatu negara disebut dengan parteinstaat, sedangkan rezimnya disebut dengan partitocrazia. Partai politik tersebut mendominasi negara dan “mengolonisasi” wilayah-wilayah penting negara dan masyarakat sehingga memiliki kecenderungan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. model partai tunggal terdapat di beberapa negara seperti di negara-negara Afrika (Mali, Pantai Gading), negara-negara Eropa Timur sebelum keruntuhan Komunisme Soviet dan di Cina.

b. Sistem Dua Partai

Page 21: Sikap Politik Elite Partai Golkar Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus DPD II Bandar Lampung)

21

Sistem dua partai adalah sistem politik suatu negara yang memiliki dua partai utama (major party) dengan kemungkinan adanya partai politik lain, namun tidak signifikan. Hanya dua partai politik yang kekuatannya mungkin menguasai parlemen atau membentuk pemerintahan. Miriam Budiardjo menyatakan bahwa sistem ini dapat berjalan dengan baik jika terpenuhi tiga syarat, yaitu komposisi masyarakat yang homogen, terdapat konsensus yang kuat dalam masyarakat mengenai asas dan tujuan sosial, dan adanya keberlanjutan sejarah. Sistem dua partai biasanya diperkuat dengan sistem pemilihan single member constituency yang menghambat pertumbuhan partai politik kecil.

c. Sistem MultipartaiSistem multipartai adalah sistem di mana dalam suatu negara tidak terdapat satu partai politik tertentu yang mungkin menjadi mayoritas absolut. Untuk dapat menguasai lembaga perwakilan, atau membentuk pemerintahan tanpa berkoalisi dengan partai lain. Sistem multipartai memiliki kelebihan terutama bagi negara yang heterogen dalam masyarakatnya. Namun sistem ini dipandang memiliki kelemahan dari sisi pemerintahan yang dihasilkan, yaitu cenderung tidak stabil karena tidak ada pertai yang dominan, khususnya pada sistem pemerintahan parlementer. Sistem multipartai biasanya diperkuat dengan sistem perwakilan berimbang yang memberi kesempatan luas bagi pertumbuhan partai-partai kecil.

3. Fungsi Partai Politik

Menurut Safa’at (2011: 66-70) sesuai dengan landasan teori partai politik dan asal-usul serta perkembangannya, terdapat beberapa fungsi partai politik yang dikemukakan oleh para ahli. Fungsi-fungsi tersebut pada umumnya adalah: (1) sarana komunikasi politik; (2) sarana sosialisasi politik; (3) rekrutmen politik; (4) Pengelola konflik. Hampir sama dengan fungsi-fungsi tersebut Almond dan Powell (Safaat, 2011: 66) mengemukakan tiga fungsi partai politik, yaitu rekrutmen politik (political recruitment), sosialisasi politik (political socialization), dan artikulasi dan agregasi kepentingan (interest articulation and aggregation). Sedangkan Friedrich mengemukakan fungsi partai politik sebagai berikut: (1) selecting future leader; (2) maintaining contact between the government, including the oposition; (3) representing the various groupings in the community, and; (4) integrating as many of the groups as possible.a. Fungsi Komunikasi dan Sosialisasi Politik

Partai politik berkomunikasi dengan rakyat dalam bentuk menerima aspirasi dan menyampaikan program-program politik. Partai politik menerima aspirasi dan mengelolanya menjadi pendapat umum dan dituangkan dalam bentuk program serta

Page 22: Sikap Politik Elite Partai Golkar Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus DPD II Bandar Lampung)

22

diperjuangkan menjadi keputusan pemerintah. Fungsi ini juga dikenal sebagai fungsi “broker of idea” dan bagi partai yang sedang memerintah berfungsi sebagai instrumen kebijakan (parties of policy instrument). Melalui fungsi itu, partai politik menerjemahkan dan menggabungkan pandangan-pandangan individual dan kelompok-kelompok tertentu (interest aggregation) menjadi program (interest articulation) yang akan dilaksanakan pemerintah dan menjadi dasar legislasi.

b. Fungsi Rekrutmen PolitikMelalui parti politik dilakukan rekrutmen dan seleksi terhadap calon-calon anggota lembaga perwakilan. Calon-calon tersebut nantinya akan dipilih oleh rakyat. Selain itu kepala pemerintah baik pusat maupun daerah juga dipilih dengan rekrutmen dan seleksi melalui partai politik, baik yang berasal dari partai itu sendiri maupun yang berasal dari pihak ketiga. Salah satu tujuan sistem kepartaian adalah untuk mengontrol pemerintahan. Hampir setiap partai politik memiliki tujuan menguasai dan memelihara kontrolnya atas pemerintahan. Fungsi ini membuat partai politik menjalankan peran yang efektif.

c. Fungsi Pengelola KonflikDalam sistem konstitusi berdasarkan separation of power, fungsi partai politik adalah memelihara dan mengelola konflik antara legislatif dan eksekutif. Salah satu konsekuensi demokrasi adalah perluasan partisipasi politik. Partisipasi tidak hanya dalam bentuk pemilihan dan aspirasi kebijakan, tetapi juga membuka peluang terhadap semua warga negara untuk memerintah dalam jabatan publik. Peluang itu membuka kemungkinan terjadinya pertentangan atau konfliki. Konflik hanya dapat dikelola dengan baik jika terdapat aturan main dan pelembagaan kelompom-kelompok sosial dalam organisasi politik. Tanpa adanya pengorganisasian, partisipasi akan berubah menjadi gerakan massal yang merusak sehingga perubahan politik cenderung terjadi melalui revolusi atau kudeta. Oleh karena itu, partai politik juga menjalankan fungsi sebagai pengelola konflik.

Beberapa fungsi yang telah disebutkan tidak selalu dapat diperankan

dalam praktik kehidupan politik. Dapat terjadi suatu partai politik tidak

memberikan informasi yang benar dan bermanfaat, sebaliknya informasi

yang diberikan oleh partai politik berpotensi menimbulkan perpecahan.

Suatu partai juga mungkin juga tidak menjadikan kepentingan nasional

sebagai orientasi utama, tetapi lebih memerhatikan kepentingan golongan.

Page 23: Sikap Politik Elite Partai Golkar Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus DPD II Bandar Lampung)

23

D. Tinjauan tentang Konflik

1. Hakekat Konflik

Konflik dalam sebuah organisasi merupakan hal yang wajar terjadi.

Karena banyaknya anggota organisasi menjadikan perbedaan

pendapat sering terjadi antar anggota maupun dengan

pemimpinnya. Dengan adanya perbedaan pendapat tersebut, jika

tidak diselesaikan dengan cara yang baik akan menimbulkan

konflik yang dapat berdampak buruk bagi kelangsungan organisasi.

Menurut Ardana (2009:111) konflik adalah suatu gejala yang sudah merupakan suratan tangan dalam garis kehidupan organisasi ia merupakan kekuatan besar yang dapat membawa organisasi ke arah yang positif, tetapi terkadang dapat memecah belah dan bahkan mampu menghancurkan. Salah satu realitas, kehadiran konflik tidak perlu dipandang sebagai suatu persoalan. Akan lebih berguna apabila dipandang sebagai suatu tantangan yang harus dijawab secara tepat. Mempermasalahkan sesuatu yang eksistensinya tidak bisa dihindari adalah perbuatan yang mubazir. Lebih bijaksana bila hal itu dibedah secara seksama serta direspon secara positif. Artinya konflik adalah suatu keniscayaan yang tidak mungkin dihindari. Yang dibutuhkan adalah bagaimana mengelolanya secara baik dan benar.

Dampak konflik dalam organisasi tergantung pada cara pandang

anggota terhadap konflik dan cara menyelesaikan konflik tersebut.

Jika anggota organisasi dapat memandang konflik sebagai suatu

Page 24: Sikap Politik Elite Partai Golkar Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus DPD II Bandar Lampung)

24

tantangan seperti yang dijelaskan oleh Ardana (2009:111) maka

organisasi akan menjadi lebih berkembang pasca konflik.

