terje mahan

34
TUGAS TERJEMAHAN FEBRUARI 2015 MYASTHENIA GRAVIS Oleh : VONNY MAHARANI NYOTO N 111 13 006 Pembimbing : dr. FARIDNAN, Sp.An DEPARTEMEN ANASTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

Upload: maharani-ariez-girlz

Post on 17-Jan-2016

13 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

anastesi

TRANSCRIPT

Page 1: Terje Mahan

TUGAS TERJEMAHAN FEBRUARI 2015

MYASTHENIA GRAVIS

Oleh :

VONNY MAHARANI NYOTO

N 111 13 006

Pembimbing :

dr. FARIDNAN, Sp.An

DEPARTEMEN ANASTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS TADULAKO

FEBRUARI

2015

Page 2: Terje Mahan

BAB 51

Myasthenia Gravis

Imanuela Sousa

Cynthia A. Lien

Pria 60 tahun memiliki riwayat diplopia dan disfagia untuk thymectomy. Pengobatannya

termasuk pyridostigmine, 120 mg per hari, prednison, 60 mg setiap hari, dan cyclosporine,

350 mg setiap hari. Tanda-tanda vitalnya adalah sebagai berikut: denyut nadi, 60 kali per

menit; tekanan darah, 150/80 mmHg; dan laju pernapasan 20 napas per menit. Saturasi

oksigen arterinya adalah 98% pada ruang udara.

Penyakit medis dan diagnosis banding

1. Penyakit apa saja yang seharusnya dapat menjadi diagnosis banding pasien ini?

2. Apa perbedaan antara myastenia gravis dan sindrom Lambert-Eaton?

3. Bagaimana insidens dari myastenia gravis?

4. Jelaskan klasifikasi klinis myastenia gravis !

5. Bagaimana myasthenia diklasifikasikan dalam kelompok usia anak?

6. Apa saja klinis myastenia gravis?

7. Apa rejimen pengobatan yang tersedia untuk pasien dengan myasthenia gravis?

8. Apa peran operasi dalam pengobatan myasthenia gravis?

9. Bagaimana peristiwa listrik dan humoral yang terjadi selama transmisi neuromuskular

yang normal? Bagaimana perubahan yang terjadi pada pasien dengan myasthenia

gravis?

10. Apa penyebab myastenia gravis dan bagaimana diagnosis ditegakkan?

Evaluasi pra operasi dan persiapan

1. Bagaimana seharusnya anda menilai pasien ini sebelum operasi?

2. Data laboratorium pra operasi apa yang diperlukan?

3. Haruskah pasien ini menerima premedikasi?

Manajemen intraoperatif

1. Bagaimana seharusnya pasien ini dipantau intraoperatif?

Page 3: Terje Mahan

2. Apa rejimen anestesi yang akan anda pilih untuk pasien ini?

3. Dapatkah obat-obatan penghambat neuromuskular dapatdigunakan pada pasien dengan

myasthenia gravis?

Manajemen pasca operasi

1. Dapatkah anda mengantisipasi bahwa pasien ini akan memerlukan bantuan ventilasi pasca

operasi yang berkepanjangan?

2. Bagaimana seharusnya nyeri pasca operasi pasien ini diterapi?

3. Pasien ini diekstubasi di ruang operasi tanpa kesulitan, dan 40 menit kemudian ia

mengeluh merasa lemah dan sulit bernapas. Mengapa?

A. Penyakit Medis dan Diagnosis banding

A.1. Penyakit apa saja yang seharusnya dapat menjadi diagnosis banding pasien ini?

Meskipun diagnosis pasien ini sesuai dengan myasthenia gravis, sejumlah gangguan yang

mirip dengan myastenia gravis harus dimasukkan dalam diagnosis banding awal. Botulisme

dan sindrom Lambert-Eaton (LES) dapat menyebabkan kelemahan dan optalmoplegia.

Botulisme mempengaruhi saraf kranial pada awalnya. Perubahan respon cahaya pupil dan

peningkatan respon pada rangsangan saraf berulang dapat membedakannya dari myasthenia

gravis.

LES menyebabkan kelemahan otot distal yang meningkatk setelah latihan. Hal ini

terkait dengan tumor sel oat paru-paru pada 50% kasus. Hal ini juga terkait dengan defek

pada sistem saraf otonom, yang bermanifestasi sebagai mulut kering, hipotensi ortostatik, dan

retensi urin.

Tirotoksikosis dapat memiliki gejala kelemahan umum dan fungsi tiroid yang

abnormal. Pasien neurasthenia khas memiliki kelemahan yang menghilang ketika pada

beberapa otot diuji. Oftalmoplegia progresif eksternal, eardiomyopathies restriksi, distrofi

otot, tumor otak, amyotrophic lateral sclerosis, polymyopathy miasthenik dengan

hipersensitivitas terhadap neostigmin, dan obat-obatan seperti D-penisilamin, D-tubokurarin,

aminoglikosida, kina, prokainamid, dan calcium channel blockers juga dapat menyebabkan

gejala seperti myasthenia.

Benumof JL, ed. Anesthesia and uncommon disease, 4th ed. Philadelphia: WB Saunders, 1998:380-

386. Drachman DB. Myasthenia gravis. N Engl J Med 1994;330(25):1797-1810.

Page 4: Terje Mahan

Eisenkraft JB. Anesthetic considerations in patients with myasthenia gravis. Cardiothorac Vase

Anesth Update 1990;1:1.

Goetz CJ, Pappert EL eds. Textbook of clinical neurology. Philadelphia: WB Saunders,

1999:10251026.

Osserman KE, Genkins G. Studies in myasthenia gravis: review of a 20 year experience in over

1200 patients. Mt Sinai J Med 1971;38:497-538.

A.2. Apa perbedaan antara myastenia gravis dan sindrom Lambert-Eaton?

Karakteristik miastenia gravis dan LES disajikan pada Tabel 51.1.

Benumof JL, ed. Anesthesia and uncommon disease, 4th ed. Philadelphia: WB Saunders, 1998:380-

386.

Book WJ, Abel M, Eisertcraft JB, eds. Anesthesia and neuromuscular diseases. Anesthesiol Clin North

Am Sep 1996;14:3.

Healy T, Cohen P, eds. Wylie and Churchill-Davidson's a practice of anesthesia, 6th ed. London:

Edward Arnold, 1995:143.

Yanoff M, Duker JS, eds. Ophthalmology. London: Mosby, 1999.

A.3. Bagaimana insidens dari myastenia gravis?

Myasthenia gravis relatif jarang dan memiliki insidens sekitar 1 dari 30.000 orang.

Satu setengah kali lebih banyak perempuan daripada laki-laki yang mengalami penyakit ini.

Pria yang memiliki penyakit ini memiliki insiden yang lebih tinggi terjadinya thymoma.

Ada pola bimodal insiden, yang bervariasi dengan jenis kelamin pasien. Pada

perempuan, myasthenia gravis terjadi dalam dekade kedua dan ketiga kehidupan, dan pada

laki-laki sering terjadi terutama pada dekade kelima dan keenam. Pasien yang lebih muda

dari 16 tahun mencapai kurang dari 10% dari kasus myastenia.

Pasien dengan myasthenia gravis cenderung memiliki insiden yang lebih tinggi

mengalami penyakit autoimun. Hal Ini termasuk penyakit autoimun tiroid, rheumatoid

arthritis, lupus eritematosus sistemik, dan diabetes mellitus, menunjukkan kecenderungan

genetik parsial untuk myasthenia.

Page 5: Terje Mahan

Tabel 51.1 Karakteristik dari Myasthenia gravis dan Lambert-Eaton Syndrome

Myastenia Gravis Lambert-Eaton Syndrome

Jenis kelamin yang lebih

mudah terkena

Perempuan Laki-laki

Usia saat onset 20-40 tahun 50-70 tahun

Tanda-tanda yang muncul Kelemahan okular, bulbar

dan otot fasial; kelelahan

dengan aktivitas; nyeri otot

jarang terjadi; refleks tendon

normal

Kelemahan dan kelelahan

dari otot proksimal;

peningkatan sementara

kekuatan saat beraktivitas;

nyeri otot sering terjadi;

refleks tendon berkurang

atau tidak ada

Patologi Glandula timus paling sering

abnormal dengan 15-20%

dari pasien memiliki

thymoma

Small cell carcinoma dari

paru-paru biasanya terjadi

Respon elektromyografi Penurunan tegangan

terhadap stimulasi berulang

dengan respon yang baik

terhadap antikolinesterase

Peningkatan tegangan

terhadap stimulasi berulang

dan respon yang buruk

terhadap antikolinesterase

Respon relaksan otot Peningkatan sensitivitas

agen penghambat

nondepolarisasi

neuromuscular dan respon

yang bervariasi terhadao

suksinilkolin

Kepekaan terhadap obat

penghambat nondepolarisasi

neuromuscular dan

peningkatan respon normal

dari suksinilkolin

Antibodi Antibodi tampak pada

reseptor asetilkolin

Antibodi tampak pada

calcium channel yang

berkaitan dengan protein

synaptogamin

Abnormalitas dari sistem

saraf otonom

Tidak tampak Tampak

Pengobatan Steroid, plasmapharesis, Steroids, plasmapharesis,

Page 6: Terje Mahan

azathioprine, tymectomy azathioprine, dan 3,4

diaminopyridine

Drachman DB. Myasthenia gravis. N Engl J Med 1994;330(25):1797-1810.

Goetz CJ, Pappert El., eds. Textbook of clinical neurology. Philadelphia: WB Saunders,

1999:10251026.

Kurtzke JF. Epidemiology of myasthenia gravis: advances in neurology. New York: Raven Press,

1978:545- 566.

Rakel RE, ed. Conn's current therapy, 53rd ed. Philadelphia: WB Saunders, 2001:967-972.

A.4. Jelaskan klasifikasi klinis myastenia gravis?

Klasifikasi klinis oleh Osserman dan Genkins mengenai kelompok pasien dengan

myasthenia berdasarkan gejalanya, yakni:

• Kelas 1: Hanya gejala okular

• Kelas 1A : Gejala okular dengan bukti elektromiografi keterlibatan otot perifer

• Kelas 2A : Gejala umum yang ringan

• Kelas 2B: Gejala yang lebih parah dan progresif

• Kelas 3: Akut dan gejala bulbar yang parah terjadi dalam beberapa minggu sampai bulan

• Kelas 4: Keterlambatan perjalanan penyakit dengan gejala bulbar yang berat dan ditandai

dengan kelemahan umum.

Osserman KE, Genkins G. studies in myasthenia gravis: review of a 20 year experience in

ove 1200 patients. Mt Sinai 1 Med 1971;38:497-538.

A.5. Bagaimana myasthenia diklasifikasikan dalam kelompok usia anak?

Pada pasien anak, myasthenia gravis diklasifikasikan sebagai transient neonatal,

neonatal persisten, atau juvenile. Neonatal myasthenia transien adalah klasifikasi yang

digunakan untuk bayi yang lahir dari ibu dengan myastenia gravis. Sebagian besar bayi ini

memiliki sirkulasi antibodi reseptor asetilkolin (AChR) yang telah secara pasif ditransfer dari

ibu ke bayi. Antibodi bersifat sementara. Hanya 12% dari bayi ini memiliki gejala miastenia.

Gejala yang dapat muncul termasuk menangis lemah, nafsu makan yang buruk, kesulitan

pernapasan, kelemahan umum atau wajah, dan ptosis. Gejala ini berlangsung rata-rata selama

18 hari.

Page 7: Terje Mahan

Neonatal persistent myasthenia gravis sangat jarang terjadi. Onsetnya pada usia 2-3

bulan. Pada pasien ini tidak terdeteksi antibodi AChR.

Juvenile myasthenia sangat mirip dengan myasthenia gravis yang terjadi pada orang

dewasa.

Andreoli T, Carpenter C, Griggs R; et al, eds. Cecil essentials of medicine, 5th ed.

Philadelphia. WB Saunders, 2000:998-999.

Benumof IL, ed. Anesthesia and uncommon disease, 4th ed. Philadelphia: WB Saunders,

1998:380-386.

A.6. Apa saja klinis myastenia gravis?

Ciri dari gejala miastenia gravis mengalami kelemahan otot yang fluktuatif dan

memburuk dengan tenaga dan meningkat setelah masa istirahat. Pasien dengan myasthenia

gravis memiliki kondisi terkuat setelah beristirahat dan merasa berenergi segera setelah

bangun dari tidur. Kelemahan akan semakin memburuk setiap harinya.

Manifestasi klinis dari myasthenia gravis biasanya berbahaya, terjadi dalam hitungan

bulan sampai tahun. Gejala awal umumnya mata dan terdiri dari ptosis dan diplopia. Ptosis

dapat bersifat unilateral atau bilateral, simetris atau asimetris, dan biasanya bergantian antara

kedua mata. Diplopia biasanya intermiten. Keterlibatan otot ekstraokular dapat bervariasi dari

paresis otot tunggal hingga total oftalmoplegia. Kelelahan otot dapat menyebabkan

nistagmus. Pupil biasanya bertahan pada myasthenia gravis. Gejala okular biasanya menjadi

lebih umum pada 80% sampai 85% dari pasien dengan myasthenia gravis. Prognosis lebih

baik jika gejala yang berhubungan dengan gangguan mata tetap terbatas selama lebih dari 2

tahun.

Keterlibatan otot bulbar menghasilkan disartria, disfagia, dan kesulitan mengunyah.

Penurunan berat badan dapat terjadi sebagai akibat dari penurunan asupan oral dan

regurgitasi nasal, dan bunyi sengau yang keluar dari hidung dapat menunjukkan kelemahan

palatal. Keterlibatan otot-otot wajah, terutama yang mengangkat sudut mulut (levator labii

superioris dan levator anguli oris), memberikan karakteristik miastenia "menggeram."

Meskipun kelemahan otot ekstremitas terjadi hanya 15% sampai 20% dari

myasthenics, dapat bermanifestasi sebagai ketidakmampuan untuk melakukan tugas sehari-

Page 8: Terje Mahan

hari yang sederhana seperti menarik, mencapai, atau mengangkat. Otot proksimal lebih sering

terlibat daripada otot distal. Jarang, kelemahan otot-otot leher ekstensor (rektus capitis

posterior mayor, rektus capitis posterior minor) dapat terjadi. Pasien yang terkena tidak dapat

menjaga kepala mereka tetap tegak.

Kelemahan otot pernapasan muncul sebagai dyspnea, terutama dalam posisi

terlentang. Jika diafragma terlibat, ada pemaksaan batuk dan ketidakmampuan untuk

menghasilkan suara.

Banyak faktor yang dapat memperburuk gejala myasthenia gravis. Ini termasuk stres

fisik dan emosional, infeksi, paparan sinar matahari yang cerah, dan terutama dalam kasus

dengan gejala yang didominasi okular, setiap kenaikan suhu yang berhubungan dengan

infeksi dan hipertiroidisme. Obat termasuk quinidine, procainamide, aminoglikosida,

penicillarnine, dan calcium channel blockers juga dapat memperburuk gejala. Infeksi diobati

dengan antibiotik yang salah mungkin cukup untuk memperburuk gangguan pernapasan yang

parah dan mungkin memerlukan ventilasi mekanis.

Grob D, Arsura EL, Brunner NG, et al. Part Pl. Diagnosis and treatment of myasthenia gravis

The course of myasthenia gravis and therapies affecting outcome. Ann N Y Acad Sci

1987;505:472-499. Kennedy FS, Moersch FP. Myasthenia gravis--a clinical review of 87 cases

observed between 1915 and the early part of 1932. Can Med Assoc J 1937;37:216.

Rakel RE, ed. Conn's current therapy, 53rd ed. Philadelphia: WB Saunders, 2001:967-972.

Drachman DB. Myasthenia gravis. N Engi J Med 1994;330(25):1797-1810.

Snell R, Katz J, eds. Clinical anatomy for anesthesiologists. Norwalk, CT: Appleton &

Lange, 1998. Yanoff M, Duker JS, eds. Ophthalmology. London: Mosby, 1999.

A.7 Apa rejimen pengobatan yang tersedia untuk pasien dengan myasthenia gravis?

Terdapat berbagai bentuk pengobatan untuk myasthenia gravis yang tersedia.

Mereka dapat secara luas diklasifikasikan sebagai berikut:

• Farmakologis

• Bedah

• Plasmapheresis

Page 9: Terje Mahan

Terapi farmakologis dengan antikolinesterase dan imunosupresan bertujuan untuk

manipulasi tingkat ACh dan sistem kekebalan tubuh.

Antikolinesterase telah digunakan sebagai terapi awal untuk gejala myasthenia

gravis sejak 1934. Dengan menghambat metabolisme enzimatik ACh, obat ini

memperpanjang durasi ACh pada membran postsinap dari neuromuskuler junction.

Karena respon pasien terhadap obat ini berubah-ubah, bervariasi dari pasien ke pasien

dan dalam pasien selama sehari, pendidikan pasien dan keterlibatan mereka dalam

perawatan medis mereka yang diperlukan untuk penggunaan optimal dari

antikolinesterase.

Efek samping yang paling umum dari antikolinesterase disebabkan oleh efek

muskarinik ACh dan termasuk bradikardia, kram gastrointestinal, bronkospasme, dan

peningkatan sekresi oral dan pernapasan. Peningkatan sekresi oral dapat menimbulkan

masalah, terutama bagi pasien yang memiliki gejala bulbar dengan yang sudah

mengalami kesulitan menelan dan pada pasien dengan keterlibatan otot pernafasan.

Terapi yang berlebihan dengan obat antikolinergik dapat mengakibatkan krisis

kolinergik. Hal ini akan memiliki gejala kelemahan yang mendalam dan karena

kelebihan ACh pada neuromuscular junction, yang menghasilkan depolarisasi terus-

menerus dari serat otot. Gejala-gejala ini dapat memulai lingkaran setan dalam

mengobati kelemahan pada kelemahan miasthenik dengan antikolinesterase, dan lebih

memperburuk krisis kolinergik. Dalam membedakan secara klinis antara keduanya,

ukuran pupil mungkin memberikan beberapa petunjuk untuk etiologi kelemahan.

Hiperkarbia pada pasien miastenia menyebabkan stimulasi simpatis dan pelebaran pupil.

Pada krisis kolinergik, ACh menyebabkan penyempitan pupil.

Pyridostigmine (Mestinon) adalah obat yang paling umum digunakan untuk

pengobatan miastenia karena menyebabkan lebih sedikit efek samping muskarinik

daripada neostigmin. Onset kerjanya adalah 15 sampai 30 menit setelah pemberian oral,

efek puncak dalam waktu 1 sampai 2 jam, dan durasi tindakan adalah 3 sampai 4 jam. Ini

tersedia dalam tiga dosis yakni 10, 30, dan 60 mg, dan dosis harian berkisar antara 30

dan 120 mg dibagi menjadi tiga sampai enam dosis dalam 24 jam. Bentuk long-acting

dari pyridostigmine juga tersedia. Kecuali pasien memiliki kelemahan yang mendalam

pada pagi hari atau gangguan pernapasan di malam hari, tidak umum digunakan. Ada

peningkatan risiko overdosis dengan bentuk long-acting dari antikolinesterase ini.

Page 10: Terje Mahan

Edrophonium (Tensilon), 5 sampai 10 mg intravena, telah digunakan secara rutin

di antara dosis antikolinesterase yang sudah terjadwal untuk menentukan apakah pasien

menerima terlalu banyak atau terlalu sedikit obat.

Antikolinesterase tidak berdampak pada patologi primer, termasuk imunologi,

dan jarang digunakan sendiri.

Kortikosteroid digunakan untuk melengkapi, bukan menggantikan, terapi

antikolinesterase. Tujuh puluh persen sampai delapan puluh persen pasien memiliki remisi

lengkap penyakit mereka dalam beberapa minggu ke bulan pengobatan dengan dosis

prednison yang cukup. Perbaikan klinis berlangsung lambat setelah memulai terapi steroid

dan mungkin memakan waktu beberapa minggu. Diawali dengan dosis steroid yang minimal

sehingga dapat meminimalkan efek samping awal yang terjadi pada pasien. Kortikosteroid

memberi efek imunosupresif di berbagai tingkatan dari sistem kekebalan tubuh.

Kortikosteroid mengurangi jumlah antibodi AChR dan menghilangkan reaktivitas anti-AChR

dari limfosit darah perifer.

Sejumlah rejimen dosis yang berbeda telah diusulkan. Rejimen alternatif per hari

mengurangi efek samping. Efek samping yang umum terlihat dengan steroid dosis tinggi

adalah immunosupresi secara umum, infeksi, katarak, miopati, osteoporosis, diabetes, dan

penyakit ulkus peptikum. Kebanyakan pasien membutuhkan sekitar 40 sampai 60 mg

prednisone per hari.

Obat sitotoksik seperti azathioprine dan cyclosporine yang digunakan bersamaan

dengan steroid dan antikolinesterase untuk mengurangi dosis total steroid. Azathioprine

bertindak terutama pada sel T. Hal ini berguna pada pasien yang memiliki kontraindikasi

terhadap kortikosteroid. Meskipun ditoleransi dengan baik oleh pasien, beberapa bulan

sampai tahun mungkin diperlukan untuk mencapai efek terapi yang maksimal. Siklosporin

menghambat produksi interleukin-2 oleh sel T helper. Tingkat keberhasilan sama dengan

azathioprine, tetapi efek terapeutik maksimal terlihat dalam 1 sampai 2 bulan. Efek samping

meliputi nefrotoksisitas dan hipertensi.

Hormon adrenokortikotropik (ACTH; corticotropin) telah digunakan dalam

pengobatan miastenia gravis yang parah dan sering berguna ketika terapi sebelumnya dengan

steroid telah gagal. Bentuk pengobatan, bagaimanapun, sedang diganti dengan

plasmapheresis.

Plasmapheresis telah ditemukan untuk secara efektif menghilangkan antibodi dan

biasanya disediakan untuk menstabilkan pasien yang mengalami krisis miastenia atau

Page 11: Terje Mahan

sebelum operasi pada pasien dengan kelemahan yang parah. Setelah terapi, kondisi pasien

membaik dengan cepat, tetapi memiliki efek yang singkat. Ketika plasmapheresis

dikombinasikan dengan imunoglobulin intravena dalam dosis 400 mg / kg per hari selama 5

hari secara berselang-seling, ada peningkatan yang cepat, yang dapat bertahan selama

beberapa minggu.

Dengan peningkatan pemahaman tentang sistem kekebalan tubuh, ada beberapa

pengobatan baru yang potensial untuk myasthenia gravis seperti menargetkan sel T dan B

spesifik, dan secara nonselektif penghapusan sel T helper, yang bertanggung jawab untuk

memproduksi antibodi terhadap AChR. Induksi toleransi terhadap antigen sendiri telah

terbukti untuk mencegah myasthenia gravis pada binatang.

Andreoli T, Carpenter C, Griggs R, et al, eds. Cecil's essentials of medicine, 5th ed.

Philadelphia: WB Saunders, 2001:998-999.

Goetz CJ, Pappert EJ, eds. Textbook of clinical neurology. Philadelphia: WB Saunders,

1999:1025-1026.

Rakel RE, ed. Conn's current therapy, 53rd ed. Philadelphia: WB Saunders,

2001:967-972. Atlee JL, ad. Ccmplications in anesthesia. Philadelphia: WE

Saunders, 1998:490-493.

A.8. Apa peran operasi dalam pengobatan myasthenia gravis?

Thymectomy telah digunakan sebagai pengobatan untuk myasthenia gravis sejak

1939, ketika pengangkatan kista dari timus pasien dengan myasthenia gravis, dijelaskan oleh

Blalock, telah menimbulkan remisi penyakit. Tujuan dari thymectomy sebagai pengobatan

untuk

myasthenia gravis adalah untuk menginduksi remisi, memungkinkan pengurangan obat

imunosupresif. Dari 50% menjadi 80% dari pasien yang menjalani thymectomy akan

menunjukkan perbaikan klinis setelah thymectomy, dan 21% sampai 38% dari pasien akan

mengalami remisi klinis (dibandingkan dengan 13% pasien yang diobati secara medis).

Peran yang tepat dari timus dalam patogenesis myastenia gravis kemungkinan mirip

dengan produksi antibodi AchR oleh sel T. Sel epitel timus dan AChRs memiliki epitop yang

sama. Sebuah thymoma terlihat pada 15% pasien dengan myasthenia gravis, dan hiperplasia

thymus terlihat pada 80% pasien. Perbaikan klinis yang sering terlihat setelah thymectomy

Page 12: Terje Mahan

adalah bukti lebih lanjut dari pengaruh timus pada myastenia gravis. Oleh karena itu,

thymectomy mungkin pilihan yang logis untuk sebagian besar pasien dengan myasthenia

gravis. Pilihan terapi ini bagaimanapun tidak dilakukan pada anak-anak sebelum pubertas dan

pada pasien dengan gejala dominan okular. Selain itu, jika gejala penyakit memiliki respon

yang baik dengan terapi medikasi maka pasien bukan kandidat untuk dilakukan operasi.

Teknik bedah thymectomy untuk myasthenia gravis dapat melalui transsternum atau

transervikal. Teknik transsternal memungkinkan untuk paparan bedah yang lebih baik dan

eksisi lebih luas. Keuntungan utama dari teknik transervikal adalah tindakan yang minimal

invasif. Kematian dengan pendekatan ini adalah mendekati 0%, dibandingkan 9% dengan

pendekatan transsternal. Selanjutnya, kejadian yang membutuhkan ventilasi pasca operasi

adalah 10% setelah transervikal thymectomy, dibandingkan dengan 50% pada teknik

transstemal. Tingkat remisi dengan dua teknik bedah sebanding.

Atlee JL, ed. Complications in anesthesia. Philadelphia: WB Saunders, 1998:490-493.

Buchinghan JM, Howard FM, Bematy PE, et al. The value of thymectomy in myasthenia

gravis. Ann Stag 1976;184:453.

Drachman DB. Myasthenia gravis. N Engl J Med 1994;330(25):1797-1810.

Kissel JT, Franklin GM. Treatment of myasthenia gravis. Neurology 2000;55(1):3-4.

Papasetas AE, Genkins G, Komfield 13, et al. Comparison of the results of transcervical and

transsternal thymectomy in myasthenia gravis. Ann N Y Acad Sci 1981;377:766.

A.9. Bagaimana peristiwa listrik dan humoral yang terjadi selama transmisi neuromuskular

yang normal? Bagaimana perubahan yang terjadi pada pasien dengan myasthenia

gravis?

Muatan normal di dalam sebuah sel adalah relatif negatif terhadap lingkungan

ekstraselular. Perbedaan potensial sebesar 70 sampai 90 mV. Selama potensial aksi, fluks ion

yang terjadi menyebabkan bagian dalam sel menjadi positif sekitar 40 mV. Potensial aksi

saraf menyebabkan pelepasan sejumlah kuantum Ach dari saraf terminal. Ach melintasi celah

sinaptik dan menempel di reseptor pada sarcolemma, menyebabkan depolarisasi. Depolarisasi

ini disebut potensi endplate. Jika ambang batas untuk eksitasi terlampaui oleh penjumlahan

dari banyak potensi endplate, potensial aksi menyerang membran sel otot dan menyebar di

sepanjang permukaannya, menyebabkan kontraksi otot.

Page 13: Terje Mahan

Dalam myasthenia gravis, sejumlah ACh dilepaskan dari tempat presinaptik normal

atau bahkan meningkat. Namun demikian, perubahan histologis ditemukan di neuromuscular

junction yang menyebabkan perubahan dalam transmisi impuls. Ini terdiri dari pelebaran

ruang sinaptik pada neuromuskuler junction dan degenerasi lipatan junctional. Yang

terpenting, konsentrasi dari AChRs fungsional pada membran postsinaptik sering berkurang

lebih dari 70%. Antibodi terhadap AChR bertanggung jawab atas penurunan ini. Antibodi

AchR ini diarahkan langsung terhadap berbagai epitop pada reseptor postsinaptik,

mengurangi jumlah ACh yang berfungsi dengan beberapa mekanisme, termasuk blokade

langsung, lisis yang dimediasi komplemen, dan peningkatan tingkat reseptor degradasi.

Atlee JL, eds. Complications in anesthesia. Philadelphia: WB Saunders, 1998:490-493.

Drachman DB. Myasthenia gravis. N Engl J Med 1994;330(25)1797-1810.

1-1,.rvaid CWH, Scadding CK. Myasthenia gravis: pathogenesis and current concepts in

management. Drugs 1983;26:174.

A.10. Apa penyebab myastenia gravis dan bagaimana diagnosis ditegakkan?

Miastenia gravis merupakan penyakit autoimun yang disebabkan oleh antibodi dan sel

T menyerang pada AChR nicotinic dari motorik endplate. Antibodi terdeteksi pada 80%

pasien

dengan kelemahan umum dan 50% dari pasien dengan penyakit mata saja. Teori stimulasi sel

T terjadi setelah sensitisasi dalam timus dengan protein yang sama atau identik dengan

embrio AChR.

Diagnosis myasthenia gravis biasanya dibuat berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan

klinis. Hal ini kemudian dikonfirmasi dengan beberapa tes diagnostik. Uji klinis dari

ketahanan stres termasuk pengamatan tatapan ke atas secara berkepanjangan, memegang

tangan terentang dalam posisi abduksi, dan penentuan kapasitas vital. Tes ini memberikan

informasi yang obyektif tentang kelemahan. Tes-tes lain yang mengkonfirmasi diagnosis

miastenia gravis adalah sebagai berikut:

• Tes elektrofisiologi

• Tes farmakologis

• Tes serologi

Tes elektropsikologi melibatkan stimulasi saraf perifer dengan stimulus supramaximal

dari 2 Hz sebanyak empat kali selama 2 detik dalam pola train of four. Penurunan respon

kedutan lebih dari 10%, ketika respon keempat dibandingkan dengan yang pertama , adalah

Page 14: Terje Mahan

diagnosis miastenia gravis. Pasien miastenia juga menunjukkan kurang mudah posttetanic

daripada rekan-rekan mereka yang sehat. Sensitivitas tes stimulasi ini adalah 50% sampai

70%.

Serat elektromiografi tunggal adalah tes elektrofisiologi yang lebih sensitif. Tes ini

menilai interval waktu antara dua potensial aksi serat otot dalam unit motor yang sama.

Karena saraf yang menginervasi kedua serat otot sama, variasi waktu antara potensial aksi

mereka, dikenal sebagai "jitter," adalah manifestasi dari transmisi neuromuskular junction.

Pada pasien dengan myasthenia gravis, terjadi peningkatan "jitter". Sensitivitas tes ini lebih

tinggi dari 90%, meskipun tidak spesifik untuk myasthenia gravis.

Tes farmakologis melibatkan pemberian edrophonium antikolinesterase. Untuk tes

diagnostik ini, pasien yang lelah dengan tugas dapat dengan mudah dinilai, seperti bicara

cadel atau kapasitas vital, dan kemudian diberikan edrophonium. Pasien dengan myasthenia

menunjukkan peningkatan dramatis dalam waktu 2 menit dengan pemberian intravena 2,5-9

mg edrophonium.

Tes curare juga dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa transmisi impuls dapat

nyata berkurang di neuromuskuler junction pada pasien dengan myasthenia gravis. Tes ini

jarang digunakan karena morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan itu. Karena pasien

miastenia dapat memiliki blokade AChRs hingga 70%, batas keselamatan transmisi impuls

sangat berkurang. Oleh karena itu, blokade neuromuskular dapat lebih dalam dan henti nafas

dapat terjadi setelah pemberian parenteral D-tubokurarin bahkan dengan dosis kecil. Tes ini

dapat dilakukan baik sebagai regional ataupun sistemik. Dengan tes regional, tourniquet

dipasang untuk setiap lengan dan dikembangkan. Pada satu lengan, dosis 0,2 mg D-

tubokurarin dalam 20 mL larutan salin normal diberikan intravena. Di lengan lainnya, 20 mL

normal saline diberikan intravena. Fungsi otot diuji sebelum, selama, dan setiap beberapa

menit dengan electromyography sampai 16 menit setelah pemberian D-tubokurarin pada

saline normal. Pada myasthenia gravis, penurunan respon otot yang drastis terlihat di lengan

menerima D-tubokurarin. Selama tes sistemik, peningkatan 0.5- 1 mg D-tubokurarin sampai

dosis maksimum 0,03 mg / kg diberikan secara intravena untuk memperburuk gejala

myastenia. Pada pasien myastenia, ditandai dengan terlihat kelemahan dengan kurang dari

10% pada dosis curarizing normal. Fungsi otot dinilai 5 menit setelah pemberian masing-

masing dosis. Tes dihentikan segera setelah tampak terjadinya kelemahan yang memburuk.

Karena tes curare regional meneliti hanya sekelompok otot yang dipilih, tes curare sistemik

lebih sensitif daripada yang regional. Tes curare regional bagaimanapun tetap merupakan tes

yang lebih aman karena dapat kompromi terhadap penurunan kemampuan pernapasan. Hal

Page 15: Terje Mahan

ini didasarkan pada prinsip bahwa pasien dengan myasthenia gravis dapat memiliki

penghambat reseptor AChR sebanyak 70% dan karena itu dapat terjadi kelemahan yang

parah bahkan jika hanya 10% dari dosis normal D-tubokurarin diberikan intravena . Hasil tes

dikatakan positif bila ada eksaserbasi kelemahan yang terlihat.

Pengujian serologi melibatkan identifikasi antibodi AChR. Antibodi terhadap AChR

adalah penanda serum untuk diagnosis myastenia gravis dan terdeteksi pada 80% pasien

dengan myastenia gravis umum dan 50% dari pasien dengan hanya gejala okular. Antibodi

terhadap otot lurik juga terdeteksi pada pasien dengan miastenia gravis, dan bila jumlah titer

tinggi biasanya dikaitkan dengan thymoma. Meskipun tingkat antibodi tidak berkaitan

dengan keparahan penyakit atau prognosis pasien, tes antibodi masih lebih spesifik daripada

tes lainnya untuk myasthenia gravis.

Tes-tes lain yang telah membantu untuk menguatkan diagnosis myastenia termasuk

nystagraphy dan stapedius reflexometry.

Davies DW, Steward DJ. Myasthenia gravis in children and anesthetic management for

thymectorny. Can Anaesth Soc j 1973;20:253.

Drachman DB. Myasthenia gravis. N Engl J Med 1994;330(25):1797-1810.

Foldes FF, Klonymus DH, Maisel W, et al. A new curare test for the diagnosis of myasthenia

gravis: JAMA 1968;203:649.

Goetz CJ, Pappert EJ, eds. Textbook of clinical neurology. Philadelphia: WB Saunders, 1999:1025-

1026.

Rakel RE, ed. Conn's current therapy, 53rd ed. Philadelphia: WB Saunders, 2001:967-972.

Samaha FJ. Electrodiagnostic studies in neuromuscular diisease. N Engl J Med 1971;285:1244.

Viets HR, ed. Myasthenia gravis. Springfield, IL: Charles C Thomas Publisher, 1961:411-

434. Yanoff M, Duker JS, eds. Ophthalmology. London: Mosby, 1999.

B. Evaluasi pra operasi dan persiapan

B.1. Bagaimana seharusnya anda menilai pasien ini sebelum operasi?

Wawancara pra operasi harus mengidentifikasi faktor-faktor yang mungkin

menunjukkan indikasi untuk dilakukan ventilasi pasca operasi. Hal ini termasuk durasi dan

keparahan penyakit dan total kebutuhan pyridostigmine harian atau obat lainnya. Informasi

ini akan memandu ahli anestesi dalam memilih obat pra operasi dan dalam membuat

pengaturan untuk perawatan pascaoperasi. Pemberian obat pasien harus secara rinci. Pasien

Page 16: Terje Mahan

myastenia biasanya memiliki pengetahuan tentang pengobatan mereka; mereka dapat

menyesuaikan rejimen mereka sendiri atas dasar status klinis mereka.

Perubahan obat antikolinesterase pasien sebelum operasi masih diperdebatkan. Pada

pasien dengan kelemahan yang ringan, penghentian antikolinesterase tampaknya akan

menjadi lebih baik. Jika penggunaannya diteruskan dapat mempersulit anestesi karena pasien

lebih rentan terhadap aritmia vagal. Selain itu, antikolinesterasi menghambat plasma

cholinesterase dan acetylcholinesterase. Oleh karena itu, dapat memperlambat metabolisme

anestesi lokal ester, succinylcholine, dan mivakurium. Pasien myasthenia yang bergantung

pada obat mereka harus tetap melanjutkannya. Dalam kasus ini, bagaimanapun, ahli anestesi

harus waspada tentang pengobatan postoperatif yang nyata berkurang. Pasien mengkonsumsi

atau telah mengkonsumsi steroid pada tahun lalu perlu ditentukan.

Karena frekuensi terjadinya penyakit autoimun lainnya meningkat pada pasien

myasthenia gravis, maka bukti hipotiroid, anemia pernisiosa, systemic lupus

erythematosus, dan rheumatoid arthritis harus dicari.

Benumof JL, ed. Anesthesia and uncommon disease, 4th ed. Philadelphia: WB Saunders,

1998:380-386.

Book WJ, Abel M, Eisencraft JB, eds. Anesthesia and neuromuscular diseases. Anesthesiol Clin

North Am 1996;14:3.

Stoelting RK, Dierdorf SF, eds. Anesthesia and coexisting disease, 4th ed. New York: Churchill

Living stone, 2002:522-527.

B.2. Data laboratorium pra operasi apa yang diperlukan?

Sebagai tambahan laboratorium pra operasi rutin, pasien myastenia mungkin

mengalami abnormalitas elektrolit, terutama hipokalemia, yang dapat memperburuk

kelemahan. Karena pasien ini menggunakan steroid, kadar glukosa darah harus ditentukan.

Tingkat endapan siklosporin harus diperoleh untuk menyesuaikan dosis dan menghindari

toksisitas. Jumlah darah dan fungsi hati dan ginjal juga harus diperiksa.

Analisis gas darah arteri pra operasi dan tes fungsi paru akan berfungsi sebagai dasar

untuk ekstubasi, terutama jika pasien itu harus menggunakan ventilasi mekanis pasca operasi.

Pasien dengan thymoma memiliki massa pada mediastinum anterior yang harus dievaluasi

untuk kompresi trakea dan deviasi. Hal ini dapat mempengaruhi kemudahan intubasi

endotrakeal. Pasien myastenia dapat memiliki pernafasan intratoraks atau obstruksi vaskular

Page 17: Terje Mahan

pada induksi anestesi. Putaran arus-volume sebelum operasi dapat menunjukkan apakah

obstruksi tersebut intratoraks atau extrathoracic.

B.3. Haruskah pasien ini menerima premedikasi?

Kunjungan pra operasi harus meliputi penjelasan tentang prosedur anestesi dan

kemungkinan ventilasi pasca operasi. Seringkali, tindakan ini berfungsi untuk menghilangkan

kecemasan dan mengurangi kebutuhan untuk sedasi sebelum operasi. Pengobatan yang

menyebabkan depresi pernafasan seharusnya dihindari. Glikopirolat dapat diberikan untuk

mengurangi peningkatan sekresi akibat pengobatan dengan antikolinesterase.

Steroid dengan dosis untuk ketegangan harus diberikan dalam periode perioperatif

untuk pasien yang menggunakan steroid sebelum operasi.

Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, eds. Clinical anesthesia, 4th ed. Philadelphia:

Lippincott Williams & Wilkins, 2001:495-497.

Stoelting RK, Dierdorf SF, eds. Anesthesia and coexisting disease, 4th ed. New York:

Churchill Livingstone, 2002:522-527.

C. Manajemen intraoperatif

1. Bagaimana seharusnya pasien ini dipantau intraoperatif?

Pasien-pasien ini harus dimonitor dengan elektrokardiogram, manset tekanan darah,

oksimeter nadi, suhu esofagus, dan kapnografi tidal akhir. Tergantung pada prosedur dan

tingkat keparahan myastenia pasien, pembuluh arteri dapat dibenarkan untuk memantau gas

darah arteri selama proses ventilasi mekanik dan ekstubasi trakea.

Stimulator saraf harus digunakan untuk memantau kekuatan otot bahkan jika relaksan

otot tidak digunakan pada saat operasi. Anestesi inhalasi telah terbukti menyebabkan depresi

respon kedutan tanpa adanya relaksan otot pada pasien dengan miastenia gravis. Anastesi ini

sangat sensitif terhadap neuromuscular junction dengan menekan sifat anestesi volatile.

Wahlin A, Havermark KG. Enflurane (Ethrane) anesthesia on patients with myasthenia

gravis. Acta Anaesth Belg 1974;2:215.

2. Apa rejimen anestesi yang akan anda pilih untuk pasien ini?

Regimen anestesi untuk pasien ini harus direncanakan untuk memberikan sedikit dan

gangguan singkat pada ventilasi dan fungsi neuromuskular. Pasien harus diberikan oksigenasi

sebelum induksi anestesi dengan agen seperti thiopental, propofol, atau etomidate. Opioid

Page 18: Terje Mahan

harus digunakan dengan hati-hati karena pasien ini sangat sensitif terhadap efek depresi

pernapasan. Ventilasi dengan 100% oksigen harus dibantu dan dikendalikan seperlunya.

Setelah jalan napas yang adekuat diperoleh, anestesi yang mudah menguap dapat

ditambahkan ke oksigen. Relaksan otot jarang diperlukan untuk laringoskopi dan intubasi,

jika pasien sudah dianastesi cukup dalam. Empat percen lidocaine topikal dapat disemprotkan

ke pita suara sebelum intubasi.

Ventilasi harus dikontrol untuk menjamin pertukaran gas yang memadai dan anestesi

harus diseimbangkan dengan oksigen, NO2, dan anestesi yang mudah menguap dengan atau

tanpa infus anestesi intravena kerja singkat yang diberikan secara kontinu. Desflurane dan

relaksan otot kerja menengah telah dilaporkan sebagai kombinasi yang efektif. Remifentanil,

dengan durasi kerja yang singkat, mungkin menjadi pilihan opioid yang tepat pada pasien ini.

Saat operasi selesai, anestesi diturunkan perlahan untuk memungkinkan munculnya

dorongan. Pasien tidak boleh diekstubasi sampai sadar dan responsif, kuat, dan mampu

menghasilkan kekuatan inspirasi negatif minimal 30 cm H2O.

Selain itu, pasien harus mampu mempertahankan oksigenasi normal dan normocapnia

sebelum ekstubasi trakea dilakukan.

Benumof JL, ed. Anesthesia and uncommon disease, 4th ed. Philadelphia: WB Saunders,

1998:380-386.

Stoelting RK, Dierdorf SF, eds. Anesthesia and coexisting disease, 4th ed. New York: Churchill

Living. stone, 2002:522-527.

C.3. Dapatkah obat-obatan penghambat neuromuskular digunakan pada pasien dengan

myasthenia gravis?

Respon pasien myastenia terhadap relaksan otot diubah karena proses penyakit dan

karena pengobatan dengan agen antikolinesterase. Depolarisasi relaksan otot suksinilkolin

telah digunakan untuk memfasilitasi intubasi endotrakeal. Namun, pasien myastenia memiliki

respon variabel succinylcholine, yang tergantung pada perawatan medis mereka. Pada pasien

yang tidak menerima antikolinesterase. jumlah penurunan reseptor fungsional membuat

endplates resisten terhadap efek suksinilkolin. Oleh karena itu dosis perlu ditingkatkan untuk

memfasilitasi intubasi. Pada pasien yang diobati dengan antikolinesterase, aktivitas

cholinesterase plasma menurun. Oleh karena itu, lebih banyak suksinilkolin yang mencapai

endplate motorik. Metabolisme succinylcholine menurun pada pasien ini, blok

neuromuskular dapat diperpanjang 4-87 menit. Pembentukan blok fase II telah dilaporkan

Page 19: Terje Mahan

terjadi setelah intubasi dosis tunggal 0,5 mg / kg suksinilkolin. Meskipun penggunaan

suksinilkolin bukan kontraindikasi pada pasien dengan myasthenia gravis, beberapa dokter

memilih untuk tidak menggunakannya karena risiko blok neuromuskuler yang

berkepanjangan.

Berbeda dengan apa yang dilihat setelah pemberian succinylcholine, respon pasien

dengan myasthenia gravis untuk nondepolarisasi obat dapat diprediksi. Mereka sangat peka

terhadap obat nondepolarisasi dan sering menunjukkan kelemahan mendalam setelah

pemberian dosis dari relaksan otot. Sensitivitas ini disebabkan oleh kenyataan bahwa jumlah

AChR menurun hingga 70% pada pasien ini. Jumlah reseptor yang tersedia hanya cukup

untuk menghasilkan potensi endplate yang berada di atas ambang batas yang diperlukan

untuk transmisi neuromuskuler dan kontraksi otot. Konsentrasi reseptor ini mengurangi dosis

relaksan diperlukan untuk relaksasi otot. Blokade 70% dari reseptor, atau penurunan efektif

jumlah reseptor dalam jumlah yang sama ini, akan menyebabkan respon mechanomyografi

memudar terhadap rangsangan train-of-four tanpa myastenia gravis.

Meskipun terjadi peningkatan sensitivitas terhadap nondepolarisasi relaksan otot,

mereka dapat dengan aman digunakan pada pasien dengan myasthenia gravis. Ditandai

dengan dosis yang turun harus tetap digunakan. Pancuronium telah dilaporkan menyebabkan

95% blokade neuromuskular dengan hanya seperempat dari dosis yang biasa digunakan

untuk pemeliharaan blok neuromuskular (0,005-0,01 mg / kg). Relaksan otot durasi

menengah mungkin lebih cocok untuk pasien dengan myasthenia gravis karena durasi lebih

memendek. Dosis berkisar antara 10% sampai 50% dari yang dibutuhkan pada pasien tanpa

myasthenia, dan ekstubasi cepat yang dilakukan setelah pemulihan spontan atau antagonisme

dari blok neuromuskular residual. Karena metabolisme mivakurium oleh cholinesterase

plasma, hal itu mungkin tidak cocok untuk pasien dengan myasthenia gravis.

Barash PG, Culler, BF, Stoelting RK, eds. Clinical anesthesia, 4th ed. Philadelphia:

Lippincott Williams & Wilkins, 2001:495-497.

Benumof JL, ed. Anesthesia and uncommon disease, 4th ed. Philadelphia: WB Saunders,

1998:380386.

Blitt CD, Wright WA, Peat J. Pancuronium and the patient with myasthenia gravis.

Anesthesiology 1975;42:624.

Buzello W, Noeldge G, Krieg N, et al. Vecuronium for muscle relaxation in patients with

myasthenia gravis. Anesthesiology 1986;64:507.

Foldes FF, McNall PG. Myasthenia gravis: a guide for anesthesiologists. Anesthesiology

Page 20: Terje Mahan

1962;23:837. Lake CL. Curare sensitivity in steroid related myasthenia gravis: a case

report. Anesth Analg 1978;57:132.

Nilsson E, Meretoja OA. Vecuronium dose response and maintenance requirements in patients with

myasthenia gravis. Anesthesiology 1990;73:28.

Vacanti CA, Ali HI-I, Schweiss JF, et al. The response of myasthenia gravis to atracurium.

Anesthesiology 1985;62:692.

D. Manajemen pasca operasi

D. 1. Dapatkah anda mengantisipasi bahwa pasien ini akan memerlukan bantuan ventilasi

pasca operasi yang berkepanjangan?

Sejumlah kriteria prediktif untuk bantuan ventilasi pasca operasi yang berkepanjangan

telah diusulkan. Leventhal, Orkin, dan Hirsch memiliki sistem penilaian terhadap empat

faktor sebagai berikut:

Durasi lebih dari 6 tahun: 12 poin

Riwayat penyakit paru obstruktif kronik: 10 poin

Pyridostigmine, lebih dari 750 mg per hari: 8 poin

Kapasitas vital kurang dari 2,9 L: 4 poin

Pasien dengan poin kurang dari 10 dalam pemeriksaan dapat diekstubasi segera setelah

operasi; pasien dengan poin lebih dari 12 memerlukan bantuan ventilasi pasca operasi. Sistem

prediksi apakah pasien akan memerlukan intubasi dan ventilasi lama tidak berlaku universal.

Pasien yang menjalani thymectomy transsternal membutuhkan ventilasi pasca operasi lebih

sering daripada mereka yang menjalani thymectomy transervikal, mungkin karena prosedur

yang kurang invasif memiliki efek yang kurang pada fungsi pernapasan.

Pasien miastenia yang menjalani operasi perut bagian atas lebih mungkin untuk

memerlukan ventilasi pasca operasi dibandingkan pasien yang menjalani prosedur yang lebih

perifer. Jelas, setiap pasien harus dipertimbangkan secara individual ketika menilai perlunya

dukungan ventilasi pasca operasi

Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK,eds. Clinical anesthesia, 4th ed. Philadelphia: Lippincott

Williams&Wilkins,2001:463-465

Page 21: Terje Mahan

Eisencraft JB, Papasetas AE, Kahn CH,et al. Predicting the need for postoperative

mechanical ventilation in myasthenia gravis. Anesthesiology 1986;65:79.

Eisencraft JB, Papasetas AE, Posner JN,et.al. Prediction of ventilatory failure following

transcervical thymectomy in myasthenia gravis. Ann NY Acad Sci 1987;505:888.

Grant RP, Jenkins LC. Prediction of the need for postoperative mechanical ventilation in

myasthenia gravis. A dose response study. Anesthesiology 1988;69:760.

Leventhal SR, Orkin Fk, Hirsch RA. Prediction of the need for post operative ventilation in

myasthenia gravis. Anesthesiology.1980;53-26.

Stoelting RK, Dierdorf SF, eds. Anesthesia and coexisting disease,4th ed. New

York:Churchill Livingstone, 2002:522-527.

2. Bagaimana seharusnya nyeri pasca operasi pasien ini diterapi?

Rejimen analgesik pasca operasi pasien harus dirancang untuk menghindari gangguan

pernapasan. Karena pasien ini sangat peka terhadap efek depresan pernafasan dari narkotika

parenteral, ini harus digunakan dengan seefektif mungkin. Pemberian epidural opioid

merupakan sebuah pilihan untuk pemberian parenteral. Hal ini mungkin karena menimbulkan

pengurangan rasa nyeri yang lebih baik dengan pengobatan terkecil sehingga menyebabkan

efek depresi pernafasan berkurang.

Smith CA. Postoperative management after thymectomy. Br Med J 1975;1:309.

3. Pasien ini diekstubasi di ruang operasi tanpa kesulitan, dan 40 menit kemudian ia

mengeluh merasa lemah dan sulit bernapas. Mengapa?

Ahli Anestesi perlu menentukan apakah ini merupakan eksaserbasi dari kelemahan

yang disebabkan krisis kolinergik atau krisis miastenia. Selama krisis miastenia, pasien

memiliki penurunan respon terhadap antikolinesterase. Krisis kolinergik disebabkan oleh

overdosis antikolinesterase. Hal ini dapat dicurigai pada periode pasca operasi intermediate,

ketika stres operasi dapat menyebabkan eksaserbasi kelemahan myastenia dan ketika

kebutuhan antikolinergik diubah. Dalam kedua kasus ini, peningkatan kelemahan otot

mungkin memerlukan dukungan ventilasi.

Baik krisis miastenia atau kolinergik, peningkatan kelemahan otot, air liur, dan

berkeringat dapat terjadi. Telah direkomendasikan bahwa kedua krisis dibedakan dari satu

sama lain atas dasar respon pasien terhadap dosis intravena dari 10 mg edrophonium. Pasien

dalam krisis miastenia harus menunjukkan beberapa perbaikan kekuatan otot. Pasien dalam

Page 22: Terje Mahan

krisis kolinergik akan menunjukkan tidak ada peningkatan kekuatan otot atau memburuknya

gangguan pernapasan.

Benumof JL,ed. Anesthesia and uncommon disease, 4th ed. Philadelphia: WB Saunders,

1998: 380-386.