kebergantungan kelembagaan adat suku baduy terhadap das

24
Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup KEBERGANTUNGAN KELEMBAGAAN ADAT SUKU BADUY TERHADAP DAS Disusun oleh: Annis Farhanisa ( Benny Saptomo (4315106950) Priyo Atmojo Widi Andono (4315126793) Qothrun Nada (4315126796) Wulan Dewi Andhari (4315126805)

Upload: qothrun-nada

Post on 16-Jan-2016

48 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kebergantungan Kelembagaan Adat Suku Baduy Terhadap Das

Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup

KEBERGANTUNGAN KELEMBAGAAN ADAT SUKU

BADUY TERHADAP DAS

Disusun oleh:

Annis Farhanisa (

Benny Saptomo (4315106950)

Priyo Atmojo Widi Andono (4315126793)

Qothrun Nada (4315126796)

Wulan Dewi Andhari (4315126805)

PENDIDIKAN GEOGRAFI

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

2014

Page 2: Kebergantungan Kelembagaan Adat Suku Baduy Terhadap Das

BAB I

PENDAHULUAN

3.1 Latar Belakang

Ketergantungan antara pengelolaan sumberdaya dan keanekaragaman hayati

dengan sistem-sistem sosial lokal yang hidup dan berlaku di tengah masyarakat yang di

turunkan oleh nenek moyang mereka masih bisa secara jelas dilihat dalam kehidupan

sehari-hari di daerah pedesaan, baik dalam komunitas-komunitas masyarakat adat yang

pada saat ini populasinya diperkirakan antara 50 – 70 juta orang, maupun dalam

komunitas-komunitas lokal lainnya yang masih menerapkan sebagian dari sistem sosial

berlandaskan pengetahuan dan cara-cara kehidupan yang masih sangat tradisional. Yang

dimaksudkan dengan masyarakat adat di sini adalah mereka yang secara tradisional

tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural dan religius yang erat dengan lingkungan

lokalnya hal ini mengacu pada “Pandangan Dasar dari Kongres I Masyarakat Adat

Nusantara” tahun 1999 yang menyatakan bahwa masyarakat adat adalah komunitas-

komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul secara turun-temurun di atas satu wilayah

adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya

yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan

kehidupan masyarakat.

Masyarakat adat di Indonesia dinilai telah berhasil menjaga dan memperkaya

keanekaan hayati alami secara tradisional. Ini merupakan sebuah kenyataan bahwa

sebagian besar masyarakat adat di Indonesia masih memegang dan menerapkan kearifan

adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain

sesuai dengan kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat, masyarakat adat pada

umumnya memiliki sistem pengetahuan dan pengelolaan sumberdaya lokal yang

diwariskan dan dikembangkan terus-menerus secara turun temurun. Kearifan tradisional

ini, misalnya, bisa dilihat pada komunitas masyarakat adat yang hidup di ekosistem

pegunungan dan perbukitan seperti masyarakat adat Suku Baduy di Lebak Banten Jawa

Barat yang membagi dan mengelola hutan dan mata airnya secara bijak. Di lain wilayah

yang juga di huni berbagai komunitas adat seperti di Kepulauan Maluku dan sebagian

besar di Irian Jaya bagian utara dijumpai sistem-sistem pengaturan alokasi (tata guna)

Page 3: Kebergantungan Kelembagaan Adat Suku Baduy Terhadap Das

dan pengelolaan terpadu ekosistem daratan dan laut yang khas setempat, lengkap dengan

pranata (kelembagaan) adat yang menjamin sistem-sistem lokal ini bekerja secara efektif.

Sampai saat ini hanya sebagian yang sangat kecil saja yang dikenal dunia ilmu

pengetahuan modern tentang sistem-sistem lokal ini. Contoh di antaranya adalah pranata

adat sasi yang ditemukan disebagian besar Maluku yang mengatur keberlanjutan

pemanfaatan atas suatu kawasan dan jenis-jenis hayati tertentu. Contoh lainnya yang

sudah banyak dikenal adalah perladangan berotasi komunitas-komunitas adat “Orang

Dayak” di Kalimantan berhasil mengatasi permasalahan lahan yang tidak subur.

Dari beragamnya sistem-sistem lokal ini bisa ditarik beberapa prinsip-prinsip

kearifan tradisional yang sangat utama, dihormati dan diterapkan oleh komunitas-

komunitas masyarakat adat, yaitu antara lain:

1. Ketergantungan manusia dengan alam yang mensyaratkan keselarasan hubungan

dimana manusia merupakan bagian dari alam itu sendiri yang harus dijaga

keseimbangannya.

2. Penguasaan atas wilayah adat tertentu bersifat eksklusif sebagai hak penguasaan

dan/atau kepemilikan bersama komunitas (comunal property resources) atau

kolektif yang dikenal sebagai wilayah adat (di Maluku dikenal sebagai petuanan,

di sebagian besar Sumatera dikenal dengan ulayat dan tanah marga) sehingga

mengikat semua warga untuk menjaga dan mengelolanya untuk keadilan dan

kesejahteraan bersama serta mengamankannya dari eksploitasi pihak luar. Banyak

contoh kasus menunjukkan bahwa keutuhan sistem kepemilikan komunal atau

kolektif ini bisa mencegah munculnya eksploitasi berlebihan atas lingkungan

lokal.

3. Sistem pengetahuan dan struktur pengaturan (‘pemerintahan’) adat memberikan

kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam

pemanfaatan sumberdaya hutan.

4. Sistem alokasi dan penegakan hukum adat untuk mengamankan sumberdaya

milik bersama dari penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun

oleh orang luar komunitas,

5. Mekanisme pemerataan distribusi hasil “panen” sumberdaya alam milik bersama

yang bisa meredam kecemburuan sosial di tengah-tengah masyarakat.

Page 4: Kebergantungan Kelembagaan Adat Suku Baduy Terhadap Das

3.2 Rumusan Masalah

1. bagaimana ketergantungan masyarakat baduy terhadap daerah aliran sungai?

2. apa saja perubahan yang terjadi di daerah aliran sungai di wilayah ulayat baduy?

3. bagaimana cara masyarakat baduy melestarikan daerah aliran sungai di wilayahnya.

3.3 Tujuan Penulisan

Untuk memenuhi tugas ujian akhir semester dalam mata kuliah Pendidikan

Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Penulisan makalah ini juga untuk mengkaji

informasi mengenai ketergantungan masyarakat baduy terhadap daerah aliran sungai

juga bagaimana cara kelembagaan adat baduy dengan kearifan lokal yang mereka miliki

dalam menjaga daerah aliran sungai di kawasan tanah ulayat mereka.

Page 5: Kebergantungan Kelembagaan Adat Suku Baduy Terhadap Das

Bab II

Kajian Pustaka

2.1 Hakikat Daerah Aliran Sungai

Dengan semakin meningkatnya jumlah populasi manusia, maka semakin

meningkat pula penggunaan lahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dapat dilihat

dengan jelas bentuk-bentuk penggunaan lahan di sekitar kita, seperti hutan alam, hutan

tanaman, agroforestri, tegal, sawah, ladang, badan air, daerah pemukiman, areal

pertambangan, dll. Bentuk-bentuk penggunaan lahan ini dikenal sebagai tata-guna lahan.

Tata-guna lahan penyusun daerah administratif dan daerah aliran sugai (DAS) itu sama.

Mereka menempati ruang atau bentang lahan (landscape) yang sama. Artinya daerah

administratif dan daerah aliran sugai (DAS) itu sama, yang membedakan antara

keduanya adalah bentuk batas daerahnya. Kita telah mengenal struktur daerah

administratif seperti negara, provinsi, kabupaten, kecamatan dan desa. Daerah aliran

sugai (DAS) juga terbagi kedalam DAS, sub-DAS, sub-sub-DAS, dst. Batas daerah

administratif ditentukan atau dibuat oleh manusia; bentuk atau wujudnya biasanya adalah

sungai, jalan, atau pal batas. Sementara batas DAS sifatnya alami, yaitu berujud

punggung bukit atau gunung. Berikut ini dicontohkan beberapa definisi DAS yang

dikemukakan oleh para ahli.

1. Linsley (1949) : DAS adalah keseluruhan daerah yang diatus oleh sistem sungai

sehingga seluruh aliran dan daerah tersebut dikeluarkan melalui outlet tunggal.

Page 6: Kebergantungan Kelembagaan Adat Suku Baduy Terhadap Das

2. Brooks dkk. (1991) DAS (watershed) merupakan suatu areal atau daerah yang

dibatasi oleh bentuk topografi yang didrainasi oleh suatu sistem aliran yang

membentuk suatu sungai yang melewati titik out-let dan total area di atasnya.

3. Pedoman Penyusunan Pola-RLKT (1994) : DAS adalah suatu daerah tetentu yang

bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa sehingga merupakan satu kesatuan

dengan sungai dan anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya

untuk menampung air yang berasal dan curah hujandan sumber air lainnya,

penyimpanannya serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum

alam sekelilingnya demi kesinambungan daerah tersebut. Esensinya, DAS adalah

salah satu wilayah daratan yang menerima air hujan, menampung dan

mengalirkannya melalui sungai utama ke laut/ danau. Satu DAS dipisahkan dan

wilayah lain disekitamya (DAS-DAS lain) oleh pemisah alam topografi, seperti

punggung bukit dan gunung. Dari pengertian tersebut boleh jadi suatu DAS akan

melingkupi dua, tiga atau lebih daerah administratif.

2.2 Hakikat Masyarakat Suku Baduy

Di Provinsi Banten terdapat suku asli, yaitu Suku Baduy. Sebutan "Baduy"

merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat

tersebut, berawal dari sebutan para peneliti  yang agaknya mempersamakan mereka

dengan kelompok  yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden)

seperti halnya suku bangsa Arab yang memiliki nama hampir sama juga, yaitu suku

Badui. Konon katanya, sebutan “baduy” diberikan oleh pemerintahan kesultanan Banten

Page 7: Kebergantungan Kelembagaan Adat Suku Baduy Terhadap Das

ketika itu terhadap masyarakat asli banten yang enggan untuk menerima ajaran islam

seperti halnya suku badui di masa nabi Muhammad Saw. Dan atas sikap penolakan

mereka terhadap islam, sehingga mereka diasingkan ke daerah pedalaman.

Masyarakat Baduy tepatnya berada di wilayah Kecamatan Leuwidamar yang

perkampungannya berada di sekitar aliran sungai Ciujung dan Cikanekes di Pegunungan

Keundeng atau sekitar 172 km sebelah barat ibukota Jakarta dan 65 km sebelah selatan

ibu kota Serang. Daerah ini dikenal sebagai wilayah tanah titipan dari nenek moyang, ya-

ng harus dipelihara dan dijaga baik-baik, tidak boleh dirusak. Masyarakat Baduy

memiliki tanah adat (tanah ulayat) kurang lebih sekitar 5.136 hektar yang terletak di

Pegunungan Keundeng. Mereka memiliki prinsip hidup cinta damai, tidak mau

berkonflik dan taat pada tradisi lama serta hukum adat.

Kadang kala suku Baduy juga menyebut dirinya sebagai orang Kanekes atau

"orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu

kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo. Masyarakat suku Baduy sendiri

terbagi dalam tiga kelompok. Kelompok terbesar disebut dengan Baduy Luar atau Urang

Panamping yang tinggal disebelah utara Kanekes. Mereka berjumlah sekitar 7 ribuan

yang menempati 28 kampung dan 8 anak kampung. Mereka tinggal di desa Cikadu,

Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, yang mengelilingi wilayah baduy dalam.

Masyarakat Baduy Luar mempunyai ciri khas seperti mengenakan pakaian dan ikat

kepala berwarna hitam atau batik banten. Suku Baduy Luar biasanya sudah banyak

Page 8: Kebergantungan Kelembagaan Adat Suku Baduy Terhadap Das

berbaur dengan masyarakat Sunda lainnya. selain itu mereka juga sudah mengenal

kebudayaan luar, seperti bersekolah, memakai pakaian modern dan memakai bahan-

bahan kimia seperti make up, sabun dan pasta gigi. Sedangkan di bagian selatannya

dihuni masyarakat Baduy Dalam. Suku Baduy Dalam merupakan suku asli Sunda Banten

yang masih menjaga tradisi anti modernisasi, baik cara berpakaian maupun pola hidup

lainnya. Diperkirakan mereka berjumlah 800an orang yang tersebar di Kampung

Cikeusik, Cibeo dan Cikartawana. Suku Baduy Dalam tinggal di pedalaman hutan dan

masih terisolir dan belum masuk kebudayaan luar. Masyarakat Baduy memiliki kepala

adat yang berwenang untuk membuat peraturan-peraturan yang harus dipatuhi.

Pemimpin-pemimpin tersebut tinggalnya di tiga wilayah baduy dalam, tiap wilayah

baduy dalam memiliki pemimpin yang disebut dengan Pu’un yang di bawahnya atau

wakilnya yang di sebut serat, dan di bawah serat ada jaro.

Page 9: Kebergantungan Kelembagaan Adat Suku Baduy Terhadap Das

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Ketergantungan Masyarakat Suku Baduy Terhadap Daerah Aliran Sungai

Pada pengamatan yang kami lakukan di dua kampung yaitu Desa Gajeboh

(Baduy Luar) dan Desa Cibeo (Baduy Dalam) sangat terlihat bahwa para tetua tersebut

masih berpegang teguh dan menerapkan peraturan-peraturan anti modernisasi terutama

pada masalah “air” yang memang sumber utamanya adalah mata air dan sungai. Tetatpi

ada perbedaan mendasar mengenai peraturan mengenai DAS di kedua daerah ini, pada

kampung Gajeboh (baduy luar) peraturan mengenai DAS dan mata air sudah agak

melonggar, dapat dilihat dari di perbolehkannya berkegiatan yang bersangkutan dengan

penggunaan air dengan bahan kimia seperti sabun, detergen, dan lain-lain, sedangkan

pada daerah Cibeo (Baduy dalam) yang wilayahnya berada di dalam hutan dan dekat

dengan hutan lindung yang terdapat mata air, maka hukum dan peraturan mengenai DAS

di wilayah ini sangat ketat dan di pegang teguh oleh para keluarga yang tinggal di

Kampung Cibeo ini demi menjaga kelestarian sumber mata air yang mengaliri sungai-

sungai di kawasan baduy.

Pada kedua kampung ini dilalui oleh beberapa aliran sungai yang masih terjaga

kealamiannya. Masyarakat terlihat sangat jelas masih sangat bergantung dengan

keberadaan sungai. Semua kegiatan sehari-hari yang membutuhkan air semuanya di

lakukan dan mengandalkan daerah aliran sungai, mereka tidak menggunakan air tanah

Page 10: Kebergantungan Kelembagaan Adat Suku Baduy Terhadap Das

karena berbenturan dengan adat yang anti modernisasi. Karena ketergantungan mereka

terhadap daerah aliran sungai maka mereka menjaga kelestarian sumber air dan sungai

dengan membagi dua kawasan hutan, yaitu hutan lindung atau hutan larangan dan hutan

garapan. Dimana hutan lindung berfungsi untuk menjadi daerah resapan air sehingga

airnya tetap bersirkulasi dengan baik. Sedangkan hutan garapan berfungsi untuk

dijadikan ladang pengahasilan bagi masyarakat baduy dalam dan luar. Akan tetapi pada

daerah hutan garapan, masyarakat baduy ini juga tidak habis membabat hutan sampai ke

akarnya, mereka menyisakan akar pohon di hutan garapan atau menancapkan kembali

batang-batang pohon yang nantinya akan tumbuh kembali. Mereka juga tidak menebangi

pohon di hutan garapan yang terdapat sumber mata airnya karena mereka paham betul

akan pentingnya sumber-sumber mata air yang telah tersedia walaupun itu berada di

dalam hutan yang boleh di garap tetap harus mereka jaga keberadaannya.

“menjaga sungai tidak bisa jika hanya di lakukan sendirian, kami menjaga sungai

bersama-sama keluarga yang ada di wilayah ini” –Santa

4.2 Perubahan yang Terjadi Di Daerah Aliran Sungai Di Wilayah Ulayat Baduy

Masyarakat Baduy yang sampai sekarang ini taat mengikuti adat-istiadat untuk

menjaga lingkungan terutama daerah aliran sungai sehingga pada wilayah baduy itu sendiri

masih terjaga kelestariannya. Hal inilah yang menjadi daya tarik bagi masyarakat luar yang

ingin melihat dan mengenal keindahan dan keunikan wilayah baduy maupun masyarakatnya

Namun, karena banyaknya pengunjung atau wisatawan mengunjungi suku Baduy membuat

orang luar yang mengunjungi wilayah Baduy semakin meningkat sampai dengan ratusan

orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga

para pengunjung dewasa lainnya. Pengunjung atau wisatawan yang datang ke wilayah Baduy

ini masih banyak yang belum bisa menaati peraturan dan hukum adat Baduy mengenai

kelestarian daerah aliran sungai sepenuhnya, banyak yang melanggar peraturan adat yang

ada di baduy dalam seperti, memakai pasta gigi, sabun, atau bahan kimia lainnya untuk

keperluan aktifitas MCK, dan masih banyak pengunjung yang membuang sampah

sembarangan terutama tisu basah dan sampah bekas bungkus makanan di sekitar daerah

aliran sungai yang seharusnya dijaga kealamiannya. Tetapi masyarakat Baduy tidak tinggal

diam mengenai hal ini, mereka sudah memiliki solusi untuk mengolah sampah dengan cara

yang masih sederhana, yaitu dengan memisahkan sampah organik dan anorganik. Sampah

Page 11: Kebergantungan Kelembagaan Adat Suku Baduy Terhadap Das

organik mereka biarkan membusuk dan hancur dengan sendirinya. Sedangkan sampah

anorganik seperti botol plastik dan karung mereka kumpulkan untuk di daur ulang, dan

sampah plastik bekas pembungkus lainnya mereka kumpulkan kemudian di bakar di luar

pemukiman. Dalam proses pengolahan sampah ini belum adanya turun tangan dari

pemerintah. Karena wilayah baduy kini sekarang sudah menjadi objek wisata yang ramai

pengunjung masyarakat baduy mengharapkan adanya bantuan pemerintah, untuk menangani

masalah sampah terutama di daerah aliran sungai agar kelamiannya tetap terjaga.

Kondisi sungai pada daerah hulu kampung Cibeo belum banyak berubah hal ini

bebeda dengan keadaan pada daerah aliran sungai kampung Gajeboh. Karena peraturan adat

di Baduy luar lebih longgar dan aksesibilitas kampung Gajeboh lebih mudah dijangkau

daripada Cibeo maupun wilayah baduy dalam lainnya maka menjadikan kampung tersebut

lebih banyak dikunjungi dan menjadi tempat transit para wisatawan, sehingga sampah lebih

banyak dan tidak terkontrol.

Dari sini dapat terlihat bahwa semakin ke hilir atau semakin jauh mengalirnya aliran

sungai Ciujung, semakin kotor dan tercemar. Manusia-manusia modern yang tinggal di hilir

kurang mampu merawat dan melestarikan DAS Ciujung itu sendiri sehingga semakin jauh

mengalir air sungai Ciujung pun semakin memprihatinkan keadaannya, tidak jarang juga

menghasilkan musibah seperti banjir.

4.3 Kearifan Lokal untuk Menjaga Daerah Aliran Sungai

Masyarakat baduy memiliki cara dan kearifan yang unik untuk bersahabat dan

berdamai dengan alam sebagai bagian dari tempat tinggal dan sumber penghidupan

mereka. Aturan dan norma yang menjadi pedoman bagi masyarakat baduy dalam

Page 12: Kebergantungan Kelembagaan Adat Suku Baduy Terhadap Das

mengelola sumber daya alam di sekitar mereka, termasuk di dalamnya, yaitu air. Dapat

dilihat jika kita berkunjung ke baduy, rumah-rumah desa di baduy selalu berdekatan

dengan sumber air, yaitu sungai ciujung. Tiap desa di baduy memiliki batas masing-

masing di sungai ciujung, batas ini sebagai acuan untuk orang baduy dalam mengelola

dan merawat air sungai ciujung. Aturan adat ini juga bertujuan mencegah terjadinya

eksploitasi berlebih dari masing-masing individu terhadap air. Aya Mursid menjelaskan,

aturan itu untuk menjalankan petuah nenek moyang orang baduy yang berpesan, ‘yang

panjang jangan dipanjangkan, yang pendek jangan dipendekkan’, maksudnya kata Aya

Mursid, hidup berdampingan dengan alam harus sederhana dan tak berlebih. Selain itu,

orang baduy menambah ketatnya pelastarian alam mereka dengan upacara adat, salah

satu upacara tersebut yang bernama, upacara kawalu. Upacara ini pada dasarnya bagi

orang baduy adalah melakukan bersih-bersih kampung, baik baduy luar dan baduy

dalam. Di moment upacara kawalu ini pula, orang baduy melakukan pembersihan

terhadap sampah-sampah yang berada di sungai ciujung. Sedikit informasi, bulan kawalu

adalah bulan suci bagi orang baduy, selama bulan lawalu, akan diadakan beberapa

upacara adat lama orang baduy khususnya di kampung baduy dalam.

Dari segi pertanian, masyarakat baduy amat menghargai datangnya curah hujan

sebagai sumber utama pengairan tanah pertanian mereka. Mereka tidak mau merusak

tanah di sekeliling tanah pertanian untuk mendapatkan air atau menemukan sumber mata

air, jika musim kememarau tiba, air-air yang berada di sungai Ciujung yang membentang

luas di pemukiman orang baduy luar sampai ke hutan larangan yang berada di baduy

dalam digunakan sebagai sumber untuk mengairi tanah mereka. Penerapan cara tidak

merusak struktur tanah hanya untuk mendapatkan sumber mata air untuk pengairan

pertanian menjadi bagian dari hukum adat masyarakat baduy, fungsinya adalah untuk

tidak membuat kerusakan pada apa yang telah ada di dalam tanah tersebut seperti akar

pepohonan. Menurut Aya Mursid, bahwa setiap pohon memiliki karakteristik di akarnya

yang telah ‘menyatu’ dengan sumber mata air yang berada di dalam tanah, dan kita

manusia menurut Aya Mursid tidak diperkenankan untuk merusak akar-akar tanaman

tersebut.

Page 13: Kebergantungan Kelembagaan Adat Suku Baduy Terhadap Das

Oleh karena itu, kegiatan utama orang Baduy, pada hakekatnya terdiri dari

pengelolaan lahan untuk kegiatan pertanian (ngahuma) dan pengelolaan serta

pemeliharaan hutan dan sumber air untuk perlindungan lingkungan. Tata guna lahan di

Baduy dapat dibedakan menjadi : lahan pemukiman, pertanian, dan hutan tetap. Lahan

pertanian adalah lahan yang digunakan untuk berladang dan berkebun, serta lahan-lahan

yang dibiarkan. Hutan tetap adalah hutan-hutan yang dilindungi oleh adat, seperti hutan

lindung, dan hutan lindungan kampung (hutan lindungan lembur) yang terletak di sekitar

mata air atau gunung yang dikeramatkan. Mengenai soal keramatnya hutan larangan

tersebut, ada hal yang ternyata bertujuan lain dengan adanya sebutan keramat di hutan

tersebut, Aya Mursid menyebut bahwa adanya mata air di dalam hutan tersebut menjadi

hal yang wajib untuk dilindungi oleh masyarakat baduy dengan berbagai cara. Dengan

cara mengkeramatkan hutan tersebut adalah bertujuan untuk membuat orang luar baduy

menjadi enggan untuk mengunjungi hutan tersebut. 

Aliran Sungai Ciujung yang melintas di wilayah Baduy termasuk di dalam hutan

larangan mengalir menuju utara dan bermuara di Laut Jawa dekat dengan Kota Jakarta.

Sungai Ciujung merupakan sungai besar yang dimanfaatkan oleh beberapa wilayah yang

dilaluinya, terutama untuk sumber air baku PDAM dalam penyediaan air bersih di

perkotaan. Dengan demikian wilayah Baduy yang merupakan bagian hulu Sungai

Ciujung merupakan daerah penting yang harus tetap dijaga kelestariannya. Kondisi hutan

larangan menjadi area yang sangat penting terhadap sistem hidrologi Sungai Ciujung.

Page 14: Kebergantungan Kelembagaan Adat Suku Baduy Terhadap Das

Yang juga menarik dari penerapan kearifan lokal masyarakat baduy dalam

mengelola dan menjaga lingkungan, khususnya pada air bisa terlihat dengan jelas ketika

kami mengunjungi desa Cibeo yang termasuk tiga desa baduy dalam. Aliran sungai

Ciujung yang berada di tepat batas masuk desa Cibeo amat sangat jernih, berbanding

jauh dengan kondisi sungai Ciujung yang berada di kawasan baduy luar. Jika orang luar

selama di kawasan baduy luar masih leluasa untuk mempergunakan segala macam

barang atau produk kimia untuk mandi, cuci muka, cuci baju, dan lain-lain maka

memasuki desa Cibeo ada aturan adat yang menyebut bahwa semua barang yang

mengandung unsur kimia, seperti sabun mandi, sabun pencuci muka, detergen, dan lain

sebagainya dilarang untuk dibawa masuk ke desa baduy dalam dengan tujuan yang

sangat jelas, masyarakat baduy tidak ingin zat berbahaya tersebut masuk ke dalam aliran

sungai Ciujung yang seperti kami sebutkan diatas aliran sungai Ciujung melintas masuk

ke daerah hutan larangan, tempat yang amat dijaga kelestariannya oleh orang baduy.

