disfagia finale

Upload: ignatius-adhi-akuntanto

Post on 02-Mar-2016

116 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Disfagia atau kesukaran menelan adalah kesukaran proses transportasi makanan dari mulut melalui farings dan esofagus ke dalam lambung, baik makanan padat maupun cair.1,2,3,4

Disfagia merupakan salah satu gejala dari berbagai penyakit pada farings dan esofagus dimana gejala tersebut adalah suatu tantangan yang mengkhawatirkan baik oleh penderita maupun dokter karena dapat mengakibatkan menurunnya status gizi penderita, serta menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi.

Karena cukup banyaknya penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan disfagia ini, maka peran dokter THT cukup penting guna menegakkan diagnosis disfagia. Hal ini memerlukan anamnesis yang teliti serta pemeriksaan yang cermat mulai dari pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang mulai dari yang sederhana sampai yang canggih sekalipun. Sehingga dibutuhkan kerja sama antara ahli THT dengan ahli lainnya seperti ahli radiologi, ahli penyakit saraf, ahli penyakit dalam, bahkan psikiatri.

BAB II

PEMBAHASAN

A. ANATOMI

Organ - organ tubuh yang terkait erat dengan proses menelan ( deglutisi ) adalah otot-otot pada lidah, palatum molle, farings dan esofagus serta saraf-saraf yang menginervasinya.1,2,3,4

1. Lidah

Otot lidah yang bekerja pada waktu gerakan menelan adalah : (1). Otot-otot ekstrinsik : muskulus styloglossus, muskulus hyoglossus, muskulus genioglossus dan muskulus mylohyoideus, (2). Otot-otot intrinsik : muskulus longitudinalis lingue, muskulus transversus lingue dan muskulus vertikalis lingue.

2. Palatum molle

Otot-otot palatum molle meliputi : muskulus tensor veli palatini, muskulus levator veli palatini dan muskulus azygos uvulae.

3. Esofagus

Esofagus merupakan saluran makanan paling kranial, terletak antara kartilago krikoidea setinggi vertebra servikalis ke VI sampai pintu masuk ke gaster setinggi vertebra torakalis ke X atau XI dengan panjang 23 - 25 cm, arahnya desenden hampir vertikal tetapi sedikit ke arah kiri.1,2,10

Pada keadaan normal esofagus mempunyai empat penyempitan yaitu : (1) Setinggi vertebra servikalis ke VI sesuai introitus esofagus yang disebabkan oleh muskulus krikofaringeus yang selalu dalam keadaan konstriksi tonus, (2) Setinggi vertebra torakalis ke IV tepat esofagus disilangi oleh arkus aorta, (3) Setinggi vertebralis torakalis ke V, pada waktu esofagus disilangi bronkhus sinistra dan (4) Setinggi vertebra torakalis ke X, pada waktu esofagus melewati hiatus diafragmatika.3,10

Dinding esofagus terdiri dari empat lapisan, yaitu (1) Lapisan paling dalam adalah tunika mukosa yang mempunyai epitelium skuamous kompleks, (2) Sebelah luarnya adalah lapisan submukosa yang terdiri atas serabut kolagen yang tersusun longgar, pembuluh darah, pembuluh limfe, pleksus neuralis myenterikus Meissneri, (3) Sebelah luarnya lagi adalah tunika muskularis yang terdiri dari dua lapisan yaitu : lapisan dalam mempunyai serabut otot yang berjalan sirkuler, yang di bagian kranial melanjutkan diri sebagai sfingter esofagus bagian atas atau disebut sfingter faringooesofagealis dan di bagian kaudal sebagai sfingter esofagus bagian bawah atau disebut sfingter gastroesofagealis, sedang lapisan luarnya serabut ototnya berjalan longitudinal. Di antara kedua serabut otot ini terdiri sel - sel ganglia yang disebut pleksus neuralis myenterikus Auerbachii. Pada tunika muskularis ini sepertiga bagian atas terdiri dari otot serat lintang, sepertiga bagian tengah terdiri otot serat lintang dan otot polos, dan sepertiga bagian bawah terdiri dari otot polos, (4) Lapisan paling luar adalah tunika. adventitia atau tunika fibrosa yang terdiri dari jaringan ikat longgar.10

Inervasi esofagus bagian ekstrinsik oleh : (1) Parasimpatikus melalui nervus vagus yang berasal dari nukleus dorsalis nervi vagi melalui rami thoracalis nervi vagi dan melanjutkan ke pleksus esophagealis nervi vagi. (2) Simpatikus berasal dari trunkus simpatikus dan nervus splanchnicus thoracicus. Inervasi esofagus secara intrinsik oleh pleksus neuralis myentericus Auerbachii.

B. FISIOLOGI MENELAN ( DEGLUTISI )

Proses menelan adalah gabungan gerakan yang terkoordinasi secara kompleks, umumnya mulai dengan gerakan yang disadari tetapi sebagian besar adalah gerakan refleks. Fungsi primer deglutisi adalah melangsungkan transportasi makanan padat atau cair mulai dari kavitas oris (kavitas bukalis), farings, esofagus hingga lambung. Fungsi sekunder adalah : (1) Fungsi drainase yaitu menelan kotoran debu, bakteri, lendir yang dialirkan oleh gerakan silia dari hidung, sinus paranasalis, kavitas timpanika, larings dan arkus trakeobronkialis ke dalam farings, (2) Membantu secara periodik keseimbangan tekanan bagian dalam dan bagian luar kavitas timpanika dengan membukanya ostium faringealis tuba auditiva pada saat menelan.4 Transportasi makanan mulai dari kavitas bukalis , farings dan esofagus dibagi dalam tiga fase yaitu : (1) Transportasi bolus dari kavitas bukalis masuk ke farings, (2) Bolus dari farings menuju ke esofagus dan (3) Bolus berjalan di dalam esofagus.4,10,24

Magendi (1847) dan Jones (1977) meringkas proses transportasi makanan ini menjadi : (1) Fase oral, (2) Fase faringeal dan (3) Fase esofageal.

Fase oral adalah proses yang disadari (volunter), terjadi transportasi bolus makanan dari mulut menuju isthmus faucium ke dalam orofarings. Makanan padat pertama - tama dikunyah di dalam kavitas bukalis. Mengunyah ini adalah proses yang disadari, tetapi dapat pula merupakan refleks yaitu selama ada makanan di dalam mulut terjadi gerakan rahang membuka dan menutup secara otomatis terus menerus. Selama mengunyah makanan dicampur dengan saliva sebagai pelicin pada saat menelan. Campuran ini dibentuk menjadi bolus oleh lidah, pipi, palatum durum, dan bolus dikumpulkan di dorsum lidah disiapkan untuk ditelan. Terjadi gerakan inspirasi ringan oleh gerak diafragma yang merupakan respirasi menelan, bibir menutup dan kontraksi muskulus businatorius menekan pipi ke arah gigi. Selanjutnya bolus makanan ditekan ke belakang oleh gerakan seperti piston yang dihasilkan oleh elevasi dasar mulut yang dikombinasikan dengan gerakan ke belakang dasar lidah.11 Bagian depan lidah dielevasi dan menekan palatum durum. Elevasi dasar mulut terjadi karena kontraksi muskulus mylohyoideus dan os hyoid tertarik ke anterokranial dan terfiksasi karena kontraksi muskuli geniohyoideus, stylohgoideus, mylohyoideus dan digastrikus. Elevasi dasar mulut menekan lidah ke palatum dan mendorong bagian posterior sehingga menonjol ke farings. Bagian posterior lidah ini tertarik ke belakang oleh kontraksi muskuli hypoglossus dan styloglossus, sehingga mendorong bolus ke orofarings. Pada waktu yang bersamaan terjadi pembukaan isthmus faucium karena kontraksi muskulus palatoglossus. Pengangkatan lidah secara total tidak menghilangkan kemampuan menelan karena dapat dikompensasi oleh otot - otot pipi dan dasar mulut.2,4,19

Cairan tertarik ke dalam mulut karena tekanan sub-atmosferik ke dalam mulut oleh retraksi lidah yang bersentuhan dengan palatum. Setelah cairan tersedot, gerakan menelan dilakukan oleh dua komponen yaitu : (1) saat mulut tertutup muskulus ekstrinsik lidah kontraksi menyebabkan ujung lidah menekan palatum durum di belakang papila insisivus. Permukaan atas lidah menonjol membentuk lekukan longitudinal, bersama permukaan palatum durum membentuk semacam pipa berisi cairan. Tepi lateral lidah menonjol karena kontraksi muskulus longitudinalis superior dan muskulus genioglossus. Dorsum lidah selanjutnya menekan ke depan, karena kontraksi muskulus pars inferior dan transversal lidah, sehingga terjadi penutupan pipa di antara lidah dan palatum dengan cepat. Akibatnya cairan menyemprot ke dalam orofarings. (2) Gigi oklusi dan muskulus mylohyoideus kontraksi mengangkat dasar mulut, sehingga bagian posterior lidah bergerak ke farings menekan cairan ke laringofarings. Pada saat menelan makanan padat, gerakan yang kedua ini saja sudah cukup memberi respon untuk menekan bolus makanan dari mulut ke farings.

Pada fase faringeal makanan melewati farings menuju esofagus dan pada saat ini pernafasan berhenti. Perpindahan bolus makanan bersamaan dengan penutupan jalan ke nasal, oral dan larings serta membukanya farings dan esofagus yang dikerjakan oleh mekanisme sfingter. Hiatus nasofarings dikontrol oleh gerakan muskulus palatofaringeus dan elevasi palatum molle. Isthmus orofarings dikontrol o-leh gerakan muskulus palatoglossus pada plika tonsillaris anterior, Pintu masuk larings dikontrol oleh tiga komponen yaitu muskulus ariepiglotikus pada pintu masuk, muskulus aritenoideus dan plika vokalis spuria serta muskulus adduktor dan plika vokalis vera. Ujung faringooesofagealis di kontrol oleh muskulus krikofaringeus.

