lapkas bedah onko
DESCRIPTION
^^TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Sistem endokrin merupakan sistem dan organ yang memproduksi hormon,
suatu mediator kimia yang bekerja jauh dari sistem atau organ asal. Kelenjar tiroid
merupakan salah satu kelenjar endokrin terbesar dengan berat normal 15 hingga
20 gram pada orang dewasa dan terletak tepat di bawah laring pada kedua sisi dan
sebelah anterior trakea. Kelenjar tiroid berfungsi mengatur proses oksidasi,
pengeluaran karbondioksida, mempengaruhi perkembangan fisik dan mental pada
anak. Tiroid menyekresikan dua macam hormon utama, yaitu tiroksin (T4) dan
triidotironin (T3). Yodium merupakan unsur pokok dalam pembentukan hormon
tiroid, maka harus selalu tersedia yodium yang cukup dan berkesinambungan.
Yodium dalam makanan berasal dari makanan laut, susu, daging, telur, air minum,
garam yang beryodium dan sebagainya.1
Kelainan glandula tiroid dapat berupa gangguan fungsi seperti tirotoksi-
kosis atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit tiroid
noduler. Berdasarkan patologinya, pembesaran tiroid umumnya di sebut struma.2
Salah satu penyebab terjadinya struma adalah kekurangan yodium. Yodium
merupakan unsur utama dalam pembentukan hormon T3 dan T4 sehingga untuk
mengimbangi kekurangan tersebut, kelenjar tiroid bekerja lebih aktif dalam
menimbulkan pembesaran yang mudah terlihat di kelenjar tiroid.3
Struma merupakan pembesaran kelenjar tiroid baik satu maupun kedua lobus
sebagai akibat berbagai sebab dengan atau tanpa gangguan produksi hormon.3
Struma dapat diklasifikasikan berdasarkan fisiologis, yaitu eutiroidisme,
hipotiroidisme dan hipertiroidisme. Berdasarkan klinis dibedakan atas struma
toksik dan non toksik. Struma dapat mempengaruhi letak organ-organ
disekitarnya.2,3,4
Struma nodusa atau struma adematosa terutama ditemukan didaerah
pegunungan karena defisiensi iodium. Di luar daerah endemik, struma nodusa
ditemukan secara insidental atau pada keluarga tertentu. Etiologi umumnya
multifaktorial. Penderita struma nodusa biasanya tidak mengalami keluhan karena
tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal, tetapi
1
kebanyakan berkembang menjadi multinoduler. Degenerasi jaringan
menyebabkan kista atau adenoma. Karena pertumbuhannya perlahan – lahan,
struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian
penderita dengan struma nodusa dapat hidup tanpa gangguan.3,5
Sekitar 10 juta orang di seluruh dunia mengalami gangguan tiroid, baik kanker
tiroid, struma nodosa non toksik maupun struma nodosa toksik . Hasil penelitian
Guth S, et al di Jerman tahun 2006 yang dilakukan pada 635 orang (210
perempuan dan 425 laki – laki) yang menjalani pemeriksaan USG kelenjar tiroid
ditemukan 432 orang (68,03%) mengalami struma.5
Kasus struma lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki – laki
namun dengan bertambah beratnya endemik, perbedaan seks tersebut hampir tidak
ada. Struma dapat menyerang penderita pada segala umur namun umur yang
semakin tua akan meningkatkan resiko penyakit lebih besar.6
Berdasarkan penelitian Hemminichi K, et al yang dilakukan berdasarkan data
rekam medis pasien usia 0-75 tahun yang di rawat di rumah sakit tahun 1987-
2007 di Swedia ditemukan 11.659 orang (50,9%) mengalami struma non toksik,
9.514 orang (41,5%) Grave disease, dan 1.728 orang (7,54%) struma nodular
toksik.7
Berikut ini akan dibahas laporan kasus struma uninodusa non toksik sinistra di
RSUP Prof. R.D. Kandou Manado.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Gambaran Anatomi Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid terletak dibagian bawah leher, antara fascia koli media
dan fascia prevertebralis. Didalam ruang yang sama terletak trakhea,
esofagus, pembuluh darah besar, dan syaraf. Kelenjar tiroid melekat pada
trakhea sambil melingkarinya dua pertiga sampai tiga perempat lingkaran.
Keempat kelenjar paratiroid umumnya terletak pada permukaan belakang
kelenjar tiroid.8,9,10
Kelenjar tiroid merupakan kelenjar berwarna merah kecoklatan dan
sangat vaskular. Terletak di anterior cartilago thyroidea di bawah laring
setinggi vertebra cervicalis 5 sampai vertebra thorakalis 1. Kelenjar ini
terselubungi lapisan pretracheal dari fascia cervicalis dan terdiri atas 2
lobus, lobus dextra dan sinistra, yang dihubungkan oleh isthmus. Beratnya
kira-kira 25 gr tetapi bervariasi pada tiap individu. Pada usia dewasa berat
kelenjar ini kira-kira 20 gram . Kelenjar tiroid sedikit lebih berat pada
wanita terutama saat menstruasi dan hamil. Lobus kelenjar tiroid seperti
kerucut.
Ujung apikalnya menyimpang ke lateral ke garis oblique pada lamina
cartilago thyroidea dan basisnya setinggi cartilago trachea 4-5. Setiap lobus
berukutan 5x3x2 cm. Isthmus menghubungkan bagian bawah kedua lobus,
walaupun terkadang pada beberapa orang tidak ada. Panjang dan lebarnya
kira2 1,25 cm dan biasanya anterior dari cartilgo trachea walaupun
terkadang lebih tinggi atau rendah karena kedudukan dan ukurannya
berubah.9
Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia pretrakhea
sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan terangkatnya
kelenjar ke arah kranial. Sifat ini digunakan dalam klinik untuk menentukan
apakah suatu bentukan di leher berhubungan dengan kelenjar tiroid atau
tidak. Vaskularisasi kelenjar tiroid berasal dari a.tiroidea superior (cabang
dari a.karotis eksterna) dan a.tiroidea inferior (cabang a.subklavia).
3
Kadangkala dijumpai a. ima (cabang truncus brachiochepalica). Setiap
folikel limfoid diselubungi oleh jala-jala kapiler, dan jala-jala limfatik,
sedangkan sistem venanya berasal dari pleksus perifolikular.10
Nodus limfatikus tiroid berhubungan secara bebas dengan pleksus
trakhealis yang kemudian ke arah nodus prelaring yang tepat di atas istmus,
dan ke nl.pretrakhealis dan nl.paratrakhealis, sebagian lagi bermuara ke
nl.brakhiosefalika dan ada yang langsung ke duktus thoraksikus. Hubungan
ini penting untuk menduga penyebaran keganasan.
Gambar 1 Kelenjar tiroid, glandula thyroidea, dan tenggorok, larynx11
Gambar 2 Pembuluh darah dan saraf pada kelenjar tiroid, glandula thyroidea, dan tenggorok, larynx11
B. Gambaran Histologi Kelenjar Tiroid4
Kelenjar tiroid terdiri dari nodul – nodul yang tersusun dari folikel –
folikel kecil yang berbentuk bundar dengan diameter anata 50-500 µm yang
dipisahkan satu dengan yang lainnya dengan jaringan ikat. Dinding folikel
terdiri dari selapis sel selapis tunggal dengan puncak menghadap ke dalam
lumen, sedangkan basisnya menghadap ke arah membran basalis. Folikel ini
berkelompok sebanyak kira – kira 40 buah untuk membentuk lobules yang
mendapat vaskularisasi dari end entry. Setiap folikel berisi cairan pekat,
koloid sebagian besar terdiri atas protein, khususnya protein tiroglobulin
(BM 650.000).10
Gambar 3 Sediaan tiroid yang memperlihatkan folikel– folikel yang dibentuk oleh epitel selapis, yang mengandung koloid.10
C. Fisiologi Tiroid
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama, yaitu tiroksin (T4).
Bentuk aktif hormon ini adalah triidotironin (T3), yang sebagian besar
berasal dari konversi hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung
dibentuk oleh kelenjar tiroid. Iodida inorganik mengalami oksidasi menjadi
bentuk organik dan selanjutnya menjadi bagian dari tirosin yang terdalam
dalam tiroglobulin sebagai monoiodotirosin (MIT) atau diiodotirosin (DIT).
Senyawa DIT yang terbentuk dari MIT menghasilkan T3 atau T4 yang
disimpan di dalam koloid kelenjar tiroid. Sebagian besar T4 dilepaskan ke
sirkulasi, sedangkan sisanya tetap didalam kelenjar yang kemudian
mengalami diiodinasi untuk selanjutnya menjalani daur ulang. Dalam
sirkulasi, hormone tiroid terikat pada globulin, globulin pengikat tiroid
(thyroid binding globulin, TBG) atau prealbumin pengikat tiroksin
(Thyroxone-binding prealbumin, TPBA).8 Regulasi sekresi hormon tiroid di
pengaruhi oleh sistem kerja balik antara kelenjar hipofisis atau pituitary
lobus anterior dan kelenjar tiroid. Lobus anterior hipofisis mensekresi TSH
yang berfungsi meningkatkan iodine, meningkatkan sintesis dan sekresi
hormon tiroid, meningkatkan ukuran kelenjar tiroid.7,9,12
5
Proses pembentukan hormon tiroid dimulai dari proses penjeratan ion
iodida dengan mekanisme pompa iodida. Pompa ini dapat memekatkan
iodida kira-kira 30 kali konsentrasinya di dalam darah. Pertama, proses
pembentukan tiroglobulin. Tiroglobulin merupakan glikoprotein besar yang
nantinya akan mensekresi hormon tiroid. Kedua, proses pengoksidasian ion
iodida menjadi iodium. Proses ini dibantu oleh enzim peroksidase dan
hidrogen peroksidase. Ketiga, proses iodinasi asam amino tirosin. Pada
proses ini iodium (I) akan menggantikan hidrogen (H) pada cincin benzena
tirosin. Hal ini dapat terjadi karena afinitas iodium terhadap oksigen (O)
pada cincin benzene lebih besar daripada hidrogen. Proses ini dibantu oleh
enzim iodinase agar lebih cepat. Keempat, proses organifikasi tiroid. Pada
proses ini tirosin yang sudah teriodinasi (jika teriodinasi oleh satu unsur I
dinamakan monoiodotirosin dan jika dua unsur I menjadi diiodotirosin).
Kelima, proses coupling (penggandengan tirosin yang sudah teriodinasi).
Jika monoiodotirosin bergabung dengan diiodotirosin maka akan menjadi
triiodotironin. Jika dua diiodotirosin bergabung akan menjadi
tetraiodotironin atau yang lebih sering disebut tiroksin. Hormon tiroid tidak
larut dalam air jadi untuk diedarkan dalam darah harus dibungkus oleh
senyawa lain, dalam hal ini tiroglobulin. Tiroglobulin ini juga sering disebut
protein pengikat plasma. Ikatan protein pengikat plasma dengan hormon
tiroid terutama tiroksin sangat kuat jadi tiroksin lama keluar dari protein ini.
Sedangkan triiodotironin lebih mudah dilepas karena ikatannya lebih lemah.
Waktu paruh T4 di plasma ialah 6 hari sedangkan T3 24-30 jam.
Sebagian T4 endogen (5-17%) mengalami konversi lewat proses
monodeiodonasi menjadi T3. Jaringan yang mempunyai kapasitas
mengadakan perubahan ini ialah jaringan hati, ginjal, jantung dan hipofisis.
Dalam proses konversi ini terbentuk juga rT3 (reversed T3, 3,3’,5’
triiodotironin) yang tidak aktif, yang digunakan mengatur metabolisme pada
tingkat seluler.
Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid, yaitu :
6
1. TRH (thyrotrophin releasing hormone)
Tripeptida yang disentesis oleh hipothalamus. TRH merangsang hipofisis
mensekresi TSH (thyroid stimulating hormone) yang selanjutnya kelenjar
tiroid terangsang menjadi hiperplasi dan hiperfungsi.
2. TSH (thyroid stimulating hormone)
Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta). Dalam
sirkulasi akan meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid (TSH
reseptor-TSH-R) dan terjadi efek hormonal yaitu produksi hormone
meningkat.
3. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback)
Kedua hormon (T3 dan T4) ini menpunyai umpan balik di tingkat
hipofisis. T3 disamping berefek pada hipofisis juga berefek pada tingkat
hipotalamus, sedangkan T4 akan mengurangi kepekaan hipofisis
terhadap rangsangan TSH.
4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri
Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra tiroid
Efek metabolisme hormon tiroid terdiri dari kalorigenik, termoregulasi,
metabolisme protein anabolik dalam keadaan fisiologis, tetapi dalam dosis
besar bersifat katabolic metabolisme karbohidrat, diabetogenik, karena
resorbsi intestinal meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian
pula glikogen otot menipis pada dosis farmakologis tinggi dan degenarasi
insulin meningkat, metabolisme lipid dimana T4 mempercepat sintesis
kolesterol, tetapi proses degradasi kolesterol dan ekspresinya lewat empedu
ternyata jauh lebih cepat, sehingga pada hiperfungsi tiroid kadar kolesterol
rendah, sebaliknya pada hipotiroidisme kolesterol total, kolesterol ester dan
fosfolipid meningkat, konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati
memerlukan hormon tiroi sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai
karotenemia, dan lain-lain.
7
Gambar 4 Axis hipotalamus-pituitari-tiroid
D. Definisi
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh
karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat
berupa gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.
Struma juga merupakan penyakit yang diakibatkan oleh kekurangan yodium
sebagai unsur utama dalam pembentukan hormon T3 dan T4 sehingga untuk
mengimbangi kekurangan tersebut, kelenjar tiroid bekerja lebih aktif dan
menimbulkan pembesaran yang mudah terlihat di kelenjar tiroid dan struma
nodular serta berdasarkan klinis dibedakan atas struma toksik dan struma
non toksik.2
E. Klasifikasi
Struma dapat diklasifikasikan menjadi eutirodisme, hipotiroidisme dan
hipertiroidisme. Berdasarkan morfologi dibedakan atas struma hiperplastika
diffusa, struma colloides diffusa dan struma noduler. Struma dapat
8
mempengaruhi letak organ-organ di sekitarnya. Di bagian posterior medial
kelenjar tiroid terdapat trakea dan esofagus. Struma dapat mengarah
kedalam sehingga mendorong trakea, esofagus dan pita suara sehingga
terjadi kesulitan bernapas dan disfagia. Hal tersebut akan berdampak
terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan elektrolit.
Bila pembesaran keluar maka akan membentuk leher yang besar dapat
asimetris atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia.1,3,4
Secara fisiologis, struma dapat diabgai menjadi :
1. Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid
yang disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada dalam batas
normal sedangkan kelenjar hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah
yang meningkat. Goiter atau struma semacm ini biasanya tidak
menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada leher yang jika terjadi
secara berlebihan dapat mengakibatkan kompresi trakea.1
2. Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah kelainan structural atau fungsional kelenjar
tiroid sehingga sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang.
Kegagalan dari kelenjar untuk mempertahankan kadar plasma yang
cukup dari hormon. Beberapa pasien hipotiroidisme mempunyai
kelenjar yang mengalami atrofi atau tidak mempunyai kelenjar tiroid
akibat pembedahan/ ablasi radioisotope atau akibat destruksi oleh
antibodi autoimun yang beredardalam sirkulasi. Gejala hipotiroidisme
adalah penambahan berat badan, sensitive terhadap udara dingin,
dementia, sulit berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi, kulit kasar,
rambut rontok, mensturasi berlebihan, pendengaran terganggu dan
penurunan kemampuan bicara.1,3
3. Hipertiroidisme
Dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau Graves yang dapat
didefinisikan sebagai respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh
metabolik hormon tiroid yang berlebihan. Keadaan ini dapat timbul
9
spontan atau adanya sejenis antibodi dalam darah yang merangsang
kelenjar tiroid, sehingga tidak hanya produksi hormon yang berlebihan
tetapi ukuran kelenjar tiroid menjadi besar. Gejala hipertiroidisme
berupa berat badan menurun, nafsu makan meningkat, keringat
berlebihan, kelelahan, lebih suka udara dingin, sesak napas.Selain itu
juga terdapat gejala jantung berdebar-debar, tremor pada tungkai bagian
atas, mata melotot (eksoftalmus), diare, haid tidak teratur, rambut
rontok, dan atrofi otot.1,
Secara klinis struma dapat dibedakan menjadi :
1. Struma Toksik
Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa toksik
dan struma nodusa toksik. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah
kepada perubahan bentuk anatomi dimana struma diffusa toksik akan
menyebar luas ke jaringan lain. Jika tidak diberikan tindakan medis
sementara nodusa akan memperlihatkan benjolan yang secara klinik
teraba satu atau lebih benjolan (struma multinoduler toksik).1,5
Struma diffusa toksik (tiroktosikosis) merupakan hipermetabolisme
karena jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan
dalam darah. Penyebab tersering adalah penyakit Grave (gondok
eksoftalmik/exophtalmicgoiter), bentuk tiroktosikosis yang paling
banyak ditemukan diantara hipertiroidisme lainnya.1
Perjalanan penyakitnya tidak disadari oleh pasien meskipun telah
diidap selama berbulan-bulan. Antibodi yang berbentuk reseptor TSH
beredar dalam sirkulasi darah, mengaktifkan reseptor tersebut dan
menyebabkan kelenjar tiroid hiperaktif.
Meningkatnya kadar hormon tiroid cenderung menyebabkan
peningkatan pembentukan antibodi sedangkan turunnya konsentrasi
hormon tersebut sebagai hasilpengobatan penyakit ini cenderung untuk
menurunkan antibodi tetapi bukan mencegah pembentuknya. Apabila
gejala gejala hipertiroidisme bertambah berat dan mengancam jiwa
penderita maka akan terjadi krisis tirotoksik. Gejala klinik adanya rasa
10
khawatir yang berat, mual, muntah, kulit dingin, pucat, sulit berbicara
dan menelan, koma dan dapat meninggal.1,6
2. Struma Non Toksik
Struma non toksik sama halnya dengan struma toksik yang dibagi
menjadi struma diffusa non toksik dan struma nodusa non toksik.
Struma non toksik disebabkan oleh kekurangan yodium yang kronik.
Struma ini disebut sebagai simple goiter, struma endemik, atau goiter
koloid yang sering ditemukan di daerah yang air minumya kurang
sekali mengandung yodium dan goitrogen yang menghambat sintesa
hormon oleh zat kimia.1
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka
pembesaran ini disebut struma nodusa. Struma nodusa tanpa disertai
tanda-tanda hipertiroidisme dan hipotiroidisme disebut struma nodusa
non toksik. Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan
berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Kebanyakan
penderita tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau
hipertiroidisme, penderita datang berobat karena keluhan kosmetik atau
ketakutan akan keganasan. Namun sebagian pasien mengeluh adanya
gejala mekanis yaitu penekanan pada esofagus (disfagia) atau trakea
(sesak napas), biasanya tidak disertai rasa nyeri kecuali bila timbul
perdarahan di dalam nodul.3,7
Struma non toksik disebut juga dengan gondok endemik, berat
ringannya endemisitas dinilai dari prevalensi dan ekskresi yodium urin.
Dalam keadaan seimbang maka yodium yang masuk kedalam tubuh
hampir sama dengan yang diekskresi lewat urin. Kriteria daerah
endemis gondok yang dipakai Depkes RI adalah endemik ringan
prevalensi gondok di atas 10% < 20%, endemik sedang 20% - 29% dan
endemik berat di atas 30%.2,7
F. Epidemiologi
Sekitar 10 juta orang di seluruh dunia mengalami gangguan tiroid, baik
kanker tiroid, struma nodosa non toksik, maupun struma nodosa toksik.10
11
Prevalensi struma nodosa yang didapat melalui palpasi sekitar 4,7- 51 per
1000 orang dewasa dan 2,2 – 14 per
1000 pada anak-anak.1,9 Hasil survey Balitbang pada tahun 2007
didapatkan angka prevalensi struma nodosa di Indonesia meningkat sebesar
35,38%. Laporan akhir survey nasional pemetaan GAKY (Gangguan Akibat
Kekurangan Yodium) menunjukkan bahwa sebanyak 42 juta penduduk
Indonesia tinggal di daerah endemik dan sebanyak 10 juta menderita struma
nodosa. Struma endemik sering terdapat di daerah-daerah yang air minumya
kurang sekali mengandung yodium. Daerah-daerah dimana banyak terdapat
struma endemik adalah di Eropa, pegunungan Alpen, pegunungan Andes,
Himalaya di mana iodinasi profilaksis tidak menjangkau masyarakat. Di
Indonesia banyak terdapat di daerah Minangkabau, Dairi, Jawa, Bali dan
Sulawesi.3 Kasus struma lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan
laki-laki namun dengan bertambah beratnya endemik, perbedaan seks
tersebut hampir tidak ada. Struma dapat menyerang penderita pada segala
umur namun umur yang semakin tua akan meningkatkan resiko penyakit
lebih besar. Hal ini disebabkan karena daya tahan tubuh dan imunitas
seseorang yang semakin menurun seiring dengan bertambahnya usia.3
G. Etiologi
Penyebab paling banyak dari struma non toksik adalah kekurangan
iodium. Akan tetapi pasien dengan pembentukan struma yang sporadis,
penyebabnya belum diketahui. Struma non toksik disebabkan oleh beberapa
hal, yaitu :7,8
1. Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada defesiensi
sedang yodium yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi 12
berat iodium adalah kurang dari 25mcg/d dihubungkan dengan
hypothyroidism dan cretinism.
2. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada
preexisting penyakit tiroid autoimun
3. Goitrogen :
a. Obat: Propylthiouracil, litium, phenylbutazone,
aminoglutethimide, expectorants yang mengandung yodium
b. Agen lingkungan: Phenolic dan phthalate ester derivative dan
resorcinol berasal dari tambang batu dan batubara.
c. Makanan, sayur-mayur jenis Brassica (misalnya, kubis, lobak
cina, brussels kecambah), padi-padian, millet, singkong, dan
goitrin dalam rumput liar.
4. Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon
kelejar tiroid
5. Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa
kanak-kanak mengakibatkan nodul benigna dan maligna
H. Patogenesis Struma
Struma terjadi akibat kekurangan yodium yang dapat menghambat
pembentukan hormon tiroid oleh kelenjar tiroid sehingga terjadi
penghambatan dalam pembentukan TSH oleh hipofisis anterior. Yodium
merupakan bahan utama yang dibutuhkan untuk pembentukan hormon
tiroid. Bahan yang mengandung yodium diserap usus, masuk ke dalam
sirkulasi darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar tiroid. Dalam
13
kelenjar, yodium dioksidasi menjadi bentuk aktif yang distimulasi oleh TSH
kemudian disatukan menjadi molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel
koloid. Senyawa yang terbentuk dalam molekul diyodotironin membentuk
tiroksin (T4) dan molekul tyrodotironin (T3). Tiroksin (T4) menunjukkan
pengaturan umpan balik negatif dari sekresi TSH dan bekerja langsung pada
tirotropin hipofisis, sedang tyrodotironin (T3) merupakan metabolik tidak
aktif. Beberapa obat dan keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan
dan metabolisme tiroid sekaligus menghambat sintesis tiroksin (T4) dan
melalui rangsangan umpanbalik negatif meningkatkan pelepasan TSH oleh
kelenjar hipofisis. Keadaan ini yang menyebabkan pembesaran kelenjar
tiroid.5,6
Struma juga dapat disebabkan kelainan metabolik kongenital yang
menghambat sintesa hormon tiroid, penghambatan sintesa hormon oleh zat
kimia (goitrogenic agen), proses peradangan atau gangguan autoimun
seperti penyakit Graves. Pembesaran yang didasari oleh suatu tumor atau
neoplasma dan penghambatan sintesa hormon tiroid oleh obat-obatan
misalnya thiocarbamide, sulfonylurea dan litium, gangguan metabolik
misalnya struma kolid dan struma non toksik (struma endemik).1,8
I. Diagnosis2,3
1. Inspeksi
Inspeksi dilakukan oleh pemeriksa yang berada di depan penderita
yang berada pada posisi duduk dengan kepala sedikit fleksi atau leher
sedikit terbuka. Jika terdapat pembengkakan atau nodul, perlu
diperhatikan beberapa komponen yaitu lokasi, ukuran, jumlah nodul,
14
bentuk (diffus atau noduler kecil), gerakan pada saat pasien diminta
untuk menelan dan pulpasi pada permukaan pembengkakan.
2. Palpasi
Pemeriksaan dengan metode palpasi dimana pasien diminta untuk
duduk, leher dalam posisi fleksi. Pemeriksa berdiri di belakang pasien
dan meraba tiroid dengan menggunakan ibu jari kedua tangan pada
tengkuk penderita.
3. Tes Fungsi Hormon
Status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan dengan perantara
tes-tes fungsi tiroid untuk mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar
total tiroksin dan triyodotiroin serum diukur dengan radioligand assay.
Tiroksin bebas serum mengukur kadar tiroksin dalam sirkulasi yang
secara metabolik aktif. Kadar TSH plasma dapat diukur dengan assay
radioimunometrik.
Kadar TSH plasma sensitif dapat dipercaya sebagai indikator fungsi
tiroid. Kadar tinggi pada pasien hipotiroidisme sebaliknya kadar akan
berada di bawah normal pada pasien peningkatan autoimun
(hipertiroidisme). Uji ini dapat digunakan pada awal penilaian pasien
yang diduga memiliki penyakit tiroid. Tes ambilan yodium radioaktif
(RAI) digunakan untuk mengukur kemampuan kelenjar tiroid dalam
menangkap dan mengubah yodida.
4. Foto Rontgen leher
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat struma telah menekan
atau menyumbat trakea (jalan nafas).
15
5. Ultrasonografi (USG)
Alat ini akan ditempelkan di depan leher dan gambaran gondok akan
tampak di layar TV. USG dapat memperlihatkan ukuran gondok dan
kemungkinan adanya kista/nodul yang mungkin tidak terdeteksi waktu
pemeriksaan leher. Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan
USG antara lain kista, adenoma, dan kemungkinan karsinoma.
6. Sidikan (scan) tiroid
Caranya dengan menyuntikan sejumlah substansi radioaktif bernama
technetium-99m dan yodium125/yodium131 ke dalam pembuluh darah.
Setengah jam kemudian berbaring di bawah suatu kamera canggih
tertentu selama beberapa menit. Hasil pemeriksaan dengan radioisotop
adalah teraan ukuran, bentuk lokasi dan yang utama adalh fungsi bagian-
bagian tiroid.
7. Biopsi Aspirasi Jarum Halus
Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan.
Biopsi aspirasi jarum tidak nyeri, hampir tidak menyebabkan bahaya
penyebaran sel-sel ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat memberikan
hasil negatif palsu karena lokasi biopsi kurang tepat. Selain itu teknik
biopsi kurang benar dan pembuatan preparat yang kurang baik atau
positif palsu karena salah intrepertasi oleh ahli sitologi.
J. Pencegahan
1. Pencegahan Primer
16
Pencegahan primer adalah langkah yang harus dilakukan untuk
menghindari diri dari berbagai faktor resiko. Beberapa pencegahan yang
dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya struma adalah :
a. Memberikan edukasi kepada masyarakat dalam hal merubah pola
perilaku makan dan memasyarakatkan pemakaian garam yodium
b. Mengkonsumsi makanan yang merupakan sumber yodium seperti
ikan laut
c. Mengkonsumsi yodium dengan cara memberikan garam beryodium
setelah dimasak, tidak dianjurkan memberikan garam sebelum
memasak untuk menghindari hilangnya yodium dari makanan
d. Iodisai air minum untuk wilayah tertentu dengan resiko tinggi. Cara
ini memberikan keuntungan yang lebih dibandingkan dengan garam
karena dapat terjangkau daerah luas dan terpencil. Iodisasi dilakukan
dengan yodida diberikan dalam saluran air dalam pipa, yodida yang
diberikan dalam air yang mengalir, dan penambahan yodida dalam
sediaan air minum.
e. Memberikan kapsul minyak beryodium (lipiodol) pada penduduk di
daerah endemik berat dan endemik sedang. Sasaran pemberiannya
adalah semua pria berusia 0-20 tahun dan wanita 0-35 tahun, termasuk
wanita hamil dan menyusui yang tinggal di daerah endemis berat dan
endemis sedang. Dosis pemberiannya bervariasi sesuai umur dan
kelamin.
f. Memberikan suntikan yodium dalam minyak (lipiodol 40%) diberikan 3
tahun sekali dengan dosis untuk dewasa dan anak-anak di atas 6 tahun 1
cc dan untuk anak kurang dari 6 tahun 0,2-0,8 cc.
17
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mendeteksi secara dini suatu
penyakit, mengupayakan orang yang telah sakit agar sembuh dan menghambat
progresifitas penyakit.
K. Penatalaksanaan Medis
Ada beberapa macam penatalaksanaan medis untuk struma yaitu:
1. Operasi/ Pembedahan
Pembedahan menghasilkan hipotiroidisme permanen yang kurang
sering dibandingkan dengan yodium radioaktif. Terapi ini tepat untuk
para pasien hipotiroidisme yang tidak mau mempertimbangkan
yodium radioaktif dan tidak dapat diterapi dengan obat-obat anti
tiroid. Reaksi-reaksi yang merugikan yang dialami dan untuk pasien
hamil dengan tirotoksikosis parah atau kekambuhan. Pada wanita
hamil atau wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal (suntik
atau pil KB), kadar hormon tiroid total tampak meningkat. Hal ini
disebabkan makin banyak tiroid yang terikat oleh protein maka perlu
dilakukan pemeriksaan kadar T4 sehingga dapat diketahui keadaan
fungsi tiroid.1
Pembedahan dengan mengangkat sebagian besar kelenjar tiroid,
sebelum pembedahan tidak perlu pengobatan dan sesudah
pembedahan akan dirawat sekitar 3 hari. Kemudian diberikan obat
tiroksin karena jaringan tiroid yang tersisa mungkin tidak cukup
memproduksi hormon dalam jumlah yang adekuat dan pemeriksaan
18
laboratorium untuk menentukan struma dilakukan 3-4 minggu setelah
tindakan pembedahan.1
- Lobektomi, yaitu mengangkat satu lobus, bila subtotal maka
kelenjar disisakan.
- Isthmolobektomi, yaitu pengangkatan salah satu lobus, diikuti oleh
isthmus.
- Tiroidektomi total, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar tiroid.
Indikasi dilakukan operasi pada struma, yaitu :
Struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa
Struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan
Struma dengan gangguan tekanan
Kosmetik
2. Yodium Radioaktif
Yodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis yang tinggi
pada kelenjar tiroid sehingga menghasilkan ablasi jaringan. Pasien
yang tidak mau dioperasi maka pemberian yodium radioaktif dapat
mengurangi gondok sekitar 50%. Yodium radioaktif tersebut
berkumpul dalam kelenjar tiroid sehingga memperkecil penyinaran
terhadap jaringan tubuh lainnya. Terapi ini tidak meningkatkan resiko
kanker, leukimia, atau kelainan genetik. Yodium radioaktif diberikan
dalam bentuk kapsul atau cairan yang harus diminum di rumah
sakit,obat ini ini biasanya diberikan empat minggu setelah operasi,
sebelum pemberian obat tiroksin.2,4
3. Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid
19
Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma, selama ini
diyakini bahwa pertumbuhan sel kanker tiroid dipengaruhi hormon
TSH. Oleh karena itu untuk menekan TSH serendah mungkin
diberikan hormon tiroksin (T4) ini juga diberikan untuk mengatasi
hipotiroidisme yang terjadi sesudah operasi pengangkatan kelenjar
tiroid. Obat anti-tiroid (tionamid) yang digunakan saat ini adalah
propiltiourasil (PTU) dan metimasol/karbimasol.2,4,5
20
BAB III
LAPORAN KASUS
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : S.T.
Nomor rekam medik : 46.25.10
Usia : 66 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal lahir : 6 April 1949
Suku bangsa : Minahasa/Indonesia
Status perkawinan : Sudah menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal masuk RS : 11 Januari 2016
2. ANAMNESIS
KELUHAN UTAMA :
Benjolan di leher
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :
Benjolan dileher dialami penderita sejak 2 tahun yang lalu. Awalnya
benjolan dirasakan penderita sebesar biji salak namun kemudian
berangsur-angsur membesar. Perubahan suara tidak ada, nyeri tidak ada,
riwayat demam tidak ada, rasa bergetar tidak ada, dada berdebar-debar
tidak ada. Riwayat radiasi pada leher disangkal.
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA :
Penderita memiliki saudara laki-laki yang mengalami gejala seperti ini.21
3. PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALIS
Keadaan umum : Baik
Kesadaran/GCS : Compos mentis / E4 V5 M6
Tanda-tanda vital :
Tekanan darah: 120/70 mmHg
Nadi : 86 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36,4 0C
Kepala : Konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, pupil
bulat isokor +/+ 3mm/3mm
Leher : Regio colli anterior : benjolan ukuran 7 x 4 cm,
nodul (+), konsistensi kenyal, fixed, batas tidak
jelas, ikut gerakan menelan
Thoraks :
Inspeksi : Gerakan dada simetris kiri = kanan
Palpasi : Stem fremitus kiri = kanan
Perkusi : Sonor kiri = kanan
Auskultasi : SP vesicular kiri = kanan, ronkhi -/-, weezing -/-
Abdomen :
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani
22
Palpasi : Lemas, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba.
Ekstremitas :
Superior : Tidak ada kelainan
Inferior : Tidak ada kelainan
CRT : kurang dari 2 detik
RT : TSA cekat, ampula kosong, mukosa licin
ST : Feses (-), darah (-)
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Endokrinologi (21/12/2015)
FT3 3,23 pg/mL (normal: 2,3 - 4,2)FT4 1,03 ng/dL (normal: 0,7 - 1,48)TSH 1,499 µIU/mL (normal: 0,35 - 4,94)
Pemeriksaan Hematologi (13/1/2016)
Leukosit 13190/uLEritrosit 3,80x106/uLHemoglobin 11,7 g/dLHematokrit 34,2%Trombosit 194x103/uLMCH 30,8 pgMCHC 34,2 g/dLMCV 90,1 fLSGOT 15 U/LSGPT 13 U/LUreum darah 31 mg/dLCreatinin darah 1,1 g/dLAlbumin 3,53 g/dLChlorida darah 109 mEq/LKalium darah 3,5 mEq/LNatrium darah 139 mEq/L
23
Pemeriksaan FNAB Patologi Anatomi (29/12/2015)
Makroskopik : benjolan leher ukuran 7 x 4 cm sejak 2 tahun lalu degan
massa tidak jelas, beberapa agak lunak.
Mikroskopik : hapusan hanya terdiri dari beberapa sel epitel bulat seperti
epitel folikel, tidak didapati cyst marofag, hanya leukosit
sedikit limfosit, latar belakang sel darah merah.
Kesimpulan : suspek nodul thyroid.
Anjuran : biopsi jaringan.
Pemeriksaan Radiologi
USG 2/1/2016
Kesan : struma
Foto Thoraks 7/1/2016
- Jantung : CRT < 50% (normal)
- Aorta : normal24
- Paru-paru : bronkovesikular nomal
- Trakea : tampak gambaran massa pada leher kiri depan bawah,
massa inhomogen, kalsifikasi (-), batas jelas.
Kesan : struma.
Pemeriksaan EKG 12/1/2016
Kesan : normal sinus rythm
5. RESUME
Perempuan 66 tahun datang ke RSUP. Prof. R. D. Kandou
Malalayang dengan keluhan utama benjolan di leher sebelah kiri sebesar
biji salak sejak 2 tahun yang lalu. Semakin lama, benjolan dirasakan
semakin membesar. Pada pemeriksaan fisik pada leher: regio colli anterior
25
sinistra terdapat benjolan ukuran 7 x 4 cm, nodul (+), konsistensi kenyal,
fixed, batas tidak jelas, ikut gerakan menelan.
6. DIAGNOSA KERJA
Struma uninodusa nontoksik sinistra
7. TATALAKSANA
Rencana operasi elektif
8. FOLLOW UP
11/1/2016
S : Benjolan di leher, nyeri (-)
O : TD 120/80 mmHg; N 84 x.m; R 22 x/m; S 36,6 0C
Kepala : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : Regio colli anterior sinistra : benjolan ukuran 7 x 4 cm,
nodul (+), konsistensi
kenyal, fixed, batas tidak
jelas, ikut gerakan menelan
A : Struma uninodusa nontoksik sinistra
P : Rencana operasi elektif
12/1/2016
S : Benjolan di leher, nyeri (-)
O : TD 130/80 mmHg; N 82x.m; R 18x/m; S 36,80C
26
Kepala : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : Regio colli anterior sinistra : benjolan ukuran 7 x 4 cm,
nodul (+), konsistensi
kenyal, fixed, batas tidak
jelas, ikut gerakan menelan
A : Struma uninodusa nontoksik sinistra
P : Isthmolobectomy sinistra besok (13/1/2016)
12/1/2016
Follow up dokter anastesi
ASA I
Instruksi :
- Inform consent
- Puasa mulai jam 24.00
- Persiapan darah
- Berdoa
9. LAPORAN OPERASI
Tanggal operasi : 13/1/2016
Jam operasi : 10.00 – 13.00 WITA
Lama operasi : 3 jam
Nama ahli bedah : dr. Nico Lumintang, Sp.B(K)KL
Nama ahli anastesi : dr. Shella, Sp.An
Diagnosis sebelum operasi : Struma Uninodusa Nontoksik Sinistra
27
Diagnosis pasca operasi : Post isthmulobektomi ec. struma uninodusa
nontoksik sinitra
Nama / macam operasi : Isthmulobektomi
Jaringan yang dieksisi/insisi : Tiroid sinistra
Laporan operasi :
o Penderita terlentang dengan general anastesi
o A dan asepsis lapangan operasi
o Insisi collar diperdalam sampai facia colli superfisial dengan
memotong musculus platysima
o Insisi m. pretrakealis dan fasia colli superficial kemudian insisi
tiroid
o Observasi n. reccuren dan laringeus reccuren dan pembuluh
darah tiroid
o Kontrol perdarahan
o Cuci luka operasi
o Jahit luar lapis demi lapis
o Operasi selesai
28
Instruksi post operasi :
o IVFD RL 18 gtt/m
o Injeksi Cefazolin 2x1 amp IV
o Injeksi Asam tranexamat 3x1 amp IV
o Injeksi Ranitidin 2x1 amp IV
o Injeksi Ketorolac 1% 3x1 amp IV
o Tyrax 1x100
10. FOLLOW UP
14/1/2016
S : nyeri luka operasi (+)
O : TD 110/70 mmHg; N 88 x/m; R 18 x/m; S 36,70C, SpO2 100%
Kepala : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : Regio colli anterior : Luka terawat, produksi drain ± 4 cc/24 jam
A : Post isthmolobektomi sinistra ec. struma uninodusa nontoksik sinistra29
R : IVFD RL 18 gtt/m
Injeksi Cefazolin 2x1 amp IV
Injeksi Asam tranexamat 3x1 amp IV
Injeksi Ranitidin 2x1 amp IV
Injeksi Ketorolac 1% 3x1 amp IV
Tyrax 1x100
30
BAB IV
PEMBAHASAN
Struma (goiter) terlihat sebagai suatu pembengkakan pada kelenjar tiroid baik
pada satu atau kedua lobus akibat berbagai sebab dengan atau tanpa gangguan
produksi hormon.2 Diagnosa struma ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Benjolan pada leher dialami sejak 2 tahun yang lalu. Awalnya benjolan
dirasakan penderita sebesar biji salak namun kemudian berangsur-angsur
membesar. Perubahan suara tidak ada, nyeri tidak ada, riwayat demam tidak ada,
rasa bergetar tidak ada, dada berdebar-debar tidak ada. Riwayat radiasi pada leher
disangkal. Saudara laki-laki penderita pernah mengalami keluhan yang sama.
Penderita kemudian dibawa ke RSUP Prof. Kandou Malalayang.
Pada pemeriksaan fisik, tanda vital penderita dalam batas normal. Pada status
lokalis di regio colli anterior, benjolan berukuran 7 x 4 cm, konsistensi kenyal,
fixed, nodul ada, batas tidak jelas, dan mengikuti gerakan menelan. Pemeriksaan
fisik benjolan di regio coli dekstra tidak menunjukan ciri keganasan tiroid dan
belum terdapat infiltrasi ke jaringan sekitar. Tingkat keganasan pada benjolan
tiroid hanya dapat ditentukan berdasarkan pemeriksaan patologi anotomi.5
Pada pemeriksaan penunjang dilakukan pemeriksaan TSH, FT4, dan FT3.
TSH digunakan untuk mendiagnosis hipertiroid primer dimana terjadi
peningkatan kadar basal menjadi 6 µIU/mL dari batas normal TSH 2-4 µIU/mL.
Kadar TSH basal dapat membedakan hipertiroid dan eutiroid. Pada kasus ini nilai
TSH berada dalam batas normal yaitu 1,499 µIU/mL. FT4 digunakan untuk
menghitung kadar thyroid bleeding globulin (TBG) dengan nilai rujukan
31
laboratorium 0,7 – 1,48 ng/dL. Pada kasus ini berada dalam batas normal yaitu
1,03 ng/dL. 10,11
Pemeriksaan radiologi x-foto toraks posisi posterior anterior menunjukan
tidak terdapat kelainan pada rongga toraks. Meskipun sebagian besar struma
nodosa tidak mengganggu pernapasan karena pertumbuhan kearah lateral atau
anterior, terdapat sebagian bentuk dimana terdapat kemungkinan penyempitan
trakea. Kesan hasil pencitraan ultrasonografi ialah struma. Diagnosis tumor
kelenjar tiroid berupa tumor jinak atau ganas ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
patologi anotomi dengan teknik FNAB (fine needle aspiration biopsy). Gambran
FNAB tidak dapat dijadikan patokan apabila pada hasil pemeriksaan
menunjukkan karsinoma tiroid folikular karena gambaran keganasan tersebut juga
dijumpai pada adenoma folikuler maupun adenoma goiter sehingga yang dapat
membedakan jinak atau ganas ialah invasi sel-sel kanker intravaskular atau
intrakapsular.6,8,9
Struma adenomatosa benigna secara umum memiliki ukuran besar namun
tidak menyebabkan gangguan neurologik, muskuus skeletal, vaskular atau
respirasi. Presentasi kemungkinan struma nodosa mengalami perubahan ke arah
malignansi ialah sekitar 5 %. Tanda keganasan berupa perubahan bentuk dan laju
pertumbuhan yang meningkat serta tanda infiltrasi pada kulit dan jaringan
sekitar.3,7 Prognosis pada kasus ini dubia ad bonam.7,8
32
BAB V
PENUTUP
Struma uninodusa nontoksik merupakan pembesaran kelenjar tiroid
dimana secara klinik teraba sebuah nodul tanpa disertai tanda-tanda
hipertiroidisme. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis keganasan hanya dapat ditentukan
berdasarkan hasil pemeriksaan patologi anatomi.
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Gopinath N. Thoracic trauma. Indian Journal of Thoracic and Cardiovascular Surgery. 2004;20:144-8.
2. Simon BJ, Cushman J, Barraco R, Lane V, dkk. Pain management guidelines for blunt thoracic trauma. J Trauma. 2005; 59(5):1256-67.
3. Eckstein M, Henderson SO. Thoracic trauma. In: Marx JA, dkk. Rosen's Emergency Medicine. Edisi ke-7. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2009:387-413
4. Setiawan, I., Tengadi K.A, Santoso. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC. 2007.
5. Garwe T, Cowan LD, Neas BR, dkk. Directness of transport of major trauma patients to a level I trauma center: A propensity-adjusted survival analysis of the impact on short-term mortality. J Trauma 2011;70:1118-27
6. Hooker DR. Physiological effects of air concussion. Am J Physiol. 2009;67(2):219-74
7. Sjamsuhidajat, Jong W D. Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke-2. Jakarta: EGC. 2005
8. Soepardi E A, Iskandar N. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorokan kepala leher. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. 2006.h.132-156
9. Wanek, J.C. Mayberry. Blunt thoracic trauma: f lail chest, pulmonary contusion, and blast injury. Crit Care Clin. 2004;20:71–81
10. Zuckerman S. Experimental study of blast injuries to the lungs. Lancet. 2006;2:219-24
11. Putz R, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia: Sobotta. Edisi ke-22. Jakarta: EGC. 2006.
12. Corwin, EJ. Patofisiologi: Sistem Endokrin. Edisi ke-3. Jakarta: EGC. 2009.h.272-314.
34