proposal workshop skripsi kelompok 32_revisi

43
HUBUNGAN RIWAYAT BBLR DENGAN INSIDENSI PNEUMONIA PADA BALITA DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT (BPKPM) SURAKARTA PROPOSAL WORKSHOP SKRIPSI KELOMPOK WORKSHOP 32 JEA AYU YOGATAMA G0013124 NAILA MAJE’DHA DIWANTI G0013170 REZA SATRIA NUGRAHA G0013198 SAFIRA NURULLITA G0013209 WAKHID RYAN CAHYADI G0013232 YASMIN ZAHIRAH G0013238 PEMBIMBING : dr. Muthmainah , M.Neuro.,Sci

Upload: reza-satria-nugraha

Post on 12-Jul-2016

25 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

joss

TRANSCRIPT

Page 1: Proposal Workshop Skripsi Kelompok 32_revisi

HUBUNGAN RIWAYAT BBLR DENGAN INSIDENSI PNEUMONIA

PADA BALITA DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT

(BPKPM) SURAKARTA

PROPOSAL WORKSHOP SKRIPSI

KELOMPOK WORKSHOP 32

JEA AYU YOGATAMA G0013124

NAILA MAJE’DHA DIWANTI G0013170

REZA SATRIA NUGRAHA G0013198

SAFIRA NURULLITA G0013209

WAKHID RYAN CAHYADI G0013232

YASMIN ZAHIRAH G0013238

PEMBIMBING : dr. Muthmainah , M.Neuro.,Sci

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

TAHUN 2016

Page 2: Proposal Workshop Skripsi Kelompok 32_revisi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut WHO angka kematian pada balita per tahun 2015

sebanyak 5.9 juta, 53% lebih rendah bila dibanding tahun 1990 yang

berkisar 12.7 juta jiwa. Namun jumlah ini masih belum cukup untuk

memenuhi target MDG 4 secara global untuk menurunkan dua per tiga

dari angka kematian total terhitung antara tahun 1990 hingga 2015.

Pneumonia, diare, malaria dan malnutrisi adalah 4 penyebab tersering

kematian pada balita (WHO, 2015).

Pneumonia menjadi penyakit infeksi tertinggi yang telah

menyebabkan kematian 922.000 balita pada 2015 dengan jumlah

terbanyak di benua Asia Selatan dan Afrika (WHO, 2015). Di Indonesia,

pneumonia merupakan penyebab kematian 2 juta dari total 9 juta kematian

balita tiap tahun. Penemuan kasus tertinggi terjadi di provinsi Nusa

Tenggara Timur (38,5‰), Aceh (35,6‰), Bangka Belitung (34,8‰),

Sulawesi Barat (34,8‰), dan Kalimantan Tengah (32,7‰) (Riskesdas,

2013).

Tingginya kejadian pneumonia pada balita ini terkait berbagai

faktor risikonya. Faktor risiko tersebut diantaranya: tingkat sosial

ekonomi, tingkat pendidikan ibu, jenis kelamin, usia, status gizi, berat

badan lahir rendah (BBLR), pemberian ASI yang kurang adekuat, status

imunisasi dan pemberian vitamin A, faktor lingkungan rumah, kepadatan

dalam kamar tidur, polusi udara. (Depkes RI, 2004)

Pencegahan pneumonia dapat dilakukan dengan menghindari

faktor-faktor risikonya. Salah satu faktor risiko tersebut adalah BBLR.

BBLR masih menjadi masalah hampir di semua negara. Dari seluruh

kelahiran di dunia, diperkirakan 15% bayi lahir memiliki berat lahir

rendah dan 90% diantaranya terjadi di negara berkembang (Kemenkes RI,

2013). Asia Tenggara mempunyai insidensi BBLR paling tinggi yaitu 27%

Page 3: Proposal Workshop Skripsi Kelompok 32_revisi

dari seluruh kelahiran BBLR di dunia (UNICEF, 2011). Menurut Laporan

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), insidensi BBLR

secara berturut-turut yaitu 7,3% (1986 - 1991), 7,1% (1989 - 1994), 7,7%

(1992 - 1997), 7,2% (2002 - 2003), dan 6,7% (2007). Kemudian menurut

laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), insidensi BBLR pada tahun

2010 meningkat menjadi 11,1% dan pada tahun 2013 sedikit menurun

menjadi 10,2% (Kemenkes RI, 2013). Namun, angka tersebut masih di

atas angka rata-rata Thailand (6,6%) dan Vietnam (5,3%) pada tahun 2010

(UNICEF, 2011).

Pencegahan kejadian BBLR dapat dilakukan dengan meningkatkan

perawatan kesehatan remaja putri, memperbaiki status gizi ibu hamil,

menghentikan kebiasaan merokok dan mengonsumsi obat-obatan terlarang

pada ibu hamil, meningkatkan pemeriksaan Antenatal Care (ANC), serta

memberikan tablet zat besi pada ibu hamil secara teratur (Proverawati,

2010).

B. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara riwayat BBLR dengan insidensi

pneumonia pada balita di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat

(BPKPM) Surakarta?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara riwayat

BBLR dengan prevalensi terjadinya pneumonia pada balita di Balai

Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BPKPM) Surakarta.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui faktor risiko terjadinya pneumonia

b. Mengetahui upaya pencegahan BBLR

Page 4: Proposal Workshop Skripsi Kelompok 32_revisi

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

a. Menjadi bukti empiris adanya hubungan antara riwayat BBLR

dengan insidensi pneumonia pada balita di Balai Besar Kesehatan

Paru Masyarakat (BPKPM) Surakarta.

b. Menjelaskan tentang mekanisme hubungan antara riwayat BBLR

dengan pneumonia pada balita di Balai Besar Kesehatan Paru

Masyarakat (BPKPM) Surakarta.

2. Manfaat aplikatif

a. Menjadi masukan untuk pemerintah untuk menggiatkan program-

program kesehatan yang dapat mengurangi angka terjadinya

BBLR.

b. Memberikan informasi tambahan bagi masyarakat mengenai

pentingnya mencegah terjadinya BBLR.

Page 5: Proposal Workshop Skripsi Kelompok 32_revisi

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)

a. Definisi

Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi lahir dengan berat

badan kurang dari 2500 gram tanpa memandang usia gestasi

(Pudjiadi,dkk, 2010). Berat badan lahir biasanya dihitung 1 jam setelah

kelahiran. BBLR meningkatkan angka kesakitan dan kematian bayi,

menghambat pertumbuhan dan perkembangan kognitif, serta berisiko

menderita penyakit kronis dikemudian hari (United Nations Children’s

Fund -World Health Organization, 2004). BBLR merupakan 30,3%

penyebab kematian neonatal di Indonesia (Kementrian Kesehatan

Republik Indonesia, 2010).

b. Klasifikasi bayi berat lahir rendah

Ada beberapa cara dalam mengelompokkan BBLR menurut

Proverawati dan Ismawati, (2010) yaitu :

1) Berdasarkan harapan hidupnya

a) Bayi berat lahir rendah (BBLR) dengan berat lahir 1500-2500

gram.

b) Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) dengan berat lahir 1000-

1500 gram.

c) Bayi berat lahir ekstrim rendah (BBLER) dengan berat lahir

kurang dari 1000 gram.

2) Berdasarkan masa gestasinya

a) Prematuritas murni

Bayi lahir dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu dengan

berat badan sesuai usia kehamilan ibu atau biasa disebut sebagai

neonatus kurang bulan sesuai masa kehamilan (NKB-SMK).

Page 6: Proposal Workshop Skripsi Kelompok 32_revisi

b) Dismaturitas yaitu bayi lahir dengan berat badan kurang yang

tidak sesuai dengan berat badan usia kehamilan. Hal ini mungkin

terjadi karena bayi mengalami retardasi pertumbuhan intrauterin

atau sering disebut sebagai bayi kecil masa kehamilan (KMK).

c. Epidemiologi

Dari seluruh kelahiran di dunia, diperkirakan 15% bayi lahir

memiliki berat lahir rendah dan 90% diantaranya terjadi di negara

berkembang. Survei demografi dan kesehatan Indonesia tahun 2000-

2003 mendapatkan data bahwa prevalensi rata-rata BBLR di Indonesia

sebesar 9%. Angka tersebut bervariasi pada masing-masing provinsi.

Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menyebutkan

bahwa prevalensi BBLR di Indonesia mengalami penurunan. Pada

tahun 2010 prevalensi BBLR di Indonesia mencapai 11,1% dan pada

tahun 2013 menurun menjadi 10,2% (Kementrian Kesehatan Republik

Indonesia, 2013). Namun, angkatersebutmasih di atasangka rata-rata

Thailand (6,6%) dan Vietnam (5,3%) padatahun 2010 (UNICEF,

2011).

d. Etiologi

BBLR dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan masa gestasi,

yaitu prematuritas dan dismaturitas akibat pertumbuhan bayi

terhambat. Kedua hal tersebut dipengaruhi oleh faktor risiko dibawah

ini (Poevarati dan Ismawati, 2010)

1) Faktor ibu

a) Selama gestasi, ibu mengalami komplikasi kehamilan, seperti

anemia, eklamsia, perdarahan antepartum.

b) Ibu menderita penyakit infeksi yang membahayakan, seperti

infeksi menular seksual, Toxoplasma, Rubella,

Cytomegalovirus, Herpes (TORCH), Human

Page 7: Proposal Workshop Skripsi Kelompok 32_revisi

Immunodeficiency Virus/Acquired Immuno Deficiency

Syndrome (HIV/AIDS).

c) Penggunaan obat teratogenik,merokok, dan konsumsi alkohol.

d) Pendeknya jarak kelahiran (kurang dari satu tahun).

e) Multiparitas.

f) Usia terlalu muda (<20 tahun)atau terlalu tua (lebih dari 35

tahun)..

g) Rendahnya sosial ekonomi, aktivitas fisik berlebihan dan

kehamilan yang tidak diinginkan.

2) Faktor janin

a) Memiliki kelainan genetik dan kromosom

b) Menderita infeksi janin (Rubella, infeksi sitomegali).

c) Mengalami gawat janin

d) Kehamilan kembar (gemeli)

3) Plasenta

a) Hidroamnion.

b) Plasenta previa.

c) Ketuban pecah dini.

4) Lingkungan

a) Paparan radiasi.

b) Ibu tinggal di dataran tinggi.

c) Paparan zat toksik.

Faktor risiko yang telah disebutkan diatas menyebabkan

kurangnya pemenuhan nutrisi pada janin selama masa kehamilan

(Kosim, dkk, 2008). Kurangnya pemenuhan nutrisi inilah yang

menyebabkan bayi lahir dengan berat badan yang rendah.

e. Pencegahan

1) Pencegahan Primer

Pencegahan primer merupakan pencegahan yang dilakukan

untuk mencegah terjadinya kejadian penyakit. Pencegahan primer

Page 8: Proposal Workshop Skripsi Kelompok 32_revisi

untuk BBLR adalah menunda dan atau mencegah kehamilan ibu

yang memiliki risiko seperti yang telah disebutkan di bagian

etiologi, misalnya menunda kehamilan untuk wanita usia<20 tahun,

menyembuhkan penyakit yang dapat disembuhkan terlebih dahulu,

memperhatikan jarak kehamilan, hati-hati dalam penggunaan obat,

berhenti merokok dan konsumsi alkohol.

2) Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder ditujukan untuk deteksi dini gangguan

dalam kehamilan yang berisiko menyebabkan BBLR. Pencegahan

ini dilakukan dengan pemeriksaan antenatal care minimal 4 kali,

yaitu satu kali pada trimester I, satu kali pada trimrster II dan dua

kali pada trimester III. Dengan pemeriksaan antenatal care, ibu juga

bisa mendapatkan suplemen tambahan dan edukasi untuk

pemenuhan nutrisi selama kehamilan. Hal ini dapat mengurangi

risiko terjadinya BBLR.

3) Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier difokuskan dalam upaya rehabilitasi

untuk mencegah kecacatan dan kematian BBLR. Pencegahan ini

dapat dilakukan dengan cara pemantauan berkala tumbuh kembang

bayi dengan BBLR yang telah mendapatkan tatalaksana berupa

pengaturan suhu bayi, intake nutrisi, pengaturan jalan nafas,

pencegahan infeksi, dan penimbangan berat badan.(Hidayah, A,

2011).

f. Tatalaksana Bayi Berat Lahir Rendah

Bayi baru lahir rendah memiliki struktur anatomi dan fisiologi

yang belum cukup sempurna, hal ini yang menyebabkan tingginya

angka morbiditas dan mortalitas bayi sehingga perlu dilakukan

antisipasi dan pengelolaan yang baik pada masa neonatal. Tatalaksana

yang dilakukan bertujuan untuk mengurangi stress fisik maupun

psikologis. Beberapa tatalaksana BBLR meliputi:

Page 9: Proposal Workshop Skripsi Kelompok 32_revisi

1) Mempertahankan Suhu Badan Bayi

Bayi dengan BBLR pusat pengaturan suhu tubuhnya belum

berfungsi dengan baik, sistem metabolisme yang rendah dan luas

permukaan tubuh yang relative luas menyebabkan bayi dengan

BBLR rentan terhadap kehilangan panas badan atau suhu tubuh

dan menjadi hipotermia. Suhu optimal aksilar untuk bayi adalah

36,5°C – 37,5°C (Thomas, 1994) sedangkan menurut Sauer dan

Visser (1984) suhu netral bagi bayi adalah 36,7°C – 37,3°C.

Untuk mencapai suhu optimal bagi bayi dengan BBLR

dapat digunakan berbagai cara sebagai berikut:

a) Inkubator

Suhu inkubator diatur sedemikian rupa sampai sekitar

24,9°C untuk bayi dengan berat 1,7 kg dan 32,2°C untuk bayi

kurang dari 1,7 kg. Bayi berada dalam inkubator dalam

keadaan telanjang agar mendapat pernapasan yang adekuat,

bayi bebas bergerak tanpa ada hambatan pakaian, dan observasi

pernapasan menjadi lebih mudah. Pemberian oksigen harus

dilakukan secara cermat dan tepat dosis untuk mecegah

terjadinya fibroplasia paru akibat pemberian oksigen yang

berlebihan (Proverawati, 2010).

b) Perawatan metode kanguru (PMK) atau Kangaroo Method

Care

PMK merupakan suatu metode perawatan untuk bayi

BBLR dengan melalukan kontak kulit secara langsung antara

kulit ibu dan anak. Posisi bayi berada didekapan ibu, sebaiknya

ibu menggunakan pakaian yang longgar sehingga anak berada

dalam satu pakaian dengan ibu. Metode ini sangat efektif untuk

tumbuh kembang bayi (Depkes RI, 2008). Apabila ibu tidak

dapat melakukan PMK dapat digantikan oleh orang lain atau

keluarga bayi (Kosim, 2008)

Page 10: Proposal Workshop Skripsi Kelompok 32_revisi

Berdasarkan Departemen Kesehatan RI (2008) PMK dapat

dilakukan dengan cara:

i. PMK intermitten: PMK hanya dilakukan ketika ibu

mengunjungi bayinya yang masih berada dalam perawatan

di inkubator dengan durasi minimal satu jam secara terus-

menerus per hari.

ii. PMK kontinu: perawatan yang diberikan sepanjang waktu

yaitu apabila ibu dan anak berada di unit rawat gabung atau

ruangan yang dipergunakan untuk perawatan metode

kanguru.

2) Pengawasan Intake Nutrisi

Pengawasan intake nutrisi meliputi pengawasan dan

pengaturan dalam memilih susu, cara pemberian dan jadwal

pemberian susu sesuai dengan kebutuhan bayi BBLR. ASI

merupakan makanan pilihan pertama untuk bayi baru lahir. ASI

diberikan pertama kali setiap 2-3 jam untuk bayi BBL< 1500

gramdan ASI lanjutan dengan volume : 10-20 cc/kgbb/hari setiap 3

jam kemudian naikan 10-20 cc/kgbb/hari.Untuk bayi BBL1500-

2500 gramASI / preterm formula diberikan melalui oralgastric

tract/nasogastric tract. Bila kondisi bayi stabil berikan 80

cc/kg/hariASI , naikan 10-20 cc/kg/hari, sedangkan untuk bayi

BBL > 2500 gram atau dengan kondsi stabil ASI/ term formula

dapat diberikan sesuai permintaan bayi (Hidayah, 2016)

3) Penimbangan Berat Badan

Pemantauan dan monitoring harus dilakukan secara ketat

untuk mengetahui kondisi gizi dan ada hubungannya dengan daya

tahan tubuh bayi (Depkes RI, 2005). Pada umumnya berat bayi

akan menurun 7-10 hari pertama dan akan kembali seperti semula

pada usia 14 hari. Setelah berat badan tercapai kembali, dilakukan

pemantauan kenaikan berat badan dalam tiga bulan dengan

perkiraan:

Page 11: Proposal Workshop Skripsi Kelompok 32_revisi

a) 150-200 gram seminggu untuk bayi BBL <1500 gram (20-30

gram per hari)

b) 200-250 gram seminggu untuk bayi BBL 1500-2500 gram (30-

35 gram perhari) (Depkes RI, 2005)

4) Pencegahan Infeksi

Bayi BBLR memiliki kadar immunoglobulin yang masih

rendah, aktifitas bakterisidal neutrofil, efek sitotoksik limfosit

masih rendah dan fungsi imun belum maksimal sehingga bayi

BBLR rentan terhadap infeksi terutama infeksi nosokomial

(Manuaba, 2010).

Oleh sebab itu diperlukan adanya perawatan ekstra terhadap

bayi BBLR. Fungsi perawatan disini untuk memberi perlindungan

terhadap bayi BBLR terhadap infeksi terutama infeksi nosokomial.

Perawatan dapat dilakukan dengan menggunakan masker dan baju

khusus dalam merawat bayi BBLR. Selain itu perlu adanya

pembatasan kunjungan terhadap bayi. Perlu adanya tindakan

antiseptik alat-alat yang digunakan dan pemberian antibiotik yang

tepat (Depkes, 2010).

5) Pengawasan Jalan Napas

Bayi BBLR memiliki risiko mengalami serangan apneu dan

defisiensi surfaktan hal ini dapat menyebabkan hipoksia.

Terhambatnya jalan napas akan memperparah kondisi bayi BBLR

sehingga diperlukan pembersihan jalan napas segera setelah lahir

(aspirasi lendir), dibaringkan pada posisi miring, merangsang

pernapasan dengan menekuk atau menjentik tumit. Bila tindakan

ini gagal dilakukan ventilasi, intubasi indotrakeal, pijatan jantung,

pemberian oksigen, dan pencegahan aspirasi selama pemberian

intake makanan. Tindakan tersebut dapat mencegah sekaligus

mengatasi asfiksia sehingga mengurangi angka mortalitas bayi

BBLR (Depkes, 2005)

Page 12: Proposal Workshop Skripsi Kelompok 32_revisi

2. Pneumonia

a. Definisi

Secara umum, pneumonia adalah peradangan parenkim paru

yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur,

parasit) dan dapat terjadi bersamaan dengan infeksi saluran pernapsan

bagian bawah (Djojodibroto, 2009 ; Hueston, 2003). Pneumonia juga

dapat menyebabkan peradangan pada distal bronkiolus terminalis

yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta nantinya

dapat menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan

pertukaran udara setempat (Dahlan, 2007).

Menurut Bręborowicz dan Wojsyk-Banaszak (2013) tempat

terjadinya pneumonia dibagi menjadi dua yaitu

1) Community Acquired Pneumonia (CAP), yaitu terjadi pada

balita sehat yang tertular pneumonia dari lingkungan.

2) Hospital Acquired Pneumonia (HAP), yaitu pneumonia yang

terjadi saat rawat inap di rumah sakit. Dapat juga didefiniskan

sebagai pneumonia yang terjadi dalam 48 jam atau lebih pada

pasien yang tidak mempunyai gejala pneumonia dan dirawat di

rumah sakit (American Thoracic Society, 2005).

b. Epidemiologi

Insidensi pneumonia pada anak balita di negara berkembang

adalah 15 juta anak/tahun jika dibandingkan dengan negara maju

sebanyak 2,7 juta anak/tahun. Pneumonia menjadi penyumbang

penyebab kematian anak balita di seluruh dunia sebesar 18%, sebagian

besar terjadi pada negara miskin dengan keterbatasan layanan

kesehatan.

Antara tahun 1997 hingga 2006, Community Acquired

Pneumonia (CAP) meningkat hampir 77,8% (Grijalva, 2009; Lee et

al., 2010). Sejak adanya vaksin pneumokokus (PCV7) untuk

program imunisasi nasional, insidensi pneumokokus pneumonia

Page 13: Proposal Workshop Skripsi Kelompok 32_revisi

menurun (Harris et al., 2011). Namun, dalam waktu yang bersamaan,

terjadi peningkatan kejadian pneumonia berat yang harus rawat inap

dan pneumonia dengan komplikasi. Hingga saat ini, belum diketahui

secara pasti penyebab terjadinya peningkatan kejadian tersebut

(Grijalva, 2009; Lee et al., 2010)

c. Etiologi

Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting

pada perbedaan dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalam

spektrum etiologi, gambaran klinis dan strategi pengobatan.

Spektrum mokroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi kecil

(< 20 hari) meliputi Streptococcus grup B dan bakteri gram

negatif seperti E. coli, Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada

bayi yang lebih besar (3 minggu – 3 bulan) dan anak balita (4 bulan –

5 tahun), pneumonia sering disebabkan oleh infeksi Streptococcus

pneumoniae, Haemophillus influenza tipe B, dan Staphylococcus

aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain

bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma

pneumoniae (Said, 2008).

Page 14: Proposal Workshop Skripsi Kelompok 32_revisi

Gambar 1. Etiologi pneumonia pada anak di negara berkembang

(Scott, dkk, 2008).

d. Patogenesis

Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian

perifer melalui saluran resporatori. Ada 3 stadium dalam

patofisiologi penyakit pneumonia (Said, 2008), yaitu :

1) Stadium hepatisasi merah

Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang

mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan

sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi,

yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan

edema, dan ditemukannya kuman di alveoli.

2) Stadium hepatisasi kelabu.

Selanjutnya, deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat

fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis

yang cepat.

3) Stadium resolusi

Setelah itu, jumlah makrofag meningkat di alveoli, sel

akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris

menghilang. Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak

terkena akan tetap normal.

e. Faktor risiko

Faktor risiko intrinsik yang mempengaruhi pneumonia pada

anak balita adalah:

1) Usia balita

Pada anak dibawah 2 tahun lebih rentan terkena

pneumonia dikarenakan sistem pertahanan tubuh yang belum

sempurna dan saluran pernapasan yang masih sempit (Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, 2004).

Page 15: Proposal Workshop Skripsi Kelompok 32_revisi

2) Jenis kelamin balita

Anak laki-laki lebih rentan terkena pneumonia karena

diameter saluran pernapasan anak laki-laki lebih kecil

dibandingkan dengan anak perempuan atau adanya perbedaan

dalam daya tahan tubuh anak laki-laki dan perempuan

(Sunyataningkamto et al., 2004).

3) Berat Badan Lahir Balita

Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

mempunyai kekebalan tubuh yang kurang sempurna. Sehingga,

balita dengan BBLR rentan terhadap penyakit infeksi terutama

pneumonia dan mempunyai risiko kematian lebih tinggi (Hartati et

al., 2012).

4) Riwayat Pemberian ASI Balita

Menurut PP No. 33 Tahun 2012 tentang Pemberian

Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif, ASI eksklusif adalah ASI yang

diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan,

tanpa menambahkan dan/atau mengganti dengan makanan atau

minuman lain. ASI mengandung komponen protein yang berperan

terutama untuk fungsi kekebalan tubuh (alfa- laktabumin, beta

laktoglobulin, kasein, enzim, faktor pertumbuhan, hormon,

laktoferin, lisozim, sIgA, dan immunoglobulin lain), nitrogen

non protein (alfa amino nitrogen, keratin, kreatinin,

glukosamin, asam nukleat, nukleotida, poliamin, urea, asam urat),

karbohidrat (laktosa, oligosakarida, glikopeptida, faktor bifidus

(lemak (vitamin larut dalam lemak -A, D, E, dan K-, karotenoid,

asam lemak, fosfolipid, sterol dan hidrokarbon, trigliserida),

vitamin yang larut dalam air (biotin, kolin, folat, inositol,

niasin, asam pantotenat, riboflavin, thiamin, vitamin B12,

vitamin B6, dan vitamin C), mineral dan ion (bikarbonat,

kalsium, khlorida, sitrat, magnesium, fosfat, kalium, natrium,

sulfat), trace mineral (kromium, kobalt, copper, fluorida, iodium,

Page 16: Proposal Workshop Skripsi Kelompok 32_revisi

mangaan, molybdenum, nickel, selenium, dan seng), serta

sel (sel epithelial, leukosit, limfosit, makrofag, dan neutrofil)

(Wapner R, 1999). Sehingga, ASI dapat mencegah berbagai

penyakit seperti radang paru-paru, radang telinga, diare, dan risiko

alergi (Mexitalia, 2011).

5) Status gizi balita

Status gizi mempengaruhi sistem kekebalan tubuh untuk

merespon infeksi. Jika balita mengalami defisiensi nutrisi, maka

akan terjadi penurunan fungsi komplemen, gangguan fungsi

granulosit, dan menyebabkan kekurangan mikronutrien yang

berperan dalam kekebalan tubuh (Sunyataningkamto et al., 2004).

6) Riwayat mendapatkan vitamin A

Pemberian vitamin A yang bersamaan dengan imunisasi

dapat meningkatkan titer antibodi yang spesifik (Hartati et al.,

2012).

7) Riwayat imunisasi campak dan DPT

Pneumonia merupakan salah satu komplikasi penyakit

campak dan pertusis. Sehingga, imunisasi campak dan DPT

dapat mencegah terjadinya penyakit pneumonia (Black et al.,

2006).

Faktor risiko ekstrinsik yang mempengaruhi kejadian

pneumonia pada anak balita yaitu:

1) Tipe rumah

Menurut penelitian Nurjazuli dan Widyaningtyas (2009)

jenis rumah tidak permanen merupakan faktor risiko terjadinya

pneumonia. Karena rumah yang tidak permanen, lantainya terbuat

dari tanah, sehingga dapat menimbulkan debu yang dapat

menimbulkan polusi udara dalam rumah (indoor air pollution).

Akumulasi partikel debu tersebut dapat memicu adanya iritasi

pada saluran napas yang kemudian menjadi media tumbuhnya

berbagai patogen penyebab pneumonia.

Page 17: Proposal Workshop Skripsi Kelompok 32_revisi

2) Ventilasi rumah

Ventilasi rumah berperan dalam terjadinya sirkulasi udara

segar masuk ke dalam rumah dan udara kotor keluar rumah.

Rumah dengan ventilasi cukup, akan mendapatkan suplai udara

segar yang cukup pula. Apabila rumah tidak mempunyai

ventilasi yang cukup, maka dapat mengakibatkan

ketidakcukupan suplai udara segar yang akan mengganggu

proses fisiologis bernapas.

3) Kepadatan hunian

Kepadatan hunian menjadi faktor yang penting untuk

diperhatikan, karena semakin padat orang yang menghuni dalam

suatu rumah atau suatu daerah, maka transmisi penyakit menular

akan semakin cepat terjadi. Sehingga, kepadatan hunian ini

termasuk dalam faktor risiko pneumonia.

4) Pengetahuan ibu

Pengetahuan ibu tentang pneumonia menjadi faktor risiko

terjadinya pneumonia. Sehingga apabila ibu tidak dapat mengenali

tanda atau gejala serta pencegahan pada pneumonia, maka balita

bisa kurang mendapat penanganan yang baik karena

ketidaktahuan ibu. Selain itu, dapat meningkatkan morbiditas

dan mortalitas balita yang menderita pneumonia (Nurjazuli dan

Widyaningtyas, 2009).

Namun, dari faktor risiko pneumonia pada anak balita yang paling

berpengaruh adalah usia, riwayat pemberian ASI dan status gizi

(Hartati et al., 2012).

f. Diagnosis

Ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisis

yang sesuai dengan gejala dan tanda yang diuraikan sebelumnya,

disertai pemeriksaan penunjang. Diagnosis etiologi dibuat berdasarkan

pemeriksaan mikrobiologi dan atau serologi (Mansjoer, dkk, 2008).

Page 18: Proposal Workshop Skripsi Kelompok 32_revisi

Berdasarkan pedoman diagnosis dan tatalaksana pneumonia

yang diajukan oleh WHO di dalam buku Mansjoer, dkk (2008),

pneumonia dibedakan atas :

1) Pneumonia sangat berat : bia ada sianosis sentral dan tidak

senggup minum, harus dirawat di RS dan diberi antibiotik.

2) Pneumonia berat : bila ada retraksi, tanpa sianosis, dan masih

sanggup minum, harus dirawat di RS dan diberi antibiotik.

3) Pneumonia : bila tidak ada retraksi tapi napas cepat :

a) > 60x/menit pada bayi < 2 bulan

b) > 50x/menit pada anak 2 bulan – 1 tahun

c) > 40x/menit pada anak 1 – 5 tahun

Tidak perlu dirawat cukup diberi antibiotik oral.

4) Bukan pneumonia : hanya batuk tanpa tanda dan gejala seperti di

atas, tidak perlu dirawat, tidak perlu antibiotik.

B. Kerangka Pemikiran

Faktor risiko Ekstrinsik

a. Kepadatan hunianb. Polusi Udarac. Tipe rumahd. Ventilasie. Pengetahuan ibu

Faktor risiko Intrinsik

a. Status gizi kurang/buruk

b. Umurc. BBLRd. Status Imunisasi

( DPT, Campak )

Agen Infeksi:

a. Bakterib. Virusc. Jamur

Meningkatkan morbiditas

& mortalitas penyakit infeksi

Sistem kekebalan

kurang sempurna

Kadar immunoglobulin

rendah

Balita RIWAYAT

Pneumonia Anak BawahLima Tahun

Keterangan :

: diteliti

: Tidak diteliti

Page 19: Proposal Workshop Skripsi Kelompok 32_revisi

C. Hipotesis

Ada hubungan antara balita riwayat BBLR dengan kejadian

pneumonia pada balita di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM)

Surakarta.

Faktor risiko Intrinsik

a. Status gizi kurang/buruk

b. Umurc. BBLRd. Status Imunisasi

( DPT, Campak )

Page 20: Proposal Workshop Skripsi Kelompok 32_revisi

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik karena

hanya mengukur variabel-variabel yang diteliti, tanpa memberikan intervensi

kepada subjek penelitian dan bertujuan untuk mencari hubungan antara faktor

risiko dan efeknya, yaitu riwayat BBLR terhadap insidensi pneumonia pada

balita. Studi observational analitik ini dilakukan dengan studi cross-sectional.

(Murti, 2003).

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat

(BPKPM) Surakarta dan di posyandu wilayah Surakarta.

C. Subjek Penelitian

Populasi sumber penelitian ini adalah anak balita berusia 6-59 bulan.

Sampel yang digunakan terdiri atas kelompok kasus dan kelompok kontrol.

Kelompok kasus yaitu anak balita yang terdiagnosis pneumonia di BBKPM

Surakarta. Sedangkan kelompok kontrol adalah anak balita sehat di posyandu

wilayah Surakarta. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive

sampling di mana sampel diambil berdasarkan kriteria restriksi yang terdiri

dari kriteria inklusi dan eksklusi (Murti, 2010).

Kriteria inklusi yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Anak balita usia 6 – 59 bulan

2. Orangtua anak bersedia menjadi subjek penelitian (informed consent)

Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah

1. Pasien dengan HIV positif

2. Pasien dengan keganasan

3. Pasien menderita penyakit paru yang lain

4. Pasien mengonsumsi obat-obatan imunosupresif

Page 21: Proposal Workshop Skripsi Kelompok 32_revisi

5. Orangtua tidak bersedia anaknya menjadi subjek penelitian

D. Rancangan Penelitian

E. Identifikasi Variabel

Variabel adalah entitas, atau karakteristik dari individu, kasus, atau

subjek penelitian yang memiliki variasi nilai kuantitatif atau kategori

Analisis data:

Chi Square dan Odds Ratio

Alloanamnesi orangtua

Balita tanpa riwayat BBLR

Balita dengan riwayat BBLR

Balita dengan riwayat BBLR

Balita tanpa riwayat BBLR

Balita tanpa PneumoniaBalita dengan Pneumonia

Subjek penelitian sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi

Populasi sumber (balita 6-59 bulan)

Alloanamnesi orangtua

Page 22: Proposal Workshop Skripsi Kelompok 32_revisi

kualitatif, baik variasi antar waktu atau antar individu (Vogt, 1993; Streiner

dan Norman, 2000 dalam Murti 2015).

Variabel independen atau disebut juga variabel bebas/vaiabel pengaruh

adalah variabel yang dihipotesiskan mempengaruhi variabel lainnya (variable

terikat). Dalam studi observasional, variabel independen adalah paparan

(exposure), disebut juga faktor penelitian. (Murti, 2015). Dalam penelitian ini,

variabel independen adalah Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR). BBLR

dihipotesiskan mempengaruhi/menjadi faktor penyebab terjadinya Pneumonia.

Variabel dependen atau disebut juga variabel hasil (outcome variable)

adalah variabel yang dihipotesiskan dipengaruhi atau tergantung oleh variabel

lain. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah pneumonia. Kejadian

pneumonia dihipotesiskan dipengaruhi oleh riwayat BBLR.

Variabel luar adalah variabel selain variabel independen yang dapat

mempengaruhi variabel dependen dan perlu dikendalikan agar tidak menjadi

faktor perancu. Variabel luar dalam penelitian ini diantaranya adalah

pemberian ASI, asupan nutrisi, pemberian vitamin A dan status imunisasi

campak.

F. Besar Sampel

Sampel penelitian dihitung dengan menggunakan rumus pengujian hipotesis

dua proporsi (Lemeshow, 1977), yaitu :

n=( z1−α /2√2 P(1−P)+z1−β √P2 (1−P1 )+P2(1−P2))

2

( P1−P2 )2x Deff

Keterangan :

n = ukuran masing-masing sampel dari kedua kelompok sampel

P2 = perkiraan proporsi sakit pada populasi terpapar = 0,15 (Hanafi, 2015)

P1 – P2 = 0,3 (ditetapkan oleh peneliti)

P1 = 0,15 + 0,3 = 0,45

P = (P1 + P2) / 2 = 0,3

Z1-a/2 = 1,96 ; dengan menggunakan a = 0,05

Z1-b = 0,84; dengan menggunakan b = 0,20

Page 23: Proposal Workshop Skripsi Kelompok 32_revisi

Kemudian setelah dihitung berdasarkan rumus di atas, didapatkan n = 36 pada

masing-masing kelompok kasus maupun kontrol. Sehingga ditetapkan bahwa

jumlah sampel pada penelitian ini yaitu 36 sampel pada masing-masing

kelompok.

G. Definisi Operasional

1. Variabel bebas: BBLR

Bayi BBLR adalah bayi yang dilakukan penimbangan dalam waktu

kurang dari 24 jam setelah lahir dengan berat badan <2500 gram. Data

tersebut diperoleh dari kuisioner dengan orangtua balita.

2. Variabel terikat: Pneumonia pada balita

Pneumonia pada balita adalah seorang anak yang telah terdiagnosis

menderita pneumonia berdasarkan data pada rekam medik tahun

2015.Manifestasi klinis dalam menegakkan diagnosis antara lain : ada

tarikan dinding dada sebelah bawah ke dalam, ada peningkatan frekuensi

nafas yaitu umur < 2 bulan ≥ 60 kali, umur 2 bulan - 1 tahun ≥ 50 kali,

umur 1 tahun - 5 tahun ≥ 40 kali. Data diperoleh dari diagnosis dokter

selama waktu penelitian yaitu 1 bulan.

3. Variabel luar

a. Variabel luar terkendali: Umur

Umur adalah jumlah tahun yang dihitung sejak kelahiran sampai ulang

tahun terakhir saat penelitian dilakukan. Umur sampel yang digunakan

pada penelitian adalah 6 bulan sampai 5 tahun.

a. Variabel luar tidak terkendali:

1). Jenis Kelamin

Anak laki-laki lebih rentan terkena pneumonia karena diameter

saluran pernapasan anak laki-laki lebih kecil dibandingkan dengan

anak perempuan atau adanya perbedaan dalam daya tahan tubuh

anak laki-laki dan perempuan (Sunyataningkamto, 2004).

2). Riwayat pemberian ASI Balita

Page 24: Proposal Workshop Skripsi Kelompok 32_revisi

Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Ekslusif mengandung

komponen protein yang berperan terutama untuk fungsi kekebalan

tubuh (alfa- laktabumin, beta laktoglobulin, kasein, enzim, faktor

pertumbuhan, hormon, laktoferin, lisozim, sIgA, dan

immunoglobulin lain) sehingga berpengaruh pada kekebalan balita

terhadap pneumonia.

3). Status gizi balita

Status gizi mempengaruhi sistem kekebalan tubuh untuk

merespon infeksi. Jika balita mengalami defisiensi nutrisi, maka

akan terjadi penurunan fungsi komplemen, gangguan fungsi

granulosit, dan menyebabkan kekurangan mikronutrien yang

berperan dalam kekebalan tubuh (Sunyataningkamto et al.,

2004)

4). Riwayat imunisasi campak dan DPT

Pneumonia merupakan salah satu komplikasi penyakit campak

dan pertusis. Sehingga, imunisasi campak dan DPT dapat

mencegah terjadinya penyakit pneumonia (Black et al., 2006).

5). Riwayat mendapatkan vitamin A

Pemberian vitamin A yang bersamaan dengan imunisasi dapat

meningkatkan titer antibodi yang spesifik (Hartati et al., 2012).

6). Lingkungan rumah

Keadaan lingkungan rumah menjadi faktor risiko kejadian

pneumonia . Hal – hal yang berpengaruh terkait lingkungan rumah

diantaranya jenis lantai rumah, ventilasi, suhu ruangan, tingkat

kepadatan hunian, bahan bakar memasak, serta ada tidaknya

kebiasaan merokok anggota keluarga.

7). Pengetahuan ibu

Pengetahuan ibu tentang pneumonia menjadi faktor risiko

terjadinya pneumonia. Sehingga apabila ibu tidak dapat mengenali

tanda atau gejala serta pencegahan pada pneumonia, maka balita

bisa kurang mendapat penanganan yang baik karena ketidaktahuan

Page 25: Proposal Workshop Skripsi Kelompok 32_revisi

ibu. Selain itu, dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas

balita yang menderita pneumonia (Nurjazuli dan Widyaningtyas,

2009).

H. Instrumen Penelitian

Instrumen peneitian yang digunakan berupa informed consent,

rekam medis dan daftar pertanyaan untuk wawancara subjek penelitian.

I. Cara Kerja

1. Peneliti datang ke lokasi penelitian yaitu di Balai Besar Kesehatan Paru

Masyarakat (BBKPM) Surakarta dan Posyandu Ngoresan untuk

mengurus perizinan penelitian.

2. Peneliti mengambil data berupa daftar balita yang memenuhi kriteria

inklusi dan eklslusi penelitian di BBKPM Surakarta dan Posyandu

Ngoresan.

3. Peneliti menentukan subjek dari sampling.

4. Sampel yang telah terpilih kemudian dijelaskan garis besar, tujuan,

manfaat, prosedur penelitian dan jaminan kerahasiaan indentitas

sampel.

5. Sampel yang telah menandatangani persetujuaan (informed consent)

kemudian dilakukan wawancara untuk menggali riwayat BBLR.

6. Peneliti mengklasifikasi kejadian pneumonia dengan riwayat BBLR

atau tidak dan kejadian balita sehat dengan riwayat BBLR atau tidak.

7. Peneliti selanjutnya mengolah data yang diperoleh dengan

menggunakan aplikasi SPSS.

J. Teknik Analisis

Teknik analisis yang digunakan untuk mengolah data adalah:

1. Menggunakan uji Chi Square dengan bantuan program Statistical

Program for Social Science (SPSS) bertujuan untuk mengetahui

hubungan antara kedua variable.

Page 26: Proposal Workshop Skripsi Kelompok 32_revisi

2. Dengan penghitungan Odds Ratio (OR) bertujuan mengetahui

bagaimana hubungan antara kejadian pneumonia pada balita dengan

riwayat BBLR. Taraf signifikansi yang diterapkan adalah 5% atau

dengan taraf kepercayaan 95%. Hasil OR kemudian dihitung

menggunakan tabel 2x2 (Murti, 2010).

Uji Chi Square

x2= N (ad−bc )2

(a+b )(c+d )(a+c )(b+d)

Keterangan:

N = jumlah sampel

a = pasien pneumonia dengan riwayat BBLR

b = pasien tidak pneumonia dengan riwayat BBLR

c = pasien pneumonia tanpa riwayat BBLR

d = pasien tidak pneumonia dan tidak ada riwayat BBLR

Jika hasil penelitian tidak memenuhi kriteria untuk dilakukan

uji Chi Square, maka dapat dilakukan uji alternatif untuk tabel 2x2

yaitu dengan menggunakan uji Fisher.

Odds Ratio (OR)

Odds ratio adalah membandingkan antara kejadian pneumonia pada

balita riwayat BBLR dengan balita yang tidak memiliki riwayat

BBLR.

Keterangan:

OR= Odds Ratio

a = pasien pneumonia dengan riwayat BBLR

b = pasien tidak pneumonia dengan riwayat BBLR

c = pasien pneumonia tanpa riwayat BBLR

d = pasien tidak pneumonia dan tidak ada riwayat BBLR

Page 27: Proposal Workshop Skripsi Kelompok 32_revisi

DAFTAR PUSTAKA

DahlanZ.2007.Pneumonia.In: Sudoyo A.W.,SetiyohadiB., AlwiI., Simadibrata

M.,SetiatiS.(eds).BukuAjarIlmuPenyakitDalam,JilidII EdisiIV. Jakarta:

Pusat Penerbitan DepartemenIlmu PenyakitDalam FKUI, pp 964-965.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2005). BBLR dan

Penatalaksanaannya. Jakarta: Depkes RI

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Perawatan Bayi Lahir

Rendah (BBLR) dengan Metode Kanguru. Jakarta: Depkes RI

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2010). Buku Saku Pelayanan

Kesehatan Neonatal Essential. Jakarta: Depkes RI

Depkes RI, 2004. Angka Kematian Bayi Masih Tinggi. ISPA PembunuhUtama.

Dirjen PPM & PL, Jakarta.

Djojodibroto D. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Penerbit Buku.

Kedokteran EGC. Jakarta.

Hanafi DA. 2015. Hubungan Pemberian Asi Eksklusif dengan Kasus Pneumonia

Anak Usia 6 Bulan – 5 Tahun. Skripsi. Surakarta: Fakultas Kedokteran

Universitas Sebelas Maret.

Hartati, S., 2011. Analisis Faktor Risiko Terjadinya Pneumonia pada Anak

Balitadi RSUD Pasar Rebo Jakarta. Tesis. Fakultas Keperawatan,

UniversitasIndonesia, Depok.

Hidayah Dwi. (2016). Managemen Nutrisi BBLR. Slide Kuliah Pediatri FK UNS.

Surakarta.

Hidayah, Arinil. (2011). Karakteristik Kematian Bayi Berat Badan Lahir Rendah

(BBLR) di RSU Dr. Pirngadi Medan Tahun 2005-2009. Medan: Sumatra

Utara.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2010). Survei Demografi dan

Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta: Kemenkes RI

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Riset Kesehatan Dasar

Riskesdas 2013. Jakarta: Kemenkes RI

Page 28: Proposal Workshop Skripsi Kelompok 32_revisi

Kosim M. Sholeh. (2008). Buku Ajar Neonatologi Edisi I. Jakarta: IDAI

Mansjoer A., Suprohaita, Wadhani W.I., Setiowulan W. 2008. Kapita

SelektaKedokteran, Jilid 2 Edisi III. Jakarta : Media Aesculapius FKUI

Manuaba, Ida Bagus. (2010). Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan KB untuk

Bidan. Jakarta: ECG

Nurjazuli, Widyaningtyas R. 2009. Faktor Risiko Dominan Kejadian Pneumonia

Pada Balita. J Respir Indones, 29(2).

Proverawati A, Ismawati Cahyo S. (2010). BBLR (Berat Badan Lahir Rendah).

Yogjakarta: Nuha Medika

Pudjiati Antonius, H., Hegar Badriul, dkk. (2010). Pedoman Pelayanan Medis

Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: IDAI.

Said, Mardjanis. 2008. Pneumonia. Dalam: Rahajoe, N.N., Supriyatno, B., dan

Setyanto, D.B. (editor). Buku Ajar Respirologi Anak, edisi I. Badan

Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. halaman 350-364

Sauer PJ, Visser HK. (1984). The Neutral Temperature of very low birth weight

infant. Pediatrics Aug;74(2)

ScottJ.A.,BrooksW.A.,PeirisJ.S.,Holtzman D.,MulhollandE.K.2008.Review

series:Pneumoniaresearch toreducechildhooldmortality inthedeveloping

world.JClinInvest. 118 : 1291-1300.

Sunyataningkamto et.al., 2004. The role of indoor air pollution and other

factorsin the incidence of pneumonia in under-five children.

PaediatricaIndonesiana:44(1-2);25-29

Thomas K. (1994). Thermoregulation in Neonates. Neonatal network: NN 13(2),

pp 15-22

United Nations Children’s Fund and World Health Organization. (2004). Low

Birth Weight: Country, Regional, and Global Estimates. New York:

Unicef-WHO.

Page 29: Proposal Workshop Skripsi Kelompok 32_revisi

Wojsyk-banaszak I, Bręborowicz A. Pneumonia in Children. INTECH.2013;6.

Dikutip dari: http;//dx.doi.org/10.5772/54052.