crs epistaksis

48
Case Report Session Epistaksis Oleh : Nova Elisa Diana Melisa Chris Riyandi Putra Pembimbing : dr.Effy Huriyati, SpTHT-KL 1

Upload: fitri-maulani

Post on 11-Jul-2016

47 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

crs

TRANSCRIPT

Page 1: CRS Epistaksis

Case Report Session

Epistaksis

Oleh :

Nova Elisa

Diana Melisa

Chris Riyandi Putra

Pembimbing :

dr.Effy Huriyati, SpTHT-KL

BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROKBEDAH KEPALA DAN LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALASRS DR M DJAMIL PADANG

2010

1

Page 2: CRS Epistaksis

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Definisi

Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang merupakan gejala atau manifestasi penyakit

lain, penyebabnya bisa lokal atau sistemik. Perdarahan bisa ringan sampai serius dan bila tidak segera

ditolong dapat berakibat fatal. Sumber perdarahan biasanya berasal dari bagian depan atau bagian

belakang hidung.1,2,3,4

1.2. Epidemiologi

Epistaksis atau perdarahan hidung dilaporkan timbul pada 60% populasi umum. Puncak kejadian

dari epistaksis didapatkan berupa dua puncak (bimodal) yaitu pada usia <10 tahun dan >50 tahun. Kira-

kira 10% dari penduduk dunia mempunyai riwayat hidung berdarah beberapa kali dalam hidupnya.

Sekitar 30% anak-anak umur 0-5 tahun, 56% umur 6-10 tahun, dan 64 % berumur 11-15 tahun

mengalami sekurang-kurangnya satu kali epistaksis. Sebagai tambahan, 56% orang dewasa dengan

perdarahan hidung berulang pernah mengalami kejadian serupa pada saat kecil.1

Epistaksis jarang terjadi pada bayi, namun terdapat kecenderungan peningkatan insiden epistaksis

seiring dengan pertambahan usia. Epistaksis anterior lebih sering terjadi pada anak-anak dan dewasa

muda, sedangkan epistaksis posterior lebih sering terjadi pada usia yang lebih tua, terutama pada laki-laki

berusia ≥50 tahun dengan penyakit hipertensi dan arteriosklerosis. Pasien yang menderita alergi,

inflamasi hidung, dan penyakit sinus lebih rentan terhadap resiko terjadinya epistaksis karena mukosanya

lebih mudah kering dan hiperemis yang disebabkan oleh reaksi inflamasi.1

2

Page 3: CRS Epistaksis

1.3. Anatomi Hidung

1.3.1.Kerangka hidung

Kerangka hidung berbentuk seperti tenda dengan dua os nasale yang bersatu pada garis tengah

dan berartikulasio di superior dengan pars nasalis os frontalis dan processus “ ascending’’ maxilla di

lateral. Tulang menyususn sepertiga superior hidung sedangkan dua pertiga bagian bawah merupakan

tulang rawan. Kartilago nasi lateralis superior dan bawah septum membagi hidung kedalam dua ruangan

yang disebut vestibulum. Seperti sisi lateral hidung, septum terdiri dari kartilago di anterior dan tulang di

posterior.1,2

1.3.2. Hidung Interna

Lubang luar yang menuju ke sisi dalam hidung dinamai nares anterior, sementara lubang

posterior dari hidung ke nasopharink dinamai choana. Tepat setelah nares anterior, terdapat area kulit

yang dinamai vestibulum dan berlapis yang mengandung bulu hidung atau vibrise yang penting secara

klinik karena folikel rambut ini dapat terinfeksi.

Permukaan medial tiap ruang lingkup dibentuk oleh septum nasi. Sering septum berdeviasi, yang

menyebabkan terjadinya obstruksi saluran pernafasan nasal. Sisi lateral tiap cavitas nasalis terdiri dari

sejumlah struktur yang penting secara klinik. Biasanya ada tiga konvolusi mukosa yang tegas yang

dinamai concha. Fungsinya untuk meningkatkan luas permukaan hidung dan dinamai menurut lokasinya

yaitu inferior, medialis, superior dan suprema. Diantara concha terdapat lekukan pada dinding hidung

(meatus). Pada meatus inferior terdapat muara atau ostium duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak

diantara konka media dan dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus media terdapat muara sinus

frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara

konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid.

3

Page 4: CRS Epistaksis

Gambar 1. Dinding Lateral Kavum Nasi

1.3.3 Anatomi Vaskuler

Vaskularisasi cavum nasi berasal dari system carotis interna dan eksterna. Arteri carotis interna

bercabang menjadi arteri oftalmika yang kemudian bercabang lagi menjadi arteri etmoidalis anterior dan

posterior, yang mendarahi septum dan dinding lateral superior. Arteri karotis eksterna memberikan suplai

darah terbanyak pada cavum nasi melalui :1,2

1. Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan melalui foramen

sphenopalatina yang memperdarahi septum tiga perempat posterior dan dinding lateral hidung.

2. Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatina mayor, yang berjalan melalui kanalis

incisivus palatum durum dan menyuplai bagian inferoanterior septum nasi.

Dua area pada kavum nasi merupakan tempat tersering perdarahan hidung yaitu pleksus Kiesselbach dan

pleksus Woodruff

1. Pleksus Kiesselbach adalah wilayah anastomosis yang berlokasi pada dinding anterior-inferior

septum yang memberikan lebih dari 90% episode perdarahan. Dibentuk oleh pleksus dari arteri

4

Page 5: CRS Epistaksis

sphenopalatina, palatina mayor, labialis superior, dan ethmoidalis anterior. Wilayah ini mudah

terlihat dan terjangkau, menjadikan perdarahan anterior lebih mudah untuk dikontrol.

2. Pleksus Woodruff adalah anastomosis posterior dari hidung posterior, arteri sphenopalatina dan

pharyngeal asenden melalui posterior konka medial. Wilayah ini sukar dilihat sehingga sulit

untuk ditangani. Tempat perdarahan tersering dari bagian posterior adalah cabang posterior

lateral dari arteri sphenopalatina.

