makalah epistaksis

29
PENDAHULUAN Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung; merupakan suatu keluhan atau tanda, bukan penyakit. Perdarahan yang terjadi di hidung adalah akibat kelainan setempat atau penyakit umum. Penting sekali mencari asal perdarahan dan menghentikannya, di samping perlu juga menemukan dan mengobati sebabnya. Epistaksis sering ditemukan sehari-hari dan mungkin hampir 90% dapat berhenti dengan sendirinya (spontan) atau dengan tindakan sederhana yang dilakukan oleh pasien sendiri dengan jalan menekan hidungnya. Epistaksis berat, walaupun jarang dijumpai, dapat mengancam keselamatan jiwa pasien, bahkan dapat berakibat fatal, bila tidak segera ditolong. Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bagian anterior dan bagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach atau dari arteri ethmoidalis anterior. Sedangkan epistakasis posterior dapat berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior. Epistaksis biasanya terjadi tiba-tiba. Perdarahan mungkin banyak, bisa juga sedikit. Penderita selalu ketakutan sehingga merasa perlu memanggil dokter.Sebagian besar darah keluar atau dimuntahkan kembali. 1

Upload: cynthia-ayupermatasari

Post on 01-Dec-2015

881 views

Category:

Documents


20 download

DESCRIPTION

tht

TRANSCRIPT

PENDAHULUAN

Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung; merupakan suatu keluhan atau tanda,

bukan penyakit. Perdarahan yang terjadi di hidung adalah akibat kelainan setempat atau penyakit

umum. Penting sekali mencari asal perdarahan dan menghentikannya, di samping perlu juga

menemukan dan mengobati sebabnya. Epistaksis sering ditemukan sehari-hari dan mungkin

hampir 90% dapat berhenti dengan sendirinya (spontan) atau dengan tindakan sederhana yang

dilakukan oleh pasien sendiri dengan jalan menekan hidungnya.

Epistaksis berat, walaupun jarang dijumpai, dapat mengancam keselamatan jiwa pasien,

bahkan dapat berakibat fatal, bila tidak segera ditolong. Pada umumnya terdapat dua sumber

perdarahan yaitu dari bagian anterior dan bagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari

Pleksus Kiesselbach atau dari arteri ethmoidalis anterior. Sedangkan epistakasis posterior dapat

berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior. Epistaksis biasanya terjadi tiba-

tiba. Perdarahan mungkin banyak, bisa juga sedikit. Penderita selalu ketakutan sehingga merasa

perlu memanggil dokter.Sebagian besar darah keluar atau dimuntahkan kembali.

1

LAPORAN KASUS

Bapak Napitulu, 45 tahun executive suatu bank, datang ke tempat anda dengan keadaan

yang cemas, masih bisa berjalan dan duduk sendiri, dengan handuk kecil menutupi hidungnya

yang sudah penuh darah.

Sebagai dokter yang belum begitu mengenal pasien tersebut, apa tindakan dan rencana

anda selanjutnya. Setelah mendapat kesan bahwa fungsi vital penderita masih baik, anda

menghentikan perdarahannya dengan memasang tampon anterior kemudian melanjutkan dengan

anamnesis.

Perdarahan hidung dialami baru pertama kali, setelah melakukan olahraga senam, kira-

kira ½ jam yang lalu, jumlahnya ½ gelas minum. Keluar darah intermitten dan tidak berhenti

dengan pencet hidung dan kompres es.

Sebelumnya penderita sudah sering mengeluh pusing kepala. Tidak pernah sakit berat

sampai dirawat, tidak pernah mengalami trauma kepala. Tidak pernah sakit berat sampai dirawat,

tidak pernah mengalami trauma kepala / trauma hidung / operasi hidung.

Pemeriksaan Fisik

Status Generalis

KU : lemah, masih bisa duduk dan berjalan sendiri

Kesadaran : CM

Suhu : 37 ˚ C

Tekanan darah : 160 / 90 mmHg

Pernapasan : 20x/menit

Bunyi jantung : murni

Paru-paru : sonor, vesikuler

2

Hepar & Lien : tidak teraba

Ekstremitas : hangat

Status Lokalis

Telinga : ADS; LT lapang, MT intak mengkilat

Hidung : Masih terlihat darah merembes dari tampon anterior. Anda

putuskan untuk mencabut kembali tampon anterior dan

mengeksplorasi lebih lanjut kavum nasinya. Pada waktu darah di

hidung dibersihkan dengan suction terlihat vestibulum dan

septum licin, tenang. Tampak asal perdarahan dari bagian

belakang hidung di bawah konka media, berdenyut.

