f. irawan - m.kiblat.net filef. irawan laporan edisi 3 / februari 2019 about us laporan ini...

22

Upload: dodang

Post on 12-Jun-2019

228 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: F. Irawan - m.kiblat.net fileF. Irawan Laporan Edisi 3 / Februari 2019 ABOUT US Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah
Page 2: F. Irawan - m.kiblat.net fileF. Irawan Laporan Edisi 3 / Februari 2019 ABOUT US Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah

F. Irawan

Laporan Edisi 3 / Februari 2019

ABOUT US

Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.

Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami,

kirimkan e-mail ke:

[email protected]

Seluruh laporan kami bisa didownload di website:

www.syamina.org

SYAMINA

Kehidupan Yahudi dan Nasrani di Bawah Naungan Khilafah Turki Utsmani

Page 3: F. Irawan - m.kiblat.net fileF. Irawan Laporan Edisi 3 / Februari 2019 ABOUT US Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah

SYAMINA Edisi 3 / Februari 2019

3

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI — 3

EXECUTIVE SUMMARY — 4

Kebangkitan Turki Utsmani Sejak Masa Sultan Murad I (1366) — 6

Perlakuan Baik Muhammad Al-Fatih terhadap Umat Kristen yang Dikalahkan —7

Sultan Bazayid Menghormati Kedaulatan Negara-Negara Kristen dan Menolong Yahudi yang Terusir dari Andalusia — 9

Perjanjian Damai dengan Prancis pada Masa Sultan Sulaiman Al-Qanuni — 12

Pergeseran Cara Pandang Kristen Barat — 15

Demografi Turki Utsmani — 16

Hak-Hak Non-Muslim Eropa dalam Pemerintahan Turki Utsmani — 17

Peraturan yang Menjamin Perlindungan terhadap Non-Muslim — 18

Penutup: Kesuksesan Sistem Millet — 21

Daftar Pustaka — 22

Page 4: F. Irawan - m.kiblat.net fileF. Irawan Laporan Edisi 3 / Februari 2019 ABOUT US Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah

SYAMINAEdisi 3 / Februari 2019

4

Turki pernah menjadi pusat kekuasaan Dunia Islam selama kurang lebih

delapan abad dan sangat disegani oleh bangsa Eropa. Pada masa pemerintahan

Dinasti Utsmani (Ottoman), Turki mencapai puncak masa keemasan. Daulah

Utsmaniyah merupakan daulah terbesar dan terkuat dalam sejarah Dunia Islam.

Perjalanan sejarah Turki Utsmani memiliki banyak alasan penting untuk dikaji,

di antaranya karena daulah ini dianggap sebagai khilafah islamiah yang terakhir dan

terpanjang usia kekuasaannya. Khilafah Utsmaniyah telah melakukan pekerjaan-

pekerjaan mulia yang dipersembahkan bagi umat manusia. Bagi umat Islam, Turki

Utsmani berjasa dalam menjaga tempat-tempat suci Islam dari rencana-rencana

stratejik kolonialis Portugal (dari Laut Merah, Teluk Arab, hingga Aceh), membantu

para penduduk Afrika Utara melawan serangan-serangan Imperium Spanyol, dan

sebagainya.

Secara internal, Khilafah Utsmaniyah—sejak era Sultan Salim I (1512–1520)—juga

berhasil membentuk persatuan Dunia Islam di antara pemerintahan-pemerintahan

Arab, menjauhkan serbuan penjajahan dari wilayah-wilayah Syam, Mesir, dan

EXECUTIVE SUMMARY

Page 5: F. Irawan - m.kiblat.net fileF. Irawan Laporan Edisi 3 / Februari 2019 ABOUT US Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah

SYAMINA Edisi 3 / Februari 2019

5

negeri-negeri Islam lainnya, mencegah penyebaran Syiah ke wilayah-wilayah Islam

yang berada di bawah kekuasaannya, mencegah Yahudi dari menduduki Palestina,

serta peranannya dalam menyebarkan Islam di Eropa.

Adapun bagi kaum non-Muslim, Turki Utsmani memiliki banyak “jasa”, di

antaranya:

- Menampung dan mengungsikan kaum Yahudi dari praktik inkuisisi oleh

pihak Katolik di Spanyol sejak masa Sultan Bayazid II (1481–1512)

- Membantu Inggris dari blokade laut Spanyol

- Melakukan aliansi stratejik dengan Kekaisaran Prancis

- Membantu Irlandia dari bencana kelaparan

Khilafah Utsmaniyah berhasil menjelma sebagai salah satu superpower dunia

sejak era Sultan Sulaiman Al-Qanuni (1520–1566). Bahkan, pada masa pemerintahan

Sultan Murad III (1574-1595), Turki Utsmani menguasai seluas sekitar 20 juta km

persegi dan meliputi tiga benua.

Konsekuensinya, Turki Utsmani harus mengelola masyarakat yang sangat

beragam di wilayahnya yang sangat luas. Bukan hanya kaum Muslimin, tetapi juga

non-Muslim, terutama kalangan Yahudi dan Nasrani. Oleh sebab itu, Turki Utsmani

menciptakan sebuah tatanan masyarakat yang disebut dengan Sistem Millet.

Sejarawan dan ilmuwan sosial melihat Sistem Millet sebagai contoh sukses

otonomi non-teritorial. Para penguasa Turki Utsmani mengakui keragaman

komunitas agama dan etnis yang menjadi bagian dari Khilafah Utsmaniyah. Namun,

pada saat yang sama, para penguasa Turki Utsmani juga mengerti bahwa keragaman

ini tidak bisa dan tidak boleh menjadi bentuk asimilasi total yang berarti “kesamaan”.

Di bawah pengaturan sistem Millet ini, Yahudi, Ortodoks Yunani, dan komunitas

Armenia mengatur keberadaan mereka dan mengorganisir serangkaian negosiasi

ad-hoc dengan kepala komunitas agama. Jadi, non-Muslim bisa tetap eksis lewat

negoisasi yang intens di bawah naungan sistem umum khilafah yang mengedepankan

toleransi.

Page 6: F. Irawan - m.kiblat.net fileF. Irawan Laporan Edisi 3 / Februari 2019 ABOUT US Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah

SYAMINAEdisi 3 / Februari 2019

6

Kebangkitan Turki Utsmani Sejak Masa Sultan Murad I (1366)

Di Eropa, tentara Daulah Utsmaniyah menyerang wilayah-wilayah Kekaisaran

Byzantium, lalu berhasil menduduki Edirne pada tahun 1360. Edirne merupakan

sebuah kota yang sangat strategis di wilayah Balkan dan dianggap sebagai kota

kedua di wilayah Kekaisaran Byzantium, setelah Konstantinopel. Sultan Murad I

menjadikan Edirne sebagai ibu kota Daulah Utsmaniyah sejak tahun 768 H (1366 M).

Karena itulah, ibu kota Daulah Utsmaniyah berpindah ke Eropa dan jadilah Edirne

sebagai ibu kota daulah islamiah.

Tujuan Sultan Murad I dalam pemindahan ibu kota ini adalah:

1. Memanfaatkan pertahanan-pertahanan militer yang kokoh di Edirne dan

kedekatannya dengan medan jihad.

2. Keinginan Sultan Murad I untuk menyatukan semua wilayah Eropa yang

telah dikuasai, di mana perjalanan jihad pasukan Utsmani sudah sampai ke

sana dan kaki-kaki mereka berdiri kokoh di sana.

3. Di ibu kota baru ini, Sultan Murad I mengumpukan semua elemen-elemen

yang menjadi persyaratan berdirinya sebuah negara dan prinsip-prinsip dasar

pemerintahan. Maka, terbentuklah di ibu kota Edirne kelompok-kelompok

Kehidupan Yahudi dan Nasrani di Bawah Naungan Khilafah Turki Utsmani

Page 7: F. Irawan - m.kiblat.net fileF. Irawan Laporan Edisi 3 / Februari 2019 ABOUT US Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah

SYAMINA Edisi 3 / Februari 2019

7

pegawai, kelompok-kelomok tentara, para penegak hukum, dan para ulama

di bidang agama. Di kota itu didirikan rumah-rumah peradilan, sekolahan-

sekolahan modern, serta markas-markas militer yang menjadi tempat latihan

pasukan Janissari.

Ketika kekuasaan Daulah Utsmaniyah pada masa Sultan Murad I semakin kokoh,

negara-negara tetangga dilanda ketakutan, khususnya negara-negara yang lemah.

Oleh sebab itu, Republik Ragusa1 bergegas mengirimkan utusannya kepada Sultan

Murad untuk mengadakan kesepakatan persahabatan dan perdagangan. Republik

Ragusa berjanji akan membayar upeti tahunan sebesar lima ratus keping emas.

Ini adalah perjanjian pertama yang terjadi antara Daulah Utsmaniyah dan negara

Kristen.

Kota Edirne tetap dalam keadaan seperti stabil dan makmur dari sisi politik,

militer, manajemen, kebudayaan, dan keagamaan, sampai pasukan Daulah

Utsmaniyah berhasil menaklukkan Konstantinopel, yang akhirnya menjadi ibu kota

negara mereka. Konstantinopel, ibu kota dari Kekaisaran Byzantium atau Romawi

Timur, jatuh ke tangan Daulah Utsmaniyah Pada 29 Mei 1453 (858 H).

Tentara Turki Utsmani telah mengepung kota selama tujuh pekan hingga bisa

menaklukkannya. Selama tiga hari, sang pemenang, Sultan Muhammad II yang

berusia 21 tahun mengizinkan para tentaranya untuk menyerang kota, menaklukan,

dan menyita rampasan yang mereka temukan sebagaiman lazimnya hukum perang.

Perlakuan Baik Muhammad Al-Fatih terhadap Umat Kristen yang Dikalahkan

Setelah menguasai Konstantinopel, Muhammad Al-Fatih beranjak menuju

Gereja Aya Sophia. Di dalamnya telah berkumpul penduduk Konstantinopel bersama

para pendeta yang membacakan doa-doa untuk mereka. Ketika Sultan mendekati

pintu gereja, maka orang-orang Kristen yang berada di dalamnya menjadi sangat

ketakutan. Salah seorang pendeta berdiri membukakan pintu untuk Sultan.

Sultan Muhammad Al-Fatih meminta agar pendeta itu menenangkan orang-

orang dan agar mereka kembali pulang ke rumah-rumah mereka dengan aman.

Maka, para manusia pun menjadi tenang. Ada beberapa pendeta yang bersembunyi

di lobang-lobang di gereja itu. Ketika mereka melihat sikap toleran dari Muhammad

Al-Fatih dan sikap maafnya, maka mereka keluar dan mengumumkan keislaman

mereka.

Setelah itu, Muhammad Al-Fatih memerintahkan agar Gereja Aya Sophia diubah

menjadi masjid dan agar hal itu dipersiapkan dengan baik, supaya pada hari Jumat

depan dapat digunakan untuk melaksanakan shalat Jumat untuk pertama kalinya.

Para pekerja melakukan persiapan untuk perintah ini. Mereka menghilangkan salib-

1 Berada di tepi Laut Adriatik.

Page 8: F. Irawan - m.kiblat.net fileF. Irawan Laporan Edisi 3 / Februari 2019 ABOUT US Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah

SYAMINAEdisi 3 / Februari 2019

8

salib dan patung-patung, serta menghapus gambar-gambar yang ada di dalamnya

dengan satu lapisan kapur (cat). Mereka membuat sebuah mimbar untuk khotbah.

Mengubah gereja menjadi masjid itu diperbolehkan. Sebab, negeri itu ditaklukkan

melalui cara peperangan, peperangan itu memiliki hukum tersendiri di dalam syariat

Islam.

Sultan Muhammad Al-Fatih memberikan kebebasan kepada orang-orang

Kristen untuk melaksanakan semua acara ritual keagamaan mereka, serta memiliki

pemimpin-pemimpin keagamaan yang memiliki otoritas untuk melakukan peradilan

dalam masalah-masalah sipil di antara mereka. Sultan juga memberikan kebebasan

kepada para pembesar gereja di wilayah-wilayah yang lain. Tetapi, pada saat yang

sama, Sultan mengharuskan semuanya untuk membayar jizyah.2

Penaklukan pasukan Turki Utsmani terhadap Kota Konstantinopel ada kalanya

diilustrasikan dengan penggambaran yang buruk atau bahkan Sultan Muhammad Al-

Fatih digambarkan dengan sifat-sifat yang buruk. Di dalam Ensiklopedia Americana

yang terbit pada tahun 1980, misalnya, ditulis bahwa Sultan Muhammad Al-Fatih

memperbudak sebagian besar penduduk Kristen Konstantinopel. Mereka digiring ke

pasar-pasar budak di Edirne dan menjual semuanya di sana.3

Fakta sejarah yang sesungguhnya mengatakan, bahwa Sultan Muhammad Al-

Fatih memperlakuan penduduk Konstantinopel dengan perlakuan kasih sayang.

Dia memerintahkan kepada para tentaranya untuk memperlakukan para tahanan

dengan baik dan berperilaku lembut kepada mereka. Dia menebus banyak

tawanan perang dari harta pribadinya, khususnya para pemimpin Yunani dan para

pembesar agama. Dia berkumpul dengan para uskup dan menenangkan mereka dari

ketakutan. Dia menenangkan mereka agar tidak takut-takut untuk tetap berada di

dalam keyakinan mereka dan menjalankan ritual agama mereka, serta tetap berada

di rumah-rumah ibadah mereka. Dia memerintahkan mereka untuk menetapkan

pemimpin keuskupan yang baru. Mereka pun memilih Agnadius.

Setelah pemilihan itu, Agnadius menemui kepada Sultan dalam iring-iringan

yang besar. Sultan Muhammad Al-Fatih menyambutnya dengan penghormatan yang

tinggi dan memuliakannya dengan sangat baik. Dia makan bersama dengannya dan

berbicara dengannya dalam berbagai hal, baik di bidang agama, politik, dan sosial.

Uskup tersebut keluar dari pertemuannya dengan Sutan, sedangkan

pemikirannya telah berubah sama sekali terhadap para sultan Daulah Utsmaniyah

dan orang-orang Turki, bahkan terhadap kaum muslimin pada umumnya. Dia

merasakan bahwa dia berada di hadapan seorang sultan yang luas wawasannya,

yang memiliki suatu misi, akidah keagamaan yang kuat, kemanusiaan yang tinggi,

dan keperwiraan yang sempuna.

2 Lihat: Crowley, Roger. 2015. 1453 Detik-detik Jatuhnya Konstantinopel ke Tangan Muslim.3 Lihat: Freely, John. 2012. Istanbul Kota Kekaisaran. Terj. Fahmy Yamani. Jakarta: Pustaka Alvabet.

Page 9: F. Irawan - m.kiblat.net fileF. Irawan Laporan Edisi 3 / Februari 2019 ABOUT US Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah

SYAMINA Edisi 3 / Februari 2019

9

Kekaguman ini juga turut dirasakan oleh orang-orang Romawi. Padahal,

sebelumnya mereka memikirkan bahwa pembunuhan masal pasti akan mereka

alami. Hanya dalam hitungan hari, penduduk Konstantinopel sudah bisa memulai

kehidupan mereka sehari-hari sebagaimana biasa dalam kondisi tenang dan damai.4

Orang-orang Turki Utsmani sangat bersemangat untuk konsisten terhadap

prinsip-prinsip Islam. Oleh sebab itu, keadilan di antara para manusia adalah urusan

yang paling penting yang sangat ingin mereka tegakkan. Perlakuan mereka terhadap

orang-orang Kristen itu bersih dari segala bentuk kefanatikan dan kezaliman. Tidak

pernah terlintas dalam benak orang-orang Turki Utsmani untuk menekan orang-

orang Kristen karena agama mereka.5

Aliran-aliran Kristen di bawah pemerintahan Daulah Utsmaniyah telah

mendapatkan seluruh hak-hak keagamaannya. Masing-masing aliran memiliki

pemimpin agamanya yang tidak berbicara dengan selain keputusan Sultan secara

langsung. Setiap aliran ini memiliki sekolahan-sekolahan dan tempat-tempat ibadah

yang khusus, sebagaimana tidak diperbolehkan siapa pun juga untuk mencampuri

urusan hartanya. Mereka diberi kebebasan untuk berbicara dengan bahasa apa pun

yang mereka inginkan.

Sultan Muhammad Al-Fatih menampakkan sikap toleransi yang tinggi terhadap

orang-orang Kristen Konstantinopel atas dasar adanya dorongan untuk konsisten

terhadap ajaran Islam yang agung dan meneladani perilaku Rasulullah. Juga,

mencontoh para Khulafa Rasyidin setelahnya, yang lembaran-lembaran sejarahnya

penuh dengan sikap-sikap toleransi yang tinggi.

Sultan Bazayid Menghormati Kedaulatan Negara-Negara Kristen dan Menolong Yahudi yang Terusir dari Andalusia

Sultan Bayazid II dikenal sebagai sultan yang condong kepada perdamaian.

Meski demikian, panji-panji jihad tetap berkibar selama masa pemerintahan Sultan

Bayazid II. Oleh karena itu, banyak musuh Daulah Utsmaniyah mencoba mencari

perlindungan di balik sesuatu yang dinamai hubungan-hubungan diplomatik.

Hubungan-hubungan diplomatik pun menjadi giat antara Daulah Utsmaniyah

dan negara-negara Eropa. Pada masa sebelumnya, hubungan diplomatik hanya

terbatas pada negara-negara yang terletak di wilayah-wilayah perbatasan. Setelah

itu dibangun hubungan diplomatik antara Daulah Utsmaniyah dengan Keuskupan

di Roma, Kerajaan Florence (Firenze), Naples (Napoli), dan Prancis. Juga diadakan

perjanjian damai dengan Kerajaan Venezia (Venezia) dan Hongaria.

4 Lihat: Freely, John. 2012. Sultan Mehmet II Sang Penakluk. Terj. Fahmy Yamani. Jakarta: Pustaka Alvabet.5 Lihat: Jawanib Mudhiah fi Tarikh Al-‘Utsmaniyyin Al-Atrak, hlm. 274, dikutip oleh Ash-Shallabi dalam “Sejarah

Daulah Utsmaniyah”.

Page 10: F. Irawan - m.kiblat.net fileF. Irawan Laporan Edisi 3 / Februari 2019 ABOUT US Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah

SYAMINAEdisi 3 / Februari 2019

10

Pada masa pemerintahan Sultan Bayazid II, datang duta besar pertama dari

Rusia ke Istanbul pada tahun 898 H (1492 M). Kedatangan duta besar Rusia terjadi

pada masa Grand Duke of Moscow (Ivan III Vasilyevich), yaitu pada tahun 1492 M,

serta masa selanjutnya.

Konsekuensinya, negara-negara Kristen yang terikat perjanjian damai mendapat

hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik. Namun, hal itu juga membuka pintu

bagi musuh-musuh Islam untuk mengetahui kelemahan Daulah Utsmaniyah.6

Kemudian, salah satu jasa besar Sultan Bayazid II yang dicatat dengan tinta emas

sejarah adalah pertolongannya terhadap kaum Yahudi dan Muslimin yang tertindas

di Andalusia. Mereka dipaksa menganut Nasrani atau diusir dari Semenanjung Iberia.

Meningkatnya berbagai bentuk penindasan di Semenanjung Iberia—pada masa

Sultan Bayazid II—dipicu oleh konsentrasi orang-orang Kristen Spanyol untuk

menyatukan wilayah-wilayah mereka dan merampas semua wilayah yang masih

ada di tangan kaum Muslimin. Hal ini terjadi setelah Spanyol tunduk di bawah satu

kepemimpinan, setelah pernikahan antara Ratu Kastila Isabel I dan Raja Aragon

Fernando II pada 19 Oktober 1649.

Selanjutnya, kerajaan-kerajaan Spanyol yang telah bersatu itu bergerak

membersihkan eksistensi Islam di seluruh wilayah Spanyol, beberapa saat sebelum

jatuhnya Granada. Kemudian mereka memfokuskan seluruh perhatian mereka

kepada Granada, satu-satunya Kerajaan Islam yang merupakan simbol dari Dunia

Islam yang hilang.7

Orang-orang Kristen Spanyol memberlakukan prosedur yang keras terhadap

kaum Muslimin. Mereka berupaya mengkristenkan kaum muslimin secara paksa

dan mempersempit ruang geraknya, sehingga banyak umat Islam yang pergi

meninggalkan Semenanjung Iberia.

Akibat penindasan tersebut, muslimin Morisco—umat Islam Andalusia

yang masih bertahan di Andalusia pasca jatuhnya Granada—bangkit melakukan

pemberontakan dan perlawanan di hampir semua kota Spanyol yang di sana terdapat

minoritas orang Islam, khususnya di Granada dan Valencia. Gerakan perlawanan

berhasil ditumpas oleh penguasa Kristen Spanyol.

Di sisi lain sudah sewajarnya jika kaum muslimin Morisco mengarahkan

pandangan mereka kepada raja-raja Islam di Timur dan Barat untuk menyelamatkan

mereka. Utusan dan surat dari kaum muslimin Andalusia telah datang berulang

kali kepada para penguasa Islam di Timur dan Barat, meminta mereka untuk

menyelamatkan umat Islam di Spanyol dari berbagai tindakan kezaliman orang-

orang Kristen. Terkhusus, menyelamatkan kaum muslimin Andalusia dari tindakan

tidak manusiawi yang dilakukan para pemuka agama Kristen dan Dewan Inkuisisi

6 Lihat: Ad-Daulah Al-‘Utsmaniyyah, Dr. Jamal Abdul Hadi, hlm. 49–50.7 Lihat: Juhud Al-‘Utsmaniyyin li Inqadz Al-Andalus, Dr. Nabil Abdul Hayy, hlm. 125, dikutip oleh Ash-Shallabi

dalam “Sejarah Daulah Utsmaniyah”.

Page 11: F. Irawan - m.kiblat.net fileF. Irawan Laporan Edisi 3 / Februari 2019 ABOUT US Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah

SYAMINA Edisi 3 / Februari 2019

11

yang mempraktikkan berbagai bentuk penyiksaan dan kekejaman terhadap orang

yang tidak mau memeluk Nasrani.

Informasi tentang berbagai peristiwa di Andalusia telah sampai ke wilayah timur,

hingga mengguncangkan Dunia Islam. Raja Asyraf—dari Daulah Mamalik di Mesir—

mengirimkan utusan kepada Paus dan raja-raja Kristen, ia mengingatkan mereka

bahwa orang-orang Nasrani yang hidup di wilayahnya dapat menikmati kebebasan

di saat kaum muslimin yang ada di kota-kota Spanyol mengeluhkan berbagai macam

kezaliman dari penguasa Kristen.

Raja Asyraf mengancam akan melakukan tindakan yang sama terhadap orang-

orang Kristen yang tinggal di wilayah kekuasaannya jika penguasa Spanyol tidak

menghentikan kekejamannya serta tetap mengusir kaum muslimin dari tempat

tinggal mereka. Ia menuntut para penguasa Kristen agar tidak menyakiti kaum

muslimin Andalusia dan mengembalikan apa yang telah mereka ambil. Akan tetapi,

Paus dan dua penguasa Katolik Spanyol tidak menghiraukan ancaman Raja Asyraf.

Akhirnya Muslimin Andalusia mengirim surat yang berisi permintaan bantuan

kepada Sultan Turki Utsmani Bayazid II. Isinya dalam bentuk bait-bait syair, yang

selanjutnya mendeskripsikan keadaan yang dialami kaum muslimin di Andalusia,

penderitaan yang menimpa orang-orang tua dan para wanita yang dinodai

kehormatannya, serta kekejaman yang melanda kaum muslimin terkait keislaman

mereka.

Sultan Bayazid II bermaksud memberikan pertolongan, tetapi ia mengeluhkan

banyaknya rintangan yang dihadapi terkait upaya pengiriman para pejuang Islam

ke Andalusia. Pada waktu itu, Sultan Bayazid II sedang bertikai dengan Amir Jum

terkait takhta kesultanan. Di samping itu ada perselisihan antara Daulah Utsmaniyah

dengan pihak Roma dan beberapa negara Eropa, ditambah serangan orang-orang

Polandia terhadap wilayah Moldova.

Selain itu, Sultan Bayazid II juga harus berperang melawan Kerajaan Transylvania,

Hongaria, dan Venezia, serta menghadapi aliansi salibis baru yang dibentuk oleh

Paus Julius II, Republik Venezia, Hongaria, dan Prancis. Berbagai persoalan di atas

mengharuskan Daulah Utsmaniyah mengirimkan kekuatan dan bala tentaranya ke

berbagai wilayah tersebut.

Walaupun demikian, Sultan Bayazid II tetap mengirimkan bantuan serta

melakukan kesepakatan dengan Sultan Mamalik Al-Asyraf untuk menyatukan usaha-

usaha guna membantu menyelamatkan Kerajaan Islam Granada. Sultan Bayazid II

dan Sultan Al-Asyraf menandatangai kesepakatan yang di dalamnya berisi klausul

kewajiban Sultan Bayazid II untuk mengirimkan Angkatan Laut Turki Utsmani ke

perairan Sisilia karena dianggap sebagai wilayah yang tunduk di bawah Kerajaan

Spanyol, sedangkan Sultan Mamalik harus menyiapkan serangan-serangan yang lain

dari sisi Afrika.

Page 12: F. Irawan - m.kiblat.net fileF. Irawan Laporan Edisi 3 / Februari 2019 ABOUT US Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah

SYAMINAEdisi 3 / Februari 2019

12

Kenyataannya, Sultan Bayazid II bahkan mengirimkan Angkatan Laut Turki

Utsmani ke pantai-pantai perairan Spanyol. Sultan menyerahkan kepemimpinan

Armada Laut Turki Utsmani kepada Kamal Reis yang mampu membuat takut armada

laut Kristen pada akhir abad ke-15. Sultan Bayazid II juga memberikan motivasi

kepada para pejuang di lautan untuk menampakkan perhatian dan kasih sayang

kepada kaum muslimin Andalusia.

Angkatan Laut Turki Utsmani memulai pergerakan mereka untuk menyelamatkan

Muslimin di Andalusia. Pada saat yang sama bergabunglah sejumlah besar kaum

Muslimin pada saat terjadi pemberangkatan armada laut. Setelah itu, pasukan

Turki Utsmani menggunakan kekuatan angkatan laut yang baru di sisi barat Laut

Mediterania dengan tambahan motivasi dari para pejuang tersebut. Selain itu,

mereka juga menyelamatkan orang-orang Yahudi, yang nasibnya tidak jauh berbeda

dengan Muslimin di Andalusia. Itulah yang dapat dilakukan oleh Sultan Bayazid II.

Perjanjian Damai dengan Prancis pada Masa Sultan Sulaiman Al-Qanuni

Masa pemerintahan Sultan Sulaiman Al-Qanuni merupakan puncak

kejayaan Khilafah Turki Utsmani, ditinjau dari kekuatan Daulah Utsmaniyah dan

kedudukannya di tengah kekuatan negara-negara di dunia. Masa pemerintahannya

berlangsung dari tahun 1520-1566. Sultan Sulaiman Al-Qanuni merupakan menjadi

penerus kekuasaan ayahnya, Sultan Salim I, yang menjadi khalifah pertama Turki

Utsmani, setelah mengalahkan Daulah Mamalik dan menguasai Hijaz, yang meliputi

Makkah dan Madinah.

Sultan Sulaiman Al-Qanuni melakukan perluasan wilayah yang sangat besar,

yang belum pernah ada tandingannya sebelumnya. Wilayah-wilayah kekuasaan

Daulah Utsmaniyah tersebar di tiga benua, yaitu Asia, Afrika, dan Eropa.

Pada tahun 1529, bala tentara Utsmaniyah yang dipimpin oleh Sultan Sulaiman

Al-Qanuni berada di luar tembok-tembok Wina. Menurut Haydn Williams, penulis

Turquerie: An Eighteenth-Century European Fantasy, yang diterbitkan tahun lalu,

Eropa Barat jatuh ke dalam “keadaan shock”. Bahkan, reputasi disiplin tanpa ampun

tentara Utsmaniyah tumbuh begitu besar sampai-sampai kekuatan adidaya Islam

menginspirasi sebuah istilah baru di antara negara-negara Eropa yang ketakutan:

“bahaya Turki”, atau Turkengefahr, sebagaimana orang Jerman mengatakannya.

Dari sudut pandang para penguasa Eropa, hal tersebut merupakan malapetaka

bagi negara-negara Kristen: keseimbangan kekuasaan di dunia telah berubah untuk

selamanya. Hampir selama tiga dekade Utsmaniyah menaklukkan lebih dalam ke

jantung Eropa, menyerbu kota Otranto di sebelah selatan Italia, dan mengeksekusi

lebih dari 800 penduduk yang menolak tunduk di bawah kedaulatan Turki Utsmani.

Tentunya pakem pilihan antara masuk Islam atau membayar jizyah tetap ditawarkan

terlebih dahulu.

Page 13: F. Irawan - m.kiblat.net fileF. Irawan Laporan Edisi 3 / Februari 2019 ABOUT US Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah

SYAMINA Edisi 3 / Februari 2019

13

Dominasi Turki Utsmani membawa pengaruh terhadap negara-negara Kristen

yang semasa dengannya, khususnya di Eropa yang hidup dalam keadaan terpecah

belah yang membahayakan dari sisi politik dan keagamaan. Karena itu, sikap negara-

negara Eropa bermacam-macam terhadap Daulah Utsmaniyah, sesuai dengan

situasi dan kondisi masing-masing negara. Charles V, Raja Imperium Romawi Suci

bersaing dengan Francis II, Raja Perancis untuk menduduki singgasana Imperium

Romawi. Sedangkan Paus Leo X bersaing dengan pendeta Jerman yang bernama

Martin Luther, pemimpin kelompok Protestan.

Sama halnya dengan Belgrade (Kerajaan Serbia) yang sedang dilanda keguncangan

dalam negeri karena rajanya yang masih kecil, Louis II. Hal ini menyebabkan konflik

di antara para pembesar kerajaan.

Berdasarkan kondisi negara-negara Eropa yang dilanda konflik internal, maka

Francis II berpendapat lebih baik baginya untuk memanfaatkan kedudukan dan

kekuatan yang dimiliki Daulah Utsmaniyah, serta menjadikannya sebagai partner.

Oleh karena itu, Raja Francis II mengambil sikap bersahabat dengan menjalin

kesepakatan dengan Daulah Utsmaniyah. Dia sangat yakin bahwa Daulah Utsmaniyah

mampu menghentikan ketamakan-ketamakan Charles V dan menghentikannya

pada batasnya.

Bukti yang menegaskan sikap Raja Prancis ini adalah apa yang dia katakan

kepada duta besar Kerajaan Venezia, “Yang Terhormat Duta Besar, saya tidak dapat

mengingkari bahwa saya benar-benar menginginkan agar orang-orang Turki memiliki

kekuatan yang besar dan selalu siap sedia untuk berperang. Bukan hanya untuk

kepentingan Sultan Utsmani itu sendiri, tetapi untuk melemahkan kekuatan Charles

V, memberikan beban yang berat atasnya, serta untuk memberikan keamanan dan

keselamatan kepada seluruh pemerintahan-pemerintahan untuk melawan musuh

besar seperti Charles V ini.”

Mulailah perundingan antara Kerajaan Prancis dengan Daulah Utsmaniyah

setelah Perang Pavia, di mana dalam perang itu Raja Prancis, Francis II menjadi

tawanan pada tahun 1525 M. Kemudian ibunya mengirim utusannya yang bernama

John Frangipani. Utusan itu membawa surat dari ibunya dan surat dari raja yang

tertawan itu. Kedua surat itu berisi permintaan untuk menyerang keluarga Kerajaan

Habsburg dan membebaskan para tawanan.

Walaupun tawanan itu sudah dibebaskan sesuai dengan isi perjanjian yang

dibuat di Madrid antara Kerajaan Prancis dan keluarga Kerajaan Habsburg pada

tahun 1526 M, tetapi Francis II setelah dibebaskan pada tahun 941 H (1535 M)

mengirimkan sekretarisnya yang bernama Jean de Lapoure kepada Sultan Sulaiman

Al-Qanuni. Pengiriman utusan itu bertujuan untuk membuat persekutuan dalam

bentuk perjanjian.

Page 14: F. Irawan - m.kiblat.net fileF. Irawan Laporan Edisi 3 / Februari 2019 ABOUT US Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah

SYAMINAEdisi 3 / Februari 2019

14

Pada masa berikutnya, perjanjian itu dinamakan Perjanjian Istimewa Utsmani-

Prancis. Karena kami memandang bahwa perjanjian ini memiliki efek politik yang

sangat penting, maka kami menyebutkan poin-poin terpentingnya, yaitu:

1. Kebebasan penuh untuk bongkar muat dan pelayaran bagi kapal-kapal

laut yang bersenjata maupun yang tidak bersenjata.

2. Hak jual beli dan tukar menukar barang di seluruh bagian wilayah Daulah

Utsmaniyah untuk semua rakyat Kerajaan Prancis.

3. Pembayaran bea cukai dan pajak-pajak lainnya kepada Daulah

Utsmaniyah hanya dilakukan sekali dalam setahun.

4. Pajak-pajak yang dibayarkan oleh orang-orang Prancis kepada Daulah

Utsmaniyah jumlahnya sama dengan yang dibayarkan oleh rakyat Turki.

5. Memiliki hak perwakilan konsulat, dengan mendapatkan perlindungan

diplomatik baginya, para kerabatnya, dan orang-orang yang bekerja

bersama dengannya.

6. Menjadi wewenang konsuler Prancis untuk melakukan pemeriksaan

dalam urusan-urusan sosial dan kriminalitas di mana pihak-pihak

pelakunya adalah dari rakyat Prancis, dan dia diberi wewenang untuk

menghakimi. Konsuler itu juga memiliki hak untuk meminta bantuan

kepada otoritas lokal untuk mengeksekusi hukum yang telah ditetapkan.

7. Dalam sebuah persengketaan yang salah satu pihak pelakunya adalah

rakyat Turki Utsmani maka rakyat Prancis tidak didakwa dan tidak divonis

kecuali dengan hadirnya penerjemah bahasa Prancis.

8. Keterangan-keterangan yang disampaikan warga negara Prancis dalam

masalah-masalah yang dihadapi bisa diterima dan diambil ketika

dikeluarkan sebuah keputusan hukum.

9. Hak kebebasan beribadah untuk warga negara Prancis.

10. Larangan memperbudak warga negara Prancis.

Tampak bahwa hak-hak warga negara asing, khususnya Prancis, mendapatkan

perlakuan yang sangat terhormat di wilayah Turki Utsmani.

Dampak dari perjanjian ini adalah semakin meningkatnya kerja sama angkatan

laut antara kedua belah pihak, Prancis dan Utsmani. Angkatan laut Turki Utsmani

melancarkan serangan gencar ke wilayah-wilayah pantai Kerajaan Napoli yang pada

waktu itu berada di bawah kekuasaan Charles V. Pada tahun 1943 H, angkatan laut

Turki Utsmani dan angkatan laut Prancis berkumpul menjadi satu dan menyerang

wilayah Nusair yang berada di bawah kekuasaan Duke of Savoy, sekutu Charles V.

Page 15: F. Irawan - m.kiblat.net fileF. Irawan Laporan Edisi 3 / Februari 2019 ABOUT US Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah

SYAMINA Edisi 3 / Februari 2019

15

Prancis memperoleh banyak manfaat dari kedekatannya dengan Daulah

Utsmaniyah, baik di bidang militer, ekonomi, maupun politik. Perjanjian ini dijadikan

oleh orang-orang Prancis sebagai sarana untuk membuka pintu-pintu perdagangan

dengan Dunia Timur, tanpa harus tunduk di bawah monopoli bangsa Portugal setelah

penemuan bangsa Eropa terhadap jalur Tanjung Harapan. Konsekuensi perjanjian

itu juga menjadikan Prancis mendapatkan hak sempurna untuk memberikan

perlindungan kepada seluruh rakyat negara-negara Barat. Ini semua menjadikan

Prancis memiliki kedudukan yang tinggi di antara negara-negara Eropa.

Sayangnya, perjanjian ini tidak banyak mendatangkan manfaat bagi pihak Turki

Utsmani. Seolah-olah, perjanjian itu dibuat hanya untuk memenuhi permintaan-

permintaan Barat dan mewujudkan kepentingan-kepentingan para musuh tanpa

ada timbal balik yang setimpal yang dapat disebutkan. Perjanjian ini menjadi acuan

perjanjian-perjanjian yang dibuat pada masa selanjutnya antara Daulah Utsmaniyah

dan negara-negara Eropa secara umum.8

Pergeseran Cara Pandang Kristen Barat

Tampak benar bahwa setelah kejatuhan Konstantinopel, serbuan propaganda

orang-orang Eropa yang menggambarkan Utsmaniyah sebagai kaum kafir yang

barbar, distimulasi oleh para diplomat dan pedagang, begitu juga seniman, yang

melakukan perjalanan ke Konstantinopel dan menyaksikan kebudayaan Turki secara

langsung.

Sikap dan cara pandang yang paranoid ini bertahan dalam waktu yang lama.

Pada abad ke-16 dan ke-17, dunia masih merupakan tempat yang terpecah-pecah,

terbagi antara Barat Kristen dan musuh mereka, yaitu Muslim di Timur. Setidaknya,

ini adalah versi ortodoks dalam sejarah. Kendati demikian, penelitian akhir-akhir

ini cenderung kepada kesimpulan bahwa keretakan tersebut tidak selalu begitu

bermusuhan.9

Semangat keingintahuan, respek, dan perubahan tentang Turki Utsmani juga

berkembang di kalangan Eropa. Salah satu dari contoh yang terkenal dari hubungan

antara dua dunia ini adalah kunjungan Gentile Bellini, seorang seniman resmi dari

Republik Venezia, ke istana Sultan Muhammad Al-Fatih menjelang akhir abad ke-15

(tahun 1479). Sultan telah meminta seorang pematung dan sebuah roda perunggu

kepada kepala pemerintahan Venezia (Doge of Venezia) yang dapat membuat medali.

Orang-orang Venezia, yang memang tertarik untuk menjalin hubungan komersial

dengan Utsmani, merasa senang membantu. Selama tinggal di Konstantinopel,

Bellini melukis pemandangan Venezia untuk Sultan Muhammad Al-Fatih, begitu

juga anggota keluarganya.

8 Lihat: Haydn Williams. Turquerie: An Eighteenth-Century European Fantasy9 Alastair Sooke, How Western art learned to stop fearing the East

Page 16: F. Irawan - m.kiblat.net fileF. Irawan Laporan Edisi 3 / Februari 2019 ABOUT US Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah

SYAMINAEdisi 3 / Februari 2019

16

Berbagai penilaian yang positif tentang Turki Utsmani kemudian mempengaruhi

sikap sebagian bangsa Eropa untuk tetap menjalin hubungan dengan Turki Utsmani

dalam konteks yang tidak selalu bermusuhan. Setelah kegagalan Utsmani dalam

Pengepungan Wina pada tahun 1529, ketakutan orang-orang Eropa terhadap

ancaman Turki mulai surut.

Selain itu, pengaruh Turki Utsmani bagi kebudayaan Eropa mulai tampak. Di

dalam benak orang-orang Eropa, Turki Utsmani menjadi sesuatu yang tidak untuk

ditakuti, tetapi untuk diinginkan. Haydn Williams menulis, “Stereotipe dari Turki

yang kejam bermetamorfosis menjadi sesuatu yang damai.” Dan itu yang diwujudkan

dengan cita rasa glamour, kaya, dan mewah.10

Pada saat yang bersamaan, cara memandang Turki Utsmani mulai berubah. Di

antaranya dilihat dari sisi bagaimana kalangan non-Muslim, khususnya Yahudi dan

Nasrani, hidup di bawah naungan Turki Utsmani. Ada banyak pertanyaan menarik,

seperti mengapa orang-orang Eropa, khususnya di wilayah Balkan, banyak yang

memeluk Islam. Keluhuran ajaran Islam dan keadilan menjadi kalimat kuncinya.

Demografi Turki Utsmani

Dalam sistem Kesultanan Utsmaniyah, walaupun ada hegemoni kekuasaan

Muslim atas penduduk non-Muslim, komunitas non-Muslim mendapat pengakuan

dan perlindungan negara sesuai ajaran Islam. Sampai paruh kedua abad ke-15,

penduduk kesultanan ini didominasi penganut Kristen dan dipimpin minoritas

Muslim.

Pada akhir abad ke-19, populasi non-Muslim mulai berkurang drastis, bukan

karena kehilangan wilayah saja, tetapi juga perpindahan penduduk. Persentase

Muslim naik menjadi 60% pada 1820-an, lalu perlahan naik ke 69% pada 1870-

an, dan 76% pada 1890-an. Catatan statistik per 1914 menyebutkan, hanya 19,1%

penduduk kesultanan yang beragama non-Islam. Kebanyakan di antaranya adalah

Kristen Yunani, Assyria, Armenia, dan Yahudi.

Bagaimana dengan sekte-sekte yang dianggap sesat oleh mainstream Muslimin

Sunni, seperti Druze, Ismaili, dan Alawi? Catatan menyebutkan bahwa mereka

ditempatkan di bawah penganut Yahudi dan Kristen. Lebih lanjut disebutkan, pada

tahun 1514, Sultan Salim I, yang oleh pengamat Barat dijuluki "Pencabut Nyawa"

karena memerintahkan eksekusi 40 ribu orang Alawi Anatolia (Qizilbash) yang

divonis sesat. Dari sisi pendekatan hukum hudud, tampaknya berhubungan dengan

sanksi atas orang yang dihukumi telah murtad dari Islam.

Di Daulah Utsmaniyah, sesuai sistem dzimmi Islam, umat Kristen diberi

kebebasan terbatas (seperti hak beribadah), namun tetap ada perbedaan perlakuan.

10 Haydn Williams, Turquerie: An Eighteenth-Century European Fantasy

Page 17: F. Irawan - m.kiblat.net fileF. Irawan Laporan Edisi 3 / Februari 2019 ABOUT US Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah

SYAMINA Edisi 3 / Februari 2019

17

Jadi, umat Kristen dan Yahudi tidak dianggap sama dengan kaum Muslimom.

Misalnya, kesaksian melawan terdakwa Muslim oleh seorang Kristen dan Yahudi

tidak dianggap sah di pengadilan. Mereka juga dilarang membawa senjata. Selain itu

masih banyak batasan-batasan legal lainnya.

Di bawah sistem millet, warga non-Muslim wajib mematuhi hukum kesultanan,

namun tidak wajib mematuhi hukum Islam. Millet Ortodoks, misalnya, secara

hukum masih menginduk kepada Kode Justinian, hukum yang berlaku di Kekaisaran

Romawi Timur selama 900 tahun. Selain itu, sebagai kelompok non-Muslim terbesar

(atau dzimmi) di negara Utsmaniyah Islam, millet Ortodoks mendapatkan hak-hak

istimewa di bidang politik dan perdagangan serta diwajibkan membayar pajak yang

lebih tinggi daripada Muslim.

Millet serupa ditetapkan untuk komunitas Yahudi Utsmaniyah yang berada di

bawah kewenangan Haham Başı atau kepala rabbi Utsmaniyah; komunitas Ortodoks

Armenia yang berada di bawah kewenangan kepala uskup; dan berbagai komunitas

agama lainnya. Sistem millet dalam hukum Islam diakui luas sebagai contoh awal

pluralisme agama pra-modern.

Adapun dalam sistem yang umum dikenal dengan nama devşirme, sejumlah putra

Kristen, kebanyakan dari Balkan dan Anatolia, secara rutin diharuskan mengikuti

wajib militer sebelum dewasa, lalu dibesarkan sebagai seorang Muslim.

Hak-Hak Non-Muslim Eropa dalam Pemerintahan Turki Utsmani

Sama seperti khilafah dan kerajaan islami sebelumnya, Turki Utsmani juga

menunjukkan perhatian yang besar dan pengakuan hak-hak non-muslim di wilayah

mereka. Prinsip ini telah dituntunkan oleh syariat Islam, bagaimana hendaknya

interaksi negara kepada non-muslim. Mereka dilindungi, diberikan kebebasan

beragama, dan bebas dari penganiayaan. Di antara pengaturan yang pertama dibuat

adalah Perjanjian Umar ibn al-Khattab yang menjamin orang-orang Nasrani di

Jerusalem dengan kebebasan beragama dan keselamatan dalam penunaiannya.

Sebagai contoh, sejarawan mencatat perlakuan baik terhadap nonmuslim dari

salah satu Sultan Turki Utsmani, yaitu Sulaiman II (1642-1691), yang memerintah dari

tahun 1687 hingga saat wafatnya. Adik Muhammad IV ini menghabiskan sebagian

besar hidupnya di kafes (sangkar), sejenis tahanan mewah buat pangeran di Istana

Topkapi—yang dirancang untuk memastikan takkan ada pemberontakan.

Saat mendekati kenaikan tahta usai terdepaknya sang kakak pada 1687, Sulaiman

II sempat mengira para delegasi datang untuk membunuhnya. Satu-satunya cara

memengaruhinya agar ia bisa keluar dari istananya adalah dengan menganugerahi

pedang khalifah secara seremonial.

Page 18: F. Irawan - m.kiblat.net fileF. Irawan Laporan Edisi 3 / Februari 2019 ABOUT US Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah

SYAMINAEdisi 3 / Februari 2019

18

Sulaiman II membuat pilihan cerdas dengan mengangkat Ahmad Faizil Koprulu

sebagai Raja Muda. Di bawah kepemimpinan Koprulu, Turki menghambat gerak

laju Austria ke Serbia dan membasmi pemberontakan di Bulgaria. Selama gerakan

pengambil-alihan Hongaria Timur, Koprulu dikalahkan dan gugur di tangan Ludwig

Wilhelm dari Baden di Szlankamen pada 1690. Sulaiman sendiri mangkat setahun

kemudian.

Sementara itu, pemerintahan Utsmani terus merosot ketika Sulaiman II

berkuasa, dan musuh-musuhnya bertambah ganas. Austria sering merampas posisi-

posisi penting di beberapa kota, di antaranya Belgrade pada 1099 H. Sebagaimana

Venezia juga menduduki pantai-pantai Dalmasia dan pantai-pantai wilayah timur

Laut Adriatik dan beberapa tempat di Yunani. Kekalahan terus-menerus menimpa

pemerintahan Utsmani.

Pada masa kekuasaan Sulaiman II (1642–1691), orang-orang Kristen diberi

kebebasan untuk membangun gereja di Istanbul maupun di tempat-tempat di mana

gereja dirobohkan sebelumnya. Hal ini dijalankan oleh Perdana Menteri Musthafa

bin Muhammad Kuberyalali. Ia mengikuti jejak ayahnya dalam menjalankan

kekuasaannya. Dia juga akan memberikan sanksi yang sangat keras kepada siapa saja

yang melakukan tindakan tidak senonoh terhadap orang-orang Kristen saat mereka

melakukan acara-acara ritual keagamaan.

Ini merupakan kesaksian dari pemeluk Kristen atas nilai-nilai toleransi

Islam yang telah memberikan rasa aman pada semua manusia dalam hal agama,

kehormatan, harta dan darah mereka saat berada dalam lindungan Islam. Perdana

Menteri Musthafa gugur di medan perang saat sedang membela agama Allah dalam

peperangan melawan orang-orang Yahudi pada tahun 1102 H.

Sultan Sulaiman II wafat pada 26 Ramadhan 1102 H/23 Juni 1691 M, tanpa

meninggalkan seorang pun keturunan, ketika berusia hampir 50 tahun. Ia memerintah

selama 3 tahun 8 bulan dan dikebumikan di tempat pemakaman kakaknya, Sultan

Sulaiman I.

Peraturan yang Menjamin Perlindungan terhadap Non-Muslim

Pengaturan yang menjamin hak-hak masyarakat non-Muslim dipraktikkan

dengan jelas sejak era Sultan Muhammad Al-Fatih, yaitu ketika ia menaklukkan

Konstantinopel (1453) dengan komunitas Nasraninya. Sejarah mencatat,

Konstatinopel adalah pusat Kristen Ortodoks di dunia saat itu dan masih memiliki

populasi yang besar. Belum lagi adanya kelompok Gereja Gregorian dan Yahudi.

Sebagai sebuah kerajaan yang wilayah kekuasaannya meluas hingga Eropa,

semakin bertambah pula non-Muslim yang berada di bawah kekuasaan Turki

Utsmani. Sebagai contoh, pada tahun 1530 M, lebih dari 80% rakyat Turki Utsmani

Page 19: F. Irawan - m.kiblat.net fileF. Irawan Laporan Edisi 3 / Februari 2019 ABOUT US Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah

SYAMINA Edisi 3 / Februari 2019

19

di Eropa adalah non-Muslim. Untuk mengatur ini, Sultan Muhammad menerapkan

sistem baru yang kemudian dikenal dengan sistem millet.

Segera setelah berhasil menaklukkan Konstantinopel, Sultan Muhammad Al-

Fatih langsung menerapkan sebuah sistem Millet yang mengatur hak-hak non-

muslim. Jika dilihat dari penjelasan mengenai pembagian kelompok re’aya bagi

non-muslim, boleh jadi sistem millet ini merupakan perwujudan dari kebijakan

awal mengenai non-muslim. Hal ini ditarik dari fakta bahwa sebelum adanya sistem

millet, kelompok-kelompok non-muslim diberikan sebuah wilayah tersendiri

dan pemimpinnya memiliki otoritas untuk mengatur dengan leluasa anggota

kelompoknya.

Jadi, untuk menjaga stabilitas sosial dan keamanan, Sultan Muhammad al-Fatih

menerapkan sistem Millet yang berdasarkan prinsip syariat Islam tentang bagaimana

interaksi khilafah Islam kepada non-Muslim. Sistem ini secara tidak langsung

menyatakan bahwa Kesultanan Turki Utsmani adalah pelindung dari bangsa-bangsa

yang ada di bawah pemerintahannya. Sebagai imbalannya, kalangan non-muslim

berkewajiban membayar jizyah dan berkomitmen mematuhi beberapa batasan-

batasan yang memasukkan mereka sebagai salah satu bagian masyarakat, namun

level mereka berada di bawah level kaum muslim.

Dari beberapa sumber yang ditemukan, kebijakan sistem millet ini dapat dirinci

pada beberapa poin, di antaranya :

1. Memilih pemimpin agama sendiri.

2. Pemimpin diizinkan menegakkan aturan agama terhadap anggotanya.

3. Hukum Islam tidak memiliki wewenang hukum atas non-muslim.

4. Boleh menggunakan bahasa sendiri.

5. Mengembangkan lembaga-lembaga (tempat ibadah, dan lain-lain).

6. Mengumpulkan pajak.

7. Menyelesaikan sengketa yang terjadi.

8. Membebaskan dari wajib militer.

9. Dan lain-lain.

Hukum Islam baru akan diterapkan ketika adanya suatu kasus yang melibatkan

dua orang dari millet berbeda, seperti Kristen-Islam, atau Yahudi-Kristen, dan

seterusnya. Dalam kasus ini, hakim muslim akan memimpin dan menyelesaikan

kasus dengan penilaian terbaik.

Page 20: F. Irawan - m.kiblat.net fileF. Irawan Laporan Edisi 3 / Februari 2019 ABOUT US Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah

SYAMINAEdisi 3 / Februari 2019

20

Kemudian, Sultan sebagai pemimpin besar dari tiap-tiap millet hanya memiliki

kewenangan dalam hal menyetujui pemilihan pemimpin atau pemecatan pemimpin

yang dianggap menyeleweng. Selain itu, Sultan pun melakukan kontrol dan

berkonsultasi dengan pemimpin millet. berkenaan dengan masalah-masalah yang

ada di dalam millet.

Jadi, umat berbagai agama terakomodir dengan sistem ini. Istilah millet, yang

berasal dari kata bahasa Arab dan berarti “bangsa”, menunjukkan bahwa Turki

Utsmani menyatakan bahwa mereka adalah pelindung bangsa-bangsa yang ada di

dalam pemerintahannya. Setiap agama dianggap millet sendiri, dengan beberapa

millet yang ada di kesultanan. Sebagai contoh, semua orang Kristen Ortodoks di

Kesultanan Utsmani dianggap sebagai merupakan millet, sementara semua orang

Yahudi merupakan millet lain.

Setiap millet diizinkan untuk memilih tokoh agama sendiri untuk memimpin

mereka. Dalam kasus Gereja Ortodoks (Gereja terbesar di Kesultanan Utsmani),

Patriark Ortodoks (Uskup Agung Konstantinopel) adalah pemimpin terpilih millet.

Para pemimpin millet diizinkan untuk menegakkan aturan agama mereka sendiri

pada orang-orang mereka. Hukum Islam (Syariah) tidak memiliki wewenang hukum

atas non-Muslim di bawah Daulah Utsmaniyah.

Dalam kasus kejahatan, orang akan dihukum sesuai dengan aturan agama

mereka sendiri, bukan syariat Islam atau hukum agama lainnya. Sebagai contoh, jika

seorang Kristen terbukti mencuri, dia akan dihukum sesuai dengan hukum Kristen

dalam masalah pencurian. Jika seorang Yahudi yang mencuri, dia harus dihukum

sesuai dengan hukum Yahudi, dan lain-lain.

Syariat hukum Islam akan diterapkan jika yang melakukan pidana adalah

seorang Muslim, atau ketika ada kasus yang melibatkan dua orang dari millet yang

berbeda (misalnya, Yahudi dengan Islam atau Kristen dengan Yahudi). Dalam hal

ini, seorang hakim Muslim akan memimpin kasus dan ia akan memutuskan sesuai

dengan penilaian terbaik.

Selain hukum agama, millet diberi kebebasan untuk menggunakan bahasa

mereka sendiri, mengembangkan lembaga mereka sendiri (gereja, sekolah, dll),

dan mengumpulkan pajak. Pemerintah Turki Utsmani hanya melakukan kontrol

atas millet melalui para pemimpin mereka. Para pemimpin millet wajib melapor

ke sultan. Jika ada masalah dalam sebuah millet, sultan akan berkonsultasi dengan

pemimpin millet. Secara teoritis, populasi Muslim di Kerajaan Turki Utsmani juga

merupakan millet, dengan sultan (raja) sebagai pemimpin milletnya.

Pada masa-masa akhir Daulah Utsmaniyah, negara-negara Eropa Kristen turut

mencampuri urusan-urusan dalam negeri pemerintahan Utsmani di bawah payung

hak-hak istimewa itu. Dan juga, mereka berdalih hendak melindungi orang-orang

Page 21: F. Irawan - m.kiblat.net fileF. Irawan Laporan Edisi 3 / Februari 2019 ABOUT US Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah

SYAMINA Edisi 3 / Februari 2019

21

Kristen yang tinggal di dalam Daulah Utsmaniyah yang mereka anggap sebagai

warga negara asing. Ini terjadi khususnya di Syam.11

Penutup: Kesuksesan Sistem Millet

Dalam kurun kekuasaan Kerajaan Turki Utsmani, antara tahun 1300 hingga 1922,

sistem millet berhasil menciptakan kerukunan beragama dan dan rasa tanggung

jawab dari setiap lapisan masyarakat di seluruh kerajaan. Semakin luas wilayah

kekuasaan kerajaan, maka semakin banyak tata aturan millet yang berlangsung. Ada

sistem millet untuk Armenia, Katolik, dan Kristen Ortodoks, dengan masing-masing

sektenya yang dibagi lagi lebih spesifik oleh gereja-gereja di daerah masing-masing.

Sistem millet ini tidak berlangsung sampai akhir Kerajaan Utsmani. Setelah

kerajaan mulai mundur dan lemah pada tahun 1700-an dan 1800-an, campur tangan

Eropa di kerajaan pun menguat. Ketika organisasi liberal disahkan tahun 1800-

an, sistem millet dihapuskan, dan sistem pemerintahan sekuler ala Eropa lebih

ditonjolkan. Turki Utsmani dipaksa untuk menjamin “hak” agama minoritas, padahal

hakikatnya mengekaang kebebasan mereka. Bukannya diizinkan untuk memerintah

diri mereka sesuai dengan aturan yang mereka tetapkan, semua kelompok agama

dipaksa untuk mengikuti aturan yang sama yakni hukum sekuler.

Hal ini menjadikan sebuah akhir yang menyebabkan ketegangan umat beragama

di wilayah Kesultanan. Kemudian sebagian sejarawan menganalisis itu sebagai salah

satu pemicu isu “genosida” terhadap orang-orang Armenia (yang hakikatnya masih

diperdebatkan) di Perang Dunia I, menjelang hari-hari keruntuhan Turki Utsmani.

Sistem millet adalah solusi yang unik dan kreatif untuk menjalankan sebuah

kerajaan multi-etnis dan multi-agama. Hak dan kebebasan diberikan kepada agama

minoritas dalam kurun waktu yang panjang. Sementara Eropa pada tahun 1900-

an masih disibukkan dengan penganiayaan atas nama agama, Turki Utsmani telah

menciptakan sistem pengakuan agama yang harmonis dan stabil, yang menjamin

kebebasan beragama selama ratusan tahun.

Para peneliti, seperti Barkey & Gavrilis (2016) dari Columbia University, AS,12

bahkan menjelaskan fitur utama dari sistem Millet telah diwariskan kepada negara

penerus tertentu yang pernah menjadi wilayah Turki Utsmani, terutama Mesir,

Israel, Lebanon dan Turki. Mereka berpendapat bahwa jenis otonomi non-teritorial

paling cocok untuk dispersi geografis minoritas, tetapi juga untuk tujuan stratejik

dari Khilafah Utsmaniyah. Meskipun model tersebut tampak ideal, dampaknya

bukan hanya memungkinkan otonomi bagi minoritas, tetapi juga untuk memastikan

bahwa mereka tetap di bawah kendali khilafah.

11 Lihat: Sener Arkturk. “Persistence of the Islamic Millet as an Ottoman Legacy: Mono-Religious and Anti-Ethnic Definition of Turkish Nationhood”.

12 Karen Barkey & George Gavrilis. “The Ottoman Millet System: Non-Territorial Autonomy and its Contemporary Legacy” dalam Jurnal Ethnopolitics, Volume 15, 2016, Issue 1, hlm. 24.

Page 22: F. Irawan - m.kiblat.net fileF. Irawan Laporan Edisi 3 / Februari 2019 ABOUT US Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah

SYAMINAEdisi 3 / Februari 2019

22

Daftar PustakaAlastair Sooke. How Western art learned to stop fearing the East.

Ali bin Muhammad Ash-Shallabi. Sejarah Daulah Utsmaniyah. Jakarta: Ummul Qura.

Haydn Williams. Turquerie: An Eighteenth-Century European Fantasy.

Jamal Abdul Hadi. Ad-Daulah Al-‘Utsmaniyyah.

Norman Itzkowitz. Ottoman Empire And Islamic Tradition.

Chicago: University Of Chicago Press, 1981.

William Ochsenwald dan Sydney Fisher. The Middle East: A History. 6th. New

York: McGraw-Hill, 2003.

M. Anastassiadou-Dumont. Non-Muslim Communities and State Control in the late

Ottoman Empire. Administrative Practice and Decision-making within the

Greek Orthodox Parishes of Istanbul, 2015, https://hal.archives-ouvertes.fr/hal-

01452033/document

M. Yakub Mughul. “The Ottoman Policy Towards Non-Muslim Communities

and Their Status in the Ottoman Empire During the 15th & 16th Centuries:

Interaction of Civilizations”, 2015, https://www.ayk.gov.tr/wp-content/

uploads/2015/01/

Karen Barkey & George Gavrilis. “The Ottoman Millet System: Non-Territorial

Autonomy and its Contemporary Legacy” dalam jurnal Ethnopolitics, Volume

15, 2016, Issue 1, hlm. 24–42.

Roger Crowley. 1453: Detik-detik Jatuhnya Konstantinopel ke Tangan Muslim.

Terjemahan Ridwan Muzir. Jakarta: Pustaka Alvabet. 2015.

Sener Arkturk. “Persistence of the Islamic Millet as an Ottoman Legacy: Mono-

Religious and Anti-Ethnic Definition of Turkish Nationhood” dalam jurnal

Middle Eastern Studies, Volume 45, 2009, Issue 6, hlm. 893–909.

http://lostislamichistory.com/non-muslim-rights-in-the-Utsmani-empire/