ii. tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · molekul koagregasi yang mencegah pelekatan dan...
TRANSCRIPT
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Bakteri Asam Laktat Probiotik
Bakteri asam laktat (BAL) pertama kali ditemukan oleh Louis Pasteur seorang profesor
kimia di University of Lille, di tahun 1878. Pada tahun 1889, Tissier, peneliti Perancis pada
Laboratorium Louis Pasteur, menemukan bakteri yang mendominasi saluran usus bayi yang
mengonsumsi ASI, yaitu Bifidobacterium. BAL dan Bifidobacteria termasuk ke dalam kelompok
bakteri baik bagi manusia, dan umumnya memenuhi status GRAS (Generally Recognized as
Safe), yaitu aman bagi manusia (Surono, 2004).
BAL merupakan bakteri gram positif, katalase negatif, tidak membentuk spora, tidak
mempunyai sitokrom, aerotoleran, anaerobik hingga mikroaerofilik, membutuhkan nutrisi yang
kompleks seperti asam-asam amino, vitamin B kompleks (B1, B6, B12, dan biotin), purin, dan
pirimidin. Secara umum, niasin dan asam pantotenat bersifat esensial bagi pertumbuhan BAL.
BAL memerlukan nutrisi yang sangat kompleks, oleh karena itu, umumnya memerlukan habitat
yang kaya akan nutrisi, seperti susu, daging, minuman, dan sayuran. Namun, beberapa BAL juga
terdapat pada mulut, saluran usus, dan vagina mamalia. Variasi karakteristik BAL normal terjadi,
namun yang mutlak adalah sifatnya sebagai bakteri gram positif (Surono, 2004).
Beberapa peneliti menganggap Bifidobacterium termasuk ke dalam kelompok BAL,
meskipun secara philogenetik berbeda. Beberapa kesamaan di antara keduanya adalah produksi
asam laktat, ekologi tempat hidup dan fungsinya, serta pemanfaatannya sebagai kultur fermentasi
susu. Seiring dengan kemajuan biologi molekuler, pada tahun 1980 genus BAL berkembang
menjadi 15 genus, namun hanya lima genus yang berperan dalam proses fermentasi susu, yaitu
Lactobacillus sp., Lactococcus sp., Leuconostoc sp., Pediococcus sp., dan Streptococcus sp.
Di alam, BAL dapat ditemukan dalam dua sistem ekologi, yaitu saluran pencernaan
manusia/hewan mamalia dan produk makanan nabati maupun hewani, baik berupa kontaminasi
alami maupun ditambahkan untuk tujuan fermentasi.
Beberapa jenis BAL yang menghuni saluran pencernaan, atau disebut enteric lactic acid
bacteria, di antaranya adalah Bifidobacterium bifidum, B. longum, B. infatis (pada bayi), B.
adolescentris yang menempati usus besar manusia, Lactobacillus acidophilus, L. gasseri, L.
crispatus, L. johnsonii, L. salivarius, L. ruminis, L. vitulinus, L. reuteri, dan L. fermentum yang
hidup dalam usus halus (Surono, 2004).
Menurut Fuller (1989), probiotik merupakan mikroorganisme hidup yang dapat
dimanfaatkan untuk keseimbangan populasi mikroba dalam usus. Efek kesehatan yang
menguntungkan dari probiotik antara lain adalah: (1) memperbaiki keluhan malabsorbsi laktosa
atau lactose intolerance, (2) meningkatkan ketahanan alami terhadap infeksi di usus dan bahaya
kanker, (3) meningkatkan sistem kekebalan (Kim, 1990).
Klein et. al. (1998) melaporkan bahwa taksonomi dan fisiologi spesies Lactobacillus
probiotik termasuk ke dalam kelompok Lactobacillus acidophilus, L. casei, dan L. reuteri/L.
fermentum. Menurut Surono (2004), strain probiotik, yang di dalamnya termasuk BAL,
membantu sistem imun dengan: (1) modulasi sistem imun, meningkatkan produksi antibodi dan
mengaktifkan makrofag, limfosit dan sel-sel imun lainnya, (2) meningkatkan produksi musin
dalam usus sehingga meningkatkan respon imun alami, (3) menghambat patogen dalam saluran
air seni dan usus melalui persaingan dalam mendapatkan nutrisi dan membentuk biosurfaktan dan
4
molekul koagregasi yang mencegah pelekatan dan penyebaran patogen pada sel epithelial, (4)
menghasilkan senyawa antibakteri, seperti bakteriosin, (5) menurunkan pH dengan dihasilkannya
asam laktat yang menghambat pertumbuhan bakteri patogen, dan (6) menekan aktivitas enzim
penghasil amin yang toksik dan karsinogenik dari bakteri usus lainnya.
Kriteria yang harus diperhatikan untuk menentukan strain mikroba probiotik yaitu: (1)mampu memfermentasikan susu dalam waktu yang relatif cepat, (2) mampu menggandakan diri,(3) tahan terhadap suasana asam sehingga mampu hidup dan bertahan dalam saluran pencernaan,(4) menghasilkan produk akhir yang dapat diterima konsumen, dan (5) mempunyai stabilitas yangtinggi selama proses fermentasi, penyimpanan, dan distribusi (Hoier, 1992).
B. Bakteri Escherichia coli (E. coli) Penyebab Diare
Diare atau mencret didefinisikan sebagai buang air besar dengan kondisi feses yang tidak
berbentuk atau cair dengan frekuensi lebih dari 3 kali selama 24 jam. Penyebab diare terbesar
adalah infeksi dan intoksikasi (poisoning). Bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya diare
antara lain Escherichia coli, Salmonella thypii, Salmonella parathypii, Vibrio cholera, dan
Shigella sp.
Bakteri Escherichia coli yang ditemukan oleh Theodor Escherich (tahun 1885) merupakan
bakteri yang berasal dari kotoran hewan atau manusia, baik sakit maupun sehat. Oleh karena itu,
dikenal juga dengan istilah koli tinja. Secara garis besar, klasifikasi bakteri E .coli berasal dari
Filum Proteobacteria, Kelas Gamma Proteobacteria, Ordo Enterobacteriales, Familia
Enterobacteriaceae, Genus Escherichia, Spesies Escherichia coli. Secara morfologi E. coli
merupakan bakteri berbentuk batang pendek, gemuk, berukuran 2.4 µ x 0.4 sampai 0.7 µ, Gram-
negatif, tidak bersimpai, bergerak aktif dan tidak berspora (Hakli, 2009). Menurut Nataro dan
Kaper (1998) tipe patogenesis dari strain E. coli dapat dibedakan menjadi Enteropathogenic E.
coli (EPEC), Enterotoxigenic E. coli (ETEC), Enteroinvasive E. coli, (EIEC),
Enterohaemorrhagic E. coli (EHEC), Enteroagregative E. coli (EAEC), dan Diffusely Adherent
Escherichia coli (DAEC). Interaksi beberapa E. coli patogenik dengan sel epithelial usus
ditunjukkan pada Gambar 1.
EPEC melekat pada permukaan mukosa usus dan menyebabkan terjadinya perubahan
struktur sel. Pelekatan EPEC pada permukaan mukosa ditunjukkan pada Gambar 2. EPEC
kemudian melakukan invasi menembus sel mukosa. Pada dosis 105-1010, sel EPEC dapat
menyebabkan diare (Sussman, 1997). EPEC melekat pada sel mukosa yang kecil. Infeksi EPEC
yang melibatkan gen EPEC adherence factor (EAF), menyebabkan perubahan konsentrasi
kalsium intraseluler dan arsitektur sitoskeleton di bawah membran mikrovilus. Seperti ETEC,
EPEC juga menyebabkan diare tetapi dengan mekanisme molekuler kolonisasi yang berbeda.
EPEC memiliki sedikit fimbria, tidak menghasilkan sitotoksin, tetapi EPEC menggunakan
adhesion yang dikenal sebagai intimin untuk mengikat sel usus (inang). Sel EPEC juga bersifat
invasif (jika memasuki sel inang) dan menyebabkan radang (Collier, 1998). Mekanisme induksi
EPEC ditunjukkan pada Gambar 3.
5
Gambar 1. Interaksi Beberapa E. coli Patogenik dengan Sel Epithelial Usus
(Sumber: http://www.nature.com)
Gambar 2. EPEC Melekat pada Sel HEp-2 di Permukaan Mukosa Usus
(Sumber: http://medschool.umaryland.edu/images)
Waktu yang diperlukan untuk menyebabkan penyakit adalah 17-72 jam dan rata-rata 36
jam. Adapun lamanya penyakit bervariasi dari 6 jam sampai 3 hari, dengan rata-rata 24 jam.
Namun pada bayi, kejadian diare berat dapat berlangsung hingga 14 hari. Umumnya gejala yang
timbul selama berlangsungnya penyakit adalah demam, muntah, dan nyeri pada perut. Sementara
kejadian watery diarrhea (mencret) biasanya diiringi dengan gejala mual, muntah, kram perut,
sakit kepala, demam, dan kedinginan (Bell dan Kyriakides, 2002).
6
Gambar 3. Mekanisme Induksi EPEC pada Mukosa Usus
(Sumber: http://www.cdc.gov/ncidod/eid/vol5no2/goosneyG/images.htm)
C. Organ Hati
Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh, terletak di sebelah kanan atas cavum
abdomen, di bawah diafragma. Dalam hati terdapat vesica fellea sebagai tempat penyimpanan
empedu. Hati terdiri atas empat lobus yang masing-masing akan terbagi lagi menjadi lobulus
dengan bentuk segi lima sampai segi tujuh dengan diameter 1-2 mm. Bagian tengah dari tiap
lobulus dibentuk oleh vena centralis dan dari vena ini akan tersusun sel hati yang berbentuk
heksagonal secara jari-jari. Di antara susunan sel terdapat celah yang tak teratur, disebut dengan
sinusoid dan di dalamnya terdapat sel Kuffer dan darah (Gajahnata, 1989).
Menurut Gajahnata (1989) sel Kuffer merupakan sel fagosit penting untuk menghancurkan
sel darah merah yang telah tua dan kuman penyakit yang masuk. Darah yang mengalir di hati, dua
pertiganya merupakan darah balik, dan sepertiga lainnya darah nadi. Darah yang berasal dari
daerah portal, yakni bagian lambung, usus, limfa, pankreas, omentum, dan mesentrum melewati
hati tanpa pengaruh tekanan besar. Bagian kiri hati memperoleh darah portal dari kolon dan limfa,
sedangkan kanan hati memperoleh darah dari usus halus (Sari, 2008).
Organ hati berperan dalam: (1) pembentukan glikogen dari glukosa, (2) pembentukan
empedu, (3) pembentukan asam amino dan protein, fosfolipid, dan asam, (4) pemecahan kembali
glikogen, (5) interkonversi dari karbohidrat, lemak , dan protein, (6) penyimpanan vitamin A, D,
dan B12, (7) tempat penghancurkan sel darah merah tua, dan (8) detoksifikasi (Gajahnata, 1989).
Menurun Frankel (1985), fungsi hati yang utama adalah membersihkan darah sebelum zat-zat
toksik mencapai organ-organ tubuh yang peka, misanya otak. Fungsi ini disebut dengan
detoksifikasi. Sebagian zat-zat toksik yang masuk ke dalam hati diubah menjadi tidak toksik,
terutama zat-zat dengan molekul besar yang difagositasi oleh sel Kupffer.
7
D. Organ Ginjal
Seperti halnya hati, ginjal juga merupakan organ yang sering dijadikan sasaran utama zat
toksik (Lu, 1995). Menurut Frankel (1985), ginjal merupakan organ yang paling penting untuk
menjamin komposisi yang tepat dari darah dan cairan ekstraseluler, dan tugas utamanya adalah
mengekskresikan bahan-bahan yang tidak lagi dibutuhkan oleh tubuh ke dalam urin. Urin
merupakan jalur utama ekskresi sebagian besar toksikan. Oleh karena itu, ginjal memiliki volume
aliran darah yang tinggi, mengkonsentrasikan toksikan pada filtrat, membawa toksikan melalui
sel tubulus, dan mengaktifkan toksikan tertentu.
Struktur yang menonjol pada ginjal adalah nefron, kira-kira berjumlah 1.3 x 108. Tiap
nefron terdiri atas glomerulus dan serangkaian tubulus. Untuk itu, senyawa-senyawa yang
menyebabkan kerusakan pad glomerulus dan tubulus sering disebut sebagai nefrotoksikan.
Kelompok utama nefrotoksikan adalah logam berat, antibiotik, analgesik, dan hidrokarbon
berhalogen tertentu. Semua bagian nefron secara potensial dapat dirusak oleh efek toksikan.
Pada glomerulus, antibiotika puromisin dapat meningkatkan permeabilitas glomerulus
terhadap protein seperti albumin. Hal ini disebabkan oleh perubahan dalam muatan listrik
membrane dasar glomerulus. Sebaliknya, antibiotika aminoglikosid, seperti gentamisin dan
kanamisin, mengurangi filtrasi glomerulus, selain mempengaruhi tubulus ginjal (Lu, 1995).
Pada tubulus proksimal, kadar toksikan sering lebih tinggi karena terjadi absorpsi dan
sekresi aktif tubulus. Dengan demikian, tempat ini sering menjadi sasaran efek toksin. Logam
berat seperti merkuri, kromium, cadmium, dan timbal dapat mengubah fungsi tubulus yang
ditandai dengan glikosuria, aminoasiduria, dan poliuria. Pada dosis yang lebih tinggi, logam berat
menyebabkan kematian sel (Lu, 1995).
E. Malonaldehida
Menurut Koltas et al. (2006) malonaldehida yang merupakan hasil peroksidasi lipid
merupakan indikator terjadinya stres oksidatif pada jaringan dan sel. Stres oksidatif
menggambarkan kondisi kerusakan oksidatif yang terjadi ketika keseimbangan antara radikal
bebas dan antioksidan tidak bertahan dengan baik (Lampe dan Cheryl, 2008). Biomarker stres
oksidatif merupakan produk akhir reaksi antara radikal bebas dan komponen lipid, protein,
karbohidrat, DNA, dan molekul lainya yang potensial (Mayne, 2003).
Menurut Bird dan Draper (1984), malonaldehida (MDA) merupakan produk hasil
peroksidasi lipid dalam tubuh. MDA terutama dihasilkan pada reaksi penguraian sel. Secara
biologis MDA dihasilkan dari berbagai macam reaksi. Reaksi tersebut misalnya adalah kebocoran
sistem mitokondria, oksidasi lipida, dekomposisi asam amino, dan komponen karbohidrat, serta
reaksi yang melibatkan radikal bebas. MDA juga merupakan produk yang dihasilkan oleh radikal
bebas melalui radiasi ionisasi di dalam tubuh dan produk sampingan dari biosintesis
prostaglandin yang memiliki tiga atom karbon yang sangat reaktif. MDA di dalam material
biologis terdapat dalam bentuk bebas dan sebagai kompleks dengan unsur pokok berbagai
jaringan.
Sumber utama dari MDA adalah peroksida asam lemak dengan tiga atau banyak ikatan
ganda, khususnya asam arakhidonat. Mekanisme reaksi ini diawali dengan penyerangan membran
fosfolipid pada rantai asam lemak tidak jenuh jamak oleh suatu radikal hidroksil, dilanjutkan
dengan terbentuknya carbon centered radical (-C-) di membran fosfolipid. Carbon centered
radical akan bereaksi dengan oksigen membentuk radikal bebas baru yang disebut radikal bebas
peroksil. Radikal peroksil ini cukup reaktif untuk menyerang asam lemak di sekitarnya dan
8
membentuk lipid hidroperoksida dan carbon centered radical baru. Pembentukan carbon
centered radical baru tersebut menyebabkan reaksi terus berlanjut. Satu radikal hidroksil dapat
merusak ratusan rantai asam lemak tidak jenuh jamak, misalnya arakhidonat yang dapat
menghasilkan reaksi peroksida lipid. Penimbunan hidroperoksida lipid pada membran akan
menyebabkan gangguan pada fungsi sel sehingga sel menjadi runtuh. Hingga pada akhirnya,
hidroperoksida lipid yang merupakan produk antara, berubah menjadi sejumlah produk toksik
lainnya seperti aldehid, malonaldehid, dan hidroksi nonenal (Bird dan Draper 1984).
Kadar MDA organ tikus percobaan diukur secara kuantitatif dengan metode Thiobarbituric
Acid Reactivity Test. Metode ini didasarkan pada reaksi antara MDA dan TBA (Thiobarbituric
acid) dalam suasana asam. Kompleks MDA-TBA yang terbentuk (Gambar 4) memiliki warna
merah jambu dan absorbansinya dapat diukur pada panjang gelombang 532 nm (Conti et al.,
1991).
Gambar 4. Kompleks MDA-TBA
Prinsip pengukuran MDA adalah semakin pekat warna merah jambu, semakin tinggi nilai
absorbansi, dan semakin tinggi pula kadar MDA yang terdapat dalam sampel. Dalam penentuan
kadar MDA, digunakan 1,1,3,3-tetraetoksipropana (TEP) sebagai standar. Senyawa ini
menghasilkan malondialdehida melalui hidrolisis asam. Pada suasana asam, TEP terhidrolisis dan
menghasilkan hemiasetal dan etanol. Hemiasetal yang terbentuk kemudian terdekomposisi
menjadi etanol dan malonaldehida. Perlakuan pemanasan bertujuan untuk menghidrolisis
peroksida lipid sehingga semua MDA yang terikat dapat dibebaskan dan bereaksi dengan TBA.
F. Sistem Imun dan Imunomodulator
Menurut Flachsmann (2001), sistem imun terdiri atas dua jenis, yaitu sistem imun
kongenital atau non-spesifik dan sistem imun adaptif atau spesifik. Mekanisme pertahanan tubuh
oleh sistem imun non-spesifik bersifat spontan, tidak spesifik, dan tidak berubah, baik secara
kualitas maupun kuantitas, bahkan setelah paparan berulang dengan patogen yang sama.
Sedangkan sistem imun spesifik muncul setelah proses pengenalan patogen oleh limfosit (clonal
selection), yang tergantung pada paparan terhadap patogen sebelumnya.
Adanya sistem imun nonspesifik memungkinkan respon imun ini untuk melindungi tubuh
selama 4-5 hari, yang merupakan waktu yang diperlukan untuk mengaktivasai limfosit (imunitas
spesifik). Menurut Flachsmann (2001), mekanisme pertahanan tubuh dibagi atas 3 fase:
1. Immediate phase, ditandai oleh terdapatnya komponen sistem imun nonspesifik (makrofag
dan neutrofil), yang beraksi langsung terhadap patogen tanpa diinduksi. Jika mikroorganisme
memiliki molekul permukaan yang dikenali oleh fagosit (makrofag dan neutrofil) sebagai
benda asing, akan diserang atau dihancurkan secara langsung. Bila mikroorganisme dikenali
sebagai antibodi, maka protein komplemen yang sesuai yang berada di plasma akan berikatan
9
dengan mikroorganisme tersebut, kompleks ini kemudian dikenal sebagai benda asing oleh
fagosit dan kemudian diserang atau dihancurkan.
2. Acute-phase proteins atau early phase, muncul beberapa jam kemudian, diinduksi, tetapi
masih bersifat nonspesifik, timbul bila fagosit gagal mengenal mikroorganisme melalui jalur
di atas. Mikroorganisme akan terpapar terhadap acute-phase proteins (APPs) yang
diproduksi oleh hepatosit dan kemudian dikenali oleh protein komplemen. Kompleks
mikroorganisme, APPs, dan protein komplemen kemudian dikenali oleh fagosit dan diserang
serta dihancurkan.
3. Late phase, merupakan respon imun spesifik timbul 4 hari setelah infeksi pertama, ditandai
oleh clonal selection limfosit spesifik. Pada fase ini dibentuk molekul dan sel efektor
pertama.
Imunomodulator adalah zat yang dapat memodulasi (mengubah atau memengaruhi) sistem
imun tubuh menjadi ke arah normal. Produk imunomodulator berperan menguatkan sistem imun
tubuh (imuno stimulator) atau menekan reaksi sistem imun yang berlebihan (imuno suppressan)
(Anonim, 2007). Baratawidjaja (2002) menyebutkan bahwa imunomodulator adalah obat yang
dapat mengembalikan dan memperbaiki sistem imun yang fungsinya terganggu atau untuk
menekan yang fungsinya berlebihan. Imunomodulator bekerja menurut 3 cara, yaitu melalui
imunorestorasi, imunostimulasi, dan imunosupresi. Imunorestorasi dan imunostimulasi disebut
imunopotensiasi atau up regulation, sedangkan imunosupresi disebut down regulation.
1. Imunorestorasi adalah suatu cara untuk mengembalikan fungsi sistem imun yang terganggu
dengan memberikan berbagai komponen sistem imun, seperti: immunoglobulin dalam bentuk
Immune Serum Globulin (ISG), Hyperimmune Serum Globulin (HSG), plasma,
plasmapheresis, leukopheresis, transplantasi sumsum tulang, hati, dan timus.
2. Imunostimulasi yang disebut juga imunopotensiasi adalah cara memperbaiki fungsi sistem
imun dengan menggunakan bahan yang merangsang sistem tersebut. Biological Response
Modifier (BRM) adalah bahan-bahan yang dapat mengubah respons imun, biasanya
meningkatkan. Bahan yang disebut imunostimulator itu dapat terdiri atas: biologik dan
hormon timus.
3. Imunosupresi merupakan suatu tindakan untuk menekan respons imun. Kegunaannya di
klinik terutama pada transplantasi untuk mencegah reaksi penolakan dan pada berbagai
penyakit inflamasi yang menimbulkan kerusakan atau gejala sistemik, seperti autoimun atau
auto-inflamasi (Baratawidjaja, 2002).
G. Sel Limfosit
Berbagai sistem telah dikembangkan di dalam tubuh untuk menjerat dan kemudian
menyingkirkan setiap bahan yang berhasil menghindari pertahanan luar. Sistem penjeratan ini
dilakukan oleh sel yang mampu mengikat, menelan, dan menghancurkan bahan asing melalui
suatu proses yang disebut fagositosis. Sel fagositik pada mamalia termasuk dalam dua sistem
yang komplementer. Salah satu sistemnya yaitu sistem meloid, terdiri dari sel yang bekerja cepat
tetapi tidak mampu bertahan lama. Sistem kedua, sistem fagositik mononuklir, terdiri dari sel
yang bekerja lebih lambat tetapi mampu melakukan fagositosis berulang-ulang. Sel fagositik
mononuklir ini dapat mengolah antigen untuk tanggap kebal (Tizard, 1988).
Tubuh manusia memiliki suatu sistem yang berfungsi melindungi tubuh dari unsur-unsur
patogen yaitu sistem imun. Sistem imun terdiri dari komponen genetik, monokuler, dan seluler
yang berinteraksi secara luas dalam merespon terhadap antigen endogenus dan eksogenus. Salah
10
satu jenis sel yang berfungsi dalam merespon antigen adalah sel darah putih (Baratawidjaja,
2002).
Leukosit atau sel darah putih merupakan salah satu sel dalam sistem pertahanan tubuh.
Leukosit memiliki ukuran molekul yang lebih besar dan bebas bergerak (Roitt, 1991). Leukosit
terdiri dari 75% sel granulosit dan 25% sel agranulosit yang terbentuk dari dalam sumsum tulang
(Baratawidjaja, 2002). Agranulosit sel adalah sel limfosit dan manosit, sedangkan basofil,
neutrofil, dan eusinofil termasuk kelompok granulosit (Roitt, 1991). Menurut Gayton (1987)
limfosit manusia berjumlah sekitar 30% dari persentase normal sel darah putih.
Limfosit adalah sel darah putih (leukosit) yang berukuran kecil, berbentuk bulat dengan
diameter 7-15 µm dan terdapat juga pada organ limfoid, seperti limpa, kelenjar limfe, dan timus.
Limfosit merupakan sel kunci dalam proses respon imun spesifik, untuk mengenali antigen yang
beragam, namun setiap limfosit hanya dapat mengenal satu antigen sehingga dalam proses respon
imun, limfosit saling bekerja sama untuk mengeliminasi beragam antigen yang masuk ke dalam
tubuh (Roitt, 1991). Limfosit merupakan sel imunokompeten nonfagositik yang berfungsi dalam
respon imun spesifik, selular, dan humoral. Pada manusia normal, limfosit B (sel B) berjumlah 5-
15% dan limfosit T (sel T) 65-80% dari total limfosit (Kresno, 1996). Sel B berperan dalam
respon imun humoral sedangkan sel T berfungsi dalam sistem imun seluler (Roitt, 1991). Sel
limfosit B dan T bertanggung jawab dalam respon imun spesifik untuk mengenali antigen melalui
reseptor antigen. Sel juga mampu membedakan antigen dengan komponen tubuh sendiri atau
berfungsi sebagai pengontrol sistem imun (Bellanti, 1993).
Pada penelitian ini, dilakukan isolasi sel limfosit selama pemeliharaan tikus percobaan,
kemudian dihitung jumlahnya. Sel limfosit diisolasi dari organ limfa tikus percobaan.
H. Proliferasi Limfosit
Proliferasi merupakan fungsi biologis mendasar limfosit, yaitu proses deferensiasi dan
pembelahan (mitosis) sel. Limfosit adalah sel tunggal yang bertahan baik pada saat dikultur
dalam media sederhana. Sel limfosit konsisten tetap dalam tahap diam dan membelah sampai
ditambahkan mitogen. Respon proliferasi kultur sel limfosit digunakan untuk menggambarkan
fungsi limfosit dan status imun individu (Tejasari, 2000).
Zakaria et. al. (1992) menyatakan bahwa kemampuan limfosit untuk berproliferasi atau
membentuk klon menunjukkan bahwa sel limfosit mempunyai kemampuan merespon imunologik
atau tingkat kekebalan. Bila sel dikultur dengan senyawa nitrogen, maka limfosit akan
berproliferasi secara tidak spesifik.
Proliferasi sel limfosit juga dapat meningkat dengan adanya antigen atau hapten. Hapten
adalah molekul yang dapat bereaksi dengan antibodi yang sudah ada (preformed) secara
langsung, tetapi tidak dapat merangsang pembentukan antibodi secara langsung. Hapten akan
diikat oleh sel T (carrier) sehingga hapten tersebut membentuk epitop pada bagian molekul
carrier. Pembentukan epitop pada kompleks hapten-carrier dikenal oleh sistem imun, sehingga
dapat merangsang pembentukan antibodi. Limfosit berproliferasi lebih cepat jika dipaparkan
antigen atau hapten (Susanti, 2006).
Pengujian proliferasi sel limfosit dapat dilakukan dengan menggunakan metode
pewarnaan tryphane blue atau dengan metode pewarnaan MTT (3-[4,5-dimethylthiazol-2-yl]-2,5-
diphenyl-tetrazolium). Metode pewarnaan tryphane blue menggunakan prinsip penyerapan zat
warna melalui membran sel. Pewarna tryphane blue hanya dapat mewarnai jika membran sel
rusak. Oleh karena itu, pewarna tryphane blue dapat digunakan untuk membedakan sel hidup dan
11
sel mati atau rusak. Sel hidup tidak akan berwarna dan berbentuk bulat, sedangkan sel mati akan
berwarna biru dan mengkerut.
Prinsip metode MTT adalah perubahan MTT oleh aktivitas enzim suksinat dehidrogenase
mitokondrial dalam sel hidup menjadi formazan yang kemudian diukur absorbansinya dengan
Spectrophotometer Microplate Reader. Kandungan suksinat dehidrogenase relatif konstan di
antara berbagai sel dengan tipe spesifik, sehingga jumlah formazan yang terbentuk proporsional
terhadap jumlah sel (James et. al., 1994).
Dalam penelitian ini, pengujian proliferasi sel limfosit dilakukan dengan menggunakan
metode pewarnaan tryphane blue.
I. Studi Pendahuluan yang Telah Dilakukan
BAL probiotik seringkali digunakan sebagai suplemen untuk mengobati diare yang
disebabkan oleh EPEC maupun ETEC. Beberapa uji penempelan secara in vitro dilakukan pada
kultur jaringan untuk menjelaskan mekanisme penghambatan bakteri patogen oleh probiotik.
Berdasarkan FAO/WHO (2002) dan kesepakatan internasional, suatu BAL harus memenuhi
beberapa kriteria jika akan digunakan sebagai probiotik, yaitu kemampuannya untuk bertahan
pada kondisi lambung (pH rendah) dan adanya garam empedu, serta penghambatan terhadap
bakteri patogen.
Tabel 1. Morfologi Isolat BAL Indigenus
No.KodeIsolat Bentuk
Pertumbuhanpada Suhu Pertumbuhan
MenghasilkanNH3
Menghasilkangas
15oC 45oCpada NaCl
6.5%dari Arginin dari Glukosa
1. 1A5 Batang + + + - -
2. 1A32 Coccus + + + + -
3. 1B1 Batang + + + - +
4. 2B1 Coccus + + + - -
5. 2B2 Batang + + + + -
6. 2B4 Batang + + + - +
7. 1C4 Batang + + + + -
8. 2C2 Batang + + + - -
9. 2C12 Coccus + + + + -
10. 2D1 Batang + + + - -
Sumber: Arief et al. (2008)
12
Tabel 2. Hasil Fermentasi terhadap Beberapa Jenis Gula Sederhana
No.KodeIsolat
Kemampuan Memfermentasi Gula IdentifikasiPresumtif
ara gal glu lak mal man raf rham tre sorb suk xyl Awal*
1. 1A5 - + + + + - + - - - + -Lactobacillussp.
2. 1A32 + + + + + - + - - - + -Lactobacilluslactis
3. 1B1 + + + + + + d + + d + dLactobacillusplantarum
4. 2B1 + + + + + - + - - - + +Streptococcussp.
5. 2B2 - + + + + - + - - - + +Lactobacillusfermentum
6. 2B4 + + + + + - + - - - + +Lactobacillusfermentum
7. 1C4 + + + + + - + - - - + -Lactobacillussp.
8. 2C2 + + + + + - + + + - + +Streptococcussp.
9. 2C12 - + + + + + + d d d + dLactobacillussp.
10. 2D1 + + + - + - + - - - + +Lactobacillussp.
Sumber: Arief et al. (2008)Keterangan: * = identifikasi presumtif awal berdasarkan software PIB Win; (+) = dapat memfermentasi; (-) =
tidak dapat memfermentasi; (d) = dubius; ara = arabinosa; gal = galaktosa; glu = glukosa; lak =laktosa; mal = maltose; man = manitol; raf = rafinosa; rham = rhamnosa; tre = trehalosa; sorb =sorbitol; suk = sukrosa; xyl = xilosa
Tabel 3. Sifat Dasar Probiotik Isolat BAL indigenus
No.
KodeIsolat
Kemampuan Menghambat MikrobaPatogen
Kemampuan Tumbuh padaKondisi Saluran Pencernaan
(in vitro)
Staphylococcus aureus
ATCC 25923
Salmonellatyphimurium
ATCC14028
Escherichiacoli ATCC
25922/ETEC
pHLambung
(2.5)
pHUsus(7.2)
Garamempedu
(bile salt)0.5%
1. 1A5 ++ + +++ + + +
2. 1A32 ++ + +++ + + +
3. 1B1 + + ++ + + +
4. 2B1 ++ + ++ + + +
5. 2B2 ++ + +++ + + +
6. 2B4 ++ +++ +++ + + +
7. 1C4 ++ + ++ + + +
8. 2C2 ++ + +++ + + +
9. 2C12 ++ + ++ + + +
10. 2D1 + +++ ++ + + +
Sumber: Arief et al. (2008)
13
Tabel 4. Hasil Zona Hambat Isolat BAL terhadap EPEC
No. Isolat BAL Zona Hambat terhadap EPEC (mm)
1. 2B1 5,62
2. 1A5 6,37
3. 2B2 6,59
4. 2B4 6,59
5. 1B1 7,01
6. 2D1 6,83
7. 1C4 8,73
8. 2C12 13,87
9. 2C2 7,91
10. 1A32 7,31
Sumber: Arief (2009)
Isolasi 10 BAL golongan Lactobacillus, Lactococcus, dan Streptococcus dari daging sapi
peranakan Ongol di pasar tradisional Bogor telah dilakukan oleh Arief et. al (2008). Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa kesepuluh BAL isolat indigenus mampu bertahan pada
pH 2 (pH lambung) dan pH 7.2 (pH usus), serta mampu bertahan pada kondisi garam empedu
0.5% sesuai dengan kondisi saluran pencernaan. BAL tersebut juga mempunyai aktivitas
penghambatan yang baik terhadap bakteri enteropatogenik Salmonella typimurium ATCC 14028,
Escherichia coli ATCC 25922 (ETEC), serta Staphylococcus ATCC 25923. Kemampuan
bakterisidal terhadap bakteri patogen tersebut karena BAL mampu menghasilkan senyawa
bioaktif asam laktat, asam asetat, serta senyawa bakteriosin. Sifat dasar kesepuluh BAL dan
kemampuannya sebagai probiotik ditunjukkan pada Tabel 1, 2, dan 3.
Kemudian, kesepuluh BAL tersebut diuji aktivitas antimikrobanya terhadap EPEC (Tabel
4) oleh Arief (2008) disertai dengan uji konfirmasi identifikasi genus dari BAL tersebut yang
dilakukan secara biokimiawi melalui uji API test (Tabel 5).
Tabel 5. Hasil Identifikasi BAL dengan Uji API Test
No Isolat BAL Genus dan Spesies Penamaan
1. 2B1 Lactococcus sp Lactococcus sp 2B1
2. 1A5 Lactobacillus plantarum Lactobacillus plantarum 1A5
3. 2B2 Lactobacillus fermentum Lactobacillus fermentum 2B2
4. 2B4 Lactobacillus fermentum Lactobacillus fermentum 2B4
5. 1B1 Lactobacillus plantarum Lactobacillus plantarum 1B1
6. 2D1 Lactococcus sp Lactococcus sp 2D1
7. 1C4 Lactococcus sp Lactococcus sp 1C4
8. 2C12 Lactobacillus plantarum Lactobacillus plantarum 2C12
9. 2C2 Lactobacillus plantarum Lactobacillus plantarum 2C2
10. 1A32 Lacatobacillus plantarum Lactobacillus plantarum 1A32
Sumber: Arief (2009)
14
Berdasarkan hasil identifikasi dapat diketahui bahwa isolat yang dapat diidentifikasi
sampai tingkat spesies melalui uji API test adalah L. fermentum dan L. plantarum. Dipilihnya L.
plantarum 2C12 karena memiliki penghambatan terbaik terhadap EPEC, sedangkan untuk L.
fermentum, keduanya memiliki daya hambat yang sama antara 2B2 dan 2B4, namun berdasarakan
karakterisasinya terhadap ketahanan garam empedu di saluran pencernaan maka dipilih L.
fermentum 2B4.
J. Uji in vivo dengan Pemanfaatan Hewan Percobaan
Pengujian secara in vivo adalah pengujian yang dilakukan dengan menggunakan hewan
percobaan untuk mengetahui metabolisme suatu senyawa di dalam tubuh. Hewan percobaan yang
digunakan pada percobaan secara in vivo harus dari jenis mamalia, karena hasilnya dapat
diterapkan pada manusia. Ciri-ciri hewan mamalia adalah hewan yang menyusui anaknya,
berambut, berdarah panas, mempunyai empat ruang jantung, dan melahirkan anak.
Beberapa hewan mamalia yang biasa digunakan sebagai hewan percobaan, misalnya, tikus
putih, mencit, marmot, kelinci, babi, hamster, monyet, dan anjing. Hewan yang paling sering
digunakan dalam penelitian adalah tikus dan kelinci. Tikus banyak digunakan karena sifat-
sifatnya telah diketahui dengan baik, yaitu bersifat nocturnal (aktif pada malam hari, tidur di
siang hari), tidak mempunyai kantung empedu, tidak muntah, dan tidak berhenti tumbuh (setelah
100 hari pertumbuhan berkurang), mudah dipelihara, dan merupakan hewan yang relatif sehat
(Malole dan Pramono, 1989), serta peka terhadap perlakuan dalam komponen dietnya (Kesenja,
2005)
Tikus yang digunakan dalam penelitian adalah galur Sprague Dawley berjenis kelamin
jantan berumur kurang lebih 2 bulan. Tikus Sprague Dawley dengan jenis kelamin betina tidak
digunakan karena kondisi hormonal yang sangat berfluktuasi pada saat mulai beranjak dewasa,
sehingga dikhawatirkan akan memberikan respon yang berbeda dan dapat mempengaruhi hasil
penelitian (Kesenja, 2005). Tikus Sprague Dawley memiliki ciri-ciri berwarna albino putih,
berkepala kecil, dan ekornya lebih panjang dari badannya (Malole dan Pramono, 1989).
Zat-zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tikus hampir sama dengan manusia, yaitu:
karbohidrat, minyak/lemak, asam lemak esensial (terutama linoleat dan linolenat), protein,
mineral, dan vitamin (Muchtadi, 1993). Pemberian makanan dan minuman dilakukan secara
berlebih (ad libitum). Kekurangan nilai gizi dapat menyebabkan tubuh bersisik, pertumbuhan
terhambat, dan kematian.
Beberapa kondisi optimum yang harus diperhatikan untuk pemeliharaan tikus adalah: (1)
temperatur kandang 18-27oC, (2) kelembaban relatif 40-70%, dengan ventilasi yang cukup
(jangan ada jendela terbuka), dan (3) pencahayaan yang cukup dengan keadaan 12 jam terang dan
12 jam gelap (di daerah tropis seperti di Indonesia, hal ini tidak menjadi masalah) (Malole dan
Pramono, 1989).
Memperlakukan hewan percobaan harus berhati-hati, tikus dipegang dengan tangan (tanpa
kaos tangan) dan tidak boleh dipegang bagian ekornya. Hewan percobaan membutuhkan masa
adaptasi terhadap lingkungan percobaan selama 3-5 hari.
15
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
1. Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan penyusun ransum
tikus yang terdiri atas tepung maizena, kasein, minyak jagung, CMC, mineral mixture,
vitamin mixture Fitkom, dan air, suspensi EPEC, suspensi L. plantarum 2C12, suspensi L.
fermentum 2B4, organ hati, ginjal, limpa, dan feses tikus percobaan. Bahan-bahan untuk
analisis MDA yaitu TEP (1,1,3,3-tetraetoksipropana), Phosphat Buffer Saline (PBS) pH 7.4
yang mengandung 11.5 g KCl/L (disimpan pada suhu 2-5oC), HCL 0.25 N yang mengandung
15% TCA, 0.38% TBA, dan 0.5% BHT. Bahan-bahan untuk analisis proliferasi limfosit yaitu
PBS, alkohol 70%, RPMI-1640 steril, NH4Cl 0.85% steril, dan pewarna tryphan blue.
2. Alat
Alat utama yang digunakan dalam penelitian adalah oven, autoklaf, alat sentrifus,
tabung sentrifus 15 ml steril, spektrofotometer visible, refrigerator, neraca analitik,
mikroskop cahaya, alat bedah steril, transfer pipet steril, syringe steril untuk menggerus
organ, botol steril untuk wadah menggerus organ, micropipet 10-100 µl, tip micropipet,
microplate 96 well, hemasitometer dan cover glass, kapas, kertas tissue, alumunium foil.
Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan ransum dan pemeliharaan tikus adalah
mortar, sendok, neraca, kandang tikus, wadah ransum dan air minum, timbangan tikus.
B. METODE PENELITIAN
1. Pembuatan Kultur
a. Pembuatan Kultur BAL L. plantarum 2C12 dan L. fermentum 2B4
Kultur induk L. plantarum 2C12 dan L. fermentum 2B4 dari penelitian Arief
(2008) disegarkan terlebih dahulu pada media de Man Rogosa Sharpe Broth (MRSB).
Kemudian, dari kultur yang disegarkan tersebut dibuat kultur kerja. setelah itu, kultur
kerja dipupukkan pada media de Man Rogosa Sharpe Agar (MRSA) untuk diketahui
populasinya. kultur yang memenuhi syarat untuk dicekokkan pada tikus percobaan
adalah kultur dengan jumlah populasi 108 cfu/ml.
Kultur stok yang telah dibuat perlu diperbaharui setiap minggu agar aktivitasnya
tidak berkurang. Pemeliharaan kultur stok pada penelitian ini akan menggunakan metode
Hariyadi et. al (2001) dengan cara membuat tusukan kultur pada MRSA chalk
semisolid, kemudian menginokulasikannya pada MRSB, lalu kultur tersebut dapat
disimpan di refrigerator.
b. Pembuatan Kultur EPEC
Kultur EPEC dibiakkan pada media Nutrient Agar selama 24 jam pada suhu 37oC
untuk dijadikan kultur kerja. Setelah itu diambil sebanyak satu ose kultur kerja tersebut
16
lalu dibiakkan ke dalam tabung berisi media Nutrient Broth. Setelah 24 jam, kultur
bakteri uji disetarakan kekeruhannya dengan standar McFarland no 0.5, yang memiliki
kesetaraan dengan jumlah populasi bakteri sebesar 8x108 sel bakteri/ml. Suspensi bakteri
EPEC yang terbentuk kemudian diencerkan sampai diperoleh konsentrasi 8x106 sel
bakteri/ml.
2. Kerangka Penelitian
Kerangka penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Diagram Alir Kerangka Penelitian
3. Pengelolaan Tikus Percobaan
Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (albino rat)
galur Sprague Dawley umur 5-6 minggu berjenis kelamin jantan hasil pengembangbiakan
Badan POM RI. Pemeliharaan tikus percobaan dilakukan di Laboratorium Hewan Percobaan
SEAFAST CENTER, IPB. Kandang yang digunakan berukuran 17.5 x 23.75 x 17.5 cm,
dengan jumlah sesuai dengan jumlah tikus yang digunakan. Kandang terbuat dari plastik.
Kandang tikus harus harus bebas dari suara rebut, dan terjaga dari asap industri atau polutan
lainnya. Lantai harus mudah dibersihkan dan disanitasi. Suhu optimum ruangan adalah 22-
24oC, kelembaban udara 50 - 60%, dengan velintasi cukup namun tidak ada jendela terbuka
(Muchtadi, 1993).
Setiap hari tikus percobaan diberi ransum berdasarkan standar AOAC (Tabel 6).
Pemberian ransum dilakukan secara ad libitum (berlebih). Hari pertama setiap tikus diberi
ransum sebanyak 10 gram. Hari kedua diberi ransum sebanyak 15 gram. Hari ketiga dan
seterusnya diberi ransum sebanyak 20 gram.
Pengujian L. plantarum dan L. fermentum sebagai antidiare pada tikus yang diinfeksi EPEC
Penentuan nilaiPER tikuspercobaan
Penentuan kadarair feses tikus
percobaan
Analisis kadarMDA organ hati
dan ginjal
Analisis proliferasisel limfosit organ
limpa
BAL probiotik indigenus yang mempunyaisifat antidiare dan imunomodulator terbaik
17
Tabel 6. Komposisi Ransum Standar Berdasarkan AOAC
Bahan-bahan Campuran Jumlah (%)
Protein kasein 10
Minyak jagung 8
Campuran mineral 5
Campuran vitamin 1
CMC (carboximethylcellulosa) 1
Air 5
Maizena (pati jagung) 70
Sumber: Muchtadi et. al (1992).
4. Perlakuan pada Tikus Percobaan
Tikus dibagi dalam 6 kelompok perlakuan (Tabel 7). Tikus diare dipersiapkan dengan
cara menginduksi tikus dengan bakteri EPEC. Selama percobaan, semua kelompok tikus
diberi pakan ransum standar. Pemberian BAL dilakukan selama tiga minggu penuh, yaitu
dari hari ke-1 hingga ke-21, secara oral menggunakan sonde.
Tabel 7. Kelompok Perlakuan Tikus Percobaan
Kelompok Tikus Perlakuan
Kontrol negatifTikus normal yang hanya diberi ransum standar dan
akuades
L. plantarum 2C12Tikus yang diberi ransum standar, diiringi pemberian L.
plantarum 2C12
L. fermentum 2B4Tikus yang diberi ransum standar, diiringi pemberian L.
fermentum 2B4
L. plantarum 2C12 +
EPEC
Tikus yang diberi ransum standar, diiringi pemberian L.
plantarum 2C12, tetapi diselingi dengan pemberian
infeksi EPEC
L. fermentum 2B4 +
EPEC
Tikus yang diberi ransum standar, diiringi pemberian L.
fermentum 2B4, tetapi diselingi dengan pemberian infeksi
EPEC
Kontrol positif Tikus yang diberi ransum standar dan infeksi EPEC
BAL yang diberikan yaitu L. plantarum 2C12 dan L. fermentum 2B4 sebanyak 1 ml
dengan populasi 108 cfu/ml. Infeksi EPEC dilakukan dengan populasi 106 cfu/ml sebanyak 1
ml per hari selama 7 hari (hari ke-8 sampai ke-14), secara oral menggunakan sonde.
Pembedahan tikus untuk analisis peubah yang diamati dilakukan pada hari ke-7, 14, dan 21
(Gambar 6). Organ hati dan ginjal diambil untuk analisis kadar malonaldehida (MDA) serta
organ limpa diambil untuk uji proliferasi sel limfosit.
18
H(-3) H(0) H(7) H(14) H(21)
Keterangan: T0 = terminasi awal; T1 = terminasi hari ke-7; T2 = terminasi hari ke-14; T3 =terminasi hari ke-21, masing-masing 4 tikus setiap kelompok
Gambar 6. Bagan Perlakuan Terminasi dan Cekok pada Tikus Percobaan
C. METODE ANALISIS
1. Pengukuran Bobot Badan dan Nilai PER (Muchtadi, 1993)
Bobot badan tikus ditimbang setiap dua hari sekali untuk mengetahui perubahan bobot
badan tikus selama perlakuan. Selain itu, pakan yang diberikan serta sisa pakan ditimbang
setiap hari untuk menentukan konsumsi pakan setiap hari. Data tersebut digunakan untuk
menentukan nilai PER (Protein Efficiency Ratio) dengan persamaan:
PER = kenaikan berat badan
Jumlah protein yang dikonsumsi
2. Kejadian Diare pada Tikus Terinfeksi EPEC (AOAC, 1995)
Kejadian diare tikus percobaan dapat diamati dengan cara mengukur kadar air feses
yang dikoleksi pada hari ke-14 dan ke-21. Penentuan kadar air feses mengikuti prosedur
analisis kadar air menurut AOAC 1995 (analisis kadar air metode oven biasa). Cawan
alumunium dikeringkan dalam oven pada suhu 100oC selama 15 menit, lalu didinginkan
dalam desikator selama 10 menit. Ditimbang cawan dengan neraca analitik (a gram).
Ditimbang sampel dengan neraca analitik sebanyak 4-5 gram (b gram). Dikeringkan dalam
oven pada suhu 100-105oC selama kurang lebih 6 jam, didinginkan dalam desikator
kemudian ditimbang (c gram). pengeringan diulangi hingga diperoleh berat sampel yang
relative konstan (berat dianggap konstan jika selisih berat sampel kering yang ditimbang
≤0.0003 gram).
Kadar air (%basis basah) = x – y X 100 %
x – a
Keterangan:
x = berat cawan dan sampel sebelum dikeringkan (g)
y = berat cawan dan sampel setelah dikeringkan (g)
a = berat cawan kosong (g)
Adaptasi
T0 T1 T2 T3
Cekok BAL
Cekok EPEC
19
3. Analisis Kadar Malonaldehida (MDA) (Conti et al., 1991)
Kadar MDA organ hati dan ginjal tikus percobaan diukur secara kuantitatif dengan
metode Thiobarbituric Acid Reactivity Test. Metode ini didasarkan pada reaksi antara MDA
dan TBA (Thiobarbituric acid) dalam suasana asam. Kompleks MDA-TBA yang terbentuk
memiliki warna merah jambu dan absorbansinya dapat diukur pada panjang gelombang 532
nm (Conti et al., 1991).
Organ hati atau ginjal yang telah ditimbang, ditambahkan larutan PBS dingin
sebanyak 2.5 ml, kemudian digerus, dan divorteks selama 10 detik. Campuran organ dan
larutan PBS kemudian disentrifus dengan kecepatan 4000 rpm selama 10 menit. Apabila
campuran masih terlihat keruh (belum terpisah dengan baik), maka disentrifus ulang. Setelah
disentrifus, campuran akan terpisah menjadi supernatan dan padatan. 1 ml supernatan
ditambahkan 4 ml reagen (larutan TCA 15%, TBA 0.38%, dan BHT 0.5% dalam HCl 0.25
N. Larutan kemudian divorteks selama 10 detik, dan diinkubasi dalam water bath bersuhu
80oC selama 60 menit. Setelah 60 menit inkubasi, larutan didinginkan sampai suhu ruang.
Larutan yang telah dingin disentrifus dengan kecepatan 4000 rpm selama 10 menit.
Supernatan yang dihasilkan kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 532
nm.
Sebagai standar MDA digunakan 1,1,3,3-tetraetoksipropana (TEP). pada suasana
asam, TEP terhidrolisis dan menghasilkan hemiasetal dan etanol. Hemiasetal yang terbentuk
kemudian terdekomposisi menjadi etanol dan malonaldehida. Penentuan kurva standar
dilakukan sama dengan penentuan sampel. Perhitungan kadar MDA sampel berdasarkan
hasil ploting nilai absorbansi pada kurva standar.
4. Analisis Proliferasi Sel Limfosit (Tejasari, 2000)
Dalam penelitian ini, sel limfosit diekstrak dari organ limpa tikus. Pengujian
proliferasi sel limfosit yang diperoleh dari organ limpa, dilakukan dengan metode pewarnaan
tryphan blue.
Organ limpa yang telah diambil langsung dicuci dalam larutan PBS, kemudian
dipindahkan ke dalam cawan petri yang berisi 5 ml RPMI-1640 steril. Setelah digerus,
ekstrak limpa disentrifus dengan kecepatan 1500 rpm selama 10 menit. Supernatan yang
dihasilkan dibuang, sedangkan pelet ditambahkan 2 ml NH4Cl 0.85% steril, didiamkan
selama tepat 2 menit. Selanjutnya, segera ditambahkan dengan 3 ml RPMI-1640 steril,
kemudian disentrifus dengan kecepatan 1500 rpm selama 10 menit. Pelet yang dihasilkan
segera ditambahkan dengan 5 ml RPMI-1640 steril, dan disentrifus kembali dengan
kecepatan 1750 rpm selama 10 menit. Pelet yang dihasilkan segera ditambahkan dengan 3 ml
RPMI-1640 steril dan dihomogenkan (divorteks).
50 µl suspensi yang mengandung sel limfosit kemudian dipindahkan ke dalam
microplate, kemudian ditambahkan tryphan blue dengan perbandingan 1:1. Penghitungan
dilakukan pada perbesaran mikroskop 400 x. Sel limfosit hidup akan terlihat transparan atau
bening atau tidak berwarna dan secara visual dinding sel tampak kompak, sedangkan sel
limfosit mati akan terlihat berwarna biru karena membrane sel telah rusak sehingga dinding
sel terlihat keriput.
Jumlah sel limfosit hidup dihitung pada area dua kotak besar yang berseberangan
(maisng-masing kotak besar terdiri atas 16 kotak kecil), lalu dihitung per ml suspensi dengan
persamaan:
20
Jumlah sel/ml = jumlah sel x fp x 104, di mana fp = 2
2
5. Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap, dengan model matematika
sebagai berikut:
Yij = μ + αi +βj + ε ijYij : pengaruh perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
μ : nilai tengah perlakuan
αi : pengaruh perlakuan ke-i
βj : pengaruh ulangan ke-j
ε ij : galat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
Data dianalisis dengan menggunakan ANOVA. Jika terdapat perbedaan nyata akan diuji
lanjut dengan uji Duncan (Steel dan Torrie, 1995).