discovery dalam pendidikan

56
DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN Makalah Oleh: M. Agus Martawijaya Iis Mardiana Heriyati Aslim Diajukan dalam Mata Kuliah Perspektif dan Inovasi Pendidikan yang diampu oleh Bapak Prof. Dr. H. Arismunandar, M.Pd bersama Bapak Dr. Ismail Tola, M. Pd pada Program Studi S3 Ilmu Pendidikan

Upload: napiki

Post on 20-Jun-2015

836 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Tugas kelompok dalam mata kuliah perspektif dan inovasi pendidikan pada program S3 PPs UNM

TRANSCRIPT

Page 1: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

Makalah

Oleh:M. Agus Martawijaya

Iis MardianaHeriyatiAslim

Diajukan dalam Mata Kuliah Perspektif dan Inovasi Pendidikan yang diampu oleh Bapak Prof. Dr. H. Arismunandar, M.Pd

bersama Bapak Dr. Ismail Tola, M. Pd pada Program Studi S3 Ilmu Pendidikan

PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS NEGERI MAKASAR

2010

Page 2: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan Syukur Kehadirat Allah S.W.T atas segala limpahan

rahmat dan hidayah-Nya kepada kita umat manusia, salawat dan taslim untuk

Nabi Besar Muhammad SAW yang telah mengangkat dan menunjukkan jalan

yang lurus bagi kita umat manusia.

Berkenaan dengan tugas Pembuatan Makalah Pendidikan dari Bapak

Prof. Dr. H. Arismunandar, M.Pd bersama Bapak Dr. Ismail Tola, M.Pd dalam

mata kuliah Inovasi Pendidikan pada program S3 Ilmu Pendidikan Program

Pascasarjana Universitas Negeri Makassar, kami mendapatkan tugas untuk

membuat makalah dengan judul Discovery dalam Pendidikan.

Makalah ini kami buat dengan berdasar kepada upaya Pemerintah, dalam

hal ini Menteri Pendidikan Nasional bersama Badan Standar Nasional

Pendidikan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan melalui upaya inovasi

pendidikan di negara kita sehingga pada gilirannya bangsa Indonesia setara

dengan bangsa-bangsa lain di dunia ini.

Sebagai manusia yang tidak luput dari segala kekurangan sehingga saya

menyadari jika dalam makalah ini tetap terdapat kekurangan. Oleh karena itu,

saya memohon maaf sebesar-besarnya.

Makassar, April 2010

Page 3: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

A. PENDAHULUAN

Telah kita ketahui dalam abad milinium ini ciri utamanya adalah terjadinya

globalisasi pada setiap aspek kehidupan. Globalisasi mengandung arti terjadinya

keterbukaan, kesejagatan, dimana batas-batas negara tidak lagi menjadi

penting. Salah satu yang menjadi trend dan merupakan ciri globalisasi adalah

adanya persamaan hak.

Dalam konteks pendidikan, persamaan hak itu tentunya berarti bahwa

setiap individu berhak mendapat pendidikan yang setinggi-tingginya dan sebaik-

baiknya tanpa memandang bangsa, ras, latar belakang ekonomi, maupun jenis

kelamin. Dengan adanya kesamaan hak ini, terjadi kehidupan yang penuh

dengan persaingan karena dunia telah menjadi sangat kompetitif. Oleh karena

itu, mau tidak mau setiap orang mesti berusaha untuk menguasai ilmu dan

teknologi agar dapat ikut dalam persaingan, dan jika tidak, maka kita akan

ditinggalkan.

Terkait dengan hal tersebut di atas, sudah seharusnya pendidikan mampu

menjawab tantangan abad milinium ini. Dengan perkataan lain, pendidikan harus

mampu menyediakan kesempatan bagi setiap peserta didik untuk memperoleh

pengetahuan, keterampilan, serta nilai-nilai sebagai bekal bagi mereka dalam

memasuki persaingan dunia yang kian hari semakin ketat. Selain dari adanya

kesempatan yang seluas-luasnya yang disediakan, hal yang tidak kalah

pentingnya adalah memberikan pendidikan yang bermakna (meaningfull

education) kepada peserta didik. Hal ini cukup beralasan, karena hanya dengan

pendidikan yang bermakna peserta didik dapat dibekali kecakapan hidup,

sedangkan pendidikan yang tidak bermakna (meaningless education) hanya

akan menjadi beban hidup.

Page 4: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

Untuk dapat mewujudkan pendidikan yang bermakna, maka sistem

pendidikan harus mengalami perubahan, karena disadari bahwa perubahan

adalah ciri khas pendidikan. Hal ini mudah Hal ini mudah dapat dipahami, karena

kebutuhan manusia selalu berubah dan berkembang, serta permasalahan selalu

meningkat. Berkenaan dengan itu, maka salah satu tugas pendidik dan penentu

kebijakan di bidang pendidikan adalah selalu berusaha untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhan manusia dengan jalan melaksanakan pendidikan yang

bermuara kepada pencapaian tujuan pendidikan agar peserta didik kelak dapat

melaksanaan tugas-tugas di masyarakat yang selalu mengalami proses

perubahan dan perkembangan. Kebutuhan dalam konteks pendidikan ialah

kebutuhan individu atau masyarakat sesuai dengan keadaan sistem ekologi/

lingkungan, ekonomi-sosial dan budaya, dan kebutuhan sebagai akibat

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pembangunan.

Berdasarkan situasi dan kondisi pendidikan di negara kita, maka sejak

beberapa tahun terakhir ini, Departemen Pendidikan Nasional (Kementerian

Pendidikan Nasional) telah dan terus membiayai program-program perubahan

dan pengembangan sistem pendidikan. Untuk dapat melaksanakannya, maka

semua oknum yang terlibat dalam sistem pendidikan harus memiliki kemampuan

melakukan ”Discovery” atau “Penemuan” yang dapat diterapkan dalam

pelaksanaan pendidikan.

Untuk kemajuan bangsa dan negara kita, sehingga mampu mensejajarkan

diri dengan bangsa-bangsa lain, maka kemampuan melakukan discovery bagi

masyarakat harus dimulai dari bangku pendidikan, khsusnya pendidikan formal.

Berkenaan dengan tugas makalah ini, maka kami memusatkan pembahasan

pada “discovery” sebagai metode pembelajaran yang ditunjang oleh

keterampilan proses, kreativitas, dan metode ilmiah.

B. Apakah Discovery itu ?

Discovery mempunyai makna penemuan sesuatu yang sebenarnya

sesuatu itu telah ada sebelumnya, tetapi belum diketahui. Sedangkan invensi

adalah penemuan yang benar-benar baru sebagai hasil kegiatan manusia. Anna

Poejiadi (2001) memberikan penjelasan: Secara harfiah to discover berarti

Page 5: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

membuka tutup. Artinya sebelum dibuka tutupnya, sesuatu yang ada di

dalamnya belum diketahui orang. Sebagai contoh perubahan pandangan dari

geosentrisme menjjadi heliosentrisme dalam astronomi. Nicolas Copernicus

memerlukan waktu bertahun-tahun guna melakukan pengamatan dan

perhitungan untuk menyatakan bahwa bumi berputar pada porosnya, bahwa

bulan berputar mengelilingi matahari dan bumi, bahwa planet-planet lain juga

berputar mengelilingi matahari. Kesalahan besar yang ia lakukan adalah bahwa

ia yakin semua planet (termasuk bumi dan bulan) mengelilingi matahari dalam

bentuk lingkaran. Penemuan ini menggugah Tycho Brahe melakukan

pengamatan lebih teliti terhadap gerakan planet. Data pengamatan kemudian

membuat Johanes Kepler akhirnya mampu merumuskan hukum-hukum gerak

planet yang tepat. Penemuan ketiga tokoh tersebut merupakan ”discovery”.

Banyak ahli pendidikan yang menyamakan arti antara discovery dan

inquiry, sedangkan yang ahli pendidikan lainnya membedakan artinya. Carin

(1985) menyatakan bahwa ”discovery” adalah suatu proses mental di mana

individu mengasimilasi konsep dan prinsip-prinsip. Dengan perkataan lain,

”discovery” terjadi apabila individu terutama terlibat dalam menggunakan proses

mentalnya untuk menemukan beberapa konsep atau prinsip. Misalnya,

seseorang menemukan apakah energi itu?, berarti ia membangun konsep

tentang energi, selanjutnya ia menemukan suatu prinsip ilmiah ”energi tidak

dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, hanya dapat berubah dari satu

bentuk ke bentuk yang lain (energi listrik berubah menjadi energi gerak dan

sebaliknya).

C. DISCOVERY DAN KETERAMPILAN PROSES

Untuk dapat melakukan discovery, seseorang mengimplementasikan

proses mental yang tergolong ”keterampilan proses”. Secara umum,

keterampilan proses dapat diartikan sebagai keterampilan yang dimiliki oleh

para ilmuwan dalam memperoleh pengetahuan, dan mengkomunikasikan

perolehannya. Keterampilan tersebut berarti kemampuan menggunakan pikiran,

nalar, serta perbuatan secara efisien dan efektif untuk mencapai hasil tertentu,

Page 6: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

termasuk kreativitas. Dengan demikian, keterampilan proses meliputi

kemampuan olah pikir dan kemampuan olah perbuatan.

Ratna Wilis Dahar (1985) mengemukakan pendapat Gagne yang

menyatakan bahwa pengetahuan hanya dapat diperoleh jika seseorang memiliki

kemampuan-kemampuan dasar tertentu. Kemampuan dasar yang dimasudkan

itu adalah keterampilan proses yang dapat dibedakan atas keterampilan proses

dasar dan keterampilan proses terintegrasi Subiyanto (1988).

Jenis keterampilan proses dasar antara lain: (1) observasi; ((2) klasifikasi;

(3) komunikasi; (4) pengukuran; (5) prediksi; dan (6) penarikan kesimpulan. Jenis

keterampilan proses terintegrasi antara lain: (1) mengidentifikasi variabel; (2)

menyusun tabel data; (3) menyusun grafik; (4) menggambarkan hubungan

antara variabel-variabel; (5) memperoleh dan memproses data; (7) menyusun

hipotesis; (8) merumuskan definisi operasional variabel; (9) merancang

eksperimen/percobaan; dan (10) melakukan eksperimen/percobaan. Berikut ini

jelaskan secara singkat mengenai beberapa jenis keterampilan prose beserta

kemampuan yang tercakup di dalamnya.

1. Observasi

Disadari sepenuhnya bahwa pada hakekatnya aalam berbicara dengan

bahasanya sendiri, yalitu dalam bentuk global, bentuk detil, warna, pola, gejala,

dan sebagainya. Semua itu dapat kita peroleh dengan menggunakan salah satu

atau beberapa indera yang disebut hasil observasi (pengamatan).

Mengamati adalah keterampilan mengambil informasi/data dari obyek

atau peristiwa dengan cara memperhatikan obyek atau peristiwa itu melalui

salah satu atau beberapa indera (penglihatan, pendengaran, penciuman,

pengecapan, dan perabaan). Memperhatikan obyek atau peristiwa mengandung

arti bahwa pengamatran buka semata-mata kerja alat indera, tetapi juga

melibatkan kerja pikiran.

Pengambilan informasi/data melalui pengamatan tidak seperti karet busa

menyerap air, pengamatan tidak dapat menyerap semua informasi atau semua

hal yang ada. Hal ini dimaksudkan karena dalam pengamatan orang memilih apa

Page 7: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

yang dapat diamati dan pemilihan itu dipenhgaruhi oleh pengtahuan dan

gagasan yang ada di dalam pikirannya. Oleh karena itu, sebelum melakukan

pengamatan terlebih dahulu ditentukan: apa saja yang akan diamati ?, kapan

diamatinya ?, berapa lama mengamatinya ?.

Tidak semua obyek atau peristiwa dapat diamati secara langsung dengan

menggunakan alat indera, karena ada obyek atau peristiwa yang hanya dapat

diketahui dari mengamati gejalanya saja. Contohnya “pengamatan mengenai

arus listrik”. Jika sebuah kabel dihubungkan dengan baterai, kita tidak

mengetahui secara langsung ada tidaknya arus listrik yang mengalir. Untuk

dapat mengetahuinya, harus dipasang bola lampu atau alat ukur pada rangkaian

listrik tersebut. Melalui bola lampu hanya dapat diamati gejalanya saja, yaitu

pada saat bola lampu berpijar, tetapi arus listriknya tetap tidak teramati oleh alat

indera. Namun demikian, dengan mengamati bola lampu saja, sudah

meyakinkan bahwa ada arus liktrik yang mengalir di dalam kabel. Keyakinan

tersebut timbul berdasarkan pada pengalaman dan teori yang menyatakan

bahwa jika bola lampu berpijar, maka ada arus listrik yang melalui bola lampu

tersebut.

Pengamatan yang langsung menggunakan alat indera tanpa bantuan alat

ukur merupakan pengamatan kualitatif. Pengamatan kualitatif tidak memperoleh

hasil pengamatan dalam bentuk angka, tetapi dalam bentuk pernyataan.

Misalnya: air di dalam wadah A lebih tinggi suhunya di banding air di dalam

wadah yang lain. Pengamatan yang menggunakan bantuan alat ukur merupakan

pengamatan kuantitatif, apakah dengan menggunakan alat ukur standar atau

alat ukur tidak standar. Pengukuran dengan menggunakan alat ukur yang tidak

standar tidak dapat dikomunikasi secara tepat atau akurat.

Pengamatan berfungsi untuk memilih apa yang dapat diamati, dan

pemilihan itu dipengaruhi oleh pengetahuan dan gagasan yang ada di dalam

pikiran seseorang. Oleh karena itu, sebelum dilakukan pengamatan perlu

ditentukan apa saja yang akan diamati. Jika pengematan tidak memiliki tujuan

yang jelas, maka pengamat akan bingung memilih hal-hal yang harus diamati,

karena banyak hal yang dapat diamati. Ketidaktahuan mengenai apa yang harus

Page 8: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

diamati, bagaimana cara mengamatinya, berapa lama mengamatinya

menyebabkan ketidaktentuan dalam pengambilan informasi melalui pengamatan.

Hal ini akan menimbulkan tidak tercapainya tujuan pengamatan.

Terdapat sejumlah kemampuan yang tercakup dan mendukung

keterampilan observasi, yaitu: melihat, mendengar, meraba, membau, mengecap

(mencicipi), menyimak, mengukur, dan membaca.

2. Klasifikasi

Klasifikasi adalah pengelompokan obyek-obyek (benda, fakta, konsep,

nilai, tujuan atau kepentingan tertentu). Untuk melakukan pengelompokan, perlu

ditinjau persamaan dan perbedaan antara obyek-obyek. Dengan perkataan lain,

pengklasifikasian dilakukan dengan cara mencari kesamaan ciri dari obyek-

obyek, kemudian obyek-obyek itu diklasifikasikan ke dalam suatu kelompok dan

diberi label yang namanya dapat diambil dari kategori itu.

Fungsi pengklasifikasian adalah untuk mengenal karakteristik di luar ciri

yang diketahui. Mengenal ciri suatu obyek dapat membantu seseorang dalam

melakukan klasifikasi obyek tersebut. Lebih dari itu, dapat dikenal karaketrisitik

lain yang terkandung dalam kelasifikasi obyek tersebut.

Terdapat sejumlah kemampuan yang tercakup dan mendukung

keterampilan klasifikasi, yaitu: mencari persamaan (menyamakan), mencari

perbedaan (membedakan), membandingkan, mengkontraskan, dan mencari

dasar pengelompokan.

3. Interpretasi

Pada umumnya data yang terlumpul dari hasil observasi dicatat dan

dikemukakan atau disajikan ke dalam berbagai bentuk, seperti: tabel, bagan,

matriks, grafik, dan diagram. Untuk menarik kesimpulan dari suatu penelitian

misalnya, terlebih dahulu dilakukan interpretasi (penafsiran) terhadap data-data

yang diperoleh. Dengan demikian, kesimpulan yang ditarik tentu saja berdasar

pada data-data yang diperoleh.

Terdapat sejumlah kemampuan yang tercakup dan mendukung

keterampilan menfasirkan, yaitu: menaksir, memberi arti (mengartikan),

Page 9: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

meproposisikan, mencari hubungan ruang/waktu, menemukan pola, menarik

kesimpulan, dan mengeneralisasikan.

4. Memprediksi

Memprediksi ialah menduga sesuatu yang akan terjadi berdasarkan fakta

yang ada. Prediksi biasanya dibuat dengan cara mengenal kesamaan dari hasil

berdasarkan pada pengetahuan yang sudah ada, mengenal bagaimana

kebiasaan terjadinya sesuatu peristiwa, atau melihat kecenderungan. Prediksi

berkaitan erat dengan observasi, klasifikasi, dan penarikan kesimpulan. Prediksi

didasarkan pada observasi yang saksama dan penarikan kesimpulan yang sahi

mengenai hubungan antara peristiwa-peristiwa yang diobservasi. Penarikan

kesimpulan adalah penjelasan atau interpretasi observasi.

Kebalikan dari memprediksi adalah menginfer, yaitu menduga dengan

pasti sesuatu yang tersembunyi di balik fakta yang teroservasi. Menginfer dapat

dilakukan dengan cara mengamati fakta yang ada untuk menentukan kondisi

komponen dan atributnya (cirinya) pada fakta tersebut. Menduga akibat atau

penyebab dengan cara membandingkan fakta yang dihadapi dengan fakta yang

sudah dikenal. Jika faktanya sama, maka akibat atau penyebabnya juga akan

sama.

Terdapat sejumlah kemampuan yang tercakup dan mendukung

keterampilan memprediksi, yaitu: mengantisipasi berdasarkan kecenderungan,

mengantisipasi berdasarkan pola, dan mengantisipasi berdasarkan hubungan

antara data atau informasi.

5. Mengaplikasi

Mengaplikasi atau menerapkan adalah menggunakan pengetahuan,

keterampilan, dan sikap yang dimiliki ke dalam situasi atau pengalaman baru.

Menerapkan konsep yang dimiliki oleh seseorang tidak hanya berlangsung pada

saat ia melakukan percobaan, bahkan dalam memecahkan masalah yang

dihadpi dalam kehidupan sehari.

Terdapat sejumlah kemampuan yang tercakup dan mendukung

keterampilan mengaplikasi, yaitu: menggunakan (informasi, kesimpulan, konsep,

Page 10: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

hukum, teori, sikap, keterampilan) pada sistuasi baru, menghitung, menentukan

variabel, mengendalikan variabel, mengubungkan konsep, merumuskan

pertanyaan penelitian, merumuskan hipotesis, dan membuat model.

6. Merencanakan Penelitian

Suatu penelitian ilmiah biasanya bertujuan unbtuk menguji kebenaran

suatu teori atau sebagai kegiatan untuk menemukan sesuatu yang baru.

Merencanakan penelitian adalah keterampilan yang amat penting, karena

rencana itu sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan penelitian tersebut.

Keterampilan merencakan penelitian secara prima diperoleh melalui latihan-

latihan.

Terdapat sejumlah kemampuan yang tercakup dan mendukung

keterampilan merencanakan penelitian, yaitu: menentukan masalah atau obyek

yang akan diteliti, menentukan tujuan penelitian, menentukan ruang lingkup

penelitian, menentukan sumber data/informasi, menentukan cara analisis data,

menentukan prosedur pengumpulan data, menetukan alat (bahan dan sumber

kepustakaan), dan menentukan cara melakukan penelitian.

7. Mengkomunikasikan

Mengkomunikasikan adalah menyampaikan perolehan kepada orang lain

dalam bentuk lisan, tulisan, gambar, gerak, tindakan atau penampilan. Terdapat

sejumlah kemampuan yang tercakup dan mendukung keterampilan

mengkomunikasikan, yaitu: berdiskusi, mendeklamasikan, mendramakan,

bertanya, merenungkan, mengarang, memperagakan, mengungkapkan, dan

melaporkan

E. DISCOVERY DAN KREATIVITAS

Manusia memiliki tiga potensi dasar, yaitu: pikir, nafsu, dan rasa yang

dapat dikembangkan melalui proses pendidikan. Dalam pengembangan

pengembangan potensi berpikir, Paul Torrance mengkhususkan pada

pengembangan potensi berpikir kreatif (Juariah Adang, 1993).

Page 11: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

Sejak tahun 1961 orang telah menaruh perhatian pada berpikir kreatif,

yaitu cara berpikir yang paling penting dalam membuat keputusan dan tindakan

yang lebih jauh daripada berpikir dengan rasio, seperti: mengingat,

membandingkan, dan menganalisis. Di Amerika Serikat, berpikir kreatif

(kreativitas) merupakan tujuan pendidikan, selain dari 10 tujuan pendidikan yang

telah dusulkan oleh Educational Policies Commission. Kemampuan berpikir yang

diusulkan oleh komisi tersebut adalah: mengingat, mengimajinasi,

menggolongkan, mengeneralisasi, membandingkan, mengevaluasi,

menganalisis, mensintesis, mendeduksi, dan menginduksi (Lawson, 1979).

Kreativitas yang dimiliki oleh manusia lahir bersamaan dengan lahirnya

manusia itu sendiri. Sejak lahir, manusia memperlihatkan kecenderungan untuk

mengaktualisasi dirinya yang mencakup kreativitas. Conny Semiawan dkk.

(1991) mengemukakan bahwa kreativitas adalah suatu kondisi, sikap, atau

keadaan yang memiliki sifat sangat khusus dan hampir tidak pernah dirumuskan

secara tuntas.

Beberapa tahun terakhir ini sejumlah ahli telah melakukan berbagai

penelitian dalam usaha perumusan mengenai kreativitas. Akan tetapi, setiap kali

pengertian itu dirumuskan, tak pernah dipahami sepenuhnya. Juga telah

dipahami bahwa setiap anak memiliki kadar kreativitas tertentu, tetapi kadar itu

berkurang atau bahkan menghilang pada waktu ia menjadi dewasa. Oleh karena

itu, sedang dicari keseluruhan pengertian kreativitas yang sifatnya terintegrasi

dan kompleks. Ada orang yang beranggapan bahwa kreativitas sama dengan

keterbakatan, ada yang mengaitkannya dengan penalaran dan kemampuan

afektif, tetapi semuanya itu merupakan pengertian yang terbatas.

Konsep terbaru dari kreativitas didasarkan pada fungsi dasar: berpikir,

merasa, ciptaan temuan yang orsinil, dan intuisi. Berikut ini dikemukakan bagan

mengenai model integratif yang mencakup empat fungsi dasar tersebut.

Page 12: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

Kondisi kesadaran yang diperoleh dari kesadaran = intuisi

Kondisi berpikir, Kondisi perasaan, rasional, terukurkan = dampak emosional berpikir KREATIVITAS yang menuntut kesadaran diri, aktualisasi diri = perasaan

Kondisi cipta yang orsinil, produk baru, diperoleh dari orang lain. Tuntutan = keterampilan Tinggi = penginderaan

Ketika menjelaskan proses kreativitas dalam perkembangan ilmu

pengetahuan, Gowan (1981) menyorotnya dari otak secara totalitas. Semua

sistem otak manusia terlibat pada tingkat tinggi, pada saat terjadi kreativitas.

Oleh karena itu, kreativitas dibedakan atas dua jenis yaitu kreativitas personal

dan kreativitas kultural. Pada diri setiap manusia dapat ditumbuhkan kreativitas

personal karena setiap manusia memiliki dasar kreativitas tertentu, tetapi

kreativitas yang akan memberikan urunan terhadap penemuan-penemuan besar

yang membangkitkan kebudayaan atau peningkatan kehidupan manusia secara

kualitatif disebut kreativitas kultural yang merupakan pernyataan tertinggi

kreativitas manusia.

Meskipun setiap fungsi dasar kreativitas memiliki ciri-ciri serta kelebihan

dan kekurangan masing-masing, kreativitas akan terwujud jika fungsi yang satu

berinteraksi dengan fungsi yang lain. Oleh karena itu, pertumbuhan dan

Page 13: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

berfungsinya semua fungsi tersebut dalam suatu interaksi yang holistik

(menyeluruh) merupakan tujuan yang harus dicapai dalam pelayanan

pendidikan.

Empat fungsi kreatif dapat disimak dari pendapat para ahli, sebagaimana

yang dikemukakan oleh Conny Semiawan, dkk (1991). Meskipun mereka

melihatnya dari satu fungsi, pengamatannya didasarkan pada penjabaran fungsi

lain dalam mengembangkan pendapatnya.

Kreativitas ditinjau dari fungsi rasa, dapat dilihat dari pendapat para ahli

seperti berikut ini.

1. Creativeness has its roots in the initiative which comes into being only

when there is deep discontent … One must be wholly discontented not

complainingly, but with joy, with gaiety, with love (Krisnamurti, 1964).

2. Self-actualizing creativeness … sprang directly from the personality, which

showed itself widely in ordinary affairs of life and which showed itselt not

only in great and obvious products but olso in many other ways…, a

tendency to do anything creatively …expressive of being quality…ruther

than its problems-solving or product-making quality … a defining

characteristic of essential humanness (Maslow, 1959).

3. Creativity is the encounter of an intesively conscious human being with his

word (May 1959).

4. To be creative means to expreience life in one’s own may, to percieve

from one’s own person, to draw upon one’s own rsouces, capacities,

roots, … Only from the search into oneself can the creative emerge

(Moutakas, 1967).

5. Transactional motivation the person shapes the environment rather than

being shaped by the environment and environmental stimulation (behavior

is initiated toward unpredictable but creative outcomes) combine to from a

system he call creative trans actualization that is in continuity with self

actualization (Taylor, 1976).

Kreativitas ditinjau dari fungsi rasio, dapat dilihat dari pendapat para ahli

seperti berikut ini.

Page 14: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

1. Attitude traits tha belong most clearly logically in the area of creativity

… fluency of thinking and flexibility of thinkin, as well as originality,

sensivity to problems, redefinitions and elaborations … classifiable in a

group of divergen thinking abilities (Guilford, 1959).

2. The process of sensing gaps or disturbing missing elements; forming

new hypotheses and communicating the results; possibly modifying,

and resisting the hypotheses (Torrance, 1962).

3. Interested most in scientific creatific creative ability, he discusses five

levels of creativity; expressive, productive, inventive, innovative, and

emergenative (Taylor, 1959). He views the steps in the process as

mental labor, incubation, illumination, and delibrate effort.

Kreativitas ditinjau dari fungsi keterampilan, dapat dilihat dari pendapat

para ahli seperti berikut ini.

1. Sees the product the artist has created as a model of the artist’s

attitude toward a phenomenon. He creates the model with the aim of

getting to know, checking and specifying his attitudes (Simonov, 1970).

2. The birth of an idea and its embodiment in from recognizable by

someone or society as valuable (Rhodes, 1963).

3. Also sees this area when he says, Creativity is bringing something new

into birth … as the representation of the highest degree of emotional

helath (May, 1959).

4. In recognizing this type this type of creativity states “emergence

inaction of anovel rational product, growing out of the circumtances of

his life on the other” (Rogers, 1954).

Para ahli psikologi yang membahas kereativitas, dan mengemukakan

konsep sebagai berikut.

1. Berpikir kreatif memiliki sifat adaptif

2. Berpikir kreatif menggabungkan kemampuan irrasional dari pikiran tak

sadar dengan mekanisme kognitif dan logis, serta kemampuan rasional

dari pikiran sadar.

Page 15: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

3. Berpikir kreatif menggabungkan fungsi intelektual dan fungsi emosi,

sehingga berpikir kreatif menggambarkan proses aktualisasi diri.

4. Berpikir kreatif mengandung konsep antitetik dari berpikir abstrak dan

berpikir homospasi, sehingga merupakan unit yang bertentangan tapi

terpadu seperti kebebasan yang terpimpin dan kejutan yang wajar.

5. Berpikir kreatif tidak sama dengan berpikir logi, bisa saja langkah-langkah

pada proses berpikir kreatif tidak logis atau keliru.

6. Berpikir kreatif merupakan berpikir lateral, yaitu beberapa informasi bisa

diproses secara bersama-sama (serempak). Inilah yang membedakannya

dengan dengan berpikir logis, di mana informasi diproses secara

berurutan (sekuensial) dan satu persatu.

7. Berpikir kreatif melalui belahan otak sebelah kanan yang memprose

informasi secara non linier, secara intuitif, dan secara serempak yang

melibatkan informasi melalui gambar, pendengaran, gerakan-gerakan,

dan emosi yang diolah secara holistik (Gestalt).

Sejalan dengan penjelasan di atas, Utami Munandar (1987)

mengemukakan ciri-ciri kreativitas ditinjau dari segi aptitude dan segi afektif. Ciri-

ciri tercakup di dalam aptitude adalah keterampilan berpikir lancar, keterampilan

berpikir luwes, keterampilan berpikir orisinal, keterampilan mengelaborasi, dan

keterampilan mengevaluasi. Definisi dan perilaku individu yang tercakup dalam

ciri-ciri yang bersifat aptitude sebagai berikut.

1. Keterampilan Berpikir Lancar

Definisi: (1) mencetuskan banyak gagasan, jawaban, penyelesaian

masalah, atau pertanyaan; (2) memberikan banyak cara atau saran untuk

melakukan berbagai hal; dan (3) selalu memikirkan lebih dari satu jawaban.

Perilaku individu: (1) mengajukan banyak pertanyaan; (2) menjawab

dengan sejumlah jawaban jika ada pertanyaan; (3) mempunyai banyak gagasan

mengenai suatu masalah; (4) lancar mengungkapkan gagasannya; (5) bekerja

lebih cepat dan melakukan lebih banyak dari individu yang lain; dan (6) dapat

dengan cepat melihat kesalahan atau kekurangan pada suatu obyek atau situasi.

Page 16: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

2. Keterampilan Berpikir Luwes (Fleksibel)

Definisi: (1) menghasilkan gagasan, jawaban, atau pertanyaan yang

bervariasi; (2) dapat melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda-

beda; (3) mencari banyak alternatif atau arah yang berbeda-beda; dan (4)

mampu mengubah cara pendekatan atau cara pemikiran.

Perilaku individu: memberikan aneka ragam penggunaan yang tidak lazim

terhadap suatu obyek; (2) memberikan berbagai macam penafsiran (interpretasi)

terhadap suatu gambar, cerita, atau masalah; (3) menerapkan suatu konsep atau

azas dengan cara yang berbeda-beda; (4) memberi pertimbangan terhadap

situasi yang berbeda dari yang diberikan oleh orang lain; (5) dalam

membahas/mendiskusikan suatu situasi selalu mempunyai posisi yang berbeda

atau bertentangan dari mayoritas kelompok; (6) jika diberikan suatu masalah

biasanya memikirkan berbagai macam cara untuk memecahkannya; (7)

mengelompokkan hal-hal menurut pembagian (kategori) yang berbeda-beda;

dan (7) mampu mengubah arah berpikir secara spontan.

3. Keterampilan Berpikir Original

Definisi: (1) mampu melahirkan ungkapan yang baru dan unik; (2)

memikirkan cara yang tidak lazim untuk mengungkapkan diri; dan (3) mampu

membuat kombinasi-kombinasi yang tidak lazim dari bagian-bagian atau unsur-

unsur.

Perilaku individu: (1) memikirkan masalah-masalah atau hal-hal yang tidak

pernah terpikirkan oleh orang lain; (2) mempertanyakan cara-cara yang lama dan

berusaha memikirkan cara-cara yang baru; (3) memilih a-simetris dalam

menggambar atau membuat disain; (4) memiliki cara berpikir yang lain dari yang

lain; (5) mencari pendekatan yang baru dari yang stereotip; (6) setelah membaca

atau mendengar gagasan-gagasan, bekerja untuk menemukan penyelesaian

yang baru; dan (7) lebih senang mensintesis daripada menganalisis situasi.

Page 17: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

4. Keterampilan Mengelaborasi (Memerinci)

Definisi: (1) mampu memperkaya dan mengembangkan suatu gagasan

atau produk; dan (2) menambahkan atau memerinci detil-detil dari suatu obyek,

gagasan, atau situasi sehingga menjadi lebih menarik.

Perilaku individu: (1) mencari arti yang lebih mendalam terhadap jawaban

atau pemecahan masalah dengan melakukan langkah-langkah yang terperinci;

(2) mengembangkan atau memperkaya gagasan orang lain; (3) mencoba atau

menguji detil-detil untuk melihat arah yang akan ditempuh; (4) mempunyai rasa

keindahan yang kuat sehingga tidak puas dengan penampilan yang kosong atau

sederhana; dan (5) menambah garis-garis, warna-warna, dan detil-detil

terhadap gambarnya sendiri atau gambar orang lain.

4. Keterampilan Menilai (Mengevaluasi)

Definisi: (1) menentukan patokan penilaian sendiri dan menentukan

apakah suatu pertanyaan benar, suatu rencana sehat, atau suatu tindakan

bijaksana; (2) mampu mengambil keputusan terhadap sitruasi yang terbuka; dan

(3) tidak hanya mencetuskan gagasan, tetapi juga melaksanakannya.

Perilaku individu: (1) memberikan pertimbangan atas dasar sudut

pandangnya sendiri; (2) menentukan pendapat sendiri mengenai suatu hal; (3)

menganalisis masalah atau penyelesaian masalah secara kritis dengan selalu

menanyakan “mengapa ?”; (4) mempunyai alasan (rasional) yang dapat

dipertanggungjawabkan untuk mencapai suatu keputusan; (5) merancang suatu

rencana kerja dari gagasan-gagasan yang tercetus; (6) pada waktu tertentu tidak

menghasilkan gagasan-gagasan tetapi menjadi peneliti atau penilai yang kritis;

dan (7) menentukan pendapat dan bertahan terhadapnya.

Ciri-ciri yang tercakup di dalam afektif adalah: rasa ingin tahu, bersifat

imajinatif, merasa tertantang oleh kemajemukan, sifat berani mengambil resiko,

dan sifat menghargai. Definisi dan perilaku individu dalam ciri-ciri yang bersifat

afektif adalah sebagai berikut.

Page 18: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

1. Rasa Ingin Tahu

Definisi: (1) selalu terdorong untuk mengetahui lebih banyak; (2)

mengajukan banyak pertanyaan; (3) selalu memperhatikan orang, obyek, dan

situasi; dan (4) peka dalam pengamatan dan ingin mengetahui/meneliti.

Perilaku individu: (1) mempertanyakan segala sesuatu; (2) sering

menjajaki buku-buku, peta-peta, gambar-gambar, dan sebagainya untuk mencari

gagasan-gagasan baru; (3) tidak membutuhkan dorongan untuk menjajaki atau

mencoba sesuatu yang belum dikenal; (4) menggunakan semua panca

inderanya untuk mengenal; (5) tidak takut menjajaki bidang-bidang baru; (6) ingin

mengamati perubahan-perubahan dari hal-hal atau kejadian-kejadian; dan (7)

ingin bereksperimen dengan benda-benda mekanik.

2. Bersifat Imajinatif

Definisi: (1) mampu memperagakan atau membayangkan hal-hal yang

tidak atau belum pernah terjadi; dan (2) menggunakan khayalan, tetapi

mengetahui perbedaan antara khayalan dan kenyataan.

Perilaku individu: (1) memikirkan/membayangkan jika melakukan sesuatu

yang belum pernah terjadi; (2) memikirkan bagaimana jika melakukan sesuatu

yang belum pernah dilakukan orang lain; (3) meramalkan apa akan dikatakan

atau dilakukan orang lain; (4) mempunyai firasat tentang sesuatu yang belum

terjadi; (5) melihat hal-hal dalam suatu gambar yang tidak dilihat oleh orang lain;

dan (6) membuat cerita tentang tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi

atau tentang kejadian-kejadian yang belum pernah dialami.

3. Merasa Tertantang oleh Kemajemukan

Definisi: (1) terdorong untuk mengatasi masalah yang sulit; (2) merasa

tertantang oleh situasi-situasi yang rumit; dan (3) lebih tertarik pada tugas-tugas

yang sulit.

Perilaku individu: (1) menggunakan gagasan untuk memecahkan

masalah-masalah yang rumit; (2) melibatkan diri dalam tugas-tugas majemuk; (3)

tertantang oleh situasi yang tidak dapat diramalkan keadaannya; (4) mencari

penyelesaian tanpa bantuan orang lain; (5) tidak cenderung mencari jalan

Page 19: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

tergampang; (6) berusaha terus menerus agar berhasil; (7) mencari jawaban-

jawaban yang lebih rumit/sulit daripada menerima yang mudah; dan (8) senang

menjajaki jalan yang lebih rumit.

4. Sifat Berani Mengambil Resiko

Definisi: (1) berani memberikan jawaban meskipun belum tentu benar; (2)

tidak takut gagal atau mendapat kritikan; (3) tidak menjadi ragu-ragu karena

ketidakjelasan, hal-hal yang tidak konvensional, atau yang kurang berstruktur.

Perilaku individu: (1) berani mempertahankan gagasan atau pendapatnya

walaupun mendapat tantangan dan kritikan; (2) bersedia mengakui kesalahan-

kesalahannya; (3) berani menerima tugas yang sulit meskipun ada kemungkinan

gagal; (4) berani mengajukan pertanyaan atau mengemukakan masalah yang

tidak dikemukakan oleh orang lain; (5) tidak mudah dipengaruhi oleh orang lain;

(6) melakukan hal-hal yang diyakini, meskipun tidak disetujui oleh sebagian

orang; (7) berani mencoba hal-hal yang baru; dan (8) berani mengakui

kegagalan dan berusaha lagi.

5. Sifat Menghargai

Definisi: (1) dapat menghargai bimbingan dan pengarahan dalam hidup;

dan (2) menghargai kemampuan dan bakat-bakat sendiri yang sedang

berkembang.

Perilaku individu: (1) menhargai hak-hak sendiri dan hak-hak orang lain;

(2) menghargai diri sendiri dan prestasi sendiri; (3) menghargai makna orang

lain; (4) menhargai keluarga, sekolah, dan teman-teman; (5) menghargai

kebebasan tetapi tahu bahwa kebebasan menuntut tanggung jawab; (6)

mengetahui apa yang betul-betul penting dalam hidup; (7) menghargai

kesempatan-kesempatan yang diberikan; dan (8) senang dengan penghargaan

terhadap dirinya.

F. DISCOVERY DAN METODE ILMIAH

Metode yang dipakai dalam menumbuh kembangkan ilmu pengetahuan

dikenal dengan “metode ilmiah”. Metode ilmiah adalah suatu pola pemecahan

Page 20: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

masalah yang dibangun atas sintesis atau perpaduan cara berpikir rasional

(deduksi) dan cara berpikir empiris (induktif). Sebelum sampai kepada langkah-

langkah operasional dalam metode ilmiah, terlebih dahulu ditinjau mengenai

“berpikir” termasuk berpikir deduksi dan berpikir induksi.

Berpikir adalah salah satu kemampuan yang hanya dimiliki oleh manusia,

tetapi prosesnya tidak dapat diamati secara langsung. Namun demikian, para

ahli tetap mengemukakan pendapatnya mengenai berpikir. Kesimpulan yang

dapat ditarik dari pendapat para ahli tersebut yakni: berpikir adalah suatu

aktivitas (proses) mental untuk menghubung-hubungkan atau menguraikan

pengetahuan yang sudah dimiliki pada saat menghadapi suatu masalah

sehingga diperoleh suatu kesimpulan atau pengetahuan baru sebagai jawaban

(pemecahan) masalah yang dihadapi itu. Sehubungan dengan itu, Kartini

Kartono (1984) mengemukakan bahwa “proses berpikir ditentukan oleh masalah

yang dihadapi”. Dengan demikian, proses berpikir itu terjadi jika manusia

menghadapi suatu masalah, dan ia bermaksud untuk memecahkannya.

Seseorang dikatakan menghadapi masalah jika ia berada pada situasi

yang mengharuskanya memberi respons, tetapi tidak memiliki pengetahuan yang

dapat dipergunakan seketika itu untuk menemukan pemecahannya (Slameto,

1988). Hal ini sejalan dengan pendapat De Bono (1972) yang menyatakan

bahwa a problem is simply the difference between what one has and what one

wants.

Jika terjadi pertentangan atau perbedaan antara apa yang diinginkan oleh

seseorang (tujuan), maka ia dikatakan menghadapi masalah. Pertentangan atau

perbedaan itu merupakan kesukaran yang memberikan dorongan atau motif

untuk mengatasinya (memecahkannya) sehingga memperoleh pemuasan atau

tujuan (S. Nasution, 1986). Secara sederhana, proses pemecahan masalah

diperlihatkan pada bagan di bawah ini.

Kebutuhan Masalah Pemuasan

Page 21: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

Memecahkan masalah merupakan pemanfaatan dari proses berpikir.

Setiap orang dapat berpikir dan memecahkan masalah, tetapi antara orang yang

satu dengan yang lainnya terkadang ada perbedaan. Kemampuan seseorang

dalam memecahkan suatu masalah ditentukan oleh pemahamannya terhadap

masalah itu. Sedangkan pemahaman terhadap suatu masalah dapat diperoleh

karena penguasaan informasi (pengetahuan) yang tepat sehubungan dengan

masalah itu (L.E.I. Harahap, 1987). Dengan perkataan lain, informasi yang telah

tersimpan di dalam sistem pikirannya (otaknya) dapat membantu proses

berpikirnya apabila ia menerima stimulus atau menghadapi suatu masalah.

Keunikan manusia sebagai mahluk yang mampu berpikir sebenarnya

terletak pada kemampuannya berbahasa. Jujun S. Suriasumantri (1985)

mengemukakan bahwa melalui kemampuan berbahasa manusia dapat berpikir

abstrak, sehingga obyek-obyek faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol

bahasa yang bersifat abstrak dan dapat memikirkan suatu obyek, meskipun

obyek tersebut secara faktual tidak berada pada tempat di mana kegiatan

berpikir itu dilakukan. proses berpikir Proses berpikir tidak dapat diamati secara

langsung, tetapi tidak dapat dipisahkan Berpikir deduktif adalah proses berpikir

atau proses penarikan kesimpulan dengan berdasar kepada kesimpulan yang

sudah ada (Jamaluddin Kafie, 1989). Berpikir deduksi dapat berlangsung melalui

berbagai cara, yakni sebagai berikut.

a.Syllogisme

Sillogisme adalah suatu bentuk penarikan kesimpulan secara deduktif

yang tersusun dari tiga keterangan pokok sebutan. 2 keterangan yang pertama

Keterangan memberikan sifat rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat

konsisten dengan pengetahuan yang telah dikumpulkan sebelumnya.

Secara sistematik dan kumulatif pengetahuan ilmiah disusun setahap

demi setahap dengan menyusun argumentasi mengenai sesuatu yang baru

berdasarkan pengetahuan yang telah ada. Dengan demikian, ilmu merupakan

tubuh pengetahuan yang tersusun dan terorganisasikan dengan baik. Hal ini

disebabkan oleh penemuan yang tidak teratur dapat diibaratkan sebagai rumah

Page 22: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

atau batu bata yang bercerai berai. Secara konsisten dan koheren, ilmu

mencoba memberikan penjelasan yang rasional kepada obyek yang berada

dalam fokus permasalahan, serta mencakup kebenaran koherensi, kebenaran

korespondensi, dan kebenaran pragmatis. Jujun S. Suriasumantri (1985)

menggambarkan alur pemecahan masalah dengan menggunakan metode

ilmiah, seperti berikut ini.

i

Masalah

Perumusan Masalah

Khasanah Pengetahuan

Ilmiah

Penyusunan Kerangka Berpikir

k o h e r e n s i

deduksiPerumusan Hipotesis

p r a g m a t i s

Pengujian hipotesis

I n d u k s i

H a s i l

k o h e r e n s i

Hipotesis Ditolak

Hipotesis Diterima

Page 23: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

Perumusan masalah merupakan pernyataan atau pertanyaan mengenai

obyek empiris yang jelas batas-batasnya. Selain itu, melalui prumusan masalah,

obyek empiris tersebut serta dapat diidentifikai faktor-faktor yang terkait di

dalamnya.

Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis, merupakan

argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat di antara

berbagai faktor yang saling terkait dan membentuk konstelasi permasalahan.

Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah

yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris

yang relevan dengan permasalahan. Kerangka berpikir memiliki kebenaran

koherensi terhadap khasanah pengetahuan ilmiah yang telah ada.

Perumusan hipotesis merupakan jawaban sementara atau dugaan

terhadap rumusan masalah yang diajukan. Materi tentang hipotesis yang

dirumuskan merupakan kesimpulan dari dari kerangka berpikir yang

dikembangkan.

Pengujian hipotesis merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan

dengan rumusan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat

fakta-fakta atau data-data yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak. Dalam

pengujian hipotesis, kebenaran korespodensi dan cara berpikir induktif

memegang peranan penting. Selain itu, diperlukan teknik analisis data yang

akurat, baik analisis data secara kualitatif maupun secara kuantitatif dengan

menggunakan formulasi statistik dengan taraf signifikan tertentu.

Penarikan kesimpulan merupakan penilaian apakah suatu hipotesis

diterima atau ditolak. Jika dalam proses pengujian hipotesis terdapat fakta yang

cukup mendukung, maka hipotesis tersebut diterima. Sebaliknya, jika dalam

proses pengujian hipotesis tidak terdapat fakta yang cukup mendukung, maka

hipotesis tersebut ditolak. Hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi

bagian dari pengetahuan ilmiah, karena telah memenuhi persyaratan keilmuan,

yaitu mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan

ilmiah sebelumnya, serta telah teruji kebenarannya. Pengertian kebenaran di sini

Page 24: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

harus ditafsirkan secara pragmatis. Artinya, sampai saat ini belum terdapat fakta

yang menyatakan sebaliknya.

Keseluruhan langkah dalam metode ilmiah harus ditempuh agar suatu

penelaahan dapat disebut ilmiah, Meskipun langkah-langkah tersebut secara

konsisten tersusun dalam urutan yang teratur, di mana langkah yang satu

merupakan landasan bagi langkah berikutnya, tetapi dalam praktiknya sering

terjadi lompatan-lompatan. Hubungan antara langkah yang satu dengan langkah

yang lainnya tidak terkait secara statis, melainkan bersifat dinamis dengan

proses pengkajian ilmiah yang tidak semata mengandalkan penalaran,

melainkan juga imajinasi dan kreativitas. Sering terjadi, langkah yang satu bukan

saja merupakan landasan bagi langkah berikutnya, dan sekaligus menjadi

landasan koreksi bagi langkah yang lain. Melalui jalan ini diharapkan

diprosesnya pengetahuan yang bersifat konsisten dengan pengetahuan-

pengetahuan sebelumnya, serta teruji kebenarannya secara empiris.

Bertitik tolak pada pendapat Einstein yang menyatakan bahwa sains

berawal dari fakta dan berakhir pada fakta, maka ilmuwan berperan sebagai

pengamat, kemudian berusaha untuk menjelaskan dalam bentuk generalisasi

terhadap hasil pengamatan dan memperkirakan (memprediksi) apa yang akan

datang. Berdasarkan suatu teori, ilmuwan membuat prediksi dan melakukan

pengujian lagi dengan fakta. Dengan demikian proses sains merupakan siklus

dari fakta ke fakta. Siklus tersebut digambarkan oleh Anna Poedjiadi (1987)

seperti berikut ini.

Teori Prediksid e d u k s i

i n d u k s i

Matematika

Dunia fakta

Fakta Awal

Fakta Akhir

ve r i f i ka s i

Page 25: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

Garis horisontal pada bagan di atas memisahkan antara dunia

eksperimentasi atau dunia fakta dengan teori atau dunia matematika. Proses dari

fakta ke teori menggunakan cara berpikir induksi, yaitu pembentukan teori

dengan berdasar kepada pengetahuan faktual. Hal ini berarti bahwa dapat

dibentuk rumusan matematis yang menghubungkan antara teori dengan fakta.

Dari teori yang ada, orang dapat membuat prediksi atau ramalan tentang gejala

yang belum pernah diamati. Proses ini melibatkan cara berpikir deduksi. Pada

akhirnya, semua kembali ke fakta untuk mengadakan eksperimentasi atau

observasi, untuk melakukan verifikasi teori dengan fakta.

Jika pada siklus di atas ternyata hasil observasi tidak sesuai dengan teori,

maka teori tersebut perlu dikaji kembali untuk direvisi atau ditolak sama sama

sekali. Sejalan dengan itu, jika pada metode ilmiah ternyata hipotesis ditolak

bukan berati penelitian yang kita lakukan batal atau salah. Hanya saja, perlu

dilakukan penyusunan kerangka berpikir yang baru guna menyusun kembali

hipotesis. Hal ini menunjukkan bahwa betapa ketatnya proses penemuan teori

baru di dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Apa yang saat ini dianggap

benar, mungkin saja kelak tidak benar, jika ditemukan fakta yang tidak sesuai

dengan teori yang ada. Inilah sifat dinamis yang dimiliki oleh sains, sehingga

kebenaran di dalam sains bersifat tentatif serta empiris.

Pada proses siklus dari fakta ke fakta melalui induksi-deduksi-verifikasi di

dalam sains, diperlukan adanya prinsip-prinsip dasar. Titus (1959) telah

mengidentifikasi prinsip-prinsip, yakni sebagai berikut.

1. Prinsip kausalitas, yang menyatakan bahwa setiap kejadian memiliki

sebab, dan dalam situasi yang identik sebab sama akan menghasilkan

akibat yang sama pula.

2. Prinsip keragaman prediktif, yang menyatakan bahwa suatu kelompok

kejadian akan menunjukkan derajad keterkaitan yang sama pada masa

lampau, sekarang, maupun masa yang akan datang.

3. Prinsip obyektivitas, yang menyatakan bahwa para peneliti tidak boleh

memihak kepada data sebelumnya. Fakta-fakta yang dikemukakan harus

dapat diamati atau dialami tepat sama oleh semua manusia normal.

Page 26: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

4. Prinsip empirisme, yang menyatakan bahwa kesan sensori yang diterima

adalah benar dan pengujian kebenaran didasarkan atas fakta-fakta yang

dialami.

5. Prinsip persimoni, yang menyatakan bahwa di dalam hal sesuatu yang

sama, akan dipilih penjelasan yang paling sederhana atau singkat sebagai

penjelasan yang sahih.

6. Prinsip isolasi atau segregasi, yang menyatakan bahwa gejala yang diteliti

harus dapat diisolasi sehingga dapat diteliti secara terpisah sebagaimana

adanya.

7. Prinsip kontrol, yang menyatakan bahwa pengontrolan atau pengendalian

terhadap variabel-variabel yang tidak diteliti adalah hal yang sangat

penting, sehingga penelitian serupa dapat dilakukan pada waktu yang

lain.

8. Prinsip pengukuran eksak, yang menyatakan bahwa hasil-hasil penelitian

harus dapat dinyatakan secara kuantitatif atau secara matematis.

Prinsip-prinsip tersebut di atas merupakan asumsi yang dipakai atau yang

menjadi dasar dalam berpikir dan seharusnya dimiliki oleh para ilmuwan, atau

siapa saja yang belajar. Atas dasar asumsi tersbut, akan diketahui berbagai

keunggulan dan keterbatasan sains sebagai pengetahuan empiris.

Kegiatan sains memiliki sifat terbuka. Artinya, segenap langkah-langkah

yang dilakukan untuk memperoleh produk sains diungkapkan secara terperinci

sehingga semua pihak yang hendak mengetahui secara keseluruhan proses

untuk mendapatkan produk sains dapat diikutinya. Selain itu, produk sains yang

ditemukan harus dipublikasikan melalui publikasi ilmiah, seminar ilmiah, diskusi

ilmiah, dan lain sebagainya. Dengan demikian, produk sains tersebut dapat

diterima oleh masyarakat ilmiah setelah melalui proses penilaian dan pengujian

secara ketat.

Berdasar pada sifat-sifat pengetahuan ilmiah dan proses penemuan ilmiah

dalam sains, sehingga orang yang senantiasa membiasakan diri berpikir secara

ilmiah akan tumbuh dan berkembang sikap ilmiah pada dirinya. Sikap ilmiah

yang dimasudkan antara lain sebagai berikut.

Page 27: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

1. Mencintai kebenaran yang obyektif serta bersikap adil, jujur, dan teliti.

2. Menyadari bahwa kebenaran sains tidak absolut, sehingga mendorong

orang untuk senantiasa mencari kebenaran secara ters menerus.

3. Sains membimbing manusia untuk percaya atau mengambil kesimpulan

berdasarkan fakta, bukan karena prasangka.

4. Sains membimbing manusia untuk dapat menerima kritikan, pandapat

orang lain, dan bersikap toleran.

G. DISCOVERY DAN PEMBELAJARAN

Di dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003

tentang Sistem pendidikan Nasional pasal 1 ayat (20) dinyatakan bahwa

pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber

belajar pada suatu lingkungan belajar. Berkenaan dengan proses pembelajaran,

di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005

tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 19 ayat (1) dinyatakan bahwa

proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif,

inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk

berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup prakarsa, kreativitas,

dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta

pasikologis peserta didik.

Pasal 19 ayat (1) tersebut di atas mengindikasikan bahwa proses

pembelajaran hendaknya lebih banyak berorientasi kepada penemuan. Jerome

S. Bruner (1978) telah mengembangkan belajar penemuan (discovery learning)

yang berdasarkan kepada pandangan kognitif tentang pembelajaran dan prinsip-

prinsip konstruktivis. Pada discovery learning individu didorong untuk belajar

secara mandiri. Individu belajar melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep

dan prinsip-prinsip dan pendidik mendorong individu untuk mendapatkan

pengalaman dengan melakukan kegiatan yang memungkinkan mereka

menemukan konsep dan prinsip-prinsip. Menurut Carin dan Sund (1985),

discovery merupakan suatu proses di mana anak atau individu mengasimilasi

proses konsep dan prinsip-prinsip. Discovery terjadi apabila individu terlibat

Page 28: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

secara aktif dalam menggunakan mentalnya agar memperoleh pengalaman,

sehingga memungkinkan untuk menemukan konsep atau prinsip.

Proses-proses mental tersebut di atas melibatkan keterampilan proses

yang lebih tinggi tingkatannya (perumusan masalah, merumuskan hipotesis,

merancang eksperimen, melaksanakan eksprimen, mengumpulkan dan

menganalisis data, serta menarik kesimpulan) melalui metode ilmiah dengan

memanfaatkan kreativitas peserta didik untuk menemukan konsep, prinsip, atau

generalisasi sebagaimana yang digariskan oleh Standar Isi mata pelajaran. Di

samping itu juga diperlukan sikap obyektif, jujur, hasrat ingin tahu dan terbuka

(inilah yang dimaksud dengan sikap ilmiah). Dengan demikian pendidik harus

mampu menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan peserta didik untuk

melakukan kegiatan discovery, seperti halnya ilmuwan terdahulu.

Discovery learning memiliki beberapa keuntungan, yaitu: (1) pengetahuan

ang diperoleh dapat bertahan lebih lama dalam ingatan, atau lebih mudah

diingat, dibandingkan dengan cara-cara lain, (2) dapat meningkatkan penalaran

individu dan kemampuan untuk berpikir, karena mereka harus menganalisis dan

memanipulasi informasi untuk memecahkan permasalahan, (3) dapat

membangkitkan keingintahuan individu, memotivasi individu untuk bekerja terus

sampai mereka menemukan jawabannya.

Dalam proses discovery, berpikir kreatif tidak dapat muncul begitu saja,

tetapi perlu digali dan dilatihkan melalui sistem tertentu (Wellington, 1980). Hal

ini dimaksudkan karena berpikir kreatif mementingkan proses dan produk.

Sejumlah ahli pendidikan berpendapat bahwa berpikir merupakan tujuan

akhir dari proses pembelajaran. Pendidik harus yakin bahwa peserta didik

mampu berpikir, meskipun tidak dapat diprediksi apa yang sedang dipikirkan.

Berpikir kreatif , bernalar, dan berpikir produktif termasuk berpikir tingkat tinggi

yang dapat diterima secara universal dan merupakan hal yang penting dalam

proses pendidikan (pembelajaran). Oleh karena itu, pendidik hendaknya

menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan peserta didik dapat

menumbuh kembangkan kemampuan kreatifnya. Juhariah Adang (1993)

menyarankan bahwa dalam melatih berpikir kreatif, kepada peserta didik perlu

Page 29: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

diberikan berbagai masalah, dan dengan informasi atau fakta yang telah ada

dalam dirinya, mereka mencoba memecahkan masalah itu dengan berbagai

cara.

Untuk dapat menumbuh kembangkan kreativtas peserta didik, terlebih

dahulu pendidiknya harus kreatif. Gibbs mengemukakan bahwa pendidik yang

kreatif adal individu-individu yang percaya bahwa manusia itu adalah individu

yang self motivated dan bertanggung jawab terhadap ide-idenya (Moh. Amien,

1987). Pendidik yang dapat membantu peserta didiknya menjadi kreatif melalui

sikap terbuka, tidak mengecam, menerima, menyukainya, mengurangi rasa

takut, dan membuat mereka menemukan dirinya sendiri, serta percaya pada diri

sendiri dan tidak mudah putus asa. Pendidik yang kreatif harus mampu

memodifikasi dan mengembangkan materi pembelajaran pada buku teks yang

digunakan sehingga mampu memicu peserta didik untuk berpikir kreatif.

Untuk melatih kemampuan berpikir kreatif individu, kita berdasar pada

definisi operasional Torrance yang menyatakan bahwa kreativitas sebagai

proses menjadi tanggapnya seseorang terhadap masalah-masalah, terhadap

kekurangan-kekurangan, terhadap kesenjangan dalam pengetahuan, terhadap

sirnanya unsur-unsur, terhadap keserasian, dan sebagainya; mengidentifikasi

masalah, mencari pemecahan masalah, membuat dugaan atau hipotesis,

menguji dan menguji ulang hipotesis, dan mengkomunikasikan hasilnya.

Bagaimana langkah yang seyogyanya dapat ditempuh oleh pendidik

dalam pembelajaran?. Sebaiknya, langkah pertama adalah mengembangkan

taksonomi pertanyaan peserta didik untuk menentukan jenis pertanyaan yang

dapat menghantarkan mereka kepada kreativitas. Berbagai pertanyaan peserta

didik di dalam kelas akan memberikan gambaran kepada pendidik mengenai hal-

hal yang menarik mereka, sehingga dapat dijadikan suatu tema kegiatan dalam

pembejalaran. Perumusan dan identifikasi masalah merupakan langkah yang

amat penting dalam upaya pengembangan kreativitas peserta didik. Dalam

melakukan kegiatan diskusi misalnya, peserta didik dimotivasi untuk berpikir,

untuk mengajukan hipotesis, untuk merancang eksperimen, dan untuk menguji

hipotesis. Akhirnya, mengevaluasi temuannya.

Page 30: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

Untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif peserta didik dalam

pendidikan, tidak digunakan test seperti biasa, tetapi mengamati perilaku dan

sikap yang ditampilkan oleh mereka pada situasi tertentu. Pertanyaan-

pertanyaan yang mengarah pada provokasi dan saran-saran mereka dalam

pemecahan masalah hendak menjadi perhatian bagi pendidik dalam mengukur

kemampuan berpikir kreatif.

Pendidik akan mengalami kesulitan mengembangakan kemampuan

berpikir kreatif peserta didik dalam pembelajaran, kecuali jika: (1) bisa

melakukan perubahan; (2) merasa diri berkepribadian; (3) merasa diri berprofesi;

(4) menjalin hubungan dengan orang lain atau profesi lain; (5) menguasai

struktur pembelajaran; (6) mempertimbangkan peserta didik sebagai individu;

dan (8) luwes terhadap isi kurikulum.

Pengembangan kreativitas dalam pembelajaran tidak lepas dari fase-fase

pengembangan yang berlaku secara umum, sebagaimana yang dijelaskan oleh

Conny Semiawan, dkk.(1991) yang meliputi seperti berikut ini.

1. Fase Persiapan (preparation)

Pada fase ini ide itu datang dan timbul dari berbagai kemungkinan. Tetapi,

biasanya ide itu berlangsung dengan hadirnya suatu keterampilan, keahlian, atau

ilmu pengetahuan tertentu sebagai latar belakang atau sumber dari mana ide itu

lahir.

2. Fase Inkubasi (incubation)

Pada fase ini diharapkan hadirnya suatu pemahaman serta kematangan

terhadap ide yang tadi timbul (dierami). Berbagai teknik dalam menyegarkan dan

meningkatkan kesadaran itu, seperti meditasi, latihan peningkatan kreativitas,

dapat dilangsungkan untuk memudahkan “perembetan”, perluasan, dan

pendalaman ide.

3. Fase Iluminasi (Illumination)

Fase ini berangkat dari suatu tingkat penemuan saat inspirasi yang tadi

diperoleh, dikelola, digarap, kemudian menuju kepada pengembangan suatu

Page 31: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

hasil. Pada fase ini terjadi komunikasi terhadap hasilnya dengan orang yang

signifikan (yang penting) bagi penemu, sehingga hasil yang telah dicapai dapat

lebih disempurnakan lagi.

4. Fase Verifikasi (Verification)

Fase ini merupakan fase perbaikan dari perwujudan hasil dan tanggung

jawab terhadap hasil. Diseminasi dari perwujudan karya kreatif untuk diteruskan

kepada masyarakat yang lebih luas terjadi setelah perbaikan dan

penyempurnaan terhadap karya itu berlangsung.

Kreativitas dalam proses pembelajaran juga terjadi jika individu

melakukan penemuan ilmiah untuk mereka sendiri, walaupun informasi

semacam itu telah diketahui oleh orang lain. Hal ini cukup beralasan karena

penemuan ilmiah itu tercantum di dalam buku-buku teks, tetapi penerapan

khusus atau inovasinya perlu ditentukan oleh individu.

Untuk melatih kreativitas dalam pembelajaran, individu hendaknya

diberikan kesempatan dalam hal berikut ini.

1. Mengajukan pertanyaan yang menantang individu untuk berpikir selama

pembelajaran berlangsung.

2. Membaca buku-buku yang menantang individu untuk melakukan kegiatan

belajar lebih lanjut.

3. Merasakan kemudahan dalam mengambil isu atau dalam

mempertanyakan ide atau proses yang telah diterima dan meyita pikiran.

4. Memodifikasi atau menolak usulan yang orisinil dari seseorang tanpa

mencemohkannya.

5. Merasa bebas dalam mengajukan tugas pengganti yang memiliki potensi

kreatif.

6. Menerima pengakuan yang sama untuk berpikir kreatif.

Jika proses berpikir kreatif berkembang dalam pendidikan formal,

khususnya dalam pembelajaran diharapkan individu mampu menyelesaikan

permasalahan-permasalahan yang dihadapinya, meskipun masalah itu baru

dengan berbagai alternatif pemecahan. Selain itu, para individu diharapkan

Page 32: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

mampu menentukan hubungan sebab akibat mengenai hal-hal yang diamati,

baik yang sederhana maupun yang lebih kompleks di luar materi yang diajarkan,

yang memungkinkan memperoleh penemuan baru.

Untuk dapat mengembangkan kreativitas melalui proses pembelajaran

Moh. Amien (1987) mengemukakan beberapa prinsip, yakni sebagai berikut.

1. Menghasilkan sesuatu yang baru, berbeda dan bersifat unik

2. Proses berpikir yang bersifat analisis-sintesis dikemukan

3. Dorongan yang bersifat motivasi merupakan suatu prasyarat untuk proses

kreatif. Proses itu sendiri merupakan suatu tension-relieving agent.

4. Kondisi atau situasi yang bersifat ujungakhir yang terbuka harus

diterapkan

5. Hasil-hasilnya tidak dapat diduga lebih dahulu.

6. Kondisi disiapkan untuk membuat/menimbulkan possible preconscious

thinking.

7. Individu dipacu untuk melahirkan dan mengembangkan gagasan-gagasan

mereka sendiri.

8. Perbedaan-perbedaan, keunikan-keunikan perseorangan dan keaslian

harus ditekankan dan dihargai.

9. Proses sama pentingnya dengan produk.

10.Kondisi-kondisi tertentu harus disiapkan atau diatur sedemikian rupa

untuk memberikan peluang timbulnya kreativitas.

11.Pembelajaran berorientasi pada kesuksesan daripada kegagalan.

12.Persyaratan harus dibuat untuk mempelajari pengetahuan dan

keterampilan, tetapi ketentuan juga dibuat untuk menerapkan

pengetahuan dan keterampilan dalam situasi-situasi pemecahan masalah

yang baru.

13.Belajar berinisiatif sendiri secara mandiri(self-initiated learning) harus

dipacu.

14.Keterampilan mengkritik secara konstruktif dan keterampilan evaluasi

harus dikembangkan.

15.Gagasan-gagasan dan obyek-obyek harus digunakan dan dieksplorasi

Page 33: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

16.Harus menggunakan proses demokrasi.

17.Metode yang digunakan adalah unik untuk pengembangan kreativitas.

Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, maka dalam pembelajaran pendidik

harus dapat melakukan hal-hal berikut ini.

1. Mengembangkan keinginan aspirasi dan kemampuan individu untuk

berpikir dan memecahkan masalah.

2. Membantu individu menemukan harga diri sendiri dan nilai-nilai orang lain.

3. Membantu individu mengembangkan serangkaian keunikan bakat-

bakatnya dan kemampuan-kemampuannya.

4. Membantu individu mengembangkan keterampilan inkuiri.

5. Membantu individu menjadi lebih disiplin dan bertanggung jawab atas

belajar dan perilakunya.

Jika prinsip-prinsip dan upaya-upaya pendidik tersebut di atas dapat

terlaksana dalam pembelajaran, maka terdapat sejumlah kemampuan yang

dapat berkembang pada diri individu, antara lain sebagai berikut.

1. Kemampuan untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya.

2. Kemampuan untuk menanggapi.

3. Kemampuan untuk berinteraksi.

4. Kemampuan untuk bertanya.

5. Kemampuan untuk mencipta.

6. Kemampuan untuk menemukan jati diri.

Discovery sebagai metode pembelajaran terdiri atas 8 jenis sebagaimana

yang dikemukakan oleh Moh. Amien (1987) seperti berikut ini.

1. Guide Discovery

Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan metode guide

discovery pendidik menyediakan bimbingan atau petunjuk yang cukup luas

kepada peserta didik. Misalnya, dalam pembelajaran ilmu pengetahuan alam

(IPA) pendidik menyediakan penuntun kegiatan laboratorium.

2. Modified Discovery

Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan metode

modified discovery pendidik hanya memberikan permasalahan saja, kemudian

Page 34: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

peserta didik digiring untuk menemukan solusi dari masalah tersebut melalui

metode ilmiah dengan memanfaatkan sebanyak-banyaknya keterampilan proses

dan berpikir kreatif. Pendidik memberikan bantuan kepada peserta didik berupa

pertanyaan-pertanyaan yang memungkinkan mereka dapat berpikir kreatif dan

menggunakan keterampilan proses yang menyatu di dalam metode ilmiah untuk

menemukan solusi masalah yang dihadapi.

3. Free Discovery

Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan free discovery

pendidik memperhadapkan peserta didik kepada suatu masalah, kemudian

mereka secara individu atau berkelompok diberi kebebasan melakukan aktivitas

yang berorientasi kepada keterampilan proses, kreativitas, dan metode ilmiah

dalam rangka menemukan solusi masalah yang mereka hadapi. Free discovery

biasanya digunakan oleh peserta didik pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi

(SMA dan Perguruan Tinggi).

4. Invitation into Discovery

Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan invitation

discovery pendidik memperhadapkan peserta didik kepada suatu masalah,

kemudian mereka secara individu atau berkelompok diajak untuk melakukan

berbagai keterampilan proses, pemikiran kreatif, dan metode ilmiah seperti

halnya ilmuwan terdahulu dalam menemukan solusi masalah yang mereka

hadapi. Kegiatan yang mereka lakukan berlangsung secara terkontrol dan

sistematis sehingga mereka berperan sama dengan ilmuwan terdahulu.

5. Discovery Role Aproach

Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan discovery role

approach merupakan pelaksanaan pembelajaran yang melibatkan peserta didik

ke dalam tim tertentu yang masing terdiri atas 4 anggota untuk menemukan

solusi masalah. Masing-masing anggota tim diberi tugas tertentu, sehingga

setiap anggota tim memiliki peranan: (1) team coordinator, (2) technical advisor;

Page 35: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

(3) data recorder; dan (4) process evaluator untuk menemukan solusi masalah

yang mereka hadapi.

6. Pictorial Riddle

Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan pictorial riddle

pendidik harus berusaha mengembangkan motivasi dan minat peserta didik

dalam kecil atau dalam kelompok besar untuk dapat menemukan solusi dari

masalah yang dihadapi dengan memanfaatkan alat peraga atau situasi yang

dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif,

Suatu riddle, biasanya berupa gambar di papan tulis, poster, tayangan gambar

yang diproyeksikan. Selanjutnya, pendidik mengajukan pertanyaan-pertanyaan

yang berkaitan dengan riddle.

7. Synectic lesson

Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan menggubakan synectic lesson

pendidik harus berusaha memicu tumbuhnya bakat-bakat kreatif siswa. Gordon

dalam Moh. Amien (1987) percaya bahwa proses-proses kreatif dapat

diungkapkan dan dikembangkan oleh peserta didik melalui perpaduan berbagai

mata pelakan, misalnya mata pelajaran IPA dipadukan dengan IPS.

Pada dasarnya, synectics memusatkan perhatian kepada keterlibatan

peserta didik untuk membuat berbagai macam “metaphor” agar integensi mereka

dapat terbuka dan pada gilirannya intelegensi mereka dapat terbuka dan

mengembangkan daya kreativitasnya.

8. Value Clarification

Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan menggubakan value

clarification pendidik harus mampu membantu peserta didik dalam

mengembangkan proses-proses yang digunakan dalam menentukan nilai

mereka sendiri. Oleh karena itu seorang tenaga pendidik harus bersikap terbuka

dan menerima pandangan peserta didik, membantu mengungkapkan nilai-nilai

lainnya. Guru harus menyakinkan kepada siswa bahwa sikapnya itu juga berlaku

bagi setiap peserta didik.

Page 36: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

I. PENUTUP

Dalam penyelenggaraan sistem pendidikan di negara kita, setiap pendidik

harus mampu merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran dengan

sebanyak-banyaknya menggunakan metode discovery. Hal ini dimaksudkan

karena menurut Murply dalam M. Idris Arief (2003) bahwa dalam paradigma baru

pembelajaran dinyatakan bahwa kurikulum yang ideal adalah kurikulum yang

dapat mengembangkan kemampuan learning how to learn (belajar bagaimana

belajar).

Berkenaan dengan hal tersebut di atas, maka belajar tidak hanya berupa

transformasi pengetahuan, tetapi yang jauh lebih penting adalah belajar

sesungguhnya adalah mempersiapkan peserta didik untuk belajar lebih

mendalam dari sumber-sumber yang mereka temukan dari pengalaman sendiri,

pengalaman orang lain, maupun pengalaman dari lingkungan di mana mereka

tumbuh guna mengembangkan potensi dirinya. Hal ini cukup berlasan, karena di

dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional, pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa pendidikan adalah

usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses

pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya

untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,

masyarakat, bangsa dan negara.

Melalui kebiasaan dalam melakukan kegiatan discovery sejak peserta

didik duduk di bangku jenjang pendidikan dasar, maka kita harus optimis bahwa

masyarakat Indonesia pada masa mendatang akan mampu bersaing dengan

masyarakat dari negara-negara lain. Inilah yang menjadi tuntutan abad milinium

atau era globalisasi.

Page 37: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

DAFTAR PUSTAKA

Anna Poedjiadi, 1989, Filsafat dan Sejarah Sains, Rajawali: Bandung

Bybee W. Rodger & Sund B. Robert, 1982, Piaget for Educator, Charles E. Merrill Publishing Company: Columbus

Bruner S. Jerome, 1978, The Process of Education, Harvard University Press: Cambridge

Carin A. Arthur & Sund B. Robert, 1985, Teaching Science Through Discovery,Merrill Publishing Company: Columbus

Conny Semiawan, dkk., 1988, Pendekatan Keterampilan Proses, Gramedia: Jakarta

Conny Semiawan, dkk., 1991, Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu, Remaja Rosdakarya: Bandung.

De Bono’s Edaward, 1979, The Mechanism of Mind, Penguin Books: New Zaeland

Depdiknas RI., 2003, Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Dpediknas: Jakarta.

Depdiknas RI., 2005, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Depdiknas: Jakarta

E.I. Lantang Harahap, 1987, Mari Mempertinggi Kreativitas, Gunung Agung: Jakarta

Juharia Adang, 1993, Mengembangkan Kreativitas dalam Berpikir melalui Pengajaran Sains, Jurnal Pengajaran MIPA, IKIP Bandung: Bandung

Jamaluddin Kafie, 1989, berpikir Apa dan Bagaimana, Indah: Surabaya

Jujun S. Suriasumantri, 1985, Filsafat Imu: Sebuah Pengantar Populer, Sinar harapan: Jakarta.

Kartini Kartono, 1984, Psikologi Umum, Alumni: Bandung

Moh. Amien, 1987, Mengajarkan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dengan Menggunakan Metode Discovery dan Inquiry, P2LPTK, Depdikbud: Jakarta

Page 38: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

M. Idris Arief, 2003, Pengembangan Sistem Pendidikan Unggulan Ditinjau dari Perspektif Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran, Makalah: Makassar.

Murphy, C., 1992, Effecting School Change: the Halton Approach, School effectiveness and school Improvement, 3(1): 1941

Nasuition S., 1986, Didaktik Azas-azas Mengajar, Jemmars: Bandung

Ratna Wilis Dahar, 1989, Teori-teori Belajar, Gramedia: Jakarta

S. C. Utami Munandar, 1987, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah, Gramedia: Jakarta.

Slameto, 1988, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, Bina Aksara: Jakarta.

Subiyanto, 1988, Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam, P2LPTK, Depdikbud: Jakarta.

Wellington, J., 1989, Skil and Approachrs in Science Education, A Criticl Analysis, Routledge: New York

Page 39: DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN