pengalaman perawat pada pertolongan...
TRANSCRIPT
PENGALAMAN PERAWAT PADA PERTOLONGAN PERTAMA
PENATALAKSANAAN EPISTAKSIS MENGGUNAKAN TAMPONADE
EPINEPHRINE DI RUANG INTENSIF CARE UNIT
RUMAH SAKIT PANTI WALUYO SURAKARTA
SKRIPSI
“Untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna mencapai Gelar Sarjana Keperawatan “
Oleh :
Nuri Handayani
NIM. S10032
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
STIKES KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2014
i
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Nuri Handayani
NIM : S10032
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1) Karya tulis saya, skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik (sarjana), baik di STIKes Kusuma Husada
Surakarta maupun perguruan tinggi lain.
2) Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri,
tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing dan masukan dari
Tim Penguji.
3) Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis
atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas
dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang
dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
4) Pernyataan ini saya buat sesungguhnya dan apabila di kumudian hari terdapat
pentimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh
karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di
perguruan tinggi.
Surakarta, Juni 2014
Yang membuat pernyataan,
Nuri Handayani
S.10032
iii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karuniaNya serta
hidayahNya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengalaman
Perawat pada Pertolongan Pertama Penatalaksanaan Epistaksis Menggunakan
Tamponade Epinephrine”. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat
bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Penulis menyadari tanpa adanya
bimbingan dan dukungan maka kurang sempurna penyelesaian skripsi ini. Untuk
itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Dra. Agnes Sri Harti, Msi. selaku Ketua STIKes Kusuma Husada
Surakarta
2. Ibu Wahyu Rima Agustin, S.Kep.,Ns. M.Kep, selaku Pembimbing Utama dan
Ketua Program Studi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
yang telah memberikan banyak masukan dan bimbingan serta arahan dalam
penyusunan skripsi ini.
3. Ibu Ariyani, S.Kep,.Ns. M.Kes, selaku Pembimbing Pendamping yang telah
memberikan banyak masukan, bimbingan serta arahan dalam penyusunan
skripsi ini.
4. Ibu Happy Indri Hapsari, S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku penguji yang telah
memberikan masukan, kritik dan saran saat ujian sidang skripsi.
5. Direktur Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta yang telah memberikan izin
kepada peneliti untuk melakukan penelitian.
iv
6. Bapak Joko, AMD.Kep selaku kepala ruang ICU RS Panti Waluyo Surakarta
yang telah membantu dan mengarahkan peneliti dalam proses penelitian.
7. Seluruh partisipan yang telah berperan dalam penelitian ini dan telah
berkenan untuk menjadi partisipan yang tidak dapat disebutkan satu –
persatu.
8. Seluruh staf pengajar dan akademik Prodi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma
Husada Surakarta yang telah membantu penulis.
9. Bapak dan ibu yang tak pernah berhenti mendoakan penulis, menyediakan
fasilitas dan selalu memberikan motivasi serta dukungan terbesar kepada
penulis.
10. Kakak dan adik- adik tercinta atas doa dan motivasi yang selalu diberikan
kepada penulis.
11. Teman – teman seperjuangan dan seangkatan yang tak pernah berhenti
memberikan semangat, motivasi dan dukungan kepada penulis.
12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu – persatu dalam penyusunan
skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak terlepas dari kekurangan dan kesalahan,
untuk itu penulis mengharapkan kritik, saran dan masukan dari berbagai pihak.
Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat.
Surakarta, Juni 2014
Penulis
v
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... ii
SURAT PERNYATAAN .............................................................................. iii
KATA PENGANTAR .................................................................................. iv
DAFTAR ISI .................................................................................................. vi
DAFTAR TABEL ......................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... x
DAFTAR SKEMA ........................................................................................ xi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xii
ABSTRAK .................................................................................................... xiii
ABSTRAK .................................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah.............................................................. 5
1.3. Tujuan ................................................................................ 6
1.4. Manfaat Penelitian ............................................................ 6
1.5. Keaslian Penelitian ........................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Pengalaman ...................................................... 9
2.2. Pengertian Perawat ............................................................ 9
2.3. Konsep Epistaksis .............................................................. 9
viii
2.3.1. Pengertian ........................................................... 9
2.3.2.
Etiologi ...............................................................
10
2.3.3.
Manifestasi Klinis ...............................................
11
2.3.4.
Anatomi Hidung .................................................
11
2.3.5.
Patofisiologi ........................................................
15
2.3.6.
Penatalaksanaan ..................................................
17
2.3.7.
Pemeriksaan Penunjang ......................................
18
2.4. Tamponade Anterior .......................................................... 19
2.4.1. Indikasi Tampon Anterior ..................................
19
2.5. Konsep Epinephrine...........................................................
20
2.5.1. Pengertian ........................................................... 20
2.5.2.
Indikasi ................................................................
20
2.5.3.
Dosis ....................................................................
20
2.5.4.
Efek Damping ......................................................
20
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Fokus Penelitian .................................................................. 22
3.2
Desain Penelitian .................................................................
22
3.3
Tempat dan Waktu Penelitian .............................................
23
3.4
Populasi dan Sampel ...........................................................
24
3.5
Pengumpulan Data ..............................................................
26
3.5.1. Cara Pengumpulan Data .........................................
27
3.5.2. Alat Pengumpul Data ..............................................
28
3.5.3. Tahap Pengumpul Data ...........................................
28
viii
3.5.4. Keabsahan Data ....................................................... 32
3.6
Analisa Data ........................................................................
34
3.7
Validitas dan Reliabilitas ....................................................
35
3.8
Etika Penelitian ...................................................................
37
DAFTAR PUSTAKA
viii
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel Judul Tabel Halaman
1.1
Keaslian Penelitian
8
ix
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar Judul Gambar Halaman
1 Pembuluh darah di daerah septum nasi 12
2
Pembuluh darah di dinding lateral hidung
13
x
DAFTAR SKEMA
Nomor Skema Judul Skema Halaman
3.1
Fokus Penelitian
22
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : F-1 Usulan topik penelitian Lampiran
2 : F-2 Pengajuan persutujuan judul
Lampiran 3 : F-4 Pengajuan izin studi pendahuluan
Lampiran 4 : Surat ijin studi pendahuluan
Lampiran 5 : F-5 Lembar Oponent
Lampiran 6 : F-6 Lembar Audience
Lampiran 7 : F-7 Pengajuan Ijin Penelitian
Lampiran 8 : Surat Ijin Penelitian
Lampiran 9 : Surat pernyataan selesai penelitian
Lampiran 10 : Persetujuan menjadi responden
Lampiran 11 : Pedoman wawancara
Lampiran 12 : Transkip wawancara
Lampiran 13 : Kategori dan tema
Lampiran 14 : Lembar konsultasi
Lampiran 15 : Jadwal penelitian
xii
BACHELOR DEGREE PROGRAM IN NURSING SCIENCE
KUSUMA HUSADA SCHOOL OF HEALTH OF SURAKARTA
2014
Nuri Handayani
EXPERIENCES OF NURSES IN THE FIRST AIDS FOR EPISTAXIS
MANAGEMENT BY USING EPINEPHRINE TAMPONADE AT THE
INTENSIVE CARE UNIT OF PANTI WALUYO HOSPITAL OF SURAKARTA
ABSTRACT
Epistaxis is estimated to occur in 60% of people in the world during their life,
and 6% of them are accompanied with nose bleeding and require medical treatments. The
objective of this research is to investigate the experiences of nurses in the first aids for
epistaxis management by using the epinephrine tamponade.
This research used qualitative phenomenological research method. It was
conducted at the ICU of Panti Waluyo Hospital of Surakarta.The population of the
research was the nurses posted in the ICU whose the tenure is at least two years or who
have ever administered epinephrine tamponade. The samples of the research consisted of
three informants. They were taken by using the purposive sampling technique. The data
of the research were gathered through in-depth.
The result of the research reveals five themes, namely: experience to care,
definition of epistaxis, cause of epistaxis, and function of epinephrine tamponade. Based
on the result of the research, conclusions are drawn as follows. The experiences of nurses
at the ICU are varied, namely: when the clients are recovered and discharged, the causes
found are interesting. Epistaxis is the rupture of blood vessels in the nose. The causes of
epistaxis are hypertension, polyp disorder, anterior and posterior trauma, and facial
trauma existence. The first aids administered to the clients when having epistaxis are
gauze tamponade and epinephrine tamponade. The drugs usually administered to the
clients in addition to epinephrine are Vitamin K and kalnex. Their advantages are that
they are cheap and always available at the ICU.
Keywords: Experiences, nurses, epistaxis, and epinephrine tamponade
References: 18 (1997 -2013)
xiv
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA
2014
Nuri Handayani
Pengalaman Perawat pada Pertolongan Pertama Penatalaksanaan Epistaksis Menggunakan Tamponade Epinephrine di Ruang Intensif Care Unit
Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta
Abstrak
Epistaksis diperkirakan terjadi pada 60% dari orang di seluruh dunia selama
hidup mereka dan sekitar 6% dari mereka dengan mimisan memerlukan penanganan
medis. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengalaman perawat
pada pertolongan pertama penatalaksanaan epistaksis menggunakan tamponade
epinephrine.
Populasi penelitian ini adalah perawat ICU dengan masa jabatan 2 tahun atau
dan pernah melakukan tamponade epinephrine. Sampel penelitian ini dengan melibatkan
3 informan. Cara pengambilan sampel adalah menggunakan purposive sampling.
Pengumpulan data dilakukan dengan indepth interview. Metode penelitian adalah
kualitatif dengan fenomenologi. Tempat penelitian adalah di ICU Rumah Sakit Panti
Waluyo Surakarta. Hasil penelitian menunjukkan lima tema yaitu pengalaman perawat,
pengertian epistaksis, penyebab epistaksis, penatalaksanaan epistaksis, fungsi tamponade
epinephrine.
Kesimpulan dari penelitian ini, pengalaman perawat di ruang ICU yang beragam
yaitu apabila pasien pulang dengan sembuh, kasus yang ditemukan menarik. Epistaksis
adalah pecahnya pembuluh darah di hidung serta disebut juga dengan mimisan. Penyebab
epistaksis adalah hipertensi, gangguan polip, trauma anterior maupun posterior dan
adanya trauma wajah. Pertolongan pertama pada pada saat terjadi epistaksis yaitu dengan
tampon kassa dan tampon epinephrine. Sedangkan obat obat yang biasa digunakan selain
tampon menggunakan epinephrine adalah vitamin K dan kalnex. Keuntungannya adalah
harga ekonomis dan tersedia di ruang ICU.
Kata Kunci : pengalaman, perawat, epistaksis, tamponade epinephrine
Daftar Pustaka : 18 (1997 -2013)
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Epistaksis berasal dari bahasa Yunani epistazo yang berarti hidung
berdarah. Penanganan epistaksis dengan menekan ala nasi telah
diperkenalkan sejak zaman Hipokrates (Nwaorgu dalam Budiman 2012).
Epistaksis atau perdarahan hidung (mimisan) adalah perdarahan akut yang
berasal dari cuping hidung, lubang hidung atau nasofaring. Epitaksis sering
ditemukan sehari-hari dan mungkin 90% dapat berhenti dengan sendirinya
atau dengan tindakan sederhana yang dilakukan oleh pasien itu dengan jalan
menekan hidungnya (Ayu&Indah 2013). Epistaksis atau perdarahan dari
hidung merupakan kegawatdaruratan yang umum ditemukan di bagian
telinga hidung dan tenggorokan (Wormald dikutip dalam Budiman 2011).
Sebagian besar kasus epistaksis adalah epistaksis anterior 90 - 95%.
Epistaksis anterior ini biasa terjadi spontan atau disebabkan trauma pada
septum nasi (Wormald dikutip dalam Budiman 2011). Studi retrospektif, 45%
dari pasien rawat inap untuk epistaksis memiliki gangguan sistemik dengan
potensi untuk berkontribusi mimisan, termasuk kelainan genetik seperti
hemofilia dan penggunaan obat antikoagulan, atau kanker hematologi.
Penyebab epistaksis dapat berupa penyebab lokal maupun sistemik. Penyebab
lokal termasuk epistaksis idiopatik, trauma, inflamasi, neoplasia, vaskular,
1
2
iatrogenik, kelainan struktural, dan obat-obatan seperti semprot hidung.
Penyebab sistemik berupa kelainan hematologi, lingkungan (temperatur,
kelembaban dan ketinggian), obat-obatan (contoh antikoagulan), gagal organ
(uremia dan gagal hati), serta penyebab lain misalnya hipertensi (Pope dalam
Bidasari 2007).
Cave Michael (1871), James Little (1879) dan Wilhelm Kiesselbach
merupakan ahli-ahli yang pertama kali mengidentifikasi cabang-cabang
pembuluh darah yang berada di bagian anterior septum nasi sebagai sumber
epistaksis (Nwaorgu dalam Yolazenia2012). Epistaksis diperkirakan terjadi
pada 60% dari orang di seluruh dunia selama hidup mereka dan sekitar 6%
dari mereka dengan mimisan memerlukan penanganan medis (WHO 2004).
Suatu penelitian cross-sectional terhadap 1218 anak usia 11-14 tahun
melaporkan bahwa 9% mengalami episode epistaksis sering. Diagnosis dan
penanganan epistaksis bergantung pada lokasi dan penyebab perdarahan.
Kebanyakan kasus epistaksis (80%-90%) merupakan idiopatik (Sari Pediatrik
dalam Bidasari 2007). Penanganan pasien epistaksis penting untuk menggali
riwayat penyakit pasien. Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan
setiap masalah kesehatan yang mendasari epistaksis. Pemeriksaan fisik
terutama difokuskan untuk mencari sumber perdarahan.
(Wormald dikutip dalam Budiman 2011)
Prinsip utama penanggulangan epistaksis meliputi menghentikan
perdarahan, mencegah komplikasi, mencegah berulangnya epistaksis.
Pengobatan disesuaikan dengan keadaan penderita, apakah dalam keadaan
3
akut atau tidak. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam
posisi duduk kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok.
Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat
dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping
hidung ditekan ke arah septum selama beberapa menit. Epistaksis anterior,
jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas, dilakukan kaustik dengan
larutan nitras argenti 20%-30%, asam trikloro asetat 10%, elektrokauter, atau
dengan laser. Penggunaan dengan kaustik perdarahan anterior masih terus
berlangsung, diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain
kasa yang diberi vaselin yang dicampur betadin atau zat antibiotika.
Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau
tampon Bellocq. Pengganti tampon Bellocq dapat dipakai kateter Foley
dengan balon. Ligasi arteri dilakukan pada epistaksis berat dan berulang yang
tidak dapat diatasi dengan pemasangan tampon posterior (Gifford dikutip
dalam Budiman2011).
Penanganan epistaksis pada pasien epistaksis berulang dengan
rinosinusitis kronis, spina pada septum dan telangiektasis pada seorang
pasien wanita umur 40 tahun awalnya dengan memencet hidung (ala nasi ke
septum) selama 10 menit, fungsinya sebagai tampon pada pembuluh darah
pada bagian anterior septum. Usaha ini awalnya berhasil, tapi sekitar 2 jam
kemudian pasien kembali mengeluarkan darah. Evaluasi sumber perdarahan
tidak jelas terlihat, dan pasien dipasang tampon anterior pada hidung kiri,
perdarahan berhenti. Hal ini menunjukkan tampon anterior cukup efektif
4
untuk menghentikan perdarahan. Hussain dkk menemukan tampon anterior
adalah prosedur yang efektif untuk menghentikan perdarahan pada 98,2%
kasus. Tampon anterior harus dilapisi dengan antibiotika topikal, dan pasien
juga diberi antibiotic sistemik selain untuk mencegah infeksi juga untuk
mencegah toxic shock syndrome. Tampon anterior dipertahankan selama 2-3
hari sebelum dibuka, tergantung dari pertimbangan dokter, respon pasien,
factor risiko, nilai koagulopati, dan beratnya perdarahan pada awalnya.
Pembukaan tampon pasien ini dilakukan pada hari ketiga. Sebelum
pembukaan tampon pasien mengeluh adanya perdarahan yang mengalir
ketenggorok, hal ini menunjukkan adanya kemungkinan sumber perdarahan
di belakang tampon yang tidak tercapai oleh tampon tersebut, dimana kita
temukan adanya pelebaran pembuluh darah di belakang konka inferior
(Mangunkusumo dikutip dalam Budiman 2011).
Hasil wawancara yang dilakukan pada saat studi pendahuluan tanggal
12 Desember 2013 dengan Kepala Ruang ICU RS Panti Waluyo, bahwa
kurang lebih 5 dari 13 orang perawat dengan masa kerja lebih dari 2 tahun
pernah melakukan tamponade dengan menggunakan epinephrine pada pasien
epistaksis berulang. Pendapat salah satu perawat di ruang ICU Rumah Sakit
Panti Waluyo Surakarta, tamponade epinephrine dinilai sangat efektif pada
saat pertolongan pertama pada pasien yang mengalami epistaksis berulang
dan jika digunakan untuk penatalaksanaan berlanjut dinilai kurang efektif.
Peran perawat pada saat penatalaksanaan epistaksis adalah menghentikan
perdarahan pada saat pertolongan pertama dan untuk penatalaksanaan lebih
5
lanjut ditangani oleh dokter. Pasien yang pernah dijumpai pada pasien
epistaksis dan dilakukan tamponade epinephrine rata – rata dengan trauma di
wajah. Perawat di Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta menggunakan
tamponade epineprine untuk mengatasi perdarahan berulang dengan alasan
epinephrine sebagai vasokontriksi pada pembuluh darah, dan juga dengan
harga yang ekonomis.
Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini karena setiap tahunnya
perawat di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta menangani kasus
epistaksis yang disebabkan oleh berbagai trauma disekitar wajah atau di
kepala. Hasil wawancara kasus epistaksis di ruang ICU rumah Sakit Panti
Waluyo Surakarta tercatat sekitar 5-6 % setiap tahunnya, dari berbagai
kasus yang ada. Fenomena tersebut melatarbelakangi peneliti untuk meneliti
pengalaman perawat pada pertolongan pertama penatalaksanaan epistaksis
menggunakan tamponade epinephrine.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan hasil wawancara pada saat melakukan studi pendahuluan
didapatkan bahwa perawat ICU RS Panti Waluyo Surakarta pernah melakukan
tamponade epinephrine saat penatalaksanaan epistaksis, sehingga penulis
mengambil judul “Pengalaman Perawat pada Pertolongan Pertama
Penatalaksanaan Epistaksis Menggunakan Tamponade Epinephrine “.
6
1.3. TujuanPenelitian
1.3.1 Tujuan umum
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
pengalaman perawat pada pertolongan pertama penatalaksanaan
epistaksis menggunakan tamponade epinephrine.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :
1) Mengetahui pengalaman perawat dan tindakan pertolongan
pertama penatalaksanaan epistaksis menggunakan tamponade
epinephrine.
2) Teridentifikasi tingkat keefektifan dari tamponade epinephrine
dalam penatalaksanaan epistaksis.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :
1.4.1 Rumah Sakit/ masyarakat
1) Sebagai bahan masukan bagi tenaga kesehatan khususnya perawat
ICU agar dapat mengaplikasikan dalam pertolongan pertama
mengatasi epistaksis berulang serta terus meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilan yang kompeten di bidangnya.
2) Sebagai bahan bacaan dan menambah pengetahuan bagi
masyarakat tentang pentingnya mencegah perdarahan berulang
pada epistaksis.
7
1.4.2 Institusi Pendidikan
1) Dapat dijadikan kepustakaan mengenai pengalaman perawat pada
pertolongan pertama penatalaksanaan epistaksis menggunakan
tamponade epinephrine.
2) Tersedianya informasi bagi pengajar tentang pengalaman perawat
pada pertolongan pertama penatalaksanaan epistaksis menggunakan
tamponade epinephrine agar dapat dijadikan bahan untuk
pembelajaran kegawatdaruratan.
1.4.3 Peneliti lain
Peneliti lain dapat mengembangkan penelitan ini di lain tempat
1.4.4 Peneliti
Bertambahnya informasi dan pengalaman bagi peneliti di bidang
kedaruratan
1.5. Keaslian Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada penatalaksanaan epistaksis berulang
dengan menggunakan tamponade epinephrine.
8
Tabel 1.1KeaslianPenelitian
Resume Penelitian Sejenis yang Pernah dilakukan
Nama
Peneliti
Judul
Penelitian
Metode Hasil
Penelitian
Penelitian
Sekarang
Budiman J Bestari,
Yolazenia
( 2012 )
Pengukuran Sumbatan
Hidung pada
Deviasi Septum
Nasi
Deskriptif korelasi
dengan
pendekatan
cross
sectional
study.
Gejala sumbatan
hidung pada
deviasi septum
dapat
dievaluasi
dengan
pemeriksaan
tambahan
meliputi
pemeriksaan
dengan spatula
lidah, nasal
inspiratory
flow metry,
nasal
expiratory flow
metry,
rinomanometri
, dan rinometri
akustik.
-
Nuri Handayani
( 2014 )
Pengalaman Perawat Pada
Pertolongan
Pertama
Penatalaksanaan
Epistaksis
Menggunakan
Tamponade
Epinephrine
Kualitatif dengan
pendekatan
fenomenologi
- Pengalaman Perawat
Pada
Pertolongan
Pertama
Penatalaksa
naan
Epistaksis
Menggunak
an
Tamponade
Epinephrine
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. PENGERTIAN PENGALAMAN
Pengalaman kata dasarnya ”alami” yang artinya mengalami,
melakoni, menempuh, menemui, mengarungi, menghadapi, menyeberangi,
menanggung, mendapat, menyelami, mengenyam, menikmati, dan
merasakan (Endarmoko, 2006).
2.2. PENGERTIAN PERAWAT
Undang-undang Kesehatan No 23, Tahun 1992 menyebutkan
bahwa perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan
kewenangan dalam melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu
yang dimiliki, yang diperoleh melalui pendidikan keperawatan.
2.3. KONSEP EPISTAKSIS
2.3.1. Pengertian
Epistaksis atau perdarahan hidung adalah jenis perdarahan
spontan patologis yang sering. Biasanya terjadi sebagai erosi spontan
salah satu pembuluh superfisial mukosa dekat dengan tepi septum
hidung ( Callaham 1997 )
9
10
2.3.2. Etiologi
Epitaksis atau perdarahan hidung dapat terjadi akibat sebab
lokal dan umum atau (kelainan sistemik ).
Etiologi lokal epistaksis dapat berupa:
a. Idiopatik ( 85 % kasus ), biasanya merupakan epistaksis
ringan dan berulang pada anak dan remaja.
b. Trauma epistaksis dapat terjadi setelah membuang ingus
dengan kuat, mengorek hidung, fraktur hidung atau trauma
maksilofacial
c. Iritasi , epistaksis dapat timbul akibat iritasi gas yang
merangsang, zat kimia udara panas pada mukosa hidung.
d. Benda asing dan rinolit, dapat menyebabkan epistaksis
ringan unilateral disertai ingus yang berbau busuk.
Etiologi sistemik epistaksis antara lain:
a. Penyakit kardiovaskuler, misalnya hipertensi dan kelainan
pembuluh darah, seperti ateroklerosis, sirosis hepatis, sifilis
dan nefritis kronis.
b. Kelainan darah, misalnya leukemia, trombositopenia, dan
hemofilia.
c. Infeksi, biasanya infeksi akut pada demam berdarah,
influenza, mobili, demam tifoid.
11
d. Kelainan endokrin, misalnya kehamilan menarche dan
menopause.
( Soepardi et al. 2000 )
2.3.3. Manifestasi Klinik Epistaksis
1) Darah yang berwarna merah cerah yang keluar dari lubang
hidung, berasal dari hidung anterior
2) Darah yang berwarna merah gelap atau cerah dari bagian
belakang tenggorokan, berasal dari hidung posterior (umumnya
disalah artikan sebagai hemoptisis karena adanya ekspektorasi)
3) Pusing, dan sedikit sulit bernapas
4) Perembesan dibelakang septum nasal, ditelinga tengah dan di
sudut mata
5) Hemoragi parah (berlangsung lebih dari 10 menit setelah
ditekan) : hipotensi, denyut nadi cepat, dispnea, dan pucat, darah
yang hilang bisa mencapai 1 L/jam pada orang dewasa.
2.3.4. Anatomi Hidung
Hidung terbagi 3 bagian, yaitu bagian luar, septum, dan bagian
dalam. Hidung luar berbentuk piramid, terdiri dari pangkal hidung
(bridge), batang hidung (dorsum nasi), kolumela, dan lubang hidung
(nares anterior). Septum terdiri dari tulang dan tulang rawan. Tulang
terdiri dari krista nasalis os maxilla, krista nasalin os palatum,
vomer, dan lamina prependikularis os etmoid. Bagian tulang rawan
terdiri dari tulang rawan septum dan kolumela. Sedangkan hidung
12
bagian dalam terdiri dari konka, meatus, dan vestibulum. Konka
dibagi menjadi 4 bagian, yaitu konka suprema, superior, media, dan
inferior. Meatus terbagi menjadi 3, yaitu meatus superior, media,
dan inferior.
Gambar 1. Pembuluh darah di daerah septum nasi.
13
Gambar 2. Pembuluh darah di dinding lateral hidung.
( Schlosser dalam Budiman 2011 )
2.3.5. Perdarahan Hidung
Perdarahan pada hidung terdiri dari perdarahan bagian atas,
bawah, dan depan. Bagian depan dipendarahi oleh arteri etmoidalis
anterior dan arteri etmoidalis posterior. Arteri tersebut merupakan
cabang dari arteri oftalmika yang berasal dari arteri carotis interna.
Bagian bawah hidung dipendarahi oleh arteri palatina mayor dan
arteri sfenopalatina, merupakan cabang dari arteri maksilaris
interna. Bagian depan dipendarahi oleh cabang-cabang dari arteri
fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari
cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior, arteri
14
labialis superior, dan arteri palatine mayor, yang disebut sebagai
pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi
sumber epistaksis. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama
dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena-vena di hidung
tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi
mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.
2.3.6. Persarafan Hidung
Persarafan hidung bagian depan dan atas oleh persarafan
sensoris dari nervus etmoidalis anterior, cabang dari nervus
nasosiliaris yang berasal dari nervus oftalmikus (n. V1). Bagian
hidung lain dipersarafi juga secara sensoris oleh nervus maksilaris
melalui ganglion palatina.
Ganglion sfenofalatina, slain memberikan persarafan
sensoris, juga membaerikan persarafan vasomotor atau otonam
untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf
sensoris dari nervus maksila (N. V-2), serabut parasimpatis dari
nervus petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari
nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di
belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.
15
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. saraf ini
turun melalui lamina kribrsa dari permukaan bawah bulbus
olfaltorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu
pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
( Schlosser dalam Budiman 2011 )
2.3.7. Patofisiologi
Hidung kaya akan vaskularisasi yang berasal dari arteri karotis
interna dan arteri karotis eksterna. Arteri karotis eksterna
menyuplai darah ke hidung melalui percabangannya arteri fasialis
dan arteri maksilaris. Arteri labialis superior merupakan salah satu
cabang terminal dari arteri fasialis. Arteri ini memberikan
vaskularisasi ke nasal arterior dan septum anterior sampai ke
percabangan septum. Arteri maksilaris interna masuk ke dalam fossa
pterigomaksilaris dan memberikan enam percabangan : arteri
alveolaris posterior superior, arteri palatina desenden, arteri
infraorbitalis, arteri sfenopalatina, pterygoid canal dan arteri
pharyngeal. Arteri palatina desenden turun melalui kanalis palatinus
mayor dan menyuplai dinding nasal lateral, kemudian kembali ke
dalam hidung melalui percabangan di foramen incisivus untuk
menyuplai darah ke septum anterior. Arteri karotis interna
memberikan vaskularisasi ke hidung. Arteri ini masuk ke dalam
tulang orbita melalui fisura orbitalis superior dan memberikan
beberapa percabangan. Arteri etmoidalis anterior meninggalkan
16
orbita melalui foramen etmoidalis anterior. Arteri etmoidalis
posterior keluar dari rongga orbita, masuk ke foramen etmoidalis
posterior, pada lokasi 2-9 mm anterior dari kanalis optikus. Kedua
arteri ini menyilang os ethmoid dan memasuki fossa kranial anterior,
lalu turun ke cavum nasi melalui lamina cribriformis, masuk ke
percabangan lateral dan untuk menyuplai darah ke dinding nasal
lateral dan septum. Pleksus kiesselbach yang dikenal dengan “little
area” berada diseptum kartilagenous anterior dan merupakan lokasi
yang paling sering terjadi epistaksis anterior. Sebagian besar arteri
yang memperdarahi septum beranastomosis di area ini. Sebagian
besar epistaksis (95%) terjadi di “little area”. Bagian septum nasi
anterior inferior merupakan area yang berhubungan langsung
dengan udara, hal ini menyebabkan mudah terbentuknya krusta,
fisura dan retak karena trauma pada pembuluh darah tersebut.
Walaupun hanya sebuah aktifitas normal dilakukan seperti
menggosok-gosok hidung dengan keras, tetapi hal ini dapat
menyebabkan terjadinya trauma ringan pada pembuluh darah
sehingga terjadi ruptur dan perdarahan. Hal ini terutama terjadi pada
membran mukosa yang sudah terlebih dahulu mengalami inflamasi
akibat dari infeksi saluran pernafasan atas, alergi atau sinusitis.
17
2.3.8. Penatalaksanaan
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu
menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah
berulangnya epistaksis. Kalau ada syok, perbaiki dulu keadaan
umum pasien.
a. Menghentikan perdarahan
Sumber perdarahan dicari dengan bantuan pengisap untuk
membersihkan hidung dan alat bekuan darah kemudian tampon
kapas yang telah dibasahi adrenalin 1/10.000 dan lidocain atau
pantocain 2% dimasukkan kedalam rongga hidung. Tampon
dibiarkan selama 3-5 menit. Dengan cara ini dapatlah ditentukan
apakah sumber perdarahan letaknya dibagian anterior atau di
bagian posterior( Soepardi 2002 ).
a). Perdarahan anterior
Tindakan sederhana untuk mengatasi perdarahan anterior
adalah dengan memasukkan tampon yang telah dibasahi
dengan adrenalin, kalau perlu dengan obat anestesi lokal
kedalam rongga hidung kemudian menekan ala nasi kearah
septum selama 3-5 menit. Setelah tampon dikeluarkan tepat
asal perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti 20 –
30 % atau dengan asam triklosetat 10 %. Dapat juga dipakai
elektrokauter untuk kaustik itu.
18
b). Perdarahan posterior
Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan
pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq.
Tampon ini harus tepat menutup koana. Pada tampon Bellocq
terdapat 3 buah benang, yaitu 2 buah pada satu sisi dan
sebuah benang di sisi lainnya. (Irma & Ayu Intan 2013)
b. Mencegah komplikasi
Komplikasi dapat terjadi akibat langsung dari epistaksis sendiri
sebagai akibat dari usaha penanggulangan epistaksis. Sebagai
akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia.
Pemasangan tampon dapat menyebabkan sinusitis, otitis media
dan bahkan septikemia. (Soepardi 2002)
2.3.9. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan :
1). pemeriksaan darah tepi lengkap
2). fungsi hemostasis
3). uji faal hati dan faal ginjal.
4). Pemeriksaan foto hidung, sinus paranasal, dan nasofaring.
5). CT scan dan MRI dapat diindikasikan untuk menentukan adanya
rinosinusitis, benda asing dan neoplasma.
19
Jika diperlukan pemeriksaan radiologi hidung, sinus paranasal dan
nasofaring dapat dilakukan setelah keadaan akut dapat
diatasi. (Soepardi et al.2000 )
2.4. TAMPONADE ANTERIOR
2.4.1. Indikasi Tampon Anterior
Jika sumber perdarahan anterior tidak dapat diidentifikasi atau jika
perdarahan menetap meskipun sudah di kauterisasi, pasang tampon
anterior
a. Tampon hidung Merocel dapat digunakan. Lumasi ujung tampon
dengan lidokain atau antibiotik topikal dan masukkan alat
sepanjang dasar rongga hidung. Perluasan dan tampon peradahan
akan terjadi dengan dimasukkannya 10-20 mL salin.
b. Kasa xerofom selebar ½ inci ( diperlukan strip 72 inci ) juga
dapat digunakan, menggunakan forsceps, jepit kasa sepanjang 4
atau 5 inci dan masukkan ke dalam rongga hidung sejauh
mungkin, kemudian pegang kassa lain 4-5 inci dan buat lapisan
di puncak. (Shah 2013)
20
2.5. KONSEP EPINEPRHINE
2.5.1. Pengertian
Epinephrine adalah obat yang digunakan untuk penyuntikan
pembuluh darah dalam pengobatan hipersensitivitas akut. Aksi
epinephrine menyerupai pengaruh stimulasi syaraf adrenergic.
2.5.2. Indikasi:
Digunakan untuk mengobati anaphylaxis dan sepsis.
2.5.3. Dosis:
1. 1-10 mcg/menit infus intra vena
2. Tetapkan kadarnya untuk mengoptimalkan respon.
2.5.4. Efek Samping:
1. Efek Central Venous (palpitasi, tachycardia, kedinginan,
hipertensi, hipotensi); Efek Central Nervus System ( kecemasan,
kelelahan, gemetar, lemah, kepeningan, pusing ); Efek lainnya
(berkeringat, hipersalivasi)
2. Overdosis atau pada subjek yang rentan: Cardiac arrhythmias,
peningkatan BP (blood pressure) yang tajam.
21
2.5.5. Instruksi Khusus:
1. Hipovolemia, metabolic acidosis dan hipoxia atau hipercapnia
harus ditangani terlebih dahulu sebelum pemberian dilakukan.
2. Hindari pada pasien dengan pheochromocytoma.
3. Gunakan dengan hati-hati pada pasien yang menderita
arrhythmias atau tachycardia, Printzmetal's angina, gangguan
thromboembolic, pasien dengan riwayat occlusive vascular
disease, hipertensi, pada pasien yang lebih tua dan pasien
pengidap DM ( Diabetes Mellitus ) (Neal 2006).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Fokus Penelitian
Pengalaman perawat
Pertolongan pertama
pada penatalaksanaan
epistaksis
menggunakan
tamponade epinephrine
3.2 Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan fenomenologis. Saryono & Anggraeni (2010) penelitian kualitatif
efektif digunakan untuk memperoleh informasi yang spesifik mengenali nilai,
opini, perilaku dan konteks sosial menurut keterangan populasi. Sedangkan
pendekatan fenomenologis merupakan pendekatan yang berusaha untuk
memahami makna dari berbagai peristiwa dan interaksi manusia didalam
situasinya yang khusus (Sutopo 2006). Fenomenologi adalah menggambarkan
riwayat hidup seseorang dengan cara menguraikan arti dan makna hidup serta
pengalaman suatu peristiwa yang dialaminya. Penelitian ini dilakukan dalam
situasi penelitian yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai
atau memahami fenomena yang diteliti. Dengan demikian cara fenomenologis
menekankan pada berbagai aspek subyektif dari perilaku manusia supaya
22
23
dapat memahami tentang bagaimana dan apa makna yang mereka bentuk dari
berbagai peristiwa di dalam kehidupan informan sehari – harinya (Sutopo
2006).
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengeksplorasi
pertolongan pertama dalam penatalaksanaan epistaksis dengan mengunakan
tamponade epinephrine di ruang ICU RS Panti Waluyo Surakarta sesuai
dengan pengalaman perawat. Pendekatan ini juga memberikan kesempatan
kepada perawat ICU untuk mengungkapkan pengalaman mereka dalam
pertolongan pertama pada epistaksis.
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat dan waktu penelitian sangat berpengaruh terhadap hasil yang
diperoleh dalam penelitian. Pemilihan tempat penelitian harus disesuaikan
dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian, sehingga tempat
ditentukan benar-benar menggambarkan kondisi informan yang
sesungguhnya. Tempat penelitian adalah tempat interaksi informan dengan
lingkungannya yang akan membangun pengalaman hidupnya (Saryono &
Anggraeni 2010).
1.5.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Ruang ICU RS Panti Waluyo Surakarta
terhadap perawat dan telah memenuhi kriteria penelitian yang telah
ditetapkan oleh peneliti. Alasan dilakukan penelitian ini dikarenakan
belum pernah dilakukan penelitian serupa mengenai pengalaman
24
perawat dalam pertolongan pertama penatalaksanaan epistaksis
menggunakan tamponade epinephrine. Perawat yang pernah
melakukan tamponade adalah perawat dengan masa jabatan 2 tahun
atau lebih sesuai hasil studi pendahuluan, sehingga hal ini sangat
membantu peneliti untuk mendapatkan informan yang sesuai.
1.5.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam rentang waktu 1 bulan, dimulai pada
bulan Februari – bulan Maret 2014.
3.4 Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian adalah setiap subyek (misalnya manusia,
pasien) yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam 2011).
Sampel terdiri dari bagian populasi terjangkau yang dapat dipergunakan
sebagai subyek penelitian melalui purposive sampling. Purposive sampling
adalah proses menyeleksi porsi dari populasi yang dapat mewakili sampel
yang ada (Nursalam 2011). Saryono & Anggraeni (2010) konsep sampel
dalam penelitian kualitatif berkaitan dengan bagaimana memilih informan
atau situasi sosial tertentu yang dapat memberikan informasi yang adekuat dan
terpercaya mengenai elemen-elemen yang ada yang akan diteliti. Penelitian
fenomenologi sampel yang diambil adalah sampel yang pernah mengalami
substansi yang akan diteliti, yang artinya sampel tersebut pernah mengalami
sesuatu hal yang akan diteliti oleh peneliti. Penelitian kualitatif sampel
diartikan sebagai partisipan / informan.
25
Partisipan dalam penelitian ini adalah perawat yang pernah melakukan
tamponade epinephrine dalam penatalaksanaan epistaksis. Pengambilan dan
rekrutmen partisipan dilakukan dengan cara purposive sampling, yang mana
penelitian mendasarkan pada landasan kaitan teori yang digunakan,
keingintahuan pribadi, dan karakteristik empiris yang dihadapi.
Kecenderungan peneliti untuk memilih informasinya berdasarkan posisi
dengan akses terentu yang dianggap memiliki informasi yang berkaitan
dengan permasalahannya secara mendalam dan dapat dipercaya menjadi
sumber data yang akurat (Sutopo 2006). Fokus penelitian ini adalah perawat
ICU dengan masa jabatan 2 tahun atau dan pernah melakukan tamponade
epinephrine. Partisipan yang terpilih untuk mengikuti penelitian adalah
individu yang memiliki kriteria sebagai berikut :
1) Perawat di Ruang ICU RS Panti Waluyo Surakarta.
2) Pernah melakukan tindakan tamponade epinephrine dalam
penatalaksanaan epistaksis.
3) Masa jabatan 2 tahun atau lebih
Penentuan partisipan penelitian berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertama
karena penelitian ini berbentuk penggambaran terhadap pengalaman, sampel
penelitian yang tidak terlalu besar akan sangat mendukung kedalaman hasil
penelitian; kedua sampel penelitian dipilih secara purposive sampling sesuai
dengan tujuan penelitian dan berdasarkan parameter penarikan partisipan yang
terdiri dari latar, perilaku, peristiwa dan proses; ketiga penentuan jumlah
26
partisipan dianggap telah memadai pada saat informasi yang didapat telah
mencapai saturasi ( Saryono & Anggraeni 2010 ).
Perekrutan partisipan dimulai dengan mengidentifikasi nama – nama
partisipan yang didapatkan dengan wawancara langsung. Pendapat Saryono &
Anggraeni (2010) bahwa fokus penelitian kualitatif adalah pada kedalaman
dan proses sehingga pada penelitian ini hanya melibatkan jumlah partisipan
yang sedikit ( sebanyak 5 – 8 orang ). Jumlah sampel yang relatif kecil pada
umumnya digunakan pada suatu penelitian kualitatif untuk mengeksplor atau
menggali pengalaman yang diungkapkan sesuai perasaan subyek. Pertemuan
dengan setiap partisipan dilakukan secara bertahap. Jumlah partisipan dalam
penelitian ini adalah 3 orang, karena 3 dari 12 perawat ICU yang memenuhi
sesuai dengan kriteria yang telah dibuat dan jawaban dari ketiga partisipan
tersebut sudah mencapai saturasi.
3.5. Pengumpulan Data
Saryono & Anggraeni (2010) dalam proses pengumpulan data penelitian
kualitatif, manusia berfungsi sebagai instrumen utama penelitian. Meskipun
demikian, pada pelaksanaannya peneliti dibantu oleh pedoman
pengumpulan data.
27
3.5.1 Cara pengumpulan data
Dalam penelitian kualitatif terdapat banyak cara yang dipakai untuk
mengumpulkan data, cara pengumpulan data dalam penelitian ini
adalah sesuai dengan pedoman menurut Saryono & Anggraeni (2010) :
1) Wawancara
Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap
informasi terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh
sebelumnya. Tehnik wawancara yang digunakan dalam penelitian
ini adalah wawancara mendalam (In-depth interview). Wawancara
mendalam (In-depth interview) adalah proses memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil
bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang
yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman dan
informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama.
2) Dokumen
Sejumlah besar data tersimpan dalam bahan yang berbentuk
dokumentasi. Penelitian ini mengambil sumber data dari dokumen
SOP ICU yang bertujuan untuk mengetahui standar
penatalaksanaan epistaksis.
3). Observasi
Sutopo (2006) observasi dibagi menjadi dua yaitu observasi
tak berperan dan observasi berperan. Observasi berperan meliputi
28
observasi berperan pasif, observasi berperan aktif, dan observasi
berperan penuh (Sutopo 2006).
Pada penelitian ini pengolahan data termasuk kedalam
observasi berperan penuh. Jenis observasi ini diartikan bahwa
peneliti memang memiliki peran dalam lokasi studinya, sehingga
benar-benar terlibat dalam suatu kegiatan yang ditelitinya (Sutopo
2006).
Observasi dilakukan untuk mengetahui dan mendapatkan
data mengenai hal – hal yang dapat dinilai secara obyektif dari
perawat, namun observasi bisa dilakukan ketika perawat menemui
kasus epistaksis.
3.5.2 Alat Pengumpul Data
Alat pengumpul data penelitian terdiri dari :
1) Alat tulis.
2) Lembar catatan lapangan yang meliputi: nama, umur, alamat dan
lama bekerja.
3) Lembar transkrip wawanca dan pertanyaan.
4) Tape recorder atau rekam suara
29
3.5.3 Tahap Pengumpulan Data
1) Tahap Orientasi
Pengumpulan data biodata segera dilakukan setelah peneliti
memperoleh izin dari Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta.
Setelah menentukan partisipan yang sesuai dengan kriteria
penelitian dan mendiskusikannya dengan kepala ruang ICU
Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta. Kemudian peneliti bertemu
langsung dengan partisipan sesuai dengan jadwal wawancara yang
telah disepakati atau menghubungi lewat telepon untuk
menjelaskan tujuan penelitian, manfaat penelitian, prosedur
penelitian, hak – hak partisipan serta peran partisipan dalam
penelitian. Setelah membina hubungan saling percaya, kemudian
peneliti menanyakan kesediaan partisipan untuk menjadi
partisipan dalam penelitian ini. Jika partisipan bersedia menjadi
partisipan dalam penelitian ini, selanjutnya peneliti membuat
perjanjian tempat dan waktu dilakukannya wawancara. Partisipan
/ informan menandatangani lembar persetujuan (informed consent)
sebagai tanda bahwa partisipan bersedia menjadi informan dalam
penelitian ini.
30
2) Tahap Pelaksanaan
Setelah peneliti membuat perjanjian dengan partisipan dan
partisipan bersedia untuk menjadi partisipan dalam penelitian ini,
tindakan selanjutnya adalah wawancara mendalam dengan salah
satu partisipan dan melakukan ujicoba penelitian pada partisipan
tersebut. Ujicoba dilakukan setelah peneliti menghubungi
partisipan dan melakukan kontrak waktu serta tempat. Peneliti
memberikan pertanyaan kepada responden sesuai dengan
pedoman wawancara yang telah dibuat pada saat persiapan,
pertanyaan dapat berkembang sesuai dengan jawaban partisipan.
Setelah wawancara selesai, peneliti segera melakukan transkripsi
hasil wawancara dan melakukan konsultasi dengan pembimbing
tentang pertanyaan yang mungkin perlu untuk dikembangkan dan
ditambahkan. Ujicoba pedoman wawancara juga melatih
kemampuan peneliti dalam melakukan wawancara mendalam
untuk menggali pengalaman dalam penatalaksanaan epistaksis.
Pedoman wawancara dibuat berdasarkan The World Helath
Organization Quality of Life (WHOQOL) Bref (2004) yang telah
diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia, dengan berbagai
macam pengembangan sesuai dengan keadaan partisipan.
31
Peneliti mulai melakukan pengambilan data kepada
partisipan setelah selesai melakukan modifikasi pedoman
wawancara hasil ujicoba dan melakukan konsultasi kepada dosen
pembimbing. Peneliti menemui partisipan yang datang sesuai
dengan jadwal dinas atau menghubungi partisipan melalui telepon
dan memberikan penjelasan mengenai penelitian selanjutnya.
Peneliti menggunakan alat bantu perekaman wawancara. Setelah
itu peneliti mulai melakukan pengumpulan data pada kunjungan
yang pertama. Peneliti memulai proses pengambilan data dengan
pertanyaan terbuka dan bersifat umum tentang kabar dan aktivitas
sehari – hari agar partisipan merasa diperhatikan dan akrab
dengan peneliti. Wawancara dilakukan dengan pedoman
wawancara namun tidak bersifat kaku karena pertanyaan dapat
berkembang sesuai dengan proses yang belangsung selama
wawancara, dengan tanpa meninggalkan landasan teori yang telah
ditetapkan dalam penelitian. Hal ini bertujuan untuk
memungkinkan peneliti mendapatkan respon yang luas dari
partisipan. Informasi yang disampaikan partisipan terbebas dari
pengaruh orang lain, karena informasi tersebut diperoleh langsung
dari sumbernya. Jumlah pertemuan antar peneliti dengan
partisipan bervariasi antara dua hingga tiga kali pertemuan.
Peneliti selalu menggali pertanyaan partisipan sehingga jika pada
saat pertemuan pertama belum tercapai semua tujuan penelitian
32
maka peneliti dan partisipan membuat kesepakatan waktu dan
tempat untuk pertemuan yang selanjutnya.
Wawancara kedua dilakukan setelah semua data dari hasil
wawancara pertama telah dibuat dalam suatu transkrip data dan
peneliti telah mengidentifikasi berbagai kemungkinan tema
sementara dari berbagai pengalaman yang dideskripsikan para
partisipan. Selama wawancara ini, partisipan diminta untuk
mengkonfirmasi tema-tema yang sementara dihasilkan
berhubungan dengan pengalaman mereka berdasarkan intepretasi
data yang telah dibuat oleh peneliti. Pada kesempatan ini peneliti
dapat membuat perbaikan atau koreksi jika terdapat berbagai
kesenjangan dari data yang diperoleh pada wawancara pertama.
Pada wawancara kedua ini juga penting dilakukan untuk
memberikan kesempatan kepada para partisipan melakukan
verifikasi / konfirmasi, memperluas dan menambah deskripsi
mereka dari pengalaman – pengalaman mereka untuk lebih
menambah keakuratan dari penelitian ini.
3.5.4. Analisa Data
Analisa data dalam penelitian ini menggunakan metode fenomenologi
deskriptif dengan metode Colaizzi (Polit & Back 2006), adapun langkah –
langkah analisa data adalah sebagai berikut :
33
3.6.1. Peneliti menggambarkan fenomena dari pengalaman perawat sebagai
partisipan yang diteliti yaitu mengenai pertolongan pertama
penatalaksanaan epistaksis menggunakan tamponade epinephrine.
3.6.2. Peneliti mengumpulkan gambaran fenomena yang pernah terjadi pada
partisipan berupa pengalaman perawat dalam penatalaksanaan
epistaksis.
3.6.3. Peneliti membaca semua protokol atau transkrip untuk mendapatkan
perasaan yang sesuai dari partisipan. Kemudian mengidentifikasi
pernyataan partisipan yang relevan. Serta membaca transkrip secara
berulang – ulang hingga ditemukan kata kunci dari pernyataan –
pernyataan.
3.6.4. Kemudian peneliti mencari makna dan dirumuskan ke dalam tema.
1) Merujuk kelompok tema kedalam transkrip dan protokol asli
untuk memvalidasi
2) Memperhatikan perbedaan antara satu kelompok dengan
kelompok yang lain dan menghindari perbedaan diantara
kelompok tema tersebut.
3.6.5. Peneliti mengintepretasikan hasil kedalam deskripsi lengkap dari
fenomena yang diteliti.
3.6.6. Merumuskan deskripsi lengkap dari fenomena yang diteliti sebagai
pernyataan tegas dan diidentifikasi kembali.
34
3.6.7. Kembali kepada partisipan untuk langkah validasi akhir / verifikasi
tema-tema dan peneliti tidak mendapatkan data tambahan baru
selama verifikasi.
3.7. Validitas dan Reliabilitas
Triangulasi merupakan cara yang paling umum digunakan untuk
peningkatan validitas data dalam penelitian kualitatif (Sutopo 2006).
Dalam penelitian ini menggunakan triangulasi Focus Group Discusion jika
memungkinkan semua dari partisipan dapat dikumpulkan dalam satu
waktu, mengingat jadwal dinas masing-masing partisipan berbeda. Jika
FGD tidak dapat dilakukan maka penelitian ini menggunakan triangulasi
1. Triangulasi Sumber
Teknik ini mengarahkan peneliti agar di dalam mengumpulkan
data, peneliti wajib menggunakan beragam sumber data yang berbeda-
beda yang tersedia. Data yang sama atau sejenis akan lebih mantap
kebenaranya bila digali dari beberapa sumber data yang berbeda,
sehingga apa yang diperoleh dari sumber yang satu, bisa lebih teruji
kebenaranya bilamana dibandingkan dengan data sejenis yang
diperoleh dari sumber lain yang berbeda, baik kelompok sumber
sejenis atau sumber yang berbeda jenisnya.
Penelitian ini menggunakan triangulasi sumber pada
pembahasan penyebab epistaksis yang diungkapakan oleh partisipan 1
yaitu gangguan polip. Peneliti mengembalikan kembali kepada
35
partisipan pada pernyataan yang diungkapkan oleh partisipan 1 bahwa
penyebab epistaksis yaitu gangguan polip.
2. Triangulasi Metode
Teknik triangulasi ini bisa dilakukan oleh seorang peneliti
dengan cara mengumpulkan data sejenis tetapi dengan menggunakan
teknik atau metode pengumpulan data yang berbeda. Disini yang
ditekankan adalah penggunaan metode pengumpulan data yang
berbeda dan bahkan lebih jelas untuk diusahakan mengarah pada
sumber data yang sama untuk menguji kemantapan informasinya.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan
fenomenologi, berdasarkan fenomena yang ada di ruang ICU Rumah
Sakit Panti Waluyo Surakarta mengenai penatalaksanaan epistaksis
menggunakan tamponade epinephrine dan menggunakan teknik in-
depth interview sehingga peneliti dapat menggali lebih dalam
informasi yang ingin diketahui serta mengembangkan pertanyaan
sesuai dengan situasi dan kondisi ketiga partisipan.
3. Triangulasi Peneliti
Triangulasi peneliti adalah hasil penelitian baik data ataupun
simpulan mengenai bagian tertentu atau keseluruhannya bisa diuji
validitasnya dari beberapa peneliti yang lain. Dari pandangan dan tafsir
yang dilakukan oleh beberapa peneliti terhadap semua informasi yang
berhasil digali dan dikumpulkan yang berupa catatan dan bahkan
sampai dengan simpulan-simpulan sementara, diharapkan bisa terjadi
36
pertemuan pendapat yang pada akhirnya bisa lebih memantapkan hasil
akhir penelitian.
Penelitian ini merekomendasikan pada penelitian yang sudah
ada yang didapat dari beberapa jurnal, salah satunya jurnal Bestari J
Budiman, 2011 yang meneliti adakah hubungan epistaksis dengan
hipertensi. Hasil wawancara pada tema penyebab epistaksis adanya
faktor dari dalam yang sesuai pernyataan partisipan 1 bahwa penyebab
epistaksis dari dalam atau faktor dari dalam dapat berupa hipertensi.
4. Triangulasi Teori
Triangulasi jenis ini dilakukan oleh peneliti dengan
menggunakan perspektif lebih dari satu teori dalam membahas
permasalahan yang dikaji. Pada triangulasi ini peneliti wajib
memahami teori-teori yang digunakan dan keterkaitannya dengan
permasalahan yang diteliti sehingga mampu menghasilkan simpulan
yang lebih mantap, bisa dipertanggungjawabkan dan benar-benar
memiliki makna yang mendalam serta bersifat multiperspektif. Peneliti
juga dapat menggunakan satu teori khusus yang digunakan sebagai
fokus utama dari kajiannya secara lebih mendalam daripada teori yang
lain yang juga digunakan (Sutopo 2006)
Tinjauan pustaka pada penelitian ini adalah dari berbagai
sumber buku mengenai epistaksis dari Soepardi, Efiaty et al. 2002 dan
penatalaksanaan kegawatdaruratan dari Callaham, Michael L et al.
37
1997 yang membahas mengenai teori sebagai landasan peneliti yang
sudah dijelaskan di BAB II pada penelitian ini.
3.8. Etika Penelitian
Etika penelitian adalah suatu sistem nilai normal yang harus
dipatuhi oleh peneliti saat melakukan aktivitas penelitian yang melibatkan
responden, meliputi kebebasan dari adanya ancaman, kebebasan dari
adanya eksploitasi keuntungan dari penelitian tersebut, dan resiko yang
didapatkan (Polit & Hungler 2005).
Etika pada penelitian ini antara lain :
1. Meminta izin kepada Direktur Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta
sekaligus memberikan pejelasan tentang maksud dan tujuan
penelitian.
2. Menempatkan ketiga partisipan bukan sebagai objek melainkan orang
yang sama derajatnya dengan peneliti.
3. Menghargai, menghormati dan patuh terhadap semua peraturan,
norma dan nilai dari partisipan.
4. Memegang segala rahasia yang berkaitan dengan informasi yang
diberikan.
5. Informasi tentang ketiga partisipan tidak dipublikasikan bila ketiga
partisipan tidak menghendaki, termasuk nama ketiga partisipan tidak
akan dicantumkan dalam laporan penelitian.
38
Peneliti meyakini bahwa partisipan harus dilindungi dengan
memperhatikan aspek – aspek : self determination, privacy, anonymity,
informed consent, dan protections for discomfort (Polit & Hungler 2005) :
1. Self determination
Partisipan diberikan kebebasan untuk menentukan apakah
bersedia atau tidak untuk mengikuti kegiatan penelitian secara
sukarela. Peneliti memberikan kebebasan kepada partisipan untuk ikut
berpartisipasi. Peneliti memberikan penjelasan kepada ketiga
partisipan mengenai tujuan dan manfaat penelitian yang dilakukan.
Peneliti juga menjelaskan bahwa ketiga partisipan yang mengikuti
penelitian tidak dipungut biaya apapun, seluruh biasaya sudah
ditanggung peneliti.
2. Informed consent
Peneliti menegaskan kembali mengenai maksud dan tujuan,
setelah ketiga partisipan mengerti, peneliti memberikan lembar
Informed consent kepada ketiga partisipan.
3. Privacy
Selama dan sesudah penelitian, privacy responden dijaga secara
benar, ketiga partisipan diberlakukan sama, peneliti akan menjaga
kerahasiaan partisipan dari informasi yang diberikan dan hanya
digunakan untuk kegiatan penelitian serta tidak akan dipublikasikan
tanpa izin dari partisipan.
39
4. Anonymity
Nama partisipan selama penelitian tidak digunakan melainkan
diganti dengan nomor dan inisial penelitian. Nomor dan inisial dari
partisipan ini digunakan dengan tujuan untuk menjaga kerahasiaan
partisipan dan mencegah kekeliruan peneliti dalam memasukkan data.
Penelitian ini menggunakan mana inisial dalam menjaga kerahasiaan
ketiga partisipan yaitu Tn. J, Ny. D dan Ny. Y.
5. Protections for discomfort
Selama pengambilan data penelitian, peneliti memberi
kenyamanan pada ketiga partisipan dengan mengambil tempat
wawancara sesuai dengan keinginan partisipan. Sehingga partisipan
dapat leluasa tanpa ada pengaruh lingkungan untuk mengungkapkan
masalah yang alami.
Penelitian ini menggunakan teknik in-depth interview dan pada
pelaksanaannya peneliti menjalin hubungan saling percaya kepada
ketiga partisipan dan menggunakan komunikasi terapeutik yang
diterapkan dalam suasana yang santai atau rileks . Peneliti melakukan
wawancara kepada ketiga partisipan di ruang perawat secara face to
face dengan jarak pandang antara peneliti dengan partisipan kurang
lebih 1 meter, dengan posisi duduk dan berhadapan. Pada saat
wawancara berlangsung terkadang partisipan meminta ijin untuk
menangani pasien yang darurat dan partisipan berkenan apabila
wawancara dilanjutkan setelah selesai menangani pasien.
40
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan menguraikan tentang hasil penelitian tentang pengalaman
perawat mengenai pertolongan pertama penatalaksanaan epistaksis menggunakan
tamponade epinephrine dalam memberikan asuhan keperawatan di ruang ICU
Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta kemudian akan dibahas berdasarkan
literatur. Hasil penelitian diuraikan menjadi dua bagian, bagian yang pertama
menjelaskan karakteristik partisipan yang terlibat dalam penelitian secara singkat,
bagian yang kedua menguraikan hasil tematik tentang pengalaman partisipan.
4.1 Gambaran Lokasi Penelitian
Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta berdiri pada tanggal 1 September
1937 dengan nama Balai Pengobatan Panti Waloejo, atas prakarsa dari para bidan
dan juru rawat ( Vroedvrouwen, Verpleegsteres & Verpleegers Kristen, yang
disingkat PVK) RS. Zending (Sekarang RSUD. Dr. Moewardi Surakarta) dan atas
bantuan Mr. Soemardi dan Mr. Moch. Daljono. Pada tanggal 1 Januari 1955
menjadi Perhimpunan Pengobatan Kristen Panti Waluyo, dan menggabungkan
diri dengan JRSK Djateng sebagai RB. Panti Waluyo, dengan kapasitas 25 tempat
tidur. Sejak tahun 1980, RB. Panti Waluyo telah menjadi rumah sakit unit kerja
YAKKUM dalam jajaran YAKKUM Cabang Surakarta dengan kapasitas 100
tempat tidur.
40
41
Pada tahun 1998, sesuai dengan peraturan pemerintah RS Panti Waluyo
Surakarta telah terakreditasi sebagai rumah sakit tipe C dengan kapasitas lebih
dari 160 tempat tidur, hingga sekarang telah mencapai lebih dari 200 tempat tidur
dan mempunyai kurang lebih 30 tenaga dokter umum, 41 tenaga dokter spesialis,
10 tenaga dokter gigi, 200 perawat, 50 tenaga paramedis non perawat dan 119
tenaga non medis. Dengan motto cepat tepat memuaskan dan slogan SEGA
(Sentuhan Kekeluargaan) sehingga Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta
mempunyai visi menjadi rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan prima
dan profesional berdasarkan kasih, sedangkan misinya adalah menyelenggarakan
pelayanan kesehatan yang holistik secara terpadu, berkualitas dan professional.
Ruang Intensif Care Unit (ICU) yang ada di Rumah Sakit Panti Waluyo
Surakarta dibangun pada tahun 1995. Kapasitas tempat tidur di ruang ICU Rumah
Sakit Panti Waluyo Surakarta pasien adalah 8 tempat tidur dan 1 kamar isolasi.
Jumlah perawat yaitu sebanyak 10 orang perawat yang berlatar belakang
pendidikan meliputi DIII keperawatan, Perawat yang bekerja di ruang ICU
Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta dipilih berdasarkan kriteria tertentu, yaitu
pendidikan minimal DIII dan mempunyai sertifikat pelatihan ICU. Kriteria pasien
yang masuk ke ruang ICU adalah kelompok pasien yang kritis yang memerlukan
terapi intensif dan tertitrasi, seperti:, dukungan, bantuan ventilasi, alat penunjang
fungsi organ sistem yang lain, infus obat-obat vasoaktif/ inotropik, obat anti
aritmia, serta pengobatan lain-lainnya secara kontinyu dan tertitrasi.
42
Kriteria pasien isolasi adalah kriteria pasien yang memerlukan pelayanan
pemantauan canggih di ruang lCU, sebab sangat berisiko bila tidak mendapatkan
terapi intensif segera misalnya pasien dengan luka bakar. Pasien tersebut
memerlukan perawatan yang lebih intensif karena beresiko untuk terkena infeksi
dari luar, untuk paisen yang berada di kriteria ini di tempatkan di ruangan khusus
dimana hanya di tempati oleh satu pasien saja.
4.2 Karakteristik Partisipan
4.2.1 Partisipan 1
Tn.J berjenis kelamin laki-laki dan berumur 42 tahun, pendidikan terakhir
Tn.J yaitu D III Keperawatan. Pengalaman pekerjaan Tn.J selama kurang lebih
sudah hampir 20 tahun bekerja di ruang ICU, dan Tn.J sudah menjadi Pegawai
Tetap. Sebelum Tn.J diruang ICU Tn. J pertama kali di Rumah Sakit Panti
Waluyo Surakarta di IGD selama 2 tahunan. Tn. J adalah seorang kepala ruang
ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta.Tn. J bekerja di Rumah Sakit Panti
Waluyo Surakarta sejak tahun 1993 dan bekerja di ruang ICU sejak tahun 1995
nan. Tn. J sudah pernah menangani kasus epistaksis. Tn. J mengikuti pelatihan –
pelatihan ICU sudah beberapa kali.
4.2.2 Partisipan 2
Ny. D berjenis kelamin perempuan dan berumur 37 tahun, pendidikan
terakhir Ny. D yaitu D III Keperawatan. Ny. D adalah seorang perawat di ruang
ICU. Ny. D mempunyai pengalaman kerja selama 11 tahun baik di ruang ICU.
43
Ny. D mengikuti pelatihan ICU kurang lebih 3 kali pelatihan. Ny. D sudah
pernah menangani beberapa kasus epistaksis.
4.2.3 Partisipan 3
Ny.Y berjenis kelamin perempuan dan berumur 33 tahun, pendidikan
terakhir D III Keperawatan , pernah mengikuti pelatihan ICU dan Ny.Y bekerja
selama kurang lebih 3 tahun di ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta.
Sebelum Ny.Y bekerja sebagai perawat di ruang ICU Ia bekerja sebagai perawat
di IGD Panti Waluyo dan sebelum bekerja di Rumah Sakit Panti Waluyo
Surakarta beliau bekerja di salah satu Rumah Sakit sekitar solo juga. Setelah itu
Ny. Y bekerja di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta selama kurang
lebih 3 tahun ini. Ny. Y menangani kasus epistaksis sudah sekitar 5 kali.
4.3 Hasil Penelitian
4.3.1 Pengalaman Perawat
Beberapa tema dalam pengalaman perawat didapatkan sub tema : 1) Lama
bekerja > 2 tahun 2) Perasaan selama dinas di ruang ICU 3) Pengalaman di ruang
ICU
a. Lama Bekerja > 2 tahun
Dalam kategori lama bekerja perawat ini dapat ditemukan dalam ungkapan
partisipan sebagai berikut :
“......hampir 20 tahunan,,”
“...... sejak tahun 1995-an “(P01)
44
”......pokoknya dari tahun 2003 ....” (P02)
“.....tiga tahun,mbak...” (P03)
Hasil wawancara peneliti dengan partisipan, semua partisipan mengetahui
bahwa lama bekerja partisipan di ruang ICU lebih dari 2 tahun. Namun demikian
pada pengakuan partisipan yang lama bekerjanya sampai puluhan tahun. Hal ini
memungkinkan pengalaman perawat lebih banyak dan kasus- kasus yang ditemui
lebih variatif.
b. Perasaan selama dinas di ruang ICU
Tema ini dapat ditemukan dalam pernyataan ketiga partisipan tentang
perasaan selama dinas di ruang ICU adalah : 1) Ada suka ada sedih 2)
Menegangkan 3) Menyenangkan. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan
berikut ini :
“ Ya..kalau ditanya masalah perasaan saat dinas ya macem –
macem, mbak..ada sukanya ada sedihnya......”( P01 )
”kalau perasaannya ya selalu menenggangkan yo mbak...” (P02)
”....ya ..cukup menyenangkan,,......” ( P03 )
Pengalaman merupakan kejadian yang pernah dialami seseorang. Ketiga
partisipan mengungkapkan perasaan selama dinas di ruang ICU Rumah Sakit
Panti Waluyo Surakarta, mereka juga mengungkapkan perasaan senang ada pula
yang membuat perasaan susah,,tiap partisipan mempunyai cara sendiri dalam
mengungkapkan perasaan tersebut. Partisipan 1 mengungkapkan perasaan
senangnya karena dapat menolong pasien dan pasien bisa sembuh, sedangkan
sedihnya apabila pasien ditak dapat tertolong. Partisipan 2 mengungkapkan
45
selama dinas di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta perasaannya
selalu menegangkan, karena kasus yang ditemui selama ini adalah kasus gawat
darurat atau emergency. Partisipan 3 mengungkapkan cukup menyenangkan
karena sudah terbiasa dengan kasus yang ada di ruang ICU Rumah Sakit Panti
Waluyo Surakarta jadi tidak ada hambatan.
c. Pengalaman mengesankan di ruang ICU
Sub tema dalam pengalaman perawat didapatkan : 1) Pasien sembuh 2)
Kasus yang ditemukan menarik 3 ) Peka terhadap pasien 4 ) Pasien meninggal.
Sub tema ini dapat ditemukan dalam ungkapan ketiga partisipan yang telah
menceritakan pengalaman selama dinas di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo
Surakarta sangat beragam dari lama bekerja, pengalaman yang paling
mengesankan dan kasus – kasus yang sudah ditangani oleh setiap partisipan . Hal
ini ungkapan partisipan sebagai berikut :
”ya,,,semuanya sih mengesankan, ....”
“......kasus yang kami tangani menarik semua,,...” (P01)
”...kalau yang menyenangkan ya,,pasien bisa pulang dengan
sembuh,,..”
“.... yang menyedihkan i,,yoo,,nek nggak bisa
menolong atau pasiennya meninggal,, ..”( P02 )
“ya,,,,untuk pengalamannya kita lebih peka saja dengan pasien
“...,,tanggap gitu aja....” ( P03 )
Beberapa pernyataan tentang pengalaman mengesankan selama dinas di ruang
ICU, dapat diketahui bahwa pengalaman perawat selama dinas di ruang ICU
beragam dengan beberapa analisa. Contoh kasus mengesankan yang diungkapkan
oleh ketiga partisipan, berikut ungkapannya:
46
“....satu minggu yang lalu ada pasien dengan luka bakar sampai 85
%,,,,itu kami tangani dan kami rawat menggunakan mebo itu lho
mbak,,sudah ada perubahannya,,dan ada juga kemarin yang trauma di
wajahh, , pasien mimisan terus menerus,,ya tindakan kami dengan tampon
epinephrine itu, mbak...” ( P01 )
“...kalau yang menyenangkan ya,,pasien bisa pulang dengan
sembuh,,dengan kondisi yang lebih baik daripada waktu dikirim
kesini,,teruuuss yang menyedihkan i,,yoo,,nek nggak bisa menolong atau
pasiennya meninggal,,karena kebanyakan pasien meninggal disini itu
karena,,dirujuk kesininya wes jelek.”(P02)
“...kalau pasien yang datang ke kita itu sudah jelek.,seperti satu bulan
yang lalu kami terima pasien bayi dari bidan,,usianya empat bulan
dengan dehidrasi berat,,sesampainya di sini nggak ada 10 menit sudah
meninggal,,,,saat di rujuk kesini orang kondisi sudah jelek ya,,mau di
kasih tindakan apapun tidak bisa tertolong,,ya,,kita itu mbak,,tinggal
motivasi ke pasien,,ke keluarganya,,
“....kondisi di rujuknya kesini sudah jelek duluan,itu sih mbak yang,,yang
ap ya,,,menjadikan beban moral,,”( P03 )
Pada partisipan 1 dan 3 mengungkapkan secara jelas gambaran kasus yang
pernah ditangani, yaitu pada pasien dengan luka bakar 85% yang diberikan terapi
mebo dan pasien tersebut juga mengalami trauma di wajah dan mengalami
epistaksis. Untuk terapi epistaksisnya menggunakan tamponade epinephrine,
seperti yang diungkapakan partisipan 1. Sedangkan partisipan 2 menggambarkan
dengan pasien bayi usia empat bulan, pasien tersebut rujukan dari salah satu
rumah sakit dan datang ke ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta sudah dalam
keadaan jelek. Kemudian pada partisipan 2, hanya mengungkapkan secara umum
dari pasien yang sudah ditangani.
4.3.2 Pengertian Epistaksis
47
Dari kategori pengertian epistaksis ini didapatkan sub tema : 1) Mimisan
di hidung 2) Pecahnya pembuluh darah di hidung
a. Mimisan
Dari partisipan 1 mengungkapkan bahwa epistaksis disebut juga dengan mimisan,
berikut ungkapannya :
“...epistaksis itu sendiri kan biasanya ada yang disebut juga
..mmm...mimisen itu ya,,”(P01 )
b. Pecahnya pembuluh darah di hidung
Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa pengertian dari epistaksis itu sendiri
adalah pecahnya pembuluh darah di hidung, berikut ungkapannya :
“..mimisen itu sendiri kan pecahnya pembuluh darah pada hidung”(P01)
“...epistaksis itu kan pecahnya pembuluh darah ya mbak..” ( P02 )
“.Epistaksis itu kan pecahnya pmbuluh darah di hidung ya”( P03 )
4.3.3 Penyebab Epistaksis
Epistaksis adalah kondisi klinis dengan berbagai variasi penyebabnya. Pada tema
penyebab epistaksis, didapatkan sub tema : 1) Hipertensi 2) Gangguan polip 3)
Trauma anterior maupun posterior 4) Trauma wajah
a. Faktor penyebab epistaksis adalah hipertensi, berikut ungkapannya:
“...mimisen ada penyebabnya itu mbak,,,kalau yang dari dalam itu
kan ada hipertensi,.”( P01 )
Partisipan 1 mengungkapkan bahwa penyebab epistaksis dari dalam bisa berupa
hipertensi. Ada hubungan epistaksis dengan hipertensi, hal ini terdapat di dalam
48
jurnal dari Bestari 2011, hipertensi merupakan faktor sistemik dari epistaksis.
Teori dari Herkner, dkk ada dua hipotesis yang menerangkan kenapa epistaksis
dapat terjadi pada pasien dengan hipertensi, yang pertama pasien dengan
hipertensi yang lama memiliki kerusakan pembuluh darah yang kronis. Hal ini
berisiko terjadi epistaksis terutama pada kenaikan tekanan darah yang abnormal.
Yang kedua, pasien epistaksis dengan hipertensi cenderung mengalami
perdarahan berulang pada bagian hidung yang kaya dengan persarafan autonom
yaitu bagian pertengahan posterior dan bagian diantara konka media dan konka
inferior.
Teori Knopfholz, dkk mengatakan hipertensi tidak berhubungan dengan
beratnya epistaksis yang terjadi. Tetapi hipertensi terbukti dapat membuat
kerusakan yang berat pada pembuluh darah di hidung (terjadi proses degenerasi
perubahan jaringan fibrous di tunika media) yang dalam jangka waktu yang lama
merupakan faktor risiko terjadinya epistaksis. Sedangkan Herkner dkk (2002)
bahwa angka kejadian epistaksis pasca operasi mengalami peningkatan pada
pasien dengan riwayat hipertensi yang lama. Tidak ditemukan hubungan dengan
beratnya derajat hipertensi.
b. Penyebab epistaksis yaitu gangguan Polip, berikut ungkapannya :
“....gangguan polip...” ( P01 )
Partisipan 1 mengungkapkan penyebab dari epistaksis sesuai kasus yang
partisipan selama ini temui di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta
adalah gangguan polip, yang mana gangguan polip tersebut biasanya diatasi
dengan operasi ringan.
49
c. Penyebab epistaksis yaitu trauma anterior maupun posterior, berikut
ungkapannya:
“..tapi kalau yang dari luar,,kan ada trauma ya mbak,,dan trauma
itu sendiri kan dibagi menjadi dua,,dibagian anterior dan posterior. Lha
selama ini kita memberikan tamponade yang berani
itu dibagian anterior, bagian depan..”( P01 )
Partisipan 1 mengungkapkan bahwa faktor penyebab dari luar epistaksis adalah
trauma di bagian anterior dan di bagian posterior. Partisipan 1 mengungkapkan
selama dinas di ruang ICU, kasus yang biasanya terjadi adalah epistaksis di
bagian anterior bagian depan. Penyebab epistaksis di bagian posterior biasanya
harus segera dikonsulkan ke dokter THT, karena letak anatominya di bagian
belakang hidung. Jurnal Bestari, Yolazenia 2012 dijelaskan bahwa pada umumnya
terdapat dua sumber perdarahan dari hidung yaitu dari bagian anterior dan bagian
posterior.
d. Trauma wajah
Ketiga partisipan mengungkapkan penyebab dari epistaksis karena adanya
trauma di wajah,berikut ungkapannya:
“..karena adanya trauma wajah,,( P02 )
“..yang biasa kami temui selama ini adanya trauma di wajah..” (P03 )
Partisipan 1, 2 dan 3 mengungkapkan penyebab dari epistaksis yang
selama dinas di ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta sering ditemui adalah
adanya trauma di wajah. Trauma di wajah dapat menyebabkan epistaksis berulang
dan harus segera diatasi perdarahan pada hidung agar tidak terjadi komplikasi.
Jurnal Bestari, Al hafiz 2011 dipaparkan bahwa penyebab epistaksis selain trauma
50
diwajah adalah faktor lokal yang meliputi: Trauma nasal; obat semprot hidung
(nasal spray), penggunaan obat semprot hidung secara terus menerus, terutama
golongan kortikosteroid, dapat menyebabkan epistaksis intermitten.
Jadi penyebab dari epistaksis berdasarkan dari pernyataan yang
diungkapkan oleh ketiga partisipan ada dua yaitu faktor dari dalam dan faktor dari
luar. Faktor dari dalam misalnya, hipertensi, gangguan polip. Sedangakan faktor
dari luar karena adanya trauma wajah, dan juga trauma dibagian anterior dan
posterior. Pada umumnya kasus epistaksis yang ditemukan di ruang ICU
penyebabnya karena adanya trauma di bagian anterior, hidung bagian depan.
4.3.4 Penatalaksanaan Epistaksis
Dari beberapa tema didapatkan sub tema : 1) Pernah menangani kasus
epistaksis 2) Pertolongan pertama pada epistaksis 3 ) alat dan bahan 4) obat yang
biasa digunakan
a. Pernah menangani epistaksis
Dari sub tema tersebut ketiga partisipan pernah menangani kasus epistaksis. Hal
ini ditemukan dalam ungkapan Partisipan sebagai berikut :
”ya,,pernah to mbakk,,akan tetapi untuk berapa kalinya,,waduhh,,,sudah
tak terhitung mbak – mbak,,heeeeheee” (P01)
”Walah.,,walahh...piro ya mbak,,udah tak terhitung mbak,,mung q ning
kene wis 11 tahunan to mau..”(P02)
”iya,,mbak saya pernah,,.”, “selama ini mbak,,kurang lebih ya sekitar 5
kali nan lah,,.” ( P03 )
Partisipan 1 dan 2 mengungkapkan pernah menangani kasus epistaksis
sudah tidak terhitung lagi, dikarenakan juga lama bekerja yang sudah 11 tahunan.
51
Sedangkan partisipan 3 mengungkapkan pernah menangani kasus epistaksis
kurang lebih 5 kali.
b. Pertolongan Pertama
Sub tema pertolongan pertama adalah : 1) Tampon kassa 2) Tampon epinephrine
Ketiga partisipan juga mengungkapkan bahwa tindakan yang dilakukan hanya
bersifat sementara dan hanya pertolongan pertamanya saja. Hal ini dapat
ditemukan dalam ungkapan partisipan sebagai berikut :
“...ada yang Cuma pakai tampon kassa steril,,” ( P01 )
“....kita kasih tampon epinephrine...”( P01 )
” ...biasanya dengan tampon..,,tampon menggunakan epinerine...” (P02 )
“...kalau kita disini biasanya pake epinephine,, selama ini dengan tampon
mbak,,tampon epinephrine.... ” ( P03 )
Pada partisipan 1 mengungkapkan pertolongn pertama pada kasus epistaksis
memakai kassa steril, apabila masih rembes atau perdarahannya belum berhenti
segera di tampon dengan menggunakan epinephrine. Partisipan 2 dan 3
mengungkapkan bahwa pertolongan pertama pada epistaksis dengan tampon
epinephrine.
c. Alat dan bahan
Perawat juga harus memperhatian alat dan bahan apa saja yang digunakan dalam
penatalaksanaan epistaksis: 1) Satu ampul epinephrine 2) Handscoon 3) Masker
4) Aquabides 5) Kassa steril 6) Kom kecil 7) Pinset 8) Spuit, hal ini sesuai dengan
pernyataan partisipan sebagai berikut :
52
1) Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa epinephrine merupakan bahan
yang digunakan dalam pelaksanaan tamponade epinephrine. Satu ampul
epinephrine sama dengan 5 mg, berikut ungkapan ketiga partisipan:
”,,1 ampul epinephrine..”( P01 )
“...,,epineprine satu ampul,..”( P02 )
“....epineprin satu ampul,..”( P03 )
2) Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa handscoon merupakan alat
pelindung diri yang digunakan untuk mencegah infeksi nosokomial, berikut
ungkapannya:
“...handscoon,,” ( P01 )
“...handscoon,,” ( P02 )
“...handscoon,,” ( P03)
3) Ketiga partisipan mengungkapkan alat pelindung diri selain handscoon
yaitu masker, berikut ungkapannya:
“..masker...” ( P01 )
“..masker...” ( P02 )
“..masker...” ( P03)
4) Partisipan 1 dan 3 mengungkapkan bahwa bahan untuk mengoplos
epinephrine adalah aquabides, berikut ungkapannya:
53
“...aquabides,,” ( P01 )
“..aquabides, ( P03 )
5) Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa kassa yang steril juga digunakan
sebagai bahan untuk menampon epistaksis, berikut ungkapannya:
“....kasaa ..steril...” ( P01 )
“...kassa sterill..” (P02 )
”..,,kasaa,.. tadi kassanya kassa streril ya,,..” ( P03 )
6) Partisipan 1 dan 2 mengungkapkan bahwa untuk mengoplos epinephrine
dan aquabides menggunakan kom kecil, berikut ungkapannya:
“...kom kecil,,...” ( P01 )
“...paling cuman kom..”( P02 )
7) Ketiga partisipan menggungkapkan bahwa menggunakan pinset untuk
memasukkan kassa yang sudah diperas ke hidung dengan perlahan, berikut
ungkapannya:
“...pinset,,..” ( P01 )
“..pinset....umtuk memasukkan kassanya..”( P02 )
“..pinset..” ( P03 )
8) Partisipan 3 mengungkapkan bahwa spuit juga digunakan untuk mengukur
aquabides yang dioplos dengan epinephrine, berikut ungkapannya:
“...spuit..” ( P03 )
54
d. Obat yang digunakan
Dalam penatalaksanaan epistaksis selain obat yang untuk menampon yaitu
epinephrine, ada obat yang biasa digunakan untuk mencegah perdarahan yaitu : 1)
vitamin K 2) Kalnex. Hal ini sesuai ungkapan Partisipan sebagai berikut :
1) Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa vitamin K bisa mencegah
perdarahan, berikut ungkapannya:
”obat selain tampon epinephrine ini , ya.. vit. K ..”( P01 )
“...vit.K udah itu saja sih biasanya,,” ( P02 )
“mmm,,obat yang lainnya sihh,,biasanya ,,vit.K..” ( P03 )
2) Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa selain vitamin K juga ada kalnex
untuk mencegah perdarahan, berikut ungkapannya:
“...dan kalnex” ( P01 )
”...obatnya selain epinephrune mbak?obatnya ya,,,itu,kalnex ..”( P02 )
“...dan kalnex ya mbak,, ” ( P03 )
4.3.5 Fungsi Tamponade Epinephrine
Tema tamponade epinephrine didapatkan sub tema sebagai berikut : 1) Fungsi
epinephrine 2) Keefektifan 3) Cara tamponade 4) Keuntungan . Hal tersebut juga
diungkapkan oleh partisipan berikut:
a. Fungsi epinephrine
Sub tema fungsi epinephrine dalam setiap obat yang akan perawat berikan kepada
pasien,harus mengerti juga cara kerja obat tersebut dan fungsinya sehingga dapat
55
sesuai dengan kebutuhan pasien. Pada kasus epistaksis, epinephrine digunakan
sebagai : 1) Pacu jantung 2) Vasokontriksi pembuluh darah. Hal tersebut juga
diungkapkan oleh partisipan berikut:
1) Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa epinephrine pada kardiovaskuler
biasanya untuk obat pacu jantung, berikut ungkapannya:
“..epinephrine itu kan obat pacu jantung,,mbak,,”( P01 )
”kalau,,cara kerja nya ya itu,,mmmm,,,,untuk pacu jantung,,.” ( P02 )
”Wah,untuk cara kerja dan fungsinya sih,,kalau di jantung ya,,untuk pacu
jantung mbak,..”( P03 )
2) Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa epinephrine pada epistaksis sebagai
vasokontriksi pembuluh darah, berikut ungkapannya:
“ ...sebagai vasokontriksi,,pada pembuluh darah,,” (P01 )
”jika pada epistaksis itu,,,,sebagai vasokotriksi,,..” ( P02 )
” .......pada hidung ini untuk menghentikan perdarahan sementara,,”
”........fungsinya untuk menyempitkan pembuluh darah,,sebagai
vasokontiksi,,di hidung,,.. ,,.” ( P03 )
Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa epinephrine selain untuk obat
kardiovaskular sebagi obat pacu jantung juga untuk menghambat perdarahan yang
juga berfungsi untuk vasokontriksi pembuluh darah pada kasus epistaksis.
b. Keefektifan
Didalam penggunaan obat kita juga perlu mensurvey ulang dan melakukan
observasi ulang setiap kita memberikan obat baik sebelum maupun sesudah
56
memberikan. Dan penggunaan tamponade epinephrine pada pasien epistaksis
sangat efektif. Hal ini diungkapkan oleh partisipan sebagai berikut:
”ya sangat efektiff,,mbak,,dalam artian ( efektif pada saat pertolongan
pertamanya saja )..” ( P01 )
”ya,,,mmm,,efektif mbak,,selama ini itu kita gunakan kok,.” ( P02 )
“Kalau....mmm,,efektif nggaknya,,jelas efektif,,karena kenyataaan
dilapangan memang bisa menghentikan perdarahan ya mbak,, ,,.” ( P03 )
Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa pertolongn pertama menggunakan
tamponade epinephrine sangat efektif pada pasien dengan epistaksis.
c. Cara tamponade
Cara untuk menampon menggunakan epinephrine pada pasien dengan epistaksis
ada beberapa pendapat menurut pengalaman ketiga partisipan, akan tetapi pada
dasarnya sama,yaitu : 1) Posisi setengah duduk 2) Menengadah 3) Kassa yang
dibasahi dengan epinephrine 4) Kemudian di masukkan ke dalam hidung. Hal ini
diungkapkan partisipan sebagi berikut :
1) Posisi setengah duduk
Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa cara menampon yang pertama adalah
memposisikan pasien setengah duduk, berikut ungkapannya:
“ untuk posisi kepalanya ,,posisi kepala ,,,mm...itu yg bnr harusnya
setengah duduk,,sebenarnya kalau pada pasien yang sadar duduk”( P01 )
“...atau setengah duduk..” ( P02 )
“..yang paling penting kita posisikan si pasien itu ndangak mbak...”( P03 )
2) Menengadah
57
Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa selain memposisikan pasien dengan
setengah duduk adalah posisi kepala menengadah, berikut ungkapannya:
“...sambil kepala menengadah atau agak ndangak gitu,,”( P01 )
“...kemudian kita posisikan pasien dengan kepala menengadah ..”( P02 )
“...dengan kepala kita sangga di bagian janggut e....”( P03 )
3) Kassa yang dibasahi dengan epinephrine
Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa sebelum memasukkan kassa ke dalam
hidung, kassa dibasahi dengan epinephrine yang sudah dioplos dengan aquabides,
berikut ungkapannya:
“.....kemudian kasa kita rendam ..”( P01 )
“....peras kasaa,,yang sudah terendam dikom ( P02 )
“....kemudian kita rendam kassa sterilnya di kom,,kita rendam dengan
epineprinenya dan dicampur atau dioplos dengan aquabides,,( P03 )
4) Kemudian di masukkan ke dalam hidung
Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa setelah kassa di peras, kemudian
dimasukkan ke dalam hidung dengan perlahan. Berikut ungkapannya:
“....langsung kita masukkan ke hidung pelan – pelan..dengan pinsett....”
( P01 )
“....kemudian masukkan ke hidung dengan pelan menggunakan
pinsett,....”( P02 )
“.....kita peras to mbak,,kita masukkan pelan – pelan ke hidung,,anterior
ya,,dengan pinset kita masukkannya mbak,,tapi memang harus hati hati
sekali karena di situ banyak serabut pembuluh darah yang kecil –
kecil,.....”( P03 )
58
Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa cara tamponade menggunakan
epinephrine adalah menyiapkan alat dan bahan, kemudian memakai alat
pelindung diri. Kassa steril di rendam kedalam kom yang sudah berisi epinephrine
satu ampul dan aquabides 10 cc, kemudian di peras sampai setengah basah. Kassa
yang sudah diperas kemudian di masukkan ke dalam hidung menggunakan pinset
dan harus dengan pelan – pelan.
d. Keuntungan
Dalam melakukan tindakan tamponade epinephrine ada beberapa keuntungannya
yaitu: 1) Harga ekonomis 2) Tersedia di ruang ICU. Hal tersebut diungkapkan
partisipan sebagai berikut :
1) Harga ekonomis
Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa harga epinephrine yang relatif murah
menjadi keuntungan dalam tindakan tamponade epinephrine, berikut
ungkapannya:
“...harga yang dibebankan ke administrasi pasien juga ekonomis,.”( P01 )
“....selain harga murah terjangkau,,..” ( P02 )
“....,,harga ekonomis,,..” ( P03 )
2) Tersedia di ruang ICU
Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa epinephrine tersedia disetiap ruang
ICU, berikut ungkapannya:
”.....epinephrine mudah dicarinya,,kalau di ICU, ( P01 )
”......ya setiap ruang ICU pasti ada epineprine,,jadi mudah kita
dapatkan,,...” ( P02 )
”.....ya,,seperti yang saya bilang tadi mbak pasti ada di rung ICU seluruh
rumah sakit,,...”( P03 )
59
4.4 Pembahasan
4.4.1 Pengalaman Perawat
Dari hasil wawancara, partisipan mengungkapkan pengalamannya masing
– masing secara terperinci, meskipun waktunya terbatas karena harus melayani
pasien yang ada di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta. Pada saat
partisipan mngungkapkan pengalamannya sesuai kasus yang partisipan temui,
dengan riwayat pasien yang berbeda pada partisipan 1 dan 3. Sedangkan
partisipan 2 lebih mengungkapkan pengalamannya secara gambaran umumnya
saja.
Pengalaman yang di dapat patisipan berdasarkan lama bekerja, perasaan
saat di dinas diruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta dan pengalaman
yang mengesankan. Di tinjau dari lama bekerja partisipan tidak menjadi
perbedaan yang signifikan. Karena partisipan 3 dengan lama bekerja di ruang ICU
Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta tiga tahun, partisipan juga mengungkapkan
kasus pasien yang pernah ditangani. Ketiga parisipan juga mengungkapkan hal
yang sama mengenai perasaan saaat dinas di ruang ICU Rumah Sakit Panti
Waluyo Surakarta yaitu ada suka dan dukanya.
Ungkapan ketiga partisipan mengenai pengalaman juga sama dengan teori
yaitu, Pengalaman kata dasarnya ”alami” yang artinya mengalami, melakoni,
menempuh, menemui, mengarungi, menghadapi, menyeberangi, menanggung,
mendapat, menyelami, mengenyam, menikmati, dan merasakan ( Endarmoko,
2006 ). Bahwa ketiga partisipan juga mengalami, merasakan dan mendapat suatu
60
pengalaman dari fenomena yang ada di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo
Surakarta.
Ketiga partisipan dan juga perawat di ICU Rumah Sakit Panti Waluyo
Surakarta pernah mengikuti pelatihan – pelatihan ICU, akan tetapi tiap partisipan
berbeda untuk frekuensi mengikuti pelatihannya. Perawat yang ada merupakan
tenaga kesehatan yang mampu dalam melayani dan merawat klien serta
melakukan tindakan sesuai ilmu yang sudak diperoleh di pendidikan yang
ditempuh. Hal ini juga tertera di Undang-undang Kesehatan No 23, Tahun 1992
menyebutkan bahwa perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan
kewenangan dalam melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang
dimiliki, yang diperoleh melalui pendidikan keperawatan.
4.4.2 Pengertian Epistaksis
Hasil wawancara dengan ketiga partisipan, mengungkapkan bahwa
epistaksis juga disebut dengan mimisan dan epistaksis merupakan pecahnya
pembuluh darah di hidung. Pernyataan partisipan ini juga ada di dalam teori,
bahwa epistaksis atau perdarahan hidung adalah jenis perdarahan spontan
patologis yang sering. Biasanya terjadi sebagai erosi spontan salah satu pembuluh
superfisial mukosa dekat dengan tepi septum hidung. ( Callaham, 1997 )
4.4.3 Penyebab Epistaksis
61
Hasil wawancara ketiga partisipan mengatakan bahwa penyebab dari
epistaksis adanya trauma di wajah, dan satu partisipan juga ada yang
mengungkapkan bahwa trauma diwajah adalah penyebab dari luar sedangkan
penyebab dari dalam adalah hipertensi,gangguan polip dan trauma anterior
maupun posterior. Sumber lain menyebutkan dua faktor faktor penyebab lokal
maupun umum atau kelainan sistemik pada epistaksis. Penyebab lokal epistaksis
dapat berupa: Idiopatik ( 85 % kasus ), biasanya merupakan epistaksis ringan dan
berulang pada anak dan remaja, trauma epistaksis dapat terjadi setelah membuang
ingus dengan kuat, mengorek hidung, fraktur hidung atau trauma maksilofacial,
Iritasi , zat kimia udara panas pada mukosa hidung, benda asing dan rinolit, dapat
menyebabkan epistaksis ringan unilateral disertai ingus yang berbau busuk.
Sedangkan penyebab sitemik atau penyebab umum epistaksis berupa : Penyakit
kardiovaskuler, misalnya hipertensi. ( Soepardi et al. 2000 ).
Partisipan 1 mengungkapkan bahwa penyebab epistaksis dari dalam bisa
berupa hipertensi. Ada hubungan epistaksis dengan hipertensi, hal ini terdapat di
dalam jurnal dari Bestari 2011 , hipertensi merupakan faktor sistemik dari
epistaksis. Teori dari Herkner, dkk ada dua hipotesis yang menerangkan kenapa
epistaksis dapat terjadi pada pasien dengan hipertensi, yang pertama pasien
dengan hipertensi yang lama memiliki kerusakan pembuluh darah yang kronis.
Hal ini berisiko terjadi epistaksis terutama pada kenaikan tekanan darah yang
abnormal. Yang kedua, pasien epistaksis dengan hipertensi cenderung mengalami
perdarahan berulang pada bagian hidung yang kaya dengan persarafan autonom
62
yaitu bagian pertengahan posterior dan bagian diantara konka media dan konka
inferior.
Teori Knopfholz, dkk mengatakan hipertensi tidak berhubungan dengan
beratnya epistaksis yang terjadi. Tetapi hipertensi terbukti dapat membuat
kerusakan yang berat pada pembuluh darah di hidung (terjadi proses degenerasi
perubahan jaringan fibrous di tunika media) yang dalam jangka waktu yang lama
merupakan faktor risiko terjadinya epistaksis. Sedangkan Herkner dkk (2002)
bahwa angka kejadian epistaksis pasca operasi mengalami peningkatan pada
pasien dengan riwayat hipertensi yang lama. Tidak ditemukan hubungan dengan
beratnya derajat hipertensi.
Partisipan 1 mengungkapkan penyebab dari epistaksis sesuai kasus yang
partisipan selama ini temui di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta
adalah gangguan polip, yang mana gangguan polip tersebut biasanya diatasi
dengan operasi ringan. Partisipan 2 juga mengungkapkan pasien post operasi
polip mengalami perdarahan di hidung secara berulang.
Partisipan 1 mengungkapkan bahwa faktor penyebab dari luar epistaksis
adalah trauma di bagian anterior dan di bagian posterior. Partisipan 1
mengungkapkan selama dinas di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta,
kasus yang biasanya terjadi adalah epistaksis di bagian anterior bagian depan.
Penyebab epistaksis di bagian posterior biasanya harus segera dikonsulkan ke
dokter THT, karena letak anatominya di bagian belakang hidung.
Jurnal Bestari, Yolazenia 2012 di jelaskan bahwa pada umumnya terdapat
dua sumber perdarahan dari hidung yaitu dari bagian anterior dan bagian
63
posterior. Pada epistaksis anterior, perdarahan berasal dari pleksus Kiesselbach (
yang paling banyak terjadi dan sering ditemukan pada anak-anak), atau dari arteri
etmoidalis anterior. Biasanya perdarahan tidak begitu hebat dan bila pasien
duduk, darah akan keluar melalui lubang hidung. Seringkali dapat berhenti
spontan dan mudah diatasi. Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari
arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior. Epistaksis posterior sering
terjadi pada pasien usia lanjut yang menderita hipertensi.
Partisipan 1, 2 dan 3 mengungkapkan penyebab dari epistaksis yang
selama dinas di ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta sering di temui adalah
adanya trauma di wajah. Trauma di wajah dapat menyebabkan epistaksis berulang
dan harus segera diatasi perdarahan pada hidung agar tidak terjadi komplikasi.
Jurnal Bestari, Al hafiz 2011 dipaparkan bahwa penyebab epistaksis salah satunya
adalah faktor lokal yang meliputi: Trauma nasal; obat semprot hidung (nasal
spray), penggunaan obat semprot hidung secara terus menerus, terutama golongan
kortikosteroid, dapat menyebabkan epistaksis intermitten. Terdapat kerusakan
epitel pada septum nasi. Epitel ini akan mudah berdarah jika krusta terlepas.
Pemakaian fluticasone semprot hidung selama 4-6 bulan, belum menimbulkan
efek samping pada mukosa; Kelainan anatomi: adanya spina, krista dan deviasi
septum; Tumor intranasal atau sinonasal. Sering ditandai dengan adanya riwayat
epistaksis yang berulang.
Jadi penyebab dari epistaksis berdasarkan dari pernyataan yang
diungkapkan oleh ketiga partisipan ada dua yaitu faktor dari dalam dan faktor dari
luar. Faktor dari dalam misalnya, hipertensi, gangguan polip. Sedangkan faktor
64
dari luar karena adanya trauma wajah, dan juga trauma dibagian anterior dan
posterior. Pada umumnya kasus epistaksis yang ditemukan di ruang ICU Rumah
Sakit Panti Waluyo Surakarta penyebabnya karena adanya trauma di bagian
anterior, hidung bagian depan.
4.4.4 Penatalaksanaan Epistaksis
Hasil dari wawancara, ketiga partisipan pernah menangani kasus
epistaksis yang sudah tidak terhitung lagi jumlahnya, dan satu partisipan baru
menangani kasus epistaksis sebanyak kurang lebih lima kali. Partisipan juga
mengungkapkan bahwa obat yang biasa digunakan saat menangani kasus
epistaksis selain menggunakan tampon epinephrine adalah dengan vitamin K dan
Kalnex karena pada prinsipnya juga sama – sama menghentikan perdarahan.
Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa pertolongan pertama pada
epistaksis adalah menggunakan tamponade epinephrine, yang mana alat dan
bahannya adalah sebagai berikut: satu ampul epinephrine, aquabides, kassa steril,
kom kecil, pinset untuk membantu memasukkan kassa yang sudah di masukkan
ke dalam kom yang berisi denagan aquabides dan epinephrine kemudian diperas
dan di masukkan ke hidung sebagai tampon. Hal ini sesuai dengan teori yang ada
bahwa ada tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu
menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya
epistaksis. Kalau ada syok, perbaiki dulu keadaan umum pasien. ( Soepardi 2002)
Menghentikan perdarahan, sumber perdarahan dicari dengan bantuan
pengisap untuk membersihkan hidung dan alat bekuan darah kemudian tampon
kapas yang telah dibasahi adrenalin 1/10.000 dan lidocain atau pantocain 2%
65
dimasukkan kedalam rongga hidung. Tampon dibiarkan selama 3-5 menit.
Dengan cara ini dapatlah ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya dibagian
anterior atau di bagian posterior. ( Soepardi 2002 )
Tindakan sederhana untuk mengatasi perdarahan anterior adalah dengan
memasukkan tampon yang telah dibasahi dengan adrenalin, kalau perlu dengan
obat anestesi lokal kedalam rongga hidung kemudian menekan ala nasi kearah
septum selama 3-5 menit. Setelah tampon dikeluarkan tepat asal perdarahan
dikaustik dengan larutan Nitras Argenti 20 – 30 % atau dengan asam triklosetat
10 %. Dapat juga dipakai elektrokauter untuk kaustik itu. Dari teori yang ada
dijelaskan bahwa, perdarahan di posterior dilakukan pemasangan tampon
posterior, yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini harus tepat menutup koana.
Pada tampon Bellocq terdapat 3 buah benang, yaitu 2 buah pada satu sisi dan
sebuah benang di sisi lainnya. (Irma & Ayu Intan 2013)
Perlu diketahui juga bahwa pemasangan tampon dapat menyebabkan
sinusitis, otitis media dan bahkan septikemia (Soepardi 2002). Apabila dengan
tampon epinephrine perdarahan masih sukar untuk di hentikan lakukan
pemeriksaan penunjang yaitu dengan pemeriksaan laboratorium misalnya :
pemeriksaan darah tepi lengkap, fungsi hemostasis, uji faal hati dan faal ginjal.,
pemeriksaan foto hidung, sinus paranasal, dan nasofaring, CT scan dan MRI
dapat diindikasikan untuk menentukan adanya rinosinusitis, benda asing dan
neoplasma. (Soepardi et al.2000 )
66
4.4.5 Fungsi Tamponade Epinephrine
Hasil dari wawancara, ketiga partisipan mengungkapkan bahwa
tamponade menggunakan epinephrine pada pasien epistaksis adalah sebagai
vasokontriksi, yaitu membantu menghentikan perdarahan yang terus menerus
ataupun menyempitkan pembuluh darah di hidung, Pertisipan juga
mengungkapkan bahwa tampon menggunakan epinephrine pada pasien dengan
epistaksis sangat efektif, selain harga yang ekonomis juga pasti tersedia di setiap
ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta. Teori yang sudah ada
mengungkapkan bahwa, epinephrine adalah obat yang digunakan untuk
penyuntikan pembuluh darah dalam pengobatan hipersensitivitas akut. Aksi
epinephrine menyerupai pengaruh stimulasi syaraf adrenergic. ( Neal 2006 )
Untuk cara menamponnya sendiri dengan memperhatikan posisi kepala
yaitu setengah duduk atau menengadah, kemudian satu ampul epinephrine
dimasukkan ke dalam kom kecil, kemudian di campur denagn aquabides dan
diperas lalu dimasukkan ke hidung menggunakan pinset. Perlu diketahui lagi
bahwa Alat pelindung diri sangat penting. Hal ini juga disebutkan dalam teori ,
Jika sumber perdarahan anterior tidak dapat diidentifikasi atau jika perdarahan
menetap meskipun sudah di kauterisasi, pasang tampon anterior. Tampon hidung
Merocel dapat digunakan.
Lumasi ujung tampon dengan lidokain atau antibiotik topikal dan
masukkan alat sepanjang dasar rongga hidung. Perluasan dan tampon peradahan
akan terjadi dengan dimasukkannya 10-20 mL salin. Kemudian kasa xerofom
selebar ½ inci ( diperlukan strip 72 inci ) juga dapat digunakan, menggunakan
67
forsceps, jepit kasa sepanjang 4 atau 5 inci dan masukkan ke dalam rongga hidung
sejauh mungkin, kemudian pegang kassa lain 4-5 inci dan buat lapisan di puncak.
(Shah 2013)
Kesimpulan yang dapat penulis ambil dari hasil pembahasan ketiga
partisipan adalah pengalaman yang di dapat patisipan berdasarkan lama bekerja,
perasaan saat di dinas dirung ICU dan pengalaman yang mengesankan. Di tinjau
dari lama bekerja partisipan tidak menjadi perbedaan yang signifikan. Karena
partisipan 3 dengan lama bekerja di ruang ICU tiga tahun, partisipan juga
mengungkapkan kasus pasien yang pernah ditangani. Ketiga parisipan juga
mengungkapkan hal yang sama mengenai perasaan saaat dinas diruang ICU yaitu
ada suka dan dukanya.
Ketiga partisipan mengungkapkan mengenai pengalaman bahwa ketiga
partisipan juga mengalami, merasakan dan mendapat suatu pengalaman dari
fenomena yang ada di ruang ICU sesuai dengan teori Endarmoko 2006 .
Ketiga partisipan dan juga perawat di ruang ICU Rumah Sakit Panti
Waluyo Surakarta pernah mengikuti pelatihan – pelatihan ICU, akan tetapi tiap
partisipan berbeda untuk frekuensi mengikuti pelatihannya. Perawat yang ada
merupakan tenaga kesehatan yang mampu dalam melayani dan merawat klien
serta melakukan tindakan sesuai ilmu yang sudak diperoleh di pendidikan yang
ditempuh. Hal ini juga tertera di Undang-undang Kesehatan No 23, Tahun 1992
menyebutkan bahwa perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan
kewenangan dalam melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang
dimiliki, yang diperoleh melalui pendidikan keperawatan.
68
Hasil wawancara dengan ketiga partisipan, mengungkapkan bahwa
epistaksis juga disebut dengan mimisan dan epistaksis merupakan pecahnya
pembuluh darah di hidung. Hasil wawancara ketiga partisipan mengatakan bahwa
penyebab dari epistaksis adanya trauma di wajah, dan satu partisipan juga ada
yang mengungkapkan bahwa trauma diwajah adalah penyebab dari luar
sedangkan penyebab dari dalam adalah hipertensi,gangguan polip dan trauma
anterior maupun posterior.
Hasil dari wawancara, ketiga partisipan pernah menangani kasus epistaksis
yang sudah tidak terhitung lagi jumlahnya, dan satu partisipan baru menangani
kasus epistaksis sebanyak kurang lebih lima kali. Partisipan juga mengungkapkan
bahwa obat yang biasa digunakan saat menangani kasus epistaksis selain
menggunakan tampon epinephrine adalah dengan vitamin K dan Kalnex karena
pada prinsipnya juga sama – sama menghentikan perdarahan.
Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa pertolongan pertama pada
epistaksis adalah menggunakan tamponade epinephrine, yang mana alat dan
bahannya adalah sebagai berikut: satu ampul epinephrine, aquabides, kassa steril,
kom kecil, pinset untuk membantu memasukkan kassa yang sudah di masukkan
ke dalam kom yang berisi denagan aquabides dan epinephrine kemudian diperas
dan di masukkan ke hidung sebagai tampon.
Hasil dari wawancara, ketiga partisipan mengungkapkan bahwa
tamponade menggunakan epinephrine pada pasien epistaksis adalah sebagai
vasokontriksi, yaitu membantu menghentikan perdarahan yang terus menerus
ataupun menyempitkan pembuluh darah di hidung, Pertisipan juga
69
mengungkapkan bahwa tampon menggunakan epinephrine pada pasien dengan
epistaksis sangat efektif, selain harga yang ekonomis juga pasti tersedia di setiap
ruang ICU. Cara menamponnya sendiri dengan memperhatikan posisi kepala yaitu
setengah duduk atau menengadah, kemudian satu ampul epinephrine dimasukkan
ke dalam kom kecil, kemudian di campur dengan aquabides dan diperas lalu
dimasukkan ke hidung menggunakan pinset. Perlu diketahui lagi bahwa Alat
pelindung diri sangat penting.
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pengalaman Perawat
Beberapa tema dalam pengalaman perawat didapatkan sub tema
yang pertama adalah lama bekerja perawat di ruang ICU lebih dari 2
tahun, yang kedua adalah perasaan selama dinas di ruang ICU. Ketiga
partisipan mengungkapkan bahwa perasaan selama dinas di ruang ICU ada
suka ada sedih, menegangkan dan menyenangkan. Ketiga adalah
pengalaman perawat di ruang ICU yang beragam yaitu apabila pasien
pulang dengan sembuh, partisipan juga mengungkapkan bahwa kasus yang
ditemukan menarik. Pengalaman perawat di ruang ICU yang lain adalah
peka terhadap pasien dan cepat tanggap dalam penanganannya, kemudian
pengalaman yang menyedihkan apabila pasien meninggal.
2. Pengertian epistaksis
Pengertian epistaksis adalah pecahnya pembuluh darah di hidung
serta disebut juga dengan mimisan.
70
71
3. Penyebab epistaksis
Epistaksis adalah kondisi klinis dengan berbagai variasi
penyebabnya. Beberapa penyebab epistaksis adalah hipertensi, gangguan
polip, trauma anterior maupun posterior dan adanya trauma wajah.
4. Penatalaksanaan Epistaksis
Penatalaksanaan epistaksis berdasarkan dari pernah menangani
kasus epistaksis dan kira – kira sudah berapa kali menanganinya selama
dinas di ruang ICU, pertolongan pertama pada pada saat terjadi epistaksis
yaitu dengan tampon kassa dan tampon epinephrine yang mana tindakan
tampon tersebut bersifat sementara dan hanya pertolongan pertamanya
saja. Alat dan bahan yang digunakan dalam penatalaksanaan epistaksis
adalah satu ampul epinephrine, handscoon, masker, aquabides, kassa
steril, kom kecil, pinset dan spuit. Sedangkan obat obat yang biasa
digunakan selain tampon menggunakan epinephrine adalah vitamin K dan
kalnex.
5. Fungsi Tamponade Epinephrine
Fungsi tamponade epinephrine pada kasus epistaksis di
kardiovaskuler adalah sebagai obat pacu jantung, sedangkan fungsi
epinephrine pada kasus epistaksis sebagai vasokontriksi pembuluh darah
sehingga perdarahan di hidung dapat dihentikan. Keefektifan dari
tamponade menggunakan epinephrine adalah sangat efektif digunakan
pada saat pertolongan pertama penatalaksanaan epistaksis. Cara untuk
menampon menggunakan epinephrine pada pasien dengan epistaksis ada
72
beberapa pendapat menurut pengalaman ketiga partisipan, akan tetapi
pada dasarnya sama, yang pertama dengan memposisikan pasien setengah
duduk dengan kepala menengadah kemudian kassa yang dibasahi dengan
epinephrine di masukkan ke dalam hidung. Keuntungan melakukan
tindakan tamponade epinephrine pada pasien dengan epistaksis adalah
harga satu ampul epinephrine yang ekonomis dan juga tersedia di ruang
ICU.
5.2 Saran
1. Bagi perawat Intensif Care Unit lebih peka atau cepat tanggap dalam
mengahadapi kasus – kasus yang terjadi di ruang Intensif Care Unit,
khusunya pada pertolongan pertama pada penatalaksanaan epistaksis.
2. Bagi instansi rumah sakit apabila menemui kasus epistaksis, pertolongan
pertamanya adalah dengan tamponade menggunakan epinephrine. Selain
harga yang ekonomis,harga yang terjangkau dengan biaya yang akan
dibebankan kepada administrasi pasien juga di setiap ruang ICU selalu
tersedia,karena fungsinya selain untuk menghentikan perdarahan pada
kasus epistaksis adalah untuk obat kardiovaskuler.
3. Bagi institusi pendidikan, dapat dijadikan bahan acuan dalam mata kuliah
gawat darurat dalam penanganan kasus dengan epistaksis
4. Bagi peneliti selanjutnya bisa dilakukan penelitian “ keefektifan
penggunaan tamponade epinephrine pada pertolongan pertama
penatalaksaan epistaksis “, peneliti selanjutnya juga bisa dilakukan dengan
metode penelitian kuantitatif.
DAFTAR PUSTAKA
Bidasari L, Rina A C Saragih 2007, Tata Laksana Epistaksis Berulang Pada
Anak, Vol. 9, No. 2, diakses 7 Desember 2013,
Budiman J Bestari, Al Hafiz 2011, Epistaksis Berulang dengan Rinosinusitis
Kronik, Spina, pada Septum dan Telangiektasis, diakses 6 Desember 2013,
Budiman J Bestari, Yolazenia2012, Epistaksis dan Hipertensi, diakses 7
Desember 2013, {“http://jurnal.fk.unand.ac.id”}.
Callaham, Michael L et al. 1997, Seri Skema Diagnosis dan
PenatalaksanaanGawat Darurat Medis, Binarupa Aksara, Jakarta.
Corwin, EJ 2009, Buku Saku Patofisiologi, EGC, Jakarta.
Haryadi, Putra 2012, Asuhan Keperawatan Epistaksis, diakses 19 Desember 2013,
putra hariyadi
Irma, Indah & Ayu Intan2013, Penyakit Gigi, Mulut dan THT, Nuha Medika,
Yogyakarta.
Moleong, J Lexy 2013, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya,
Bandung.
Neal, Michael J 2006, At a Glance Farmakologi Medis, Erlangga, Jakarta.
Nursalam 2011, Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan
Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan, Salemba
Medika, Jakarta.
Polit, DF & Beck, CT 2006, Essentials Of Nursing Research Methods, Appraisal,
and Utilization, 6th edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia.
Polit, DF & Hungler, BP 2005, Nursing Research : Principles and Methods, 6th
edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia.
Potter, PA & Perry, Ag 2005, Fundamental of Nursing concept, Process and
Practice, 4th edition, Mosby Company, St Louis.
Saryono & Anggraeni, MD 2010, Metodologi Penelitian Kualitatif Dalam Bidang
Kesehatan, Nuha Medika, Yogyakarta.
Shah, Kaushal, 2013, Prosedur Penting dalam Kedaruratan, EGC, Jakarta.
Soepardi, Efiaty et al. 2002, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Lehe edisi 5, FKUI, Jakarta.
Soepardi, Efiaty et al. 2000, Penatalaksanaan Penyakit dan Kelainan Telinga-
Hidung-Tenggorok edisi 2, FKUI, Jakarta.
Sutopo, HB 2006, Metodologi Dasar Teori danTerapannya Dalam Penelitian,
Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta.