suku baduy

40
1. SUKU BADUY 1.1 Sejarah Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Baduy adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Baduy sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-oraang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala’ (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah

Upload: rizky-adan

Post on 03-Jan-2016

400 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: Suku Baduy

1. SUKU BADUY

1.1 Sejarah

Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten

merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Baduy adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Baduy sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-oraang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala’ (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau ‘Sunda Asli’ atau Sunda Wiwitan (wiwitann=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiks.

1.2 Bahasa

Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes ‘dalam’ tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.

1.3 Kebudayaan

Provinsi Banten memiliki masyarakat tradisional yang masih memegang teguh adat tradisi yaitu suku baduy yang tinggal di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar

Page 2: Suku Baduy

Kabupaten Lebak. Baduy atau biasa disebut juga dengan masyarakat kanekes adalah nama sebuah kelompok masyarakat adat Sunda di Banten. Suku Baduy tinggal di pedalaman Jawa Barat, desa terakhir yang bisa di jangkau oleh kendaraan adalah desa Ciboleger (jawa barat). Dari desa ini kita baru bisa memasuki wilayah suku baduy luar. Tetapi sebelum kita masuk kewilayah suku baduy kita harus melapor dulu dengan pimpinan adatnya yang disebut Jaro. Dalam melaksanakan upacara tertentu, masyarakat Baduy menggunakan kesenian untuk memeriahkannya. Adapun keseniannya yaitu Seni Musi (lagu daerah yaitu Cikarileu dan Kidung (pantun) yang digunakan dalam acara pernikahan). Alat musik (angklung Buhun dalam acara menanam padi dan alat musik kecapi). Dan seni Ukir Batik

1.4 Mata Pencaharian

Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.

1.5 Sistem Religi (Kepercayaan)

Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari ‘pikukuh’ (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep “tanpa perubahan apapun”, atau perubahan sesedikit mungkin: Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung. (Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)

Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.

Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya puun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan.

Page 3: Suku Baduy

Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003a).

Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.

2. SUKU BUGIS

2.1 Sejarah

Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang

terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.

Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi

Page 4: Suku Baduy

Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene Kepulauan).

2.2 Bahasa

Etnik Bugis mempunyai bahasa tersendiri dikenali sebagai Bahasa Bugis (Juga dikenali sebagai Ugi). Konsonan di dalam Ugi pula dikenali sebagai Lontara yang berdasarkan tulisan Brahmi. Orang Bugis mengucapkan bahasa Ugi dan telah memiliki kesusasteraan tertulis sejak berabad-abad lamanya dalam bentuk lontar. Huruf yang dipakai adalah aksara lontara, sebuah sistem huruf yang berasal dari Sanskerta. Seperti halnya dengan wujud-wujud kebudayaan lainnya. Penciptaan tulisanpun diciptakan karena adanya kebutuhan manusia untuk mengabdikan hasil-hasil pemikiran mereka.

2.3 Kebudayaan

Orang Bugis zaman dulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah didatangi titisan langsung dari “dunia atas” yang “turun” (manurung) atau dari “dunia bawah” yang “naik” (tompo) untuk membawa norma dan aturan sosial ke bumi (Pelras, The Bugis, 2006).

Umumnya orang-orang Bugis sangat meyakini akan hal to manurung, sehingga setiap orang yang merupakan etnis Bugis, tentu mengetahui asal-usul keberadaan komunitasnya. Penamaan “Ugi” merujuk pada raja pertama kerajaan Cina (bukan negara Cina, tapi yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We‘ Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu‘, ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We‘ Cudai dan melahirkan beberapa anak, termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar. Sawerigading Opunna Ware‘ (Yang Dipertuan Di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk Banggai, Kaili, Gorontalo, dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton. Peradaban awal orang–orang Bugis banyak dipengaruhi juga oleh kehidupan tokoh-tokohnya yang hidup di masa itu, dan diceritakan dalam karya sastra terbesar di dunia yang termuat di dalam La Galigo atau sure‘ galigo dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio dan juga tulisan yang berkaitan dengan silsilah keluarga bangsawan, daerah kerajaan, catatan harian, dan catatan lain baik yang berhubungan adat (ade‘) dan kebudayaan–kebudayaan di masa itu yang tertuang dalam Lontara‘.

2.4 Mata Pencaharian

Page 5: Suku Baduy

Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.

2.5 Sistem Religi (Kepercayaan)

Selain memiliki adat istiadat masa lalu yang erat kaitannya dengan animisme dan dinamisme atau penyembahan roh dan berhala, namun ada juga sistem kepercayaan masyarakat Bugis. Pada umumnya sistem kepercayaan suku Bugis terbagi menjadi 2, yakni sistem kepercayaan To Lotang dan Agama Islam.

1. Sistem Kepercayaan To LotangTo Lotang dalam bahasa Bugis artinya “orang selatan”. Kepercayaan To Lotang adalah kepercayaan yang menyembah Dewata Sawwae sebagai Tuhan. Kepercayaan ini ada dikarenakan pendirinya mendapatkan ilham dari Sawerigading. Sawerigading inilah yang pertama kali memuja Dewata Sawwae. Sistem kepercayaan ini memiliki penganut kurang lebih 15 ribu jiwa. Persebaran masyarakat yang menganut sistem kepercayaan ini ada di wilayah Amparita, Kecamatan Tellu Limpoe, Kabupaten Sindendreng Rappang. Kepercayaan ini memiliki sebuah kitab suci yang diberi nama La Galigo. Isi yang ada dalam kitab ini diamalkan secara turun temurun dan ditularkan secara lisan oleh uwak atau tokoh agama kepada para pengikutnya. Dalam sistem kepercayaan ini ada 7 tokoh agama yang diketuai oleh seorang Uwak Battoa. Dari 7 tokoh agama tersebut, 6 tokoh diantaranya mengurusi permasalahan seperti masalah sosial, usaha tanam dan penyelenggaraan ritual kepercayaan. Pada zaman dulu, masyarakat ini sering mengungsi ke daerah lain di Sumatera Selatan, namun pada tahun 1609, masyarakat ini diberikan tempat oleh Rja Sindendreng di Amparita hingga saat ini.

2. Agama Islam dalam masyarakat BugisAgama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Bugis sejak abad ke-17 adalah Islam. Masyarakat Minangkabau yang membawa Islam ke tanah Bugis, utamanya pada da’i dari daerah Sumatera Barat. Para da’i membagi wilayah penyebaran Islam dalam 3 wilayah yang berbeda. Ada Abdul Makmur yang ditugaskan untuk menyiarkan Agama Islam di tanah Gowa dan Tallo. Suleiman diperintah untuk mengajarkan Islam di daerah Luwu, sedangkan untuk daerah Bulukumba, Nurdin Ariyani terpilih untuk bersyiar disana. Pada masa itu suku Bugis memiliki banyak kerajaan, diantaranya Wajo, Soppeng, Makassar dan Bone. Hal ini mengakibatkan seringnya terjadi konflik di masa lalu yang umumnya dipicu oleh perebutan daerah kekuasaan dan sumber daya alam. Pada masa itu Islam datang yang memicu kebesaran kerajaan Gowa dan Tallo untuk menyingkirkan konflik yang ada. Kerajaan inilah yang menghasilkan pahlawan terkenal, Sultan Hasanudin.

Page 6: Suku Baduy

3. SUKU MADURA

3.1 Sejarah

Dikisahkan bahwa ada suatu negara yang bernama Mendang kamulan dengan seorang Raja yang bernama Sang yang tunggal beliau mempunyai anak gadis bernama Bendoro Gung. Yang pada suatu hari hamil dan diketahui Ayahnya. Raja amat marah karena kehamilan putri kesayangannya tidak bisa masuk akal

akhirnya dia menyuruh sang Patih yang bernama Pranggulang untuk membunuh anaknya itu. Karena tidak tega melihat putri Bendoro Gung maka ia tidak membunuh anak Raja itu melainkan mengasingkannya ke tepi laut sambil berucap pergilah ke “Madu Oro” (waktu itu hanya sebuah 2 bukit di tengah laut yang kemudian sekarang tempat tersebut disebut gunung Geger di Bangkalan dan bukit yang kedua adalah gunung Pajudan Sumenep) dan patih yang baik hati itu tidak kembali ke Istana dengan alasan takut di bunuh oleh raja karena telah melalaikan tugasnya, dia juga merubah namanya dengan Ki Poleng serta melepas pakaian kebangsawanannya dan diganti dengan kain tenun (kain sederhana yang kemudian menjadi ciri khas orang Madura). Putri raja yang hamil malang merasa perutnya sakit dan segera ia memanggil Ki Poleng dengan cara mengepakkan kakinya kebumi sebanyak 3 kali sesuai petunjuknya dulu. Tidak lama kemudian Ki Poleng datang dan mengatakan bahwa Bendoro Gung akan melahirkan anak. Akhirnya putra tersebut yang diberi nama Raden Segoro (artinya laut, sebab dia lahir ditengah laut). Maka dapat disimpulkan bahwa istilah Madura berasal dari akar kata Madu Oro yang merupakan lontaran dari patih yang bijaksana dalam menyimbolkan 2 bukit ditengah lautan. Sedangkan asal usul penduduk pulau Madura merupakan anak cucu dari Raden Segoro dari ibu Bendoro Gung.

3.2 Bahasa

Bahasa Madura adalah bahasa yang digunakan Suku Madura. Suku Madura terkenal karena gaya bicaranya yang blak-blakan serta sifatnya yang temperamental dan mudah tersinggung, tetapi mereka juga dikenal hemat, disiplin, dan rajin bekerja.

3.3 Kebudayaan

Kesenian merupakan bagian dari budaya yang menjadi ciri khas suatu daerah tersebut. Kesenian juga sebagai sarana seseorang dalam mengekspresikan yang ada dalam jiwa manusia. Sebagai salah satu suku yang besar, madura memiliki kebudayaan tradisional yang banyak, bernilai tinggi, beragam, dan besar sebagai identitas ciri khas suku madura tersebut. Contoh:

Page 7: Suku Baduy

a. Upacara Pelet KandhungUpacara yang diadakan untuk seorang ibu yang sedang mengandung. Penyelenggaraan upacara pelet kandhung ini diadakan ketika seorang perempuan yang sedang mengandung telah mencapai tujuh bulan. Sebelum upacara pelet kandhung pada masa kehamilan bulan pertama diadakan upacara nandai, setelah upacara nandai akan diletakan sebuah biji bigilan atau beton (biji nangka) disebuah tatakan yang diletakan di atas meja dan setiap bulannya akan ditambahkan 1 biji sampai biji tersebut berjumlah 7 yang menandakan kehamilan genap mencapai 7 bulan maka akan diadakan upacara pelet kandhung atau pelet betteng. Upacara ini diperingati dengan sangat meriah namun hanya saat kehamilan pertama kalinya, walaupun upacara pelet kandhung tetap dilaksanakan pada saat kehamilan namun tidak semeriah pertama kalinya.

b. Batik MaduraSebagai karya seni budaya batik madura banyak diminati dan digemari oleh konsumen lokal maupun interlokal karena bentuk dan motifnya yang khas madura mempunyai keunikan tersendiri. Corak ragamnnya yang unik dan bebas serta sistem produksinya yang dikerjakan satuan, masih mempertahankan cara-cara tradisional dan senantiasa menggunakan bahan alami dan ramah lingkungan sehingga itu menjadi daya tarik tersendiri. Batik bukan hanya sehelai kain namun sudah menjadi ikon budaya yang sering menjadi penelitian banyak institusi. Motif dan warna batik yang tertuang pada kain itu dapat menggambarkan dan merefleksikan masyarakatnya.

c. Musik SaronenSebagai suku yang terkenal berwatak keras, polos, terbuka, dan hangat sehingga jenis musik saronen yang berirama mars dan riang sangat sesuai dengan masyarakat suku madura. Musik saronen adalah musik yang biasanya mengiringi karapan sapi dengan irama sarka yaitu permainan musik cepat dan dinamis, dan irama lorongan jhalan (irama sedang) diiringi saat perjalanan menuju lokasi karapan sapi. Juga digunakan untuk mengiringi pengantin yang keluar dari pintu gerbang menuju pelaminan dengan irama lorongan toju’ memainkan lagu-lagu gending yang lembut. Ciri-ciri dari alat musik ini terletak pada model gendang yang menggelembung besar dibagian tengahnya.

d. Tari DuplangTari ini merupakan tari yang spesifik, unik dan langka. Keunikannya adalah karena tarian ini menggambarkan seorang wanita desa yang bekerja sebagai petani dan terlupakan. Dijalin dan dirangkai dengan gerakan-gerakan indah, lemah lembut, dan lemah gemulai. Langkanya adalah karena tingkat kesulitan yang sangat tinggi sehingga membuat banyak penari segan untuk mempelajarinya, tidak heran jika tari duplang tidak dikenal.

e. Karapan SapiKarapan sapi adalah salah satu tradisi perlombaan yang ada di madura dan merupakan kesenian khas madura. Karapan sapi diperkenalkan pada abad ke 15 (1561 M). Permainan ini diadakan tidak jauh dari kegiatan bertani dan untuk memberikan motivasi

Page 8: Suku Baduy

kepada petani sebagai kewajibannya terhadap ladang sawahnya dan untuk meningkatkan produksi ternak sapi. Tapi seiring berjalannya waktu, lomba karapan sapi ini tidak seperti dulu dan disalah gunakan sehingga lebih banyak mudharat dibanding manfaatnya. Walaupun karapan sapi telah menjadi trande mark dan identitas kekayaan masyarakat madura. Pada sektor pariwisata karapan sapi merupakan pemasok terbesar APBD madura, dari sinilah para wisatawan manca negara maupun domestic datang ke madura. Namun untuk saat ini para wisatawan enggan untuk datang menonton karena mereka melihat penyiksaan terhadap binatang tersebut dengan mengunakan senjata tajam agar sapinya menjadi pemenang dan tidak sedikit penonton menjadikan perlombaan karapan sapi sebagai ajang perjudian.

Dari banyaknya kebudayaan yang ada di madura, suku madura juga tidak lepas dari carok dan celuritnya. Karena merupakan salah satu bagian dalam memperjuangkan harga diri bagi suku madura. Carok dalam bahasa kawi kuno artinya perkelahian. Hal ini dilakukan sebagai cara orang madura untuk menyelesaikan suatu masalah, pemicunya seperti perebutan kedudukan, perselingkuhan, rebutan tanah, maupun dendam turun-temurun. Dan celurit itu merupakan senjata yang digunakan oleh masyarakat madura saat carok itu terjadi.

3.4 Mata Pencaharian

Mata pencaharian penduduk Madura adalah bertani dan berternak. Akan tetapi hasil pertanian tidak dapat menghidupi seluruh penduduknya sehingga sebagian besar penduduknya bekerja sebagai pedagang, nelayan dan pembuat garam. Kurangnya kesuburan tanah dan pengairan yang tidak memadai, menyebabkan banyak penduduk Madura yang bermigrasi ke pulau Jawa dengan alasan utama untuk mencari nafkah. Proses perpindahan ini melalui bermacam saluran seperti perdagangan, pelayaran, penangkapan ikan dan ekspedisi militer. Alasan lain penduduk Madura bermigrasi, menurut J.Van Goor yang dikutip oleh Sutjipto, adalah untuk menghindarkan diri dari wajib militer, pemerasan atau tekanan dari bupati dan dari perlakuan hukum yang semena-mena. Karena itu, sampai saat ini banyak dijumpai orang Madura di daerah Jawa Timur.

3.5 Sistem Religi (Kepercayaan)

Suku madura merupakan salah satu suku yang dikenal identik dengan tradisi islam yang sangat kuat. Islam begitu meresap dan mewarnai pola kehidupan masyarakat madura. Bagi masyarakat suku madura betapa pentingnya nilai-nilai keagamaan yang terungkap dari ajaran abantal syahadat, asapo’ angina, apajung allah yang artinya suku madura sangat religius. Suku madura merupakan salah satu pemeluk agama islam yang sangat taat, sehingga mereka akan merasa aneh ataupun kurang simpati bahkan jika identitas kemaduraannya hilang lingkungan sosial ‘akan menolak’ dan orang yang bersangkutan

Page 9: Suku Baduy

akan merasa terasingkan dari akar madura, apabila ada orang madura yang tidak memeluk agama islam. Namun ada juga masyarakat madura yang memeluk agama lain selain islam bukan karena faktor bawaan dari lahir, melainkan faktor perkawinan silang dan transmigrasi penduduk ke luar pulau madura. Religiusitas masyarakat suku madura telah dikenal luas sebagai bagian dari keberagaman kaum muslim di Indonesia yang berpegang teguh pada tradisi-tradisi islam yang telah melekat sehingga dapat menepak realitas kehidupan sosial budayanya. Walau seperti itu kekentalan dan kelekatan ajaran keislaman masyarakat madura tidak selalu mencerminkan nilai-nilai normative ajaran agamanya. Kondisi tersebut dapat dipahami karena penetrasi ajaran islam masyarakat madura yang dipandang relative berhasil masuk ke dalam komunitas suku Madura dalam realitas interaksi dengan kompleksitas variable elemen-elemen sosiokultural yang melingkupinya, terutama variable keberdayaan ekonomi, orientasi pendidikan, dan perilaku politik. Hasil penetrasi islam tersebut ke dalam tradisi islam yang diajarkan sehingga dapat menampakkan karakteristik yang khas serta unik bagi masyarakat madura tersebut. Pemahaman dan penafsiran atas ajaran tradisi islam yang normative pada warga suku madura dalam perkembangan yang terjadi berjalan seiring dengan kontekstualitas konkret budaya yang ternyata begitu dipengaruhi oleh lingkup lokalitas. Dalam perwujudannya kebergamanan etnisitas komunal ternyata menampakkan diri dalam bentuk local tradition atau tradisi asli dimana islam merupakan sebagai great tradition atau tradisi hebat yang membentuk konsepsi tentang realitas yang mengakomodasi kenyataan sosiokultural masyarakatnya atau suatu komunitas yang dibentuk. Kehadiran dan keberadaan islam yang masuk ke dalam suatu entitas sosial budaya telah menjadi “Gerakan aktualkultural” yang mengakomodasi dialog dalam atau dengan beragam segmentasi kehidupan sehingga wajah islam normative memungkinkan mengalami perubahan walaupun hanya pada sisi periferalnya.

4. SUKU SUNDA

4.1 Sejarah

Pada tahun 1998, suku Sunda berjumlah lebih kurang 33 juta jiwa, kebanyakan dari mereka hidup di Jawa Barat. Diperkirakan 1 juta jiwa hidup di provinsi lain. Berdasarkan sensus tahun 1990 didapati bahwa Jawa Barat memiliki populasi terbesar dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia yaitu 35,3 juta orang. Demikian pula penduduk kota mencapai 34,51%, suatu jumlah

yang cukup berarti yang dapat dijangkau dengan berbagai media. Kendatipun demikian, suku Sunda adalah salah satu kelompok orang yang paling kurang dikenal di dunia. Nama mereka sering dianggap sebagai orang Sudan di Afrika dan salah dieja dalam ensiklopedi. Beberapa koreksi ejaan dalam komputer juga mengubahnya menjadi Sudanese. Sejarah

Page 10: Suku Baduy

singkat pra-abad 20 ini dimaksudkan untuk memperkenalkan orang Sunda di Jawa Barat kepada kita yang melayani di Indonesia. Pada abad ini, sejarah mereka telah terjalin melalui bangkitnya nasionalisme yang akhirnya menjadi Indonesia modern.

4.2 Bahasa

Bahasa yang digunakan oleh suku ini adalah bahasa Sunda. Bahasa Sunda adalah bahasa yang diciptakan dan digunakan sebagai alat komunikasi oleh Suku Sunda, dan sebagai alat pengembang serta pendukung kebudayaan Sunda itu sendiri. Selain itu bahasa Sunda merupakan bagian dari budaya yang memberi karakter yang khas sebagai identitas Suku Sunda yang merupakan salah satu Suku dari beberapa Suku yang ada di Indonesia.

4.3.1 Kebudayaan

Suku sunda adalah salah satu suku yang memiliki berbagai kebudayaan daerah, diantaranya pakaian tradisional, kesenian tradisional, bahasa daerah, dan lain sebagainya. Diantara kebudayaan daerah yang dimiliki oleh suku sunda adalah sebagai berikut:

1. Pakaian Adat/Khas Jawa BaratSuku sunda mempunyai pakaian adat yang sangat terkenal, yaitu kebaya.2. Kesenian Khas Jawa Barata. Wayang GolekWayang Golek ini menampilkan golek yaitu semacam boneka yang terbuat dari kayu yang memerankan tokoh tertentu dalam cerita pawayangan serta dimainkan oleh seorang Dalang dan diiringi oleh nyanyian serta iringan musik tradisional Jawa Barat yang disebut dengan degung.b. JaipongJaipong menampilkan penari dengan menggunakan pakaian kebaya, serta diiringi musik tradisional Jawa Barat yang disebut Musik Jaipong. c. DegungDegung merupakan salah-satu kesenian yang paling populer di Jawa Barat, karena iringan musik degung ini selalu digunakan dalam setiap acara hajatan yang masih menganut adat tradisional, selain itu musik degung juga digunakan sebagai musik pengiring hampir pada setiap pertunjukan seni tradisional Jawa Barat lainnya.d. Rampak GendangRampak Gendang ini adalah permainan menabuh gendang secara bersama-sama dengan menggunakan irama tertentu serta menggunakan cara-cara tertentu untuk melakukannya, pada umumnya dimainkan oleh lebih dari 4 orang yang telah mempunyai keahlian khusus dalam menabuh gendang.e. Pencak SilatPada awalnya pencak Silat ini merupakan tarian yang menggunakan gerakan tertentu yang gerakannya itu mirip dengan gerakan bela diri. Pada umumnya pencak silat ini dibawakan oleh 2 orang atau lebih, dengan memakai pakaian yang serba hitam,

Page 11: Suku Baduy

menggunakan ikat pinggang dari bahan kain yang diikatkan dipinggang, serta memakai ikat kepala dari bahan kain yang orang sunda menyebutnya Iket.f. SisingaanSisingaan ditampilkan dengan cara menggotong patung yang berbentuk seperti singa yang ditunggangi oleh anak kecil dan digotong oleh empat orang serta diiringi oleh tabuhan 4 dan terompet.g. Kuda LumpingKuda Lumping dimainkan dengan cara mengundang roh halus sehingga orang yang akan memainkannya seperti kesurupan. Kesenian ini dimainkan dengan cara orang yang sudah kesurupan itu menunggangi kayu yang dibentuk seperti kuda serta diringi dengan tabuhan gendang dan terompet. Keanehan kesenian ini adalah orang yang memerankannya akan mampu memakan kaca serta rumput. Selain itu orang yang memerankannya akan dicambuk seperti halnya menyambuk kuda. Biasanya kesenian ini dipimpin oleh seorang pawang.h. Kacapi SulingKacapi suling ini biasanya digunakan untuk mengiringi nyanyian sunda yang pada umumnya nyanyian atau lagunya dibawakan oleh seorang penyanyi perempuan, yang dalam bahasa sunda disebut Sinden.

4.4 Mata Pencaharian

Mayoritas masyarakat Sunda berprofesi sebagai petani dan berladang, ini disebabkan tanah Sunda yang subur. Sampai abad ke-19, banyak dari masyarakat Sunda yang berladang secara berpindah-pindah. Selain bertani, masyarakat Sunda seringkali memilih untuk menjadi pengusaha dan pedagang sebagai mata pencahariannya, meskipun kebanyakan berupa wirausaha kecil-kecilan yang sederhana, seperti menjadi penjaja makanan keliling, membuka warung atau rumah makan, membuka toko barang kelontong dan kebutuhan sehari-hari, atau membuka usaha cukur rambut, di daerah perkotaan ada pula yang membuka usaha percetakan, distro, cafe, rental mobil dan jual beli kendaraan bekas. Profesi pedagang keliling banyak pula dilakoni oleh masyarakat Sunda, terutama asal Tasikmalaya dan Garut. Chairul Tanjung, Eddy Kusnadi Sariaatmadja, dan Sandiaga Uno merupakan contoh-contoh pengusaha berdarah Sunda yang berhasil. Chairul Tanjung dan Eddy Kusnadi Sariaatmadja bahkan masuk ke dalam daftar 40 orang terkaya di Indonesia yang dirilis majalah Forbes pada tanggal 29 November 2012. Profesi lainnya yang banyak dilakoni oleh orang Sunda adalah sebagai pegawai negeri, penyanyi, seniman, dokter, diplomat dan pengusaha.

4.5 Sistem Religi (Kepercayaan)

Pada saat ini sebagian besar masyarakat Sunda menganut agama Islam. Selain Islam juga terdapat penganut Katolik, Kristen, Hindu, dan Buddha. Dalam masyarakat Sunda mengenal tahap kehidupan seseorang yang ditandai dengan berbagai upacara dan

Page 12: Suku Baduy

selamatan, seperti: acara perkawinan, turun tanah, kelahiran, dan sunatan. Selamatan dipimpin oleh modin desa (guru ngaji) yang diawali dengan al-Fatihah dan diakhiri juga dengan pembacaan surah al-Fatihah. Hidangan selamatan tidak jauh berbeda dengan adat Jawa, yaitu berupa tumpeng.

5. SUKU DANI

5.1 Sejarah

Suku Dani Papua, Perkampungan yang pertama kali diketahui di Lembah Baliem diperkirakan sekitar ratusan tahun yang lalu. Banyak eksplorasi di dataran tinggi pedalaman Papua yang dilakukan. Salah satu diantaranya yang pertama adalah Expedisi Lorentz pada tahun 1909-

1910 (Netherlands), tetapi mereka tidak beroperasi di Lembah Baliem. Kemudian penyidik asal Amerika yang bernama Richard Archold anggota timnya adalah orang pertama yang mengadakan kontak dengan penduduk asli yang belum pernah mengadakan kontak dengan negara lain sebelumnya. Ini terjadi pada tahun 1935. kemudian diketahui bahwa penduduk Suku Dani adalah para petani yang terampil dengan menggunakan kapak batu, alat pengikis, pisau yang terbuat dari tulang binatang, bambu atau tombak kayu dan tongkat galian. Pengaruh Eropa dibawa ke para Missionaris yang membangun pusat Missi Protestan di Hetegima sekitar tahun 1955. Kemudian setelah Bangsa Belanda mendirikan kota Wamena maka agama Katholik mulai berdatangan.

5.2 Bahasa

Bahasa Dani terdiri dari 3 sub keluarga bahasa, yaitu: Sub keluarga Wano di Bokondini, Sub keluarga Dani Pusat yang terdiri atas logat Dani Barat dan logat lembah Besar Dugawa dan Sub keluarga Nggalik & ndash. Bahasa suku Dani termasuk keluarga bahasa Melansia dan bahasa Papua tengah (secara umum).

5.3 Kebudayaan

Kebudayannya yang mengkhususkan diri untuk menyajikan produk-produk seni dan budayanya. Selain tari perang, budayanyapun menawarkan 6 acara penting lain yang hampir selalu digelar. Salah satunya adalah pertunjukan Pikon atau musik tradisional yang digelar untuk menghibur seluruh pengunjung. Sedangkan bagi para pemuda, perang suku dianggap sebagai ajang mencari jati diri untuk menjadi manusia sejati, ulet dan bermartabat demi kemajuan wilayahnya, baik sekarang dan masa depan. Artinya, bila tak ada perang maka jangan harap panen dan ternak babi akan berhasil dan sehat. Kalau sudah begini, merekapun harus bersiap diri untuk menghadapi musim paceklik. Yang jadi

Page 13: Suku Baduy

kebanggaan budaya suka Dani yaitu terdapatnya Lembah Baliem yang menjadi tempat penyelenggaraan festival budaya tahunan terbesar di tanah Papua ini. Lembah sepanjang 80 km dan lebar 20 km ini masuk dalam peta dunia, yang menyebutkan bahwa terdapat sekelompok suku-suku primitif yang hidup di lembah ini. Selain sebagai ‘rumah’, Lembah Baliem kerap menjadi arena perang oleh suku-suku yang bertikai dan menjadi arena pembantaian mereka yang berperang demi kejayaan suku yang dibanggakannya.

5.4 Mata Pencaharian

Mata pencaharian suku bangsa Dani adalah bercocok tanam ubi kayu dan ubi jalar yang disebut hipere. Selain berkebun, mata pencaharian suku bangsa Dani adalah beternak babi. Babi dipelihara dalam kandang yang bernama wamai. Bagi suku bangsa Dani, babi memiliki manfaat yang cukup banyak, antara lain dagingnya untuk dimakan, tulang-tulangnya untuk pisau dan hiasan, dan darahnya untuk perlengkapan upacara adat.

5.5 Sistem Religi (Kepercayaan)

Dasar religi masyarakat Dani yaitu menghormati roh nenek moyang dan juga diselenggarakannya upacara yang dipusatkan pada pesta babi. Konsep kepercayaan / keagamaan yang terpenting adalah Atou, yaitu kekuatan sakti para nenek moyang yang diturunkan secara patrilineal (diturunkan kepada anak laki-laki). Kekuasaan sakti ini antara lain, kekuatan menjaga kebun, kekuatan menyembuhkan penyakit dan menolak bala, kekuatan menyuburkan tanah untuk menghormati nenek moyangnya, suku Dani membuat lambang nenek moyang yang disebut Kaneka. Selain itu juga adanya Kaneka Hagasir yaitu upacara keagamaan untuk menyejahterakan keluarga masyarakat serta untuk mengawali dan mengakhiri perang.

6. SUKU BALI AGA

6.1 Sejarah

Bali Aga adalah salah satu subsuku bangsa Bali yang menganggap mereka sebagai penduduk bali yang asli. Bali Aga disebut dengan Bali pegunungan yang mana sejumlah suku Bali Aga terdapat di Desa Trunyan. Istilah Bali Aga dianggap memberi arti orang gunung yang bodoh karena mereka berada didaerah pegunungan yang masih kawasan pedalaman dan belum terjemah

oleh teknologi. Penduduk Bali Aga bertempat tinggal di pegunungan karena mereka menghindari diri dari pendatang yaitu yang disebut Bali Hindu, yang berasal dari

Page 14: Suku Baduy

keturunan Majapahit. Orang Bali Trunyan mempunyai suatu metologi mengenai asal mula mereka yang menyebutkan adanya seorang dewi dari langit yang merupakan wanita leluhur, atas kekuatan sang surya dewi ini hamil dan melahirkan sepasang anak kembar banci dan perempuan. Anak perempuan itu kemudian menikah dengan Raja Jawa dan dari merekalah penduduk Trunyan atau bali Aga berasal.

6.2 Bahasa

Suku Bali Aga sebagian besar menggunakan bahasa Bali yang pengucapannya lebih kasar. Tetapi saat ini, sudah banyak yang menggunakan bahasa Indonesia. Sebagian besar masyarakat Bali adalah bilingual atau bahkan trilingual. Bahasa Inggris adalah bahasa ketiga dan bahasa asing utama bagi masyarakat Bali yang dipengaruhi oleh kebutuhan industri pariwisata.

6.3 Kebudayaan

Pulau Bali merupakan provinsi Indonesia yang sebagian besar penduduknya memeluk agama yang sama yaitu Hindu. Seluruh aspek kehidupan Bali juga sangat dipengaruhi oleh adat-istiadat, hal ini terjadi karena masyarakat bali mempunyai kesadaran akan kebudayaan yang tinggi untuk mempertahankan kebudayaannya, budaya hindu bali yang mereka anut, merupakan perpaduan antara agama hindu yang datang dari india, budha dan kepercayaan bali Aga.

6.4 Mata Pencaharian

Mata pencaharian penduduk beranekaragam yang meliputi pekerjaan sebagai petani, pengerajin, pedagang dan berbagai jasa khususnya bidang kepariwisataan. Bercocok tanam di ladang merupakan mata pencaharian pokok masyarakat Bali Aga dan sebagian besar masyarakat bali adalah petani. Jenis pertanian meliputi pertanian sawah dan perkebunan.

6.5 Sistem Religi (Kepercayaan)

Kepercayaan yang dominan bernafaskan Hindu tersebut menyimpan berbagai upacara keagamaan. Aktivitas upacara keagamaan pada masyarakat Bali Aga muncul dalam frekuensi yang tinggi. Keseluruhan jenis upacara digolongkan ke dalam 5 macam (pancayadnya) yaitu:

1. Manusa Yadnya, meliputi upacara dari masa kehamilan sampai dengan masa dewasa.

2. Pitra Yadnya, merupakan upacara yang ditujukan kepada roh–roh leluhur dan terdiri dari serangkaian upacara.

3. Dewa Yadnya, merupakan upacara–upacara yang diselenggarakan pada pura atau kuil keluarga.

Page 15: Suku Baduy

4. Resi Yadnya, ialah upacara yang diselenggarakan dalam rangka pelantikan seorang pendeta.

5. Bhuta Yadnya, meliputi upacara–upacara yang ditujukan kepada ‘bhuta’ dan ‘kala’, yaitu roh-roh halus disekitar manusia yang dapat mengganggu kehidupan manusia.

7. SUKU ASMAT

7.1 Sejarah

Suku Asmat berada di antara Suku Mappi, Yohukimo dan Jayawijaya di antara berbagai macam suku lainnya yang ada di Pulau Papua. Sebagaimana suku lainnya yang berada di wilayah ini, Suku Asmat ada yang tinggal di daerah pesisir pantai dengan jarak tempuh dari 100 km hingga 300 km, bahkan Suku Asmat yang berada di daerah

pedalaman, dikelilingi oleh hutan heterogen yang berisi tanaman rotan, kayu (gaharu) dan umbi-umbian dengan waktu tempuh selama 1 hari 2 malam untuk mencapai daerah pemukiman satu dengan yang lainnya. Sedangkan jarak antara perkampungan dengan kecamatan sekitar 70 km. Dengan kondisi geografis demikian, maka berjalan kaki merupakan satu-satunya cara untuk mencapai daerah perkampungan satu dengan lainnya. Secara umum, kondisi fisik anggota masyarakat Suku Asmat, berperawakan tegap, hidung mancung dengan warna kulit dan rambut hitam serta kelopak matanya bulat. Disamping itu, Suku Asmat termasuk ke dalam suku Polonesia, yang juga terdapat di New Zealand, Papua Nugini.

7.2 Bahasa

Di dalam suku Asmat juga memiliki bahasa yang khas dan hanya orang daerah tersebut yang tahu. Mereka mengunakan bahasa tersebut karena keturunan dari nenek moyang mereka, meskipun sudah beberapa orang yang mengerti bahasa indonesia tetapi mereka tak ingin bahasa nenek moyang mereka di hilangkan. Bahasa suku asmat sangat banyak peranannya selain untuk berkomunikasi juga untung saling bercengkrama dan digunakan pula untuk mendamaikan orang bertikai. Ada banyak bahasa dalam suku asmat, sebuh penelitian mengatakan ratusan suku yang sama memiliki bahasanya sendiri untuk berkomunikasi, makanya jangan heran jika di suatu wilayah terdapat bahasa yang berbeda beda, maka daripada itu harus ada bahasa pemersatu yang familiar, seperti bahasa indonesia, dan banyak dari tetua adat yang sudah mengetahui bahasa indonesia sehingga ada kemungkinan untuk para warganya juga bisa memahaminya tanpa menghilangkan bahasa khas adat mereka.

Page 16: Suku Baduy

7.3 Kebudayaan

Suku Asmat adalah sebuah suku di Papua. Suku Asmat dikenal dengan hasil ukiran kayunya yang unik. Populasi suku Asmat terbagi dua yaitu mereka yang tinggal di pesisir pantai dan mereka yang tinggal di bagian pedalaman. Kedua populasi ini saling berbeda satu sama lain dalam hal dialek, cara hidup, struktur sosial dan ritual. Populasi pesisir pantai selanjutnya terbagi ke dalam dua bagian yaitu suku Bisman yang berada di antara sungai Sinesty dan sungai Nin serta suku Simai. Dalam kehidupan suku Asmat “batu” yang biasa kita lihat dijalanan ternyata sangat berharga bagi mereka. Bahkan, batu-batu itu bisa dijadikan sebagai mas kawin. Semua itu disebabkan karena tempat tinggal suku Asmat yang membetuk rawa-rawa sehingga sangat sulit menemukan batu-batu jalanan yang sangat berguna bagi mereka untuk membuat kapak, palu, dan sebagainya. Ada banyak pertentangan di antara desa berbeda Asmat. Yang paling mengerikan adalah cara yang dipakai Suku Asmat untuk membunuh musuhnya. Ketika musuh dibunuh, mayatnya dibawa ke kampung, kemudian dipotong dan dibagikan kepada seluruh penduduk untuk dimakan bersama. Mereka menyanyikan lagu kematian dan memenggalkan kepalanya. Otaknya dibungkus daun sago yang dipanggang dan dimakan. Sekarang, kira-kira 100 sampai 1000 orang hidup di satu kampung. Setiap kampung punya satu rumah Bujang dan banyak rumah keluarga. Rumah Bujang dipakai untuk upacara adat dan upacara keagamaan. Rumah keluarga dihuni oleh dua sampai tiga keluarga, yang mempunyai kamar mandi dan dapur sendiri. Suku asmat memiliki cara yang sangat sederhana untuk merias diri mereka. Mereka hanya membutuhkan tanah merah untuk menghasilkan warna merah. untuk menghasilkan warna putih mereka membuatnya dari kulit kerang yang sudah dihaluskan. Sedangkan warnah hitam mereka hasilkan dari arang kayu yang dihaluskan. Cara menggunakannyapun cukup simple, hanya dengan mencampur bahan tersebut dengan sedikit air, pewarna itu sudah bisa digunkan untuk mewarnai tubuh. Selain budaya, penduduk kampung syuru juga amat piawai membuat ukiran seperti suku asmat umumnya. Ukiran bagi suku asmat bisa menjadi penghubung antara kehidupan masa kini dengan kehidupan leluhur. di setiap ukiran bersemayam citra dan penghargaan atas nenek moyang mereka yang sarat dengan kebesaran suku asmat, patung, dan ukiran umumnya mereka buat tanpa sketsa. Bagi suku asmat mengukir patung adalah saat di mana mereka berkomunikasi dengan leluhur yag ada di alam lain. Itu dimungkinkan karena mereka mengenal 3 konsep dunia: Amat ow capinmi (alam kehidupan sekarang), Dampu ow campinmi (alam pesinggahan roh yang sudah meninggal), dan Safar (surga). Percaya sebelum memasuki surga, arwah orang sudah meninggal akan mengganggu manusia. Gangguan bisa berupa penyakit, bencana bahkan peperangan. Maka, demi menyelamatkan manusia serta menebus arwah, mereka yang masih hidup membuat patung dan mengelar pesta seperti pesta patung bis (Bioskokombi), pesta topeng, pesta perahu, dan pesta ulat sagu. Konon patung bis adalah bentuk patung yang paling sakral. Namun kini membuat patung bagi suku asmat tidak sekadar memenuhi panggilan tradisi. Sebab hasil ukiran itu juga mereka jual kepada orang asing di saat pesta ukiran. Mereka

Page 17: Suku Baduy

tahu hasil ukiran tangan dihargai tinggi antara Rp. 100 ribu hingga jutaan rupiah diluar papua. Seperti masyarakat pada umumnya, dalam menjalankan proses kehidupannya, masyarakat Suku Asmat pun melalui berbagai proses, yaitu :

• Kehamilan, selama proses ini berlangsung, bakal generasi penerus dijaga dengan baik agar dapat lahir dengan selamat dengan bantuan ibu kandung atau ibu mertua.

• Kelahiran, tak lama setelah si jabang bayi lahir dilaksanakan upacara selamatan secara sederhana dengan acara pemotongan tali pusar yang menggunakan Sembilu, alat yang terbuat dari bambu yang dilanjarkan. Selanjutnya, diberi ASI sampai berusia 2 tahun atau 3 tahun.

• Pernikahan, proses ini berlaku bagi seorang baik pria maupun wanita yang telah berusia 17 tahun dan dilakukan oleh pihak orang tua lelaki setelah kedua belah pihak mencapai kesepakatan dan melalui uji keberanian untuk membeli wanita dengan mas kawinnya piring antik yang berdasarkan pada nilai uang kesepakatan kapal perahu Johnson, bila ternyata ada kekurangan dalam penafsiran harga perahu Johnson, maka pihak pria wajib melunasinya dan selama masa pelunasan pihak pria dilarang melakukan tindakan aniaya walaupun sudah diperbolehkan tinggal dalam 1 atap. Dalam memenuhi kebutuhan biologisnya, baik kaum pria maupun wanita melakukannya di ladang atau kebun, disaat prianya pulang dari berburu dan wanitanya sedang berkerja di ladang. Selanjutnya, ada peristiwa yang unik lainnya dimana anak babi disusui oleh wanita suku ini hingga berumur 5 tahun.

• Kematian, bila kepala suku atau kepala adat yang meninggal, maka jasadnya disimpan dalam bentuk mumi dan dipajang di depan joglo suku ini, tetapi bila masyarakat umum, jasadnya dikuburkan. Proses ini dijalankan dengan iringan nyanyian berbahasa Asmat dan pemotongan ruas jari tangan dari anggota keluarga yang ditinggalkan.

7.4 Mata Pencaharian

Pada masyarakat yang tingkat peradaban atau kebudayaan masih sederhana, mata pencahariannya juga bersifat sederhana. Sistem mata pencaharian meliputi : berburu dan meramu, bercocok tanam di ladang, bercocok tanam dengan irigasi, berternak dan mencari ikan. Berburu dan meramu merupakan bentuk mata pencaharian yang tertua dan terjadi di berbagai tempat di dunia. Untuk meningkatkan hasil berburu biasanya dengan teknik tertentu misalnya dengan cara ilmu ghaib. Di samping itu ada kebiasaan membagi hasil buruan kepada kerabat maupun tetangga. Sisanya diproses dan dijual kepada msyarakat luar dan ke pasar-pasar. Bercocok tanam di ladang merupakan bentuk bercocok tanam tanpa irigasi, tetapi lambat laun diganti dengan bercocok tanam menetap: bercocok tanam di ladang terdapat di daerah rimba tropik terutama di Asia Tenggara. Bercocok tanam dengan irigasi timbul di berbagai dunia yang terletak di perairan sungai besar, karena tanahnya subur. Beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu masalah tanah,

Page 18: Suku Baduy

modal, tenaga kerja dan masalah teknologi tentang irigasi, konsumsi, distribusi dan pemasaran. Berternak biasanya dilakukan di daerah sabana, stepa dan gurun. Di Asia tengah memelihara kuda, unta kambing dan domba. Mencari ikan juga merupakan mata pencaharian yang tua ini dilakukan manusia zaman purba yang hidup di dekat sungai, danau atau laut.

7.5 Sistem Religi (Kepercayaan)

Dalam kepercayaan masyarakat Asmat, suku bangsa Asmat sekarang ini merupakan keturunan dewa yang turun dari dunia ghaib. Dewa-dewa itu turun ke bumi dan mendarat di suatu tempat di pegunungan. Dari sana mereka berpetualang dengan berbagai tantangan menelusuri sungai hingga tiba di daerah mana suku Asmat berdiam saat ini. Salah satu dewa yang dikenal adalah Fuumeripitsy yang dianggap sebagai nenek moyang suku Asmat di teluk Flaminggo. Masyarakat Asmat mempercayai macam-macam roh yang digolongkan ke dalam 3 jenis, yaitu :

1. Arwah nenek moyang yang baik, yang disebut Yi – ow

2. Arwah nenek moyang yang jahat, yang disebut Osbopan

3. Arwah nenek moyang yang jahat akibat orang itu mati konyol disebut Dambin – ow

Orang Asmat juga mengenal macam-macam upacara keagamaan untuk berkomunikasi dengan arwah nenek moyangnya, antara lain dengan menghiasi perisai, mengukir topeng, atau pembuatan patung. Pembuatan benda-benda ini biasanya dimeriahkan dengan pesta makan, nyanyian dan tarian serta peragaan kisah petualangan dewa Fuumeripitsy dengan gerakan dan dialog.

8. SUKU SASAK

8.1 Sejarah

Asal nama sasak kemungkinan berasal dari kata sak-sak yang artinya sampan. Dalam Kitab Negara Kertagama kata Sasak disebut menjadi satu dengan Pulau Lombok. YakniLombok Sasak Mirah Adhi. Dalam tradisi lisan warga setempat kata sasak dipercaya berasal dari kata "sa'-saq" yang artinya yang satu. Kemudian Lombok berasal dari kata

Lomboq yang artinya lurus. Maka jika digabung kata Sa' Saq Lomboq artinya sesuatu yang lurus. Banyak juga yang menerjemahkannya sebagai jalan yang lurus. Lombo Mirah Sasak

Page 19: Suku Baduy

Adi adalah salah satu kutipan dari kakawin Nagarakretagama ( Desawarnana ), sebuah kitab yang mnemuat tentang kekuasaan dan kepemerintahaan kerajaan Majapahit, gubanan Mpu Prapanca. kata "lombok" dalam bahasa kawi berarti lurus atau jujur, "Mirah" berarti permata, "sasak" berarti kenyataan dan "adi" artinya yang baik atau yang utama. Maka Lombok Mirah Sasak Adi berarti kejujuran adalah permata kenyataan yang baik atau utama.

8.2 Bahasa

Selain bahasa Indonesia, bahasa sehari-hari yang digunakan Suku Sasak adalah

bahasa Sasak. Bahasa Sasak ini juga dipakai oleh masyarakat Pulau Lombok, propinsi

Nusa Tenggara Barat. Bahasa ini mempunyai gradasi sebagaimana Bahasa Bali dan

Bahasa Jawa. Bahasa Sasak mirip dan serumpun dengan Bahasa Bali. Bahasa sasak

mengenal tingkatan bahasa, yaitu Bahasa Dalem, Halus Biasa, dan Kasar (bahasa pasar).

8.3 Kebudayaan

Hingga saat ini di Lombok yang terkenal suku Sasaknya terdapat berbagai macam budaya daerah, yang merupakan aset daerah yang perlu dilestarikan sebagai peninggalan nenek moyang. Kebudayaan Sasak bukan hanya milik Lombok, melainkan sudah termasuk ke dalam kebudayaan Indonesia. Berikut adalah beberapa kebudayaan yang masih berkembang di suku Sasak.

a. Bau Nyale, Upacara ini diadakan setahun sekali. Bagi masyarakat Sasak, bau nyale dipergunakan untuk bermacam-macam keperluan seperti santapan (emping nyale), ditaburkan ke sawah untuk kesuburan padi, lauk-pauk, obat kuat, dan lainnya yang bersifat magis sesuai dengan keyakinan masing-masing.

b. Slober, Kesenian slober alat musik tradisional Lombok yang tergolong cukup tua. Alat-alat musiknya sangat unik dan sederhana yng terbuat dari pelepah enau dengan panjang 1 jengkal dan lebar 3 cm. Kesenian ini salah satu kesenian yang masih eksis sampai saat ini yang biasanya dimainkan pada setiap bulan purnama.

c. Lomba Memaos, Lomba Memaos atau lomba membaca lontar merupakan lomba menceritakan hikayat kerajaan masa lampau. Satu kelompok pepaos terdiri dari 3-4 orang: satu orang sebagai pembaca, satu orang sebagai pejangga, dan satu orang sebagai pendukung vokal. Tujuan pembacaan cerita ini untuk mengetahui kebudayaan masa lampau dan menanamkan nilai-nilai budaya pada generasi penerus.

d. Periseian, Kesenian ini tak lepas dari upacara ritual dan musik yang membangkitkan semangat untuk berperang. Pertandingan akan dihentikan jika salah satu pepadu mengeluarkan darah atau dihentikan oleh juri. Walau perkelahian cukup seru bahkan tak jarang terjadi cidera hingga mengucurkan darah di dalam arena, tetapi di luar arena para pepadu menjunjung tinggi sportifitas dan tidak ada dendam di antara mereka. Inilah pepadu Sasak. Festival periseian diadakan setiap tahun di Kabupaten Lombok Timur dan diikuti oleh pepadu sepulau Lombok.

e. Begasingan, mencerminkan nuansa kemasyarakatan yang tetap berpegangan kepada petunjuk dan aturan yang berlaku di tempat permainan itu. Nilai-nilai yang berkembang

Page 20: Suku Baduy

di dalamnya selalu mengedepankan rasa saling menghormati dan rasa kebersamaan yang cukup kuat serta utuh dalam melaksanakan suatu tujuan di mana selalu menjunjung tinggi nilai-nilai luhur.

f. Bebubus Batu, Prosesi acara ini dipimpin oleh pemangku yang diiringi oleh kiai. Penghulu dan seluruh warga dengan menggunakan pakaian adat membawa sesajen (dulang) serta ayam yang akan dipakai untuk melaksanakan upacara. Upacara Bebubus Batu dilaksanakan setiap tahunnya yang dimaksudkan adalah untuk meminta berkah kepada Sang Pencipta.

g. Tandang Mendet, Tandang Mendet merupakan tarian perang. Tarian ini dimainkan oleh belasan orang yang berpakaian lengkap dengan membawa tombak, tameng, kelewang (pedang bersisi tajam satu), dan diiringi dengan gendang beleq serta syair-syair yang menceritakan tentang keperkasaan dan perjuangan.

h. Sabuk Belo, sabuk yang panjangnya 25 meter dan merupakan warisan turun temurun masyarakat Lombok khususnya yang berada di Lenek Daya. Sabuk Belo biasanya dikeluarkan pada saat peringatan Maulid Bleq bertepatan dengan 12 Rabiul Awal tahun Hijriah. Upacara pengeluaran Sabuk Bleq ini diawali dengan mengusung keliling kampung secara bersama-sama yang diiringi dengan tetabuhan gendang beleq yang dilanjutkan dengan praja mulud dan diakhiri dengan memberi makan kepada berbagai jenis makhluk. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, upacara ini dilakukan sebagai simbol ikatan persaudaraan, persahabatan, persatuan dan gotong royong serta rasa kasih sayang di antara makhluk Tuhan.

i. Gendang Beleq, dimainkan bila ada pesta-pesta kerajaan. Bila terjadi perang berfungsi ia sebagai komandan perang, sedang copek sebagai prajuritnya. Bila datu (raja) ikut berperang, maka payung agung akan digunakan. Sekarang, fungsi payung ini ditiru dalam upacara perkawinan. Gendang Beleq dapat dimainkan sambil berjalan atau duduk. Pada waktu dimainkan, pembawa gendang beleq akan memainkannya sambil menari, demikian juga pembawa petuk, copek, dan lelontok.

8.4 Mata Pencaharian

Secara tradisional mata pencaharian terpenting dari sebagian besar orang Sasak adalah dalam lapangan pertanian. Dalam lapangan pertanian mereka bertanam padi sawah, padi ladang, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kedelai, sorgum. Selain itu, mereka mengusahakan kebun kelapa, tembakau, kopi, tebu. Perternakan merupakan mata pencaharian sambilan. Mereka beternak sapi, kerbau dan unggas. Mata pencaharian lain adalah usaha kerajinan tangan berupa anyaman, barang-barang dari rotan, ukir-ukiran, tenunan, barang dari tanah liat, barang logam, dan lain-lain. Di daerah pantai mereka juga menjadi nelayan. Dalam rangka mata pencaharian tadi mereka menggunakan teknologi berupa pacul (tambah), bajak (tenggale), parang, alat untk meratakan tanah (rejak), kodong, ancok, dan lain-lain.

8.5 Sistem Religi (Kepercayaan)

Majoriti orang Sasak adalah penganut agama Islam yang ortodoks dan mereka dikenali sebagai penganut Wektu Lima. Wektu Lima atau Waktu Lima merujuk kepada amalan

Page 21: Suku Baduy

orang Islam yang bersembahyang lima kali sehari. Istilah Wektu Lima ini digunakan untuk membedakan mereka dari orang Sasak yang mengamalkan agama Islam tempatan yang dikenali sebagai Wetu Telu, yang hanya bersembahyang tiga kali sehari. Terdapat ramai penganut Wetu Telu di sekitar pulau Lombok tetapi bilangan mereka yang paling banyak adalah di kampung Bayan, tempat di mana agama itu dilahirkan. Golongan besar Wetu Telu juga boleh didapati di Mataram, Pujung, Sengkol, Rambitan, Sade, Tetebatu, Bumbung, Sembalun, Senaru, Loyok dan Pasugulan. Terdapat juga sebuah kumpulan kecil orang Sasak yang digelar Bodha (jumlah: 8000 orang) yang menduduki kampung Bentek dan di curam Gunung Rinjani. Agama mereka tidak mempunyai pengaruh Islam dan amalan utama mereka adalah memuja dewa-dewa animisme. Ajaran agama Hindu dan Buddha juga dimasukkan di dalam upacara agama mereka. Agama Bodha mempercayai adanya lima tuhan yang besar, yang paling tinggi dikenali sebagai Batara Guru. Tuhan yang lain adalah Batara Sakti and Batara Jeneng bersama isteri mereka Idadari Sakti dan Idadari Jeneng. Namun kini, penganut agama Bodha sedang diajarkan mengenai agama Buddha yang ortodoks oleh sami-sami yang dihantar oleh persatuan besar Buddha terbesar negara Indonesia.

9. SUKU TORAJA

9.1 Sejarah

Dulu ada yang mengira bahwa Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, adalah tempat asal suku Toraja. Sebetulnya, orang Toraja hanya salah satu kelompok penuture bahasa Austronesia. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi. Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957. Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan Toraja. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit

Page 22: Suku Baduy

orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.

Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen. Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

9.2 Bahasa

Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat,[1] akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja. Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.

9.3 Kebudayaan

1. Tongkonan, pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka.

2. Ukiran kayu, Untuk menunjukkan kosep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.

3. Upacara pemakaman, ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan

Page 23: Suku Baduy

berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan.

4. Musik dan Tarian, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras. Ada beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci. Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling. Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah

9.4 Mata Pencaharian

Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan. Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja. Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan minyak dan pertambangan Multinasional membuka usaha baru di Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu dan minyak, ke Papua untuk menambang, dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985. Ekonomi Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat Toraja memperoleh pendapatan dengan bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnya ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia pada akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik agama di Sulawesi) telah menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara drastis. Toraja lalu dkenal sebagai tempat asal dari kopi Indonesia. Kopi Arabika ini terutama dijalankan oleh pengusaha kecil.

9.5 Sistem Religi (Kepercayaan)

Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua,

Page 24: Suku Baduy

dewa pencipta Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah. Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya. Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.

10. SUKU ACEH

10.1 Sejarah

Penduduk Aceh merupakan keturunan berbagai suku, kaum, dan bangsa. Leluhur orang Aceh berasal dari Semenanjung Malaysia, Cham, Cochin, Kamboja. Di samping itu banyak pula keturunan bangsa asing di tanah Aceh, bangsa Arab dan India dikenal erat hubungannya pasca penyebaran agama Islam di tanah Aceh. Bangsa Arab yang datang ke Aceh banyak yang berasal dari provinsi Hadramaut (Negeri Yaman), dibuktikan dengan marga-marga mereka al-Aydrus, al-Habsyi, al-Attas, al-Kathiri, Badjubier, Sungkar, Bawazier dan lain lain, yang semuanya merupakan marga marga bangsa Arab asal Yaman. Mereka datang sebagai ulama dan berdagang. Saat ini banyak dari mereka yang sudah kawin campur dengan penduduk asli Aceh, dan menghilangkan nama marganya. Sedangkan bangsa India kebanyakan dari Gujarat dan Tamil. Dapat dibuktikan dengan penampilan wajah bangsa Aceh, serta variasi makanan (kari), dan juga warisan kebudayaan Hindu Tua (nama-nama desa yang diambil dari bahasa Hindi, contoh: Indra Puri). Keturunan India dapat ditemukan tersebar di seluruh Aceh. Karena letak geografis yang berdekatan maka keturunan India cukup dominan di Aceh.

Pedagang pedagang Tiongkok juga pernah memiliki hubungan yang erat dengan bangsa Aceh, dibuktikan dengan kedatangan Laksamana Cheng Ho, yang pernah singgah dan

Page 25: Suku Baduy

menghadiahi Aceh dengan sebuah lonceng besar, yang sekarang dikenal dengan nama Lonceng Cakra Donya, tersimpan di Banda Aceh. Semenjak saat itu hubungan dagang antara Aceh dan Tiongkok cukup mesra, dan pelaut-pelaut Tiongkok pun menjadikan Aceh sebagai pelabuhan transit utama sebelum melanjutkan pelayarannya ke Eropa. Selain itu juga banyak keturunan bangsa Persia (Iran/Afghan) dan Turki, mereka pernah datang atas undangan Kerajaan Aceh untuk menjadi ulama, pedagang senjata, pelatih prajurit dan serdadu perang kerajaan Aceh, dan saat ini keturunan keturunan mereka kebanyakan tersebar di wilayah Aceh Besar. Hingga saat ini bangsa Aceh sangat menyukai nama-nama warisan Persia dan Turki. Bahkan sebutan Banda, dalam nama kota Banda Aceh pun adalah warisan bangsa Persia (Bandar arti: pelabuhan). Di samping itu ada pula keturunan bangsa Portugis, di wilayah Kuala Daya, Lam No (pesisir barat Aceh). Mereka adalah keturunan dari pelaut-pelaut Portugis di bawah pimpinan nakhoda Kapten Pinto, yang berlayar hendak menuju Malaka (Malaysia), dan sempat singgah dan berdagang di wilayah Lam No, dan sebagian besar di antara mereka tetap tinggal dan menetap di Lam No. Sejarah mencatat peristiwa ini terjadi antara tahun 1492-1511, pada saat itu Lam No di bawah kekuasaan kerajaan kecil Lam No, pimpinan Raja Meureuhom Daya. Hingga saat ini masih dapat dilihat keturunan mereka yang masih memiliki profil wajah Eropa yang masih kental.

10.2 Bahasa

Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Aceh. Bahasa Aceh adalah sebuah bahasa yang dituturkan oleh suku Aceh yang terdapat di wilayah pesisir, sebagian pedalaman dan sebagian kepulauan di Aceh. Bahasa Aceh termasuk dalam rumpun bahasa Chamic, cabang dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia, cabang dari rumpun bahasa Austronesia.

10.3 Kebudayaan

Corak kesenian Aceh memang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam, namun telah diolah dan disesuaikan dengan nilai-nilai budaya yang berlaku. Seni tari yang terkenal dari Aceh antara lain seudati, seudati inong, dan seudati tunang. Seni lain yang dikembangkan adalah seni kaligrafi Arab, seperti yang banyak terlihat pada berbagai ukiran mesjid, rumah adat, alat upacara, perhiasan, dan sebagainnya. Selain itu berkembang seni sastra dalam bentuk hikayat yang bernafaskan Islam, seperti Hikayat Perang Sabil.

10.4 Mata Pencaharian

Setiap orang untuk yang hidup memerlukan makanan untuk menyambung hidupnya. Dalam suku aceh, untuk mendapatkan makanan sebagian besar dari mereka bekerja sebagai petani dan beternak. Namun, masyarakat yang bermukim di sepanjang pantai pada umumnya menjadi nelayan, dan tidak sedikit juga yang berdagang. Mata pencaharian pokok suku aceh adalah bertani di sawah dan ladang dengan tanaman pokok berupa padi, cengkeh, lada, pala, kelapa dan lain-lain. Disamping bertani, masyarakat suku aceh juga ada yang beternak kuda, kerbau, sapi dan kambing yang kemudian untuk

Page 26: Suku Baduy

dipekerjakan di sawah atau di jual.Untuk masyarakat yang hidup di sepanjang pantai, umumnya mereka menjadi nelayan dengan mencari ikan yang kemudian untuk menu utama makanan sehari-hari atau dijual ke pasar. Bagi masyarakat yang berdagang, mereka melakukan kegiatan berdagang secara tetap (baniago), salah satunya dengan menjajakan barang dagangannya dari kampung ke kampung.

10.5 Sistem Religi (Kepercayaan)

Aceh termasuk salah satu daerah yang paling awal menerima agama Islam. Oleh sebab itu propinsi ini dikenal dengan sebutan "Serambi Mekah", maksudnya "pintu gerbang" yang paling dekat antara Indonesia dengan tempat dari mana agama tersebut berasal. Meskipun demikian kebudayaan asli Aceh tidak hilang begitu saja, sebaliknya beberapa unsur kebudayaan setempat mendapat pengaruh dan berbaur dengan kebudayaan Islam. Dengan demikian kebudayaan hasil akulturasi tersebut melahirkan corak kebudayaan Islam-Aceh yang khas. Di dalam kebudayaan tersebut masih terdapat sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme.