isbd kelompok 2

35
PERNIKAHAN DINI MAKALAH Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah umum Ilmu Sosial Dan Budaya (ISBD) oleh Rika Yulianti (121810301002) Kania Setianti (121810301006) Sita Yuliatul W (121810301009) Ratna Wahyu N (121810301029) Ahmad Isrizal A (121810301030) UNIVERSITAS JEMBER

Upload: waewit-thuc-taemin

Post on 31-Jan-2016

24 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

hsgj

TRANSCRIPT

Page 1: ISBD Kelompok 2

PERNIKAHAN DINI

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas

mata kuliah umum Ilmu Sosial Dan Budaya (ISBD)

oleh

Rika Yulianti (121810301002)

Kania Setianti (121810301006)

Sita Yuliatul W (121810301009)

Ratna Wahyu N (121810301029)

Ahmad Isrizal A (121810301030)

UNIVERSITAS JEMBER2015

Page 2: ISBD Kelompok 2

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rohmat, taufik,

hidayah serta inayahnya sehingga penuiis dapat menyelesaikan tugas ini yaitu

membuat makalah dengan judul “Pernikahan Dini” yang disusun untuk

memenuhi tugas mata kuliah umum Ilmu Sosial Dan Budaya (ISBD). Pada

kesempatan ini tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada Bapak Tito

Kusuma Wardhana selaku dosen mata kuliah umum ISBD yang telah memberikan

tugas yang bermanfaat. Terima kasih kepada seluruh pihak yang mendukung

penyelesaian makalah ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Penulis menyadari, bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari

sempurna dan banyak kekurangannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan

saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak guna kesempurnaan

makalah berikutnya.

Jember, 01 Oktober 2015

Penyusun

Page 3: ISBD Kelompok 2

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL................................................................................. i

KATA PENGANTAR............................................................................... ii

DAFTAR ISI.............................................................................................. iii

BAB 1. PENDAHULUAN......................................................................... 1

1.1 Latar belakang...................................................................................... 1

1.2 Rumusan masalah..................................................................... ........ 2

1.3 Tujuan .................................................................................. ........ 2

1.4 Manfaat....................................................................................... ........ 3

BAB 2. PEMBAHASAN .......................................................................... 4

2.1 Pernikahan Dini ...................................................................................... 4

2.2 Faktor Penyebab Pernikahan Dini........................................................... 5

2.3 Dampak Pernikahan Dini ........................................................................10

2.4 Peran Pemerintah ................................................................................... 13

2.5 Data Teraktual Pernikahan Dini Di Indonesia ........................................ 15

2.6 Data Kasus Pernikahan Dini Di Indonesia .............................................. 16

BAB 3. PENUTUP....................................................................................... 17

3.1 Kesimpulan ............................................................................................ 17

DAFTAR PUSTAKA

Page 4: ISBD Kelompok 2

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di Indonesia, Isu pernikahan dini saat ini marak dibicarakan. Hal ini

dipicu oleh pernikahan Pujiono Cahyo Widianto, seorang hartawan sekaligus

pengasuh pesantren dengan Lutviana Ulfah. Pernikahan antara pria berusia 43

tahun dengan gadis belia berusia 12 tahun ini mengundang reaksi keras dari

Komnas Perlindungan Anak. Bahkan dari para pengamat berlomba memberikan

opini yang bernada menyudutkan. Umumnya komentar yang terlontar

memandang hal tersebut bernilai negatif.

Sebenarnya kalau kita mau menelisik lebih jauh, fenomena pernikahan

dini bukanlah hal yang baru di Indonesia, khususnya daerah Jawa. Diyakini

bahwa mbah buyut kita dulu banyak yang menikahi gadis di bawah umur. Bahkan

jaman dulu pernikahan di usia ”matang” akan menimbulkan preseden buruk di

mata masyarakat. Perempuan yang tidak segera menikah justru akan mendapat

tanggapan miring atau lazim disebut perawan kaseb. Namun seiring

perkembangan zaman, image masyarakat justru sebaliknya. Arus globalisasi yang

melaju dengan kencang mengubah cara pandang masyarakat. Perempuan yang

menikah di usia belia dianggap sebagai hal yang tabu. Bahkan lebih jauh lagi, hal

itu dianggap menghancurkan masa depan wanita, memberangus kreativitasnya

serta mencegah wanita untuk mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang lebih

luas.

Disisi lain, terjadinya pernikahan anak di bawah umur seringkali terjadi

atas dasar beberapa factor, salah satunya seperti faktor ekonomi yg mendesak

(kemiskinan). Banyak orang tua dari keluarga miskin beranggapan bahwa dengan

menikahkan anaknya, meskipun anak yang masih di bawah umur akan

mengurangi angka beban ekonomi keluarganya  dan dimungkinkan dapat

membantu beban ekonomi keluarga tanpa berpikir panjang akan dampak positif

ataupun negatif terjadinya pernikahan anaknya yang masih dibawah umur.

Page 5: ISBD Kelompok 2

Pada era globalisasi, kasus pernikahan dini terjadi ketika remaja sudah

banyak yang melakukan pernikahan di usia dini. Pernikahan dini juga mempunyai

berbagai dampak bagi remaja. Sebagai generasi muda dan penerus bangsa, remaja

tidaklah harus selalu mengambil langkah yang dianggap mudah untuk menjalin

kasih dengan pasangan melalui pernikahan dalam usia yang dini, semua itu harus

melewati proses yang panjang dan harus ada kesiapan dari masing – masing

pihak, karena jika tidak pernikahan yang akan dilakukan hanya akan menjadi

pernikahan yang sia – sia. Adanya penguraian hal ini membuat kami mengangkat

tema “ Peranan Pemerintah dalam Mensikapi Maraknya Pernikahan Dini Di

Indonesia”.

Kasus pernikahan dini kami anggap sebagai salah satu permasalahan sosial

budaya di Indonesia karena pernikahan dini dapat mendasari menurunnya kualitas

SDM disebabkan terhentinya pendidikan yang harusnya ditempuh oleh para

remaja. Penyebab lainnya adalah karena pernikahan dini sudah banyak terjadi dan

menjadi budaya serta tradisi masyarakat Indonesia khususnya masyarakat

pedesaan yang tanpa mereka sadari hal ini juga berdampak pada meningkatnya

angka kemiskinan disebabkan melemahnya ekonomi.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun permasalahan-permasalahan dalam pembuatan makalah ini adalah :

a. Apakah definisi dari pernikahan dini?

b. Apakah penyebab terjadinya pernikahan dini?

c. Bagaimana dampak dari pernikahan dini?

d. Bagaimana peranan pemerintah dalam mengatasi maraknya pernikahan dini?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui pengertian pernikahan dini

2. Mengetahui penyebab terjadinya pernikahan dini

3. Mengetahui dampak terjadinya pernikahan dini

4. Mengetahui peran pemerintah dalam mengurangi pernikahan dini

Page 6: ISBD Kelompok 2

1.4 Manfaat

1. Dapat mengetahui pengertian pernikahan dini

2. Dapat mengetahui penyebab terjadinya pernikahan dini

3. Dapat engetahui dampak terjadinya pernikahan dini

4. Dapat mengetahui peran pemerintah dalam mengurangi pernikahan dini

Page 7: ISBD Kelompok 2

BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Pernikahan Dini

Pernikahan dini adalah sebuah bentuk pernikahan yang salah satu atau

kedua pasangan berusia di bawah 18 tahun. Dalam UU perkawinan nomor 1 tahun

1974 dijelaskan bahwa batas minimal usia menikah bagi perempuan 16 tahun dan

lelaki 19 tahun. Pernikahan dini sering terjadi pada anak yang sedang mengikuti

pendidikan atau pada mereka yang putus sekolah. Hal ini merupakan masalah

sosial yang terjadi di masyarakat yang penyebab dan damapaknya sangat

kompleks mencakup social-budaya, ekonomi, pendidikan, kesehatan maupun

psikis.

Pengertian pernikahan dini menurut Sarlito Wirawan Sarwono adalah

sebuah nama yang lahir dari komitmen moral dan keilmuan yang sangat kuat,

sebagai sebuah solusi alternatif. Pernikahan dini merupakan fenomena yang

terkait erat dengan nilai-nilai sosial budaya, agama yang hidup dalam masyarakat.

Dalam konteks indonesia pernikahan lebih condong sebagai kewajiban sosial dari

pada menifestasi kehendak bebas tiap individu. Secara umum dapat diajukan

hipotesis, dalam masyarakat yang pola hubungannya bersifat tradisional,

pernikahan dipersepsikan sebagai suatu “keharusan sosial” yang merupakan

bagian dari warisan tradisi dan dianggap sakral. Sedangkan dalam masyarakat

rasional modern, perkawinan lebih dianggap sebagai kontrak sosial, dan

karenanya pernikahan sering merupakan sebuah pilihan. Cara pandang terhadap

perkawinan (sebagai kewajiban sosial) memiliki kontribusi yang cukup besar

terhadap fenomena kawin muda yang terjadi di indonesia (Ikhsan, 1986).

Hal menarik dari prosentase pernikahan dini di Indonesia adalah terjadinya

perbandingan yang cukup signifikan  antara dipedesaan dan perkotaan.

Berdasarkan Analisis survei penduduk antar sensus (SUPAS) 2005 dari Badan

Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) didapatkan angka pernikahan

di perkotaan lebih rendah dibanding di pedesaan, untuk kelompok umur 15-19

Page 8: ISBD Kelompok 2

tahun perbedaannya cukup tinggi yaitu 5,28% di perkotaan dan 11,88% di

pedesaan. Hal ini menunjukkan bahwa wanita usia muda di perdesaan lebih

banyak yang melakukan perkawinan pada usia muda. Banyak faktor pendorong

yang melatarbelakangi perbandingan tersebut seperti dalam uraian diatas (Eddy,

2009).

2.2 Faktor-Faktor Penyebab Pernikahan Dini

Perkawinan usia anak ini tidak terlepas dari beberapa faktor

yang memengaruhi.  Tiga faktor atau sinyalemen ini yaitu: tradisi lama yang

sudah turun temurun yang menganggap perkawinan pada usia anak-anak sebagai

suatu hal yang wajar dimana dalam masyarakat Indonesia, bila anak gadisnya

tidak segera memperoleh jodoh, orang tua merasa malu karena anak gadisnya

belum menikah. Budaya eksploitatif terhadap anak, yang membuat anak tidak

berdaya menghadapi kehendak orang dewasa, baik orang tuanya yang

menginginkan perkawinan itu, maupun orang yang mengawini. Ada yang

mengeksploitasi anak atas nama ekonomi atau materi, ada yang karena gengsi

atau harga diri bisa mengawinkan anaknya dengan orang yang dianggap

terpandang tanpa memperdulikan apakah calon suami anaknya sudah beristri atau

belum, apakah anak perempuannya sudah siap secara fisik, mental dan sosial

ataukah belum. Ada yang mengeksploitasi anak karena mental hedonis, mencari

kesenangan pada banyak hal termasuk poligami dengan anak-anak di bawah

umur. Ada pula yang karena kelainan mental, pedophilis. Alasan lain bahkan

mengeksploitasi anak atas nama agama, walaupun banyak tokoh agama telah

tegas menyatakan bahwa perkawinan pada usia anak bukanlah ajaran agama,

terutama apabila diklaim sebagai bagian dari sunah Nabi SAW.

Secara hukum perkawinan usia anak dilegitimasi oleh Undang-undang R.I

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini memperbolehkan

anak berusia 16 tahun untuk menikah, seperti disebutkan dalam pasal 7 ayat 1,

“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai 19 (sembilanbelas)

tahun, dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enambelas) tahun.” Pasal 26 UU R.I

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, orang tua diwajibkan

Page 9: ISBD Kelompok 2

melindungi anak dari perkawinan dini, tetapi pasal ini, sebagaimana UU

Perkawinan, tanpa ketentuan sanksi pidana sehingga ketentuan tersebut nyaris tak

ada artinya dalam melindungi anak-anak dari ancaman perkawinan dini.

Faktor ketiga ini, menarik perhatian untuk membuka lembaran sejarah pada

saat perumusan Undang-undang R.I Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Batas usia yang ditawarkan dalam RUU Perkawinan adalah usia 21 tahun bagi

laki-laki dan 18 tahun bagi perempuan. Ketentuan ini mengundang reaksi keras

khususnya dari kalangan muslim sendiri, karena dianggap bertentangan dengan

ajaran Islam. Sedangkan ketentuan dalam RUU tersebut merupakan respon

terhadap maraknya praktik pernikahan di bawah umur yang terjadi di Indonesia

dan berdampak pada rendahnya kualitas pendidikan pada saat itu. Akhirnya,

ketentuan yang disepakati oleh parlemen adalah usia 19 tahun bagi laki-laki dan

16 tahun bagi perempuan.

Fenomena pernikahan pada usia anak di daerah lainya tidaklah jauh berbeda

mengingat fakta perilaku seksual remaja yang melakukan hubungan seks pra-

nikah sering berujung pada pernikahan dini serta kultur masyarakat Indonesia

yang masih memosisikan anak perempuan sebagai warga kelas kedua dan ingin

mempercepat perkawinan dengan berbagai alasan ekonomi dan sosial. Anggapan

pendidikan tinggi tidak penting bagi anak perempuan dan stigma negatif terhadap

status perawan tua. Posisi tersebut dalam perspektif kesetaraan dan keadilan

gender berarti telah memarginalkan pihak perempuan. Berdasarkan hasil

penelitian tersebut, salah satu penyebab pernikahan bawah umur adalah karena

dipaksa orang tua. Hal tersebut memang sering terjadi. Perjodohan yang diterima

anak dengan keterpaksaan bukan hanya menimbulkan dampak buruk bagi

psikologisnya, tapi juga kesehatannya. Ancama depresi pun dapat menyerangnya

(Romauli, 2009).

Di Indonesia pernikahan dini sekitar 12-20% yang dilakukan oleh pasangan

baru. Biasanya, pernikahan dini dilakukan oleh pasangan usia muda yang rata-rata

umurnya antara 16-20 tahun. Secara nasional pernikahan dini dengan pasangan

usia di bawah 16 tahun sebanyak 26,95%. Padahal pernikahan yang ideal untuk

perempuan adalah 21-25 tahun sementara laki-laki 25-28 tahun. Karena diusia itu

Page 10: ISBD Kelompok 2

organ reproduksi perempuan secara psikologis sudah berkembang dengan baik

dan kuat serta siap untuk melahirkan keturunan secara fisik pun mulai matang.

Sementara laki-laki pada usia itu kondisi psikis dan fisiknya sangat kuat, hingga

mampu menopang kehidupan keluarga untuk melindungi baik secara psikis

emosional, ekonomi dan sosial. Melakukan pernikahan tanpa kesiapan dan

pertimbangan yang matang dari satu sisi dapat mengindikasi sikap tidak

appresiatif terhadap makna nikah dan bahkan lebih jauh bisa merupakan

pelecehan terhadap kesakralan dalam pernikahan (Romauli., 2009).

Faktor-faktor yang mendorong untuk melangsungkan perkawinan usia muda

(Walgito, 1984) adalah:

1. Faktor ekonomi

Orang tua mengawinkan anaknya karena keadaan ekonomi keluarga yang

kurang, sehingga untuk meringankan beban orang tua, mereka dikawinkan dengan

orang yang dianggap mampu.

2. Faktor kemauan sendiri

Pasangan usia muda merasa sudah saling mencintai dan adanya pengaruh

media, sehingga mereka terpengaruh untuk melakukan pernikahan usia muda.

3. Faktor pendidikan

Rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya pengetahuan orang tua,

anak, dan masyarakat akan pentingnya pendidikan, makna serta tujuan

perkawinan sehingga menyebabkan terjadinya perkawinan usia muda.

4. Faktor keluarga

Kekhawatiran orang tua akan anaknya yang sudah mempunyai pacar yang

sudah sangat dekat, membuat orang tua ingin segera mengawinkan anaknya

meskipun masih dibawah umur. Hal ini merupakan hal yang sudah turun-temurun.

Sebuah keluarga tidak akan merasa tenang sebelum anak gadisnya menikah.

Menurut (Noorkasiani, 2009) faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya

perkawinan usia muda di Indonesia adalah :

1. Faktor Lingkungan

Alasan orang tua segera menikahkan anaknya dalam usia muda adalah

untuk segera mempersatukan ikatan kekeluargaan antara kerabat mempelai laki-

Page 11: ISBD Kelompok 2

laki dan kerabat mempelai perempuan yang mereka inginkan bersama. Keinginan

adanya ikatan tersebut akan membawa keuntungan-keuntungan bagi kedua belah

pihak, yaitu dimana mempelai laki-laki setelah menikah tinggal di rumah mertua

serta anak laki-laki tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bantuan tenaga kerja bagi

mertuanya.

Dimana perkawinan tersebut dilatar belakangi oleh pesan dari orang tua

yang telah meninggal dunia (orang tua mempelai perempuan atau orang tua

mempelai laki-laki) yang sebelumnya diantara mereka pernah mengadakan

perjanjian sebesanan agar tali persaudaraan menjadi kuat. Selain itu untuk

memelihara kerukunan dan kedamaian antar kerabat dan untuk mencegah adanya

perkawinan dengan orang lain yang tidak disetujui oleh orang tua atau kerabat

yang bersangkutan dengan dilaksanakannya perkawinan tersebut.

2. Faktor Ekonomi

Alasan orang tua menikahkan anaknya dalam usia muda dilihat dari faktor

ekonomi adalah sebagai berikut:

a. Untuk sekedar memenuhi kebutuhan atau kekurangan pembiayaan hidup orang

tuanya, khususnya orang tua mempelai wanita. Sebab menyelenggarakan

perkawinan anak-anaknya dalam usia muda ini, akan diterima sumbangan-

sumbangan berupa barang, bahan, ataupun sejumlah uang dari handai

taulannya yang dapat dipergunakan selanjutnya untuk menutup biaya

kebutuhan kehidupan sehari-hari untuk beberapa waktu lamanya.

b. Untuk menjamin kelestarian ataupun perluasan usaha orang tua mempelai laki-

laki dan orang tua mempelai perempuan sebab dengan diselenggarakannya

perkawinan anaknya dalam usia muda dimaksudkan agar kelak si anak dari

kedua belah pihak itu yang sudah menjadi suami istri, dapat menjamin

kelestarian serta perkembangan usaha dari kedua belah pihak orang tuanya,

dimana usaha-usaha tersebut merupakan cabang usaha yang saling

membutuhkan serta saling melengkapi. Bahkan setelah perkawinan usia muda

tersebut terjadi, lazimnya langkah-langkah pendekatan sudah mulai diambil,

Page 12: ISBD Kelompok 2

sedemikian rupa sehingga kedua cabang usaha tersebut berkembang menjadi

satu usaha yang lebih besar.

3. Faktor Sosial

Seorang wanita di dalam melangsungkan suatu perkawinan tidak

mengukur usia berapa dia dapat melangsungkan pernikahan. Hal ini berdasarkan

pada suatu kriteria yaitu apakah dia sudah mencapai tingkat perkembangan fisik

tertentu. Kenyataan tersebut disebabkan karena hukum adat itu tidak mengenal

batas yang tajam antara seseorang yang sudah dewasa dan cakap hukum ataupun

yang belum. Di mana hal tersebut berjalan sedikit demi sedikit menurut kondisi,

tempat, serta lingkungan sekitarnya.

4. Faktor Agama

Agama untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia sepanjang

zaman. Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia juga disertai dengan

pedoman agama, hal ini untuk menjaga agar manusia tidak hancur ke dalam

perbuatan dosa, dan disamping itu juga dibekali oleh akal sebagai alat untuk

berpikir dan menalar segala permasalahan yang dihadapinya, salah satunya aspek

yang diatur oleh agama adalah lembaga perkawinan. Lembaga perkawinan juga

mempunyai andil besar dalam pernikahan seseorang. Tugas yang seharusnya

dilakukan adalah menikahkan anak- anak yang sudah mempunyai kecukupan

umur dan mempunyai kesiapan secara psikologis serta mempunyai kemampuan

secara finansial yang bisa menunjang kehidupan rumah tangganya esok.

5. Faktor Pendidikan

Makin rendah tingkat pendidikan keluarga, makin sering ditemukan

perkawinan diusia muda. Peran tingkat pendidikan berhubungan erat dengan

pemahaman keluarga tentang kehidupan berkeluarga. Rendahnya tingkat

pendidikan menjadikan para remaja tidak mengetahui berbagai dampak negatif

dari pernikahan anak. Dengan demikian meraka menikah tanpa memiliki bekal

yang cukup. Tentang dampak bagi kesehatan reproduksi, mereka tentu tidak tahu.

Page 13: ISBD Kelompok 2

Untuk itu perlu sosialisasi dampak negatif ini, karena rata-rata mereka hanya

lulusan SD. Padahal pentingnya untuk memberikan pendidikan seks mulai anak

berusia dini. Hal ini bertujuan agar anak nantinya setelah dewasa mengetahui

betul perkembangan reproduksi mereka, bagaimana menjaga kesehatan reproduksi

mereka, dan kapan atau pada usia berapa  mereka sudah bisa memantaskan diri

untuk siap melakukan hubungan yang sehat.

6. Faktor Budaya

Faktor budaya juga turut mengambil andil yang cukup besar, karena

kebudayaan ini diturunkan dan sudah mengakar layaknya kepercayaan. Dalam

budaya setempat mempercayai apabila anak perempuannya tidak segera menikah,

itu akan memalukan keluarga karena dianggap tidak laku dalam lingkungannya.

Atau jika ada orang yang secara finansial dianggap sangat mampu dan meminang

anak mereka, dengan tidak memandang usia atau status pernikahan, kebanyakan

orang tua menerima pinangan tersebut karena beranggapan masa depan sang anak

akan lebih cerah, dan tentu saja ia diharapkan bisa mengurangi beban sang orang

tua. Tak lepas dari hal tersebut, tentu saja banyak dampak yang tidak terpikir oleh

mereka sebelumnya.

2.3 Dampak Pernikahan Dini

Pelaksanaan pernikahan di bawah umur di masyarakat merupakan suatu

problematika dan simalakama karena ada rasa takut dan khawatir pada diri orang

tua, anaknya akan terjerumus ke jurang maksiat. Sehingga pernikahan di bawah

umur itu dianggap suatu jalan yang terbaik, walaupun anak itu belum mampu baik

secara materi maupun immaterial (psikologis). Ada dua cara yang ditempuh oleh

masyarakat dalam mensiasati Undang-undang Perkawinan No. 1/1974 yaitu

pertama dengan meminta dispensasi kepada Pengadilan Agama setempat, dan

yang kedua dengan melakukan pemalsuan umur yang dilakukan oleh orang tua

mereka sendiri (Asmin, 1986).

Sebagai dampak dari pernikahan dini tersebut antara lain: menurunya

kualitas pendidikan, munculnya kelompok pengangguran baru, tidak adanya

Page 14: ISBD Kelompok 2

keharmonisan dalam rumah tangga yang timbul karena seringnya terjadi

percekcokan, cemburu yang berlebihan, adanya sikap keras suami terhadap istri,

kurangnya pengetahuan dari pihak istri dalam cara pendidikan dan pengajaran

anak, pengetahuan mengenai merawat anak dan akhirnya akan menyebabkan

lemahnya mental anak-anak yang dilahirkan, kemiskinan rohani, jasmani dan

sebagainya.

Tanpa disadari, dampak yang timbul akan berbagai macam. baik secara

biologis, psikologis, sosial, ataupun perilaku seksual menyimpan. Berikut

beberapa penjelasan dampak yang terjadi:

1. Dampak Biologis

Secara biologis, alat-alat reproduksi anak masih dalam proses menuju

kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan

jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Ketidaksiapan organ

reproduksi perempuan akan menimbulkan dampak yang berbahaya bagi ibu dan

bayinya, penelitian yang dilakukan oleh sejumlah perguruan tinggi dan LSM

perempuan, bahwa dampak perkawinan di bawah umur di mana organ reproduksi

belum siap untuk dibuahi dapat memicu penyakit pada reproduksi, misalnya

pendarahan terus-menerus, keputihan, infeksi, keguguran dan kemandulan. Usia

ideal pembuahan pada organ reproduksi perempuan sekurang-kurangnya adalah

sejalan dengan usia kematangan psikologis yakni 21 tahun, di mana ibu dipandang

telah siap secara fisik dan mental untuk menerima kehadiran buah hati dengan

berbagai masalahnya (Ichsan, 1986).

2. Dampak Psikologis

Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks,

sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang

sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir

pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Selain

itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh

pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta

hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.

Page 15: ISBD Kelompok 2

3. Dampak Sosial

Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam

masyarakat patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi

yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat

bertentangan dengan ajaran agama apapun termasuk agama Islam yang sangat

menghormati perempuan (Rahmatan lil Alamin). Kondisi ini hanya akan

melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang akan melahirkan kekerasan

terhadap perempuan (Ikhsan, 1986).

4. Dampak perilaku seksual menyimpang

Adanya prilaku seksual yang menyimpang yaitu prilaku yang gemar

berhubungan seks dengan anak-anak yang dikenal dengan istilah

pedofilia. Perbuatan ini jelas merupakan tindakan ilegal (menggunakan seks

anak), namun dikemas dengan perkawinan se-akan2 menjadi legal. Hal ini

bertentangan dengan UU.No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

khususnya pasal 81, ancamannya pidana penjara maksimum 15 tahun, minimum 3

tahun dan pidana denda maksimum 300 juta dan minimum 60 juta rupiah. Apabila

tidak diambil tindakan hukum terhadap orang yang menggunakan seksualitas anak

secara ilegal akan menyebabkan tidak ada efek jera dari pelaku bahkan akan

menjadi contoh bagi yang lain (Mappiare, 1982).

Dari uraian tersebut jelas bahwa pernikahan dini lebih banyak mudharat

dari pada manfaatnya. Oleh karena itu patut ditentang. Orang tua yang

menikahkan anaknya dalam usia dini dan orang tua harus memahami peraturan

perundang-undangan untuk melindungi anak dari perbuatan-perbuatan yang

dilarang.

Menurut Indaswari dari hasil penelitiannya, dampak dari pernikahan dini,

diantaranya adalah:

a. Pertengkaran dan percekcokan yang disebabkan oleh emosi masing-masing

yang belum stabil.

b. Akan mengakibatkan perceraian, meski akhirnya menikah lagi.

Page 16: ISBD Kelompok 2

c. Sangat terkait dengan masalah kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi bagi

perempuan.

d. Telah menghilangkan kesempatan untuk menempuh pendidikan yang lebih

tinggi (Rahman, 1981).

2.4 Peran Pemerintah

Pemerintah harus semakin giat mensosialisasikan undang–undang terkait

pernikahan anak di bawah umur beserta sanksi – sanksi bila melakukan

pelanggaran dan menjelaskan resiko – resiko terburuk yang bisa terjadi akibat

pernikahan anak di bawah umur kepada masyarakat, diharapkan dengan upaya

tersebut, masyarakat tahu dan sadar bahwa pernikahan anak di bawah umur adalah

sesuatu yang salah dan harus dihindari. Selain itu, pemerintah harus berkomitmen

serius dalam menegakkan hukum yang berlaku terkait pernikahan anak di bawah

umur sehingga pihak–pihak yang ingin melakukan pernikahan dengan anak di

bawah umur berpikir dua kali terlebih dahulu sebelum melakukannya.

Upaya pencegahan pernikahan anak dibawah umur dirasa akan semakin

maksimal bila anggota masyarakat turut serta berperan aktif dalam pencegahan

pernikahan anak di bawah umur yang ada di sekitar  mereka. Sinergi antara

pemerintah dan masyarakat merupakan jurus terampuh sementara ini untuk

mencegah terjadinya pernikahan anak di bawah umur sehingga kedepannya di

harapkan tidak akan ada lagi anak yang menjadi korban akibat pernikahan tersebut

dan anak – anak Indonesia bisa lebih optimis dalam menatap masa depannya

kelak.

Selain itu peraturan perundang undangan yang berlaku di Indonesia dengan

sangat jelas menentang keberadaan pernikahan anak di bawah umur.

Berikut ini upaya-upaya pemerintah :

1. Undang-undang perkawinan

a. Undang-undang negara kita telah mengatur batas usia perkawinan. Dalam

Undang-undang Perkawinan BAB II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa 

perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 tahun dan

pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun.

Page 17: ISBD Kelompok 2

b. Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini

tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan

agar kedua pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan

mental.

c. Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif

baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan. Pernikahan dini dapat 

mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih

labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang (Rahman, 1981).

2. Bimbingan kepada remaja dan kejelasan tentang sex education

Pendidikan seks atau pendidikan mengenai kesehatan reproduksi (kespro)

sudah seharusnya diberikan kepada anak-anak yang sudah beranjak dewasa atau

remaja. Hal ini penting dilakukan untuk mencegah biasnya pendidikan seks

maupun pengetahuan tentang kesehatan reproduksi di kalangan remaja. Materi

pendidikan seks bagi para remaja ini terutama ditekankan tentang upaya untuk

mengusahakan dan merumuskan perawatan kesehatan seksual dan reproduksi.

Akan tetapi sebagian besar masyarakat masih memandang pendidikan seks seolah

sebagai suatu hal yang fulgar.

Berdasarkan sudut pandang psikologis, pendidikan seksual sangat

diperlukan bagi perkembangan remaja, dengan harapan agar remaja tidak

memiliki kesalahan persepsi terhadap seksualitas dan tidak terjebak pada perilaku-

perilaku yang kurang bertanggungjawab baik dari segi kesehatan maupun

psikologis.

3. Memberikan penyuluhan kepada orang tua dan masyarakat.

Penyuluhan ini sangat penting agar para orang tua dan masyarakat

mengetahui dampak apa saja yang dapat ditimbulkan karena pernikahan dini.

Memang sebagian besar masyarakat atau orang tua segera menikahkan anaknya

untuk melepas tanggung jawabnya untuk menafkahi sehingga dirasa dapat

meringankan beban keluarga. Namun tanpa disadari, setiap satu remaja yang

terjerumus dalam pernikahan dini faktanya menyumbangkan kemiskinan. Karena

Page 18: ISBD Kelompok 2

dalam usia dini, apalagi di pedesaan para penduduknya tidak mempunyai

perbekalan pendidikan dan keahlian yang dapat menunjang masa depan.

Kenyataannya menunjukkan mereka pada akhirnya mengikuti orang tua dan

akhirnya banyak pengangguran.

4. Bekerja sama dengan tokoh agama dan masyarakat

Kepercayaan atau pengetahuan baru yang datang pada masyarakat yang

sudah mempunyai kebudayaan yang kuat biasanya sangat sulit untuk diterima

oleh masyarakat tersebut. Dengan demikian kita dapat melakukan pendekatan

dengan tokoh agama didaerah tersebut. Setelah itu dapat melakukan kerja sama

dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat tersebut untuk menyuluhkan hal- hal

yang sudah diketahuinya pada masyarakat. Tentu ini mempunyai andil yang

cukup besar dalam pengambilan keputusan.

Upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi pernikahan

dini sudah dalam kategori maksimal dan sebagian sudah teratasi. Hasil ini dapat

dilihat dari kecilnya angka pernikahan dini yang terjadi pada masyarakat,

khususnya di desa. Namun persentase tidak dapat dihilangkan keseluruhan karena

beberapa masyarakat masih memilih mempercayai dan mempertahankan adat dan

tradisi yang sudah tertanam sebelumnya. Sehingga kami sebagai mahasiswa hanya

dapat berperan sebagai agent of change. Hal ini dapat diwujudkan dengan

melakukan kegiatan penyuluhan di desa-desa tentang masalah pernikahan dini.

2.5 Data Teraktual Pernikahan Dini di Indonesia

Berikut merupakan data dari BKKBN tahun 2012 tentang persentase

pernikahan dini di Indonesia :

Page 19: ISBD Kelompok 2

Gambar 1. Presentase Perempuan umur 10-59 Tahun menurut Umur Perkawinan

Pertama

2.6 Data Kasus Pernikahan Dini di Indonesia

No. Kasus Pernikahan dini di Indonesia

1. Pernikahan dini yang pernah terjadi pada tahun 2009 adalah

pernikahan Pujiono Cahyo Widianto, seorang pengusaha kaya di

wilayah Semarang, yang sering dipanggil dengan Syekh Puji. Dia

menikahi atas persetujuan istri pertamanya Ummi Hanni dengan

seorang gadis berusia 15 tahun bernama Lutviana Ulfa.

2. Pernikahan dini terjadi pada gadis bernama Manohara Odelia Pinot,

kasus yang kontroversial dan sempat ramai diperbincangkan, seorang

model Indonesia yang “diculik” oleh Pangeran Kelantan setelah

dinikahi pada usia yang masih belia, sekitar 16 tahun karena selain

telah “dinodai” juga dipaksa untuk menikah. Akibat dari pernikahan

tersebut, manohara banyak mengalami penyiksaan seperti kekerasan

fisik, kekerasan seksual, dan juga mengalami tekanan secara

psikologis seperti trauma dan ketakutan yang mendalam, dan pada

akhirnya berujung pada perceraian yang juga berdampak psikologis

pada dirinya karena mengalami perceraian pada usia yang masih dini.

Page 20: ISBD Kelompok 2

BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pernikahan dini adalah sebuah bentuk pernikahan yang salah satu atau

kedua pasangan berusia di bawah 18 tahun. Dalam UU perkawinan nomor 1 tahun

1974 dijelaskan bahwa batas minimal usia menikah bagi perempuan 16 tahun dan

lelaki 19 tahun. Peran pemerintah dalam menyikapi masalah pernikahan dini

sudah cukup baik seperti mengadakan undang-undang tentang pernikahan,

pemerintah menetapkan batas minimal usia pernikahan, memberi sosialisasi

bahwa pernikahan dini mempunyai cukup banyak dampak negatif baik bagi ibu

maupun anak yang dilahirkan seperti dampak biologis, psikologis dan dampak

sosial baik untuk anak ataupun orang tua.

Page 21: ISBD Kelompok 2

DAFTAR PUSTAKA

Asmin. 1986. Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari Undang-Undang

Perkawinan No.1/1974. Jakarta: PT. Dian Rakyat.

Eddy Fadlyana, Shinta Larasaty. 2009. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK

Universitas Padjajaran/RS Dr Hasan Sadikin. Bandung: Sari Pediatri.

Ikhsan, Ahmad. 1986. Hukum Perkawinan bagi yang Beragama Islam, Suatu

Tinjauan dan Ulasan Secara Sosiologi Hukum. Jakarta : Pradia paramita.

Mappiare, Andi. 1982. Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional.

Noorkasiani, Heryati & Rita Ismail. 2009. Sosiologi Keperawatan. Jakarta: EGC.

Rahman, Bakrie, A. dan Ahmadi, Sukadja. 1981. Hukum Perkawinan Menurut

Islam, Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Perdata/BW. Jakarta:

Hidakarya Agung.

Romauli. 2009. Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta: Nuha Medika.

Walgito, B. 1984. Bimbingan dan Konseling Perkawinan. Yogyakarta: Yayasan

Penerbit Fakultas Psikologi.