refrat lola

40
Referat MANIFESTASI TRAUMA PADA SEGMEN POSTERIOR Oleh : Ilona Amanta 041147080 Pembimbing: dr. Petty Purwanita, Sp.M 1

Upload: hammie-shop-palembang

Post on 29-Dec-2015

68 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Refrat Lola

Referat

MANIFESTASI TRAUMA PADA SEGMEN POSTERIOR

Oleh :

Ilona Amanta 041147080

Pembimbing:

dr. Petty Purwanita, Sp.M

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATARUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR.MOH HOESIN PALEMBANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA2014

1

Page 2: Refrat Lola

HALAMAN PENGESAHAN

Telaah Ilmiah

Manifestasi Trauma pada Segmen Posterior

Oleh:

Ilona Amanta 041147080

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian

kepaniteraan klinik senior di Departemen Ilmu Kesehatan Mata Rumah Sakit

Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Palembang Periode 10 Februari 2014 – 17 Februari 2014.

Palembang, Maret 2014

Pembimbing,

dr. Petty Purwanita, Sp.M

2

Page 3: Refrat Lola

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala

rahmatNya Penulis dapat menyelesaikan telaah ilmiah ini. Telaah ilmiah dengan

judul Konjungtivitis Alergi merupakan suatu persyaratan untuk menyelesaikan

Kepaniteraan Klinik pada Departemen Ilmu Kesehatan Mata di Fakultas

Kedokteran UNSRI/RSUP. Dr. Mohammad Hoesin Palembang.

Pada kesempatan ini, tak lupa Penulis menghaturkan terima kasih yang

setulusnya kepada dr. Petty Purwanita, Sp.M selaku dosen pembimbing di

Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran UNSRI/RSUP. Dr.

Mohammad Hoesin Palembang.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dan kesalahan, baik

dalam penulisan maupun materi telaah ilmiah ini. Untuk itu, penulis

mengharapkan saran yang membangun dari para pembaca. Akhir kata, semoga

telaah ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca. Terima kasih.

Palembang, Maret 2014

Penulis

3

Page 4: Refrat Lola

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL .............................................................................. i

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................ ii

KATA PENGANTAR ............................................................................ iii

DAFTAR ISI........................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi ...........................................................................

BAB III KESIMPULAN ........................................................................ 36

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 37

4

Page 5: Refrat Lola

BAB I

PENDAHULUAN

Trauma mata adalah tindakan sengaja maupun tidak sengaja yang menimbulkan

perlukaan mata. Trauma mata merupakan kasus gawat darurat mata, walau tidak

mengancam kehidupan tetapi mengancam tajam penglihatan mata. Trauma mata

terbagi atas : trauma fisik (tumpul dan tajam), trauma kimia (asam dan basa),

trauma radiasi (ultraviolet dan infrared).

Trauma tumpul pada wajah sering mengenai area orbita dengan segala

akibatnya, mulai dari sekedar memar di pelpebra hingga kerusakan bagian dalam

bola mata yang dapat berakhir pada kebutaan. Trauma tumpul pada mata dapat

menyebabkan kerusakan pada bola mata yang paling belakang, karena tekanan

gaya dari bola mata bagian depan diteruskan ke segala arah sehingga dapat

mengakibatkan kerusakan di semua arah. Trauma tumpul pada mata dapat

mengakibatkan kebutaan jika trauma yang terjadi cukup kuat untuk merusak

struktur - struktur yang penting dalam proses penglihatan, yaitu kornea, lensa,

retina dan koroid serta jaringan penyangganya mengalami kerusakan akibat

cedera, kadang sangat berat sampai terjadi kebutaan atau mata harus diangkat.

Oleh karena itu, penulisan ini akan membahas secara tentang manifestasi

trauma pada segmen posterior sehingga memudahkan dalam mendiagnosis

pasien sehingga tidak terjadi komplikasinya dan mendapatkan prognosis yang

baik ke depannya.

5

Page 6: Refrat Lola

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Segmen Posterior

Segmen posterior merupakan dua pertiga dari bagian mata yang meliputi

membran anterior hyaloid dan semua struktur di belakangnya : vitreous humor,

retina, koroid, dan saraf – saraf optikus. Pada referat ini akan dibahas tentang

anatomi bagian segmen posterior

Gambar 1. Anatomi Bola Mata (Riordan-Eva, 2010)

2.1.1 Vitreous Humor

Vitreus adalah suatu badan gelatin yang jernih dan avaskular yang membentuk

dua pertiga volume dan berat mata. Vitreus mengisi ruangan yang dibatasi oleh

lensa, retina, dan diskus optikus. Permukaan luar vitreus, membran hyaloid,

normalnya berkontak dengan struktur-struktur berikut: Kapsul lensa posterior,

serat-serat zonula, pars plana lapisan epitel, retina, dan caput nervi optici

(Riordan-Eva, 2010).

6

Page 7: Refrat Lola

Vitreous tidak berwarna, transparan, mengisi ruang antara lensa mata dan

retina ke arah belakang mata. Vitreous diproduksi oleh beberapa sel selaput jala.

