lapkas bedah i - peritonitis

60
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suatu kegawatan abdomen dapat digambarkan ke dalam keadaan klinik akibat kegawatan di rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyerisebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada obstruksi, perdarahan, infeksi,obstruksi atau strangulasi jalan cerna dapat menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis. 1 Dimana peritonitis adalah salah satu penyebab kematian tersering pada penderita bedah dengan mortalitas sebesar 10-40%. Peritonitis difus sekunder yang merupakan 90% penderita peritonitis dalam praktek bedah dan biasanya disebabkan oleh suatu perforasi gastrointestinal ataupun kebocoran. 2 Selain perforasi gaster, peritonitis dapat pula disebabkan oleh perforasi appendiks. Dalam kasus penundaan appendiktomi dapat menimbulkan abses hingga perforasi. Appendicitis merupakan peradangan yang terjadi pada appendix yang memerlukan tindakan bedah segera guna mencegah terjadinya komplikasi.

Upload: richardomarpaung

Post on 13-Jan-2016

64 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Lapkas Bedah I - Peritonitis

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Suatu kegawatan abdomen dapat digambarkan ke dalam keadaan klinik

akibat kegawatan di rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan

nyerisebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera

yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada obstruksi, perdarahan,

infeksi,obstruksi atau strangulasi jalan cerna dapat menyebabkan perforasi yang

mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga

terjadilah peritonitis.1

Dimana peritonitis adalah salah satu penyebab kematian tersering pada

penderita bedah dengan mortalitas sebesar 10-40%. Peritonitis difus sekunder

yang merupakan 90% penderita peritonitis dalam praktek bedah dan biasanya

disebabkan oleh suatu perforasi gastrointestinal ataupun kebocoran.2 Selain

perforasi gaster, peritonitis dapat pula disebabkan oleh perforasi appendiks.

Dalam kasus penundaan appendiktomi dapat menimbulkan abses hingga

perforasi. Appendicitis merupakan peradangan yang terjadi pada appendix yang

memerlukan tindakan bedah segera guna mencegah terjadinya komplikasi.

Peritonitis merupakan peradangan pada peritoneum yang merupakan

pembungkus visera dalam rongga perut dankomplikasi berbahaya yangsering

terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnyaapendisitis,

salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna,komplikasi post

operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen. Pada keadaan normal,

peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri, kontaminasi yang terus-menerus,

bakteri yang virulen, resistensi yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim

pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.2

Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil

karenasetiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat

meningkatkanmorbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan

Page 2: Lapkas Bedah I - Peritonitis

2

penanggulangannya tergantungdari kemampuan melakukan analisis pada

anamnesis, pemeriksaan fisik danpemeriksaan penunjang.1

Peritonitis selain disebabkan oleh kelaianan didalam abdomen yang berupa

inflamasi dan penyulitnya, juga oleh ileus obstruktif, iskemia dan perdarahan.

Sebagian kelainan disebabkan oleh cidera langsung atau tidak langsung yang

mengakibatkan perforasi saluran cerna atau perdarahan.3

1.2 Tujuan

Tujuan dari penyusunan laporan kasus ini adalah sebagai berikut ini :

1. Memahami definisi, etiologi, faktor risiko, gambaran klinis, patofisiologi,

diagnosis, komplikasi dan penatalaksanaan dari peritonitis.

2. Sebagai salah satu tugas Kepaniteraan Klinik Senior di bagian Bedah Umum

RSUP Haji Adam Malik Medan

1.3. Manfaat

Makalah ini adalah bermanfaat bagi para pembaca, khususnya yang

terlibat dalam bidang medis dan masyarakat secara umumnya. Diharapkan dengan

makalah ini pembaca dapat lebih mengetahui dan memahami lebih mendalam

mengenai Peritonitis sehingga penanganan yang lebih cepat dan tepat dapat

dilakukan untuk mengurangi angka morbiditas pasien.

Page 3: Lapkas Bedah I - Peritonitis

3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Appendiks

Appendiks merupakan suatu organ limfoid yang rumit seperti tonsil,

memiliki payer patch yang berfungsi membentuk immunoglobulin. Appendiks

adalah suatu struktur kecil seperti tabung yang menenpel pada bagial awal dari

sekum, yang pangkalnya terletak pada posteromedial sekum. Panjang appendiks

berukuran 7-10cm, dan berdiameter 0,7cm . lumennya sempit dibagian proksimal

dan melebar di distal. Appendiks terletak di kuadran kanan bawah abdomen

tepatnya di ileosaekum dan merupakan pertemuan ketiga taenia yakni, taenia

libera, taenia colica, dan taenia omentum. Dari topografi anatomi, letak pangkal

appendiks berada pada titik Mc Burney, yaitu titik pada garis antara umbilikus

dan SIAS kanan yang berjarak 1/3 dari SIAS kanan.

Appendiks dipersarafi oleh parasimpatis dan simpatis. Persarafan

parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika

Page 4: Lapkas Bedah I - Peritonitis

4

superior dan arteri appendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari

nervus thorakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada appendisitis bermula di

sekitar umbilicus. Pendarahan appendiks berasal dari arteri appendikularis ,

cabang dari a.ileosaekalis, cabang dari a. mesenterica superior. A. appendikularis

merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena

trombosis pada infeksi, appendiks akan mengalami gangren.

2.2. Fisiologi Appendiks

Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu normalnya

dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke saekum. Hambatan aliran

lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendisitis.

Dinding appendiks terdiri dari jaringan limfe yang merupakan bagian dari sistem

imun dalam pembuatan antibodi. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh

GALT (gutassociated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna

termasuk appendiks, ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai

pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan appendiks tidak

mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan limfonodi di sini kecil

sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.

Page 5: Lapkas Bedah I - Peritonitis

5

Jaringan limfoid pertama kali muncul pada appendiks sekitar 2 minggu setelah

lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa dan

kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan

limfoid lagi di appendiks dan terjadi obliterasi lumen appendiks komplit.

2.3. Appendisitis

2.3.1. Definisi appendicitis

Appendisitis merupakan peradangan pada appendiks vermiformis.

Peradangan akut appendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah

komplikasi yang umumnya berbahaya.(3)

2.3.2. Etiologi

Obstruksi lumen merupakan penyebab utama appendiks. Fekalit

merupakan penyebab tersering dari obstruksi appendiks. Penyebab lainnya adalah

hipertrofi jaringan limfoid, sisa barium dari pemeriksaan rontgen, diet rendah

serat, dan cacing usus termasuk ascaris. Trauma tumpul atau trauma karena

kolonoscopy dapat mencetuskan inflamasi pada appendiks. Post operasi

appendiks juga dapat menjadi penyebab akibat adanya trauma atau stasis fekal.

Frekuensi obstruksi meningkat dengan memberatnya proses inflamasi. Fekalit

ditemukan pada 40% dari kasus appendiks akut, sekitar 65% merupakan

appendiks gangrenous tanpa rupture dan sekitar 90% kasus appendiks gangrenous

dengan rupture.

Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan appendiks adalah erosi mukosa

appendiks karena parasit seperti E. Histolytica. Penelitian epidemiologi

menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh

konstipasi terhadap timbulnya appendiks. Konstipasi akan meningkatkan tekanan

intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional appendiks dan

meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya akan

mempermudah terjadinya apendisits akut.

Flora pada appendix yang meradang berbeda dengan flora appendix normal.

Sekitar 60% cairan aspirasi yang didapatkan dari appendicitis didapatkan bakteri

jenis anaerob, dibandingkan yang didapatkan dari 25% cairan aspirasi appendix

Page 6: Lapkas Bedah I - Peritonitis

6

yang normal. Diduga lumen merupakan sumber organisme yang menginvasi

mukosa ketika pertahanan mukosa terganggu oleh peningkatan tekanan lumen dan

iskemik dinding lumen. Flora normal kolon memainkan peranan penting pada

perubahan appendisitis akut ke appendisitis gangrenosa dan appendicitis perforata.

2.3.3. Patofisiologi

Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks

oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis

akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi lumen yang tertutup

disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimalnya dan berlanjut pada

peningkatan sekresi normal dari mukosa appendiks yang distensi. Obstruksi

tersebut mneyebabkan mucus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan.

Makin lama mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks

mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan intralumen.

Kapasitas lumen appendiks normal hanya sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5

dapat meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60 cmH2O. Manusia merupakan

salah satu dari sedikit makhluk hidup yang dapat mengkompensasi peningkatan

sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi gangrene atau terjadi perforasi.

Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan appendiks mengalami

hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri.

Infeksi menyebabkan pembengkakan appendiks bertambah (edema) dan semakin

iskemik karena terjadi thrombosis pembuluh darah intramural (dinding

appendiks). Pada saat inilah terjadi appendiks akut fokal yang ditandai oleh nyeri

epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi

waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor.

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut

akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus

dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga

menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan appendiks

supuratif akut.

Page 7: Lapkas Bedah I - Peritonitis

7

Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding appendiks yang

diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan appendiks gangrenosa. Bila

dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi appendiks perforasi.

Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang

berdekatan akan bergerak kearah appendiks hingga timbul suatu massa local yang

disebut infiltrate apendikularis. Peradangan appendiks tersebut dapat menjadi

abses atau menghilang. Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi

appendiks yang dimulai dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding

appendiks dalam waktu 24-48 jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan

tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup appendiks dengan

omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikular.

Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami

perforasi. Jika tidak terbentuk abses, appendiks akan sembuh dan massa

periapendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara

lambat.

Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi

mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding appendiks, omentum,

usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria,

uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan ini. Bila

proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan timbul

peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum cukup

kuat menahan tahanan atau tegangan dalam kavum abdominalis, oleh karena itu

penderita harus benar-benar istirahat (bedrest).

2.3.4. Manifestasi Klinis

Gambaran klinis yang sering dikeluhkan oleh penderita, antara lain :

1. Nyeri abdominal

Nyeri ini merupakan gejala klasik appendisitis. Mula-mula nyeri dirasakan

samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium atau

sekitar umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri berpindah dan menetap di abdomen

kanan bawah (titik Mc Burney). Nyeri akan bersifat tajam dan lebih jelas letaknya

Page 8: Lapkas Bedah I - Peritonitis

8

sehingga berupa nyeri somatik setempat. Bila terjadi perangsangan peritoneum

biasanya penderita akan mengeluh nyeri di perut pada saat berjalan atau batuk.(3)

2. Mual-muntah biasanya pada fase awal.

3. Nafsu makan menurun.

4. Obstipasi dan diare pada anak-anak.

5. Demam, terjadi bila sudah ada komplikasi, bila belum ada komplikasi biasanya

tubuh belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,5º-38,5º C

2.4. Anatomi Peritoneum

Peritoneum merupakan membrane serosa tipis yang melapisi dinding

cavitas abdominalis dan cavitas pelvis, serta meliputi visera abdomen dan pelvis.

Peritoneum dapat dianggap sebagai sebuah balon yang dalamnya organ-organ

didorong ke dalam dari luar,Peritoneum parietale melapisi dinding cavitas dinding

abdominis dan cavitas pelvis, sedangkan peritoneum visceral meliputi organ-

organ. Rongga potensial di antara peritoneum parietale dan peritoneum viscerale

yang berfungsi sebagai bagian dalam dari balon dinamakan cavitas peritonealis.

Pada laki-laki cavitas perionealis merupakan ruang tertutup, tetapi pada

perempuan terdapat hubungan dengan dunia luar melalui tuba uterine, uterus, dan

vagina.Di antara peritoneum parietale dan fascia yang melapisi dinding abdomen

dan pelvis terdapat selapis jaringan ikat yang disebut jaringan extra peritoneal.

Cavitas peritonealis (rongga peritoneum) dapat dibagi menjadi dua

bagian : cavitas peritonealis (kantong besar) merupakan ruang utama cavitas

peritonealis yang terbentang dari diaphragm ke bawah sampai pelvis dan bursa

omentalis (kantong kecil) yang berukuran lebih kecil dan terletak di belakang

gaster. Kantong besar dan kantong kecil berhubungan bebas satu dengan yang lain

melalui sebuah jendela oval yang dinamakan foramen omentale atau foramen

epiploicum. Sekret peritoneum berbentuk cairan serosa dalam jumlah kecil yang

membasahi permukaan peritoneum dan memungkinkan pergerakan di antara

visera.

Page 9: Lapkas Bedah I - Peritonitis

9

Hubungan Intraperitoneal dan Retroperitoneal

Istilah intraperitoneal dan retroperitoneal dipergunakan untuk melukiskan

hubungan berbagai organ peritoneum yang meliputinya. Sebuah organ dikatakan

intraperitoneal kalau hampir seluruh organ tersebut diliputi oleh peritoneum

viscerale. Gaster, jejunum, ileum, dan lien merupakan contoh organ-organ

intraperitoneal. Organ-organ retroperitoneal terletak di belakang peritoneum dan

hanya sebagian diliputi oleh peritoneum viscerale. Pancreas, colon ascendens, dan

colon descendens merupakan contoh organ retroperitoneal. Namun demikian tidak

ada organ yang seluruhnya terletak di dalam cavitas peritonealis.

Gambar 2.1. Peritoneum visceralis dan parietalis

Ligamenta peritonealia, omenta, dan mesenteria

Ligamenta peritonealia merupakan lipatan peritoneum berlapir ganda yang

merupakan viscera padat ke dinding abdomen. Sebagai contoh, hepar

dihubungkan ke diaphragm oleh ligamentum falciforme, ligamentum coronarium,

dan ligamentum triangulare dextrum dan ligamentum triangulare sinistrum

Omenta adalah lipatan peritoneum berlapis ganda yang menghubungkan

gaster dengan organ-organ berongga lainnya. Omentum majus mengubungkan

curvature major gaster dengan colon transversum. Omentum minus

menggantungkan curvature minor gaster dari fissura ligament venosi dan porta

Page 10: Lapkas Bedah I - Peritonitis

10

hepatis pada permukaan bawah hepar. Omentum gastroplenicum menghubungan

gaster dengan hilum lienale.