Fase faringeal merupakan mekanisme refleks (involunter), dimulai dari reseptor atau daerah sensitif di dinding posterior farings, permukaan palatum molle, permukaan atas epiglottis dan plika tonsillaris anterior serta posterior, yang dapat terangsang oleh bolus makanan atau ludah. Pada fase tersebut terjadi kontraksi yang kompleks, yaitu : (1) Penutupan hiatus nasofarings karena kontraksi muskulus levator palatini mengangkat palatum molle ke dinding posterior farings dan kontraksi muskulus tensor palatini akan menegangkan palatum molle yang bersamaan dengan kontraksi muskulus palatofaringeus akan bekerja sebagai sfingter mencegah bolus makanan masuk ke nasofarings. Paralisis otot - otot ini akan menyebabkan regurgitasi makanan ke nasofarings dan hidung. (2) Penutupan isthmus orofarings yang terjadi karena kontraksi muskuli linguales sehingga lidah tetap menekan palatum dan kontraksi muskulus palatoglossus, mencegah makanan kembali ke kavitas oris (3) Penutupan pintu masuk larings karena faktor - faktor : (a) Selama fase faringeal respirasi berhenti, (b) Elevasi larings yang kuat dan mendadak serta bertemu dengan basis lidah karena kontraksi muskuli stylohyoideus, stylofaringeus, digastrikus dan mylohyoideus. Kontraksi muskulus thyrohyoideus akan mengangkat kartilago thyroidea. Bila kartilago thyroidea terfiksasi dan tidak dapat bergerak ke atas akan mencegah elevasi larings, sehingga tidak terjadi mekanisme deglutisi, (c) Plika ariepiglotika akan bekerja sebagai sfingter karena kontraksi muskulus ariepiglotika dan muskulus aritenoideus pars oblikualis, sedangkan kontraksi muskulus thyroarytenoideus dan interarytenoideus menyebabkan bergesernya kartilago aritenoidea ke depan dan saling bertemu serta terangkat ke atas sebagai bantalan epiglotis. Pintu masuk ke larings selanjutnya berbentuk seperti huruf T setinggi proyeksi lidah. Rima glotis ditutup oleh karena adduksi plika vokalis karena kontraksi muskulus krikoarytenoideus lateralis, (d) Gerakan epiglotis menutup pintu masuk larings, karena faktor mekanis, ujung bebas epiglotis bergerak ke dorsokaudal karena desakan basis lidah, permukaan bawah epiglotis terangkat ke depan oleh elevasi kartilago thyroidea, epiglotis bergerak ke belakang bersamaan.gerakan kartilago aritenoidea ke depan. Kartilago aritenoidea bertemu dengan tuberkulum epiglotis dan bekerja sebagai penunjang, sehingga epiglotis dapat bergerak seperti memutar dan menutup pintu larings. Sebenarnya epiglotis bukanlah menutup seperti suatu penutup, tetapi tertutupnya larings karena elevasi atau tertariknya larings ke atas di bawah dasar epiglotis. Epiglotis seolah - olah melipat di atas mulut larings, tetapi seberapa jauh perlunya untuk menahan udara masuk, masih merupakan pertanyaan.13 Pada dasarnya menelan tidak terganggu bila epiglotis tidak ada selama muskulus mylohyoideus dan geniohyoideus masih bekerja dengan baik. Dengan tertutupnya larings oleh epiglotis maka makanan dapat mencapai esofagus, dan epiglotis bergerak kembali ke kedudukan semula.

Pada fase esofageal bolus dibawa menuju ke lambung dengan waktu rata-rata 3 sampai 6 detik dengan peristaltik primer dan relaksasi sfingter esofagus inferior.8 Cairan ditelan masuk ke dalam esofagus karena gaya berat tanpa memerlukan dorongan. Menelan masih mungkin terjadi walaupun gaya berat ditiadakan seperti pada sikap berbaring atau melawan gaya berat dengan sikap kepala dibawah (magge), hanya saja pada sikap yang terakhir ini makanan yang masuk lebih lambat dari keadaan normal. Kontraksi otot-otot konstriktor farings memungkinkan cairan atau makanan masuk ke dalam esofagus bila sfingter krikofaringeal terbuka. Sementara bolus padat atau setengah padat masuk ke dalam esofagus terjadi akibat kontraksi peristaltik oleh otot esofagus.

Peristaltik esofagus merupakan kontraksi yang dimulai dari farings melalui pertemuan farings dengan esofagus sampai ke pertemuan esofagus dengan gaster. Menurut Meyer dan Caastell (1983) peristaltik esofagus ada tiga macam yaitu 1). Peristaltik primer yang dimulai dari daerah pertemuan farings dengan esofagus, merupakan suatu mekanisme normal pengosongan esofagus akibat adanya kontraksi progresif dari proksimal ke distal esofagus setelah dimulainya proses menelan. 2). Peristaltik sekunder yang merupakan konstraksi progresif esofagus yang timbul sebagai reaksi regangan dinding esofagus oleh bolus makanan, peristaltik ini terjadi setempat di esofagus. 3). Peristaltik tersier yang merupakan kontraksi otot-otot polos sirkuler esofagus.2,3,4,10,14

C. REGULASI PROSES MENELAN

Daerah reseptif pada rongga mulut adalah pada dinding posterior farings, permukaan palatum molle, permukaan atas epiglotis, plika tonsilaris anterior dan posterior. Daerah ini mendapat percabangan saraf dari nervus glossofaringeus, laringeus superior dan cabang maksilaris nervus trigeminus. Kesukaran menelan dapat terjadi apabila daerah tersebut mendapat anestesi lokal, tetapi dengan adanya rangsangan ujung sentral cabang faringeal superior masih tetap memungkinkan terjadinya proses menelan walaupun telah dianestesi lokal.4,10

Esofagus mempunyai dua sfingter yaitu 1). Bagian atas disebut sfingter faringoesofagealis (UOS= Upper Oesophagus Sphincter) yang berfungsi mencegah udara masuk ke esofagus pada waktu inspirasi dan mencegah kembalinya makanan dari esofagus ke hipofarings. 2). Bagian bawah disebut sfingter gastroesofageal (LOS= Lower Oesophagus Sphincter) yang berfungsi mencegah kembalinya atau refluks isi gaster ke esofagus dan relaksasi selama proses menelan untuk memungkinkan pasase makanan dari esofagus ke gaster. Fungsi sfingter ini dikontrol oleh otot polos sfingter, nervus simpatikus dan nervus parasimpatikus serta hormon gastrointestinalis. Tonus sfingter gastroesofageal akan meningkat akibat meningkatnya tekanan intraabdominal dan rangsangan nervus simpatikus serta gastrin. Sebaliknya tonus otot akan menurun akibat rangsangan nervus parasimpatikus dan sekretin.23,24

Serabut-serabut eferen untuk menelan melalui nervus IX, V, XI, XII menuju otot-otot dasar mulut dan lidah, sedangkan untuk penutupan larings melalui nervus X cabang laringeal.

Pusat refleks menelan terletak di medulla, berdekatan dan berhubungan dengan pusat pernafasan. Setiap gerakan menelan akan menghalangi terjadinya bahaya inhalasi atau masuknya makanan ke dalam hidung. Adanya hubungan antara menelan dan bernafas terlihat pada gerakan otot-otot yang mengelilingi larings yang menimbulkan efek menutupnya larings serta adduksi pita suara sebagai mekanisme dari sfingter larings.4,19,24

D. ETIOLOGI

Disfagia atau kesukaran menelan akan terjadi apabila ada gangguan pada rangkaian proses menelan mulai dari kavitas oris dan terutama pada farings serta esofagus. Berdasarkan letaknya, Marshall (1985) membagi jenis disfagia menjadi dua yaitu disfagia orofaringeal dan disfagia esofageal.

Disfagia orofaringeal adalah kesukaran dalam transportasi makanan dari orofarings sampai esofagus bagian atas. Disfagia ini sering dijumpai pada penderita usia tua dan biasanya merupakan bagian dari kompleks gejala dan tanda suatu penyakit sehingga kita harus mengetahui penyakit primernya terlebih dahulu. Penyakit neuromuskuler merupakan 80 persen penyebab disfagia selain lesi lokal struktur orofarings. Stroke merupakan penyebab utama dari disfagia orofaringeal.

Disfagia esofageal ini lebih umum didapatkan pada kasus-kasus disfagia oleh akibat sekunder beberapa proses penyakit pada esofagus sendiri misalnya gangguan motilitas peristaltik atau kondisi yang menyumbat aliran bolus dari esofagus menuju lambung.15,25

Penderita dengan disfagia orofaringeal mengalami kesulitan saat memulai gerakan menelan dan biasanya disertai dengan batuk, tersedak atau regurgitasi nasal. Kualitas suara ikut terganggu, sehingga terdengar seperti nasal tone. Disfagia jenis ini sering berhubungan dengan stroke, Parkinsons disease, atau kelainan muskuler lainnya. Tetapi kelainan struktur lokal jarang ditemukan.15

Sementara penderita dengan disfagia esophageal memberikan gejala atau sensation of food sticking yang dirasakan didaerah tenggorok atau dada. Gangguan motilitas dan obstruksi mekanik merupakan penyebab tersering. Beberapa obat telah diketahui menyebabkan gangguan mukosa esofagus secara langsung, dan beberapa obat juga dapat menurunkan tekanan pada sfingter esofagus bagian bawah sehingga dapat terjadi refluks.15

Berdasarkan sifatnya, disfagia dibagi atas disfagia neuromuskuler dan disfagia obstruktif. Penderita dengan disfagia neuromuskuler mengalami gejala kesulitan menelan yang progresif terutama untuk makanan padat dan cair. Makanan yang dingin dapat pula memperburuk gejala. Penderita berusaha untuk menelan makanan dengan cara melakukan gerakan menelan secara berulang-ulang, melakukan manuver valsava atau dengan cara merubah posisi tubuh. Akalasia, skleroderma dan spasme esofagus difusa merupakan penyebab terbanyak dari gangguan motilitas neuromuskuler.15

Pada obstruksi mekanik cenderung mengalami disfagia terutama untuk jenis makanan padat saja. Penderita dapat menelan bolus makanan dengan cara melakukan manuver valsava jika tidak maka penderita akan mengalami regurgitasi. Hal ini menyebabkan penderita akan merubah pola diet ke makanan cair. Apabila gejala disfagia bersifat progresif dalam durasi beberapa bulan, maka dapat dicurigai kearah keganasan. Gejala yang jelas yaitu terdapat penurunan berat badan yang signifikan menggambarkan suatu obstruksi mekanik. Peptic stricture, keganasan dan Schatzkis ring merupakan penyebab terbanyak pada obstruksi esofageal.

Apabila pada keseluruhan pemeriksaan fisik dan penunjang tidak ditemukan kelainan, perlu dicurigai adanya globus histerikus/psikogenik. Adanya gambaran ansietas dan depresi seperti gangguan tidur, berkeringat, tremor dan labilnya emosi menyokong diagnosis tersebut. Sebagian besar penderita hampir tak tahan menderita benjolan di tenggorok dan berusaha keras agar pada pemeriksaan didapatkan sesuatuatau kelainan, tetapi hasil pemeriksaan biasanya normal.

E. ANAMNESIS

Tujuan penting dari evaluasi pada proses menelan adalah menentukan kausa penyakit, derajat disfungsi dan status gizi penderita. Semua ini bertujuan untuk memperbaiki stabilitas tubuh serta rehabilitasi. Sangat penting untuk selalu mengingat bahwa penyebab disfagia ini sangat beragam. Sehingga dibutuhkan anamnesis yang teliti dan terarah agar dapat menentukan jenis disfagia yang diderita.Dari anamnesis sebaiknya ditanyakan kapan timbulnya disfagia dengan atau tanpa rasa nyeri (odinofagia) dan regurgitasi. Penderita yang mengalami disfagia akan memberikan keluhan yang bermacam-macam. Biasanya penderita membutuhkan tenaga atau manuver beberapa kali untuk dapat menelan makanan, yang disertai batuk atau tersedak bahkan aspirasi yang secara klinis jelas atau tersamar. Dapat pula mengeluh rasa tidak nyaman seperti sensasi makanan melekat di belakang tenggorok atau dada bagian atas disaat penderita mencoba untuk menelan.8,15

Konsistensi makanan yang sulit ditelan dapat menentukan gangguan atau penyakit. Penderita yang mengalami kesulitan menelan makanan padat sebagian besar mengalami gangguan obstruksi mekanik atau kelemahan muskuler yang menyebabkan menurunnya tenaga pendorong, dismotilitas muskuler atau spasme. Sementara penderita dengan kesulitan menelan makanan cair sering mengalami tersedak, batuk dan aspirasi yang jelas secara klinis maupun tersamar mengalami gangguan neuromuskuler disertai defisit sensorineural, kelemahan muskuler dan gangguan kesadaran serta status mental. Gejala yang timbul dapat bersifat intermiten, konstan atau progresif. Jika gejala yang timbul bersifat progresif dapat diarahkan adanya gangguan neurologik atau keganasan. Kondisi neurologik yang berat seperti stroke, multiple sclerosis atau penyakit Parkinson sering menimbulkan gejala disfagia. Riwayat mengkonsumsi obat-obatan juga dapat membantu mengarahkan kausa disfagia serta kondisi kronik yang potensial mempengaruhi fungsi dasar neurologis atau kesehatan secara keseluruhan. Ada beberapa obat-obatan yang menyebabkan disfagia baik pada fase orofaringeal maupun esofageal. Antibiotik (doksisiklin, tetrasiklin, klindamisin, trimethoprim-sulfamethoksazol) dan golongan non-steroidal anti-inflammatory drugs merupakan penyebab terbanyak gangguan secara langsung pada mukosa esophagus. Sementara obat antikolinergik, alfa adrenergik bloker, angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dan beberapa short dan long-acting antihistamin dapat menyebabkan xerostomia. Riwayat operasi juga perlu diketahui terutama yang melibatkan kepala dan leher seperti kraniotomi, trakeostomi atau operasi daerah servikal.

Sehingga dapat disimpulkan ada beberapa pertanyaan pada anamnesis yang perlu dilakukan antara lain mengenai : (1) Telah berapa lama keluhan kesukaran menelan ini dirasakan penderita, (2) Apakah dirasakan sakit pada waktu menelan, dibedakan sakit dirasakan di daerah leher dan dada bagian atas atau di daerah dada bagian bawah ( di atas processus xyphoideus ), (3) Bagaimana hubungan kesukaran menelan terhadap makanan padat, setengah padat dan cair, atau keseluruhan padat sampai cair, (4) Adakah riwayat regurgitasi baik segera setelah menelan makanan , atau regurgitasi baru terjadi setelah beberapa saat kemudian atau pada saat berbaring, (5) Adakah penurunan berat badan, (6) Riwayat menelan benda asing atau cairan kaustik.(7) Adakah riwayat mengkonsumsi obat-obatan, (8) Adakah riwayat operasi kepala-leher.Tabel 2. Gejala yang berhubungan dengan kemungkinan etiologi disfagia15

KondisiDiagnosis yang dipertimbangkan

Progresif disfagia

Sudden disfagia

Difficulty initiating swallow

Food sticks after swallow

Batuk

Awal menelan

Akhir menelan

Penurunan berat badan

Pada usia tua

Disertai regurgitasi

Gejala progresif

Heartburn

Gejala intermiten

Nyeri dengan disfagia

Nyeri semakin berat pada

Makanan padat saja

Makanan padat dan cair

Regurgitasi makanan yang ditelan lama

Weakness dan disfagia

Halitosis

Dysphagia relieved with repeted swallow

Dysphagia made worse wiyh cold foodsNeuromuskuler disfagia

Obstruktif disfagia, esofagitis

Orofaringeal disfagia

Esofageal disfagia

Neuromuskuler disfagia

Obstruktif disfagia

Karsinoma

Akalasia

Peptic stricture, scleroderma

Rings dan webs, spasme esofageal difusa

Esofagitis

Obstruktif disfagia

Neuromuskuler disfagia

Zenkers diverticulum

Cerebrovasculer accident, muskuler distrofi, myasthenia gravis, multiple sclerosis

Zenkers diverticulum

Akalasia

Neuromuscular motility disorder

Table 3. Daftar obat yang dapat menyebabkan disfagia26,27

Obat-obatan yang menyebabkan kerusakan mukosa esofagus secara langsungAntibiotics Doxycycline (Vibramycin) Tetracycline Clindamycin (Cleocin) Trimethoprim-sulfamethoxazole (Bactrim, Septra) Nonsteroidal anti-inflammatory drugs Alendronate (Fosamax) Zidovudine (Retrovir) Ascorbic acid Potassium chloride tablets (Slow-K)* Theophylline Quinidine gluconate Ferrous sulfate

Obat, hormon dan makanan yang menyebabkan refluks dan berkurangnya kerja sfingter esofagus bagian bawah Butylscopolamine Theophylline Nitrates Calcium antagonists Alcohol, fat, chocolate

Obat-obatan yang menyebabkan xerostomiaAnticholinergics: atropine, scopolamine Alpha adrenergic blockers Angiotensin-converting enzyme inhibitors Angiotensin II receptor blockers Antiarrhythmics Disopyramide (Norpace) Mexiletine (Mexitil) Ipratropium bromide (Atrovent) Antihistamines Diuretics Opiates Antipsychotik

G. PEMERIKSAAN FISIK

Pada pemeriksaan fisik, status generalis penderita diperhatikan terlebih dahulu, apakah masih mampu berjalan, menggunakan kursi roda, atau hanya dapat berbaring. Ditentukan juga apakah terdapat tanda-tanda demensia, afasia atau penurunan status mental. Usia harus dipertimbangkan sebagai salah satu faktor risiko pada penderita dengan gangguan cerebrovaskuler atau demensia. Pada beberapa kasus, masalah gizi dapat disebabkan oleh inkonsistensi status kognitif dan ketidakkooperatifan penderita.6

Pemeriksaan otologi dapat menentukan apakah penderita mengalami gangguan pendengaran, vertigo, atau nyeri karena otalgia merupakan gejala umum dari keganasan larings dan hipofarings melalui mekanisme n.X, serta dapat pula menimbulkan gangguan temporomandibular joint yang sangat mungkin mempengaruhi gerakan mengunyah.6

Pemeriksaan hidung dibutuhkan guna mengetahui adakah kondisi patologis yang mungkin menurunkan koordinasi antara bernafas dan menelan. Hasil akhirnya dapat berupa post nasal drip, tumor dan gangguan sekresi yang menyebabkan obstruksi dan kekeringan pada saluran nafas atas.6

Kavitas oral diperiksa secara lengkap mulai dari bibir, gigi geligi, lidah dan sensasi palatal dengan sentuhan (refleks muntah), temperatur, keadaan mukosa oral, iritasi kronik, ulserasi atau tumor dan gerakan-gerakan abnormal. Produksi saliva yang adekuat menghasilkan keadaan kavitas oral yang cukup baik. Beberapa obat-obatan mencetuskan keadaan xerostomia yang dapat menganggu mixing dan tenaga dorong bolus makanan menuju orofarings posterior. Palpasi bimanual dilakukan jika mencurigai adanya tumor. Bagian leher diperiksa apakah ada terdapat massa, pembengkakkan, atau struktur yang asimetris. Auskultasi dilakukan untuk mengevaluasi adanya bruit karotis, dan untuk mendengarkan suara lain yang mungkin terdengar saat menelan.6,15

Evaluasi neurologis dilakukan untuk menilai status mental, fungsi motorik dan fungsi sensorik. Penderita dengan gangguan fungsi kognitif dan yang mengkonsumsi obat-obatan harus diperiksa secara teliti, karena status neurologik ini dapat mempengaruhi proses menelan. Pemeriksaan motorik dan sensorik dapat menentukan adanya stroke atau penyakit neurologik lainnya. Pemeriksaan difokuskan pada nervus kranialis yang berhubungan dengan proses menelan, terutama komponen motorik pada nervus kranialis V, VII, IX dan XII.serta serat sensoris dari nervus kranialis V, VII, IX dan X. Penurunan refleks muntah juga berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya aspirasi.15

Mengamati proses menelan seorang penderita baik makanan cair maupun padat dapat membantu menegakkan diagnosis. Penderita yang tidak mengalami gangguan neuromuskuler dapat mengunyah sehingga terbentuk bolus dengan bantuan saliva yang cukup dan mendorong bolus ke arah posterior farings tanpa adanya gejala batuk atau tersedak. Elevasi larings selama proses menelan sedang berjalan melindungi airway dan membuka upper esophageal sphincter. Gerakan larings yang normal dapat dipalpasi dengan menekan daerah larings diatas kartilago tiroid menggunakan jari pada saat penderita menelan.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Beberapa pemeriksaan penunjang dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis disfagia. Baik pemeriksaan yang non invasif dan yang invasif tergantung kebutuhan masing-masing penderita.

Meskipun riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik telah dilakukan untuk mengidentifikasi etiologi disfagia, pemeriksaan lanjutan dapat diindikasikan untuk konfirmasi diagnosis atau menegakkan risiko terjadinya aspirasi. Disini peran ahli radiologi atau gastroenterolog maupun ahli saraf berperan membantu ahli THT dalam menegakkan diagnosis disfagia

Nasofaringoskopi berguna untuk evaluasi penderita dengan disfagia orofaringeal. Prosedur ini dapat dengan cepat mengidentifikasi massa dan lesi serta menilai sensitifitas laryngeal. Perlu diperhatikan pada penggunaan topikal anestesi karena penggunaan topikal anestesi yang berlebihan dapat membingungkan interpretasi. Dengan observasi menggunakan nasofaringoskop maka dapat diketahui kondisi kavitas oris secara langsung.15

Esofagografi (barium study) sering dilakukan sebagai pemeriksaan awal dalam mengevaluasi penderita dengan disfagia, terutama lesi yang dicurigai bersifat obstruktif. Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi lesi pada struktur instrinsik maupun ekstrinsik tetapi kurang tepat untuk mengidentifikasi penyebab dasar lesi obstruksif. Esofagografi menilai motilitas lebih baik dibanding pemeriksaan endoskopi dan relatif lebih murah dengan sedikit komplikasi. Tetapi kejelekannya ialah sulit dilakukan pada penderita dengan keadaan umum yang buruk atau yang tidak kooperatif.

Pemeriksaan dobel kontras memberikan gambaran visualisasi mukosa esofagus lebih baik. Barium marsmallow atau pil barium menempati lesi obstruktif pada mulut atau esofagus. Fluoroskopi dapat mengidentifikasi abnormalitas pada mulut dan orofarings dan apabila diobservasi dengan ketat dapat memberikan informasi mengenai fungsi, mendeteksi refluks dan abnormalitas peristaltik.15

Gastroesofageal endoskopi memberikan penilaian terbaik mengenai kondisi mukosa esofagus. Massa atau lesi lain yang teridentifikasi oleh barium dilanjutkan dengan esofagogastroskopi dengan biopsi dan sitologi. Pada penderita dengan onset akut disfagia pada saat makan, endoskopi gastroesofageal dapat mengevakuasi secara langsung bolus makanan yang terjepit dan dapat mendilatasi striktur yang ada. Keuntungan lain dari endoskopi yaitu dapat mendeteksi infeksi dan erosi serta memiliki kemampuan untuk melakukan biopsi. Sebuah konsensus menyebutkan bahwa penderita disfagia sebaiknya dilakukan endoskopi karena memiliki sensitivitas (92% vs 54%) dan spesifisitas(100% vs 91%) yang tinggi dibandingkan esofagografi menggunakan dobel kontras. 15Pemeriksaan radiografik lainnya adalah videofluoroscopic swallowing study (VFSS). Pemeriksaan ini dilakukan dibawah pengawasan speech-language pathologist. Alat ini mengukur seberapa banyak bolus barium, yang diukur mulai dari bibir sampai lambung menggunakan berbagai macam konsistensi makanan, sehingga mudah untuk diinterpretasikan dan dapat dikombinasi dengan manometri untuk mendapatkan informasi tekanan yang ada. Sayangnya, VFSS sulit dilakukan pada penderita yang hanya bisa berbaring. Serta kemampuan untuk menggambarkan kelainan anatomis dan soft tissue terbatas. Ditambah pula pemeriksaan ini mahal, tidak praktis terutama untuk penderita yang imobilitasnya kurang dan berbahaya akibat paparan radiasinya.6

Pemeriksaan manometri dengan menggunakan sebuah kateter dengan probe tekanan elektronik multipel dimasukkan melalui tenggorok, kemudian diukur kontraksi esofageal dan melihat respon esofagus bagian atas dan bawah terhadap gerakan menelan. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai fungsi motorik seperti motalitas otot, potensial klirens pengosongan lambung dan tekanan LOS dari esofagus dan diindikasikan apabila tidak didapatkan abnormalitas dari hasil pemeriksaan dengan barium atau endoskopi gastroesofageal. Manometri dapat mendeteksi abnormalitas pada 25% penderita dengan lesi non obstruksi. Namun pemeriksaan ini kurang memberikan arti klinis dalam evaluasi penyakit refluks gastroesofageal. 15, 19

Meskipun banyak kekurangannya, monitoring pH esofagus tetap merupakan gold standar untuk mendiagnosis penderita dengan kecurigaan penyakit refluks esofageal. Pemeriksaan ini memungkinkan monitor pH esofagus selama 24 jam. Tes ini dilakukan bila dicurigai diagnosis refluks belum definitif, dengan menempatkan pH probe dari nasal ke esofagus 5 cm di atas LOS. Penderita tetap melakukan aktifitas sehari-hari sambil mencatat gejala atau refluks yang timbul. Data pH terekam dalam portable microprocessing, bila pH esofagus < 4,0 dianggap terjadi refluks.15,19, 21,22

Pemeriksaan penunjang lain seperti foto polos toraks atau leher hanya memberikan informasi yang terbatas kecuali didapatkan abnormalitas struktural. Pemeriksaan CT- Scan dan MRI kepala, dapat mendeteksi abnormalitas struktur terutama jika dibutuhkan untuk mengevaluasi penderita dengan kecurigaan disfagia akibat gangguan CNS. Sementara pemeriksaan ultrasonografi farings dan lidah tidak memberikan informasi yang berarti jika dibandingkan videofluorografi, tetapi ultrasonografi dapat membantu evaluasi lesi pada submukosa dan ekstramural esofagus. 15

I. PENATALAKSANAAN

Menurut Texas Speech-Language-Hearing Association (TSHA) (2011), terapi disfagia dapat berupa:a. mengubah cara mengunyah pasien;b. meningkatkan kekuatan, tonus, mobilitas, dan koordinasi otot mengunyah;c. umpan balik (biofeedback);d. rekomendasi tentang konsistensi makanan/cairan, dan alat atau teknik-teknik khusus dalam proses pemberian makanan dan mengunyah; atau e. mengubah jenis makanan yang disajikan. Penatalaksanaan disfagia meliputi :

1. Sensory Oral Awarness

- Thermal tactil oral stimulationMemberikan tekanan sendok pada lidah ketika memberikan bolus ( bolus rasa asam, dingin, bolus diminta untuk dikunyah, ukuran bolus sedikit lebih besar ).Meningkatkan inisiasi reflek menelan ( caranya dengan menyentuhkan kaca laring ke anterior faucial arch dg gerakan vertikal 4-5x. Kaca laring tlh didinginkan dulu, dilakukan sbl memberi bolus untuk ditelan ).2. Peningkatan kemampuan kontrol oral motor

- Latihan lingkup gerak bibir Retraksi ( merenggangkan )

Protrusi ( mencucu )

Mengatupkan bibir

Mengatupkan dengan tahanan - Latihan lingkup gerak lidah Elevasi

Lateralisasi

Protrusi dan Retraksi lidah - Latihan lingkup gerak mandibula Membuka dan menutup rahang

Latihan ektensi rahang

Latihan rotasi rahang - Latihan dengan tahanan Mendorong lidah melawan spatel/sendok

Mendorong lidah ke atas melawan langit-langit Mendorong lidah ke lateral melawan spatel - Latihan kontrol bolus Latihan manipulasi bolus dalam mulut

Latihan membentuk bolus dalam mulut

Latihan mendorong bolus kearah posterior

Latihan dpt dilakukan dengan / tanpa bolus

Pasien harus mampu melakukan latihan tanpa menggunakan bolus dengan baik sebelum bolus makanan diberikan.

3. Peningkatan kemampuan Pharyngeal swallow

- Stimulasi Memberi stimulasi di daerah pilar anterior faucial

Memberi stimulasi di berbagai daerah oral dan faring untuk meningkatkan reflek dan kemampuan menelan. - Latihan dan manuver

Supraglottic swallow Tujuan : Untuk penderita dengan kelemahan penutupan jalan udara & post laringektomi. Ada 6 langkah proses yang direncanakan mencegah benda asing dari jalan nafas:

1. Mengambil nafas dalam-dalam

2. Menggigit makanan / menghisap cairan

3. Menelan

4. Batuk

5. Menelan lagi

6. Mengambil nafas lagi

Ulangi langkah 1-6 setiap menelan

Untuk penderita dengan kelemahan penutupan jalan udara & post laringektomi.

Mendelson Maneuver Tujuan : Untuk kelemahan elevasi laring & post laringektomi.Langkah-langkah yang dilakukan:

1. Menelan cairan / menggigit makanan padat

2. Mengunyah bila diperlukan

3. Menelan

4. Pasien/terapis memegang laring bagian depan dengan jari telunjuk dan ibu jari

5. Pegang laring sesuai pergerakan laringeal selama menelan dan lanjutkan posisi pegangan untuk beberapa detik selama dan setelah menelan

6. Lepaskan pegangan pada laring. - Teknik Postural

Salah satu tindakan terapi untuk meningkatkan kemampuan menelan. Disesuaikan dengan etiologi disfagia serta gangguan anatomi & fisiologi menelan yang bersangkutan. Perubahan postur tubuh dan posisi kepala dapat secara efektif mengurangi jumlah aspirasi cairan pada 75-80 % pasien disfagia. Bermanfaat pada pasien dg gangguan neurology, head and neck cancer, berbagai usia. Dapat dikombinasi dengan direct therapy.

1. Chin-Donw/ Chin-Tuch Posture Posisi menyentuhkan dagu ke leher

Rationale: gerakan ini mendorong dinding faring anterior ke arah posterior, jalan udara dipersempit dan Valleculae diperlebar.

Dipergunakan ;

-Pasien dg keterlambatan inisiasi refleks nelan

-Keterlambatan retraksi pangkal lidah

-Kelemahan penutupan jalan udara

-Dapat dikombinasikan dengan head-tum/head rotation posture untuk mencapai penutupan jalan udara terbaik pada pasien2 tertentu.

2. Chin-Up/Head-Back PosturePosisi mengangkat dagu dan menengadahkan kepala ke belakang

Rationale; membantu menurunkan bolus dari rongga mulut dg gaya gravitasi

Digunakan:

-Pasien dengan kelemahan kontrol lidah

-Dapat dikombinasikan dg supraglotik swallow u/membantu pasien yang juga lemah dlm menutup jalan nafas.3. Head Rotation/Head-Turn Posture Posisi memutar kepala ke arah sisi yg lemah

Rationale: memutar daerah faring dan menyempitkan rongga faring pada sisi yg lemah agar makanan turun melalui sisi yg normal, mendorong sisi pita suara yg lemah ke tengah & membantu dg proses aduksi pita suara.

Digunakan :

-Pasien dg kelemahan dindin faring unilateral

-Pasien dg disfungsi otot criopharyngeus.

4. Head Tilt PosturePosisi memiringkan kepala ke sisi yg normal

Rationale: menggunakan gaya gravitasi u/ mendorong makanan agar turun melalui sisi yg lebik kuat/memiliki kontrol lebih baik.

Digunakan:

-Pasien dg kelemahan oral dan pharyngeal pada sisi yg sama.

- Pengaturan konsistensi diet ( cair / padat )1) Modifikasi Diet / NutrisiModifikasi nutrisi: bila yang terganggu adalah fase oral, maka makanan yang dapat diberikan adalah dalam bentuk puree dan secara perlahan beralih ke padat.

2) Modifikasi Diet

Untuk pasien disfagia yg masih mampu makan peroral yg membutuhkan modifikasi diet krn tdk mampu mentoleler diet dg konsintensi reguler.

Modifikasi diet dibagi dua kategori:

-Diet Cair/liquid

-Diet padat/solid

Masing2 kategori dibagi menjadi 4 level

3) Diet Cair

Thin liquids : Air, teh

Nectar-thick liquids-diet : susu jus buah

Honey-thick liquids-diet : Jus apokat, jus sirsak

- Pudding-diet: yogurt

4) Diet Padat

Puree : bubur blender, havermount

Mechanical soft: daging cincang, makanan yg dapat dihancurkan dg sendok

Chopped: nasi tim

Reguler : makanan padat

- Stimulasi elektrik

Vital-Stim: neuromuskuler elektrikal yg membantu kontraksi otot2 menelan

DAFTAR PUSTAKA1. Ballenger J. Disease of the Nose Throat and Ear 12th ed. Lea and Febiger, Philadelphia 1977;2: 645-677.

2. Boies LR. Fundamental of Otolaryngology 3rd. WB Saunders company, Philadelphia 1063; 455-463.

3. Jackson C. Disease of the Nose Throat and Ear 2nd. WB Saunders company, Philadelphia 1959.

4. Jones RFN. Physiology of the mouth, pharynx and oesophagus. Scott-Browns Disease of the Ear, Nose and Throat 4th ed. Butter worth, London 1979; 4: 313-383.

5. Logemann JA. Upper digestive tract anatomy and physiology. Head and Neck Surgery-Otolaryngology 1998; 42: 571-578.

6. Broniatowski M, Sonies BC, Rubin JS et al.Current evaluation and treatment of patients with swallowing disorders. Otolaryngology head and neck surgery 1999; 120(4): 464-473.

7. Kashima HK, Gayler RW. Upper digestive tract evaluation and imaging. Head and Neck Surgery-Otolaryngology 1998; 44: 589-595.

8. Eibling DE. The oral cavity, pharynx, and esophagus. Essential otolaryngology head and neck surgery 2003; 22: 439-461.

9. Neal GD. Dysphagia. Decision making in otolaryngology.Mosby company, London 1984; 34-35.

10.Gray RF, Hawthorne M. Synopsis of Otolaryngology 5thed. Butterworth Heinemann 1992: 393-410.