Page 15: Kebergantungan Kelembagaan Adat Suku Baduy Terhadap Das

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari paparan diatas, dapat disimpulkan, bahwa alam dan manusia pada

hakikatnya tidak dapat di pisahkan karena manusia itu sendiri merupakan bagian dari

alam, bahkan manusia hidupnya sangat bergantung dengan alam yang utamanya adalah

air yang berperan sebagai sumber kehidupan bagi manusia. Kearifan lokal orang baduy

haruslah menjadi pembelajaran dan contoh untuk kita semua bagaiamana kita

memperlakukan air sebagai bagian dari alam dan memperlakukan tanah sebagai tempat

mengalirnya air. Usaha masyarakat baduy untuk menjaga kelestarian hulu sungai tidak

banyak membantu jika masyarakat di bagian hilir DAS merusak DAS itu sendiri

sehingga musibah banjir seringkali berakibat buruk di wilayah hilir sungai, kesulitan air

bersih juga sering di alami karena penggunaan bahan kimia dan pembuangan sampah

pada hilir DAS. Musibah banjir yang melanda bukan semata azhab Tuhan Yang Maha

Esa, akan tetapi ada faktor tangan kotor manusia yang membuat alam memberikan

ganjaran terhadap perbuatan kita tersebut. Belajar dari kearifan lokal orang baduy yang

amat sederhana tersebut harusnya bisa membuat kita meyakini bahwa alam bisa menjadi

sahabat untuk kita ketika perbuatan kita didasari prinsip kesederhaaan seperti apa yang

disebut orang baduy, ‘Yang Panjang Jangan Dipanjangkan, Yang Pendek Jangan

Dipendekkan’.

3.2 Saran dan Solusi

Pemerintah seharusnya lebih memperhatikan dan mendukung kearifan-kearifan lokal

masyarakat Suku Baduy dalam mempertahankan kelestarian lingkungan wilayah

ulayat Baduy terutama DAS. Seperti pada kutipan berikut “Terkait dengan keberadaan

komunitas tradisional-lokal adalah istilah kearifan lokal. Hakikatnya istilah kearifan

lokal identik dengan istilah kebijaksanaan setempat (local wisdom), pengetahuan

setempat (local knowledge) dan kecerdasan setempat (local genius).” (Permana,

20102: 1-10), karen sesungguhnya masyarakat baduy lebih adil dan bijak dalam

mengelola tanah ulayatnya dan mereka berpikir jauh kedepan bagaimana nanti

keturunan mereka akan tinggal jika mereka tidak menjaga tanah ulayatnya. Maka

Page 16: Kebergantungan Kelembagaan Adat Suku Baduy Terhadap Das

pemerintah dan masyarakat di luar baduy harus sadar dan mendukung semua ini

bahkan mencontoh mereka dalam memperlakukan alam.

Pemerintah dan masyarakat modern memenuhi dan menghormati hak-hak masyarakat

Suku Baduy.

Pembatasan pengunjung dan pengetatan peraturan yang telah di terapkan oleh

masyarakat baduy dan membangun kesadaran pengunjung untuk menghormati dan

menaati peraturan adat yang ada.

Ketika suatu bangsa atau masyarakat yang sudah mengenal modernisasi seharusnya di

imbangi oleh edukasi dan sosialisasi, begitu juga dengan masyarakat baduy yang

sangat membutuhkan sosialisasi dalam penanganan sampah-sampah modern yang di

bawa oleh wisatawan.

Penambahan luasan hutan lindung atau wilayah tanah ulayat Suku Baduy dan

merapatkan wilayah ulayat baduy dengan vegetasi untuk pencegahan erosi di hulu

DAS.

Pemberian dana bantuan untuk mengelola dan merawat wilayah tanah ulayat baduy.

Pemberian modal kepada pemuda baduy yang kami nilai sangat kreatif dalam

pembuatan kerajinan yang berkualitas, sehingga para pemuda bisa di berdayakan pada

sektor yang tidak merusak atau merambah hutan-hutan yang nantinya akan berakibat

pada rusaknya sumber-sumber mata air.

Page 17: Kebergantungan Kelembagaan Adat Suku Baduy Terhadap Das

Daftar Pustaka