an dan stimulasi anak usia dini

26
Kurikulum untuk anak usia dini, perlukah? Anak-anak usia dini hidup dalam dunia bermain. Meskipun demikian,tak ada salahnya jika orang tua memiliki rancangan bahan atau materi untuk mengisi hari-hari mereka. Hal yang pasti, kurikulum untuk anak usia dini haruslah sangat fleksibel, sesuai dengan kemampuan dan minat anak. Kelas-kelas pra-sekolah seperti Play Group (PG) atau Taman Kanak-Kanak (TK) pasti memiliki kurikulum dan target-target, namun karena tuntutan aturan formal, mau tidak mau guru akan menilai perkembangan anak secara kasar, berdasarkan akumulasi kemampuan yang dikuasai anak selama kurun waktu tertentu. Jelas penilaian itu tidak valid, karena ketika guru memasuki kurikulum mewarnai misalnya, beberapa anak mungkin belum siap dengan fase itu. Mereka mungkin menolak untuk melakukannya atau hanya membubuhkan satu coretan pendek di kertasnya, karena dia memang belum berminat. Di sinilah peran orang tua sangat dibutuhkan. Tak peduli apakah anak-anak masuk TK ataupun tidak, tugas orang tua-lah untuk memahami anak-anaknya dengan baik, sehingga tahu kapan harus memperkenalkan sebuah keterampilan, kapan harus menundanya, kapan harus memacunya lebih kencang, dan bagaimana membuat anak menjadi tertarik untuk mempelajari

Upload: babeganteng

Post on 23-Jun-2015

232 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: an Dan Stimulasi Anak Usia Dini

Kurikulum untuk anak usia dini,

perlukah?

Anak-anak usia dini hidup dalam dunia bermain. Meskipun demikian,tak ada salahnya

jika orang tua memiliki rancangan bahan atau materi untuk mengisi hari-hari mereka.

Hal yang pasti, kurikulum untuk anak usia dini haruslah sangat fleksibel, sesuai dengan

kemampuan dan minat anak.

Kelas-kelas pra-sekolah seperti Play Group (PG) atau Taman Kanak-Kanak (TK) pasti

memiliki kurikulum dan target-target, namun karena tuntutan aturan formal, mau tidak

mau guru akan menilai perkembangan anak secara kasar, berdasarkan akumulasi

kemampuan yang dikuasai anak selama kurun waktu tertentu. Jelas penilaian itu tidak

valid, karena ketika guru memasuki kurikulum mewarnai misalnya, beberapa anak

mungkin belum siap dengan fase itu. Mereka mungkin menolak untuk melakukannya

atau hanya membubuhkan satu coretan pendek di kertasnya, karena dia memang belum

berminat.

Di sinilah peran orang tua sangat dibutuhkan. Tak peduli apakah anak-anak masuk TK

ataupun tidak, tugas orang tua-lah untuk memahami anak-anaknya dengan baik, sehingga

tahu kapan harus memperkenalkan sebuah keterampilan, kapan harus menundanya, kapan

harus memacunya lebih kencang, dan bagaimana membuat anak menjadi tertarik untuk

mempelajari sesuatu tanpa harus dipaksa oleh waktu dan penilaian pihak lain.

Pendidikan sungguh jauh melampaui batas-batas nilai kuantitatif seperti diterapkan di

sekolah. Pendidikan adalah rangkaian proses belajar untuk menjadi manusia yang terus

tumbuh, baik secara fisik, mental, maupun spiritual.

Menyusun kurikulum untuk anak usia dini berarti siap mengikuti irama mereka dan siap

untuk melangkah lebih jauh saat mereka berminat untuk tahu lebih banyak. Ketika anak-

anak diperkenalkan tentang kuda misalnya, bisa jadi rasa ingin tahu mereka berkembang,

Page 2: an Dan Stimulasi Anak Usia Dini

ingin tahu tentang makanannya, di mana tidurnya, dan mungkin ingin mencoba

menaikinya dan mengoleksi gambar-gambarnya.

Adapun secara terstruktur, ada banyak model kurikulum anak usia dini yang telah

dikembangkan di dunia. Kurikulum Montessori adalah salah satu di antaranya. Model ini

cocok bagi mereka yang senang dengan keteraturan dan mengharapkan anak-anak juga

bersikap teratur dan runut. Sebuah buku berjudul Montessori untuk Prasekolah yang

disusun oleh seorang praktisi kurikulum Montessori bernama Elizabeth G. Hainstock dan

diterbitkan edisi terjemahannya oleh penerbit Delapratasa Publishing, bisa menjadi

pilihan untuk mengetahui lebih detail kegiatan-kegiatan ala Montessori.

Melalui buku tersebut akan kita temukan bahwa model Montessori lebih banyak

mempergunakan perabotan rumah tangga sebagai media dan mempergunakan kegiatan

rutin sehari-hari di rumah sebagai aktivitas belajar.

