css epistaksis

26
Clinical Science Session PERDARAHAN DARI HIDUNG Oleh : Ilham Ari Seja 1110312001 Dinda Wijaya 1010312021 Preseptor : dr. Dolly Irfandy, Sp.THT-KL BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER RSUP DR M DJAMIL PADANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 2016

Upload: jolatuvelbahana

Post on 06-Jul-2018

251 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

8/17/2019 Css Epistaksis

http://slidepdf.com/reader/full/css-epistaksis 1/26

Clinical Science Session

PERDARAHAN DARI HIDUNG

Oleh :

Ilham Ari Seja 1110312001

Dinda Wijaya 1010312021

Preseptor :

dr. Dolly Irfandy, Sp.THT-KL

BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK

BEDAH KEPALA LEHER

RSUP DR M DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2016

8/17/2019 Css Epistaksis

http://slidepdf.com/reader/full/css-epistaksis 2/26

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, dengan berkat dan rahmat-Nya penulis

dapat menyelesaikan Clinical Science Session yang berjudul “Penyebab Perdarahan

Hidung” sebagai salah satu syarat untuk menempuh kepaniteraan klinik di bagian

Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas

Andalas.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Dolly Irfandy, Sp. THT-KL

selaku preceptor yang telah memberikan bimbingan kepada penulis. Penulis

menyadari bahwa makalah ini belum sempurna dan masih banyak kekurangan, oleh

karena itu penulis sangat mengharapkan kritik serta saran yang membangun dari

semua pihak.Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat

menambah pengetahuan dalam bidang ilmu THT khususnya dan bidang kedokteran

 pada umumnya.

Padang, 14 Maret 2016

Penulis

8/17/2019 Css Epistaksis

http://slidepdf.com/reader/full/css-epistaksis 3/26

ii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR  ........................................................................................ i 

DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii 

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 2

1.3 Tujuan Penulisan ..................................................................................... 2

1.4 

Metode Penulisan .................................................................................... 2 

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hidung ...................................................................................... 3

2.2 Epistaksis ................................................................................................ 8

2.2.1 Definisi dan Epidemiologi ............................................................. 8

2.2.2 Etiologi ........................................................................................... 8

2.2.3 Sumber Perdarahan ........................................................................ 9

2.2.4 Diagnosis ...................................................................................... 10

2.2.5 Diagnosis Banding ....................................................................... 11

2.2.6 Tatalaksana ................................................................................... 12

2.2.7 Komplikasi ................................................................................... 18

2.2.8 Prognosis ...................................................................................... 19 

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ........................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 22

8/17/2019 Css Epistaksis

http://slidepdf.com/reader/full/css-epistaksis 4/26

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 

Latar Belakang

Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang penyebabnya bisa lokal

atau sistemik.Epistaksis merupakan kegawatdaruratan yang umum di bagian telinga

hidung dan tenggorokkan, yang diperkirakan terjadi pada 7-14% populasi umum tiap

tahun.Prevalensi sebenarnya tidak diketahui disebabkan kebanyakan kasus adalah

sembuh sendiri dan tidak dilaporkan.Epistaksis atau perdarahan hidung dijumpai pada

60% dari populasi umum, insiden terbanyak pada usia kurang dari 10 tahun dan lebih

dari 50 tahun. Laki-laki disebutkan lebih sering mengalami epistaksis dibanding

 perempuan.1,2

Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau kelainan

sistemik.Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh

darah, infeksi lokal, benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan.Kelainan

sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan

tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan kongenital. Berdasarkan sumber

 perdarahan epistaksis dibagi menjadi epistaksis anterior dan epistaksis posterior.3

Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain dan

merupakan masalah yang sangat lazim, sehingga setiap dokter harus siap menangani

kasus seperti ini. Pengobatan yang tepat adalah aplikasi tekanan pada pembuluh yang

 berdarah.Sekitar 90% kasus epistaksis anterior dapat diatasi dengan tekanan yang

kuat, kontinu pada kedua sisi hidung.3 Namun epistaksis yang berat dapat berakibat

fatal bila tidak segera ditangani, meskipun angka kejadiannya jarang.Prinsip

8/17/2019 Css Epistaksis

http://slidepdf.com/reader/full/css-epistaksis 5/26

2

 penatalaksanaan epistaksis ialah perbaiki keadaan umum, cari sumber perdarahan,

hentikan perdarahan, dan cari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya

 perdarahan.

4

 

1.2 Batasan Masalah

Penulisan refrat ini dibatasi pada definisi, epidemiologi, etiologi, klasifikasi,

 patofisiologi, diagnosis, penatalaksanaan dan komplikasi pada epistaksis.

1.3 Tujuan Masalah

Penulisan refrat ini bertujuan untuk mengetahui definisi, epidemiologi,

etiologi, klasifikasi, patofisiologi, diagnosis, penatalaksanaan dan komplikasi pada

epistaksis.

1.4 Metode Penulisan

Refrat ini ditulis berdasarkan tinjauan kepustakaan yang merujuk pada

 berbagai literatur.

8/17/2019 Css Epistaksis

http://slidepdf.com/reader/full/css-epistaksis 6/26

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hidung

2

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:

1.  Pangkal hidung (bridge)

2.  Batang hidung (dorsum nasi)

3.  Puncak hidung (tip)

4.  Ala nasi

5. 

Kolumela

6.  Lubang hidung (nares anterior)

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi

kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M.

 Nasalis pars allaris. Kerja otot-otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar dan

menyempit. Batas atas nasi eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks (akar),

antara radiks sampai apeks (puncak) disebut dorsum nasi. Lubang yang terdapat pada

 bagian inferior disebut nares, yang dibatasi oleh :

-  Superior : os frontal, os nasal, os maksila

-  Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor

dan kartilago alaris minor

Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior menjadi

fleksibel.

8/17/2019 Css Epistaksis

http://slidepdf.com/reader/full/css-epistaksis 7/26

4

Gambar 2.1. Anatomi hidung luar

-  Perdarahan hidung:

Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a. etmoid anterior dan

 posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna.Bagian

 bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a. maksilaris interna,

diantaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina bersama n.

sfenopalatina memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.

Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang a. fasialis.

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina,

a. etmoid anterior, a. labialis superior dan a. palatine mayor, yang disebut pleksus

kiesselbach (little’s area). Pleksus kiesselbach ini letaknya superfisial dan mudah

cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis, terutama pada anak.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan

dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.

oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus.Vena-vena di hidung tidak

8/17/2019 Css Epistaksis

http://slidepdf.com/reader/full/css-epistaksis 8/26

5

memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran

infeksi sampai ke intrakranial.

Gambar 2.2 Pembuluh darah hidung

Kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan yang membentang dari nares sampai

koana (apertura posterior).Kavum nasi ini berhubungan dengan sinus frontal, sinus

sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa kranial media. Batas-batas kavum nasi :

 

Posterior : berhubungan dengan nasofaring

  Atap: os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus sfenoidale

dan sebagian os vomer

  Lantai : merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horisontal,

 bentuknya konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian atap.

Bagian ini dipisahnkan dengan kavum oris oleh palatum durum.

  Medial : septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan

(dekstra dan sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi dilapisi oleh

kulit, jaringan subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian dari septum yang

8/17/2019 Css Epistaksis

http://slidepdf.com/reader/full/css-epistaksis 9/26

6

terdiri dari kartilago ini disebut sebagai septum pars membranosa = kolumna

= kolumela.

 

Lateral : dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, os

etmoid, konka nasalis inferior, palatum dan os sfenoid.

Konka nasalis superior dan media merupakan tonjolan dari tulang

etmoid.Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah.Ruangan di

atas dan belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid yang

 berhubungan dengan sinis sfenoid.Kadang-kadang konka nasalis suprema dan meatus

nasi suprema terletak di bagian ini.

-  Persarafan :

Anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari n. trigeminus yaitu n.

etmoidalis anterior.Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari ganglion

 pterigopalatinum masuk melalui foramen sfenopalatina kemudian menjadi n. palatina

mayor dan n. sfenopalatina.

-  Fisiologi hidung :

1.  Fungsi respirasi

Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares

anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah

ke arah nasofaring.Aliran udara dihidung ini berbentuk lengkungan atau

arkus. Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lender.

Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37ºC.Fungsi ini

dimungkinkan oleh banyak pembuluh darah di bawah epitel dan adanya

 permukaan konka dan septum yang luas.

8/17/2019 Css Epistaksis

http://slidepdf.com/reader/full/css-epistaksis 10/26

7

Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup akan disaring di hidung

oleh rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, palut lendir.

2. 

Fungsi penghidu

Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya

mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior, dan sepertiga

 bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi

dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.

3.  Fungsi fonetik

Hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan bernyanyi.Sumbatan

hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga

terdengar suara sengau (rinolalia).

Hidung juga membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal

(m,n,ng) dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum

molle turun untuk aliran udara.

4.  Refleks nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran

cerna, kardiovaskuler dan pernafasan.Contoh : iritasi mukosa hidung

menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu

menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

8/17/2019 Css Epistaksis

http://slidepdf.com/reader/full/css-epistaksis 11/26

8

2.2 Epistaksis2,3

2.2.1 Definisi dan Epidemiologi

Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang penyebabnya bisa lokal

atau sistemik.epistaksis seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain.

Epistaksis atau perdarahan hidung dijumpai pada 60% dari populasi umum, insiden

terbanyak pada usia kurang dari 10 tahun dan lebih dari 50 tahun. Epistaksis dapat

disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik.

2.2.2 Etiologi

a. 

Lokal

1.  Perdarahan dapat terjadi karena trauma misalnya setelah membuang ingus

terlalu keras, mengorek hidung, benturan ringan, atau trauma yang lebih hebat

seperti jatuh atau kecelakaan lalu lintas.

2.  Kelainan pembuluh darah (lokal), sering terjadi kongenital. Pembuluh darah

lebih lebar, tipis, jaringan ikat dan sel-selnya lebih sedikit.

3.  Infeksi lokal, perdarahan dapat terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal

seperti rhinitis atau sinusitis. Bisa juga pada infeksi spesifik seperti rhinitis

 jamur, tuberkulosis, lupus, sifilis atau lepra.

4.  Tumor, epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma. Tersering

adalah tumor pembuluh darah seperti angiofibroma dengan ciri perdarahan

yang hebat dan karsinoma nasofaring dengan ciri perdarahan berulang ringan

 bercampur lendir atau ingus.

5.  Kelainan kongenital, yang sering menyebabkan epistaksis adalah

telengiektasis hemoragik herediter, juga sering pada Von Willenbrand disease. 

8/17/2019 Css Epistaksis

http://slidepdf.com/reader/full/css-epistaksis 12/26

9

 b.  sistemik :

1.  Penyakit kardiovaskuler, hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang

terjadi pada arteriosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis atau diabetes

mellitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis yang terjadi pada penyakit

hepertensi seringkali hebat dna dapat berakibat fatal.

2.  Kelainan darah, penyebab epistaksis antara lain leukemia, trombositopenia,

 bermacam-macam anemia serta hemofilia.

3.  Infeksi sistemik, yang sering menyebabkan epistaksis adalah demam

 berdarah, demam tifoid, influenza dan morbili juga dapat diserta epistaksis.

4.  Perubahan udara atau tekanan atmosfir, epistaksis ringan sering terjadi bila

seseorang berada di tempat yang cucanya sangat dingin atau kering. Hal ini

 juga bisa disebabkan adanya zat-zat kimia di tempat industri yang

menyebabkan keringnya mukosa hidung.

5.  Gangguan hormonal, epistaksis dapat terjadi pada wanita hamil atau

menopause karena pengaruh perubahan hormonal.

2.2.3Sumber perdarahan

Terdapat dua sumber perdarahan pada epistaksis yaitu pada bagian anterior,

 bersumber dari pleksus kisselbach dan pada bagian posterior berasal dari arteri

etmoidalis posterior dan arteri sfenopalatina.Perdarahan pada septum anterior banyak

terjadi pada anak, perdarahan yang terjadi ringan meskipun seringkali berulang,

namun dapat berhenti sendiri.Perdarahan posterior bersifat lebih hebat dan jarang

dapat berhenti sendiri, biasa ditemukan pada pasien dengan hipertensi,

8/17/2019 Css Epistaksis

http://slidepdf.com/reader/full/css-epistaksis 13/26

10

arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena pecahnya arteri

sfenopalatina.

Gambar 2.3 Epistaksis anterior dan Epistaksis posterior

2.2.4 Diagnosis 2,4,5,6 

Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

 penunjang.

1. 

Anamnesis

Dalam anamnesis yang lengkap akan membantu dalam menentukan

sebab perdarahan, beberapa point yang perlu ditanyakan dalam anamnesis

seperti awal terjadinya perdarahan riwayat perdarahan sebelumnya, apakah

darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan atau keluar dari hidung pada

saat pasien duduk tegak, lama perdarahan dan frekuensinya, kecenderungan

 perdarahan, riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga, hipertensi, diabetes

mellitus, penyakit hati, penggunaan antikoagulan, riwayat trauma hidung yang

 belum lama, obat-obatan seperti aspirin, fenilbutazon.

8/17/2019 Css Epistaksis

http://slidepdf.com/reader/full/css-epistaksis 14/26

11

2.  Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan dilakukan secara umum terutama tanda-tanda vital yang

harus dipastikan dalam keadaan stabil.Setelah itu lakukan pemeriksaan hidung

yang dilakukan secara teliti untuk menentukan lokasi dan penyebab

 perdarahan.Pada pemeriksaan telinga dapat digunakan lampu kepala dan

spekulum hidung untuk mendapatkan visualisasi yang optimal.Jika pasien

mengalami trauma nasal, perhatikan adanya septal hematoma yang tampak

 berupa masa hitam kebiruan pada septum anterior memenuhi kavum

nasi.Terkadang dapat dilihat hamangioma mukosa atau teleangiektasis.Jika

tidak dijumpai sumber perdarahan namun ditemukan darah yang mengalir di

tenggorokan kemungkinan perdarahan berasal dari arah posterior.

3.  Pemeriksaan Penunjang

Dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik seharusnya sudah dapat

ditegakkan diagnosis epistaksis, tetapi dibutuhkan bebeapa pemeriksaan

 penunjang untuk mengetahui penyebab dari terjadinya epistaksis, yakni

 pemeriksaan darah lengkap, skrining terhadap koagulopati dengan melakukan

tes seperti PT, APTT, trombosit, waktu perdarahan, serta dapat juga dilakukan

 pemeriksaan radiologi seperti CT SCAN jika adanya kecurigaan terhadap

neoplasma.

2.2.5 Diagnosis Banding7 

Diagnosis banding dari epistaksis adalah kejadian dimana keluarnya darah dari

hidung tetapi sumber perdarahan tidak berasal dari hidung, seperti hemoptisis, varises

8/17/2019 Css Epistaksis

http://slidepdf.com/reader/full/css-epistaksis 15/26

12

esofagus yang berdarah / pecahnya varises esofagus, perdarahan basis cranii yang

darahnya mengalir melalui sinus sphenoid ataupun tuba eustachius.

2.2.6 Tatalaksana

Penatalaksanaan epistaksis memiliki tiga prinsip utama yakni menghentikan

 pendarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.Pasien yang

datang dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, sedangkan kalau sudah terlalu

lemah dibaringkan dengan diberikan bantal pada daerah punggung, kecuali bila sudah

 jatuh dalam kondisi syok.2

Penanganan pertama dalam epistaksis adalah dengan melakukan penekanan

 pada cuping hidung kearah septum selama 10-15 menit sesuai dengan metode

Trotter,bila perdarhaan berhenti maka dengan bantuan alat penghisap dapat

digunakan untuk menyingkirkan bekuan darah. Tetapi apabila perdarahan tidak

 berhenti maka dapat diberikan tampon kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin

1:10.000 dan lidokain atau pantokain 2%. Kapas ini dimasukkan ke dalam rongga

hidung untuk mneghentikan perdarahan dan mengurangi rasa sakit pada saat tindakan

selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3-5 menit. Dengancara ini dapat ditentukan

apakah sumber pendarahan terletak pada bagian anterior atau posterior.2 

Pada penanganan epistaksis, yang terutama diperhatikan adalah perkiraan jumlah

dan kecepatan perdarahan.Pemeriksaan hematokrit, hemoglobin dan tekanan darah

harus cepat dilakukan setelahnya.Pada pasien dalam keadaan syok, kondisi ini harus

segera diatasi.Jika ada kecurigaan defisiensi faktor koagulasi harus dilakukan

 pemeriksaan hitung trombosit, masa protrombin dan masa tromboplastin (APTT),

sedangkan prosedur diagnosis selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan.

8/17/2019 Css Epistaksis

http://slidepdf.com/reader/full/css-epistaksis 16/26

13

Bila terjadi kehilangan darah yang banyak dan cepat, harus difikirkan pemberian

tranfusi sel-sel darah merah disamping penggantian cairan.3 

Dalam tatalaksana epistaksis dibagi atas asal pendarahan. Pada epistaksis yang

asal pendarahan berasal dari anterior terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan,

yakni

1.  Kauterisasi 8 

Rongga hidung dilakukan anestesi lokal dengan menggunakan tampon

kapas yang telah dibasahi dengan kombinasi lidokain 4% topikal dengan

epinefrin 1:100.000 atau kombinasi lidokain 4% topikal dan penilefrin 0,5%.

Tampon dimasukkan ke dalam rongga hidung dan dibiarkan selama 5-10

menit untuk memberikan efek anestesi lokal dan vasokonstriksi. Kauterisasi

secara kimia dapat dilaukan dengan menggunakan larutan perak nitrat 20-30%

atau dengan asam triklorasetat 10%. Setelah tampon dikeluarkan, sumber

 perdarahan diolesi dengan larutan tersebut sampai timbul krusta yang bewarna

kekuningan akibat terjadinya nekrosis superfisial. Kauterisasi tidak dilakukan

 pada kedua sisi septum, karena dapat menimbulkan perforasi.Selain

menggunakan zat kimia dapat digunakan elektrokauter atau laser.

2.  Tampon anterior 2,9 

Hal ini dapat dilakukan apabila kauter tidak dapat mengontrol

epistaksis atau sumber pendarahan tidak dapat diidentifikasi. Tampon

dilakukan dengan pemasangan kassa atau kapas yang diberikan vaselin atau

salap antibiotik. Tampon dipertahankan selama 3-4 hari dan pasien diberikan

antibiotik sprektum luas

8/17/2019 Css Epistaksis

http://slidepdf.com/reader/full/css-epistaksis 17/26

14

Gambar 2.4 Tampon Anterior

Sedangkan pada epistaksis posterior dapat dilakukan beberapa jenis tinakan

dalam menghentikan darah, yakni

1.  Tampon posterior ( Tampon bellocq ) 3 

Prosedur ini menggunakan tampon yang diikat dengan tiga pita

(band ). Masukkan kateter karet kecil melalui hidung kedalam faring,

kemudian ujungnya dipegang dengan cunam dan dikeluarkan dari mulut agar

dapat diikat pada kedua ujung pita yang telah disediakan. Kateter ditarik

kembali melalui rongga hidung sehingga tampon tertarik ke dalam koana

melalui nasofaring. Bantuan jari untuk memasukkan tampon kedalam

nasofaring akan mempermudah tindakan ini.

Apabila masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka

dapat pula dimasukkan tampon anterior ke dalam kavum nasi.Kedua pita yang

keluar dari nares anterior kemudian diikat pada sebuah gulungan kain kasa

didepan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak

 bergerak.Pita yang terdapat di rongga mulut dilekatkan pada pipi pasien.

Gunanya untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2 –  3 hari.

8/17/2019 Css Epistaksis

http://slidepdf.com/reader/full/css-epistaksis 18/26

15

Gambar 2.5 Tampon Posterior

2.  Tampon Balon 10 

Pemakaian tampon balon lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan

 pemasangan tampon posterior konvensional tetapi kurang berhasil dalam

mengontrol epistaksis posterior. Ada dua jenis tampon balon, yaitu: kateter

Foley dan tampon balon yang dirancang khusus. Setelah bekuan darah dari

hidung dibersihkan, tentukan asal perdarahan.Kemudian lakukan anestesi

topikal yang ditambahkan vasokonstriktor.Kateter Foley no. 12 - 16 F

diletakkan disepanjang dasar hidung sampai balon terlihat di

nasofaring.Kemuaidan balon diisi dengan 10-20 cc larutan salin dan kateter

folley ditarik kearah anterior sehingga balon menutup rongga posterior.

3.  Ligasi Arteri 2,3,11 

Tindakan ini efektif dalam menghentikan perdarahan, tetapi kesulitan

8/17/2019 Css Epistaksis

http://slidepdf.com/reader/full/css-epistaksis 19/26

16

tindakan ini adalah menmukan sumber pendarahan dan pembuluh darah yang

akan diligasi. Tetapi ada beberapa pendekatan ligasi arteri yang mensuplai

darah ke mukosa hidung, yakni

a.  Ligasi Arteri Karotis Eksterna

Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal a. tiroid superior

untuk melindungi suplai darah ke tiroid dan memastikan ligasi arteri karotis

eksterna.Tindakan ini dapat dilakukan dibawah anestesi lokal.Dibuat insisi

horizontal sekitar dua jari dibawah batas mandibula yang menyilang pinggir

anterior m. Sternokleidomastoideus. Setelah flap subplatisma dielevasi, m.

Sternokleidomastoideus diretraksi ke posterior dan diseksi diteruskan ke arah

 bawah menuju selubung karotis. Lakukan identifikasi bifurkasio karotis

kemudian a. karotis eksterna dipisahkan.Dianjurkan untuk melakukan ligasi

dibawah a. faringeal asendens, terutama apabila epistaksis berasal dari bagian

 posterior hidung atau nasofaring.Arteri karotis eksterna diligasi dengan

 benang 3/0 silk  atau linen. 

 b.  Ligasi Arteri Maksilaris Interna

Ligasi arteri maksilaris interna dapat dilakukan dengan pendekatan

transantral. Pendekatan ini dilakukan dengan anestesi lokal atau umum lalu

dilakukan insisi Caldwell  –   Luc  dan buat lubang pada fosa kanina.Setelah

dijumpai antrum maksila, secara hati-hati buang dinding sinus posterior

dengan menggunakan pahat kecil, kuret atau bor, dimulai dari bagian inferior

dan medial untuk menghindari trauma orbita.Setelah terbentuk jendela

(window) pada tulang, lakukan insisi pada periostium posterior.Dengan

8/17/2019 Css Epistaksis

http://slidepdf.com/reader/full/css-epistaksis 20/26

17

operasi dengan mikroskoplakukan observasi yang menandakan daerah

denyutan yang berarti arteri. Jaringan lemak dan jaringan ikat didiseksi

dengan menggunakan hemostat,alligator clips, electrocauter dan nerve hook .

Setelah A. maksila interna diidentifikasi, arteri ini diretraksi dengan

menggunakan nervehook   dan identifikasi cabang-cabangnya. Dibuat

nasoantral window  dan masukkan tampon yang telah diberi salap antibiotik

selama 24 jam.

c.  Ligasi Arteri Etmoidalis

Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling

 baik diterapi dengan ligasi a. etmoidalis anterior atau posterior, atau

keduanya. Ligasi dilakukan pada tempat arteri keluar melalui foramen

etmoidalis anterior dan posterior yang berada pada sutura frontoetmoid.

Foramen etmoidalis anterior berada kira-kira 1,5 cm posterior dari krista

lakrimalis posterior. Foramen etmoidalis posterior berada hanya 4 - 7 mm.

sebelah anterior n. optikus.

Insisi etmoid eksterna dilakukan untuk mencapai daerah ini.Retraktor

orbita digunakan untuk meretraksi periostium orbita dan sakus

lakrimalis.Diseksi dilakukan disebelah posterior disepanjang garis sutura pada

lamina subperiosteal.Dua klem arteri diletakkan pada a. etmoidalis anterior,

dan rongga hidung dievaluasi kembali.Jika perdarahan berhenti, a. etmoidalis

 posterior tidak diganggu untuk menghindari trauma n. optikus.Tetapi bila

 perdarahan persisten, a. etmoidalis posterior diidentifikasi dan

diklem.Hindarkan pamakaian kauter untuk menghindari trauma.

8/17/2019 Css Epistaksis

http://slidepdf.com/reader/full/css-epistaksis 21/26

18

d.  Angiografi dan Embolisasi5 

Sokoloff (1974) pertama kali memperkenalkan teknik embolisasi

 perkutan pada a.maksilaris interna dengan menggunakan absorbable gelatin

sponge untuk epistaksis yang persisten.Beberapa laporan terakhir

mendiskusikan kegunaan angiografi dalam menentukan sumber

 perdarahan.Penggunaan embolisasi untuk pnegobtan telengangiektasis

hemoragik herediter, epistaksis, angiofibroma nasofaring, tumor ganas dan

 penyakit perdarhan.Kesulitan dalam melakukan tindakan embolisasi menjadi

kekurangan tindakan ini, tetapi hal yang menguntungkan adalah terjadinya

obliterasi dibagian distal arteri, sedangkan komplikasi yang dapat timbul

adalah paralisis fasial dan hemiplegi.Rasa nyeri pada wajah dan

trismus.Walau dalam kontrofersi tetapi tindakan ini dapat dilakukan bila

terapi lainnya gagal dan ada kontraindikasi untuk operasi.

2.2.7 Komplikasi 2,7 

Beberapa komplikasi yang dapat timbul adalah :

1.  Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis, hal ini dapat

terjadi karena ostium sinus tersumbat

2.  Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media,

haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan sudut bibir bila benang

yag dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang ditarik

3.  Akibat perdarhan hebat dapat terjadi syok dan anemia

4.  Infeksi pada pembuluh darah yang terbuka

5.  Aspirasi akibat darah masuk ke dalam paru-paru

8/17/2019 Css Epistaksis

http://slidepdf.com/reader/full/css-epistaksis 22/26

19

6.  Hemotimpanum, hal ini terjadi adanya aliran retrograde melalui tuba

eustachius

7. 

Air mata yang berdarah sengai akibat mengalirnya darah secara retrograde

melalui duktus nasolakrimalis

2.2.8 Prognosis12

Pada kasus umumnya dengan penanganan yang baik, epistaksis berprognosis

 baik dan dapat sembuh tanpa adanya efek jangka panjang.Tetapi, epistaksis kadang

dapat mengancam nyawa terutama pada pasien yang sudah tua dan mengalami

masalah kesehatan lainnya.Secara umum kasus ini berprognosis baik, dengan tingkat

mortalitas yang rendah atau sangat jarang.

8/17/2019 Css Epistaksis

http://slidepdf.com/reader/full/css-epistaksis 23/26

20

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1.  Hidung di bentuk dari kerangka tulang tengkorak, tulang rawan, beberapa otot

dan kulit. Pada bagian atas diperdarahi oleh arteri etmoid anterior (pleksus

kisselbach) cabang dari arteri oftalmika, sedangkan pada bagian bawah

diperdarahi oleh arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina cabang dari

arteri maksilaris interna.

2. 

Epistaksis adalah kejadian keluarnya darah dari hidung yang berasal dari

 pembuluh darah yang mendarahi hidung yang penyebabnya bisa bersifat lokal

atau sistemik.

3.  Epistaksis dijumpai pada 60% populasi dengan kejadian terbanyak pada usia

dibawah 10 tahun atau lebih dari 50 tahun.

4.  Diagnosis dari epistaksis dapat dilakukan secara anamnesis, pemeriksaan fisik

yang cermat serta dapat dilakukan pemeriksaan penunjang. Dalam anamnesis

dapat diketahui sebab-sebab perdarhan dan kemungkinan sumber perdarhan.

Pemeriksaan fisik membantu dalam menemukan sumber perdarahan.

Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk menunjang dalam mengetahui

 penyebab terjadinya epistaksis.

5. 

Diagnosis banding dari epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang

sumber perdarhan tidak berasal dari hidung seperti hemoptisis, varises

esofagus dan perdarahan basis cranii.

8/17/2019 Css Epistaksis

http://slidepdf.com/reader/full/css-epistaksis 24/26

21

6.  Tatalaksana dilaukan dengan tiga prinsip utama yakni menghentikan

 pendarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.

Penatalaksaan awal dapat dilakukan dengan cara menekan cuping hidung

kearah septum dengan posisi kepada condong kedepan. Apabila tidak berhenti

dengan cara tersebut maka dilakukan penatalaksanaan lanjutan.

7.  Penatalaksanaan lanjutan dari epistaksis dapat secara bedah dan non bedah.

Tindakan non bedah seperti pemasangan tampon secara anteior atau posterior,

kauterisasi hingga tindakan bedah seperti ligasi arteri hingga angiografi dan

embolisasi.

8.  Terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi seperti sinusitis, otitis media,

haemotympanum, masuknya darah dalam paru-paru hingga dapat terjadinya

syok apabila terjadi perdarhan hebat.

9.  Prognosis epistaksi baik apabila ditangani dengan baik dan benar. Jarang

terjadi kasus yang mengancam nyawa pada pasien yang mengalami epistaksis.

8/17/2019 Css Epistaksis

http://slidepdf.com/reader/full/css-epistaksis 25/26

22

DAFTAR PUSTAKA

1.  Budiman Bestari J, Yolazenia. 2012. Epistaksis Berulang dengan

Rinosinusitis Kronik, Spina pada Septum dan Teleangiektasis. Padang :

Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran

Universitas Andalas.

2.  Soepardi E A, dkk. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta : Badan Penerbit FK UI 2012. Ed.7

3.  Abelson GL. 1993. Boies buku ajar penyakit THT. Alih bahasa: Caroline W.

edisi VI. Jakarta: EGC penerbit buku kedokteran.

4.  Lubis Bidasari. 2007. Tatalaksana Epistaksis Berulang pada Anak. Dalam sari

 pediatri, Vol.9.

5.  Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Panduan Praktis Klinis Bagi

Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta: Kemeskes.

6. 

 Nguyen A. 2015. Epistaxis-overview. Diakses dari

www.emedicine.medscape.com/article.

7.  Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Pelayanan Kesehatan pada

Jamiinan Kesehatan Nasional. Jakarta: Kemenkes.

8.  Becker W. 1994. Ear, Nose, and Throat dissease, a pocker reference, 2nd 

edition.New York: Thieme Medical Publisher,Inc.

9.  Vaghela. 2005. Using a swimmer`s nose clip in the treatment of epistaxis in

the A&E department. Accing Emerg Nurs.

10. Vaghela. 2005. Foley catheter posterior nasal packing. Clin otolaryngeal.

8/17/2019 Css Epistaksis

http://slidepdf.com/reader/full/css-epistaksis 26/26

11. Adam GL.Boies buku ajar penyakit THT. Alih bahasa: Caroline. Ed VI,

Jakarta: ECG penebit buku kedokteran.

12. 

Medscape. 2016. Epistaxis. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/

article/863220-overview#a7