makalah keperawatan jiwa i (halusinasi)

28
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Halusinasi merupakan akibat adanya gangguan dalam proses berpikir dan orientasi realitas. Individu tidak mampu membedakan rangsangan internal dan eksternal. Halusinasi didefinisikan sebagai persepsi sensori dari suatu obyek tanpa adanya suatu rangsangan dari luar. Gangguan persepsi ini meliputi seluruh panca indra. Disfungsi yang terjadi pada halusinasi menggambarkan hilangnya kemampuan menilai realitas, klien hidup dalam dunianya sendiri dan merasa terganggu dalam interaksi sosialnya sehingga menyebabkan gangguan berhubungan sosial, komunikasi susah, dan kadang-kadang membahayakan diri klien, orang lain maupun lingkungan, menunjukan bahwa klien memerlukan pendekatan asuhan keperawatan secara intensif dan komprenhensif. Halusinasi merupakan salah satu gejala yang sering ditemukan pada klien dengan gangguan jiwa, halusinasi sering diidentifisikasikan dengan skizofrenia. Dari seluruh klien skizofrenia 70% diantaranya mengalami halusinasi. Gangguan jiwa lain yang disertai dengan gejala halusinasi adalah gejala panik defensif dan delirium. Berbeda dengan ilusi dimana klien persepsi yang salah terhadap stimulus, salah satu persepsi pada halusinasi terjadi tanpa adanya stimulus internal dipersepsikan sebagai suatu yang nyata pada klien-klien. 1

Upload: mentariae

Post on 16-Nov-2015

98 views

Category:

Documents


20 download

DESCRIPTION

rty

TRANSCRIPT

BAB 1PENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangHalusinasi merupakan akibat adanya gangguan dalam proses berpikir dan orientasi realitas. Individu tidak mampu membedakan rangsangan internal dan eksternal. Halusinasi didefinisikan sebagai persepsi sensori dari suatu obyek tanpa adanya suatu rangsangan dari luar. Gangguan persepsi ini meliputi seluruh panca indra. Disfungsi yang terjadi pada halusinasi menggambarkan hilangnya kemampuan menilai realitas, klien hidup dalam dunianya sendiri dan merasa terganggu dalam interaksi sosialnya sehingga menyebabkan gangguan berhubungan sosial, komunikasi susah, dan kadang-kadang membahayakan diri klien, orang lain maupun lingkungan, menunjukan bahwa klien memerlukan pendekatan asuhan keperawatan secara intensif dan komprenhensif.Halusinasi merupakan salah satu gejala yang sering ditemukan pada klien dengan gangguan jiwa, halusinasi sering diidentifisikasikan dengan skizofrenia. Dari seluruh klien skizofrenia 70% diantaranya mengalami halusinasi. Gangguan jiwa lain yang disertai dengan gejala halusinasi adalah gejala panik defensif dan delirium. Berbeda dengan ilusi dimana klien persepsi yang salah terhadap stimulus, salah satu persepsi pada halusinasi terjadi tanpa adanya stimulus internal dipersepsikan sebagai suatu yang nyata pada klien-klien.

1.2 Rumusan Masalah1. Apakah pengertian halusinasi itu?2. Apa sajakah klasifikasi dari halusinasi?3. Apakah tanda dan gejala dari halusinasi?4. Apakah fase-fase halusinasi?5. Apakah etiologi dari halusinasi?6. Bagaimanakah patofisiologi halusinasi?7. Bagaimanakah pathway halusinasi?8. Bagaimanakah penatalaksanaan untuk pasien dengan halusinasi?

1.3 Tujuan Penulisan1. Tujuan umum.Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pembuatan makalah mata kuliah Keperawatan Jiwa I pada program studi S1-Keperawatan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Muhammadiyah Lamongan.2. Tujuan khusus.1) Untuk mengetahui pengertian halusinasi2) Untuk mengetahui klasifikasi dari halusinasi3) Untuk mengetahui tanda dan gejala dari halusinasi4) Untuk mengetahui fase-fase halusinasi5) Untuk mengetahui etiologi dari halusinasi6) Untuk mengetahui psikopatologi halusinasi7) Untuk mengetahui pathway halusinasi8) Untuk mengetahui penatalaksanaan untuk pasien dengan halusinasi

1.4 Manfaat Penulisan1. Meningkatkan pemahaman tentang pengertian halusinasi2. Meningkatkan pemahaman tentang klasifikasi dari halusinasi3. Meningkatkan pemahaman tentang tanda dan gejala dari halusinasi4. Meningkatkan pemahaman tentang fase-fase halusinasi5. Meningkatkan pemahaman tentang etiologi dari halusinasi6. Meningkatkan pemahaman tentang psikopatologi halusinasi7. Meningkatkan pemahaman tentang pathway halusinasi8. Meningkatkan pemahaman tentang penatalaksanaan untuk pasien dengan halusinasi

BAB IITINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian HalusinasiHalusinasi adalah pencerapan (persepsi) tanpa adanya rangsang apapun pada pancaindra seseorang, yang terjadi pada keadaan sadar/bangun dasarnya mungkin organik, fungsional, psikotik ataupun histerik (Maramis, 1990).Halusinasi merupakan sesuatu pernyataan yang dialami seperti sesuatu persepsi melalui panca indera melalui stimulasi eksternal, persepsi palsu (Lubis, 1993).Halusinasi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami perubahan dalam jumlah dan pola dari stimulasi yang mendekat yang diperkarai secara internal atau eksternal disertai dengan sesutu pengurangan berlebihan-lebihan. Distorsi atau kelainan berespon terhadap setiap stimulus (Townsend MS, 1998).Halusinasi adalah pengalaman panca indera tanpa adanya rangsangan (stimulus) misalnya penderita mendengar suara-suara, bisikan di telinganya padahal tidak ada sumber dari suara bisikan itu (Hawari, 2001).Halusinasi adalah persepsi sensorik yang keliru dan melibatkan panca indera (Isaacs, 2002).Halusinasi adalah gangguan penyerapan atau persepsi panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat terjadi pada sistem penginderaan dimana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh dan baik. Maksudnya rangsangan tersebut terjadi pada saat klien dapat menerima rangsangan dari luar dan dari dalam diri individu. Dengan kata lain klien berespon terhadap rangsangan yang tidak nyata, yang hanya dirasakan oleh klien dan tidak dapat dibuktikan (Nasution, 2003).Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana klien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksteren: persepsi palsu (Maramis, 2005).Halusinasi adalah kesan, respon dan pengalaman sensori yang salah (Stuart, 2007).

2.2 Klasifikasia. Halusinasi penglihatan (halusinasi optik) Apa yang dilihat seolah-olah berbentuk: orang, binatang, barang, atau benda. Apa yang dilihat seolah-olah tidak berbentuk: sinar, kilatan, atau pola cahaya. Apa yang dilihat seolah-olah berwarna atau tidak berwarna.b. Halusinasi auditif/halusinasi akustikHalusinasi yang seolah-olah mendengar suara manusia, suara hewan, suara barang, suara mesin, suara musik, dan suara kejadian alami.c. Halusinasi olfaktorik (halusinasi penciuman)Halusinasi yang seolah-olah mencium suatu bau tertentud. Halusinasi gustatorik (halusinasi pengecap)Halusinasi yang seolah-olah mengecap suatu zat atau rasa tentang sesuatu yang dimakan.e. Halusinasi taktil (halusinasi peraba)Halusinasi yang seolah-olah merasa diraba-raba, disentuh, dicolek-colek, ditiup, dirambati ulat, dan disinari.f. Halusinasi viseralHalusinasi yang seolah-olah ada perasaan tertentu yang timbul di tubuh bagian dalam (mis. Lambung seperti ditusuk-tusuk jarum)g. Halusinasi kinestik (halusinasi gerak)Halusinasi yang seolah-olah merasa badannya bergerak di sebuah ruang tertentu dan merasa anggota badannya bergerak dengan sendirinya.h. Halusinasi hipnagogikPersepsi sensorik bekerja yang salah, yang terdapat pada orang normal, terjadi sebelum tidur.i. Halusinasi hipnopompikPersepsi sensorik bekerja yang salah, pada orang normal, terjadi tepat sebelum bangun tidur.j. Halusinasi histerikHalusinasi yang timbul pada neurosis histerik karena konflik emosional

2.3 Tanda dan GejalaMenurut Keliat (1998), tanda dan gejala yang mungkin muncul yaitu:1) Bicara, senyum dan tersenyum sendiri2) Menarik diri dan menghindari orang lain3) Tak dapat membedakan nyata dan tidak nyata4) Tidak dapat memusatkan perhatian dan konsentrasi5) Curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain dan lingkungan)6) Takut7) Ekspresi wajah tegang, mudah tersinggung.

2.4 Fase-fase HalusinasiHalusinasi yang dialami oleh klien bila berada intensitasnya dan keparahan (Stuart & Laraia membagi halusinasi klien mengendalikan dirinya semakin berat fase halusinasinya. Klien semakin berat mengalami ansietas dan makin dikendalikan halusinasinya lengkap tercantum dalam tabel 1.

Tabel 1 Fase-fase Halusinasi (Stuart & Laraia, 2005)Halusinasi Karakteristik Perilaku Klien

FASE 1Comforting ansietas sebagai halusinasi menyenangkanKlien mengalami perasaan seperti ansietas, kesepian, rasa bersalah dan takut mencoba untuk befokus pada pikiran menyengkan untuk meredakan ansietas individu mengenal bahwa pikiran-pikiran dan pengalaman sensor berada dalam kondisi kesadaran jika ansietas dapat ditangani psikotikTersenyum dan tertawa tidak sesuai menggerekan bibir tanpa suara mengegerkan mata yang cepat dan respon verbal yang lambat jika Sedang asik sendiri meningkat tanda-tanda sarat otonomi

FASE IIComplementingansietas berat halusinasimemberatkanPengalaman sensasi menjijikandan menakutkan, klien mulai lepas kendali dan mungkan mencoba untuk mengambil jaraknya dengan sumber yang dipersepsikan klien mengkin mengalami diperlukan / pengamalan sensori dan menarik diri dari orang lain, psikotik ringanAnsietas seperti peningkatan denyut jantung pernafasan dan tekanan darah, rentang perhatian menyempit asik dengan penglaman sensori dan kehilangan kemampuanmembedakan halusinasi dan realita

FASE IIIControlingansietas beratpengalamn sensorsimenjadi berkuasaKlien berhenti menghentikanperlawanan terhadap halusinasidan menyerah pada halusnasinyamenjadi menarik, klien mengalami pengalaman kesepian jika sensori halusinasinya berhenti psikotikKemampuan dikendalikanhalusinasi akan lebih ditakuti, kerusakan berhubungan dengan orang lain, rentang perhatian hanya beberapa detik / menit adanya tanda-tanda fisik ansietas berat berkeringat, tremor, tidak mampu memahami peraturan

FASE IVConquering panikUmumnya menjadilezat dalamhalusinasinyaPengalaman sensori menjadimengancam jika klien mengikutiperintah halusinasi berakhir dari beberapa jam / hari jika intervensiterapeutif psikoti berat.Perilaku tremor akibat panik,potensi kuat suicida / nomicideaktifitas merefleksikan halusinasi perilaku isi, seperti kekerasan, agitas menarik diri katafonici, tidak mampu merespon terhadap pemerintah, yang komplek tidak mampu berespon lebih dari satu orang.

2.5 Etiologi1) PredisposisiMenurut Stuart (2007), faktor predisposisi terjadinya halusinasi adalah:a. BiologisAbnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh penelitian-penelitian yang berikut:a) Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal dan limbik berhubungan dengan perilaku psikotik.b) Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebihan dan masalah-masalah pada system reseptor dopamin dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia.c) Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (post-mortem).b. PsikologisKeluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien.c. Sosial BudayaKondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stress.2) Faktor PresipitasiSecara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya. Penilaian individu terhadap stressor dan masalah koping dapat mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006).Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:1. BiologisGangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.2. Stress lingkunganAmbang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.3. Sumber kopingSumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.

2.6 PsikopatologiPsikopatologi dari halusinasi yang pasti belum diketahui. Banyak teori yang diajukan yang menekankan pentingnya faktor-faktor psikologik, fisiologik dan lain-lain. Ada yang mengatakan bahwa dalam keadaan terjaga yang normal otak dibombardir oleh aliran stimulus yang yang datang dari dalam tubuh ataupun dari luar tubuh. Input ini akan menginhibisi persepsi yang lebih dari munculnya ke alam sadar. Bila input ini dilemahkan atau tidak ada sama sekali seperti yang kita jumpai pada keadaan normal atau patologis, maka materi-materi yang ada dalam unconsicisus atau preconscious bisa dilepaskan dalam bentuk halusinasi. Pendapat lain mengatakan bahwa halusinasi dimulai dengan adanya keinginan yang direpresi ke unconsicious dan kemudian karena sudah retaknya kepribadian dan rusaknya daya menilai realitas maka keinginan tadi diproyeksikan keluar dalam bentuk stimulus eksterna.

2.7 Pathway

Faktor predisposisi :Faktor BiologisFaktor PsikologisFaktor SosialFaktor Presipitasi:BiologisStress LingkunganSumber KopingKoping Individu Tidak EfektifIsolasi Sosial: Menarik DiriGangguan Persepsi Sensori: Halusinasi (CP)Resiko Perilaku KekerasanKoping Keluarga Tidak EfektifPenatalaksanaan Regimen Terapeutik tidak efektifResiko Kekambuhan

2.8 Penatalaksanaan Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara :1. Menciptakan lingkungan yang terapeutikUntuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan pasien akibat halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan di lakukan secara individual dan usahakan agar terjadi kontak mata, kalau bisa pasien di sentuh atau di pegang. Pasien jangan di isolasi baik secara fisik atau emosional. Setiap perawat masuk ke kamar atau mendekati pasien, bicaralah dengan pasien. Begitu juga bila akan meninggalkannya hendaknya pasien di beritahu. Pasien di beritahu tindakan yang akan di lakukan. Di ruangan itu hendaknya di sediakan sarana yang dapat merangsang perhatian dan mendorong pasien untuk berhubungan dengan realitas, misalnya jam dinding, gambar atau hiasan dinding, majalah dan permainan. 2. Melaksanakan program terapi dokterSering kali pasien menolak obat yang di berikan sehubungan dengan rangsangan halusinasi yang di terimanya. Pendekatan sebaiknya secara persuatif tapi instruktif. Perawat harus mengamati agar obat yang di berikan betul di telannya, serta reaksi obat yang di berikan. 3. Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah yang adaSetelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali masalah pasien yang merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta membantu mengatasi masalah yang ada. Pengumpulan data ini juga dapat melalui keterangan keluarga pasien atau orang lain yang dekat dengan pasien. 4. Memberi aktivitas pada pasienPasien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya berolah raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat membantu mengarahkan pasien ke kehidupan nyata dan memupuk hubungan dengan orang lain. Pasien di ajak menyusun jadwal kegiatan dan memilih kegiatan yang sesuai.5. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatanKeluarga pasien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data pasien agar ada kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam proses keperawatan, misalny dari percakapan dengan pasien di ketahui bila sedang sendirian ia sering mendengar laki-laki yang mengejek. Tapi bila ada orang lain di dekatnya suara-suara itu tidak terdengar jelas. Perawat menyarankan agar pasien jangan menyendiri dan menyibukkan diri dalam permainan atau aktivitas yang ada. Percakapan ini hendaknya di beritahukan pada keluarga pasien dan petugaslain agar tidak membiarkan pasien sendirian dan saran yang di berikan tidak bertentangan.Farmako:1. Anti psikotik:a. Chlorpromazine (Promactile, Largactile)b. Haloperidol (Haldol, Serenace, Lodomer)c. Stelazined. Clozapine (Clozaril)e. Risperidone (Risperdal)2. Anti parkinson:a. Trihexyphenidileb. Arthan

BAB IIIASUHAN KEPERAWATAN

3.1 PengkajianPada tahap ini perawat menggali faktor-faktor yang ada dibawah ini yaitu :1. Faktor predisposisi.Adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Diperoleh baik dari pasien maupun keluarganya, mengenai factor perkembangan sosial kultural, biokimia, psikologis dan genetik yaitu factor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Faktor PerkembanganJika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal terganggu maka individu akan mengalami stress dan kecemasan. Faktor SosiokulturalBerbagai faktor dimasyarakat dapat menyebabkan seorang merasa disingkirkan oleh kesepian terhadap lingkungan tempat klien di besarkan. Faktor BiokimiaMempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Dengan adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan Dimetytranferase (DMP). Faktor PsikologisHubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran ganda yang bertentangan dan sering diterima oleh anak akan mengakibatkan stress dan kecemasan yang tinggi dan berakhir dengan gangguan orientasi realitas. Faktor genetikGen apa yang berpengaruh dalam skizoprenia belum diketahui, tetapi hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.2. Faktor PresipitasiYaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan, ancaman / tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk koping. Adanya rangsang lingkungan yang sering yaitu seperti partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama diajak komunikasi, objek yang ada dilingkungan juga suasana sepi / isolasi adalah sering sebagai pencetus terjadinya halusinasi karena hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik.3. PerilakuRespon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak aman, gelisah dan bingung, prilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins dan Heacock, 1993 mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas hakekat keberadaan seorang individu sebagai mahkluk yang dibangun atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari dimensi yaitu :a. Dimensi FisikManusia dibangun oleh sistem indera untuk menanggapi rangsang eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.b. Dimensi EmosionalPerasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.c. Dimensi IntelektualDalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua prilaku klien.d. Dimensi SosialDimensi sosial pada individu dengan halusinasi menunjukkan adanya kecenderungan untuk menyendiri. Individu asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem control oleh individu tersebut, sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung untuk itu. Oleh karena itu, aspek penting dalam melaksanakan intervensi keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.e. Dimensi SpiritualManusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga interaksi dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Pada individu tersebut cenderung menyendiri hingga proses diatas tidak terjadi, individu tidak sadar dengan keberadaannya dan halusinasi menjadi sistem kontrol dalam individu tersebut. Saat halusinasi menguasai dirinya individu kehilangan kontrol kehidupan dirinya.4. Sumber KopingSuatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang. Individu dapat mengatasi stress dan anxietas dengan menggunakan sumber koping dilingkungan. Sumber koping tersebut sebagai modal untuk menyelesaikan masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya, dapat membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping yang berhasil.5. Mekanisme KopingTiap upaya yang diarahkan pada pelaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri.

3.4 Diagnosa Keperawatan 1) Resiko perilaku kekerasan berhubungan dengan gangguan persepsi sensori: Halusinasi13

3.6 Perencanaan KeperawatanNama Klien :Dx. Medis :No. CM :Ruangan :TglNo. DxDx KeperawatanPerencanaan

TujuanKriteria EvaluasiIntervensi

1Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi TUM :Klien tidak menciderai orang lain

Tuk 1 :Klien dapat membina hubungan saling percaya

1. Ekspresi wajah bersahabat menunjukkan rasa senang ada kontak mata. Mau berjabat tangan, mau menyebutkan nama, mau menjawab salam, klien mau duduk berdampingan dengan perawat, dan mau mengungkapkan masalah yang dihadapi

1. Bina hubungan saling percaya dengan mengungkapkan prinsip komunikasi terapeutik. Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal Perkenalkan diri dengan sopan Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disenangi klien Jelaskan tujuan pertemuan Jujur dan menepati janji Tunjukkan sikap simpati dan menerima apa adanya Beri perhatian pada kebutuhan dasar klien

Tuk 2 :Klien dapat mengenal halusinasinya

2. Klien dapat menyebutkan waktu, isi, frekuensi dan situasi yang menimbulkan halusinasi

Klien dapat mengungkapkan perasaan terhadap halusinasinya2.1 Adakan kontak sering dan singkat secara bertahap2.2 Observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya; bicara dan tertawa tanpa stimulus memandang ke kiri/ke kanan/ke depan seolah-olah ada teman bicara2.3 Bantu klien mengenal halusinasinya :a. Jika klien sedang halusinasi Tanyakan apakah ada suara yang didengar Jika klien menjawab ada, lanjutkan bertanya apa yang dikatakan Katakan bahwa perawat percaya klien mendengar suara itu tapi perawat tidak mendengarnya (dengan nada bersahabat tanpa menuduh dan menghakimi) Katakan bahwa klien lain juga ada seperti klien Katakan bahwa perawat akan membantu klienb. Jika klien tidak sedang berhalusinasi klarifikasi tentang adanya pengalaman halusinasi2.4 Diskusikan dengan klien : Situasi yang menimbulkan atau tidak menimbulkan halusinasi (jika sendiri, jengkel atau sedih) Waktu dan frekuensi terjadinya halusinasi (pagi, siang, sore, dan malam atau sering atau kadang-kadang)

2.5 Diskusikan dengan klien bagaimana perasaannya jika halusinasi (marah/takut, sedih, senang, dab beri klien kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya)

Tuk 3 :Klien dapat mengontrol halusinasinya3. Klien dapat menyebutkan tidakan yang biasa dilakukan untuk mengendalikan halusinasinya3. Klien dapat menyebutkan cara baru

3. Klien dapat memilih cara mengatasi halusinasi seperti yang telah didiskusikan dengan klien3. klien dapat melaksanakan cara yang telah dipilih untuk mengendalikan halusinasinya3. klien dapat mengikuti terapi aktivitas kelompok 3.1 Identifikasi bersama klien cara atau tindakan yang dilakukan jika terjadi halusinasi (tidur, marah, menyibukan diri, dll)3.2 diskusikan manfaat dan cara yang digunakan klien, jika bermanfaat beri pujian 3.3 Diskusikan cara baru untuk memutus/ mengontrol timbulnya halusinasi : Katakan : saya tidak mau dengar/lihat kamu (pada saat halusinasi) Menemui orang lain (perawat/teman/anggota keluarga)untuk bercakap-cakap atau mengatakan halusinasi yang didengar/dilihat Membuat jadwal kegiatan sehari-hari agar halusinasi tidak sempat muncul Meminta keluarga/teman/perawat menyapa jika tampak bicara sendiri3.4 Bantu klien memilih dan melatih cara memutus halusinasi secara bertahap3.5 Beri kesempatan untuk melakukan cara yang dilatih. Evaluasi hasilnya dan beri pujian jika berhasil3.6 Anjurkan klien mengikuti terapi aktivitas kelompok, orientasi realita, stimulasi persepsi

Tuk 4 :Klien dapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasinya4. Keluarga dapat membina hubungan saling peracaya dengan perawat4. Keluarga dapat menyebutkan pengertian, tanda dan tindakan untuk mengendalikan halusinasi4.1 Anjurkan klien untuk memberitahu keluarga jika mengalami halusinasi4.2 Diskusikan dengan keluarga (pada saat keluarga berkunjung/ pada saat kunjungan rumah) Gejala halusinasi yang dialami pasien Cara yang dapat dilakukan klien dan keluarga untuk memutus halusinasi Cara merawat anggota keluarga yang halusinasi di rumah : beri kegiatan, jangan biarkan sendiri, makan bersama, bepergian bersama Beri informasi waktu follow up atau kapan perlu mendapat bantuan halusinasi tidak terkontrol dan resiko mencideraiorang lain

Tuk 5 :Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik5. Klien dan keluarga dapat menyebutkan manfaat, dosis dan efek samping obat5. Klien dapat mendemonstrasikan penggunaan obat dengan benar5. Klien dapat informasi tentang manfaat dan efek samping obat5. Klien memahami akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi5. Klien dapat menyebutkan prinsip 5 benar penggunaan obat5.1 Diskusikan dengan klien dan keluarga tentang dosis, efek samping dan manfaat obat

5.2 Anjurkan Klien minta sendiri obat pada perawat dan merasakan manfaatnya5.3 Anjurkan klien bicara dengan dokter tentang manfaat dan efek samping obat yang dirasakan5.4 Diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi5.5 Bantu klien menggunakan obat dengan prinsip 5 benar

BAB IVPENUTUP

4.1 KesimpulanBerdasarkan uraian diatas mengenai halusinasi dan pelaksanaan asuhan keperawatan terhadap pasien, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Saat memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan halusinasi ditemukan adanya perilaku menarik diri sehingga perlu dilakukan pendekatan secara terus menerus, membina hubungan saling percaya yang dapat menciptakan suasana terapeutik dalam pelaksanaan asuhan keperawatan yang diberikan. 2. Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien khususnya dengan halusinasi, pasien sangat membutuhkan kehadiran keluarga sebagai sistem pendukung yang mengerti keadaaan dan permasalahan dirinya. Disamping itu perawat / petugas kesehatan juga membutuhkan kehadiran keluarga dalam memberikan data yang diperlukan dan membina kerjasama dalam memberi perawatan pada pasien. Dalam hal ini penulis dapat menyimpulkan bahwa peran serta keluarga merupakan faktor penting dalam proses penyembuhan klien.

4.2 Saran1. Dalam memberikan asuhan keperawatan hendaknya perawat mengikuti langkah-langkah proses keperawatan dan melaksanakannya secara sistematis dan tertulis agar tindakan berhasil dengan optimal 2. Dalam menangani kasus halusinasi hendaknya perawat melakukan pendekatan secara bertahap dan terus menerus untuk membina hubungan saling percaya antara perawat klien sehingga tercipta suasana terapeutik dalam pelaksanaan asuhan keperawatan yang diberikan 3. Bagi keluarga klien hendaknya sering mengunjungi klien dirumah sakit, sehingga keluarga dapat mengetahui perkembangan kondisi klien dan dapat membantu perawat bekerja sama dalam pemberian asuhan keperawatan bagi klien.

DAFTAR PUSTAKASunaryo.2004.Psikologi untuk Keperawatan.Jakarta:EGCMaramis, W.F. 1990. Ilmu Kedokteran Jiwa. Erlangga Universitas Presshttp://coja.mhs.unimus.ac.id/files/2011/11/Askep-halusinasi.pdf