evaluasi pelaksanaan protokol kemoterapi

76
EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI KANKER OVARIUM DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA PERIODE MEI-JULI 2007 SKRIPSI Oleh : RISE TRIYUSBERNA 03 613 144 JURUSAN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA NOVEMBER 2007

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

KANKER OVARIUM DI RSUP DR. SARDJITO

YOGYAKARTA PERIODE MEI-JULI 2007

SKRIPSI

Oleh :

RISE TRIYUSBERNA

03 613 144

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA

NOVEMBER 2007

Page 2: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

KANKER OVARIUM DI RSUP DR. SARDJITO

YOGYAKARTA PERIODE MEI-JULI 2007

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Farmasi

(S. Farm)

Program Studi Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

RISE TRIYUSBERNA

( 03613144 )

Oleh :

RISE TRIYUSBERNA

03 613 144

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA

OKTOBER 2007

Page 3: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

SKRIPSI

EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

KANKER OVARIUM DI RSUP DR. SARDJITO

YOGYAKARTA PERIODE MEI-JULI 2007

Yang diajukan oleh :

RISE TRIYUSBERNA

03 613 144

Telah disetujui oleh :

Pembimbing Utama, Pembimbing Pendamping,

Saepudin, MSi., Apt Suci Hanifah, S.F., Apt

Page 4: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

SKRIPSI

EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

KANKER OVARIUM DI RSUP DR. SARDJITO

YOGYAKARTA PERIODE MEI-JULI 2007

Oleh :

RISE TRIYUSBERNA

03 613 144

Telah dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi

Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Islam Indonesia

Tanggal : 18 Desember 2007

Ketua Penguji,

Saepudin, MSi., Apt

Anggota Penguji, Anggota Penguji,

Nanang Munif Yasin, M.Pharm., Apt Suci Hanifah, S.F., Apt

Mengetahui

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Islam Indonesia

Akhmad Fauzy, S.Si., M.Si., Ph.D.

Page 5: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skrpisi ini tidak terdapat karya

yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan

Tinggi dan sepanjang pengetahuan saya, juga tidak terdapat karya atu pendapat

yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis

diacu dalam naskah ini dan diterbitkan dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 18 Desember 2007

Penulis,

Rise Triyusberna

Page 6: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

HALAMAN PERSEMBAHAN

Setiap pagi datang, maka berkuranglah jatah usia kita dimuka bumi ini

Jangan sedih...walau banyak cobaan menghadang perjalanan kehidupan

Teruslah melangkah,,,meskipun harus gagal dan mati nanti

Jangan pernah menyerah!!

Buatlah hanya satu pilihan, harus bangkit dan melangkah lagi

Persiapkan perbekalan agar terus bernafas panjang

Tak ada kata berhenti kecuali Mati!

Thank’s to:

Allah SWT..Jika aku bertobat, itu atas anugrah-Nya kepada ku dan jika aku

berbuat dosa, Dia adalah harapanku. Jika aku berpaling, Dia menyeruku dan

jika aku menghadap Dia mendekatkan ku ( kepada-Nya) Jika aku mencintai(-

Nya), Dia memelihara ku dan jika aku ikhlas, Dia membisikiku. Jika aku

berbuat lalai, Dia memaafkan ku. Dan jika aku berbuat baik, dia membalasku..

Nabi Muhammad SAW

My Lovely Parent’s

Papa dan Mama Tercinta…

Terima kasih ya rabb, telah menjadikan aku anak mereka..

My Lovely Brother’s

Terima kasih ya..rabb telah memberiku 3 pangeran yang senantiasa mengawal

ku lewat ucapan dan tindakan..

My big Famili in jogja

.

Page 7: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Assalaamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahirabbil’alamiin, segala puji syukur penulis ucapkan

kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga pada akhirnya

penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul ’’Evaluasi

Pelaksanaan Protokol Kemoterapi Kanker Ovarium di RSUP Dr. Sardjito

Yogyakarta Periode Mei-Juli 2007’’.

Semoga sholawat dan salam senantiasa tercurah pada junjungan dan uswah kita

Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan pengikutnya, yang senantiasa

istiqomah mengikuti risalah-Nya. Amin

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar

Sarjana Farmasi pada Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Jurusan

Farmasi Universitas Islam Indonesia.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari

bimbingan, dorongan, dan bantuan baik material maupun spiritual dari berbagai

pihak. Oleh karena itu perkenankanlah penulis menghaturkan ucapan terima kasih

kepada :

1. Bapak Saepudin, MSi., Apt selaku Pembimbing utama yang telah banyak

memberikan bimbingan dan arahan selama penelitian hingga penyusunan

skripsi ini.

2. Ibu Suci Hanifah, S.F., Apt selaku Pembimbing pendamping yang telah

banyak memberi masukan-masukan hingga terselesaikannya skripsi ini.

3. Bapak Nanang Munif Yasin, M.Pharm., Apt selaku Dosen Penguji yang telah

memberikan arahan dan masukan untuk kesempurnaan skripsi ini.

4. Ayah dan Ibu, atas cinta, do’a dan kasih yang menjadi semangat penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak Akhmad Fauzy, S.Si., M.Si., Ph.D selaku Dekan Fakultas Matematika

dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Islam Indonesia.

6. Seluruh staf bagian Diklit (Pendidikan dan Penelitian) dan Seluruh staf

Page 8: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

karyawan IRNA RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta atas bantuan yang diberikan

untuk kesuksesan penelitian ini.

7. Bapak Yandi Syukri, M.Si., Apt. Selaku Ketua Jurusan Farmasi Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Islam Indonesia.

8. Dosen-dosen, seluruh karyawan, Almamaterku tercinta.

9. Semua pihak yang tidak bisa tersebutkan satu persatu, yang telah memberikan

bantuan dan dukungan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Penulis menyadari sepenuhnya dalam penulisan skripsi ini masih banyak

sekali terdapat kekurangan, dan penulis sangat mengharapkan kritik dan saran

yang bersifat membangun. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak dan

bagi dunia kesehatan. Amin.

Wassalaamu’alaikum Wr. Wb.

Yogyakarta, 18 Desember 2007

Penulis

Page 9: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………………...i

HALAMAN PERSETUJUAN…………………………………………………...iii

HALAMAN PERNYATAAN................................................................................v

HALAMAN PERSEMBAHAN.............................................................................vi

KATA PENGANTAR...........................................................................................vii

DAFTAR ISI……………………………………………………………………...ix

INTI SARI..............................................................................................................xi

ABSTRACT...........................................................................................................xii

DAFTAR TABEL.................................................................................................xiii

DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................................xiv

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah………………………………………………….1

B. Perumusan Masalah………………………………………………………3

C. Tujuan Penelitian…………………………………………………………4

D. Manfaat Penelitian………………………………………………………..4

BAB II. STUDI PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka…………………………………………………………5

1. Anatomi dan Fisiologi Ovarium…………………………………….....5

2. Kanker Ovarium………………………………………………………..7

a. Defenisi……………………………………………………………. 7

b. Epidemiologi………………………………………………………..7

c. Etiologi…………………………………………………………….. 8

d. Patofisiologi………………………………………………………..10

e. Gejala dan Tanda…………………………………………………..11

f. Diagnosis…………………………………………………………..12

g. Tata Laksana Terapi……………………………………………….13

3. Kemoterapi…………………………………………………………...15

a. Defenisi……………………………………………………...............15

b. Efek samping kemoterapi……………………………………….......15

c. Contoh jenis protokol dan regimen kemoterapi kanker ovarium…..18

Page 10: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

B. KETERANGAN EMPIRIK……………………………….......….........21

BAB III. METODE PENELITIAN

A. Batasan Operasional Penelitian…………………………………………..22

B. Bahan Penelitian………………………………………………………….22

C. Rancangan Penelitian…………………………………………………….22

D. Jalannya Penelitian……………………………………………………….22

E. Analisis Hasil…………………………………………………………….23

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik subyek penelitian..................................................................25

B. Evaluasi pelaksanaan protokol kemoterapi.................................................34

C. Analisis hubungan antara pelaksanaan protokol dengan kejadian emesis..40

D. Keterbatasan penelitian...............................................................................45

BAB V. KESIMPULAN

A. Kesimpulan.................................................................................................46

B. Saran...........................................................................................................47

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………48

LAMPIRAN……………………………………………………………………...50

Page 11: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

KANKER OVARIUM DI RSUP DR. SARDJITO

YOGYAKARTA PERIODE MEI-JULI 2007

INTISARI

Kanker ovarium merupakan penyebab kematian ke-5 pada wanita. Secara

umum pasien yang didiagnosa menderita kanker ovarium merupakan pasien

dengan kondisi stadium lanjut sehingga hanya kemoterapi yang tepat bagi pasien

stadium lanjut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik

pasien terkait dengan faktor risiko kanker ovarium dan kejadian emesis,

mengevaluasi pelaksanaan protokol kemoterapi pada pengobatan pasien kanker

ovarium di instalasi rawat inap RSUP Dr. Sardjito dan untuk mengetahui

hubungan kesesuaian pelaksanaan protokol dengan kejadian emesis. Penelitian ini

menggunakan data rekam medik pasien kanker ovarium dan wawancara dengan

pasien, yang diambil secara prospektif dan dianalisis dengan menggunakan

metode case series. Hasil penelitian ini dengan jumlah pasien 30 orang

menunjukkan bahwa karakteristik pasien yang paling berperan terkait dengan

faktor risiko kejadian kanker ovarium adalah faktor usia (36.3%), usia melahirkan

anak pertama diluar usia yang aman (20-24 tahun) sebesar 30% dan pola hidup

yang tidak sehat (86.6%). Karakteristik pasien yang berperan terkait dengan faktor

risiko kejadian emesis adalah siklus kemoterapi yaitu pada siklus ke-2 sebesar

33.3% dan tingkatan stadium yaitu pada stadium IIIC

sebesar 36.6%, kesesuaian

pelaksanaan protokol dengan protokol yang telah ditetapkan adalah 100%. Hasil

olah data dengan uji regresi logistik dengan taraf kepercayaan 95% menunjukkan

bahwa variabel independent (umur, status paritas, siklus kemoterapi, dan

pekerjaan) tidak menunjukkan hasil yang signifikan yaitu lebih dari 0,05.

Sehingga secara statistik keempat variabel independent tersebut tidak memiliki

pengaruh terhadap kejadian emesis.

Kata kunci : Kanker ovarium, protokol kemoterapi, prospektif, emesis, RSUP Dr.

Sardjito Yogyakarta

Page 12: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

EVALUATION OF CHEMOTHERAPY PROTOCOL OF OVARIAN

CANCER AT DR. SARDJITO HOSPITAL YOGYAKARTA PERIOD

MAY-JULY 2007

ABSTRACT

Ovarian cancer is the fifth leading cause of death in women. Generally

patient who diagnosed for ovarian cancer is patient at advanced ovarian cancer,

hence only chemotherapy that matches for advanced ovarian cancer patient. This

research aim to know about patient characteristic associated with risk factor of

ovarian cancer and emesis prevalent and to evaluate chemotherapy protocol

ovarian cancer, and to find out relation between suitability protocol ovarian cancer

with emesis occurrence. This research used medical record of patient ovarian

cancer and interview with patient, which is taken prospectively and analyzed

using case series method. Result showed that the most important characteristic

related with prevalence of ovarian cancer is age (36.3%), age when bera first child

beyond the safe age (age 20-24) as big as 30%, and unhealthy life pattern. The

most important characteristic related to emesis is chemoterapy cycle at second

cycle of 33.3% and staging with prevalence of ovarian cancer is stage IIIC

(36.6%), The suitability of protocol ovarian cancer with defined protocol is 100%.

There is no relation between the suitability of appropriate protocol ovarian cancer

with emesis occurence. Result of chi-square test and logistic regreesion showed

that from four variable independent (age, parity status, chemotherapy cycle, and

job) not significant more than 0,05. Thus those four variables statistically do not

have influence toward emesis occurrence.

Keyword : Ovarian cancer, chemotherapy protocol, prospective, emesis, Dr.

Sardjito hospital Yogyakarta.

Page 13: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kanker ovarium merupakan suatu kanker yang menduduki urutan kelima

kanker non-cutaneus paling umum yang ditemukan pada wanita. Diantara semua

jenis kanker ginekologi, kanker ovarium merupakan pemicu kelima yang

menyebabkan kematian dari berbagai macam keganasan yang terjadi pada wanita.

Kejadian kanker ovarium tertinggi ditemukan di Amerika Serikat, Eropa, dan

Israel, dan sangat rendah di Jepang. Di Amerika sendiri, diperkirakan 22.220

kasus baru kanker ovarium yang terdiagnosis dan pada tahun 2005 diperkirakan

16.210 wanita akan meninggal karena penyakit ini. Berdasarkan Surveillance,

Epidemiologi, and End Result (SEER) data yang dikumpulkan dari tahun 1995

sampai tahun 2000, harapan untuk bertahan hidup pada wanita kulit putih untuk

semua stadium diperkirakan 50 %, dan secara dramatis bisa menurun pada pasien

dengan penyakit tertentu (Dipiro et al., 2005). Di negara maju kecuali Jepang,

kanker ovarium berada pada urutan keenam dari tumor ganas pada wanita setelah

karsinoma payudara, kolorektal, serviks uteri, paru dan limfoma. Penyakit ini

mempunyai mortalitas tertinggi dari tumor ganas ginekologik. Di Indonesia,

kanker ovarium terdapat pada urutan keenam terbanyak dari tumor ganas pada

wanita setelah kanker serviks, uteri, payudara, kolekteral, kulit, dan limfoma

(Tambunan,1995).

Penyebab kanker ovarium tidak diketahui secara pasti dan bersifat

multifaktorial. Risiko berkembangnya kanker ovarium berkaitan dengan

lingkungan, endokrin dan faktor genetik. Insidens tertinggi terdapat di negara-

negara industri barat. Pola makan yang tidak sehat, kopi dan merokok, adanya

asbestos dalam lingkungan dan penggunaan bedak talk pada daerah vagina, semua

itu dianggap mungkin menyebabkan kanker (Sylvia dan Wilson, 2006).

Pada umumnya kanker ovarium ditemukan pada stadium lanjut. Sebagian

besar tumor membesar dan menyebar ke organ sekitarnya tanpa keluhan. Itulah

sebabnya tumor ini dikenal sebagai penyakit yang muncul secara diam-diam tapi

mematikan (silent killer) (Ozols et al., 2001). Sebagian besar pasien ketika

Page 14: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

didiagnosis kanker ovarium penyakitnya sudah menyebar. Hal ini disebabkan

gejala-gejala yang dialami biasanya tidak muncul sampai penyakit ini terdeteksi.

Hal tersebut menyebabkan kanker ovarium merupakan salah satu kanker dengan

prognosis terburuk dan penyebab kematian kelima diantara kanker ginekologi

pada perempuan (Dipiro et al., 2005).

Kemoterapi adalah suatu pengobatan kanker dengan obat atau zat yang

berkhasiat menghambat pertumbuhan atau membunuh sel kanker. Obat antikanker

yang digunakan dikenal juga dengan nama sitotoksik, sitostatik atau

antineoplasma (Siswandono, 2000). Konsep pada pemberian kemoterapi kanker

didasarkan pada siklus pertumbuhan dan pembelahan sel, sifat sel itu sendiri

berbeda dari sel normal dan sasaran yang dapat dicapai. Penatalaksanaan

kemoterapi secara umum berbeda dengan pengobatan yang dilakukan pada jenis

penyakit yang lain. Pemberian kemoterapi dilakukan berdasarkan pada protokol

yang telah ditetapkan baik oleh suatu rumah sakit, standar nasional, maupun

standar internasional. Protokol itu sendiri merupakan suatu SOP (Standar

Operasional Prosedur) pada pemberian suatu regimen kemoterapi.

Salah satu mekanisme kerja dari obat-obat kemoterapetik adalah

memanfaatkan sifat tumor yang tumbuh secara cepat sehingga banyak memiliki

sel yang sedang bereplikasi dan membelah sehingga cenderung rentan terhadap

kemoterapi. Namun sel-sel normal juga rentan terhadap efek merusak dari obat-

obat kemoterapetik sehingga hal tersebut menyebabkan timbulnya efek yang tidak

diinginkan dari kemoterapi seperti penekanan sum-sum tulang, yang sebaliknya

menyebabkan kelelahan, anemia, kecendrungan pendarahan, dan meningkatan

resiko terjadinya infeksi. Sel-sel normal yang lain yang juga rentan terhadap obat

sititoksik adalah sel saluran cerna dan sel folikel rambut. Sehingga efek samping

yang sering ditemukan adalah emesis dan rambut rontok (Corwin, 2001).

Emesis merupakan efek samping yang sering ditemukan pada pengobatan

kemoterapi. Adapun faktor yang dapat memicu terjadinya emesis ini bervariasi,

selain karena pemberian kemoterapi, emesis juga dapat disebabkan oleh kondisi

klinis pasien, faktor makanan, dan riwayat perjalanan pasien. Emesis tidak hanya

mempengaruhi kualitas hidup pasien, tetapi juga dapat menyebabkan penolakan

pengobatan dengan antineoplasma yang mempunyai potensi penyembuhan. Selain

Page 15: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

itu, emesis yang tidak terkendali dapat menyebabkan dehidrasi,

ketidakseimbangan metabolisme dan berkurangnya asupan nutrisi. Oleh karena itu

emesis harus mendapat perhatian yang serius dan secepatnya diatasi. Pengatasan

emesis ini menggunakan antiemesis yang keberhasilannya sebagian besar

ditentukan oleh kesesuaian antara regimen kemoterapi dengan antiemesis yang

diberikan.

Masalah klinis yang dialami oleh pasien kanker tidak hanya terkait

dengan penyakitnya sendiri tetapi juga terkait dengan terapinya yang di antaranya

berupa efek samping dan efek toksik terapi. Dengan adanya masalah klinis yang

terkait dengan faktor terapinya sendiri, maka dibutuhkan pendekatan

multidisipliner dengan modalitas terapi yang terdiri dari kombinasi antara

pembedahan, radioterapi, dan kemoterapi. Kerja sama yang erat serta

dilakukannya evaluasi pelaksanaan protokol kemoterapi kanker ovarium ini

mutlak diperlukan untuk mencapai efektivitas maksimal pengobatan dan

meminimalisir efek samping yang tidak diinginkan serta tumpang tindihnya

berbagai toksisitas.

Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito Yogyakarta merupakan rumah

sakit pendidikan sekaligus sebagai rumah sakit rujukan tipe A. Kasus kanker

ovarium relatif lebih banyak ditemukan dibanding Rumah Sakit lain di Jawa

tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasil observasi awal ditemukan

sebagian besar penderita kanker ovarium yang di rawat inap di Rumah Sakit

Umum Pusat Dr. Sardjito merupakan pasien dengan diagnosa kanker ovarium

stadium II dan III, Sehingga memungkinkan untuk dilakukan penelitian di RSUP

Dr. Sardjito.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana karakteristik pasien terkait dengan faktor risiko kanker

ovarium dan kejadian emesis ?

2. Apakah pemberian kemoterapi pada pengobatan pasien kanker ovarium di

instalasi rawat inap RSUP Dr.Sardjito telah terlaksana sesuai dengan

protokol yang ditetapkan ?

3. Bagaimana hubungan kesesuaian pelaksanaan protokol dengan kejadian

emesis ?

Page 16: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui karakteristik pasien terkait dengan faktor risiko kanker

ovarium dan kejadian emesis.

2. Untuk mengevaluasi pelaksanaan protokol kemoterapi pada pengobatan

pasien kanker ovarium di instalasi rawat inap RSUP Dr. Sardjito.

3. Untuk mengetahui hubungan kesesuaian pelaksanaan protokol dengan

kejadian emesis.

D. Manfaat Penelitian

1. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber

informasi pemberian kemoterapi secara tepat.

2. Dapat dijadikan sebagai salah satu sumber acuan dalam peningkatan mutu

pelayanan medik pada penatalaksanaan kemoterapi kanker ovarium.

Page 17: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

BAB II

STUDI PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka

1. Anatomi dan Fisiologi Ovarium

Organ reproduksi dapat dibagi atas organ externa dan interna (Pearce,

2002). Organ-organ internal sistem reproduksi perempuan terdiri dari dua ovarium

dan dua tuba fallopi atau saluran telur, uterus dan vagina. Genitalia externa secara

keseluruhan disebut vulva dan terdiri dari struktur-struktur yang tampak dari luar,

mulai dari pubis sampai ke perineum, yaitu mons pubis, labia mayora, labia

minora, klitoris, vestibulum, yang berbentuk seperti buah almond di dalam labia

minora (Sylvia dan Wilson, 2006)

Anatomi Ovarium (indung telur)

Gambar 1. Anatomi manusia (wanita) (Anonim, 2006b)

Struktur kedua ovarium adalah kelenjar berbentuk biji buah kenari, terletak di

kanan dan kiri uterus, di bawah tuba uterine dan terikat di sebelah belakang oleh

ligamentum latum uteri. Ovarium berisi sejumlah besar ovum belum matang, yang

disebut oosit primer. Setiap Oosit dikelilingi oleh sekelompok sel folikel pemberi

makanan. Pada setiap siklus haid salah satu dari ovum primitif ini mulai

mengalami pematangan dan kemudian dengan cepat berkembang menjadi folikel

ovario yang vesikuler ( folikel Graaf ) (Pearce, 2002).

Page 18: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

Ovarium memiliki tiga fungsi yaitu sebagai tempat produksi ova, produksi

estrogen, dan produksi progesterone (Pearce, 2002). Pada perempuan dewasa,

ovarium berkembang menghasilkan sel telur (oogenesis) dan menghasilkan

hormon-hormon steroid : estrogen-estron (E1), Estradiol (E2), dan estriol ( E3)

dan androgen serta progesteron. Sejumlah kecil estrogen dan androgen juga

disekresi oleh korteks adrenal. Androgen diubah menjadi estrogen perifer pada

jaringan lemak. Estradiol adalah estrogen yang disekresi dalam jumlah banyak

oleh ovarium (Sylvia dan Wilson, 2006). Ovarium berfungsi mengeluarkan

hormon steroid dan peptida seperti estrogen dan progesteron. Kedua hormon ini

penting dalam proses pubertas wanita dan ciri-ciri seks sekunder. Estrogen dan

progesteron berperan dalam persiapan dinding rahim untuk implantasi telur yang

telah dibuahi. Selain itu juga berperan dalam memberikan sinyal kepada kelenjar

hipotalamus dan pituitari dalam mengatur sikuls menstruasi (Anonim, 2006b)

Setelah mengalami ovulasi, sel telur akan masuk ke dalam tuba fallopi dan

bergerak pelan menuju rahim. Jika dibuahi oleh sperma (di tuba fallopi), sel telur

akan melakukan implantasi pada dinding uterus dan selanjutnya berkembang

menuju proses kehamilan. Jika pembuahan tidak terjadi di tuba fallopi, maka

dapat terjadi kehamilan ektopik, yaitu suatu kehamilan yang terjadi di luar rahim.

Perkembangan janin pada kehamilan ektopik dapat terjadi di tuba fallopi sendiri,

bibir rahim, bahkan ovarium (Anonim, 2006b).

Ovarium jarang sekali menjadi tempat timbulnya penyakit primer, kecuali

neoplasma. Ini memang benar, karena kanker ovarium menyebabkan kematian

(kira-kira 12.000) yang lebih banyak daripada kanker serviks dan korvus uteri

secara bersama-sama. Bukan dari sisi frekuensi, tetapi dari sisi letalitasnya yang

menyebabkan kanker ini menjadi ganas. Radang primer ovarium merupakan

sesuatu yang jarang terjadi , tetapi salpingitis pada tuba seringkali menimbulkan

reaksi periovarium yang disebut salpingooforitis. Sebagaimana telah dibicarakan,

ovarium sering terkena secara sekunder pada endometriosis. Hanya kista non-

neoplasma dan neoplasma yang memerlukan perhatian lebih lanjut Neoplasma

ovarium ditemukan dalam variasi yang menakjubkan, baik tipe histogenesis

maupun bentuknya. Perbedaan ini dapat dihubungkan dengan tiga macam sel yang

membentuk ovarium yang normal-epitel permukaan yang multipotensial, sel benih

Page 19: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

yang totipotensial, dan sel stroma pita kelamin (sex cord-stromal cells) yang

multipotensial (Robins, 1995).

2. Kanker Ovarium

a. Definisi

Kanker ovarium merupakan suatu penyakit yang disebabkan adanya

kelainan genetik yaitu pada gen BRCA 1, BRCA2, p21, Her2Neu, p53, OVAC1,

OVAC2, dan gen fungsi Rb, serta kehilangan heterozygot pada kromosom 6, 9,

13q, 17, 18q, 19p, dan 22q. Perubahan pada gen ini bisa menyebabkan terjadinya

gangguan atau mutasi pada BRCA 1 dan BRCA2 (Dipiro et al., 2005). Salah satu

perubahan gen yang penting menyebabkan kanker ovarium adalah perubahan

pada Gen p53. Gen p53 adalah gen regulator yang banyak ditemukan di sel

manusia. Apabila diaktifkan, gen ini menyebabkan pembentukan suatu faktor

transkripsi yang melekat ke DNA sel dan bekerja seperti tombol untuk

mencetuskan transkripsi (replikasi) DNA. Gen regulator juga digambarkan

sebagai”tombol hidup-mati “ yang memungkinkan sel bereproduksi atau tidak,

bergantung pada kondisi. Apabila control dari gen regulator menghilang, atau

apabila gen regulator itu sendiri yang rusak, maka sel akan berproliferasi secara

liar yang akhirnya membentuk kanker (Corwin, 2001).

b. Epidemiologi

Kanker ovarium biasanya muncul pada masa postmenopose pada wanita

kulit putih sebelum usia 60 tahun. Hanya 5-10 % kanker ovarium yang dikenal ;

sebagian besar kanker ovarium muncul secara diam-diam. Di Amerika Serikat,

selama masa hidupnya risiko berkembangnya kanker ovarium pada wanita adalah

1,4 % sampai 1,8 %. Sebagian besar faktor risiko yang paling penting sebagai

penyebab munculnya kanker ovarium adalah adanya riwayat keluarga yang

menderita kanker ovarium. Risiko berkembangnya kanker ovarium meningkat 3,4

% pada wanita yang sering mengalami keguguran, 7%-9% pada wanita dengan

riwayat keluarga penderita kanker ovarium dan menurun sampai 0,6 % pada

wanita yang mengalami kehamilan, khususnya pada wanita yang hamil pertama

kali diusia sebelum 25 tahun. Adanya saran bahwa menghalangi peristiwa ovulasi

kemungkinan dapat memberikan faktor kontribusi atau mengurangi risiko

Page 20: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

terjadinya kanker ovarium. Penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka panjang

atau menyusui dapat memperendah resiko berkembangnya kanker ovarium.

Risiko peningkatan kanker ovarium juga terkait dengan lingkungan perokok atau

penggunaan talk (Dipiro et al., 2005).

Kanker ovarium menduduki urutan ke-14 dunia (negara maju maupun

negara berkembang). Di Indonesia pada tahun 1990, kanker ovarium menduduki

urutan ke-6 terbanyak diantara kanker ginekologi. Sementara di dunia, Indonesia

menduduki urutan ke-7 negara yang paling banyak ditemukan kasus kanker

ovarium pada wanita dan merupakan urutan ke-3 penyebab kematian karena

keganasan pada wanita setelah kanker serviks. Ketahanan hidup dapat dicapai

72.8% apabila ditemukan pada stadium I, 95% pada stadium II dan semakin

menurun menjadi 8% apabila ditemukan pada stadium lanjut. Adanya prognosis

yang buruk dalam penanganan kanker ovarium, misalnya di RSCM disebabkan

oleh 85% merupakan kasus rujukan, 36% datang pada stadium III – IV, dan 37%

penatalaksanaan tidak dapat optimal (Nurana et al., 2007).

Di negara maju frekuensi kanker ovarium merupakan 5% dari seluruh

penyakit kanker yang ada pada wanita. Akan tetapi di Jepang yang juga dikenal

sebagai negara maju, kanker ovarium jarang ditemukan. Sebagian besar kanker

ovarium berasal epitel superfisial dan lebih banyak ditemukan pada umur 50 tahun

atau lebih, sedang tumor yang berasal dari germ cell lebih banyak ditemukan pada

anak-anak ataupun wanita muda (Tambunan, 1995).

c. Etiologi

Penyebab pasti kanker ovarium belum diketahui namun bersifat

multifaktorial. Risiko berkembangnya kanker ovarium memiliki kaitan dengan

lingkungan, endokrin, dan faktor genetik. Insidens tertinggi terdapat di negara-

negara industri barat. Kebiasaan makan, kopi, dan merokok, adanya asbestos

dalam lingkungan, dan penggunaan bedak talk pada daerah vagina, semua itu

dianggap mungkin menyebabkan kanker (Sylvia dan Wilson, 2006).

Karena letaknya dalam panggul, gejala awal jarang ditemukan. Sering ditemukan

pada usia pasca-menopose, 80% kasus ditemukan pada wanita usia di atas 50

tahun. Insidens tertinggi ditemukan pada wanita dengan usia 60-65 tahun. Jenis

yang sering adalah jenis karsinoma sel epitelial. Pada usia muda juga ditemukan

Page 21: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

jenis karsinoma sel germinal. Adapun kanker ovarium diduga disebabkan oleh

faktor-faktor berikut :

1) Ovulasi yang terus menerus. Akibat seringnya ovulasi menyebabkan

trauma pada ovarium. Pemberian pil KB atau seringnya melahirkan kemungkinan

dapat melindungi ovarium dari risiko keganasan ini. Tapi teori ini tidak dapat

menjelaskan faktor usia lanjut / postmenopause, atau insidens yang rendah pada

wanita Jepang yang jarang memakai pil KB.

2) Adanya kontaminasi benda asing. Permukaan ovarium bisa terkontaminasi

oleh bahan-bahan yang mengalir dari tuba, misalnya darah/jaringan menstruasi,

bedak, obat-obatan dan lain sebagainya.

3) Hipergonadotropik-hipogonadisme. Gonadotropin meningkat bila

ovarium tidak dapat mengontrol balik hipofisis (gangguan feedback mechanism).

Kegagalan ovarium ini menyebabkan hipogonadisme, dapat terjadi misalnya

karena defisiensi oosit secara kongenital, infeksi virus, galaktosemia, radiasi, atau

toksin hidrokarbon polisiklik akibat rokok, kafein, dan oksidan lainnya. Wanita

yang infertil karena hipogonadisme termasuk kelompok risiko tinggi. Kehamilan

dan pemakaian pil-KB mempunyai efek protektif, karena dapat mengubah sekresi

hormon tropik ini. Kehamilan dilaporkan mempunyai efek protektif terhadap

kanker ovarium. Meningkatnya insiden kanker ovarium ada kaitannya dengan

faktor kehamilan antara lain jumlah wanita hamil sedikit, proporsi wanita mandul

lebih banyak, kehamilan pertama pada umur lanjut dan proporsi yang gagal hamil

lebih banyak. Pada populasi wanita pemakai kontrasepsi oral ataupun suntikan,

insiden kanker ovarium juga menurun (Tambunan,1995).

4) Genetik (perubahan/gangguan pada gen yang diturunkan). Faktor risiko

bisa meningkat menjadi 11 kali pada wanita dengan riwayat kanker ovarium

dalam keluarga (sindroma famili) ( Nurana et al., 2007).

5) Faktor makanan mungkin memiliki kaitan dengan meningkatnya kanker

ovarium pada imigran wanita Jepang di Amerika Serikat.

Page 22: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

d. Patofisiologi

Zat-zat karsinogenik

Tumor primer

Infiltrasi ke jaringan sekitar

Implantasi (ciri khas kanker ovarium)

Ascites (kelebihan volume cairan)

Gejala samar (nafsu makan menurun, makan sedikit terasa cepat

kenyang, sering kembung, dan perut sebah) yang mengakibatkan anemia,

kelelahan, dan resiko infeksi.

Lebih dari 30 jenis neoplasma ovarium telah diidentifikasi. Tumor

ovarium dikelompokkan dalam tiga kategori besar.

1) Tumor-tumor epitelial

2) Tumor stroma gonad

3) dan tumor-tumor sel germinal.

Tumor-tumor epitelial menyebabkan 60 % dari semua neoplasma ovarium dan

diklasifikasikan sebagai neoplasma jinak, perbatasan ganas dan ganas. Bentuk

neoplasma epithelial yang ganas menyebabkan 90 % dari semua kanker ovarium.

Keganasan epithelial yang paling sering adalah adenokarsinoma serosa (Sylvia

dan Wilson, 2006)

Kebanyakan neoplasma epithelial mulai berkembang dari permukaan

epithelium, atau serosa ovarium. Dalam embrio, tuberkulum genitale (ovarium)

dan saluran mullerian (tuba fallopi, uterus, dan vagina) memiliki bentuk awal

mesodermal. Oleh karena itu, neoplasma epithelial ovarium mencerminkan jenis-

jenis sel differensiasi mullerian yaitu serosa yang mirip dengan tuba fallopi, 46 %;

musinosin yang mirip dengan endoserviks, 36 %; endometrioid yang mirip

dengan endometrium, 8 %; dan sel terang mirip dengan kelenjar endometrium saat

hamil, 3 %. Tumor lain adalah jenis sel urotelial, karsinoma campuran, dan

karsinoma tidak terdiferensiasi.

Page 23: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

Kanker ovarium bermetastis dengan menginvasi secara langsung struktur

yang berdekatan dengan abdomen atau pelvis dan sel-sel yang menempatkan diri

pada rongga abdomen dan pelvis. Sel-sel ini mengikuti sirkulasi alami cairan

peritoneal sehingga implantasi dan pertumbuhan keganasan selanjutnya dapat

timbul pada semua permukaan intraperitoneal. Limfatik yang disalurkan ke

ovarium juga merupakan jalur untuk penyebaran sel-sel ganas. Semua kelenjar

pada pelvis dan kavum abdominal pada akhirnya akan terkena. Penyebaran awal

kanker ovarium pada jalur intraperitoneal dan limfatik muncul tanpa gejala atau

tanda spesifik (Sylvia dan Wilson, 2006).

Kanker ovarium menyebar secara cepat melalui rongga perut, aliran limfe,

dan pembuluh darah. Biasanya apabila penyebaran diluar rongga perut akan

masuk kerongga dada dan membentuk cairan abnormal di dalam paru-paru.

Penyebaran ruangan lain sangat jarang (Corwin, 2000).

Tumor ovarium menyebar secara langsung pada jaringan atau organ

sekitarnya melalui cairan peritoneum. Tumor sering menyebar pada lapisan serosa

tuba fallopi, uterus, vesika urinaria, dan rektum secara langsung.

e. Gejala dan Tanda

Secara tipikal, gejala tergantung pada besarnya tumor. Beberapa penderita

wanita pada stadium awal mengalami gangguan perut yang samar-samar. Sesudah

kanker berkembang, gejala yang kelihatan yaitu sering buang air kecil, sembelit,

panggul terasa tidak enak, dan mengalami penurunan berat badan. Pada kanker

yang telah berkembang jauh akan dijumpai cairan dalam rongga perut. Apabila

kanker pecah, akan terjadi infeksi yang menyebabkan rasa sakit. Pada wanita

muda, rasa sakit ini hampir bersamaan dengan apendiksitis sedangkan pada wanita

yang tua sesuai dengan gejala pendarahan dan gejala post menopose.

Kanker ovarium atau indung telur mendapat julukan the silent lady killer

atau pembunuh wanita diam-diam, karena menjadi penyebab kematian tertinggi

wanita. Julukan itu juga menyiratkan sifat kanker ovarium yang sulit dideteksi

pada stadium dini. Gejala penyakitnya baru dirasakan setelah memasuki stadium

lanjut. Gejala biasanya berupa pembesaran perut karena terdapat penggumpalan

cairan di dalam perut. Kondisi ini memberi rasa sakit di perut dan terjadi

pendarahan cukup banyak ketika menstruasi (Anonim, 2006b).

Page 24: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

Gangguan menstruasi terjadi ketika tumor menyerang hormon. Gejala

lainnya, perut terasa kembung dan merasa tidak nyaman. Bila stadium berlanjut,

maka gejala selanjutnya selain perut membesar akan terasa ada benjolan di perut

ketika diraba, nyeri pada panggul, gangguan buang air besar atau buang air kecil

akibat penekanan pada saluran pencernaan dan saluran kencing. Kemudian

penderita dapat mengalami penimbunan cairan di rongga perut sampai mengalir

ke rongga dada. Perut pun tampak semakin membuncit. Bahkan bisa juga sampai

terjadi sesak napas (Anonim, 2006b)

f. Diagnosis

Diagnosis kanker mencakup tinjauan kondisi klinis pasien, pengumpulan

keterangan mengenai kebiasaan perorangan misalnya merokok, dan penelitian

latar belakang genetik pasien untuk kanker. Dugaan kanker ovarium merupakan

hasil pemeriksaan seorang dokter dengan sangat hati-hati termasuk juga

pemeriksaan payudara, pap smear, dan pemeriksaan rektovaginal. Pemeriksaan

menjadi sangat terbantu dengan adanya keterangan riwayat keluarga secara detail,

terutama ada tidaknya angka dan kejadian yang berhubungan dengan

pertumbuhan kanker. Pemeriksaan darah lengkap, gambaran kimiawi (termasuk

tes fungsi hati dan ginjal), dan uji CA-125 harus dilakukan. CA-125 antigen

umum untuk sebagian besar epitel nonmucinous kanker ovarium dan dideteksi

dilaboratorium dengan antibody monoclonal secara langsung pada antigen ini.

CA-125 merupakan penanda tumor yang sangat berguna karena ditemukan lebih

dari 80 % pada tumor ovarium naik atau turunnya titer berhubungan dengan

penyebaran penyakit. Nilai CA-125 kurang dari 35 unit/mL. Penyakit yang sukar

disembuhkan sering dihubungkan dengan level CA-125 dimana tidak dapat

kembali normal atau bekasnya diangkat setelah pemberian kemoterapi yang

lengkap. Test diagnosis lainnya termasuk chest x-ray, pyelogram intravena,

cystoscopy, prostoscopy, dan barium enema. Penyebaran klinis, computed

tomography (CT), magnetic resonance imaging (MRI), atau ultrasound dapat

digunakan sebagai indikasi (Dipiro et al., 2005)

Menjelang diagnosis massa adeksa ditemukan dalam pemeriksaan pelvik

tergantung dari berbagai faktor, termasuk usia reproduktif, ukuran massa adneksa,

status menopose, dan gejala-gejalanya. Penyelidikan laparotomi diindikasikan

Page 25: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

untuk wanita premenarce, wanita dengan massa tumor bilateral, atau wanita

dengan sakit intraabdominnal atau asites (Dipiro et al., 2005).

Stadium kanker biasanya ditentukan sebelum tindakan bedah. Akan tetapi pada

tumor ovarium, stadium ditentukan berdasarkan pemeriksaan sesudah laporatomi.

Penentuan stadium dengan laporatomi lebih akurat, oleh karena perluasan tumor

dapat dilihat dan ditentukan berdasarkan pemeriksaan patologi (sitologi atau

histopatologi), maka terapi dan prognosis dapat ditentukan lebih akurat pula.

Klasifikasi stadium yang biasa dipergunakan untuk tumor ganas adalah menurut

FIGO (Tambunan, 1995).

Tabel I. Klasifikasi Stadium menurut FIGO (Tambunan, 1995)

Stadium Interpretasi

I

Ia

Ib

Ic

II

IIa

IIb

IIc

III

IV

Khusus

Tumor terbatas diovarium

Pertumbuhan tumor ganas disatu ovarium dan tidak ada asites

Tumor terbatas dikedua ovarium tanpa asites

Tumor terbatas disatu atau kedua ovarium, sitologi asites atau air

cucian peritoneum positif maligna

Tumor disatu atau kedua ovarium dengan pertumbuhan dalam pelvis

Tumor disatu atau kedua ovarium dengan pertumbuhan dipelvis minor

dan pada pembedahan tumor terangkat seluruhnya.

Tumor meluas pada jaringan pelvis dan pada pembedahan tumor tidak

terangkat seluruhnya

Tumor stadium II a atau II b, tapi asites atau cairan Peritoneum

positif sel maligna

Tumor disatu atau kedua ovarium dengan metastasis pada Peritoneum

diluar panggul dan kelenjar KGB retroperitoneal atau keduanya. Tumor

terbatas pada panggul kecil dengan metastasis ke dinding usus dan

omentum, dibuktikan dengan hispatologik.

Tumor pada satu atau kedua ovarium dengan metastasis jauh.

Metastasis kehati atau adanya efusi pleura yang dibuktikan dengan

sitologi juga digolongkan stadium IV

Kasus yang tidak dilakukan laporatomi, tapi diduga karsinoma ovarium.

g. Tatalaksana Terapi

Manajemen atau tata laksana terapi kanker ovarium didasarkan atas tipe

jaringan, tingkat patologi, dan stadium dari penyakit yang telah terdiagnosis. Pada

umumnya terapi pada pasien kanker ovarium pada permulaannya meliputi

pembedahan pada tempat lesi pada waktu stadium laparotomi yang diikuti dengan

kemoterapi adjuvant. Bagaimanapun, efek dari pemindahan lesi pada pasien

dengan tahap stadium IV hasilnya tidak bisa sembuh secara total. Terapi pada

tahap kedua direkomendasikan apabila sisa-sisa penyakit ditemukan setelah

Page 26: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

pemberian kemoterapi adjuvant. Walaupun, memberikan respon yang tinggi,

banyak pasien penderita kanker ovarium masih tidak bisa diselamatkan atau

meninggal akibat penyakit yang mereka derita, sehingga penting dilakukan

diagnosa sedini mungkin, dan daftar pasien yang tepat sesuai dengan tingkatan

stadium penyakitnya (Dipiro et al., 2005).

Pengobatan berdasarkan Stadium

1) Stadium Awal ( Stadium I dan II)

Diperkirakan satu-tiga pasien penderita kanker ovarium dengan penyakit

tertentu (stadium I atau II) yang telah terdiagnosis. Pada pasien yang penyakitnya

jelas terdiagnosa stadium awal, tindakan pembedahan yang komprehensif sangat

penting dilakukan sepenuhnya karena kira-kira satu-tiga pasien akan mempunyai

fase metastase yang tidak jelas besarnya pada organ secara keseluruhan.

Selama laparotomi, pasien harus menjalani stadium komprehensif, total

abdominal histerectomy, dan bilateral salpingooporectomi. Wanita dengan

stadium IA, tingkat 1 tumor ovarian menginginkan pemeliharaa ovarian fungsi

reproduksi bisa menjalani sebuah unilateral salpingo-oophorectomi tanpa

penurunan resiko untuk bertahan hidup secara signifikan. Manfaat dari

kemoterapi tambahan pada penyakit tertentu tidak tergantung pada stadium dan

jenis penyakitnnya.

Kemoterapi adjuvant post operatif tidak dianjurkan pada tahap 1, Stadium

IA atau IB kanker ovarium, yang pasien dengan tahap 2 atau 3, stadium IA atau

IB, dan stadium IC, kanker ovarium bermanfaat dari kemoterapi adjuvant.

Seluruh pasien degan stadium II harus menerima pengobatan tambahan (Dipiro et

al., 2005).

2) Stadium III dan IV

Mayoritas wanita dengan kanker ovarium dideteksi sudah tahap III dan IV.

Pengobatan pada Stadium III dan IV ini jelas berupa tindakan pembedahan pada

tempat yang mengandung lesi kemudian diikuti dengan kemoterapi tambahan atau

konsolidatif dengan menggunakan paclitaxel + Cisplatin atau Carboplatin untuk 6

siklus. Secara keseluruhan, fungsi dari pengobatan stadium ini (III dan IV) adalah

bertujuan untuk memelihara hidup pasien dan mengendalikan sisa-sisa kanker

setelah tahap pembedahan (Dipiro et al., 2005).

Page 27: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

3. Kemoterapi

a. Definisi

Obat anti kanker adalah senyawa kemoterapetik yang digunakan untuk

pengobatan tumor yang membahayakan kehidupan (kanker). Obat antikanker

sering dinamakan pula sebagai obat sitotoksik, sitostatik atau antineoplasma.

Tujuan utama kemoterapi kanker adalah merusak secara selektif sel tumor yang

berbahaya tanpa mengganggu sel normal. Tujuan ini sering mengalami kegagalan

dan sampai sekarang masih sedikit sekali obat antikanker yang bekerja secara

selektif untuk pengobatan jenis kanker tertentu (Siswandono, 2000)

b. Efek samping kemoterapi

Konsep mengenai pemberian kemoterapi kanker didasarkan pada siklus

pertumbuhan dan pembelahan sel, sifat sel kanker itu sendiri yang berbeda dari

sel normal, dan sasaran yang dicapai. Kemoterapi bersifat sistemik dan bervariasi.

Pemberian regimen kemoterapi yang bervariasi tersebut menyebabkan tingkatan

efek samping yang dihasilkan juga bervariasi. Berikut tingkatan potensi kejadian

efek samping yang disebabkan oleh pemberian regimen kemoterapi diatas :

1) Potensi kejadian emesis

Pada batang otak terdapat dua tempat yang mempunyai peranan penting

dalam jalur muntah. Daerah pemicu kemoreseptor, berada di area postrema

(suatu struktur sirkumventrikular pada ujung kaudal ventrikel keempat ) berada

diluar sawar otak. Jadi obat ini dapat memberi respon secara langsung terhadap

rangsangan kimiawi didalam darah atau cairan serebrospinalis. Tempat penting

yang kedua, pusat muntah, terletak di formasio lentikular lateral dari medula,

mengkoordinasi mekanisme motor dari refleks muntah. Pusat muntah juga

memberikan respons terhadap input aferen dari sistem vestibular, bagian perifer

( faring dan saluran pencernaan ) dan bagian lebih tinggi dari batang otak dan

struktur kortikal. Sistem vestibular berfungsi terutama pada mabuk perjalanan

(Mycek et al., 2001).

Obat-obat kemoterapi (atau metabolitnya) dapat mengaktivasi langsung

daerah pemicu kemoreseptor di medula atau pusat muntah; beberapa

neuroreseptor, termasuk dopamin tipe 2 dan serotonin tipe 3 , memainkan peranan

kritis. Sering, warna dan bau obat-obat kemoterapi dapat mengaktivasi pusat

Page 28: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

muntah yang lebih tinggi di dalam pusat otak dan memicu muntah. Obat-obat

kemoterapi juga dapat bekerja secara perifer dengan menyebabkan kerusakan sel

di saluran pencernaan dan melepaskan serotonin dari sel enterokromafin dari

mukosa usus halus. Serotonin yang dilepaskan mengaktivasi reseptor 5-HT3 pada

saraf vagus dan serat aferen nervus splanknikus yang kemudian membawa sinyal

sensoris ke medula, menyebabkan respon muntah (Mycek et al., 2001).

Sebelum menentukan obat antiemesis yang akan digunakan, penting untuk

mengetahui obat kemoterapi yang digunakan termasuk dalam kelompok yang

mana menurut kemampuannya dalam menimbulkan emesis. Obat-obat

kemoterapi, menurut kemampuannya dalam menimbulkan emesis, dibagi atas 3

kelompok, yaitu ringan, sedang, dan berat. Disebut ringan bila kurang dari 10%

pasien yang mendapat obat kemoterapi tertentu mengalami emesis, sedang bila

50% pasien yang mendapat obat kemoterapi tertentu mengalami emesis, dan berat

bila semua pasien yang mendapat obat kemoterapi tertentu mengalami emesis.

Berikut ini adalah pembagian obat kemoterapi menurut kemampuannya

dalam menimbulkan emesis.

Tabel II. Obat kemoterapi menurut kemampuannya dalam menimbulkan

emesis (Anonim, 2007)

Ringan Bleomisin, busulfanoral, steroid, fludarabin,

hidroksiurea Interferon, melfalan (Oral),

merkaptopurin, methotrexate < 1 g/m2, tioguanin,

vinblastin, vinkristin.

Sedang Asparagin, sitarabin < 1 g/m2, etoposid, fluorasil

< 1000mg/m2, gemcitabin, metotreksat >1 g/m

2,

tiotepa, topotekan, siklofosfamid<750mg/m2,

epirubisin, idarubisin, mitoxantron< 15 mg/m2

Berat karboplatin, karmustin, sisplatin, siklofosfamid>

750 mg/m2 sitarabin > 1 g/m

2, aktinomisin,

doksorubisin, irinotekan melfalan (IV),

metotreksat > 2 g/m2, mitoxantron >15 mg/m2,

prokarbazin

2) Faktor-faktor yang memicu kejadian emesis

Kejadian emesis dapat dipicu oleh adanya penyakit pada lambung, pada

kandung empedu, pankreatitis kronis, uremia, koma hepatika, peningkatan

tekanan di otak serta infeksi akut. Selain itu emesis merupakan gejala utama

Page 29: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

kinetosis (penyakit perjalanan), yang dapat terjadi jika seseorang melakukan

perjalanan dan terjadi gerakan pasif terhadap kesetimbangan secara cepat dan

berulanga-ulang., kurangnya fiksasi mata pada benda-benda yang bergerak cepat

dan adanya rangsang psikis. Disamping itu emesis juga dapat terjadi pada wanita

yang dalam kondisi hamil muda baik dalam bentuk vomitus matunitus (muntah

pada pagi hari) maupun dalam bentuk hiperemesis gravidarum (muntah pada saat

hamil yang tidak dapat dihindari) ( Mutscler, 1991).

3) Tipe emesis

(a) Akut

Suatu kejadian emesis yang terjadi dalam durasi 24 jam, biasanya terjadi

pada saat sedang pemberian sitostatika. Tanpa pengobatan antiemesis, obat

sitostatika dengan potensial mual muntah sedang sampai berat diperkirakan dapat

menyebabkan mual muntah yang berulang atau terus menerus (Anne et al., 2002)

(b) Tertunda

Suatu tipe emesis yang terjadi setelah 24 jam pertama sejak pemberian

obat sitostatika dan akan mengalami onset 3-5 hari, pada beberapa kasus pada

emesis tipe ini dapat menyebabkan anoreksia. Puncaknya mencapai 48-72 jam

setelah pemberian cisplatin dan mungkin sampai satu minggu bahkan lebih

(Anne et al., 2002).

(c) Antisipator

Ini terjadi pada pasien yang sudah merasa mual atau rasa tidak enak perut

dean cemas, padahal obat sitostatika belum diberikan (Anne et al., 2002).

4) Pemilihan antiemesis

Setelah ditentukan termasuk dalam kelompok mana obat kemoterapi yang

digunakan, selanjutnya adalah pemilihan obat anti muntah yang sesuai. Mengenai

pilihan obat antiemesis berikut dosisnya dapat dilihat pada tabel III di bawah ini.

Tabel III. Obat antiemesis (Anne et al., 2002).

Tingkatan emesis Antiemesis Dosis Rute pemberian

Tinggi (level 3-5) Ondansetron

Granisetron

Dolasetron

Deksametason

8 mg-24mg

10µg/kg-2 mg

1.8 mg/kg-

100mg

20mg

IV,PO

IV,PO

IV

IV/PO

Page 30: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

Sedang (level 2) Ondansetron

Granisetron

Dolasetron

Deksametason

8 mg

2 mg

100mg

8 mg

PO

PO

PO

PO

Ringan Tidak diperlukan

atau

Domperidone

atau

Promethazine

3 mg/kg

0,5 mg/kg

PO

PO

Pediatri(level3-5) Ondansetron

Granisetron

Dolasetron

Deksametason

0.15 mg/kg/dose

20-40 µg/kg

1.8 mg/kg/

5-10 mg/m2

IV

IV

IV

PO/IV

Obat-obatan antiemesis di atas harus diberikan 30 menit sebelum

pemberian pertama obat kemoterapi dan dilanjutkan hingga obat kemoterapi

selesai diberikan. Bagi pasien yang menggunakan obat kemoterapi yang termasuk

dalam kelompok yang berat dalam menimbulkan muntah, dianjurkan agar

ondansetron dilanjutkan hingga 3 hari setelah penghentian pemberian obat

kemoterapi guna mengantisipasi muntah yang bisa timbul justru satu hari setelah

obat kemoterapi dihentikan (delayed emesis). Khusus untuk sisplatin, selain

ondansetron seperti ketentuan di atas, juga ditambah dexamethasone yang

dilanjutkan hingga 2 hari setelah penghentian obat kemoterapi (Anonim, 2007).

c. Contoh jenis protokol dan regimen kemoterapi kanker ovarium

1) Sisplatin dan Siklofosfamid

Jika dari hasil pemeriksaan didapat jumlah WBC> 3.0 x 109/1 dan platelet

> 100 x 109/1 maka dosis dari obat yang dipakai adalah 100% sementara jika

jumlah WBC 2.0 x 109/1 dan platelet 100 x 10

9/1 kurangi siklofosfamid sampai

75% dari dosis sebelumnya. Jumlah WBC 2.0 x 109/1 dan platelet 100 x 10

9/1

maka penanganan secara perlahan-lahan selama satu minggu kemudian kurangi

sisplatin dan siklofosfamid sampai 75% dari dosis utuh. Pengurangan ini mulai

dilakukan untuk semua siklus berikutnya.

Pada gangguan renal/ototoksisitas

Tahap 1-2, mengurangi dosis sisplati 80% dari dosis sebelumnya.

Tahap 3-4, dihentikan penggunaan sisplatin

Page 31: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

2) Regimen kemoterapi kombinasi (BEP, CAP, Carbo + Paclitaxel)

Tabel IV. Regimen kemoterapi kombinasi (BEP, CAP, Carbo + Paclitaxel)

Jenis regimen Indikasi Regimen

BEP Kanker ovarium Bleomisin I.V 30 unit hari 2, 9, 15

Etoposid I.V 100mg/m2 hari 1-5

atau 120 hari 1-3

Sisplatin I.V 20mg/m2 hari 1-5

Ulangi siklus tiap 21 hari

CAP Kanker ovarium Siklofosfamid I.V 500 mg/m2 hari 1

Doxorubicin I.V 50 mg/m2 hari 1

Sisplatin I.V 50 mg/m2 hari 1

Ulangi siklus tiap 21 hari

Karboplatin +

Paclitaxel

Kanker ovarium Paclitaxel I.V 135 mg/m

2 (infus 24

jam) hari ke-1 atau 175 mg/m2 I.V

selama 3 hari diikuti karboplatin I.V

target AUC 5

Ulangi siklus tiap 21 hari

Tabel V. Regimen kemoterapi utama pada kanker ovarium (Dipiro et al., 2005).

Jenis regimen Dosis Interval siklus

Sisplatin 100 mg/m2 I.V hari ke -1 Setiap 28 hari

Karboplatin

400-800 mg/m2 I.V hari ke -

1

Setiap 28-35 hari

Sisplatin+

Siklofosfamid

50-100 mg/m2 I.V hari ke -1

500-1000 mg/m2 I.V hari

ke-1

Setiap 21-28 hari

Karboplatin +

Siklofosfamid

200-300 mg/m2 I.V hari ke-

1

500-1000 mg/m2 I.V hari

ke-1

Setiap 28 hari

Sisplatin+ Doxorubisin

+ Siklofosfamid

50-60 mg/m2 I.V hari ke-1

40-50 mg/m2 I.V hari ke-1

500-750 mg/m2 I.V hari ke-

1

Setiap 28 hari

Paclitaxel+ Sisplatin

135 mg/m2 I.V(infus 24

jam) hari ke-1

75 mg/m2 I.V hari ke-1

Setiap 21 hari

Paclitaxel+ Karboplatin

175 mg/m2 I.V (infus 3 jam)

hari ke-1.Dosis untuk AUC

5-7.5 I.V hari ke-1

Setiap 21 hari

Doxetaxel+ Karboplatin

75 mg/m2 I.V hari ke-1

Dosis untuk AUC 5 I.V hari

ke-1

Setiap 21 hari

Page 32: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

3) Protokol kemoterapi RS. Dr. Sardjito yogyakarta

Protokol Kemoterapi Siklofosfamid 500 mg, Adriamisin 50 mg, Platosin

50mg/70mg/100mg

Waktu

Pelaksanaan

Protokol CAP

16.00 Dektrosa 5% botol I 30 tpm

21.00 NaCl botol II 30 tpm

02.00 Dektrosa 5% botol III tpm

09.30 Primperan, Vomceran

10.00 Siklofosfamid dalam NaCl 100cc

10.30 Adriamisin dalam NaCl 100cc

11.00 Platosin 500 mg dalam NaCl 500cc 30 tpm

14.30 Spol NaCl

17.30 Spol dektrosa II

Keterangan : Setelah habis, dievaluasi. Jika keadaan umum baik, boleh pulang.

Protokol Kemoterapi Bleomisin 30mg, Etoposid 165mg, Platosin 50mg

Waktu

Pelaksanaan

Protokol BEP

16.00 Dektrose 5% botol I 30 tpm

21.00 NaCl botol II 30 tpm

02.00 Dektrosa 5% botol III tpm

09.30 Primperan, Deksametason

10.00 Bleomisin dalam NaCl 100cc

10.30 Etoposid dalam NaCl 100cc

11.00 Platosin 500 mg dalam NaCl 500cc 30 tpm

14.30 Spol NaCl

17.30 Spol dektrosa II

Keterangan : Setelah habis, dievaluasi. Jika keadaan umum baik, boleh pulang

Protokol Paxus/Karboplatin 450mg

Waktu

Pelaksanaan

Protokol Paxus/Karboplatin 450mg

10.00 Infus NaCl 500ml, sisakan 100ml

Injeksi Kalmetazon 2 amp (2cc) iv

Injeksi Decadryl 2cc

Injeksi Ranitidin 2 amp iv (1 amp= 1cc)

12.30 Kemudian masuk paxus dalam cairan 500cc intralit, habis 3 jam

16.00 Karboplatin 450mg dalam dektrosa 5% 100cc habiskan 30 menit,

diteruskan dektrosa 5% 1 kantong 500cc

K/P Klinimik9 gr/40 tetes/menit dalam 2 hari

Page 33: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

B. Keterangan Empiris

Penelitian mengenai evaluasi pelaksanaan protokol kemoterapi pada

pengobatan pasien kanker ovarium di instalasi rawat inap RSUP Dr.Sardjito

Yogyakarta periode Mei-Juli 2007 merupakan penelitian deskriptif yang

menggambarkan karakteristik pasien yang terkait dengan faktor risiko kanker

ovarium dan kejadian emesis serta evaluasi kesesuaian antara pelaksanaan

protokol kemoterapi pada pengobatan pasien kanker ovarium dengan prosedur

yang telah ditetapkan dan analisis hubungan kesesuaian pelaksanaan protokol

dengan kejadian emesis yang diharapkan hasilnya nanti dapat digunakan sebagai

bahan pertimbangan para tenaga medis, terutama dokter dan apoteker untuk lebih

meningkatkan mutu pelayanan pengobatan pada pasien kanker ovarium.

Page 34: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Batasan Operasional Penelitian

1. Subjek penelitian adalah pasien yang menderita kanker ovarium sesuai dengan

diagnosa dokter yang sedang menjalani rangkaian kemoterapi yang tertera di

rekam medis dan pasien tersebut dirawat di Insatalasi rawat inap RSUP Dr.

Sardjito Yogyakarta pada bulan Mei-Juli 2007.

2. Protokol kemoterapi adalah prinsip atau tata laksana terapi kanker ovarium

secara lengkap dan dijadikan panduan terapi yang digunakan di RSUP Dr.

Sardjito Yogyakarta.

3. Efek samping adalah keluhan atau gejala yang dirasakan oleh pasien setelah

mendapat kemoterapi yang berupa emesis yang tertulis dalam rekam medik

dan hasil dari wawancara dengan pasien.

4. Emesis adalah suatu kejadian mual dan muntah yang dirasakan sesudah

kemoterapi sampai 120 jam dari pemberian kemoterapi yang tidak disertai

dengan obat-obatan lain yang tertera di rekam medis dan hasil wawancara

dengan pasien.

B. Bahan Penelitian

Bahan penelitian adalah rekam medik untuk penderita kanker ovarium di

instalasi rawat inap Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito Yogyakarta

pada periode Mei-Juli 2007

C. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode Case Series dengan pengumpulan data

secara prospektif

D. Jalannya Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan 2 tahap yaitu :

Tahap I : Survei

Tahap ini dimulai dengan observasi lapangan ke unit rekam medik pasien

rawat inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada bulan Mei- Juli 2007

Tahap II : Pengambilan Data

Page 35: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

Data diperoleh dari kartu rekam medik pasien di unit rawat inap dan

wawancara dengan pasien. Data yang digunakan adalah jenis kelamin, dianosis,

macam dan golongan obat, cara pemberian, frekuensi pemberian, variasi jumlah

obat, dosis, lama perawatan, efek samping dan pemeriksaan laboratorium. Data

yang diambil merupakan data rekam medik dan hasil wawancara dengan pasien

penderita penyakit kanker ovarium dijadikan sampel penelitian. Sampel

ditentukan secara populasi utuh kasus penyakit kanker ovarium pada pasien pada

periode Mei-Juli 2007.

E. Analisis Hasil

Data yang didapat dianalisis berdasarkan parameter-parameter yakni

karakteristik subyek penelitian, evaluasi pelaksanaan protokol kemoterapi dan

analisis hubungan kesesuaian pelaksanaan protokol dengan kejadian emesis.

Adapun parameter karakteristik subyek penelitian pertama adalah karakteristik

pasien berdasarkan faktor resiko terkait dengan kejadian kanker ovarium yaitu

karakteristik pasien berdasarkan status paritas, usia pada kelahiran anak yang

pertama, riwayat keluarga, dan pola hidup. Kemudian karakteristik pasien yang

kedua adalah karakteristik pasien berdasarkan faktor resiko yang terkait dengan

kejadian emesis yaitu karakteristik paasien berdasarkan usia, stadium, dan siklus

kemoterapi yang dijalani. Adapun parameter evaluasi pelaksanaan protokol

kemoterapi meliputi kesesuaian regimen yang diberikan, kesesuaian antiemesis

dengan regimen yang diberikan, dan kesesuaian pelaksanaan protokol kemoterapi

dengan protokol yang telah ditetapkan. Parameter ketiga adalah analisis hubungan

karakteristik pasien (umur, status paritas, siklus kemoterapi dan pekerjaan pasien)

dengan kejadian emesis dan analisis hubungan kesesuaian pelaksanaan protokol

dengan kejadian emesis.

1. Karakteristik Subyek Penelitian

a. Karakteristik pasien berdasarkan faktor resiko terkait dengan kejadian kanker

ovarium.

1) Karakteristik pasien berdasarkan status paritas,

2) Karakteristik pasien berdasarkan usia pada kelahiran anak yang

pertama dan penggunaan kontrasepsi hormonal,

3) Karakteristik pasien berdasarkan riwayat keluarga,

Page 36: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

4) Karakteristik pasien berdasarkan usia,

5) Karakteristik pasien berdasarkan pola hidup.

b. Karakteristik pasien berdasarkan faktor resiko terkait dengan kejadian emesis

1) Karakteristik pasien berdasarkan stadium,

2) Karakteristik pasien berdasarkan siklus kemoterapi yang dijalani.

Data setiap parameter disajikan dalam bentuk persentase ( univariate ).

2. Evaluasi pelaksanaan protokol kemoterapi

Evaluasi pelaksanaan protokol meliputi kesesuaian regimen yang

diberikan, kesesuaian antiemesis dengan regimen yang diberikan, dan kesesuaian

pelaksanaan protokol kemoterapi dengan protokol yang telah ditetapkan. Data

setiap parameter disajikan dalam bentuk persentase ( univariate )

3. Analisis hubungan antara pelaksanaan protokol dengan kejadian emesis.

meliputi analisis hubungan karakteristik pasien (umur, status paritas,

siklus kemoterapi dan pekerjaan pasien) dengan kejadian emesis dan analisis

hubungan kesesuaian pelaksanaan protokol dengan kejadian emesis. Data setiap

parameter dianalisis dengan SPSS 11,5 melalui analisis Regresi Binary Logistik

dengan taraf kepercayaan 95%.

Page 37: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelusuran data yang telah dilakukan diketahui bahwa pasien yang

menderita kanker ovarium periode Mei-Juli 2007 di RSUP Dr.Sardjito adalah 39

pasien dengan 9 pasien yang tidak termasuk kedalam kategori penelitian

dikarenakan ada yang belum menjalani operasi dan pasien dengan kondisi gagal

ginjal sehingga tidak bisa menjalani kemoterapi. Pasien yang memiliki

kelengkapan data hanya 30 pasien sehingga dapat dilakukan analisis berdasarkan

parameter-parameter diatas.

A. Karakteristik Subyek Penelitian

1. Karakteristik pasien berdasarkan faktor risiko terkait dengan

kejadian kanker ovarium

a. Karakteristik pasien berdasarkan riwayat paritas

Salah satu faktor risiko yang paling terkait dengan kejadian kanker

ovarium adalah riwayat keluarga. Namun resiko tersebut dapat menurun sampai

0,6 % pada wanita yang mengalami kehamilan, khususnya wanita yang hamil

pertama kali diusia sebelum 25 tahun (Dipiro et al., 2005).

Tabel VI. Karakteristik pasien berdasarkan riwayat paritas

Riwayat paritas Status

paritas

Jumlah Persentase

Belum pernah

Hamil dan abortus

Sub Total

Partus (Hamil dan tidak abortus)

Sub Total

Partus/Abortus (Hamil dan abortus)

Sub Total

P0A0

P1A0

P2A0

P3A0

P4A0

P5A0

P1A3

P3A1

P7A2

9

9

5

4

4

3

2

18

1

1

1

3

30

30

16.66

13.33

13.33

10

6.66

60

3.33

3.33

3.33

10

Total 30 100

Page 38: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

Data pada tabel VI menunjukkan adanya kecendrungan bahwa riwayat

persalinan juga dapat menjadi faktor risiko terjadinya kanker ovarium. Wanita

yang jarang melahirkan, belum pernah hamil, dan abortus cenderung lebih besar

terkena kanker ovarium dibandingkan dengan wanita yang sering melahirkan.

Pada wanita yang hamil, sering melahirkan dan memakai pil KB memiliki efek

protektor yang dapat mencegah keseringan ovulasi yang dapat menimbulkan

trauma pada ovarium. Ovulasi yang terus menerus terbukti meningkatkan risiko

terjadinya kanker ovarium dengan OR 27. Keadaan ini sejalan dengan

peningkatan mutasi dari p53, peningkatan ovulasi menyebabkan pula peningkatan

mutasi p53. Sehingga dengan semakin seringnya melahirkan faktor risiko tersebut

dapat diturunkan (Andrijono, 2003).

Data pada tabel VI menunjukkan bahwa persentase tertinggi kejadian

kanker ovarium terjadi pada wanita dengan riwayat persalinan P0A0 yaitu pada

wanita yang belum pernah melahirkan dengan persentase sebesar 30% dan pada

pasien yang memiliki riwayat abortus, ternyata memiliki persentase kecil yaitu

3.3%.

b. Karakteristik pasien berdasarkan usia pada kelahiran anak yang pertama

Risiko berkembangnya kanker ovarium meningkat 7-9% pada wanita

dengan riwayat keluarga penderita kanker ovarium dan menurun sampai 0,6 %

pada wanita yang mengalami kehamilan, khususnya wanita yang hamil pertama

kali diusia sebelum 25 tahun (Dipiro et al., 2005). Usia kehamilan untuk seorang

wanita yang bisa menurunkan terjadinya kanker ovarium adalah pada usia 20-24

tahun.

Tabel VII. Karakteristik pasien berdasarkan usia pada kelahiran anak yang

Interval usia kehamilan

pertama kali (tahun)

Jumlah pasien Persentase

15-19

20-24

25-29

30-35

-

7

7

5

2

9

23.3

23.3

16.6

6.6

30

Total 30 100

Data pada tabel VII menunjukkan persentase usia kehamilan anak pertama

yang aman sangat kecil yaitu sebesar 23.3 %. Sedangkan persentase tertinggi

Page 39: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

merupakan pasien dengan status belum pernah melahirkan yaitu sebesar 30 %.

Berdasarkan status perkawinan, 96.6 % pasien sudah menikah. Sehingga hal ini

secara tidak langsung menunjukkan kemungkinan terdapat 2 faktor risiko yang

memicu terjadinya kanker ovarium, yaitu faktor resiko belum pernah melahirkan

dan rendahnya angka penggunaan kontrasepsi hormonal. Rendahnya angka

penggunaan kontrasepsi hormonal umumnya disebabkan wanita yang belum

memiliki anak tidak menggunakan kontrasepsi hormonal, padahal penggunaan

kontrasepsi hormonal bisa menurunkan resiko kanker ovarium dengan Odds ratio

0.29-0.4 (Andrijono, 2003).

Efek protektif pada ovarium terkait dengan kehamilan dan penggunaan

kontrasepsi hormonal diduga disebabkan pada kehamilan dan penggunaan

kontrasepsi hormonal dapat mengontrol sekresi hormon gonadotropik.

Gonadotropik adalah suatu hormon yang sekresinya sangat dipengaruhi oleh

ovarium. Hormon ini bisa meningkat apabila ovarium tidak dapat mengontrol

balik hipofisis (gangguan feedback mechanism). Kegagalan ovarium

mengakibatkan hipogonadisme yang juga dapat memicu terjadinya kanker

ovarium. Kehamilan dan penggunaan kontrasepsi hormonal mempunyai efek

protektif, karena dapat mengubah sekresi hormon tropik ini. Sehingga pada

populasi wanita pemakai kontrasepsi hormonal ataupun suntikan dan wanita yang

hamil pertamakali diusia 20-24, insiden kanker ovarium dapat diturunkan

(Tambunan,1995).

c. Karakteristik pasien terkait riwayat keluarga

Riwayat keluarga merupakan salah satu faktor risiko yang paling penting

terkait dengan kejadian kanker ovarium. Sedikitnya lebih dari 10 % kasus bisa

didefinisikan sebagai kanker ovarium hereditas (Robert et al., 2001). Penelitian

biologi molekular mendapatkan adanya mutasi HER-2/neu baik pada tumor jinak,

boderline ataupun pada kanker ovarium. Kedua gen tersebut diduga memegang

peranan pada mutasi boderline dan kanker ovarium. Jenis boderline dan kanker

ovarium memiliki perbedaan mutasi pada beberapa gen. Pada kanker ovarium

gen yang terjadi mutasi adalah pada gen p 17 yang merupakan tempat dari p53.

Adanya gangguan pada p53 menyebabkan peningkatan agresivitas sifat tumor.

Umumnya terjadinya peningkatan agresivitas ini dijumpai pada kanker ovarium.

Page 40: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

Beberapa TSG yang ditemukan mutasi pada kanker ovarium, antara lain ARHI

(Aplysia Ras Homology member 1-1p31, berfungsi merangsang p21 dan

menghambat cyclin D1)MMAC-1 (PTEN), LOT-1(6q25 yang berfungsi pada Zn

finger). Onkogen HER-2/neu yang mengkode reseptor growth faktor serta K-ras,

tumor suppressor gene pada chromosom 17 p ataupun 17 q merupakan gen yang

ikut berperan terjadinya kanker ovarium bila terjadi mutasi. Dengan demikian

faktor genetik merupakan salah satu faktor yang mungkin berperan. Dua sindrom

kelainan genetik yang berhubungan dengan kejadian kanker ovarium berdasarkan

penelitian molekuler.

Tabel VIII. Karakteristik pasien terkait riwayat keluarga

Riwayat Keluarga Jumlah pasien Persentase

Memiliki riwayat keluarga 3 10

Tidak memiliki riwayat

keluarga

27 90

Total 30 100

Berdasarkan data pada tabel VIII, dari 30 pasien yang diteliti persentase

tertinggi terjadinya kanker ovarium ternyata tidak memiliki riwayat keluarga yaitu

sebesar 90 %. Hal ini berbeda dengan teori di atas yang menyatakan salah satu

faktor risiko yang paling berperan terkait dengan kejadian kanker ovarium adalah

riwayat keluarga. Hal tersebut menggambarkan bahwa kejadian kanker ovarium

tidak hanya dipicu oleh adanya riwayat keluarga tetapi bisa juga dipicu oleh faktor

lain seperti lingkungan dan gaya hidup yang tidak sehat.

d. Karakteristik pasien berdasarkan pola hidup

Menurut literatur, peningkatan jumlah penderita kanker di Indonesia

disebabkan berbagai hal, mulai dari perubahan pola hidup sampai dengan polusi.

Orang Indonesia umumnya senang makan gurih atau goreng-gorengan yang

mengandung minyak. Hal ini menyebabkan penyempitan pembuluh darah, yang

pada akhirnya menyebabkan sel tidak mendapat cukup oksigen (Anonim, 2006c).

Semakin pesatnya kemajuan zaman, ternyata tidak semuanya memberikan

dampak positif pada lingkungan tetapi juga memberikan suatu dampak negatif

bagi manusia. Salah satunya adalah pola hidup yang mulai berubah. Hal ini

umum terjadi di negara berkembang. Perkembangan yang demikian cepat

Page 41: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

tersebut seringkali diterima oleh masyarakat awam secara meyeluruh, tanpa ada

pemikiran yang lebih matang sehingga menyebabkan adanya perubahan

kebiasaan hidup yang semula baik menjadi suatu kebiasaan yang buruk Hal ini

dapat dilihat pada pola makan. Di Indonesia, junkfood dinilai lebih berkelas

daripada makanan yang alami. Hal tersebut kemungkinan turut memberikan andil

yang besar dalam menyebabkan timbulnya suatu penyakit modern salah satunya

adalah kanker.

Besarnya persentase perubahan pola hidup yang sehat menjadi pola hidup yang

tidak sehat terlihat pada tabel IX.

Tabel IX. Karakteristik pasien berdasarkan pola hidup sehat dan tidak sehat

Pola Hidup Jumlah pasien Persentase

Pola hidup tidak sehat

Penggunaan penyedap pada masakan

Penggunaan minyak goreng bekas yang berulang

Konsumsi masakan yang dibakar

Lingkungan keluarga yang perokok.

Sub Total

5

6

1

14

26

16.6

20

3.3

46.6

86.6

Pola hidup sehat 4 13.3

Total 30 100

Pada tabel IX terlihat persentase terbesar pola hidup pasien adalah pola

hidup yang tidak sehat yaitu sebesar 86.6 % yang bisa memicu terjadinya kanker

ovarium. Adapun parameter pola hidup yang tidak sehat pada penelitian kali ini

meliputi penggunaan penyedap pada masakan, penggunaan minyak goreng bekas

yang berulang, konsumsi masakan yang dibakar, dan lingkungan keluarga yang

perokok.

Sebagian besar penyebab terjadinya kanker ovarium adalah karena faktor

lingkungan. Salah satu faktor dari lingkungan tersebut adalah keluarga yang

perokok. Asap rokok merupakan hasil pembakaran dari tembakau, essence dan

kertas pembungkus. Asap rokok terbagi menjadi dua yaitu asap utama (main

stream smoke) dan asap samping (side stream smoke). Asap samping lebih toksik

daripada asap utama (Anonim, 2004a). Dalam lingkungan masyarakat, orang yang

merokok dicap sebagai orang yang egois. Hal tersebut dikarenakan keegoisan

mereka menyebabkan asap rokok yang terhirup oleh perokok pasif berdampak

Page 42: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

hampir sama dengan perokok aktif. Absorpsi asap rokok oleh perokok pasif

dipengaruhi oleh jumlah produksi asap, dalamnya isapan dari perokok, ada

tidaknya ventilasi untuk penyebaran atau pergerakan asap, jarak antara bukan

perokok dengan perokok dan lamanya paparan. Pada penelitian ini, 36.6 % pasien

kanker ovarium hidup dengan keluarga perokok aktif. Rata-rata interaksi mereka

dengan keluarga perokok aktif diatas 5 tahun. Sehingga hal tersebut menunjukkan

salah satu faktor yang bisa memicu terjadinya kanker ovarium kemungkinan

disebabkan oleh lamanya paparan dengan lingkungan keluarga yang perokok.

Pola hidup tidak sehat yang lain adalah pola makan yang tidak sehat

seperti penggunaan penyedap pada masakan, penggunaan minyak goreng bekas

yang berulang, dan konsumsi masakan yang dibakar yang umumnya banyak

melepaskan zat-zat karsinogenik. Lamanya paparan dengan zat-zat karsinogenik

kemungkinan bisa memicu terjadinya kanker ovarium. Pada penelitian ini terbukti

dari hasil wawancara dengan pasien bahwa umumnya mereka baru menghentikan

kebiasaan tersebut atas saran dokter ketika telah didiagnosis mengidap kanker,

padahal saran tersebut sebaiknya dilakukan pada waktu kita masih sehat, bukan

ketika telah didiagnosa menderita kanker sehingga faktor resiko yang dapat

memicu terjadinya kanker tersebut bisa diturunkan.

e. Karakteristik pasien berdasarkan usia

Salah satu faktor risiko terjadinya kanker ovarium adalah usia. Umumnya

kejadian kanker ovarium terjadi pada usia menopose dan meningkat pada usia

postmenopose. Distribusi pasien berdasarkan usia dengan mengikuti

pengelompokkan usia menurut Guyton dan Hall (1996) disajikan pada tabel X.

Tabel X. Persentase pasien berdasarkan usia

Interval usia (tahun) Jumlah pasien Persentase

Usia reproduksi ( 13-44)

Usia menopose (45-50)

Usia postmenopose (>50)

10

9

11

33.3

30

36.6

Total 30 100

Berdasarkan data pada tabel X, dari 30 pasien yang diteliti persentase

tertinggi terjadinya kanker ovarium terdapat pada wanita usia postmenopose yaitu

Page 43: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

36.6%. Sedangkan kejadian pada usia menopose sedikit lebih rendah

dibandingkan pada usia reproduksi yaitu 30 %. Menurut literatur, usia

postmenopose merupakan salah satu faktor risiko yang paling umum sebagai

penyebab utama kanker ovarium. Hal ini kemungkinan terkait dengan adanya

penurunan sekresi hormon estrogen pada wanita menopause dan postmenopause.

Wanita yang mengalami penurunan hormon tersebut seringkali memicu terjadinya

endometriosis. Wanita yang menderita endometriosis mempunyai OR sebesar 4.

Sedangkan resiko kanker ovarium pada populasi kurang lebih Odds Ratio 0,6.

Semakin meningkat kejadian endometriosis yang salah satu pemicunya adalah

penurunan sekresi hormon estrogen pada wanita postmenopause akan semakin

meningkatkan resiko kejadian kanker ovarium (Dipiro et al., 2005). Sehingga,

peningkatan usia seseorang sejalan dengan menurunnya sekresi hormon diduga

dapat memicu terjadinya endometriosis yang dapat menyebabkan kanker ovarium.

Penelitian ini dilakukan secara prospektif pada periode mei-juli 2007

sehingga terkait dengan jumlah sampel yang sangat sedikit yang menyebabkan

kecilnya selisih angka antara usia postmenopose dan usia reproduksi.

2. Karakteristik pasien berdasarkan faktor resiko terkait dengan kejadian

emesis

a. Karakteristik pasien berdasarkan stadium

Staging adalah suatu sistem yang mengklasifikasi informasi mengenai

kanker, termasuk lokasi dan seberapa jauh kanker telah menyebar (Anonim,

2006). Secara umum, penanganan kanker ovarium tergantung pada stadium dari

kanker tersebut. Penentuan derajat diferensiasi histologi suatu kanker

dimaksudkan untuk menetapkan beberapa dugaan sifat agresif atau tingkat

keganasan yang didasarkan atas diferensiasi sitologi sel-sel tumor dan jumlah

mitosis di dalamnya, sehingga kanker dapat diklasifikasi dalam derajat I, II, III,

atau IV dengan bertambahnya anaplasi (Robbins dan Kumar, 1995).

Penetapan stadium kanker ovarium dilakukan dengan pemeriksaan klinis

dan pembedahan. Pemeriksaan klinik yang mempengaruhi penetapan stadium

antara lain pemeriksaan radiologis untuk mengetahui proses metastasis jauh

misalnya metastasis ke hepar ataupun metastasis paru. Karena kanker ovarium

Page 44: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

berada intraabdominal maka penetapan stadium dilakukan dengan pembedahan

(Andrijono, 2003).

Tabel XI. Persentase pasien berdasarkan stadium

Tingkat stadium Jumlah pasien Persentase

IA

IC

IIC

III

IIIC

Khusus

1

4

4

1

13

7

3.3

13.3

13.3

3.3

36.6

20

Total 30 100

Prognosis kanker ovarium yang buruk disebabkan oleh kenyataan bahwa

70 % penderita baru datang untuk penanganan pada stadium lanjut. Prognosis

buruk kanker ovarium ini kemungkinan besar disebabkan pada stadium dini

hampir sama sekali tidak memberi gejala sesuai dengan julukannya sebagai

sillentkiller. Walaupun demikian, hal tersebut sebenarnya dapat diatasi dengan

pemeriksaan sedini mungkin. Misalnya dengan tumor marker CA-125 atau

pemeriksaan pap smear pada wanita yang memiliki faktor risiko. Menurut literatur

kendala di Indonesia adalah kurangnya kesadaran masyarakat untuk

memeriksakan diri ke dokter. Sekitar 63 % pasien yang datang, biasanya sudah

berada pada stadium lanjut (Anonim, 2006c). Pada penelitian ini melalui hasil

wawancara terlihat bahwa 70 % pasien umumnya kurang mengetahui informasi

mengenai kanker seperti faktor risiko dan gejala yang menunjukkan kemungkinan

adanya kanker, sehingga ketika mengalami gejala masih dianggap sebagai suatu

hal yang biasa. Bahkan beberapa pasien ada yang menduga gejala yang

dialaminya adalah akibat ilmu santet atau guna-guna yang mereka percayai bisa

disembuhkan dengan pengobatan alternatif.

Tingginya persentase jumlah pasien yang memeriksakan diri dalam

stadium lanjut juga terlihat pada tabel XI yang menunjukkan bahwa dari 30

pasien yang diteliti, persentase terbesar adalah pada stadium IIIC yaitu sebesar

36.6 %. Tingginya kasus kejadian kanker ovarium pada stadium III dan IV ini

juga terlihat pada penelitian evaluasi pemberian regimen kemoterapi pada stadium

III dan IV diRSUP Dr.Sardjito Yogyakarta periode Agustus 2005-Agustus 2006

Page 45: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

yang ditulis oleh Lestari (2006) yaitu sebesar 78,8 % pada stadium III dan 21.2 %

pada stadium IV dari 33 kasus.

Pada Stadium I masih dapat dicapai ketahanan hidup 5 tahun antara 60 dan

80%, dalam stadium II ini menjadi lebih rendah yaitu 50% prognosis menjadi

sangat buruk antara stadium IIA

dan IIB.

Perkembangan kemoterapi dalam

memperbaiki harapan bagi penderita pada stadium III dan IV untuk dapat

mencapai kesembuhan belum ada kepastian. Pada stadium ini kemoterapi hanya

dapat meningkatkan ketahanan hidup lima tahun sebesar 30 % (Nurana et al.,

2007).

b. Karakteristik pasien berdasarkan siklus kemoterapi

Regimen kemoterapi yang diberikan pada penanganan atau pelaksanaan

terapi pada pasien kanker ovarium telah ditetapkan berdasarkan masing-masing

siklus terapi. Pada penelitian ini, 83.3 % pasien mendapatkan terapi dengan

regimen kemoterapi CAP. Rata-rata siklus kemoterapi yang dijalani pasien adalah

6 siklus. Adanya penetapan siklus ini bertujuan untuk memberikan kesempatan

pada sel-sel normal untuk mengadakan perbaikan atau proliferasi akibat sitotoksik

dan pengembalian sistem imun yang telah tertekan, sehingga dapat mencegah

terjadinya infeksi. Distribusi pasien berdasarkan siklus kemoterapi yang dijalani

disajikan pada tabel XII.

Tabel XII. Persentase pasien berdasarkan siklus kemoterapi yang sudah dijalani

Siklus kemoterapi Jumlah pasien Persentase

1

2

3

4

5

6

6

11

3

5

1

4

20

33.3

10

16.6

3.3

13.3

Total 30 100

Siklus kemoterapi yang dijalani masing-masing pasien bervariasi. Hal ini

kemungkinan ditentukan oleh regimen kemoterapi yang diberikan. Secara umum,

karena 83.3 % pasien mendapatkan regimen kemoterapi CAP maka siklus yang

dijalani oleh pasien adalah 6 siklus. Tabel XII menunjukkan bahwa dari 30 pasien

yang diteliti persentase terbesar berada pada siklus yang ke-2. Adapun yang

terkait dengan siklus kemoterapi ini adalah efek samping yang ditimbulkannya.

Page 46: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

Pemberian antiemesis yang sesuai dengan regimen yang direkomendasikan dan

penanganan yang baik dalam mencegah timbulnya emesis yang hebat pada siklus

pertama dapat menekan kejadian emesis yang hebat pada pasien untuk siklus

berikutnya. Artinya potensi kejadian emesis pada siklus berikutnya secara umum

tergantung pada keberhasilan penanganan pada siklus ke-1. Dari tabel XII dapat

dilihat persentase tertinggi terkait dengan pelaksanaan siklus kemoterapi terdapat

pada siklus ke-2 yaitu sebesar 33.3%. Berdasarkan hasil wawancara dengan

pasien, umumnya setelah kemoterapi siklus I mereka mengalami mual dan muntah

2 jam setelah pemberian kemoterapi dengan frekuensi rata-rata 5 kali sehari

selama 3 hari bahkan ada yang sampai seminggu walaupun mereka telah

mendapatkan antiemesis yang diberikan secara intravena sebelum pemberian

kemoterapi.

B. Evaluasi pelaksanaan protokol kemoterapi

Pada pengobatan kanker, seringkali terdapat masalah yang berhubungan

dengan kemoterapi, seperti timbulnya resistensi, resistensi berbagai obat, adanya

toksisitas dan munculnya tumor baru akibat dari penggunaan obat-obat sitotoksik.

Protokol kemoterapi merupakan salah satu cara untuk meminalisir potensi

timbulnya efek tersebut. Hal ini akan dapat dicapai apabila ada kedisiplinan antara

pelaksanaan dengan protokol yang telah ditetapkan.

1. Regimen kemoterapi yang digunakan

Manajemen terapi pada pasien kanker ovarium didasarkan atas tipe

histologi, tingkat patologi dan stadium penyakit. Penanganannya membutuhkan

kerjasama yang baik antara ginekolog, onkolog medik, radiolog dan patolog.

Secara umum, terapi yang tepat adalah pengangkatan uterus dengan kedua

adneksa, dikombinasi dengan pengangkatan omentum dan sebanyak mungkin

jaringan tumor yang masih ada (pembedahan sitoreduktif atau debulking). Pada

wanita muda yang menginginkan fertilitas, terapi dengan cara adneksektomi

unilateral dapat dipertimbangkan.

Page 47: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

Tabel XIII. Persentase regimen kemoterapi yang digunakan oleh pasien

Regimen kemoterapi Jumlah Persentase

CAP

Paclitaxel + Carboplatin

BEP

VYCAD

25

2

2

1

83.3

6.6

6.6

3.3

Total 30 100

Keterangan : CAP = Cyclophospamide, Adryamicin (Doxorubicin), Platocin (Cisplatin)

BEP = Bleomicin, Etoposide, Platocin ( Cisplatin )

VYCAD = Vyncristine, Cyclophospamide, Doxorubicin

Pemberian kemoterapi pada kanker ovarium bertujuan sebagai kemoterapi

adjuvan. Konsep ini merupakan pendekatan terapeutik terpenting dalam

pengobatan modern penyakit keganasan. Cara ini bertujuan memberantas

mikrometastasis yang tersebar jauh sehingga diharapkan terjadi peningkatan

angka kesembuhan. Secara umum regimen kemoterapi yang digunakan dalam

terapi kanker ovarium terbagi atas tiga yaitu kombinasi Paxus + Carboplatin,

Bleomisin + Etoposide + Platosin (BEP) serta Cyclophosphamide + Adryamicin

(Doxorubicin)+ Platocin (CAP).

Berdasarkan data pada tabel XIII, persentase tertinggi regimen kemoterapi

yang digunakan pada terapi pasien kanker ovarium adalah regimen kemoterapi

CAP yaitu sebesar 83.3%. Regimen CAP merupakan suatu bentuk kemoterapi

kombinasi yang bermanfaat untuk mengendalikan kanker dalam jangka waktu

cukup lama, bahkan kadang- kadang bisa sembuh. penggunaan kemoterapi

kombinasi lebih efektif daripada pengobatan dengan satu obat pada kebanyakan

kanker yang masih efektif dengan kemoterapi (Mycek et al., 2001). Adanya

kombinasi dapat memberikan respon yang lebih tinggi daripada obat tunggal. Hal

ini disebabkan oleh adanya pengaruh adiktif atau potensiasi efek psikotoksik dan

toksisitas pada hospes yang tidak saling tindih. Adanya masalah klinis yang

ditimbulkan akibat penggunaan regimen kemoterapi harus diwaspadai. Adapun

masalah klinis yang mungkin muncul pada pemberian regimen CAP adalah

ekstravasasi pada saat penginjeksian, nefrotoksik, supresi sum-sum tulang

belakang, rambut rontok, dan emesis.

Page 48: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

Hal-hal yang harus diperhatikan pada penggunaan regimen CAP antara

lain : 1. Pada pasien yang berusia diatas 60 tahun atau yang mempunyai riwayat

gangguan fungsi hati harus memiliki data ekokardiogram atau scan MUGA

2. Pasien harus menerima informasi tentang adanya kemungkinan terjadinya

kerontokan pada rambut.

3. Pasien harus menjalani pemeriksaan klirens kreatinin sebelum mendapatkan

terapi dengan regimen CAP. Dosis sisplatin harus dikurangi pada pasien yang

memiliki klirens kreatinin di bawah 60mL/Min, dan mengurangi dosis

siklofosfamid pada pasien yang memiliki klirens kreatinin di bawah 50mL/min.

4. Cek elektrolit terlebih dahulu terutama magnesium, kalsium dan potasium pada

pasien yang akan mendapatkan terapi dengan sisplatin. Jika dianggap perlu pasien

sebaiknya diberi tambahan elektrolit.

5. Cek FBC (biasanya jumlah neutrofil >1,5 X 109/L dan jumlah angka platelet

>100X109)sebelum kemoterapi diberikan.

6. Cek antiemesis yang digunakan. Diutamakan pasien mendapatkan hight

antiemesis (Summerhayes et al., 2003).

Adapun pada penelitian ini, sebelum menjalani rangkaian kemoterapi

pasien juga menjalani pemeriksaan seperti yang disarankan pada literatur di atas,

sehingga pelakaksanaan protokol kemoterapi dapat dikatakan telah sesuai.

Penggunaan obat sitotoksik secara kombinasi dilakukan dengan

pertimbangan bahwa setiap obat harus mempunyai aktivitas terapeutik dan sasaran

tertentu serta harus dapat diberikan dalam dosis efektif. Obat sitotoksik ini secara

umum memiliki sifat toksisitas yang tidak tumpang tindih (overlapping) maupun

resistensi silang. Sehingga dengan adanya pertimbangan tersebut, dengan terapi

kombinasi dapat memberikan keuntungan meningkatkan daya bunuh sel ganas

serta mengurangi resistensi. Tingginya persentase penggunaan regimen

kemoterapi CAP pada penelitian ini kemungkinan disebabkan karena umumnya

kanker ovarium yang diderita oleh pasien berasal dari tumor epitel. Karena

berdasarkan penelitian, regimen kemoterapi CAP memberikan respon yang baik

pada pasien kanker ovarium yang tumornya berasal dari sel epitel (Andrijono,

2003).

Page 49: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

Pada penelitian ini, terapi lain yang diberikan pada pasien kanker ovarium

adalah obat-obat tambahan yang bertujuan sebagai terapi paliatif. Obat tambahan

yang digunakan dalam terapi paliatif pada pasien kanker ovarium yang dirawat di

RSUP Dr. Sardjito umumnya berupa obat dari golongan analgetik, antiemesis,

antianemia, antibiotik, dan vitamin. Jenis obat tersebut adalah ; Sulfa ferosus,

Grahabion, Viliron, Dexamethason, Vit.C, Vit. B comp, metoklopramid, dan

ondansetron.

2. Persentase kesesuaian antiemesis dengan regimen kemoterapi.

Obat-obat kanker merupakan toksin yang memberikan bahan yang letal

untuk sel. Karena itu, tidak heran bahwa sel-sel yang bersangkutan akan

memberikan mekanisme pertahanan untuk melindungi diri dari toksisitas kimia

termasuk kemoterapi. Tingginya kemungkinan kejadian emesis pada pasien yang

menjalni kemoterapi, harus mendapatkan penanganan yang serius. Sebelum

menentukan antiemesis yang tepat, penting sekali untuk mengetahui tingkatan

regimen kemoterapi dalam menimbulkan kejadian emesis. Adapun kesesuaian

regimen kemoterapi dan antiemesis terlihat pada tabel XIV.

Tabel XV. Persentase kesesuaian antiemesis dengan regimen yang diberikan

Regimen

kemoterapi

Tingkat

emetogenik

Antiemesis Jumlah pasien

sesuai

(persentase)

Jumlah pasien

tidak ssesuai

(persentase)

CAP Tinggi Metoklopramid_HCL

Ondansetron

25 (83.3)

-

Paxus +

Carbo

VYCAD

Sedang Metoklopramid_HCL

Ondansetron

3 (10) -

BEP Rendah Metoklopramid_HCL

Ondansetron

2 (6.6) -

Total 30 (100) -

Tabel XVI. Protokol Kemoterapi Cyclophospamide 500 mg, Adryamicin 50 mg,

Platosin 50mg/70mg/100mg

Waktu

Pelaksanaan

Protokol CAP Jumlah pasien

dilakukan

(persentase)

Jumlah pasien

tidak dilakukan

(persentase)

16.00 Dektrose 5% botol I 30 tpm 25 (100) -

21.00 NaCl botol II 30 tpm 25 (100) -

02.00 Dektrosa 5% botol III tpm 25 (100) -

09.30 Primperan, Vomceran 25 (100) -

Page 50: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

10.00 Cyclophosphamide dalam NaCl

100cc

25 (100) -

10.30 Adriamicyn dalam NaCl 100cc 25 (100) -

11.00 Platosin 500 mg dalam NaCl 500cc

30 tpm

25 (100) -

14.30 Spol NaCl 25 (100) -

17.30 Spol dektrosa II 25 (100) -

Total 25 (100) -

Keterangan : setelah habis, dievaluasi jika keadaan umum baik, boleh pulang.

Tabel XVII. Protokol Kemoterapi Bleomisin 30mg, Etoposide 165mg, Platosin 50mg

Waktu

Pelaksanaan

Protokol BEP Jumlah

pasien

dilakukan

(persentase)

Jumlah

pasien tidak

dilakukan

(persentase)

16.00 Dektrose 5% botol I 30 tpm 2 (100) -

21.00 NaCl botol II 30 tpm 2 (100) -

02.00 Dektrosa 5% botol III tpm 2 (100) -

09.30 Primperan, Deksamethason 2 (100) -

10.00 Bleomisin dalam NaCl 100cc 2 (100) -

10.30 Etoposide dalam NaCl 100cc 2 (100) -

11.00 Platosin 500 mg dalam NaCl 500cc 30 tpm 2 (100) -

14.30 Spol NaCl 2 (100) -

17.30 Spol dektrosa II 2 (100) -

Total 2 (100) -

Keterangan : setelah habis, dievaluasi jika keadaan umum baik, boleh pulang.

Tabel XVIII. Protokol Paxus/Karboplatin 450mg

Waktu

Pelaksanaan

Protokol Paxus/Karboplatin 450mg Jumlah pasien

dilakukan

(persentase)

Jumlah

pasien tidak

dilakukan

(persentase)

10.00 Infus NaCl 500ml, sisakan 100ml 2 (100) -

Injeksi Kalmetazon 2 amp (2cc) iv

Injeksi Decadryl 2cc

Injeksi Ranitidin 2 amp iv (1 amp=

1cc)

12.30 Kemudian masuk paxus dalam cairan

500cc intralit, habis 3 jam

2 (100) -

16.00 Karboplatin 450mg dalam dektrosa

5% 100cc habiskan 30 menit,

diteruskan dektrosa 5% 1 kantong

500cc

K/P Klinimik9 gr/40 tetes/menit

dalam 2 hari

2 (100) -

Total 2 (100) -

Page 51: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

Dari tabel XVI, XVII, dan XVIII menggambarkan secara umum bahwa

pelaksanaan protokol kemoterapi dengan protokol yang telah ditetapkan telah

berjalan dengan baik dengan persentase 100%.

C. Analisis hubungan antara pelaksanaan protokol dengan kejadian emesis

1. Analisis hubungan kesesuaian pelaksanaan protokol dengan kejadian

emesis

Beberapa kemoterapi mempunyai indeks terapeutik sempit. Muntah hebat,

stomatitis, dan alopesia sering terjadi selama pengobatan. Pada penelitian ini, efek

samping yang diteliti adalah kejadian efek samping yang dapat diamati secara

langsung, yaitu potensi timbulnya kejadian emesis.

a. Potensi timbulnya kejadian emesis pada pasien

Umumnya mual dan muntah dapat terjadi pada berbagai kondisi (misalnya

mabuk perjalanan, keracunan obat-obatan tertentu, kehamilan dan hepatitis) dan

hal tersebut kebanyakan membuat pasien seringkali merasa tidak nyaman, namun

demikian pada kejadian mual dan muntah yang disebabkan oleh kemoterapi

berbeda dengan kondisi yang disebutkan di atas. Kejadian mual dan muntah yang

disebabkan oleh kemoterapi memerlukan penatalaksanaan yang efektif. Hampir

70-80% dari semua pasien yang diberikan kemoterapi mengalami mual dan

muntah. Berbagai faktor yang mempengaruhi insidens dan beratnya muntah

adalah jenis kemoterapi yang spesifik, dosis, cara dan jadwal pemberian, dan

variabel pasien (misalnya 10 sampai 40 % pasien yang mengalami mual dan

muntah dalam antisipasi kemoterapi mereka. Muntah tidak hanya mempengaruhi

kualitas kehidupan, tetapi dapat menyebabkan penolakan akan pengobatan dengan

antineoplastik yang mempunyai potensi penyembuhan. Selain itu muntah yang

tidak terkendali dapat menyebabkan dehidrasi, ketidakseimbangan metabolisme

yang mencolok dan pengurangan masukan zat makanan.

Dari tabel XIV, persentase tertinggi adalah potensi timbulnya kejadian

emesis yaitu sebesar 93.3%. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena 83.3%

pasien pada penelitian ini mendapatkan regimen kemoterapi CAP yang memiliki

potensi tinggi dalam menimbulkan emesis. Adapun alasan lain kemungkinan

terkait dengan ketidakpatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat antiemesis yang

telah direkomendasikan dikarenakan mereka kurang mendapatkan informasi yang

Page 52: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

cukup tentang hal tersebut. Pada penelitian ini melalui hasil wawancara,

Umumnya pasien kesulitan dalam mengkonsumsi obat antiemesis dikarenakan

dari awal kemo telah mengalami emesis yang hebat dan sebagian kecil pasien

mengatakan enggan menebus resep karena faktor biaya.

Berdasarkan perbandingan data pada literatur potensi kejadian emesis

yang ditimbulkan pada pemberian regimen kemoterapi pada penelitian ini adalah

sebagai berikut :

Tabel XIX. Persentase regimen kemoterapi berdasarkan tingkat emetogenik

Tingkat

emetogenik

Regimen

kemoterapi

Jumlah

pasien

Persentase

Tinggi CAP 25

83.3

Sedang Paxus + Carbo

VYCAD

3 10

Rendah BEP 2 6.6

Total 30 100 Keterangan : CAP = Cyclophospamide, Adryamicin (Doxorubicin), Platocin (Cisplatin)

BEP = Bleomicin, Etoposide, Platocin ( Cisplatin )

VYCAD = Vyncristine, Cyclophospamide, Doxorubicin

Data pada tabel XIX menggambarkan potensi kejadian emesis umumnya

sangat tinggi dengan persentase 83.3 %. Hal ini dikarenakan pasien penderita

kanker ovarium mendapatkan regimen kemoterapi CAP yang termasuk kedalam

kategori potensi kejadian emesis tingkat tinggi (Mycek et al., 2001).

Pada penelitian ini melalui wawancara, 93.3% pasien mengalami emesis yang

hebat. Hal tersebut kemungkinan karena sebagian besar mereka mendapatkan

regimen kemoterapi CAP sebagaimana yang tergambar pada tabel XIX.

Pada kemoterapi kanker ovarium, untuk mengatasi mual dan muntah yang

muncul digunakan antiemesis. Pemberian antiemesis tersebut disesuaikan dengan

regimen kemoterapi yang diberikan. Regimen CAP termasuk kedalam kategori

potensi tinggi, maka antiemesis yang sesuai untuk regimen tersebut adalah

golongan antagonis serotonin, benzamid pengganti dan fenotiazin. Pada regimen

kemoterapi yang mempunyai efek menimbulkan emesis tingkat sedang, seperti

regimen Paxus + Carbo dan VYCAD antiemesis yang sesuai adalah butirofenon,

kortikosteroid, dan kanabinoid. Pada regimen kemoterapi yang mempunyai

Page 53: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

potensi menimbulkan emesis tingkat rendah, antiemesis yang sesuai adalah

antihistamin, antikolinergik, dan benzodiazepin.

Pada penelitian ini, antiemesis yang digunakan pada regimen CAP adalah

metoklopramid-HCL dan ondansentron. Kedua antiemesis tersebut telah sesuai

dengan SPM, karena antiemesis tersebut bisa mengantisipasi kejadian emesis pada

penggunaan regimen CAP. Sehingga berdasarkan hal tersebut tidak terdapat

hubungan antara kesesuaian protokol dengan kejadian emesis. Hal ini terlihat dari

tabel bahwa 93.3% pasien masih mengalami emesis walaupun pelaksanaan

protokol telah sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Berdasarkan hal tersebut

kemungkinan ada hal lain yang harus mendapat perhatian lebih lanjut, seperti

meningkatkan pelayanan informasi mengenai pengobatan kepada pasien. Hal

tersebut dikarenakan walaupun protokol yang ada telah baik, 93.3% pasien masih

mengeluhkan adanya kejadian emesis akibat dari terapi tersebut. Hasil wawancara

dengan pasien, umumnya mereka mengatakan kurang mengetahui pentingnya

mengkonsumsi obat-obat antiemesis dalam upaya menurunkan potensi kejadian

emesis. Sehingga pasien cenderung enggan mengkonsumsi dan menebus resep

antiemesis yang berakibat kejadian emesis tetap mereka alami.

Disamping itu, hal lain yang harus dipertimbangkan adalah kemungkinan

penyebab masih munculnya emesis walaupun antiemesis yang diperoleh telah

tepat kemungkinan memiliki kaitan dengan waktu pemberian antiemesis sebelum

mendapatkan regimen kemoterapi. Pada protokol kemoterapi, pemberian

antiemesis dilakukan 30 menit sebelum pemberian regimen. Sebaiknya bagi

pasien yang menggunakan obat kemoterapi yang termasuk dalam kelompok yang

berat dalam menimbulkan muntah, dianjurkan agar ondansetron dilanjutkan

hingga 3 hari setelah penghentian pemberian obat kemoterapi guna mengantisipasi

muntah yang bisa timbul justru satu hari setelah obat kemoterapi dihentikan

(delayed emesis). Khusus untuk cisplatin, selain ondansetron seperti ketentuan di

atas, juga ditambah dexamethasone yang dilanjutkan hingga 2 hari setelah

penghentian obat kemoterapi (Anonim, 2007).

Permasalahan lain yang seringkali bisa menyebabkan munculnya emesis

adalah ketidaktepatan waktu pelaksanaan kemoterapi dengan jadwal pada siklus

yang telah ditetapkan karena keterbatasan ruangan diRumah sakit untuk pasien

Page 54: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

penderita kanker. Hal kecil seperti diatas ternyata juga memberikan dampak pada

pasien baik dari psikologis maupun kedispilinan pengobatan. Dari sisi psikologis

seringkali memicu terjadinya stress pada pasien yang kadangkala berdampak pada

kurangnya perhatian pasien dalam menjaga kesehatan seperti menurunnya nafsu

makan dan berkurangnya jam istirahat. Adapun terkait dengan tidak tercapainya

kedisiplinan waktu pengobatan dengan siklus yang telah ditetapkan bisa

menyebabkan tidak maksimalnya hasil terapi dan dari segi ekonomi menyebabkan

pasien harus mengeluarkan biaya yang lebih banyak, karena umumnya rata-rata

pasien berasal dari luar daerah.

2. Analisis hubungan faktor eksternal (umur, status paritas, siklus

kemoterapi dan pekerjaan pasien) dengan kejadian emesis

Menurut literatur, kejadian emesis dapat dipicu oleh berbagai faktor antara

lain umur, kondisi klinis pasien, riwayat perjalanan dan status paritas. Pada

penelitian ini dapat dilihat apakah ada hubungan antara kejadian emesis dengan

faktor eksternal yang meliputi umur, status paritas, siklus yang dijalani, dan

pekerjaan. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif analitik dengan

menggunakan metode statistik SPSS 11.5 melalui analisis Regresi Binary Logistik

dengan taraf kepercayaan 95%. Data menunjukkkan signifikan jika hasil yang

diperoleh kurang dari 0,05 dan tidak signifikan jika hasil yang diperoleh lebih dari

0.05 dengan tujuan untuk memprediksi variabel dependent (tergantung) yang

berupa sebuah variabel binary (pasangan) dengan menggunakan data variabel

bebas yang sudah diketahui besarnya.

Hasil olah data uji regresi linier berganda menunjukkan hasil bahwa semua

variabel independent tidak terdapat satupun faktor ekternal (umur, status paritas,

siklus kemoterapi, dan pekerjaan) yang memiliki pengaruh terhadap kejadian

emesis secara statistik. Karena secara statistik keempat variabel independent

tersebut tidak memberikan nilai yang signifikan yaitu lebih dari 0,05 sehingga

keempat variabel independent tersebut tidak memiliki pengaruh secara signifikan

terhadap kejadian emesis.

Secara statistik dikatakan bahwa variabel umur tidak memiliki pengaruh

secara signifikan terhadap kejadian emesis. Menurut teori, pasien yang memiliki

usia lebih muda yaitu kurang dari 50 tahun memiliki potensi yang besar

Page 55: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

mengalami kejadian emesis daripada pasien diatas usia 50 tahun. Sehingga dapat

dikatakan bahwa variabel umur tidak selalu berpengaruh terhadap kejadian

emesis.

Berdasarkan hasil analisis secara statistik, variabel status paritas juga

didapatkan tidak memiliki pengaruh secara signifikan terhadap kejadian emesis.

Berdasarkan teori, status paritas merupakan salah satu faktor resiko kejadian

emesis. Pada pasien yang memiliki status paritas pernah melahirkan dan abortus

berpotensi lebih besar mengalami kejadian emesis daripada pasien yang memiliki

status paritas belum pernah hamil dan abortus. Sehingga belum dapat dikatakan

bahwa status paritas berpengaruh secara umum terhadap kejadian emesis.

Begitu juga dengan variabel siklus kemoterapi, secara statistik siklus

kemoterapi didapatkan tidak memiliki pengaruh terhadap kejadian emesis.

Menurut teori terdapat beberapa faktor risiko yang mempengaruhi kejadian emesis

yakni ketidak berhasilan penanganan emesis pada siklus pertama akan berdampak

pada munculnya kejadian emesis yang hebat pada siklus berikutnya. Sementara

berdasarkan statistik hasil yang diperoleh dengan taraf kepercayaan 95%

menunjukkan nilai yang diperoleh lebih dari 0,05. Sehingga dapat dikatakan

bahwa siklus kemoterapi tidak selalu berpengaruh terhadap kejadian emesis.

Pada variabel pekerjaan, secara statistik didapatkan tidak memiliki

pengaruh terhadap kejadian emesis. Berdasarkan teori pekerjaan memiliki kaitan

terhadap kejadian emesis. Hal ini disebabkan pada pasien yang bekerja di luar

rumah diasumsikan memiliki riwayat perjalanan. Sedangkan pada pasien yang

tidak bekerja diasumsikan tidak memiliki riwayat perjalanan yang mempunyai

potensi lebih besar dalam mengalami kejadian emesis. Sehingga dapat dikatakan

bahwa pekerjaan tidak selalu berpengaruh terhadap kejadian emesis.

Ketidak sesuaian hasil analisis secara statistik dengan teori yang ada bisa

saja terjadi, karena model analisis secara statistik ini memang belum merupakan

jaminan utama terhadap kebenarannya dan masih harus ditentukan lagi oleh uji

hipotesis yang lain.

Dengan memperhatikan hasil penelitian yang diperoleh maka diharapkan

perlu adanya monitoring pada penggunaan antiemesis untuk pasien yang

Page 56: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

mendapatkan kemoterapi, terutama yang memperoleh regimen kemoterapi yang

memiliki risiko tinggi terhadap munculnya kejadian emesis.

D. Keterbatasan penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat prospektif yang

tergantung pada keterangan yang didapat dari pasien serta kelengkapan data

pasien di rekam medik. Keterbatasan penelitian ini jika pasien tidak berterus

terang mengatakan akan kondisinya serta rekam medik yang tidak lengkap misal

keluhan lain yang dialami pasien dan pengobatan yang ditulis kurang lengkap.

Kemudian data waktu terjadinya emesis hanya diperoleh dari keterangan pasien

yang masih bersifat perkiraan sehingga emesis yang terjadi belum bisa

diklasifikasikan. Disamping itu, karena tidak menggunakan data wawancara

dengan tenaga kesehatan melainkan hanya sebagai masukan saja menyebabkan

informasi yang diperoleh kurang lengkap seperti pertimbangan dokter dalam

memilih strategi terapi untuk pasien tertentu. Analisis data dilakukan dengan

membandingkan pengobatan yang diberikan dengan Standar Pelayanan Medik

yang sangat mungkin tidak bisa meliputi semua kondisi pasien yang bervariasi.

.

Page 57: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari data hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal terkait dengan

evaluasi pelaksanaan protokol kemoterapi dengan prosedur yang telah ditetapkan

pada pasien kanker ovarium di Instalasi rawat inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

periode Mei-Juli 2007.

1. Pada penelitian ini yang terkait dengan karakteristik pasien adalah

a. Karakteristik pasien yang terkait dengan faktor risiko kejadian kanker

ovarium yaitu faktor usia (36.3%), usia melahirkan anak pertama diluar

usia yang aman (20-24 tahun) sebesar 30% dan pola hidup yang tidak

sehat (86.6%).

b. Karakteristik pasien yang palin berperan terkait dengan faktor risiko

kejadian emesis adalah siklus kemoterapi yaitu pada siklus ke-2 sebesar

33.3%.

2. Kesesuaian pelaksanaan protokol dengan protokol yang telah ditetapkan

adalah 100%.

a. Emesis adalah efek samping yang sering muncul akibat pemberian

regimen kemoterapi dengan persentase 93.3%

b. Kesesuaian antiemetik yang diberikan dengan SPM adalah 100%

c. Tidak terdapat hubungan antara kesesuaian pelaksanaan protokol dengan

kejadian emesis.

3. Hasil olah data uji regresi linier berganda menunjukkan bahwa dari keempat

variabel independent (umur, status paritas, siklus kemoterapi, dan pekerjaan)

tidak menunjukkan hasil yang signifikan yaitu lebih dari 0,05. Sehingga keempat

variabel independet tersebut secara statistik. dikatakan tidak memiliki pengaruh

terhadap kejadian emesis.

Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei-Juli 2007 dengan metode

penelitian prospektif dan mendapatkan sejumlah responden sebanyak 30 pasien.

Page 58: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

B. Saran

Untuk R.S. Sardjito, agar dapat meminimalisir kejadian emesis

penggunaan antiemetik setelah pemberian kemoterapi hendaknnya dimonitoring 3

hari setelah mendpatkan kemoterapi terutama pada pasien yang mendapatkan

regimen kemoterapi yang berpotensi tinggi dalam menimbulkan kejadian emesis.

Kemudian hal lain yang harus diperhatikan adalah pemberian informasi yang tepat

tentang peggunaan antiemesis dan manfaatnya untuk menghindarkan dari

ketidakpatuhan pasien dan untuk penelitian selanjutnya agar dapat memperoleh

informasi secara lengkap hendaknya disertai dengan data wawancara dengan

tenaga kesehatan dari rumah sakit yang bersangkutan. Sedangkan untuk pasien,

hendaknya mematuhi setiap pelaksanaan pengobatan yang disarankan oleh pihak

rumah sakit terutama terkait dengan kepatuhan dalam mengkonsumsi obat-obatan

yang diberikan dalam upaya tercapainya efektivitas pengobatan yang maksimal.

Page 59: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

DAFTAR PUSTAKA

Anne, M., young, L., Kradjan, W., Gueglielmo, B., 2002, Nausea and vomiting,

dalam Williams, Klower, W.A., (Eds.), Handbook of Applied

Therapeutics, Seventh Edition, New york.

Anonim, 2001, Chemotherapy Protocol For Common Cancer in Malaysia,

Penerbit bagian perkembangan Perubatan Kementrian Kesehatan,

Malaysia

Anonim, 2004a, Sengsara Paru dalam Jeratan Polusi, Farmacia, Agustus 2004

Anonim, 2004b, Saat Lingkungan Menghamburkan Karsinogen, Etichal Digest,

Agustus 2004

Anonim, 2005, Kanker Rahim Kenali Gejala dan Penyebabnya, Available at

http://www.Suara Karya-Online.Com (Diakses 11 Pebruari 2007)

Anonim, 2006a, Ancaman Kanker Paru, Ethical Digest, November 2006)

Anonim, 2006b, Ovarium, Available at http://www.Wikipedia.Org (Diakses 11

pebruari 2007)

Anonim, 2006c, Selamatkan dengan Deteksi Dini, Ethical Digest, April 2006

Anonim, 2007, Tata Laksana Muntah Bagi Anak yang Menjalani Kemoterapi

Available at http://www.dharmais.co.id (Diakses 1 Nopember 2007)

Andrijono, 2003, Sinopsis Kanker Ginekologi

Corwin, E.J., 2001, Buku Saku Patofisiologi, diterjemahkan oleh Brahm

U. Pendit, Penerbit EGC, Jakarta

Dipiro, J.T.,2005, Pharmacotherapy, A Pathophysiologic Approach, International

edition, Mc Graw-Hill Medical Publishig Devisi Companies

Guyton and Hall,1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 9, Jakarta

Kumar, N., dan Robbins, S.L., 1995, Buku Ajar Patologi II, Edisi Keempat,

diterjemahkan oleh Staf Pengajar Laboratorium Patologi Anatomia,

Penerbit Fakultas Kedokteran Airlangga, Jakarta

Mutschler, E., 1991, Dinamika Obat, diterjemahkan oleh Widianto dan Anna

setiadi, Institut Teknologi Bandung, Bandung

Mycek, M., Harvey, R., Champe, P., 2001, Farmakologi Ulasan Bergambar,

Edisi kedua, diterjemahkan oleh Agoes Azwar, Penerbit Widya Medika,

Jakarta

Page 60: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

Nurana, L., Sjamsuddin, S., Azis, F., 1999, Kanker Ginekologi,

Available at http://www. geocities.com (Diakses 11 Pebruari

2007)

Ozols, R., Schwartz, P., Eilfel, P., 2001, Ovarian Cancer, Fallopian Tube

Carcinoma, and peritoneal Carcinoma, dalam Williams, Klower, W.A.,

(Eds.), Handbook of Applied Therapeutics, Sixth Edition, New york.

Pearce, E., 2002, Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis, diterjemahkan oleh

Kartono Mohammad, Penerbit PT . Gramedia, Jakarta

Price, S.A dan Wilson, L.M., 2006, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses

Penyakit, Edisi Keenam, Penerbit EGC, Jakarta

Siswandono dan Soekardjo, B., 2000, Kimia Medisinal II, Edisi Kedua

Penerbit Airlangga University Press, Surabaya

Tambunan, G.W., 1995, Diagnosis dan Tata Laksana Sepuluh Jenis Kanker

Terbanyak di Indonesia, Penerbit EGC, Jakarta

Page 61: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

Protokol Kemoterapi Cyclophospamide 500 mg, Adryamicin 50 mg, Platosin

50mg/70mg/100mg

Waktu

Pelaksanaan

Protokol CAP Dilakukan Tidak

dilakukan

16.00 Dektrose 5% botol I 30 tpm

21.00 NaCl botol II 30 tpm

02.00 Dektrosa 5% botol III tpm

09.30 Primperan, Vomceran

10.00 Cyclophosphamide dalam NaCl 100cc

10.30 Adriamicyn dalam NaCl 100cc

11.00 Platosin 500 mg dalam NaCl 500cc 30 tpm

14.30 Spol NaCl

17.30 Spol dektrosa II

Setelah habis, dievaluasi jika keadaan umum baik, boleh pulang

Protokol Kemoterapi Bleomisin 30mg, Etoposide 165mg, Platosin 50mg

Waktu

Pelaksanaan

Protokol BEP Dilakukan Tidak

dilakukan

16.00 Dektrose 5% botol I 30 tpm

21.00 NaCl botol II 30 tpm

02.00 Dektrosa 5% botol III tpm

09.30 Primperan, Deksamethason

10.00 Bleomisin dalam NaCl 100cc

10.30 Etoposide dalam NaCl 100cc

11.00 Platosin 500 mg dalam NaCl 500cc 30 tpm

14.30 Spol NaCl

17.30 Spol dektrosa II

Setelah habis, dievaluasi jika keadaan umum baik, boleh pulang

Page 62: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

No.

Kasus

No.RM Usia

(th)

Regimen

kemoterapi

Anti emetik Rute

pemberian

Potensi

kejadian

Emesis

Obat

tambahan

1 1285417 37 CAP Primperan I.V

Oral

Emesis Sulfa

ferosus

Vit.C

Vit. B

comp

2 1265308 50 CAP Primperan I.V

Oral

Emesis Sulfa

ferosus

Vit.C

Vit. B

comp

3 1295573 49 CAP Primperan I.V

Oral

Emesis Sulfa

ferosus

Vit.C

Vit. B

comp

4 1250925 51 CAP Primperan I.V

Oral

Emesis Grahabion

5 1292211 53 CAP Sofran I.V Emesis Viliron

Grahabion

Sulfa

ferosus

6 1286411 52 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa

ferosus

Vit.C

Vit. B

comp

7 1282182 39 CAP Sofran I.V Emesis Sulfa

ferosus

Vit.C

Vit. B

comp

8 1292107 41 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa

ferosus

Vit.C

Vit. B

comp

9 1206832 49 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa

ferosus

Vit.C

Vit. B

comp

10 1263675 47 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa

ferosus

Vit.C

Vit. B

comp

Page 63: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

11 0638946 27 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa

ferosus

Vit.C

Vit. B

comp

12 1263675 47 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa

ferosus

Vit.C

Vit. B

comp

13 1277276 65 BEP Primperan I.V Emesis Viliron

Dexametha

son

Vit.C

Vit. B

comp

14 1278201 26 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa

ferosus

Vit.C

Vit. B

comp

15 1264204 67 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa

ferosus

Vit.C

Vit. B

comp

16 1290560 36 CAP Primperan I.V Emesis Dexametha

son

Sulfa

ferosus

Vit.C

Vit. B

comp

17 1275654 37 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa

ferosus

Vit.C

Vit. B

comp

18 1276518 48 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa

ferosus

Vit.C

Vit. B

comp

19 1285715 50 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa

ferosus

Vit.C

Vit. B

comp

20 1295904 41 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa

ferosus

Vit.C

Vit. B

comp

Page 64: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

21 11900 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa

ferosus

Vit.C

Vit. B

comp

22 1282091 35 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa

ferosus

Vit.C

Vit. B

comp

23 1217774 49 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa

ferosus

Vit.C

Vit. B

comp

24 1306129 62 BEP Primperan I.V Emesis Sulfa

ferosus

Vit.C

Vit. B

comp

25 1042909 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa

ferosus

Vit.C

Vit. B

comp

26 1296961 17 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa

ferosus

Vit.C

Vit. B

comp

27 1277433 47 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa

ferosus

Vit.C

Vit. B

comp

28 1279364 65 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa

ferosus

Vit.C

Vit. B

comp

29 1286411 37 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa

ferosus

Vit.C

Vit. B

comp

30 1284807 52 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa

ferosus

Vit.C

Vit. B

comp

Page 65: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

No

kasus

No.RM Protokol CAP Waktu

pelaksanaan

Dilakukan Tidak

dilakukan

1 1285417 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ -

NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ -

Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -

Primperan, Vomceran 09.30 √ -

Cyclophosphamide dalam

NaCl 100cc

10.00 √ -

Adriamicyn dalam NaCl

100cc

10.30 √ -

Platosin 500 mg dalam NaCl

500cc 30 tpm

11.00 √ -

Spol NaCl 14.30 √ -

Spol dektrosa II 17.30 √ - Setelah habis, dievaluasi jika keadaan umum baik, boleh pulang

2 1265308 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ -

NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ -

Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -

Primperan, Vomceran 09.30 √ -

Cyclophosphamide dalam

NaCl 100cc

10.00 √ -

Adriamicyn dalam NaCl

100cc

10.30 √ -

Platosin 500 mg dalam NaCl

500cc 30 tpm

11.00 √ -

Spol NaCl 14.30 √ -

Spol dektrosa II 17.30 √ - Setelah habis, dievaluasi jika keadaan umum baik, boleh pulang

3 1295573 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ -

NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ -

Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -

Primperan, Vomceran 09.30 √ -

Cyclophosphamide dalam

NaCl 100cc

10.00 √ -

Adriamicyn dalam NaCl

100cc

10.30 √ -

Platosin 500 mg dalam NaCl

500cc 30 tpm

11.00 √ -

Spol NaCl 14.30 √ -

Spol dektrosa II 17.30 √ -

Setelah habis, dievaluasi jika keadaan umum baik, boleh pulang

Page 66: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

No.

kasus

No.RM Protokol CAP Waktu

pelaksanaa

n

Dilakukan Tidak

Dilakuka

n

4 1250925 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ -

NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ -

Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -

Primperan, Vomceran 09.30 √ -

Cyclophosphamide dalam NaCl

100cc

10.00 √ -

Adriamicyn dalam NaCl 100cc 10.30 √ -

Platosin 500 mg dalam NaCl 500cc

30 tpm

11.00 √ -

Spol NaCl 14.30 √ -

Spol dektrosa II 17.30 √ - Setelah habis, dievaluasi jika keadaan umum baik, boleh pulang

5 11292211 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ -

NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ -

Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -

Primperan, Vomceran 09.30 √ -

Cyclophosphamide dalam NaCl

100cc

10.00 √ -

Adriamicyn dalam NaCl 100cc 10.30 √ -

Platosin 500 mg dalam NaCl 500cc

30 tpm

11.00 √ -

Spol NaCl 14.30 √ -

Spol dektrosa II 17.30 √ - Setelah habis, dievaluasi jika keadaan umum baik, boleh pulang

6 1286411 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ -

NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ -

Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -

Primperan, Vomceran 09.30 √ -

Cyclophosphamide dalam NaCl

100cc

10.00 √ -

Adriamicyn dalam NaCl 100cc 10.30 √ -

Platosin 500 mg dalam NaCl 500cc

30 tpm

11.00 √ -

Spol NaCl 14.30 √ -

Spol dektrosa II 17.30 √ -

Setelah habis, dievaluasi jika keadaan umum baik, boleh pulang

Page 67: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

No.

kasus

No.RM Protokol CAP Waktu

pelaksanaan

Dilakukan Tidak

dilakukan

7 1282182 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ -

NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ -

Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -

Primperan, Vomceran 09.30 √ -

Cyclophosphamide dalam

NaCl 100cc

10.00 √ -

Adriamicyn dalam NaCl

100cc

10.30 √ -

Platosin 500 mg dalam NaCl

500cc 30 tpm

11.00 √ -

Spol NaCl 14.30 √ -

Spol dektrosa II 17.30 √ -

8 1292107 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ -

NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ -

Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -

Primperan, Vomceran 09.30 √ -

Cyclophosphamide dalam

NaCl 100cc

10.00 √ -

Adriamicyn dalam NaCl

100cc

10.30 √ -

Platosin 500 mg dalam NaCl

500cc 30 tpm

11.00 √ -

Spol NaCl 14.30 √ -

Spol dektrosa II 17.30 √ -

9 1206832 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ -

NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ -

Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -

Primperan, Vomceran 09.30 √ -

Cyclophosphamide dalam

NaCl 100cc

10.00 √ -

Adriamicyn dalam NaCl

100cc

10.30 √ -

Platosin 500 mg dalam NaCl

500cc 30 tpm

11.00 √ -

Spol NaCl 14.30 √ -

Spol dektrosa II 17.30 √ -

Page 68: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

No.

kasus

No.RM Protokol CAP Waktu

pelaksanaan

Dilakukan Tidak

dilakukan

10 1263675 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ -

NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ -

Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -

Primperan, Vomceran 09.30 √ -

Cyclophosphamide dalam

NaCl 100cc

10.00 √ -

Adriamicyn dalam NaCl

100cc

10.30 √ -

Platosin 500 mg dalam NaCl

500cc 30 tpm

11.00 √ -

Spol NaCl 14.30 √ -

Spol dektrosa II 17.30 √ -

11 0638946 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ -

NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ -

Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -

Primperan, Vomceran 09.30 √ -

Cyclophosphamide dalam

NaCl 100cc

10.00 √ -

Adriamicyn dalam NaCl

100cc

10.30 √ -

Platosin 500 mg dalam NaCl

500cc 30 tpm

11.00 √ -

Spol NaCl 14.30 √ -

Spol dektrosa II 17.30 √ -

12 1263675 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ -

NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ -

Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -

Primperan, Vomceran 09.30 √ -

Cyclophosphamide dalam

NaCl 100cc

10.00 √ -

Adriamicyn dalam NaCl

100cc

10.30 √ -

Platosin 500 mg dalam NaCl

500cc 30 tpm

11.00 √ -

Spol NaCl 14.30 √ -

Spol dektrosa II 17.30 √ -

Page 69: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

No.

kasus

No.RM Protokol BEP Waktu

pelaksanaan

Dilakukan Tidak

dilakukan

13 1277276 Dektrose 5% botol I 30

tpm

16.00 √ -

NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ - Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ - Primperan,

Deksamethason

09.30 √ -

Bleomisin dalam NaCl

100cc

10.00 √ -

Etoposide dalam NaCl

100cc

10.30 √ -

Platosin 500 mg dalam

NaCl 500cc 30 tpm

11.00 √ -

Spol NaCl 14.30 √ -

Spol dektrosa II 17.30 √ -

No

.kasus

No.RM Protokol CAP Waktu

pelaksanaan

Dilakukan Tidak

dilakukan

14 1278201 Dektrose 5% botol I 30

tpm

16.00 √ -

NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ -

Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -

Primperan, Vomceran 09.30 √ -

Cyclophosphamide dalam

NaCl 100cc

10.00 √ -

Adriamicyn dalam NaCl

100cc

10.30 √ -

Platosin 500 mg dalam

NaCl 500cc 30 tpm

11.00 √ -

Spol NaCl 14.30 √ -

Spol dektrosa II 17.30 √ -

15 1264204 Dektrose 5% botol I 30

tpm

16.00 √ -

NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ -

Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -

Primperan, Vomceran 09.30 √ -

Cyclophosphamide dalam

NaCl 100cc

10.00 √ -

Adriamicyn dalam NaCl

100cc

10.30 √ -

Platosin 500 mg dalam

NaCl 500cc 30 tpm

11.00 √ -

Spol NaCl 14.30 √ -

Spol dektrosa II 17.30 √ -

Page 70: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

No.

kasus

No.RM Protokol CAP Waktu

pelaksanaan

Dilakukan Tidak

dilakukan

16 1290560 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ - NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ -

Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -

Primperan, Vomceran 09.30 √ -

Cyclophosphamide dalam

NaCl 100cc

10.00 √ -

Adriamicyn dalam NaCl

100cc

10.30 √ -

Platosin 500 mg dalam NaCl

500cc 30 tpm

11.00 √ -

Spol NaCl 14.30 √ -

Spol dektrosa II 17.30 √ -

17 1275654 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ -

NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ -

Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -

Primperan, Vomceran 09.30 √ -

Cyclophosphamide dalam

NaCl 100cc

10.00 √ -

Adriamicyn dalam NaCl

100cc

10.30 √ -

Platosin 500 mg dalam NaCl

500cc 30 tpm

11.00 √ -

Spol NaCl 14.30 √ -

Spol dektrosa II 17.30 √ -

18 1276518 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ - NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ - Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ - Primperan, Vomceran 09.30 √ - Cyclophosphamide dalam

NaCl 100cc

10.00 √ -

Adriamicyn dalam NaCl

100cc

10.30 √ -

Platosin 500 mg dalam NaCl

500cc 30 tpm

11.00 √ -

Spol NaCl 14.30 √ - Spol dektrosa II 17.30 √ -

Page 71: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

No.

kasus

No.RM Protokol CAP Waktu

pelaksanaan

Dilakukan Tidak

dilakukan

19 1285715 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ - NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ - Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ - Primperan, Vomceran 09.30 √ - Cyclophosphamide dalam

NaCl 100cc

10.00 √ -

Adriamicyn dalam NaCl

100cc

10.30 √ -

Platosin 500 mg dalam NaCl

500cc 30 tpm

11.00 √ -

Spol NaCl 14.30 √ - Spol dektrosa II 17.30 √ -

20 1295904 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ - NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ - Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ - Primperan, Vomceran 09.30 √ - Cyclophosphamide dalam

NaCl 100cc

10.00 √ -

Adriamicyn dalam NaCl

100cc

10.30 √ -

Platosin 500 mg dalam NaCl

500cc 30 tpm

11.00 √ -

Spol NaCl 14.30 √ - Spol dektrosa II 17.30 √ -

21 11900 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ - NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ - Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ - Primperan, Vomceran 09.30 √ - Cyclophosphamide dalam

NaCl 100cc

10.00 √ -

Adriamicyn dalam NaCl

100cc

10.30 √ -

Platosin 500 mg dalam NaCl

500cc 30 tpm

11.00 √ -

Spol NaCl 14.30 √ - Spol dektrosa II 17.30 √ -

Page 72: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

No.

kasus

No.RM Protokol CAP Waktu

pelaksanaan

Dilakukan Tidak

dilakukan

22 1282091 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ - NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ - Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ - Primperan, Vomceran 09.30 √ - Cyclophosphamide dalam

NaCl 100cc

10.00 √ -

Adriamicyn dalam NaCl

100cc

10.30 √ -

Platosin 500 mg dalam NaCl

500cc 30 tpm

11.00 √ -

Spol NaCl 14.30 √ - Spol dektrosa II 17.30 √ -

No

.kasus

No.RM Protokol BEP Waktu

pelaksanaan

Dilakukan Tidak

dilakukan

23 1306129 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ - NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ - Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ - Primperan, Deksamethason 09.30 √ - Bleomisin dalam NaCl 100cc 10.00 √ - Etoposide dalam NaCl 100cc 10.30 √ - Platosin 500 mg dalam NaCl

500cc 30 tpm

11.00 √ -

Spol NaCl 14.30 √ -

Spol dektrosa II 17.30 √ -

No

.kasus

No.RM Protokol PAXUS +

CARBOPLATIN

Waktu

pelaksanaan

Dilakukan Tidak

dilakukan

24 1042909 Infus NaCl 500ml, sisakan

100 ml

10.00 √ -

Injeksi Kalmetazon 2 amp

(2cc) I.V

√ -

Injeksi Decadryl 2 cc √ - Injeksi Ranitidin 2 amp I.V √ - Kemudian masuk paxus

dalam cairan 500cc intralit,

habis 3 jam

12.30 √ -

Carboplatin 450mg dalam

dextrosa 5% 100cc habiskan

setengah jam, diteruskan

dextrosa 5% 1 kantong

( 500cc)

16.00 √ -

K/P Klinimik 9 gr/40

tetes/menit dalam 2 hari

√ -

Page 73: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

25 1296961 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ -

NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ - Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ - Primperan, Vomceran 09.30 √ - Cyclophosphamide dalam

NaCl 100cc

10.00 √ -

Adriamicyn dalam NaCl

100cc

10.30 √ -

Platosin 500 mg dalam NaCl

500cc 30 tpm

11.00 √ -

Spol NaCl 14.30 √ -

Spol dektrosa II 17.30 √ -

26 1277433 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ - NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ - Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ - Primperan, Vomceran 09.30 √ -

Cyclophosphamide dalam

NaCl 100cc

10.00 √ -

Adriamicyn dalam NaCl

100cc

10.30 √ -

Platosin 500 mg dalam NaCl

500cc 30 tpm

11.00 √ -

Spol NaCl 14.30 √ -

Spol dektrosa II 17.30 √ -

27 1279364 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ - NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ - Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -

Primperan, Vomceran 09.30 √ -

Cyclophosphamide dalam

NaCl 100cc

10.00 √ -

Adriamicyn dalam NaCl

100cc

10.30 √ -

Platosin 500 mg dalam NaCl

500cc 30 tpm

11.00 √ -

Spol NaCl 14.30 √ -

Spol dektrosa II 17.30 √ -

Page 74: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

No.

kasus

No.RM Protokol CAP Waktu

pelaksanaan

Dilakukan Tidak

dilakukan

28 1286411 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ - NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ -

Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -

Primperan, Vomceran 09.30 √ -

Cyclophosphamide dalam

NaCl 100cc

10.00 √ -

Adriamicyn dalam NaCl

100cc

10.30 √ -

Platosin 500 mg dalam NaCl

500cc 30 tpm

11.00 √ -

Spol NaCl 14.30 √ -

Spol dektrosa II 17.30 √ -

29 1284807 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ -

NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ -

Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -

Primperan, Vomceran 09.30 √ -

Cyclophosphamide dalam

NaCl 100cc

10.00 √ -

Adriamicyn dalam NaCl

100cc

10.30 √ -

Platosin 500 mg dalam NaCl

500cc 30 tpm

11.00 √ -

Spol NaCl 14.30 √ -

Spol dektrosa II 17.30 √ -

30 1217774 Protokol CYVAD

Page 75: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI

Form Pemantauan Pasien

1. Identitas Pasien

No. Kode :

Nama :

Alamat :

Usia :

Ruang :

Tgl masuk :

2. Perincian Pasien

Diagnosa :

Terapi :

3. Pengobatan yang dilakukan

Kemoterapi :

Obat tambahan : 1.

2.

3.

4.

4. Hasil Pengamatan

Efek Samping :

Durasi :

Frekuensi : x/hari

Jenis Anti emetik :

Dosis :

Cara Pemberian :

5. Riwayat Keluarga :

6. Status perkawinan

Jumlah anak :

Usia pada kelahiran anak yang pertama :

Penggunaan kontrasepsi :

7. Pendidikan terakhir :

8. Riwayat penyakit penyerta :

Page 76: EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI