skripsi zuhri full
Embed Size (px)
TRANSCRIPT

i
ANALISIS TERHADAP BATAS USIA DAN PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA ANAK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997
TENTANG PENGADILAN ANAK
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1
Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh :MUHAMMAD FAKHRUDDIN ZUHRI
NIM. 072211025
JURUSAN JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012

ii
Drs. H. Eman Sulaeman, M.H.Tugurejo A.3 RT 2/l Semarang.Moh. Khasan, M.Ag.Bukit Permata Puri C II A/8 Nagilyan Semarang.
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 ( empat ) eks.
Hal : Naskah skripsi
An. Sdr. Muhammad Fakhruddin Zuhri
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari’ah
IAIN Walisongo Semarang
Di Semarang
Assalamualaikum Wr. Wb.
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini
saya kirim naskah skripsi saudara :
Nama : MUHAMMAD FAKHRUDDIN ZUHRI
Nim : 072211025
Jurusan : Siyasah Jinayah
Judul skripsi : Analisis Terhadap Batas Usia dan Pertanggungjawaban
Pidana Anak dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 Tentang Pengadilan Anak
Dengan ini mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera
dimunaqosahkan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Semarang, 12 Juni 2012

iii
KEMENTRIAN AGAMAINSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
FAKULTAS SYARI’AH SEMARANGJl.Raya Boja Km.2 Ngaliyan Telp/Fax. (024) 7601291 Semarang 50185
PENGESAHANNama : Muhammad Fakhruddin Zuhri
Nim : 072211025
Jurusan : Siyasah Jinayah
Judul skripsi : Analisis Terhadap Batas Usia dan Pertanggungjawaban
Pidana Anak dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
Tentang Pengadilan Anak
Telah dimunaqosahkan oleh dewan penguji Fakultas Syari’ah Institut Agama
Islam Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude /
baik / cukup, pada tanggal :
20 Juni 2012
Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana strata 1 tahun
akademik 2012/2013.
Semarang, 28 Juni 2012

iv
MOTTO
Calves are easily bound and slaughteres, never knowing the reason why..
But, whoever treasure freedom, like the swallow has learned to fly… (Joan
Baez)
“Kita tidak boleh menerima nasib buruk dan menganggapnya sebagai jalan hidup
yang telah ditentukan bagi kita, pasrah menerimanya sebagai kutukan.. Kalau
kita ingin hidup bebas, kita harus belajar terbang…”
Polos dan Apa Adanya…

v
PERSEMBAHAN
Allah SWT, untuk segala Rahmat & Hidayahnya dalam memberikanpenulis kemudahan dalam menjalani hidup dan menyelesaikan
skripsi ini.
Kedua orangtua, Bapak dan Amak untuk segala doa, dukungandan restunya bagi penulis selama ini dan seterusnya.
Kakak dan adikku, Wakhid, Nikmah, Syam, Qomar dan Aulia,terima kasih untuk segala pengertian dan dukungannya.
Wury Ariyanty, Abdul Khakim, Daneil Dip, Mba’ Sofi dan MiftahulKhoiriyah yang telah memberikan semangat, dorongan serta cacimakinya, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan
penuh semangat.
Teman-teman di tempat pertapaan, Hajir, Lutfi, Ibad, Ghufron,Qomeng, Nuril, faqeh dan Tozinx selaku partner penulis dan teman
ngobrol dan ngopi, terima kasih atas kebaikan tempat danfasilitasnya.
Kawan-kawan SJ B ’07 (Genk Thongklo); Kholis, Nita, Sukron, Arif,Fajrin, Faqeh, Ghufron, Khumae, Tozink, Nasron, Nunik, Yantsen,
Hasan dan Shohibul Ibad, terima kasih banyak untuk segalakebersamaan, pengalaman, dukungan dan segalanya selama
penulis menyelesaikan kuliah di kampus tercinta.
Keluarga besar Justisia yang menjadi tempat berproses, terima kasihbanyak ilmunya. Untuk Wadyabala ’07; Sholy, Rifa’ah, Ainung,Khamid, Salam, Kholik dkk. Buat kalian yang sekarang masih
berproses; Nazar, Lyntha, Wahid dkk. Good Luck.
Teman-teman KKN; Fajri, Gus Hasan, Sai, Ulil, Risma, Ani, Corinah,Dian, Mautah dan Ela, Khususnya Mbah Rais & Mak e, Mbah As, PakJun & Bu Lurah, serta Mas Khafid, Mas Edy dkk. maturnuwun sanget
atas semua kebaikan, kebersamaan, pengalaman hidup dandoanya, Kulo nyuwun pangapunten sedoyo kelepatan.
Terima kasih ter-spesial untuk M Lutfi Fauzi dan Fahriza Fahmi,terima kasih banyak untuk motto hidup dan spirit hidup serta
pengalaman batinnya.

vi
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis
menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang
telah atau pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan.
Dengan demikian skripsi ini tidak berisi satupun pikiran
orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi
yang menjadi bahan rujukan.
Semarang, 12 Juni 2012
Deklarator,
Muhammad Fakhruddin ZuhriNIM. 072211025

vii
ABSTRAK
Anak menjadi salah satu subjek dalam undang-undang yang mendapatkankeistimewaan. Sehingga anak benar-benar dilindungi haknya. Meski padakenyataannya, hak-hak anak tersebut terabaikan oleh subjektifitas aparat penegakhukum yang semena-mena dalam menangani anak yang melakukan kejahatan(juvenile delinquency). Adanya ketidakharmonisan instrumen peraturanperundangan mengenai pengklasifikasian umur anak yang dapat dimintakanpertanggungjawaban, membuat anak berada pada posisi yang rentan ketika beradadihadapan hukum. Perbedaan tersebut membawa implikasi proses hukum anak itusendiri. Sehingga banyak sekali anak yang pada akhirnya dimasukkan ke dalampenjara.
Skripsi ini adalah hasil penelitian tentang Analisis Terhadap Batas Usiadan Pertanggungjawaban Pidana Anak dalam Undang-Undang No 3 Tahun 1997tentang Pengadilan Anak yang bertujuan untuk menjawab permasalahan mengenai: (1) Bagaimana ketentuan mengenai batasan usia anak yang melakukan kejahatandalam UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (2) Bagaimana tinjauanyuridis terhadap penjatuhan sanksi pidana bagi anak yang melakukan tindakpidana menurut UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam hukumpidana Islam.
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah deskriptif-analitik, yaitupenelitian yang memaparkan suatu masalah tentang batas usia anak danpertanggungjawaban pidananya dari ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukumpidana Islam dan hukum Positif yang dianalisis memakai analisa deduktif yangdiinterpretasikan dan kemudian disimpulkan. Pengumpulan data menggunakanstudi kepustakaan (library research) yang meliputi dokumentasi, membaca,menelaah buku-buku/kitab dan kaidah-kaidah hukum normatif.
Hasil penelitian ini yang pertama, adalah bahwa batas usia anak yangdapat dimintakan pertanggungjawaban pidana sebagaimana diatur dalam UU No 3Tahun 1997 didapatkan batasan usia antara 8-18 tahun (Pasal 4). Namun,ketentuan tersebut dihapuskan oleh putusan MK yang menyatakan usia 8 tahundihapus dan diganti 12 tahun. Sehingga batas usia minimum anak yang dapatdimintakan pertanggungjawaban seiring adanya putusan MK tersebut jelasmenjadi 12 tahun. Yang kedua, hukuman bagi seorang anak dalam hukum pidanaIslam dinyatakan bahwa seorang anak yang belum berusia 7-12 tahun, anaktersebut tidak akan dikenakan hukuman hudud dan qishash meskipun si anakmelakukan jarimah hudud. Sehingga, hukuman yang diterapkan hukum pidanaIslam terkait jarimah anak hanyalah hukuman ta’zir dan diyat. Sedangkan dalamUU No 3 tahun 1997, sanksi hukum yang dikenakan pada anak memilikikesamaan dengan hukum pidana Islam yakni hukuman penjara, tindakan, dendadan pengawasan.

viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Segala puji bagi Allah, karena karunia, rahmat, hidayah dan inayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam mudah-mudahan
tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad beserta keluarga dan sahabatnya, yang
telah membawa risalah Islam dan menyampaikan kepada umat manusia serta
penulis harapkan syafa’at-Nya kelak di hari kiamat.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun skripsi yang berjudul:
“Analisis Terhadap Batas Usia dan Pertanggungjawaban Pidana Anak
dalam UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak” ini tidak terlepas dari
bantuan berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan dan dorongan, baik
segi moril maupun materiil, sehingga akhirnya penulis dapat menghadapi berbagai
kendala yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini dengan baik.
Dalam kesempatan ini, tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Prof. DR. Muhibbin, M.Ag., selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang.
2. DR. Imam Yahya, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang dan stafnya.
3. Drs. M. Solek, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah dan Rustam
DKHA, M.Ag., selaku Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah IAIN Walisongo
Semarang.
4. Drs. H. Eman Sulaeman, M.H., selaku pembimbing I dan Moh. Khasan,
M.Ag., selaku pembimbing II yang telah mencurahkan segala kemampuan
akademik maupun spiritualnnya untuk menggembleng mental dan
membimbing penyusun hingga selesai.
5. Seluruh Dosen Jurusan Jinayah Siyasah beserta staf Tata Usaha Fakultas
Syari’ah.
6. Kedua orang tua penulis beserta segenap keluarga besar dan saudara penulis
atas segala doa, perhatian dan bantuan yang tidak dapat penulis balas hanya
lewat untaian kata-kata dalam tulisan ini.

ix
7. Teman-teman senasib dan seperjuangan di jurusan Jinayah Siyasah angkatan
2007 serta Wadyabala Justisia, never ending story.
8. Dan seluruh Keluarga Besar Institut Agama Islam Negeri Walisongo
Semarang yang saya hormati.
Penulis menyadari betul adanya banyak kekurangan untuk dikatakan
sempurna dari penulisan skripsi ini. Untuk itu, semua kritik dan saran yang
membangun sangat penulis harapkan. Semoga hasil penelitian ini dapat
bermanfaat bagi semua kalangan pembaca. Amiin.
Semarang, 12 Juni 2012
Penulis
Muhammad Fakhruddin ZuhriNIM. 072211025

x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………….…..ii
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………….....iii
HALAMAN MOTTO……….…………………………………….….....iv
HALAMAN PERSEMBAHAN………………………………….….….v
HALAMAN DEKLARASI....………………………………………….vi
HALAMAN ABSTRAK……………………………………………….vii
HALAMAN KATA PENGANTAR…………………………………..viii
HALAMAN DAFTAR ISI………………………………………………x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………………..1
B. Rumusan Masalah………………………………………...15
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian…………………………..15
D. Telaah Pustaka …………………………………………...16
E. Kerangka Teori……………………………………………20
F. Metode Penelitian ………………………………………...34
G. Sistematika Penulisan ……………………………………38
BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ATAS
KEJAHATAN YANG DILAKUKAN ANAK MENURUT
HUKUM PIDANA ISLAM
A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana…….…………...40
B. Batasan Umur Pertanggungjawaban Pidana Anak………46
1. Pengertian Anak………………………………………46
2. Pengertian Hukuman………………………………….53
C. Ketentuan Pemidanaan Anak..………………………......57

xi
BAB III BATAS USIA SERTA PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA ANAK DALAM PERSPEKTIF UU NO 3
TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK
A. Pertanggungjawaban Pidana Menurut Hukum Positif..….63
B. Pengertian dan Batasan Umur Anak Dalam
Pertanggungjawaban Pidana .........................................….70
C. Jenis Sanksi Bagi Anak................................................. .....75
BAB IV ANALISIS TERHADAP BATAS USIA DAN
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DALAM
UU NO 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN
ANAK
A. Analisis Tentang Batasan Umur Pidana Anak..................84
B. Analisis Tentang Sanksi Bagi Anak................................100
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................... ...116
B. Saran-saran .................................................................... ...117
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak asasi
sejak dilahirkan, sehingga tidak ada manusia atau pihak lain yang boleh
merampas hak tersebut.1 Sebagaimana diatur dalam pasal 53 Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan untuk kepentingan
Hak Anak diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.
Hak dasar anak adalah untuk memperoleh perlindungan baik dari Orang tua,
Masyarakat dan Negara. Memperoleh pendidikan, terjamin kesehatan dan
kesejahteraan merupakan sebagian dari hak-hak anak. Jaminan perlindungan
hak anak tersebut sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan tujuan negara
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.2 Sehingga perlu
dilakukan berbagai upaya untuk memberikan pembinaan dan perlindungan
terhadap anak, baik menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum
yang lebih memadai.
Dalam berbagai upaya pembinaan dan perlindungan tersebut sering
dihadapkan pada permasalahan dan tantangan dalam masyarakat yang
kadang-kadang dijumpai penyimpangan perilaku dikalangan anak itu sendiri.
Bahkan lebih dari itu, terdapat anak yang melakukan perbuatan melanggar
hukum, tanpa mengenal status sosial dan ekonomi. Dan disamping itu
terdapat pula anak, yang karena satu dan lain hal tidak mempunyai
1 Irsan Koesparmono, Hukum Perlindungan Anak, Jakarta: UPN, 2006, hlm. 2.2 Irsan Koesparmono, ibid, hlm. 20.

2
kesempatan memperoleh perhatian baik secara fisik maupun tidak sengaja
sering juga anak melakukan tindak pidana.
Menurut survey yang dilakukan oleh UNICEF Indonesia, lebih dari
4.000 anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap tahunnya atas kejahatan
ringan seperti pencurian. Pada umumnya mereka tidak mendapatkan
dukungan dari pengacara maupun dinas sosial. Maka tidak mengherankan,
kebanyakan dari mereka ini akhirnya dijebloskan ke penjara. Dan yang begitu
memprihatinkan, mereka ini seringkali disatukan dengan orang dewasa
karena kurangnya alternatif terhadap hukuman penjara.3
Mereka ditempatkan dalam posisi yang penuh bahaya, terjerumus ke
dalam penyiksaan dan kekerasan oleh narapidana dewasa dan aparat penegak
hukum. Hukum itu sendiri tidak banyak membantu terhadap perkembangan
jiwa anak dan telah menyimpang dari eksistensinya sendiri terkait
dibentuknya hukum itu, karena hukum itu tidak melindungi hak anak
sepenuhnya.4 Meskipun Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-
Undang Pengadilan Anak pada tahun 1997 (UU No. 3 Tahun 1997), undang-
undang ini belum ditindaklanjuti dalam proses penerapannya.
Berbicara mengenai anak menjadi sesuatu yang penting karena anak
merupakan potensi nasib manusia hari mendatang, merekalah yang ikut
berperan menentukan sejarah bangsa sekaligus cermin sikap hidup bangsa
pada masa mendatang. Perhatian terhadap anak sudah dimulai pada akhir
3 Jurnal Penelitian oleh Purnianti, Mamik Sri Supatmi serta Ni Made Martini Tindukdari Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesiayang didukung oleh UNICEF tentang “Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak(Juvenile Justice System) Di Indonesia”, hlm. 1.
4 Ibid.

3
abad ke-19, dimana anak dijadikan sebagai objek yang dipelajari secara
ilmiah. Hal ini dapat dilihat dari mulai berkembangnya beberapa penelitian
tentang kehidupan dan psikologi anak.5
Dalam konteks perlindungan hak asasi manusia, anak-anak
dikategorikan sebagai kelompok yang rentan (vulnerable groups), disamping
kelompok rentan lainnya seperti: pengungsi (refugees), pengungsi dalam
negeri (internally displaced persons), kelompok minoritas (national
minorities), pekerja migrant (migrant workers), penduduk asli pedalaman
(indigenous peoples) dan perempuan (women).6
Di dalam perspektif kerangka Konvensi Hak Anak (KHA), terdapat
sekelompok anak yang disebut dengan anak-anak dalam situasi khusus
(children in need of special protection/CNSP). Mengacu pada Komite Hak
Anak PBB, terdapat kelompok anak yang termasuk kategori tersebut yaitu
anak yang berhadapan dengan hukum. Sedangkan anak-anak yang
diidentifikasi masuk dalam kelompok dengan kondisi yang tidak
menguntungkan ini diantaranya adalah anak-anak dalam penjara.7
Seperti halnya dalam negara hukum Indonesia ataupun negara-negara
lainnya. Terhadap anak yang melakukan tindak pidana juga akan dikenakan
sanksi. Hal semacam ini tidak bisa dilepaskan karena pemidanaan (sanksi
atau hukuman) merupakan unsur dari hukum pidana itu sendiri. Namun,
5 Dr. Wagiati Soetodjo, SH., M.S., Hukum Pidana Anak, Bandung: PT. RefikaAditama, 2006, hlm. 6.
6 Willem Van Genugten J.D dalam Iskandar Hosein, Perlindungan TerhadapKelompok Rentan (Wanita, Anak-Anak, Suku Terasing, dll) dalam perspektif HAM, Makalahdalam Seminar Pembangunan Hukum VIII, http://www.hukumonline.com, diakses padatanggal 31 Oktober 2011 pukul 21.25 WIB.
7 Willem Van Genugten J.D., ibid.

4
apabila berbicara mengenai pemidanaan anak sering menimbulkan
perdebatan yang panjang, karena masalah ini mempunyai konsekuensi yang
sangat luas, baik menyangkut diri anak itu sendiri (pelaku) maupun
masyarakat.
Menurut hukum positif (KUHP), tindak pidana yang dilakukan anak
sama dengan yang dilakukan oleh orang dewasa. Karena itu, penyidikannya
mengikuti penyidikan orang dewasa sebagaimana yang diatur jika tersangka
khawatir melarikan diri dan menghilangkan barang bukti. Jika kriteria
tersebut dipenuhi, maka tindakan penahanan dianggap sah.8 Hal ini jelas
sekali menjadi persoalan tersendiri, mengingat anak memiliki kekhususan
dalam proses peradilan dan pemberian sanksi hukumnya. Dalam penjatuhan
pidana terhadap anak ini harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, baik mulai dari penangkapan, pemeriksaan, penahanan dan
penghukuman bagi seorang anak.
Berbeda halnya dengan hukum pidana Islam, seorang anak tidak akan
dikenakan hukuman had karena kejahatan yang dilakukannya, karena tidak
ada beban tanggung jawab hukum terhadap seorang anak atas usia berapapun
sampai dia mencapai usia dewasa (baligh), hakim hanya berhak untuk
menegur kesalahannya atau menetapkan beberapa pembatasan baginya yang
8 http://www.angelfire.com, “Kejahatan Anak Tanggung Jawab Siapa”, diaksespada tanggal 31 Oktober 2011 pukul 22.50 WIB.

5
akan membantu memperbaikinya dan menghentikannya dari membuat
kesalahan di masa yang akan datang.9
Bila kita mengacu pada Pasal 45 KUHP mengenai kriteria dan usia
anak yang dapat diajukan ke sidang pengadilan karena kejahatan yang
dilakukannya adalah bila anak tersebut telah mencapai usia 16 tahun.10
Sedangkan bila kita melihat pada Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang
Peradilan Anak, Pasal 4 yang menetapkan batas usia anak yang dapat dijatuhi
hukuman atau sanksi pidana sangatlah berbeda. Dalam pasal tersebut
diterangkan bahwa batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke
persidangan adalah sekurang-kurangnya berumur 8 (delapan) tahun tapi
belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.11
Pemerintah Indonesia sebagai anggota PBB, mempunyai kewajiban
dalam menjalankan Konvensi Hak Anak (KHA) yang telah disahkan oleh
PBB sebagai langkah bersama untuk melindungi kepentingan dan hak anak-
anak di seluruh dunia. Untuk itulah, pemerintah Indonesia meratifikasi KHA
melalui Keppres No. 36 tahun 1990. Selain UU No. 3 tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, pemerintah juga menerbitkan UU No. 5 tahun 1998 sebagai
ratifikasi terhadap Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan
Martabat Manusia. Kemudian, Pemerintah juga mengeluarkan UU No. 39
9 Abdurrahman I. Doi, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, diterjemahkan oleh H.Wadi Masturi, S.E. & Drs. H. Basri Iba Asghary, “Shari’ah the Islamic Lam”, Cet. ke-1,Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hlm. 16.
10 Lihat KUHP, BAB III Hal-hal yang Menghapuskan, Mengurangi atauMemberatkan Pidana, Trinity, hlm. 17.
11 Lihat UU No 3 tahun 1997 Tentang Perlindungan Anak, Jakarta: Sinar Grafika,hlm. 5.

6
tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dan yang paling baru dan
merupakan langkah maju, adalah ditetapkannya UU No. 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak.12 Semua instrumen hukum nasional itu
dimaksudkan untuk memberikan jaminan perlindungan hak-hak anak secara
lebih kuat ketika mereka berhadapan dengan hukum dan harus menjalani
proses peradilan.13
Namun, instrumen-instrumen tersebut ternyata belum mampu untuk
menjawab atas ketidakharmonisan penyelesaian proses peradilan yang
dihadapi anak, baik ketika anak berurusan dengan polisi, penuntut umum,
maupun ketika anak menjalani sidang pengadilan. Batasan dan konsep
tentang usia anak dan pertanggungjawaban pidananya yang berbeda pada tiap
instrumen perundang-undangan yang menangani perkara anak adalah salah
satu contoh nyata betapa penanganan terhadap anak masih mengalami
ketidakberesan.
Pengklasifikasian umur akan menentukan dapat tidaknya seseorang
dijatuhi hukuman serta dapat tidaknya suatu tindak pidana
dipertanggungjawabkan kepadanya dalam lapangan kepidanaan. Secara
umum klasifikasi yang ingin ditonjolkan sebagai inti dalam persoalan ini
(masalah usia bagi pertanggungjawaban pidana) sebenarnya adalah
kedewasaan atau kalau dalam Islam dinamakan kemampuan berpikir (idrak)
seseorang, walaupun kedewasaan seseorang dengan orang lain tidak dapat
disamakan. Namun dalam peristiwa hukum, klasifikasi ini akan selalu sama
12 Jurnal Penelitian oleh Purnianti, Mamik Sri Supatmi serta Ni Made MartiniTinduk dari Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, op. cit., hlm. 2.
13 Ibid, hlm. 3.

7
untuk suatu lapangan tertentu, karena menyangkut titik akhir yang ingin
dicapai oleh para hakim dalam memutuskan suatu perkara dalam perasaan
keadilan yang sebenarnya.14
Banyak terjadi kesalahan dalam penanganan masalah hukum anak.
Hal semacam ini dapat dilihat dari beberapa peristiwa dimana seorang anak
kecil di bawah umur duduk dibangku tertuduh dan ditahan seperti layaknya
orang dewasa hanya karena perkara sepele. Seperti kasus Andang Pradika
Purnama, bocah 9 tahun. Pihak kepolisian Yogyakarta sempat menahannya
sampai 52 hari. Menurut laporan polisi Kotagede, Andang terbukti mencuri
dua burung Merpati dan mengaku telah melakukan pencurian sebanyak
delapan kali. Juga, menurut laporan polisi itu, ayahnya sudah tak sanggup
mengasuhnya, sehingga polisi menyebutnya residivis. Kapolwil Daerah
Istimewa Yogakarta, mengatakan, penahanan Andang untuk diajukan ke
Pengadilan Negeri sudah sesuai dengan KUHAP.15
Kasus lain yang mendapatkan perhatian banyak kalangan mengenai
proses penegakan hukum bagi anak adalah kasus yang menimpa Muhammad
Azuar (Raju) yang berusia 8 tahun saat itu (2006) yang dalam persidangan
diperlakukan layaknya orang dewasa bahkan ia sempat ditahan di dalam sel
bersama orang dewasa. Ia dilaporkan kepada polisi dengan tuduhan Pasal 351
KUHP tentang penganiayaan yang dilakukan terhadap temannya Armansyah
(14 tahun) dan disidangkan di Pengadilan Negeri Stabat Kabupaten Langkat
14 E. Sumaryono, Kejahatan Anak: Suatu Tinjauan dari Psikologi dan Hukum,Yogyakarta: Liberty, 1985, hlm. 19.
15 http://mytahkim.wordpress.com/artikel-2, Penegakan Hukum TerhadapKejahatan Anak Perspektif Hukum Islam, diakses pada tanggal 31 Oktober 2011 pukul 22.47WIB.

8
Sumatera Utara. Majelis hakim PN Stabat memvonis bersalah pada Raju.
Meski divonis bersalah, hakim mengembalikannya kepada orangtua untuk
dibina dan tidak dipenjara. Namun, Komisi Yudisial (KY) menemukan
banyak kesalahan saat menggelar sidak terkait sidang kasus Raju, sehingga
pada akhirnya hakim yang menangani kasus tersebut diberi sanksi oleh
Mahkamah Agung.16
Hukum Acara untuk sidang Pengadilan Anak Nakal, adalah Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), ini konsekuensi dari
Pengadilan Anak yang masuk dalam Peradilan Umum dan hanya menyangkut
kasus pidana. Dalam pada itu, mengenai ruang lingkup berlakunya KUHAP
di dalam Pasal 2 KUHAP dinyatakan bahwa: Undang-undang ini berlaku
untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum
pada semua tingkat peradilan.17 Oleh karenanya, ketentuan-ketentuan dalam
KUHAP (Undang-undang No. 8 Tahun 1981) tetap berlaku dalam sidang
Pengadilan Anak. Kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang Pengadilan
Anak (Undang-undang No. 3 Tahun 1997).18
Untuk itulah, ketika batas usia anak yang dapat diajukan
kepersidangan dan dimintakan pertanggungjawabannya masih menjadi
perdebatan, maka wajarlah selama ini penanganan kejahatan yang dilakukan
anak sering mengandalkan unsur-unsur subjektivitas aparat penegak hukum
16 Nurvita Indarini, Dianggap Tidak Profesional, Hakim Kasus Raju TerancamSanski, diambil dari http://www.detikNews.com, diakses pada tanggal 31 Oktober 2011pukul 22.50 WIB.
17 Suryono Sutarto, SH, MS., Hukum Acara Pidana Jilid I, Badan PenerbitUniversitas Diponegoro Semarang, Cet. IV, 2005, hlm. 6.
18 Darwan Prinst, Hukum Anak Di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,2003, hlm. 36.

9
meskipun telah ada undang-undang yang khusus mengatur tentang anak (UU
No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan UU No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak).
Misalnya saja polisi yang menganggap anak jalanan yang dipandang
sebagai anak nakal yang tidak bisa diatur. Ketika anak tersebut melakukan
tindak kejahatan, bisa jadi polisi dan hakim langsung menjustifikasi anak
tersebut dengan stigma negatif. Sehingga diawal pun, para penegak hukum
telah memvonis anak tersebut sebagai anak nakal. Berbeda halnya jika polisi
atau hakim melihat anak yang melakukan kejahatan adalah anak rumahan
(“anak mama”). Maka dalam pandangan polisi pun berbeda, karena anak
tersebut dianggap sebagai anak baik-baik yang jauh dari kondisi atau
lingkungan yang jahat.
Penegakan hukum terhadap anak semacam ini ternyata menimbulkan
masalah, baik dari sudut pandang hukum nasional Indonesia maupun hukum
pidana Islam. Karena menurut Undang-undang Peradilan Anak, anak di
bawah umur yang melakukan kejahatan yang layak diproses adalah anak
yang telah berusia 8 tahun dan diproses secara khusus, sehingga prosesnya
berbeda dengan penegakan hukum terhadap orang dewasa tanpa melihat
lingkungan dimana anak itu berada. Sehingga diharapkan, jangan sampai
seorang anak hanya karena melakukan kesalahan kecil, akhirnya divonis
penjara. Mengingat penjara sendiri bukanlah alternatif yang baik untuk
mendidik ataupun menghukum anak.

10
Berbeda halnya dalam hukum pidana Islam, meskipun jelas
ditegaskan bahwa seseorang tidak bertanggung jawab kecuali terhadap
jarimah yang telah diperbuatnya sendiri dan juga tidak bertanggung jawab
atas perbuatan jarimah orang lain bagaimanapun dekatnya tali kekeluargaan
atau tali persahabatan antara dirinya dan orang lain tersebut. Akan tetapi
untuk masalah anak ini Islam memiliki perkecualian tersendiri, mengingat
dalam al-Qur’an maupun hadits sendiri telah diterangkan bahwa seorang anak
tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban sebelum ia dewasa (baligh).
Hukum Islam mengampuni anak-anak dari hukuman yang semestinya
dijatuhkan bagi orang dewasa kecuali jika ia telah baligh. Hal ini berdasarkan
firman Allah SWT,
Artinya: “Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, makahendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yangsebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allahmenjelaskan ayat-ayat-Nya, dan Allah Maha mengetahuilagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nur: 59).19
Sebenarnya dalam asbabul nuzul (sebab turunnya ayat) tersebut
adalah mengenai anak kecil dan budak belian untuk meminta izin ketika
memasuki kamar ayah-ibunya atau tuannya pada tiga waktu yakni sebelum
sembahyang subuh, ketika waktu sembahyang dhuhur dan sesudah
sembahyanh isya’. Hal ini karena berkaitan dengan waktu dimana seseorang
19 Departemen Agama RI , Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: 1983, hlm. 323.

11
istirahat dan saat aurat seseorang tidak sempurna. Namun, dalam Tafsir Al-
Qur’anul Majid An-Nur penjelasan mengenai ayat tersebut adalah firman
Allah tersebut memberi peringatan bahwa membebani seseorang dengan
hukum-hukum syari’at adalah apabila orang tersebut telah sampai umur
(baligh), dan sampai umur itu adalah dengan mimpi (laki-laki bermimpi
mengeluarkan sperma) atau denga tahun (umur 15 tahun). Anak-anak yang
telah sampai umur tidak boleh memasuki kamar orang tuanya tanpa izin
terlebih dahulu, sama dengan orang lain.20 Sehingga umumnya ulama
berpendapat bahwa batas usia sampai umur (baligh) adalah 15 tahun.
Menurut Abu Hanifah, 18 tahun untuk anak laki-laki dan 17 tahun untuk anak
perempuan.21
Dalam hukum pidana positif pun telah dibentuk peraturan yang
khusus mengurusi mengenai tindakan nakal anak, diantaranya Undang-
Undang No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang proses peradilannya
membedakan dengan orang dewasa, serta Undang-Undang No 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak. Meskipun telah dibentuk peraturan khusus
yang menangani masalah anak, tetap saja masih terjadi permasalahan jika
menyangkut usia anak dan pertanggungjawabannya jika seorang anak terlibat
dalam tindak kejahatan.
Sedikit gambaran bahwa peraturan yang terkait dengan kecakapan
dan kewenangan bertindak berdasarkan batasan umur anak sendiri terjadi
ketidakseragaman dalam menentukan berapa usia minimum anak yang dapat
20 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur,Jilid 4, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000, hlm. 2849.
21 Ibid, hlm. 2850.

12
dimintakan pertanggungjawaban pidananya. Ketidakselarasan dalam
peraturan perundang-undangan ini nyatanya membawa dampak pada proses
peradilan anak dan putusan pengadilannya.
Disharmoni peraturan perundangan-undangan berkaitan dengan anak
cukup mengkhawatirkan. Anak bisa dirugikan akibat ketidakseragaman
undang-undang, antara lain menyangkut batas usia anak. Penentuan batas
usia anak seyogyanya dibuat seragam karena berkaitan dengan batas usia
pertanggungjawaban pidana si anak. Ketidakseragaman batas usia anak ini
dapat mengganggu proses penegakan hukum.22
Undang-Undang Perlindungan Anak sudah menentukan batas usia
yang dinamakan anak adalah sampai ia berusia 18 tahun.23 Batasan ini sejalan
dengan Konvensi Hak Anak (KHA) yang pernah dilaksanakan oleh
Indonesia. Namun batasan berbeda dapat ditemukan pada sejumlah
perundang-undangan nasional lainnya. KUH Pidana dalam pasal 45 misalnya,
memandang anak yang sudah berusia 8 tahun bisa dimintai
pertanggungjawaban pidana. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menetapkan usia nikah 16 tahun untuk perempuan, dan 19 tahun untuk laki-
laki. Bahkan, di bawah usia yang ditentukan pun, anak bisa dikawinkan
dengan izin dari pengadilan.24
Dari berbagai problematika yang muncul karena ketidakselarasan
pemahaman dan penafsiran undang-undang mengenai konsepsi usia bagi
22 http://www.kumham-jakarta.info., “Perlu Harmonisasi Peraturan Batas UsiaAnak”, diakses pada tanggal 31 Oktober 2011 pukul 22.35 WIB.
23 Lihat Pasal 1 Ayat 1 Undang-undang RI No.23 Tahun 2002 tentang PerlindunganAnak, Bandung: Citra Umbara, 2003, hlm. 4.
24 http://www.kumham-jakarta.info., op. cit.

13
anak nakal sehingga pada akhirnya banyak terjadi permasalahan yang
kompleks mulai dari penangkapan, penahanan dan penjatuhan sanksi oleh
para penegak hukum inilah yang melatarbelakangi Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI) dan Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak
Medan (YPKPAM) mengajukan uji materiil (judicial review) beberapa pasal
dalam UU No 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak kepada Mahkamah
Konstitusi (MK). KPAI menilai beberapa pasal di undang-undang tersebut
bukannya melindungi anak, akan tetapi justru mengadili anak.25 Terutama
pasal yang berkaitan dengan batas minimum usia anak yang dapat diajukan
ke persidangan (Pasal 4) dan pasal yang berkaitan dengan sanksi pidana
penjara bagi anak (Pasal 22 dan 23).
Sejalan dikeluarkannya keputusan Mahkamah Konstitusi terkait
judicial review yang diajukan tersebut usia anak menjadi jelas. Karena dalam
putusan tersebut MK memberikan batasan usia 12 tahun sebagai patokan
anak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya. Meski usia 12 tahun
ini oleh beberapa pakar masalah anak tidak mencerminkan perlindungan
terhadap hakikat seorang anak, karena usia tersebut masih terlalu belia untuk
seorang anak dapat menerima konsekuensi hukuman pidana yang akan
dibebankan padanya. Dan hal ini dikhawatirkan justru membelenggu masa
depan anak itu sendiri.
Sementara itu dalam hukum Islam sendiri tidak memberi batasan
terhadap batasan usia anak-anak selain kata baligh sebagai batas anak
25 http://www.republikaonline.nasional/politik/, KPAI Ajukan Judicial Review UUPengadilan Anak, diakses pada tanggal 31 Oktober 2011 pada pukul 23.23 WIB.

14
dianggap dewasa disamping banyaknya perbedaan pendapat diantara para
ulama. Hal ini menjadi sebuah persoalan karena akan menyulitkan bagi
hakim dalam menentukan hukumannya, sebab hukum Islam mengampuni
anak-anak dari hukuman yang semestinya dijatuhkan bagi orang dewasa
kecuali jika ia telah baligh dan mukallaf. Sedangkan batasan umur baligh
sendiri tidak pasti dan berbeda-beda dalam setiap diri seorang anak-anak.
Dalam hal pertanggungjawaban pidana, hukum pidana Islam hanya
membebankan hukuman pada manusia yang masih hidup dan mukallaf.
Karena itu, apabila seseorang telah meninggal dunia, ia tidak dibebani hukum
dan tidak dianggap sebagai objek pertanggungjawaban pidana. Hal ini juga
berlaku untuk anak yang belum baligh.26 Memang, kenakalan dan kejahatan
yang dilakukan oleh anak menjadi ganjalan dan masalah bagi masyarakat,
mengingat kekhususannya sehingga perlu penanganan khusus pula dalam
menyelesaikan masalah tersebut.
Asumsi yang dibangun, apakah seorang anak yang melakukan
kejahatan bebas dari pertanggungajawaban atas kejahatan yang dilakukannya
secara mutlak ataukah ada kemungkinan pertanggungjawabannya dibebankan
kepada orangtuannya ataukah harus dijalani anak itu sendiri. Menurut hukum
Islam, orang tua wajib mendidik anak-anaknya menjadi orang baik. Jika anak
menjadi nakal atau penjahat, maka orang tualah yang menanggung akibatnya
karena kelalaiannya.
26 Alie Yafie, dkk., Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, terjemahan dari “At-Tasyri’al-Jina’ i al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy” karya Abdul Qadir Audah, Jilid 4,Bogor: PT Kharisma Ilmu, hlm. 57.

15
Permasalahan batas umur anak dan sanksi pemidanaannya menjadi
perbincangan yang menarik untuk dibahas mengingat terjadi disharmoni
dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Maka dalam penelitian ini,
penulis tertarik untuk mencoba menjelaskan dan menuangkan permasalahan
ini dalam skripsi.
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari paparan latar belakang yang terurai di atas, guna
mempermudah dan memperjelas arah penelitian, maka dapat penulis
rumuskan permasalahan, sebagai berikut :
1. Bagaimana ketentuan mengenai batasan usia anak yang melakukan
kejahatan dalam Undang-Undang No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak ?
2. Bagaimana tinjauan yuridis terhadap penjatuhan sanksi pidana bagi anak
yang melakukan tindak pidana menurut UU No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak dalam hukum pidana Islam ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui dan menjelaskan batas usia anak dan
pertanggungjawaban pidananya menurut hukum pidana positif dan
hukum pidana Islam.

16
b. Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai bagaimana
penjatuhan sanksi (hukuman) terhadap anak yang melakukan tindak
pidana menurut hukum pidana Islam.
2. Manfaat Penelitian
a. Secara teoritis sebagai sumbangsih pemikiran terhadap khazanah ilmu
pengetahuan, khususnya dibidang ilmu hukum mengenai
pertanggungjawaban pidana anak di bawah umur.
b. Secara praktis, hasil studi diharapkan dapat memperluas cakrawala
pengetahuan bagi perkembangan wacana hukum yang berkaitan dengan
usia anak dan pertanggungjawaban pidananya terkait atas kejahatan
yang dilakukan oleh anak.
D. Telaah Pustaka
Dalam kajian pustaka ini, penulis memaparkan beberapa literatur
yang penulis jadikan sebagai previous finding (penelitian maupun penemuan
sebelumnya). Ada banyak karya ilmiah, baik berupa jurnal, buku maupun
skripsi yang telah membahas tentang masalah anak dan pertanggungjawaban
pidana. Namun mengenai pertanggungjawaban pidana yang dijatuhkan
terhadap pelaku delik pidana di bawah umur masih jarang ditemui, khususnya
pertanggungjawaban pidana anak di bawah umur. Buku-buku yang
membahas secara khusus tentang pertanggungjawaban pidana anak di bawah
umur sangat sedikit ditemui, dari beberapa buku tersebut juga tidak
mambahas secara keseluruhan mengenai apa yang di bahas penyusun.

17
Ada beberapa skripsi yang telah membahas tentang anak di
lingkungan hukum, diantaranya skripsi Affan Hurhaq Salahudin salah satu
mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yang berjudul “Pemenjaraan Anak Menurut
Perspektif Hukum Pidana Islam Dan Hukum Positif”.27 Skripsi ini
menjelaskan tentang bagaimana konsep pemenjaraan terhadap kejahatan yang
dilakukan oleh anak dilihat dari ketentuan hukum positif dan hukum pidana
Islam yang diteliti dengan menggunakan metode deskriptif-analitik-
komparatif, sehingga dari perbandingan dua hukum yang dianalisis tersebut
didapatkan kesimpulan mengenai ketentuan hukum terhadap pemenjaraan
anak. Skripsi tersebut memberikan gambaran bahwa ketentuan hukum
terhadap pemenjaraan yang dilakukan oleh pemerintah (aparat penegak
hukum) atas kesalahan yang dilakukan anak di bawah umur adalah sesuatu
yang tidak dibenarkan dalam pandangan hukum Islam. Dikarenakan anak
dalam hukum Islam belum wajib dikenakan pembebanan hukum (taklif).
Imam Zamahsari, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pasal 26 UU
No. 3 Tahun 1997 Tentang Penjatuhan Pidana Bagi Anak Nakal”.28 Dalam
skripsi tersebut mengkaji tentang Pasal 26 UU No. 3 Tahun 1997 tentang
pidana anak nakal dalam perspektif hukum Islam. Dengan memakai metode
deskriptif analitis, dan menggali latar belakang serta substansi dari pasal
tersebut ditemukan bahwa penjatuhan pidana bagi anak nakal merupakan
sesuatu yang tepat karena sesuai dengan Pasal 5 ayat 1 Undang-undang Dasar
27 Affan Nurhaq Salahudin, “Pemenjaraan Anak Menurut Perspektif Hukum PidanaIslam Dan Hukum Positif”, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2011
28 Imam Zamahsari, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pasal 26 UU No. 3 Tahun1997 Tentang Penjatuhan Pidana Bagi Anak Nakal”, Semarang: IAIN Walisongo, 2004.

18
1945. Dari kajian yang dilakukan oleh si penulis, dapat dikatakan bahwa
berbagai macam persoalan yang terkait dengan anak nakal, maka Pasal 26
tersebut menjadi substansi penting dalam melindungi anak tersebut dan
secara yuridis formal tidak ada alasan bagi yudikatif untuk tidak menjalankan
dalam memberikan vonis bagi anak nakal yang terlibat pidana sesuai dengan
UU tersebut. Adanya Pasal tersebut, secara substansi sangat berpengaruh
dalam melindungi kondisi psikologis anak.
Selanjutnya, skripsi dari Nopiyanti Fajriyah yang berjudul
“Penjatuhan Pidana dan Pemidanaan terhadap Anak Di Bawah Umur (Studi
Komparatif Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Indonesia)”.29 Di
dalam skripsi tersebut dijelaskan bahwa proses penjatuhan pidana dan
pemidanaan yang dilakukan terhadap anak memiliki batasan-batasan tertentu,
yang sesuai menurut undang-undang, yakni pasal 10 Undang-Undang No. 15
Tahun 1995, Undang-Undang No. 3 Tahun 1997. Sehingga dalam
memberikan putusan bagi anak yang melakukan kejahatan tidak terjadi
persoalan yang dapat merugikan anak tersebut.
Tesis dari Novi Amalia Nugraheni, SH yang berjudul “Sistem
Pemidanaan Edukatif terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana”.30
Tulisan tersebut menitik beratkan pada kajiannya terhadap hakim dalam
pemberian hukuman yang sesuai terhadap anak. Hal ini dikarenakan pada
proses penjatuhan hukuman, hakim sering memberikan putusan yang bersifat
29 Nopiyanti Fajriyah, “Penjatuhan Pidana dan Pemidanaan terhadap Anak DiBawah Umur (Studi Komparatif Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Indonesia)”,Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2006, td.
30 Novi Amalia Nugraheni, SH, “Sistem Pemidanaan Edukatif Terhadap AnakSebagai Pelaku Tindak Pidana”, Semarang: Universitas Diponegoro, 2009.

19
menghukum (punitive) ketimbang pemberian hukuman yang bersifat
mendidik sang anak tersebut. Padahal banyak sekali alternatif hukuman yang
dapat dipilih oleh para hakim selain menjatuhkan hukuman penjara kepada
anak nakal. Hukuman yang diberikan oleh hakim, bagaimanapun juga akan
mempengaruhi perkembangan anak pada waktu yang akan datang. Oleh
karenanya, sebisa mungkin hakim memberikan hukuman yang tidak
mengabaikan aspek-aspek perkembangan anak pada masa mendatang.
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Purnianti, Mamik Sri
Supatmi serta Ni Made Martini Tinduk dari Departemen Kriminologi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia yang didukung
oleh UNICEF tentang “Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak
(Juvenile Justice System) Di Indonesia”,31 yang meneliti mengenai
bagaimana situasi dan keadaan anak-anak yang berada dalam administrasi
peradilan anak serta situasi anak yang berada di lembaga penahanan dan
pemenjaraan ditinjau dari hukum internasional dan hukum nasional disertai
rekomendasi yang diberikan terkait situasi tersebut.
Dari data pustaka yang telah penulis kemukakan di atas, maka
sekiranya dapat penulis simpulkan bahwa tentang kajian atau penelitian yang
akan penulis lakukan berbeda dengan karya ilmiah atau skripsi yang telah
dipaparkan di atas. Skripsi ini membahas tentang Analisis Hukum Islam
31 Purnianti, Mamik Sri Supatmi serta Ni Made Martini Tinduk dari DepartemenKriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, “Analisa Situasi Sistem PeradilanPidana Anak (Juvenile Justice System) Di Indonesia", Universitas Indonesia, diambil dariwww.unicef.org/indonesia/uni-jjs, diakses pada tanggal 29 September 2011 pukul 15.03WIB.

20
Terhadap Batas Usia dan Pertanggungjawaban Pidana Anak dalam Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
E. Kerangka Teori
1. Pertanggungjawaban Pidana Anak
Salah satu prinsip dalam fiqh jinayah adalah seseorang tidak
bertanggung jawab kecuali terhadap jarimah yang telah diperbuatnya sendiri
dan bagaimanapun juga tidak bertanggung jawab atas perbuatan jarimah
orang lain. Prinsip tersebut ditandaskan dalam al-Qur’an dalam beberapa
ayatnya, salah satunya yaitu sebagai berikut :
Artinya: “Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah.Padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu dan tidaklahseorang membuat dosa melainkan kemudharatannyakembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosatidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepadaTuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nyakepadamu apa yang kamu perselisihkan.” (QS. Al-An’am:164).32
Dari penjelasan arti ayat tersebut, dapat diketahui bahwa seseorang
harus bertanggungjawab atas perbuatan yang telah dilakukannya. Arti
pertanggungjawaban pidana (al-Mas’uliyyah al-Jināiyyah) sendiri adalah
pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan
32 Departemen Agama RI , Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: 1983, hlm. 136

21
yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut
mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya.33
Dalam fiqh jinayah pertanggungjawaban itu didasarkan kepada tiga
hal:
1. Adanya perbuatan yang dilarang;
2. Perbuatan itu dikerjakan dengan kemauan sendiri (tidak dipaksa); dan
3. Si pelaku mengetahui terhadap akibat perbuatan tersebut (idrak).34
Ketiga hal tersebut di atas harus terpenuhi, sehingga apabila tidak
terdapat maka tidak terdapat pula pertanggungjawaban pidananya. Dalam hal
pertanggungjawaban pidana, hukum pidana Islam hanya membebankan
hukuman pada manusia yang masih hidup dan mukallaf. Hukum pidana Islam
juga mengampuni anak-anak dari hukuman yang semestinya dijatuhkan bagi
orang dewasa kecuali ia telah baligh. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT,
Artinya: “Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, makahendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yangsebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allahmenjelaskan ayat-ayat-Nya, dan Allah Maha mengetahuilagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nur: 59).35
33 A. Hanafi, M. A., Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet. ke-IV Jakarta: BulanBintang, 1990, hlm. 121
34 Alie Yafie, dkk., Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, terjemahan dari “At-Tasyri’al-Jina’ i al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy” karya Abdul Qadir Audah, Jilid 4,Bogor: PT Kharisma Ilmu, hlm. 66.
35 Departemen Agama RI , Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: 1983, hlm. 323

22
Mengenai hukuman bagi anak-anak, perundang-undangan dalam
bidang hukum perdata untuk anak jauh lebih memadai dari pada bidang
hukum pidana bagi anak.36 Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau
belum pernah melangsungkan pernikahan, ada di bawah kekuasaan orang tua
selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Orang tua mewakili anak
tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar gedung
pengadilan.37
Begitu juga dalam sistem hukum pidana positif, pertanggungjawaban
pidana terkait erat dengan kesalahan dan perbuatan melawan hukum,
sehingga seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu:
a. Unsur obyektif, yaitu harus ada unsur melawan hukum.
b. Unsur subyektif, yaitu terhadap pelakunya harus ada unsur kesalahan
dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan.38
Menurut Pompe, sebagaimana dikutip oleh Martiman Projohamidjo,
unsur-unsur pertanggungjawaban tersebut adalah:
a. Kemampuan berfikir (psychis) pada pembuat yang memungkinkan
pembuat menguasai pikirannya dan menentukan kehendaknya.
b. Dan oleh sebab itu, dapat mengerti makna dan akibat perbuatannya.
c. Dan oleh sebab itu pula, pembuat menentukan kehendaknya sesuai dengan
pendapatnya (tentang makna dan akibat).39
36 Soeaidy, Sholeh, dan Zulkhair, Dasar Hukum Perlindungan Anak, cet. ke-1,Jakarta: CV. Novindo Pustaka Mandiri, 2001, hlm. 17.
37 Soeaidy, Sholeh, dan Zulkhair, ibid, hlm. 19.38 Martiman Projohamidjojo, Memahami Dasar-dasar Hukuman Pidana Di
Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1997, hlm. 31.39 Martiman Projohamidjojo, ibid, hlm. 32.

23
Dari unsur-unsur tersebut, dapat diterangkan bahwa
pertanggungjawaban terkait erat dengan kesalahan yang dilakukan oleh
seseorang, karena tanpa adanya kesalahan tidak mungkin seseorang
dimintakan pertanggungjawaban. Pertanggungajawaban juga memperhatikan
beberapa keadaaan dari seorang tersebut. Sebab tidak semua orang yang
melakukan kejahatan dapat dipidana. Ini tidak lain karena ada ketentuan yang
berkaitan erat dengan kemampuan bertanggungjawab yang ada pada diri
orang tersebut, semisal anak-anak dan orang yang cacat mentalnya.40
Dalam hukum pidana Islam sendiri pengecualian hukuman juga bagi
anak dan orang cacat juga dibedakan dengan orang mukallaf. Menurut
fuqaha, dasar dalam menentukan pertanggungjawaban bagi anak kecil adalah
sabda Rasulullah saw,
ن ة ع قتاد ن ام ع ثنا ھم د ح قاال فان ثنا ع د ح ثنا بھز و د ن ح س ري الح البص
نھ ع ي هللا ض ر لي ع ن القلم ع فع ر قال لم س لیھ و ع لى هللا ص النبي أن
تى نون ح ج الم قال توه أو ع الم ن ع تیقظ و تى یس ح النائم ن ثة ع ثال ن ع
غ الص ن ع و قل یع ب تى یش یر ح
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Bahz dan telahmenceritakan kepada kami Affan berkata; telahmenceritakan kepada kami Hammam dari Qatadah dari AlHasan Al bashri dari Ali Radhiallah 'anhu bahwa Nabishallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Diangkat pena daritiga hal: orang yang tidur hingga bangun, orang yangtertimpa ayan -atau beliau bersabda: - orang yang gilasampai sadar dan anak kecil sampai baligh”.41
40 Prof. Moeljanto, S.H., Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2009,hlm. 178.
41 Ahmad Ibnu Hambal, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah, Hadist No. 968.

24
Dalam hal hukuman bagi anak nakal pada hukum pidana positif,
proses hukum dan ancaman sansksi pidana bagi anak ditentukan oleh
Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak yang penjatuhan
pidananya ditentukan setengah dari maksimal ancaman pidana yang
dilakukan oleh orang dewasa. Adapun penjatuhan pidana penjara seumur
hidup dan pidana mati tidak diperlakukan terhadap anak. Pemberian sanksi
tersebut juga diklasifikasikan sesuai dengan usia si anak saat melakukan
perbuatan pidana tersebut. Sehingga antara anak berusia 7 tahun dengan anak
usia 12 tahun, tentunya ada perbedaan dalam perlakuan dan jenis sanksi yang
diberikan bagi si anak tersebut.
Perbedaan perlakuan dan ancaman pidana tersebut dimaksudkan
untuk lebih melindungi dan mengayomi agar anak dapat menyongsong masa
depan yang masih panjang. Perbedaan ini dimaksudkan pula untuk memberi
kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya
guna menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab dan berguna bagi
keluarga dan masyarakat. Hal tersebut sesuai dalam KHA yang telah
menjamin beberapa hak yang khusus memberikan proteksi untuk anak-anak
diseluruh dunia. Diantaranya hak untuk kelangsungan hidup, hak terhadap
perlindungan, hak untuk tumbuh kembang dan hak untuk berpartisipasi.42
Mengenai sanksi terhadap anak ditentukan berdasarkan perbedaan
umur, yakni bagi anak yang masih berumur 8 hingga 12 tahun hanya
dikenakan hukuman semisal dikembalikan kepada orang tuanya, ditempatkan
42 Muhammad Joni, S.H., & Zulchaina Z. Tanamas, S.H., Aspek HukumPerlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung: PT. Cipta Aditya Bakti,1999, hlm. 35.

25
pada organisasi sosial, atau diserahkan pada negara. Adapun terhadap anak
yang telah berumur di atas 12 hingga 18 tahun dijatuhi pidana.
Namun demikian hukum pidana Islam mempunyai aturan yang jelas,
kedudukan anak dalam Islam merupakan “amanah” yang harus dijaga oleh
kedua orang tuanya. Kewajiban mereka pula untuk mendidiknya hingga
berperilaku sebagaimana yang dituntun agama. Jika terjadi penyimpangan
dalam tingkah laku anak, Islam dalam keadaan tertentu masih memberi
kelonggaran.
Dalam hukum pidana Islam itu sendiri, pertanggungjawaban pidana
pada dasarnya tidak hanya ditentukan oleh usia semata. Namun yang menjadi
tolak ukur dari adanya pertanggungjawaban adalah kemampuan berfikir
(idrak) dan pilihan yang dimiliki seseorang. Sehingga ada batasan bahwa
yang dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana bagi hukum pidana Islam,
kriteria dan ukurannya adalah orang mukallaf yang memiliki kemampuan
untuk berfikir secara sempurna. Oleh karena itu, dalam Islam bila seorang
anak mencuri atau membunuh sekalipun, ia tidak bisa dikenai hukuman
apapun, karena dalam fiqh tindakan anak tersebut belum termasuk tindakan
kriminal (jinayah).43 Hal ini bisa dipahami bahwa seorang anak dilihat dari
faktor psikologi dan mental yang melatarbelakanginya dianggap belum
sepenuhnya memiliki kemampuan berfikir penuh layaknya orang dewasa
yang berusia 21 tahun ke atas.
43 Alie Yafie, dkk., op. cit., hlm. 359.

26
Dalam hukum pidana Islam, anak kecil bukan orang yang pantas
menerima hukuman. Hukum pidana Islam tidak menentukan jenis hukuman
untuk mendidik anak yang dapat dijatuhkan kepada anak di bawah umur.
Hukum pidana Islam memberikan hak kepada waliy al-amr (hakim atau
penguasa) untuk menentukan hukuman yang sesuai menurut pandangannya.
Dalam hukuman ini hakim berhak menjatuhkan sanksi:
a. Memukul si anak,
b. Menegur atau mencelanya,
c. Menyerahkannya kepada waliy al-amr atau orang lain,
d. Menaruhnya pada tempat rehabilitasi anak atau sekolah anak-anak nakal,
e. Menempatkannya disuatu tempat dengan pengawasan khusus.44
Karenanya, apabila anak kecil melakukan tindak pidana apapun
sebelum dia berusia 7 tahun, dia tidak dihukum, baik pidana maupun
hukuman ta’diby (hukuman untuk mendidik). Anak kecil tidak dijatuhi
hukuman hudud dan qishash meskipun si anak melakukan jarimah tersebut.
Meskipun begitu, adanya pengampunan tanggung jawab pidana terhadap
anak kecil bukan berarti membebaskannya dari tanggung jawab perdata atas
semua tindakan yang dilakukannya. karena itu, seorang anak yang melakukan
jarimah, dia akan tetap terbebani untuk menerima ta’zir dan juga diyat
sebagai atas jarimah yang telah dilakukannya tersebut.
44 Alie Yafie, dkk., ibid, hlm. 259.

27
2. Batas Usia Anak dalam Hukum Pidana Positif dan Hukum
Pidana Islam
Hukum Islam dipandang sebagai hukum pertama di dunia yang
membedakan secara sempurna antara anak kecil dan orang dewasa dari segi
tanggung jawab pidana. Hukum Islam juga merupakan hukum pertama yang
meletakkan tanggung jawab anak-anak yang tidak berubah dan berevolusi
sejak dikeluarkannya. Ironisnya, meski telah dikeluarkan sejak empat belas
abad yang lalu, hukuman ini dianggap sebagai hukum terbaru dalam hal
pertanggungjawaban anak kecil (belum dewasa) pada masa sekarang ini.45
Seiring perjalanan hukum, akhirnya berkembanglah peraturan yang
menguraikan tentang permasalah dalam mengambil pertanggungjawaban
pidana terhadap anak kecil. Polemik muncul ketika terjadi perdebatan
mengenai batas minimum usia anak yang dapat dimintai pertanggungjawaban
atas perbuatan pidana yang dilakukannya. Sebab, baik dalam hukum Islam
maupun hukum positif (KUHP ataupun UU No. 3 Tahun 1997 tentang
Peradilan Anak) terjadi perbedaan dalam penentuan batas usia minimum
untuk anak kecil yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya
(pemenjaraan).
Dalam Islam sendiri terjadi perbedaan pendapat diantara para fuqaha
dalam menentukan usia baligh. Hal ini dikarenakan perbedaan penafsiran atas
hadits Nabi saw,
45 Alie Yafie, dkk., ibid, hlm. 255.

28
ن س الح ن ة ع قتاد ن ام ع ثنا ھم د ح قاال فان ثنا ع د ح ثنا بھز و د ري ح البص
نھ ع ي هللا ض ر لي ع ن القلم ع فع ر قال لم س لیھ و ع لى هللا ص النبي أن
تى ح النائم ن ثة ع ثال ن تى ع نون ح ج الم قال توه أو ع الم ن ع تیقظ و یس
ب تى یش یر ح غ الص ن ع و قل یع
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Bahz dan telahmenceritakan kepada kami Affan berkata; telahmenceritakan kepada kami Hammam dari Qatadah dari AlHasan Al bashri dari Ali Radhiallah 'anhu bahwa Nabishallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Diangkat pena daritiga hal: orang yang tidur hingga bangun, orang yangtertimpa ayan -atau beliau bersabda: - orang yang gilasampai sadar dan anak kecil sampai baligh”.46
Makna hadis “diangkatkan pembebanan hukum dari tiga jenis orang:
anak kecil sampai ia baligh (mimpi basah/yahtalim)” adalah menjadikan
mimpi basah sebagai adanya khitab (tuntutan fiqh). Hukum asal menetapkan
bahwa adanya khitab karena baligh. Hadis tersebut menunjukkan bahwa
baligh ditetapkan oleh mimpi basah. Ini karena baligh dan kekuatan berpikir
merupakan ibarah (sesuatu yang dapat diambil) atas balighnya seseorang dan
kesempurnaan keadaannya. Semua itu ada melalui kesempurnaan
kemampuan dan kekuatan untuk mempergunakan semua anggota tubuh.
Semua kesempurnaan ini terwujud ditandai ketika mimpi basah.47
Mayoritas fuqaha membatasi usia 15 (lima belas) tahun untuk laki-
laki dan perempuan sebagai batas akhir dianggap baligh. Untuk itulah, jika
diusia tersebut tanda-tanda baligh masih belum tampak juga, maka anak yang
telah berusia 15 tahun, secara sendirinya ia telah dianggap baligh. Karena
46 Ahmad Ibnu Hambal, op. cit.47 Alie Yafie, dkk., op.cit, hlm. 256.

29
baligh inilah, secara hukum seorang anak dianggap dan dibebani suatu
kewajiban bagi dirinya sendiri. Meski kalau diperhatikan kembali, bisa jadi
ketentuan usia baligh ini hanyalah batas untuk kewajiban dan
pertanggungjawaban hukum dalam ranah ibadah semata. Namun masih
menjadi pemikiran bersama juga, karena banyak dalam literatur yang
menjelaskan, usia baligh itu sendiri menjadi batasan juga dalam ranah
pertanggungjawaban pidana pula.
Tentu hal ini berbeda kalau yang dijadikan dasar pertanggungjawaban
bukanlah batas usia, namun kemampuan dalam berfikir dan menerima pilihan
bagi seorang pelaku tersebut. Karena, situasi dan mental serta hal-hal yang
melatarbelakangi seorang anak melakukan kejahatan berbeda dengan hal-hal
yang ada pada orang dewasa. Untuk itu, ada sebagian kalangan yang
berpendapat jika pertanggungjawaban pidana berkaitan dengan akal
seseorang. Mereka beralasan karena yang mempengaruhi kedewasaan
seseorang sebenarnya adalah akal. Akal adalah tanggung jawab hukum dan
dengannya hukum berdiri.48
Alasan lain dari pendapat yang memberikan batas baligh pada usia 18
(delapan belas) atau 19 (sembilan belas) tahun adalah karena hukum Islam
mengaitkan pembebanan hukum dan adanya khitab (tuntutan fiqh) pada
mimpi basah. Karena itu, hukum harus diberlakukan atas dasar ketetapan
tersebut. Hukum tidak dapat dihapuskan dari seorang anak selama belum
diyakini tidak adanya mimpi basah dan terjadi keputusasaan atas keberadaan
48 Alie Yafie, dkk., ibid.

30
mimpi basah tersebut, sebab keputusasaan atas keberadaan mimpi basah
terjadi pada masa ini (yakni usia delapan belas hingga sembilan belas
tahun).49
Di dalam Bidayatul Mujtahid dijelaskan, bahwa yang menjadi syarat
adanya pertanggungjawaban bagi seorang pelaku kejahatan, entah itu
melukai, membunuh atau mencuri adalah orang itu harus mukallaf. Sebab
mukallaf adalah batasan usia dan kecerdasan seseorang dikenai beban untuk
melaksanakan syari’at. Kecerdasan disini berkaitan dengan kedewasaan dan
akal yang ada pada diri seseorang. Meski masih ada perselisihan tentang
batas usia, namun menurut Syafi’i, maksimal berusia delapan belas tahun,
dan minimal usia lima belas tahun.50
Untuk itulah, orang mukallaf yang melakukan tindak pidana, ia akan
dikenai sanksi atas perbuatan yang dilakukannya tersebut. Sedangkan
pembagian sanksi yang dapat dikenakan bagi pelaku tersebut dalam hukum
pidana Islam terbagi-bagi sesuai dengan jarimah yang dilakukannya, meliputi
qishah, diyat, ta’zir bahkan pemaafan.51 Akan tetapi jika pelaku jarimah itu
adalah anak-anak, ada ketentuan yang berbeda dalam pemberian sanksinya.
Karena masih ada perselisihan dalam penentuan batas usia baligh yang disitu
menjadi patokan sebagai pembebanan dikenainya syari’at, maka timbul pula
perselisihan dalam penentuan sanksi yang dikaitkan dengan hal tersebut.
49 Alie Yafie,dkk., ibid, hlm. 257.50 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Analisa Fiqih Para Mujtahid, penerjemah, Drs.
Imam Ghazali Said, MA. & Drs. Achmad Zaidun, terjemahan dari Bidayatul Mujtahid waNihayatul Muqtashid, Jakarta: Pustaka Amani, 2007, hlm. 530.
51 Ibid.

31
Sedangkan dasar penetapan usia dewasa menurut para mujtahid ialah
hadis Ibnu Umar r.a:
ن ني نافع ع بر أخ قال بید هللا ع ن یى ع ثنا یح د ح نبل ح د بن م ثنا أح د ح
ر م بع ابن ع أر ابن ھو د و م أح ھ یو ض ر لم ع س لیھ و ع لى هللا ص النبي أن
ھ ض ر ع ه و ز یج نة فلم ة س ر ش نة ع ة س ر ش ع س م خ ابن ھو ق و ند م الخ یو
ه از فأج
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbalberkata, telah menceritakan kepada kami Yahya dariUbaidullah ia berkata; telah mengabarkan kepadaku Nafi'dari Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallampernah memeriksa dirinya pada waktu perang uhud, waktuitu umurnya baru empat belas tahun. Sehingga Nabi tidakmengizinkan untuk ikut berperang. Dan pada perangKhandaq beliau juga memeriksanya, waktu itu umurnyalima belas tahun, maka beliau pun memberinya izin.52
Sedangkan dalam hukum positif (KUHP) dalam pasal 45 secara jelas
disebutkan bahwa dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa anak sebagai
pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana adalah seseorang sebelum umur 16
(enam belas) tahun. Namun dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Peradilan Anak disebutkan bahwa, anak adalah orang yang dalam
perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin dan
dikenal dengan sebutan anak nakal. Sebagaimana kutipan dalam Pasal 1 ayat
(1) dan (2) berbunyi:
52 Ibnu Rusyd, Ibid, hlm. 531 dan Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz 4, Beirut: Daral-Kitab al- ‘Ilmiyah, Hadist No. 3827, hlm. 246.

32
1. Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telahmencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapaiumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
2. Anak nakal adalah:a. Anak yang melakukan tindak pidana; ataub. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan
terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yanghidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.53
Kemudian dalam Pasal 4 Undang-undang No. 3 tahun 1997 yang
menjadi poin penting dalam skrispi ini, menyebutkan bahwa:
1. Batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anakadalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belummencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernahkawin.
2. Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umursebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidangpengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batasumur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluhsatu) tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak.54
Dengan diundangkannya undang-undang ini, maka Pasal 45 KUHP
tidak berlaku lagi. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 67 Undang-Undang No. 3
Tahun 1997 tentang Peradilan Anak yang berbunyi “pada saat mulai
berlakunya undang-undang ini, maka Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi”.
Batasan umur untuk anak sebagai korban pidana diatur dalam Pasal 1
butir 1 Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Anak
dirumuskan sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dari rumusan tersebut dapat
diketahui bahwa anak yang berhak mendapat perlindungan hukum tidak
53 Redaksi Sinar Grafika, Undang-undang No 3 Tahun 1997 Tentang PeradilanAnak, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, hlm. 3.
54 Ibid, hlm. 4.

33
memiliki batasan minimal umur.55 Dari sejak masih dalam kandungan, ia
berhak mendapatkan perlindungan.
Sedangkan dalam hukum perdata dijelaskan dalam Pasal 370 Bab
Kelima Belas Bagian kesatu tentang Kebelumdewasaan Kitab Undang-
undang Hukum Perdata yang berbunyi lengkap pasalnya adalah sebagai
berikut: ”Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21
tahun dan tidak lebih dahulu kawin”.56
Jadi jelas, batas usia minimum dalam penetapan anak kecil dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana (pemenjaraan) terdapat perbedaan
antara hukum Islam (fiqh jinayah), hukum perdata dan hukum positif (KUHP
dan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak). Dari hal inilah,
kemudian muncul problem ketika pemerintah mulai melakukan proses
pemidanaan (pemenjaraan) terhadap anak yang melakukan tindak pidana
demi alasan mengurangi dan mencegah merebaknya kasus-kasus kejahatan
yang dilakukan oleh seorang anak.
Batas usia yang menjadi patokan dalam menjatuhkan sanksi
sebenarnya menjadi sesuatu yang penting. Hal ini dilakukan untuk
memudahkan para hakim dan para penegak hukum dalam menjalankan dan
memproses berbagai masalah terkait kejahatan yang dilakukan anak.
Sehingga tidak lagi ada problematika dan subjektivitas penegakan hukum
55 Redaksi Citra Umbara, Undang-undang RI No.23 Tahun 2002 tentangPerlindungan Anak, Bandung: Citra Umbara, 2003, hlm. 4.
56 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, BurgelijkWetboek: Dengan Tambahan UU Pokok Agraria dan UU Perkawinan, Jakarta: PradnyaParamita, 1994, hlm. 76.

34
oleh para penegak hukum yang selama ini dianggap semena-mena dalam
menangani dan memproses kejahatan yang dilakukan oleh anak.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah suatu cara atau jalan yang digunakan dalam
mencari, menggali, mengolah dan membahas data dalam suatu penelitian
untuk memperoleh kembali pemecahan terhadap permasalahan.57 Untuk
memperoleh dan membahas data dalam penelitian ini penulis menggunakan
metode-metode sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang penulis lakukan dalam penyusunan skripsi ini
termasuk ke dalam penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan
cara melakukan penelitian terhadap sumber-sumber tertulis. Dalam
penelitian ini dilakukan dengan mengkaji dokumen atau sumber tertulis
seperti buku, majalah, jurnal dan lain-lain. Penelitian ini juga bersifat
deskriptif analitik, yaitu suatu metode penelitian dengan mengumpulkan
data-data yang tertuju pada masa sekarang, disusun, dijelaskan, dianalisis
serta diinterpretasikan dan kemudian disimpulkan.
Sebagai konsekuensi pemilihan topik permasalahan yang akan dikaji
dalam penelitian yang objeknya adalah permasalahan hukum, maka jenis
penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yakni
penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau
57 Joko Subagyo, Metodologi Penelitian Dalam Teori Dan Praktek, Jakarta: PT.Rineka Cipta, 1994, hlm. 2.

35
norma-norma dalam hukum positif.58 Dimana jenis penelitian ini
digunakan untuk mengetahui bagaimana usia anak dan
pertanggungjawaban pidannya serta seperti apa efektifitas pemidanaan
anak yang menggunakan tolak ukur perundang-undangan yang berlaku
serta norma agama atau hukum pidana Islam sehingga didapatlah usulan
dari jenis penelitian yang dipakai.
2. Pendekatan Masalah
Dalam kaitannya dengan penelitian normatif di sini penulis
menggunakan beberapa pendekatan, diantaranya yaitu:
a. Pendekatan Perundang-undangan (Statue Approach)
Digunakan berkenaan dengan peraturan hukum yang mengatur tentang
penanganan dan peradilan anak yang terjerat masalah hukum
sebagaimana telah ditetapkan dalam undang-undang. Pendekatan
perundang-undangan dilakukan untuk meneliti aturan-aturan yang
berkaitan dengan masalah peradilan anak.
b. Pendekatan Konsep (Conceptual Approach)
Pendekatan konsep digunakan untuk memahami konsep-konsep
penanganan terhadap kejahatan yang dilakukan oleh anak di bawah
umur sehingga diharapkan penormaan dalam aturan hukum tidak lagi
memungkinkan ada pemahaman yang ambigu dan kabur, sehingga
menjadi celah yang justru dapat menjadikan terjadinya disharmoni
penegak hukum dalam menangani masalah anak.
58 Dr. Jhonny Ibrahim, S.H., M.Hum., Teori dan Metodologi Penelitian HukumNormatif, Edisi Revisi, Malang: Bayumedia Publishing, 2005, hlm. 295.

36
c. Pendekatan Kasus (Case Approach)
Pendekatan ini digunakan dengan tujuan untuk mempelajari penerapan
norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum.
Terutama mengenai kasus-kasus yang berkaitan dengan proses
penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Kasus-kasus
tersebut dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap suatu aturan
hukum dalam praktik hukum yang ada dilapangan, serta menggunakan
hasil analisisnya untuk bahan masukan dalam eksplanasi hukum.
3. Sumber Data
Sumber-sumber penelitian terdiri dari dua sumber, diantaranya adalah
sumber primer dan sumber sekunder. Sumber hukum primer merupakan
bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas.
Sumber-sumber primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan
resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-
putusan hakim. Sedangkan sumber hukum sekunder berupa semua
publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen
resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus
hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar tentang hal-hal yang
berkaitan dengan penelitian.59
a. Sumber data primer, yakni bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum
yang menjadi sumber utama bagi penelitian ini, yaitu berupa Undang-
undang No 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak dan Al-Qur’an,
59 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2010, hlm 141.

37
Hadits serta At-Tasyri’ al-Jina’ i al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil
Wad’iy karya Abd. Qodir Audah.
b. Sumber data sekunder, sebagai sumber pendukung yaitu segala sumber
yang memuat informasi tentang objek penelitian di atas baik dari
undang-undang, kitab-kitab fiqh, ensiklopedia, artikel-artikel dari
internet dan lain sebagainya yang terkait dengan masalah batas usia
anak dan pertanggungjawaban pidananya sebagai pelaku tindak pidana.
4. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode
dokumentasi, yaitu mencari dan mengumpulkan data mengenai suatu hal
atau variable tertentu yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar,
majalah, artikel dan lain sebagainya.60 Untuk mengumpulkan data yang
dimaksud di atas digunakan teknik studi kepustakaan (library research).
Teknik ini dilakukan dengan cara mencari, mencatat, menginventarisasi,
menganalisis dan mempelajari data-data yang berupa bahan-bahan
pustaka.
5. Analisis Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode content-analysis
yang dirangkai secara kualitatif dengan teknik analisis deduktif, yaitu
analisis data yang bertitik tolak atau berdasar pada kaidah-kaidah yang
bersifat umum, kemudian diambil suatu kesimpulan khusus.61 Dengan
metode analisis ini penulis dapat menyimpulkan konsep penanganan anak
60 Suharmi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta:Rineka Cipta, 1993, hlm. 202.
61 Dr. Jhonny Ibrahim, S.H., M.Hum., op. cit., hlm. 250.

38
di bawar umur (yang bersifat khusus) dalam UU No 3 Tahun 1997
Tentang Peradilan Anak yang diambil dari sumber-sumber sekunder lain
(yang bersifat umum).
G. Sistematika Penulisan Skripsi
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan pokok bahasan
secara sistematis yang terdiri dari lima bab sabagaimana berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini memuat latar belakang permasalahan, pokok masalah,
tujuan penelitian, kerangka teori, telaah pustaka, metode penelitian
dan sistematika penulisan.
BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ATAS KEJAHATAN
YANG DILAKUKAN ANAK DALAM HUKUM ISLAM
Dalam bab ini akan dibahas tentang konsep pertanggungjawaban
pidana atas kejahatan anak dalam perspektif hukum Islam yang
meliputi: pengertian pertanggungjawaban, batasan umur
pertanggungjawaban pidana anak, serta ketentuan pemidanaan
anak dalam Islam.
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG USIA ANAK SERTA
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DALAM
PERSPEKTIF UU NO. 3 TAHUN 1997 TENTANG
PERADILAN ANAK

39
Bab ini membahas tentang tentang gambaran umum batas usia
anak dan pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh anak-
anak dalam UU RI No. 3 Tahun 1997 yang meliputi: pengertian
dan batasan umur anak dalam pertanggungjawaban pidana,
tinjauan tentang anak dan tindak pidana anak, penjatuhan sanksi
terhadap anak serta ketentuan pemidanaannya.
BAB IV ANALISIS
Bab ini berisi tentang analisis terhadap batas usia
pertanggungjawaban pidana anak serta sanksi pidananya dalam UU
No. 3 Tahun 1997 ditinjau dari hukum pidana Islam.
BAB V PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir dari skripsi yang berisi kesimpulan
saran-saran dan kata penutup.

40
BAB II
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ATAS KEJAHATAN YANG
DILAKUKAN ANAK MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM
A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Sebelum membahas lebih jauh tentang batasan umur dalam
pertanggungjawaban pidana anak, penulis ingin memaparkan terlebih dahulu
apa yang dimaksud dengan pertanggungjawaban itu sendiri. Ada 3 hal pokok
dalam hukum pidana materiil yaitu perumusan perbuatan yang dilarang,
pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan sanksi yang diancamkan.1 Jika
melihat pada permasalahan pidana materiil, maka pembahasan
pertanggungjawaban pidana merupakan pembahasan yang cukup menarik,
berbicara pertanggungjawaban pidana maka tidak akan terlepas pada
pembahasan mengenai kesalahan.
Hal ini didasarkan pada prinsip pertanggungjawaban pidana yang
berdasar pada asas “tidak ada pidana tanpa kesalahan” yang dikenal dengan
asas kesalahan, dalam hukum positif dikenal dengan asas legalitas. Artinya,
pelaku pidana dapat dipidana bila melakukan perbuatan pidana yang
dilandasi sikap batin yang salah atau jahat. Meski dalam perkembangannya
ada pula pertanggungjawaban pidana yang menyimpang dari Asas Kesalahan
tersebut.2
1 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Cet. Ke-1, Semarang: BadanPenerbit Universitas Diponegoro, 1995, hlm. 50.
2 Mualdi, ibid.

41
Menurut hukum pidana Islam, para fuqaha menggunakan dua kaidah
umum yang dapat menentukan keadaan tersalah. Dengan menerapkan
keduanya, kita dapat mengetahui apakah seseorang tersalah atau tidak.
Kaidah pertama, apabila pelaku melakukan perbuatan yang mubah (tidak
dilarang) atau menyangka bahwa perbuatan itu dibolehkan kemudian
perbuatan itu menimbulkan keadaan yang tidak dibolehkan, ia
bertanggungjawab secara pidana, baik keadaan tersebut ditimbulkannya
dengan langsung maupun tidak langsung. Bila ternyata pelaku sebenarnya
dapat menghindarinya. Apabila ia benar-benar tidak mampu menghindarinya,
tidak ada pertanggungjawaban pidana padanya. Kaidah kedua, apabila
perbuatan tidak diperbolehkan (dilarang), namun pelaku melakukannya, baik
secara langsung maupun tidak langsung tanpa ada keadaan darurat yang
memaksa, hal itu dianggap bukan bukan keadaan darurat dan apa yang
ditimbulkan darinya menyebabkan pelaku harus bertanggungjawab secara
pidana, baik perbuatan itu dapat dihindari maupun tidak.3
Menurut A. Hanafi yang disadur oleh Ahmad Wardi Muslich,
pengertian pertanggungjawaban pidana dalam syari’at Islam adalah
pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan
yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut
mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya itu.4
3 Alie Yafie, dkk., Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, terjemahan dari “At-Tasyri’al-Jina’ i al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy” karya Abdul Qadir Audah, Jilid 4,Bogor: PT Kharisma Ilmu, hlm. 106.
4 Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam; FikihJinayah, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm. 74.

42
Pertanggungjawaban pidana juga mengandung pengertian bahwa
seseorang bertanggungjawab atas sesuatu perbuatan pidana yang secara sah
dan telah diatur oleh nash (syar’i). Bisa dikatakan bahwa pidana itu dapat
dikenakan secara sah berarti untuk tindakan ini telah ada aturannya dalam
sistem hukum tertentu dan sistem hukum itu telah berlaku dan mengikat atas
perbuatan itu. Singkatnya dapat dikatakan bahwa tindakan ini dibenarkan
oleh sistem hukum. Hal inilah yang menjadi konsep mengenai
pertanggungjawaban pidana.5
Jadi tidak ada suatu jarimah, kecuali sesudah ada penjelasan, dan
tidak ada hukuman kecuali sesudah ada aturan yang mengikatnya
sebagaimana firman Allah:
Artinya: “Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah.Padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklahseorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembalikepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akanmemikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulahkamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yangkamu perselisihkan." (Q.S. al-An’am: 164)6
Para fuqaha merumuskan sebuah kaidah yang berbunyi, sebelum ada
ketentuan nash, tidak ada hukum bagi perbuatan orang-orang berakal. Dari
kaidah tersebut, dapat dipahami bahwa perbuatan atau sikap tidak dipandangi
5 Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, ibid, hlm. 75.6 Departemen Agama RI , Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: 1983, hlm. 217.

43
sebagai jarimah, kecuali bila ada nash yang jelas melarang perbuatan
tersebut. Apabila tidak ada nash seperti itu, tidak ada tuntutan atau hukuman
terhadap pelakunya.7 Jadi dari kedua kaidah tersebut dapat disimpulkan
bahwa tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman, kecuali dengan suatu nash.
Di dalam fiqh jinayah, pertanggungjawaban pidana didasarkan kepada
tiga prinsip, Pertama; Melakukan perbuatan yang dilarang dan atau
meninggalkan perbuatan yang diwajibkan, Kedua; Perbuatan tersebut
dikerjakan atas kemauan sendiri, artinya si pelaku memiliki pilihan yang
bebas untuk melaksanakan atau tidak melakukan perbuatan tersebut, Ketiga;
Si pelaku mengetahui akan akibat perbuatan yang dilakukan.8
Dengan adanya syarat tersebut terlihat bahwa yang dapat dibebani
pertanggungjawaban pidana hanyalah orang dewasa, mempunyai akal pikiran
yang sehat, serta mempunyai kemauan sendiri. Apabila tidak, maka tidak ada
pertanggungjawaban pidana padanya, sehingga dia punya akal pikiran yang
bisa memahami dan mengetahui serta mempunyai pilihan terhadap apa yang
akan dilakukannya. Dengan kata lain, dalam Islam bahwa pelaku tindak
pidana yang dapat dimintakan pertanggungjawaban adalah ia mukallaf, yaitu
yang dapat dipertanggungjawabkan perbuatan pidana. Orang yang tidak
berakal bukanlah orang yang mengetahui dan bukanlah orang yang
mempunyai pilihan. Demikian juga pada orang yang yang belum dewasa
tidak bisa dijatuhi hukuman melihat kondisi mental dan sosialnya.
7 Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, op. cit.8 A. Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Edisi
Revisi, Cet. Ketiga, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2000, hal. 242.

44
Tingkat kedewasaan tidak bisa berpatokan pada batasan umur.
Seorang anak karena perkembangan fisik dan mental setiap anak berbeda-
beda sesuai dengan kondisi lingkungan sosialnya, maka tingkat
kedewasaannya pun berbeda. Mengenai batasan umur dan kedewasaan ini
akan dibahas pada sub bab berikutnya. Berdasarkan hal ini, syari’at Islam
tidak mengenal tempat (subjek) pertanggungjawaban pidana kecuali manusia
hidup, mukallaf yang menikmati kebebasan memilih pada saat berbuat. Nash-
nash syari’at menegaskan makna ini dengan jelas melalui hadits Rasulullah
saw. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud disebutkan:
نھا ع ي هللا ض ة ر ائش ع ن ع لم قال س لیھ و ع لى هللا ص سول هللا ر أن
أ تى یبر بتلى ح الم ن ع تیقظ و تى یس ح النائم ن ثة ع ثال ن ع القلم فع ر
بر تى یك ح بي الص ن ع وArtinya: “Dari Aisyah ra. ia berkata: telah bersabda Rasulullah saw:
Dihapuskan ketentuan dari tiga hal, dari orang yang tidursampai ia bangun, dari orang yang gila sampai ia sembuh,dan anak kecil sampai ia dewasa.”9
Hukuman yang merupakan cara pembebanan pertanggungjawaban
pidana dimaksudkan untuk memelihara ketertiban dan keamanan masyarakat,
dengan kata lain sebagai alat menegakkan kepentingan masyarakat,
karenanya besarnya hukuman harus disesuaikan dengan kebutuhan dan
kesadaran masyarakat. Syari’at Islam ada dengan tujuan yang begitu jelas dan
luas, sehingga dengan adanya ketentuan tersebut akan menjamin keamanan
9 Ahmad Ibnu Hambal, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah, Hadist No. 3822, hlm. 243.

45
dari kebutuhan-kebutuhan hidup manusia. Dalam kehidupan manuisa, hal ini
merupakan hal penting, sehingga tidak bisa dipisahkan.
Apabila kebutuhan-kebutuhan ini tidak terjamin, akan terjadi
kekacauan dan ketidaktertiban dimana-mana. Pada dasarnya pengertian
pertanggungjawaban pidana dalam hukum positif dengan
pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam (syari’at Islam) tidak jauh
beda, hanya saja beberapa bentuk hukum positif yang menegakkan
pertanggungjawaban pidana diambil atas filsafat jabar (determinisme,
fatalisme).10 Dalam hukum pidana Islam sendiri ada ketentuan-ketentuan
khusus yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi
seseorang, salah satu faktornya karena pelaku adalah anak-anak.
Seorang anak yang melakukan jarimah pastinya juga akan menerima
pertanggungjawaban. Akan tetapi, ketentuan dalam Islam menyebutkan
bahwa pertanggungjawaban yang akan dibebankan pada seorang anak
berbeda dengan beban pertanggungjawaban yang yang dibebankan pada
orang dewasa (mukallaf). Menurut Syafi’i dan beberapa kalangan fuqaha
lainnya bersepakat bahwa seorang anak yang belum baligh hanya akan
dikenakan hukuman ta’zir dan diyat atas jarimah apapun yang
dilakukannya.11
10 Ahmad Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang,1967, hlm. 156.
11 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Analisa Fiqih Para Mujtahid, penerjemah, Drs.Imam Ghazali Said, MA. & Drs. Achmad Zaidun, terjemahan dari Bidayatul Mujtahid waNihayatul Muqtashid, Jakarta: Pustaka Amani, 2007, hlm. 546.

46
B. Batasan Umur Pertanggungjawaban Pidana Anak
Berbicara mengenai batasan umur kedewasaan seseorang maka tidak
lepas dari dua perkara, yaitu kekuatan berfikir (idrak) dan pilihan (ikhtiar),
maka setiap manusia pasti melalui beberapa masa berbeda dalam menjalani
hidupnya mulai dari ia lahir sampai dewasa dan cakap dalam hukum. Untuk
itulah, disini penulis ingin menjelaskan terlebih dahulu mengenai siapa yang
dinamakan anak itu.
1. Pengertian Anak
Pengertian anak dari segi bahasa adalah keturunan kedua sebagai hasil
dari hubungan antara pria dan wanita. Di dalam bahasa Arab terdapat
berbagai macam kata yang digunakan untuk arti anak, sekalipun terdapat
perbedaan di dalam pemakaiannya. Kata-kata sinonim ini tidak sepenuhnya
sama artinya. Umpamanya “walad” artinya secara umum anak, tetapi dipakai
untuk anak yang dilahirkan oleh manusia dan binatang yang bersangkutan.12
Sedangkan pengertian anak dalam berbagai disiplin ilmu berbeda-
beda. Dalam hukum Islam telah menetapkan bahwa yang dimaksud dengan
anak adalah seorang manusia yang telah mencapai umur tujuh tahun dan
belum baligh, sedangkan menurut kesepakatan para ulama, manusia dianggap
baligh (dewasa) apabila mereka telah mencapai usia 15 tahun.13
Mengenai batasan umur dewasa dilihat dari kekuatan berfikir dan
pilihan (iradah dan ikhtiar) pada diri orang tersebut. Setiap manusia melalui
beberapa masa berbeda dalam menjalani hidupnya mulai dari ia lahir sampai
12 Fuad, M. Fachruddin, Masalah Anak dalam Hukum Islam, Jakarta: Pedoman IlmuJaya, 1991, hlm. 24.
13 Ahmad Hanafi, op. cit, hlm. 369.

47
dewasa dan cakap dalam hukum. Untuk itu, dalam fase perkembangan itulah,
hukum pidana Islam memberikan perbedaan dalam memahami seorang anak,
sehingga mempengaruhi pula sanksi dalam pemidanaannya. Pendapat dari
para ahli fiqh mengenai kedudukan anak adalah berbeda-beda menurut masa
yang dilaluinya yaitu:
1. Masa tidak adanya kemampuan berfikir
Pada masa ini dimulai sejak anak lahir sampai usia 7 tahun dan pada
masa tersebut seorang anak tidak mempunyai kemampuan berfikir atau
belum tamyiz. Apabila seorang anak melakukan perbuatan jarimah, maka
jarimah yang dilakukan anak tidak dikenakan hukuman baik pemidanaan
maupun pengajaran. Akan tetapi anak tersebut dikenakan
pertanggungjawaban perdata, yang dibebankan atas hak milik pribadi
yakni memberikan ganti rugi kepada korban yang dirugikan anak tersebut.
2. Masa kemampuan berfikir lemah
Pada masa ini dimulai sejak anak berusia 7 tahun sampai anak
mencapai masa kedewasaan. Kebanyakan fuqaha membatasinya sampai
anak usia 15 tahun. Kalau seorang anak sudah mencapai usia tersebut
maka sudah dianggap dewasa meskipun belum dewasa dalam arti
sebenarnya. Pada masa ini seorang anak tidak bisa dikenakan
pertanggungjawaban pidana atas jarimah yang dilakukannya, akan tetapi
dikenakan tindakan dan pengajaran.

48
3. Masa kemampuan berfikir penuh
Pada masa ini dimulai sejak mulai mencapai usia kecerdasan yang
pada umumnya telah mencapai usia 15 tahun atau 18 tahun. Pada masa ini
anak telah dikenakan pertanggung jawaban pidana atas tindak pidana yang
dilakukan.14
Sedangkan menurut mazhab Hanafiyah bahwa hukum-hukum
mengenai asal mula seseorang dimulai dengan pembentukannya hingga
sempurna akalnya dibagi kedalam empat periode, yaitu:
a. Periode Janin
Periode ini dimulai semenjak seseorang ini berupa alaqah (segumpal
darah) dalam kandungan ibunya sampai ia lahir, pada periode ini sifat
kemanusiaannya belum sempurna. Karena jika dilihat dari ujud badannya
seolah-olah ia merupakan bagian ibunya. Ia makan dari apa yang dimakan
ibunya, ia bergerak jika ibunya bergerak dan ia pindah dari suatu tempat
ketempat lain jika ibunya berpindah tempat. Tapi dari segi adanya ruh dia
telah merupakan suatu jiwa tersendiri.
b. Periode Tufulah (kanak-kanak)
Dimulai sejak dia lahir kedunia, setelah lahirnya maka telah sempurnalah
sifat kemanusiaannya, karena dia telah terpisah dari ibunya. Kemampuan
akalnya berkembang sedikit demi sedikit, masa ini sudah mendekati
tamyiz.
14 Sudarsono, Kenakalan Remaja, cet. Ke-2., Jakarta: Rineka Cipta, 1991, hlm. 10.

49
c. Periode Tamyiz
Periode ini dimulai semenjak umur 7 tahun, dia telah memiliki ahliyah al-
wujub -kelayakan seseorang untuk mendapatkan hak-hak yang ditentukan
oleh syara’ atau undang-undang- secara sempurna karena tidak diragukan
lagi keberadaannya sebagai manusia. Seseorang dikatakan tamyiz apabila
sudah bisa membedakan antara yang baik dan buruk baik bagi dirinya
maupun orang lain.
d. Periode Baligh
Periode baligh adalah masa kedewasaan hidup seseorang, tanda-tanda
mulai dewasa apabila telah mengeluarkan air sperma dalam mimpi dan
mengeluarkan darah haid bagi wanita dan ditandai dengan tumbuhnya
rambut disekitar kemaluan.15
Menurut Abdul Qodir Audah anak yang belum baligh dapat
ditentukan bahwa laki-laki itu belum keluar sperma dan bagi perempuan
belum haid, ihtilam dan belum pernah hamil. Menurut jumhur fuqaha
berpendapat bahwa kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan sama
yakni tentang kedewasaannya yaitu keluarnya sperma dan telah haid serta
terlihatnya kecerdasan.16 Dari dasar ayat al-Qur’an dan hadits serta dari
berbagai pendapat dapat dipahami bahwa kedewasaan menurut Islam
mengacu pada batas ihtilam, namun terjadi perselisihan mengenai batas
umurnya. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan iklim, suhu,
temperamen, tabiat dan lingkungan seseorang tersebut berada.
15 Syeikh Muhammad Hudai Beik, Ushul Fiqh, Mesir: Maktabah Tijariyah Kubra,1965, hlm. 99.
16 Alie Yafie, dkk., op. cit., hlm. 258.

50
Adapun yang menjadi dasar tidak cakapnya seorang anak adalah
disandarkan pula pada ketentuan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an
yakni:
Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untukkawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telahcerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepadamereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anakyatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah iamenahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) danbarangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itumenurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkanharta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplahAllah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).” (Q.S. An-Nisa’: 6)17
Dalam penjelasan ayat tersebut memang memberikan keterangan
mengenai anak yatim berkaitan dengan urusan hartanya. Namun, dapat
diambil pemahaman bahwa ini juga berkaitan dengan kecapakan seorang
anak dalam menerima beban pertanggungjawaban atas dirinya sendiri. Dalam
kitab al-Amwal wa Nadzriyatul Aqdi disebutkan, ayat ini tegas menyatakan
17 Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit., hlm. 115.

51
bahwa anak yatim wajib diasuh sampai umur dewasa atau dengan kata lain,
perlu (tetap diasuh) sampai seseorang mencapai dewasa.18
Para fuqaha dan ahli undang-undang sepakat menetapkan, seseorang
diminta pertanggungjawaban atas perbuatannya dan mempunyai kebebasan
menentukan hidupnya setelah cukup umur. Menurut pandangan Syafi’iyah,
Hanbaliyah, dan Malikiyah, umur 15 tahun merupakan usia minimal untuk
disebut seorang anak telah cukup umur, baik lelaki maupun perempuan.
Namun, seorang anak laki-laki bermimpi yang mengeluarkan sperma dan
seorang perempuan haid, sebelum berumur 10 tahun, tidak cukup untuk
mempertanggungjawabkan beban dan resiko-resiko perbuatannya dan belum
boleh mengurus dirinya sendiri jika mereka belum bersikap dewasa, baik
secara psikologi maupun akal. Karena itu wajib dipegang dalam menentukan
anak cukup umur yang bisa dibebani pertanggungjawaban pidana adalah
dengan ketentuan kedewasaannya secara kejiwaan, bukan dari banyaknya
umur dan tanda-tanda fisik.19
Menurut Imam Syafi’I yang disadur oleh Chairuman, seorang anak
telah dikatakan mencapai dewasa apabila telah sempurna umur anak yakni 15
tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Kecuali bagi anak laki-laki yang
sudah ihtilam maupun perempuan yang sudah haid sebelum mencapai umur
15 tahun, maka sudah dianggap dewasa.20
18 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur,Jilid 1, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000, hlm. 785.
19 Ibid, hlm. 786.20 Chairuman dan Suwardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar
Grafika, 1996, hlm. 10.

52
Seorang anak laki-laki yang telah bermimpi sehingga mengeluarkan
air mani walau belum berumur 15 tahun, sudah dianggap dewasa. Hal ini
dikarenakan adanya ketentuan hukum yang ada dalam al-Qur’an yaitu:
Artinya: “Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, Makahendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yangsebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allahmenjelaskan ayat-ayat-Nya. dan Allah Maha mengetahui lagiMaha Bijaksana.” (QS. An-Nur: 59)21
Pada tingkatan pertama, kesepakatan ulama menyatakan bahwa tidak
adanya kemampuan menggunakan alam pikirannya, bermula dari anak
tersebut dilahirkan sampai umur 7 tahun. Dalam tingkatan kedua,
kemampuan untuk mempergunakan alam pikirannya. Akan tetapi, masih
dianggap lemah karena kondisi jiwa yang masih labil dan pada tingkatan ini
bermula pada usia 7 tahun hingga berakhir sampai pada ia baligh. Sedangkan
untuk tingkatan ketiga, kemampuan dalam mempergunakan alam pikirannya
secara sempurna. Bermula dari baligh-nya seorang anak setelah berumur 15
tahun maupun setelah berumur 18 tahun. Sehingga jelas bahwa usia anak
dalam hukum pidana Islam berkaitan erat dengan pertanggungjawaban yang
akan dibebabnkan padanya. Sebab batasan baligh dan mukallaf menjadi
21 Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit., hlm. 554.

53
patokan bagi seseorang dalam menerima beban syari’at yang akan
ditanggungnya.
2. Pengertian Hukuman
Dalam suatu peraturan hukum pidana baik yang memuat larangan
melakukan maupun perintah untuk melakukan sudah semestinya disertai
dengan adanya sanksi atau hukuman supaya bentuk larangan maupun
perintah itu diakui oleh segenap masyarakat yang bersangkutan. Kemudian
bagaimana cara menghukum pelanggar aturan itu tentunya memerlukan
aturan lebih lanjut yang merupakan bagian dari suatu sistem hukuman.
Sanksi atau hukuman dalam hukum pidana Islam disebut ‘uqubah
yang memiliki arti siksaan atau balasan terhadap kejahatan. Abdul Qadir
Audah memberikan definisi hukuman sebagai pembalasan atas pelanggaran
perintah syara’ yang ditetapkan untuk kemashlahatan masyarakat. Hukuman
adalah salah satu tindakan yang diberikan oleh syara’ sebagai pembalasan
atas perbuatan yang melanggar ketentuan syara’, dengan tujuan untuk
memelihara ketertiban dan kepentingan masyarakat, sekaligus juga untuk
melindungi kepentingan individu.22
Sedangkan menurut Abu Zahrah, hukuman merupakan siksaan bagi si
pelaku kejahatan sebagai balasan baginya dan hukuman itu merupakan suatu
ketetapan syara’ di dalam menghilangkan mafsadah, dan menghilangkan
mafsadah itu sendiri merupakan kemashlahatan.23 Dalam hal ini hukuman itu
lebih bersifat prevensi (pencegahan) khusus yaitu bagi pelaku jarimah.
22 Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, op. cit., hlm. 137.23 Alie Yafie, dkk., op. cit., hlm. 67.

54
Berbeda dengan pemaparan Audah yang lebih bersifat prevensi umum atau
dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat.
Dari beberapa pengertian di atas dapat dikemukakan bahwa hukuman
merupakan balasan atas perbuatan pelaku kejahatan yang mengakibatkan
orang lain menjadi korban dari perbuatannya dan ditetapkannya hukuman
bertujuan untuk kemashlahatan bersama. Esensi dari hukuman bagi pelaku
suatu jarimah menurut Islam adalah, pertama, pencegahan serta balasan (ar-
rad ‘u wa al-zairu) dan kedua adalah perbaikan dan pengajaran (al-islah wa
at-tahzib). Dengan tujuan tersebut, pelaku jarimah diharapkan tidak
mengulangi perbuatan jeleknya. Disamping itu juga merupakan tindakan
preventif bagi orang lain untuk tidak melakukan hal yang sama.
Agar hukuman itu diakui keberadaannya maka harus dipenuhi tiga
syarat. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut.
1. Hukuman Harus Ada Dasarnya Dari Syara’
Hukum dianggap mempunyai dasar apabila ia didasarkan kepada
sumber-sumber syara’, seperti al-Qura’n, as-Sunnah, ijma’ atau undang-
undang yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang (ulil amri) seperti
hukuman ta’zir. Dalam hal hukuman ditetapkan oleh ulil amri maka
disyaratkan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan syara’.
Apabila bertentangan maka ketentuan hukuman tersebut menjadi batal.
Dengan adanya persyaratan tersebut maka seorang hakim tidak boleh
menjatuhkan hukuman atas dasar pemikirannya sendiri walaupun ia

55
berkeyakinan bahwa hukuman tersebut lebih baik dan lebih utama
daripada hukuman yang telah ditetapkan.
2. Hukuman Harus Bersifat Pribadi (Perorangan)
Hukum disyaratkan harus bersifat pribadi atau perorangan. Ini
mengandung arti bahwa hukuman harus dijatuhkan kepada orang yang
melakukan tindak pidana dan tidak mengenai orang lain yang bersalah.
Syarat ini merupakan salah satu dasar dan prinsip yang ditegakkan oleh
syari’at Islam dan ini telah dibicarakan berkaitan dengan masalah
pertanggungjawaban.
3. Hukuman Harus Berlaku Umum
Selain dua syarat yang telah disebutkan di atas, hukuman juga
disyaratkan harus berlaku umum. Ini berarti hukuman harus berlaku
untuk semua orang tanpa adanya diskriminasi, apa pun pangkat, jabatan,
status, dan kedudukannya. Di depan hukum semua orang statusnya sama,
tidak ada perbedaan antara yang kaya dan miskin, antara pejabat dengan
rakyat biasa, antara bangsawan dengan rakyat jelata.24
Di dalam hukum pidana Islam, persamaan yang sempurna itu hanya
terdapat dalam jarimah dan hukuman had atau qishash, karena keduanya
merupakan hukuman yang telah ditentukan syara’. Setiap orang yang
melakukan jarimah hudud seperti zina, pencurian dan sebagainya, akan
dihukum dengan hukuman yang sesuai dengan jarimah yang dilakukannya,
kecuali orang-orang yang sudah ditentukan lain dalam al-Qur’an (anak kecil
24 Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, op. cit, hlm. 141.

56
dan orang gila). Adapun dalam hukuman ta’zir, persamaan dalam jenis dan
kadar hukuman, tentu saja tidak diperlukan, sebab apabila demikian
keadaannya maka ta’zir itu tidak ada bedanya dengan had.25
Persamaan yang dituntut dari hukuman ta’zir itu adalah persamaan
dalam aspek dampak hukuman terhadap pelaku, yaitu mencegah, mendidik,
dan memperbaikinya. Sebagian pelaku mungkin cukup dengan hukuman
peringatan, sebagian lagi perlu dipenjara dan sebagian lagi mungkin harus
didera atau bahkan ada pula yang harus dikenakan hukuman mati.
Namun, hukum Islam juga datang dengan dasar yang lain, yakni
dengan memberikan pengampunan hukuman terhadap pelaku meskipun ia
patut mendapatkannya karena dia melakukan perbuatan yang dilarang dan dia
mempunyai pengetahuan dan pilihan. Dasar (aturan pokok) ini dianggap
sebagai pengecualian dari kaidah-kaidah umum. Dalam menetapkan
ketentuan ini, syar’i kemungkinan bermaksud untuk mendorong agar pelaku
bertobat dari tindak pidana yang besar dan mengurungkan diri untuk turut
serta dalam perbuatan tersebut.26
Oleh karena itu, dalam hukum pidana Islam apabila seorang anak
yang melakukan jarimah, tentunya ia akan tetap mendapatkan sanksi atas
jarimah yang dilakukannya tesebut. Tidak mungkin seseorang yang
melakukan kejahatan akan bebas dari segala akibat dari perbuatan jahat yang
dilakukannya. Namun, ketentuan hukuman atau sanksi yang akan diterima
oleh seorang anak, tentunya memiliki perbedaan dengan sanksi yang
25 Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, ibid, hlm. 142.26 Alie Yafie, dkk., op. cit., hlm. 261.

57
diberikan kepada orang dewasa (mukallaf). Sejauh apapun kejahatan yang
dilakukan anak, dia tidak akan dikenakan had ataupun qishash atas jarimah
hudud yang dilakukannya.
C. Ketentuan Pemidanaan Anak
Penjatuhan sanksi atau pemidanaan dalam hukum pidana Islam
disebut dengan istilah arab yaitu ‘uqubah bentuk balasan bagi seseorang atas
perbuatannya melanggar ketentuan syara’ yang ditetapkan Allah dan Rasul-
Nya.27 Menurut syari’at Islam, jarimah adalah larangan-larangan syara’ yang
diancam dengan hukuman had atau ta’zir. Yang dimaksud dengan larangan
adalah pelanggaran perbuatan yang dilarang atau mengabaikan perbuatan
yang diperintahkan karena meliputi hal-hal yang merugikan.
Jadi, jarimah itu melakukan perbuatan yang dilarang dengan ancaman
sanksi atas perbuatan yang dilarang tersebut atau mengabaikan perbuatan
yang dilarang tersebut. Menurut Ahmad Wardi Muslich, memberi pengertian
bahwa jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’, yang
diancam dengan hukuman had atau ta’zir.28
Kalangan fuqaha menyamakan istilah jinayah dan jarimah yang
merupakan perbuatan yang dilarang, karena perbuatan jarimah yang
dilakukan tersebut menimbulkan kerugian kepada pihak lain. Pengertian
jinayah adalah setiap perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan
mengenai jiwa, harta benda atau lain-lainnya.
27 Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Cet. Ke-I, Yogyakarta:Logung Pustaka, 2004, hlm. 39.
28 Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, op. cit, hlm. 9.

58
Dalam memberikan definisi tentang jarimah, Imam Al Mawardi
mengemukakan sebagai berikut, yakni:
الجرائم محظورات شرعیة زجرهللا تعالى عنھا بحد اوتعزیر“Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang olehsyara’, yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir”.29
Suatu perbuatan baru dianggap sebagai pidana apabila unsur-unsurnya
telah terpenuhi. Unsur-unsur ini ada yang umum dan ada yang khusus. Unsur
umum berlaku untuk semua jarimah, sedangkan unsur khusus yang berlaku
untuk masing-masing jarimah berbeda antara jarimah yang satu dengan
jarimah yang lain. Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa unsur-unsur
umum untuk jarimah itu ada tiga macam.
1. Unsur formal yaitu adanya (الركن الشرعى) nash (ketentuan) yang melarang
perbuatan dan mengancamnya dengan hukuman.
2. Unsur material (الركن المادي) yaitu adanya tingkah laku yang membentuk
jarimah, baik berupa perbuatan nyata (positif) maupun sikap yang tidak
berbuat (negatif).
3. Unsur moral (الركن االدبي) yaitu bahwa pelaku adalah orang yang
mukallaf, yakni orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak
pidana yang dilakukannya.30
Dari ketiga unsur tersebut, secara umum dapat dipahami bahwa
sebuah tindak pidana (jarimah) dapat dimintakan pertanggungjawabannya
jika telah memenuhi unsur-unsur tersebut. Tidak ada hukuman kecuali
29 Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, ibid.30 Ahmad Wardi Muslich, loc. cit, hlm. 28.

59
adanya nash atau undang-undang yang mengaturnya. Kalau dalam hukum
positif dikenal dengan asas legalitas tidak ada pidana dan sanksi sebelum ada
peraturan yang mengaturnya, maka dalam hukum pidana Islam pun sudah
mengaturnya.
Ada beberapa jenis hukuman dan sanksi yang bisa diterapkan kepada
pelaku jarimah bagi anak di bawah umur dalam hukum pidana Islam, yaitu:
a. Hukuman fisik yang meliputi pemukulan terhadap anak pada bagian-
bagian tertentu yang tidak merusak atas fisik anak, jadi yang dipukul
hanya bagian-bagian tertentu semisal kaki dan tangan.
b. Membatasi kebebasan yang berupa mengirim si anak ke sebuah lembaga
atau departemen sosial yang bergerak dibidang pendidikan dan pembinaan.
c. Membayar denda.
d. Peringatan yang diberikan oleh hakim.31
Adapun secara rinci sebuah sanksi atau hukuman yang diterapkan
terhadap pelaku pidana dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu:
1. Ditinjau dari segi pertalian antara satu hukuman dengan hukuman yang
lainnya, hukuman dibagi menjadi empat macam, yaitu:
a. Hukuman pokok ('Uqubah Ashliyah), yaitu hukuman yang ditetapkan
untuk jarimah yang bersangkutan sebagai hukuman asal dari sebuah
jarimah, seperti hukuman qishash untuk jarimah pembunuhan, rajam,
cambuk untuk perzinahan dan potong tangan untuk jarimah pencurian.
31 Abdurrahman I. Doi, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, diterjemahkan oleh H.Wadi Masturi, S.E. & Drs. H. Basri Iba Asghary, “Shari’ah the Islamic Lam”, Cet. ke-1,Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hlm. 11.

60
b. Hukuman pengganti (‘Uqubah Badaliyah), yaitu hukuman yang
menggantikan hukuman pokok, apabila hukuman pokok tidak dapat
dilaksanakan karena alasan yang sah, seperti hukuman denda (diat)
sebagai hukuman pengganti qishash, atau hukuman ta’zir sebagai
hukuman pengganti had atau qishash yang tak bisa dilaksanakan.
c. Hukuman tambahan (‘Uqubah Taba’iyah), yaitu hukuman yang
mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan secara
tersendiri, seperti larangan menerima warisan bagi orang yang
membunuh orang yang akan diwarisnya, sebagai tambahan untuk
hukuman qishash atau diat.
d. Hukuman pelengkap (‘Uqubah Takmiliyah), yaitu hukuman yang
mengikuti hukuman pokok dengan syarat harus ada keputusan
tersendiri dari hakim dan syarat inilah yang membedakannya dengan
hukuman tambahan.32
Guna memperbaiki tingkah laku anak, Islam mengajarkan sesuatu
yang positif yang tidak menyakiti atau bisa merusak masa depan anak dengan
nasehat dan tidak boleh menyakitinya. Jika ta’zir dan nasehat bisa
menyadarkan anak, maka tidak boleh dipukul dan melukai anak selagi
semuanya bersifat mendidik. Maksud pokok hukuman dalam Islam adalah
memelihara dan menciptakan kemashlahatan manusia dan menjaga mereka
dari hal-hal yang mafsadah. Karena itu, hukuman yang baik adalah hukuman
yang mampu memenuhi ketentuan sebagai berikut:
32 Ahmad Hanafi, loc. cit, hlm. 260-261.

61
a. Mampu mencegah seseorang dari perbuatan maksiat dan mampu
menjerakan setelah terjadinya perbuatan (preventif).
b. Batas tertinggi dan terendah suatu hukuman disesuaikan dengan kebutuhan
kemashlahatan masyarakat.
c. Memberikan hukuman bukanlah untuk membalas dendam namun untuk
kebaikan dan ketertiban serta keadilan masyarakat.
d. Hukuman merupakan upaya terakhir dalam menjaga seseorang supaya
tidak jatuh dalam suatu kejahatan.33
Di dalam zaman yang begitu kompleks ini, tidak dapat dipungkuri
banyak faktor yang menyebabkan seorang anak cenderung berbuat kenakalan
yang bila diklasifikasikan sebagai perbuatan kejahatan (jarimah) yang
dianggap sebagai kenakalan anak, yang oleh para ahli disebut dengan juvenile
delinguency menyebabkan seorang anak berurusan dengan hukum. Tidak
jarang, perbuatan itu telah merambah pada tingkat kejahatan atau pidana yang
sangat mengkhawatirkan bagi tingkat anak-anak. Akan tetapi, tidak adil
rasanya bila anak yang melakukan kenakalan dan meresahkan masyarakat
tersebut tidak dikenai hukuman, tetapi tidak pantas juga anak-anak tersebut
mendaptkan hukuman yang sama dengan yang diterima oleh orang dewasa.
Hukuman had hanya diberikan bila pelanggaran atas hak-hak
masyarakat. Dalam hukum pidana Islam, hudud dibatasi untuk hukuman
karena tindak pidana yang disebutkan oleh al-Qur’an atau sunnah Nabi saw,
sedangkan hukuman lain ditetapkan dengan pertimbangan qadhi atau
33 Ibid.

62
penguasa.34 Meskipun dalam hukum pidana Islam telah jelas dikemukakan
bahwa hukuman had atau sanksi pidana diberikan kepada seseorang karena
melanggar hak-hak masyarakat lainnya. Akan tetapi ada pengecualian
terhadap seorang anak yang melakukan pelanggaran jarimah hudud tersebut.
Untuk itulah, hal yang menjadi latar belakang atau tujuan para
mujtahid mempidanakan dan menjatuhkan hukuman suatu perbuatan pidana
yaitu bertujuan untuk menjaga tatanan kemasyarakatan, menjaga
kepercayaan-kepercayaan atau menjaga harta benda, menjaga nama baik,
menjaga kehormatan, menjaga jiwa dan lain sebagainya, serta pada umumnya
menjaga kepentingan dan ketentraman masyarakat. Sehingga tujuan hukuman
pun akan tercapai yaitu menjaga akhlak, karena jika akhlak terpelihara maka
akan terpelihara juga kesehatan badan, akal, hak milik, jiwa dan ketentraman
masyarakat.35
34 Abdurrahman I. Doi, op. cit., hlm. 6.35 Makhrus Munajat, op. cit., hlm. 8.

63
BAB III
BATAS USIA SERTA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK
DALAM PERSPEKTIF UU NO. 3 TAHUN 1997 TENTANG
PENGADILAN ANAK
A. Pertanggungjawaban Pidana Menurut Hukum Positif
Berbicara mengenai pertanggungjawaban pidana dalam ranah hukum
positif tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai kesalahan. Orang
tidak mungkin dipertanggungjawabkan untuk dipidana, apabila ia tidak
melakukan kesalahan. Pada waktu membicarakan pengertian perbuatan
pidana, telah diajukan bahwa dalam istilah tersebut tidak termasuk
pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan
diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Apakah orang yang melakukan
perbuatan kemudian juga dijatuhi pidana, sebagaimana telah diancamkan, ini
tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini seseorang
mempunyai kesalahan. Sebab azas dalam pertanggungjawaban dalam hukum
pidana adalah tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.1
Adanya pemisahan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana
dalam RKUHP memberi penekanan yang berbeda dalam memisahkan unsur-
unsur obyektif yang terkandung dalam dalam perbuatan pidana dan unsur-
unsur subyektif yang menjadi ranah pertanggungjawaban pidana sehingga
keduanya terlepas dari lainnya dan diterapkan secara serial untuk dijadikan
1 Prof. Moeljanto, S.H., Asas-Asas Hukum Pidana, Cet. Ke-V, Jakarta: RinekaCipta, hlm.153.

64
dasar pemidanaan. Hal ini berimplikasi pada kesalahan (dalam arti luas)
sebagai unsur subyektif dalam perbuatan pidana. Kendati para ahli hukum
lebih banyak menganut pandangan monistis tentang delik yang menyatukan
perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.
Gambaran sederhananya bahwa dalam menjatuhkan pidana dalam
hukum positif, unsur “kesalahan” dan “pertanggungjawaban pidana” harus
dipenuhi. Jadi, perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya
perbuatan. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang
mempunyai kesalahan, tentu dia akan dipidana. Tetapi, manakala dia tidak
mempunyai kesalahan, walaupun dia telah melakukan perbuatan yang
terlarang dan tercela, dia tentu tidak dipidana.2
Pada dasarnya, dalam teori monistis yang menjadi dasar dalam KUHP
yang ada sekarang ini banyak diperdebatkan oleh para ahli hukum. Hal ini tak
lain karena dalam monistis kesengajaan merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan dari perbuatan. Karenanya, perbuatan pidana hanya ditunjukkan
kepada perbuatan dan akibat yang ditimbulkan berdasarkan penetapan
kesengajaan pelaku. Maka kesalahan (kesengajaan) dijadikan sebagai unsur
subyektif dari perbuatan pidana.
Hal ini berbeda dengan teori dualistis yang sekarang banyak
diwacanakan ahli hukum yang berusaha memisahkan perbuatan pidana dan
pertanggungjawaban pidana. Teori dualistis memandang bahwa unsur
obyektif hanya dapat dikandung dalam perbuatan pidana. Atas dasar itu,
2 Prof. MR. Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana;Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1983, hlm. 75.

65
perbuatan pidana hanya dapat dilarang karena tidak mungkin suatu perbuatan
dijatuhi pidana. pemidanaan hanya diterapkan kepada pembuat setelah
terbukti melakukan perbuatan pidana dan dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatan yang dilakukan.3 Pelaksanaan perbuatan pidana tidak serta merta
menyebabkan seseorang dapat dipidana lantaran perbuatan pidana hanya
menunjuk pada sifat perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika
dilanggar. Sementara itu, pemidanaan bergantung kepada kesalahan pembuat
manakala melakukan perbuatan. Jadi, perbuatan pidana dan
pertanggungjawaban pidana merupakan hal yang terpisahkan.4
Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut
“toerekenbaarheid”, “criminal responsibility”, “criminal liability”.
Pertanggungjawaban pidana disini dimaksudkan untuk menentukan apakah
seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak
terhadap tindakan yang dilakukannya itu.5 Roscoe Pound, mengartikan bahwa
pertanggungjawaban pidana adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar
pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan,
menurutnya juga bahwa pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak
hanya menyangkut masalah hukum semata, akan tetapi menyangkut pula
3 Ainul Syamsu, Dualisme Tentang Delik: Sebuah Kecenderungan Baru dalamHukum Pidana Indonesia, http://hukumpidana.blogspot.com/2007/04/.html, diakses padatanggal 22 Juni 2012 pukul 20.30 WIB.
4 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1993, cet. V, hlm. 54.5 S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Cet. 4,
Jakarta: Alumni Ahaem-Petehaem, 1996, hlm. 245.

66
masalah nilai-nilai moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu
masyarakat.6
Dalam Pasal 34 Naskah Rancangan KUHP Baru (1991/1992)
dirumuskan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan
yang objektif pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang
berlaku.7 Secara subjektif kepada pembuat pidana yang memenuhi syarat-
syarat dalam undang-undang (pidana) untuk dapat dikenai pidana karena
perbuatannya itu. Sedangkan syarat untuk adanya pertanggungjawaban
pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka harus ada unsur kesalahan
berupa kesengajaan atau kealpaan.
Konsep Rancangan KUHP Baru Tahun 2004/2005, di dalam Pasal 34
memberikan definisi pertanggungjawaban pidana sebagai berikut:
Pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yangobejektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektifkepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhipidana karena perbuatannya itu.8
Di dalam penjelasannya dikemukakan, tindak pidana tidak berdiri
sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini
berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya
harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana.
Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan
(vewijbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai
6 Roscoe Pound, “An Introductio to the Philosophy of Law” dalam RomliAtmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Cet. II, Bandung: Mandar Maju, 2000, hlm. 65.
7 http://imanherlambang.blogspot.com, Pertanggungjawaban Pidana.html, diaksespada tanggal 19 April 2012 pukul 16.59 WIB.
8 http://imanherlambang.blogspot.com/2011/12/, ibid.

67
tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak
pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena
perbuatannya.9
Pertanggungjawaban pidana hanya dapat dilakukan jika sebelumnya
telah terjadi suatu tindak pidana dan ada unsur kesalahan di dalamnya. Tidak
mungkin seseorang dipertanggunjawabkan (dijatuhi hukuman) kalau dia tidak
melakukan perbuatan pidana. Dengan demikian pertanggungjawaban pidana
itu akan terjadi manakala perbuatan atau tindak pidana telah dilakukan
seseorang yang menurut undang-undang bahwa perbuatan tersebut dilarang,
untuk itu kepada pelaku tersebut layak dimintakan pertanggungjawaban.
Unsur tindak pidana dan kesalahan (kesengajaan) adalah unsur yang
sentral dalam hukum pidana. Unsur perbuatan pidana terletak dalam lapangan
objektif yang diikuti oleh unsur sifat melawan hukum, sedangkan unsur
pertanggungjawaban pidana merupakan unsur subjektif yang terdiri dari
kemampuan bertanggungjawab dan adanya kesalahan (kesengajaan dan
kealpaan).
Orang yang melakukan perbuatan pidana akan dipidana apabila dia
mempunyai kesalahan. Seseorang dianggap mempunyai kesalahan, apabila
pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat, dia
dapat dicela oleh karenanya, sebab dianggap dapat berbuat lain, jika memang
tidak ingin berbuat demikian. Dilihat dari segi masyarakat, ini menunjukkan
pandangan yang normatif mengenai kesalahan. Seperti diketahui mengenai
9 http://imanherlambang.blogspot.com/2011/12/, op. cit.

68
kesalahan ini dulu orang berpandangan psikologis. Tetapi kemudian
pandangan ini ditinggalkan orang dan orang lalu berpandangan normatif. Ada
atau tidaknya kesalahan tidaklah ditentukan bagaimana keadaan batin (niat)
dari seorang pelaku, tetapi bergantung pada bagaimanakah penilaian hukum
mengenai keadaan batinnya itu, apakah dinilai ada ataukah tidak ada
kesalahan.10
Dipidana atau tidaknya si pembuat kejahatan bukanlah bergantung
pada apakah ada perbuatan pidana atau tidak, melainkan pada apakah si
terdakwa tercela atau tidak karena telah melakukan perbuatan pidana itu.
Karena itulah maka juga dikatakan, dasar daripada adanya perbuatan pidana
adalah asas legalitet, yaitu asas yang menentukan bahwa sesuatu perbuatan
adalah terlarang dan diancam dengan pidana barangsiapa yang
melakukannya, sedangkan dasar daripada dipidananya si pembuat adalah asas
“tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”.11 Sehingga dapat dikatakan bahwa
orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana kalau tidak
melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun dia melakukan perbuatan
pidana, tidaklah selalu dia dapat dipidana.
Perlu dilihat juga, dalam hukum positif ada juga ketentuan-ketentuan
yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pada diri seorang pelaku
tindak pidana. Pembuat undang-undang bertolak pangkal bahwa setiap orang
bertanggung jawab, karena setiap orang dianggap mempunyai jiwa yang
sehat. Pasal 44 KHUP menentukan tindak pidana seseorang yang melakukan
10 Prof. MR. Roeslan Saleh, op. cit, hlm. 77.11 Prof. MR. Roeslan Saleh, Loc. cit. hlm. 76.

69
suatu tindakan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya (non
compos mentis). Jadi dari pasal tersebut ada juga seseorang yang tidak akan
dimintai pertanggungjawaban pidananya. Hal ini dikarenakan ada sesuatu dari
seseorang tersebut yang membuatnya tidak dikenai pidana, ini karena:
a. Jiwanya cacat dalam pertumbuhannya (gagu, idiot, imbecile dan
sebagainya).
b. Jiwanya terganggu karena penyakit (gila) terus-menerus atau temporarie.12
Pasal 44 dirumuskan sebagai perkecualian dari ketentuan tersebut,
sehingga tidak semua yang melakukan tindak pidana, dapat dimintakan
pertanggunjawaban pidana juga. Kemudian dalam Pasal 45 KUHP
menentukan batas usia dewasa bagi anak pelaku tindak pidana adalah 16
tahun, sebelum usia tersebut seorang anak yang melakukan tindak pidana
akan dijatuhi pidana yang berbeda dengan orang dewasa (Pasal 45, 46 dan 47
KUHP yang dengan adanya UU No. 3 tahun 1997 dinyatakan tidak berlaku).
Undang-undang menganggap setiap anak mampu bertanggungjawab asal
jiwanya sehat. Namun ada pemahaman tentang kemungkinan untuk tidak
memidana seorang anak karena alasan masih sangat muda sehigga belum
dapat menilai tindakannya yang tercela.
Kemudian dengan adanya Undang-undang No 3 tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, maka segala bentuk pemberian sanksi atau
pertanggungjawaban pidana yang dibebabnkan pada seorang anak yang
melakukan tindak pidana yang tertuang di dalam KUHP sudah tidak berlaku
12 Lihat Pasal 44 KUHP, Trinity, 2009, hlm. 17.

70
lagi. Untuk itu, segala hal yang berkaiatan dengan hukum anak menggunakan
ketentuan undang-undang baru tersebut.
B. Pengertian dan Batasan Umur Anak Dalam Pertanggungjawaban
Pidana
Merujuk dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, seorang anak diartikan
sebagai manusia yang masih kecil atau belum dewasa.13 Pengertian anak dari
segi bahasa adalah keturunan kedua sebagai hasil dari hubungan antara pria
dan wanita. Anak menurut KHA didefinisikan setiap individu yang umurnya
di bawah 18 tahun. Namun definisi itu tidak tunggal, di dalam Konvensi Hak
Anak ada tambahan kecuali ditentukan dalam perundangan yang berlaku,
kedewasaan itu ditentukan lebih awal. Jadi KHA sebagai hukum Internasional
mengakui kalau ada hukum nasional yang menyatakan bahwa anak itu adalah
mereka yang umurnya lebih rendah dari 18 tahun sejauh itu diakui dalam
undang-undang nasional.
Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian anak dimata hukum
positif Indonesia biasa diartikan sebagai orang yang belum dewasa, orang di
bawah umur atau juga disebut sebagai anak yang di bawah pengawasan
wali.14 Maka dengan bertitik tolak pada pengertian-pengertian tersebut di atas
dapat dikatakan bahwa ternyata hukum positif Indonesia tidak mengatur
13 W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka:Armico, 1984, hlm. 25.
14 Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia (Terori, Praktif danPermasalahannya), Bandung: CV. Mandar Maju, 2005, hlm. 3.

71
adanya unifikasi hukum yang baku dan berlaku universal untuk menentukan
kriteria batasan umur bagi seorang anak.
Kalau melihat UU Peradilan Anak, yang dimaksud dengan anak
dalam perkara Anak Nakal adalah orang yang telah mencapai umur 8
(delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan
belum pernah kawin. Dalam Pasal 1 ayat 2 UU No 3 tahun 1997 dijelaskan
bahwa yang dinamakan Anak Nakal adalah:
1. Anak yang melakukan tindak pidana, atau2. Anak yang melakukan perbutan yang dinyatakan terlarang bagi
anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupunmenurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalammasyarakat.15
Adapun di dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No 23 Tahun 2002
tentang perlindungan anak, disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa anak yang berhak
mendapat perlindungan hukum tidak memiliki batasan minimal umur.16 Dari
anak masih dalam kandungan, sampai ia berhak mendapatkan perlindungan.
Dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak, yang disebut anak adalah seseorang yang belum
mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.17
15 Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Perundangan tentang Anak; Undang-Undang RINo. 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010, hlm. 16.
16 Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Perundangan tentang Anak; Undang-Undang RINo. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010, hlm.66.
17 Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Perundangan tentang Anak; Undang-Undang RINo. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010, hlm. 6.

72
Apabila dijabarkan secara lebih detail dan terperinci maka akan
didapatkan dan ditemui beberapa batasan umur seorang anak dari hukum
positif yang ada di Indoensia tentang seseorang yang disebut anak tersebut.
1. UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seorang
yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan
(Pasal 1 ayat 1).
2. UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, anak adalah setiap
manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah termasuk
anak yang masih dalam kandungan papbila hal tersebut adalah demi
kepentingannya (Pasal 1 ayat 5)
3. Kitab Undang-undang Hukum Perdata, anak adalah mereka yang belum
mencapai umur genap 21 tahun dan belum kawin (Pasal 370)
4. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), anak adalah yang berumur
dibawah 16 tahun (Pasal 45 dan 72). Dalam KUHP terdapat juga batasan
umur yang lain bagi seorang anak, yakni Pasal 283 ayat 1 (batasan umur
17 tahun), kemudian Pasal 287 ayat 1 serta Pasal 290 ayat 2 dan 3 (batasan
umur 15 tahun).
5. Undang-undang No 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yaitu anak
adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah
kawin (Pasal 1 ayat 1).
6. Undang-undang No 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), batasan umur anak di sidang pengadilan yang
boleh diperiksa tanpa sumpah dipergunakan umur di bawah 15 tahun dan

73
belum pernah kawin (Pasal 171) dan dalam hla-hal tertentu hakim dapat
menentukan anak yang belum mencapai umur 17 tahun tidak
diperkenankan menghadiri sidang (Pasal 153 ayat 5)
Batasan umur merupakan sesuatu yang sangat penting dalam perkara
pidana anak, karena hal tersebut digunakan untuk mengetahui seseorang yang
diduga melakukan kejahatan termasuk kategori anak atau bukan. Mengenai
batasan umur anak-anak, terjadi keberagaman diberbagai negara yang
mengatur usia anak yang dapat dihukum. Di Swiss batas usia anak yang dapat
dihukum bila telah mencapai usia 6 tahun, di Inggris 8 tahun, Jerman 14
tahun sehingga dikenal dengan istilah can be guilty if any offence yang berarti
di atas umur tersebut relatif dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya
seperti orang dewasa yang mendapat putusan berupa tindakan maupun pidana
yang bersifat hukuman.18
Dalam KUHP ditegaskan bahwa, seorang dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya disyaratkan adanya kesadaran diri
yang bersangkutan. Ia harus mengetahui perbutan itu terlarang menurut
hukum yang berlaku, sedangkan anak dalam hal ini memiliki usia tetentu,
dimana dia mampu dikategorikan orang dewasa yang karakteristiknya
memiliki cara berfikir yang normal akibat dari perkembangan jiwa yang
normal, pribadi yang dewasa, menampakkan tangungjawab sehingga dapat
mempertanggungjawabkan atas segala tindakan yang dipilihnya karena ia
berada pada posisi dewasa.
18 Bambang Purnomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Cet. IV, Jakarta: Ghalia, 1983,hlm. 145.

74
Namun kalau mengacu pada Pasal 45 KUHP mengenai anak-anak
yang dapat diajukan ke sidang pengadilan adalah jika anak tersebut telah
mencapai usia 16 tahun.19 Tapi kalau melihat Undang-undang No. 3 tahun
1997 tentang Peradilan Anak Pasal 4, hukuman atau sanksi pidana disitu
sangatlah berbeda. Ketentuan Pasal tersebut berbunyi:
1. Batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anakadalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belummencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernahkawin.
2. Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umursebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidangpengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batasumur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluhsatu) tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak.20
Memang dalam pergaulan sehari-hari, masalah batas umur antara kata
dewasa dan kata anak cukup menjadi problem yang rumit. Klasifikasi umur
akan menentukan dapat tidaknya seseorang dijatuhi hukuman serta dapat
tidaknya suatu tindak pidana dipertanggungjawabkan kepadanya dalam
lapangan kepidanaan. Secara umum klasifikasi yang ingin ditonjolkan sebagai
inti dalam persoalan ini (pertanggungjawaban) adalah kedewasaan. Walaupun
kedewasaan seseorang dengan orang lain tidak dapat disamakan, namun
dalam klasifikasi ini akan selalu sama untuk suatu lapangan tertentu.21 Hal ini
karena akan menyangkut titik akhir yang ingin dicapai oleh para hakim dalam
memutuskan suatu perkara dalam perasaan keadilan yang sebenarnya.
19 Lihat KUHP Pasal 45, Trinity, 2009, hlm. 17.20 Lihat UU No. 3 tahun 1997 Pasal 4, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, hlm. 4.21 E. sumaryono, Kejahatan Anak: Suatu Tinjauan dari Psikologi dan Hukum,
Yogyakarta: Liberty, 1985, hlm. 19.

75
Dengan adanya ketentuan yang berbeda-beda dalam setiap instrumen
perundangan mengenai batasan umur anak yang dapat dimintakan
pertanggunjawaban. Tentunya hal ini akan menjadikan kekacauan hukum,
sehingga dikhawatirkan justru akan memberikan dampak negatif bagi seorang
anak. Hal semacam telah tampak dari berbagai permasalahan yang muncul
dalam proses penanganan anak nakal, sehingga banyak kalangan menilai
bahwa aparat penegak hukum dianggap telah merampas masa depan anak-
anak tersebut.
Demi meminimalisir kejadian dan ketidaksepahaman dalam
menafsirkan perundangan yang ada, maka Mahkamah Konstitusi
memutuskan terkait beberapa pasal yang dianggap menjadi polemik di dalam
UU No 3 tahun 1997. Salah satu dari tiga poin yang menjadi putusan MK
diantaranya adalah mengenai masalah umur anak yang dapat diajukan ke
persidangan. Sehingga begitu jelas, bahwa usia anak menjadi poin penting
dalam sebuah penegakan hukum karena berkaitan dengan konsekuensi yang
akan diterima anak-anak yang dianggap melakukan tindakan pidana.
C. Jenis Sanksi Bagi Anak
Tindakan kriminalitas yang dilakukan oleh anak akhir-akhir ini
memang sangat meresahkan. Hal ini yang kemudian oleh pemerintah
dicarikan solusi dalam menanggulanginya dan salah satu aspek yang mulai
dilakukan oleh pemerintah yakni dengan pemenjaraan terhadap anak yang
melakukan tindak pidana. Pemenjaraan tersebut merupakan salah satu solusi

76
dari pemerintah dalam mengatasi masalah tindak kriminalitas yang dilakukan
oleh anak tersebut.
Padahal hal ini oleh banyak pihak masih diperselisihkan. Mengingat
efektivitas dari pidana penjara itu sendiri yang masih dipertanyakan. Menurut
Barda Nawami Arief, efektivitas pidana penjara memiliki dua aspek pokok
tujuan, yaitu aspek perlindungan masyarakat dan aspek perbaikan pelaku.22
Namun disisi yang lain, banyak sekali kritik yang muncul terkait sistem
pemidanaan penjara yang ada saat ini.
Di dalam hukum positif jelas sudah undang-undang yang telah
mengatur mengenai jenis sanksi yang akan diberikan kepada seorang anak
yang melakukan tindak pidana, yakni UU No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, yang mana dalam undang-undang tersebut telah mengatur
tata cara peradilan anak dan beberpa jenis sanksi yang akan diberikan pada
anak pelaku tindak pidana. Hukum memang berlaku untuk semua kalangan,
entah itu orang dewasa ataupun anak-anak. Akan tetapi undang-undang juga
telah mengatur ada beberpa hal yang menjadikan seseorang itu tidak dihukum
atau diringankan hukumannya.
Belum cukup umur (minderjarig) merupakan salah satu hal yang
meringankan pemidanaan karena usia yang masih muda belia itu
kemungkinan sangat besar dapat diperbaiki kelakuannya dan diharapkan
kelak bisa menjadi warga yang baik dan berguna bagi negara. Dalam
hubungannya dengan pertanggungjawaban pidana timbul pertanyaan, apakah
22 Prof. Dr. Dwidja Priyanto, SH., MH., Sp.N., Sistem Pelaksanaan Pidana PenjaraDi Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama, 2008, hlm. 82.