2. Definisi Konflik

Menurut Wahjono (2010: 161) konflik merupakan suatu proses yang

mulai bila satu pihak merasakan bahwa pihak lain telah

mempengaruhi secara negatif, atau segera mempengaruhi secara

negatif, sesuatu yang menjadi perhatian pihak pertama. Definisi

tersebut merupakan pengertian yang luas yang menjelaskan bahwa

suatu titik pada setiap kegiatan yang tengah berlangsung bila suatu

interaksi “bersilangan” dapat menjadi suatu konflik antar pihak.

Definisi sebagai mana dikemukakan tersebut cukup fleksibel yang

mencakup semua rentang tingkat konflik, dari tindakan yang terbuka

dan penuh kekerasan sampai ke bentuk halus dari ketidaksepakatan.

Menurut Robbins (Ardana, 2009: 112) konflik adalah suatu proses dengan mana usaha yang dilakukan oleh A untuk mengimbangi usaha - usaha B dengan cara merintangi yang menyebabkan B frustasi dalam mencapai tujuan atau meningkatkan keinginannya. Menurut AL Banesc (Ardana, 2009: 112) konflik merupakan kondisi yang dipersepsikan ada di antara pihak - pihak merasakan adanya ketidak sesuaian tujuan dan peluang untuk mencampuri usaha pencapaian tujuan. Menurut Schmidt dan Kochan (Ardana, 2009: 112) konflik merupakan suatu perselisihan atau perjuangan di antara dua pihak yang ditandai dengan menunjukan permusuhan secara terbuka dan/atau mengganggu dengan sengaja pencapaian tujuan pihak yang

Page 25: Sikap Politik Elite Partai Golkar Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus DPD II Bandar Lampung)

25

menjadi lawannya. Gangguan yang dilakukan dapat meliputi usaha – usaha yang aktif atau penolakan pasif.

Mengacu pada definisi tersebut, penelitei menggunakan teori konflik

untuk mengkaji lebih dalam. Dimana teori konflik merupakan teori

yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses

penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat

adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang

berbeda dengan kondisi semula.

3. Cara Pandang Terhadap Konflik

Menurut Ardana (2009: 112) ada tiga cara pandang terhadap konflik yaitu:

1) Pandangan tradisional, semua konflik berbahaya maka harus dihindari, dengan cara apapun. Disini muncul kecenderungan untuk menekannya dan menyembunyikan dari permukaan dengan harapan lenyap dengan sendirinya.

2) Pandangan hubungan kemanusiaan, bahwa konflik adalah sesuatu yang alami dan merupakan hal yang tak dapat dikesampingkan dalam kelompok, karenanya konflik tidak dapat dihindari dan berpotensi positif dalam menentukan kinerja kelompok.

3) Pandangan interaksionis, bahwa konflik tidak saja dapat menjadi kekuatan positif, bahkan mutlak diperlukan.

4. Sumber Konflik

Menurut Irfan Islami (Ardana, 2009: 113) secara rinci mengemukakan

sumber konflik yang diuraikan sebagai berikut :

1) Manusia yang agresif dan menggunakan organisasi sebagai tempat untuk penyalur konflik.

2) Persaingan karena adanya sumber–sember yang terbatas seperti modal, modal, material, tenaga kerja dalam rangka mencapai tujuan organisasi.

Page 26: Sikap Politik Elite Partai Golkar Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus DPD II Bandar Lampung)

26

3) Adanya kepentingan, hal ini dapat terjadi bila dua unit organisasi atau lebih memiliki tujuan yang berbeda–beda.

4) Perbedaan fungsi/peranan, karena adanya peranan yang dilaksanakan oleh masing-masing kelompok berbeda dan secara intern berbeda satu sama lain.

5) Ketidakkompakan, terutama dalam mencapai tujuan organisasi.6) Adanya harapan peranan yang gagal dilaksanakan.7) Ketidaktentuan tugas dan tanggung jawab.8) Iklim organisasi yang tidak sehat.9) Ambisi yang berlebihan.10) Sifat manusia yang cenderung untuk berbuat rakus.

5. Definisi Konflik Politik

Gatara (2011: 181) dalam ilmu-ilmu sosial dikenal dua perspektif atau pendekatan yang saling bertentangan untuk memandang masyarakat. Kedua perspektif tersebut adalah perspektif konflik (pendekatan struktural konflik) dan Perspektif konsensus (pendekatan struktural-fungsional). Perspektif konflik menyatakan bahwa masyarakat selalu berada pada ruang konflik yang terjadi secara terus menerus, baik pada tingkat dan skala kecil maupun skala besar dalam setiap masyarakat. Pandangan perspektif konflik ini dilandaskan pada sebuah asumsi utama yakni:

1. Masyarakat pada dasarnya tidak terlepas dari kekuatan-kekuatan dominan. Kekuatan dominan ini dapat berupa pemodal (orang yang memiliki kekuasaan di bidang ekonomi) atau negara (penguasa).

2. Masyarakat mencakup berbagai bagian yang memiliki kepentingan berbeda dan saling bertentangan. Karena itu, masyarakat selalu dalam keadaan konflik.

Perspektif konflik ini sangat bersebrangan dengan perspektif fungsional. Pendekatan funngsional ini berasumsi bahwa masyarakat mencakup bagian-bagian yang berbeda fungsi, tetapi saling berhubungan satu sama lain secara fungsional. Selain itu, masyarakat terintegrasi atas dasar suatu nilai yang disepakati bersama sehingga masyarakat selalu dalam keadaan seimbang dan harmonis.Kritik perspektif konflik terhadap pandangan fungsionalis adalah bahwa nilai-nilai bersama yang diyakini telah menjadi kesepakatan antar-masyarakat, bukanlah suatu yang diciptakan bersama, melainkan terlebih dahulu diciptakan oleh kekuatan yang dominan. Nilai-nilai tersebut bukanlah suatu konsensus yang nyata, tetapi tak lebih dari rekayasa kekuatan dominan yang dipaksakan kepada masyarakat.

Page 27: Sikap Politik Elite Partai Golkar Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus DPD II Bandar Lampung)

27

Dahrendorf (Gatara, 2011: 182) meringkas asumsi teori fungsionalis (atau konsensus atau integritas) yang bertentangan dengan teori konflik. Menurutnya teori fungsional menyatakan bahwa:

1) Setiap masyarakat merupakan suatu struktur elemen-elemen yang secara relatif mantap dan stabil.

2) Setiap masyarakat merupakan suatu struktur elemen-elemen yang terintegritas dengan baik.

3) Setiap elemen dalam suatu masyarakat memiliki fungsi, yakni memberikan sumbangan pada bertahannya masyarakat itu sebagai suatu sistem.

4) Setiap struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada suatu konsensus nilai di antara para anggotanya.

Sementara konflik menutrut Dahrendorf (Gatara, 2011: 182) adalah:1) Setiap masyarakat kapan saja tunduk pada proses perubahan;

perubahan sosial ada dimana-mana;2) Setiap masyarakat kapan saja memperlihatkan perpecahan dan

konflik; konflik sosial ada dimana-mana;3) Setiap elemen pada setiap masyarakat menyumbang

disintegrasi dan perubahan; dan4) Setiap masyarakat didasarkan pada paksaan dari beberapa

anggotanya atas orang lain.

Berangkat dari perspektif dan asumsi politik diatas, tampaknya pertentangan dan perbedaan menjadi kunci dalam mendefinisikan apakah yang dimaksud dengan konflik politik. Hal ini misalnya tergambar dari beberapa definisi tentang konflik itu sendiri yang dikemukakan oleh para sarjana.Menurut Achmad Fedyani syaifudin (Gatara, 2011: 183) konflik didefinisikan sebagai pertentangan yang bersifat langsung dan didasari antara individu-individu atau kelompok-kelompok untuk mencapai tujuan yang sama. Menurut Lewis S. Cosen (Gatara, 2011: 183) konflik adalah suatu yang wajar terjadi dalam setiap masyarakat yang selalu mengalami perubahan sosial dan kebudayaan. Konflik politik adalah percekcokan, pertentangan, perselisihan dan ketegangan (Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Gatara, 2011: 183).

Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konflik politik adalah

“gejala pertentangan dalam masyarakat yang berkaitan dengan mata rantai

kekuasaan dan negara”.

6. Bentuk dan Penyebab Konflik Politik

Page 28: Sikap Politik Elite Partai Golkar Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus DPD II Bandar Lampung)

28

Simon Fisher, dkk (Gatara, 2011: 183-185) dalam bukunya Working With

Conflick: Skilldan dan Strategis for Action (diterjemahkan S.N.

Kartikasari, dkk., “mengelola konflik ketampilaan dan strategi untuk

bertindak), menjelaskan tentang berbagai teori penyebab terjadinya

konflik.

1) Teori hubungan masyarakat. Teori ini menganggap bahwa konflik disebabkan adanya polarisasi yang terus terjadi dalam masyarakat sehingga menimbulkan ketidakpercayaan (distrust) dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda.Sasaran yang hendak dicapai dalam teori ini adalah:

a. Meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antar kelompok yang mengalami konflik;

b. Mengusahakan toleransi agar masyarakat bisa saling menerima keragaman yang ada didalamnya.

2) Teori negosiasi prinsip. Teori ini menganggap bahwa konflik disebabkan adanya posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak yang mengalami konflik.Sasaran yang hendak dicapai dalam teori negosiasi prinsip ini adalah:a. Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk

memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu, dan mendorong pihak-pihak atau kelompok-kelompok yang berkonflik untuk melakukan negosiasi yang dilandasi kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap.

b. Melancarkan proses pencapaian kesepakatan yang dapat memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak atau semua pihak.

3) Teori kebutuhan manusia. Teori ini berasumsi bahwa konflik yang terjadi bisa disebabkan oleh kebutuhan dasar menusia.Teori ini berasumsi bahwa konflik yang bisa disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia yang tidak terpenuhi atau sengaja dihambat oleh pihak lain. Kebutuhan dasar manusia biasanya menyangkut tiga hal, yakni kebutuhan fisik, mental, dan sosial. Sasaran yang dicapai teori ini adalah:a. Membantu pihak-pihak yang sedang berkonflik untuk

mengidentifikasi dan mengupayakan secara bersama-sama mengenai kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi sehingga memperoleh polihan-pilihan (alternatif-alternatif) untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.

Page 29: Sikap Politik Elite Partai Golkar Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus DPD II Bandar Lampung)

29

b. Membantu agar pihak-pihak yang mengalami konflik dapat meraih kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak.

4) Teori identitas. Teori ini berasumsi bahwa konflik terjadi akibat adnaya identitas yang terancam yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan masa lalu yang tidak diselesaikan. Sasaran yang hendak dicapai dalam teori ini adalah: a. Melalui fasilitas komunikasi dan dialog antarpihak yang

mengalami konflik. Mereka diharapkan dapat mengidentifikasi ancaman-ancaman dan ketakutan yang mereka rasakan masing-masing dan untuk membangun empati dan rekonsiliasi di antara mereka (pihak-pihak yang berkonflik).

b. Meraih kesepakatan bersama yang mengakui kebutuhan identitas pokok semua pihak.

5) Teori kesalahpahaman antarbudaya. Teori ini berasumsi bahwa konflik desebabkan adanya ketidak cocokan dalam ccara berkomunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. Sasaran yang hendak dicapai dalam teori ini adalah:a. Menambah pengetahuan bagi pihak-pihak yang

mengalami konflik.b. Mengurangi stereotip negatif yang mereka miliki tentang

pihak atau kelompok lain.c. Meningkatkan keefektifan komunikasi antarbudaya.

6) Teori transformasi konflik. Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya, dan ekonomi. Sasaran yang hendak dicapai dalam teori ini adalah:a. Mengubah beberapa struktur yang dapat menimbulkan

terjadinya ketidaksetaraan, ketidakadilan, dan kesenjangan ekonomi.

b. Meningkatkan ikatan hubungan dan sikap jangka panjang di antarpihak atau antarkelompok yang mengalami konflik. Mengembangkan berbagai proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan, keadilan, perdamaian, rekonsiliasi, dan legitimasi atau pengakuan.

