lapsus epistaksis

26
Pendahuluan Tn. A usia 63 tahun datang ke UGD RSUD Cianjur tanggal 11 Juli 2015 dengan keluhan mimisan sejak pagi sebanyak 2 kali. Lama pendarahan sekitar 15 menit. Jarak antara mimisan pertama dan mimisan kedua sekitar 2 jam. Mimisan timbul pada saat pasien sedang beristirahat di kamarnya. Pasien tidak pernah mengalami trauma di daerah hidung, tidak suka mengorek hidung. Pasien tidak memiliki riwayat bersin-bersin terutama setiap pagi. Pasien saat ini tidak sedang mengkonsumsi obat apapun, pasien juga tidak suka minum obat warung atau jamu jamuan. Tidak ada riwayat kejadian serupa pada keluarga pasien. Pasien memiliki riwayat merokok 2 batang perhari dan sering menjadi perokok pasif. Pada tanggal 7 juli 2015 pasien di rawat di RSUD cianjur dengan keluhan yang sama dan di nyatakan sembuh dan boleh pulang tanggal 10 juli 2015. Epistaksis merupakan gangguan hemostasis pada hidung. Gangguan hemostasis yang terganggu adalah kelainan mukosa hidung, kelainan pembuluh darah, atau kelainan sistem koagulasi. Dalam masyarakat, epistaksis lebih dikenal dengan istilah mimisan. Kebanyakan kejadian epistaksis sering di anggap hal yang tidak penting oleh pasien. Epistaksis merupakan masalah yang sangat lazim dan banyak dijumpai sehari-hari sehingga setiap dokter harus siap menangani kasus demikian. 1 Insidensi satu episode epistaksis selama seumur hidup dilaporkan mencapai 60%, dengan kurang dari 10% kejadian yang membutuhkan pertolongan medis. Pria memiliki resiko mengalami 1

Upload: firstiafina-tiffany

Post on 12-Jan-2016

87 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

jnsjsjsjsjjsjsj

TRANSCRIPT

Page 1: Lapsus Epistaksis

Pendahuluan

Tn. A usia 63 tahun datang ke UGD RSUD Cianjur tanggal 11 Juli 2015 dengan

keluhan mimisan sejak pagi sebanyak 2 kali. Lama pendarahan sekitar 15 menit. Jarak antara

mimisan pertama dan mimisan kedua sekitar 2 jam. Mimisan timbul pada saat pasien sedang

beristirahat di kamarnya. Pasien tidak pernah mengalami trauma di daerah hidung, tidak suka

mengorek hidung. Pasien tidak memiliki riwayat bersin-bersin terutama setiap pagi. Pasien

saat ini tidak sedang mengkonsumsi obat apapun, pasien juga tidak suka minum obat warung

atau jamu jamuan. Tidak ada riwayat kejadian serupa pada keluarga pasien. Pasien memiliki

riwayat merokok 2 batang perhari dan sering menjadi perokok pasif. Pada tanggal 7 juli 2015

pasien di rawat di RSUD cianjur dengan keluhan yang sama dan di nyatakan sembuh dan

boleh pulang tanggal 10 juli 2015.

Epistaksis merupakan gangguan hemostasis pada hidung. Gangguan hemostasis yang

terganggu adalah kelainan mukosa hidung, kelainan pembuluh darah, atau kelainan sistem

koagulasi. Dalam masyarakat, epistaksis lebih dikenal dengan istilah mimisan. Kebanyakan

kejadian epistaksis sering di anggap hal yang tidak penting oleh pasien. Epistaksis merupakan

masalah yang sangat lazim dan banyak dijumpai sehari-hari sehingga setiap dokter harus siap

menangani kasus demikian.1

Insidensi satu episode epistaksis selama seumur hidup dilaporkan mencapai 60%,

dengan kurang dari 10% kejadian yang membutuhkan pertolongan medis. Pria memiliki

resiko mengalami epistaksis lebih tinggi dibandingkan wanita, namun bila untuk usia lebih

dari 50 tahun maka resiko epistaksis hapir 1 : 1. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa

anak-anak dan dewasa sering mengalami epistaksis anterior ringan, sedangkan pada usia

lebih dari 50 tahun resiko untuk terkena epistaksis posterior berat lebih besar.2

Selain penatalaksanaan epistaksis yang membutuhkan keterampilan klinik, faktor

etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis secara efektif agar tidak terjadi

komplikasi atau bahkan kematian.

