pengaruh pematahan dormansi terhadap … · pemeliharaan, pengamatan dan analisis data. rancangan...

83
PENGARUH PEMATAHAN DORMANSI TERHADAP KEMAMPUAN PERKECAMBAHAN BENIH ANGSANA (Pterocarpus indicus Will) DELFY LENSARI DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Upload: hatuyen

Post on 10-Mar-2019

258 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

PENGARUH PEMATAHAN DORMANSI TERHADAP

KEMAMPUAN PERKECAMBAHAN BENIH ANGSANA

(Pterocarpus indicus Will)

DELFY LENSARI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

PENGARUH PEMATAHAN DORMANSI TERHADAP

KEMAMPUAN PERKECAMBAHAN BENIH ANGSANA

(Pterocarpus indicus Will)

DELFY LENSARI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

Delfy Lensari (E14204024) Pengaruh Perlakuan Pematahan Dormansi terhadap Kemampuan Perkecambahan Benih Angsana (Pterocarpus indicus Will). Dibawah bimbingan Dr. Ir. Supriyanto.

RINGKASAN

Permasalahan pokok yang dihadapi dalam pembiakan Angsana adalah daya

berkecambah benih yang rendah. Hal ini disebabkan oleh benih Angsana memiliki sifat

dormansi kulit benih yang keras. Untuk mengatasi permasalahan ini diperlukan perlakuan

pematahan dormansi untuk menghilangkan faktor penghambat perkecambahan dan

mengaktifkan kembali sel-sel benih yang dorman. Bahan yang digunakan dalam

pematahan dormansi ini diantaranya H2SO4 1%, KNO3 1%, dan air hasil fermentasi

rebung bambu Apus (Gigantochloa apus Kurz). Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap kemampuan

perkecambahan benih Angsana (Pterocarpus indicus Will).

Penelitian ini dilakukan di rumah kaca Laboratorium Silvikultur, Fakultas

Kehutanan Institut Pertanian Bogor, mulai tanggal 30 Juni sampai 28 Agustus 2008.

Bahan dan alat yang digunakan terdiri dari benih Angsana, air panas, H2SO4 1%, KNO3

1%, air hasil fermentasi rebung bambu Apus, arang sekam padi, tanah, bak tabur, tabung

perendaman, alat penyiram (gembor/embrat), oven, timbangan analitik, alat tulis, alat

ukur tinggi, kaliper dan kamera.

Rangkaian metode penelitian terdiri dari beberapa tahap yaitu seleksi dan ekstraksi

benih, pengukuran kadar air, perlakuan pematahan dormansi, perkecambahan,

pemeliharaan, pengamatan dan analisis data. Rancangan percobaan yang digunakan

adalah Rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari 6 perlakuan perendaman B0

(perendaman dengan air panas 30 menit kemudian air dingin selama 12 jam), B1

(perendaman dengan air hasil fermentasi rebung bambu Apus selama 12 jam), B2

(perendaman dengan H2SO4 1% selama 10 menit), B3 (perendaman dengan H2SO4 1%

selama 15 menit), B4 (perendaman dengan KNO3 1% selama 12 jam) dan B5

(perendaman dengan KNO3 1% selama 24 jam) . Setiap perendaman terdiri dari 3 ulangan

dan setiap ulangan terdiri dari 100 benih Angsana.

Benih Angsana memiliki kadar air 11,03% sehingga termasuk ke dalam benih

ortodoks. Tipe perkecambahan benih Angsana merupakan perkecambahan tipe epigeal.

Parameter penelitian terdiri dari daya berkecambah benih, nilai perkecambahan,

kecepatan tumbuh, laju perkecambahan, batas 80% berkecambah, tinggi dan diameter

rata-rata bibit sapihan Angsana.

Daya berkecambah tertinggi yaitu pada perlakuan B2 dan B5 (100%), sedangkan

daya berkecambah terendah pada perlakuan B0 (20,33%). Hal ini berarti perlakuan B2

dan B5 mampu mengatasi faktor yang mempengaruhi perkecambahan sehingga benih

Angsana tumbuh dan berkembang menjadi kecambah normal.

Nilai perkecambahan merupakan indeks yang menyatakan kecepatan berkecambah

benih. Semakin tinggi nilai perkecambahan menunjukkan semakin sempurna proses

perkecambahan benih. Nilai perkecambahan tertinggi yaitu pada B2 dan B5 (1,13

(%/hari)2 dan 1,05 (%/hari)2), sedangkan nilai perkecambahan terkecil pada perlakuan

B0 (0,40 (%/hari)2). Hal ini berarti benih Angsana pada perlakuan B2 dan B5 mampu

berkecambah normal yang dapat tumbuh menjadi tanaman normal di lapangan.

Kecepatan tumbuh merupakan cerminan jumlah benih normal yang tumbuh

setiap hari. Kecepatan tumbuh tertinggi pada perlakuan B2 dan B5 (1,41%/hari),

sedangkan kecepatan tumbuh terkecil pada perlakuan B0 (0,77%/hari). Hal ini berarti

perlakuan B2 dan B5 berpengaruh nyata terhadap virgor benih Angsana.

Laju perkecambahan dapat diukur dengan menghitung jumlah hari yang

diperlukan untuk munculnya radikula dan plamula. Laju perkecambahan paling cepat

yaitu pada perlakuan B4 (18,47 hari), sedangkan respon laju perkecambahan paling lama

diperoleh pada perlakuan B3 (26,56 hari). Hal ini berarti benih Angsana pada perlakuan

B3 memiliki virgor yang rendah.

Batas 80% berkecambah menunjukkan bahwa pematahan dormansi benih Angsana

dengan perlakuan B2 dan B5 mencapai batas 80% berkecambah yang paling cepat (25

hari), sedangkan batas 80% berkecambah yang paling lama yaitu pada perlakuan B3 (36

hari). Hal ini berarti perlakuan B2 dan B5 memiliki daya tumbuh atau virgor benih yang

baik.

Tinggi rata-rata bibit sapihan paling kecil pada perlakuan B0 (1,33 cm), sedangkan

respon tinggi rata-rata bibit sapihan terbesar pada perlakuan B2 dan B5 (1,53 cm).

Respon diameter rata-rata bibit sapihan paling kecil pada perlakuan B1 (0,48 mm),

sedangkan respon diameter bibit sapihan terbesar pada perlakuan B5 (1,10 mm). Hal ini

berarti perlakuan B2 dan B5 mempengaruhi pertumbuhan awal bibit Angsana.

Perlakuan pematahan dormansi dengan perendaman H2SO4 1% selama 10 menit

dan KNO3 1% selama 24 jam mampu mengatasi permasalahan perkecambahan benih

Angsana yang memiliki dormansi embrio dan kulit dengan menghasilkan daya berkecambah

masing-masing sebesar 100%.

EFFECT OF BREAKING DORMANCY TO GERMINATION CAPACITY OF

ANGSANA SEEDS (Pterocarpus indicus Will).

By Delfy Lensari and Supriyanto

INTRODUCTION. So far, Seedling production of Angsana (Pterocarpus indicus Will) is done by stem cutting. Seedling propagation by seeds is not done widely, as well as its silvicultural system is still not known yet. Seed germination percentage is affected strongly by seed quality (physic, genetic and physiology). The main problem of seed germination of Angsana seeds is seed coat dormancy; therefore it is important to study the breaking dormancy techniques of Angsana seeds. The aim of this research was to study the effects of breaking dormancy treatment to the germination capacity of Angsana seeds. MATERIAL AND METHOD. This research was done from 30 June to 28 Agust 2008 at Green House, the Laboratory of Silviculture, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University. The material and equipment used in this experiment consisted of Angsana seeds, hot water, H2SO4, KNO3, water from fermented bamboo shoots (Gigantochloa apus Kurz), rice hull charcoal, subsoil, germination boxes, soaking bath, watering equipment, analytical balance, stationary, ruler, calliper, and digital camera. The research procedures consisted of several steps; those were seed extraction and selection, seed water content measurement, breaking dormancy treatments, germination, maintenance, observation, and data collection and analysis. The experimental design in this research was completely randomised design which consisted of 6 soaking treatments, those were soaking in hot water for 30 minutes followed by soaking in cold water for 12 hours (B0), soaking in the fermented bamboo shoot liquid for 12 hours (B1), soaking in H2SO4 1% for 10 minutes (B2), soaking in H2SO4 1 % for 15 minutes (B3), soaking in KNO3 1 % for 12 hours (B4) and soaking in KNO3 for 24 hours (B5). Each experiment unit was replicated in three replicates. The observed parameters consisted of germination capacity, germination value, speed of germination, germination rate, germination time at 80%, high and diameter of transplanted seedlings. The collected data was analysed using F test followed by Duncan Multiple Range Test (DMRT). RESULTS AND CONCLUSSION. Angsana seeds had embryonic and seed coat dormancies. Based the results of F test and Duncan test showed that soaking in H2SO4 1% for 10 minutes and in KNO3 1 % for 24 hours could break those dormancies. It was indicated by it high germination percentage (100 %), and other values such as germination value (1,13% to 1.05% normal germinants/day2), germination speed (1, 41 %/day), germination rate (19,32 18,59 day), germination time at 80% (25 day), seedlings height (1,53 cm) , and diameter growth (1,06 mm to 1,1 mm) respectively. Key word: Angsana, Pterocarpus indicus Will, Dormancy.

Judul Skripsi : Pengaruh Perlakuan Pematahan Dormansi terhadap

Kemampuan Perkecambahan Benih Angsana (Pterocarpus

indicus Will)

Nama Mahasiswa : Delfy Lensari

NRP : E14204024

Menyetujui :

Dosen Pembimbing

Dr.Ir. Supriyanto NIP. 132 008 552

Mengetahui

Dekan Fakultas Kehutanan

Dr. Ir. Hendrayanto, MAgr NIP. 131 578 788

Tanggal lulus:

KATA PENGANTAR Assalamulaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

Alhamdulillah, segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT atas segala

limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW

berserta para sahabat dan keluarganya serta para pengikutnya.

Penulis menulis skripsi berjudul Pengaruh Perlakuan Pematahan

Dormansi terhadap Kemampuan Perkecambahan Benih Angsana

(Pterocarpus indicus Will) sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar

Sarjana Kehutanan dibawah bimbingan Dr.Ir. Supriyanto. Semoga skripsi ini

dapat bermanfaat untuk perkembangan Silvikultur di Indonesia. Amin.

Wassalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

Bogor, Januari 2009

Penulis

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Liwa, Lampung Barat pada tanggal 18 Mei 1985, anak

kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Sudarman dan Ibu Rosada

Mursalin.

Penulis memulai pendidikan di Sekolah Dasar Negeri I Sukau pada tahun

1992/1997 dan dilanjutkan ke Sekolah Dasar Sebarus pada tahun 1997/1998 dan

lulus pada tahun 1998/1999. Pada tahun 1998/1999 penulis masuk ke MTsN I

Liwa dan lulus pada tahun 2001/2002. Selanjutnya penulis melanjutkan ke SMUN

I Liwa pada tahun 2001/2002 dan berhasil lulus pada tahun 2004/2005. Penulis

diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004/2005 lewat jalur USMI di

Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Instititut Pertanian Bogor.

Selama masa perkuliahan, penulis pernah mengikuti praktek Pengenalan dan

Pengelolaan Hutan (P3H), dan Pengenalan Hutan pada jalur Cilacap-Baturaden,

Jawa Tengah dan Pengelolaan Hutan di Getas, Jawa Timur pada tahun 2007,

penulis juga pernah melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Tahura Wan

Abdul Rachman, Lampung Selatan pada tahun 2008, penulis pernah menjadi

Asisten praktikum mata kuliah Silvikultur pada tahun 2008, penulis juga aktif

dalam kegiatan kemahasiswaan seperti DKM (Dewan Keluarga Musholla)

Ibadurraahmaan, dan ikut berperan aktif dalam beberapa kepanitiaan yang ada di

Departemen maupun Fakultas.

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis menyelesaikan skripsi

dengan judul Pengaruh Perlakuan Pematahan Dormansi terhadap

Kemampuan Perkecambahan Benih Angsana (Pterocarpus indicus Will) di

Laboratorium Silvikultur, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor di bawah

bimbingan Dr.Ir. Supriyanto.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penelitian dan penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai

pihak. Penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr selaku Dekan Fakultas Kehutanan IPB.

2. Bapak Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc Selaku Kepala Departemen

Fakultas Kehutanan IPB.

3. Bapak Dr. Ir. Supriyanto. Terimakasih atas bimbingan, bantuannya

sehingga skripsi ini selesai. Semoga Allah SWT mencatatnya sebagai amal

jahiriyah yang pahalanya akan terus mengalir. Amin

4. Ibu Arinana, S. Hut, M. Si dan Bapak Ir. Rachmad Hermawan, M. Sc

selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan dan Departemen

Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.

5. Pegawai Laboratorium Silvikultur khususnya Ibu Dr. Ir Arum Wulandari,

M. Si, Bapak Atang, dan Kang Dedi. Terimakasih atas bantuannya selama

penelitian. Semoga Allah SWT membalas dengan sesuatu yang lebih baik.

Amin

6. KPAP silvikultur atas bantuan dan kesabarannya.

7. Spesial kepersembahkan skripsi ini untuk Bapak, Ibu , Wo Eky, Dek

Anggi, Udo Topik, ponakanku Royyan, dan keluarga semuanya di Liwa

dan Banyumas. Semoga bisa menambah kebahagiaan dan kebanggaan,

walaupun belum seberapa dibanding apa yang telah berikan. Mohon doa

agar selalu diberi keistiqomahan, untuk selalu bisa memberikan arti bagi

kehidupan seperti yang diharapkan. Terus tumbuh walau di tengah

keterbatasan. Semoga dengan karya ini, bisa kupersembahkan surga untuk

semuanya. Amin

8. Mardiyahers (Mba Ajeng, Mba Nini, Mba Puji, Ai, Albi, Hajra, Yayat,

dek Afi) dan Mba Asti terimakasih atas semuanya. Semoga Allah SWT

akan mengganti kebaikan yang telah diberikan dengan sesuatu yang lebih

baik. Dunia menjadi cerah indah karena teman-teman semuanya.

9. Teman-teman sebimbingan Haris Rifai, Kaka Enindita Prakasa, Mba

Mutia, Kak Dea dan dek Fidri. Kesabaran adalah suatu nikmat Allah SWT

yang terindah jika diiringi dengan keikhlasan.

10. Saudara-saudaraku seperjuangan Tuti, Albi, Ai, Selvi, Yolanda, Nailul,

Rendra, Rio, Oki, Okta, Fahmi, Fitroh, Fatah, Ari, Topan, Khalifah, dan

semuanya. Terimakasih atas ukhuwah selama ini. Semoga Allah SWT

mempertemukan kita di surga FirdausNya. Amin

11. BDHers angkatan 41 khususnya Tri Bekti Winarni, Ai Rosah Aisah, Nur

Qalbi, Sri Hastuti Anggarawati, Prabu Setiawan, Jesica Meliala, Diana

Septiningrum, Dani Rochimi, Tohirin, Mustian, Agus Gumiwa, Yandri

Petra, Alfia Rahma, Anna Husnaini. Terimakasih atas bantuan dan

kemudahannya. Semoga dibalas Allah SWT dengan sesuatu yang lebih

baik. Amin

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, Januari 2009

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ............................................................................................................. i

RINGKASAN .................................................................................................. ii

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ iii

KATA PENGANTAR...................................................................................... iv

RIWAYAT HIDUP .......................................................................................... v

UCAPAN TERIMAKASIH ............................................................................ vi

DAFTAR ISI..................................................................................................... viii

DAFTAR TABEL ........................................................................................... x

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xi

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1 1.2 Tujuan ................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Angsana (Pterocarpus indicus Will) ............. 3 2.1.1 Taksonomi Angsana ......................................................... 3

2.1.2 Sifat botanis ...................................................................... 3 2.1.3 Sifat benih ........................................................................ 5 2.1.4 Penyebaran dan habitat ..................................................... 5 2.1.5 Kegunaan ......................................................................... 5

2.2 Kadar Air Benih ....................................................................... 6 2.3 Viabilitas Benih ......................................................................... 8

2.4 Dormansi Benih ......................................................................... 10 2.5 Perlakuan Pendahuluan Benih ................................................... 12 2.5.1 Pengeringan benih ............................................................ 13 2.5.2 Perendaman benih ............................................................ 14 2.5.3 Perkecambahan benih ....................................................... 17

BAB III METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................ 19 3.2 Bahan dan Alat ....................................................................... 19 3.3 Prosedur Penelitian.................................................................. 19 3.4 Rancangan Percobaan ............................................................ 24 3.5 Analisis Data ........................................................................... 25

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil .......................................................................................... 26 4.1.1 Kadar air benih Angsana (Pterocarpus indicus Will)........ 26

4.1.2 Proses perkecambahan benih Angsana ......................... ..... 27 4.1.3 Daya kecambah benih Angsana .................................... ..... 29 4.1.4 Nilai kecambah benih Angsana..................................... ..... 32

4.1.5 Kecepatan tumbuh benih Angsana................................ ..... 34 4.1.6 Laju perkecambahan benih Angsana ............................ ..... 36 4.1.7 Batas 80% berkecambah benih Angsana ..................... ..... 37

4.1.8 Tinggi dan diameter bibit sapihan Angsana ................. ..... 39 4.2 Pembahasan ............................................................................... 44

4.2.1 Kadar air benih Angsana ..................................................... 44 4.2.2 Proses perkecambahan benih Angsana ............................... 45 4.2.3 Perlakuan pematahan dormansi ........................................... 47

4.2.3.1 Perendaman dengan hasil air ferrmentasi rebung bambu Apus .......................................... .... 50

4.2.3.2 Perendaman dengan asam sulfat (H2SO4) ......... .... 53 4.2.3.3 Perendaman dengan potassium nitrat (KNO3) .. .... 59 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................. ...... 63

5.1 Kesimpulan ........................................................................... .... 63 5.2 Saran ..................................................................................... .... 63

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... ...... 64

LAMPIRAN .............................................................................................. ....... 66

DAFTAR TABEL

No Halaman 1. Persentase kadar air benih Angsana ......................................................... 27 2. Hasil sidik ragam pengaruh pematahan dormansi terhadap daya berkecambah benih Angsana .......................................................... 31

3. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh perendaman terhadap daya berkecambah benih Angsana ............................................................ 31

4. Hasil sidik ragam pengaruh pematahan dormansi terhadap nilai perkecambahan benih Angsana ........................................................ 33

5. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pematahan dormansi terhadap nilai perkecambahan benih Angsana......................................................... 33

6. Hasil sidik ragam pengaruh pematahan dormansi terhadap kecepatan tumbuh benih Angsana ............................................................ 35

7. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pematahan dormansi terhadap kecepatan tumbuh benih Angsana............................................................. 35

8. Hasil sidik ragam pengaruh pematahan dormansi terhadap laju perkecambahan benih Angsana.......................................................... 37

9. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pematahan dormansi terhadap laju perkecambahan benih Angsana......................................................... 37

10. Pengaruh pematahan dormansi terhadap batas 80% berkecambah benih Angsana ........................................................................................ 38 11. Hasil sidik ragam pengaruh pematahan dormansi terhadap tinggi bibit sapihan Angsana .................................................................. 40

12. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pematahan dormansi terhadap tinggi bibit sapihan Angsana .................................................................. 41

13. Hasil sidik ragam pengaruh pematahan dormansi terhadap diamater bibit sapihan Angsana ............................................. 43

14. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pematahan dormansi terhadap diameter bibit sapihan Angsana ............................................................. 43

15. Rekapitulasi sidik ragam setiap parameter yang diamati ....................... 49

DAFTAR GAMBAR

No Halaman 1. Bagian organ tanaman Angsana ................................................................... 3

2. Struktur selulosa kayu .................................................................................. 6

3. Tahapan kegiatan penelitian ......................................................................... 19

4. Buah bersayap, buah tidak bersayap, dan benih Angsana yang digunakan dalam penelitian ................................................................. 26

5. Proses perkecambahan benih Angsana ........................................................ 28

6. Kecambah benih Angsana dan kecambah benih Angsana yang menggantung ........................................................................ 29

7. Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap daya berkecambah benih Angsana ............................................................................................. 30

8. Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap daya berkecambah pada perlakuan B0, B2 dan B5 ..................................................................... 32

9. Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap nilai perkecambahan benih Angsana ........................................................... 32

10. Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap kecepatan tumbuh benih Angsana .............................................................................................. 34

11. Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap laju perkecambahan benih Angsana ............................................................................................. 36

12. Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap batas 80% berkecambah benih Angsana ....................................................................... 39

13. Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap tinggi bibit sapihan Angsana ........................................................................................................ 40

14. Pengaruh pematahan dormansi terhadap tinggi bibit sapihan Angsana

pada perlakuan B0, B1, B2, B3, B4, dan B5................................................. 41

15. Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap diameter bibit sapihan Angsana ........................................................................................................ 42

16. Struktur mikrokopis permukaan kulit benih Panggal Buaya sebelum dan setelah perendaman asam sulfat 95% selama 30 menit .......... 55

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Rekapitulasi data harian perkecambahan benih Angsana ............................. 67

2. Rekapitulasi data setiap parameter yang diamati sebelum ditransformasi

ke Arc % x ................................................................................................... 68

3. Rekapitulasi data setiap parameter yang diamati setelah ditransformasi

ke Arc % x ................................................................................................... 69

4. Tabel sidik ragam daya berkecambah benih Angsana ................................... 70

5. Grafik kenormalan daya berkecambah benih Angsana .................................. 70

6. Grafik kehomogenan daya berkecambah benih Angsana .............................. 70

7. Tabel sidik ragam nilai perkecambahan benih Angsana ................................ 71

8. Grafik kenormalan nilai perkecambahn benih Angsana ................................ 71

9. Grafik kehomogenan nilai perkecambahan benih Angsana ........................... 71

10. Tabel sidik ragam kecepatan tumbuh benih Angsana .................................... 72

11. Grafik kenormalan kecepatan tumbuh benih Angsana .................................. 72

12. Grafik kehomogenan kecepatan tumbuh benih Angsana ............................... 72

13. Tabel sidik ragam laju perkecambahan benih Angsana ................................. 73

14. Grafik kenormalan laju perkecambahan benih Angsana ............................... 73

15. Grafik kehomogenan laju perkecambahan benih Angsana ............................ 73

16. Tabel sidik ragam tinggi bibit sapihan Angsana ............................................ 74

17. Grafik kenormalan tinggi bibit sapihan Angsana .......................................... 74

18. Grafik kehomogenan tinggi sapihan benih Angsana ..................................... 74

19. Tabel sidik ragam diameter sapihan benih Angsana ...................................... 75

20. Grafik kenormalan diameter bibit sapihan benih Angsana ............................ 75

21. Grafik kehomogenan diameter bibit sapihan Angsana .................................. 75

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Hutan di Indonesia termasuk hutan hujan tropis yang didominasi oleh

jenis Dipterocarpaceae. Manfaat hutan Indonesia antara lain dapat untuk

memenuhi kebutuhan penduduk akan hasil hutan baik untuk industri

pertukangan, pulp dan kertas, kayu bakar dan hasil hutan bukan kayu seperti

getah, rotan, bambu, serlak dan sebagainya. Seiring dengan perkembangan

jumlah penduduk yang setiap tahun mengalami peningkatan hidup, terjadi

peningkatan permintaan dalam pemenuhan kebutuhan hidup, utamanya

kebutuhan akan pangan. Hal ini kemudian mendorong semakin meningkatnya

laju degradasi hutan akibat konversi dari hutan menjadi lahan pertanian dan

eksploitasi hutan yang semakin meningkat.

Untuk mendorong tercapainya kondisi hutan yang mampu berfungsi

secara optimal, produktif, berdaya saing, dan yang dikelola secara efektif dan

efisien, sehingga terwujud kelestarian hutan yang dinamis, Departemen

Kehutanan telah menunjuk beberapa pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil

Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA/HPH) sebagai model

pembangunan sistem silvikultur intensif yang disesuaikan dengan karakteristik

setiap lokasi. Untuk menunjang keberhasilan pembangunan hutan, maka

diperlukan pengembangan jenis unggul yang baru untuk menambah

keragaman spesies yang bernilai komersial, terutama kelompok jenis yang

belum dikenal. Keunggulan dapat berupa produksi akhir yang dicerminkan

dari volume dan mampu tumbuh dengan baik di lapangan. Salah satu spesies

tersebut yang dapat dikembangkan adalah Angsana (Pterocarpus indicus Will)

Secara umum, selama ini perbanyakan tanaman Angsana dilakukan

secara vegetatif yaitu dengan stek batang. Pengembangan tanaman Angsana

dengan benih tidak banyak dilakukan karena sifat benih dan teknik

perkecambahan yang tidak banyak diketahui dengan baik. Di sisi lain,

perbanyakan Angsana sangat mudah dilakukan dengan menggunakan stek

batang. Silvikultur Angsana juga tidak banyak diketahui, terutama dari aspek

perbenihan, pembibitan dan pertumbuhan benih hasil pembiakan generatif

(benih).

Hasil perkecambahan benih sangat dipengaruhi oleh mutu benih (fisik,

fisiologis, dan genetik). Mutu fisik dan fisiologis benih sangat ditentukan oleh

proses teknologi benih yang disiapkan mulai dari pengunduhan, ekstraksi,

seleksi, pengemasan, dan penyimpanan. Masalah utama perkecambahan benih

Angsana adalah dormansi kulit benih, untuk itu perlu dilakukan penelitian

tentang teknik pematahan dormansi benih Angsana.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh perlakuan

pematahan dormansi terhadap kemampuan perkecambahan benih Angsana

(Pterocarpus indicus Will).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjaun Umum Angsana (Pterocarpus indicus Will.)

2.1.1 Taksonomi Angsana.

Angsana (Pterocarpus indicus Will) memiliki nama lain yaitu Pterocarpus

wallichii Wight & Arn; P zollingeri Miq.; P papuanus F. V. Mueller, P

Vidalinus Rolfe. termasuk kedalam famili Fabaceae (Papilionoideae). Beberapa

nama lain untuk tanaman Cendana Merah, Sonokembang, Angsana (Jawa

Tengah, Malaysia, Singapura), Pradoo (Thailand.), Narra (Filipina), Asan

(Aceh), Sena (Batak Karo), Hasona (Batak Toba), Sena (Gayo), Sana

(Lampung), Sanakembang (Sunda), Sana (Madura), Ingi (Seram), Lala

(Ambon), Lana (Bum), Lina (Halmahera), Ligua (Ternate), Sana (Sasak), Nara

(Bima), Ai Kenawa (Sumba), Kenaha (Solor), Kalai (Alor), Tonala (Gorontalo),

Yonoba (Buol), Patene (Makasar), dan Candana (Bugis).

Berdasarkan taksonominya, Angsana digolongkan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae/tumbuhan

Divisio : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledone

Ordo : Resales

Famili : Fabaceae

Genus : Pterocarpus

Species : Pterocarpus indicus Will (Direktorat Perbenihan

Tanaman Kehutanan 2002)

2.1.2 Sifat botanis

Gambar 1 Bagian organ tanaman Angsana

Keterangan :1. Bentuk pohon; 2. Ranting berbunga; 3. Buah.

Biasanya Angsana merupakan pohon meranggas, tinggi pohon Angsana

dapat mencapai 3040 m, diameter batang 2 m, biasanya bentuk pohon jelek,

pendek, terpuntir, beralur dalam, dan berbanir. Kayu pohon Angsana

mengeluarkan eksudat merah gelap yang disebut kino atau darah naga. Daun

majemuk dengan 511 anak daun, berbulu, duduk bergantian. Bunga malai,

panjang 613 cm diujung atau ketiak daun. Bunga pohon Angsana berkelamin

ganda, berwarna kuning cerah dan harum. Polong tidak merekah terbungkus

sayap besar (samara). Berbentuk bulat, coklat muda, diameter 46 cm, dengan

sayap besar berukuran 12,5 cm yang mengelilingi tempat biji berdiameter 23

cm dan tebal 58 mm. Permukaan tempat biji bervariasi dari yang halus pada

forma indicus sampai yang tertutup oleh bulu lebat pada forma echinatus.

Pohon berbunga dan berbuah umumnya setiap tahun, namun ada beberapa

pohon dalam suatu populasi yang tidak berbunga atau berbunga sangat sedikit.

Bunga muncul sebelum tumbuh daun baru, namun akan terus bermunculan

setelah daun-daun baru berlimpah. Bunga hanya akan mekar penuh selama satu

hari. Mekarnya bunga dipicu dengan adanya air, dan setiap bunga biasanya

mekar sehari setelah hujan lebat. Penyerbukan dilakukan lebah dan serangga

lain. Biasanya hanya 13 bunga dari setiap malai yang menjadi buah.

Perkembangan buah membutuhkan 34 bulan. Lebar buah sekitar 5 cm. Di

dalam buah Angsana yang menonjol terdapat bijinya. Tidak seperti kebanyakan

Famili Leguminosae, buah Angsana tidak terbelah dan dapat diterbangkan oleh

angin bahkan bisa mengambang dan dapat disebarkan melalui air.

Meski masa pembungaan dapat berlangsung lama, di daerah tropis,

kemasakan buah terjadi bersinambungan. Pengumpulan buah bukan masalah

karena buah tidak langsung rontok dari pohon setelah masak. Hanya angin

kencang yang dapat melepaskan dan menerbangkan buah Angsana yang telah

masak. Buah dapat dikumpulkan dari atas permukaan tanah setelah rontok, atau

dengan menggoyang dan memotong dahan yang berbuah. Pengumpulan dari

pohon yang tinggi dilakukan dengan pemanjatan, buah dapat dilepas dari dahan

dengan menggoncang dahannya.

2.1.3 Sifat benih

Buah Angsana masak dalam waktu 4 bulan, berbentuk cakram datar

dengan tepi bersayap. Masing-masing buah terdiri atas 1-3 benih yang sulit

dihancurkan. Benih tersebut berkecambah dalam kulit buah. Sehingga setiap

buah berfungsi seperti biji yang menghasilkan sampai tiga kecambah. Benih

Angsana ini memiliki panjang 68 mm, berbentuk seperti buncis dengan testa

berwarna coklat kertas. Benih Angsana merupakan benih ortodoks, dapat

disimpan pada suhu dan kadar air rendah selama beberapa tahun (Anonim

2002).

2.1.4 Penyebaran dan habitat

Penyebaran alami di Asia TenggaraPasifik, mulai Birma Selatan menuju

Asia Tenggara sampai Filipina dan kepulauan Pasifik, dibudidayakan luas di

daerah tropis. Sebaran pohon yang luas ditemukan di hutan primer dan beberapa

hutan sekunder dataran rendah, umumnya di sepanjang sungai pasang surut dan

pantai berbatu.

Pohon Angsana merupakan pohon jenis pionir yang tumbuh baik di daerah

terbuka. Tumbuh pada berbagai macam tipe tanah, dari yang subur ke tanah

berbatu. Biasanya ditemukan sampai ketinggian 600 m dpl, namun masih

bertahan hidup sampai 1.300 m dpl. Angsana sering menjadi tanaman hias di

taman dan sepanjang jalan. Populasinya berkurang akibat eksploitasi berlebihan,

kadangkala penebangan liar menyebabkan hilangnya habitat. Di Vietnam,

populasi jenis ini telah punah selama 300 tahun. Survei ekstensif di Sri Lanka

gagal menemukan jenis ini dan populasi di India, Indonesia dan Filipina

menunjukkan bahwa jenis ini telah terancam. Eksploitasi atas tegakan di

Semenanjung Malaysia, mungkin menyebabkan punahnya jenis ini dan yang

diyakini merupakan populasi terbesar yang tersisa yaitu di New Guinea ternyata

telah dieksploitasi.

2.1.5 Kegunaan

Semua jenis Pterocarpus menghasilkan kayu bernilai tinggi. Menurut Heyne

(1987) bahwa kayu Angsana termasuk kayu agak keras yang memiliki kelas

awet I/II, kelas kuat I/III dan BJ antara 0,40,9 sehingga dapat digunakan untuk

mebel halus, ukiran, kayu lapis, meja, badan kapal, lantai, lemari dan alat musik.

Selain itu getah Angsana dapat digunakan sebagai cat ayaman dan cat kayu.

Soerianegara dan Lemmens (1994) mengatakan bahwa kayu pohon Angsana

mengandung selulosa sebanyak 49% (Gambar2), 24% lignin, 11% pentosan, dan

0,3% silika sehingga kayu Angsana dapat digunakan sebagai bahan baku pulp,

tanaman Angsana merupakan jenis pengikat nitrogen.

Gambar 2 Struktur Selulosa

Pohon Angsana ini direkomendasikan sebagai salah satu tanaman yang

dapat digunakan dalam sistem agroforestry, yang dapat digunakan sebagai

penaung kopi dan tanaman lain. Selain itu kulit batang Angsana ini berkhasiat

sebagai obat sariawan, obat mencret dan obat bisul sedangan daun Angsana

dapat digunakan sebagai obat infeksi kulit akibat jamur.

2.2 Kadar Air Benih

Kadar air adalah hilangnya berat ketika benih dikeringkan sesuai ketentuan

yang ditetapkan. Kadar air dinyatakan dalam persen berat dari berat contoh

sebelum pengeringan. Menurut Sutopo (2004), kadar air adalah kandungan air

dalam benih yang diukur berdasarkan hilangnya kandungan air tersebut dan

dinyatakan dalam bentuk persentase. Kadar air yang terkandung di dalam benih

akan sangat mempengaruhi kualitas fisiologis benih. Untuk kondisi tertentu,

dapat berpengaruh terhadap kualitas fisik benih. Selanjutnya dijelaskan bahwa

kadar air optimum dalam penyimpanan bagi sebagian besar benih adalah 6%-

8% (jenis ortodoks), sedangkan kadar air untuk jenis rekalsitran >12%. Kadar

air yang terlalu tinggi pada benih ortodoks dapat menyebabkan benih

berkecambah sebelum ditanam.

Apabila kadar air benih lebih tinggi dari 4560%, maka perkecambahan

akan berlangsung. Tetapi pada kisaran kadar air tersebut ke bawah sampai 18-

20% respirasi terjadi dalam kadar yang lebih tinggi, baik respirasi benih maupun

respirasi mikroorganisme. Menurut Byrd (1968), besarnya kadar air benih

mempengaruhi beberapa proses antara lain:

- kadar air benih >45-60% : perkecambahan berlangsung

- kadar air benih >18-20% : pemanasan dapat terjadi

- kadar air benih 12-14% : Jamur tumbuh pada permukaan dan

dalam benih

- kadar air benih 8 - 9% : sedikit atau tidak ada aktivitas insekta

- kadar air benih 4 - 8% : penyimpangan tertutup dapat aman

Menurut Byrd (1968), kadar air benih merupakan suatu fungsi dari

kelembaban nisbi udara sekitarnya. Kelembaban nisbi merupakan suatu

pernyataan mengenai jumlah uap air sesungguhnya yang ada di udara yang

dihubungkan dengan jumlah seluruh uap air yang dapat dipegang oleh udara.

Apabila temperatur meningkat, udara dapat memegang lebih banyak uap air,

sehingga apabila udara panas tanpa mengubah kadar airnya maka persentase

kelembaban nisbi akan menurun. Kadar air suatu benih tertentu bergantung pada

kelembaban nisbi, sedangkan suhu memberikan pengaruh yang kecil. Apabila

kelembaban nisbi udara sekeliling benih meningkat, maka kadar air benih akan

meningkat. Pada prinsipnya, metode yang digunakan untuk mengukur kadar air

benih ada 2 macam yaitu (Sutopo 2004):

1) Metode praktis : metode ini mudah dilaksanakan tetapi hasilnya kurang

teliti, sehingga perlu dikalibrasikan terlebih dahulu. Metode praktis ini

terdiri dari metode Calcium carbide, metode Electric moisture meter dan

lain-lain. Dengan metode ini akan diperoleh data langsung dari alat yang

digunakan.

2) Metode dasar; kadar air ditentukan dengan mengukur kehilangan berat

yang diakibatkan oleh pengeringan/pemanasan pada kondisi tertentu dan

dinyatakan sebagai persentase dari berat mula-mula. Penentuan kadar air

benih melalui metode dasar meliputi metode oven, metode destilasi,

metode Karl Fisher dan lain-lain.

Metode yang digunakan untuk menguji kadar air benih dapat secara

langsung maupun tidak langsung. Pada dasarnya metode langsung yaitu menguji

kadar air dengan pengeringan (oven). Dalam hal ini, perbedaan berat antara

benih sebelum di oven dengan setelah di oven merupakan air yang hilang (kadar

air), sedangkan metode tidak langsung lebih menduga kadar air dengan daya

penghantar listrik (Sutopo 2004). Kadar air dari benih akan mempengaruhi

viabilitas benih.

2.3 Viabilitas Benih

Sejak tahun 1901 telah dilaporkan banyak penelitian mengenai uji cepat

viabilitas yang menggunakan prinsip bahwa benih hidup dan benih mati

mengadakan reaksi yang berbeda bila dialiri arus listrik. Uji viabilitas

mempunyai beberapa kegunaan penting antara lain penilaian terhadap

pembekuan, fumigasi, kerusakan mekanik oleh penyakit dan insekta, penentuan

potensi vigor kecambah dan untuk menolong membuat keputusan sehubungan

dengan pencurahan, pencampuran benih dan sebagainya (Byrd 1968).

Menurut Sutopo (2004), pada uji viabilitas benih baik uji daya

berkecambah atau uji kekuatan tumbuh benih, penilaian dilakukan dengan

membandingkan kecambah satu dengan yang lain dalam satu substrat.

Umumnya sebagai parameter untuk viabilitas benih digunakan persentase

perkecambahan, ditunjukan dengan perkecambahan harus cepat, pertumbuhan

kecambahnya kuat dan mencerminkan kekuatan tumbuh yang dapat dinyatakan

dengan laju perkecambahan.

Beberapa metode uji cepat viabilitas yang dikembangkan oleh (Byrd 1968)

antara lain:

1) Metode fisika kimia

Semula tahanan listrik diukur pada benih itu sendiri, sedangkan pada

tahun-tahun berikutnya diukur pada air bekas benih itu direndam. Benih-

benih permeabel daripada benih-benih hidup dan apabila benih tersebut

direndam air, elektrolit dalam benih akan tercuci lebih cepat. Metode ini

cukup teliti untuk menduga viabilitas benih, akan tetapi memerlukan

keterampilan khusus. Selain itu, metode ini hanya dapat digunakan untuk

mengukur reaksi sejumlah benih dan tidak dapat digunakan untuk mengukur

setiap individu benih.

2) Pewarnaan vital

Pewarnaan vital merupakan pewarnaan yang terbatas pada jaringan-

jaringan yang terpilih. Hingga saat ini pewarnaan vital hanya dilakukan pada

benih yang mati atau bagian benih yang telah mati. Pewarna yang digunakan

adalah asam sulfat dan zat warna tarum merah tua. Asam sulfat mewarnai

jaringan hidup dan jaringan mati secara berbeda, tetapi tidak cukup teliti

apabila digunakan untuk keperluan pengujian benih. Zat warna merah tua

lebih teliti dalam hal penentuan viabilitas benih. Apabila benih-benih yang

dibelah atau embrio yang dilepaskan direndam dalam larutan tarum merah

yang encer, maka zat warna segera memasuki jaringan mati tetapi tidak

memasuki jaringan hidup. Kemudian setiap benih atau embrionya diuji dan

digolongkan sebagai hidup atau mati berdasarkan pada proporsi embrio yang

tetap tidak terwarnai.

3) Metode langsung

Metode langsung adalah suatu cara pengujian yang benihnya betul-

betul dikecambahkan. Kelebihan metode langsung ini dibandingkan metode

sebelumnya, yaitu viabilitas benih tidak hanya berdasarkan pendugaan

karena dilakukan pengukuran secara langsung. Metode langsung dilakukan

dengan prinsip mempercepat perkecambahan biji. Salah satu cara yang dapat

dilakukan dalam mempercepat perkecambahan yaitu dengan meningkatkan

temperatur di atas optimum. Metode lain untuk mempercepat

perkecambahan adalah dengan jalan meningkatkan laju imbibisi air. Hal ini

dikerjakan dengan merendam biji dalam air sebelum benih dikerjakan.

4) Metode yang berdasarkan aktivitas enzim

Pengujian ini didasarkan pada anggapan bahwa bila enzim-enzim ini

tidak terdapat dalam embrio, maka benih tersebut mati. Salah satu

kekurangan metode ini yaitu enzim tersebut dapat saja ada tetapi karena

sesuatu hal dalam sistem metabolisme enzim tersebut menjadi rusak

sehingga menggambarkan benih tersebut tidak mampu untuk berkecambah.

Pengujian mencakup pengukuran enzim dehidrogenase. Enzim

dehidrogenase terlihat dalam aktivitas respirasi dari sistem biologi karena

memiliki hubungan yang sangat erat dengan kehidupan di dalam benih.

Beberapa zat warna telah digunakan untuk mengukur adanya enzim

dehidrogenase dalam benih diantaranya zat warna metilen biru dan zat

malasit hijau, garam-garam kimia selenium, telurium serta tetrazolium.

2.4 Dormansi Benih

Dormansi benih dapat didefinisikan sebagai ketidakmampuan benih hidup

untuk berkecambah pada suatu kisaran keadaan yang luas yang dianggap

menguntungkan untuk benih tersebut. Dormansi dapat disebabkan karena tidak

mampunya benih secara total untuk berkecambah atau hanya karena

bertambahnya kebutuhan yang khusus untuk perkecambahnnya (Byrd 1968).

Menurut Schmidth (2002), dormansi benih menunjukkan suatu keadaan benih-

benih sehat (viable) gagal berkecambah ketika berada dalam kondisi yang secara

normal baik untuk perkecambahan, seperti kelembaban yang cukup, suhu dan

cahaya yang sesuai.

Gardner et al. (1991) mengemukakan bahwa tekanan seleksi selama

ribuan tahun pembudidayaan sebenarnya menghilangkan dormansi pada

tanaman budidaya. Kebanyakan biji tanaman budidaya cepat berkecambah

setelah pemasakan dan pengeringan, atau pengawetan dengan pengeringan.

Tanaman budidaya yang lama belum dibudidayakan seringkali menunjukkan

dormansi sampai tingkat tertentu dan memerlukan kondisi khusus atau waktu

penyimpanan yang lebih panjang sebelum berkecambah. Tekanan seleksi alam

selama evolusi telah menghasilkan tanaman dengan biji dorman dan/atau

kuncup dorman sebagai adaptasi terhadap periode saat lingkungan tidak

menguntungkan seperti yang dijumpai pada daerah beriklim sedang.

Dormansi diklasifikasikan dalam berbagai cara dan tidak ada sistem yang

berlaku secara universal. Secara umum tipe-tipe dormansi dapat dikelompokan

menjadi (Schmidth 2002) :

1) Embrio yang belum berkembang

Benih dengan pertumbuhan embrio yang belum berkembang pada saat

penyebaran tidak akan dapat berkecambah pada kondisi perkecambahan

normal dan karenanya tergolong kategori dorman. Fenomena ini seringkali

dimasukkan ke dalam kategori dormansi fisiologis, dengan memperhatikan

kondisi morfologis embrio yang belum matang.

2) Dormansi mekanis

Dormansi mekanis dapat terlihat ketika pertumbuhan embrio secara

fisik dihalangi struktur kulit benih yang keras. Imbibisi dapat terjadi tetapi

radicle tidak dapat membelah atau menembus kulitnya. Pada dasarnya

hampir semua benih yang mempunyai dormansi mekanis mengalami

keterbatasan dalam penyerapan air.

3) Dormansi fisik

Dormansi fisik disebabkan oleh kulit buah yang keras dan

impermeable atau penutup buah yang menghalangi imbibisi dan pertukaran

gas. Fenomena ini sering disebut sebagai benih keras, meskipun istilah ini

sering digunakan untuk benih legum yang kedap air.

4) Zat-zat penghambat

Beberapa jenis benih mengandung zat-zat penghambat dalam buah

atau benih yang mencegah perkecambahan, misalnya dengan menghalangi

proses metabolisme yang diperlukan untuk perkecambahan. Zat-zat

penghambat yang paling sering dijumpai ditemukan dalam daging buah.

Gula, coumarin dan zat-zat lain dalam buah berdaging mencegah

perkecambahan karena tekanan osmose yang menghalangi penyerapan.

5) Dormansi cahaya

Sebagian besar benih dengan dormansi cahaya hanya berkecambah

pada kondisi terang. Sehingga benih tersebut disebut dengan peka cahaya.

Dormansi cahaya umumnya dijumpai pada pohon-pohon pioner.

6) Dormansi suhu

Istilah dormansi suhu digunakan secara luas mencakup semua tipe

dormansi, suhu berperan dalam perkembangan atau pelepasan dari dormansi.

Benih dengan dormansi suhu seringkali memerlukan suhu yang berbeda dari

yang diperlukan untuk proses perkecambahan. Dormansi suhu rendah

ditemui pada kebanyakan jenis beriklim sedang.

7) Dormansi gabungan

Apabila dua atau lebih tipe dormansi ada dalam jenis yang sama,

dormansi harus dipatahkan baik melalui metode beruntun yang bekerja pada

tipe dormansi yang berbeda, atau melalui metode dengan pengaruh ganda.

Dormansi benih dapat menguntungkan atau merugikan dalam penanganan

benih. Keuntungannya adalah bahwa dormansi mencegah benih dari

perkecambahan selama penyimpanan dan prosedur penanganan lain. Disatu sisi,

apabila dormansi sangat kompleks dan benih membutuhkan perlakuan awal

yang khusus. Kegagalan untuk mengatasi masalah dormansi akan berakibat pada

kegagalan perkecambahan pada benih (Schmidth 2002).

2.5 Perlakuan Pendahuluan Benih

Perlakuan awal atau pendahuluan merupakan istilah yang digunakan untuk

kondisi atau proses yang diterapkan pada pematahan dormansi untuk

perkecambahan, sementara perlakuan digunakan dalam aplikasi pestisida untuk

mengendalikan hama dan penyakit. Tujuan perlakuan awal adalah untuk

menjamin bahwa benih akan berkecambah, dan bahwa perkecambahan

berlangsung cepat dan seragam. Metode perlakuan awal sering harus

disesuaikan dengan individu jenis dan lot benih berdasarkan pengalaman dan

percobaan-percobaan. Perlakuan awal umumnya dilakukan sesaat sebelum

penaburan misalnya setelah penyimpanan karena dormansi umumnya

memperpanjang daya simpan (Schmidth 2002).

2.5.1 Pengeringan benih

Dalam hal pengeringan, terdapat dua hal yang harus diperhatikan yaitu

proses penurunan kadar air benih yang sudah masak dan peningkatan

pemasakan buah untuk buah tua yang belum masak. Oleh karena itu untuk

benih yang diunduh tetapi belum masak, harus dilakukan pemeraman terlebih

dahulu (Sutopo 2004). Mugnisjah dan Setiawan (1990), mengemukakan

bahwa kadar air yang terlalu tinggi pada benih dapat menyebabkan memanas

karena respirasi dan berbagai cendawan dapat tumbuh. Oleh karena itu, sangat

penting untuk menjamin agar benih yang dipanen memiliki kadar air yang

aman sebelum disimpan.

Pengeringan benih mencakup dua proses yaitu pengalihan kelembaban

dari permukaan benih ke udara sekeliling benih dan pemindahan air dari

bagian dalam benih ke permukaan benih. Pengalihan air dari permukaan benih

ke udara sekitarnya semata-mata merupakan suatu fungsi dari perbedaan

tekanan uap antara permukaan benih dan udara sekelilingnya. Dengan kata

lain makin basah permukaan benih dan makin kering udara sekeliling, makin

cepat pergerakan air dari permukaan benih ke udara sekelilingnya (Byrd

1968).

Menurut Mugnisjah dan Setiawan (1990), pengeringan benih biasanya

dilakukan sebelum pembersihan benih. Pengeringan dengan panas buatan,

baik yang menggunakan elemen listrik baik yang menggunakan minyak tanah

dapat menggantikan panas matahari. Pengeringan sampai kadar air yang aman

bagi penyimpanan sebaiknya dilakukan sesegera mungkin setelah benih

dipanen. Pengeringan hendaknya tidak terlalu cepat karena dapat

menyebabkan selaput benih mengeras dan memerangkap kelembaban di

dalam benih, oleh karena itu suhu hendaknya dikendalikan dengan seksama.

Benih-benih yang dikeringkan adalah benih yang termasuk ke dalam

jenis ortodoks. Pengeringan benih dilakukan sebagai upaya untuk menurunkan

kadar air. Untuk benih-benih rekalsitran, maka tidak diperlukan proses

pengeringan. Hal ini dengan landasan bahwa benih rekalsitran apabila

diturunkan kadar airnya akan mengakibatkan embrio menjadi mati, sehingga

benih menjadi tidak berkecambah (Sutopo 2004). Selanjutnya dikemukakan

bahwa teknik yang direkomendasikan adalah dengan menjemur di bawah sinar

matahari, dikeringudarakan (diangin-anginkan) atau dengan cara

pengkondisian pada suhu tertentu di suatu ruangan.

2.5.2 Perendaman benih

2.5.2.1 Perendaman dengan air

Menurut Sutopo (2004) mengatakan bahwa beberapa jenis benih

terkadang diberi perlakuan perendaman dalam air dengan tujuan

memudahkan penyerapan air oleh benih. Dengan demikian kulit benih yang

menghalangi penyerapan air menjadi lisis dan melemah. Selain itu juga

digunakan untuk pencucian benih sehingga benih terbebas dari patogen yang

menghambat perkecambahan benih.

Menurut Schmidth (2002), air panas mematahkan dormansi fisik pada

Leguminoseae melalui tegangan yang menyebabkan pecahnya lapisan

macrosclereid atau merusak tutup strophiolar. Metode ini paling efektif

apabila benih direndam dalam air panas bukan dimasak dengan air panas.

Pencelupan sesaat juga lebih baik dilakukan untuk mencegah kerusakan

embrio. Cara yang umum dilakukan adalah dengan menuangkan benih

dalam air yang mendidih dan membiarkannya untuk mendingin dan

menyerap air selama 12-24 jam.

Pada beberapa jenis Akasia dari Australia lebih baik bila diberi

perlakuan di bawah titik didih, perlakuan selama 1 menit dalam air 90C

disarankan untuk jenis-jenis Acacia coriaceae, A pachicarpa dan A pendula

(ATSC 1995 diacu dalam Schmidth 2002). Umumnya benih kering yang

yang masak atau yang kulit bijinya relatif tebal, toleran terhadap

perendaman sesaat dalam air mendidih.

2.5.2.2 Perendaman dengan H2SO4

Menurut Sutopo (2004) mengatakan bahwa perlakuan dengan

menggunakan bahan kimia sering digunakan untuk memecah dormansi pada

benih. Tujuannya adalah menjadikan kulit benih atau biji menjadi lebih

mudah untuk dimasuki air pada proses imbibisi. Larutan asam kuat seperti

H2SO4 sering digunakan dengan konsentrasi yang bervariasi sampai pekat

tergantung jenis benih yang diperlakukan, sehingga kulit biji menjadi lunak.

Disamping itu pula larutan kimia yang digunakan dapat pula membunuh

cendawan atau bakteri yang dapat membuat benih dorman. Sadjad et al.

(1975) menyatakan bahwa perlakuan kimia (biasanya asam kuat) yang

digunakan dapat membebaskan koloid hidrofil sehingga tekanan imbibisi

meningkat dan akan meningkatkan metabolisme benih. Sagala (1991) diacu

dalam Rozi (2003) mengatakan bahwa perlakuan dengan menggunakan

H2SO4 pada benih biasanya bertujuan untuk merusak kulit benih, akan tetapi

apabila terlalu berlebihan dalam hal konsentrasi atau lama waktu perlakuan

dapat menyebabkan kerusakan pada embrio. Dalam hal ini benih tersebut

akan rusak dan tidak dapat tumbuh.

Menurut Sadjad et al. (1975) perlakuan kimia seperti H2SO4 pada

prinsipnya adalah membuang lapisan lignin pada kulit biji yang keras dan

tebal sehingga biji kehilangan lapisan yang permiabel terhadap gas dan air

sehingga metabolisme dapat berjalan dengan baik. Achmad et al. (1992)

mengatakan bahwa perlakuan pendahuluan untuk benih Cendana (Satalum

album) adalah dengan perendaman dalam larutan H2SO4 pekat selama 50-60

menit. Muharni (2002) dalam Rozi (2003) dalam penelitiannya mengatakan

bahwa larutan H2SO4 memberikan pengaruh yang paling baik terhadap

benih dan pertumbuhan semai Kayu Kuku.

Hasil penelitian tentang penggunaan larutan H2SO4 untuk pematahan

dormansi kulit dapat digambarkan pada Jati (Tectona grandis Linn. F.).

Penelitian Rinto Hidayat (2005) tentang pematahan dormansi Jati dengan

perendaman dalam larutan Accu Zurr 10% selama 0, 5, 6, 7, 8, dan 9 menit.

Perendaman dalam larutan Accu Zurr selama 9 menit memberikan pengaruh

yang sangat nyata terhadap daya kecambah, nilai perkecamahan, dan

kecepatan tumbuh benih jati.

2.5.2.3 Perendaman dengan KNO3

Potassium Nitrat (KNO3) merupakan salah satu perangsang

perkecambahan yang sering digunakan. KNO3 digunakan baik dalam

hubungannya dengan pengujian (ISTA 1996 diacu dalam Schmidth 2002)

dan dalam operasional perbanyakan tanaman. Menurut Hartmann et al.

(1997) diacu dalam Schmidth (2002), peran fisiologis dari KNO3 tidak jelas.

KNO3 mempunyai pengaruh yang kuat terhadap persentase perkecambahan

dan vigor pada perlakuan pendahuluan asam benih Acacia nilotica (Palani et

al. 1995 diacu dalam Schmidth 2002). Pada konsentrasi 1% perkecambahan

meningkat dari 37% (kontrol) menjadi 79% dan pada konsentrasi 2%

meningkat menjadi 85%. Pada Casuariana equiaetifolia perkecambahan

meningkat dari 46% dalam kontrol menjadi 65% setelah perendaman dalam

1,5% KNO3 selama 36 jam. Pada percobaan ini, konsentrasi tertinggi dan

terendah dan lamanya waktu perendaman yang sangat singkat

memperlihatkan perkecambahan yang sangat rendah (Maideen et al. 1990

diacu dalam Schmidth 2002).

2.5.2.4 Perendaman dengan air dari hasil fermentasi rebung

Rebung adalah tunas muda dari tanaman bambu yang tumbuh dari

akar tanaman bambu. Bambu yang mempunyai nama lain seperti Buluh,

Aur, atau Eru merupakan tanaman famili Poaceae jenis rumput-rumputan

yang mempunyai batang berongga dan beruas-ruas yang memiliki banyak

jenis dan memberikan manfaat pada penduduk di Indonesia maupun di Asia.

Selain itu saat ini Rebung sudah dapat diolah untuk berbagai bahan makanan

awetan. Dengan teknologi telah berhasil membuat makanan olahan berbahan

dasar Rebung salah satunya Cuka Rebung. Rebung memiliki kandungan,

Karbohidrat, Protein dan 12 Asam Amino Esensial yang sangat dibutuhkan

oleh tubuh. Dengan mengkonsumsi Rebung secara teratur merupakan satu

tindakan preventif untuk menghambat berbagai jenis penyakit termasuk

kanker (Anonim 2008).

Menurut Widjaja et al. (1994) komponen utama Rebung mentah

adalah air yang dapat mencapai sekitar 91%. Selain itu Rebung mengandung

protein, karbohidrat, lemak, vitamin A, tiamin, riboflavin, asam askorbat,

serta unsur-unsur mineral seperti kalsium, fosfor, besi, dan kalium dalam

jumlah yang kecil. Beberapa jenis Rebung mengandung senyawa toksik

sianida dalam bentuk glukosida. Apabila senyawa ini bereaksi dengan air

akan terbentuk sianida. Selain itu Rebung diduga mengandung giberelin

yang berperan utama dalam proses awal perkecambahan melalui aktivitas

http://id.wikipedia.org/wiki/Bambuhttp://id.wikipedia.org/wiki/Tanaman

enzim pengangkutan cadangan makanan. Selanjutnya dikemukakan bahwa

teknik yang direkomendasikan dalam menghasilkan air hasil fermentasi

Rebung adalah dengan mengambil air sari dari Rebung yang didiamkan

selama 3 hari.

2.5.3 Perkecambahan benih

Perkecambahan didefinisikan sebagai mekar dan berkembangnya

struktur-struktur penting dari embrio benih yang menunjukkan

kemampuannya untuk menghasilkan tanaman normal pada keadaan yang

menguntungkan. Adapun fase-fase perkecambahan (Byrd 1968) :

1) Imbibisi

Kandungan air benih minimum pada saat perkecambahan

berlangsung disebut taraf kandungan air kritik. Beberapa faktor yang

mempengaruhi laju penyerapan air yaitu: permeabilitas dari kulit benih

terhadap air, temperatur, luas permukaan benih yang berhubungan dengan

air, jenis benih, kemasakan benih, umur benih dan susunan kimia.

2) Perombakan

Hampir seluruh simpanan bahan makanan yang terdapat dalam benih

yang kering ada dalam bentuk yang tidak larut dan tidak mobil. Agar

simpanan makanan ini dapat dialihkan ke titik tumbuh dari poros embrio,

maka harus diuraikan menjadi bentuk yang larut dan mobil melalui suatu

proses yang disebut perombakan.

3) Mobilitas dan pengangkutan zat makanan

Mobilitas dan pengangkutan zat makanan merupakan suatu proses

pengangkutan cadangan makanan yang sudah dirombak, dari sel-sel

penyimpanan ke titik tumbuh pada poros embrio.

4) Asimilasi

Estela zat makanan yang sudah dirombak sampai pada titik tumbuh,

maka zat itu harus ditransformasikan menjadi senyawa hidup (protoplasma)

sebelum zat itu dapat digunakan dalam proses pertumbuhan. Transformasi

ini disebut asimilasi.

5) Respirasi

Dalam proses ini sel mengambil oksigen dari udara atau air dan

mempergunakannya dalam oksidasi sehingga dihasilkan energi dalam

bentuk panas. Dalam benih yang sedang berkecambah karbohidrat atau

substrat lain dioksidasi untuk produksi energi. Jumlah oksigen yang

diperlukan untuk respirasi bergantung pada macam substrat yang sedang

dioksidasi.

6) Pertumbuhan

Pertumbuhan pada benih yang sedang berkecambah, diawali baik

berupa perpanjangan sel dan maupun pembelahan sel. Bagian embrio tempat

pertumbuhan pertama terjadi kelihatannya berlainan dari spesies ke spesies.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.1 Kadar air benih Angsana (Pterocarpus indicus Will)

Untuk memulai proses perkecambahan, benih harus mencapai suatu

kadar air minimum. Air dalam proses perkecambahan dipergunakan dalam

banyak reaksi biokimia. Salah satu proses biokimia yang terjadi adalah

proses perombakan simpanan bahan makanan yang terdapat dalam benih.

Air diperlukan untuk mengaktifkan enzim-enzim yang berperan dalam

proses perombakan, seperti enzim amilase untuk merombak karbohidrat

menjadi glukosa, enzim lipase untuk merombak lemak menjadi asam lemak

dan gliserol, serta enzim protase untuk merombak protein menjadi asam

amino (Byrd 1968).

Benih Angsana yang digunakan adalah benih yang memiliki mutu fisik

yang baik dengan kriteria berwarna coklat tua, ukuran relatif sama, tidak

rusak/cacat, tidak terdapat gerowong, dan tidak terserang hama penyakit

(Gambar 4).

Gambar 4 Buah bersayap (a), buah tidak bersayap (b), benih (c) Angsana yang

digunakan dalam penelitian

Kadar air merupakan salah satu indeks mutu benih yang penting, oleh

karena itu sangat diperlukan penguasaan teknik dan metode penentuan kadar

air benih. Penentuan kadar air benih pada prinsipnya merupakan penguapan

air bebas dari contoh benih, sehingga mengakibatkan berkurangnya berat

awal contoh benih yang mencerminkan berat air yang dikandung oleh benih

tersebut setelah benih dikeringkan dalam oven bersuhu 1032 0C selama

17 1 jam. Adapun perhitungan kadar air (Tabel 1).

a b c

Tabel 1 Persentase kadar air benih Angsana Ulangan BB (gr) BK (gr) KA (%)

1 10 8,90 11,05 2 10 8,88 11,16 3 10 8,91 10,88

Rata-rata 10 8,90 11,03 Keterangan : BB : Berat basah BK : Berat kering KA : Kadar air

Tabel 1 menunjukkan bahwa kadar air (KA) rata-rata benih Angsana

yaitu sebesar 11,03%, sehingga benih Angsana digolongkan ke dalam benih

Ortodoks. Benih Ortodoks mempunyai sifat dapat di simpan dalam waktu

yang relatif lama dengan kadar air rendah. Benih ini tahan kekeringan

sampai kadar air 5%. Ciri-ciri benih Ortodoks adalah kulit keras, ukurannya

relatif kecil, setelah matang dan jatuh dari pohonnya tidak segera

berkecambah tetapi butuh waktu yang cukup lama untuk berkecambah.

4.1.2 Proses perkecambahan benih Angsana

Proses perkecambahan adalah suatu proses mulai tumbuhnya benih

sampai pada suatu tahap struktur kecambah berkembang menjadi tanaman

sempurna jika ditanam pada media yang cocok. Secara visual dan

morfologis suatu biji yang berkecambah ditandai dengan terlihatnya akar

dan daun yang menonjol keluar dari biji. Perkecambahan benih Angsana

termasuk tipe epigeal, radikel diikuti dengan memanjangnya hipokotil secara

keseluruhan dan membawa serta kotiledon yang masih menutup dan plamula

ke atas permukaan tanah, kemudian diikuti membukanya kotiledon dan

epikotil memanjang dengan empat lembar daun pertama. Proses

perkecambahan benih Angsana (Gambar 5).

Gambar 5 Proses perkecambahan benih Angsana

Proses perkecambahan benih Angsana melewati tiga fase yaitu fase

imbibisi, fase perkecambahan dan fase pertumbuhan yang diawali dengan

munculnya radikula (Sutopo 2004), sedangkan menurut Kozlowski dan

Kldier proses perkecambahan benih meliputi tujuh tahap yaitu penyerapan

air secara imbibisi, peningkatan pernapasan, peningkatan aktifitas enzim

dan amilase oleh GA3 digerakan oleh H2O, pembelahan sel, degradasi

cadangan makanan oleh enzim dan amilase, peningkatan pembesaran

dan pertumbuhan sel dan translokasi cadangan makanan ke titik-titik

tumbuh, dan pembentukan organ makanan. Benih Angsana mulai

berkecambah pada hari ke-4, ditandai dengan munculnya radikula dan

kotiledon ke atas permukaan tanah, plamula terlihat 7 hari setelah

kotiledon terlihat dan plamula berubah menjadi daun 5 hari setelah plamula

terlihat.

Buah Angsana umumnya terdiri 1-2 benih yang sulit dihancurkan.

Benih tersebut berkecambah dalam kulit buah. Sehingga setiap buah

berfungsi seperti biji yang menghasilkan satu sampai dua kecambah

(Gambar 6).

Gambar 6 Kecambah benih Angsana (a) dan kecambah benih Angsana yang menggantung (b)

Gambar 6 menunjukkan bahwa dalam 1 buah terdapat 2 benih

Angsana yang berkecambah dalam selang waktu berbeda 1-2 hari. Kedua

kecambah tersebut bertahan hidup 1-3 hari, pada hari ke 4 benih yang

berkecambah kedua mati dan akhirnya yang bertahan menjadi kecambah

normal hanya 1 kecambah yaitu benih yang berkecambah awal. Hal ini

disebabkan pertumbuhan radikula kecambah ke dua tidak secepat kecambah

yang pertama sehingga semakin jauh dari tanah dan radikula mengalami

kelayuan, kering dan akhirnya mati, sedangkan kecambah yang pertama

pertumbuhannya semakin tinggi

4.1.3 Daya berkecambah benih Angsana

Daya berkecambah adalah jumlah kecambah normal yang dapat

dihasilkan oleh benih murni pada kondisi lingkungan tertentu dalam jangka

waktu yang telah ditetapkan. Hasil pengamatan daya berkecambah benih

Angsana selama 60 hari diperoleh data bahwa benih Angsana mulai

berkecambah pada hari ke-4 setelah ditanam di bak tabur dan mulai

a b

berkecambah lebih banyak lagi pada hari-hari berikutnya. Hasil daya

berkecambah benih Angsana yang ditanam di bak tabur pada akhir

pengamatan (Gambar 7).

20.33 25

.3338

.67

80.33

100

100

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

120.00

B0 B1 B2 B3 B4 B5

Perlakuan pematahan dormansi

Daya berkecambah (%)

Gambar 7 Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap daya

berkecambah benih Angsana

Gambar 7 menunjukkan bahwa pematahan dormansi benih Angsana

pada perlakuan B2 (perendaman dengan larutan H2S04 1% selama 10 menit)

dan B5 (perendaman dengan larutan KNO3 selama 24 jam) menghasilkan

daya berkecambah yang paling tinggi yaitu masing-masing sebesar 100%,

sedangkan daya berkecambah yang paling kecil diperoleh pada perlakuan

B0 (perendaman dengan air panas selama 30 menit kemudian direndam

dengan air dingin selama 12 jam) yaitu sebesar 20,33%.

Untuk mengetahui pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap

daya berkecambah benih Angsana, maka data hasil pengamatan dianalisis

dengan menggunakan sidik ragam (uji F) (Tabel 2).

Tabel 2 Hasil sidik ragam pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap daya berkecambah benih Angsana

Sumber Keragaman DF J K KT F hitung Sig

Perlakuan (B) 5 20520,44 4104,09 173,01 **

0,00

Galat 12 284,67 23,72 Total 17 20805,11

Keterangan ** Berpengaruh sangat nyata pada taraf uji F0,01

Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan pematahan dormansi

berpengaruh sangat nyata terhadap daya berkecambah benih Angsana pada

selang kepercayaan 99%. Untuk mengetahui perlakuan yang terbaik

selanjutnya dilakukan uji lanjut Duncan (Tabel 3).

Tabel 3 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh perlakuan pematahan dormansi

terhadap daya berkecambah benih Angsana Perlakuan Daya berkecambah (%) Peningkatan daya

berkecambah (%) B0 20.33a ** 0 B1 25.33a 24,59 B2 100d 391,88 B3 38.67b 90,21 B4 80.33c 295,13 B5 100d 391,88

Keterangan :** Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menyatakan tidak berbeda sangat nyata pada uji lanjut Duncan taraf 0,01.

Tabel 3 menunjukkan bahwa respon daya berkecambah paling kecil

pada perlakuan B0 (perendaman dengan air panas selama 30 menit

kemudian direndam dengan air dingin selama 12 jam) yaitu sebesar 20,33%,

sedangkan daya berkecambah tertinggi diperoleh pada perlakuan B2

(perendaman dengan larutan H2SO4 1% selama 10 menit) dan B5

(perendaman dengan larutan KNO3 1% selama 24 jam) yaitu masing-masing

sebesar 100% atau meningkat 391,88% dibandingkan dengan B0 (kontrol)

(Gambar 8). Hal ini berarti perlakuan B2 dan B5 mampu mengatasi faktor

yang mempengaruhi perkecambahan sehingga benih Angsana tumbuh dan

berkembang menjadi kecambah normal.

Gambar 8 Pengaruh pematahan dormansi terhadap daya berkecambah pada perlakuan B0, B2 dan B5

4. 1. 4 Nilai perkecambahan benih Angsana

Nilai perkecambahan merupakan indeks yang menyatakan kecepatan

perkecambahan benih. Makin tinggi nilai perkecambahan, berarti semakin

sempurna proses perkecambahan benih.

Pengaruh perlakuan pematahan dormansi benih Angsana memberikan

respon nilai perkecambahan yang berbeda-beda (Gambar 9).

1.05 d

0.93 c

0.55 b

1.13 d

0.48 a

b

0.40 a

0.00

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

B0 B1 B2 B3 B4 B5

Perlakuan pematahan dormansi

Nilai perkecambahan

(%/hari)2

Gambar 9 Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap nilai

perkecambahan benih Angsana Gambar 9 menunjukkan bahwa pematahan dormansi benih Angsana

pada perlakuan B2 (perendaman dengan larutan H2S04 1% selama 10 menit)

menghasilkan nilai perkecambahan benih Angsana yang paling tinggi yaitu

sebesar 1,13 (%/hari)2, sedangkan pengaruh yang paling kecil diperoleh

pada perlakuan B0 (perendaman dengan air panas selama 30 menit

B0 B2 B5

kemudian direndam dengan air dingin selama 12 jam) yaitu sebesar 0,40

(%/hari)2.

Untuk mengetahui pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap

nilai perkecambahan benih Angsana, maka data hasil pengamatan dianalisis

dengan menggunakan sidik ragam (uji F) (Tabel 4).

Tabel 4 Hasil sidik ragam pengaruh perlakuan pematahan dormansi

terhadap nilai perkecambahan benih Angsana. Sumber Keragaman DF JK KT F hitung Sig

Perlakuan (B) 5 1,51 0,302 82,48** 0,00

Galat 12 0,04 0,003 Total 17 1,55

Keterangan ** Berpengaruh sangat nyata pada taraf uji F0,01

Tabel 4 menunjukkan bahwa perlakuan pematahan dormansi

berpengaruh sangat nyata terhadap nilai perkecambahan benih Angsana.

Untuk mengetahui perlakuan yang terbaik selanjutnya dilakukan uji lanjut

Duncan (Tabel 5).

Tabel 5 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh perlakuan pematahan dormansi

terhadap nilai perkecambahan benih Angsana. Perlakuan Nilai perkecambahan

(%/hari)2 Peningkatan nilai

perkecambahan (%)

B0 0,40 a ** 0 B1 0,48 ab 20 B2 1,13 d 182,5 B3 0,55 b 37,5 B4 0,93c 132,5 B5 1,05 d 162,5

Keterangan:** Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menyatakan tidak berbeda sangat nyata pada uji lanjut Duncan taraf 0,01.

Tabel 5 menunjukkan respon nilai perkecambahan paling kecil

diperoleh pada perlakuan B0 (perendaman dengan air panas selama 30 menit

kemudian direndam dengan air dingin selama 12 jam) yaitu sebesar 0,40 (%

/hari)2, sedangkan respon nilai perkecambahan benih Angsana terbesar

diperoleh pada perlakuan B2 (perendaman dengan larutan H2SO4 1% selama

10 menit) yaitu sebesar 1,13 (%/hari)2 atau meningkat 182,5% dibandingkan

dengan B0 (kontrol). Hal ini berarti benih Angsana pada perlakuan B2

mampu berkecambah normal yang dapat tumbuh menjadi tanaman normal

dilapangan.

4.1.5 Kecepatan tumbuh benih Angsana

Kecepatan tumbuh merupakan cerminan jumlah benih normal yang

tumbuh setiap hari. Pengaruh perlakuan pematahan dormansi memberikan

respon kecepatan tumbuh benih Angsana yang berbeda-beda (Gambar 10).

1.41 d

1.39 d

1.06 c

1.41 d

0.91 b

0.77 a

0.00

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

1.40

1.60

B0 B1 B2 B3 B4 B5

Perlakuan pematahan dormansi

kecepatan tumbuh (%/hari)

Gambar 10 Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap kecepatan

tumbuh benih Angsana Gambar 10 menunjukkan bahwa pematahan dormansi benih Angsana

pada perlakuan B2 (perendaman dengan larutan H2S04 1% selama 10 menit)

dan B5 (perendaman dengan larutan KNO3 1% selama 24 jam)

menghasilkan kecepatan tumbuh yang paling tinggi yaitu masing-masing

sebesar 1,41 (%/hari), sedangkan pengaruh yang paling kecil diperoleh pada

perlakuan B0 (perendaman dengan air panas selama 30 menit kemudian

direndam dengan air dingin selama 12 jam) yaitu sebesar 0,77 (%/hari).

Untuk mengetahui pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap

kecepatan tumbuh benih Angsana, maka data hasil pengamatan dianalisis

dengan menggunakan sidik ragam (uji F) (Tabel 6).

Tabel 6 Hasil sidik ragam pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap kecepatan tumbuh benih Angsana.

Sumber Keragaman DF JK KT F hitung Sig

Perlakuan (B) 5 1,21 0,24 200,27** 0,00

Galat 12 0,01 0,001 Total 17 1,22

Keterangan ** Berpengaruh sangat nyata pada taraf uji F0,01

Tabel 6 menunjukkan bahwa perlakuan pematahan dormansi

berpengaruh sangat nyata terhadap kecepatan tumbuh benih Angsana.

Untuk mengetahui perlakuan yang terbaik selanjutnya dilakukan uji lanjut

Duncan (Tabel 7).

Tabel 7 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh perlakuan pematahan dormansi

terhadap kecepatan tumbuh benih Angsana. Perlakuan Kecepatan tumbuh

(%/hari) Peningkatan kecepatan

tumbuh (%) B0 0,77 a** 0 B1 0,91b 18,18 B2 1,41 d 83,12 B3 1,06 c 37,66 B4 1,39 d 80,52 B5 1,41d 83,12

Keterangan: ** Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menyatakan tidak berbeda sangat nyata pada uji lanjut Duncan taraf 0,01

Tabel 7 menunjukkan bahwa respon kecepatan tumbuh paling kecil

diperoleh pada perlakuan B0 (perendaman dengan air panas selama 30 menit

kemudian direndam dengan air dingin selama 12 jam) yaitu sebesar 0,77

(%/hari), sedangkan kecepatan tumbuh tertinggi diperoleh pada perlakuan

B5 (perendaman dengan larutan KNO3 1% selama 24 jam) dan B2

(perendaman dengan H2SO4 1% selama 10 menit) yaitu masing-masing

sebesar 1,41 (%/hari) atau meningkat sebesar 83,12% dibandingkan dengan

B0 (kontrol). Hal ini berarti perlakuan B2 dan B5 berpengaruh sangat nyata

terhadap kekuatan tumbuh benih Angsana.

4.1.6 Laju perkecambahan benih Angsana

Laju perkecambahan dapat diukur dengan menghitung jumlah hari

yang diperlukan untuk munculnya radikula dan plamula. Jumlah rata-rata

hari berkecambah benih digunakan untuk mengetahui respon dari perlakuan

terhadap benih untuk berkecambah maksimal sampai dengan akhir

pengamatan. Pengaruh perlakuan pematahan dormansi memberikan respon

laju perkecambahan (Gambar 11).

18.59

a

18.47

a26

.56 c

23.48

bc

20.72

ab

19.32

ab

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

B0 B1 B2 B3 B4 B5

Perlakuan pematahan dormansi

Laju perkecambahan

(hari)

Gambar 11 Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap laju

perkecambahan benih Angsana

Gambar 11 menunjukkan bahwa pematahan dormansi benih Angsana

pada perlakuan B3 (perendaman dengan larutan H2S04 1% selama 15 menit)

menghasilkan laju perkecambahan benih Angsana yang paling lama yaitu

selama 26,56 hari atau 27 hari, sedangkan laju perkecambahan yang paling

cepat yaitu pada B5 (perendaman dengan larutan KNO3 1% selama 24 jam)

yaitu selama 18,29 hari atau 19 hari.

Untuk mengetahui pengaruh pematahan dormansi terhadap laju

perkecambahan benih Angsana, maka data hasil pengamatan dianalisis

dengan menggunakan sidik ragam (uji F) (Tabel 8).

Tabel 8 Hasil sidik ragam pengaruh perlakuan pematahan dormansi perhadap laju perkecambahan benih Angsana

Sumber Keragaman DF JK KT F hit Sig

B 5 155,89 31,177 4,97* 0,01Galat 12 75,29 6,274 Total 17 231,18

Keterangan ** Berpengaruht nyata pada taraf uji F0,01

Tabel 8 menunjukkan bahwa perlakuan pematahan dormansi

berpengaruh nyata terhadap laju perkecambahan benih Angsana. Untuk

mengetahui perlakuan yang terbaik selanjutnya dilakukan uji lanjut Duncan

(Tabel 9).

Tabel 9 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh perlakuan pematahan dormansi

terhadap laju perkecambahan benih Angsana Perlakuan Laju perkecambahan

(hari) Peningkatan laju

perkecambahan (%) B0 23,48 bc** 0 B1 20,72 ab -11,75 B2 19,32 ab -17,72 B3 26,56 c 13,12 B4 18,47 a -21,34 B5 18,59 a -20,83

Keterangan : ** Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menyatakan tidak berbeda nyata pada uji lanjut Duncan taraf 0,01

Tabel 9 menunjukkan respon laju perkecambahan paling cepat

diperoleh pada perlakuan B4 (perendaman dengan larutan KNO3 1% selama

12 jam) yaitu 18,47 hari atau 19 hari, sedangkan respon laju perkecambahan

paling lama diperoleh pada B3 (perendaman dengan larutan H2SO4 1%

selama 15 menit) yaitu 26,56 hari atau 27 hari meningkat 13,12%

dibandingkan B0 (kontrol). Hal ini berarti benih Angsana pada perlakuan B3

memiliki kekuatan tumbuh yang rendah.

4.1.7 Batas 80% berkecambah benih Angsana

Batas 80% berkecambah adalah parameter untuk menyatakan

lamanya waktu (hari) yang dibutuhkan benih untuk dapat mencapai 80%

dari total benih yang berkecambah. Waktu untuk menyatakan batas 80%

dihitung berdasarkan jumlah benih yang berkecambah setiap hari hingga

mencapai 80% dari total benih yang berkecambah. Batas 80%

berkecambah memberikan indikasi terhadap daya tumbuh atau virgor

benih. Benih-benih yang berkecambah pada batas 80% (hari) memiliki

virgor yang baik. Benih yang berkecambah setelah batas 80% biasanya

pertumbuhan semainya kurang baik, kerdil dan bahkan mati.

Hasil perkecambahan selama 60 hari menunjukkan bahwa batas

80% berkecambah dicapai pada hari ke-25 sampai hari ke-36 setelah

perkecambahan. Rekapitulasi batas 80% dan jumlah benih yang

berkecambah setiap perlakuan (Tabel 10).

Tabel 10 Pengaruh pematahan dormansi terhadap batas 80% dan jumlah

benih Angsana berkecambah Perlakuan

Batas 80% berkecambah

(hari/benih) B0 34/20 B1 30/25 B2 25/100 B3 36/39 B4 26/80 B5 25/100

Tabel 10 menunjukkan bahwa pematahan dormansi benih Angsana

pada perlakuan B2 (perendaman dengan larutan H2S04 1% selama 10 menit)

dan B5 (perendaman dengan larutan KNO3 1% selama 24 jam) mencapai

batas 80% berkecambah yang paling cepat yaitu 25 hari setelah tanam,

sedangkan batas 80% berkecambah yang paling lama yaitu pada B3

(perendaman dengan larutan H2SO4 1% selama 15 menit ) yaitu 36 hari

setelah tanam. Tingginya variasi hari batas 80% perkecambahan

menunjukkan bahwa B2 (perendaman dengan larutan H2S04 1% selama 10

menit) dan B5 (perendaman dengan larutan KNO3 selama 24 jam)

berpengaruh terhadap perkecambahan benih Angsana.

Pengaruh perlakuan pematahan dormansi memberikan respon batas

80% benih Angsana yang berbeda-beda (Gambar 12).

0

20

40

60

80

100

120

1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58

Hari ke-

Batas 80% berkecambah

(hari)

B0 B1 B2 B3 B4 B5 Batas 80%

Gambar 12 Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap batas 80%

berkecambah benih Angsana Gambar 12 menunjukkan bahwa pematahan dormansi benih

Angsana pada perlakuan B2 (perendaman dengan larutan H2S04 1%

selama 10 menit) dan B5 (perendaman dengan larutan KNO3 1% selama

24 jam) lebih cepat mencapai batas 80% berkecambah yaitu masing-

masing selama 25 hari dibandingkan dengan B3 (perendaman dengan

larutan H2SO4 1% selama 15 menit) yaitu selama 36 hari. Hal ini

menunjukkan bahwa benih yang lama untuk mencapai batas 80%

berkecambah umumnya benih mengalami permasalahan (embrio kurang

masak fisiologis, adanya hambatan terapan air, dan struktur kulit yang

keras).

4.1.8 Tinggi dan diameter bibit sapihan Angsana

a. Tinggi bibit sapihan

Pengukuran pertumbuhan semai Angsana dilakukan pada akhir

pengamatan. Pengaruh perlakuan pematahan dormansi memberikan respon

tinggi bibit sapihan yang berbeda-beda (Gambar 13).

1.53 d

1.52 d

1.46 c1

.53 d

1.39 b

1.33 a

1.20

1.25

1.30

1.35

1.40

1.45

1.50

1.55

B0 B1 B2 B3 B4 B5

Perlakuan pematahan dormansi

Tinggi bibit sapihan Angsana

(cm)

Gambar 13 Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap tinggi bibit

sapihan Angsana

Gambar 13 menunjukkan bahwa pematahan dormansi benih Angsana

pada perlakuan B2 (perendaman dengan larutan H2S04 1% selama 10 menit)

dan B5 (perendaman dengan larutan KNO3 1% selama 24 jam)

menghasilkan tinggi bibit sapihan yang paling tinggi yaitu masing-masing

sebesar 1,53 cm, sedangkan pengaruh yang paling kecil yaitu pada B0

(perendaman dengan air panas selama 30 menit kemudian direndam dengan

air dingin selama 12 jam) yaitu sebesar 1,33 cm.

Untuk mengetahui pengaruh pematahan dormansi terhadap tinggi bibit

sapihan Angsana, maka data hasil pengamatan dianalisis dengan

menggunakan sidik ragam (uji F) (Tabel 11).

Tabel 11 Hasil sidik ragam pengaruh perlakuan pematahan dormansi

terhadap tinggi bibit sapihan Angsana Sumber Keragaman DF JK KT F hit sig

Perlakuan (B) 5 0,11 0,02 50,22** 0,00

Galat 12 0,005 0,0005 Total 17 0,115

Keterangan ** perlakuan berpengaruh sangat nyata pada taraf uji F0,01

Tabel 11 menunjukkan bahwa perlakuan pematahan dormansi

berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi bibit sapihan Angsana (Gambar

14). Untuk mengetahui perlakuan yang terbaik selanjutnya dilakukan uji

lanjut Duncan (Tabel 12).

Tabel 12 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh perlakuan pematahan dormansi

terhadap tinggi bibit sapihan Angsana Lama perendaman Tinggi bibit sapihan

(cm) Peningkatan tinggi bibit sapihan (%)

B0 1,33a** 0 B1 1,39b 4,51 B2 1,53d 15,04 B3 1,46c 9,77 B4 1,52d 14,29 B5 1,53d 15,04

Keterangan : **Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menyatakan tidak berbeda sangat nyata pada uji lanjut Duncan taraf 0,01.

Tabel 12 menunjukkan respon tinggi bibit sapihan paling kecil

diperoleh pada perlakuan B0 (perendaman dengan air panas selama 30

menit kemudian direndam dengan air dingin selama 12 jam) yaitu sebesar

1,33 cm, sedangkan respon tinggi bibit sapihan terbesar diperoleh pada

perlakuan B2 (perendaman dengan H2SO4 1% selama 10 menit) dan B5

(perendaman dengan larutan KNO3 1% selama 24 jam) yaitu masing-

masing sebesar 1,53 cm atau meningkat 15,04% dibandingkan dengan B0

(kontrol). Hal ini berarti perlakuan B2 dan B5 mempengaruhi dengan

sangat nyata terhadap pertumbuhan tinggi bibit sapihan Angsana.

Gambar 14 Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap tinggi rata-rata bibit sapihan Angsana pada perlakuan B0, B1, B2, B3, B4, dan B5.

B2 B5 B4 B3 B1 B0

b. Diameter bibit sapihan

Diameter semai merupakan salah satu indikator pertumbuhan

tanaman ke arah radial. Pengukuran diameter bibit sapihan dilakukan pada

akhir pengamatan. Pengaruh perlakuan pematahan dormansi memberikan

respon diameter bibit sapihan Angsana yang berbeda-beda (Gambar 15).

1.10 b

1.07 b

0.65 a

1.06 b

0.48 a0.5

1 a

0.00

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

B0 B1 B2 B3 B4 B5

Perlakuan pematahan dormansi

Diameter bibit sapihan

Angsana (mm)

Gambar 15 Pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap diameter

bibit sapihan Angsana

Gambar 15 menunjukkan bahwa pematahan dormansi benih Angsana

pada perlakuan B5 (perendaman dengan larutan KNO3 1% selama 24 jam)

menghasilkan diameter bibit sapihan Angsana paling tinggi yaitu sebesar

1,10 mm, sedangkan pengaruh yang paling kecil diperoleh pada perlakuan

B1 (perendaman dengan air hasil fermentasi rebung bambu Apus selama 12

jam) yaitu sebesar 0,48 mm. Hal ini berarti perlakuan B5 mempengaruhi

pertumbuhan diameter semai.

Untuk mengetahui pengaruh pematahan dormansi terhadap diameter

bibit sapihan Angsana, maka data hasil pengamatan dianalisis dengan

menggunakan sidik ragam (uji F) (Tabel 13).

Tabel 13 Hasil sidik ragam pengaruh perlakuan pematahan dormansi terhadap diameter bibit sapihan Angsana

Sumber Keragaman DF JK KT Fhit Sig

Perlakuan (B) 5 1,35 0,27 8,71** 0,001

Galat 12 0,37 0,03 Total 17 1,72

Keterangan ** Berpengaruh sangat nyata pada taraf uji F0,01 Tabel 13 menunjukkan bahwa perlakuan pematahan dormansi

berpengaruh sangat nyata terhadap terhadap dameter bibit sapihan Angsana.

Untuk mengetahui perlakuan yang terbaik selanjutnya dilakukan uji lanjut

Duncan (Tabel 14).

Tabel 14 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh perlakuan pematahan dormansi

terhadap diameter bibit sapihan Angsana Perlakuan Diameter bibit sapihan

(mm) Peningkatan diameter bibit

sapihan (%)

B0 0,51 a ** 0 B1 0,48 a -5,88 B2 1,06 b 107,84 B3 0,65 a 27,45 B4 1,07 b 109,80 B5 1,10 b 115,69

Keterangan : **Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menyatakan tidak berbeda sangat nyata pada uji lanjut Duncan taraf 0,01.

Tabel 14 menunjukkan respon diameter bibit sapihan paling kecil

diperoleh pada perlakuan B1 (perendaman dengan air hasil fermentasi

rebung bambu Apus selama 12 jam) yaitu sebesar 0,48 mm, sedangkan

respon diameter bibit sapihan terbesar diperoleh pada perlakuan B5

(perendaman dengan larutan KNO3 1% selama 24 jam) yaitu sebesar 1,10

mm atau meningkat 115,69% dibandingkan dengan B0 (kontrol). Hal ini

berarti perlakuan B5 mempengaruhi dengan sangat nyata terhadap

pertumbuhan diameter bibit sapihan Angsana.

4.2 Pembahasan

4.2.1 Kadar air benih Angsana

Faktor yang mempengaruhi kemampuan perkecambahan benih salah

satunya adalah kadar air benih. Benih ortodoks yaitu benih yang mengalami

desikasi secara alami pada pohon induknya, dengan kriteria benih masak

secara fisiologis. Benih ortodoks tahan terhadap pengeringan hingga

mencapai kadar air 5%. Kelompok benih ortodoks umumnya dijumpai pada

spesies