7. Resolusi Konflik

John Davies (Gatara, 2011:185) membedakan tiga pendekatan dalam

pengelolaan konflik.

1. Pendekatan berdasarkan kekuasaan (power-based approach), menggunakan kekuatan kekuasaan untuk memecahkan semua jenis konflik. Seandainya sifat pemerintahan adalah otoriter (authorian),

Page 30: Sikap Politik Elite Partai Golkar Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus DPD II Bandar Lampung)

30

pemecahan konflik tampak pada tingkat permukaan (surface), tidak sampai pada tingkat akar penyebab konflik.

2. Pendekatan berdasarkan hukum (right-based approach), pendekatan ini biasanya lebih menggunakan hukum, adat, norma dan sistem hukum sebagai alat penyelesaian konflik yang terjadi di masyarakat. Akan tetapi, struktur politik di Indonesia memungkinkan untuk melakukan subordinasi penegak hukum pada kepentingan-kepentingan pemegang kekuasaan.

3. Pendekatan berdasarkan kepentingan (interest-based approach). Kepentingan ini berupaya untuk membangun pemecahan yang mencerminkan nilai, kebutuhan dan kepentingan yang terpendam dalam hati pihak yang bertentangan.

E. Kerangka Pikir

Sikap merupakan hal yang paling penting dalam kehidupan manusia,

karena sikap menjadi tolak ukur respon yang diberikan oleh seseorang

baik bersosialisasi dengan individu atau kelompok. Sikap dalam diri

manusia tentu berbeda-beda, semua perbedaan itu dipengaruhi oleh

lingkungan dan pola pikir yang terbentuk sejak dini. Jika seseorang hidup

dengan cara ‘keras’ dari kecil, maka akan sangat berpengaruh pada pola

pikir, sikap dan respon yang dihasilkan setelah dia dewasa. Dengan

mengetahui sikap pada diri seseorang maka kita akan dapat menduga

bagaimana reaksi atau respon yang dihasilkan ketika seseorang tersebut

menghadapi suatu masalah. Dalam hal ini, sikap politik elite partai Golkar

merupakan kesiapan untuk merespon konflik internal yang sedang terjadi

dan semakin membesar bermula dari perbedaan dukungan pada internal

partai Golkar saat pemilihan Presiden 2014. Kesiapan tersebut dapat

berupa tanggapan-tanggapan atau penilaian-penilaian yang melibatkan

komponen-komponen kognitif dan afektif dalam sikap, yaitu persepsi,

Page 31: Sikap Politik Elite Partai Golkar Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus DPD II Bandar Lampung)

31

pengetahuan, pengalaman dan perasaan elite partai golkar terhadap konflik

pada tubuh Golkar yang sedang terjadi, mulai dari perbedaan dukungan,

perpecahan suara sampai pada pemecatan yang didapat oleh kader-kader

Golkar. Jika persepsi, pengetahuan, pengalaman dan perasaan tidak

disertai dengan kecenderungan untuk bertindak, maka semua itu belum

merupakan suatu kebulatan sikap. Karena karena persepsi, pengetahuan,

pengalaman dan perasaan tadi harus disertai kecenderungan yang

berdasarkan komponen-komponen tersebut untuk menghadapi suatu objek

atau situasi.

Kerangka Pikir

Konflik Internal Partai Golkar

Sikap politik elite partai Golkar di DPD II Golkar Bandar Lampung

Page 32: Sikap Politik Elite Partai Golkar Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus DPD II Bandar Lampung)

32

III. METODE PENELITIAN

A. Tipe dan Jenis Penelitian

Tipe penelitian ini adalah kualitatif. Jenis penelitian ini adalah penelitian

deskriptif.

Menurut Faisal (2012: 20) penelitian kualitatif deskriptif yaitu dimaksudkan untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai suatu fenomena sosial, dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang ditelitei. Jenis penelitian ini tidak sampai mempersoalkan jalinan hubungan antar variabel yang ada; tidak dimaksudkan untuk menarik generasi yang menjelaskan variabel-variabel anteseden yang menyebabkan suatu gejala atau kenyataan sosial. Oleh karena itu pada suatu penelitian deskriptif, tidak menggunakan dan tidak melakukan pengujian hipotesis.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka penelitian ini diarahkan untuk

menggambarkan fakta dengan argument yang tepat. Penelitian

dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai sikap politik elite

atas konflik internal yang ada, yaitu pandangan, pendapat dan respon para

Page 33: Sikap Politik Elite Partai Golkar Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus DPD II Bandar Lampung)

33

elite golkar di DPD II Bandar Lampung pada saat penelitian dilakukan.

Dalam hal ini mengenai konflik yang terjadi pada internal DPD II Partai

Golkar Bandar Lampung.

Dasar pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dengan teori yang dapat mendukung penganalisaan yang lebih mendalam

terhadap gejala yang terjadi, Dikarenakan kajiannya adalah fenomena

masyarakat yang selalu mengalami perubahan (dinamis), yang sulit diukur

dengan menggunakan angka-angka maka penelitian ini membutuhkan

analisa yang lebih mendalam dari sekedar penelitian kuantitatif yang

sangat bergantung pada kuantifikasi data. Penelitian ini mencoba

memahami apa yang dipikirkan oleh masyarakat terhadap suatu fenomena.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian merupakan tempat di mana peneliti melakukan

penelitian, terutama dalam menangkap fenomena atau atau peristiwa yang

sebenarnya terjadi dari objek yang diteliti dengan tujuan untuk

memperoleh data yang akurat. Penelitian ini akan dilakukan di Kantor

Dewan Perwakilan Daereah Tingkat II (DPD II) Golkar yang terletak di Jl.

Gajah Mada, Pahoman, Bandar Lampung.

C. Fokus Penelitian

Penentuan fokus penelitian dimaksudkan agar dapat membatasi studi serta

dapat ememnuhi kriteria memasukkan dan mengeluarkan informasi.

Adapun fokus dari penelitian ini adalah “Sikap Politik Elite Partai Golkar

Page 34: Sikap Politik Elite Partai Golkar Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus DPD II Bandar Lampung)

34

Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus di DPD II Bandar

Lampung)”. Apakah sikap tersebut positif atau negatif. Adapun sikap

positif negatif itu adalah:

-sikap positif, sikap yang menunjukan atau memperlihatkan, menerima,

mengakui, menyetujui, serta melaksanakan norma-norma individu itu

berada.

-sikap negatif, sikap yang menunjukan atau memperlihatkan penolakan

atau tidak menyetujui terhadap norma-norma yang berlaku dimana

individu itu berada.

D. Informan

Informan penelitian (Herdiansyah 2012: 55) berisi tentang informasi

mengenai informan penelitian, keterkaitan antara informan dengan subjek

penelitian, dan seberapa dalam informan mengenali subjek penelitian

dengan baik Informan dari penelitian di tentukan secara acak, dengan

memilih dan menentukan informan yang di anggap bisa memberikan data

untuk penelitian. Informan dalam penelitian ini adalah elite atau kader

partai Golkar di DPD II Golkar Bandar Lampung.

E. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan penelitei dalam

penelitian ini yaitu:

1. Teknik wawancara

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik wawancara.

Page 35: Sikap Politik Elite Partai Golkar Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus DPD II Bandar Lampung)

35

Menurut Faisal (2012: 109) Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam. Proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab dengan bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan menggunakan pedoman (guide) wawancara. Serta beberapa topik yang telah disertakan oleh penelitei dan didiskusikan bersama-sama. Secara keseluruhan, wawancara merupakan sumber bukti yang esensial bagi studi kasus umumnya berkenaan dengan urusan kemanusiaan. Urusan-urusan kemanusiaan ini harus dilaporkan dan diinterpretasikan melalui penglihatan pihak yang diwawancarai, dan para responden yang mempunyai informasi dapat memberikan keterangan-keterangan penting dengan baik ke dalam situasi yang berkaitan.

2. Observasi

Menurut Faisal (2012: 112) Observasi adalah pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian, data penelitian tersebut dapat diamati oleh penelitei. Dala arti bahwa data tersebut dihimpun melalui pengamatan penelitei melalui penggunaan pancaindera. Observasi langsung dilakukan dengan membuat kunjungan lapangan terhadap situs studi kasus, penelitei menciptakan kesempatan untuk observasi langsung.

3. Studi Dokumen (Dokumentasi)

Menurut Faisal (2012: 115) studi dokumen yaitu cara pengumpulan data dan telaah pustaka, dimana dokumen-dokumen yang dianggap menunjang dan relevan dengan permasalahan yang akan diteliti baik berupa literatur, laporan tahunan, majalah, jurnal, tabel, karya tulis ilmiah dokumen peraturan pemerintah dan Undang-Undang yang telah tersedia pada lembaga yang terkait dipelajari, dikaji, dan disusun/dikategorikan sedemikian rupa sehingga dapat diperoleh data guna memberikan informasi berkenaan dengan penelitian yang akan dilakukan.

F. Teknik pengolahan data

Berdasarkan jenis penelitian yang digunakan yaitu deskriptif maka metode

penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan

Page 36: Sikap Politik Elite Partai Golkar Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus DPD II Bandar Lampung)

36

mengumpulkan data-data dari lapangan kemudian menganalisis dengan

cara memaparkan hasil penelitian melalui kata-kata atau kalimat. Data dan

informasi yang telah dikumpulkan dari informan kemudian diolah dan

dianalisa secara kualitatif. Karena objek kajiannya adalah elite partai

politik, dimana elite partai politik memiliki cara berfikir dan cara pandang

yang berbeda, maka penelitian ini membutuhkan analisa yang mendalam

dari sekedar penelitian kuantitatif yang sangat bergantung pada

kuantifikasi data.

G. Teknik Penyajian Data

Dengan menggunakan teknik analisis data yang bersifat kualitatif menurut

Miles dan Huberman (Satori, 2009: 54) terjadi tiga alur kegiatan untuk

mendapatkan data yang valid, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan

penarikan kesimpulan.

1. Reduksi dataReduksi dapat diartikan sebagai proses memilah, memusatkan, dan menyederhanakan data yang baru diperoleh dari penelitian yang masih mentah yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi dilakukan terus menerus ketika pengumpulan data masih dilakukan. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, memperjelas data yang diperoleh dan membuang data yang tidak dibutuhkan. Tujuan dari reduksi data ini adalah untuk mendapatkan data yang lebih mudah untuk diolah.

2. Penyajian Data:Proses kedua setelah reduksi data adalah penyajian data. Sekumpulan data yang diperoleh disajikan dalam bentuk text naratif yang berguna untuk mempermudah dalam proses analisa data dan penarikan kesimpulan. Dengan melihat data yang sudah disajikan, penelitei harus memahami apa yang sedang terjadi pada objek peneliteiaannya dan penelitei harus tahu apa yang akan dilakukan selanjutnya.

Page 37: Sikap Politik Elite Partai Golkar Terhadap Konflik Internal Partai Golkar (studi kasus DPD II Bandar Lampung)

37

3. Penarikan Kesimpulan:Kegiatan analsis ketiga yang penting setelah kedua kegiatan analisis di atas adalah penarikan kesimpulan. Dari permulaan pengumpulan data, seorang penelitei telah mencari pola-pola, anomali-anomali, dan gejala-gejala pada objek penelitiannya, maka pada tahap ini penelitei harus menarik kesimpulan atas objek kajiaannya. Kesimpulan atas hasil penelitian adalah hasil akhir atau klimaks dari penelitian yang telah dilakukan.

H. Teknik validasi data

Menurut Moeleong (2004: 324) uji validasi dalam penelitian ini akan

ditekankan pada uji validitas dan reabilitas. Setiap penelitian memerlukan

kriteria untuk melihat kepercayaan atau kebenaran atas hasil penelitian.

Dalam penelitian kualitatif, standar tersebut dinamakan keabsahan data.

Teknik keabsahan data adalah standar validitas dari data yang diperoleh.