Anatomi vaskularisasi

Arteri

Vaskularisasi kavum nasi berasal dari sistem karotis, arteri karotis interna dan

eksterna. Arteri karotis interna bercabang menjadi arteri oftalmika yang kemudian bercabang

lagi menjadi arteri etmoidalis anterior dan posterior, yang memperdarahi septum dan dinding

1

Page 2: Lapsus Epistaksis

2

lateral superior. Arteri karotis eksterna memberikan suplai darah terbanyak pada cavum nasi

melalui Arteri sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan melalui foramen

sfenopalatina yang memperdarahi septum tiga perempat posterior dan dinding lateral hidung.

Dan Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatina mayor, yang berjalan

melalui kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai bagian inferioanterior septum

nasi.1,2,3

Gambar vaskulrisasi pada dinding lateral 2

Gambar vaskulrisasi pada septum nasal 2

Dua area pada kavum nasi merupakan tempat tersering terjadi epistaksis yaitu plexus

Kiesselbach dan pleksus Woodruff.

Page 3: Lapsus Epistaksis

3

Pleksus Kiesselbach adalah wilayah anastomosis yang terbentuk dari arterii

sfenopalatina, palatina mayor, labialis superior, dan etmoidalis anterior. Pleksus ini berlokasi

di dinding anterior-inferior septum. Wilayah ini mudah terlihat dan terjangkau, menjadikan

epistaksis anterior lebih mudah untuk dikontrol.

Pleksus Woodruff adalah anastomosis yang berlokasi di hidung posterior dan

terbentuk dari arteri sfenopalatina dan faringeal asenden (posterior) melalui konka media.

Wilayah ini sukar dilihat sehingga sulit untuk ditangani. Tempat perdarahan tersering dari

bagian posterior adalah cabang posterior lateral dari arteri sfenopalatina.1,2,3

Klasifikasi

Epistaksis dibedakan atas dasar sumber perdarahan. Menentukan sumber perdarahan

amat penting, meskipun kadang-kadang sukar ditanggulangi. Pada umumnya terdapat dua

sumber perdarahan, yaitu dari bagian anterior dan posterior.

Epistaksis anterior

Epistaksis anterior dapat berasal dari pleksus Kiesselbach, merupakan sumber

perdarahan paling sering dijumpai anak-anak. Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan)

dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana.5

Gambar Epistaksis anterior dan posterior 9

Page 4: Lapsus Epistaksis

4

Epistaksis posterior

Epistaksis posterior berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri ethmoid posterior.

Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat menyebabkan

anemia, hipovolemi dan syok. Epistaksis posterior dicurigai bila:

Sebagian besar perdarahan terjadi ke dalam faring

Suatu tampon anterior gagal mengontrol perdarahan, atau nyata dari pemeriksaan

hidung bahwa perdarahan terletak posterior dan superior.

Situasi ini sering terjadi pada orang tua yang mungkin telah mengalami

arteriosklerosis, namun dapat terjadi pada setiap individu setelah trauma hidung

yang berat.3,5

Etiologi

Perdarahan hidung diawali oleh terbukanya dan pecahnya pembuluh darah di dalam

selaput mukosa hidung yang tererosi, 90 sampai 95% Epistaksis terjadi pada bagian anterior

nasal. penyebab terbanyak akibat dari manipulasi eksternal, seperti cuaca dingin dengan

kelembaban rendah dan atau penggunaan nasal decongestion spray jangka panjang. epistaksis

dapat dibagi menjadi faktor lokal dan umum atau kelainan sistemik untuk memudahkan

pembagian.1,2.4

Tipe Penyebab

Lokal Trauma

Struktural

Reaksi inflamasi

Neoplasma

Benda asing

Sistemik Gangguan koagulasi

Penyakit pembuluh darah

Penyakit kardiovaskular yang dapat

menyebabkan tingginya tekanan

vena

Hipertensi

Page 5: Lapsus Epistaksis

5

Etiologi lokal

Trauma merupakan etiologi epistaksis tersering, epistaksis yang berhubungan

dengan trauma biasanya disebabkan oleh mengeluarkan sekret dengan kuat,

bersin, mengorek hidung, fraktur nasal, benda asing, trauma seperti terpukul,

jatuh dan sebagainya. Selain itu iritasi oleh gas yang merangsang dan trauma

pada pembedahan dapat juga menyebabkan epistaksis. 1,6

Proses inflamasi seperti yang terdapat pada infeksi hidung dan sinus paranasal, rinitis,

sinusitis serta granuloma spesifik, seperti lupus, sifilis dan lepra dapat menyebabkan

epistaksis. Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten,

kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah, Hemongioma, karsinoma, serta

angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat. Perforasi septum nasi atau abnormalitas

septum dapat menjadi predisposisi perdarahan hidung. Bagian anterior septum nasi, bila

mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung

mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan

jari menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrana

mukosa septum dan kemudian perdarahan. Pengaruh lingkungan, misalnya tinggal di daerah

yang sangat tinggi, cuaca yang sangat dingin dan kering, tekanan udara rendah atau

lingkungan udaranya sangat kering.7

Etiologi sistemik

Sebuah literatur menemukan bahwa epistaksis berat sering terjadi pada populasi

pasien dengan usia lebih dari 50 tahun. Hal ini mungkin disebabkan oleh degenerasi

pembuluh darah, aterosklrosis dan penyebab sistemik lain yang sering terjadi dengan

bertambahnya usia. Hipertensi pada epistaksis masih menjadi perdebatan pada beberapa

sumber. Tidak ada hubungan yang jelas antara hipertensi dengan kejadian atau keparahan

dari epistaksis.2,4

Kelainan pendarahan, baik kongenital maupun didapat harus di pertimbangkan pada

pasien yang memiliki gejala pendarahan lama dari luka yang kecil. Penelitian terbaru

menunjukkan bahwa 46% dari pasien memiliki gejala epistaksis berat akibat waktu

pendarahan yang lama. Gangguan pendarahan kongenital tersering antara lain penyakit von

willebrand dan hemofilia A dan B seringmemiliki gejala pendarahan epistaksis yang berulang

dan lama sehingga mempersulit penanganan.2

Page 6: Lapsus Epistaksis

6

Kelainan pendarahan yang didapat dapat ditemukan dari anamnesis, seperti

pemakaian obat-obatan seperti aspirin, NSAID atau penyakit tertentu seperti demam berdarah

karena jumlah trombosit di bawah 20.000/mm3 dapat menyebabkan pendarahan spontan.

Selain itu penyakit ginjal kronis dan gangguan fungsi hati juga dapat menurutkan jumlah

trombosit.2

Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan

telangiektasis herediter (hereditary hemorrhagic telangiectasia/Osler's disease). HHT

merupakan kelainan kongenital yang bersifat autosomal dominan, dengan karakteristik

malformasi pembuluh darah pada kulit, mukosa dan visera. Teleangiektasis kecil pada bibir,

lidah, dan ujung jari muncul saat pubertas dan bertambah dengan usia. Pada pasien ini dapat

terjadi perdarahan gastrointestinal, paru dan cerebral yang mengancam nyawa.4

Anamnesis

Evaluasi pertama pada pasien dengan epistaksis adalah memeriksa keaadaan

hemodinamik dan gangguan pada jalan nafas, termasuk tanda vital dan hasil laboraturium

yang telah di periksa. Walaupun kebanyakan kasus epistaksis adalah ringan namun evaluasi

ini sangat penting terutama pada pasien lansia atau pasien yang terlihat lemas. Setelah di

pastikan pasien dalam keadaan stabis maka dilakukan anamnesa yang lengkap karena

penanganan epistaksis yang tepat akan bergantung pada suatu anamnesis yang cermat. Pada