Temuan tentang multi kecerdasan oleh Howard Gardner juga bisa menginspirasi kita

untuk menyusun kurikulum. Delapan bahkan sembilan jenis kecerdasan versi Gardner,

yaitu: kecerdasan bahasa, logika-matematika, visual-spasial, fisik, interpersonal,

intrapersonal, musikal, natural, dan spiritual bisa dijadikan acuan untuk memilih ragam

kegiatan belajar-bermain di rumah.

Buku yang ditulis Thomas Amstrong berjudul Sekolah Para Juara mencoba

menjabarkan konsep multi kecerdasan tersebut dalam konteks sekolah formal untuk anak-

anak yang lebih besar. Namun bukan tidak mungkin hal itu bisa menginspirasi para orang

tua yang memiliki anak usia dini untuk menerapkan jalan pikiran Amstrong ke dalam

konteks belajar anak usia dini di rumah.

Kurikulum berdasarkan Perkembangan Anak

Perkembangan anak secara umum ternyata bisa diukur dengan beberapa ukuran berikut:

perkembangan fisik motorik, perkembangan kognitif, perkembangan moral & sosial,

emosional, dan komunikasi (Slamet Suyanto, Dasar-dasar Pendidikan Anak Usia

Dini:192. Penerbit: Hikayat Publishing. Yogyakarta)

Page 3: an Dan Stimulasi Anak Usia Dini

Kita bisa menciptakan kurikulum dengan mengacu pada teori tersebut. Berikut gambaran

kasar kurikulum yang mungkin diterapkan:

Perkembangan fisik motorik

- Motorik Kasar: Berlari, memanjat, menendang bola, menangkap

bola, bermain lompat tali, berjalan pada titian keseimbangan, dll.

- Motorik Halus: Mewarnai pola, makan dengan sendok, mengancingkan baju, menarik

resluiting, menggunting pola,menyisir rambut, mengikat tali sepatu, menjahit dengan alat

jahit tiruan, dll.

- Organ Sensoris:Membedakan berbagai macam rasa, mengenali berbagai macam bau,

mengenali berbagai macam warna benda, mengenali berbagai benda dari ciri-ciri

fisiknya, mampu membedakan berbagai macam bentuk, dll.

Perkembangan Kognitif

Misalnya: mengenal nama-nama warna,mengenal nama bagian-bagian tubuh, mengenal

nama anggota keluarga,mampu membandingkan dua objek atau lebih, menghitung,

menata, mengurutkan; mengetahui nama-nama hari dan bulan; mengetahui perbedaan

waktu pagi, siang, atau malam; mengetahui perbedaan kecepatan (lambat dan cepat);

mengetahui perbedaan tinggi dan rendah, besar dan kecil, panjang dan pendek; mengenal

nama-nama huruf alfabet atau membaca kata; memahami kuantitas benda, dll.

Perkembangan Moral dan sosial

Misalnya: Mengetahui sopan santun, mengetahui aturan-aturan dalam keluarga atau

sekolah jika ia bersekolah, mampu bermain dan berkomunikasi bersama teman-teman,

mampu bergantian atau antre, dll.

Perkembangan Emosional

Misalnya: Menunjukkan rasa sayang pada teman, orang tua, dan saudaranya;

menunjukkan rasa empati; mengetahui simbol-simbol emosi: sedih, gembira, atau marah

dan mampu mengontrol emosinya sesuai kondisi yang tepat.

Page 4: an Dan Stimulasi Anak Usia Dini

Perkembangan Komunikasi (Berbahasa)

Misalnya: Mampu mengungkapkan keinginannya dengan kata-kata,mampu melafalkan

kata-kata dengan jelas (bisa dimengerti oleh orang lain).

Begitu beragam model kurikulum yang ada. Mau pilih yang mana? Mengumpulkan

sebanyak mungkin sumber dan memilahnya sesuai kekhasan keluarga masing-masing

adalah cara paling baik agar kita memiliki bahan yang lebih kaya untuk anak-anak kita.

Bagaimana Seharusnya Anak-Anak

Bersosialisasi

Bersosialisasi adalah fitrah manusia. Bahkan anak-anak yang masih belia sekalipun,

akan menunjukkan ciri ini secara reflek. Lihatlah anak-anak kita saat dibawa ke sebuah

pertemuan dan ada anak-anak lain di sana.

Meski baru pertama kali bertemu, mereka akan saling berinteraksi secara perlahan. Tentu

saja bahasa sosialisasi mereka khas anak-anak. Bisa dengan berbagi makanan, berlarian,

atau sekedar duduk atau bermain bersama. Percakapan biasanya akan bergulir setelah

beberapa lama, tergantung karakter anak.

Terlepas dari semua itu, sosialisasi juga ternyata berdampak pada perkembangan anak-

anak kita. Pengaruh yang paling terlihat adalah bahasa dan sikap. Saat anak-anak bergaul

dengan teman-teman yang biasa berkata baik, bahasa mereka biasanya terbentuk menjadi

baik. Namun bersiaplah saat anak-anak bergaul dengan teman yang biasa berkata kotor

dan kasar, mereka pun berpotensi untuk terbiasa berkata-kata yang sama.

