teknik wawancar afor bdp
TRANSCRIPT
Teguh Usis
Phillips Davison, sosilog dari Columbia University, New York, AS :
1. Radio adalah media yang memberikan peringatan (alerting medium).
2. Telivisi disebut Davison sebagai media yang melibatkan (involving medium), lantaran telivisi punya kecenderungan untuk mengikat khalayak secara emosional.
3. Media cetak adalah media yang memberikan informasi (informing medium).
Wawancara adalah proses pencarian data
berupa pendapat, pandangan, atau
pengamatan seseorang yang akan digunakan
sebagai salah satu bahan penulisan karya jurnalistik
Seringkali jurnalis baru menemukan kesulitan dalam melakukan wawancara dengan nara sumber, hal ini dikarenakan :
◦ Takut◦ Grogi◦ Khawatir pertanyaan akan menyinggung atau
menyudutkan nara sumber◦ Terlalu melibatkan emosi pribadi contoh
kasus: Barbara Walsh ketika mewawancarai William R. Horton Jr.
wawancara yang baik dapat terlaksana bila wartawan
memungkinkan narasumber untuk
mengatakan apa yang sebenarnya dipikirkan
daripada harus memikirkan apa yang
harus dikatakan (Mike Fancher, wartawan Seattle )
Larry King, host tersohor di CNN dengan program talkshow Larry King Live, punya tips tokcer :
Tidak perlu menghadapi tamu dengan sikap menyerang untuk mendapatkan jawaban yang solid dan substantif.
Bersikaplah ramah kepada tamu atau narasumber, sehingga mereka merasa dekat secara pribadi.
Jangan ragu untuk melontarkan pertanyaan yang kelihatannya bodoh, asalkan yakin bahwa pertanyaan itu ingin diketahui khalayak.
Seorang pewawancara yang baik, secara sekaligus melakukan berbagai hal, mulai dari mendengarkan, mengamati, menyelidiki, menanggapi, sampai mencatat.
Namun, bisa pula pewawancara bersikap bagai seorang interogator, kala ia mewawancarai tersangka koruptor, umpamanya.
Tak jarang pula, dalam sebuah wawancara, kombinasi dari rangkaian mendengarkan, mengamati, menyelidiki, dan menanggapi, menjadi satu kesatuan utuh.
Wawancara bukanlah sesuatu yang dipelajari, kemudian bisa diterapkan begitu saja. Wawancara adalah sebuah proses tertentu yang mengharuskan penafsiran dan penyesuaian terus menerus.
Jadi, cara terbaik untuk belajar wawancara adalah dengan berwawancara itu sendiri.
Prinsip dasar wawancara :
1. Wawancara adalah sebuah perbincangan, yang biasanya dilakukan oleh dua orang atau lebih, untuk mendapatkan informasi atas nama khalayak yang tidak tampak. Dari perbincangan ini, akan diperoleh pertukaran informasi yang bisa menghasilkan suatu tingkat intelejensia.
2. Wartawan tidak harus mendominasi pembicaraan saat wawancara
3. Wartawan harus lebih dulu meneliti atau meriset topik yang ingin ditanyakan.
Prinsip Praktis dalam Wawancara:1. Terbuka dan beri perhatian. Seorang wartawan tidak
boleh tidak menyukai siapa pun narasumber yang akan diwawancarai
2. Narasumber haruslah didengarkan secara sungguh-sungguh. Orang akan bicara lebih bebas jika merasa senang.
3. Jangan pernah bosan mendengarkan cerita narasumber. Sebab, tugas wartawanlah untuk merangkai semua omongan narasumber menjadi cerita yang bagus.
4. wawancara dianggap berhasil bila narasumber merasa bebas mengatakan apa yang ia pikirkan atau rasakan. Wartawan jangan pernah punya rasa ingin mengadili narasumber.
Ada delapan persyaratan yang harus dipenuhi dalam melakukan wawancara, yakni:
1. Mempunyai tujuan yang jelas2. Efisien3. Menyenangkan4. Mengandalkan persiapan dan riset awal5. Melibatkan kepentingan khalayak6. Menimbulkan spontanitas7. Pewawancara berfungsi sebagai pengendali8. Mampu mengembangkan logika
Menurut Floyd G. Arpan dalam Toward Better Communications, berdasarkan bentuknya, wawancara dapat dikelompokkan ke dalam tujuh jenis, yaitu:
1. Wawancara sosok pribadi (personal interview), adalah wawancara untuk mengenal pribadi seseorang yang memiliki nilai berita. Hasilnya biasanya berupa profil narasumber yang diwawancarai
2. Wawancara berita (news interview), adalah wawancara yang berkaitan dengan sebuah laporan tentang sebuah peristiwa yang sudah direncanakan. Wawancara ini sering juga disebut information interview.
3. Wawancara jalanan (man in the street interview), adalah wawancara yang dilakukan untuk mengumpulkan pendapat beberapa orang awam mengenai sebuah peristiwa, bisa menyangkut satu keadaan dan bisa pula tentang sebuah kebijaksanaan baru.
4. Wawancara sambil lalu (casual interview), adalah wawancara mendadak. Dalam hal ini seorang wartawan minta kesediaan seorang narasumber untuk diwawancarai. Si wartawan berbuat begitu karena ia bertemu dengan narasumber yang dianggapnya punya informasi yang perlu dilaporkan kepada khalayak.
5. Wawancara telepon (telephone interview), adalah wawancara yang dilakukanlewat telepon. Ini biasanya dilakukan wartawan kepada narasumber yang sudah dikenalnya dengan baik dan untuk melengkapi sebuah berita yang sedang ditulis. Dengan perkataan lain, seorang wartawan memilih jenis wawancara ini karena ia dalam keadaan terdesak.
6. Wawancara tertulis (written interview), biasanya dilakukan seorang wartawan yang sudah mengalami jalan buntu. Setelah ditelepon, didatangi ke rumah dan ke kantor, si wartawan tidak bisa bertemu dengan narasumber, maka ia memilih wawancara jenis ini.
7. Wawancara kelompok (discussion interview), adalah wawancara yang dilakukan terhadap beberapa orang sekaligus untuk membahas satu persoalan atau implikasi satu kebijaksanaan pemerintah. Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berbicara.
Setidaknya, ada sembilan tahap wawancara yang harus dilakukan :
1. Ajukan janji untuk wawancara dan jelaskan maksudnya. Pada kesempatan ini, wartawan dapat menjual gagasannya agar calon narasumber antusias.
2. Lakukan riset. Riset dilakukan terhadap calon narasumber (misalnya tentang kebiasaannya, pengalamannya, dll) dan terhadap topik yang akan dibahas.
3. Rencanakan strategi wawancara. Cari jalan terbaik untuk menuju ke topik pembahasan. Jika narasumber terkenal pendiam atau suka mengelak, risetlah, misalnya, tentang hobinya si narasumber.
4. Temui narasumber. Ketika sudah bertemu langsung, ulangi sekali lagi tujuan wawancara. Perkenalkan diri dan gagasan yang ingin dijual kepada narasumber. Jangan lupa, ciptakan suasana yang nyaman, umpamanya dengan melontarkan guyonan, sebagai ice breaker.
5. Ajukan pertanyaan pertama yang membuat narasumber nyaman. Mulailah dengan topik yang menguatkan ego narasumber.
6. Lanjutkan ke pertanyaan inti. Dengarkan penjelasannya di awal, lalu ajukan pertanyaan yang lebih mendalam.
7. Ajukan pertanyaan keras. Pertanyaan yang sensitif hendaknya disimpan di akhir.
8. Pulihkan suasana akibat dampak dari pertanyaan keras. Giring narasumber untuk kembali merasa nyaman
9. Di akhir, simpulkan wawancara. Kesimpulan perlu dilakukan agar arah wawancara seperti yang sudah disepaaki di awal benar-benar tercapai
“Saya lebih cenderung membiarkan orang untuk bicara lebih lama. Anda mungkin tidak akan menggunakan semua informasi yang Anda dapatkan, tapi Anda bisa melukai perasaan orang yg diwawancarai jika Anda terburu-buru”. ( Barbara Walsh)
Mendengarkan dengan baik
Untuk menghasilkan wawancara yang baik, hendaknya diperhatikan sepuluh hal berikut ini.
1. Penting melakukan persiapan sebelum wawancara: riset, outline wawancara, pengenalan terhadap narasumber yang akan diwawancarai
2. Sopan dan beretika, termasuk mengetahui peraturan di tempat wawancara akan dilakukan
3. Jangan mendebat narasumber. Tugas seorang pewawancara adalah menggali informasi sebanyak-banyaknya, bukan berdiskusi. Jika tidak setuju dengan omongannya, biarkan saja. Kalau pun terpaksa mendebat, sampaikanlah dengan nada bertanya dan tidak terkesan membantah
4. Tanyakanlah hal yang bersifat khusus agar bisa memfokuskan jawaban dari narasumber
5. Usahakan pertanyaan singkat dan langsung ke inti persoalan. Jangan berputar-putar
6. Hindari mengajukan sekaligus dua pertanyaan dalam satu kali bertanya. Biasanya, narasumber akan langsung menjawab pertanyaan terakhir yang ia dengar
7. Lakukan penyesuaian diri dengan karakter narasumber. Untuk narasumber pendiam, lontarkan ungkapan-ungkapan pancingan – bahkan yang bersifat lucu – untuk membuat narasumber mau buka mulut. Untuk narasumber yang ngember, arahkan pembicaraan agar tidak melenceng ke mana-mana
8. Jalin hubungan yang dekat dengan narasumber. Lakukan saat sebelum dan sesudah wawancara. Obrolkan hal-hal ringan untuk mengakrabkan suasana
9. Bagi narasumber yang memiliki “lawan”, usahakan kita seolah berdiri di pihak narasumber. Ini penting agar narasumber tidak menganggap kita sebagai musuhnya
10. Jika wawancaranya “keroyokan” (door stop), usahakan untuk tidak melontarkan pertanyaan eksklusif. Simpanlah pertanyaan itu jika narasumber sudah sendirian
KEN METZLER :
“Dia yang bertanya adalah orang bodoh untuk lima menit. Tapi, dia yang tidak bertanya adalah orang bodoh untuk
selamanya”.
(Ken Metzler, Newsgathering, hal. 106)
TERIMA KASIH