Mesenteria merupakan lipatan peritoneum berlapis dua yang

menghubungkan bagian-bagian usus ke dinding posterior abdomen, misalnya

mesenterium, mesocolon transversum, dan mesocolon sigmoideum. Ligament

peritonealia, omenta, dan mesenteria memungkinkan pembuluh darah, pembuluh

limfatik, dan saraf mencapai viscera.

Persarafan Peritoneum

Peritoneum parietale peka terhadap rasa nyeri, suhu, raba, dan tekan.

Peritoneum parietale yang membatasi anterior abdomen dipersarafi oleh enam

nervi thoracici bagian bawah dan nervus lumbalis I, yaitu saraf yang mensarafi

kulit dan otot-otot yang ada di atasnya. Bagian sentral peritoneum diaphragmatica

dipersarafi oleh nervus phrenicus; di perifer, peritoneum diaphragmatica

dipersarafi oleh enam nervi thoracici bagian bawah. Peritoneum parietale dalam

pelvis terutama dipersarafi oleh nervus obturatorius, sebuah cabang plexus

lumbalis.

Peritoneum visceralis hanya peka terhadap regangan dan robekan, dan

tidak peka terhadap rasa raba, tekan, atau suhu. Peritoneum viscerale dipersarafi

oleh saraf aferen otonom yang mensarafi visera atau yang berjalan melalui

mesenterium. Peregangan yang berlebihan dari organ berongga menimbulkan rasa

nyeri. Mesenterium dan mesocolon peka terhadap regangan mekanik.

Gambar 2.2. Rongga peritoneal

Page 11: Lapkas Bedah I - Peritonitis

11

Fungsi Peritoneum

Cairan peritoneal yang berwarna kuning pucat dan sedikit kental,

mengandung leukosit. Cairan ini disekresi oleh peritoneum dan menjamin viscera

abdomen dapat bergerak dengan mudah satu dengan yang lain. Sebagai akibat

pergerakan diaphragm dan otot-otot abdomen, disertai dengan pergerakan

peristaltik saluran pencernaan, cairan peritoneal tidak statis. Bukti-bukti penelitian

menunjukkan bahwa suatu senyawa tertentu dimasukkan ke dalam bagian bawah

cavitas peritonelais akan segera sampai ke recessus subphrenicus, tidak tergantung

pada posisi tubuh. Tampaknya terdapat pergerakan cairan inraperitoneal yang

terus menerus menuju ke diaphragm, dan cairan ini dengan cepat diabsorpsi ke

dalam kapiler limfatik subperitoneal.

Peritoneum yang meliputi usus cenderung saling melekat bila terdapat

infeksi. Omentum majus yang terus menerus bergerak akibat gerakan peristaltic

saluran pencernaan yang ada di dekatnya, dapat melekat pada permukaan

peritoneum lainnya di sekitar fokus infeksi. Dengan cara ini, banyak infeksi

peritoneal di tutup dan tetap terlokalisir.Lipatan peritoneum memegang peranan

penting untuk menggantungkan berbagai organ di dalam cavitas peritonealis dan

berperan sebagai tempat jalannya pembuluh darah, pembuluh limf, dan saraf-saraf

ke organ tersebut.

2.5. Fisiologi Peritoneum

Peritoneum merupakan selapis sel mesotelium komplek dengan membran

basalis yang ditopang oleh jaringan ikat yang kaya akan pembuluh darah.

Peritoneum terdiri dari peritoneum parietal yang melapisi dinding bagian dalam

rongga abdomen, diafragma dan organ retroperitoneum dan peritoneum visceral

yang melapisi seluruh permukaan organ dalam abdomen. Luas total peritoneum

lebih kurang 1,8 m2. Setengahnya ( ± 1 ) m2 berfungsi sebagai membrane

semipermeabel terhadap air, elektrolit dan makro serta mikro molekul8.

Fungsi utama peritoneum adalah menjaga keutuhan atau integritas organ

intraperitoneum. Normal terdapat 50 mL cairan bebas dalam rongga peritoneum,

yang memelihara permukaan peritoneum tetap licin. Karakteristik cairan

Page 12: Lapkas Bedah I - Peritonitis

12

peritoneum berupa transudat, berat jenis 1,016, konsentrasi protein kurang dari 3

g/dl, leukosit kurang dari 3000/uL, mengandung komplemen mediator sebagai

antibacterial dan aktivitas fibrinolisis. Sirkulasi cairan peritoneum melalui

kelenjar lymph dibawah permukaan diafragma dengan ecepatan pertukaran cairan

ekstraseluler 500 ml perjam. Melalui stoma di mesotelium diafragma partikel-

partikel termasuk bakteri dengan ukuran kurang dari 20 µm diberishkan,

selanjutnya dialirkan terutama ke dalam duktus thorasikus kanan6.

Periteoneum parietal disarafi oleh saraf aferen somatic dan visceral yang

cukup sensitive terutama pada peritoneum parietal bagian anterior, sedangkan

pada bagian pelvis agak kurang sensitive. Peritoneum visceral disarafi oleh

cabang aferen otonom yang kurang sensitive. Saraf ini terutama memberikan

respon terhadap tekanan dan tidak dapat menyalurkan rasa nyeri dan temperatur6.

Peritoneum menangani infeksi (peritonitis) dengan 3 cara :

1. Absorbs cepat bakteri melalui stomata diafragma

Pompa diafrgama akan menarik cairan dan partikel ternasuk bakteri kea

rah stomata. Oleh karena itu bila terdapat infeksi di peritoneum bagian bawah,

bakteri yang turut dalam aliran dapat bersarang di bagian atas dan dapat

menimbulkan sindroma Fitz-Hugh-Curtis yaitu nyeri perut atas yang disebabkan

perihepatitis yang menyertai infeksi tuba falopii7.

Pada percobaan binatang ½ jumlah bakteri yang diletakkan di rongga

peritoneum dikeluarkan melalui limfe diafragma dan hanya dalam 6 menit sudah

ditemukan di ductus thoracicus.

Proses pengeluaran cairan dan partikel ini sangat menguntungkan bila

bakteri yang terdapat di dalamnya telah dibunh. Bila tidak, maka yang terjadi

adalah masukinya bakteri hidup ke dalam aliran sistemik yang kemudian dapat

menjadi sespsis.

Peironitis menyebabkan pergeseran cepat cairan intavaskuler dan

interstisial ke rongga peritoneum, sehingga dapat terjadi hipovolemia. Empedu,

asam lambung, dan enzim pancreas memperbesar pergeseran cairan ini8.

Page 13: Lapkas Bedah I - Peritonitis

13

2. Penghancuran bakteri oleh sel imun

Bakteri atau produknya akan mengaktivasi sel mesotel, netrofil, makrofag,

sel mast, dan limfosit untuk menimbulkan reaksi inflamasi. Tergantung berat

trauma, makrofag akan memproduksi TNF-a dan IL-1b yang mempengaruhi sel

mesotel untuk mengeluarkan IL-8, suatu kemokin yang menarik masuknya

netrofil. Proses ini dengan peningkatan ekspresi molekuln adhesi (ICAM-1 dan

VCAM-1) pada sel mesotel. Sel mast juga membentuk TNF-a yang turut

meningkatkan emigrasi netrofil. Selain melepas mediator inflamasi ia dapat

mengadakan degranulasi zat vasoaktif yang mengandung histamine dan

prostaglandin. Histamine dan prostaglandin yang dilepas sel mast dan makrofag

menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh peritoneum

sehingga menimbulkan eskudasi cairan kaya komplemen, immunoglobulin, faktor

pembekuan dan fibrin8.

Hubungan Peritoneum Dengan Respon Imun Usus

GALT (Gult Associated Lymphatic Tissue atau jaringan limfoid usus)

merupakan 2/3 sel limfoid tubuh oleh karena itu mereka harus terus menerus

terekspos stimulus. Rangsangan di peritoneum dapat memicu pembentukan

sitokin usus. Walaupun tidak ditemukan bakteri di daerah porta maupun di

sistemik, usus dapat membentuk IL-6 dan TNF-a. Selain bakteri, syok juga dapat

merangsang pembentukan kedua sitokin pro inflamasi diatas. Bahkan ternyata IL-

20 yang bersifat anti inflamasi juga dapat dibentuk di usus8.

Hubungan Peritoneum Dengan Sistemik

Sudah diketahui bahwa untuk penyembuhan jaringan diperlukan mediator

pro-inflamasi di daerah sakit sampai terjadi kesembuhan dimana mulai timbul

mediator anti inflamasi yang menghentikan proses pro-inflamasi. Keadaan ini

menunjukkan adanya keseimbangan fungsi antara respon pro dan anti-inflamasi.

Tetapi pada keadaan tertentu dapat terjadi ketidakseimbangan dimana salah satu

yaitu : pro inflamasi atau anti inflamasi atau bahkan keduanya sekaligus

meningkat hebat diluar kebutuhan penderita. Dalam keadaan ini kedua mediator

Page 14: Lapkas Bedah I - Peritonitis

14

yang bertentangan dapat menimbulkan kerusakan organ hebat sehingga terjadi

kegagalan organ. Begaimana hubungan dengan sistemik terlihat misalnya pada

peritonitis dimana dalam peritoneum ditemukan kadar tinggi mediator pro-

inflamasi, tetapi di sistemik terjadi proses anti-inflamasi hebat. Keadaan ini

dikenal dengan Compensatory Anti-Inflammatory Response Syndrome (CARS).

Tetpai seperti telah dikemukakan tidak pada semua proses penyembuhan terjadi

mekanisme CARS terkontrol. Respon anti-inflamasi dapat terus meningkat

dengan akibat kerusakan organ8.

Bahkan ditemukan pula keadaan dimana respons pertama yang timbul

bukan pro-inflamasi tetapi langusng anti-inflamasi . belum jelas mengapa tubuh

mengadakan respon bunuh diri seperti ini. yang jelas pada keadaan ini yang

ditandai hilangnya pertahanan anti bacterial, sangat mudah terjadi kerusakan

organ yang disebabkan bakteri.

3. Lokalisasi infeksi sebagai abses

Pada peningkatan permeabilitas venule terjadi eksudasi cairan kaya protein

yang mengandung fibrinogen. Sel rusak mengeluarkan tromboplastin yang

mengubah potrombin menjadi thrombin dan fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin

akan menangkap bakteri dan memprosesnya hingga terbentuk abses. Hal ini

dimaksudan untuk menghentikan penyebaran bakteri dalam peritoneum dan

mencegah masuknya ke sistemik. Dalam keadaan normal fibrin dapat

dihancurkan antifibrinolitik, tetapi pada inflamasi mekanisme ini tak berfungsi.

Pada jaringan inflamasi dapat ditemukan Plasminogen Activator Inhibitor-1 (PAI-

1). PAI-1 sel mesotel ini menentukan apakah fibrin yang terbentuk pada trauma

akan dihancurkan atau menimbulkan adhesi. Abses yang terjadi jarang dapat

hilang sendiri. Dibagian tengah abses ini terdapat banyak bakteri dan eksoenzim,

pH rendah, tak ada pembunuhan bakteri.

Penghentian Respon Inflamasi

IL-10 salah atu sitokin anti-inflamasi meningkat di limfe mesentrika. Pada

beberapa keadaan peningkatan ini sangat tinggi. Kadar serum mediator anti-

Page 15: Lapkas Bedah I - Peritonitis

15

inflamasi seperti kortisol, IL-1 ra, Sil-2R, sICAM dan IL-10 jauh lebih tinggi pada

pasien infeksi dibanding relawan sehat.

Mediator counter-inflammatory juga ditemukan pada infeksi. Hal ini

menunjukkan bahwa aktivitas biologic mediator inflamasi dihambat oleh zat anti-

inflamasi alami, dan tubuh dapat mrnurunkan kelebihan zat inflamasi untuk

mengembalikan homeostasis.

Pada resolusi, netrofil akan mengalami apoptosis dan di fagositosis

makrofag yang kemudian akan beremigrasi ke kelenjar limfe dan berfungsi unutk

presentasi antigrn ke sel B untuk membentuk antibody. Dengan demikian berbeda

dari makrofag resident, makrofag inflamasi akan bergerak keluar peritoneum

melalui limfe. Dikeumukakan bahwa timbulnya gejala peritonitis bakteri adalah

manifestasi respons mediator pro dan anti-inflamasi baik lokal dan sistemik8.

2.6. Peritonitis

2.6.1. Definisi

Peritnitis adalah peradangan atau suatu respon supuratif dari lapisan

peritoneum terhadap iritasi langsung.9

2.6.2. Etiologi

Peritonitis dapat terjadi akibat perforasi, inflamasi, infeksi, atau kerusakan

akibat iskemi sistem gastrointestinal atau genitourinari. 9

Keparahan Penyebab Mortality Rate

Mild

Appendicitis

<10%Perforated

gastroduodenal ulcers

Acute salpingitis

Moderate Diverticulitis (localized

perforations)

Non vascular small bowel

perforation

<20%

Gangrenous cholecystitis

Multiple trauma

Page 16: Lapkas Bedah I - Peritonitis

16

Severe

Large bowel perforations

20-80%

Ischemic small bowel

injuries

Acute necrotizing

pancreatitis

Postoperative

complications

2.6.3. Patofisiologi

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya

eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan

fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga

membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang,

tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan

obstuksi usus.10

3. Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran

mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan

agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator,

seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius,

sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak

organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi

cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk.

Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu

terjadi hipovolemia. 10,12

4. Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen

mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah

kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga

peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal

dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan

Page 17: Lapkas Bedah I - Peritonitis

17

hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan

yang tidak ada, serta muntah.10

5. Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut

meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh

menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.10

6. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau

bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan

peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik;

usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang

kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan

oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang

meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan

mengakibatkan obstruksi usus. 10,11

7. Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus

karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan

peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat

berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya

pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi

obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang

akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi

usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat

terjadi peritonitis.12

8. Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen

apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena

fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang

diproduksi mukosa mengalami bendungan,makin lama mukus tersebut makin

banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga

menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe

yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan

obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu

akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau

Page 18: Lapkas Bedah I - Peritonitis

18

ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya

mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general. 10,12

9. Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul

abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai

organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul

sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat

kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya

paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas,

misalnya didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah

trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah

seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala karena mikroorganisme

membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru setelah 24 jam timbul

gejala akut abdomen karena perangsangan peritonium. 10,11,13

2.6.4. Klasifikasi14

Berdasarkan infeksi peritoneal

1. Primer

Biasa disebut sebagai spontaneous bacterial peritonitis yang disebabkan

oleh penyakit hati atau ginjal yang kronis.

2. Sekunder

Berhubungan dengan proses patologi pada organ viseral seperti perforasi

atau trauma termasuk trauma iatrogenik. Dapat juga disebabka oleh infeksi

yang menyebar melalui organ pencernaan dan kemih.

3. Tersier

Infeksi yang timbul kembali atau menetap setelah pemberian terapi yang

adekuat

Berdasarkan infeksi di bagian peritoneum

1. Generelized (peritonitis)

2. Localized (intra-abdominal abscess)

Terdapat pus di abdomen.

Page 19: Lapkas Bedah I - Peritonitis

19

2.6.5. Gejala Klinis15

1. Anoreksia dan nausea

2. Nyeri pada abdomen yang memberat apabila bergerak

3. Dinding abdomen rigid atau distensi

4. Demam

5. Nyeri ketika dilakukan pemeriksaan rektal/vagina

6. Takikardi

7. Peristaltik tidak dijumpai

8. Urine output yang sedikit

2.6.6. Diagnosa

1. Anamnesis

Pada anamnesis pasien akan mengeluhkan gejala seperti :16

a. Nyeri akut abdomen, gejala ini sangat khas nyeri yang terjadi

secara tiba-tiba dan hebat. Nyeri yang dialami biasanya menyebar

ke seluruh tubuh.

b. Demam, suhu 380 C

c. Mual

d. Muntah

2. Pemeriksaan fisik

Dari pemeriksaan fisik dapat ditemukanmuscular rigidity, nyeri tekan,

nyeri lepas (blumberg sign), rofsign, bising usus yang tak terdengar. 17

3. Laboraturium

Terdapat leukositosis (> 11.000 /mm3), penurunan jumlah PMN (

polymorpho Nuclear), sebagian kasus bisa didapati anemi, hematrokit

cendrung meningkat, asidosis metabolik. Test fungsi hati dapat

diindikasikan pada pasien peritonitis. Peningkatan amilase dan lipase

dapat dijadikan sebagai indikator penyebab peritonitis karena

pancreatitis.18

4. Pencitraan18

Page 20: Lapkas Bedah I - Peritonitis

20

USG, dapat mendeteksi adanya peningkatan jumlah cairan

peritoneal. Bila jumlah cairannya <100 ml, maka cairan peritoneal

tersebut tidak dapat dideteksi.

Foto polos abdomen, dapat ditemukan adanya udara bebas (free

air) pada kasus perforasi. Pada foto thorak erect berguna untuk

mengidentifikasi adanya free air di bawah diafragma biasanya

disebelah kanan sebagai indikasi adanya perforasi viscus. Perlu

diingat adanya free air di bawah diafragma tidak mutlak

diidentifikasi sebagai perforasi viceral yang biasanya free air

dalam jumlah kecil diragukan dalam foto.

CT-scan, tidak dianjurkan untuk membantu penegakan peritonitis

karena dapat menunda untuk diadakannya operasi. Namun, untuk

kasus yang diragukan seperti halnya abses peritonitis CT-Scan

dapat dilakukan.

2.6.7. Penatalaksanaan

Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang

yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi

saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus

septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan

nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.

Penanganan Awal( Preoperasi)

Resusitasi cairan dan pencegahan disfungsi sistem organ sekunder sangat

penting dalam pengobatan pasien dengan infeksi intra-abdominal.

Mulailah pemberian antibiotik empiris spektrum luas, terapi antibiotik

sistemik segera setelah dicurigai diagnosis infeksi intra-abdominal dan

dilanjutkan pemberian antibiotic sesuai deng

hasil kultur jika telah diketahui bakteri penyebabnya

Karena pasien dengan peritonitis sering mengalami sakit perut yang parah

maka dapat diberikan analgesia yang adekuat sesegera mungkin.

Page 21: Lapkas Bedah I - Peritonitis

21

Antiemetik dapat diberikan pada pasien yang mengalami mual dan muntah

yang signifikan.19

Pembedahan

Operasi tetap menjadi dasar pengobatan peritonitis . Setiap operasi harus

membahas 2 prinsip utama pengobatan infeksi intraperitoneal : sebagai tindakan

awal kontrol sumber infeksi dan eliminasi bakteri dari rongga perut .

Indikasi operasi ditentukan oleh proses penyakit yang mendasari dan jenis

serta tingkat keparahan infeksi intra abdominal . Dalam banyak kasus , indikasi

operasi akan menjadi jelas , seperti dalam kasus peritonitis yang disebabkan oleh

kolitis iskemik , usus buntu yang pecah , atau divertikula kolon.19

Tindakan pembedahan mencakup mengangkat/ menghilangkan sumber

infeksi dan memperbaiki penyebab. Tindakan pembedahan diarahkan pada eksisi

(apendiks), reseksi dengan atau tanpa anastomosis (usus), memperbaiki

(perforasi), dan drainase (abses).

Antibiotika

Terapi antibiotik digunakan untuk mencegah penyebaran lokal dan hematogen

dari infeksi intra abdomen dan mengurangi komplikasi. Beberapa regimen

antibiotik yang berbeda yang tersedia untuk pengobatan infeksi intra abdomen.20

Page 22: Lapkas Bedah I - Peritonitis

22

a. Peritonitis Primer

Spontaneous bacterial peritonitis ( SBP ) akibat penyakit hati kronis adalah

penyebab paling umum dari peritonitis primer. Cefotaxime dianggap sebagai obat

pilihan . Sefotaksim efektif terhadap 98 % dari organisme penyebab . Cefotaxime

( 2 g IV setiap 8 jam ) telah ditunjukkan untuk mencapai tingkat cairan asites yang

sangat baik . The interval pemberian dosis mungkin perlu dikurangi pada pasien

dengan insufisiensi ginjal .Amoksisilin klavulanat telah terbukti efektif sebagai

cefotaxime.Ofloksasin oral telah dilaporkan efektif seperti halnya sefotaksim

dalam pengobatan SBP . Namun ofloxacin tidak boleh diberikan kepada pasien

yang muntah , shock , pendarahan , atau gagal ginjal .Atau dapat diberikan

siprofloksasin intravena ( 200 mg/12 jam selama 2 hari ) , diikuti oleh

ciprofloxacin oral ( 500 mg/12 jam selama 5 hari).20

b. Peritonitis Sekunder

Dalam peritonitis sekunder dan tersier , terapi antibiotik sistemik adalah

pilihan pengobatan kedua setelah operasi. Terapi antibiotik sistemik dapat

mengurangi secara signifikan konsentrasi dan tingkat pertumbuhan dari bakteri

hidup dalam cairan peritoneal .Perforasi organ saluran pencernaan bagian atas

berhubungan dengan bakteri gram positif , sedangkan perforasi distal usus kecil

dan usus besar melibatkan spesies aerobik dan anaerobik polymicrobial.20

c. Peritonitis Tersier

Terapi antibiotik tampaknya kurang efektif dalam peritonitis tersier.

Organisme yang resisten dan tidak biasa ( misalnya , Enterococcus , Candida ,

Staphylococcus , Enterobacter , Pseudomonas spesies ) sering dijumpai dalam

berbagai kasus . Hasil kultur bakteri sangat penting dalam peritonitis tersier.

Durasi optimal dari terapi antibiotik bersifat individual dan tergantung

pada beratnya infeksi , kecepatan dan efektivitas mengatasi sumber infeksi dan

respon pasien terhadap terapi. Pada kasus peritonitis tanpa komplikasi yang

dideteksi lebih awal, biasanyaantibiotik cukup diberi 5-7 hari . Pemberian

Page 23: Lapkas Bedah I - Peritonitis

23

antimikroba harus terus diberikan sampai tanda-tanda infeksi ( misalnya , demam

dan leukositosis ) telah diatasi.20

BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1. Rekam Medis Pasien

Identitas Pasien

Nama Pasien : Mr.Z

Umur : 42 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Jl. Tengku Hasyim LK Bandar

Status : Menikah

Pekerjaan : Pedagang

Tanggal Masuk : 17 April 2014

Anamnesis

Keluhan utama : Nyeri pada Seluruh Lapangan Perut

Telaah :

Hal ini dialami pasien sejak ± 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Awalnya

nyeri dirasakan di perut kanan bawah sejak 8 hari sebelum masuk rumah sakit

Page 24: Lapkas Bedah I - Peritonitis

24

yang kemudian menyebar ke seluruh lapangan perut. Mual (+) dialami pasien

3 hari SMRS, muntah (-).Riwayat demam (+) dialami pasien 3 hari sebelum

masuk rumah sakit dan demam bersifat terus menerus. BAB (+) dalam batas

normal, BAK (+) dalam batas normal.

RPT : Tidak dijumpai

RPO : Tidak jelas

Status presens

Sensorium : Compos mentis Keadaan Umum : Baik

Tekanan darah: 120/80 mmHg Keadaan Gizi : Baik

Nadi : 92 x/i

Pernafasan : 20 x/i

Suhu : 37.8 M C

Pemeriksaan Fisik

Kepala : - Mata : Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)

- Pupil : Isokor, diameter 3 mm, RC (+/+)

- T/H/M : Tidak dijumpai kelainan.

Leher : - Pembesaran KGB (-)

- Trakea Medial

Toraks : - Inspeksi : Simetris fusiformis

- Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri, kesan : normal

- Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru

- Auskultasi : + Paru : SP vesikuler, ST tidak dijumpai

+ Jantung : S1 (N), S2 (N), murmur (-)

Abdomen : - Inspeksi : Simetris, distensi (-)

- Palpasi : Soepel, nyeri tekan (+), defens muskular (+)

- Perkusi : Timpani

- Auskultasi : peristaltik (+) melemah

Ekstrimitas : - Superior : Pols 92x/i,reg, T/V Kuat/cukup, akral hangat,

CRT <3’’, TD: 120/80 mmHg, Fraktur (-), Edema

(-)

Page 25: Lapkas Bedah I - Peritonitis

25

- Inferior : Fraktur (-), Edema (-)

DRE : - Perineum : dalam batas normal

- Spinkter : longgar

- Mukosa : licin

- Nyeri tekan : dirasakan di seluruh putaran arah jarum jam

- Ampula rekti : tidak berisi feses

- Handschoon : tidak terdapat sisa feses, darah, maupun lendir

Page 26: Lapkas Bedah I - Peritonitis

26

Pemeriksaan Penunjang

Hasil Pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik (17 april 2014)

Jenis Pemeriksaan Satuan Hasil Rujukan

Hematologi

Hemoglobin (HGB) g% 15 13.2-17.3

Eritrosit (RBC) 106/ mm3 4.92 4.20-4.87

Leukosit (WBC) 103/ mm3 15.2 4.5- 11.0

Hematokrit % 42.80 43-49

Trombosit (PLT) 103/ mm3 216 150- 450

MCV Fl 87.00 85-95

MCH Pg 30.50 28-32

MCHC g% 35.00 33-35

RDW % 13.00 11.6-14.8

PCT % 8.80 -

Hitung Jenis

Neutrofil % 85.90 37 – 80

Limfosit % 8.00 20 – 40

Monosit % 5.80 2 – 8

Eosinofil % 0.20 1 – 6

Basofil % 0.100 0 – 1

Neutrofil Absolut 103/µL 7.69 2.7 – 6.5

Limfosit Absolut 103/µL 0.72 1.5 – 3.7

Monosit Absolut 103/µL 0.52 0.2 – 0.4

Eosinofil Absolut 103/µL 0,02 0 - 0.10

Basofil Absolut 103/µL 0,01 0 - 0.1

Page 27: Lapkas Bedah I - Peritonitis

27

Hasil Pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik (17 April 2014)

Jenis Pemeriksaan Satuan Hasil Rujukan

Faal Hemostasis

Waktu Perdarahan Menit 3’ < 5PT + INRWaktu Protrombin Kontrol PasienINR

DetikDetik

13.0017,51,39

aPTT Kontrol Pasien

DetikDetik

29.937.7

Waktu Trombin Kontrol Pasien

DetikDetik

16.714.6

Hati

Amilase U/L 53 28 - 100

Lipase U/L 10 13 - 60

Metabolisme Karbohidrat

Glukosa darah (sewaktu) mg/dl 116.00 < 200

Ginjal

Ureum mg/dl 37.90 < 50

Kreatinin mg/dl 1.15 0,70 – 1.20

Elektrolit

Natrium (Na) mEq/L 138 135 - 155

Kalium (K) mEq/L 4.1 3,6 – 5,5

Klorida (Cl) mEq/L 105 96 - 106

Page 28: Lapkas Bedah I - Peritonitis

28

Foto Thoraks AP 17 April 2014

Page 29: Lapkas Bedah I - Peritonitis

29

EKG 17 April 2014

Page 30: Lapkas Bedah I - Peritonitis

30

Diagnosis:

- Difus peritonitis d/t Perforasi Apendiks

Penatalaksanaan:

- Puasa

- Pasang NGT

- Pasang Kateter

- IVFD RL 20 gtt/i

- Inj. Ceftriaxon 1gr/8jam

- Inj. Ranitidine 50mg/12jam

- Inj. Ketorolac 30mg/8jam

Rencana:

- Ekplorasi Laparotomi

- Appendikstomi

3.2. Follow up Pasien

Tanggal 19- 20 April 2014

S : Nyeri seluruh lapangan perut berkurang

O : Abd: soepel, peristaltic (+) lemah, terpasang drain

A : post eksplorasi Laparotomi d/t perforasi apendiks (H +1)

P : - Diet M2

- IVFD RL 20 gtt/i

- metronidazole 500 mg/8 jam

- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam

- Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam

- Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam

Page 31: Lapkas Bedah I - Peritonitis

31

Tgl 21-22 April 2014

S : Nyeri perut (+)

O : Abd. Soepel, peristaltic (+), terpasang drain

A : post eksplorasi Laparotomi d/t perforasi appendiks (H+3)

P : - Diet M2

- IVFD RL 20 gtt/i

- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam

- metronidazole 500 mg/8jam

- Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam

- Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam

Tgl 23 April 2014

S : demam (+)

O : Abd. Soepel, peristaltic (+), T : 38O C

A : post eksplorasi Laparotomi d/t perforasi appendiks (H+5)

P : - Diet MB

- IVFD RL 20 gtt/i

- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam

- metronidazole 500mg/8jam

- Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam

- Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam

- cek DL, Albumin, KGD

Page 32: Lapkas Bedah I - Peritonitis

32

Hasil Pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik (23 april 2014)

Jenis Pemeriksaan Satuan Hasil Rujukan

Hematologi

Hemoglobin (HGB) g% 13.10 13.2-17.3

Eritrosit (RBC) 106/ mm3 4.39 4.20-4.87

Leukosit (WBC) 103/ mm3 20.11 4.5- 11.0

Hematokrit % 37.20 43-49

Trombosit (PLT) 103/ mm3 414 150- 450

MCV fL 84.70 85-95

MCH Pg 29.80 28-32

MCHC g% 35.20 33-35

RDW % 14.10 11.6-14.8

PCT % 0.39 -

Hitung Jenis

Neutrofil % 84.10 37 – 80

Limfosit % 10.20 20 – 40

Monosit % 4.70 2 – 8

Eosinofil % 0.90 1 – 6

Basofil % 0.100 0 – 1

Neutrofil Absolut 103/µL 16.90 2.7 – 6.5

Limfosit Absolut 103/µL 2.05 1.5 – 3.7

Monosit Absolut 103/µL 0.95 0.2 – 0.4

Eosinofil Absolut 103/µL 0,18 0 - 0.10

Basofil Absolut 103/µL 0,03 0 - 0.1

Hati

Page 33: Lapkas Bedah I - Peritonitis

33

Albumin g/dL 3.3 3.5 – 5.0

Metabolisme Karbohidrat

Glukosa darah (sewaktu) mg/dl 141.90 < 200

Ginjal

Ureum mg/dl 20.90 < 50

Kreatinin mg/dl 0.74 0,70 – 1.20

Elektrolit

Natrium (Na) mEq/L 135 135 - 155

Kalsium (Ca) Mg/dL 7.8 8.8 – 10.2

Kalium (K) mEq/L 3.6 3,6 – 5,5

Klorida (Cl) mEq/L 101 96 - 106

Tgl 24-25 April 2014

S : nyeri (-), demam(-)

O : Abd. Soepel, peristaltic (+)

A : post eksplorasi Laparotomi d/t perforasi apendiks (H+6)

P : - IVFD RL 20 gtt/i

- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam

- Metronidazole 500mg/8jam

- Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam

- Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam

Page 34: Lapkas Bedah I - Peritonitis

34

Tgl 26-27 April 2014

S : demam (-)

O : Abd.peristaltik (+), distensi (-)

A : post eksplorasi laparotomi

P : - IVFD RL 20 gtt/i

- Inj. Meropenem 1 gr/12 jam

- metronidazole 500 mg/8jam

- Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam

- Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam

- rawat luka terbuka

Tgl 28 April 2014

S : demam (+)

O : Abd. Peristaltic (+), distensi (-)

A : post operasi eksplorasi Laparotomi (H+10)

P : - IVFD RL 20 gtt/i

- Meropenem 1 gr/12 jam

- Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam

- Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam

- cek DL, Elektrolit, KGD, Albumin

Page 35: Lapkas Bedah I - Peritonitis

35

Pemeriksaan Penunjang

Hasil Pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik (28 april 2014)

Jenis Pemeriksaan Satuan Hasil Rujukan

Hematologi

Hemoglobin (HGB) g% 11.9 13.2-17.3

Eritrosit (RBC) 106/ mm3 4.00 4.20-4.87

Leukosit (WBC) 103/ mm3 8.51 4.5- 11.0

Hematokrit % 35.30 43-49

Trombosit (PLT) 103/ mm3 741 150- 450

MCV fL 88.30 85-95

MCH Pg 29.80 28-32

MCHC g% 33.70 33-35

RDW % 14.50 11.6-14.8

PCT % 0.62 -

Hitung Jenis

Neutrofil % 67.90 37 – 80

Limfosit % 18.70 20 – 40

Monosit % 8.30 2 – 8

Eosinofil % 4.90 1 – 6

Basofil % 0.200 0 – 1

Neutrofil Absolut 103/µL 5.77 2.7 – 6.5

Limfosit Absolut 103/µL 1.59 1.5 – 3.7

Monosit Absolut 103/µL 0.71 0.2 – 0.4

Eosinofil Absolut 103/µL 0,42 0 - 0.10

Basofil Absolut 103/µL 0,02 0 - 0.1

Hati

Page 36: Lapkas Bedah I - Peritonitis

36

Albumin g/dL 3.2 3.5 – 5.0

Metabolisme Karbohidrat

Glukosa darah (sewaktu) mg/dl 97.70 < 200

Ginjal

Ureum mg/dl 17.30 < 50

Kreatinin mg/dl 0.71 0,70 – 1.20

Elektrolit

Natrium (Na) mEq/L 136 135 – 155

Kalsium (Ca) Mg/dL 8.6 8.8 – 10.2

Kalium (K) mEq/L 4.5 3,6 – 5,5

Klorida (Cl) mEq/L 102 96 - 106

Tgl 29 April 2014

S : demam (+) menurun

O : Abd. Peristaltic (+), distensi (-)

A : post operasi eksplorasi laparotomi (H+11)

P : - IVFD RL 20 gtt/i

- Meropenem 1 gr/12 jam

- Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam

- Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam

Page 37: Lapkas Bedah I - Peritonitis

37

Tgl 30 April 2014

S : demam (-)

O : Abd. Peristaltic (+), distensi (-)

A : post operasi eksplorasi laparotomi (H+12)

P : - IVFD RL 20 gtt/i

- Meropenem 1 gr/12 jam

- Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam

- Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam

- Rawat luka terbuka

Tgl 1-4 Mei 2014

S : demam (-)

O : Abd. Peristaltic (+), distensi (-)

A : post operasi eksplorasi laparotomi(H+13)

P : - Meropenem 1 gr/12 jam

- Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam

BAB 4

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Peritonitis didefinisikan sebagai inflamasi dari membrane serosa yang

terletak sejajar dengan rongga abdomen dan organ-organ yang ada didalamnya.

Peritoneum, yang mana merupakan lingkungan steril, bereaksi dengan berbagai

Page 38: Lapkas Bedah I - Peritonitis

38

stimulus patologis yang berkaitan dengan respom inflamasi. Proses inflamasi yang

terjadi dapat dibedakan menjadi localized & diffuse in nature..

Infeksi peritoneal diklasifikasikan menjadi primer, sekunder atau tersier.

Peritonitis paling sering disebabkan adanya infeksi yang terjadi pada lingkungan

steril di peritoneum melaluli perforasi organ, ataupun dapat juga berasal dari

irritant, seperti benda asing, getah empedu dari perforasi kantung empedu, atau

asam lambung dari perforasi lambung dan sebagainya.

Diagnosis dari peritonitis ditegakkan berdasarkan gejala klinis. kumbah

peritoneal dapat membantu menegakkan diagnose bila dari gejala klinis pada

pemeriksaan fisik tidak dapat langsung ditegakkan.

Penatalaksanaan dari peritonitis dan abses peritoneal menargetkan untuk

mengobati penyebab dasar, pemberian antibiotik sistemik dan terapi suportif

untuk mencegah atau membatasi komplikasi akibat adanya kegagalan sistem

organ.

Kontrol awal dari sumber sepsis dapat dicapai dengan cara operatif

maupun nonoperatif. Intervensi non-operatif termasuk drainase abses secara

perkutaneus. Manajemen operasi ditujukan untuk kebutuhan dalam mengatasi

sumber infeksi dan menmbersihkan toksin serta bakteri. Jenis operasi yang

dilakukan tergantung darimana sumber proses yang mendasari dan keparahan dari

infeksi intraabdominal tersebut.

4.2. Saran

Seorang klinisi harus mengetahui pola manajemen yang benar dalam

menghadapi pasien yang datang dengan kejadian peritonitis. Hal ini penting untuk

dapat mengenali tanda – tanda kegawatdaruratan pada pasien dengan peritonitis

sehingga penanganan dan penatalaksanaan yang akan dilakukan tidak terlambat.

Sebelumnya resusitasi awal dan perbaikan status hemodinamik harus terlebih

Page 39: Lapkas Bedah I - Peritonitis

39

dahulu dilakukan sebelum menentukan pola penanganan yang sesuai dengan

kasus.

DAFTAR PUSTAKA

1. Oetomo, K.S., 2013 Makalah Peritonitis. Ilmu Bedah RSU Haji Surabaya.

Available from: http://www.scribd.com/doc/157587424/Makalah-

Peritonitis-2013-Dr-dr-Koernia-Swa-Oetomo-SpB-Peritonitis

Page 40: Lapkas Bedah I - Peritonitis

40

2. Tarigan, MH., 2012. Peritonitis. Available from:

repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/34725/4/Chapter%20II.pdf.

3. Amri, AK.,2008. Peritonitis. FK Universitas Malahayati SMF Bedah

RSUD Tasikmalaya.

4. Snell RS. Abdomen : bagian II cavitas abdominalis. Anatomi Klinik.

Jakarta : EGC, 2006. p.210-218.

5. Williams, Norman S. 2008. Peritpneal Cavity in Bailey & Love’s Short

Practice of Surgery 25th edition. Edward Arnold Ltd.

6. Marshall JC, Innes M. Intensive Care Management of Intra Abdominal

Infection. Ciritical Care Medicine 2003; 31(8) : 2228-37

7. Hall JC, Heel KA, Papadmitriou JM, Platell C. The Pathobiology of

Peritonitis. Gastroenterology 1998 Jan;114(1): 185-96

8. Heemken R, Gandawidjaja L, Hau T. peritonitis: patophysiology and local

defense mechanism. Hepatogastroenterology 1997 Jul-Aug;44(6):927-36

9. Doherty, Gerard M. 2010. Peritoneal Cavity In : Current Diagnosis &

Treatment: Surgery, Thirteenth Edition. The McGraw-Hill Companies,

Inc.

10. Schwartz, Shires, Spencer. Peritonitis dan Abses Intraabdomen dalam

Intisari Prinsip – Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta : EGC. 2000. Hal

489 – 493 jnj

11. Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalam

Kapita Selekta Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius

FKUI, Jakarta.

12. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, Gawat Abdomen, dalam Buku ajar Ilmu

Bedah; 221-239, EGC, Jakarta. 1997

13. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I. Abdomen Akut,

dalamRadiologiDiagnostik, Hal 256-257, Gaya Baru, Jakarta. 1999

14. Daley,B.J., 2013. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Available at

http://emedicine.medscape.com/article/180234-overview

Page 41: Lapkas Bedah I - Peritonitis

41

15. Williams,N.S, Bulstrode, C.J.K & O’Connell,P.R. 2008. Bailey & Love’s

Short Practice of Surgery 25th edition.The peritoneum, omentum,

mesentery and retroperitoneal space.India : Phoenix Photosetting, h993

16. Johnson, Caroline C, Baldessarre, James, Levison, Matthew E. 1997.

Update on Pathophysiology, Clinical Manifestatio, and Management. In :

Peritonitis. Allegheny University-MCP

17. Wehyn YHLN Chirrosis Guidance, 2010. Diagnosis and management of

Spontaneous Bacterial Peritonitis.

18. Daley, James Brian, MD, MBA, FACS, FCCP, CNSC. 2010. Peritonitis

and Abdominal Sepsis. Medscape.

19. Ruben Peralta, MD, FACS, Surgical Approach to Peritonitis and

Abdominal Sepsis Surgical Overview. 2013.

http://emedicine.medscape.com/article/1926162-overview#aw2aab6b3

20. Kenneth L Reed. Antibiotic Therapy for Peritonitis Treatment Overview.

2013. http://emedicine.medscape.com/article/1926162-overview#a30