Memilihkan lingkungan sosial yang sehat adalah tugas berat bagi orang tua masa kini.

Karakter dan bahasa negatif tersebar terlalu merata. Televisi, keluarga besar, tetangga,

kampung, dan sekolah tak dijamin bebas dari bahasa negatif.

Page 5: an Dan Stimulasi Anak Usia Dini

Film anak-anak pun tak ragu bercerita tentang perkelahian, perang, dan permusuhan.

Kata-kata kasar dan sumpah serapah kerap berhamburan dari tokoh-tokoh jahatnya. Ya,

pelajaran apa yang anak-anak tangkap dari film itu? Saya yakin hanya 10 persen saja

mungkin hal positif dari film itu yang diserap anak-anak.

Sisanya, dan yang paling diingat, justru adalah bahasa dan karakter yang buruk. Belum

lagi keluarga besar, tetangga, kampung, dan sekolah, semuanya juga berpotensi

menanamkan saham pada anak-anak kita berupa bahasa dan perilaku negatif.

Sedih ya…

Setiap kali naik kendaraan umum atau berpapasan dengan anak-anak sekolah di jalanan,

entah kenapa, bahasa yang saya dengar dari mereka begitu seragam, seperti halnya baju

mereka. Nama-nama binatang berhamburan tanpa editor. Mereka tertawa dengan

julukan-julukan hewani itu, sama sekali tak sadar nampaknya bahwa hal itu sangat

menyedihkan. Siapa yang bisa disalahkan atas itu semua?

Saya melihat, golden age di tambah dengan masa pra baligh bagi orang Muslim, adalah

masa penting pendidikan.

Menciptakan sinapsis-sinapsis (sambungan-sambungan neuron di otak) yang positif amat

vital pengaruhnya pada perkembangan anak. Tapi, itulah kita, para orang tua yang juga

masih butuh banyak belajar. Kita sering mengabaikan masa-masa itu. Kita biarkan anak-

anak tumbuh tanpa memilihkan untuk mereka lingkungan yang positif dan menjauhkan

mereka dari lingkungan yang negatif.

Di rumah-lah, di dalam naungan kasih sayang orang tua yang peduli, anak-anak

seharusnya mendapat dasar-dasar pendidikan yang baik. Dalam keseimbangan antara

kemerdekaan untuk kreatif dan nilai-nilai etika, orang tua memikul tanggung jawab besar

ini.

Duh, beratnya jadi orang tua. Tak cukup hanya memberi anak-anak makanan bergizi atau

berdoa dan berharap agar anak-anak berakhlak baik, sopan, dan banyak harapan baik

lainnya. Kita juga harus banyak belajar untuk memberi teladan.

Page 6: an Dan Stimulasi Anak Usia Dini

Bagaimana Bayi dan Anak-Anak

Belajar?

Gordon Dryden & Dr. Jeannette Vos dalam bukunya The Learning

Revolution, mengungkapkan fakta-fakta yang sangat mengejutkan.

Saat ini, katanya, berbagai metoda belajar tengah berkembang pesat di seluruh dunia,

sehingga setiap anak akan mampu mempelajari apapun secara lebih cepat –sekitar 5

sampai 20 kali lebih cepat– bahkan 10 sampai 100 kali lebih efektif, pada usia

berapapun. Metoda-metoda itu ternyata sederhana, mudah dipelajari, menyenangkan,

logis – dan terbukti andal.

Inilah beberapa fakta itu. Di Christchurch, Selandia Baru, Michael Tan berhasil lulus

ujian matematika tingkat smu pada usia 7 tahun. Dan Stephen Witte, 12 tahun lulus

enam ujian beasiswa universitas dan berhasil meraih hadiah fisika dari SMU Papanui,

tidak lama setelah diizinkan melompati empat kelas.

Di Alaska, para pelajar di SMU MT. Edgecumbe menjalankan empat perusahaan proyek

percontohan. Salah satu proyeknya: ekspor salmon asap ke Jepang senilai us$ 600.000–

mereka sekaligus belajar ilmu pemasaran, bisnis, ekonomi dan Bahasa Jepang.

Di SD Pantai Tahatai Di Selandia Baru, anak-anak berusia 6 tahun menggunakan

komputer untuk membuat cd-rom dan merencanakan “sekolah masa depan” mereka

sendiri. Mereka juga menggunakan komputer untuk mengaktifkan unit-unit pembangkit

energi surya dan angin yang didesain agar setiap rumah mampu memenuhi kebutuhan

energinya sendiri.

Ternyata pembelajaran mandiri adalah salah satu kunci utama. Jika kita bisa

menyediakan lingkungan dan peralatan yang baik untuk pelatihan mandiri, anak-anak

kecil pun akan menjadi pendidik mandiri yang antusias sepanjang hidupnya.

