pengaruh penggunaan tepung buah semu jambu …/pengaruh...bahan pakan alternatif pengganti...

29
PENGARUH PENGGUNAAN TEPUNG BUAH SEMU JAMBU METE (Anacardium occidentale linn) FERMENTASI DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMAN KELINCI NEW ZEALAND WHITE JANTAN Jurusan / Program Studi Peternakan Oleh : AHMAD SAIFUL BAHRI H 0505007 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010 PERNYATAAN

Upload: doandang

Post on 09-Apr-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PENGARUH PENGGUNAAN TEPUNG BUAH SEMU JAMBU METE (Anacardium occidentale linn) FERMENTASI DALAM

RANSUM TERHADAP PERFORMAN KELINCI NEW ZEALAND WHITE JANTAN

Jurusan / Program Studi Peternakan

Oleh : AHMAD SAIFUL BAHRI

H 0505007

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2010

PERNYATAAN

Dengan ini kami selaku Tim Pembimbing Skripsi Mahasiswa :

Nama : Ahmad Saiful Bahri

NIM : H 0505007

Jurusan/Program studi : Peternakan

Menyetujui Naskah Publikasi Ilmiah yang disusun oleh yang bersangkutan

dipublikasikan (dengan/tanpa*) mencantumkan Tim Pembimbing sebagai Co-

author.

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Ir. YBP. Subagyo, MS Ir. Ashry Mukhtar, MS NIP. 19481314 197903 1 001 NIP. 19470723 197903 1 003

*) Coret yang tidak perlu

PENGARUH PENGGUNAAN TEPUNG BUAH SEMU JAMBU METE (Anacardium occidentale linn) FERMENTASI DALAM

RANSUM TERHADAP PERFORMAN KELINCI

NEW ZEALAND WHITE JANTAN

AHMAD SAIFUL BAHRI

H 0505007

ABSTRAK Kelinci merupakan salah satu ternak yang memiliki potensi besar sebagai

penyedia daging. Pakan merupakan salah satu penentu keberhasilan usaha ternak kelinci. Oleh karena harga konsentrat yang mahal, maka diperlukan pencarian bahan pakan alternatif pengganti konsentrat yang murah. Salah satunya adalah buah semu jambu mete yang dapat ditingkatkan nilai nutrisinya dengan proses fermentasi menggunakan Aspergillus niger. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan tepung buah semu jambu mete fermentasi (TBSJMF) dalam ransum terhadap performan kelinci New Zealand White (NZW) jantan.

Sebanyak 16 ekor kelinci NZW jantan lepas sapih umur 8 minggu digunakan dalam penelitian ini dengan bobot badan rata – rata kelinci 896,25 + 54,75 gram/ekor, yang dibagi dalam empat perlakuan dan empat ulangan. Rancangan percobaan dengan Rancangan acak Lengkap (RAL), analisis data menggunakan analisis variansi dan kovariansi. Perlakuan pakan yang diberikan yaitu P0 (60% rumput lapang + 40% konsentrat) sebagai kontrol, P1 (60% rumput lapang + 35% konsentrat + 5% TBSJMF), P2 (60% rumput lapang + 30% konsentrat + 10% TBSJMF), P3 (60% rumput lapang + 25% konsentrat + 15% TBSJMF). Parameter yang diamati adalah konsumsi pakan (dalam BK), pertambahan bobot badan harian / PBBH (gram/ekor/hari), konversi pakan dan Feed Cost per Gain (Rp).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata – rata perlakuan yaitu P0, P1, P2 dan P3 berturut – turut untuk konsumsi pakan 100,68; 101,06; 101,94 dan 102,19

(gram/ekor/hari), PBBH 15,83; 16,11; 17,21 dan 18,51 (gram/ekor/hari), konversi pakan 6,36; 6,31; 6,02 dan 5,54. sedangkan FCG adalah Rp 11.684,61; Rp 10.881,83; Rp 9.692,99 dan Rp 8.296,56 (kg/BB). Hasil analisis variansi konsumsi dan konversi pakan menunjukkan hasil berbeda tidak nyata, sedangkan analisis kovariansi untuk pertambahan bobot badan juga menunjukkan hasil yang berbeda tidak nyata.

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah penggunaan TBSJMF sampai taraf 15% dalam ransum tidak mempengaruhi performan kelinci NZW jantan. Sedangkan, nilai Feed Cost per Gain dari penggunaan TBSJMF sampai taraf 15% adalah yang paling ekonomis dibanding perlakuan lainnya.

Kata kunci : kelinci New Zealand White jantan, Aspergillus niger, tepung buah

semu jambu mete fermentasi, performan.

THE INFLUENCES OF FERMENTED CASHEW NUTS FRUIT (Anacardium occidentale linn) MEAL IN FEED RATION TO

THE PERFORMANCE OF MALE NEW

ZEALAND WHITE RABBIT

AHMAD SAIFUL BAHRI

H 0505007

ABSTRACT

Rabbit is a potential livestock as meat producer. Feed is one of the main determinant factor to rabbit livestock. Because of concentrate price is costly, so was needed to find alternative feed stuff as subtitution for concentrate. One of them is cashew nuts fruit, to increase it’s nutrien was fermentation with Aspergillus niger. This research aims to know about the effect of using fermented cashew nuts fruit meal toward performance of male New Zealand White rabbit.

Sixteen male New Zealand White rabbits with the average body weight 896,25 ± 54,75 g were used in this research. This research design used Completely Randomized Design one way classification with four treatments and four replications, and each replication used one male New Zealand White rabbit. Data analyzed by analysis of variance and covariance. The treatment are P0 (60 percents forage + 40 percents concentrated) as a control feed, P1 (60 percents forage + 35 percents concentrated + 5 percents fermented cashew nuts fruit meal), P2 (60 percents forage + 30 percents concentrated + 10 percents fermented cashew nuts fruit meal), P3 (60 percents forage + 25 percents concentrated + 15 percents fermented cashew nuts fruit meal). Parameters observed were feed consumption, average daily gain (ADG), feed conversion ratio and feed cost per gain.

The result showed that each treatment P0, P1, P2, P3, in feed consumption were 100,68; 101,06 101,94 and 102,19 (grams/head/day), average daily gain (ADG) were 15,83; 16,11; 17,21 and 18,51 (grams/head/day), feed conversion were 6,36; 6,31; 6,02 and 5,54, while feed cost per gain were Rp 11.684,61; Rp 10.881,83; Rp 9.692,99 and Rp 8.296,56 (kg/BW). Result based on analysis of variance showed there are no significant different in feed consumption and feed conversion, while analisys of covariance also showed that there was no effect to the average daily gain.

The conclusions of this research that the influences of using fermented cashew nuts fruit meal up to 15 percents from the total feed was not give any effect performance of male New Zealand White rabbit. In other side, this research showed that using fermented cashew nuts fruit meal up to 15 percent from the total feed was able to decrease feed cost per gain value.

Key words: male New Zealand White rabbit, Aspergillus niger, fermented cashew nuts fruit meal, performance.

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kelinci merupakan salah satu ternak pseudo–ruminant yang mempunyai

potensi besar untuk dikembangbiakan sebagai penyedia daging. Daging

kelinci mempunyai kualitas yang lebih baik daripada daging sapi, domba atau

kambing. Struktur daging kelinci lebih halus dengan warna dan bentuk fisik

yang menyerupai daging ayam. Sebagai sumber gizi, daging kelinci

mengandung kadar protein yang lebih tinggi dibanding daging ternak lain

seperti sapi, domba, kambing, babi atau ayam dan juga kandungan lemak serta

kolesterolnya lebih rendah (Kartadisastra, 1997). Selain itu, ternak kelinci

mempunyai kemampuan pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat,

kemampuan untuk memanfaatkan hijauan dan limbah pertanian maupun

industri pangan, tidak memerlukan modal besar dan lahan yang luas, dapat

dipelihara dengan skala pemeliharaan yang kecil maupun besar, sehingga

diharapkan dalam waktu singkat dapat menyediakan daging untuk memenuhi

kebutuhan protein hewani penduduk Indonesia yang setiap tahunnya

meningkat. Menurut Sarwono (2008), di Indonesia ada banyak jenis kelinci,

salah satunya adalah kelinci New Zealand White (NZW). Keunggulan dari

kelinci tersebut adalah pertumbuhannya yang cepat. Oleh karena itu cocok

untuk diternakkan sebagai penghasil daging komersial.

Keberhasilan usaha pemeliharaan ternak kelinci banyak ditentukan

oleh pakan yang diberikan, disamping faktor pemilihan bibit dan

tata laksana pemeliharaan yang baik. Untuk meningkatkan produktivitas

kelinci perlu pemeliharaan secara intensif dengan pemberian pakan

yang memenuhi syarat, baik secara kualitas maupun kuantitas. Menurut

Whendrato dan Madyana (1983), pakan kelinci dapat diberikan berupa hijauan

(sebagai pakan utama) dan konsentrat (sebagai pakan penguat), hijauan

diberikan sekitar 60 – 80 persen dan sisanya konsentrat. Konsentrat sebagai

pakan penguat mempunyai kendala, yaitu dalam pengadaannya memerlukan

biaya yang relatif mahal. Salah satu upaya untuk mengatasi masalah tersebut

1

adalah dengan pemberian pakan alternatif yang lebih murah serta mudah

didapat, akan tetapi masih mempunyai kandungan nutrien yang cukup tinggi

sebagai pakan ternak. Alternatif penyediaan pakan yang murah adalah melalui

pemanfaatan limbah baik limbah pertanian, perkebunan, peternakan maupun

industri. Salah satu limbah yang dapat dimanfaatkan yaitu limbah buah semu

jambu mete yang selama ini belum dimanfaatkan secara maksimal.

Tanaman jambu mete umumnya dikembangkan di daerah dataran rendah

yang beriklim kering, bahkan di kawasan lahan kritis untuk penghijauan atau

konservasi lahan. Tanaman tersebut, merupakan tanaman industri dengan

produk utama berupa biji (kacang) mete. Selain menghasilkan biji, dalam

proses penanganan hasil juga diperoleh produk ikutan (limbah) berupa buah

semu dan kulit (cangkang) biji mete. Menurut Muljohardjo (1990), buah semu

jambu mete berasal dari tangkai buah atau peduncle yang mengalami

modifikasi melebar dan mengembang membentuk buah semu, yang sehari-

hari dikenal dengan nama jambu mete. Cahyono (2001) menambahkan bahwa

buah semu jambu mete secara fisik komposisinya jauh lebih besar

dibandingkan biji (kacang) mete, yang selama ini sebagian besar terbuang

sebagai limbah dan hanya sebagian kecil saja yang dimanfaatkan. Menurut

Suprapti (2003), buah semu jambu mete secara keseluruhan mengandung air

82,5%, protein 0,7% dan energi 720 kal/g. Sedangkan Guntoro et al. (2004)

memperoleh komposisi fisik bagian padat buah semu jambu mete 34 – 36%,

dengan kandungan bahan kering 17,43%, protein kasar 6,10% dan serat kasar

15,15%. Disamping kandungan nutrien yang rendah, buah jambu mete juga

banyak mengandung asam anacardat yang dapat menyebabkan gangguan

tenggorokan dan batuk pada ternak (Suprapti, 2003). Oleh karena itu, buah

jambu mete tersebut harus diolah terlebih dahulu sebelum diberikan kepada

hewan ternak.

Upaya untuk meningkatkan kandungan nutrien buah semu jambu

mete adalah melalui proses fermentasi menggunakan kapang Aspergillus

niger. Melalui proses fermentasi dengan kapang Aspergillus niger

diharapkan kandungan nutrien buah semu jambu mete dapat ditingkatkan,

sebagaimana pada limbah perkebunan yang lain (Kompiang, 2000) cit.

Guntoro et al. (2004), kadar protein dan kalori dapat meningkat serta

diharapkan kandungan serat kasar menurun, sehingga penggunaannya

pada ternak kelinci akan memberikan respon pertumbuhan yang lebih baik.

Guntoro (2008) menambahkan bahwa tepung semu jambu mete fermentasi

(TBSJMF) menggunakan kapang Aspergillus niger memiliki nutrien bahan

kering 60,83%, protein kasar 21,29%, serat kasar 8,56%, lemak 1,21%,

kalsium 0,03% dan fosfor 0,24%. Selain itu, fermentasi dengan Aspergillus

niger dapat menekan kandungan tanin atau senyawa beracun sehingga bahan

dapat diberikan pada taraf yang lebih tinggi pada ransum ternak kelinci.

Penelitian tentang penggunaan buah semu jambu mete terhadap ternak

kambing dan babi telah dilakukan oleh BPTP Bali. Hasil penelitian BPTP

Bali, menunjukkan bahwa melalui proses fermentasi, limbah buah semu

jambu mete bisa dimanfaatkan untuk pakan penguat kambing maupun babi

(Guntoro et al., 2004). Lebih jauh dikatakan bahwa dengan pemberian limbah

buah semu jambu mete pada ternak kambing mampu meningkatkan berat

badan ternak 59,65 gram/ekor/hari sementara yang hanya diberikan hijauan

saja hanya 33,58 gram/ekor/hari. Buah semu jambu mete fermentasi dapat

pula dikeringkan lalu dibuat tepung sehingga lebih tahan lama (hingga 6

bulan). Dengan cara demikian, pakan dari buah semu jambu mete fermentasi

dapat tersedia sepanjang tahun di luar musim panen Di samping itu,

penepungan akan memudahkan penyimpanan, pengangkutan dan

pencampurannya pada saat diberikan kepada ternak.

B. Rumusan Masalah

Pakan merupakan salah satu faktor lingkungan yang sangat berpengaruh

terhadap tinggi rendahnya produktivitas ternak. Penerapan tatalaksana

pemberian pakan yang berorientasi pada kebutuhan kelinci, ketersediaan

bahan pakan dan harga yang terjangkau (murah) merupakan upaya yang tepat

untuk meningkatkan produktivitas ternak kelinci secara efisien. Kebutuhan

pakan ternak kelinci dipenuhi dengan hijauan (sebagai pakan utama) dan

konsentrat (sebagai pakan penguat). Konsentrat sebagai pakan penguat

mempunyai kendala, yaitu dalam pengadaannya memerlukan biaya yang

relatif mahal. Oleh karena itu, untuk mengurangi biaya pakan perlu dicari

alternatif yang lebih murah dengan tetap memperhatikan nutrien yang

terkandung di dalamnya dan juga ketersediaannya. Salah satunya adalah

dengan memanfaatkan limbah buah semu jambu mete.

Buah semu jambu mete merupakan limbah perkebunan yang dapat

dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak. Limbah ini dalam penggunaannya

tidak bersaing dengan kebutuhan manusia, sehingga dapat dimanfaatkan

sebagai pakan ternak. Buah semu jambu mete berasal dari pengolahan jambu

mete yang produk utamanya berupa biji (kacang) mete. Buah semu jambu

mete secara fisik komposisinya jauh lebih besar dibandingkan biji (kacang)

mete, yang selama ini sebagian besar terbuang sebagai limbah dan hanya

sebagian kecil saja yang dimanfaatkan.

Salah satu upaya meningkatkan nilai nutien buah semu jambu mete

adalah melalui proses fermentasi. Salah satu mikroba yang dapat digunakan

dalam fermentasi adalah dengan menggunakan kapang Aspergillus niger.

Melalui proses fermentasi dengan kapang Aspergillus niger diharapkan nilai

nutrien buah semu jambu mete dapat ditingkatkan, sehingga penggunaannya

pada ternak kelinci akan memberikan respon pertumbuhan yang lebih baik.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian

tentang pengaruh tingkat penggunaan tepung semu jambu mete fermentasi

(TBSJMF) dalam ransum terhadap performan kelinci New Zealand White

(NZW) jantan.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk :

1. Mengetahui pengaruh penggunaan TBSJMF dalam ransum terhadap

performan kelinci NZW jantan.

2. Mengetahui tingkat penggunaan TBSJMF yang optimal dalam ransum

kelinci NZW jantan.

HIPOTESIS

Hipotesis dari penelitian ini adalah bahwa penggunaan tepung buah semu

jambu mete fermentasi dalam ransum tidak berpengaruh terhadap performan

kelinci New Zealand White jantan.

II. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian pengaruh penggunaan tepung semu jambu mete fermentasi

(TBSJMF) dalam ransum terhadap performan kelinci New Zealand White

(NZW) jantan ini telah dilaksanakan di Desa Gondang Garjo, RT. 03/RW. 9

Joho, Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo selama 2 bulan yaitu

dimulai pada tanggal 3 Agustus sampai 27 September 2009.

Analisis proksimat pakan dan sisa pakan dilaksanakan di Laboratorium

Biologi Tanah Jurusan / Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

B. Bahan dan Alat Penelitian

1. Kelinci

Kelinci yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelinci NZW

jantan lepas sapih berumur 8 minggu sebanyak 16 ekor dengan bobot

badan rata – rata 896,25 + 54,75 gram/ekor.

Kelinci diperoleh dari Balai Pembibitan dan Budidaya Ternak

(BPBT) Non Ruminansia Satuan Kerja Kelinci Dinas Peternakan Jawa

Tengah Balekambang Surakarta.

2. Ransum

Bahan pakan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari

hijauan, konsentrat dan TBSJMF. Hijauan yang digunakan adalah rumput

lapang, konsentrat (bekatul, jagung giling, BR1, tepung ikan, premix dan

garam) serta TBSJMF. Kebutuhan nutrien kelinci NZW jantan umur 2

bulan dapat dilihat pada Tabel 1, kandungan nutrien bahan pakan

penyusun ransum pada Tabel 2, dan susunan beserta kandungan nutrien

ransum perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3.

6

Tabel 1. Kebutuhan Nutrien Kelinci New Zealand White Umur 2 Bulan Nutrien Kebutuhan

Digestible Energi (Kkal/kg)1) 2600 – 2900 Protein Kasar (%)2) 12 – 16 Serat Kasar (%)2) 12 – 20 Lemak (%)1) 2 – 4

Sumber : 1) Kartadisastra (1994). 2) Whendrato dan Madyana (1983).

Tabel 2. Kandungan Nutrien Bahan Pakan Penyusun Ransum Perlakuan Bahan ransum DE

(Kkal/Kg) PK

LK

(% BK) SK

Rumput Lapang

Konsentrat

TBSJMF TBSJM

2613,041) 2799,322)

2677,552)

3035,572)

9,04 16,63 21,01 9,78

0,46 7,74 1,15 1,42

22,24 13,95 6,56 10,64

Sumber: Analisis Lab Biologi Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret (2009). 1) DE (rumput)

= 4370 – 79 (%SK) (NRC, 1981). 2) Berdasarkan hasil perhitungan: TDN = 77,07 – 0,75(PK) – 0,07(SK) DE = %TDN x 44 (Hartadi et al., 1990).

Tabel 3. Susunan dan Kandungan Nutrien Ransum Perlakuan

Sumber : Hasil perhitungan tabel 2 dan 3.

Bahan Pakan Perlakuan P0 P1 P2 P3 Komposisi ransum : - Rumput Lapang 60 60 60 60 - Konsentrat 40 35 30 25 - TBSJMF Jumlah

- 100

5 100

10 100

15 100

Kandungan Nutrien (%) : DE ( Kkal/Kg ) 2687,55 2681,46 2675,38 2669,29 Protein Kasar (PK) 12,07 12,29 12,51 12,75 Lemak Kasar (LK) 3,38 3,05 2,72 2,39 Serat Kasar (SK) 18,92 18,55 18,19 17,81

3. Kandang dan Peralatan

a. Kandang

Kandang yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang

battery berjumlah 16 buah, dengan ukuran panjang x lebar x tinggi =

( 0,5 x 0,5 x 0,5 ) m, setiap kandang berisi 1 ekor kelinci. Selain itu

juga disediakan 3 buah kandang karantina untuk ternak yang sakit.

b. Peralatan

Peralatan kandang meliputi :

1) Tempat pakan dan minum masing – masing 16 buah yang terbuat

dari plastik dan ditempatkan pada tiap kandang.

2) Timbangan IdeaIife dengan kapasitas 5 Kg dengan kepekaan 1

gram yang digunakan untuk menimbang kelinci, pakan pemberian

dan sisa pakan.

3) Perlengkapan lain meliputi sapu untuk membersihkan kandang dan

ember untuk menyiapkan minum kelinci.

4) Alat – alat tulis untuk mencatat dan peralatan lain.

C. Persiapan Penelitian

Persiapan penelitian yang dilakukan pada penelitian ini dibagi 4 bagian,

yaitu: persiapan kandang, persiapan kelinci, persiapan pakan dan persiapan

ransum. Kegiatan yang dilakukan dalam persiapan kandang meliputi

pembersihan kandang dan tempat pakan dan minum, kemudian dilakukan

pengapuran pada dinding dan alas kandang. Kandang disemprot dengan

menggunakan Antiseptik L100 dengan dosis 12,5 ml dalam 1 liter air. Tempat

pakan dan minum dicuci hingga bersih kemudian direndam dalam Antiseptik

L100 dengan dosis 12,5 ml dalam 1 liter air untuk mencegah berkembangnya

mikrobia pathogen yang dapat mengganggu kesehatan kelinci, kemudian

dikeringkan di bawah sinar matahari dan setelah kering dimasukkan dalam

kandang. Alur persiapan kandang dapat dilihat pada Gambar 3.

Kelinci New Zealand White Jantan

Penimbangan

Adaptasi 2 Minggu

Pemberian Obat Cacing

Bobot Badan Awal

Terbiasa Lingkungan dan Pakan Perlakuan

Piperazine Dosis 0,5 g/1 kg BB

Gambar 3. Alur Persiapan Kandang

Persiapan kelinci meliputi kegiatan memilih kelinci NZW jantan yang

dipergunakan dalam penelitian, dipilih berdasarkan keseragaman bangsa, jenis

kelamin, umur dan bobot badan. Kelinci terlebih dahulu ditimbang untuk

mengetahui bobot badan awal, kemudian dilakukan adaptasi selama 2 minggu

agar terbiasa dengan lingkungan dan pakan perlakuan. Kemudian diberi obat

cacing Piperazine dengan dosis 0,5 gram untuk 1 kg bobot badan, yang

digunakan untuk menghilangkan cacing – cacing yang mungkin ada di saluran

pencernaan kelinci. Alur persiapan kelinci dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Alur Persiapan Kelinci

Pembersihan Kandang serta Tempat Pakan dan Minum

Pengapuran Dinding dan Alas Kandang

Kandang serta Tempat Pakan dan Minum Disucihamakan dengan Desinfektan

Penjemuran

Siap Dijadikan Kandang Kelinci

Antiseptik L100 Dosis 12,5 ml/1 liter air

Aspergillus niger, Air Bebas Kaporit, Gula Pasir, Urea dan NPK

Pengadukan

Aerasi (24 – 36 jam)

Inokulan/Starter

Kegiatan yang dilakukan dalam persiapan pakan pada penelitian ini

meliputi aktivasi Aspergillus niger dan pembuatan TBSJMF. Bahan yang

digunakan dalam aktivasi Aspergillus niger dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Bahan Aktivasi Aspergillus niger

No Bahan Jumlah Satuan

1 Air Bebas Kaporit 10 liter 2 Gula Pasir 100 gram 3 Urea 50 gram 4 NPK 50 gram 5 Aspergillus niger 50 milliliter

Kegiatan yang dilakukan dalam proses aktivasi Aspergillus niger meliputi

mempersiapkan air bebas kaporit sebanyak 10 liter yang sudah diendapkan

selama 12 – 24 jam. Larutan 100 gram gula pasir, 50 gram urea dan 50 gram

NPK dimasukkan ke dalam air kemudian diaduk sampai rata. Bibit

Aspergillus niger sebanyak 50 ml dimasukkan ke dalam air kemudian diaduk

sampai rata. Dilakukan aerasi larutan dengan aerator selama 24 – 36 jam.

Larutan Aspergillus niger siap digunakan sebagai inokulan / starter.

Gambar 5. Proses Aktivasi Aspergillus niger

Kegiatan yang dilakukan dalam proses pembuatan TBSMF adalah

menyediakan buah semu jambu mete yang akan difermentasi dan

menyediakan inokulan / starter Aspergilus niger. Buah semu jambu mete

dicacah agar didapatkan ukuran lebih kecil, kemudian dipress atau diperas

untuk memisahkan limbah padat dan cair. Inokulan / starter Aspergilus niger

disiramkan di atas limbah padat buah semu jambu mete, kemudian ditutup

dengan plastik. Proses fermentasi dibiarkan selama 5 – 6 hari. Buah semu

jambu mete fermentasi dikeringkan selama 3 – 4 hari dengan cara penjemuran,

setelah kering buah semu jambu mete fermentasi digiling untuk dijadikan

tepung. TBSJMF siap diberikan pada ternak kelinci. Proses pembuatan

TBSJMF dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Proses Pembuatan Tepung Buah Semu Jambu Mete Fermentasi

Limbah Buah Semu Jambu Mete

Cacahan Limbah

Pencacahan

Limbah Cair Limbah Padat

Pengepresan

Penyiraman Larautan Inokulan Aspergillus niger

Penutupan Limbah dengan Plastik

Fermentasi Limbah (5 – 6 hari)

Limbah Terfermentasi

Penjemuran (3 – 4 hari)

Penggilingan

Limbah Kering

Tepung Buah Semu Jambu Mete Fermentasi

Pakan yang diberikan berupa rumput lapang dan konsentrat. Kegiatan

yang dilakukan dalam persiapan ransum yaitu TBSJMF dicampurkan sampai

homogen pada konsentrat sesuai dengan bagian masing – masing sesuai

dengan tingkat perlakuan.

D. Cara Penelitian

1. Metode Penelitian

Penelitian mengenai pengaruh penggunaan TBSJMF dalam ransum

terhadap performan kelinci NZW jantan ini merupakan penelitian

eksperimental

2. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola searah dengan 4 macam perlakuan

(P0, P1, P2 dan P3) dengan P0 sebagai kontrol. Masing – masing

perlakuan diulang 4 kali dan setiap ulangan terdiri dari seekor kelinci.

Macam perlakuan yang diberikan adalah sebagai berikut :

P0 : Rumput Lapang 60% + Konsentrat 40%

P1 : Rumput Lapang 60% + Konsentrat 35% + 5% TBSJMF

P2 : Rumput Lapang 60% + Konsentrat 30% + 10% TBSJMF

P3 : Rumput Lapang 60% + Konsentrat 25% + 15% TBSJMF

3. Peubah Penelitian

Peubah penelitian yang akan diamati adalah sebagai berikut :

a) Konsumsi Pakan

Konsumsi pakan adalah jumlah pakan yang dihabiskan oleh

ternak pada periode waktu tertentu. Konsumsi pakan dihitung dengan

cara mencari selisih pakan yang diberikan kemudian dikonversikan ke

dalam bahan kering dan dinyatakan dalam gram/ekor/hari. Konsumsi

pakan rata – rata harian merupakan jumlah konsumsi pakan selama

masa koleksi dibagi jumlah hasil koleksi.

Konsumsi = Pakan Pemberian (% BK Beri) – Sisa Pakan (% BK Sisa)

Bobot Badan Akhir (g) – Bobot Badan Awal (g) Waktu (hari)

Konsumsi Pakan (g) PBBH (g)

b) Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH)

Pertambahan bobot badan harian merupakan perwujudan dari

proses pertumbuhan yang dilakukan oleh ternak dalam waktu tertentu.

Pertambahan bobot badan harian diperoleh dengan cara menghitung

selisih bobot badan awal dengan bobot badan akhir pemeliharaan

dibagi waktu selama penelitian, dinyatakan dalam gram/ekor/hari.

PBBH =

c) Konversi Pakan

Konversi pakan merupakan parameter yang digunakan untuk

mengetahui efisiensi penggunaan pakan. Konversi pakan diperoleh

dengan membagi jumlah pakan yang dikonsumsi berdasarkan bahan

kering dengan pertambahan bobot badan harian selama pemeliharaan

dengan satuan berat yang sama.

Konversi pakan =

d) Feed Cost per Gain

Feed Cost per Gain adalah besarnya biaya pakan yang

diperlukan untuk menghasilkan 1 kg gain (pertambahan bobot badan).

Feed Cost per gain diperoleh dengan cara menghitung jumlah biaya

pakan yang diperlukan untuk menghasilkan pertambahan bobot badan.

Feed Cost per Gain = Total Biaya Pakan x Konversi Pakan

4. Pelaksanaan penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan selama 8 minggu, dibagi menjadi

2 tahap yaitu tahap adaptasi dan tahap pengumpulan data. Tahap adaptasi

dilakukan 2 minggu meliputi penimbangan bobot badan awal, adaptasi

terhadap lingkungan kandang dan pakan perlakuan serta pemberian obat

cacing. Tahap pengumpulan data dilakukan 6 minggu meliputi pemberian

pakan sesuai dengan perlakuan, penimbangan bobot badan kelinci yang

dilakukan setiap 1 minggu sekali, mencatat konsumsi pakan serta

menimbang sisa pakan yang dilakukan setiap hari pada waktu pagi hari.

Sampel konsentrat diambil sebanyak 50 gram, kemudian dilakukan

analisis proksimat untuk mengetahui kandungan nutrien konsentrat.

Sampel hijauan dikeringkan di bawah sinar matahari dan diambil sebanyak

10%, kemudian dilakukan analisis proksimat untuk mengetahui kandungan

nutrien hijauan. Sedangkan untuk sampel sisa pakan, setiap perlakuan

diambil 10% dari total sisa pakan kemudian dikeringkan di bawah sinar

matahari. Setelah kering sampel ditimbang, kemudian dianalisis

kandungan bahan keringnya.

Pemberian pakan berupa konsentrat dilakukan 2 kali sehari yaitu

pukul 07.00 WIB dan pukul 15.00 WIB. Pakan hijauan diberikan secara

ad libitum yang dilakukan pada pukul 08.00 WIB dan pukul 16.00 WIB.

Sedangkan untuk air minum juga diberikan secara ad libitum.

E. Cara Analisa Data

Data konsumsi pakan dan konversi pakan yang diperoleh dari penelitian

ini dianalisis dengan analisis variansi berdasarkan Rancangan Acak Lengkap

(RAL) pola searah, serta data PBBH dianalisis dengan menggunakan analisis

kovariansi untuk mengetahui adanya pengaruh perlakuan terhadap peubah

yang diamati. Sedangkan Feed Cost per Gain dilaporkan secara deskriptif.

Model matematika yang digunakan adalah :

Yij = µ + Ti + Σij

Keterangan :

Yij = Respon atau nilai pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

µ = Rataan nilai dari seluruh perlakuan atau nilai tengah umum

Ti = Pengaruh perlakuan ke-i

Σij = Pengaruh galat perlakuan ke-i dan ke-j (Yitnosumarto,1993).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Konsumsi Pakan

Rerata konsumsi pakan (dasar bahan kering / BK) kelinci New Zealand

White (NZW) jantan selama penelitian disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5. Rerata konsumsi pakan (dasar BK) kelinci NZW jantan selama penelitian (gram/ekor/hari)

Perlakuan Ulangan Rerata 1 2 3 4 P0 96,62 102,11 101,77 102,24 100,68 P1 102,65 94,89 108,55 98,17 101,06 P2 98,07 90,03 98,42 121,22 101,94 P3 102,29 98,29 109,25 98,93 102,19

Rerata konsumsi yang diperoleh selama penelitian untuk masing –

masing perlakuan P0, P1, P2 dan P3 berturut – turut yaitu 100,68; 101,06;

101,94 dan 102,19 gram/ekor/hari. Hasil analisis variansi (lampiran 1)

konsumsi pakan menunjukkan hasil yang berbeda tidak nyata (P 0,05).

Hal ini berarti penggunaan tepung buah semu jambu mete (TBSJMF) dalam

ransum hingga taraf 15% tidak berpengaruh terhadap konsumsi pakan kelinci

NZW jantan, walaupun ada kecenderungan semakin tinggi pemberian

TBSJMF akan semakin menaikkan konsumsi pakan.

Menurut Parakkasi (1999), tinggi rendahnya konsumsi pakan

dipengaruhi oleh palatabilitas ternak terhadap pakan yang diberikan dan sifat

fisik dari pakan tersebut. Palatabilitas pakan berhubungan dengan kepuasan

terhadap suatu pakan dan banyaknya pakan yang dikonsumsi oleh ternak.

Churh (1979) cit. Aritonang et al., (2003) menambahkan bahwa palatabilitas

dipengaruhi oleh bentuk, bau, dan tekstur pakan. Pemberian ransum perlakuan

dengan TBSJMF sampai taraf 15% masih cukup palatabel atau disukai ternak,

sehingga tidak menurunkan palatabilitas pakan. Sesuai pendapat Mirnawati

dan Ciptaan (1999) cit. Fitriani (2008) yang menyatakan bahwa hasil

fermentasi akan lebih palatabel bila diberikan kepada ternak, karena selama

proses fermentasi dihasilkan enzim yang memecah senyawa kompleks

15

menjadi molekul yang lebih sederhana, sehingga mudah dicerna, mengubah

aroma dan rasa lebih baik dari bahan asal.

Tingkat konsumsi pakan juga bisa dipengaruhi oleh kandungan nutrien

pakan. Kandungan nutrien pakan yang relatif sama antar perlakuan dalam

percobaan ini menyebabkan kelinci NZW jantan mengkonsumsi pakan dengan

jumlah yang relatif sama. Sesuai dengan pendapat Anggorodi (1990) yang

menyatakan bahwa kandungan nutrien pakan yang relatif sama menyebabkan

tidak adanya perbedaan konsumsi pakan.

Faktor lain yang menyebabkan tidak adanya perbedaan yang nyata

dalam konsumsi pakan adalah kandungan energi ransum. Penggunaan

TBSJMF sampai taraf 15% tidak mempengaruhi kandungan energi dalam

ransum, sehingga tidak menimbulkan perbedaan yang nyata terhadap

konsumsi pakan. Oleh karena tingkat energi yang diberikan pada tiap – tiap

perlakuan relatif sama (Tabel 3), maka konsumsi pakan masing – masing

kelinci juga sama. Hal ini sesuai dengan pendapat Kamal (1997), bahwa tinggi

rendahnya kandungan energi dalam pakan berpengaruh terhadap banyak

sedikitnya konsumsi pakan. Konsumsi pakan pada dasarnya ditujukan untuk

memenuhi kebuthan energi ternak, sehingga ternak akan berhenti makan

apabila telah merasa tercukupi kebutuhan energinya. Dijelaskan lebih lanjut

oleh Parakkasi (1999) bahwa kebutuhan akan beberapa zat makanan di dalam

ransum tergantung dari jumlah energi yang dikonsumsi. Konsumsi akan

menurun pada tingkat energi tertentu, karena kebutuhan energi telah terpenuhi.

Selain energi, kandungan serat kasar ransum juga berhubungan dengan

konsumsi pakan. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa pakan yang banyak

mengandung serat kasar mengakibatkan jalannya pakan akan lebih lambat,

sehingga ruang dalam saluran pencernaan cepat penuh, akibatnya konsumsi

pakan akan menurun. Kandungan serat kasar dalam ransum perlakuan yang

berkisar antara 17,81% – 18,92% serta kandungan serat kasar TBSJMF 6,56%

dan konsentrat 13,95% ternyata belum mampu memberikan pengaruh yang

nyata terhadap konsumsi pakan. Hal ini diduga penggantian konsentrat dengan

TBSJMF dalam ransum belum mampu meningkatkan daya cerna kelinci

sehingga tidak berpengaruh terhadap konsumsi pakannya.

B. Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH)

Rerata PBBH kelinci NZW jantan untuk masing – masing perlakuan

selama penelitian disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Rerata PBBH kelinci NZW jantan selama penelitian (gram/ekor/hari)

Perlakuan Ulangan Rerata 1 2 3 4 P0 15,26 15,67 16,21 16,19 15,83 P1 14,88 14,57 16,93 18,07 16,11 P2 15,24 13,38 20,14 20,10 17,21 P3 16,83 18,76 20,79 17,64 18,51

Tabel 6 memperlihatkan rerata PBBH kelinci NZW jantan hasil

penelitian untuk perlakuan P0, P1, P2 dan P3 berturut – turut adalah 15,83;

16,11; 17,21 dan 18,51 (gram/ekor/hari). Hasil analisis kovariansi (lampiran 2)

PBBH menunjukkan hasil yang berbeda tidak nyata (P ≥ 0,05). Hal ini berarti

bahwa penggunaan TBSJMF hingga taraf 15% dalam ransum tidak

berpengaruh terhadap PBBH kelinci NZW jantan, walaupun ada

kecenderungan semakin tinggi pemberian TBSJMF akan semakin menaikkan

PBBH.

Pemberian ransum perlakuan dengan TBSJMF sampai taraf 15% tidak

berpengaruh terhadap PBBH disebabkan karena konsumsi pakan yang berbeda

tidak nyata dan kandungan nutrien susunan pakan yang relatif sama.

Konsumsi pakan yang relatif sama pada tiap perlakuan akan menyebabkan

kandungan energi dan protein yang masuk ke dalam tubuh kelinci NZW

jantan relatif sama sehingga pertumbuhan yang dihasilkan pada tiap perlakuan

juga relatif sama. Menurut Soeparno (1994), bahwa jenis, komposisi kimia

dan konsumsi pakan mempunyai pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan

bobot ternak. Konsumsi pakan menentukan jumlah nutrien yang didapat oleh

ternak, dan selanjutnya akan mempengaruhi pertambahan bobot badan.

Menurut Anggorodi (1990), bahwa nutrien yang berpengaruh terhadap

pertumbuhan adalah protein karena protein merupakan bahan penyusun

sebagian besar dari otot daging, organ tubuh, tulang rawan dan jaringan ikat

luar dan dalam. Peningkatan tubuh terbanyak pada ternak didominasi oleh

peningkatan berat otot yang selanjutnya akan mempengaruhi pertumbuhan

ternak. Sesuai pendapat Subagyo (2008) yang menyatakan bahwa

pertambahan berat badan cenderung berbanding lurus dengan besarnya otot.

Jaringan otot mempunyai pertambahan berat yang paling besar daripada

jaringan – jaringan yang lain. Salah satu komponen nutrien pakan paling

penting untuk pertumbuhan jaringan otot adalah protein. Penelitian ini

kandungan PK pakan perlakuan berkisar antara 12,07% – 12,75%, selisih

kandungan PK dari P0 dan P3 adalah 0,68%, ternyata belum mampu

memberikan pengaruh yang nyata terhadap PBBH kelinci. Hal ini diduga

disebabkan karena pada taraf tersebut energi belum mencukupi untuk

kebutuhan sintesis protein daging. Kandungan energi ransum tiap – tiap

perlakuan yang relatif sama menyebabkan proses penyerapan asam amino ke

dalam tubuh kelinci juga relatif sama. Sesuai dengan pendapat Kamal (1994),

bahwa dalam proses sintesis protein daging memerlukan energi untuk proses

penyerapan asam amino ke dalam sel tubuh.

Hasil penelitian BPTP Bali menunjukkan bahwa limbah buah semu

jambu mete yang difermentasi dengan menggunakan Aspergillus niger

bisa dimanfaatkan untuk pakan penguat kambing maupun babi

(Guntoro et al., 2004). Lebih jauh dikatakan bahwa dengan pemberian limbah

buah semu jambu mete pada ternak kambing mampu meningkatkan PBBH

59,65 gram/ekor/hari sementara yang hanya diberikan hijauan saja hanya

33,58 gram/ekor/hari.

C. Konversi Pakan

Rerata konversi pakan kelinci NZW jantan untuk masing – masing

perlakuan selama penelitian disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 7. Rerata konversi pakan kelinci NZW jantan selama penelitian

Perlakuan Ulangan Rerata 1 2 3 4 P0 6,33 6,52 6,28 6,31 6,36 P1 6,90 6,51 6,41 5,43 6,31 P2 6,44 6,73 4,89 6,03 6,02 P3 6,08 5,24 5,26 5,61 5,54

Tabel 7 memperlihatkan rerata konversi pakan hasil penelitian untuk

perlakuan P0, P1, P2 dan P3 berturut – turut adalah 6,36; 6,31; 6,02 dan 5,54.

Hasil analisis variansi (lampiran 3) konversi pakan menunjukkan hasil berbeda

tidak nyata (P ≥ 0,05). Hal ini berarti bahwa penggunaan TBSJMF hingga

taraf 15% dalam ransum tidak berpengaruh terhadap konversi pakan kelinci

NZW jantan, walaupun ada kecenderungan semakin tinggi pemberian

TBSJMF akan semakin menurunkan konversi pakan.

Menurut Martawidjaja (1998), konversi pakan yaitu jumlah unit pakan

berdasarkan bahan kering yang dikonsumsi dibagi dengan unit pertambahan

bobot badan per satuan waktu. Hal ini dapat diartikan besar kecilnya konversi

pakan tergantung pada besar kecilnya konsumsi pakan dan PBBH. Pemberian

ransum perlakuan dengan TBSJMF sampai taraf 15% tidak berpengaruh

terhadap konversi pakan disebabkan oleh nilai konsumsi pakan dan

pertambahan bobot badan yang juga mempunyai hasil berbeda tidak nyata.

Dijelaskan lebih lanjut oleh Rasyaf (1994) bahwa konversi ransum digunakan

sebagai pegangan berproduksi karena melibatkan berat badan dan konsumsi

pakan. Oleh karena itu, besar kecilnya tingkat konversi pakan kelinci

dipengaruhi oleh besarnya konsumsi pakan dan pertambahan berat badan

kelinci.

Menurut Anggorodi (1990), konversi pakan merupakan salah satu

indikator untuk menggambarkan tingkat efisiensi penggunaan ransum,

semakin rendah angka konversi ransum berarti semakin baik effisiensi

penggunaan pakannya, dimana konversi pakan memiliki arti penting dari segi

manajemen. Secara umum dapat dilihat bahwa pemberian TBSJMF taraf 15%

memiliki angka konversi pakan terendah yaitu sebesar 5,54 yang artinya

TBSJMF menjadi pakan yang paling efisien bila diberikan pada taraf 15%

dalam ransum. Namun berdasarkan hasil analisis variansi menunjukkan hasil

yang berbeda tidak nyata, sehingga penggunaan TBSJMF hingga taraf 15%

tidak mempengaruhi konversi pakan. Hal ini diduga karena kualitas TBSJMF

dalam menggantikan konsentrat hingga taraf 15% dalam ransum masih

mampu mengimbangai kualitas dari konsentrat, sehingga memberikan asupan

nutrien yang tidak jauh berbeda. Hal tersebut dapat diartikan TBSJMF

merupakan pakan yang berkualitas baik. Dijelaskan lebih lanjut oleh

Martawidjaja (1998) bahwa konversi pakan berhubungan dengan kualitas

pakan, kecernaan dan pertambahan bobot badan. Semakin baik kualitas pakan

yang dikonsumsi maka akan meningkatkan kecernaan pakan dan akan

menghasilkan pertambahan bobot badan yang tinggi sehingga nilai konversi

pakan menjadi rendah.

D. Feed Cost per Gain

Salah satu cara untuk mengetahui pakan yang paling ekonomis dalam

menghasilkan daging yaitu dengan menghitung pakan berdasarkan harga

pakan atas dasar bahan kering atau yang biasa disebut Feed Cost per Gain.

Suparman (2004) menyatakan bahwa Feed Cost per Gain adalah besarnya

biaya pakan yang diperlukan untuk menghasilkan 1 kg gain (pertambahan

bobot badan ternak). Besarnya nilai Feed Cost per Gain ini tergantung pada

harga pakan dan efisiensi dalam penggunaan pakan untuk diubah menjadi

daging.

Rata – rata biaya pakan (Feed Cost per Gain) berdasarkan bahan kering /

BK kelinci NZW jantan untuk masing – masing perlakuan selama penelitian

disajikan pada tabel 8.

Tabel 8. Rata – rata Feed Cost per Gain berdasarkan bahan kering / BK kelinci NZW jantan selama penelitian (Rp/kg Bobot Badan)

Perlakuan Ulangan Rerata 1 2 3 4 P0 11.630,59 11.974,55 11.531,36 11.601,93 11.684,61 P1 11.889,11 11.223,72 11.051,77 9.362,72 10.881,83 P2 10.361,19 10.832,71 7.866,19 9.711,88 9.692,99 P3 9.092,32 7.839,14 7.864,51 8.390,28 8.296,56

Harga pakan yang digunakan selama penelitian berdasarkan BK adalah

sebagai berikut; konsentrat Rp 3000,00 per kg, rumput lapang Rp 300,00 per

kg dan TBSJMF Rp 1000,00 per kg. Sedangkan Rerata Feed Cost per Gain

hasil penelitian untuk perlakuan P0, P1, P2 dan P3 berturut – turut adalah Rp

11684,61; Rp 10881,83; Rp 9692,99 dan Rp 8296,56. Basuki (2002) cit.

Fitrtiani (2008) menyatakan bahwa untuk mendapatkan Feed Cost per Gain

yang rendah, maka pemilihan bahan pakan untuk menyusun ransum harus

yang semurah mungkin dan tersedia secara kontinyu atau dapat juga

menggunakan limbah pertanian yang tidak kompetitif. Feed Cost per Gain

dinilai baik apabila angka yang diperoleh serendah mungkin, yang berarti dari

segi ekonomi penggunaan pakan efisien.

Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa penggantian konsentrat

dengan TBSJMF sesuai dengan tingkat perlakuan menghasilkan nilai Feed

Cost per Gain semakin rendah daripada kontrol. Berdasarkan Tabel 8 dapat

diketahui bahwa biaya pakan pada perlakuan P3 yaitu dengan komponen 15%

TBSJMF mempunyai nilai Feed Cost per Gain yang paling rendah

dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Hal tersebut berarti bahwa

pemberian TBSJMF dalam ransum mampu menurunkan biaya pakan dalam

menghasilkan per kilogram bobot badan yang sama. Hal ini disebabkan karena

harga TBSJMF jauh lebih rendah yaitu Rp 1000,00 per kg (lampiran 4)

dibanding harga pakan konsentrat yaitu Rp 3000,00 per kg (lampiran 4),

sehingga semakin tinggi taraf pemberian TBSJMF, maka akan semakin

menurunkan nilai Feed Cost per Gain.

Ransum perlakuan dengan TBSJMF sampai taraf 15% mampu

menurunkan nilai Feed Cost per Gain. Hal ini dikarenakan dengan konsumsi

pakan yang cenderung sama antar perlakuan, tetapi pada pemberian TBSJMF

yang semakin tinggi dapat menghasilkan pertambahan bobot badan yang lebih

tinggi dari perlakuan yang lain, sehingga menghasilkan nilai konversi pakan

yang rendah. Konversi pakan yang rendah berarti penggunaan pakan efisien

dan ekonomis. Penggunaan pakan yang efisien dan ekonomis ditunjukkan

dengan angka Feed Cost per Gain yang rendah. Dijelaskan lebih lanjut oleh

Rasyaf (1994) bahwa nilai konversi pakan rendah diperoleh apabila pada

konsumsi yang sama menghasilkan pertambahan berat badan yang tinggi

sehingga dapat menekan biaya pakan.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan

bahwa penggunaan tepung buah semu jambu mete fermentasi dapat

menggantikan konsentrat sampai taraf 15% dari total ransum tanpa

mempengaruhi performan kelinci New Zealand White jantan. Sedangkan

berdasarkan analisis deskriptif Feed Cost per Gain, pemberian tepung buah

semu jambu mete fermentasi pada taraf 15% dalam ransum adalah yang paling

ekonomis.

B. Saran

Saran yang dapat diberikan setelah penelitian ini adalah untuk menekan

biaya pakan disarankan menggunakan tepung buah semu jambu mete

fermentasi sampai taraf 15% dari total pakan, serta diperlukaan penelitian

lebih lanjut mengenai pengaruh pemberian tepung buah jambu mete

fermentasi dengan taraf lebih dari 15% dari total ransum.

23

DAFTAR PUSTAKA

Anggorodi, R., 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. Penerbit PT Gramedia. Jakarta.

Aritonang, D., N. A. Roefiah, T. Pasaribuan dan Y. C. Rahardjo, 2003. Laju Pertumbuhan Kelinci Rex, Satin dan Persilangannya yang Diberi Lactosym@ dalam Sistem Pemeliharaan Intensif. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. Vol (8): 164-168.

Cahyono, B., 2001. Jambu Mete, Teknik Budidaya dan Analisis Usaha Tani. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Fitriani, Y., 2008. Pengaruh Penggunaan Isi Rumen Sapi Fermentasi dalam Ransum terhadap Performan Kelinci Lokal Jantan. Skripsi S1. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Guntoro, S., 2008. Membuat Pakan Ternak dari Limbah Perkebunan. Penerbit PT Agromedia Pustaka. Jakarta.

Guntoro, S., M. Londra, I. A. P. Parwati dan N. Suyasa, 2004. Pengaruh Pemberian Limbah Mete Olahan terhadap Pertumbuhan Kambing Kacang. Proseding Seminar Nasional Teknologi Peternakan Veteriner. Puslitbang Peternakan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Bogor.

Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo dan A. D. Tillman, 1990. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Kamal, M., 1994. Nutrisi Ternak I. Laboratorium Makanan Ternak Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan, Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Kamal, M., 1997. Kontrol Kualitas Pakan Ternak. Laboratorium Makanan Ternak Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Petrnakan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Kartadisastra, H. R., 1994. Kelinci Unggul. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Kartadisastra, H. R., 1997. Ternak Kelinci, Teknologi Pasca Panen. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Martawidjaja, M., 1998. Pengaruh Taraf Pemberian Konsentrat terhadap Keragaman Kambing Kacang Betina Sapihan. Pada : Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Balai Penelitian Ternak. Bogor.

Muljohardjo, M., 1990. Jambu Mete dan Teknologi Pengolahannya. Penerbit Liberty. Yogyakarta.

National Research Council. 1981. Nutritional Energetics of Domestic Animals and Glossary of Energy Terms. National Academy Press. Washington, DC.

24

Parakkasi, A., 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. UI Press. Jakarta.

Rasyaf, M., 1994. Beternak Ayam Pedaging. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta.

Sarwono, B., 2008. Kelinci Potong dan Hias. Penerbit PT Agromedia Pustaka. Jakarta.

Soeparno, 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Subagyo, YBP., 2008. Ilmu Ternak Potong dan Kerja. Bahan Kuliah. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Suparman, D. 2004. Kinerja Produksi Kelinci Lokal Jantan dengan Pemberian Pakan Kering vs Basah. Skripsi S1. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Suprapti, M. L., 2003. Manisan Kering Jambu Mete. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Whendrato, I. dan I. M. Madyana, 1983. Beternak Kelinci secara Populer. Penerbit Eka Offset. Semarang.

Yitnosumarto, S., 1993. Percobaan, Perancangan, Analisis, dan Interpretasinya. Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Yogyakarta.