77
setiap anak yang bersalah melakukan suatu tindak pidana dapat
dipertanggungjawabkan?
Pada mulanya, sistem pertanggungjawaban bagi anak-anak didasarkan
kepada kemampuan bertanggungjawab. Sistem yang mendasarkan kepada
kemampuan bertanggungjawab dan batas usia tertentu bagi seorang anak,
tidak dianut lagi dalam hukum pidana di Indonesia sekarang ini. Namun yang
dianut sekarang adalah sistem pertanggungjawaban yang menyatakan bahwa
semua anak asal jiwanya sehat dianggap mampu bertanggungjawab dan dapat
dituntut. Untuk itulah kenapa KUHP yang ada sekarang sudah tidak
representatif lagi bagi penanganan bagi masalah anak yang berhadapan
hukum.
Berlakunya Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak antara lain telah menetapkan apa yang dimaksud anak. Undang-undang
ini berlaku lexpecialis terhadap KUHP, khususnya berkaitan dengan tindak
pidana yang dilakukan oleh anak. Lahirnya Undang-undang Pengadilan
Anak, diharapkan menjadi acuan dalam perumusan pasal-pasal KUHP baru
berhubungan dengan pidana dan tindak pidana bagi anak. Dengan demikian,
tidak akan terjadi tumpang tindih ataupun saling bertentangan. Sehingga
penegak hukum tidak boleh menggunakan KUHP dalam menangani masalah
anak.
Undang-undang No. 3 tahun 1997 menyatakan bahwa anak nakal
adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan)

78
tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum
pernah kawin (Pasal 1 ayat 1). Sedangkan yang dimaksud anak nakal adalah:
a. Anak yang melakukan tindak pidana, ataub. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi
anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupunmenurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalammasyarakat yang bersangkutan.23
Menurut UU No. 3 tahun 1997, secara tekstual jenis-jenis sanksi bagi
anak diatur di dalam BAB III tentang Pidana dan Tindakan yang terangkum
dalam Pasal 22-32. Sanksi-sanksi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pasal 22 di dalamnya menjelaskan:
Terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yangditentukan dalam undang-undang ini.
Pasal 23:
1. Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokokdan pidana tambahan.
2. Pidana poko yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah:a. pidana penjara;b. pidana kurungan;c. pidana denda; ataud. pidana pengawasan.
3. Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadapAnak Nakal dapat juga dijatuhi pidana tambahan, berupa perampasanbarang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.
4. Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diaturlebih lanjut dengan peraturan Pemerintah.
Pasal 24:
1. Tindakan yang dapat dijauhkan kepada Anak Nakal ialah:a. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan, dan atau latihan kerja; atau
23 Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Perundangan tentang Anak; Undang-Undang RINo. 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak, op. cit, hlm. 16.

79
c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi SosialKemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan,dan latihan kerja.
2. Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai denganteguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim.
Pasal 25:
1. Terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2huruf a, Hakim menjatuhkan pidana sebagaimana dimaksud dalamPasal 23 atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
2. Terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2huruf b, Hakim menjatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalamPasal 24.
Pasal 26:
1. Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimanadimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama ½ (satu perdua)dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
2. Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2huruf a, melakukan tindakan pidana yang diancam dengan pidana matiatau pidana seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkankepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun.
3. Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindakpidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,maka terhadap Anak Nakal tersebut hanya dapat dijatuhkan tindakansebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b.
4. Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindakpidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidanapenjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut dijatuhkansalah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
Pasal 27:
Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimanadimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama ½ (satu per dua) darimaksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa.
Pasal 28:
1. Pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal paling banyak½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana denda bagi orangdewasa.

80
2. Apabila pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyatatidak dapat dibayar maka diganti dengan wajib latihan kerja.
3. Wajib latihan kerja sebagai pengganti denda dilakukan paling lama 90(sembila puluh) hari kerja dan lama latihan kerja tidak lebih dari 4(empat) jam sehari serta tidak dilakukan pada malam hari.
Pasal 29:
1. Pidana bersyarat dapat dijatuhkan oleh Hakim, apabila pidana penjarayang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun.
2. Dalam putusan pengadilan mengenai pidana bersyarat sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) ditentukan syarat umum dan syarat khusus.
3. Syarat umum adalah bahwa Anak Nakal tidak akan melakukan tindakpidana lagi selama menjalani masa pidana bersyarat.
4. Syarat khusus ialah untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentuyang ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap memperhatikankebebasan anak.
5. Masa pidana bersyarat bagi syarat khusus lebih pendek daripada masapidana bersyarat bagi syarat umum.
6. Jangka waktu masa pidana bersyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) paling lama (3) tahun.
7. Selama menjalani masa pidana bersyarat, Jaksa melakukanpengawasan, dan Pembimbing Kemasyarakatan melakukan bimbinganagar Anak Nakal menepati persyaratan yang telah ditentukan.
8. Anak Nakal yang menjalani pidana bersyarat dibimbing oleh BalaiPemasyarakatan dan berstatus sebagai Klien Pemasyarakatan.
9. Selama Anak Nakal berstatus sebagai Klien Pemasyarakatan dapatmengiktui penidikan sekolah.
Pasal 30:
1. Pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakalsebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling singkat 3(tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun.
2. Apabila terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1angka 2 huruf a, dijatuhkan pidana pengawasan sebagaimana dimaksuddalam ayat (1), maka anak tersebut ditempatkan di bawah pengawasanJaksa dan bimbingan Pembimbing Kemasyarakatan.
3. Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidanapengawasan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 31:
1. Anak Nakal yang oleh Hakim diputus untuk diserahkan kepada Negara,ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak sebagai Anak Negara.
2. Demi kepentingan anak, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Anak dapatmengajukan izin kepada Menteri Kehakiman agar Anak Negara

81
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditempatkan di lembagapendidikan anak yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau swasta.
Pasal 32:
Apabila Hakim memutuskan bahwa Anak Nakal wajib mengikutipendidikan, pembinaan, dan latihan kerja sebagaimana dimaksud dalamPasal 24 ayat (1) huruf c, Hakim dalam keputusannya sekaligusmenentukan lembaga tempat pendidikan, pembinaan, dan latihan kerjatersebut dilaksanakan.24
Terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan
yang ditentukan dalam undang-undang ini, hal tersebut sesuai dengan Pasal
22 UU No. 3 Tahun 1997. Klasifikasi umur anak yang ditetepkan oleh
undang-undang tersebut yaitu anak yang masih berusia 8-12 tahun hanya
dikenai tindakan, anak yang berusia 12-18 tahun dijatuhkan pidana
didasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial
anak.
Hukum pidana positif memandang bahwa seorang anak ketika
melakukan perbuatan yang melanggar hukum itu dapat dipidanakan jika
perbuatan tersebut mengandung beberapa unusr yakni:
a. Perbuatan yang dilakukan oleh anak-anak
b. Perbuatan itu melanggar aturan atau norma
c. Perbuatan itu merugikan bagi perkembangan si anak tersebut.
Ketiga unsur itu harus dipenuhi untuk dapat diklasifikasikan sebagai
suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak.
24 Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Perundangan tentang Anak; Undang-Undang RINo. 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak, ibid, hlm. 21-24.

82
Ancaman pidana yang dapat dijatuhkan terhadap anak nakal yang
telah melakukan tindak pidana sesuai Pasal 26 ayat (1) Undang-undang No. 3
tahun 1997 paling lama setengah dari maksimum ancaman pidana penjara
bagi orang dewasa. Dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan
hukuman mati atau penjara seumur hidup sesuai ketentuan KUHP, maka bagi
anak ancaman pidana itu maksimum 10 (sepuluh) tahun.
Dengan ketentuan Pasal 26 ini, maka ketentuan-ketentuan dalam
KUHP tentang ancaman pidana bagi anak harus dibaca setengah dari
ancaman bagi orang dewasa.25 Bagi anak nakal yang belum mencapai umur
12 (dua belas) tahun dan melakukan tindak pidana yang diancam dengan
hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup, sesuai Pasal 24 ayat (1)
huruf a Undang-undang No. 3 tahun 1997, maka terhadap anak tersebut tidak
dapat dijatuhkan hukuman pidana, melainkan menyerahkan anak tersebut
kepada negara untuk pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.
Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal sesuai
Pasal 2 angka 2 huruf a Undang-undang No. 3 tahun 1997, paling lama
(maksimum) setengah dari maksimum ancaman kurungan bagi orang dewasa.
Demikian juga pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal (Pasal
28 UU No. 3 tahun 1997) adalah setengah dari maksimum ancaman pidana
denda bagi orang dewasa.26
Namun seperti halnya batas usia anak yang menjadi perdebatan.
Penjatuhan sanksi penjara atau penahanan terhadap anak menjadi polemik
25 Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003,hlm. 24.
26 Darwan Prinst, ibid.

83
tersendiri juga. Karena itulah, para pemohon atas pengujian materi (judicial
review) terhadap Undang-undang No 3 tahun 1997 juga menggugat
penjatuhan sanksi penjara bagi seorang anak. Para pemohon menganggap
bahwa masih banyak alternatif hukuman lain yang lebih manusiawi dan
mendidik bagi anak selain pidana penjara. Sebab, anak yang sejatinya masih
memiliki masa depan yang lebih panjang, akan tersita dan terkungkung dalam
dunia yang tidak relevan dengan kondisi anak-anak lainnya karena harus
mendiami penjara tersebut.
Begitu kompleksnya unsur-unsur dalam diri anak yang berhadapan
dengan hukum. Penegakan hukum yang tidak bijaksana yang bertentangan
dengan aspirasi masyarakat, biasanya disebabkna oleh kualitas sumber daya
manusia yang kurang baik atau penerapan legal spirit yang ketinggalan
zaman. Sehubungan dengan hal itu, perlu peningkatan profesionalisme aparat
penegak hukum dan aparat pemerintah agar selalu concerned terhadap
perkembangan masyarakat, sehingga dapat menjaga keseimbangan antara
kepastian dan keadilan hukum yang ada agar tidak terjadi kekacauan dalam
penanganan masalah anak yang berhadapa dengan hukum.27
27 Dr. Maidin Gultom, SH., M.Hum., Perlindungan Hukum Terhadap Anak DalamSistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, hlm. 154.

84
BAB IV
ANALISIS TERHADAP BATAS USIA DAN PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA ANAK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997
TENTANG PENGADILAN ANAK
A. Analisis Tentang Batasan Umur Pidana Anak
Dalam hal pemidanaan anak ada batasan usia minimal dan maksimal
anak tersebut dapat dijatuhi sanksi pidana. Batas usia anak adalah
pengelompokan usia maksimal sebagai wujud kemampuan anak dalam status
hukum, sehingga anak tersebut beralih status menjadi dewasa atau menjadi
seorang subjek hukum yang dapat bertanggungjawab secara mandiri terhadap
perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh anak
itu.1
Menurut hukum pidana Islam, batasan terhadap usia minimum
seorang anak tidak dijelaskan secara pasti, disamping banyaknya perbedaan
pendapat di antara para ulama. Adanya perbedaan pendapat dikalangan para
ulama fiqh mengenai batas usia minimum bagi anak yang dikenakan
pemidanaan, dapat dijadikan sebuah rujukan dalam menetapkan sanksi
pemidanaan terhadap anak.
Penetapan umur dianggap penting, karena baik dalam hukum nasional
maupun hukum pidana Islam, umur dijadikan sebagai acuan bagi hakim
dalam menentukan jenis sanksi yang akan dibebankan pada seorang anak
1 Bambang Mulyono, Pendekatan Analisis Kenakalan Remaja danPenanggulangannya, Yogyakarta: Kanisius, 1984, hlm. 26.

85
tersebut. Seperti halnya dalam hukum pidana Islam, ketentuan adanya pidana
dibebankan terhadap orang yang telah dibebani kewajiban hukum (mukallaf),
dan bukan orang yang belum mengerti dan paham akan hukum (anak-anak).2
Ketentuan tersebut dijelaskan dalam sebuah hadits Nabi saw yang berbunyi:
تى ی ح النائم ن ثة ع ثال ن ع القلم فع ر قال توه أو ع الم ن ع تیقظ و س
ب تى یش یر ح غ الص ن ع و قل تى یع نون ح ج المArtinya: "Diangkat pena dari tiga hal: orang yang tidur hingga
bangun, orang yang tertimpa ayan -atau beliau bersabda: -orang yang gila sampai sadar dan anak kecil sampai baligh”.3
Para ulama fiqh bersepakat bahwa seorang anak laki-laki bila telah
mimpi (ihtilam) maka anak tersebut dipandang telah baligh, begitu juga bagi
anak perempuan yang telah haid, maka dia pun juga telah dianggap baligh.
Kriteria baligh merupakan batasan bagi seseorang dianggap dewasa dan
mampu berpikir secara sempurna. Sehingga dengan acuan baligh tersebut,
bagi Islam, jelas menjadi ambang batas untuk menerima kewajiban bagi
seorang muslim untuk memikul sendiri tanggungjawabnya dan menjadi
penanda bagi seseorang lepas dari predikat seseorang dinamakan anak. Hal
ini sesuai dengan ayat al-Qur’an:
2 Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: Lembaga Studi Islamdan Kemasyarakatan, 1992, hlm. 86.
3 Ahmad Ibnu Hambal, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah, Hadist No. 968, hlm. 243.

86
Artinya: “Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, Makahendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yangsebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allahmenjelaskan ayat-ayat-Nya. dan Allah Maha mengetahuilagi Maha Bijaksana”.(Q.S. an-Nuur:59)4
Namun disatu sisi, terjadi ikhtilaf (perbedaan) pandangan diantara
para ulama dalam penentuan umur dimana seorang anak dianggap baligh
tersebut. Dalam tulisan Ihsan Badroni dikemukakan ada beberapa pendapat
tentang penentuan batas umur tersebut, yaitu:
1. Mazhab Hanafi
Mereka berpendapat bahwasannya seorang laki-laki tidak dipandang
baligh sebelum ia mencapai usia 18 tahun. Adapun hujjahnya adalah:
Artinya: “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali
dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai iadewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangandengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepadasesorang melainkan sekedar kesanggupannya. Danapabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil,
4 Departemen Agama RI , Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: 1983, hlm. 554.

87
kendatipun ia adalah kerabat(mu) dan penuhilah janjiAllah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamuagar kamu ingat. (Q.S. Al-An’am: 152)5
Kedewasaan anak laki-laki sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu
Abbas adalah dari usia 18 tahun. Adapun anak perempuan perkembangan dan
kesadarannya adalah lebih cepat. Oleh sebab itu usia awal kedewasaannya
dikurangi satu tahun sehingga anak perempuan menjadi dewasa pada usia 17
tahun.6
2. Mazhab Syafi’i dan Hambali
Keduanya berpendapat bahwa bila seorang anak laki-laki dan
perempuan apabila telah sempurna berusia 15 tahun, kecuali bagi laki-laki
yang sudah ihtilam dan perempuan yang sudah haid sebelum usia 15 tahun
maka keduanya dinyatakan telah baligh. Mereka juga berhujjah dengan apa
yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa dirinya diajukan kepada Nabi saw
pada hari perang Uhud sedang ia ketika itu berusia 14 tahun, kemudian Nabi
tidak memperkenankannya ikut dalam peperangan. Setelah setahun dirinya
mengajukan kembali pada hari perang Khandak yang ketika itu ia telah
berumur 15 tahun dan diperkenankan oleh Nabi untuk perang Khandak.7
Adapun hadits yang menyatakan batasan umur tersebut adalah:
أخ قال بید هللا ع ن یى ع ثنا یح د ح نبل ح د بن م ثنا أح د ني نافع ح بر
ر م ابن ع ن ع ھو د و أح م ھ یو ض ر لم ع س لیھ و ع لى هللا ص النبي أن
5 Departemen Agama RI , Al-Qur’an dan Terjemahnya, ibid, hlm. 214.6 Ihsan Badroni, Hukum Pidana Bagi Anak Kecil,
http://ihsan26theblues.wordpress.com, diakses pada tanggal 31 oktober 2011, pukul 23.50WIB.
7 Muhammad Ali al-Sabuni, Rawai’ul Bayan Tafsir fi al-Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, diterjemahkan oleh Saleh Mahfud, Tafsri Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an,Bandung: Al-Ma’arif, 1994, hlm. 369.

88
ابن ھو ق و ند م الخ ھ یو ض ر ع ه و ز یج نة فلم ة س ر ش بع ع أر ابن
ه از نة فأج ة س ر ش ع س م ثم خ ثنا ع د ح ثنا ابن د یبة ح أبي ش بن ان
یث د ا الح بھذ ثت د نافع ح قال قال ر م ع بن بید هللا ع ن ع ریس إد
بیر الك یر و غ الص د بین ا الح ھذ إن زیز فقال بد الع ع بن ر م ع
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbalberkata, telah menceritakan kepada kami Yahya dariUbaidullah ia berkata; telah mengabarkan kepadaku Nafi'dari Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallampernah memeriksa dirinya pada waktu perang uhud,waktu itu umurnya baru empat belas tahun. SehinggaNabi tidak mengizinkan untuk ikut berperang. Dan padaperang Khandaq beliau juga memeriksanya, waktu ituumurnya lima belas tahun, maka beliau pun memberinyaizin." Telah menceritakan kepada kami Utsman bin AbuSyaibah berkata, telah menceritakan kepada kami IbnuIdris dari Ubaidullah bin Umar ia berkata, "Nafi' berkata,"Aku telah menceritakan hadits ini kepada Umar binAbdul Aziz, lalu ia berkata, "(maka) hadits ini adalahbatas untuk membedakan anak kecil dengan orangdewasa”.8
3. Mazhab Maliki
Pendapat yang terkenal dalam mazhab Maliki adalah 18 tahun
sebagaimana yang dikemukakan oleh Abu Hanifah, bahwa orang tersebut
harus mempunyai ahliyah (kecakapan) untuk melaksanakan ketentuan hukum
kepadanya. Dan usia 18 tahun merupakan pedoman dimana anak dianggap
mampu dan memiliki kecakapan tersebut.9
Sedangkan dalam literatur bahasa yang lain disebutkan juga anak
dengan istilah mumayyiz yaitu anak yang telah mengerti maksud dari kata-
8 Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz 4, Beirut: Dar al-Kitab al- ‘Ilmiyah, Hadits No.3827, hlm. 246.
9 Ihsan Badroni, op. cit.

89
kata yang diucapkannya. Biasanya usia anak itu genap 7 tahun sehingga bila
kurang dari 7 tahun maka belum dikatakan mumayyiz. Hukum anak
mumayyiz itu tetap berlaku sampai anak itu dewasa. Seseorang yang dianggap
telah cukup umur itu muncul tanda-tanda laki-laki dan perempuan yang
biasanya pencapaian umur bagi laki-laki berusia 12 tahun sedangkan
perempuan 9 tahun.10
Kemudian kalau sudah dalam masa cukup umur tersebut bagi laki-laki
12 tahun dan 9 tahun bagi perempuan, namun belum tampak tanda-tanda
bahwa ia sudah dewasa dari segi lahiriah maka keduanya ditunggu sampai
berusia 15 tahun. Ketika ada yang menentukan usia dewasa bagi laki-laki 18
tahun dan bagi perempuan 17 tahun, para ulama tersebut memiliki alasan
sesuai pendapat Ibnu Abbas bahwa usia 18 tahun dianggap deawasa karena
telah matang dari segi kematangan fisik dan psikis seorang anak.
Apa yang telah ditetapkan oleh para ulama fiqh tersebut hanyalah
standar relatif dalam penetapan berapa umur seorang anak yang bisa
dianggap dewasa. Bahwasannya seorang anak dilahirkan dalam keadaan tidak
memiliki kemampuan sehingga si anak mencapai usai mumayyiz (ulama
bersepakat usia mumayyiz anak adalah 7 tahun), hanya saja akal dan bakatnya
masih tetap muda, belum kuat untuk menilai perbuatan-perbuatan yang
dilakukannya, walaupun melakukannya dengan sengaja. Kemampuan menilai
itu baru diperoleh seseorang setelah ia dewasa, yaitu setelah akalnya cukup
memiliki kebijaksanaan dan pandangan yang jauh ke depan.
10 Alie Yafie, dkk., Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, terjemahan dari “At-Tasyri’al-Jina’ i al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy” karya Abdul Qadir Audah, Jilid 4,Bogor: PT Kharisma Ilmu, hlm. 256.

90
Dalam menetapkan batas usia dewasa, perundangan-undangan yang
ada saat ini juga berbeda-beda. Jadi tidak hanya dalam Islam, dalam hukum
nasional pun terjadi perbedaan mengenai batasan umur seorang anak
dianggap dewasa. Dalam hukum Islam dan hukum positif sendiri terdapat
perbedaan dalam penentuan berapakah usia anak yang dapat dimintakan
pertanggungjawaban ketika si anak melakukan jarimah. Ketentuan-ketentuan
terhadap usia minimum bagi anak dalam hukum positif memiliki perbedaan-
perbedaan antara instrumen hukum yang satu dengan instrumen hukum yang
lain. Hal ini yang kemudian terbawa dalam masalah penanganan pemidanaan
terhadap anak yang acapkali disalahgunakan oleh aparat penegak hukum,
sehingga seringkali aparat penegak hukum justru melakukan kekerasan
terhadap anak, baik dalam proses penangkapan, pemeriksaan dan penjatuhan
putusannya.11
Undang-undang No. 3 tahun 1997 menjelaskan bahwa hukuman
terhadap anak terbagi menjadi tiga kriteria, yakni: usia anak dari 0 (nol)
sampai 8 (delapan) tahun adalah tidak dikenakan hukuman atau hanya
dikembalikan kepada orang tuanya. Usia 8 sampai 12 tahun anak hanya
dikenakan hukuman berupa tindakan, yakni: nasehat, teguran ataupun
dimasukkan dalam Lembaga atau Dinas Sosial. Sedangkan usia 12 sampai 18
tahun anak baru dapat dikenakan hukuman berupa fisik atau pemenjaraan,
11Hadi Supeno, Refleksi Akhir Tahun 2009, Aparat Penegak Hukum Masih MenjadiPelaku Kekerasan Terhadap Anak, http://kpai.go.id, diakses pada tanggal 12 Januari 2012pukul 11. 20 WIB.

91
akan tetapi hanya sebagai upaya terakhir.12 Hal ini berarti penerapan dan
penjatuhan pemenjaraan terhadap anak apabila terbukti melakukan atau
melanggar hukum dapat dilakukan.
Sedangkan di dalam Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak tidak dijelaskan secara spesifik batas minimum usia anak
apabila terkait masalah pidana dan diterapkannya hukuman. Di dalam
undang-undang perlindungan anak tersebut hanya menyebutkan bahwa yang
dinamakan anak adalah orang yang belum berusia 18 tahun. Hal ini berarti
penerapan dan penjatuhan hukuman pidana terhadap anak apabila terbukti
melakukan atau melanggar hukum di dalam undang-undang tersebut adalah
selama anak belum melebihi usia 18 tahun, maka anak tersebut tidak dapat
dikenakan sanksi pidana.
KUH Pidana, memandang anak yang sudah berusia 8 tahun bisa
dimintai pertanggungjawaban pidana. Namun, ketentuan ini sudah tidak
berlaku lagi seiring diundangkannya UU No 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak. Batasan lain juga ditemukan dalam UU No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan menetapkan usia nikah 16 tahun untuk perempuan dan 19
tahun untuk laki-laki. Bahkan di bawah usia yang ditentukan pun, anak bisa
dinikahkan dengan izin dari pengadilan. Dan yang lebih mudah sekali untuk
dijadikan pedoman adalah umur 17 tahun, sebab sebagaimana yang terjadi di
seluruh wilayah Indonesia, umur 17 tahun adalah umur bagi seseorang untuk
wajib membuat Kartu Tanda Pengenal (KTP).
12 Redaksi Sinar Grafika, Pasal 4, Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentangPeradilan Anak, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, hlm. 17.

92
Disinilah titik kritik kenapa batas usia anak menjadi problematika
yang banyak diwacanakan berbagai kalangan. Karena perbedaan batas usia
yang terdapat dalam setiap rumusan peraturan dan undang-undang itulah
yang menyebabkan setiap proses dan pelaksanaan peradilan terhadap anak
seringkali terjadi disharmoni penanganan dan putusan. Selain itu, ada
ambiguitas dalam pemaknaan Pasal 4 UU No 3 Tahun 1997 terkait masalah
umur tersebut yang menambah rancu peraturan tersebut. Oleh karena itu,
kebanyakan kasus yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa ketentuan
adanya batas minimum usia terhadap anak yang dapat dipidanakan tidak
terlalu diperhatikan. Sehingga setiap adanya kasus pidana yang menimpa
anak selalu berakhir pada pemidanaan walaupun pelakunya masih di bawah
umur.
Dapat dipastikan bahwa terdakwa dalam sidang anak adalah anak
nakal. Pengertian anak nakal di sini ada dua kelompok, yakni anak yang
melakukan tindak pidana dan anak yang melakukan perbuatan yang terlarang
bagi anak. Hal tersebut telah jelas diterangkan dalam Pasal 1 ayat 1 UU No. 3
tahun 1997. Di dalam proses persidangan anak, yang menjadi salah satu tolok
ukur hakim menentukan pertanggungjawaban pidana bagi anak nakal adalah
masalah umur. Dalam hal itu, masalah umur merupakan masalah yang urgen
bagi terdakwa untuk dapat diajukan dalam sidang anak. Umur dapat berupa
umur minimum maupun umur maksimum.13 Untuk itulah poin penting dalam
rumusan masalah yang ada terletak pada penafsiran Pasal 4 ayat (1) Undang-
13 Bambang Waluyo, S.H., Pidana Dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, Cet.Ke- II, 2004, hlm. 106.

93
undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dimana ketentuan umur
yang dimaksudkan menjadi tolak ukur dalam menangani dan melindungi
seorang anak yang berhadapan dengan hukum.
Dalam konteks KHA, penetapan batas umur ini menjadi begitu
penting terutama jika dikaitkan dengan perlindungan anak yang
di“promosikan” oleh banyak negara anggota PBB. Misalnya saja sehubungan
dengan penetapan batas umur anak untuk bisa diajukan ke sidang anak dan
dimintakan pertanggungjawab pidananya. Bagi anak yang berumur 9 tahun
yang melakukan pencurian misalnya, menjadi begitu penting artinya apakah
batas umur anak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana ditetapkan 8
tahun atau 18 tahun.
Kalau batas umur ditetapkan 8 tahun, maka anak tersebut akan
dianggap bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dan karenanya pula,
jika terbukti bersalah, bisa dikenai hukuman pidana, baik itu penahanan atau
penjara, atau bisa juga denda atau kombinasi diantaranya. Tapi akan lain
ceritanya apabila legislasi nasional menetapkan batas umur anak itu 18 tahun.
Maka bagaimanapun juga, si anak akan dibebaskan dari pertanggujawaban
pidana.
Undang-undang No. 3 Tahun 1997 Pasal 1 butir 1 tentang kriteria
anak sudah menjelaskan bahwa, yang dimaksud dengan anak dalam perkara
Anak Nakal adalah orang yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi
belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
Kemudian dalam undang-undang tersebut juga menjelaskan batasan dan

94
klasifikasi umur anak dalam hal pemeriksaan bahwa klasifiksai umur anak,
yaitu anak yang masih berusia 8-12 tahun hanya dikenai tindakan, anak yang
berusia 12-18 tahun dijatuhkan pidana didasarkan atas pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental dan sosial si anak.
Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa mengenai sanksi terhadap
anak juga ditentukan berdasarkan perbedaan umur. Ketika anak yang masih
berumur 8 hingga 12 tahun, maka anak tersebut hanya dikenakan tindakan
semata. Semisal dikembalikan kepada orang tuanya, ditempatkan pada
lembaga sosial, atau diserahkan pada negara. Adapun terhadap anak nakal
yang telah berumur di atas 12 hingga 18 tahun, maka bagi anak tersebut dapat
dijatuhi sanksi pidana.
Jika terjadi penyimpangan dalam tingkah laku anak, Islam dalam
keadaaan tertentu masih memberikan batas kelonggaran. Kelonggaran di sini
dapat dipahami karena dalam Islam ada ketentuan yang menjadi dasar atas
perilaku anak kecil. Pertanggungjawaban pidana dalam Islam didasarkan atas
dua unsur utama, yakni kekuatan berfikir (idrak) dan pilihan (ikhtiar). Karena
itu, hukum bagi anak kecil berbeda seiring dengan perbedaan fase yang
dilalui oleh manusia semenjak lahirnya sampai pada waktu sempurnanya
kekuatan berfikir dan menentukan pilihan.
Atas dasar adanya tahapan dalam membentuk idrak ini, maka
dibuatlah kaidah tanggungjawab pidana. Inilah yang membedakan hukum
Islam dan hukum konvensional dalam menentukan batas
pertanggungjawaban pidana anak. Kalau melihat hukum konvensional kuno

95
atau klasik, hukum Romawi dipandang sebagai hukum yang paling maju di
antara hukum konvensional pada masa turunnya hukum Islam. Akan tetapi,
hukum tersebut hanya membedakan antara tanggungjawab anak kecil dan
orang dewasa dalam batas-batas tertentu, yakni antara anak berusia 7 (tujuh)
tahun ke atas.14
Hukum konvensional klasik ini menjadikan anak kecil yang berusia
lebih dari tujuh tahun memiliki tanggungjawab pidana, sedangkan anak yang
berusia kurang dari tujuh tahun, ia tidak memiliki tanggungjawab pidana
kecuali ketika melakukan tindak pidana, ia berniat membahayakan orang lain.
Dalam keadaan seperti ini, si anak kecil bertanggungjawab secara pidana atas
perbuatannya tersebut. Teori seperti itu sangat jauh berbeda dengan apa yang
ada dalam hukum Islam.15
Banyak yang menafsirkan bahwa penetapan pertanggungjawaban
pidana anak dikaitkan dengan kedewasaan. Sedangkan kedewasaan di sini
berkaitan erat dengan usia seseorang, keduanya tidak dapat dipisahkan
sendiri-sendiri. Kedewasaan dianggap sebagai batas dimana seseorang
sanggup membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Untuk itu, para
ulama dahulu memberikan batas dewasa dengan istilah baligh. Akan tetapi,
berapa usia baligh tersebut dalam Islam bisa dijelaskan lebih luas. Hal
tersebut dikarenakan tidak disebutkan secara terperinci dengan tidak adanya
nash al-Qur’an yang membatasi batasan umur bagi anak-anak yang sudah
baligh.
14 Alie Yafie, dkk., op. cit, hlm. 255.15 Ibid.

96
Di dalam KHI di Indonesia, dalam Bab XIV Pasal 98 kaitannya
dengan Pemeliharaan Anak, disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang
belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, bunyi lengkap dari pasal
tersebut sebagai berikut:
“Batasan usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasaadalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisikmaupun mental atau belum pernah melangsungkanpernikahan.”16
Nah, jika KHI tersebut dianggap sebagai salah satu penafsiran yang
sah atas hukum Islam, maka batasan yang diberikan oleh KHI tersebut dapat
disebut sebagai aturan Islam yang patut dijadikan pegangan. Meski pada
dasarnya dalam Islam para fuqaha telah membatasi bahwa seorang dianggap
dewasa adalah ketika si anak tersebut berusia 15 (lima belas) tahun. Apabila
seorang anak telah menginjak usia tersebut, ia dianggap telah dewasa secara
hukum meskipun dia belum dewasa dalam arti yang sebenarnya.17 Kalau
seandainya seorang anak sudah mengalami masa ihtilam tersebut, maka anak
sudah dianggap dewasa dan sudah bisa dikenai hukuman bila melakukan
suatu jarimah meski belum mencapai usia 15 tahun.
Dalam hal menentukan batas-batas kemampuan berpikir
(kedewasaan) seseorang, hukum pidana Islam melalui para fuqaha mengacu
pada usia agar bisa berlaku bagi semua orang, dengan mendasarkan kepada
keadaan yang banyak terjadi pada anak-anak kecil. Pembatasan ini diperlukan
agar nantinya tidak terjadi kekacauan hukum dan agar memudahkan bagi
16 Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: DirektoratPembinaan Peradilan Agama Islam Departemen Agama, 2001, hlm. 50.
17 Alie Yafie, dkk., loc. cit, hlm. 257.

97
seorang hakim untuk meneliti apakah kemampuan berfikir sudah ada pada
diri seorang anak atau belum sebab usia anak dapat diketahui dengan mudah.
Sehingga dengan diketahuinya usia seorang anak, dengan mudah pula
seorang hakim akan memberikan sanksi bagi anak tersebut.
Pengelompokan anak berdasarkan pertimbangan dan batas umur
sangatlah penting, mengingat pada tiap tingkatan usia anak berbeda pula
tingkat kematangan anak dalam berfikir sehingga akan berbeda pula cara
memperlakukan anak tersebut. Batasan dari segi usia anak sangat
berpengaruh pada kepentingan hukum anak yang bersangkutan.
Pertanggungjawaban pidana anak diukur dari tingkat kesesuain antara
kematangan moral dan kejiwaan anak dengan kenakalan yang dilakukan
anak, keadaan dan kondisi fisik, mental serta sosial anak menjadi perhatian.18
Adanya batasan usia dimaksudkan agar ada perlindungan dan pembinaan
bagi anak demi menjamin masa depan anak tersebut.
Konvensi Hak Anak yang dikeluarkan oleh PBB, menjadi kemajuan
terbesar dalam memahami anak dalam berbagai aspek. Hukum konvensional
menjadi lebih dipahami sebagai bagian hukum yang telah mengangkat hak-
hak anak dari keterpurukan realitas kehidupan yang begitu menyengsarakan
bagi anak-anak. Meski penegasan tentang ungkapan indah yang
memposisikan anak sebagai sesuatu yang bernilai, penting, penerus masa
depan bangsa dan sejumlah simbolik lainnya belum tercapai. Pada tataran
18 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem PeradilanPidana Anak di Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama, 2008, hlm. 33.

98
hukum, hak-hak yang diberikan hukum kepada anak belum sepenuhnya bisa
ditegakkan.19
Untuk itulah, beberapa poin yang menjadi masalah dalam Undang-
undang No. 3 tahun 1997, diantaranya Pasal 1 ayat (2) mengenenai ketentuan
yang mendefinisikan Anak Nakal, Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1)
mengenai umur anak, Pasal 22 dan Pasal 23 ayat (2) huruf a yang berkaitan
dengan jenis pidana penjara bagi anak yang melakukan tindak pidana serta
Pasal 31 ayat (1) yang mengatur tentang Lembaga Pemasyarakat Anak, oleh
KPAI dimintakan uji materi (judicial review) kepada Mahkamah Konstitusi
untuk dikaji ulang serta memohon untuk menghapuskan beberapa frasa dalam
ketentuan pasal-pasal tersebut.20
Dari beberapa pasal yang diajukan tersebut, MK hanya mengabulkan
permohonan untuk para Pemohon sebagian. Putusan Mahkamah Konstitusi
terhadap pengujian UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang
termaktub dalam Putusan Nomor 1/PUU-VIII/2010 Tanggal 24 Februari
2011 adalah:
i. Menyatakan frasa, “.... 8 (delapan) tahun…,” dalam Pasal 1angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (1) Undang-UndangNomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668), besertapenjelasan Undang-Undang tersebut khusunya terkait denganfrasa “… 8 (delapan) tahun…” adalah bertentangan denganUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1946
19 Muhammad Joni, S.H., dan Zulchaina Z. Tanamas, S.H., Aspek HukumPerlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung: PT. Citra Aditya Bajti,1999, hlm.1.
20 http://hukumonline.com, “Mahkamah Konstitusi Diminta Hapuskan KetentuanKriminalisasi Anak”, diakses pada tanggal 13 Januari 2012 pukul 11.45 WIB.

99
secara bersyarat (conditionally unconstitutional), artinyainkonstitusional, kecuali dimaknai “…. 12 (dua belas) tahun…”;
ii. Menyatakan frasa, “… 8 (delapan) tahun…,” dalam Pasal 1angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (1) Undang-UndangNomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668), besertapenjelasan Undang-Undang tersebut khususnya terkait frasa “…8 (delapan) tahun…” tidak mempunyai kekuatan hukummengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional),artinya inkonstitutional, kecuali dimaknai “… 12 (dua belas)tahun…”;
iii.Menolak permohonan para Pemohon untuk selain danselebihnya.21
Salah satu poin penting dari putusan MK tersebut adalah berkaitan
dengan usia anak yang dapat diajukan kepersidangan dan dimintakan
pertanggungjawabannya. Atas dasar putusan tersebut, pasal yang berkaitan
dengan usia anak yang memiliki penafsiran ganda menjadi jelas. Bahwa usia
8 (delapan) tahun dihilangkan dan usia 12 (dua belas) tahun menjadi batas
bawah usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban hukum. “Sebab usia
8 (delapan) tahun dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat 1 dan Pasal 5 ayat 1
UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bertentangan dengan UUD
1945,” kata ketua majelis hakim konstitusi Mahfud MD.22
Adanya putusan dari Mahkamah Konstitusi tersebut menjadi
momentum kemajuan bagi masa depan anak yang menjadi lebih jelas. Anak
tidak akan lagi terkatung-katung dalam proses penanganan hukumnya karena
batas usia yang tidak harmonis. Meski pada dasarnya usia 12 tahun tersebut
21 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 1/PUU-VIII/2010,Perihal Pengujian Undang-Undang nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak TerhadapUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
22 Silvi Wahyuni, MK: Usia Anak Dapat Dipidana Minimal 12 Tahun,http://Silviwahyuni’s.WordPress.com, diakses pada tanggal 12 Januari 2012 pukul 12.05WIB.

100
tidak menjamin tingkat kedewasaan seorang anak. Namun seperti dalam
hukum pidana Islam, usia menjadi sesuatu yang begitu penting bagi seorang
hakim dalam menentukan proses sidang bagi seorang anak, apakah si anak
bisa diproses ataukah tidak.
B. Analisis Tentang Sanksi Bagi Anak
Hukum adalah sesuatu yang berkenaan dengan kehidupan manusia. Ia
lahir dalam pergaulan dan perkembangan ditengah masyarakat serta berperan
di dalam hubungan antara individu dan kelompok, norma yang bernama
hukum ini memiliki ciri khas yang berbeda dengan norma sosial lainnya,
yaitu hukum memiliki daya paksa yang harus dipatuhi dan ditaati. Daya
paksa itulah yang dikenal dengan sanski.23
Sanksi atau hukuman terhadap anak yang melakukan tindak pidana,
memang sudah seharusnya dibedakan dengan sanksi tindak pidana yang
dilakukan terhadap orang dewasa. Hal ini mengingat kondisi anak yang jauh
lebih rentan (masih labil) dibandingkan dengan kondisi orang dewasa. Dalam
hukum pidana Islam disebutkan bahwa, ketentuan adanya pidana ditunjukkan
terhadap orang yang telah dibebani kewajiban hukum (mukallaf) dan bukan
orang yang belum mengerti dan paham akan hukum (anak-anak).24
Hukuman had, seperti potong tangan bagi pencuri, hukuman mati
bagi orang yang membunuh dalam hukum pidana Islam tidak dikenakan
kepada seorang anak karena kejahatan yang dilakukannya. Ini dikarenakan
23 Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, Bandung: PT. Citra AdityaBakti, 1990, hlm. 2.
24 Dede Rosyada, op. cit.

101
tidak ada beban tanggung jawab hukum atas seorang anak pada usia
berapapun sampai dia mencapai usia baligh (dewasa). Qadhi hanya berhak
untuk menegur kesalahannya atau menetapkan beberapa pembatasan baginya
yang akan membantu memperbaikinya dari membuat kesalahan di masa yang
akan datang.25
Pemidanaan yang dikenakan terhadap anak yang melakukan tindak
pidana sudah dijelaskan secara mendetail dalam hukum pidana Islam.
Hukuman terhadap anak dalam hukum pidana Islam merupakan bagian dari
peringatan dan proses pendisiplinan terhadap anak tersebut. Hal ini
diterangkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim dan Abu
Daud, yakni:
وا ا بلغ لیھا إذ ع ربوھم اض ا و بع ا بلغوا س ة إذ ال بالص م بیانك وا ص ر م
ع اج في المض قوا بینھم فر ا و ر ش د بن ع م ح الطفاوي م قال أبي و قال
طأ فیھ أخ ة و ز م أبو ح ار و دیث س ا الح ن في ھذ م ح بد الر ع
Artinya: "Suruhlah anak-anak kecil kalian untuk melaksanakanshalat pada sa'at mereka berumur tujuh tahun, danpukullah mereka (karena meninggalkannya) pada saatberumur sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidurmereka."26
Karena itu, tujuan diadakannya hukuman bagi anak dalam hukum
pidana Islam adalah hukuman untuk mendidik murni (ta’dibiyyah khalisah),
25 Abdurrahman I. Doi, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, diterjemahkan oleh H.Wadi Masturi, S.E. & Drs. H. Basri Iba Asghary, “Shari’ah the Islamic Lam”, Cet. ke-1,Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hlm. 16.
26 Abu Tauhid, Beberapa Aspek Pendidikan Islam, Yogyakarta: Sekretariat FakultasTarbiyah IAIN SuKa, 1990, hlm. 96.

102
jadi bukan hukuman pidana.27 Sedangkan tujuan-tujuan dari pemidanaan dan
penjatuhan sanksi dalam hukum nasional Indonesia adalah untuk pembalasan
(revenge), penghapusan dosa (explation), menjerakan (deferent),
perlindungan terhadap umum (protection of the public) dan memperbaiki
sifat si pelaku (penjahat).
Syari’at Islam memiliki kesamaan dengan hukum positif dalam
menetapkan jarimah atau tindak pidana dan hukumannya, yaitu dari segi
tujuannya. Baik hukum pidana Islam maupun hukum positif keduanya sama-
sama bertujuan untuk menjaga dan memelihara kepentingan dan ketentraman
masyarakat serta menjamin kelangsungan hidupnya. Meskipun demikian
terdapat perbedaan yang jauh antara keduanya, karena sifat dan karaktersitik
keduanya jauh berbeda.28 Karena perbedaan sifat dan karakteristiknya inilah
ada perbedaan pada substansi penjatuhan sanksi terhadap anak.
Selain itu, pemberian sanksi bagi anak tidak dapat begitu saja
dipisahkan dari perbedaan masa dan umur yang ada pada anak itu sendiri.
Sebab, sanksi yang akan diterima oleh sang anak akan berbeda-beda sesuai
dengan masa yang ada pada dirinya. Karena itulah, sanksi yang akan diterima
oleh anak berkaitan erat dengan berapa umur anak tersebut ketika melakukan
jarimah. Sehingga tiap umur yang ada pada anak tersebut, mempunyai
implementasi hukum baginya.
Jelas disebutkan dalam hukum pidana Islam, anak kecil bukan orang
yang pantas menerima hukuman. Hukum pidana Islam tidak menentukan
27 Abu Tauhid, ibid, hlm. 97.28 Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fiqh
Jinayah), Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm. 15.

103
jenis hukuman untuk mendidik anak yang dapat dijatuhkan kepada anak
kecil. Hukum pidana Islam memberikan hak kepada waliy al-amr (penguasa)
untuk menentukan hukuman yang sesuai menurut pandangannya. Para fuqaha
menerima hukuman pemukulan dan pencelaan sebagai bagian dari hukuman
untuk mendidik.29
Pemberian hak kepada penguasa (hakim) untuk menentukan hukuman
agar ia dapat memilih hukuman yang sesuai bagi anak kecil di setiap tempat
dan waktu. Dalam hal hukuman ini penguasa berhak menjatuhkan sanksi:
a. Memukul si anak,
b. Menegur atau mencelanya,
c. Menyerahkannya kepada waliy al-amr atau orang lain,
d. Menaruhnya pada tempat rehabilitasi anak atau sekolah anak-anak nakal,
e. Menempatkannya di suatu tempat dengan pengawasan khusus.30
Di dalam tatanan keluarga pun, sebagai seorang ayah atau ibu (orang
tua) dari si anak, mereka mempunyai kewajiban yang harus diperhatikan
terhadap kondisi anak. Karena bagaimanapun juga anak adalah sebuah
amanah yang harus dijaga dan diarahkan. Seperti disebutkan dalam sebuah
hadits:
ب ر اك بن ح م س ن ع بید هللا ح أبي ع ناص ن ثابت ع بن لي ثنا ع د ح
ة ر م ابر بن س ج ن ع ن لم قال أل س لیھ و ع لى هللا ص هللا سول ر أن
اع ص ف بنص م دق كل یو یتص أن ن یر لھ م ه خ لد ل و ج الر دب یؤ
29 Alie Yafie, dkk., op. cit, hlm. 259.30 Alie Yafie, dkk., ibid.

104
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Ali bin Tsabit dariNashih Abu Ubaidullah dari Simak bin Harb dari Jabirbin Samurah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihiwasallam bersabda: "Seseorang mendidik anaknya lebihbaik dari pada ia bersedekah dengan setengah sha' setiaphari.”31
Untuk itulah, dalam hukum pidana Islam meski batasan usia hanya
menjelaskan yang dapat dipidana adalah saat si anak sudah baligh. Orang tua
punya tanggung jawab besar atas anak dari ia lahir sampai si anak dewasa.
Bisa dikatakan, orang tua juga menanggung atas perbuatan pidana si anak
sebelum ia sampai usia baligh tersebut. Meski pernyataan ini masih menjadi
polemik bagi kalangan fuqaha.
Anak dianggap belum mumayyiz jika usianya belum sampai 7 (tujuh)
tahun meskipun ada anak di bawah usia tujuh tahun lebih cepat untuk dapat
membedakan yang baik dan buruk (tamyiz) daripada anak lain seusianya.
Kenapa diambil kesepakatan secara general tentang usia tersebut, tak lain hal
ini karena hukum didasari atas kebanyakan orang, bukan atas perseorangan.
Hukum pada kebanyakan orang menegaskan bahwa tamyiz belum dianggap
ada pada diri seorang anak sebelum dia berusia tujuh tahun.
Karenanya, apabila anak kecil melakukan tindak pidana apapun
sebelum dia berusia tujuh tahun, dia tidak dihukum, baik pidana maupun
hukuman ta’diby (hukuman untuk mendidik). Anak kecil tidak dijatuhi
hukuman hudud dan qishash apabila dia melakukan tindak pidana hudud dan
qishash. Walaupun begitu, adanya pengampunan tanggung jawab pidana
terhadap anak kecil bukan berarti membebaskannya dari tanggung jawab
31 Imam Ahmad, Musnad Ahmad, Juz 5, Beirut: Dar al-Kitab al- ‘Ilmiyah, HaditsNo. 20065, hlm. 102.

105
perdata atas semua tindakan yang dilakukannya. Ia bertanggungjawab untuk
mengganti semua kerusakan harta dan jiwa orang lain.32
Tangggung jawab perdata tidak dapat hilang, tidak seperti tanggung
jawab pidana yang dapat hilang, sebab menurut kaidah asal hukum Islam,
darah dan harta benda itu maksum (tidak dihalalkan/mendapat jaminan
keamanan) dan juga udzur-udzur syar’i tidak menafikan kemaksuman. Hal
ini berarti udzur-udzur syar’i tidak menghapuskan dan menggugurkan ganti
rugi meski hukuman pidananya digugurkan.33 Karena itulah, orang tua
berperan besar dalam masalah anak dan juga iktu menanggung terkait
tanggung jawab perdata yang diterima oleh si anak. Ibarat pepatah jawa
“anak polah, wong tuo keno pulut e”. Meski saat ini kita tidak dapat menutup
mata bahwa realitas kehidupan sosial begitu berkembang pesat, sehingga
anak dapat belajar darimanapun, tapi peran orang tualah yang begitu besar
dalam perkembangan anak.
Di dalam hukum positif, peraturan-peraturan yang mengatur masalah
problematika anak yang berkaitan dengan hukum termuat dalam UU No. 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Kedua undang-undang tersebut telah membahas dan
memperincikan segala hal yang berkaitan dengan persoalan hukum yang
berkaitan dengan anak. Mulai dari sanksi dan proses peradilan anak, dari
penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak harus sesuai dengan
hukum dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
32 Alie Yafie, op. cit., hlm. 359.33 Ibid.

106
Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
menjelaskan tentang beberapa ketentuan mengenai sanksi bagi anak, seperti
disebutkan dalam Pasal 23 berikut ini:
1. Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidanapokok dan pidana tambahan.
2. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal adalah:a. Pidana penjara;b. Pidana kurungan;c. Pidana denda; ataud. Pidana pengawasan.
3. Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan,berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaranganti rugi.
4. Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugidiatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.34
Terhadap anak nakal tidak dapat dijatuhkan pidana mati, maupun
penjara seumur hidup. Akan tetapi penjara bagi anak nakal maksimal 10
tahun. Kemudian adanya hukuman tambahan berupa perampasan dan
pembayaran ganti rugi menjadi bagian dari hukuman yang menyertai
hukuman pokok. Ada jenis pidana baru dalam undang-undang ini yakni
pidana pengawasan yang diatur dalam KUHP sebagai alternatif pengganti
dari hukuman pokok yang berupa penjara., meskipun pada pelaksanaannya
jarang dan hampir tidak pernah dilakukan.35
Kemudian ancaman pidana yang dapat dijatuhkan terhadap anak nakal
yang melakukan tindak pidana sesuai Pasal 26 ayat (1) UU No. 3 tahun 1997
paling lama setengah dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang
34 Redaksi Sinar Grafika, Pasal 23, Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentangPeradilan Anak, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, hlm. 21.
35Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia (Teori, Praktik danPermasalahannya), Bandung: CV. Mandar Maju, 2005, hlm. 131.

107
dewasa. Dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan hukuman
mati atau penjara seumur hidup, maka bagi anak ancaman pidana itu
maksimum hanya 10 (sepuluh) tahun. Untuk itulah, dengan adanya ketentuan
Pasal 26 ini, maka ketentuan-ketentuan dalam KUHP tentang ancaman
pidana bagi anak harus dibaca setengah dari ancaman bagi orang dewasa.36
Bagi anak nakal yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun dan
melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati atau pidana
penjara seumur hidup, maka sesuai Pasal 24 ayat (1) huruf a UU No. 3 tahun
1997, terhadapnya tidak dapat dijatuhkan hukuman pidana, melainkan
menyerahkan anak tersebut kepada negara untuk pendidikan, pembinaan dan
latihan kerja.37
Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal sesuai
Pasal 1 ayat (2) huruf a UU No. 3 tahun 1997, paling lama (maksimum)
setengah dari maksimum ancaman kurungan bagi orang dewasa. Demikian
juga pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal Pasal 28 UU No.
3 tahun 1997 adalah setengah dari maksimum ancaman pidana denda bagi
orang dewasa.38
Sebenarnya dalam UU No. 3 tahun 1997 juga sudah diterangkan
adanya hukuman yang berupa tindakan, yakni Pasal 24 ayat (1) yakni:
Mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh. Putusan
demikian dapat dipertimbangkan apabila dilingkungan si anak diyakini dapat
36 Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003,hlm. 24.
37 Lihat Pasal 24, Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, op.cit., hlm. 25.
38 Darwan Prinst, op. cit., hlm. 22.

108
membantu si anak agar tidak melakukan perbuatan pidana lagi. Sedangkan
menurut penjelasan autentik Pasal 24 ayat (2) undang-undang tersebut yang
dimaksud dengan “teguran” adalah peringatan dari Hakim baik secara
langsung terhadap anak yang dijatuhi tindakan maupun secara tidak langsung
melalui orang tua, wali atau orang tua asuhnya, agar anak tersebut tidak
mengulangi perbuatan yang menyebabkan dia dijatuhi sanksi tindakan.
Sedangkan yang dimaksud dengan “syarat tambahan” misalnya kewajiban
untuk melapor secara periodik kepada Pembimbing Kemasyarakatan.39
Oleh karena karakteristik seorang anak itulah, maka ketentuan pidana
terhadap anak tentu saja berbeda dengan ketentuan bagi orang dewasa.
Terhadap anak memerlukan pertimbangan-petimbangan yang sangat spesifik
dari berbagai segi sehingga dalam menjatuhkan sanksi harus
mempertimbangkan aspek psikologis, sosiologis dan pedagogis seorang anak.
Demi perkembangan anak, maka seorang anak memerlukan adanya perhatian
khusus dari berbagai aspek, baik dari lingkunga keluarga, sekolah,
masyarakat dan pemerintah.40 Hal ini dikarenakan kondisi anak yang
memang mengharuskan adanya bimbingan dan perlindungan dari pihak-pihak
terkait.
Perlakuan dan perlindungan ini merupakan usaha yang dilakukan
untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan
kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar dan
39 Lilik Mulyadi, op. cit, hlm. 142.40 Lilik Mulyadi, ibid.