Tenggorok : Tonsil T1/T1 tenang

Faring tenang

Ada darah yang mengalir di dinding faring belakang

Pemeriksaan Laboratorium

1. Hb : 12 g %

2. Leukosit : 7000 / ml

3. Erythrocyte : 4,5 juta / ml

4. Jumlah Thrombocyte : 260.000 / ml

5. Bleeding time : 2’ (Duke)

6. Clotting time : 6’ (Lee&White)

7. PTT : 13”

8. SGPT : 28 μ / l

9. SGOT : 31 μ / l

10. Ureum : 24 mg/dl

11. Creatinin : 1,0 mg /dl

12. Asam Urat : 5 mg/dl

13. Glucose darah sewaktu : 135 mg%

3

14. Cholesterol : 260 mg/dl

15. Triglyceride : 220 mg/dl

16. HDL : 33 mg/dl

17. LDL : 145 mg/dl

4

PEMBAHASAN

Masalah Dasar masalah Hipotesis

Keluar darah dari hidung Anamnesis dan pemeriksaan

fisik

Lokal: trauma, infeksi hidung

paranasal, tumor, pengaruh

lingkungan, benda asing dan

rinolit , dan idiopatik.

Sistemik: penyakit

kardiovaskuler, kelainan

darah, infeksi sistemik, dan

gangguan endokrin.

Anamnesis Tambahan

Riwayat penyakit sekarang

Apakah sebelumnya ada jatuh atau korek hidung?

Sejak kapan mulai berdarah dan sudah berapa banyak perdarahannya?

Sudah berapa lama berdarahnya?

Apa kegiatan sebelum terjadinya perdarahan?

Apakah unilateral atau bilateral?

Apakah ada hematemesis dan / atau melena?

Riwayat penyakit dahulu

Apakah sebelunya pernah terjadi kejadian serupa?

Apakah pasien ada riwayat hemofili?

Apakah ada penurunan berat badan dalam beberapa bulan ini?

5

Apakah punya riwayat DM atau hipertensi?

Riwayat kebiasaan

Apakah merokok atau mengkonsumsi alkohol?

Apakah bekerja ditempat yang dingin atau bekerja di tempat industri?

Riwayat pengobatan

Apakah ada mengkonsumsi obat antikoagulan?

INTERPRETASI PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

KU : lemah, masih bisa duduk dan berjalan sendiri walaupun pasien

terlihat lemah dikarenakan perdarahan yang dialaminya, namun

belum terjadi syok. Sehingga ia masih bisa duduk dan berjalan

sendiri.

Kesadaran : CM pasien masih dalam keadaan sadar penuh.

Suhu : 37 ˚ C masih dalam batas normal yaitu 36,5˚ - 37,2˚ C.

Tekanan darah : 160 / 90 mmHg menunjukkan Hipertensi Stage II menurut

Kriteria JNC VII dimana nilai systole ≥ 160 mmHg.

Pernapasan : 20x/menit nilai normal pernapasan Pria adalah 14-18 x/menit,

pasien ini dalam keadaan tachypnoe.

Bunyi jantung : murni normal, berarti tidak ditemukan bunyi jantung

tambahan. Tidak ada kelainan.

Paru-paru : sonor, vesikuler normal, berarti tidak ditemukan kelainan.

Hepar & Lien : tidak teraba normal, tidak terjadi pembesaran.

6

Ekstremitas : hangat normal, berarti perfusi masih bagus.

Status Lokalis

Telinga : ADS; LT lapang, MT intak mengkilat normal, tidak ada

kelainan.

Hidung : Masih terlihat darah merembes dari tampon anterior. berarti

perdarahan tidak berasal dari bagian anterior. Anda putuskan

untuk mencabut kembali tampon anterior dan mengeksplorasi

lebih lanjut kavum nasinya.

Pada waktu darah di hidung dibersihkan dengan suction terlihat

vestibulum dan septum licin, tenang. tampak tidak ada

kelainan, semakin mendukung kemungkinan perdarahan yang

bukan berasal dari anterior, karena di daerah septum merupakan

tempat dari pembuluh darah yang menyebabkan perdarahan

anterior.

Tampak asal perdarahan dari bagian belakang hidung di bawah

konka media, berdenyut. ditemukan sumber perdarahan

berasal dari bagian posterior, dan berdenyut menyatakan bahwa

perdarahan berasal dari arteri.

Tenggorok : Tonsil T1/T1 tenang normal, tidak terjadi pembesaran dan

peradangan tonsil.

Faring tenang tidak terjadi peradangan.

Ada darah yang mengalir di dinding faring belakang darah

berasal dari naso faring akibat dari perdarahan yang terjadi

pada posterior hidung, sehingga darah akan mengalir sampai ke

oro faring.

INTERPRETASI LABORATORIUM

7

Hasil Kadar normal Intrepretasi

1. Hb : 12 g % 13.5 – 17.5 (13 – 16) (g/dl) Agak sedikit menurun karena

pasien mengalami perdarahan

2. Leukosit : 7000/ml 4.000 – 11.000 (5.000 –

10.000) (/ul)

Pada pasien normal menandakan

tidak adanya infeksi pada pasien

3. Eritrosit : 4,5 juta/ml 4.5 – 5.9 (4.5 – 5.5) (juta/ul) Pasien berada pada batas bawah

namun masih normal,

diperkirakan karena perdarahan

4. Jumlah trombosit:

260.000/ml

150.000 – 440.000 (150.000

– 400.000) (/ul)

Normal

5. Bleeding time : 2’ 1’-8’ Normal

6. Clotting time : 6’ 5’ – 15’ Normal

7. PTT : 13” 25 – 35” Menurun, merupakan faktor

resiko terjadinya thrombus

8. SGPT : 28 µ/L 5 – 41 (u/l) Normal

9. SGOT : 31 µ/L 5 – 40 (u/l) Normal

10. Ureum : 24 mg/dl 15 – 40 (mg/dl) Normal

11. Creatinin : 1,0 mg/dl 0.5 – 1.5 (mg/dl) Normal

12. Asam urat : 5 mg/dl 3.4 – 7.0 (mg/dl) Normal

8

13. Glucose darah sewaktu:

135 mg%

: < 150 (mg/dl) Normal

14. Cholesterol : 260 mg/dl < 200 (mg/dl) Meninggi merupakan faktor bisa

terjadinya arteroskelosis

15. Triglyceride : 220 mg/dl < 150 (mg/dl) Meninggi merupakan faktor bisa

terjadinya arteroskelosis

16. HDL : 33 mg/dl > 55 (mg/dl) Menurun menyebabkan

perbandingan LDL dan HDL

menjadi tidak bagus,merupakan

faktor bisa terjadinya

arteroskelosis

17. LDL : 145 mg/dl < 150 (mg/dl) Normal

Mekanisme terjadinya masalah (Patofisiologi)

Pada pemeriksaan fisik pasien ini didapatkan bahwa tekanan darah 160/90 mmHg hipertensi

grade 2 secara tidak langsung epikstasis. Pada kasus ini jenisnya epistaksis posterior

tingginya tekanan pada pembuluh darah pecahnya pembuluh darah. Selain itu, dari hasil

anamnesis diketahui pasien mengalami epistaksis setelah melakukan senam meningkatkan

tekanan darah. Dari pemeriksaan laboratorium darah didapatkan pula bahwa kadar LDL pasien

ini meninggi aterosklerosis penyempitan lumen pembuluh darah sehingga karena

sempitnya saluran meningkatkan tekanan aliran darah epistaksis juga atau kemungkinan

pasien ini meminum obat pengencer darah darah menjadi encer perdarahan yang hebat

9

DIAGNOSIS PASTI EPISTAKSIS POSTERIOR DENGAN HIPERTENSI GRADE II

DAN HIPERLIPIDEMIA

DIAGNOSIS BANDING:

Epistaksis posterior et causa obat-obat pengencer darah

Epistaksis anterior dengan hipertensi grade II dan hiperlipidemia

Penatalaksanaan

1. Pasien harus dalam posisi duduk tegak.

2. Cek keadaan umum dan tanda vital pasien.

3. Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk  menyingkirkan bekuan

darah.

4. Sumber perdarahan juga dicari dengan bantuan tampon.

Tampon  kapas  dibasahi dengan  adrenalin 1: 10.000 dan  lidokain atau pantokain2%. Kapas

ini  dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk menghentikan  perdarahan dan mengurangi

rasa sakit pada saat tindakan selanjutnya. Tampon  ini  dibiarkan selama 3 - 5 menit. Dengan

cara  ini  dapat  ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau 

posterior

5. Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau tampon Bellocq.

Tampon ini dibuat dari kasa dengan ukuran lebih kurang 3x2x2 cm dan mempunyai 3 buah

benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya. Tampon harus menutup

sumber perdarahan. Kemudian tampon diberikan vaselin agar tidak lengket saat dicabut serta

antibiotik untuk mencegah terjadinya otitis media dan sinusitis.

Teknik Pemasangan

Langkah langkah pemasangan tampon Bellocq

dilakukan anestesi local terlebih dahulu

lalu dimasukkan kateter karet melalui nares anterior sampai tampak di orofaring

(gunanya untuk menarik tampon Belloque ke koana.)

kemudian ditarik ke luar melalui mulut.

Ujung kateter di mulut kemudian diikat pada dua buah benang yang terdapat pada

10

satu sisi tampon Bellocq

kemudian kateter yang ada dihidung, ditarik keluar hidung.

Benang yang telah keluar melalui hidung tadi kemudian ditarik, sedangkan jari

telunjuk tangan yang lain membantu mendorong tampon ini ke arah nasofaring.

Jika masih terjadi perdarahan dapat dibantu dengan pemasangan tampon anterior,

kemudian diikat pada sebuah kain kasa yang diletakkan di tempat lubang hidung

sehingga tampon posterior terfiksasi.

Sehelai benang lagi pada sisi lain tampon Bellocq dikeluarkan melalui mulut dan

ditempelkan dipipi, ini digunakan saat pencabutan tampon setelah 2-3 hari pasca

tindakan ini.

6. Pasien dengan Belloque tampon harus dirawat. Saat dirawat, sebaiknya pasien melakukan

tirah baring dengan kepala lebih tinggi dan humidifikasi kamar harus diperhatikan.

7. Setelah itu, pasien kita berikan edukasi, seperti harus menghindari korekan hidung, dilarang

mengeluarkan ingus secara keras, memencet atau menggaruk hidung selama 1 minggu. Pasien

juga dilarang kerja berat dan olah raga selama 2 minggu.

8. kita juga konsultasikan ke dokter penyakit dalam untuk mengatasi hipertensinya.

11

Komplikasi

- Dari perdarahan dapat menyebabkan :

o Anemia

o Syok

- Dari pemasangan tampon, dapat menyebabkan :

o Infeksi, seperti Sinusitis, Otitis Media, Septikemia

o Laserasi palatum mole

Prognosis

Ad Vitam : Ad Bonam

Karena pasien ini belum mengalami Syok dan kemungkinan septikemia

dapat dicegah dengen pemberian antibiotika.

Ad Fungsionam : Ad Bonam

Karena dengan penanganan yang benar dan cepat, tidak akan

menimbulkan kerusakan yang dapat mempengaruhi fungsi hidung.

Ad Sanationam : Dubia Ad Bonam

Karena pasien ini menderita Hipertensi yang dapat menjadi etiologi dari

terjadinya epistaxis, sehingga masih ada kemungkinan unruk terjadi

kembali.

12

TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi Hidung

Anatomi dan fisiologi hidung Hidung merupakan organ penting yang seharusnya

mendapat perhatian lebih dari biasanya dan hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh

terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung

dalam. Hidung luar menonjol pada garis tengah diantara pipi dengan bibir atas, struktur hidung

luar dapat dibedakan atas tiga bagian yaitu: paling atas kubah tulang yang tak dapat digerakkan,

dibawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan dan yang paling bawah

adalah lobolus hidung yang mudah digerakkan.

Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks. Agak keatas dan belakang dari apeks

disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai kepangkal hidung dan menyatu

dengan dahi. Yang disebut kolumela membranosa mulai dari apeks, yaitu diposterior bagian

tengah pinggir dan terletak sebelah distal dari kartilago septum. Titik pertemuan kolumela

dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung. Disini bagian bibir atas membentuk cekungan

dangkal memanjang dari atas kebawah yang disebut filtrum. Sebelah menyebelah kolumela

adalah nares anterior atau nostril (Lubang hidung)kanan dan kiri, sebelah latero-superior dibatasi

oleh ala nasi dan sebelah inferior oleh dasar hidung.

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,

jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan

lubang hidung. Bahagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os internum

disebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring.

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan oleh

septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk

kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior

(koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.

13

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior,

disebut dengan vestibulum.Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak kelenjar sebasea dan

rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise.

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan

superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini dibentuk oleh tulang dan

tulang rawan, dinding lateral terdapat konkha superior, konkha media dan konkha inferior. Yang

terbesar dan letaknya paling bawah ialah konkha inferior, kemudian yang lebih kecil adalah

konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema

dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang

melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema

merupakan bagian dari labirin etmoid. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung

dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konkha media dan inferior disebut meatus

media dan sebelah atas konkha media disebut meatus superior.

Meatus medius merupakan salah satu celah yang penting dan merupakan celah yang

lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Disini terdapat muara dari sinus maksilla,

sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Dibalik bagian anterior konka media yang

letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulat sabit yang

dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit

menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris.

Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan

dikenal sebagai prosesus unsinatus.

Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus

maksilla, etmoid, frontalis dan sphenoid. Dan sinus maksilla merupakan sinus paranasal terbesar

diantara lainnya, yang berbentuk pyramid iregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis

dan puncaknya kearah apek prosesus zigomatikus os maksilla.

14

Perdarahan hidung

Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu:

1. Arteri Etmoidalis anterior

2. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika

3. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang berasal dari arteri karotis

eksterna.

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna,

diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen

sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung

posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri

fasialis.

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina,

arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus

kieesselbach (little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisialis dan mudah cedera oleh

truma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan

arterinya. Vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang

berhubungan dengan sinus kavernesus.

Persarafan hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus

etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus

oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus dan cabang

maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus

memberikan cabang nervus nasosiliaris yang kemudian bercabang lagi menjadi nervus

etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior dan nervus infratroklearis. Nervus etmoidalis

anterior berjalan melewati lamina kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama arteri

etmoidalis anterior melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi cabang

15

nasalis internus medial dan lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan

sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatinum.

Ganglion sfenopalatina, selain memberi persarafan sensoris, juga memberikan persarafan

vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut serabut sensorid

dari nervus maksila.Serabut parasimpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion

sfenopalatinum terletak dibelakang dan sedikit diatas ujung posterior konkha media.

Nervus Olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus

olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di

daerah sepertiga atas hidung.

Epistaksis (perdarahan hidung)

ETIOLOGI

Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya, kadang-kadang

jelas disebabkan oleh kelainan local pada hidung atau kelainan sistemik. Kelainan local misalnya

trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi local, benda asing, tumor, pengaruh

udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi

sistemik, perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan congenital.

1. Trauma

Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung, benturan

ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat trauma yang lebih hebat

seperti terkena pukul, jatuh atau kecelakaan lalulintas. Selain itu juga bisa terjadi akibat adanya

benda asing tajam atau trauma pembedahan.

Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam. Perdarahan dapat

terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka itu

sedang mengalami pembengkakan.

2. Kelainan pembuluh darah (local)

Sering congenital, pembuluh darah lebih lebar, tipis, jaringan ikat dan sel-selnya lebih tipis.

16

3. Infeksi local

Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rhinitis atau

sinusitis. Bisa juga pada infeksi spesifik seperti rhinitis jamur, tuberculosis, lupus, sifilis dan

lepra.

4. Tumor

Epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma. Yang lebih sering terjadi pada

angiofibroma, dapat menyebabkan epistaksis berat.

5. Penyakit kardiovaskular

Hipertensi atau kelainan pembuluh darah seperti yang terjadi pada arteriosklerosis,

nefritis kronik, sirosis hepatis, atau diabetes mellitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis

yang terjadi pada penyakit hipertensi seringkali hebat dan berakibat fatal.

6. Kelainan darah

Kelainan darah penyebab epistaksis antara lain leukemia, trombositopenia, bermacam-

macam anemia serta hemophilia.

7. Kelainan congenital

Kelainan congenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah telengiektasis hemoragik

herediter (Hereditary Hemorrhagic Telengiectasis Osler-Rendu-Weber disease). Juga sering

terjadi pada Von Willenbrand disease.

8. Infeksi sistemik

Yang sering menyebabkan epistaksis ialah demam berdarah, demam tifoid, influenza, dan

morbili juga dapat disertai epistaksis.

9. Perubahan udara atau tekanan atmosfir

Epistaksis ringan sering terjadi bila seseorang berada di tempat yang cuacanya sangat

dingin atau kering. Hal serupa juga bisa disebabkan adanya zat-zat kimia ditempat industry yang

menyebabkan keringnya mukosa hidung.

17

10. Gangguan hormonal

Epistaksis juga dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena pengaruh

perubahan hormon.

SUMBER PERDARAHAN

Melihat asal perdarahan, epistaksis dibagi menjadi epistaksis anterior dan epistaksis

posterior. Untuk penatalaksanaannya, penting dicari sumber perdarahan walaupun kadang-

kadang sulit.

Epistaksis Anterior

Kebanyakan berasal dari pleksus Kisselbach

(anastomosis dari A. Ethmoidalis posterior, A.

Sphenopalatina, A. Palatina mayor, A. Labialis superior)

di septum bagian anterior atau dari arteri etmoidalis

anterior. Perdarahan pada septum anterior biasanya ringan

karena keadaan mukosa yang hiperemis atau kebiasaan

mengorek hidung dan kebanyakan terjadi pada anak-anak,

seringkali berulang dan dapat berhenti sendiri.

Epistaksis Posterior

Dapat berasal dari A. Ethmoidalis posterior atau

A. Sphenopalatina. Perdarahannya biasanya lebih hebat

dan jarang dapat berhenti sendiri. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi,

arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena pecahnya A.Sphenopalatina.

18

KESIMPULAN

Pada kasus ini datang seorang pasien pria dengan keluhan keluarnya darah dari hidung.

Perdarahan dari pasien dapat dibedakan dari sifat perdarahannya. Pada pasien tampak perdarahan

berasal dari bagian posterior karena darah tampak lebih banyak. Pada pemeriksaan fisik terlihat

adanya darah di daerah orofaring yang semakin menguatkan diagnosis perdarahan hidung atau

epistaksis yang berasal dari pendarahan bagian posterior.

Pada pasien juga terdapat faktor-faktor pendukung terjadinya perdarahan. Seperti adanya

hipertensi grade II pada pasien dilihat dari hasil pengukuran tekanan darahnya. Selain itu juga

terdapat faktor pendukung lainnya, yaitu adanya hiperlipidemia pada pasien dilihat dari

pemeriksaan profil lipidnya. Hal ini menambah berat perdarahan pada pasien karena pembuluh

darah menjadi tidak elastis sehingga dapat pula semakin menaikkan tekanan darah pasien.

Diberikan tatalaksana seperti pemasangan tampon belloq pada pasien untuk

menghentikan perdarahan pada bagian posterior sambil diperhatikan adanya aspirasi pada pasien.

Jika perdarahan tidak berhenti maka dapat dirujuk ke dokter spesialis telinga hidung dan

tenggorokan untuk ditangani lebih lanjut.

19

DAFTAR PUSTAKA

1. Silbernagl S, Lang Florian. Teks & Atlas Berwarna Patofisologi. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC; 2003.

2. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan: telinga,

hidung, tenggorok, kepala dan leher. In: Mangunkusumo E, Wardani RS. Epistaksis. 6th

Ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010. p. 155-6.

3. Accessed at http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21283/4/Chapter%20II.pdf

4. Accesed at http://referensiartikelkedokteran.blogspot.com/2010/10/epistaksis-dan-

penatalaksanaannya.html

5. Health / Encyclopedia of Medicine Available

at :http://findarticles.com/p/articles/mi_g2601/is_0002/ai_2601000207/ Accessed 10

November 2011.

6. Clotting time. Available at :http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/clotting+time

Accessed 10 November 2011.

7. Schmaier AH. Laboratory evaluation of hemostatic and thrombotic disorders. In:

Hoffman R, Benz EJ Jr, Shattil SJ, et al, eds. Hoffman Hematology: Basic Principles and

Practice . 5th ed. Philadelphia, Pa: Churchill Livingstone Elsevier; 2008:chap 122.

20