iraq - complicated ethnic victimization

21
IRAK Complicated Ethnic Victimization Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Politik Identitas dalam Hubungan Internasional Dosen: Marbawi A. Katon Oleh: Windy Alexander Tjiam 208000325 Siti Octrina Malikah 209000061 PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS FALSAFAH DAN PERADABAN UNIVERSITAS PARAMADINA 2010

Upload: riri-malikah-nasution

Post on 02-Jul-2015

352 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: IRAQ - Complicated Ethnic Victimization

IRAK

Complicated Ethnic Victimization

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Politik Identitas dalam Hubungan Internasional

Dosen: Marbawi A. Katon

Oleh:

Windy Alexander Tjiam 208000325

Siti Octrina Malikah 209000061

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS FALSAFAH DAN PERADABAN

UNIVERSITAS PARAMADINA

2010

Page 2: IRAQ - Complicated Ethnic Victimization

PENDAHULUAN

Langkah Irak sebagai salah satu negara di kawasan Timur Tengah yang mengalami transisi

pada sistem pemerintahannya menjadi demokrasi tidaklah begitu lancar. Langkah Irak

tersendat oleh heterogenitas etnis yang ada dan tidak adanya titik temu sehingga sentimen

rasial yang ada semakin memanas dan diperkeruh dengan adanya aksi kekerasan berskala

besar terhadap warga suku Kurdi pada masa pemerintahan Saddam Hussein. Pada makalah

kali ini, kami ingin membahas mengenai konflik etnis yang terjadi di Irak.

I. FENOMENA DAN STATUS QUO

Pada dasarnya, hubungan yang berlangsung antara seorang individu dengan individu lain

tidak terlepas dari dua jenis hubungan, yaitu kerjasama dan konflik. Ada tuntutan dan

kebutuhan psikologis tersendiri dari manusia untuk membentuk sekutu atau musuh. Identitas

manusia, baik yang diperoleh dari ascribe status ataupun achieved status, dapat dikapitalisasi

menjadi sebuah identitas yang dapat menimbulkan dikotomi. Dikotomi ini lazimnya antara

lebih baik dan lebih buruk, di mana sisi yang lebih baik hampir selalu direkatkan dengan

kelompok sendiri sementara yang lebih buruk direkatkan dengan kelompok lain.

Peran etnis dalam konflik telah menjadi perdebatan dikalangan ahli studi konflik. Ada tiga

pandangan mengenai peran suku: pertama, pandangan objektivis, struktur ekonomi (dan

politik) obyektif langsung menyebabkan konflik. Kedua, pandangan primordial, struktur

sejarah obyektif dan relatif stabil dari produksi melahirkan budaya yang langsung

menyebabkan konflik atau yang memiliki elemen-elemen yang tidak cocok dengan struktur

modern ekonomi politik global. Ketiga, pandangan instrumentalis, struktur yang

menyebabkan konflik dihasilkan oleh tindakan dan politik, bukan oleh struktur objektif.1

Irak memiliki konflik yang sangat kompleks karena lahir dari faktor-faktor internal yang

memang sudah cukup rumit dan juga intervensi dunia internasional yang dalam hal ini adalah

Amerika Serikat. Faktor internal di sini adalah faktor identitas kelompok, baik suku, politik,

regional, maupun aliran agama. Sementara itu, faktor ekternal yang dimaksud di sini

bersumber dari Amerika serikat dan sekutunya. Dalam usaha untuk memahami konflik yang

1 Kivimäki dalam Dewi Fortuna Anwar, edt., 2005 : 125)

Page 3: IRAQ - Complicated Ethnic Victimization

terjadi di Irak, kita tidak bisa lepas dari kuatnya pengkotak-kotakan masyarakat baik secara

kesukuan, ideologi, maupun aliran keagamaan. Irak terpecah atas suku-suku kurdi, arab, dan

turkmen; antara syiah dan sunni; dan juga antar berbagai ideologi sosialis, islam, pan

arabisme, dan pan Islamisme.2 Berdasar pada fragmentasi masyarakat seperti itulah, maka

memahami konflik Irak tidak bisa lepas dari kerangka berfikir yang menggunakan teori-teor

konflik terutama interaksi kelompok-kelompok.

Konflik yang kerap terjadi di Irak dapat dikelompokkan menjadi konflik vertikal dan konflik

horizontal. Namun, paska pemerintahan Saddam Husein, ketika Irak menuju ke arah

demokratisasi ternyata tidak menurunkan intensitas konflik tetapi justru mempertinggi

intensitas konflik terutama konflik horizontal. Pertama, Sunni yang dahulu mempunyai

legitimasi kekuasaan pemerintahan mutlak di pemerintahan Saddam Husein masih belum

mampu menerima kenyataan bahwa sekarang mereka tidak lagi memiliki kekuasaan seperti

di masa lalu.

Hal ini semakin diperuncing dengan nihilnya pengampunan bagi Saddam Husein dan para

pengikut setianya. Hukuman mati bagi bagi Saddam semakin berimplikasi terhadap tindakan

Sunni terhadap Syiah, dan sebaliknya, yang semakin keras dan represif. Kedua, campur

tangan asing, terutama Amerika Serikat, terhadap politik domestic Irak pun semakin

mengobarkan kebencian syiah radikal di Irak.

Dengan memperhatikan kedua faktor di atas, mungkin pandangan instrumentalis lebih

realistik, di mana suku memang merupakan elemen penting namun bukanlah penyebab

konflik yang utama. Banyak sekali pihak yang demi memperjuangkan kepentingan

pribadinya, telah menyusupkan kepentingannya melalui sentiment perbedaan kelompok atau

suku. Maka tidak heran jika kemudian kerap terjadi mobilisasi massa, benturan kepentingan

kelompok, radikalisme, yang disinyalir tidka memiliki kepentingan objektif kelompok suku

tetapi hanya demi tercapainya kepentingan pribadi.

2 Sugito: Konflik Etnis dalam Masa Transisi Demokrasi di Irak, jurusan Hubungan Internasional UMY.

Page 4: IRAQ - Complicated Ethnic Victimization

II. RUMUSAN MASALAH

1. Apa saja konflik etnis yang ada di Irak?

2. Bagaimanakah konflik yang terjadi di Irak pada masa :

a. Sebelum pemerintahan Saddam Hussein

b. Ketika pemerintahan Saddam Hussein

c. Setelah pemerintahan Saddam Hussein

III. KERANGKA TEORI

Teori yang digunakan: Ethnic Victimization Theory oleh Joseph Volcan Montville.

Upaya saling mencederai kelompok lain juga semakin terbuka ketika salah satu suku merasa

telah merasakan pengorbanan atau ethnic victimization. Joseph V. Montville memberikan

batasan konsep pengorbanan etnis sebagai keadaan ingatan etnis manakala keamanan

kelompoknya dihancurkan oleh kekerasan dan agresi. Menurut Volkan, pengorbanan etnis ini

akan memunculkan ketidakmampuan berkabung (inability to mourn) yang bersifat

uncomplicated atau complicated.

1. Uncomplicated adalah suatu kondisi ketika suatu kelompok mampu menerima

kehilangan dan berupaya mengatasi rasa sedih.

2. Complicated adalah suatu kondisi ketika kelompok merasa tidak rela atas kehilangan

atau pengorbanannya maka kelompok tersebut akan berusaha merebutnya kembali

atau melakukan balas dendam.

Page 5: IRAQ - Complicated Ethnic Victimization

PEMBAHASAN

Irak merupakan negara multietnik, penduduk Irak terdiri dari berbagai suku dan kelompok-

kelompok yang didasarkan oleh etnik maupun agama, seperti Syiah, Sunni, Arab, Kurdi,

Assyiria, keturunan Persia, dll dimana agama di Irak walaupun mayoritas Islam juga terbagi

antara Syiah dan Sunni. Kelompok Syiah merupakan kelompok yang menjadi mayoritas di

Irak, namun warga Syiah tidak seperti masyarakat yang menjadi mayoritas pada umumnya

karena Syiah hampir tidak menyentuh politik dan pemerintahan Irak yang didominasi oleh

Sunni sehingga menyebabkan berbagai konflik antara pemerintah dan masyarakat Irak.

I. KONFLIK-KONFLIK DI IRAK

Konflik etnis yang terjadi di Irak dikelompokkan menjadi dua, yaitu konflik horizontal dan

konflik vertikal dimana konflik horizontal sendiri merupakan konflik antar etnis yang terjadi

di Irak, dan konflik vertikal merupakan konflik antara pemerintah dan masyarakat

sebagaimana telah dituliskan di atas.

Konflik Vertikal yang terjadi di Irak tidak hanya melibatkan masyarakat Syiah dan

pemerintah yang merupakan suku Sunni, suku Kurdi juga terlibat konflik dengan pemerintah

di Irak bagian Utara. Pemetaan pengelompokan etnis serta sentimen rasial yang terjadi di Irak

dimana mayoritas Kurdi berada di Irak bagian Utara, bagian Selatan yang mayoritas Syiah,

dan Sunni yang berada di tengah Irak tidak terlepas dari peran Kerajaan Turki Usmani yang

pernah menguasai kawasan Irak. Sejak masa kerajaan Turki Usmani, warga Syiah merupakan

masyarakat mayoritas di kawasan Irak, namun sejak saat itu pula Sunni diberikan otoritas di

bidang politik dan militer yang terus bertahan hingga sekarang.

Sejak pertama kali Irak menyatakan kemerdekaannya dimana pada saat itu pemerintahan Irak

masih bersifat kerajaan yang dipimpin oleh Sunni dimana pada masa ini Syiah juga turut

berperan dalam pemerintahan walaupun tidak banyak, dan kemudian mengalami kudeta oleh

militer dan digantikan oleh pihak militer dan tampuk kepemimpinan dipegang oleh Jendral

Abdul Karim Qasim yang merupakan orang Sunni pada tahun 1958. Pada masa ini,

masyarakat Kurdi diberikan janji oleh pihak pemerintah bahwa mereka akan mendapat tanah

sendiri yang disebut Kurdistan, akan tetapi karena janji tersebut tidak terpenuhi maka

dimulailah pemberontakan kaum Kurdi pada tahun 1961 dibawah kepemimpinan Mustafa

Barzani. Pada 1963, posisi puncak pemerintahan tetap dipegang oleh militer dan lagi-lagi

Page 6: IRAQ - Complicated Ethnic Victimization

kepemimpinan dipegang oleh kaum Sunni dimana pada masa ini warga Kurdi telah diberikan

berbagai janji otonomi yang tidak terpenuhi dan menyebabkan pemberontakan Kurdi kembali

terjadi hingga pemerintahan berganti lagi pada tahun 1966 dan kudeta yang kembali terjadi

pada tahun 1968. Upaya kudeta kembali terjadi di Irak pada tahun 1973 yang dipimpin oleh

Nazim Kazzar, seorang Syiah namun gagal.

Syiah walaupun mayoritas, juga mengalami penindasan dominasi Sunni di Irak seperti halnya

masyarakat Irak dari kelompok-kelompok lain yang lebih kecil. Penyebab utama konflik

antara Syiah dan Sunni adalah politik, dimana Syiah sebagai masyarakat mayoritas di Irak

beradu dengan Sunni untuk memperebutkan hak memerintah dan hak untuk ikut berperan

dalam bidang-bidang politik, pemerintahan, hukum, dan militer.

Sunni yang berkuasa dituntut oleh kelompok Syiah yang ingin lebih berperan dalam politik

dan pemerintahan dan mendapat peran yang sesuai dengan persentase populasi mereka di

Irak. Pada tahun 1958 pasca runtuhnya sistem monarki di Irak, peran Syiah di bidang

pemerintahan dan politik mulai berkurang, selain karena kepemimpinan yang terus berganti

dan berkutat di antara Sunni, juga karena banyak tokoh-tokoh Syiah yang menjadi pemimpin

Partai Komunis terlebih ketika adanya aksi penumpasan Partai Komunis di Irak.

Politik kembali menjadi faktor penyebab pertikaian antara Kurdi dan Sunni dimana Kurdi

yang merupakan non-Arab merasa terasing terlebih dengan posisi geografis Irak dimana

Kurdi ditempatkan di Irak kawasan Utara (Barat Laut). Ideologi juga menjadi pemicu konflik

ini, dimana Kurdi lebih menganut Marxisme-Leninisme dan sifat nasionalis mereka yang

tinggi menyebabkan Kurdi ingin terlepas dari Irak dan membentuk sebuah negara sendiri.

Aksi pemberontakan etnis Kurdi dimulai sejak tahun 1960-an sampai dengan 1991 dimana

mereka melancarkan pemberontakan tingkat rendah terhadap pemerintahan pusat di Baghdad

yang kemudian menyulut terjadinya perang yang lebih besar antara Kurdi dengan

pemerintahan pada tahun 1975, 1988, dan 1991. Menurut kelompok Arab, etnis Kurdi

dianggap sebagai pemberontak dan pengkhianat bangsa Irak sehingga pemerintah Irak selalu

berusaha menumpas eksistensi Kurdi di Irak, salah satu contohnya dengan menggunakan

senjata kimia yang dikenal sebagai peristiwa Halabja pada 1988.

Page 7: IRAQ - Complicated Ethnic Victimization

II. PERJALANAN KONFLIK DI IRAK

A. Sebelum pemerintahan Saddam Husein

Konflik etnis antara suku Kurdi di Irak serta berbagai upaya perjuangan (atau bisa disebut

juga pemberontakan) Kurdi terhadap pemerintah Irak tidak terlepas dari keinginan Kurdi

yang ingin merdeka dan membentuk negara sendiri. Selain merasa terasing, Kurdi juga

merasa mereka pantas untuk mendapatkan tanah sendiri karena pada tahun 1920 sejak

berakhirnya Perang Dunia I, Inggris dengan Liga Bangsa-Bangsa bermaksud memberikan

kemerdekaan dan adanya Perjanjian Sevres mengenai pembentukan Kurdistan sebagai Tanah

Air Etnis Kurdi dan perjanjian itu ditandatangani oleh berbagai negara di Sevres, Perancis.

Namun perjanjian Sevres tersebut tidak pernah diratifikasi, bahkan pada 1922 kawasan Mosul

yang seharusnya merupakan bagian dari Kurdistan sebagaimana dimuat di Perjanjian Sevres

tersebut dijadikan sebagai bagian dari wilayah Irak. Pada 1923, Perjanjian Sevres dibatalkan

dan digantikan Perjanjian Lusanne yang tidak menyebutkan masalah Kurdi dan sejak saat itu

kebijakan pemerintah Baghdad tidak lagi membicarakan masalah otonomi atau kemerdekaan

Kurdi.

Alasan dibatalkannya Perjanjian Sevres adalah karena wilayah Kurdistan sudah terintegrasi

ke dalam negara-negara lain seperti Turki, Irak, Iran, Suriah sejak negara-negara tersebut

berdiri dan oleh karena itu dinilai sulit bagi negara-negara tersebut untuk melepas sebagian

wilayah mereka untuk membentuk negara Kurdistan. Salah satu faktor lain yang

menyebabkan negara-negara tersebut enggan melepas wilayah Kurdistan adalah karena

ketakutan akan kehilangan kekayaan minyak yang terkandung di wilayah Kurdistan tersebut,

faktor ini dinilai sebagai faktor yang menyebabkan Inggris mengurungkan niatnya membantu

pembentukan negara Kurdi. Hal ini terlihat dari sikap Inggris yang enggan membantu etnis

Kurdi ketika terjadi konflik antara Irak, Turki, dan Kurdi untuk merebut wilayah Mosul dan

Kirkuk yang kaya akan minyak. Inggris pun kemudian mendukung monarki Irak dalam

mengklaim wilayah Mosul sebagai bagian dari negara Irak.

Pada 1924 Sulaymaniah yang dikuasai Kurdi jatuh ke tangan Inggris dan pada masa itu nasib

warga Kurdi di Irak lebih baik daripada etnis Kurdi yang tersebar di negara lain karena

Inggris meminta monarki Irak untuk menghormati bahasa, budaya, dan adat istiadat etnis

Kurdi sampai Irak merdeka dari kolonial Inggris pada 1932. Kemudian setelah Irak merdeka

dan mendirikan pemerintahan, pemerintahan Irak memberikan janji otonomi kepada Kurdi.

Akan tetapi saat Mullah Mustafa Barzani, seorang tokoh Kurdi berkehendak menegaskan

Page 8: IRAQ - Complicated Ethnic Victimization

kedaulatannya di Kurdistan di kawasan Irak Utara, pemerintahan Irak menyatakan perang

dengan Kurdi. Dan sejak saat itu dimulailah pergerakan bersenjata etnis Kurdi di Irak untuk

menuntut otonomi penuh dalam mengelola tanah Kurdistan tanpa campur tangan Baghdad

(pemerintahan Irak).

Belakangan, Kurdi tidak lagi bertujuan membentuk negara Kurdistan merdeka, mereka hanya

menginginkan wilayah Kurdistan yang otonom untuk mengaturnya sendiri, serta

mempertahankan identitas dan sistem sosial budaya mereka.Tujuan inilah yang kemudian

diperjuangkan oleh tokoh-tokoh Kurdi dengan naungan Partai Demokratik Kurdi yang

dipimpin oleh Mullah Mustafa Barzani bersama dengan tokoh Kurdi yang lain pada 1943.

Kemudian Kurdi mulai berhasil mendapatkan otonomi di Irak secara perlahan seperti wilayah

Irbil dan Badinan.

Pada 1945, Baghdad kembali menyatakan kekuasaan Irak atas Kurdistan yang menyebabkan

Mustafa Barzani memimpin perjuangan etnis Kurdi melawan Irak. Pada perlawanan ini,

Barzani kalah dan pindah ke Mahabad, Barat Laut Iran. Kurdi kemudian mendapat

perlindungan dari Uni Soviet untuk membentuk kongres dengan tujuan mendirikan Republik

Kurdi pada 1946, namun sebulan kemudian Mahabad direbut kembali oleh pemerintah Iran

dan “Republik Mahabad” dibubarkan oleh pemerintah Iran dan Barzani melarikan diri ke Uni

Soviet hingga 1958 saat revolusi Irak. Pejuang Kurdi melakukan berbagai pemberontakan di

Irak Utara pada 1960 karena penindasan Irak terhadap etnis Kurdi Irak yang semakin parah.

Dalam pemberontakan Kurdi kali ini, tentara Peshmerga di bawah Barzani berhasil

menguasai seluruh pegunungan di Timur Laut Irak. Pemberontakan Kurdi ini kemudian

meluas ke Mosul, Arbil, dan Kirkuk sebagai kota-kota besar di Kurdistan. Dampak dari

serangkaian pemberontakan Kurdi ini adalah pembubaran Partai Demokrasi Kurdistan dan

dinyatakan sebagai partai terlarang oleh pemerintah Irak pada 1961.

Kemudian pada 1970, Mullah Mustafa Barzani dan Saddam Hussein yang waktu itu masih

menjabat sebagai wakil Presiden menandatangani perjanjian yang isinya mengenai otonomi

yang akan ditawarkan oleh pemerintahan Irak kepada Kurdi dan akan mengikutsertakan

Kurdi di dalam pemerintahan Baghdad dengan syarat Kurdi menghentikan kegatan

pemberontakan dan melakukan gencatan senjata di kedua belah pihak. Namun, Barzani juga

mengajukan syarat yang meminta ia tetap sebagai komandan Peshmerga dan Kirkuk menjadi

bagian dari wilayah Kurdistan.

Page 9: IRAQ - Complicated Ethnic Victimization

Namun, usaha perdamaian antara etnis Kurdi dengan Irak gagal karena pemerintah Irak

hanya memberikan otonomi di beberapa kawasan saja seperti Arbil, Dahuk, dan Sulaymaniah

dan Kirkuk tetap menjadi wilayah Irak karena Kirkuk merupakan penghasil 30% minyak

Irak. Penyebab lain kegagalan upaya damai ini juga karena keinginan Kurdi untuk

memperluas otonomi yang meliputi Kirkuk dan Mosul, sedangkan muncul kekhawatiran

apabila Kurdi menguasai Kirkuk maka Kurdi akan membentuk negara di Irak Utara yang

dapat memicu bangkitnya Kurdi di kawasan lain seperti Turki sehingga Turki berusaha

menghalangi keinginan Kurdi dengan membiarkan Irak mempertahankan Kirkuk dan Mosul.

Keputusan pemerintah Irak mengenai otonomi wilayah Kurdistan tanpa Kirkuk menyebabkan

penolakan dari Barzani, dan dalam kurun tiga tahun sejak saat itu, pemerintah Irak berusaha

menghilangkan nyawa Barzani. Barzani kemudian menghimbau rakyat Kurdi melakukan

pemberontakan terhadap Baghdad, dan perlawanan untuk memperjuangkan eksistensi Kurdi

pun kembali marak dan kemudian menyulut peperangan antara Irak-Kurdi hingga 1975

dimana pihak Barzani kalah dan melarikan diri, lalu pihak Baghdad menumpas

pemberontakan di kawasan Irak Utara. Pada tahun yang sama, terjadi konflik internal di kubu

Kurdi karena berdirinya Uni Patriotik Kurdistan yang didirikan oleh Jalal Talabani, seorang

mantan anggota Partai Demokratik Kurdistan yang berselisih dengan Mustafa Barzani.

Setelah itu, Mustafa Barzani dikarenakan keadaan yang sudah tua tidak mampu lagi

meneruskan perjuangannya sehingga mengundurkan diri pada 1979 dan kemudian digantikan

putranya, Massoud Barzani.

B. Saat pemerintahan Saddam Husein

Saddam mulai tertarik dan mengurus masalah militer yang berhubungan dengan

pemberontakan di Irak Utara (wilayah Kurdi) sejak dia mulai mendapat peran dan posisi

dalam pemerintahan pada 1970-an. Berbagai penindasan yang dilakukan Saddam terhadap

Kurdi pada 1970-an seolah mensinyalir akan adanya penyerangan dan pembantaian terhadap

etnis Kurdi. Ketika Saddam Hussein menempati posisi puncak pemerintahan, Saddam pun

mengeluarkan kebijakan seperti pembunuhan massal, penghancuran desa-desa di wilayah

Kurdi, penembakan demonstran yang merupakan mahasiswa dan rakyat sipil, serta

pembunuhan politikus yang menjadi oposisinya.

Saddam Hussein yang dikenal diktator pada masa pemerintahannya mendirikan pengadilan

khusus untuk tahanan politik dan perwira angkatan bersenjata Irak. Pengadilan khusus ini

Page 10: IRAQ - Complicated Ethnic Victimization

terbagi menjadi dua, yaitu permanen dan temporer dan sanksi yang dijatuhkan kepada

terpidana bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat atau naik banding. Terdakwa juga

tidak dapat menggunakan hak sebagai warga negara untuk melakukan pembelaan diri di

pengadilan. Salah satu pengadilan khusus yang bersifat permanen yaitu Mahkamah Revolusi

di Baghdad dan Mahkamah Khusus Militer di Kirkuk yang berfungsi mengadili warga

kelompok Kurdi dan anggota militer yang berada di Kirkuk.

Bentuk lain penindasan Saddam pada masa pemerintahanya terhadap warga non-Arab, non-

Sunni dan oposisinya adalah dengan mengasingkan secara paksa dan menyita harta benda

serta surat-surat berharga milik warga seperti kartu identitas dan ijazah pendidikan yang

terjadi sejak 1980 hingga 1988. Saddam juga menjadikan keluarga dari anggota politik dan

militer yang menentangnya, serta kesatuan-kesatuan Kurdi yang tidak bersalah sebagai

jaminan bagi anggota keluarga mereka yang melarikan diri agar menyerahkan diri kepada

pemerintah. Berdasarkan keterangan Lembaga Arab yang menangani HAM, dinyatakan

bahwa ada tokoh Partai Demokrasi Kurdistan, Muhammad Baqir Muhsin el Hakim beserta

keluarganya yang ditangkap dan dibunuh pada rezim Saddam karena dituduh melakukan

provokasi dan mempimpin gerakan separatis Kurdi, dan juga dituduh melakukan kerja sama

dengan Iran ketika perang Irak-Iran yang menjadikan rakyat Kurdi dicap sebagai pengkhianat

Irak.

Selain el Hakim, banyak tokoh-tokoh Partai Demokrasi Kurdi lain yang menjadi korban

kediktatoran Saddam yang dibunuh tanpa tuduhan yang jelas dan tanpa melalui pengadilan

resmi. Menurut perwakilan Irak di PBB, pada 1985 terdapat 19 orang Kurdi yang dijatuhi

hukuman mati karena tergabung dalam Partai Demokrasi Kurdi dan tewas dibunuh akibat

tuduhan kepemilikan senjata serta peledak yang dirujuk untuk aksi teror. Pada Oktober 1985,

diperkirakan Saddam telah membunuh sedikitnya 300 rakyat Kurdi di beberapa kota di Irak

Utara terutama di Sulmaniyah tanpa persidangan menurut laporan Lembaga Amnesti

Internasional. Laporan ini menunjukkan adanya penangkapan ratusan orang Kurdi yang

terdiri dari mahasiswa, pegawai, tentara beserta keluarganya, politikus dari Partai Demokrasi

Kurdi dan Partai Sosialis Kurdi. Sebanyak sekitar 450 desa Kurdi dibom melalui udara dan

sebagian orang Kurdi yang selamat mengungsi ke Selatan, bahkan sampai keluar Irak dimana

di perbatasan aparat Irak mengambil surat-surat berharga ataupun identitas mereka.

Keberadaan warga Irak di Utara yang mayoritas Kurdi belum mendapat jaminan hak-hak

yang pasti bahkan setelah perang Iran-Irak berakhir mereka masih mengalami penindasan.

Page 11: IRAQ - Complicated Ethnic Victimization

Akibat penindasan ini, perkumpulan negara-negara Arab mengeluarkan pernyataan yang

menyudutkan pemerintahan Saddam dan Irak disalahkan atas penggunaan gas-gas kimia

terhadap warga Kurdistan Irak.

Berbagai aksi kekerasan dan pelanggaran HAM ini menyebabkan Saddam Hussein turun dari

tampuk pemerintahan atas campur tangan Amerika Serikat (AS) melalui invasi AS ke Irak

yang didasarkan atas pelanggaran-pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia tersebut.

C. Setelah pemerintahan Saddam Husein

Berbicara mengenai berakhirnya rezim Saddam Hussein di Irak tentunya tidak terlepas dari

peran Amerika Serikat (AS) yang melakukan invasi ke Irak. Setelah berakhirnya rezim

Saddam Hussein yang ditandai dengan adanya invasi AS ke irak, pemerintahan Irak mulai

bergeser menjadi demokrasi dengan tujuan agar seluruh masyarakat Irak turut serta

berpartisipasi dalam bidang politik dan pemerintahan di Irak yang telah bertahun-tahun

lamanya didominasi oleh Sunni.

Setelah runtuhnya rezim Saddam Hussein dengan bantuan pihak AS, awalnya masyarakat

Irak mendukung adanya kehadiran AS di Irak. Namun lama kelamaan rakyat Irak mulai tidak

mendukung kehadiran AS di Irak selain karena kehadiran AS tidak dapat mengendalikan

suasana domestik Irak setelah jatuhnya Saddam, juga karena rakyat Irak mulai beranggapan

mereka berada di bawah pemerintahan kolonial, walaupun AS menyatakan tujuan mereka

hanya untuk mentransformasi Irak menjadi negara demokrasi liberal. Aksi perlawanan

masyarakat Irak terhadap keberadaan AS pun dimulai.

Dalam kondisi kekosongan di posisi puncak pemerintahan Irak, berbagai tokoh dari oposisi

pun mulai menawarkan diri untuk menjadi orang nomor satu di Irak. Namun tokoh-tokoh ini

tidak lebih dari sekedar kontestan karena nantinya pemimpin Irak akan dipilih oleh AS dan

tentunya mereka akan memilih tokoh yang dapat bekerja sama dan tergolong pro-AS. Bahkan

untuk mengisi kekosongan itu, AS membentuk sebuah pemerintah transisi yang dipimpin Jay

Garner, seorang zionis yang anti Arab. Penunjukkan Jay Garner tentunya disebabkan adanya

kepentingan AS di Irak seperti membentuk kerjasama bidang ekonomi yang menguntungkan

AS, membentuk pemerintahan di Irak yang pro AS dan Israel yang dikenal sebagai sekutu

AS, dan menjadikan Irak sebagai kepanjangan tangan AS di kawasan Timur Tengah.3

3 http://www.angelfire.com/planet/ppitunisia/artikel/Iraq%20Pasca%20Rezim%20Saddam%20Husain.htm

Page 12: IRAQ - Complicated Ethnic Victimization

Perselisihan antar etnis hingga sekarang masih terjadi di Irak karena berbagai alasan mulai

alasan politik, historis, budaya, dan agama. Masing-masing etnis di Irak belum dapat bersatu

dan menjalankan pemerintah secara baik karena sentimen rasial yang masih kental di Irak

ditambah dengan adanya fakta historis tentang kekejaman etnis yang pernah terjadi di Irak.

Perselisihan vertikal antara pemerintah dan rakyat juga masih terjadi karena adanya ketidak

setujuan etnis-etnis minoritas terhadap pemerintah yang mayoritas Syiah walaupun

pemerintahan Irak sekarang terdiri dari berbagai etnis.

Hingga kini, Irak telah menjalankan dua kali pemilihan yang pertama pada tahun 2005

dengan adanya kehadiran tentara AS di Irak dan yang kedua adalah pemilihan yang baru

berlangsung pada tahun 2010 ini. Dimana pemilihan yang kedua dinilai lebih demokratis

karena warga etnis Sunni juga turut memberikan suara setelah pada pemilihan 2005 tidak

berpartisipasi. Walaupun rezim Saddam telah berakhir dan pemerintahan Irak telah

mengadopsi sistem pemerintahan demokratis, perselisihan dan konflik etnis di Irak masih

belum terhindarkan, selain karena perebutan kekuasaan yang didasari etnik serta peran Kurdi

sebagai korban berbagai kekerasan yang menentukan juga karena adanya larangan bagi

anggota partai Baath (partai yang pernah dipimpin Saddam dan telah berkuasa sekian lama di

Irak) untuk mencalonkan diri. Irak juga mengalami kesulitan untuk berkembang sebagai

sebuah negara dikarenakan kondisi Irak saat ini dikategorikan sebagai negara lemah dengan

pasukan keamanan besar, memiliki berbagai institusi yang tidak efisien, serta pelayanan

umum seperti listrik dan kesehatan yang sangat buruk bagi masyarakat Irak.4

4 http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/03/10/101711/Irak-Pascapemilu-Perjuangan-Menuju-Stabilitas

Page 13: IRAQ - Complicated Ethnic Victimization

KESIMPULAN

Sejak awal Irak memang telah memiliki banyak konflik internal. Hal ini bisa dikarenakan

kontur masyarakatnya yang memang terdiri dari berbagai klaster. Setiap kelompok yang

bersengketa memiliki alasan yang kuat untuk terus melanjutkan konflik tersebut. Baik

pemerintahan otoriter di zaman Saddam Husein ataupun dalam fase demokratisasi sekarang

ternyata tidak mengurangi konflik yang terjadi, namun justru semakin memanas.

Sistem pemerintahan Irak yang sekarang multi etnik juga menimbulkan perpecahan sendiri di

dalam tubuh pemerintahan karena tingginya sentimen rasial di antara masyarakat Irak dan hal

ini kemudian menghambat laju pertumbuhan Irak baik dalam bidang ekonomi maupun

stabilitas politik. Irak juga telah menerima bantuan dari PBB untuk menyelesaikan masalah

daerah-daerah yang diperebutkan seperti Kirkuk misalnya.

Akan sulit bagi Irak untuk mengembangkan negaranya walaupun Irak memiliki modal yang

cukup apabila kondisi internal Irak masih terpecah antar etnis. Namun tidak tertutup

kemungkinan bagi Irak untuk berkembang dan menjadi sebuah negara baru di kawasan Timur

Tengah karena menganut sistem demokrasi dan pembangunan ekonomi yang mumpuni.

Page 14: IRAQ - Complicated Ethnic Victimization

Referensi

Kivimäki dalam Dewi Fortuna Anwar, edt., 2005 : 125

Sugito: Konflik Etnis dalam Masa Transisi Demokrasi di Irak, jurusan Hubungan

Internasional UMY

www.angelfire.com/planet/ppitunisia/artikel/Iraq%20Pasca%20Rezim%20Saddam

%20Husain.htm

suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/03/10/101711/Irak-Pascapemilu-

Perjuangan-Menuju-Stabilitas

majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2003/04/21/KL/

mbm.20030421.KL86815.id.html

http://www.crisisgroup.org/en/key-issues/iraq-and-the-kurds-the-struggle-over-

kirkuk.aspx