Komposisinya hampir sama dengan kornea tetapi hanya memiliki sangat sedikit

sel (kebanyakan fagosityang menghilangkan serpihan sel dalam area visual),

tanpa pembuluh darah, dan 98-99% volumenya terdiri dari air (kornea 75%)

dengan garam, gula, vitrosin, rangkaian kolagen dan juga susunan protein dalam

jumlah mikro. Yang mengagumkan, dengan hanya memiliki sangat sedikit zat

yang padat, vitreous dapat menahan mata. Disisi lain, lensa mata terikat erat

dengan sel. Namun demikian vitreous memiliki kekentalan dua sampai empat

kali kekentalan air murni. Vitreous juga memiliki indeks bias 1.336. (Riordan-

Eva, 2010).

Basis vitreus mempertahankan penempelan yang kuat seumur hidup ke

lapisan epitel pars plana dan retina tepat dibelakang ora serrata. Di awal

kehidupan, vitreus melekat kuat pada kapsul lensa dan caput nervi optici, tetapi

segera berkurang di kemudian hari. Vitreus mengandung air sekitar 99%, sisa

1% meliputi dua komponen, kolagen dan asam hialuronat, yang memberi bentuk

dan konsistensi mirip gel pada vitreus karena kemampuannya mengikat banyak

air (Riordan-Eva, 2010).

2.1.2 Papil

Visual pathway bermula di retina, dan terdiri dari saraf optik, chiasma

optikus,traktus optikus,lateral geniculate bodies, optic radiations dan kortex

visual. Panjang saraf optik ± 45-70 mm, terdiri atas 4 bagian yaitu intra okuli

(1mm), intra orbita (30 mm),intra kanalikuli (6-9mm), dan intra kranial (10mm).

Optic nerve head,oleh Brigss (1688) disebut ˝papil˝,berbentuk oval dengan

diameter 1,5mm dan aksis vertikal yang lebih panjang. Aliran darah saraf optik

dan papil sangat kompleks (Khurana A K,2007; Andra Pradesh,2009).

Papil adalah tempat serabut nervus optikus memasuki mata. Papil yang normal

mempunyai bentuk yang lonjong, warna jingga muda, dibagian temporal sedikit

pucat, batas dengan sekitarnya (retina) tegas, didapatkan lekukan fisiologis

(physiologic cup). Pembuluh darah muncul ditengah, bercabang ke atas dan ke

7

Page 8: Refrat Lola

bawah, jalannya arteri agak lurus, sedangkan vena berkelo-kelok, perbandingan

besar vena : arteri ialah 3 : 2 sampai 5 : 4.3

2.1.3 Makula

Makula merupakan suatu area pada kutub posterior retina dengan diameter

sekitar 5-6 mm. Secara histologi merupakan area dengan lebih 4,7,8,9 dari satu

lapis sel ganglion. Istilah makula berasal dari kata “macula lutea“ yang berarti

bintik kuning, dikarenakan adanya warna kekuningan akibat pigmen karotenoid

(xantophyl). Terdapat dua pigmen utama didalam makula yaitu zeaxanthin dan

lutein. Rasio lutein dibanding zeaxanthin pada area sentral adalah 1 : 2,4

(sepanjang radius 0,25 mm dari fovea) dan berangsur meningkat menjadi 2 : 1

pada area perifer (2,2-8,7 mm dari fovea).

Secara topografi regio makula, topografi makula terdiri dari umbo,

umbo, foveola, fovea, parafovea, foveola, fovea, parafovea, dan perifovea.

Umbo adalah pusat dari foveola. Secara histologis terdiri dari suatu lamina basal

yang tipis, sel-sel Muller dan sel kerucut 4,7. Foveola merupakan area pusat

cekungan di dalam fovea, dengan lokasi ± 4 mm kearah temporal dan ± 0,8 mm

ke inferior dari pusat papil optik, dengan diameter sekitar 0,35 mm dan

ketebalan sekitar 0,10 mm pada pusatnya. Berisi sel - sel kerucut, sel-sel Muller

dan sel-sel glial. 4,7,8,9,10

Fovea adalah pusat dari makula berupa cekungan dengan diameter ± 1,5

mm 4,7,8,9,10. Pada daerah ini sel kerucut akan terdorong ke arah tepi, lapisan

pleksiforma luar (lapisan Henle) menjadi horizontal, sedangkan serat sel Muller

tersusun secara miring. Didalam fovea, dengan diameter 250-600 µm terdapat

fovea avascular zone ( FAZ ) atau capillary - free zone. Parafovea setebal 0.5

mm mengelilingi fovea. Parafovea terdiri dari sepuluh lapisan retina 7,8,9,10.

Perifovea mengelilingi parafovea setebal 1,5 mm, area ini merupakan bagian

yang paling luar dari makula. Vaskularisasi makula disuplai oleh arteri retina

sentralis, korio kapiler, arteri silio retina yang berjalan dari papil nervus optikus

ke makula 9,10.

8

Page 9: Refrat Lola

2.1.4 Retina

Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan semi transparan

yang melapisi bagian dalam dua pertiga postrerior dinding bola mata. Retina

membentang ke anterior hampir sejauh corpus ciliare dan berakhir pada ora

serrata dengan tepi yang tidak rata. Permukaan luar retina sensoris bertumpuk

dengan lapisan epitel berpigmen retina sehingga juga berhubungan dengan

membran Bruch, koroid, dan sklera (Riordan-Eva, 2010).

Lapisan-lapisan retina, mulai dari sisi dalam, adalah sebagai berikut: (1)

membran limitans interna; (2) lapisan serat saraf, yang mengandung akson-

akson sel ganglion yang menuju nervus optikus; (3) lapisan sel ganglion; (4)

lapisan pleksiform dalam, yang mengandund sambungan sel ganglion dengan sel

amakrin dan sel bipolar; (5) lapisan inti dalam badan-badan sel bipolar, amakrin

dan horisontal; (6) lapisan pleksiform luar yang mengandung sambungan sel

bipolar dan sel horisontal dengan fotoreseptor; (7) lapisan inti luar sel

fotoreseptor; (8) membran limitans eksterna; (9) lapisan fotoreseptor segmen

dalam dan luar batang dan kerucut; dan (10) epitel pigmen retina. Lapisan dalam

membran Bruch sebenarnya merupakan membran basalis epitel pigmen retina

(Riordan-Eva, 2010).

9

Page 10: Refrat Lola

Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,56 mm pada

kutub posterior. Di tengah-tengah retina posterior terdapat makula berdiameter

5,5-6 mm, yang secara klinis dinyatakan sebagai daerah yang dibatasi oleh

cabang-cabang pembuluh retina temporal. Darerah ini ditetapkan sebagai area

centralis, yang secara histologis merupakan bagian retina yang ketebalan lapisan

sel ganglionnya lebih dari satu lapis (Riordan-Eva, 2010).

Retina menerima darah dari dua sumber: koriokapilaris yang berada tepat

diluar membran Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina, termasuk lapisan

pleksiform luar dan lapisan inti luar, fotoreseptor, dan lapisan epitel pigmen

retina serta cabang-cabang dari arteria centralis retinae, yang mendarahi dua

pertiga dalam retina (Riordan-Eva, 2010).

2.1.5 Koroid

Koroid adalah segmen posterior uvea, diantara retina dan sklera. Koroid tersusun

atas tiga lapis pembuluh darah koroid; besar, sedang, dan kecil. Semakin dalam

pembuluh terletak di dalam koroid, semakin lebar lumennya Bagian dalam

pembuluh darah koroid dikenal sebagai koriokapilaris. Darah dari pembuluh

koroid dialirkan melalui empat vena vorticosa, satu di tiap kuadran posterior.

Koroid di sebelah dalam dibatasi oleh membran Bruch dan di sebelah luar oleh

sklera. Koroid melekat erat ke posterior pada tepi-tepi nervus optikus. Di sebelah

anterior, koroid bergabung dengan corpus ciliare (Riordan-Eva, 2010).

2.1.6 Saraf – Saraf Optikus

Retina merupakan reseptor permukaan untuk informasi visual. Sebagaimana

halnya nervus optikus, retina merupakan bagian dari otak meskipun secara fisik

terletak di perifer dari sistem saraf pusat (SSP). Komponen yang paling utama

dari retina adalah sel-sel reseptor sensoris atau fotoreseptor dan beberapa jenis

neuron dari jaras penglihatan. Lapisan terdalam (neuron pertama) retina

mengandung fotoreseptor (sel batang dan sel kerucut) dan dua lapisan yang lebih

superfisial mengandung neuron bipolar (lapisan neuron kedua) serta sel-sel

ganglion (lapisan neuron ketiga). 1

10

Page 11: Refrat Lola

Gambar 3. Lapisan Neuron pada Retina

Sekitar satu juta akson dari sel-sel ganglion ini berjalan pada lapisan

serat retina ke papila atau kaput nervus optikus. Pada bagian tengah kaput nervus

optikus tersebut keluar cabang-cabang dari arteri centralis retina yang

merupakan cabang dari a. oftalmika.1

Nervus optikus memasuki ruang intrakranial melalui foramen optikum.

Di depan tubersinerium (tangkai hipofisis) nervus optikus kiri dan kanan

bergabung menjadi satu berkas membentuk kiasma optikum. Di depan tuber

sinerium nervus optikus kanan dan kiri bergabung menjadi satu berkas

membentuk kiasma optikum, dimana serabut bagian nasal dari masing – masing

mata akan bersilangan dan kemudian menyatu dengan serabut temporal mata

yang lain membentuk traktus optikus dan melanjutkan perjalanan untuk ke

korpus genikulatum lateral dan kolikulus superior. Kiasma optikum terletak di

tengah anterior dari sirkulus Willisi. Serabut saraf yang bersinaps di korpus

genikulatum lateral merupakan jaras visual sedangkan serabut saraf yang

berakhir di kolikulus superior menghantarkan impuls visual yang

membangkitkan refleks opsomatik seperti refleks pupil. 2

11

Page 12: Refrat Lola

Gambar 4. Perjalanan Serabut Saraf Nervus Optikus (tampak basal)

Setelah sampai di korpus genikulatum lateral, serabut saraf yang

membawa impuls penglihatan akan berlanjut melalui radiatio optika (optic

radiation) atau traktus genikulokalkarina ke korteks penglihatan primer di girus

kalkarina. Korteks penglihatan primer tersebut mendapat vaskularisasi dari a.

kalkarina yang merupakan cabang dari a. serebri posterior. Serabut yang berasal

dari bagian medial korpus genikulatum lateral membawa impuls lapang pandang

bawah sedangkan serabut yang berasal dari lateral membawa impuls dari lapang

pandang atas (gambar 5).1,3

12

Page 13: Refrat Lola

Gambar 5. Radatio Optika

Pada refleks pupil, setelah serabut saraf berlanjut ke arah kolikulus

superior, saraf akan berakhir pada nukleus area pretektal. Neuron interkalasi

yang berhubungan dengan nukleus Eidinger-Westphal (parasimpatik) dari kedua

sisi menyebabkan refleks cahaya menjadi bersifat konsensual. Saraf eferen

motorik berasal dari nukleus Eidinger-Westphal dan menyertai nervus

okulomotorius (N.III) ke dalam rongga orbita untuk mengkonstriksikan otot

sfingter pupil (gambar 6).1,4

13

Page 14: Refrat Lola

Gambar 6. Jaras Refleks Pupil 1

2.2. Manifestasi Trauma pada Segmen Posterior

Trauma mata oleh benda tumpul merupakan peristiwa yang sering terjadi.

Kerusakan jaringan yang terjadi akibat trauma demikian bervariasi mulai dari

yang ringan hingga berat bahkan sampai kebutaan. Trauma tumpul mata adalah

trauma pada mata yang diakibatkan benda yang keras atau benda tidak keras

dengan ujung tumpul, dimana benda tersebut dapat mengenai mata dengan

kencang atau lambat sehingga terjadi kerusakan pada jaringan bola mata atau

daerah sekitarnya.

Pada setiap kasus trauma, kita harus memeriksa tajam penglihatan karena

hal ini berkaitan dengan pembuatan visum et repertum. Pada penderita yang

ketajaman penglihatannya menurun, dilakukan pemeriksaan refraksi untuk

mengetahui bahwa penurunan penglihatan mungkin bukan disebabkan oleh

trauma tetapi oleh kelainan refraksi yang sudah ada sebelum trauma.

14

Page 15: Refrat Lola

Pada saat penderita masuk ruang pemeriksaan, sudah dapat diketahui adanya

kelainan di sekitar mata seperti adanya perdarahan sekitar mata, pembengkakan

di dahi, di pipi, hidung dan lain-lainnya. Pemeriksaan mata perlu dilakukan

secara sistematik dan cermat.

Tabel 1. Temuan pada Segmen Posterior Tersering pada Trauma Tumpul

Temuan Luka memar Luka goresan Ruptur

Perdarahan Vitreous Ya Ya Ya

Pigmen Vitreous Ya Jarang Jarang

Vitreous base dialysis Ya Jarang Ya

Retinal flap tear Ya Ya Ya

Terpisahnya posterior vitreous Ya Jarang Ya

Intraocular Foreign Body No Ya Jarang

Commotio Retina Ya Jarang Jarang

Lubang Makula Ya Jarang Jarang

Ruptur Koroid Ya Tidak Jarang

Sclopetaria Ya Tidak Ya

Perdarahan Subretina Ya Ya Ya

Optic Nerve Avulsion Ya Jarang Jarang

Retinal Detachment Jarang Jarang Ya

Hypotony Maculopathy Ya Ya Ya

Dislokasi Lensa Ya Tidak Ya

Endophthalmitis Tidak Ya Jarang

2.2.1 Koroid

Ruptur Koroid

Pada trauma keras dapat terjadi perdarahan subretina yang dapat merupakan

akibat ruptur koroid. Ruptur ini biasanya terletak di polus posterior bola mata

dan melingkar konsentris di sekitar papil saraf optic. Bila ruptur koroid ini

terletak atau mengenai daerah makula lutea maka tajam penglihatan akan turun

dengan sangat. Ruptur ini bila tertutup oleh perdarahan subretina agak sukar

15

Page 16: Refrat Lola

dilihat akan tetapi bila darah tersebut telah diabsorbsi maka akan terlihat bagian

ruptur berwarna putih karena sklera dapat dilihat langsung tanpa tertutup koroid.

2.2.2 Saraf Optik

Pada trauma tumpul dapat terjadi avulsi saraf optik atau terlepasnya saraf optik

dari pangkal-pangkalnya di dalam bola mata. Keadaan ini menyebabkan

penurunan visus dan sering berkahir pada kebutaan.Selain itu, trauma tumpul

juga dapat mengakibatkan kompresi pada saraf optik, demikian pula perdarahan

dan edema sekitar saraf optik. Penglihatan akan berkurang setelah cidera mata

dan terdapat reaksi defek aferen pupil tanpa adanya kelainan nyata pada retina.

Tanda lain yang dapat ditemukan adalah gangguan penglihatan warna dan

lapang pandang.

Kontusio dan konkusio dapat menyebabkan edema dan inflamasi di sekitar

diskus optik berupa pailitis, dengan sekuele berupa papil atrofi. Keadaan ini

sering disertai pula dengan kerusakan koroid dan retina yang luas. Kontusio dan

konkusio yang hebat juga mengakibatkan ruptur atau avulsi nervus optikus yang

biasanya disertai kerusakan mata berat.3,6

A. Avulsi Papil Saraf Optik

Pada trauma tumpul dapat terjadi saraf optik terlepas dari pangkalnya di

dalam bola mata yang disebut sebagai avulsi papil saraf optik. Keadaan ini

akan mengakibatkan turunnya tajam penglihatan yang berat dan sering

berakhir dengan kebutaan. Penderita ini perlu dirujuk untuk dinilai kelainan

fungsi retina dan saraf optiknya.

B. Optik Neuropati Traumatik

Trauma tumpul dapat mengakibatkan kompresi pada saraf optik, demikian

pula perdarahan dan edema sekitar saraf optik. Penglihatan akan berkurang

setelah cidera mata. Terdapat reaksi defek aferen pupil tanpa adanya kelainan

nyata pada retina. Tanda lain yang dapat ditemukan adalah gangguan

penglihatan warna dan lapang pandang. Papil saraf optik dapat normal

beberapa minggu sebelum menjadi pucat.

16

Page 17: Refrat Lola

Diagnosis banding penglihatan turun setelah sebuah cidera mata adalah

trauma retina, perdarahan badan kaca, trauma yang mengakibatkan kerusakan

pada kiasma optik. Pengobatan adalah dengan merawat pasien waktu akut

dengan memberi steroid.

2.2.3 Vitreous Humor

Perdarahan vitreous humor merupakan penyebab kedua kekeruhan media

setelah katarak. Kavitas pada vitreous humor dapat dievaluasi dari adanya

kekeruhan dari cairan vitreous humor (sineresis), sel merah yang menumpuk

(perdarahan), inflammasi (uveitis), infeksi (endoftalmitis) atau karena steroid

hialoids (4,7).

Perdarahan vitreus adalah ekstravasasi darah ke salah satu dari beberapa

ruang potensial yang terbentuk di dalam dan di sekitar korpus vitreus. Kondisi

ini dapat diakibatkan langsung oleh robekan retina atau neovaskularisasi retina,

atau dapat berhubungan dengan perdarahan dari pembuluh darah yang sudah ada

sebelumnya.(2,8)

Perdarahan vitreus dapat terjadi akibat dari retinitis proliferans, oklusi

vena sentral, oklusi vena cabang, ablasio retina, kolaps posterior vitreus akut

tanpa harus ada robekan. Perdarahan tersebut terletak pada belakang gel vitreus

atau dengan sineretic kavitas.(7)

Etiologi terjadinya perdarahan vitreus menjadi tiga kategori utama yaitu:(1,5,6,8)

1. Pembuluh darah retina abnormal

Pembuluh darah retina abnormal biasanya akibat iskemia pada

penyakit seperti diabetik retinopati, sickle cell retinopati, oklusi vena retina,

retinopati prematuritas atau sindrom iskemik okular. Retina mengalami

pasokan oksigen yang tidak memadai, Vascular Endotel Growth Factor

(VEGF) dan faktor kemotaktik lainnya menginduksi neovaskularisasi.

Pembuluh darah baru ini terbentuk karena kurangnya endotel tight junction

yang merupakan faktor predisposisi terjadinya perdarahan spontan. Selain

itu, komponen berserat yang sering menempatkan tekanan tambahan pada

17

Page 18: Refrat Lola

pembuluh darah yang sudah rapuh serta traksi vitreus normal dengan

gerakan mata dapat menyebabkan pecahnya pembuluh tersebut.(1)

2. Pecahnya pembuluh darah normal

Pecahnya pembuluh darah normal dapat diakibatkan kekuatan

mekanik yang tinggi. Selama PVD, traksi vitreus pada pembuluh darah

retina dapat membahayakan pembuluh darah. Hal ini bisa terjadi dengan

robekan retina atau ablasio. Namun, perdarahan vitreus dalam bentuk

sebuah PVD akut harus diwaspadai dokter karena risiko robeknya retina

bercukup tinggi (70-95 persen). Trauma tumpul atau perforasi bisa melukai

pembuluh darah utuh secara langsung dan merupakan penyebab utama

perdarahan vitreus pada orang muda terutama umur kurang dari 40 tahun.

Penyebab yang jarang dari perdarahan vitreus adalah sindrom Terson, yang

berasal dari ekstravasasi darah ke dalam vitreus karena perdarahan

subaraknoid. Sebaliknya peningkatan tekanan intrakranial dapat

menyebabkan venula retina pecah.(1)

3. Darah dari sumber lainnya

Darah dari sumber lainnya, keadaan patologi yang berdekatan

dengan vitreus juga dapat menyebabkan perdarahan vitreus seperti pada

perdarahan dari makroaneurisma retina, tumor dan neovaskularisasi

koroidal, semua dapat memperpanjang melalui membran batas dalam

vitreus dan menyebabkan perdarahan.(1)

Tabel 2. Mekanisme Perdarahan Vitreus(1)

1. Pembuluh darah Abnormal

Diabetik retinopati (31-54 % perdarahan vitreus disebabkan oleh diabetes)

Neovaskularisasi dari cabang atau pusat oklusi vena retina (4-16 %)

Retinopati sickle sel (0,2-6 %)

2. Pecahnya Pembuluh darah normal

Robekan retina (11-44 %)

Trauma (12-19 %)

18

Page 19: Refrat Lola

Posterior Vitreous Detachement (PVD), robekan pembuluh darah retina (4-12 %)

Ablasio retina (7-10 persen)

Sindrom Terson (0,5-1 persen)

3. Darah Dari Sumber Lain

Makroaneurisma (0,6-7 %)

Age Related Macula Degeneration (0,6-4 %)

Gambar 7. Mekanisme Perdarahan Vitreus

Gejala klinis

Pasien dengan perdarahan vitreus sering datang dengan keluhan mata kabur atau

berasap, ada helai rambut atau garis (floaters), fotopsia, seperti ada bayangan

dan jaring laba-laba. Gejala subyektif yang paling sering ialah fotopsia, floaters.

Fotopsia ialah keluhan berupa kilatan cahaya yang dilihat penderita seperti

kedipan lampu neon di lapangan. Kilatan cahaya tersebut jarang lebih dari satu

detik, tetapi sering kembali dalam waktu beberapa menit. Kilatan cahaya

tersebut dilihat dalam suasana redup atau dalam suasana gelap. Fotopsia diduga

oleh karena rangsangan abnormal vitreus terhadap retina.(1,2,5,6)

19

Page 20: Refrat Lola

Floaters adalah kekeruhan vitreus yang sangat halus, dilihat penderita

sebagai bayangan kecil yang berwarna gelap dan turut bergerak bila mata

digerakkan. Bayangan kecil tersebut dapat berupa titik hitam, benang halus,

cincin, lalat kecil dan sebagainya. Floaters tidak memberikan arti klinik yang

luar biasa, kecuali bila floaters ini datangnya tiba-tiba dan hebat, maka keluhan

tersebut patut mendapat perhatian yang serius, karena keluhan floaters ini dapat

menggambarkan latar belakang penyakit yang serius pula, misalnya ablasio

retina atau perdarahan di vitreus.(2,4,5)

Perdarahan vitreus ringan sering dianggap sebagai beberapa floaters

baru, perdarahan vitreus moderat dianggap sebagai garis-garis gelap, dan berat

pada perdarahan vitreus cenderung untuk secara signifikan mengurangi

penglihatan bahkan persepsi cahaya. Biasanya, tidak ada rasa sakit yang terkait

dengan perdarahan vitreus. Pengecualian mungkin terjadi apabila termasuk

kasus glaukoma neovaskular, hipertensi okular akut sekunder yang parah atau

trauma.(1,2,7,8)

Pasien harus ditanyakan mengenai riwayat trauma, operasi mata,

diabetes, anemia sickle sel, leukemia dan miopia tinggi.(1)

Pemeriksaan lengkap terdiri dari oftalmoskopi langsung dengan depresi

skleral, gonioskopi untuk mengevaluasi neovaskularisasi sudut, TIO dan B-scan

ultrasonografi jika tampilan lengkap segmen posterior tertutup oleh darah.

Pemeriksaan dari mata kontralateral dapat membantu memberikan petunjuk

etiologi dari perdarahan vitreus, seperti retinopati diabetik proliferatif.(1,7)

Gambaran perdarahan pada vitreus melalui ultrasonografi berbentuk

kecil dan semakin banyak terlihat dan semakin tebal diartikan banyak

perdarahan di dalamnya. Dapat pula dibedakan perdarahan yang masih baru

“fresh hemorrhage” atau sudah lama “clotted hemorrhage”. Bila perdarahan

disebabkan oleh PVD, akan terlihat gambaran membran yang sejajar di B-scan

ultrasonografi.(1,5,6)

Kehadiran perdarahan vitreus tidak sulit untuk dideteksi. Pada slit lamp,

sel darah merah dapat dilihat di posterior lensa dengan cahaya set "off-axis" dan

mikroskop pada kekuatan tertinggi. Dalam perdarahan vitreus ringan, pandangan

20

Page 21: Refrat Lola

ke retina dimungkinkan dan lokasi dan sumber perdarahan vitreus dapat

ditentukan. (1,5,6)

Perdarahan vitreus hadir dalam ruang subhialoid juga dikenal sebagai

perdarahan preretinal. Perdarahan berbentuk seperti perahu dimana darah

terperangkap dalam ruang potensial antara hialoid posterior dan basal membran,

dan mengendap keluar seperti hifema. Perdarahan vitreus yang tersebar ke dalam

korpus vitreus tidak memiliki batas dapat berkisar dari beberapa bintik sel darah

merah sampai memenuhi keseluruhan dari segmen posterior.(1,5)

Gambar 8. Perdarahan vitreus segmen anterior dan segmen posterior(3)

2.2.4 Retina

A. Commotio Retinae / Berlin’s Edema / Edema Makula

Edema makula terjadi ketika cairan dari bocoran kapiler yang

lemah masuk ke dalammakula, yang bertanggung jawab

untuk memfokuskan mata. Edema retina yang mengenai makula dapat

disebabkan oleh penyakit peradangan intraokular, penyakit vaskular retina,

membran epiretina, bedah intraokular, degenerasi retina didapat atau

herediter, terapi obat, atau mungkin idiopatik. Edema makula mungkin

bersifat difus bila cairan intraretina yang tidak terlokalisasi menyebabkan

penebalan makula. Edema makula setempat, akibat timbunan cairan dalam

ruang-ruang mirip sarang lebah pada lapisan inti dalam dan lapisan

pleksiform luar, dikenal sebagai edema makula kistoid (CME). CME

21

Page 22: Refrat Lola

memiliki gambaran yang khas pada optical coherence tomography, yang

merupakan suatu metode noninvasif yang baik untuk memantau respon

terapi. Pada angiografi fluoresens, zat warna fluoresens merembes keluar

dari kapiler-kapiler retina perifovea dan daerah peripapilar, tertimbun

dengan pola kelopak bunga di sekitar fovea.

Penyebab CME tersering adalah operasi katarak, terutama bila operasinya

lama atau menimbulkan komplikasi. Pelepasan vitreus posterior total

tampaknya agak menghalangi perkembangan CME. Setelah tindakan

bedah fakoemulsifikasi rutin, CME terdeteksi sekitar 25% dengan

angiografi fluoresens dan sekitar 2% dengan pemeriksaan klinis. Edema

ini biasanya terjadi dalam 4-12 minggu pascaoperasi, tetapi pada beberapa

keadaan onsetnya mungkin tertunda beberapa bulan sampai tahun. Banyak

pasien dengan lama CME kurang dari 6 bulan mengalami perhentian

kebocoran secara spontan dan sembuh tanpa pengobatan. Terapi inflamasi

nonsteroid dan atau steroid topikal dapat mempercepat permulihan

ketajaman penglihatan pada pasien edema makula pascaoperasi kronik.

Pada kasus-kasus yang resisten, terapi dengan triamcinolone dasar orbita

atau intravitreal mungkin bermanfaat. Vitreolisis laser YAG atau

vitrektomi dapat dipertimbangkan bila ada traksi vitreus. Apabila

pemasangan lensa intraokular merupakan penyebab edema makula

pascaoperasi, akibat disain, posisi, atau fiksasinya tidak adekuat, perlu

dipertimbangkan pengangkatan lensa tanam tersebut.

B. Lubang Makula

Lubang makula biasanya terjadi karena adanya tekanan pada makula. Mata

terisi dengan jel bening yang disebut vitreous. Seiring dengan proses

penuaan atau karena trauma tumpul, vitreous biasanya menjadi semakin

encer dan dapat menekan pada  makula, mengakibatkan robeknya makula,

membentuk lubang makula. Penyebab lain lubang makula adalah miopia

tinggi, dimana bentuk bola mata memanjang sehingga memberikan

tekanan pada makula, menyebabkannya robek. 

22

Page 23: Refrat Lola

Beberapa gejala lubang makula termasuk memburuknya penglihatan

sentral / pusat (bagian tengah) secara bertahap atau distorsi penglihatan

(melihat garis lurus menjadi bergelombang). Cara terbaik untuk

mendeteksi lubang makula adalah melalui pemeriksaan mata. Dokter mata

anda akan meneteskan obat tetes mata untuk memperbesar pupil sementara

sehingga dia dapat mengecek ada tidaknya lubang di bagian belakang mata

anda (retina). Mata juga di scan tanpa rasa sakit dengan menggunakan

tomografi koherensi optikal (suatu bentuk cahaya yang berguna untuk

mengecek lapisan-lapisan retina ) untuk mengevaluasi makula. 

C. Perdarahan Subretina

Pada trauma keras dapat terjadi perdarahan subretina akibat ruptur koroid.

Ruptur ini biasanya terletak di polus posterior bola mata dan melingkar

kosentris di sekitar papil saraf optik. Bila ruptur koroid ini terletak atau

mengenai daerah makula lutea maka tajam penglihatan akan turun drastis.

Ruptur ini bila tertutup oleh perdarahan subretina agak sukar dilihat namun

bila darah tersebut telah diabsorpsi maka akan terlihat bagian ruptur

bewarna putih karena sklera dapat dilihat langsung tanpa koroid.

Perdarahan subretina ini kemudian diikuti oleh parut subretina. 3

D. Ablasio Retina / Retinal Detachment

Ablatio retina adalah lepasnya lapisan sensoris retina (sel batang dan sel

kerucut) dari lapisan epitel pigmen retina. Diantara kedua lapisan tersebut

akan terkumpul cairan yang disebut cairan subretina. Penderita ablatio

retina akan mengeluh penglihatan nya kabur secara mendadak. Pada

awalnya sebelum terjadi ablatio retina seseorang akan merasakan

penglihatannya seperti ada kotoran, ada bintik bintik hitam atau bayang

bayang hitam seperti garis garis  pada lapangan penglihatannya (floaters)

dan  dapat juga disertai adanya sensasi kilatan kilatan cahaya (fotopsi) 

selanjutnya secara cepat penglihatan seperti tertutup tirai dan bahkan gelap

sama sekali. Ablasio retina diklasifikasikan atas :

23

Page 24: Refrat Lola

i. Retinal detachment regmatogen

Retinal detachment regmatogen merupakan bentuk yang paling

banyak dijumpai, karakteristiknya adalah pelepasan total (full

thickness) suatu regma di retina sensorik, traksi korpus vitreus dan

mengalirnya korpus vitreus cair melalui defek retina sensorik ke

dalam ruang subretina. Sebanyak 90% sampai 97% dijumpai

adanya retinal break dan sebagian besar pasien mengeluh adanya

photopsia dan floaters. Tekanan bola mata cenderung rendah

dibandingkan dengan mata sebelah. Tanda khas yang dijumpai

yakni shafer sign (tobacco dust). Manajemen rhegmatogenous

retinal detachment dapat dilakukan dengan cara tehnik bakel sclera

yang bertujuan menutup robekan retina dengan cara indentasi

sclera maka traksi vitreus berkurang dan mengurangi masukan

vitreus cair melalui robekan retina ke ruang subretina. Sehingga

daerah robekan retina menempel kembali dengan EPR. Pada tehnik

pneumatic retinopexy, gelembung udara diinjeksikan ke dalam

rongga vitreus yang berfungsi sebagai temponade terhadap robekan

retina sehingga retina melekat kembali. Kedua tehnik diatas dapat

menghasilkan perlekatan retina yang kuat dengan melakukan

cryotheraphy, laser atau diathermy dan kadang perlu dilakukan

vitrektomi. Kegagalan tehnik diatas sering disebabkan oleh adanya

Proliferative Vitreo Retinopathy (PVR) dimana terjadi proliprasi

membran periretina yang menimbulkan traksi yang menyulitkan.

ii. Retinal detachment traksional

Retinal Detachment traksional adalah bentuk kedua tersering. Hal

ini terutama disebabkan oleh Retinopati diabetik proliferatif, vitreo

retinopati proliferatif dan trauma mata dimana membran yang

timbul pada vitreus menarik neurosensori retina dari RPE.

Gambaran karakteristiknya yaitu permukaan retina yang licin dan

imobil. Terapi dari traksional retinal detachment merupakan

kombinasi antara vitrektomi dan tehnik bakel sklera.

24

Page 25: Refrat Lola

iii. Retinal detachment eksudatif

Retinal Detachment Eksudatif, ini disebabkan oleh kerusakan

pembuluh darah retina atau RPE. Sehingga memungkinkan

penimbunan cairan dibawah retina sensorik. Hal ini sering

disebabkan oleh infeksi, neoplasma. Adanya sifting fluid

merupakan karakteristik dari eksudatif retinal detachment karena

cairan subretina dipengaruhi oleh gaya grafitasi maka dimana

cairan ini menumpuk disana terjadi ablasio retina. Ablasio retina

eksudatif ini dapat mengalami regresi spontan. Setelah cairan

subretina mengalami resorbsi, oleh karena itu terapi ablasio ini

diarahkan terhadap penyebabnya sehingga jarang dilakukan

operasi.

2.2.5 Papil

Atropi Papil

Atropi papil merupakan kerusakan pada saraf optik yang mengakibatkan

degenerasi saraf optik yang terjadi sebagai hasil akhir suatu proses patologik

yang merusak akson pada sistem penglihatan anterior.Atropi papil dapat

bersifat primer atau sekunder. Atropi papil merupakan suatu tanda yang

penting dari suatu penyakit saraf optik lanjut.(Skuta 2010,Khurana 2007).

Atropi papil tidak terjadi dengan segera tetapi umumnya terjadi 4-6 minggu

setelah terjadinya kerusakan akson (Skuta, 2010). Atropi papil primer

disebabkan oleh adanya lesi yang mengenai jalur visual pada bagian

retrolaminar saraf optik ke badan genikulatum lateral. Lesi yang mengenai

saraf optik akan menghasilkan atropi papil yang unilateral,sedang lesi yang

mengenai chiasma dan traktus optikus akan menyebabkan atropi papil yang

bilateral.

Gambaran papil :

- Papil putih,datar dengan gambaran batas yang jelas

- Penurunan jumlah pembuluh darah kecil pada papil

- Pengecilan pembuluh darah peripapiler dan penipisan lapisan sarabut saraf

retina.

25

Page 26: Refrat Lola

BAB III

PENUTUP

Segmen posterior merupakan dua pertiga dari bagian mata yang meliputi

membran anterior hyaloid dan semua struktur di belakangnya : vitreous humor,

retina, koroid, dan saraf – saraf optikus. Pada referat ini akan dibahas tentang

anatomi bagian segmen posterior

Trauma tumpul mata adalah trauma pada mata yang diakibatkan benda

yang keras atau benda tidak keras dengan ujung tumpul, dimana benda tersebut

dapat mengenai mata dengan kencang atau lambat sehingga terjadi kerusakan

pada jaringan bola mata atau daerah sekitarnya.

Pada setiap kasus trauma, kita harus memeriksa tajam penglihatan karena

hal ini berkaitan dengan pembuatan visum et repertum. Pada penderita yang

ketajaman penglihatannya menurun, dilakukan pemeriksaan refraksi untuk

mengetahui bahwa penurunan penglihatan mungkin bukan disebabkan oleh

trauma tetapi oleh kelainan refraksi yang sudah ada sebelum trauma.

26

Page 27: Refrat Lola

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S. Mata merah dengan penglihatan normal. Ilyas S, editor. Dalam:

Ilmu Penyakit Mata Edisi ke-3. Jakarta: FKUI; 2009.

2. Vaughan, Daniel G., Asbury Taylor, Riordan Eva-Paul. Ofthalmologi

Umum. Edisi 14. Jakarta: Widya Medika ; 2000.

3. Bruce, Chris, dan Anthony. 2006. Lecture Notes : Oftalmologi. Edisi 9.

Jakarta :Penerbit Erlangga.

4. Mansjoer, Arif, Kuspuji Triyanti et al. 2005.Kapita Selekta Kedokteran edisi

ketiga.Jakarta: Media Aesculapius

5. Wijana,Nana S,Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke VI 1993 1. Bruce, Chris,

dan Anthony. 2006. Lecture Notes : Oftalmologi. Edisi 9. Jakarta :Penerbit

Erlangga.

6. Kuhn F, Pieramici.Ocular Trauma Principles and Practice [ebook]. New

York: Thieme; 2002.

7. Kanski JJ, Bowling B. Clinical Ophthalmology A Systematic Approach:

trauma to globe [ebook]. 7th ed. Edinburgh: Elsevier Saunders; 2011.

Chapter 21.

8. Khurana AK. Comphrehensive Ophthalmology: ocular injuries [ebook]. 4th

ed. New Delhi: New Age International; 2007. p.401-16.

9. Pieramici DJ, Kuhn F. Ocular Traumatology [ebook]. New York: Springer;

2008. p. 389-450.

10. Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General

Ophthalmology: ocular and orbital trauma [ebook]. 16th ed. New York:

McGraw-Hill; 2010. Chapter 19.

11. Harus S, Srinivasan S, Kaye S, Batterbury M, Hollingworth K. Modification

of classification of ocular chemical injuries. Br J Ophthalmol. 2004; 88(10):

1353–5.

12. Berson FG. Basic Ophthalmology: ocular and orbital injuries. 6th ed. San

Fransisco: American Academy of Ophthalmology. p. 82-9.

27