pasien perlu di tanyakan lokasi perdarahan, jika pendarahan keluar dari kedua hidung maka

perlu di tanyakan bagian mana yang lebih parah, Apakah darah terutama mengalir ke dalam

tenggorokan (ke posterior) ataukah keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk

tegak, Lama perdarahan dan frekuensinya, pencetus perdarahan apakah dari trauma atau

penggunaan obat-obatan intranasal apabila epistaksis akibat trauma maka perlu diperhatikan

primary survey pada pasien, apabila epistaksis berulang perlu di tanyakan riwayat penyakit

seperti hipertensi, diabetes mellitus, atau penyakit hati,1,2,6

Perlu ditanyakan juga mengenai kelainan pada kepala dan leher

yang berkaitan dengan gejala-gejala yang terjadi pada hidung. Kondisi kesehatan pasien

secara umum yang berkaitan dengan perdarahan misalnya riwayat darah tinggi,

arteriosclerosis, koagulopati, riwayat perdarahan yang memanjang setelah dilakukan operasi

kecil, riwayat penggunaan obat-obatan sepertikoumarin, NSAID, aspirin, warfarin,

heparin, ticlodipin, serta kebiasaan merokok dan minum-minuman keras. 1,2,6

Page 7: Lapsus Epistaksis

7

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik pada epistaksis sering dilakukaan bersaam dengan intervensi yang

biasanya bertujuan untuk tataklaksana awal. Idealnya evaluasi pada pasien membutuhkan

bantuan dari asisten medis dan kerjasama pasien. Oleh karena itu sebelum dilakukan

pemeriksaan pasien harus di berikan inform konsent dan rencana terapi selanjutnya. Pasien

sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang hidung.

Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada bagian

hidung yang terbanyak mengeluarkan darah. Pasien yang mengalami perdarahan berulang

atau sekret berdarah dari hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang

berbeda dengan pasien dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah

menghentikan perdarahan.2

Pemeriksaan fisik dimulai dari inspeksi hidung luar kemudian dilakukuan berurutan

mulai cavum nasi anterior ke posterior. Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat

pengisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang

sudah membeku. Sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk

mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan. Vestibulum, mukosa hidung dan

septum nasi, dinding lateral hidung dan konkha inferior harus diperiksa dengan cermat.

Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal

yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke

dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah

sehingga perdarahan dapat berhenti untuk sementara. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas

dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi. Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi

posterior penting pada pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk

menyingkirkan neoplasma. 5

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium dibutuhkan untuk mengevaluasi kondisi pasien dan

keadaan medis lain yang mendasari bergantung pada gambaran klinis pasien pada saat

dilaksanakan pemeriksaan. Jika perdarahan sedikit dan tidak rekuren, maka pemeriksaan

laboratorium mungkin tidak diperlukan. Jika perdarahan rekuren, maka pemeriksaan untuk

mengetahui status cairan, profil koagulasi, dan penyakit sistemik yang relevan sangat

Page 8: Lapsus Epistaksis

8

diperlukan. Pemeriksaan yang dibutuhkan adalah pemeriksaan hitung darah lengkap

(termasuk trombosit), PT, APTT, fungsi hati, dan lain-lain.6

Pemeriksaan radiologi

CT scan dan atau MRI mungkin diindikasikan untuk mengevaluasi anatomi surgikal

dan untuk menentukan adanya rinosinusitis, benda asing, dan neoplasma.6

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan epistaksis dapat sangat bervariasi dari hanya terapi konservatif

rekomendasi tanpa intervensi sampai dengan terapi surgical yang invasif dan prosedur

angiografi. Terapi yang kurang invasive merupakan pilihan pertama dikarenakan resiko untuk

pasien dan biaya terapi yang yang meningkat. Terapi ini secara general berhasil untuk

managemen epistaksis anterior, sedangkan epistaksis posterior seringkali membutuhkan

prosedur yang lebih invasive. Meskipun managemen epistaksis bersifat individual, protocol

penatalaksanaan epistaksis baik yang bersifat akut maupun rekuren sangat berguna.2

Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah perbaiki keadaan umum, cari sumber

perdarahan, hentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya

perdarahan dan mencegah komplikasi.5

Perbaiki keadaan umum

Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan keadaan umumnya, nadi, pernapasan

serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan, atasi terlebih dahulu misalnya dengan memasang

infus. Jalan nafas dapat tersumbat oleh darah, perlu dibersihkan atau diisap. Perlu diakukan

resusitasi dan penilaian dari airway, breathing dan circulation.5, 6

Hentikan perdarahan

Manajemen medikamentosa

Managemen medikamentosa dapat digunakan untuk kasus epistaksis yang ringan,

rekuren tanpa perdarahan aktif. Terapi ini bertujuan untuk meminimalisir atau

mengeliminasi faktor yang dapat menyebabkan terjadinya epistaksis yang biasanya berasal

daari plexus Kiesselbach, antara lain mencegah terjadinya trauma. Pasien perlu di jelaskan

untuk menjaga kelembapan cavum nasi menggunakan cairan fisiologis, gel hidung, atau salep

Page 9: Lapsus Epistaksis

9

sering efektif namun harus sesering mungkin. Selain itu pasien diberi informasi untuk

penatalaksanaan epistaksis akut di rumah yaitu dengan bersandar tidak lebih dari 45 derajat

dan menekan hidung secara lembut. Jika tidak ada kontarindikasi pasien dapat menggunakan

kapas kecil yang sudah direndam dekongestan nasal spray yang berfungsi sebagai

vasokontriktor untuk meringankan perdarahan. Jika perdarahan berat atau tidak merespon

penatalaksanaan tersebut, penderita disarankan pergi ke UGD terdekat.2

Kauterisasi

Kauterisasi nasal anterior dapat dilakukan pada epistaksis anterior maupun posterior.

Kauterisasi hidung anterior biasanya dilakukan pada klinik atau UGD, sedangkan kauterisasi

hidung posterior dilakukan di kamar operasi. Kauterisasi dapat dilakukan dengan

menggunakan teknik kimia ataupun panas.2

Prinsip kauterisasi adalah luka pada mukosa hidung dan pembuluh darah dapat

menghasilkan koagulasi dan atau konstriksi pembuluh darah dengan segera yang dapat

menghentikan perdarahan dan menurunkan menurunkan resiko epistaksis yang berulang. 2

Kauterisasi kimia digunakan untuk pendarahan ringan dan dianggap sebagai

kauterisasi lini pertama dengan menggunakan silver nitrat kauterisasi Terapi ini berguna

untuk menghentikan perdarahan minor yang berasal dari kavum nasi anterior, namun tidak

terlalu efektif untuk perdarahan aktif atau perdarahan posterior.2,6

Elektrokauter endoskopik digunakan untuk perdarahan aktif atau perdarahan

posterior, dan membutuhkan anastesi local dengan tujuan koagulasi pembulu darah,

konstriksi pembulu darah dan kerusakan jaringan lokal. Teknik ini biasa digunakan bila

penatalaksaan awal seperti kauter silver nitrat dan tampon hidung anterior gagal. 2,6

Tampon hidung

Tampon hidung dapat digunakan untuk mengobati epistaksis terapi lini pertama

maupun kedua untuk mengontrol pendarahan aktif atau sebagai terapi lanjutan setelah

menggunakan kauterisasi.2

Secara umum tampon anterior digunakan untuk epistaksis dengan menahan pendarahan

yang bersumber dari anterior, sebagai tambahan pemasangan tampon dapat berfungsi sebagai

kontrol pendarahan dan meminimalisir trauma pada cavum nasi sehingga dapat membantu

proses penyembuhan. Tampon terbuat dari kapas atau kasa yang diberi pelumas vaselin atau

Page 10: Lapsus Epistaksis

10

salep antibiotic (untuk mengurangi pertumbuhan bakteri dan pembentukan bau). Pemakaian

pelumas ini agar tampon mudah dimasukkan dan tidak menimbulkan perdarahan baru saat

dimasukkan atau dicabut. Tampon berukuran 72 x ½ inci dimasukkan sebanyak 2-4 buah,

disusun dengan teratur dari dasar hingga atap hidung dan meluas hingga ke seluruh panjang

rongga hidung. Tampon harus dapat menekan asal perdarahan. Tampon dipertahankan selama

2 x 24 jam, harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung. Selama dua hari ini dilakukan

pemeriksaan penunjang untuk mencari factor penyebab epistaksis. Bila perdarahan masih

belum berhenti, dipasang tampon baru. 3,5

Tampon anterior tradisional.10

Gambar spons nasal

Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior,

yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini dibuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat

dengan diameter 3 cm. pada tampon ini terikat 3 utas benang, 2 buah di satu sisi dan sebuah

di sisi yang berlawanan. Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan 1 sisi,

digunakan bantuan kateter karet yang dimasukkan dari lubang hidung sampai tampak di

Page 11: Lapsus Epistaksis

11

orofaring, lalu ditarik keluar dari mulut. Pada ujung kateter ini diikatkan 2 benang tampon

Bellocq tadi, kemudian kateter ditarik kembali melalui hidung sampi benang keluar dan dapat

ditarik. Tampon perlu didorong dengan bantuan jari telunjuk untuk dapat melewati palatum

mole masuk ke nasofaring. Bila masih ada perdarahan, maka dapat ditambah tampon anterior

ke dalam kavum nasi. Kedua benang yang keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan

kain kasa di depan nares anterior, supaya tampon yang terletak di nasofaring tetap di

tempatnya. Benang lain yang keluar dari mulut diikatkan secara longgar pada pipi pasien.

Gunanya ialah untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari.5

Page 12: Lapsus Epistaksis

12

Gambar Tampon posterior.

Balon hidung dengan beberapa desain yang berbeda kini tersedia dan dapat mengganti

tampon hidung. Balon hidung lebih mudah ditempatkan pada hidung dan lebih mudah

diterima oleh pasien. Namun agaknya tidak demikian efektif dalam mengontrol perdarahan

dan mungkin perlu diganti dengan tampon tradisional.6

Gambar 3.3. Nasal balloon

Ligasi

Bila tampon posterior dan anterior gagal mengendalikan epistaksis, maka perlu

dilakukan ligasi arteri spesifik. Arteri tersebut adalah arteri karotis eksterna, arteri maksilaris

interna dengan cabang terminusnya, arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior dan

posterior.3

Page 13: Lapsus Epistaksis

13

Ligasi arteri karotis eksterna

Karena banyaknya anastomosis, ligasi karotis eksterna tidak selalu dapat

menghentikan epistaksis. Insisi dilakukan melintang atau memanjang sepanjang

batas anterior otot sternokleidomastoideus setinggi tulang hioid. Dengan diseksi

yang hati-hati dapat dikenali selubung karotis, vena jugularis dan saraf vagus.

Diseksi lebih lanjut memungkinkan visualisasi bulbus karotis. Arteri karotis

eksterna terletak pada leher sebelah medial arteri karotis interna. Ligasi

dilakukan dengan suatu ikatan memakai benang sutera di atas percabangan arteri

lingualis. Hilangnya denyut temporalis harus diperiksa dua kali sebelum ligasi

dieratkan. Luka dapat ditutup dalam beberapa lapis, dan dipasang drain selama

24 jam.3

Ligasi arteri maksilaris interna

Sebelunya prosedur dilakukan perlu dibuat radiogram sinus paranasalis. Pada

mukosa gusi pipi bagian atas dibuat insisi Caldwell mulai dari garis tengah

hingga daerah gigi molar atas kedua. Mukoperiosteum diangkat dari dinding

anterior sinus maksilaris, sinus maksilaris dimasuki dan sisa dinding anterior

diangkat sambil menjaga saraf infraorbitalis. Dinding sinus posterior yang

bertulang kemudian diangkat dengan berhati-hati dan lubang kedalam fosa

pterigomaksilaris diperbesar. Bila lubang sudah cukup besar, gunakan mikroskop

operasi untuk diseksi lebih lanjut. Pembuluh darah diindefikasi dan klip logam

dipasang pada arteri maksilaris interna, sfenopalatina dan palatina desendens.

Luka ditutup dan tampon hidung posterior diangkat. Suatu tampon hidung

anterior yang lebih kecil mungkin masih diperlukan. Jika terdapat bukti-bukti

infeksi atau bila ditakuti terjadi infeksi, dapat dibuat suatu fenestra antrum

hidung saat melakukan prosedur. Kateterisasi selektif dengan embolisasi cabang-

cabang arteri karotis eksterna merupakan cara pendekatan lain yang juga

mencapai tujuan sama seperti ligasi.3

Ligasi arteri etmoidalis anterior

Perdarahan dari cabang – cabang terminus arteri oftalmika terkadang

memerlukan ligasi arteri etmoidalis anterior. Pembuluh ini di capai melalui suatu

insisi melengkung memanjang pada hidung di antara dorsum dan daerah kantus

media. Insisi langsung diteruskan ke tulang, di mana periosteum di angkat

dengan hati-hati dan ligamentum kantus media dikenali. Arteri etmoidalis

anterior selalu terletak pada sutura pemisah tulang prontal dengan tulang

Page 14: Lapsus Epistaksis

14

etmoidalis. Pembuluh ini di jepit dengan suatu klip hemostatik atau suatu ligasi

tunggal. Karna terletak dekat dengan saraf optikus,maka pembuluh etmoidalis

harus di capai dengan retraksi bola mata yang sangat hati-hati.3

Gambar Tempat-tempat ligasi.

Embolisasi

Embolisasi biasanya digunakan untuk kasus epistaksis berulang terutama jika sumber

perdarahan berasal dari bagian potersior (sistem karotis eksterna). Emboli merupakan terapi

alternatif dari terapi ligasi, sebab komplikasi dan angka kegagalan yang lebih tinggi.

Angiografi diperlukan sebelum dilakukan embolisasi untuk menilai sistem karotis, sedangkan

setelah embolisasi berguna untuk mengevaluasi derajat dari oklusi.6

Embolisasi dilakukan dengan memasukkan suatu zat dalam pembuluh darah untuk

membendung aliran darah. Biasanya agen embolisasi dimasukkan melalui arteri karotis

eksterna lalu ke arteri maksilaris interna. Suplai darah yang cukup masih bisa didapat dari

arteri karotis interna dan arteri-arteri etmoidalis.10

Page 15: Lapsus Epistaksis

15

Pembedahan

Septoplasi mungkin berguna untuk pasien dengan epistaksis yang disebabkan deviasi

septum sehingga menyebabkan mukosa kering dan ekskoriasi. Perdaharan dapat terjadi baik

pada bagian konveks maupun konkaf septum atau ujung dari septal spur.2

Mencegah komplikasi

Komplikasi dapat terjadi akibat epistaksisnya sendiri atau usaha penanggulangan

epistaksis. Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran nafas

bawah, juga dapat menyebabkan syok, anemia dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah

secara mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi

koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini

pemberian infus atau transfusi darah harus dilakukan secepatnya. Akibat pembuluh darah

yang terbuka dapat terjadi infeksi, sehingga perlu diberikan antibiotik. Kauterisasi dapat

menyebabkan perforasi septum. Pemasangan tampon dapat menyebabkan rinosinusitis, otitis

media, septikemia atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu harus selalu diberikan

antibiotik pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut,

bila perdarahan masih berlanjut dipasang tampon baru. Selain itu dapat terjadi

hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah melalui tuba Eustachius, dan airmata

berdarah (bloody tears), akibat mengalirnya darah secara retrograde melalui duktus

nasolakrimalis. Pemasangan tampon posterior dapat menyebabkan laserasi palatum mole atau

sudut bibir, jika benang yang keluar dari mulut terlalu ketat dilekatkan pada pipi. Kateter

balon atau tampon balon tidak boleh dipompa terlalu keras karena dapat menyebabkan

nekrosis mukosa hidung dan septum. Ligasi dapat menyebabkan komplikasi yang berupa

resiko anesteri, mati rasa, dan lain-lain. Embolisasi dapat menyebabkan nyeri fasial, paralisis

fasial, stroke, nekrosis kulit, trismus.3,7

Page 16: Lapsus Epistaksis

16

Prognosis

Prognosis umumnya baik. Mortalitas jarang terjadi, hal ini biasanya berhubungan

dengan perdarahan hebat yang menyebabkan hipovolemia parah atau pada pasien dengan

komorbiditas. Kebanyakan pasien tidak mengalami perdarahan berulang jika masalah medis

yang mendasarinya ditangani secara adekuat. Sisanya mungkin mengalami kekambuhan

minor yang menghilang secara spontan atau dengan pengobatan sendiri. Sebagian kecil

pasien mungkin memerlukan terapi yang lebih agresif. Perdarahan berulang dapat

diprediksikan berdasarkan faktor usia, kondisi medik yang mendasari, riwayat hipertensi,

penggunaan antikoagulan, tanda vital, tipe tampon posterior (kasa atau balloon), riwayat

epistaksis posterior berat. Morbiditas sering disebabkan karena komplikasi penatalaksanaan

epistaksis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Barlow et al, perdarahan berulang

yang terjadi setelah embolisasi sebanyak 33%, kauterisasi endoskopi sebanyak 33%, dan

ligasi sebanyak 20%.6

KESIMPULAN

Pengetahuan dan pemahaman secara menyeluruh sangat diperlukan untuk melakukan

penatalaksanaan epistaksis. Epistaksis bukan merupakan suatu penyakit, melainkan sebagai

gejala dari suatu kelainan.

Anamnesis yang terarah, ringkas dan tepat, serta pemeriksaan fisik bersamaan dengan

persiapan tindakan, dibutuhkan untuk menanggulangi epistaksis. Setelah perdarahan berhenti,

mungkin diperlukan anamnesis pemeriksaan fisik lebih lengkap dan pemeriksaan penunjang

untuk mengevaluasi kelainan khususnya yang bersifat sistemik.

Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah menghentikan perdarahan, mencegah

komlpikasi serta mencegah rekurensi.

Page 17: Lapsus Epistaksis

17

DAFTAR PUSTAKA

1. Wormald PJ. Epistaxis. In: Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, Eds. Head and

Neck Surgery Otolaryngology. 4th ed. Philadelpia: Lippincott Williams & Wilkins.

2006: 505-514.

2. Massick D, Tobin EJ. Epistaxis. In: Cummings CW et al, Eds. Otolaryngology Head

and Neck Surgery. 4th ed. Philadelpia: Elsevier Mosby. 2005: 942-961

3. Epistaxis. In: Adams GL, Boeis LR, Higler PA, Eds. Boies Fundamentals of

Otolaryngology. 6th ed. Philadelpia: Saunders Company 1997: 224-235

4. Dhillon RS, East CA, 2000. An illustrated colour text: ear nose, and throat and head

and neck surgery 2nd ed. New York: Churchil Livingstone/

5. Mangunkusumo E, Wardani RS. Epistaksis. In: Soepardi et al, Eds. Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. 6th ed. Jakarta, Indonesia:

Balai Penerbit FK UI, 2009: 155-159.

6. Bertrand E et al. Guidlines to the Management of Epistaxis, 2005. http://www.orl-

nko.be/common/guidelines/2005/05.pdf (diakses 13 Juli 2015).

7. Epistaksis/mimisan.2011.http://tengtengblues81.wordpress.com/2011/05/25/

epistaksis-mimisan-definisietiologipenatalaksanaan/ (diakses 13 Juli 2015).

8. Meyers AD. Epistaxis, 2011. http://emedicine.medscape.com/article/863220-

overview#a0156 (diakses 13 Juli 2015)

9. Nosebleed (Epistaxis). http://www.hughston.com/hha/a.nosebleed.htm (diakses 13

Juli 2015).

10. Juvenile Nasopharingeal Angiofibroma.

http://www.docstoc.com/docs/19409441/refrat-THT (diakses 13 Juli 2015).