Page 7: an Dan Stimulasi Anak Usia Dini

Maria Montessori, dokter wanita pertama asal Iitalia, telah menyediakan lingkungan

semacam itu hampir 100 tahun lalu, membuktikan bahwa anak-anak usia 3 – 4 tahun

dengan mental terbelakang, mampu berkembang baik dalam hal menulis, membaca, dan

perhitungan dasar. Dan sampai sekarang ini di daerah terpencil Montana, negara bagian

Amerika yang berpenduduk paling jarang, semua anak berusia 4 tahun di taman bermain

Montessori International telah mampu mengeja, membaca, menulis dan melakukan

hitungan dasar, bahkan sebelum mereka masuk sekolah. Saat ini mereka mencanangkan

pada usia 4 tahun itu anak-anak bahkan sudah mampu menguasai tiga atau empat bahasa!

Bagaimana dengan anak-anak kita? Lihatlah betapa banyak orang tak menyadari bahwa

mereka telah “merusak” potensi hidup anaknya. Lihatlah anak-anak kita sekarang.

Dimana mereka pada sebagian besar waktu hidupnya? Di depan televisi-kah? Main

seharian dengan anak-anak lainkah? Apa yang mereka pelajari? Siapa guru-guru mereka?

Siapa idola mereka? Apa kata-kata yang meluncur dari pikirannya?

Ternyata, semua ini bergantung bagaimana ia dididik sejak awal kelahirannya! Kita tahu,

setiap anak, anak negara manapun, anak siapapun adalah pemilik otak terhebat di dunia.

Walaupun beratnya kurang dari 1,5 kg, kemampuan otaknya beribu kali lebih hebat dari

super komputer terhebat di dunia. Dan anak-anak kita pun memilikinya! Masing-masing

terdiri dari otak sadar dan otak bawah sadar.

Otak sadar aktif saat kita sengaja melakukan sesuatu. Sedangkan otak bawah sadar selalu

aktif 24 jam sehari terus menerus. Ia bekerja sejak bayi masih dalam kandungan sampai

kita dewasa dan mati.

Dari berbagai hasil penelitian ditemukan bahwa ternyata di bawah sadar inilah

“terinstall” semua potensi hidup kita, yang nantinya akan keluar dalam bentuk sikap,

nilai hidup, skill, kecerdasan, kepribadian dan kebiasaan.

Salah satu sifat otak bawah sadar ini adalah “tidak kritis”. Jadi apapun input yang

masuk ke dalamnya akan tetap disimpan dan dianggap benar. Beda dengan otak sadar …

ia kritis. Oleh karena itulah yang harus kita waspadai justru input-input yang bakal masuk

lewat pintu otak bawah sadar ini.

Page 8: an Dan Stimulasi Anak Usia Dini

Benyamin s. Bloom, professor pendidikan dari universitas chicago, menemukan fakta

yang cukup mengejutkan:

-  Ternyata 50% dari semua potensi hidup manusia terbentuk ketika kita berada dalam

kandungan sampai usia 4 tahun.

-  Lalu 30 % potensi berikutnya terbentuk pada usia 4 – 8 tahun.

Ini berarti 80% potensi dasar manusia terbentuk di rumah, justru sebelum mulai

sekolah. Akan seperti apa kemampuannya, nilai-nilai hidupnya, kebiasaannya,

kepribadiannya, akhlaqnya, dan sikapnya … semua 80% tergantung pada orang tua.

Sadar atau tidak. Baik “dibentuk” secara sengaja atau pun tidak sengaja!

Artinya, akan jadi siapa anak kita, akan bagaimana cara berpikir dan bersikapnya

ditentukan sepenuhnya oleh informasi dan pengetahuan apa yang tersimpan di otak

bawah sadarnya. Panca indera adalah pintu masuk yang langsung masuk ke pusat

kecerdasan anak. Apapun yang ia dengar, apapun yang ia lihat, apapun yang ia

rasakan, semua langsung tersimpan di otak bawah sadarnya.

Ia juga belajar tentang sikap dan kepribadian dari orang-orang yang mengasuhnya.

Bagaimana ayah ibunya berbicara, apa yang dikatakan, bagaimana ia bereaksi terhadap

emosi-emosi tertentu, bagaimana orangtua bereaksi terhadap tekanan amarah, tangisan,

dan kerewelan. Semua bahasa komunikasi anak (dalam bentuk gerakan, tangisan dan

kerewelan) adalah alat-alat ia belajar.

Lantas, apakah bisa kita menghasilkan “anak hebat” hanya dengan cara mendidik “ala

kadarnya”? Dengan “semaunya”, secara naluriah belaka? Tentu tidak bukan!

Hal pertama yang langsung kita sadari adalah, sebagai ayah dan ibu, kita adalah guru

anak-anak kita. Baik kita melakukannya dengan benar ataupun “nggak sengaja” salah.

Pertanyaan berikutnya, sudah tahukah kita kurikulum apa yang sedang berlangsung pada

usia 0 – 4 tahun atau 8 tahun perkembangan pendidikan anak-anak kita?

