bab 2 landasan teori 2.1 sistem pendukung keputusan 2.1.1 pengertian...
TRANSCRIPT
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Sistem Pendukung Keputusan
2.1.1 Pengertian Sistem
McLeod dan Schell, dalam bukunya Sistem Informasi Manajemen,
diterjemahkan oleh Teguh, H. (2004, p9) mengatakan, ”Sistem adalah
sekelompok elemen terintegrasi dengan maksud yang sama untuk
mencapai suatu tujuan.”
Mathiassen dalam bukunya Object oriented analysis and Design
(2000, p9) mengatakan, ”System: a collection of componets that implement
modeling requirments, function, and interface.”
Menurut O’Brien dalam bukunya Introduction to Information
System: Essential for The e-business enterprise (2003, p8), sistem adalah
kumpulan dari komponen-komponen saling berhubungan dan berkerja
bersama untuk mencapai tujuan yang sama dengan memasukan input serta
menghasilkan output dalam suatu proses transformasi teratur.
2.1.2 Struktur Sistem
Dalam buku Turban, E.,Aronson, J.E., dan Liang, T.P. (2005, p56)
yang berjudul Decision Support Systems and Intelligent Systems,
disebutkan bahwa sistem berdasarkan gambar di bawah, dibagi menjadi
tiga bagian berbeda: input, proses, dan output. Bagian-bagian tersebut
dikelilingi oleh sebuah lingkungan dan sering melibatkan sebuah
9
mekanisme umpan balik. Selain itu, pengambil keputusan juga dianggap
sebagai bagian dari sistem.
Output
Kinerja Konsekuensi Produk finis Pngiriman layanan
Proses
Prosedur Program Alat Aktivitas Keputusan
Input
Bahan Mentah Biaya Sumber Daya
Pengambil Keputusan Umpan balik
Kondisi musimPelanggan Pemerintah
Vendor Pemegang saham Bank Kompetisi
Lingkungan
Batasan Sistem
Gambar 2.1 Sistem dan Lingkungannya
Sumber: Turban, E., Aronson, J.E., dan Liang, T.P. (2005, p56)
• Input
Input adalah elemen yang masuk ke dalam sistem.
• Proses
Proses adalah semua elemen yang diperlukan untuk mengkonversi
atau mentransformasi input ke dalam output.
• Output
Output adalah produk finish atau konsukuensi yang ada pada
sistem.
10
• Umpan Balik
Ada aliran informasi dari komponen output ke pengambilan
keputusan berkenaan dengan performa sistem. Berdasarkan output,
pengambil keputusan, yang bertindak sebagai kontrol, dapat
memutuskan untuk memodifikasi input, proses, atau keduanya.
Aliran informasi ini, muncul sebagai close loop (Gambar 2.1),
disebut umpan balik. Inilah bagaimana monitoring sistem riil
terjadi. Pengambil keputusan membandingkan input dengan output
yang diharapkan dan menyesuaikan input dan mungkin proses
untuk semakin mendekati output target.
• Lingkungan
Lingkungan sistem terdiri dari beberapa elemen yang ada
diluar, dalam pengertian bukanlah input, output, atau proses. Akan
tetapi sesuatu yang mempengaruhi performa sistem dan
konsekuensi pencapaian tujuan sistem. Satu cara untuk
mengidentifikasi elemen lingkungan adalah dengan mengajukan
dua pertanyaan (Chucman; Gharajedaghi, 1999).
o Apakah elemen berkaitan dengan tujuan sistem?
o Apakah mungkin bagi pengambilan keputusan untuk secara
signifikan memanipulasi elemen tersebut?
Jika jawaban terhadap pertanyaan pertama adalah ya, dan
jawaban untuk pertanyaan kedua adalah tidak, berarti elemen ada di
dalam lingkungan. Elemen lingkungan dapat berupa sosial, politik,
hukum, fisik, atau ekonomi. Sering elemen terdiri dari sistem lain.
11
Pada beberapa kasus, elemen mungkin saling berinteraksi
yang menyebabkan lingkungan kemudian ditentukan ulang. SPK
yang didesain untuk menetapkan aturan biasanya tidak berinteraksi
langsung dengan bagian pelaksana keputusan. Untuk sistem
komputer, lingkungan merupakan semua yang bukan bagian dari
sistem. Bagian tersebut dapat meliputi sistem lain yang berinteraksi
dengannya, pengguna memberikan input, dan pengguna yang
memeriksa output.
• Batasan
Sistem dipisahkan dari lingkungannya dengan sebuah batasan.
Sistem berada di dalam batasan, sedangkan lingkungan berada di
luar. Batasan dapat berupa fisik, atau dapat berupa faktor nonfisik.
Batasan sebuah sistem informasi biasanya ditentukan dengan
mempersempit lingkup sistem untuk mempermudah analisis.
Dengan kata lain, batasan sebuah sistem informasi, terutama sebuah
SPK, adalah berdasarkan desain. Batasan dikaitkan dengan konsep
sistem tertutup dan terbuka (closed system dan open system).
2.1.3 Keputusan
Dalam buku Mallach (2000, p37) yang berjudul Decision Support
and Data Warehouse Systems disebutkan ”a decision is reasoned choice
among alternatives” yang jika diterjemahkan akan bermakna sebuah
keputusan adalah pilihan di antara banyak alternatif.
Disebutkan puladalam buku yang sama ”Making decision is part of
the boarder subject of problem solving. Problem solving is the overall
12
process of closing the gap between reality and a more desirabel situation.
To solve problem, we must first realize that the problem, the gap, exists.”
Jika diterjemahkan akan menjadi “Membuat keputusan adalah bagian dari
subjek pemecahan masalah yang lebih luas. Memecahkan masalah adalah
proses keseluruhan dari menutup celah antara realita dengan situasi yang
lebih diinginkan. Untuk memecahakan masalah, terlebih dahulu harus
menyadari bahwa masalah, celah memang ada.”
Dalam buku Mallach (2000, p37)tersebut juga disebutkan bahwa
setiap keputusan memiliki karakter yang dicirikan oleh decision statement,
sekumpulan alternatif, dan sekumpulan kriteria pembuat keputusan. Semua
ini selalu ada, walau tidak selalu disadari keberadaannya. Gambar 2.2
menunjukan bagaimana semua saling berhubungan satu sama lain dalam
konteks keputusan.
13
Gambar 2.2 Relationship Among Decision Statement, Alternatives,
and Criteria
Sumber: Mallach (2000, p38)
Decision Statement menyatakan apa yang sedang diputuskan.
Sebuah Decision Statement yang jelas sangatlah penting dalam pembuatan
keputusan kepintaran. Ini memastikan pikiran tetap berfokus pada masalah
utama dan jauh dari masalah sampingan yang tidak relevan. Jika keputusan
harus dibuat oleh suatu grup/sekelompok orang, sebuah decision statement
yang jelas memastikan semua anggota dari grup/sekelompok berpikir sama
dalam memutuskan.
14
Alternatif adalah kemungkinan keputusan yang dapat dilakukan.
Terkadang hanya ada beberapa alternatif.
Kriteria pembuatan keputusan adalah apa yang diinginkan dari
sebuah keputusan. Mungkin tidak bisa semua kriteria dapat diambil dalam
suatu kali pengambilan keputusan.
Pengambil keputusan sering tidak bisa mengartikan pendekatannya
dalam kompromi ini dalam jalan matematis yang tepat. Memang
pengambil keputusan sering tidak dapat menentukan kriteria pengambilan
keputusan secara tepat. Namun kriteria dan pendekatan untuk kompromi
tetap ada, walaupun para pembuat keputusan tidak dapat
menspesifikasikannya.
Meskipun proses pemilihan dari alternatif dapat dilakukan dengan
banyak cara, komputer dapat membantu melaksanakan proses evaluasinya.
2.1.4 Jenis-jenis Keputusan
Dalam buku Mallach (2000, p42)yang berjudul Decision Support and
Data Warehouse Systems, disebutkan bahwa keputusan dapat
dikatagorikan dengan beberapa cara. Pengkatagorikan ini sangat berguna
karena keputusan untuk suatu tipe hal yang sama umumnya memiliki
karakteristik sama. Maka keputusan ini bisa dibantu oleh sistem
pendukung yang komputerisasinya sama.
Mengikuti referensi yang dicantumkan dalam buku yang sama (2000,
p44) Gorry dan Scott Morton, keputusan dibagi menjadi dua dimensi:
keadaan di mana keputusan dibuat dan jangkauan/cakupan keputusan itu
sendiri. Dengan membagi setiap dimensi menjadi tiga katagori, maka
15
didapat sembilan tipe keputusan, yang diperlihatkan dalam tabel di bawah
ini:
Tabel 2.1 3X3 Decision Type Grid
Operational Tactical Strategic
Structured 1 2 3
Semistructured 4 5 6
Unstructured 7 8 9
Sumber: Mallach (2000, p42)
Ketiga kategori yang diperlihatkan dalam Tabel 2.1 kolom paling kiri
memperlihatkan konsep awal Simon dari keputusan terprogram melawan
keputusan tidak terprogram. Katagori ini adalah:
• Keputusan terstruktur
Adalah satu-satunya memiliki prosedur pengambilan
keputusan yang jelas secara nyata. Sebuah struktur keputusan dapat
diberikan ke dalam program komputer, walau secara ekonomi tidak
mungkin mengembangkan sebuah program untuk setiap masalah.
Secara lebih tepat, sebuah keputusan terstruktur adalah keputusan
yang input, output dan internal prosedurnya dari tiga fase keputusan
(inteligent, design, dan choice) bisa di spesifikasi. Setiap fase dari
keputusan disebut fase keputusan terstruktur.
• Keputusan tidak terstruktur
Adalah yang ketiga fase keputusannya secara keseluruhan
tidak terstruktur. Dalam kasus ini pengguna tidak tahu bagaimana
16
harus menjelaskan setidaknya satu aspek dari tiap fase: input,
output dan internal prosedurnya. Ini dikarenakan keputusan tersebut
sangat baru atau sangat langka. Komputer masih mampu membantu
membuat keputusan tidak terstruktur, namun dalam jalan/cara yang
berbeda dan menyerahkan lebih banyak prosesnya pada pekerja itu
sendiri.
• Keputusan semiterstruktur
Adalah memiliki beberapa aspek terstruktur yang tidak bisa
terstruktur secara keseluruhan. Ini biasanya berarti satu atau dua
dari tiga fase adalah terstruktur sementara yang satunya atau
lainnya tidak terstruktur. Komputer bisa sangat membantu secara
spesifik pada keputusan semi terstruktur. Secara umum kebanyakan
keputusan organisasi adalah tipe ini.
Penggolongan keputusan kedalam tiga kategori ini tidak selalu tepat
sempurna. Terkadang pemutusan golongan terhadap suatu keputusan
tergantung dari sudut pandang pembuat keputusan terhadap masalah yang
dialami.
Tiga kolom berikutnya yang ada pada baris pertama Tabel 2.1 sebagai
berikut:
• Keputusan strategis (Strategic decision)
Adalah keputusan yang akan mempengaruhi keseluruhan
organisasi, atau setidaknya sebagian besar untuk jangka waktu
lama. Keputusan strategis mempengaruhi tujuan dan kebijakan
perusahaan. Keputusan strategis umumnya, tidak selalu, dibuat di
level manajemen puncak organisasi.
17
• Keputusan Taktis (Tactical decision)
Juga dikenal sebagai keputusan kontrol manajemen, akan
mempengaruhi bagaimana suatu bagian organisasi melakukan
bisnis untuk jangka waktu tertentu di masa depan. Keputusan ini
umumnya terjadi dalam konteks keputusan strategi sebelumnya.
Keputusan taktis umumnya dibuat oleh manajer level menengah:
orang-orang di bawah level top eksekutif menyusun kebijakan
strategis, namun cukup tinggi untuk menentukan bagaimana
seluruh katagori tindakan yang akan diambil di masa depan.
• Keputusan Operasional (Operational decision)
Adalah keputusan yang akan mempengaruhi suatu aktivitas
tertentu saat ini sedang terjadi di organisasi. Namun baik hanya
memberikan efek kecil bagi masa depan organisasi maupun tidak
sama sekali, dibuat dalam lingkup kebijakan pengendalian.
Keputusan operasional berhubungan dengan aktivitas yang tugas,
tujuan, dan sumber dayanya telah didefinisikan lewat keputusan
strategis dan taktis sebelumnya. Keputusan operasional umumnya
dibuat oleh manajer tingkat rendah atau oleh petugas non
manajerial.
2.1.5 Pengambilan Keputusan
Dalam buku Turban, E., Aronson, J.E., dan Liang, T.P. (2005, p53),
yang berjudul Decision Support Systems and Intelligent Systems
pengambilan keputusan adalah sebuah proses memilih tindakan (di antara
berbagai alternatif) untuk mencapai suatu atau beberapa tujuan. Menurut
18
seorang pakar bernama Simon, pengambilan keputusan manajerial sinonim
dengan proses keseluruhan dari manajemen. Perhatikan pentingnya fungsi
manajerial dalam hal perencanaan. Perencanaan meliputi satu seri
keputusan:
• Apa yang harus dilakukan?
• Kapan?
• Di mana?
• Mengapa?
• Bagaimana?
• Oleh siapa?
Manajer menentukan tujuan, atau rencana; karena itu perencanaan
mengimplikasikan pengambilan keputusan. Fungsi-fungsi manajerial
lainnya, seperti pengaturan dan kontrol, juga melibatkan pengambilan
keputusan.
2.1.6 Pengertian Sistem Pendukung Keputusan
Dalam buku Turban, Rainer, Potter (2005, p321) yang berjudul
Introduction to Information technology, disebutkan bahwa “Decision
Support System (DSS) a computer-based information system that combines
models and data to provide support for decision makers in solving semi
structured or interdependent problems with extensive user involvement.”
Atau dalam bahasa Indonesia dapat diartikan Sistem Pendukung
Keputusan (SPK) adalah suatu sistem informasi berbasis komputer
mengkombinasikan model dan data untuk menyediakan dukungan kepada
19
pengambil keputusan dalam memecahakan masalah semi terstruktur atau
masalah ketergantungan yang melibatkan user secara mendalam.
2.1.7 Kegunaan Sistem Pendukung Keputusan
Dalam buku Sauter, Vicki (1997, p18), disebutkan bahwa sistem
pendukung keputusan paling bermanfaat pada saat tidak diketahui secara
pasti informasi yang perlu disediakan, menggunakan model apa, dan
bahkan kemungkinan kriteria paling tepat. Atau dengan kata lain, sebelum
sebuah keputusan dibuat adalah saat sistem pendukung keputusan paling
berguna.
Disebutkan pula kalau SPK akan sangat berguna dalam keadaan:
a. Di mana data yang disimpan oleh manajer dan staf-nya
membutuhkan banyak waktu untuk mencari dan
menganalisisnya (data telah disimpan di dalam komputer).
b. Pertemuan manajemen terhenti karena adanya pihak yang
mengganti validasi data.
c. Manajemen sering dikejutkan oleh data saat pembuatan
laporan akhir periode.
d. Keputusan lebih sering dibuat berdasarkan bukti atau
pendapat orang lain, dan bukan berdasarkan data yang
pantas dikumpulkan secara berkala.
Dalam buku Sauter, Vicki (1997, p18), disebutkan pula oleh
Hogue dan Watson, SPK dapat dibangun dengan alasan lain karena dapat
berguna:
20
a. Untuk mendapatkan informasi akurat, disebutkan bahwa
banyak pembuat membangun SPK dengan tujuan untuk
mendapatkan informasi tepat waktu/berkala. Atau karena
pembuat dan pihak manajemen mengharapkan informasi
baru yang diperlukan.
b. Pandangan bahwa memiliki sistem ini adalah bukti sebuah
organisasi yang berhasil, atau karena pihak manajemen
telah memberikan perintah penggunaannya. Dalam kasus ini
pihak manajer percaya bahwa pandangan jika menggunakan
SPK akan mempengaruhi pandangan klien perusahaan
terhadap produk yang ditawarkan.
c. Dalam beberapa kasus yang langka (hanya 6% dari
keseluruhan kasus yang dipelajari oleh Hogue dan Watson)
SPK digunakan karena mengurangi biaya.
Secara umum dapat diterima bahwa teknologi SPK sukses jika
dapat membantu pembuat keputusan dalam hal:
• Mencari aspek lebih dari sebuah keputusan.
• Menciptakan alternatif yang lebih baik.
• Merespon situasi lebih cepat.
• Memecahkan problem yang kompleks.
• Mempertimbangkan lebih banyak pilihan dalam memecahkan
masalah.
• Solusi yang cemerlang.
• Memanfaatkan multiple analisis dalam memecahkan masalah.
21
• Mempunyai pandangan baru dalam masalah dan menghilangkan
pandangan sempit yang berhubungan dengan evaluasi pilihan
terlalu cepat.
• Mengimplementasikan bervariasi gaya keputusan dan strategi.
• Menggunakan data yang lebih baik.
• Pemanfaatkan model secara lebih baik.
• Mempertimbangkan analisis bagaimana-jika.
2.1.8 Karakteristik Sistem Pendukung Keputusan
Turban, E., Aronson, J.E., dan Liang, T.P. (2005, p140),
menyebutkan bahwa SPK yang ideal memiliki karakteristik sebagai
berikut:
1. Mendukung untuk pengambilan keputusan, terutama pada
situasi semi terstruktur dan terstruktur, dengan menyertakan
penilaian manusia dan informasi terkomputerisasi. Masalah-
masalah tersebut tidak dapat dipecahkan (atau tidak dapat
dipecahkan dengan praktis/mudah) oleh sistem komputer lain
atau oleh metode alat kuantitatif standard.
2. Mendukung untuk semua manajerial dari eksekutif puncak
sampai manajer lini.
3. Mendukung individu dan kelompok. Masalah kurang
terstruktur sering memerlukan keterlibatan individu dari
departemen dan tingkat organisasional yang berbeda atau
bahkan dari organisasi lain. SPK mendukung tim virtual
melalui alat-alat web kolaboratif.
22
4. Mendukung untuk keputusan yang independen dan atau
sequential. Keputusan dapat dibuat satu kali, beberapa kali,
atau berulang (dalam interval sama).
5. Mendukung di semua fase proses pengambilan keputusan:
intelligence, design, choice, dan implementation.
6. Mendukung diberbagai proses dan gaya pengambilan
keputusan.
7. Adaptasi sepanjang waktu. Pengambilan keputusan seharusnya
relatif, dapat menghadapi berbagai perubahan kondisi secara
tepat, dan mengadaptasikan SPK untuk memenuhi perubahan
tersebut. SPK bersifat flexibel dan karena itu pengguna dapat
menambahkan, menghapus, menggabungkan, mengubah, atau
menyusun kembali elemen-elemen dasar. SPK juga flexibel
dalam hal dapat dimodifikasi untuk memecahkan masalah lain
yang sejenis.
8. Pengguna merasa seperti di rumah. Ramah pengguna,
kapabilitas grafis yang sangat kuat, dan antar muka mesin-
mesin interaktif dengan satu bahasa alami dapat sangat
meningkatkan keefektivan SPK. Kebanyakan aplikasi SPK
yang baru menggunakan antarmuka berbasis web.
9. Peningkatan terhadap keefektivan pengambilan keputusan
(akurasi, timeliness, kualitas) ketimbang pada efisiensinya
(biaya pengambilan keputusan). Ketika SPK disebarkan,
pengambilan keputusan sering membutuhkan waktu lebih
lama, namun keputusannya lebih baik.
23
10. Kontrol penuh oleh pengambil keputusan terhadap semua
langkah proses pengambilan keputusan dalam memecahkan
suatu masalah. SPK secara khusus menekankan untuk
mendukung pengambil keputusan, bukan menggantikan.
11. Pengguna akhir dapat mengembangkan dan memodifikasi
sendiri sistem sederhana. Sistem yang lebih besar dapat
dibangun dengan bantuan ahli sistem informasi. Piranti lunak
Online Analytical Processing (OLAP) dalam kaitannya
dengan data warehouse membolehkan pengguna untuk
membangun SPK yang cukup besar dan kompleks.
12. Biasanya model-model digunakan untuk menganalisis situasi
pengambilan keputusan. Kapabilitas pemodelan
memungkinkan eksperimen dengan berbagai strategi berbeda
di bawah konfigurasi yang berbeda. Sebenarnya, model-model
membuat suatu SPK berbeda dari kebanyakan SPK.
13. Akses disediakan untuk berbagai sumber data, format, dan
tipe, mulai dari Geographic Information System (GIS) sampai
sistem berorientasi-objek.
14. Dapat dilakukan dilakukan sebagai alat stand alone yang
digunakan oleh seorang pengambil keputusan pada satu lokasi
atau didistribusikan di satu organisasi keseluruhan dan
dibeberapa organisasi sepanjang rantai persediaan. Dapat
diintegrasikan dengan SPK lain dan atau aplikasi lain, dan
didistribusikan secara internal dan eksternal menggunakan
networking dan teknologi web.
24
Karakteristik dan kapabilitas kunci dari SPK tersebut membolehkan
para pengambil keputusan untuk membuat keputusan lebih baik dan lebih
konsisten pada satu cara yang dibatasi waktu. Kemampuan tersebut
disediakan oleh berbagai komponen utama SPK.
2.1.9 Komponen Sistem Pendukung Keputusan
Dalam buku Turban, E., Aronson, J.E., dan Liang, T.P. (2005,
p143). Disebutkan bahwa SPK terdiri dari beberapa subsistem:
• Subsistem manajemen data.
Subsistem manajemen data memasukan satu database
yang relevan untuk situasi dan dikelola oleh piranti lunak
disebut sistem manajemen database (DBMS). Subsistem
manajemen data dapat diinterkoneksikan dengan data
warehouse perusahaan, suatu repositori untuk data
perusahaan yang relevan untuk pengambilan keputusan.
Biasanya data disimpan atau diakses via server database.
• Subsistem manajemen model.
Merupakan paket piranti lunak yang memasukan
model keuangan, statistik, ilmu manajemen, atau model
kuantitatif lainnya. Semua itu memberikan kapabilitas
analitik dan manajemen piranti lunak yang tepat. Bahasa
pemodelan yang membangun model kostum juga
dimasukan. Piranti lunak ini sering disebut manajemen basis
model (MBMS). Komponen ini dapat dikoneksikan ke
penyimpanan korporat atau eksternal yang ada pada model.
25
Sistem manajemen dan metode solusi model
diimplementasikan pada sistem pengembang web (seperti
Java) untuk berjalan pada server aplikasi.
• Subsistem antar muka pengguna.
Pengguna berkomunikasi dengan dan memerintahkan
SPK melalui subsistem ini. Pengguna adalah bagian yang
dipertimbangkan dari sistem. Para peneliti menegaskan
bahwa beberapa kontribusi unik dari SPK berasal dari
interaksi yang insentif antara komputer dan pembuat
keputusan. Browser web memberikan struktur antar muka
pengguna grafis yang familiar dan konsisten bagi
kebanyakan SPK.
• Subsistem manajemen berbasis-pengetahuan.
Subsistem ini dapat mendukung semua subsistem lain
atau bertindak sebagai suatu komponen independen. Ini
memberikan intelegensi untuk memperbesar pengetahuan
pengambil keputusan. Subsistem ini dapat
diinterkoneksikan dengan repositori pengetahuan
perusahaan (bagian dari sistem manajemen pengetahuan),
yang kadang-kadang disebut basis pengetahuan
organisasional. Pengetahuan dapat disediakan via server
Web. Banyak metode kecerdasan tiruan diimplementasikan
dalam sistem pengembangan web seperti Java, dan mudah
untuk diintegrasikan dengan komponen SPK lainnya.
26
Berdasarkan definisi, SPK harus mencakup tiga komponen utama
dari DBMS, MBMS, dan antar muka pengguna. Sub sistem manajemen
berbasis pengetahuan adalah opsional, namun dapat memberikan banyak
manfaat karena inteligensi bagi ketiga komponen utama tersebut. Seperti
pada semua sistem informasi manajemen, pengguna dapat dianggap
sebagai komponen SPK.
Sistem lainnya yang berbasis
komputer
Manajemen data
Manajemen model
Model eksternal
Internet Intranet
ekstranet
SubsistemBerbasis pengetahuan
Antarmuka pengguna
Manajer (pengguna)Basis pengetahuan
organisasional
Data : eksternal dan internal
Gambar 2.3 Skematik SPK
Sumber: Turban, E., Aronson, J.E., dan Liang, T.P. (2005, p143)
Komponen-komponen tersebut membentuk aplikasi SPK yang
dapat dikoneksikan ke intranet perusahaan, ekstranet, atau internet.
Umumnya komponen berkomunikasi via teknologi internet. Broser web
umumnya memberikan antar muka pengguna. Skematik dan komponen
yang ditunjukan pada gambar di atas ini memberikan pemahaman
mendasar mengenai struktur umum suatu SPK.
27
2.2 Modal Kerja
2.2.1 Pengertian Modal Kerja
Weston dan Copeland yang diterjemahkan oleh Wasana, A. Jaka.
Kibrandoko (2002, p327) menyatakan,”Modal kerja sebagai aktiva lancar
dikurangi kewajiban lancar. Jadi modal kerja merupakan investasi
perusahaan dalam bentuk uang tunai, surat berharga, piutang dan
persediaan dikurangi kewajiban lancar yang digunakan untuk membiayai
aktiva lancar.”
Barlian, Inge dan Sandjaja, Ridwan. S. (2002, p155)
mendefinisikan, ”Modal kerja sebagai aktiva lancar yang mewakili bagian
dari investasi yang berputar dari satu bentuk ke bentuk lainnya dalam
melaksanakan suatu usaha, atau modal kerja adalah kasa atau bank, surat-
surat berharga mudah diuangkan (misal giro, cek, deposito), piutang
dagang dan persediaan yang tingkat perputarannya tidak melebihi satu
tahun atau jangka waktu operasi normal perusahaan.”
Munawir (2004, p114) mengatakan bahwa modal kerja adalah aset
atau kemampuan yang dapat digunakan mendanai aktivitas operasional
untuk menghasilkan laba dan memenuhi kewajiban-kewajiban perusahaan.
Suatu analisis terhadap sumber dan penggunaan modal kerja sangat
penting bagi penganalisa internal maupun eksternal, di samping masalah
modal kerja ini erat hubungannya dengan operasi perusahaan sehari-hari
juga menunjukan tingkat keamanan atau margin of safety para kreditur
terutama kreditur jangka pendek. Adanya modal kerja yang cukup sangat
penting bagi suatu perusahaan. Modal kerja memungkinkan bagi
perusahaan untuk beroperasi seekonomis mungkin dan tidak mengalami
28
kesulitan atau menghadapi bahaya yang mungkin timbul karena adanya
krisis atau kekacauan keuangan.
Akan tetapi adanya modal kerja yang berlebihan menunjukan
adanya dana tidak produktif, dan dalam hal ini akan menimbulkan kerugian
bagi perusahaan karena adanya kesempatan untuk memperoleh keuntungan
telah disia-siakan. Sebaliknya adanya ketidak-cukupan maupun
missmanagment dalam hal modal kerja merupakan sebab utama kegagalan
suatu perusahaan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa modal kerja merupakan suatu
bagian dari keuangan perusahaan yang sangat penting sebab selain
digunakan untuk membiayai operasional perusahaan, modal kerja juga
digunakan sebagai indikator kesehatan perusahaan. Oleh sebab itu jumlah
modal kerja yang tersedia haruslah tepat agar tidak terlalu sedikit sehingga
mengganggu operasional perusahaan juga tidak terlalu banyak hingga
memungkinkan tindak kejahatan.
2.2.2 Konsep Modal Kerja
Menurut Munawir (2004, p114) dalam buku yang berjudul Analisa
Laporan Keuangan, ada tiga konsep atau definisi modal:
• Konsep Kuntitatif
Konsep ini menitik beratkan pada kuantitas yang diperlukan
untuk mencukupi kebutuhan perusahaan dalam membiayai operasi
bersifat rutin, atau menunjukan jumlah dana (fund) tersedia untuk
tujuan operasi jangka pendek. Dalam konsep ini menganggap bahwa
modal kerja adalah jumlah aktiva lancar (gross working capital).
29
Dalam konsep ini tidak mementingkan kualitas dari modal
kerja, apakah dibiayai dari modal pemilik, utang jangka panjang
maupun pendek. Sehingga dengan modal kerja berjumlah besar tidak
mencerminkan margin of safety para kreditur jangka pendek yang
besar juga. Bahkan modal kerja berjumlah besar menurut konsep ini
tidak menjamin kelangsungan operasi di masa mendatang, serta tidak
mencerminkan likuiditas perusahaan yang bersangkutan.
• Konsep Kualitatif
Konsep ini menitik-beratkan pada kualitas modal kerja. Dalam
konsep ini pengertian modal kerja adalah kelebihan aktiva lancar
terhadap piutang jangka pendek (net working capital), yaitu jumlah
aktiva lancar yang berasal dari pinjaman jangka panjang maupun
dari pemilik perusahaan.
Definisi ini bersifat kualitatif karena menunjukan tersedianya
aktiva lancar yang lebih besar daripada utang lancarnya (utang
jangka pendek) dan menunjukan pula margin of protection atau
tingkat keamanan bagi para kreditur jangka pendek. Serta menjamin
kelangsungan operasi di masa mendatang dan kemampuan
perusahaan untuk memperoleh tambahan pinjaman jangka pendek
dengan jaminan aktiva lancarnya.
• Konsep Fungsional
Konsep ini menitik-beratkan fungsi dari dana yang dimiliki
dalam rangka menghasilkan pendapatan (laba) dari usaha pokok
perusahaan. Pada dasarnya dana yang dimiliki oleh suatu perusahaan
seluruhnya akan digunakan untuk menghasilkan laba sesuai dengan
30
usaha pokok perusahaan, tetapi tidak semua dana digunakan untuk
menghasilkan laba periode ini (current income). Ada sebagian dana
yang akan digunakan untuk memperoleh mesin-mesin, pabrik, alat-
alat kantor dan aktiva lainnya.
Dari aktiva tetap tersebut yang menjadi bagian dari modal
kerja tahun ini adalah sebesar penyusutan (depresiasi) aktiva-aktiva
tersebut. Aktiva lancar sebagian besar merupakan unsur modal kerja,
walaupun tidak seluruhnya, ada sebagian aktiva lancar yang bukan
merupakan modal kerja. Misalnya dalam piutang dagang yang
timbul dari penjualan barang dagangan secara kredit. Dalam piutang
tersebut terdiri dari dua unsur, yaitu harga pokok barang yang dijual
dan laba penjualan barang tersebut. Harga pokok dari barang yang
dijual tersebut merupakan unsur modal kerja, sedangkan
keuntungannya bukan merupakan unsur modal kerja, tetapi
merupakan modal kerja potensial.
Dari ketiga konsep di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
modal kerja merupakan bagian dari atau keseluruhan aset lancar. Di
mana ketiga konsep ini berbeda pada hal perhitungan dana atau aset
yang tersedia untuk digunakan dalam jangka pendek dan
penggunaannya. Sehingga tergantung dari siapa yang memerlukan
informasinya atau kebijakan perusahaannya maka konsep
perusahaan untuk menghitung dan melaporkan modal kerja dapat
berbeda.
31
Selanjutnya dalam istilah modal kerja berarti net working
capital atau kelebihan aktiva lancar terhadap utang lancar,
sedangkan untuk modal kerja sebagai jumlah untuk aktiva lancar
digunakan istilah modal kerja bruto (gross working capital).
2.2.3 Perhitungan Modal Kerja
Barlian, Inge dan Sundjaja, Ridwan (2002, p155) menyatakan "Modal
Kerja bersih (net working capital) adalah selisih antara aktiva lancar dan
pasiva lancar perusahaan”.
Hendriksen yang diterjemahkan oleh Nugroho, W (2002, p266)
mendefinisikan, ”modal kerja adalah kelebihan aktiva lancar atas
kewajiban lancar.”
Kedua pendapat ini juga didukung oleh Munawir yang dalam bukunya
(2004, p114) menjelaskan beberapa cara menghitung modal kerja
tergantung pendekatannya:
• Gross Working Capital
Pendekatan yang menganggap modal kerja adalah semua
aktiva lancar. Rumus:
Working Capital = Current assets
• Net Working Capital
Pendekatan yang menganggap modal kerja adalah besar selisih
antara aktiva lancar dengan utang lancar.
Rumus:
Working Capital = Current assets – Current liabilities
32
Jika dilihat rumus di atas dari kaca mata konsep sebelumnya maka
dapat disimpulkan bahwa rumus Gross Working Capital adalah rumus
yang digunakan pada konsep kuantitatif. Sementara rumus Net Working
Capital adalah rumus yang digunakan pada konsep kualitatif. Konsep
fungsional tidak memiliki rumus hitung karena memang sudah
dianggarkan besarnya sehingga jumlahnya telah diketahui tanpa perlu
dihitung.
2.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Modal Kerja
Menurut Munawir (2004, p117) faktor-faktor yang mempengaruhi
modal kerja adalah:
• Sifat dan tipe dari perusahaan
Modal kerja dari suatu perusahaan jasa relatif akan lebih
rendah bila dibandingkan dengan kebutuhan modal kerja perusahaan
industri, karena untuk perusahaan jasa tidak memerlukan investasi
yang besar dalam kas, piutang maupun persediaan.
Kebutuhan uang tunai untuk membayar pegawai maupun
untuk membiayai operasi dapat dipenuhi dari penghasilan atau
penerimaan saat itu juga. Sedangkan piutang biasanya dapat ditagih
dalam waktu yang relatif pendek, bahkan untuk perusahaan jasa
tertentu penerimaan uang justru lebih dahulu dari pada pemberian
jasanya.
Sifat dari perusahaan jasa biasanya memiliki atau harus
menginvestasikan modal-modalnya sebagian besar pada aktiva tetap
33
atau plant dan equipment yang digunakan untuk memberikan
pelayanan atau jasanya pada masyarakat.
Apabila dibandingkan dengan perusahaan industri, maka
perbedaannya sangatlah besar karena perusahaan industri harus
mengadakan investasi yang cukup besar dalam aktiva lancar agar
perusahaannya tidak mengalami kesulitan di dalam operasinya
sehari-hari.
Oleh karena itu apabila dibandingkan dengan perusahaan jasa,
perusahaan industri membutuhkan modal kerja yang relatif besar.
Bahkan di antara perusahaan industri sendiri, kebutuhan akan modal
kerja lebih besar dari pada perusahaan perdagangan atau eceran.
Karena perusahaan memproduksi barang harus mengadakan
investasi yang relatif besar dalam bahan baku, barang setengah jadi
dan persediaan barang jadi.
• Waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi atau memperoleh
barang akan dijual serta harga persatuan dari barang tersebut
Kebutuhan modal kerja suatu perusahaan berhubungan
langsung dengan waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh barang
untuk dijual maupun bahan dasar untuk diproduksi sampai barang
tersebut dijual. Makin panjang waktu yang dibutuhkan untuk
memproduksi atau untuk memperoleh barang tersebut, makin besar
pula modal kerja dibutuhkan.
Di samping itu harga pokok per satuan barang juga akan
mempengaruhi besar kecilnya modal kerja yang dibutuhkan.
34
Semakin besar harga pokok persatuaan barang yang dijual, semakin
besar pula kebutuhan akan modal kerja.
• Syarat pembelian barang atau dagangan
Syarat pembelian barang dagangan atau bahan dasar yang
akan digunakan untuk memproduksi barang sangat mempengaruhi
jumlah modal kerja dibutuhkan oleh perusahaan bersangkutan. Jika
syarat pembayaran diterima pada waktu pembelian menguntungkan,
makin sedikit uang kas yang harus diinvestasikan dalam persediaan
bahan ataupun barang dagangan. Sebaliknya bila syarat pembayaran
atas bahan atau barang dibeli tersebut harus dilakukan dalam jangka
waktu pendek maka uang kas yang diperlukan untuk membiayai
persediaan semakin besar.
• Syarat penjualan
Semakin lunak kredit yang diberikan oleh perusahaan pada
para pembeli akan mengakibatkan semakin besarnya jumlah modal
kerja terinvestasikan dalam sektor piutang. Untuk memperendah dan
memperkecil jumlah modal kerja yang harus diinvestasikan dalam
piutang dan untuk memperkecil risiko adanya piutang tidak dapat
ditagih, sebaiknya perusahaan memberikan potongan tunai pada para
pembeli. Dengan demikian para pembeli akan tertarik untuk segera
membayar utangnya dalam periode diskonto tersebut.
• Tingkat perputaran persediaan
Tingkat perputaran persediaan (inventory turnover),
menunjukan berapa kali persediaan tersebut diganti dalam arti dibeli
dan dijual kembali. Semakin tinggi tingkat perputaran persediaan
35
tersebut maka jumlah modal kerja yang dibutuhkan (terutama yang
harus diinvestasikan dalam persediaan) semakin rendah. Untuk dapat
mencapai tingkat perputaran yang tinggi, maka harus diadakan
perencanaan dan pengawasan persediaan secara teratur dan efisien.
Semakin cepat atau semakin tinggi tingkat perputaran akan
memperkecil risiko terhadap kerugian yang disebabkan karena
penurunan harga atau karena perubahan selera konsumen. Di
samping itu akan menghemat ongkos penyimpanan dan
pemeliharaan terhadap persediaan tersebut.
• Siklus usaha
Dalam masa prosperity (konjungtur tinggi) aktivitas
perusahaan diperluas dan ada kecenderungan perusahaan untuk
membeli barang mendahului kebutuhannya, agar dapat
memanfaatkan harga rendah dan untuk memastikan diri akan adanya
persediaan yang cukup, sehingga diperlukan modal kerja besar. Tapi
dalam masa depresi (konjuntur menurun) maka volume usaha turun,
banyak perusahaan menukar persediaan dan piutang menjadi utang,
sehingga terjadi kelebihan uang yang dapat dipergunakan untuk
membeli surat berharga, membayar utang atau dalam bentuk uang.
• Resiko kemungkinan penurunan aktiva lancar
Suatu penurunan harga dibandingkan dengan nilai buku dari
aktiva lancar (surat berharga, piutang, persediaan) akan
mengakibatkan penurunan modal kerja. Sehubungan dengan itu
semakin besar risiko kerugian semakin besar modal kerja diperlukan.
Untuk dapat menampung kemungkinan yang belum pasti terjadi
36
(contigency) tersebut perusahaan mengusahakan adanya banyak
uang atau surat berharga.
• Musim
Apabila perusahaan tidak terpengaruh oleh musim maka
penjualan setiap bulan rata-rata sama. Tapi jika terpengaruh oleh
musim maka akan terdapat dua perbedaan yaitu jika di dalam musim
perusahaan mengalami aktiva yang besar, sedangkan di luar musim
aktiva perusahaan akan rendah. Perusahaan yang mengalami ini
perlu modal kerja maksimum untuk jangka relatif pendek. Di
Indonesia, secara umum mengenal dua macam musim yaitu:
Musim dalam hal produktif, yaitu produksi dilakukan di
bulan-bulan tertentu, misalnya pabrik gula atau perkebunan.
Musim dalam hal penjualan, yaitu penjualan dilakukan di
bulan-bulan tertentu, misalnya barang-barang untuk
keperluan Tahun Baru, Lebaran, Natal dan lainnya.
Setelah menimbang semua faktor yang mempengaruhi modal kerja di
atas maka dapat ditarik simpulan bahwa setiap perusahaan memiliki
kebijakan modal kerja berbeda tergantung dari faktor internal dan eksternal.
Faktor internal seperti bentuk perusahaan, kebijakan operasional
perusahaan, lama untuk memproduksi dan nilai dari produk yang dihasilkan.
Sementara faktor eksternalnya adalah persyaratan yang diberikan oleh
penyedia bahan baku dan lama pengirimannya serta seberapa cepat bahan
tersebut bisa dijual dalam arti tingkat penjualan dimiliki.
37
2.2.5 Komponen Modal Kerja
Dalam buku karangan Munawir (2004, p114) yang berjudul Analisa
Laporan Keuangan disebutkan bahwa modal kerja terdiri dari dua bagian
pokok yaitu:
1. Bagian tetap atau bagian yang permanen yaitu jumlah minimum
wajib tersedia agar perusahaan dapat berjalan dengan lancar
tanpa kesulitan keuangan.
2. Jumlah modal kerja variabel yang jumlahnya tergantung pada
aktivitas musiman dan kebutuhan-kebutuhan di luar aktivitas
biasa.
Pendapat ini dijelaskan lebih lanjut oleh Riyanto, B. dalam bukunya
(2001, p54) yang didasar pendapat W. B. Taylor:
1. Modal kerja tetap dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Modal kerja primer (primary working capital), yaitu jumlah
modal kerja minimum yang harus ada pada perusahaan
untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan.
b. Modal kerja normal (normal working capital), yaitu jumlah
modal kerja yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan luas
produksi normal (yaitu yang dinamis, di mana hasil
produksi yang dikumpulkan dari beberapa waktu dapat
menentukan jumlah produksi normal perusahaan).
2. Modal kerja variabel dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. Modal kerja musiman (seasonal working capital), yaitu
modal kerja yang jumlahnya berubah-ubah disebabkan
karena perubahan musim.
38
b. Modal kerja siklus (cyclical working capital), yaitu modal
kerja yang jumlahnya berubah-ubah disebabkan karena
fluktuasi konjungtur (perubahan siklus usaha).
c. Modal kerja darurat (emergency working capital), yaitu
modal kerja yang jumlahnya berubah-ubah karena adanya
keadaan darurat (tidak diketahui sebelumnya), misalnya
pemogokan buruh, banjir, perubahan mendadak keadaan
ekonomi dan lain sebagainya.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa setiap perusahaan memerlukan
adanya penganggaran dalam modal kerjanya untuk mencukupi keperluaan
pembiayaan operasi perusahaan, baik yang sehari-hari maupun yang khusus.
2.2.6 Kebijakan Modal Kerja
Disebutkan oleh Weston dan Brigham (1998, p 418), terdapat tiga
alternatif kebijakan modal kerja:
1. Kebijakan modal kerja longgar (relaxed working capital asset
policy)
Merupakan kebijakan yang menyarankan agar kas,
sekuritas dan persediaan dimiliki relatif besar dan perusahaan
berupaya menggalakan penjualan dengan menawarkan penjualan
kredit untuk mempermudah pembiayaan pelanggan dan
menimbulkan besar piutang.
2. Kebijakan modal kerja ketat (restricted working capital asset
policy)
39
Merupakan kebijakan yang berupaya meminimumkan
jumlah kas, sekuritas, persediaan dan piutang perusahaan.
Dengan demikian modal kerja yang ketat, jumlah kas dan
persediaan dimiliki sangat kecil, dan kebijakan penjualan kredit
juga akan dibatasi meskipun hal itu bisa menurunkan penjualan.
Pada umumnya, kebijakan yang ketat, atau dibatasi, diharapkan
memberikan tingkat pengembalian investasi tertinggi, tetapi hal
ini juga mengundang resiko.
3. Kebijakan modal kerja moderat (moderated working capital
asset policy)
Di antara kedua exstrim tersebut terdapat kebijakan yang
moderat. Untuk risiko dan tingkat pengembalian investasi yang
diharapkan, kebijakan moderat berada di antara kebijakan
longgar dan kebijakan ketat. Sehingga menawarkan tingkat
pengembalian investasi cukup tinggi. Walau tidak paling tinggi,
namun risikonya masih dapat diterima.
Ketiga kebijakan modal di atas dapat dilihat pada gambar berikut:
40
Penjualan
Aktiva
Longgar
Ketat
Moderat
100500
10
20
30
40
Gambar 2.4 Jenis Kebijakan Modal Kerja
Sumber: Weston dan Brigham (1998, p 418)
Sehingga dapat ditarik simpulan bahwa kebijakan longgar dapat
memberikan laba tertinggi dibandingkan dengan kebijakan lain. Namun
risiko yang ditanggung sangatlah besar jika kondisi ekonomi berubah dan
piutang tidak dapat ditagih. Sementara itu kebijakan ketat umumnya
menghasilkan laba lebih rendah dibandingkan kebijakan lain, namun
memberikan keamanan yang paling baik terhadap kemungkinan perubahan
keadaaan ekonomi dan kemungkinan utang tidak dapat ditagih. Kebijakan
moderat berada diantara kedua kebijakan sebelumnya, dengan demikian
kebijakan ini memberikan perlindungan walau tidak seluruhnya namun
menghasilkan laba lebih banyak dibanding kebijakan ketat walau tidak
setinggi kebijakan longgar.
41
2.2.7 Sumber Modal Kerja
Munawir (2004, p119) menyatakan bahwa kebutuhan modal kerja
yang permanen seharusnya atau sebaiknya dibiayai oleh pemilik perusahaan
atau para pemegang saham. Semakin besar jumlah modal kerja yang
dibiayai atau berasal dari investasi pemilik perusahaan akan semakin baik
bagi perusahaan tersebut, karena akan semakin besar kemampuan
perusahaan untuk memperoleh kredit, dan semakin besar jaminan bagi
kreditor jangka pendek.
Di samping dari investasi para pemilik perusahaan, kebutuhan modal
kerja yang permanen dapat pula dibiayai dari penjualan obligasi atau jenis
utang jangka panjang lainnya. Tetapi dalam hal ini perusahaan harus
mempertimbangkan jatuh tempo dari utang jangka panjang, di samping juga
harus mempertimbangkan beban bunga yang harus dibayar oleh perusahaan.
Pada umumnya sumber modal kerja suatu perusahaan dapat berasal
dari:
a. Hasil operasi perusahaan
Adalah jumlah net income yang nampak dalam laporan
perhitungan laba rugi ditambah dengan depresiasi dan amortisasi.
Jumlah ini menunjukan jumlah modal kerja yang berasal dari hasil
operasi perusahaan. Jadi jumlah modal kerja berasal dari hasil
operasi perusahaan dapat dihitung dengan menganalisis laporan
perhitungan rugi laba dari usaha perusahaan. Apabila laba tersebut
tidak diambil oleh pemilik perusahaan maka laba tersebut akan
menambah modal perusahaan bersangkutan.
42
b. Keuntungan dari penjualan surat-surat berharga (investasi jangka
pendek)
Surat berharga miliki perusahaan untuk jangka pendek (marketable
securities atau efek) adalah salah satu elemen aktiva lancar yang
segera dapat dijual dan akan menimbulkan keuntungan bagi
perusahaan. Dengan adanya penjualan surat berharga ini
menyebabkan terjadinya perubahan unsur modal kerja yaitu dalam
bentuk surat berharga berubah menjadi uang kas.
Keuntungan yang diperoleh dari penjualan surat berharga ini
merupakan suatu sumber untuk bertambahnya modal kerja.
Sebaliknya apabila dalam penjualan tersebut terjadi kerugian maka
akan menyebabkan berkurangnya modal kerja. Apabila effek atau
investasi jangka pendek ini dijual dengan harga jual yang sama
dengan harga perolehannya (tanpa laba maupun rugi), maka
penjualan tersebut tidak akan mempengaruhi besarnya modal kerja
(modal kerja tidak bertambah maupun berkurang).
Dalam menganalisis sumber-sumber modal kerja, sumber yang
berasal dari keuntungan penjualan surat-surat berharga harus
dipisahkan dengan pokok perusahaan.
c. Penjualan aktiva tidak lancar
Sumber lain yang dapat menambah modal kerja adalah hasil
penjualan aktiva tetap, investasi jangka panjang dan aktiva lancar
lainnya tidak diperlukan lagi oleh perusahaan. Perubahan dari aktiva
ini menjadi kas atau piutang akan menyebabkan bertambahnya
modal kerja sebesar hasil penjualan tersebut.
43
Apabila dari hasil penjualan tersebut aktiva tetap atau aktiva
tidak lancar lainnya ini tidak segera digunakan untuk mengganti
aktiva yang bersangkutan, akan menyebabkan keadaan aktiva lancar
sedemikian besarnya sehingga melebihi jumlah modal kerja
dibutuhkan (berlebih).
d. Penjualan saham atau obligasi
Untuk menambah dana atau modal yang dibutuhkan,
perusahaan dapat pula mengadakan emisi saham baru atau meminta
pada para pemilik perusahaan untuk menambah modalnya. Di
samping itu, perusahaan dapat juga mengeluarkan obligasi atau
bentuk utang jangka panjang lainnya guna memenuhi kebutuhan
modal kerjanya.
Penjualan obligasi ini mempunyai konsekuensi bahwa
perusahaan harus membayar bunga tetap. Oleh karena itu dalam
mengeluarkan utang bentuk obligasi harus disesuaikan dengan
kebutuhan perusahaan. Penjualan obligasi yang tidak sesuai dengan
kebutuhan (terlalu besar), di samping menimbulkan beban bunga
besar, juga mengakibatkan keadaan aktiva lancar besar sehingga
melebihi kebutuhan jumlah modal kerja perusahaan.
Selain keempat sumber tersebut di atas, masih ada lagi sumber yang
dapat diperoleh bagi perusahaan untuk menambah aktiva lancarnya (walau
dengan bertambahnya aktiva lancar itu tidak mengakibatkan bertambahnya
modal kerja) misalnya dari pinjaman/kredit dari bank dan pinjaman-
pinjaman jangka pendek lainnya serta utang dagang yang diperoleh dari para
penjual (supplier) – di sini bertambahnya aktiva lancar diimbangi atau
44
dibarengi dengan bertambahnya utang lancar, sehingga modal kerja (dalam
arti net working capital) tidak berubah.
Dari uraian tentang sumber-sumber modal kerja tersebut dapat
disimpulkan bahwa modal kerja akan bertambah apabila:
1. Adanya kenaikan sektor modal baik yang berasal dari laba maupun
adanya pengeluaran modal saham atau tambahan investasi dari
pemilik perusahaan.
2. Adanya pengurangan atau penurunan aktiva tetap yang diimbangi
dengan bertambahnya aktiva lancar karena adanya penjualan aktiva
tetap maupun melalui proses depresiasi.
3. Ada penambahan utang jangka panjang baik dalam bentuk obligasi,
hipotek atau utang jangka panjang lainnya yang diimbangi dengan
bertambahnya aktiva lancar.
45
Gambar 2.5 Penambahan Modal Kerja
Sumber: Munawir (2004, p124)
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa modal kerja akan bertambah
apabila aktiva lancar bertambah yang diimbangi atau diiringi dengan
perubahan dalam sektor atau pos tidak lancar (non current account), dan
dapat digambarkan seperti terlihat di atas.
Dapat disimpulkan bahwa modal kerja umumnya sangat bergantung
pada aset lancar terutama uang kas seperti penjelasan di atas baik yang
berasal dari operasional seperti laba atau dari utang jangka panjang dan
modal saham. Hal ini dikarenakan utang jangka panjang dan modal saham
tidak digunakan dalam proses perhitungan modal kerja.
46
Sumber lain dari penambahan modal kerja adalah konversi aktiva tetap
ke aktiva lancar yang umumnya dilakukan dalam bentuk penjualan aset
lancar namun, hal ini tidaklah terlalu disarankan sebab umumnya penjualan
aktiva tetap tidaklah menguntungkan dan dapat mengganggu kinerja
operasional perusahaan.
2.2.8 Penggunaan Modal Kerja
Dalam buku “Analisa Laporan Keuangan” (2004, p124) karangan
Munawir, disebutkan bahwa pemakaian atau penggunaan modal kerja akan
menyebabkan perubahan bentuk maupun penurunan jumlah aktiva lancar
dimiliki oleh perusahaan, tetapi penggunaan aktiva lancar tidak selalu
diikuti dengan berubahnya atau turunnya jumlah modal kerja yang dimiliki
oleh perusahaan.
Dalam buku “Analisa Laporan Keuangan” (2004, p124) karangan
Munawir, disebutkan juga penurunan aktiva lancar yang mengakibatkan
turunnnya modal kerja adalah:
a. Pembayaran biaya atau ongkos-ongkos operasi perusahaan, meliputi
pembayaran upah, gaji, pembeliaan bahan atau barang dagangan,
supplies kantor dan pembayaran biaya operasi lainnya. Pembayaran
biaya operasi ini akan mengakibatkan terjadinya penjualan atau
penghasilan perusahaan yang bersangkutan. Penggunaan aktiva
lancar untuk pembayaran biaya operasi ini baru merupakan
penggunaan modal kerja kalau jumlah biaya suatu periode lebih
besar dari pada jumlah penghasilannya (timbul kerugian).
47
Besarnya penggunaan modal kerja untuk biaya operasi ini akan dapat
ditentukan dengan menganalisis laporan perhitungan rugi laba
perusahaan tersebut, yaitu jumlah kerugian neto yang nampak dalam
laporan perhitungan rugi laba dikurangi dengan jumlah depresiasi
dan amortisasi periode tersebut.
b. Kerugian-kerugian yang diderita oleh perusahaan karena adanya
penjualan surat berharga atau effek, maupun kerugian isidentil
lainnya. Penggunaan modal kerja karena kerugian yang di luar usaha
pokok perusahaan harus dilaporkan tersendiri dalam Laporan
Perubahan Modal Kerja. Hal ini dimaksudkan agar laporan itu lebih
informatif bagi para pembacanya. Adapun kerugian baik yang rutin,
maupun insidentil pada akhirnya akan mengakibatkan berkurangnya
modal perusahaan.
c. Adanya pembentukan dana atau pemisahan aktiva lancar untuk
tujuan-tujuan tertentu dalam jangka panjang, misalnya dana
pelunasan obligasi, dana pensiun pegawai, dana expansi ataupun
dana lainnya. Adanya pembentukan dana ini, berarti adanya
perubahan bentuk aktiva lancar menjadi tetap.
d. Adanya penambahan atau pembelian aktiva tetap, investasi jangka
panjang atau aktiva tidak lancar lainnya, mengakibatkan
berkurangnya aktiva lancar atau timbulnya utang lancar yang
berakibat berkurangnya modal kerja.
e. Pembayaran utang jangka panjang yang meliputi utang hipotek,
utang obligasi maupun bentuk utang jangka panjang lainnya, serta
penarikan atau pembelian kembali (untuk sementara maupun untuk
48
seterusnya) saham perusahaan yang beredar; atau adanya penurunan
utang jangka panjang diimbangi berkurangnya aktiva lancar.
f. Pengambilan uang atau barang dagangan oleh pemilik perusahaan
kepentingan pribadi (prive) atau adanya pengambilan bagian
keuntungan oleh pemilik dalam perusahaan perseorangan dan
persekutuan atau adanya pembayaran dividen dalam perseroan
terbatas. Dengan kata lain, adanya penurunan sektor modal yang
diimbangi berkurangnya aktiva lancar atau bertambahnya utang
lancar dalam jumlah sama.
Penggunaaan aktiva lancar yang mengakibatkan berkurangnya modal
kerja dapat digambarkan sebagai berikut:
49
Gambar 2.6 Pengeluaran Modal Kerja
Sumber: Munawir (2004, p126)
Di samping penggunaan aktiva lancar mengakibatkan berkurangnya
modal kerja tersebut, ada pula pemakaian aktiva lancar yang tidak merubah
jumlahnya baik jumlah modal kerjanya, maupun jumlah aktiva lancarnya itu
sendiri. Yaitu pemakaian atau penggunaan modal kerja/aktiva lancar yang
hanya menyebabkan atau mengakibatkan berubahnya bentuk aktiva lancar
(modal kerja tidak berkurang).
Contoh:
a. Pembelian effek (marketable securities) secara tunai.
b. Pembelian barang dagangan atau bahan-bahan lainnya secara luas.
50
c. Perubahan suatu bentuk piutang ke bentuk piutang yang lain,
misalnya dari piutang dagang (account receivable) menjadi piutang
wesel (notes receivable).
Setelah mengetahui semua ini maka dapat ditarik simpulan bahwa
berkurangnya modal kerja umumnya terjadi saat aktiva lancar terutama kas
digunakan baik untuk operasional sehari-hari maupun keadaan khusus.
Perubahan aktiva lancar menjadi aktiva tetap juga menyebabkan
berkurangnya modal kerja (sebab aktiva tetap tidak digunakan dalam
perhitungan modal kerja). Selain itu kerugian dalan operasional maupun
modal kerja dapat menyebabkan berkurangnya modal kerja. Suatu penyebab
modal kerja yang sedikit jarang terjadi adalah pengurangan disebabkan oleh
pengambilan dana pribadi (prive) oleh pemilik perusahaan, berbeda dengan
dividen umumnya diberikan secara tahunan jika ada.
2.3 Analytic Hierarchy Process (AHP)
2.3.1 Definisi
Analytic Hierarchy Process (AHP) adalah suatu model yang fleksibel
dan dapat memberikan kesempatan bagi perorangan atau kelompok untuk
membangun gagasan-gagasan. AHP membantu dalam mendefinisikan
persoalan dengan cara membuat asumsi masing-masing dan memperoleh
pemecahan yang diinginkan (Saaty, 2001, p23).
Sedangkan menurut Taylor (2002, p373), AHP merupakan suatu
metode yang digunakan untuk menghasilkan suatu peringkat alternatif
keputusan sekaligus. Melalui metode AHP jiga akan dihasilkan keputusan
terbaik dari berbagai alternatif yang ada. AHP digunakan terutama dalam
51
kondisi di mana banyak tujuan atau kriteria yang harus dipertimbangkan
oleh pengambil keputusan.
Jadi AHP merupakan suatu model untuk membantu proses
pengambilan keputusan terutama dalam kondisi di mana banyak tujuan atau
kriteria yang harus dipertimbangkan. AHP dapat membantu pengambilan
keputusan baik bagi perorangan maupun kelompok dengan berdasarkan
pada asumsi-asumsi dasar manusia. Di mana proses ini dijalankan dengan
pembuatan struktur hirarki dari masalah yang dihadapi. Kemudian
membandingkan kriteria-kriteria yang terdapat dalam hirarki tersebut
dengan melakukan perbandingan berpasangan.
2.3.2 Keuntungan AHP
Saaty (2001, p25) menyebutkan keuntungan-keuntungan AHP sebagai
berikut:
1. Kesatuan.
AHP memberi suatu model tunggal yang mudah dimengerti dan luwes
untuk beraneka ragam persoalan tidak terstruktur.
2. Kompleksitas.
AHP memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan
sistem dalam memecahkan persoalan yang kompleks.
3. Saling ketergantungan.
AHP dapat menangani ketergantungan antar elemen dalam suatu
sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.
52
4. Penyusunan hirarki.
AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah-
milah elemen suatu sistem berbagai tingkat berlainan dan
mengelompokkan struktur yang serupa dalam setiap tingkat.
5. Pengukuran.
AHP memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal tidak berwujud
dan metode untuk menetapkan prioritas.
6. Konsistensi.
AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang
digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas.
7. Sintesis.
AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap
alternatif.
8. Tawar-menawar.
AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai
faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik
sesuai tujuan yang hendak dicapai.
9. Penilaian dan konsensus.
AHP tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil
representatif dari berbagai penilaian yang berbeda-beda.
10. Pengulangan proses.
AHP dapat memperjelas definisi atas suatu masalah dan memperbaiki
pertimbangan serta pemahaman pengambil keputusan melalui
pengulangan.
53
2.3.3 Prinsip Dasar AHP
Dalam menyelesaikan persoalan dengan AHP terdapat beberapa
prinsip yang perlu dipahami menurut Mulyono (2004, 321-322) yaitu:
1. Decomposition.
Yaitu memecahkan masalah yang utuh menjadi unsur-unsurnya. Jika
ingin mendapatkan hasil yang akurat, pemecahan juga dilakukan
terhadap unsur-unsurnya sampai tidak mungkin dipecah lagi, sehingga
didapatkan beberapa tingkatan dari persoalan tadi. Karena alasan
tersebut, maka proses analisis dinamakan hirarki (hierarchy). Ada dua
jenis hirarki, yaitu lengkap dan tidak lengkap. Di mana dalam hirarki
lengkap, semua elemen pada suatu tingkat memiliki semua elemen
yang ada pada tingkat berikutnya. Jika tidak demikian, maka
dinamakan hirarki tidak lengkap.
2. Comparative Judgement.
Prinsip ini berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua
elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat di
atasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP karena akan
berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Hasil dari penilaian ini
akan tampak lebih baik bila disajikan dalam bentuk matriks yang
dinamakan matriks pairwise comparison. Skala dasar untuk penilaian
elemen dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Skala Dasar
Tingkat Kepentingan Definisi 1 Sama pentingnya dibanding yag lain. 3 Moderat atau sedikit lebih penting dibanding
yang lain.
54
5 Kuat pentingnya dibanding yang lain. 7 Sangat kuat pentingnya dibanding yang lain. 9 Ekstrim pentingnya dibanding yang lain.
2, 4, 6, 8 Nilai di antara dua penilaian yang berdekatan.
Reciprocal Jika elemen i memiliki salah satu angka di atas ketika dibandingkan dengan elemen j, maka elemen j memiliki nilai kebalikannya ketika dibandingkan dengan elemen i.
Sumber: Riset Operasi (Mulyono, 2007, p321)
3. Synthesis of Priority.
Dari setiap matriks pairwaise comparison kemudian dicari local
priority. Karena matriks pairwise comparison terdapat pada setiap
tingkat, maka untuk mendapatkan global priority harus dilakukan
sintesis di antara local priority. Prosedur melakukan sintesis berbeda
menurut bentuk hirarki. Pengurutan elemen-elemen menurut
kepentingan relatif melalui prosedur sintesis dinamakan priority
setting.
4. Logical Consistency.
Konsistensi memiliki dua makna. Pertama adalah bahwa objek-objek
dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi. Kedua
adalah menyangkut tingkat hubungan antara objek–objek yang ada
didasarkan pada kriteria tertentu.
2.3.4 Kelebihan AHP
Menurut Suryadi dan Ramdhani (2000, p131), kelebihan AHP
dibanding model yang lainnya adalah:
1. Struktur memiliki hirarki, sebagai konsekuensi dari kriteria yang
dipilih, sampai pada sub kriteria paling dalam.
55
2. Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi
berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh para pengambil
keputusan.
3. Memperhitungkan daya tahan atau ketahanan output analisis
sensitivitas pengambilan keputusan.
2.3.5 Struktur AHP
Pembuatan struktur diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan
sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkat
kriteria yang paling bawah (Suryadi dan Ramdhani, 2000, p130). Contoh
struktur AHP disajikan pada Gambar 2.7:
Sub Sub
Kriteria Kriteria
Gambar 2.7 Struktur AHP
Sumber : Suryadi dan Ramdhani (2000, p130)
Tujuan
Kriteria Kriteria Kriteria
Alternatif 1 Alternatif 2 Alternatif 3
56
2.3.6 Langkah-Langkah Perhitungan AHP
Langkah ini diawali dengan melihat hirarki yang telah dibuat
kemudian membentuk matriks pairwise comparison. Nilai pada matriks ini
didapat dari memberi pertanyaan berapa kali lipat tingkat kepentingan suatu
kriteria dibandingkan dengan kriteria lainnya. Kemudian di cari weight dan
priority vector-nya.
Langkah-langkah perhitungan weight dan λmaks sebagai berikut:
1. Hitung vi untuk setiap baris dengan rumus:
n vi = n ( ∏ aij) = n√ (ai1, i2, .., ain) √ j = 1
2. Normalisasikan nilai vi untuk mendapatkan weight (wi):
vi wi =
v1 + v2 + v3 + .. + vn 3. Selesaikan persamaan berikut untuk λi untuk setiap baris i = 1, 2, .. ,
n:
Ai w = λi w (Ai adalah baris ke-i dari matriks A)
4. Setelah didapatkan λi untuk setiap baris, maka rata-ratakan nilai λi
pada setiap baris untuk mendapatkan λmaks, dengan rumus:
λmaks = (λ1 + λ2 + .. + λn) / n
5. Langkah terakhir yaitu mencari nilai Consistency index (CI) dan
Consistency Ratio (CR) dengan menggunakan rumus:
CI = (λmaks – n) / (n – 1)
CI CR =
Random Consistency Index
57
Nilai Random Consistency Index untuk setiap ukuran matriks dapat
dilihat pada Tabel 2.3. Ketika CR ≤ 0,10, maka matriks perbandingan dapat
dilihat telah memiliki keseragaman yang memuaskan. Hal ini berarti vector
weight dapat diterima atau diandalkan. Jika tidak, maka matriks
perbandingan harus dibuat ulang.
Tabel 2.3 Random Consistency Index
N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 RI 0 0 0.52 0.89 1.11 1.25 1.35 1.40 1.45 1.49
Sumber: Decision Making for Leaders (Saaty, 2001, p83)
2.3.7 Analisis Sensitivitas
Menurut Turban (2005, p224), analisis sensitivitas merupakan suatu
cara untuk menilai dampak dari suatu perubahan pada suatu kriteria
keputusan terhadap solusi yang dihasilkan. Analisis sensitivitas sangat
penting karena memungkinkan fleksibilitas dan adaptasi terhadap perubahan
kondisi serta persyaratan situasi keputusan yang berbeda-beda. Selain itu,
analisis sensitivitas akan memberikan pemahaman lebih baik mengenai
model dan situasi pengambilan keputusan yang sedang dijelaskan. Analisis
ini juga mengizinkan manajer untuk input data sehingga (kerahasiaan)
dalam model meningkat.
2.4 Konsep Analisa dan Perancangan Berorientasi Objek
Menurut Mathiassen (2000, p14), dikatakan bahwa object oriented analysis
and design terbagi dalam empat aktivitas, antara lain analisis problem domain,
analisis application domain, architectur design, dan component design. Seperti
terlihat gambar di bawah ini:
58
Gambar 2.8 Kegiatan Utama dan Hasil dari Analisis dan Perancangan
Berorientasi Objek.
Sumber: Mathiassen (2000, p15)
Keempat aktivitas dimulai saat Requirement for User diterima oleh pihak
yang bertanggung jawab dalam pengembangan sistem.
2.3.1. Orientasi Objek
Menurut Mathiassen (2000, p4), ”Object: an entity with identity, state,
and behavior.” Jika diterjemahkan, objek adalah suatu entitas dengan
identitas, keadaan dan perilaku tertentu.
Menurut Whitten, Bentley, Dittman (2004, p109), “Object is the
encapsulation of data (called properties) that describes a discrete person,
place, event, or thing, with all of the processes (called methods) that are
allowed to use or update the data and properties.” Jika di terjemahkan, objek
59
adalah kesatuan dari data (disebut properti) yang menggambarkan orang,
tempat, kejadian atau barang, dengan seluruh prosesnya (disebut method)
boleh menggunakan atau meng-update data propertinya.
2.3.2. Rich Picture
Menurut Mathiassen (2000, p6), “Rich picture is an informal drawing
that presents the illustrator’s understanding of a situatio.” Jika
diterjemahkan, rich picture adalah sebuah gambaran informal yang mewakili
pemahaman suatu kondisi oleh sang ilustrator. Rich picture juga dapat
digunakan sebagai alat yang berguna untuk memfasilitasi komunikasi antar
pengguna dalam sistem.
2.3.3. Problem Domain Amalysis
Menurut Mathiassen (2000, p6), mengatakan bahwa “Problem
domain: That part of a context that is administrated, monitored or controlled
by a system.” Berdasarkan definisi di atas mengandung pengertian bahwa
problem domain merupakan bagian dari suatu konteks yang dijalankan,
dimonitor, atau dikontrol oleh sebuah sistem, dengan tujuan untuk
mengidentifikasi dan memodel sebuah problem domain.
60
Gambar 2.9 Aktivitas pada Problem Domain Analysis.
Sumber: Mathiassen (2000, p46)
Sedangkan model yang terdapat di dalam problem domain dapat
didefinisikan sebagai deskripsi dari class-class, object-object, structure-
structure, dan behavior di dalam sebuah problem domain, seperti terlihat
pada gambar di atas.
2.3.3.1. Classes
Classes di sini akan menggambarkan tentang object-object dan
event-event mana saja yang akan menjadi bagian dari problem
domain. Menurut Mathiassen (2000, p53), “Class: a description of a
collection of object sharing structure, behavioral pattern, and
artributes”. Artinya kelas adalah sekumpulan objek-objek yang saling
berbagi struktur, atribut dan pola tingkah laku sama.
Tabel 2.4 Contoh Event Table
Class Event
Customer Assistant Apprentice Appointment Plan
Reserved v v v v
61
Cancelled v v v
Treated v v
Employed v v
Resign v v
Graduated v
Agreed v v v
Sumber: Mathiassen (2000, p50)
Mengacu pada Mathiassen (2000, p49), kegiatan kelas akan
menghasilkan event table. Dalam tabel ini dimensi horizontal berisi
kelas-kelas terpilih, dimensi vertikal berisi event-event terpilih, dan
tanda cek digunakan untuk mengidentifikasikan objek-objek dari
kelas yang berhubungan dalam event tertentu. Seperti yang terlihat
dalam tabel di atas ini.
2.3.3.2. Structure
Structure di sini harus mencerminkan bagaimana class-class
dan object-object secara konseptual saling terkait secara bersamaan.
Konsep structure Menurut Mathiassen (2000, p69):
1. Class structure meliputi:
a. Generalization
“Generalization: A general class (the super class)
describes properties common to a group of specialized
classes (the subclasses).” Jika diterjemahkan, generalisasi
adalah suatu kelas umum (kelas super) yang
62
menggambarkan properti umum untuk suatu grup pemiliki
kelas khusus (kelas sub).
b. Cluster
“Cluster: a collection of related classes.” Artinya cluster
adalah suatu koleksi dari kelas-kelas yang saling
berhubungan.
2. Object structure meliputi:
a. Aggregation
“Aggregation: A superior object (the whole) consists of a
number of objects (the parts)”. Artinya agregasi adalah
suatu objek superior (secara keseluruhan) yang terdiri dari
sejumlah objek (bagian-bagiannya).
b. Association
”Association: A meaningful relation between a number of
object”. Artinya asosiasi adalah hubungan yang
mempunyai arti antar sejumlah objek.
Hasil dari kegiatan struktur ini adalah class diagram. Class
diagram menghasilkan ringkasan model problem domain dengan
menggambarkan semua struktur hubungan statik antar kelas dan objek
dalam model dari sistem yang berubah-ubah.
2.3.3.3. Behavior
Menurut Mathiassen (2000, p89), diterjemahkan, behavior di
sini menggambarkan mengenai suatu tujuan, yaitu untuk memberi
model dinamis yang harus dimiliki oleh object-object pada problem
63
domain. Tugas utama dalam kegiatan ini adalah menggambarkan pola
perilaku (behaviour pattern) dan atribut dari setiap kelas.
Hasil dari kegiatan ini adalah statechart diagram yang dapat
dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 2.10 Contoh Statechart
Sumber: Mathiassen (2000, p90)
Menurut Mathiassen (2000, p93), ada tiga notasi untuk
behavioural pattern yaitu:
• Sequence, di mana event muncul satu persatu secara berurutan.
• Selection, di mana terjadi pemilihan satu event dari sekumpulan
event yang muncul.
• Iteration, di mana sebuah event muncul sebanyak nol atau berulang
kali.
2.3.4. Application Domain Analysis
Mathiassen (2000, p115) berpendapat bahwa ”Application domain: an
organization that administrates, monitors, or controls a problem domain”.
Artinya application domain adalah suatu organisasi yang
64
mengadministrasikan, mengawasi, atau mengendalikan suatu problem
domain. Tujuan dari application domain adalah untuk menganalisis
kebutuhan dari pengguna sistem.
Gambar 2.11 Aktivitas Application Domain
Sumber: Mathiassen (2000, p117)
Pada application domain terdapat tiga aktivitas utama seperti yang
ditunjukan pada gambar di atas.
2.3.4.1. Usage
Di dalam usage harus mencerminkan bagaimana sistem
bereaksi dengan actor di dalam sebuah contex. Definisi actor itu
sendiri menurut Mathiassen (2000, p119) adalah “An abstraction of
users or other system that interact with the target system”. Jika
diterjemahan, aktor adalah suatu abstraksi pengguna atau sistem lain
yang berhubungan dengan sasaran suatu sistem. Sedangkan
pengertian use case menurut Mathiassen (2000, p120) adalah ”A
pattern for interaction between the system and actors in application
65
domain”. Artinya use case adalah suatu pola interaksi antara sistem
dan aktor-aktor dalam application domain.
Hasil dari analisis kegiatan usage ini adalah deskripsi lengkap
dari semua use case dan aktor yang ada digambarkan dalam tabel
aktor atau use case diagram.
Menurut Bennet, McRobb dan Farmer (2006, p148), use case
diagam mempunyai dua jenis hubungan (relationship) yaitu: extend
dan include. Hubungan extend digunakan ketika ingin menunjukan
bahwa sebuah use case menyediakan fungsi tambahan yang mungkin
digunakan oleh use case lain. Sedangkan hubungan include digunakan
ketika terdapat urutan behavior yang sering kali digunakan oleh
sejumlah use case dan ingin dihindari pengkopian deskripsi sama ke
setiap use case pengguna perilaku tersebut.
Menurut Whitten, Bentley, Dittman (2004, p687), ”Sequence
diagram shows us in great detail how the objects interact with each
other over time.” Sequence menggambarkan bagaimana pesan atau
message dikirim dan diterima antar objek dalam sequence tertentu.
Menurut Bennet, McRobb dan Farmer (2006, p329), dikatakan
bahwa sequence diagram membantu seorang analis
mengidentifikasikan rincian dari kegiatan yang dibutuhkan untuk
menjalankan fungsi dari sebuah use case. Tidak ada suatu sequence
diagram yang benar untuk use case tertentu. Melainkan ada sejumlah
kemungkinan sequence diagram yang masing-masing diagram
tersebut dapat lebih atau kurang memenuhi dari use case.
66
2.3.4.2. Function
Menurut Mathiassen (2000, p119), “Function: A facility for
making a model useful for actors.” Function adalah suatu fasilitas
untuk membuat suatu model yang berguna bagi actors. Function
memfokuskan pada bagaimana cara sebuah sistem dapat membantu
aktor dalam melaksanakan pekerjaan. Function memiliki empat tipe
berbeda yaitu:
a. Update
Fungsi ini disebabkan oleh event problem domain dan
menghasilkan perubahan dalam state atau keadaan dari model
tersebut.
b. Signal
Fungsi ini disebabkan oleh perubahan keadaan atau
state dari model yang dapat menghasilkan reaksi pada konteks.
c. Read
Fungsi ini disebabkan oleh kebutuhan informasi
pekerjaan aktor dan mengakibatkan sistem menampilkan
bagian yang berhubungan dengan informasi dalam model.
d. Compute
Fungsi ini disebabkan oleh kebutuhan informasi dalam
pekerjaan aktor dan berisi perhitungan yang melibatkan
informasi disebabkan oleh aktor atau model, hasil dari fungsi
ini adalah tampilan dari hasil komputasi.
Tujuan dari kegiatan function adalah untuk menentukan
kemampuan sistem memproses informasi. Hasil dari kegiatan ini
67
adalah sebuah daftar function-function yang kompleks. Daftar
function harus lengkap, menyatakan kebutuhan kolektif dari
pelanggan, dan aktor serta harus konsisten dengan use case.
2.3.4.3. User Interface
Menurut Mathiassen (2000, p151), “Interface: Facilities that
make a system’s model dan function available to actors.” Interface
adalah fasilitas pembuat suatu model dan fungsi yang dapat dipakai
oleh pengguna. Interface menghubungkan sistem dengan semua aktor
yang berhubungan dalam konteks. Kualitas user interface ditentukan
oleh kegunaan atau usability interface tersebut bagi user.
Hasil dari kegiatan ini adalah sebuah deskripsi elemen-elemen
user interface dan sistem interface yang lengkap, di mana
kelengkapan menunjukan pemenuhan kebutuhan user. Hasil ini
dilengkapi dengan sebuah diagram navigasi yang menyediakan
sebuah ringkasan dari elemen-elemen user interface dan perubahan
antara elemen-elemen tersebut.
2.3.5. Architecture Design
Menurut Mathiassen (2000, p173), yang diterjemahkan langsung,
tujuan dari desain arsitektur adalah untuk menstrukturkan sebuah sistem
terkomputerisasi.
68
Gambar 2.12 Aktivitas pada Architectural Design
Sumber: Mathiassen (2000, p176)
Aktivitas yang dilakukan dalam architecture design seperti
diilustrasikan pada gambar di atas.
2.3.5.1. Criteria
Menurut Mathiassen (2000, p178), diterjemahkan langsung,
tujuan dari sebuah criteria adalah untuk mempersiapkan prioritas dari
sebuah perancangan dari sebuah perancangan. Sebuah perancangan
yang baik harus memperhatikan criteria-criteria seperti terlihat pada
tabel berikut ini:
Tabel 2.5 Kriteria Umum
Criterion Ukuran Dari
Usable
Kemampuan sistem untuk menyesuaikan diri dengan
konteks, organisasi yang berhubungan terhadap pekerjaan
dan teknis.
Secure Ukuran keamanan sistem dalam menghadapi akses yang
tidak terotorisasi terhadap data dan fasilitas.
69
Efficient Eksploitasi ekonomis terhadap fasilitas platform teknis.
Correct Pemenuhan dari kebutuhan.
Reliable Pemenuhan ketepatan yang dibutuhkan untuk
melaksanakan fungsi.
Maintainable Biaya untuk menentukan dan memperbaiki kerusakan.
Testable Biaya untuk memastikan bahwa sistem dapat
melaksanakan fungsi yang dibentuk.
Flexible Usaha untuk mengubah sistem yang dibentuk.
Comprehensible Usaha yang diperlukan untuk mendapatkan pemahaman
terhadap sistem.
Reusable Kemungkinan untuk menggunakan bagian sistem pada
sistem lain yang berhubungan.
Portable Biaya untuk memindahkan sistem ke platform teknis yang
berbeda.
Interoperable Biaya untuk menggabungkan sistem ke sistem yang lain.
Sumber: Mathiassen (2000, p178)
Menurut Mathiassen (2000, p186), diterjemahkan langsung,
tidak ada ukuran dan cara-cara pasti untuk menghasilkan desain yang
baik. Namun desain yang baik memiliki tiga ciri-ciri yaitu:
1. Tidak memiliki kelemahan.
Syarat ini menyebabkan adanya pendekatan pada evaluasi dari
kualitas berdasarkan review atau eksperimen dan membantu
menentukan prioritas dari kriteria yang akan mengatur dalam
kegiatan desain.
70
2. Menyeimbangkan beberapa kriteria.
Konflik sering terjadi antar kriteria, oleh sebab itu untuk
menentukan kriteria mana yang akan digunakan dan
bagaimana cara menyeimbangkannya dengan kriteria-kriteria
lain bergantung pada situasi sistem tertentu.
3. Usable, flexible, dan comprehensible.
Kriteria-kriteria ini bersifat universal dan digunakan pada
hampir setiap proyek pengembangan sistem.