Gambar 3. Pleksus Kiesselbach dan Pleksus Woodruff

1.4 Klasifikasi

Epistaksis dibedakan atas dasar sumber pendarahan atau tempat pendarahan. Sumber perdarahan

dapat berasal dari bagian anterior atau bagian posterior hidung 1

Epistaksis Anterior

Epistaksis ini dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan sumber perdarahan paling

sering dijumpai pada anak-anak. Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat

dikendalikan dengan tindakan sederhana.

Epistaksis Posterior

Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina (area Woodruff, dibawah bagian

5

Page 6: CRS Epistaksis

posterior konka nasalis inferior) atau arteri etmoid posterior. Perdarahan biasanya hebat dan

jarang berhenti dengan sendirinya. Pasien terus mengeluhkan darah mengalir dibelakang

tenggorokkannya. Epistaksis ini sering ditemukan pada pasien hipertensi, arteriosclerosis atau

pasien dengan penyakit kardiovaskuler.

Gambar 4. Epistaksis anterior (atas) dan Epistaksis posterior (bawah)

1.5. Etiopatogenesis

Perdarahan hidung diawali dengan pecahnya pembuluh darah di selaput mukosa hidung. Delapan

puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah pleksus Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach terletak

di septum nasi bagian anterior, di belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang

kaya anastomosis.

Epistaksis dapat disebabkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik.1,2,3

6

Page 7: CRS Epistaksis

1.5.1 Lokal

a. Trauma

- Epistaksis dapat terjadi setelah trauma ringan, misalnya waktu mengeluarkan ingus

dengan kuat, bersin, mengorek hidung atau sebagai akibat trauma yang hebat, seperti

terpukul, jatuh, kecelakaan lalu lintas.

- Trauma yang terus menerus dapat merusak perikondrium sehingga menyebabkan tulang

rawan terekspos dan terjadinya perforasi. Aliran udara terganggu, terjadi turbulensi dan

kekeringan lebih jauh, menyebabkan terbentuknya keropeng dan perdarahan.

b. Infeksi

Infeksi hidung dan sinus paranasal, rhinitis, sinusitis, serta granuloma spesifik seperti sifilis,

lepra, dan lupus dapat menyebabkan epistaksis.

c. Neoplasma

Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten, kadang-kadang

disertai mucus yang bernoda darah. Hemangioma, karsinoma, dan angiofibroma dapat

menyebabkan epistaksis berat.

d. Kelainan kongenital

Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah teleangiektasis hemoragik

herediter. Penyakit ini adalah penyakit autosomal dominan. Kelainannya terletak pada minimnya

elemen kontraktil (jaringan elastik dan muskular) pada dinding pembuluh darah mulai dari

kapiler hingga arteri, yang kemudian menimbulkan formasi telengiektasia (dilatasi venula dan

kapiler) dan malformasi arteriovenous pada kulit atau lapisan mukosa saluran aerodigestivus.

Keadaan ini menyebabkan mudahnya terjadi perdarahan, bahkan oleh trauma kecil sekalipun.

e. Sebab-sebab lain termasuk benda asing dan perforasi septum

Perforasi septum dan benda asing hidung dapat menjadi predisposisi perdarahan hidung. Bagian

anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan

yang cenderung mengerikan aliran sekresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha

7

Page 8: CRS Epistaksis

pelepasan krusta dengan jari dapat menimbulkan trauma. Pengeluaran krusta berulang

menyebabkan erosi membrane mukosa septum dan menyebabkan perdarahan. Epistaksis sering

juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam. Perdarahan dapat terjadi di tempat spina itu

sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka itu sedang mengalami

pembengkakan.

f. Faktor lingkungan

Misalnya tinggal di daerah tinggi, tekanan udara rendah atau lingkungan udaranya sangat kering.

1.5.2. Sistemik

a.Kelainan darah

Kelainan darah penyebab epistaksis, misalnya trombositopenia, hemofilia dan leukemia. Obat-

obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin dan fenilbutazon dapat pula mempredisposisi epistaksis

berulang.

b. Penyakit kardiovaskular

Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada arteriosklerosis, nefritis kronis, sirosis

hepatis, sifilis, diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi

biasanya hebat, sering kambuh dan prognosinya kurang baik.

c. Infeksi sistemik

yang paling sering menyebabkan epistaksis adalah demam berdarah dengue, selain itu juga

morbili, demam tifoid dan influensa dapat juga disertai adanya epistaksis.

d. Gangguan endokrin

Wanita hamil,menars dan menopause sering juga dapat menimbulkan epistaksis.

e. Perubahan tekanan atmosfir

Contoh dalam hal ini adalah Caisson Disease (pada penyelam)

f. Alkohol

8

Page 9: CRS Epistaksis

Efek dari alkohol dapat berupa mengurangi agregasi trombosit dan memperpanjang waktu

perdarahan dan juga perubahan hemodinamik seperti vasodilatasi dan perubahan tekanan darah.

1.6 Diagnosis

Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam menentukan sebab-sebab perdarahan.

Keadaan umum, tensi dan nadi perlu diperiksa. Dan untuk pemeriksaan, alat-alat yang diperlukan adalah

lampu kepala, spekulum hidung dan alat penghisap. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan penunjang

laboratorium yaitu pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hemostatis.1

a. Anamnesis

Suatu anamnesis yang cermat akan sangat membantu penanganan epistaksis secara tepat .

Beberapa hal penting yang harus ditanyakan pada pasien epistaksis, antara lain:

Apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorok (posterior) atau keluar dari hidung depan

(anterior) bila pasien duduk tegak

Lama perdarahan dan frekuensinya

Riwayat perdarahan sebelumnya

Kecenderungan perdarahan

Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga

Riwayat trauma hidung yang belum lama

Riwayat hipertensi

Riwayat diabetes mellitus

Riwayat penyakit hati

Riwayat penggunaan alcohol dan obat-obatan, misalnya; aspirin dan fenilbutazon atau

penggunaan anti koagulan

Trauma hidung yang belum lama

9

Page 10: CRS Epistaksis

Aspek anamnesis yang mungkin penting dalam melokalisasi tempat perdarahan bisa didapat

dengan menanyakan :

1. Sewaktu anda membungkuk apakah ada darah yang keluar dari hidung? (menggambarkan

sumber perdarahan anterior)

2. Apakah darah menuruni tenggorokan anda ? (menggambarkan perdarahan dari sisi posterior

cavitas nasalis)

Pada pasien yang telah mengalami epistaksis berulang harus ditanyakan mengenai riwayat

keluarga dengan kelainan perdarahan, riwayat perdarahan berlebihan pasca pencabutan gigi atau

sirkumsisi, serta riwayat menstruasi berlebihan.

Riwayat trauma harus ditanyakan secara terperinci pada pasien epistaksis. Kebanyakan kasus

epistaksis timbul sekunder trauma yang disebabkan oleh mengorek hidung menahun atau mengorek

krusta yang telah terbentuk akibat pengeringan mukosa hidung berlebihan.

Pada pasien epistaksis juga untuk penting mengetahui riwayat pengobatan atau penyalahgunaan

alkohol terperinci harus dicari. Banyak pasien minum aspirin secara teratur untuk banyak alasan. Aspirin

merupakan penghambat fungsi trombosit dan dapat menyebabkan pemanjangan atau perdarahan. Penting

mengenal bahwa efek ini berlangsung beberapa waktu dan bahwa aspirin ditemukan sebagai komponen

dalam sangat banyak produk. Alkohol merupakan senyawa lain yang banyak digunakan, yang mengubah

fungsi pembekuan secara bermakna.

b. Pemeriksaan Fisik

Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang hidung.

Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada

hidung yang terbanyak mengeluarkan darah.1

Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan ketinggian yang

memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau mengeksplorasi sisi

10

Page 11: CRS Epistaksis

dalam hidung. Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran

dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan semua

lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan. Setelah

hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan

pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk

menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat

berhenti untuk sementara. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan

evaluasi. 1

Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang bersifat kronik

memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas

utamanya adalah menghentikan perdarahan.

Pemeriksaan yang diperlukan berupa:1

a. Rinoskopi anterior

Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa

hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkha inferior harus diperiksa dengan

cermat.

b. Rinoskopi posterior

Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis

berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.

c. Pengukuran tekanan darah

Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi dapat

menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.

d. Rontgen sinus

Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi.

e. Skrining terhadap koagulopati

Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin parsial, jumlah

11

Page 12: CRS Epistaksis

platelet dan waktu perdarahan.

f. Riwayat penyakit

Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang mendasari

epistaksis

b. Pemeriksaan Penunjang

Tes laboratorium tertentu bermanfaat dalam mengevaluasi pasien epistaksis. Tes diagnostik

seharusnya mencakup sel darah lengkap untuk memantau derajat perdarahan dan apakah pasien anemia.

Jika ada kemungkinan koagulopati sistematik, maka harus dilakukan pemeriksaan pembekuan darah. Jika

pemeriksaan ini abnormal, maka harus dilakukan kosultasi yang tepat. Terakhir jika massa terlihat pada

pemeriksaan, maka harus dilakukan politomografi dan/atau CT scan untuk menggambarkan luas lesi ini.5

1.7 Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah memperbaiki keadaan umum, mencari sumber

perdarahan, menghentikan perdarahan, mencari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya

perdarahan.1,2,3,4,5,6

Bila pasien datang dengan epistaksis perhatikan keadaan umumnya, nadi, pernafasan serta

tekanan darahnya. Bila ada kelainan atasi terlebih dahulu, misalnya dengan memasang infus. Jalan nafas

dapat tersumbat oleh darah atau bekuan darah, perlu dibersihkan atau dihisap. 4

Prinsip dari penatalaksanaan epistaksis yang pertama adalah menjaga ABC, yakni :

-A (airway) : pastikan jalan napas tidak tersumbat/bebas, posisikan duduk menunduk

-B (breathing) : pastikan proses bernapas dapat berlangsung, batukkan atau keluarkan darah yang

mengalir ke belakang tenggorokan

-C (circulation) : pastikan proses perdarahan tidak mengganggu sirkulasi darah tubuh, pastikan pasang

12

Page 13: CRS Epistaksis

jalur infus intravena (infus) apabila terdapat gangguan sirkulasi.

Menghentikan Perdarahan

Menghentikan perdarahan secara aktif, seperti kaustik dan pemasangan tampon lebih baik

daripada pemberian obat hemostatik sambil menunggu epistaksis berhenti dengan sendirinya.

Pasien sendiri dapat menghentikan perdarahan bagian depan hidungnya dengan menjepit bagian

itu dengan sebuah jari tangan dan ibu jari serta meletakkan sebuah cawan untuk menampung tetesan

darah dari hidungnya. Pasien dilarang menelan karena dapat menggeser bekuan darah yang terbentuk.

Menelan dapat dicegah dengan menempatkan sebuah gabus diantara kedua barisan gigi depan (metode

Trotter).

Jika seorang pasien datang dengan epistaksis maka pasien harus diperiksa dalam keadaan duduk,

sedangkan jika terlalu lemah dapat dibaringkan dengan meletakkan bantal di belakang punggungnya

kecuali bila sudah dalam keadaan syok.6

Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap dan untuk membersihkan hidung dari

bekuan darah. Kemudian tampon kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/10.000 dan lidocain atau

pantocain 2% dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa

nyeri pada waktu tindakan selanjutnya . Tampon ini dibiarkan selama 3-5 menit. Dengan cara ini dapatlah

ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau di bagian posterior. 1,6

Perdarahan anterior

Perdarahan anterior seringkali berasal dari septum bagian depan. Apabila tidak berhenti dengan

sendirinya, perdarahan anterior terutama pada anak dapat dicoba dihentikan dengan menekan hidung dari

luar selama 10-15 menit dan seringkali berhasil. 6

Semprotan dekongestif dan aplikasi topikal gulungan kapas yang dibasahi kokain biasanya akan

cukup menimbulkan efek anestesi dan vasokonstriksi. Sekarang bekuan darah dapat di aspirasi. Bila

13

Page 14: CRS Epistaksis

sumbernya terlihat tempat asal perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti 20-30% atau dengan

Asam Trikolasetat 10% atau dapat juga dengan elektrokauter. Jika pembuluh menonjol pada kedua sisi

septum diusahakan agar tidak mengkauter daerah yang sama pada kedua sisi. Sekalipun menggunakan zat

kauterisasi dengan penetrasi rendah, namun daerah yang dicakup kauterisasi harus dibatasi. Sebaliknya,

maka dengan rusaknya silia dan pembentukan epitel gepeng diatas jaringan parut sebagai jaringan

pengganti mukosa saluran nafas normal, akan terbentuk titik-titik akumulasi dalam aliran lapisan mucus.

Dengan melambatnya atau terhentinya aliran mukus pada daerah-daerah yang sebelumnya mengalami

kauterisasi, akan terbentuk krusta pada septum. Pasien kemudian akan mengorek hidungnya dengan

megelupaskan krusta, mencederai lapisan permukaan dan menyebabkan perdarahan baru. Menentukan

lokasi perdarahan mungkin semakin sulit pada pasien dengan deviasi septum yang nyata dan perforasi

septum.6,7

Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka diperlukan pemasangan tampon

anterior, dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin atau salap antibiotika. Tampon mudah dibuat

dari lembaran kasa steriil bervaselin, berukuran 72 x 0,5 inchi disusun dari dasar hingga atap hidung

meluas hingga keseluruh panjang rongga hidung. Pemakaian vaselin atau salep pada tampon berguna agar

tampon tidak melekat, untuk menghindari berulangnya perdarahan ketika tampon dicabut. suatu tampon

hidung anterior harus memenuhi seluruh rongga hidung.6,7

14

Page 15: CRS Epistaksis

Gambar 5. Tampon anterior

Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun dengan teratur dan harus dapat menekan asal

perdarahan. Tampon dipertahankan selama 2x24 jam, harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung.

Jika lokasi perdarahan telah ditemukan, vasokonstriktor harus diberikan bersamaan dengan obat-obat

topikal seperti larutan kokain 4% atau oxymetazolin atau phenylephrine. Perdarahan yang lebih aktif

perlu diberikan anestesi topikal yang adekuat. Obat-obat intravena bisa diberikan pada kasus yang sulit

atau pada penderita yang cemas.6

Perdarahan Posterior

Tempat perdarahan tidak mudah dikenal pada epistaksis posterior. Penting menempatkan pasien

dengan tepat. Kecuali hipovolemia, ia harus duduk tegak, sehingga darah tidak menuju kembali ke

tenggorokkannya.4,5

Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior yang disebut

tampon bellocq. Tampon ini harus tepat menutup koana (nares posterior). Tampon Bellocq terbuat dari

kassa pada berbentuk bulat atau kubus dengan ukuran 3x2x2 cm. Pada tampon ini terdapat 3 utas benang ,

yaitu 2 utas pada satu sisi dan seutas benang pada sisi yang lain.4,5

Teknik pemasangan

Untuk memasang tampon Bellocq dimasukkan kateter karet melalui nares anterior sampai tampak di

orofaring dan kemudian ditarik ke luar melalui mulut. Ujung kateter kemudian diikat pada dua buah

benang yang terdapat pada satu sisi tampon Bellocq dan kemudian kateter ditarik keluar hidung. Benang

yang telah keluar melalui hidung kemudian ditarik, sedang jari telunjuk tangan yang lain membantu

mendorong tampon ini kearah nasofaring. Jika masih terjadi perdarahan dapat dibantu dengan

pemasangan tampon anterior, kemudian diikat pada sebuah kain kasa yang diletakkan didepan lubang

hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak. Benang yang terdapat pada rongga

mulut terikat pada sisi lain dari tampon Bellocq, diletakkan pada pipi pasien.Gunanya untuk menarik

tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Hati-hati mencabut tampon karena dapat menyebabkan

laserasi mukosa. Selama pemasangan itu pasien akan terganggu kenyamananya dan perlu diberi sedative

15

Page 16: CRS Epistaksis

dan analgetika.1

Sebagai pengganti tampon bellocq, dapat digunakan kateter folley dengan balon. Akhir-akhir ini

juga banyak tersedia tampon buatan pabrik dengan balon yang khusus untuk hidung atau tampon dari

bahan gel hemostatik.1

Pada epistaksis yang berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan pemasangan tampon

anterior maupun posterior, dilakukan ligasi arteri. Ligasi arteri etmoid anterior dan posterior dapat

dilakukan dengan membuat sayatan didekat kantus medius dan kemudian mencari kedua pembuluh darah

tersebut didinding medial orbita. Ligasi arteri maksila interna yang tetap di fossa pterigomaksila dapat

dilakukan melalui operasi Caldwell-Luc dan kemudian mengangkat dinding posterior sinus maksila. 4,5

Dengan semakin meningkatnya pemakaian endoskop, akhir-akhir ini juga dikembangkan teknik

kauterisasi atau ligasi arteri sfenopalatina dengan panduan endoskop.

Gambar 6. Tampon Posterior

Penatalaksanaan Bedah

16

Page 17: CRS Epistaksis

Pembedahan dilakukan pada kasus epistaksis berulang, namun beberapa prosedur bedah untuk

tindakan darurat untuk mengontrol kasus epistaksis berat dilakukan untuk mencegah waktu perawatan

yang lama sekaligus untuk meningkatkan daya tahan pasien. Wong dan Vogel (1981) menemukan bahwa

angka kegagalan tindakan pembedahan lebih rendah ( 14% dibandingkan 26%), menurunkan angka

komplikasi (40% dibandingkan 68%) dan waktu perawatan di RS menjadi 2,2% lebih rendah pada pasien

dengan epistaksis posterior.2,3

Sebelum memutuskan arteri mana yang harus diligasi dalam penatalaksanaan epistaksis, lokasi

perdarahan harus ditentukan terlebih dahulu. Jika perdarahan terjadi pada cavum nasi dapat berasal dari

arteri etmoid anterior maupun posterior. Darah yang berasal dari kavum nasi inferior atau posterior

berasal dari arteri karotis eksterna atau arteri maksillaris interna. Umumnya, lebih dipilih ligasi yang

sedekat mungkin dengan lokasi perdarahan disebabkan sulitnya mengontrol sirkulasi kontralateral seperti

pada ligasi yang lebih proksimal. Septoplasty dan reseksi mukosa/submukosa mungkin diperlukan untuk

memperbaiki deviasi septum dan dapat menggantikan tampon. Pengangkatan penutup mukosa dengan

reseksi submukosa dapat mengurangi frekuensi epistaksis pada beberapa pasien melalui pengangkatan

bekas luka.2,3

Ligasi arteri maksillaris interna biasanya menyebakan penurunan gradien tekanan pada pembuluh

darah dan dapat menyebabkan terbentuknya bekuan darah. Rata-rata kejadian berulangnya epistaksis

berkisar 5%-13%. Ligasi arteri etmoid dilakukan melalui insisi yang dipertimbangkan pada pasien yang

mengalami perdarahan ulang setelah ligasi arteri maksillaris interna, dimana terdapat juga epistaksis

kavum nasal superior atau pada sambungan ligasi arteri maksilaris interna ketika lokasi perdarahan telah

ditemukan. 2,3

Ligasi arteri carotis eksterna dilakukan melalui insisi yang dibuat di sepanjang garis anterior otot

sternokleidomastoideus. Setelah dikenali 2 cabang arteri karotis eksterna untuk mencegah terligasinya

arteri karotis internal, arteri karotis eksternal diligasi. 2,3

Angiografi selektif dapat digunakan sebagai alat diagnostik dan terapi untuk mengontrol

epistaksis. Embolisasi lebih efektif pada pasien dengan epistaksis yang berulang setelah ligasi arteri,

17

Page 18: CRS Epistaksis

daerah perdarahan sulit untuk dicapai dengan bedah, atau epistaksis yang disebabkan gangguan

perdarahan sistemik. Setelah anatominya dikenali, lokasi perdarahan di embolisasi dengan polyvinyl

alcohol, partikel gel-foam, atau kawat gulung. Prosedur ini dapat menyumbat pembuluh darah dekat

dengan daerah perdarahan sehingga dapat meminimalisasi kolateral. Prosedur ini efektif hanya ketika

rata-rata perdarahan >0,5 ml/menit. Angka keberhasilan sekitar 90% dengan angka komplikasi sekitar 0,1

%. Kerugiannya adalah arteri karotis eksterna atau cabangnya dapat tersumbat dan menimbulkan

komplikasi yang berat seperti hemiplegi, paralisis nervus fasialis, dan nekrosis kulit.2,3

Septodermoplasty sering digunakan pada pasien dengan HHT, setelah teleangiektasis pada

mukosa nasal anterior diangkat dari setengah anterior septum, dasar hidung, dan dinding lateral,

kemudian diletakkan skin graft. Pasien dapat mengalami epistaksis berulang yang disebabkan

pertumbuhan teleangiektasis ke dalam graft atau flap, namun keparahan dan frekuensi perdarahan

berkurang secara signifikan. Laser Neodymium-yttrium-garnet (Nd-YAG) atau laser argon telah

digunakan untuk fotokoagulasi lesi epistaksis, terutama pada pasien dengan HHT. Penatalaksanaan

kembali biasanya dibutuhkan namun tingkat keparahan dan frekuensi perdarahan umumnya meningkat. 2,3

1.8 Komplikasi

Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha penanggulangannya. Sebagai

akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia. Tekanan darah yang turun mendadak dapat

menimbulkan iskemia otak, insufisiensi koroner dan infark miokard dan akhirnya kematian. Harus segera

dilakukan pemberian infus atau transfusi darah. Komplikasi lain terjadi aspirasi yaitu darah tersedak

masuk ke dalam paru-paru.1,2

Pemasangan tampon dapat menimbulkan sinustis, otitis media, bahkan septikemia. Oleh karena

itu pada setiap pemasangan tampon harus selalu diberikan antibiotik dan setelah 2-3 hari harus dicabut

meskipun akan dipasang tampon baru bila masih berdarah. Selain itu dapat juga terjadi hemotimpanum

sebagai akibat mengalirnya darah retrograd melalui tuba Eustachius dan air mata yang berdarah (bloody

18

Page 19: CRS Epistaksis

tears) sebagai akibat mengalirnya darah secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis. Pada waktu

pemasangan tampon Bellocq dapat terjadi laserasi palatum mole dan sudut bibir karena benang terlalu

kencang dilekatkan.1,2

1.9 Prognosis

Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada pasien hipertensi

dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh dan prognosisnya buruk.

BAGIAN TELINGA HIDUNG TENGGOROKBEDAH KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALASPADANG

STATUS PASIEN PRESENTASI KASUS

IDENTITAS PASIEN Tanggal Pemeriksaan:30-11-2010

Nama : Ny. A

Umur : 60 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Suku Bangsa : Minang

Alamat : Lubuk Minturun, Koto Tangah, kotamadya Padang

ANAMNESIS

Seorang pasien perempuan berumur 60 tahun datang ke IGD RSUP M. Djamil Padang pada

tanggal 30 November 2010, pukul 17.45 WIB dengan:

Keluhan Utama :

Keluar darah dari hidung sejak 6 jam sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang :

Keluar darah dari hidung sejak 6 jam sebelum masuk rumah sakit, terus menerus, warna

merah segar, jumlah ± 1 gelas

Keluar darah lebih banyak dari lubang hidung kanan dibanding lubang hidung kiri

Keluar darah dari mulut ada

Darah juga terasa mengalir ke tenggorok

19

Page 20: CRS Epistaksis

Sebelumnya hidung pasien terasa gatal, kemudian pasien mencuci muka, sambil

menggosok- gosok hidungnya. Tiba- tiba keluar darah yang banyak dari lubang hidung

sebelah kanan, kemudian juga mengalir darah dari lubang hidung sebelah kiri.

Riwayat trauma sebelumnya tidak ada

Demam, batuk, dan pilek, sejak 4 hari yang lalu, diikuti sakit gigi 1 hari setelahnya.

kemudian pasien berobat ke bidan, diberikan 3 macam obat, parasetamol, amoksisilin,

dan satu lagi tidak diketahui pasien apa namanya. Saat ini demam tidak ada lagi, sakit

gigi, batuk dan pilek masih ada.

Riwayat bersin-bersin lebih dari 5 kali di pagi hari dirasakan 3 hari dalam 1 minggu,

hidung tersumbat, gatal pada hidung, hidung berair, mata berair dan gatal ada sejak 5

tahun terakhir, keluhan ini belum mengganggu aktivitas sehari hari.

Riwayat darah sukar membeku tidak ada

Riwayat hipertensi tidak ada

Riwayat telinga berdenging, pandangan ganda, sulit menelan tidak ada

Riwayat minum obat aspirin dan antikoagulan tidak ada

Riwayat diabetes mellitus tidak ada

Pasien berobat ke RSUD Air Pecah, dilakukan pemasangan tampon anterior pada lubang

hidung kanan, namun setelah 3 jam, darah tidak kunjung berhenti, dan tampon terlepas,

lalu pasien dirujuk ke RSUP M. Djamil.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada keluarga yang menderita kelainan pembekuan darah

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, dan Kebiasaan:

Pasien adalah seorang ibu rumah tangga

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : CMC

Tekanan darah : 110/80 mmHg

Frekuensi nadi : 100 x/menit

20

Page 21: CRS Epistaksis

Frekuensi nafas : 24 x/menit

Suhu : 36.8 °C

Pemeriksaan sistemik

Kepala : tidak ada kelainan

Mata : Konjungtiva anemis, Sklera tidak ikterik

Toraks : dalam batas normal

Jantung : dalam batas normal

Abdomen : dalam batas normal

Extremitasa : tidak ada kelainan, edema (–)

STATUS LOKALIS THT

Telinga

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra

Daun Telinga

Kel. Kongenital - -

Trauma - -

Radang - -

Kel. Metabolik - -

Nyeri tarik - -

Nyeri tekan - -

Dinding Liang

Telinga

Cukup lapang (N) Cukup lapang Cukup lapang

Sempit - -

Hiperemi - -

Edema - -

Massa - -

Sekret / Serumen Bau - -

Warna kuning Kuning

Jumlah Sedikit Sedikit

21

Page 22: CRS Epistaksis

Jenis Lunak lunak

Membran Timpani

Utuh

Warna Putih Putih

Refleks cahaya + +

Bulging - -

Retraksi - -

Atrofi - -

Perforasi (tidak ada)

Jumlah perforasi

Jenis

Kwadran

Pinggir

Gambar

Mastoid

Tanda radang - -

Fistel - -

Sikatrik - -

Nyeri tekan - -

Nyeri ketok - -

Tes Garpu tala

Rinne + +

Schwabach Sama dengan

pemeriksa

Sama dengan pemeriksa

Weber Tidak ada lateralisasi

Kesimpulan Pendengaran normal

Audiometri Tidak dilakukan

Hidung

Pemeriksaan Kelainan Dextra Sinistra

Hidung luar Deformitas - -

22

Page 23: CRS Epistaksis

Kelainan kongenital - -

Trauma - -

Radang - -

Massa - -

Sinus Paranasal

Pemeriksaan Dextra Sinistra

Nyeri tekan - -

Nyeri ketok - -

Rinoskopi Anterior

Vestibulum Vibrise + +

Radang - -

Kavum nasi Cukup lapang (N) Cukup lapang Sempit

Sempit - -

Lapang - -

Sekret Lokasi Pleksus Kieselbach Mengalir dari arah

nasofaring

Jenis darah darah

Jumlah banyak sedikit

Bau - -

Konka inferior Ukuran Eutrofi Hipertrofi

Warna Merah Merah

Permukaan Licin Licin

Edema - -

Konka media Ukuran Eutrofi Eutrofi

Warna Merah Merah

Permukaan Licin Licin

Edema - -

23

Page 24: CRS Epistaksis

Septum lurus/deviasi Cukup lurus

Permukaan Licin Licin

Warna Merah muda Merah muda

Spina - -

Krista - -

Abses - -

Perforasi - -

Massa Lokasi - -

Bentuk - -

Ukuran - -

Permukaan - -

Warna - -

Konsistensi - -

Mudah digoyang - -

Pengaruh

vasokonstriktor

- -

Rinoskopi Posterior

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra

Koana

Cukup lapang (N) Cukup Lapang Cukup Lapang

Sempit - -

Lapang

Mukosa

Warna Merah muda Merah muda

Edema - -

Jaringan granulasi - -

Konkha superior

Ukuran eutropi eutropi

Warna Merah muda Merah muda

Permukaan licin licin

Edema - -

Adenoid Ada/tidak Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai

24

Page 25: CRS Epistaksis

Muara tuba eustachiusTertutup secret - -

Edema mukosa - -

Massa (tidak ada)

Lokasi

Ukuran

Bentuk

Permukaan

Post Nasal Drip Ada/tidak Tidak ada Tidak ada

Jenis

Darah Ada/tidak

clotting

Ada

ada

Ada

ada

Gambar

Orofaring dan Mulut

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra

Palatum mole + Arkus

faring

Simetris/tidak Simetris

Warna Merah muda Merah muda

Edema - -

Bercak/eksudat - -

Dinding Faring,

tampak darah

mengalir, clotting (+)

Warna Merah muda Merah muda

Permukaan Licin Licin

Tonsil Ukuran T1 T1

Warna Merah muda Merah muda

Permukaan rata rata

Muara kripti Tidak Melebar Tidak Melebar

Detritus - -

25

Page 26: CRS Epistaksis

Eksudat - -

Perlengketan dg pilar + +

Peritonsil Warna Merah muda Merah muda

Edema - -

Abses - -

Tumor (tidak ada) Lokasi

Bentuk

Ukuran

Permukaan

Konsistensi

Gigi

Atas : tersisa molar 3

kanan dan kiri

Bawah : lengkap

Karies/radiks - -

Gusi Hiperemis (rahang

atas)

Hiperemis

(rahang atas)

Kesan Higienis baik Higienis baik

Lidah

Warna Merah muda Merah muda

Bentuk Normal Normal

Deviasi - -

Massa - -

Gambar

Laringoskopi Indirek , terdapat darah mengalir dan clotting

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra

Epiglottis Bentuk Seperti kubah

Warna Merah muda

Edema -

26

Page 27: CRS Epistaksis

Pinggir rata/tidak Rata

Massa -

Aritenoid

Warna Merah muda Merah muda

Edema - -

Massa - -

Gerakan Normal Normal

Ventrikular Band

Warna Merah muda Merah muda

Edema - -

Massa - -

Plika Vokalis

Warna Putih Putih

Gerakan Normal Normal

Pinggir medial Normal Normal

Massa - -

Subglotis/tracheaMassa -

Sekret ada/tidak Tidak ada

Sinus piriformisMassa Sukar dinilai

Sekret

Valekule Massa Sukar dinilai

27

Page 28: CRS Epistaksis

Sekret (jenisnya)

Gambar

Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening Leher

Pada inspeksi tidak terlihat pembesaran kelenjar getah bening leher.

Pada palpasi tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening leher.

28

Page 29: CRS Epistaksis

RESUME

(DASAR DIAGNOSIS)

Anamnesis :

Hidung keluar darah sejak 6 jam yang lalu, jumlah ± 1 gelas

Sebelumnya pasien menggaruk- garuk hidungnya

Demam, pilek dan batuk sejak 4 hari yang lalu, diikuti sakit gigi

Bersin -bersin lebih dari 5 kali di pagi hari dirasakan 3 hari dalam 1 minggu, hidung

tersumbat, gatal pada hidung, hidung berair, mata berair dan gatal ada sejak 5 tahun

terakhir dan belum mengganggu aktivitas sehari-hari.

Pemeriksaan Fisik :

Darah mengalir dari pleksus Kieselbach cavum nasi dextra, laserasi sulit dinilai, clotting

(+)

Dinding posterior faring tampak darah mengalir, clotting (+)

Diagnosis Kerja : Trauma hidung dengan Epistaksis anterior massif

Pemeriksaan laboratorium:

Darah rutin

Hb : 6.7 gr/ dl

Ht : 21

Leukosit : 9400

Trombosit : 330.000

Darah lengkap

GDR :125

Na/ K/ Cl :139/4.4/114

Diagnosis Tambahan : Anemia sedang ec perdarahan akut

Rinitis alergi intermitten ringan

Diagnosis Banding : Epistaksis anterior massif ec gangguan pembekuan darah

Epistaksis anterior massif ec rhinitis

Susp. Carcinoma Nasofaring

29

Page 30: CRS Epistaksis

Pemeriksaan Anjuran : pemeriksaan PTT dan APTT

Nasoendoskopi

Terapi :

Pasang tampon anterior lubang hidung kanan dipertahankan 2 hari

Inj transamin 1 amp

IVFD RL 12 Jam/ kolf

Transfusi darah hingga Hb ≥ 10

Ciprofloxacine 2x500mg

Asam mefenamat 3x500mg

Prognosis

Quo ad Vitam : bonam

Quo ad Sanam: bonam

Nasehat :

Istirahat

Follow up pasien

1/12/2010

S :

Darah mengalir dari hidung tidak ada

Darah mengalir di tenggorok tidak ada

Demam tidak ada

Sakit gigi tidak ada

O :

Ku : sedang

Ks : cmc

TD : 120/80, Nadi : 88x/menit, Nafas :20x/menit, T : 36,6

Hidung :

30

Page 31: CRS Epistaksis

Kavum nasi dextra : terpasang tampon

Kavum nasi sinistra : cukup lapang, konka inferior hipertrofi, darah mengalir (-), clotting

(+)

Tenggorok :

Arcus faring simetris, uvula di tengah, tonsil T1-T1 tidak hiperemis, darah mengalir (-)

Laboratorium :

Hb : 8

Ht : 25

Leukosit : 13.500

Trombosit : 285.000

B/ E/ Nb/Ns/L/M : 0/0/0/88/10/2

Eritrosit : 2,91 juta

MCV : 86

MCH :28

MCHC : 32

Kesan eritrosit darah tepi:normokrom, anisositosis.

PT /APTT: 12,4/36,4 (tidak memanjang)

A : Trauma Hidung dengan Epistaksis Anterior Massif

P : transfusi 1 kantong PRC

2/12/2010

S :

Darah mengalir dari hidung tidak ada

Darah mengalir di tenggorok tidak ada

Demam tidak ada

Sakit gigi tidak ada

O :

31

Page 32: CRS Epistaksis

Ku : sedang

Ks : cmc

TD : 100/60, Nadi : 82x/menit, Nafas :22x/menit, T : 36,8

Hidung :

Kavum nasi dextra : terpasang tampon

Kavum nasi sinistra : cukup lapang, konka inferior hipertrofi, darah mengalir (-), clotting

(+)

Tenggorok :

Arcus faring simetris, uvula di tengah, tonsil T1-T1 tidak hiperemis, darah mengalir (-)

Laboratorium :

Hb : 9,6

A : Trauma Hidung dengan Epistaksis Anterior Massif

P : buka tampon

Nasoendoskopi

3/12/2010

S :

Darah mengalir dari hidung tidak ada

Darah mengalir di tenggorok tidak ada

Demam tidak ada

Sakit gigi tidak ada

O :

Ku : sedang

Ks : cmc

TD : 100/60, Nadi : 82x/menit, Nafas :22x/menit, T : 36,8

Hidung :

Kavum nasi dextra : cukup lapang, konka inferior eutrofi, darah mengalir (-), clotting (-)

Kavum nasi sinistra : cukup lapang, konka inferior hipertrofi, darah mengalir (-), clotting

(-)

Tenggorok :

32

Page 33: CRS Epistaksis

Arcus faring simetris, uvula di tengah, tonsil T1-T1 tidak hiperemis, darah mengalir (-)

Nasoendoskopi:

Pemeriksaan Dextra Sinistra

Kavum nasi Cukup lapang Cukup lapang

Septum Tidak tampak deviasi Tidak tampak deviasi

Konka inferior Eutrofi, Tampak laserasi,

darah(-), clotting(-)

Eutrofi, laserasi (-)

Konka media Eutrofi Eutrofi

Konka superior Eutrofi Eutrofi

Meatus inferior Terbuka, sekret (-) Terbuka, ecret (-)

Meatus media Terbuka, sekret (-) Terbuka, sekret (-)

Meatus superior Terbuka, sekret (-) Terbuka, sekret (-)

A : Trauma Hidung dengan Epistaksis Anterior Massif

P : pasien dipulangkan.

DISKUSI

33

Page 34: CRS Epistaksis

Pada kasus di atas, diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang.

Dari anamnesis didapatkan pasien datang dengan keluhan keluar darah dari hidung sejak

6 jam sebelum masuk RS, warna merah segar, jumlah kurang lebih 1 gelas, dan sebelumnya

pasien menggosok –gosok hidungnya. Demam, batuk, dan pilek, sejak 4 hari yang lalu, diikuti

sakit gigi 1 hari setelahnya. Riwayat bersin-bersin lebih dari 5 kali di pagi hari dirasakan 3 hari

dalam 1 minggu, hidung tersumbat, gatal pada hidung, hidung berair, mata berair dan gatal ada

sejak 5 tahun terakhir dan belum mengganggu aktivitas sehari-hari.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum sedang, vital sign tekanan darah

110/80 mmHg, frekuensi nadi 100 x/menit, frekuensi nafas 24 x/menit, Suhu : 36.8 °C.

Konjungtiva anemis. Pada status lokalis THT- KL, pada hidung didapatkan darah mengalir dari

pleksus Kieselbach cavum nasi dextra, laserasi sulit dinilai, clotting (+), darah mengalir di

dinding faring posterior, dan clotting (+).

Pasien didiagnosis kerja sebagai epistaksis anterior massif ec. Trauma, dengan diagnosis

tambahan rhinitis alergi intermiten ringan. Dari pemeriksaan laboratorium darah rutin didapatkan

Hb 6.7 gr/ dl, Ht 21, leukosit : 9400 dan trombosit 330.000, dan ditegakkan diagnosis tambahan

anemia sedang ec. Perdarahan akut..

Tindakan yang dilakukan pada pasien ini adalah identifikasi sumber perdarahan dengan

suction kemudian memencet hidung selama 15 menit. Karena perdarahan tidak berhenti,

dipasang tampon anterior yang telah diolesi Kemicetine dan dipertahankan selama dua hari.

Pasien dirawat untuk dilakukan transfusi darah. Selain itu, pasien juga diberikan obat anti

perdarahan transamin 1 amp iv, antibiotic ciprofloxacin 2x 500 mg.

Pasien juga mendapatkan transfusi PRC 2 kantong, hingga Hb pasien saat ini adalah 9.6.

Pada hari ketiga perawatan tampon coba dilepaskan, perdarahan tidak ada lagi baik dari

hidung, maupun yang mengalir di tenggorok. Nasoendoskopi dilakukan untuk memastikan

sumber perdarahan dan ditemukan adanya laserasi pada konka inferior dextra.

DAFTAR PUSTAKA

34

Page 35: CRS Epistaksis

1. Ikhsan M, 2001. Cermin Dunia Kedokteran. Diakses dari: http ://www.kalbe.co.id/files/15

Penatalaksanaan Epistaksis.pdf/15 Penatalaksanaan Epistaksis.html. Diakses tanggal 11 April

2016

2. Stephanie,C. Epistaxis. Department of otolaryngology, UTMB; Grand Rounds diakses dari

www.emedicine.com. Diakses tanggal 11 April 2016

3. Gifford TO, et al. Epistaxis. Division of Otolaryngology Head and Neck Surgery University of

Utah School of Medicine In : Otolaryngologic Clinic of North America. 2008, ed 41, Pg 525-36

4. Ho EC, Han JY. Front Line Epistaxis Management : Lets Not Forget the Bassic. In :The Journal

of Laryngology and Otology. 2008

5. Middleton PM. Epistaxis.In Emergency Medicine Australia. 2004. Ed 16, Pg 428-40

6. Evans AS, et al. Is the nasal tampon a suitable treatment for epistaxis in Accident and

Emergency? A comparison of outcomes for ENT and A&E packed patients. In : The Journal of

Laryngology & Otology. 2004, Vol 118, Pg 12-4

7. Monux A, et al. Conservative Management of Epistaxis. In : The Journal of Laryngology and

Otology. 1990, Vol 104, Pg 868-70

35