Page 9: an Dan Stimulasi Anak Usia Dini

Ternyata, kebanyakan orang tua tidak punya “kurikulum” pendidikan usia-dini ini. Tentu

tak heran akhirnya kurikulum alamiah lah yang diterapkan. Kurikulum yang akhirnya

dipelajari anak-anak kita adalah kurikulum-alamiah yang diciptakan oleh lingkungan

tempat kita saat ini hidup dan berada. Lewat program-program televisi, pergaulan di

sekitar rumah kita, juga pergaulan antar penghuni di dalam rumah tangga kita sendiri.

Apa yang “diajarkan” (tanpa sengaja) pada bayi dan anak-anak kita?

Secara keilmuan bisa jadi masih kosong! Bagaimana dengan sikap? Tak dapat dibendung,

ternyata banyak sekali hal negatif yang “dipelajari” anak-anak kita.

Lalu adakah kegiatan-kegiatan pembelajaran secara sengaja? By design? Hampir tidak

ada! Ada semacam “keyakinan” yang telah jadi paradigma kuat dalam pikiran para orang

tua, bahwa anak-anak “bersekolah” ya dimulai sejak TK ! Sehingga mengabaikan proses

belajar mengajar “yang umumnya tak sengaja” yang justru berlangsung setiap detik di

rumah kita. Bahkan anehnya tak sedikit yang tega menyerahkan bayi dan anak-anaknya

itu “berguru” kepada para pembantunya!

Jika kita mulai menyadari fakta-fakta ini, ada beberapa tindakan yang bisa segera kita

lakukan, jika memang kita ingin berubah:

1. Orang tua (ayah dan ibu), harus belajar semua hal yang berhubungan dengan metoda-

metoda pendidikan anak

Pada dasarnya orang tua adalah guru terpenting dan rumah adalah sekolah paling penting,

Didiklah anak dengan ilmu. Kenali dan rancang kurikulum sendiri untuk keperluan ini.

Apa muatan sikap dan perilaku yang ingin kita hasilkan pada balita kesayangan kita, dan

bagaimana caranya. Bagaimana pula caranya kita menanamkan aqidah Islam pada balita

kita. Apa yang boleh kita lakukan dan apa yang  jangan kita lakukan. Kuncinya belajar!

Orang tua lah yang harus belajar….!

Page 10: an Dan Stimulasi Anak Usia Dini

2. Kenali dan kendalikan jenis input informasi

(ucapan/penglihatan/pendengaran/pergaulan) yang masuk lewat pintu otak bawah sadar

balita kita.

Jika kita sadar ini, maka programkan secara sengaja muatan positif. Install-kan program-

program positif ke dalam otak bawah sadar anak-anak kita. Sebagai contoh televisi.

Kendalikan keinginan kita nonton acara tv bersama anak-anak. Beberapa pemimpin

bisnis terkemuka di dunia seperti Mitch Sala, Jim Dornan, Rich De Vos, Bob Andrew,

dan banyak lagi yang lainnya bahkan sangat menyadari betapa berbahayanya “virus

negatif” yang dibawa TV ini. Mereka pun tidak membiarkan dirinya dan bahkan juga

anak-anaknya berada di depan televisi!

Kenali juga bahwa input positif bisa berasal dari pendengaran. Maka kendalikan kata-

kata kita. Apapun situasinya, jaga mulut! “katakan yang baik-baik saja, atau kalau tidak

lebih baik diam”, pesan Rasulullah SAW dalam salah satu sabdanya. “…fal yakun

khairan au lisashmut”!

Juga program/install otak balita kita dengan input yang disengaja. Misalkan tatkala

menidurkan bayi kita, apa salahnya kita memperdengarkan ayat-ayat al qur’an kepada

bayi, baik melalui kaset maupun kita sendiri yang membacakannya.

Percayalah semua input yang disengaja ini membekas dan terinstall dengan baik di otak

bawah sadar anak-anak kita.

Programkan dengan sengaja! Itu sebabnya kita perlu punya kurikulum! Ini bukan berarti

kita mau mendikte “masa depan profesi anak kita”. Sama sekali tidak. Apapun jalan

hidup dia nanti setelah dewasa, terserah dia. Yang kita bentuk secara sengaja adalah

potensi dasar “human being”-nya. Sikapnya, perilakunya, kebiasaannya, potensi

aqidahnya. Bukankah ini memang wajib! Bagi setiap orang tua untuk mendidik anaknya

agar menjadi hamba Allah dan khalifah-nya di muka bumi ini?

Ada beberapa contoh tindakan, misalnya dengan membacakan buku-buku cerita-cerita

ilahiyah, kenalkan Allah dan segala konsep ilahiyah lainnya, lalu kisah-kisah perjuangan

Page 11: an Dan Stimulasi Anak Usia Dini

rasulullah dan para sahabat, dan berbagai kisah-kisah positif lainnya. Semua kisah itu

akan membekas amat dalam ke dalam jiwa anak-anak kita! Lalu juga hindari cerita-cerita

dan film-film televisi!

Belajar Membaca untuk Anak Usia Dini

oleh Maya A. Pujiati

Bisa membaca di usia dini mungkin bukanlah segalanya. Ada hal yang lebih penting dari

kemampuan membaca, yang justru agak sering terlewatkan, yaitu bagaimana membuat

anak-anak senang dengan buku dan kegiatan membaca.

Jika pembentukan kebiasaan membaca kurang dibangun, tak jarang, ada anak yang sudah

bisa membaca tetapi tidak tertarik dengan buku.

Akan tetapi, tidaklah pula berlebihan jika orang tua mulai menyediakan media belajar

membaca (apapun itu) pada saat anak-anak terlihat begitu antusias dengan buku dan

kegiatan membaca, meskipun mereka masih berusia balita atau bahkan batita.

Kontroversi tentang hal tersebut memang masih selalu hangat dibicarakan dan tak pernah

ada habisnya dari waktu ke waktu. Beberapa pihak bahkan melarang orang tua atau guru

untuk mengajarkan keterampilan membaca pada usia dini, dengan alasan takut anak-anak

jadi terbebani, sehingga mereka menjadi benci dengan kata “belajar”.

Namun sejauh pengalaman saya, selama prinsip belajar ‘fun’ yang dikembangkan, materi

apapun yang diajarkan kepada anak usia dini selalu direspon dengan baik dan anak-anak

suka untuk belajar. Mengajak anak-anak untuk belajar membaca menurut saya jauh lebih

baik daripada membiarkan mereka menonton TV seharian. Tanpa kita sadari

sesungguhnya anak-anak juga belajar sesuatu lewat TV, yang sayangnya lebih banyak

berupa hal-hal negatif daripada hal-hal yang positif.

Seputar metode belajar

Metode mengajar balita membaca sangatlah beragam. Karena begitu beragamnya, lagi-

Page 12: an Dan Stimulasi Anak Usia Dini

lagi kita akan menemukan perbedaan dasar pemikiran dari metode-metode tersebut.

Meskipun kadang-kadang sering mencuat pertentangan yang tajam antar berbagai

metode, kita tak perlu bingung. Kenali saja semua konsep yang ditawarkan, dan kenali

pula gaya belajar anak-anak kita. Jika metode dan gaya belajar cocok, kita bisa lebih

mudah memotivasi anak untuk belajar.

Berdasarkan telaah saya, sejauh ini di dunia belajar ini dikenal 2 metode besar, yaitu

metode terstruktur dan metode tidak terstruktur (acak). Keduanya tidak lebih baik atau

lebih jelek dari yang lainnya. Metode terstruktur dan tidak terstruktur (acak) bisa saling

melengkapi sesuai karakter dua belahan sisi otak kita yang kini populer dengan istilah

otak kiri dan otak kanan.

Otak kiri memiliki karakteristik yang teratur, runut (sistematis), analitis, logis, dan

karakter-karakter terstruktur lainnya. Kita membutuhkan kerja otak kiri ini untuk

menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan data, angka, urutan, dan

logika.

Adapun karakteristik otak kanan berhubungan dengan rima, irama, musik, gambar, dan

imajinasi. Aktivitas kreatif muncul atas hasil kerja otak kanan.

Melalui deskripsi tentang karakteristik dua belahan otak tersebut, kita tentu bisa melihat

bahwa keduanya tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kita. Apa jadinya para kreator-

kreator seni jika tak punya tim manajemen yang handal. Bisa kita bayangkan pula sepi

dan monotonnya dunia ini jika penghuninya hanyalah para ahli matematika atau

akuntansi yang selalu sibuk dengan angka. Secara personal, kita pun akan menjelma

menjadi orang yang “timpang” jika tidak mampu menyeimbangkan kinerja dua sisi otak

kita. Kita pun bisa tumbuh menjadi orang yang “ekstrem” dalam memandang belajar dan

cara belajar.

Selain metode belajar, karakteristik anak-anak juga perlu kita ketahui dan pahami agar

kita bisa merancang model-model belajar yang menarik minat anak. Beberapa

karakteristik anak secara umum adalah sebagai berikut:

Page 13: an Dan Stimulasi Anak Usia Dini

1. Konsentrasi lebih pendek (relatif)

2. Tidak suka diatur/dipaksa

3. Tidak suka dites

Ketiga ciri tersebut jelas menunjukkan kepada kita bahwa mengajar balita membaca tak

bisa dilakukan dengan cara-cara orang dewasa. Kita membutuhkan teknik-teknik yang

lebih bervariasi dan adaptif terhadap kecenderungan anak-anak. Dan hanya satu kegiatan

yang bisa melumerkan 3 karakteristik di atas yaitu BERMAIN. Mengapa? Karena dalam

bermain anak-anak tidak menemukan tes, paksaan, dan batas waktu. Ketika bermainlah

anak-anak menemukan kebebasan dirinya untuk berekspresi. Ketika bermain pula mereka

menemukan kesenangan mereka.

Model-model belajar membaca untuk inspirasi

1.  Belajar membaca lewat kosa kata

Kosa kata adalah pembentuk kalimat. Lewat kosa kata yang makin beragam, kalimat

yang kita keluarkan pun akan semakin kaya. Lewat kosa kata, anak-anak akan belajar tak

hanya kemampuan membaca tetapi juga perbendaharaan dan pemahaman akan kata-kata

yang akan mereka gunakan dalam berbicara.

Variasi yang bisa digunakan diantaranya, kartu kata yang disajikan dengan model Glen

Doman, poster kata yang ditempel di dinding, buku-buku bergambar yang kalimatnya

pendek dan ukuran hurufnya cukup besar. Prinsip yang dipakai dari metode tersebut

adalah belajar dengan melakukannya. BELAJAR MEMBACA dengan MEMBACA.

Hal-hal khusus yang menyertai model ini adalah kemungkinan anak-anak untuk

mengenal pola lebih lama. Artinya, bisa jadi untuk bisa benar-benar membaca semua kata

yang diperlihatkan kepada mereka (meski belum diajarkan) membutuhkan waktu yang

cukup lama, tergantung kecepatan anak.

2. Belajar Membaca lewat Suku Kata

Page 14: an Dan Stimulasi Anak Usia Dini

Model ini paling banyak digunakan, terutama di sekolah-sekolah. Prinsip dasarnya adalah

terlebih dulu mengenali pola sebelum masuk pada fase membaca.

Belajar lewat suku kata misalnya ba bi bu be bo dan seterusnya juga memiliki efek

tersendiri, diantaranya kecepatan membaca yang sedikit lambat jika tidak diiringi latihan

langsung lewat buku atau bacaan-bacaan. Mengapa demikian? Karena anak-anak akan

terbiasa dengan membaca pola lebih dulu baru membaca. Kerja otak kiri lebih dominan

dalam hal tersebut.

Untuk mengimbanginya, kita harus lebih sering memotivasi anak untuk membaca kata-

kata secara langsung lewat buku tanpa harus memilah suku katanya.

3.  Belajar membaca dengan mengeja

Model ini di awali dengan pengenalan huruf baru kemudian merangkainya menjadi

gabungan huruf dan kemudian kata. Sebenarnya metode ini sudah jarang digunakan

orang karena memang terbukti cukup sulit bagi anak.

Kerja otak kiri akan semakin dominan jika kita memakai metode ini. Anak-anak harus

melewati tiga tahapan menuju kata, yaitu huruf, suku kata, lalu kata. Memang ada anak-

anak yang bisa belajar dengan metode ini, tapi lagi-lagi latihan membaca kata secara

intensif harus mengiringinya agar anak-anak merasa percaya diri untuk membaca.

Belajar Multi Metode

Adakalanya spesialisasi itu baik untuk mengenal kedalaman suatu ilmu, tapi dalam

belajar membaca kita bisa mempergunakan multi metode sekaligus tanpa harus merasa

tabu hanya karena teori yang kita peroleh dianggap paling rasional.

Dengan kata lain, kita bisa memperkenalkan pada anak-anak kita semuanya, huruf, suku

kata, ataupun kosa kata. Catatan pentingnya tentu saja: sajikan dengan perasaan riang

sehingga anak-anak kita pun mendeteksi kegembiraan dan ketulusan yang kita berikan

pada mereka. Hal itu jauh lebih berarti dan lebih efektif daripada segudang metode

terhebat sekalipun.

Page 15: an Dan Stimulasi Anak Usia Dini

Sosialisasi juga ternyata berdampak pada

perkembangan anak-anak

Salah satu masalah yang paling banyak dikhawatirkan orang tua kalau anaknya

homeschooling adalah persoalan sosialisasi. Kesannya, anak-anak homeschooling itu

nggak gaul, nggak punya teman, terpenjara di rumah dan tak mampu berorganisasi,

setelah mereka besar nanti.

Terus terang, masalah ini memang sudah lama jadi perhatian saya dan istri saya. Kami

memang berniat dua anak kami, Azkia (6 th) dan Luqman (4 th), nantinya akan

menempuh jalur homeschooling. Kami “memilih” (secara sengaja dan sadar) mereka

berdua, insyaAllah, nggak akan sekolah seperti biasa di sekolah formal. Paling tidak,

sampai tingkat SMU.

Apakah pilihan ini tidak beresiko bagi kedua anak kami? Saya dan istri sering

mendiskusikan berbagai resiko paling jelek yang akan mereka hadapi. Ya, soal profesi

dan masa depan mereka nanti. Soal legalitas dan ijazah. Soal nasib mereka kalau ternyata

kami nggak berhasil, dlsb. Termasuk juga tentu saja soal sosialisasi dan dampak

pergaulan mereka diantara teman-temannya. Bisa jadi ‘kan mereka dipandang “rendah”

karena kesannya “mereka nggak sekolah”.

Tapi, ini jangan diartikan bahwa kami anti-sekolah. Kami sadar betul sekolah sangat

penting.  Namun kami juga sadar bahwa sekolah bukanlah satu-satunya jalan terbaik

yang harus mereka tempuh. Diantara 4 orang anak saya, 2 diantaranya sekolah kok, yang

satu (Nadya) sekarang kelas 2 SMP dan adiknya (Citra) kelas 5 SD. Keduanya bahkan

termasuk unggul (10 besar) di kelas mereka. Citra selalu juara pertama sejak kelas 1

sampai sekarang, bahkan ia juga juara untuk berbagai perlombaan non-akademis (seni,

olahraga, dan ketrampilan lainnya). Saya pribadi bercita-cita mereka sekolah sampai S3.

Lalu mengapa kami memilih homeschooling? Untuk Azkia (6 th), kami merasa ia lebih

nyaman sekolah dengan cara homeschooling. Mungkin karena ia terbentuk sejak kecil

Page 16: an Dan Stimulasi Anak Usia Dini

sudah terbiasa belajar di rumah. Sejak usia 3 th, ia sudah senang belajar. Kesukaannya

pada belajar membuat kami khawatir, ia tak akan “terlayani” oleh sistem sekolah.

Pengetahuannya tentang alam, matematika, bahasa, dan kemampuan logika nya

berkembang “terlalu cepat” menurut saya. Bahkan “mengalahkan” kakak-kakaknya yang

SD atau mungkin yang SMP. Ia melahap buku-buku berbahasa asing hampir setiap hari,

belum lagi buku-buku ensiklopedia dan matematika sekolah. Ia belajar sendiri. Bahkan

kami tak pernah menyuruh atau mendampinginya lagi. Ia telah jadi “mesin belajar” yang

betul-betul mandiri.

Untuk Azkia, dengan keadaaanya begitu, bagaimana kami harus menyekolahkannya?

Ketika kami tanya, apakah ia mau sekolah, dengan mantap dan yakin, ia menjawab

“Tidak!” Apakah kami harus memaksanya? Apakah pilihannya itu salah?

Menurut kami, kecintaannya pada ilmu dan kesukaannya untuk belajar, merupakan harta

yang paling berharga. Kami harus bisa menjaganya. Yang jadi masalah bagi kami

hanyalah bagaimana agar kelak di kemudian hari, jika ia berminat untuk jadi ilmuwan

misalnya, dan harus sekolah ke perguruan tinggi, ia bisa diterima. Setelah kami pelajari

secara mendalam, tampaknya masalah ini sudah bisa kami atasi.

Masalah Sosialiasi

Dalam pandangan saya, kalau orang tua takut memilih homeschooling bagi anak-

anaknya, hanya karena alasan sosialisasi itu terlalu berlebihan. Kemampuan ini selalu

bisa dibangun dan dikembangkan bahkan by desain. Kecerdasan interpersonal anak

memang harus selalu kita kembangkan. Akan tetapi bukan asal-asalan, atau

membiarkannya begitu saja dengan asumsi “mereka bisa dan berkembang dengan

sendirinya”. Tidak!

Anak-anak homeschooling biasanya juga punya komunitas terbatas. Setiap minggu atau

setiap bulan mereka ngumpul “belajar bersama”. Dalam acara itu mereka bisa “belajar”

secara khusus bagaimana bekerjasama, memimpin, berkomunikasi, bersikap sopan,

santun dalam berbahasa, dlsb. By desain. Dan dengan sengaja.

Page 17: an Dan Stimulasi Anak Usia Dini

Selain itu anak-anak juga bisa les atau ikut kursus-kursus keterampilan sesuai minat dan

bakat mereka. Les musik misalnya, atau les bahasa Inggris misalnya. Disana mereka juga

akan melihat berbagai karakter orang lain dan jangan lupa ajarkan mereka bagaimana

menghadapinya.

Sosialisasi sangat berdampak pada perkembangan anak-anak kita. Pengaruh yang paling

terlihat adalah bahasa dan sikap. Saat anak-anak bergaul dengan teman-teman yang biasa

berkata baik, bahasa mereka biasanya terbentuk menjadi baik. Namun bersiaplah saat

anak-anak bergaul dengan teman yang biasa berkata kotor dan kasar, mereka pun

berpotensi untuk terbiasa berkata-kata yang sama.

Karena itu, memilihkan lingkungan sosial yang sehat adalah tugas berat bagi orang tua

masa kini. Karakter dan bahasa negatif tersebar terlalu merata. Televisi, keluarga besar,

tetangga, kampung, dan bahkan sekolah pun tak dijamin bebas dari bahasa-bahasa

negatif.

Saya kira, pendidikan interpersonal dan pengembangan sikap/attitude ini merupakan

kewajiban utama orang tua. Yang penting, kita perlu terus mengetahui apa yang terjadi

dan terus mendampingi anak-anak selama masa belajar mereka sampai usia baligh. Tidak

hanya berlaku untuk anak-anak yang homeschooling. Bahkan juga anak-anak kita yang

sekolah formal. Jangan percayakan soal ini 100% kepada sekolah. Ini tugas kita, orang

tua!