109
baik fisik, mental maupun sosial si anak.41 Adanya bimbingan serta
perlindungan terhadap anak diharapkan supaya anak dapat terpenuhi
kebutuhannya, baik berupa pendidikan, bersosialisasi dengan lingkungan
yang aman dan kesejahteraan si anak. Jangan sampai anak terjerumus dalam
perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan dan menyengsarakan anak.
Islam memberikan hak sepenuhnya kepada orang tua dalam mendidik
anak. Karena baik buruknya anak adalah cerminan dari pendidikan dan
bimbingan yang diberikan oleh kedua orang tua si anak. Dalam Islam ada
syarat dalam mendidik seorang anak. Seorang ayah memiliki kewajiban
untuk mendidik anaknya, akan tetapi pendidikan wajib di sini diberikan
kepada anak atas kesalahan yang dilakukannya, bukan atas kesalahan yang
dikhawatirkan akan dilakukan si anak.42 Seorang pendidik juga boleh
memukul anak didiknya, dengan batas yang sudah ditentukan, yakni tanpa
melukai dan membuat cacat si anak didik. Jadi memukul dilakukan tidak
dibagian yang rawan, seperti muka, kepala atau perut.
Untuk itulah, jika hukuman bagi si anak dipandang sebagai hukuman
untuk mendidik, bukan hukuman pidana, maka si anak tidak dianggap
residivis ketika ia kembali melakukan tindak pidana yang pernah dilakukan
sebelum baligh pada waktu ia telah baligh. Ketentuan inilah yang
membantunya untuk menjalani jalan yang masih panjang dan lurus serta
memudahkannya untuk melupakan masa lalu.
41 Maidin Gultom, op. cit, hlm. 33.42 Alie Yafie, dkk., op. cit, hlm. 181.

110
Karena sisi-sisi kehidupan dari anak yang memang mengkhususkan
seperti itulah. Maka dalam hukum pidana Islam apabila seorang anak
melakukan tindak pidana, maka hukuman yang dikenakan padanya hanyalah
hukuman diyat dan ta’zir saja. Dan ketentuan ini secara tidak langsung dianut
dalam konsep hukum nasional modern yang terangkum dalam UU No. 3
tahun 1997 meski pada dasarnya hukuman pokok berupa penjara masih saja
diaplikasikan terhadap kebanyakan kasus yang terjadi pada anak berhadapan
dengan hukum. Padahal hukuman penjara merupakan alternatif hukuman
terakhir yang bisa diberikan pada seorang anak.
Ta’zir diartikan mendidik ( التادیب( karena ta’zir dimaksudkan untuk
mendidik dan memperbaiki si anak agar ia menyadari perbuatan jarimahnya
kemudian meninggalkan dan menghentikannya. Ibrahim Unais dan al-
Mawardi mengartikan ta’zir sebagai berikut:
التعزیرتادیب علئ ذنوب لم تشرع فیھاالحدود“Ta’zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatandosa yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara”.43
Dari definisi tersebut, maka dapat dipahami bahwa jarimah ta’zir
terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had
dan tidak pula kifarat. Hukuman ta’zir dapat pula dijatuhkan apabila hal itu
dikehendaki oleh kemashlahatan umum, meskipun perbuatannya bukan
maksiat, melainkan pada awalnya mubah. Sifat yang menjadi alasan (illat)
dikenakannya hukuman ta’zir atas perbuatan jarimah yang dilakukan oleh
anak di bawah umur adalah karena perbuatan tersebut dapat membahayakan
43 H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. II,2005, hlm. 249.

111
dan merugikan kepentingan anak tersebut serta orang lain. Meskipun ta’zir
sendiri terdiri dari banyak macam, namun hukuman bagi anak adalah ta’zir
yang mendidik, bukan menghukum.44
Karena hal tersebutlah, alangkah baiknya jika para penegak hukum
menjatuhkan sanksi yang paling meringankan bagi seorang anak. Penjara
bukan merupakan hukuman mutlak bagi para pelaku tindak pidana terutama
anak-anak. Jelas sudah disebutkan dalam Undang-undang No. 3 tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, bahwa penjara adalah sebagai upaya terakhir dalam
pemberian sanksi bagi anak pelaku tindak pidana.
Pada dasarnya hal ini adalah substansi dari perwujudan dari adanya
usaha perlindungan yang dilakukan oleh pembuat kebijakan terhadap masalah
anak-anak khususnya dalam tindak pidana yang dilakukan oleh anak tersebut.
Akan tetapi, sayang sekali implementasi dari penerapan undang-undang yang
berusaha melindungai hak dan kepentingan anak tersebut tidak sesuai dengan
kenyataan di lapangan karena subjektifitas yang diperlihatkan oleh para
penegak hukum itu sendiri.
Meskipun dalam judicial review yang diajukan KPAI terkait
permohonan untuk menghapuskan hukuman penjara dan menghilangkan
kekuatan hukum Lembaga Pemasyarakatn Anak karena dinilai akan
membawa dampak traumatik dan membelenggu masa depan anak ditolak
oleh Mahkamah Konstitusi. Namun ada alternatif menarik yang disampaikan
oleh Adi Fahrudin, salah satu pemohon dalam pengajuan judicial review atas
44 H. Ahmad Wardi Muslich, ibid.

112
beberapa pasal dalam UU No. 3 Tahun 1997 yang memberikan solusi
mengenai alternatif lain penjatuhan sanksi penjara bagi anak. Dalam
pemaparannya, program community service order merupakan solusi yang
sesuai diterapkan untuk anak, menggantikan sistem pemenjaraan yang ada
selama ini.
Community service order (CSO) atau program pelayanan masyarakat,
merupakan bentuk pemberian hukuman kepada anak dengan memberikan
kewajiban kepadanya untuk memberikan pelayanan sukarela kepada
masyarakat yang ditentukan oleh pengadilan. Namun, penerapan program
CSO, setidaknya harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain berkaitan
dengan tindak pidana tertentu atau tidak berat, masa hukuman tidak melebihi
waktu tertentu, kemudian crime againt property. Syarat lainnya yang perlu
juga mendapat perhatian yaitu, pelaku masih anak. Penerapan pidana CSO
harus memperhatikan UU Tenaga Kerja, karena usia anak dilarang untuk
melakukan kerja.45
Program CSO memiliki kelebihan ketimbang membiarkan anak yang
melakukan tindak pidana dimasukkan dalam LP Anak atau justru
membiarkannya bebas berkeliaran. Sebab, pidana CSO menisbikan proses
stigmatisasi yang akan meniadakan efek negatif berupa “pendidikan
kejahatan oleh penjahat”. Selain itu, anak yang menjalani pidana CSO masih
dapat menjalankan kehidupan secara normal, seperti masuk sekolah,
berkumpulan dengan lingkungan sosial. Sehingga proses dehumanisasi bisa
45 http://almahkamah_judicialreview.go.id, Alternatif Pemidanaan Anak:“Community Service Order”, diakses pada tanggal 12 Januari 2012 pukul 12.20 WIB.

113
dihindari, karena de-humanisasi ini selalu menjadi efek negatif dari pidana
perampasan kemerdekaan.46
Ada sebuah istilah double track system, yakni sistem sanksi dalam
hukum pidana dimana sanksi ini menempatkan kedudukan yang sama antara
sanksi pidana dan sanksi tindakan. Penekanan pada kesetaraan sanksi pidana
dan sanksi tindakan dalam kerangka double track system, sesungguhnya
terkait dengan fakta bahwa unsur pencelaan atau penderitaan (lewat sanksi
pidana) dan unsure pembinaan (lewat sanksi tindakan) sama-sama penting.47
Dengan kata lain, sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif
terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif
terhadap pelaku perbuatan tersebut. Jika fokus sanksi pidana tertuju pada
perbuatan salah seseorang lewat pengenaan penderitaan (agar yang
bersangkutan jera), maka fokus sanksi tindakan terarah pada upaya member
pertolongan agar dia berubah.48 Sehingga jelaslah, bahwa sanksi pidana lebih
menekankan unsur pembelasan. Sanksi pidana merupakan penderitaan yang
sengaja dibebankan kepada seorang pelanggar. Sedangkan sanksi tindakan
bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan perlindungan si
pembuat pelanggaran.
Dengan demikian, perbedaan prinsip antara sanksi pidana dan sanksi
tindakan terletak ada apa tidaknya unsur penderitaan. Karena diketahui, jika
seorang dikenakan sanksi pidana, pastinya sanksi itu dibuat untuk membuat
46 Ibid.47 DR. M. Sholehuddin, S.H., M.H., Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar
Double Track System dan Implementasinya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. Ke-2,2004, hlm. 28.
48 DR. M. Sholehuddin, S.H., M.H., ibid, hlm. 32.

114
jera si pelaku dan merampas kemerdekaan seseorang. Berbeda halnya dengan
sanksi tindakan, sebab sanksi tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik.
Sanksi tindakan semata-mata ditujukan pada prevensi (pencegahan) untuk
melindungi. Maka dari itu, dikatakan dalam undang-undang, bahwa sanksi
penjara (pidana) bagi anak merupakan solusi akhir yang dapat dikenakan
pada anak. Sehingga sebelum memberikan sanksi tersebut, lebih baik hakim
diarahkan untuk memilih sanksi tindakan (mendidik) bagi anak yang
melakukan pelanggaran. Ini tak lain adalah bentuk dari perlindungan terhadap
hak anak itu sendiri. Walaupun pada kenyataannya yang terjadi di lapangan,
justru sanksi pidana lebih banyak diterapkan bagi anak yang melakukan
pelanggaran.
Untuk itulah, meski tidak dikabulkannya permohonan penghapusan
pidana penjara bagi anak yang terlibat dalam tindak pidana, bukan berarti
keistimewaan yang diperoleh para penegak hukum, dengan peraturan yang
telah menempatkan kedudukan polisi sebagai penyidik tunggal, dalam arti
bahwa dalam KUHAP hanya polisi negaralah sebagai pejabat satu-satunya
yang mempunyai monopoli penyidikan terhadap tindak pidana umum dan
tindak pidana khusus boleh berbuat sesukanya dalam menangani masalah
anak dengan dalih yang dilakukannya telah sesuai dengan aturan yang
berlaku.
Tidak dipungkiri, berbagai upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak
untuk melindungi hak setiap anak, masih mengalami hambatan. Sebab,
komitmen yang dibangun, kadang kala mendapatkan hadangan dari aparat

115
penegak hukum (polisi) itu sendiri. Harapan untuk melindungi hak setiap
anak diacuhkan oleh para penegak hukum, dengan alasan hukum positif
masih memerintahkan bahwa anak yang melanggar hukum bisa dipidanakan
dan dipenjara.49 Penegakan hukum terhadap anak, akan lebih baik jika
melalui pendekatan restoraktive justice dan diversi. Sehingga anak jangan
sampai masuk pada proses persidangan di pengadilan.
Restoraktive justice adalah bentuk yang paling disarankan dalam
melakukan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Hal ini
dikarenakan konsep restoraktive justice melibatkan berbagai pihak untuk
menyelesaikan suatu permasalahan yang terkait dengan tindak pidana yang
dilakukan oleh anak. Restoraktive justice bertujuan untuk memberdayakan
para korban, pelaku, keluarga dan masyarakat untuk memperbaiki suatu
perbuatan melawan hukum dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan
sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat. Sehingga
akan tercipta moral justice dan social justice dalam penegakan hukum selain
mempertimbangkan legal justice.
49 http://kpai.go.id, “Pernyataan Terakhir (Closing Statement) KPAI Dalam SidangDi Mahkamah Konstitusi”, dikases pada tanggal 12 Januari 2012 pukul 12.45 WIB.

116
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melalui proses penelitian kepustakaan yang panjang, akhirnya
penyusun sampai pada penghujung pembahasan yang memang masih banyak
kekurangan dalam memandang sebuah masalah dengan perspektif
pengetahuan yang penulis miliki masih benar-benar jauh dari yang
diharapkan. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, maka dapat
penulis simpulkan bahwa:
1. Batas usia anak yang dapat dikenakan sanksi pidana dalam Undang-
undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak adalah usia 8
(delapan) tahun sampai sebelum 18 (delapan belas) tahun. Hal tersebut
justru menandakan bahwa terjadi ketidakselarasan terkait batas usia anak
dalam tiap instrumen perundangan yang terkait dengan usia minimum
anak dapat dipidana. Akan tetapi, dengan adanya putusan MK Nomor
1/PUU-VIII/2010 Tanggal 24 Februari 2011, maka telah jelas bahwa usia
minimum anak dapat dimintakan pertanggungjawabannya adalah usia 12
tahun. Sedangkan hukum pidana Islam, ketentuan mengenai batasan usia
anak yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana tidak jelas karena
hanya ditentukan oleh kata baligh. Namun meskipun ketentuan berapa
umur baligh di dalam Islam begitu luas, karena tidak ada nash al-Qur’an
yang menjelaskan secara spesifik berapa usia baligh tersebut. Akan tetapi

117
bisa disimpulkan bahwa usia 15 tahun menjadi standar dan dasar bagi
seorang hakim atau penguasa untuk menjatuhkan sanksi bagi anak yang
melakukan jarimah.
2. Pemberian sanksi bagi anak yang melakukan pelanggaran, baik menurut
hukum pidana Islam maupun UU No 3 Tahun 1997 memiliki kesamaan.
Dalam UU No 3 Tahun 1997, anak akan dikenakan sanksi pidana dan
sanksi tindakan. Hal ini disesuaikan dengan usia anak tersebut saat
melakukan perbuatan pidana. Namun, dalam hukum pidana Islam,
walaupun pertanggungjawaban pidana (hudud dan qishash) bagi anak
yang belum baligh tersebut dihapuskan. Seorang anak yang melakukan
pelanggaran, dia tetap akan dikenakan ta’zir dan diyat sebagai
kompensasi atas perbuatan yang telah dilakukannya tersebut. Sehingga
anak tidak benar-benar bebas dari konsekuensi hukum atas perbuatan
jarimahnya tersebut.
B. Saran
Dari hasil pengamatan dan analisis penulis, kiranya saran-saran
berikut penting untuk diperhatikan bagai kalangan aktifis anak, akademisi
hukum, para penegak hukum dan pembaca pada umumnya guna penegakan
terhadap hak-hak anak yang hingga saat ini kurang mendapat perhatian dari
berbagai kalangan:
1. Pemerintah ketika akan mengeluarkan dan menetapkan peraturan
perundang-undangan, hendaknya benar-benar memperhatikan segala

118
aspek yang berkaitan dengan peraturan tersebut. Sehingga dicapai titik
paling minim untuk didapati ketidakberesan dan kesalahan dalam
penafsiran dan implementasi sebuah perundang-undangan itu seperti
yang terdapat dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1997 dan KUHP serta
KUHAP mengenai usia pertanggungjawaban seorang anak yang
melakukan kejahatan. Alasannya, ketidakharmonisan dalam setiap
peraturan perundang-undangan yang ada justru akan menjadikan
kacaunya penegakan hukum itu sendiri.
2. Dalam konsep penjatuhan sanksi pidana bagi anak hendaknya tidak
hanya didasarkan pada batasan usia yang sudah menjadi ketetapan di
dalam perundang-undangan saja. Karena mau bagaimanapun juga,
perbedaan geografis dan lingkungan sosial dimana anak itu tinggal,
sangat berpengaruh besar terhadap perkembangan mental serta fisik
seorang anak. Maka dari itu, standar kedewasaan dan batasan umur yang
telah ditentukan dalam Islam seperti baligh, bisa menjadi acuan
penjatuhan sanksi pidana dalam lingkungan hukum.
3. Akan lebih baik jika proses penanganan terkait masalah anak yang
berkaitan dengan hukum, hendaknya dilakukan saja dengan pendekatan
restoraktif jaustice dan diversi dari aparat penegak hukum. Sehingga,
hak-hak anak yang terlindungi oleh undang-undang dapat tercapai
dengan sempurna.

119
Demikian pembahasan skripsi ini. Penulis berharap, kerja keras dalam
penyusunan skripsi ini mendapatkan respon dari pembaca, baik kritik maupun
saran demi kelanjutan penelitian ini. Karena bagaimanapun juga dibutuhkan
pengembangan lebih lanjut tentang urgensi dan efektifitas pemberian sanksi
di dalam UU No 3 Tahun 1997 agar tercapai kebaikan hukum yang memang
bertujuan untuk melindungi masyarakat. Semoga penelitian ini berguna bagi
perkembangan hukum di Indonesia dan mahasiswa lain yang ingin
melanjutkan penelitian tentang permasalahan ini. Amiin.

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Ali al-Sabuni, Muhammad, Rawai’ul Bayan Tafsir fi al-Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, diterjemahkan oleh Saleh Mahfud, Tafsri Ayat-ayat Hukum dalamAl-Qur’an, Bandung: Al-Ma’arif, 1994.
Arikunto, Suharmi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta:Rineka Cipta, 1993.
Departemen Agama RI , Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: 1983.
Daud, Abu, Sunan Abu Daud, Juz 4, Beirut: Dar al-Kitab al- ‘Ilmiyah.
Dirdjosisworo, Soedjono, Hukum Narkotika Indonesia, Bandung: PT. CitraAditya Bakti, 1990.
Djazuli, A., Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, EdisiRevisi, Cet. Ketiga, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2000.
Doi, Abdurrahman I, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, diterjemahkan oleh H.Wadi Masturi, S.E. & Drs. H. Basri Iba Asghary, “Shari’ah the IslamicLam”, Cet. ke-1, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
Gultom, Maidin, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem PeradilanPidana Anak di Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama, 2008.
Hambal, Ahmad Ibnu, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah.
Hanafi, Ahmad, M. A., Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet. ke-IV, Jakarta:Bulan Bintang, 1990.
Ibrahim, Jhonny, S.H., M.Hum., Teori dan Metodologi Penelitian HukumNormatif, Edisi Revisi, Malang: Bayumedia Publishing, 2005.
Joni, S.H., Muhammad, Zulchaina Z. Tanamas, S.H., Aspek Hukum PerlindunganAnak Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung: PT. Citra AdityaBajti, 1999.
Koesparmono, Irsan, Hukum Perlindungan Anak, Jakarta: UPN, 2006.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2010.

M. Fachruddin, Fuad, Masalah Anak dalam Hukum Islam, Jakarta: Pedoman IlmuJaya, 1991.
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Cet. Ke-1, Semarang: BadanPenerbit Universitas Diponegoro, 1995.
Mulyadi, Lilik, Pengadilan Anak di Indonesia (Teori, Praktik danPermasalahannya), Bandung: CV. Mandar Maju, 2005.
Mulyono, Bambang, Pendekatan Analisis Kenakalan Remaja danPenanggulangannya, Yogyakarta: Kanisius, 1984.
Munajat, Makhrus, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Cet. Ke-I, Yogyakarta:Logung Pustaka, 2004.
Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
_________, (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), Jakarta: Bumi Aksara,2009.
Purnomo, Bambang, Asas-Asas Hukum Pidana, Cet. IV, Jakarta: Ghalia, 1983.
Prinst, Darwan, Hukum Anak Di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,1997.
Priyanto, Dwidja, SH., MH., Sp.N., Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara DiIndonesia, Bandung: PT. Refika Aditama, 2008.
Projohamidjojo, Martiman, Memahami Dasar-Dasar Hukuman Pidana DiIndonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1997.
Rosyada, Dede, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: Lembaga Studi Islamdan Kemasyarakatan, 1992.
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, Analisa Fiqih Para Mujtahid, penerjemah, Drs.Imam Ghazali Said, MA. & Drs. Achmad Zaidun, terjemahan dariBidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Jakarta: Pustaka Amani,2007.
Salahudin, Affan Nurhaq, Pemenjaraan Anak Menurut Perspektif Hukum PidanaIslam dan Pidana Positif, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2011.
Sholehuddin, M., Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double TrackSystem dan Implementasinya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.

Sianturi, S.R., Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Cet. 4,Jakarta: Alumni Ahaem-Petehaem, 1996.
Soeaidy, Sholeh, dan Zulkhair, Dasar Hukum Perlindungan Anak, cet. ke-1,Jakarta: CV. Novindo Pustaka Mandiri, 2001.
Soemintro, Irma Setyowati, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Jakarta: BumiAksara, 1990.
Soetodjo, Wagiati, Hukum Pidana Anak, Bandung: PT. Refika Aditama, 2000.
Subagyo, Joko, Metodologi Penelitian Dalam Teori Dan Praktek, Jakarta: PT.Rineka Cipta, 1994.
Subekti, R., dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata,Burgelijk Wetboek: Dengan Tambahan UU Pokok Agraria dan UUPerkawinan, Jakarta: Pradnya Paramita, 1994.
Sudarsono, Kenakalan Remaja, cet. Ke-2., Jakarta: Rineka Cipta, 1991.
Sumaryono, E, Kejahatan Anak: Suatu Tinjauan dari Psikologi dan Hukum,Yogyakarta: Liberty, 1985.
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2007.
Sutarto, Suryono, Hukum Acara Pidana Jilid I, Badan Penerbit UniversitasDiponegoro Semarang, Cet. IV, 2005.
Syahar, Saidus, Asas-Asas Hukum Islam (Himpunan Kuliah), Bandung: Alumni,1986.
Tauhid, Abu, Beberapa Aspek Pendidikan Islam, Yogyakarta: Sekretariat FakultasTarbiyah IAIN SuKa, 1990.
Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, Jakarta: SinarGarfika Offset, 2000.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Jakarta: SinarGrafika, 2003.
Waluyo, Bambang, Pidana Dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Ke- II,2004.
Wardi Muslich, Ahmad, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: SinarGrafika, 2004.

____________________, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. II,2005.
Yafie, Alie, dkk., Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, terjemahan dari “At-Tasyri’al-Jina’ i al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy” karya Abdul QadirAudah, Jilid 4, Bogor: PT Kharisma Ilmu.
Zamahsari, Imam, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pasal 26 UU No. 3 Tahun1997 Tentang Penjatuhan Pidana Bagi Anak Nakal”, Semaranga: IAINWalisongo, 2004.
B. Internet
http://kpai.go.id/, “Tips Penegakan Hukum Bagi Anak yang Berkonflik DenganHukum”, diakses pada tanggal 29 September 2011 pukul 14.52 WIB.
http://kpai.go.id, Hadi Supeno, Refleksi Akhir Tahun 2009, Aparat PenegakHukum Masih Menjadi Pelaku Kekerasan Terhadap Anak, , diakses padatanggal 12 Januari 2012 pukul 11. 20 WIB.
http://kpai.go.id, “Pernyataan Terakhir (Closing Statement) KPAI Dalam SidangDi Mahkamah Konstitusi”, dikases pada tanggal 12 Januari 2012 pukul12.45 WIB.
http://www.kumham-jakarta.info/berita-terkini/, “Perlu Harmonisasi PeraturanBatas Usia Anak”, diakses pada tanggal 31 Oktober 2011 pukul 22.35WIB.
http://www.lawskripsi.com, “Kajian Kriminologis Perilaku Jahat Anak-Anak”,diakses pada tanggal 29 September 2011 pukul 14.34 WIB.
http://mytahkim.wordpress.com/artikel-2, “Penegakan Hukum TerhadapKejahatan Anak Perspektif Hukum Islam”, diakses pada tanggal 31Oktober 2011 pukuk 22.47 WIB
www.unicef.org/indonesia/uni-jjs, Jurnal Penelitian Purnianti, Mamik Sri Supatmiserta Ni Made Martini Tinduk dari Departemen Kriminologi, FakultasIlmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, didukung olehUNICEF “Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile JusticeSystem) Di Indonesia", diakses pada tanggal 29 September 2011 pukul15.03 WIB.
http://www.hukumonline.com, Willem Van Genugten J.D dalam Iskandar Hosein,Perlindungan Terhadap Kelompok Rentan (Wanita, Anak-Anak, Suku

Terasing, dll) dalam perspektif HAM, Makalah dalam SeminarPembangunan Hukum VIII, diakses pada tanggal 31 Oktober 2011 pukul21.25 WIB.
http://www.detikNews.com, Nurvita Indarini, Dianggap Tidak Profesional,Hakim Kasus Raju Terancam Sanski, diakses pada tanggal 31 Oktober2011 pukul 22.50 WIB.
http://www.republikaonline.nasional/politik, KPAI Ajukan Judicial Review UUPengadilan Anak, diakses pada tanggal 31 Oktober 2011 pada pukul 23.23WIB.
http://imanherlambang.blogspot.com, Pertanggungjawaban Pidana, diakses padatanggal 19 April 2012 pukul 16.59 WIB.
http://ihsan26theblues.wordpress.com, Ihsan Badroni, Hukum Pidana Bagi AnakKecil, diakses pada tanggal 31 oktober 2011, pukul 23.50 WIB.
http://hukumonline.com, “Mahkamah Konstitusi Diminta Hapuskan KetentuanKriminalisasi Anak”, diakses pada tanggal 13 Januari 2012 pukul 11.45WIB.
http://Silviwahyuni’s.WordPress.com, Silvi Wahyuni, MK: Usia Anak DapatDipidana Minimal 12 Tahun, , diakses pada tanggal 12 Januari 2012 pukul12.05 WIB.
http://almahkamah_judicialreview.go.id, Alternatif Pemidanaan Anak:“Community Service Order”, diakses pada tanggal 12 Januari 2012 pukul12.20 WIB.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI:
Nama Lengkap : Muhammad Fakhruddin Zuhri
Tempat, Tanggal Lahir : Semarang, 14 Oktober 1988
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Alamat : Tugurejo RT 08 RW 3 Kec. Tugu Semarang
No. HP : 085 641 559 652
PENDIDIKAN FORMAL :
SD Negeri 04 Tugurejo Semarang lulus tahun 2001
MTs Negeri Rejoso Peterongan I, Jombang lulus tahun 2004
SMA Darul ‘Ulum 2 Unggulan BPPT, Jombang lulus tahun 2007
PENGALAMAN ORGANISASI :
Anggota BEMJ Jinayah Siyasah Fakultas Syariah tahun 2010
Wadyabala Justisia
Semarang, 12 Juni 2012
Penulis,
Muh. Fakhruddin ZuhriNIM. 072211025