review artikel metopen

72
1 REVIEW ARTIKEL Educational Research Review artikel ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Metodologi Pendidikan Disusun Oleh : AAN WIDIYONO NIM 13712251035 PRODI PENDIDIKAN DASAR PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2013

Upload: aan-widiyono

Post on 15-Apr-2017

505 views

Category:

Education


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Review Artikel Metopen

1

REVIEW ARTIKEL

Educational Research

Review artikel ini disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah Metodologi Pendidikan

Disusun Oleh :

AAN WIDIYONO

NIM 13712251035

PRODI PENDIDIKAN DASAR

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2013

Page 2: Review Artikel Metopen

2

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat,

hidayah dan inayah-Nya, sehingga tugas mata kuliah Metodologi Pendidikan tentang

“Review Artikel : Educational Reseach” ini dapat penulis selesaikan dengan tepat waktu.

Tugas makalah ini penulis susun untuk memenuhi tugas dari mata Metodologi

Pendidikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu dalam penyusunan makalah ini, antara lain sebagai berikut :

1. Dr. Muhammad Nur Wangid selaku dosen pengampu Mata Kuliah Metodologi

Pendidikan..

2. Orang tua di rumah yang senantiasa memberikan restu, doa dan motivasi kepada

penulis.

3. Teman-teman Pendidikan dasar B

4. Dan berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan tugas makalah ini.

Besar harapan penulis untuk memberikan manfaat kepada pembaca dan bagi

penulis itu sendiri. Dan tentu dalam penyusunan tugas ini masih memiliki banyak

kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang dapat

membangun demi sempurnanya tugas makalah ini. Trima kasih

Yogyakarta, 29 November 2013

Page 3: Review Artikel Metopen

3

REVIEW ARTIKEL

PENDIDIKAN SAINS DI SEKOLAH DASAR DENGAN

MENGGUNAKAN GAMBAR ANIMASI

Review artikel ini disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah Metodologi Pendidikan

Disusun Oleh :

AAN WIDIYONO

NIM 13712251035

PRODI PENDIDIKAN DASAR

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2013

Page 4: Review Artikel Metopen

4

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................ i

DAFTAR ISI ..................................................................................... ii

PENDAHULUAN ..................................................................... 1

RINGKASAN ISI MATERI ..................................................... 2

PEMBAHASAN ....................................................................... 16

PENUTUP ................................................................................ 21

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………. 22

LAMPIRAN

Page 5: Review Artikel Metopen

5

PENDAHULUAN

JUDUL ARTIKEL : PENDIDIKAN SAINS DI SEKOLAH DASAR

DENGAN MENGGUNAKAN GAMBAR ANIMASI

PENULIS : MIRI BARAK dan YEHUDIT J. DORI

PUBLIKASI : search.ebscohost.com

ABSTRAK

Mengajar tentang Sains sering menggunakan konsep tidak secara nyata dan prosesnya

sering tidak dapat dilihat atau disentuh. Dengan mengembangkan aplikasi Java, Flash, dan lainnya

yang berbasis web memungkinkan guru dan pendidik untuk menyajikan sebuah animasi yang

menarik dalam menggambarkan peristiwa ilmiah. Kami mengevaluasi studi berbasis animasi film

ke dalam web untuk diintegrasikan ke kurikulum Sains di Sekolah Dasar. Tujuan kami adalah

untuk menguji metode guru untuk mengintegrasikan animasi film terhadap pandangan mereka

tentang peran animasi dalam meningkatkan kemampuan berpikir siswa. Kami juga bertujuan untuk

menyelidiki pengaruh film animasi pada siswa terutama 'hasil belajar’. Menggunakan penelitian

kualitatif dan kuantitatif, kami melakukan diskusi informal dengan Guru Ilmu Pengetahuan Alam

(N = 15) dan Guru memberikan pertanyaan sebelum dan sesudah terhadap siswa kelas 4 (N = 641)

dan siswa kelas 5 (N = 694) yang dibagi menjadi kelompok kontrol dan kelompok eksperimental.

Para siswa kelompok eksperimen mempelajari ilmu dengan menggunakan film animasi dalam

kegiatan tambahan setidaknya sekali seminggu. Sedangkan, siswa kelompok kontrol

menggunakan buku saja dalam pelajaran dan gambar yang ada dibuku untuk belajar ilmu

pengetahuan. Temuan menunjukkan bahwa film animasi mendukung penggunaan beragam

strategi pengajaran dan metode pembelajaran, dan dapat mempromosikan keterampilan berpikir di

kalangan siswa. Temuan juga mengindikasikan bahwa animasi dapat meningkatkan keingintahuan

ilmiah, akuisisi bahasa ilmiah, dan mendorong berpikir ilmiah. Hasil ini menggembirakan karena

dapat menjelaskan fakta bahwa siswa memanfaatkan baik animasi visual (bergambar) dan auditori-

(lisan) sambil menentukan animasi film dalam beragam gaya belajar dan strategi pengajaran.

Page 6: Review Artikel Metopen

6

PENDAHULUAN

Penelitian menekankan apakah animasi menghasilkan dampak positif dan negatif dalam

membantu siswa memahami fenomena dinamis (Ainsworth 2008 ; Schnotz dan Rasch 2005 ).

Salah satu alasan berbagai hasil menyatakan bahwa animasi adalah istilah umum yang mengacu

berbagai bentuk representasi. Sementara penyelidikan penggunaan animasi, beberapa peneliti

menunjukkan efek positif pada siswa dalam proses pembelajaran (Najjar 1998 ; Rieber 1990 ;

Williamson berpikir (Schnotz dan Kurschner 2008 ). Peneliti lain mengklaim animasi dapat

memberikan potensi kesalahpahaman dari fenomena dalam sebagian permasalahan (Schnotz dan

Rasch 2005 ). Dalam ilmu pendidikan, media komputer dan animasi dapat digunakan untuk

menggambarkan, menjelaskan, dan memprediksi proses ilmiah. Fenomena ilmiah yang abstrak

sering terjadi di tingkat makroskopik (seperti gerakan planet) atau tingkat mikroskopis (seperti

molekul dan atom) dapat digambarkan oleh film-film animasi. Animasi dan simulasi komputer

yang digunakan untuk meningkatkan transisi dari konkrit dalam melakukan pemikiran abstrak dan

sebaliknya (Barak et al. 2007 , Dori dan Belcher 2005 ). Transisi ini dapat menghasilkan

pemahaman siswa dan kemampuan penalaran. Dalam rangka untuk menguji pernyataan ini,

penelitian kami menyelidiki efek animasi film terhadap hasil belajar siswa (SD) dengan

pengarahan dari guru.

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti dapat merumuskan permasalahan sebagai

berikut:

1. Bagaimana pengaruh animasi film terhadap hasil belajar siswa Sekolah Dasar.

2. Bagaiman penerapan guru dalam metode mengintegrasikan animasi film

3. Bagaimana tanggapan Guru SD tentang peran animasi dalam meningkatkan kemampuan

berpikir siswa

Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini memilki tujuan :

1. Mengetahui pengaruh animasi film terhadap hasil belajar siswa Sekolah Dasar.

2. Mengetahui cara penerapan guru dalam metode mengintegrasikan animasi film

3. Mengetahui bagaimana tanggapan Guru SD tentang peran animasi dalam meningkatkan

kemampuan berpikir siswa

Manfaat penelitian ini adalah untuk menghasilkan pembelajaran guru yang efektif, modern

dan menyenangkan terhadap siswa.

Page 7: Review Artikel Metopen

7

RINGKASAN ISI MATERI

A. KAJIAN TEORI

Animasi dan Mode Representasi Visual

Animasi dikonseptualisasikan sebagai tindakan, proses, atau hasil menanamkan

kehidupan. Hal ini terkait dengan seni atau proses mempersiapkan film animasi yang melibatkan

ilusi gerakan pada layar. Saat ini, banyak animasi pendidikan yang dapat ditemukan di komputer

dan internet. Visualisasi Komputerisasi dan animasi yang menjanjikan metode untuk

mempromosikan pendidikan sains primer, sekunder dan bahkan pendidikan tinggi (Dori et al.

2003; Williamson dan Abraham 1995).

Visualisasi sebagai bentuk dasar kognisi berkorespondensi dengan teori kognitif dalam

pembelajaran multimedia (Mayer 2001). Mayer (2001) mengusulkan tiga asumsi utama untuk

belajar dengan multimedia. Yang pertama menyatakan bahwa ada dua saluran yang terpisah

(auditori dan visual) untuk memproses informasi (disebut sebagai teori coding ganda ). Yang

kedua setiap saluran pada masing-masing Negara harus memiliki keterbatasan kapasitas. Yang

ketiga bahwa belajar adalah suatu proses aktif penyaringan, pemilihan, pengorganisasian, dan

mengintegrasikan informasi berdasarkan pengetahuan sebelumnya. Mayer (2001) menekankan

pentingnya belajar dengan visualisasi karena informasi baru dapat terintegrasi dengan pengetahuan

sebelumnya.

Eshach (2006) membuat perbedaan antara eksternal dan representasi internal visual.

Eksternal visual yang meliputi tulisan, gambar, diagram, dan dalam kasus kami adalah animasi.

Sebuah representasi visual internal representasi mental, yang didefinisikan sebagai penemuan

mental atau pengalaman dari reaksi bahwa setidaknya beberapa hal menyerupai pengalaman dalam

memahami suatu obyek atau peristiwa (Finke 1989).

Tidak ada keraguan bahwa guru pada umumnya dan ilmu pengetahuan guru harus selalu

diingat karena penting dalam mevisualisasi dalam teori pembentukan karakter. Salah satu tugas

yang paling penting dari Guru Sains adalah harus mendorong siswa untuk membuat gambar visual

ilmiah yang akan memberikan kontribusi dalam pembelajaran bermakna dan pemahaman

konseptual. Hal ini harus dilakukan pada tahap awal masa kanak-kanak, di sekolah dasar, dengan

menggunakan kemampuan berfikir seperti model, simulasi, atau film animasi.

Page 8: Review Artikel Metopen

8

Pengajaran Ilmu di Sekolah Dasar

Banyak penelitian menunjukkan kesulitan dalam belajar dan mengajar ilmu Sains karena

berhubungan dengan fenomena abstrak dan proses (Barak dan Dori 2005 , Williamson dan

Abraham 1995 ). Kesulitan-kesulitan ini bahkan lebih parah di kalangan anak siswa di Sekolah

Dasar. Dua pembenaran Guru Sains sering berpendapat bahwa siswa harus belajar Ilmu

Pengetahuan: Ilmu adalah tentang dunia nyata, dan ilmu mengembangkan keterampilan penalaran

(Eshach 2006 ). Pernyataan pertama menekankan pengetahuan konseptual. Hal ini diyakini bahwa

dengan memahami konsep ilmiah dalam domain tertentu, anak-anak mungkin lebih baik

memahami dunia di mana mereka tinggal. Pernyataan kedua menekankan pengetahuan prosedural.

Itu mengklaim bahwa ilmu pengetahuan memberikan kontribusi terhadap pengembangan

keterampilan umum yang dibutuhkan anak-anak tidak hanya dalam ilmu pengetahuan, tetapi juga

dalam berbagai domain (Eshach dan Fried 2005 ). Eshach (2006) memperluas dua pembenaran

untuk mengajar ilmu pengetahuan pada anak-anak dan memberikan enam alasan bahkan untuk

mengekspos ilmu pengetahuan anak-anak, yaitu :

1. Anak-anak menikmati dalam memahami tentang berpikir alam.

2. Paparan awal fenomena ilmiah mengarah lebih baik ke pemahaman tentang konsep-konsep

ilmiah untuk dipelajari kemudian dengan cara formal.

3. Penggunaan bahasa informasi ilmiah pada usia awal dapat mempengaruhi perkembangan

konsep ilmiah.

4. Ilmu adalah cara yang efisien untuk mengembangkan berpikir ilmiah.

Ilmu pendidikan penting pada tahun-tahun awal anak dalam meningkatkan rasa ingin tahu

alami mereka sehingga memimpin mereka untuk pembelajaran bermakna. Studi menunjukkan

bahwa salah satu cara sukses untuk meningkatkan motivasi siswa untuk belajar ilmu adalah

melalui mengintegrasikan visualisasi dan animasi dalam proses pembelajaran mereka (Barak et al.

2011, Barak dan Dori 2005).

B. PESERTA PENELITIAN

Peserta penelitian berjumlah 15 Guru Sains yang terintegrasi dalam pengajaran film

animasi dan 1335 siswa Sekolah Dasar yang dibagi menjadi kelompok eksperimen dan kelompok

kontrol. Semua Guru Sains adalah perempuan, 62% memiliki gelar B.Ed. Sebagian besar dari

mereka (85%) telah mengajar selama lebih dari 10 tahun.

Page 9: Review Artikel Metopen

9

Kelompok siswa eksperimen berjumlah 926 siswa dari lima Sekolah Dasar (kelas 4

sebanyak : N = 435 dan kelas 5 sebanyak : N = 491). Kelompok siswa kontrol berjumlah 409 siswa

dari dua sekolah dasar (siswa kelas 4 sebanyak : N = 206 dan siswa kelas 5 sebanyak : N = 203).

Jenis kelamin siswa dengan distribusi merata (50% perempuan). Berdasarkan 11% dari jumlah

siswa siswa menyatakan bahwa pekerjaan orang tua mereka' profesi bidang ilmiah (dokter,

ilmuwan, insinyur, dll), dan 12,8% menyebutkan bahwa mereka berpartisipasi dalam kegiatan

ekstrakurikuler yang berkaitan dengan pendidikan Sains. Pearson Chi-Square test menunjukkan

tidak ada statistik signifikan (tidak ada perbedaan antara kelompok penelitian dalam hal jenis

kelamin, pekerjaan orang tua, dan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler).

C. METODE DAN ALAT PENGUMPULAN DATA

Model 'metode campuran' (Johnston dan Onwuegbuzie 2004) telah digunakan dalam

analisis dan interpretasi data dengan menggunakan methodologi-baik kuantitatif dan kualitatif.

Informasi diskusi dilakukan berdasarkan pengalaman guru sebelum dan sesudah mengisi

kuesioner yang diberikan kepada siswa .Informasi dilaksanakan dengan pengetahuan guru selama

di kelas. Diskusi berfokus pada metode pengajaran guru dalam mengintegrasikan animasi film dan

pandangan guru tentang peran animasi dalam meningkatkan kemampuan berpikir siswa. Lima

guru yang terpilih untuk mewakili dalam bereksperimen, yaitu guru: MO, BC, ST, PL, dan TK,

karena mereka bersedia memberikan tanggapan dan berbagi pemikiran dalam menjelaskan

pengalaman mereka di kelas.

Dalam meneliti pengetahuan keterampilan berpikir, kuesioner yang dibagikan memiliki

dua jenis, satu untuk siswa kelas 4 dan satu untuk siswa kelas 5, Kedua kuesioner memilki dua

bagian. Pertama, bagian pemahaman siswa tentang konsep-konsep sains melalui delapan

pertanyaan pilihan ganda. Bagian kedua kemampuan penalaran siswa melalui empat pertanyaan

pengecoh. Masing-masing dari kuesioner dari kelas 4 dan kelas 5 memiliki dua jenis yang

termasuk pertanyaan yang sama tetapi dalam urutan yang berbeda. Siswa yang menerima jenis A

untuk pra-kuesioner yang jenis B diberikan untuk mereka pasca-kuesioner. Pengetahuan

keterampilan berpikir kuesioner untuk siswa kelas 5 disajikan dalam'' Lampiran 1 ''.

Kuesioner divalidasi oleh empat ahli dalam pendidikan sains dan tiga Guru Sekolah Dasar,

dan mencapai persetujuan 100%. Reabilitas, ditentukan oleh Kuder Richardson KR-20 untuk

Page 10: Review Artikel Metopen

10

menentukan reabilitas skala dikotomi menunjukkan 0,72 dan 0,75 untuk siswa kelas 4 dan siswa

kelas 5 dari keterampilan berpikir menjawab kuesioner (masing-masing).

D. PELAKSANAAN PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan melalui 2 tahapan, yaitu :

1. Penelitian percobaan (pendahuluan) tujuannya untuk menetapkan reliabilitas, validitas

penelitian,

2. Penelitian utama, yang dilakukan untuk menjawab pertanyaan penelitian.

Penelitian dilaksanakan dalam satu kota, di bagian tengah Israel. Yang mana pembagian

sekolah dibagi menjadi kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Karena ada lebih dari

2.000 siswa yang ikut dalam program ini. Teknik sampling dilakukan (Pedhazur dan

Schmelkin 1991). Kelas sampel eksperimen didasarkan pada kriteria semua siswa belajar

menggunakan BrainPop dengan tambahan menggunakan film animasi dan tambahan

kegiatan-prioritas setidaknya sekali dalam seminggu. Kelas sampel kontrol didasarkan pada

kenyataan bahwa siswa hanya menggunakan buku teks dan masih menggunakan gambar

untuk belajar ilmu pengetahuan. Sampel yang diteliti 67% dari siswa yang berpartisipasi

dalam program ini.

Situs BrainPop (http://www.brainpop.com) menyediakan tiga sampai lima film

animasi yang menjelaskan ratusan konsep-konsep ilmiah dengan teknik menghibur. Setiap

karakter film animasi dipimpin siswa melalui kegiatan diskusi, termasuk kuis interaktif dan

eksperimen.

Page 11: Review Artikel Metopen

11

Pada awal penelitian, para guru eksperimental menerima lokakarya 2 jam, dengan fokus

pada prinsip-pedagogis dan strategi pengajaran untuk mengintegrasikan film animasi. Selain itu,

para guru eksperimen menerima bimbingan sepanjang tahun oleh para ahli BrainPop.

Pengajaran dengan film animasi setidaknya dilakukan selama seminggu sekali, sekitar satu

animasi untuk setiap topik yang diajarkan di kelas. Setiap film dimulai dengan pertanyaan yang

dibuat Totom (Boy Animasi) and Moby (Robot Animasi). Semua pertanyaan adalah tentang

fenomena ilmiah yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari siswa (gaya, kelestarian mahluk

hidup, lingkungan alam, dsb). Setelah menjawab pertanyaan, hasil diketik dalam aplikasi BrainPop

kemudian secara langsung dapat dilihat hasilnya.

Dalam penelitian ini, guru menggunakan animasi dalam menjelaskan struktur organ seperti

paru-paru manusia atau proses dinamis seperti energi listrik. Mereka menggunakan animasi secara

langsung untuk memecahkan teka-teki dan mendorong pembelajaran aktif .

Di kelas kelompok kontrol, para guru menggunakan metode tradisional untuk mengajar.

Mereka mengikuti langkah-langkah sesuai buku, mengajar satu demi satu bab, meliputi topik yang

sesuai dengan kurikulum. Adapun isi buku bergambar meliputi hewan di habitat, organ tubuh

manusia, bahan geologi, dsb. Metode pengajaran dan pembelajaran dari kedua kelompok

eksperimen dan kontrol adalah sama, kecuali untuk integrasi film animasi.

E. HASIL

Hasil penelitian ini mencakup tiga bagian. Setiap bagian video terdapat jawaban dan salah

satu pertanyaan penelitian. Bagian pertama terdapat rincian metode guru untuk mengintegrasikan

film animasi ke dalam kurikulum mereka. Bagian kedua menjelaskan pandangan guru tentang

peran animasi dalam meningkatkan kemampuan berpikir siswa Sekolah Dasar. Bagian ketiga

Page 12: Review Artikel Metopen

12

menjelaskan rincian pemahaman siswa terhadap konsep-konsep ilmiah dan kemampuan penalaran

mereka.

1. Metode Guru Pengintegrasian Film Animasi

Survei menunjukkan bahwa metode guru untuk mengintegrasikan berbasis web dalam

teknologi pendidikan sebelum program BrainPop, menunjukkan bahwa 20% guru tidak

menggunakan komputer sama sekali. Kami menemukan bahwa 32% guru menggunakan computer

untuk mengajar (demonstrasi), sedangkan 20% menggunakan computer untuk bekerja kelompok,

18% mendorong guru untuk menggunakan computer untuk tugas rumah, dan 10% menggunakan

computer dalam demonstrasi, kerja kelompok, dan tugas rumah.

Pada akhir program BrainPop kami menemukan perbedaan yang signifikan dalam

mengintegrasikan film dalam proses pembelajaran. Yang mana tidak ditemukan guru yang tidak

menggunakan computer (semuanya menggunakan computer). Bahwa hasil yang kita kita temui

dalam penggunaan computer untuk mengajar (demonstrasi) dan bekerja kelompok sebesar 15%,

kemudian penggunaan computer untuk bekerja kelompok dan tugas rumah sebesar 30 %,

sedangkan penggunaan computer untuk mengajar dan tugas rumah sebesar 20%. Hasil yang

mengejutkan bahwa penggunaan computer dalam demonstrasi, kerja kelompok, dan tugas rumah

sebesar 35%.

2. Pandangan Guru tentang peran animasi dalam meningkatkan kemampuan berpikir

siswa Sekolah Dasar

a. Strategi Pengajaran Beragam

Film animasi dapat disajikan sebagai pengantar pokok bahasan atau sebagai topik

ringkasan untuk menyimpulkan.

Contoh pernyataan guru:

MO: Saya menggunakan BrainPop dalam berbagai cara. Kadang-kadang saya

menggunakannya sebagai pengantar untuk menarik perhatian siswa dan untuk

mempromosikan keingintahuan mereka. Kadang-kadang saya menggunakannya di tengah-

tengah materi, meminta siswa untuk mengumpulkan data dan mencari informasi. Saya

menggunakannya untuk menyimpulkan materi, melihat video, dan kemudian siswa

menjawab kuis.

Page 13: Review Artikel Metopen

13

b. Keterampilan Berpikir Beragam

Film animasi dapat memungkinkan pelaksanaan dual channel pendekatan pembelajaran.

Siswa terlibat dalam cara visual “bergambar” sambil menonton karakter animasi, dan

dengan cara pendengaran “verbal” saat mendengarkan penjelasan tentang fenomena

ilmiah.

Contoh pernyataan guru:

MO: Pada awal tahun ini, saya mempresentasikan film untuk semua siswa di kelas ... kami

menyaksikan film yang sama yang diproyeksikan pada dinding dan kemudian kita

mengadakan diskusi kelas. Setelah beberapa saat, saya mengerti bahwa saya dapat

mengirim siswa ke laboratorium komputer dengan tugas pertanyaan. Dengan cara ini,

mereka melihat film, mendengar penjelasan, dan belajar sesuai dengan kemauan mereka

sendiri.

c. Meningkatkan Rasa Ingin Tahun Secara Ilmiah

Film animasi dapat meningkatkan rasa ingin tahu siswa dan motivasi untuk belajar ilmu

dengan menambahkan adegan lucu dan menghubungkandalam kehidupan sehari-hari.

Contoh pernyataan guru:

PL: Di sekolah kami, beberapa guru sains mulai menggunakan film animasi karena itu

adalah bagian dari sebuah proyek besar pemerintah kota ... setelah saya menyajikan

animasi, siswa tertarik ke dalamnya. Animasi yang lucu dan mereka menghubungkan

konsep-konsep ilmiah dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, film tentang Mengapung

dan Sinking dimulai dengan adegan yang menunjukkan Tom, animasi anak, berbaring

santai di atas kasur mengambang di kolam renang. Moby, Robot animasi, perlahan-lahan

mendekati dari belakang dan ujung atas kasur Tom. Tom turun ke kolam renang dengan

percikan besar. Anak-anak tertawa begitu saja ... mereka mengklik pada video untuk

melihat adegan lagi. Ini menarik perhatian mereka dan mereka penasaran untuk

mempelajari alasan mengapa beberapa benda mengapung atau tenggelam, tergantung pada

bentuk dan jenis benda.

Page 14: Review Artikel Metopen

14

d. Mengembangkan Bahasa Ilmiah

Film animasi dapat menghasilkan pemahaman konseptual siswa. Pemahaman dengan

menghadirkan karakter animasi yang relevan secara ilmiah, dan narator yang menyediakan

penjelasan lisan.

Contoh pernyataan guru:

TK: ... Saya tidak yakin apakah kita akan dapat menggunakan film animasi seminggu sekali

dan apakah aku akan menemukan bahan yang cukup. Anehnya, saya menemukan banyak

film yang sesuai dengan persyaratan standar nasional. Mereka termasuk sebagian besar

konsep dan fenomena yang kita perlukan untuk mengajar ... setiap fenomena disajikan

dalam animasi, dijelaskan oleh narator, dan ditunjukkan dalam teks, ini benar-benar

membantu pemahaman murid-murid saya. Saya percaya bahwa penggunaan bahasa

informasi ilmiah mempengaruhi perkembangan siswa di masa depan.

.

e. Mengembangkan Berpikir Ilmiah

Film animasi dapat membantu siswa berpikir secara sistematis, mengumpulkan data, dan

memecahkan masalah.

Contoh pernyataan guru:

MO: Setiap film animasi dimulai dengan sebuah pertanyaan.

Contoh: Bagaimana angin menghasilkan energi? Mengapa matahari begitu panas?

Mengapa kita membutuhkan hutan hujan? Animasi dapat mengembangkan informasi

dalam berpikir ilmiah. Murid-murid saya memahami bahwa pemikiran ilmiah meliputi

mengajukan pertanyaan dan mencari data untuk jawaban mereka sendiri.

3. Hasil Pemahaman Konsep Ilmiah dan Kemampuan Penalaran

Nilai siswa dalam keterampilan berpikir sebelum dan sesudah pembelajaran Sains

menggunakan BrainPop (film animasi) hasilnya dianalisis menggunakan kuesioner dengan

membandingkan antara kelompok penelitian (kelompok eksperimen dan kelompok kontrol), jenis

kelamin (laki-laki dan perempuan), pendidikan orang tua (ilmu pengetahuan dan non-sains

profesi), dan kegiatan ekstrakurikuler (berpartisipasi dalam ilmu kegiatan yang terkait atau tidak).

Page 15: Review Artikel Metopen

15

Sebuah Analisi-ANCOVA, Kovarian dari uji yang digunakan untuk menyamakan dalam

tes awal. Hasil kuesioner signifikan ketika pengujian untuk membedakan hasil tes akhir. Temuan

menunjukkan bahwa satu-satunya perbedaan statistik yang signifikan adalah antara siswa

kelompok eksperimen dan kontrol (F(1, 1332) = 127.50, p \ 0,001). Bahwa ini berarti perbedaan

peningkatan pribadi siswa dalam keterampilan berpikir Sains hanya dipengaruhi oleh partisipasi

mereka dalam BrainPop, bukan berdasarkan jenis kelamim, kelas, profesi orang tua, atau

partisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler.

Dengan kata lain, siswa yang mengikuti pembelajaran film animasi BrainPop, mereka

mengalami peningkatan dalam pemahaman dan penerapan konsep-konsep ilmu pengetahuan

dibandingkan dengan siswa yang hanya menggunakan teks-buku bergambar. Analisis Squared eta

menunjukkan bahwa 9,3% dari pertumbuhan kemampuan berpikir sains siswa dapat dipengaruhi

oleh penggunaan film animasi BrainPop.

Hasil Pemahaman Konseptual Siswa Kelas Empat dalam Pengetahuan

Rata-rata prosentase jawaban benar dari siswa kelas 4 eksperimen meningkat sebesar

21,4%, dengan 8,0% minimum dan kenaikan maksimum 38%. Rata-rata, prosentase jawaban yang

benar dari siswa kontrol, hanya meningkat sebesar 7,9% dengan kenaikan 0,0% minimum dan

kenaikan maksimum 13,0%. Tes ANCOVA menunjukkan bahwa siswa kelas 4 kelompok

eksperimen menerima statistik skor yang lebih tinggi dalam menjawab kuesioner dan signifikan

pada keterampilan berpikir Sains dibandingkan dengan siswa kelompok kontrol (F(1, 638) =

81,6,p\0,001). Konsep-konsep yang berkaitan dengan topik-topik seperti kualitas lingkungan,

penguapan air, siklus air, paru-paru dan oksigen, serta bagian organ manusia, yang lebih

dimengerti dengan penggunaan film animasi.

Page 16: Review Artikel Metopen

16

Hasil Pemahaman Konseptual Siswa Kelas Lima dalam Pengetahuan

Rata-rata persentase jawaban yang benar dari siswa kelas 5 eksperimen meningkat sebesar

16,4%, dengan kenaikan minimum 5.0% dan kenaikan maksimum 28%. Rata-rata persentase

jawaban yang benar dari siswa kontrol kenaikannya meningkat sebesar 8,6%, dengan kenaikan

minimum 6,0% dan kenaikan maksimum 19%. Tes ANCOVA menunjukkan bahwa siswa kelas 5

kelompok eksperimen menerima statistik skor yang lebih tinggi dalam menjawab pertanyaan

kuesioner dan signifikan dalam kemampuan berpikir Sains dibandingkan dengan siswa kelompok

kontrol (F (1, 688) = 53,3, p \ 0,001). Konsep-konsep yang berkaitan dengan topik-topik seperti

planet, pengaruh anomali air, air dalam tubuh kita, yang lebih dimengerti dengan menggunakan

film animasi.

Peningkatan pemahaman siswa kelas 4 lebih tinggi dibandingkan dengan siswa kelas 5.

Namun, ada perbedaan yang signifikan statistik yang ditemukan antara kelebihan dan

kekurangannya.

Kemampuan Penalaran Siswa

Tes ANCOVA digunakan untuk membandingkan penjelasan siswa kelas 4. Memberikan

hasil percobaan yang lebih tinggi terhadap penjelasan kelompok eksperimen dibandingkan dengan

kelompok kontrol (F(1.623)= 7.10, p \ 0,05). Analisis Squared eta menunjukkan bahwa 22,0% dari

peningkatan keterampilan penjelasan siswa dapat dijelaskan dengan menggunakan film animasi.

Page 17: Review Artikel Metopen

17

Siswa kelas lima disuruh menjelaskan tentang logam tertentu yaitu emas di tes awal dan

tembaga di tes akhir. Mereka juga diberikan empat objek: kawat listrik, panci masak, dan

perhiasan. Siswa itu diminta untuk menunjukkan yang mana dari salah satu contoh tersebut yang

merupakan logam. Prosentase penjelasan benar yang lebih tinggi diberikan oleh siswa kelas 5

eksperimen dibandingkan dengan siswa kontrol. Namun, tidak ada statistik signifikan perbedaan

yang ditemukan antara dua kelompok penelitian.

Ringkasan dan Rekomendasi

Beberapa peneliti mengklaim bahwa animasi dapat membawa potensi kesalahpahaman dan

menghalangi kebermaknaan dalam belajar (Schnotz dan Rasch 2005). Studi kami menunjukkan

bahwa sebaliknya. Kami menemukan bahwa film animasi dapat mendukung penggunaan

bermacam-macam strategi pengajaran dan metode pembelajaran, dan dapat menghasilkan

kemampuan berpikir yang beragam di kalangan siswa. Temuan juga menunjukkan bahwa animasi

dapat meningkatkan rasa ingin tahu, akuisisi bahasa ilmiah, dan mendorong penalaran ilmiah.

Menganalisis pertanyaan dengan diskusi guru, kami menemukan bahwa mereka telah menjadi

lebih berteknologi dan cerdas pedagogis.

Teori kognitif Mayer (2001) menyatakan bahwa pengetahuan direpresentasikan dan

dimanipulasi melalui dua saluran kognitif: visual dan verbal. Memang, film animasi yang kami

Page 18: Review Artikel Metopen

18

sajikan dalam penelitian adalah kombinasi dari teks, animasi karakter, suara, dan video dalam

lingkungan komputerisasi. Itu merupakan keberhasilan kombinasi yang mana dapat dijelaskan

oleh fakta bahwa siswa menerapkan tiga gaya belajar: visual, auditori dan kinestetik, dan

menggunakan tiga indra: penglihatan, mendengar dan merasakan. Seperti penelitian lain (Barak

dan Dori 2005 , Kaberman dan Dori 2009. Garcia et al 2007 ;Williamson dan Abraham 1995 ),

penelitian kami menunjukkan bahwa integrasi multimedia mempromosikan pemahaman

konseptual siswa dan kemampuan penalaran. Karena kemampuan ini logis ada kaitanyya secara

umum siswa yang mengalami proses pembelajaran dengan film animasi akan berkurang

kesalahpahamnnya dan dan mengendalikan kerjasama kelompok.

Animasi dapat berkontribusi untuk pemahaman yang lebih baik terhadap materi

pembelajaran dalam dua cara. Pertama, memungkinkan penciptaan representasi konsep mental,

fenomena, dan proses. Kedua, dapat digunakan untuk menggantikan proses kognitif menantang,

seperti abstraksi, imajinasi atau kreativitas. Seorang peneliti yang meneliti penggunaan animasi

antara peserta didik menemukan bahwa semakin banyak Penggunaan visualisasi, semakin baik

proses pembelajaran (Najjar 1998 ). Studi lain menunjukkan bahwa penggunaan animasi dan

visualisasi memberikan kontribusi siswa dalam pemahaman konseptual (Barak dan Dori 2005 ),

Belajar prestasi (Dori et al. 2003 , Dori dan Belcher 2005 ), motivasi untuk belajar ilmu (Barak et

al. 2011 ). Hasil positif disajikan dalam penelitian kami dan dalam studi yang disebutkan di atas,

dapat dijelaskan karena membangun gambaran mental antara siswa yang mirip dengan model

mental ilmuwan.

Berdasarkan temuan kami, kami menyarankan lima pedoman cara untuk menyampaikan

film animasi kepada siswa dan lima pedoman bagaiaman cara mereka merancang dan

mengembangkan motivasi belajar siswa, kemampuan berpikir, dan penalaran ilmiah.

Untuk mengajarkan ilmu pengetahuan melalui film animasi, film animasi harus:

1. Merupakan bagian integral dari kurikulum dan bahan pembelajaran.

2. Disajikan lebih dari sekali untuk setiap topik dan melalu proses pembelajaran.

3. Disampaikan kepada seluruh kelas untuk memulai kelas diskusi dan untuk membangun

percakapan ilmiah.

4. Dieksplorasi dalam kelompok-kelompok kecil untuk meningkatkan kerja tim, berbagi

pengetahuan, dan berpikir ilmiah.

5. Dieksplorasi secara individual untuk mempromosikan independen dan pembelajaran mandiri.

Page 19: Review Artikel Metopen

19

Untuk meningkatkan kemampuan berpikir siswa dan penalaran ilmiah, film animasi harus

dirancang untuk:

1. Hubungkan materi pembelajaran untuk kehidupan sehari-hari siswa.

2. Hadir dengan adegan lucu dan menarik.

3. Narator dalam menyediakan penjelasan verbal.

4. Kotak teks dapat menunjukkan kata-kata dan ejaan benar.

5. Menekankan berpikir ilmiah, seperti: memberikan pertanyaan, membuat asumsi, pengumpulan

data, dan kesimpulan yang menarik.

Paragraph di atas mengatakan: ''gambar bernilai seribu kata'', kita bisa juga mengatakan

bahwa ''animasi film bernilai seribu gambar''. Namun, animasi film tidak harus digunakan bila

peserta didik bisa membayangkan fenomena atau proses yang mereka alami dalam kehidupan

sehari-hari (Schnotz dan Rasch 2005). Ungkapan ini terutama benar ketika animasi film

mensimulasikan struktur kompleks atau proses dinamis (Dori dan Belcher 2005 ; Najjar 1998 ),

Ketika mereka langsung terhubung ke kurikulum, dan ketika mereka memiliki kontribusi yang

signifikan terhadap proses pembelajaran (Hoffler dan Leutner 2007 ; Mayer et al. 2001 ).

Page 20: Review Artikel Metopen

20

PEMBAHASAN

Pada kesempatan ini saya akan membahas sedikit tentang Jurnal Penelitian yang berjudul

“Pendidikan SAINS di Sekolah Dasar dengan menggunakan Gambar Animasi”. Bahwa dalam

penelitian ini, penulis memiliki tujuan utama untuk mengetahui seberapa besar pengaruh media

film animasi terhadap prestasi belajar SAINS SD kelas 4 dan kelas 5 yang di bagi menjadi kelas

eksperimen dan kelas kontrol pada Sekolah Dasar. Dengan menggunakan Anacova yaitu

mengetahui seberapa besar pengaruh treatmen (gambar animasi) yang dilakukan guru terhadap

siswa kelompok eksperimen, bahwasanya hasil yang diperoleh memberikan dampak yang cukup

besar terhadap pemahaman dan kemampuan siswa meningkat

Pengertian Animasi Menurut Ibiz Fernandes dalam bukunya Macromedia Flash Animation &

Cartooning: A creative Guide, animasi definisikan sebagai berikut :

“Animation is the process of recording and playing back a sequence of stills to achieve the illusion

of continues motion” ( Ibiz Fernandez McGraw- Hill/Osborn, California, 2002)

Yang artinya “Animasi adalah sebuah proses merekam dan memainkan kembali serangkaian gambar statis

untuk mendapatkan sebuah ilusi pergerakan.” Berdasarkan arti harfiah, Animasi adalah menghidupkan.

Yaitu usaha untuk menggerakkan sesuatu yang tidak bisa bergerak sendiri.

Menurut Utami (2007) animasi adalah serangkaian gambar yang membentuk sebuah

gerakan yang memberikan keunggulan dalam menjelaskan suatu kejadian secara sistematis dalam

tiap perubahan waktu.

Menurut Harun dan Zaidatun (2004) animasi memiliki peranan tersendiri dalam bidang pendidikan

khususnya untuk meningkatkan kualitas pengajaran dan pembelajaran.

Berikut merupakan kelebihan animasi apabila digunakan dalam bidang pendidikan:

1. Animasi mampu menyampaikan sesuatu konsep yang kompleks secara visual dan dinamik.

2. Animasi digital mampu menarik perhatian pelajar dengan mudah. Animasi mampu

menyampaikan suatu pesan dengan lebih baik dibanding penggunaan media yang lain.

3. Animasi digital juga dapat digunakan untuk membantu menyediakan pembelajaran secara

maya.

4. Animasi mampu menawarkan satu media pembelajaran yang lebih menyenangkan. Animasi

mampu menarik perhatian, meningkatkan motivasi serta merangsang pemikiran pelajar yang

lebih berkesan.

Page 21: Review Artikel Metopen

21

5. Persembahan secara visual dan dinamik yang disediakan oleh teknologi animasi mampu

memudahkan dalam proses penerapan konsep atau pun demonstrasi.

Adapun kekurangan dari media animasi adalah sebagai berikut :

1. Membutuhkan peralatan yang khusus.

2. Materi dan bahan yang ada dalam animasi sulit untuk dirubah jika sewaktu-waktu terdapat

kekeliruan atau informasi yang ada di dalamnya sulit untuk ditambahkan.

Menurut Utami (2007) selama ini animasi digunakan dalam media pembelajaran untuk dua alasan.

1. Menarik perhatian siswa dan memperkuat motivasi. Animasi jenis ini biasanya berupa tulisan

atau gambar yang bergerak-gerak, animasi yang lucu, aneh yang sekiranya akan menarik

perhatian siswa. Animasi ini biasanya tidak ada hubungan dengan materi yang akan diberikan

kepada murid.

2. Sebagai sarana untuk memberikan pemahaman kepada murid atas materi yang akan diberikan.

Berdasarkan penjelasan diatas tentang media animasi, penulis memberikan kesimpulan

bahwa media animasi memberikan banyak manfaat terhadap pembelajaran di SD. Media animasi

juga dapat dikaitkan dengan berbagai metode dan model pembelajaran yang interaktif sehingga

memberikan motivasi lebih dalam belajar dan rasa ingin tahu siswa lebih besar.

Dalam kaitannya mereview isi jurnal, penulis memberikan gambaran bahwa metode yang

digunakan guru dalam mengintegrasikan film animasi adalah diskusi berfokus, tetapi juga

mengkombinasikan dengan tiga metode lain, seperti demonstrasi kelas, tugas rumah, dan bekerja

dalam kelompok.

Penelitian dilaksanakan dengan dua tahapan sebuah penelitian percobaan dan penelitian

utama dengan menggunakan animasi Brainpop yang merupakam situs resmi animasi dalam

pendididikan. Peserta penelitian berjumlah 15 Guru Sains yang mengajar dengan

mengintegrasikan Film Animasi. Siswa Sekolah Dasar yang berjumlah 1335 yang dibagi menjadi

kelompok eksperimen sebanyak 926 siswa dan kelompok kontrol sebanayak 491 siswa. Pada

kelompok eksperimen terdiri dua kelas yaitu kelas 4 sebanyak 435 siswa dan kelas 5 sebanyak 491

siswa. Sedangkan kelompok kontrol terdiri dari dua kelas yaitu kelas 4 sebanyak 206 dan kelas 5

sebanyak 203 siswa. Penelitian ini berdasarkan penelitian kuantitatif dan kualitatif, yang mana

Guru dalam penelitian ini menggunakan pretest awal terhadap kelompok eksperimen dan

kelompok kontrol kemudian dilanjutkan dengan post test yang mana kedua kelompok sudah

dibedakan dalam menerima treatmen (perlakuan dengan film animasi) pertanyaan dalam bentuk

Page 22: Review Artikel Metopen

22

kuesioner yang akan dikerjakan oleh Guru dan Siswa yang mana pertanyaan tersebut sudah

divalidasi oleh empat ahli dalam pendidikan sains dan tiga Guru Sekolah Dasar. Pelaksanaan

secara umum dengan cara diskusi sesuai pengalaman Guru dalam mengintegrasikan Film Animasi

dalam pengajarannya.

Hasil rincian penelitian yang pertama tentang metode guru dalam mengintegrasikan

animasi film ke dalam kurikulum menunjukkan bahwa sebelum program BrainPop.

20 % Guru tidak menggunakan computer

32 % Menggunakan computer untuk mengajar (demonstrasi)

20 % Menggunakan computer untuk bekerja kelompok

18 % Menggunakan computer untuk tugas rumah

10 % Menggunakan computer dalam demonstrasi, kerja kelompok,

dan tugas rumah

Pada akhir program BrainPop kami menemukan bahwa guru menunjukkan perkembangan dalam

aktifitas penggunaan computer dalam pengajaran yaitu

15 % Menggunakan computer untuk mengajar (demonstrasi) dan

bekerja kelompok

30 % Menggunakan computer untuk bekerja kelompok dan tugas

rumah

20 % Menggunakan computer untuk mengajar dan tugas rumah

35 % Menggunakan computer dalam demonstrasi, kerja kelompok,

dan tugas rumah

Page 23: Review Artikel Metopen

23

Bagian kedua menjelaskan pandangan dari guru tentang penggunaan film animasi dalam

mengintegrasikan dalam proses pembelajaran meliputi :

1. Guru dapat melaksanakan strategi pengajaran yang beragam.

2. Keterampilan berpikir yang dimiliki siswa akan cepat berkembang.

3. Rasa ingin tahu siswa secara ilmiah meningkat.

4. Bahasa Ilmiah yang disajikan dalam animasi akan memberikan perkembangan terhada cara

berpikir ilmiah.

Bagian ketiga menjelaskan rincian pemahaman siswa terhadap konsep-konsep ilmiah dan

kemampuan penalaran mereka. Menggunakan Analisi-ANCOVA menunjukkan bahwa perbedaan

dasar statistik yang signifikan adalah antara siswa kelompok eksperimen dan kontrol (F(1, 1332) =

127.50, p \ 0,001). Bahwa perbedaan peningkatan keterampilan berpikir Sains siswa hanya

dipengaruhi oleh partisipasi mereka dalam program animasi film BrainPop, bukan berdasarkan

jenis kelamim, kelas, profesi orang tua, atau partisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler. Sehingga

dapat disimpulkan dengan Analisis Squared eta bahwa 9,3% dari pertumbuhan kemampuan

berpikir sains siswa dipengaruhi oleh penggunaan film animasi.

Pemahaman konsep Sains kelas 4 siswa kelas eksperimen memilki peningkatan sebesar

21,4%, dengan minimum 8,0% dan maksimum 38% kenaikan. Sedangkan peningkatan kelas

kontrol sebesar 7,9%, dengan minimum 0,0% dan 13,0% maksimum.

Tes ANCOVA dari pemahaman konsep Sains kelas 4 eksperimen dan kelas kontrol (F(1, 638) =

81,6,p\0,001).

Tes ANCOVA dari penjelasan sebuah percobaan (eksperimen) Sains dari kelas 4 eksperimen dan

kelas control (F(1.623)= 7.10, p \ 0,05). Analisis Squared eta menunjukkan bahwa 22,0% dari

peningkatan keterampilan penjelasan siswa dapat dipengaruhi dengan penggunaan film animasi.

Pemahaman konsep Sains kelas 5 siswa kelas eksperimen memiliki peningkatan sebesar

16,4%, dengan minimum 5.0% dan maksimum 28%. Sedangkan peningkatan kelas kontrol sebesar

8,6%, dengan minimum 6,0% dan maksimum 19%.

Tes ANCOVA dari kelas 5 eksperimen dan kelas control (F (1, 688) = 53,3, \0,001).

Tes ANCOVA dari penjelasan sebuah percobaan (eksperimen) Sains dari kelas 5 eksperimen dan

kelas control tidak ditemukan perbedaan statistik signifikan antara dua kelompok penelitian.

Dalam penelitian lain, yaitu Tesis Mahasiswa UNS yang bernama Amin Muslih dengan

judul penelitian “Pembelajaran Berbasis ICT Religi Model Animasi untuk Meningkatkan Karakter

Page 24: Review Artikel Metopen

24

dan Prestasi Belajar Listrik Dinamis pada Peserta Didik SMA Negeri 8 Surakarta”. Hasil

pembelajaran berbasis ICT religi model animasi memberikan pengaruh besar terhadap aktivitas

belajar yaitu: kedisiplinan masuk kelas tepat waktu, keaktifan belajar yang berpusat pada siswa,

ketertiban dalam pembelajaran, tanggung jawab menyelesaikan tugas yang diberikan guru,

kejujuran dalam mengerjakan ulangan, kerjasama yang baik dalam kelompok. Data prestasi belajar

dengan predikat baik, ketuntasan belajar, dan koefisien varian, berturut-turut pada siklus 1: 33%,

78% dan 14% meningkat menjadi 85%, 96% dan 9% pada siklus 2.

Page 25: Review Artikel Metopen

25

PENUTUP

Kesimpulan

Dalam Pendidikan Sains di Sekolah Dasar dengan menggunakan Gambar Animasi dapat

disimpulkan bahwa :

Penelitian menunjukkan bahwa film animasi mendukung penggunaan beragam strategi

pengajaran dan metode pembelajaran, dan dapat mempromosikan keterampilan berpikir di

kalangan siswa.

Media film animasi dapat meningkatkan prestasi belajar, motivasi belajar, dan kemampuan

belajar.

Penelitian mengindikasikan bahwa animasi dapat meningkatkan keingintahuan ilmiah, akuisisi

bahasa ilmiah, dan mendorong berpikir ilmiah. Hasil ini menggembirakan karena dapat

menjelaskan fakta bahwa siswa memanfaatkan baik animasi visual (bergambar) dan auditori-

(lisan) sambil menentukan animasi film dalam beragagam gaya belajar dan strategi pengajaran

Page 26: Review Artikel Metopen

26

DAFTAR PUSTAKA

Ainsworth S (2008) How do animations influence learning? In: Robinson D, Schraw G (eds)

Current perspectives on cognition, learning, and instruction: recent innovations in

educational technology that facilitate student learning. Information Age Publishing, New

York, pp 37–67

Amin Muslih. 2013. Pembelajaran Berbasis ICT Religi Model Animasi untuk Meningkatkan

Karakter dan Prestasi Belajar Listrik Dinamis pada Peserta Didik SMA Negeri 8

Surakarta. Progran Studi Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

Barak M, Dori YJ (2005) Enhancing undergraduate students’ chemistry understanding through

project-based learning in an IT environment. Sci Educ 89(1):117–139

Barak M, Harward J, Kocur G, Lerman S (2007) Transforming an introductory programming

course: from lectures to active learning via wireless laptops. J Sci Educ Tech 16(4):325–

336

Barak M, Ashkar T, Dori YJ (2011) Learning science via animated movies: its effect on students’

thinking and motivation. Comp Educ 56(3):839–846

Barnea N, Dori YJ (2000) Computerized molecular modeling: the new technology for enhancing

model perception among chemistry educators and learners. Chem Educ: Res and Prac

Euro 1(1):109–120

Dori YJ, Barak M (2001) Virtual and physical molecular modeling: Fostering model perception

and spatial understanding. Educ Technol Soc 4(1):61–74

Dori YJ, Belcher JW (2005) How does technology-enabled active learning affect students’

understanding of scientific concepts? J Learn Sci 14(2):243–279

Dori YJ, Barak M, Adir N (2003) A web-based chemistry course as a means to foster freshmen

learning. J Chem Educ 80(9): 1084–1092

Eshach H (2006) Science literacy in primary schools and pre-schools. Springer, Netherlands

Eshach H, Fried MN (2005) Should science be taught in early childhood? J Sci Educ

Technol 14:315–336

Finke RA (1989) Principles of mental imagery. MIT Press, Cambridge

Page 27: Review Artikel Metopen

27

Garcia RR, Quiros OJ, Gallego SR, Martin GS, Fernanz SM (2007) Interactive multimedia

animation with macromedia flash in descriptive geometry teaching. Comp Educ

49(3):615–639

Harun dan Zaidatun. 2004. Teknologi Multimedia dalam Pendidikan. http:

//www.ctl.utm.my/publications/manuals/mm/elemenMM.pdf. Diakses pada tanggal 16

November 2013

Hoffler TN, Leutner D (2007) Instructional animation versus static pictures: a meta-analysis. Learn

Instruc 17(6):722–738

Johnston RB, Onwuegbuzie AJ (2004) Mixed methods research: a research paradigm whose time

has come. Educ Res 33:14–26

Kaberman Z, Dori YJ (2009) Question posing, inquiry, and modeling skills of high school

chemistry students in the case-based computerized laboratory environment. Int J Math

Educ 7:597–625

Mayer RE (2001) Multimedia learning. Cambridge University Press, New York

Mayer RE, Heiser J, Lonn S (2001) Cognitive constraints on multimedia learning: when presenting

more material results in less understanding. J Educ Psych 93:187–198

Monaghan JM, Clement J (2000) Algorithms, visualization and mental models: high school

students’ interaction with a relative motion simulation. J Sci Educ Technol 9:311–325

Najjar LJ (1998) Principles of educational multimedia user interface design. Hum Factors

41(2):311–323

Pedhazur E, Schmelkin L (1991) Measurement design and analysis: an integrated approach.

Psychology Press, New York

Raffini JP (1993) Winners without losers: structures and strategies for increasing student

motivation to learn. Prentice Hall, NJ

Rieber LP (1990) Animation in a computer-based instruction. Educ Technol Res Dev 39(1):77–

86

Schnotz W, Ku¨rschner C (2008) External and internal representations in the acquisition and use

of knowledge: visualization effects on mental model construction. Ins Sci 36:175–190

Schnotz W, Rasch T (2005) Enabling, facilitating, and inhibiting effects of animations in

multimedia learning: why reduction of cognitive load can have negative results on

learning. Educ Technol Res Dev 53(3):47–58

Page 28: Review Artikel Metopen

28

Shepard RN, Cooper LA (1982) Mental images and their transformations. MIT, Cambridge

Smith JA (1995) Semi-structured interviewing and qualitative analysis. In: Smith JA, Harre R, van

Langenhove L (eds) Rethinking methods in psychology. Sage, London, pp 9–26

Utami, D. 2007. Animasi dalam Pembelajaran.

www.uny.ac.id/akademik/default.php. Diakses pada tanggal 16 November 2013

Williamson VM, Abraham MR (1995) The effect of computer animation on particulate mental

models of college chemistry student. J Res Sci Teach 32(5):521–534

RUJUKAN PEMBAHASAN

Fernandes,Ibiz.2002. Macromedia Flash Animation & Cartooning: A creative Guide. Hill/Osborn,

California,

Harun dan Zaidatun. 2004. Teknologi Multimedia dalam Pendidikan.[Online].

http://www.ctl.utm.my/publications/manuals/mm/elemenMM.pdf.

di akses pada tanggal 10 November 2013

Muslih, Amin. 2012. Pembelajaran Berbasis ICT Religi Model Animasi untuk Meningkatkan

Karakter dan Prestasi Belajar Listrik Dinamis pada Peserta Didik SMA Negeri 8

Surakarta. Universitas Sebelas Maret : Surakarta

Sudjana, Nana. 2009. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung : PT. Remaja Rosda

Karya

Utami, Diana. 2007. Animasi dalam Pembelajaran.

www.uny.ac.id/akademik/default di akses pada tanggal 10 November 2013

Page 29: Review Artikel Metopen

29

REVIEW ARTIKEL

KEEFEKTIFAN JIGSAW II TERHADAP

GURU SEKOLAH DASAR

Review artikel ini disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah Metodologi Pendidikan

Disusun Oleh :

AAN WIDIYONO

NIM 13712251035

PRODI PENDIDIKAN DASAR

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2013

Page 30: Review Artikel Metopen

30

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................ i

DAFTAR ISI ..................................................................................... ii

PENDAHULUAN ..................................................................... 1

RINGKASAN ISI MATERI ..................................................... 4

PEMBAHASAN ....................................................................... 15

PENUTUP ................................................................................ 19

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………. 20

LAMPIRAN

Page 31: Review Artikel Metopen

31

PENDAHULUAN

JUDUL ARTIKEL : KEEFEKTIVAN JIGSAW II TERHADAP GURU

SEKOLAH DASAR

PENULIS : Perihan Dinc Artut dan Kamuran Tarim

PUBLIKASI : search.ebscohost.com

ABSTRAK

Jigsaw adalah metode yang deketahui dan sering digunakan dalam teknik pembelajaran

kooperatif. Sebagai bagian dari penelitian yang sedang berlangsung dalam mengembangkan teknik

eksplorasi, penelitian ini berkonsentrasi dengan calon penggunanya misalnya Guru SD. Dalam

rangka membangun pandangan Guru SD tentang Keefektifan Jigsaw, pengamat melakukan tes

kemahiran dengan kuesioner supaya berhasil dalam bidang akademis. Departemen Pendidikan

Dasar di Cukurova Universitas mengadakan kursus mengajar matematika (MTC) yang diikuti 81

Guru SD dengan pembagian 45 peserta menjadi kelompok eksperimen dan 36 peserta menjadi

kelompok kontrol. Temuan menunjukkan bahwa Jigsaw II memiliki dampak positif (pengaruh

besar 51.06) pada keberhasilan akademis Guru SD sesuai dengan pandangan mereka mengenai

metode itu sendiri.

PENDAHULUAN

Pembelajaran kooperatif adalah pelaksanaan pembelajaran kelompok kecil sehingga siswa

bekerja bersama-sama untuk memaksimalkan pengetahuan mereka sendiri dalam belajar (Johnson

& Johnson, 1999). Gagasan umum, teknik pembelajaran kooperatif adalah bahwa siswa bekerja

sama untuk belajar dan bertanggung jawab antara satu dengan lainnya dalam belajar (Slavin,

1990). Salah satu alasan penting penggunaan pembelajaran kooperatif karena dapat mempengaruhi

efek positif terhadap prestasi akademik, kerja kelompok, inklusi anak berkebutuhan khusus,

menghargai diri sendiri, sikap dan wawasannya (Johnson & Johnson, 1981, 1989; Leikin &

Zaslavsky, 1997; Sharan, 1980; Slavin, Madden, & Leavey, 1984; Tarim, 2003; Tarim & Artut,

2004). Secara khusus, sudah ditetapkan bahwa siswa harus termotivasi dalam mendukung dan

menunjukkan minat kerja kelompok antara satu dengan lainnya. Alasan lain yang mungkin

menonjol bahwa teknik ini dapat dijadikan sebagai lomba permainan antar kelompok. Dalam

Page 32: Review Artikel Metopen

32

penelitian Jigsaw tentang “Pengaruh Pembelajaran Kooperatif Jigsaw Dalam Teknik Membaca”.

Menunjukkan bahwa hasil kerja kelompok siswa meningkat, membantu individu dalam kelompok

sehingga mudah diterapkan dalam proses pembelajaran (Kagan, 1992). Penelitian mengenai efek

Jigsaw menunjukkan bahwa hasil teknik ini mengakibatkan siswa unggul dibandingkan dengan

capaian dari siswa di kelas lain dengan metode konvensional (Aronson, 2000; Choe & Drennan,

2001; Johnson, Johnson, & Stanne, 2000; Kagan, 1992; Slavin, 1991). Studi Wedman (1996) yang

meneliti “Kepuasan Mengajar Guru SD terhadap Pembejaran Kooperatif Jigsaw” mengakui

terdapat perbedaan prestasi pedagogik antara Guru yang ahli dalam teknik Jigsaw dengan Guru

yang menggunakan teknik konvensional. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa kedua

kelompok belajar menunjukkan perbedaan yaitu hasil positif diperoleh dari kelompok Jigsaw

dalam tes awal dibanding dengan kelompok lain. Teknik Jigsaw (Jigsaw I), yang merupakan dasar

untuk penelitian ini, dikembangkan oleh Aronson (1978) Siswa ditugaskan untuk bekerja dengan

enam anggota kelompok di mana setiap individu mendapat materi akademik yang berbeda.

Kegiatan ini diulang dengan kelompok lain. Setiap anggota kelompok yang berbeda mempelajari

bagian materi yang sama mereka bertemu dalam kelompok ahli'' dan kembali kepada kelompok

asli mereka untuk bergantian mengajarkan hasil yang diperoleh dari diskusi tersebut kepada teman

yang berada dalam kelompok asli.

Slavin mengembangkan modifikasi dari teknik di atas yang dinamakan Jigsaw II (Kagan,

1992). Dalam metode ini, Guru SD bekerja dengan anggota empat atau lima dalam masing-masing

kelompok. Kelompok tersebut akan bersaing untuk mendapatkan penghargaan sebagai kelompok

yang paling aktif. Setiap guru membaca narasi umum seperti sebuah bab buku, cerita pendek atau

biografi. Masing-masing Guru diberikan topik dan menjadi kelompok ahli. Guru dengan topik

yang sama bertemu dalam kelompok ahli kemudian mereka kembali ke kelompoknya sendiri untuk

mengajarkan apa yang mereka pelajari/hasilkan dari diskusi dengan kelompok ahli tersebut.

Setelah ini, Guru mengambil pertanyaan individu yang menghasilkan penilaian kelompok

berdasarkan hasil kerja kelompok (Slavin, 1991). Anderson dan Palmer (1988) berpendapat bahwa

Jigsaw I dapat gagal karena tidak memiliki tujuan kelompok formal karena anggota kelompok

tidak mengajarkan informasi penting terhadap kelompok. Jigsaw II dimungkinkan dapat

memberikan jalan keluar terhadap permasalahan ini dengan menggunakan tujuan penilaian

terhadap kelompok. Namun dalam Jigsaw I dan II terdapat acuan dasar berdasarkan kerjasama

dengan masing-masing siswa yang bertindak sebagai kelompok ahli dan siswa biasa dalam

Page 33: Review Artikel Metopen

33

mempelajari seluruh subjek. Namun ada beberapa studi di mana Jigsaw II digunakan pada Guru

SD (Glass & Putnam, 1989; Ferguson, 1990, Wedman, 1996). Mengingat keterbatasan literatur,

di Turki meneliti bagaimana penerapan Jigsaw II pada guru SD. Peneliti menjelaskan kerangka

teoritis tentang bagaimana mengajar siswa di Sekolah Dasar dengan menerapkan teori dan praktek

sebagai guru dan siswa. Bahwa ditemukan Jigsaw II dianggap sangat cocok dalam belajar

kelompok. Alasan lain dalam menggunakan Jigsaw II adalah kesesuaian hubungan dalam

pelaksanaan pembelajaran dan materi yang diterapkan (Colosi & Zales, 1998; Heeden, 2003;

Perkins & Saris, 2001; Thompson & Pledger, 1998).

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti dapat merumuskan permasalahan sebagai

berikut:

4. Apakah Guru SD dalam mengajar menggunakan teknik Jigsaw II akan mempengaruhi

keberhasilan akademis dalam pembelajaran matematika.

5. Bagaimana pandangan Guru SD tentang pengalaman mereka dalam melakukan pengajaran

dengan teknik Jigsaw II.

6. Bagaimana evaluasi kehadiran, pengamatan dan kesediaan Guru SD untuk terlibat dalam

kegiatan Jigsaw II.

Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini memilki tujuan :

1. Mengetahui apakah Guru SD dalam mengajar menggunakan teknik Jigsaw II akan

mempengaruhi keberhasilan akademis dalam pembelajaran matematika.

2. Mengetahui pandangan Guru SD tentang pengalaman mereka dalam melakukan pengajaran

dengan teknik Jigsaw II.

3. Mengetahui bagaimana evaluasi kehadiran, pengamatan dan kesediaan Guru SD untuk terlibat

dalam kegiatan Jigsaw II.

Page 34: Review Artikel Metopen

34

RINGKASAN ISI MATERI

KEEFEKTIVAN JIGSAW II TERHADAP GURU SEKOLAH DASAR

METODE

1. SUBYEK PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan oleh Guru SD yang melakukan kursus mengajar matematika

(MTC) selama tiga tahun dalam mengikuti program di Departemen Pendidikan Dasar,

Cukurova University, Turki. Guru SD yang mengikuti kursus di Departemen hanyalah mereka

yang berhasil lolos dalam ujian masuk Universitas. Diambil dua kelompok yang mengikuti

studi eksperimen dengan program selama tiga tahun, keseluruhan berjumlah lima kelompok

yang dipilih secara acak, satu sebagai kelompok eksperimen (45: 27 perempuan, 18 laki-laki),

dan yang lainnya sebagai kelompok kontrol (36: 20 perempuan, 16 laki-laki). Sampel yang

diteliti memberikan informasi tentang latar belakang penelitian sebelum disetujui. Selama

masa pelatihan, instruksi terhadap kedua kelompok dilakukan oleh peneliti sendiri.

2. INSTRUMEN

Pengumpulan data dilakukan melalui metode kualitatif dan kuantitatif. Kedua

kelompok memerlukan waktu pembelajaran 36 jam di kelas selama sembilan minggu dalam

penelitian. Dalam menentukan tugas efektifitas Jigsaw II pada prestasi akademik, soal tes

akademik dikembangkan oleh para peneliti. Item dari tes prestasi terdiri dari lima skala opsi

pilihan ganda yang menunjukkan perilaku yang ditargetkan sesuai dengan MTC. Untuk

memastikan validitas isi, menyertakan kegiatan selama proses pelatihan dari semua topik yang

dibahas oleh MTC. Untuk menentukan item yang akurat dan sah, suatu item harus dilakukan

analisis sebanyak 150 dari empat siswa setiap tahunnya. Dari 45 item secara umum yang dipilih

32 sebagai hasil analisis ini. Kemudian, 32 item ini membentuk tes prestasi sebelum/sesudah

penelitannya. KR-20 nilai tes prestasi diperkirakan mencapai 78.

Kelompok eksperimen menyelesaikan kuesioner (Gomleksiz, 1994) yang terdiri dari

22 item yang mengeksplorasi pandangan tentang Jigsaw II. Yang disampaikan dalam proses

pembelajaran secara umum. Peneliti sebagai pelatih (pembimbing). Peneliti lain mengamati

peserta dalam kedua kelompok sesuai keaktifannya. Buku harian pengamatan tentang MTC

dari Guru SD yaitu : kehadiran; kesediaan untuk melibatkan diri dalam kegiatan (kerjasama),

Page 35: Review Artikel Metopen

35

dan interaksi dengan kelompok lain sesuai dengan aturan pembalajaran. Diakhir sesi evaluasi

terhadap hasil kegiatan pengamatan yang dibahas oleh para peneliti.

3. PERLAKUAN

Dalam Jigsaw II, kelompok eksperimen belajar dengan dua topik, dalam MTC

menargetkan Guru SD K1-5. Topik pertama mengajar pecahan (misalnya mengajarkan konsep

pecahan, perhitungan kecil) dan kedua mengajar pengukuran (pengukuran dasar dan

pengukuran lanjut, pengajaran pengukuran panjang, luas dan volume). Sebelas kelompok kecil

dibentuk sebelum topik kedua dilaksanakan. Pembentukan kelompok kecil merupakan faktor

paling penting ketika menyusun masalah, masing-masing terdiri dari empat Guru SD (satu

siswa prestasinya tinggi, dua siswa prestasinya sedang, dan satu siswa prestasinya rendah).

Siswa dinilai sesuai dengan pengetahuan mereka sebelumnya, prestasi sebelum tes sesuai hasil

dan evaluasi sesuai arahan pembimbing.

Membuat kelompok adalah bagian penting dari studi ini, karena kami percaya bahwa

ketika hubungan anggota kelompok memiliki komitmen satu sama lain, memiliki motivasi,

tugas tepat waktu, dan hasil kualitas pekerjaan maksimal. Dalam kegiatan selama dua minggu,

terjadi kesepakatan membentuk nama kelompok dengan terampil, menciptakan logo kelompok

atau poster,'' membuat zel-zel'', ''menghargai perbedaan'' dan ''' dilakukannya Brainstorming

(Kagan, 1992). Pelaksanaan kerja kelompok disesuaikan dengan buku panduan yang diuraikan

bagaimana anggota kelompok akan belajar bersama, bagaimana prestasi mereka akan

dievaluasi dan bagaimana mereka dapat meningkatkan pencapaian hasil nilai kelompok.

Selama penelitian kami mengikuti langkah-langkah berikut :

Langkah 1: Tugas distribusi. Topik utama yang akan dibahas dalam pelajaran terakhir dari

minggu sebelumnya dipisahkan menjadi empat pokok bahasan. Setiap anggota kelompok

diminta untuk memilih salah satu pokok bahasan untuk mempersiapkan untuk minggu

berikutnya. Misalnya pokok bahasan yang mengajarkan pengukuran panjang, luas, volume

dan berat. Anggota kelompok bertanggung jawab untuk belajar semua bagian dari topik

utama.

Langkah 2: Kelompok Ahli. Dalam pelajaran minggu depan Guru SD bertemu sebagai ahli

sesuai dengan tugas dan kesamaan pokok bahasan dengan kelompok lain ''kelompok ahli''.

Page 36: Review Artikel Metopen

36

Setelah bekerja sama selama satu jam masing-masing kelompok ahli kembali ke kelompok

asli mereka.

Langkah 3: Kelompok Asli. Setelah kembali dalam kelompok asli masing-masing mereka

memiliki dua tugas sesuai dengan pembahasan dalam kelompok ahli: untuk menceritakan

dan menjelaskan tentang apa yang dia pelajari di kelompok ahli kepada kelompok mereka,

dan untuk mengetahui apakah temannya memahami subjek dengan baik. Teman kelompok

mencatat materi penting yang berguna bagi diri mereka sendiri dengan mengajukan

pertanyaan dari ''Ahli'' yang mempresentasikan pokok bahasan secara berdsikusi.

Langkah 4: Kerja Kelas. Setelah pokok bahasan disajikan di setiap kelompok, masing-

masing anggota kelompok diminta untuk menyiapkan setidaknya dua pertanyaan yang

berkaitan dengan topik untuk pelajaran selanjutnya, masing-masing kelompok menyiapkan

setidaknya delapan pertanyaan. Dalam pelajaran ini kelompok ahli bersiap untuk

mengambil pertanyaan dari teman kelompok. Salah satu siswa dari setiap kelompok

mengajukan pertanyaan dari siswa yang berasal dari kelompok lain.

Langkah 5: Quiz. Dalam pelajaran terakhir selama seminggu, tiap-tiap anggota kelompok

(Guru SD) secara individual menguji terhadap topik yang sudah dipelajarai.

Langkah 6: Penilaian. Guru SD membuat proses penilaian obyektif sebelum administrasi

kuis pertama. Guru SD menyediakan tiga hasil untuk masing-masing topik dengan kuis :

skor individu: skor peningkatan anggota individu yang diperoleh perhitungan nilai variansi

dari dua subjek tes sebelumnya (yaitu, mengurangkan nilai dari tes sebelumnya dari nilai

tes terakhir seperti yang disarankan oleh Kagan (1992), dan nilai prestasi kelompok secara

keseluruhan. Semua skor diumumkan ke Guru SD).

Langkah 7: Penghargaan Prestasi (Rewerd). Setiap minggu dalam pelajaran pertama,

kelompok yang mendapat nilai keberhasilan tertinggi dari kelompok lain diberi sebuah

sertifikat prestasi (rewerd) dari peneliti/pemebimbing.

4. KELOMPOK KONTROL

Pada kelompok ini tingkat pelatihan pengetahuan itu harus terwujud melalui metode

pengajaran tradisional yang didasarkan pada seluruh kelas pengajaran, ceramah dan

demonstrasi, jawaban dan pertanyaan. Guru dibuat sadar akan prosedur yang harus diikuti dan

aturan yang harus ditaati selama pelajaran. Mereka diberi kesempatan untuk mengajukan

Page 37: Review Artikel Metopen

37

pertanyaan tentang poin yang mereka tidak mengerti dan membuat ringkasan pendek dari

setiap pokok bahasan. Dalam kelompok ini PR diberikan, namun jarang kegiatan kelompok

jangka pendek dibuat dan tidak pula ditanyai.

a. Analisis Data

Sampel independen t-test adalah untuk menentukan apakah ada perbedaan statistik yang

signifikan antara skor tes awal (pre-test) dalam pencapaian kedua kelompok. Sebuah

analisis kovarians digunakan untuk menentukan apakah perbedaan dalam post-test nilai

rata-rata kelompok signifikan. Hal ini dilakukan karena fakta bahwa pre-test dari

kelompok kontrol (M=17.83; SD=4.36) sedikit lebih tinggi dibanding skor pre-test rata-

rata kelompok eksperimen (M=17.38; SD=5.15). Sebuah nilai probabilitas p ≤ (0,05),

untuk kedua tes dianggap signifikan secara statistik.

b. Hasil

Temuan dari studi ini dikelompokkan tiga judul: ''Prestasi Akademik'', ''Pandangan Siswa

tentang cara baru untuk belajar'' dan ''Pengamatan''.

5. PRESTASI AKADEMIK

Statistik prestasi tes kedua kelompok, pre-test dan skor post-test adalah disajikan pada

Table1. Meskipun skor pre-test rata-rata kedua kelompok cukup sama, rata-rata kelompok

kontrol sedikit lebih tinggi (M=24.47; SD=5.06) dibandingkan kelompok eksperimen

(M=23.44; SD=6.16). Namun uji t tidak menemukan perbedaan statistik yang signifikan antara

kedua kelompok (t (79) = -,806, Efektivitas Jigsaw II 133 p˃0.05). Artinya, tidak ada

perbedaan statistik antara prestasi kelompok sebelum studi.

Untuk menentukan perbedaan statistik antara nilai rata-rata post-test kedua kelompok

seperti yang diuraikan dalam Tabel 1 analisis kovarians diterapkan. Analisis pencapaian data

pengujian menunjukkan efek perlakuan secara keseluruhan yang signifikan, mengendalikan

pre-test, F (1,78) = 50,18, p,<.001. Pengaruh ukuran dihitung untuk Jigsaw II adalah d=1.06.

Page 38: Review Artikel Metopen

38

Ukuran pengaruh telah disesuaikan untuk mengontrol bias sampel kecil (Hedges & Olkin,

1985). Ketika dievaluasi menurut Cohen (1977) interpretasinya pengaruh ukuran menunjukkan

bahwa Jigsaw II memiliki efek tinggi pada prestasi akademik.

Ada kekhawatiran bahwa pembelajaran kooperatif harus menaikan kembali prestasi

yang lebih tinggi (Slavin, 1987). Dalam rangka untuk menyelidiki masalah ini Guru SD di

kelompok eksperimen membagi skor menjadi ''tinggi'' (skor 65 ke atas),'' sedang'' (skor 45-64)

dan'' rendah'' (kurang dari skor 44). Kategorisasi ini dibuat menurut pencapaian uji Guru SD

yang telah diambil dalam Pengajaran Matematika I pada periode sebelumnya. Untuk

menentukan apakah ada perbedaan yang signifikan antara pre-test dan post-test nilai prestasi

di tiga tingkat yang berbeda sampel t-test berkelompok adalah diterapkan. Tabel 2 di bawah

ini menunjukkan bahwa pada akhir pelatihan ada peningkatan rata-rata dari Guru SD di tiga

dari semua kelompok (p, 001 tingkat). Dalam rangka untuk mengamati kelompok mana yang

paling meningkatkan perbedaan skor diperoleh dengan mengurangkan skor pre-test Guru SD

'dari nilai post-test mereka. Sebuah tes ANOVA satu arah diterapkan untuk mengetahui apakah

ada perbedaan yang signifikan antara skor perbedaan rata-rata Guru SD dalam kelompok ini.

Ketika hasil ANOVA satu arah dari tiga kelompok diperiksa tidak ada perbedaan

signifikan yang ditemukan antara skor perbedaan rata-rata (F (2, 42) 51,159, p˃. 05). Dengan

demikian penelitian ini tidak menemukan bukti bahwa pembelajaran kooperatif mempengaruhi

siswa dalam berbagai kemampuan.

6. GAMBARAN UMUM SISWA TENTANG CARA BARU BELAJAR

Hal ini dapat dilihat dari Tabel 3 bahwa siswa menggunakan Jigsaw II memiliki sikap

positif terhadap kerja kelompok. Guru SD menyatakan bahwa metode ini membuat positif

proses pembelajaran (48,8% ya, 41,9 sebagian). Mereka tidak terganggu oleh kebisingan

Page 39: Review Artikel Metopen

39

selama pelajaran (62,8%) dan mereka melaporkan bahwa lingkungan belajar diberikan

(51,2%). Mereka juga melaporkan bahwa Guru dapat membantu siswa dari semua masalah

(61,5%). Namun pada item tentang pemahaman yang lebih baik'' dari topik'' 53,5% dari Guru

SD menjawab ''sebagian'' dan 55,80% juga melaporkan'' sebagian'' untuk item tentang'' kelas

lebih gembira''. Ketika ditanya apakah mereka ''bosan mengalami ujian mingguan'', 34,9% dari

Gur SD menjawab ''ya'' dan 41,9% menjawab ''sebagian''.

Ketika ditanya tentang interaksi siswa-siswi lebih dari setengah dari Guru SD

menyatakan bahwa mereka tidak keberatan berada di kelompok yang sama (58,1%) bahwa

hubungan dengan teman-teman mereka telah meningkat (67,4%) dan bahwa mereka sepakat

bahwa Jigsaw II telah membantu mereka untuk mengenal satu sama lain (76,7%). Selain itu

Guru SD menyatakan bahwa metode membantu mereka mengembangkan kepercayaan diri

(53,5%) dan itu memberikan kesempatan mereka untuk berperilaku jujur dan hati terbuka

(48,8%) dan memberi kesempatan mereka untuk mengekspresikan diri secara bebas (Item 15:

51,2%). Guru SD senang melaporkan bahwa mereka telah memperoleh kesadaran tentang

kekurangan dan kelemahan mereka (51,2%). Pengenalan item tertinggi adalah mereka yang

ditanya apakah pelaksanaan Guru SD dengan Jigsaw II memberikan kesempatan untuk belajar

bertanggung jawab (81,4%) dan untuk kerjasama dalam belajar (79,1%).

Page 40: Review Artikel Metopen

40

7. PENGAMATAN

Analisis isi data yang dikumpulkan oleh pengamat mengungkapkan bahwa kelompok

kontrol dan kelompok eksperimen memiliki perbedaan dalam kategori seperti ''kesiapan

pembelajaran di kelas'', dalam menyelesaikan tugas kelas yang diberikan sebelum penelitian.

Menganalisis hasil pengamatan dari perspektif ini, muncul bahwa kelompok eksperimen

umumnya lebih teliti dibandingkan kontrol kelompok.

Kelompok eksperimen juga diamati untuk lebih terlibat dalam kegiatan pembelajaran

daripada kelompok kontrol, dengan siswa kelompok kontrol lebih memilih untuk

mendengarkan. Pada awal penelitian selama kegiatan kerja kelompok pengamatan dibuat sama

untuk semua Guru SD, namun sebagai pelatihan dalam pengembangan Jigsaw II dari kelompok

eksperimen dapat mengubah perilaku mereka. Sebuah peningkatan yang cukup signifikan

dalam partisipasi Guru SD, diamati dan sangat sedikit anggota kelompok eksperimental absen

dari kelas selama sembilan minggu pertama. Ketika mereka akan absen mereka memberitahu

Page 41: Review Artikel Metopen

41

teman sekelas mereka serta pembimbing mereka. Hal ini tampaknya penemuan menarik karena

Guru SD tidak melakukan hal ini sebelum periode pelatihan.

Selain itu juga mengamati bahwa ketika beberapa Guru SD melewatkan kelas mereka

kemudian bergabung kelompok ahli lainnya agar tidak ketinggalan. Selanjutnya, dibandingkan

dengan kelompok kontrol Guru SD dari kelompok eksperimen menghabiskan lebih banyak

waktu pada tugas yang diberikan dan, sebagai hasilnya mampu menghasilkan karya berkualitas

tinggi. Untuk beberapa Guru SD, menggunakan Jigsaw II menghasilkan kecemasan mereka

melaporkan lebih detail tentang topik karena sebagian besar pekerjaan dilakukan secara

independen dari pembimbing dan mereka juga merasakan kurangnya otoritas. Meskipun Guru

SD tersebut berhasil ujian tentang topik yang diamati, mereka telah mempertahankan

keseluruhan kecemasan mereka. Kemampuan belajar kooperatif yang juga merupakan daerah

penelitian untuk Guru SD dari kelompok eksperimen. Pada awal penelitian beberapa Guru SD

mengeluh tentang tidak berada dalam kelompok yang sama dengan teman-teman dekat

mereka, namun keluhan itu seperti menghilang dari waktu ke waktu. Dari catatan, dalam

rangka meningkatkan keberhasilan kelompok itu mengamati bahwa Guru SD membuat upaya

untuk mendukung kelompok mereka yang akademis lebih rendah dalam mencapai

keberhasilan kelompok. Ia juga mengamati bahwa ketika para ahli kembali ke kelompok asli,

mereka menyiapkan materi tambahan agar dapat lebih menjelaskan topik mereka kepada teman

kelompok mereka dan mereka juga merasa bertanggung jawab dalam pokok bahasan untuk

belajar kelompok secara keseluruhan. Guru SD yang malu untuk berbicara di depan anggota

kelompok lain pada awal pelatihan memang menghadapi beberapa masalah dalam menyajikan

pokok bahasan mereka sendiri dalam kelompok ahli dan kelompok asli. Namun dalam hal ini

siswa yang diamati telah membuat beberapa kemajuan yang signifikan.

8. DISKUSI

Seperti dapat dilihat dari hasil penelitian ini Jigsaw II memiliki efek yang lebih positif

pada prestasi akademik Guru SD daripada metode tradisional lainnya dalam mengajar. Slavin

(1996) mencatat bahwa terdapat empat perspektif teoritis utama ekstrinsik pada pembelajaran

kooperatif dan prestasi: motivasi, kepaduan sosial, perkembangan dan kognitif elaborasi. Hasil

yang diperoleh dari penelitian ini dapat dianalisis dalam hal perspektif ini.

Page 42: Review Artikel Metopen

42

Menurut sifat Jigsaw II setiap anggota kelompok bertanggung jawab untuk pokok

bahasan sendiri serta mendorong teman satu kelompok mereka untuk menjadi sukses juga.

Seperti lingkungan kelas yang positif dapat mempengaruhi keberhasilan akademik Guru SD

dalam kaitannya dengan kepaduan sosial. Pada saat yang sama, tidak ingin bertanggung jawab

atas kegagalan individu, kelompok mereka mungkin telah mengembangkan rasa tanggung

jawab dan mempengaruhi keberhasilan akademis mereka sendiri secara positif. Kelompok

eksperimen adalah lebih rajin dalam mempersiapkan pelajaran dan memenuhi tanggung jawab

mereka. Menurut Aronson (2000) Menyetakan bahwa menemukan aktivitas seperti

meningkatkan kemampuan siswa dalam mempersiapkan dan menggunakan bahan ajar. Selain

itu sementara individu sedang mendiskusikan dengan kelompoknya dalam pokok bahasan

mereka yang memungkinkan mampu memberi kontribusi pemikiran kognitif lain, tentang

perkembangan perspektif. Akhirnya, dengan menjelaskan pokok bahasan mereka sendiri

secara rinci setiap anggota mungkin akademisnya telah meningkat (perspektif rumit kognitif).

Membuat semua pokok bahasan menjadi perkelompok, Guru SD dalam kelompok eksperimen

mungkin memiliki motivasi untuk berhasil lebih dari Guru SD pada kelompok kontrol karena

perspektif motivasi.

Literatur mengenai efek pembelajaran kooperatif pada siswa berbeda kemampuannya

dan studi ini memberikan kontribusi terhadap lapangan. Bak (1993) ditemukan di Studi meta-

analisis dari 73 studi bahwa metode pembelajaran kooperatif sebagian besar efektif pada siswa

yang memilki tingkat prestasi menengah. Namun dalam penelitian mereka, siswa kimia

Shachar dan Fischer (2004) melaporkan bahwa siswa yang memilki kemampuan rendah atau

tingkat menengah prestasi mengalami penurunan partisipasi mereka dalam pembelajaran

kooperatif. Dalam studi Dori dkk. (1995) Jigsaw II menghasilkan prestasi yang tinggi dari

siswa dengan kemampuan akademik menengah, meningkatkan nilai mereka terutama dalam

pertanyaan di tingkat yang lebih tinggi. Dalam studi ini, dengan mengelompokan tiga tahap

dilaporkan hasil keberhasilan akademis menunjukkan bahwa prestasi akademik dari semua

siswa sangat ditingkatkan, tidak ada kepedulian tingkat kemampuan akademik. Penelitian ini

di dukung (1996) Slavin tentang analisis penelitian pembelajaran kooperatif yang

menunjukkan bahwa siswa pada kinerja yang berbeda memiliki manfaat tingkat yang sama

dari pembelajaran kooperatif. Studi ini menemukan bahwa secara umum Guru SD memiliki

pandangan positif tentang Jigsaw II. Calon guru melaporkan bahwa ia menciptakan perasaan

Page 43: Review Artikel Metopen

43

positif terhadap pembelajaran, yang mereka tidak terganggu oleh suara kelas, bahwa guru

adalah membantu dan bahwa lingkungan belajar yang demokratis telah dibuat. Hasil Colosi

dan Zales (1998) yang menerapkan teknik Jigsaw kegiatan kerja kelompok di pendidikan

tinggi dalam penelitian serupa. Calon guru dalam penelitian mereka melaporkan bahwa

pertanyaan diajukan lebih nyaman dalam kelompok dan setelah mengambil tanggung jawab

lebih untuk pembelajaran mereka sendiri. Adapun interaksi siswa-siswa, meskipun awalnya

pendiam, lebih dari setengah dari Guru SD menyatakan bahwa mereka tidak bosan dengan

kelompok asli mereka, bahwa hubungan mereka dengan teman-teman sudah membaik dan

bahwa metode ini membantu sosialisasi mereka. Penelitian ini didukung temuan Johnson dan

Johnson (1981), Slavin dan Karweit (1981) dan Minnis (1986) yang dalam studi mereka

tentang pengaruh kegiatan kerja kelompok dalam persahabatan menyatakan bahwa metode ini

memiliki kelebihan daripada hubungan ditingkatkan lainnya. Temuan kuesioner tumpang

tindih dengan pengamatan peneliti dan Colosi dan Zales (1998). Pada stadium akhir dari studi

Guru SD mengembangkan pendapat yang lebih positif tentang metode, partisipasi meningkat

dan keterampilan komunikasi mereka membaik.

Dua hipotesis yang diusulkan tentang waktu-tugas dan tujuan (Johnson & Johnson,

1983). Memungkinkan siswa untuk bekerja sama sehingga mengakibatkan peningkatan

sosialisasi dan perilaku membantu, mendorong, dan mendukung tujuan yang mengarah ke

perilaku yang lebih besar pada tugas masing-masing. Pengamatan dalam penelitian ini

menemukan bahwa Guru SD yang efektif pada tugas memilki pengaruh positing dan

mengakibatkan peningkatan prestasi siswa.

Menggunakan Jigsaw II membuat beberapa Guru SD cemas pemahaman topik yang

kurang. Pengamatan tersebut konsisten dengan data yang diperoleh dari kuesioner di mana

53,5% dari Guru ketika ditanya apakah metode membantu mereka untuk memahami pelajaran

lebih baik dijawab ''sebagian''. Tanggapan seperti tampaknya bertentangan keberhasilan

akademis siswa (yang agak tinggi) yang diamati pada pencapaian post-test. Sejumlah

penjelasan yang dilakukan. “Guru SD' mungkin belum menyadari pembelajaran mereka dalam

paradigma konvensional dan siswa kurang juga memiliki keyakinan tinggi dalam tujuan belajar

(Shachar & Fischer, 2004). Alasan lain mungkin karena tingkat kecemasan tinggi dan

kurangnya kepercayaan diri yang dialami oleh kebanyakan Guru SD dalam situasi baru.

Page 44: Review Artikel Metopen

44

PEMBAHASAN

Model pembelajaran Jigsaw dikembangkan oleh Elliot Aroson dan para koleganya

(1978). Model aslinya yang diuraikan secara singkat dalam bagian ini, mempersyaratkan

pengembangkan yang luas terhadap materi-materi khusus. Model pembelajaran Jigsaw yang lebih

praktis dan mudah diadaptasi, yakni Jigsaw II (Slavin, 1986a). Model Jigsaw dapat digunakan

bilamana materi yang dikaji berbentuk narasi tertulis. Sedangkan untuk Jigsaw II biasanya berupa

materi yang berisi cerita, biografi atau narasi yang serupa atau materi deskriptif.

Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw II

FASE TINGKAH LAKU GURU

Fase – 1

Menyampaikan tujuan

dan memotifasi siswa

Guru menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang

ingin dicapai pada pembelajaran tersebut dan

memotivasi siswa belajar.

Fase – 2

Menyajikan informasi

Menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan

mendemonstrasikan atau lewat bahan bacaan.

Fase – 3

Mengorganisasikan siswa

dalam kelompok

kooperatif

Menjelaskan pada siswa bagaimana caranya

membentuk kelompok belajar atau membantu setiap

kelompok agar melakukan transisi secara efesien.

Fase – 4

Membimbing kelompok

bekerja dan belajar

Membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat

mereka mengerjakan tugas mereka.

Fase – 5

Evaluasi

Mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah

diajarkan atau masing-masing kelompok

mempresentasikan hasil kerjanya.

Fase – 6

Memberikan

penghargaan

Mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya

maupun hasil belajar individu atau kelompok.

Page 45: Review Artikel Metopen

45

Kelebihan pembelajaran kooperatif Tipe Jigsaw II yaitu :

1. Meningkatkan hasil belajar siswa ( Arend, 1997 :118).

2. Menyebabkan unsur-unsur psikologis siswa menjadi terangsang dan menjadi lebih aktif.

3. Meningkatkan kerja keras siswa, lebih giat dan lebih termotivasi (Nur, 1998:9).

4. Siswa dapat menerapkan pembelajaran kooperatif ini dengan menyelesaikan tugas-tugas yang

kompleks.

5. Dapat menghilangkan prasangka buruk terhadap teman sebayanya dan siswa lain yang

berprestasi dalam pembelajaran kooperatif tipe jigsaw IIternyata lebih mementingkan orang

lain, tidak bersifat kompetitif dan tidak memiliki rasa dendam ( Davidson dalam Noornia,

1997:24).

6. Slavin (1995) dalam pembelajaran kooperatif tipe jigsaw II dapat menimbulkan motivasi sosial

siswa karena adanya tuntutan untuk menyelesaikan tugas.

Kekurangan pembelajaran kooperatif Tipe Jigsaw II:

1. Slavin (1995) menyatakan bahwa kekurangan dari pembelajaran kooperatif tipe jigsaw II

adalah kontribusi dari siswa berprestasi rendah menjadi kurang dan siswa yang memiliki

prestasi tinggi akan mengarah kepada kekecewaan, hal ini disebabkan peran anggota yang

pandai lebih dominan.

2. Johnson, dkk (1991) siswa yang berkemampuan tinggi merasakan kekecewaan karena harus

membantu temanya yang berkemampuan rendah.

3. Noornia (1997) untuk menyelesaikan suatu materi pembelajaran akan memakan waktu yang

lama karena guru harus mensosialisasikan dulu dan tidak semua siswa akan mengerti tentang

model kooperatif tipe jigsaw II ini.

Pada penelitian ini subyek penelitiannya adalah 81 Guru SD yang dikategorikan satu

sebagai kelompok eksperimen (45: 27 perempuan, 18 laki-laki), dan yang lainnya sebagai

kelompok kontrol (36: 20 perempuan, 16 laki-laki). Instrument penelitiannya adalah pilihan ganda

yang berbentuk kuesioner. Perlakuan yang dilakukan peneliti adalah membedakan kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol dalam proses pembelajaran, yang mana kelompok ekspereimen

menggunakan metode Jigsaw II (dalam berkelompok) sedangkan kelompok kontrol menggunakan

Page 46: Review Artikel Metopen

46

pembelajaran secara konvensional (tradisional). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

seberapa besar pengaruh metode Jigsaw II dalam proses pembelajaran matematika.

Analisis yang digunakan menggunakan Uji T yang menunjukkan bahwa tes awal (pre-tes)

kelompok kontrol sedikit lebih tinggi dibanding dengan kelompok eksperimen. (M=17.83;

SD=4.36) ˃ (M=17.38; SD=5.15). dengan probabilitas p ≤ (0,05), untuk kedua tes dianggap

signifikan secara statistik.

Masih dengan analisi Uji T pada tes awal (pre-tes) prestasi akademik, rata-rata kelompok

kontrol sedikit lebih tinggi dibandingkan kelompok eksperimen (M=24.47; SD=5.06) ˃ (M=23.44;

SD=6.16). Namun uji t tidak menemukan perbedaan statistik yang signifikan antara kedua

kelompok (t (79) = -,806, Efektivitas Jigsaw II 133 p˃0.05). Artinya, tidak ada perbedaan statistik

antara prestasi kelompok sebelum studi.

Untuk mengetahui perbedaan pengajaran Matematika dari masing-masing kelompok

eksperimen, peneliti membagi tiga kelompok, yaitu kelompok yang prestasinya tinggi, sedang, dan

rendah. Bahwa dengan menggunakan analisis ANOVA satu arah ditemukan tidak ada perbedaan

signifikan masing-masing kelompok yang ditemukan antara skor perbedaan rata-rata (F (2, 42)

51,159, p˃. 05). Dengan demikian penelitian ini tidak menemukan bukti bahwa pembelajaran

kooperatif mempengaruhi siswa dalam berbagai kemampuan.

Hasil pelaksanaan metode Jigsaw II pada kelompok ekspereimen. Antara lain :

1. Metode Jigsawa II membuat positif proses pembelajaran (48,8% menjawan Ya, sedangkan

41,9 menjawab sebagian).

2. Proses pembelajaran tidak terganggu oleh kebisingan selama pelajaran (62,8%)

3. Lingkungan belajar mendukung proses pembelajaran (51,2%).

4. Guru dapat membantu siswa dari semua masalah (61,5%).

5. Metode Jigsaw II memberikan pemahaman yang lebih baik ''dari topik'' 53,5% dari Guru SD

menjawab ''sebagian''.

6. Kelas lebih bergimbira, 55,80% juga melaporkan'' sebagian''.

7. Mengalami kebosanan dalam pelaksanaan ujian mingguan'', 34,9% dari Guru SD menjawab

''ya'' dan 41,9% menjawab ''sebagian''.

8. Mereka tidak keberatan berada di kelompok yang sama (58,1%)

9. Meningkatkan hubungan dengan teman-teman mereka (67,4%)

10. Jigsaw II telah membantu mereka untuk mengenal satu sama lain (76,7%)

Page 47: Review Artikel Metopen

47

11. Kepercayaan diri meningkat (53,5%)

12. Berperilaku jujur dan hati terbuka (48,8%) dan

13. Mengekspresikan diri secara bebas (Item 15: 51,2%).

14. Laporan bahwa mereka telah memperoleh kesadaran tentang kekurangan dan kelemahan

mereka (51,2%).

15. Bertanggung jawab dalam belajar (81,4%)

16. Kerjasama kelompok dalam belajar (79,1%).

Hasil pengamatan penelitian terhadap kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol.

Antara lain :

1. Dalam kesiapan pembelajaran di kelas kelompok eksperimen umumnya lebih teliti dan siap

dibandingkan kontrol kelompok.

2. Kelompok eksperimen lebih aktif dan bertanggung jawab dibandingkan kontrol kelompok.

3. Penyelesaian tugas dari kelompok eksperimen lebih lama dan berkualitas dibandingkan

kelompok kontrol.

Kesimpulan yang sama dengan tesis yang berjudul “Penerapan Metode Jigsaw II Dalam

Pembelajaran Membaca Teks Biografi Siswa Kelas X SMA Pasundan Bandung Tahun Ajaran

2012/2013” bahwa kemampuan siswa dalam membaca pemahaman khususnya membaca teks

biografi tergolong rendah karena kedua kelas mendapatkan nilai rata-rata masing-masing 59,37

untuk kelas eksperimen dan 64,40 untuk kelas kontrol yang belum mencapai KKM (Kriteria

Ketuntasan Minimal). Tidak hanya itu, minat baca siswa terhadap biografi rendah.

Setelah menerapakan metode Jigsaw II dalam pembelajaran membaca teks biografi di kelas

eksperimen, nilai rata-rata mengalami peningkatan menjadi 79,78 dan di kelas kontrol yang

menggunakan metode berbeda juga mengalami peningkatan menjadi 76,56. Pembelajaran

menggunakan metode Jigsaw II juga lebih aktif dan dapat bekerjasama dengan teman sekelas.

Page 48: Review Artikel Metopen

48

PENUTUP

Kesimpulan

Dalam Penelitian Keefektifan Jigsaw II Terhadap Guru Sekolah Dasar, dapat disimpulkan

bahwa :

1. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif metode Jigsaw II lebih

efektif (d:1.06) pada prestasi akademik calon Guru SD dalam kursus mengajar matematika

disbanding dengan metode konvensional.

2. Meskipun generalisasi dari hasil dibatasi oleh ukuran sampel, karakteristik subyek, lama

penelitian, jenis tugas dan keterampilan para pembimbing. Hasil menunjukkan bahwa metode

ini dapat diterapkan dalam pelatihan Guru SD dalam program lainnya.

Implementasi

Dalam Penelitian Keefektifan Jigsaw II Terhadap Guru Sekolah Dasar, dapat

diimplementasikan bahwa :

Menurut Panitz (2000) metodologi pelatihan guru saat ini tidak mengembangkan pembelajaran

kooperatif. Namun Artz (1999) menggambarkan bagaimana kegiatan belajar koopertaif dalam

matematika dapat terlibat sebelum dan sesudah pelaksanaan dengan cara mereka bisa

menggunakan kedua model dan sebagai subjek dan refleksi. Meskipun demikian, kami percaya

bahwa Guru dapat mengambil bagian dalam penelitian untuk mentransfer pengalaman mereka

dalam meraih karir professional di masa depan. Keterampilan pembelajaran kooperatif harus

dimodelkan dan dipraktekkan ketika guru mengajar dalam mempersiapkan guru yang

berkualitas ini di masa depan.

Page 49: Review Artikel Metopen

49

DAFTAR PUSTAKA

Ainsworth S (2008) How do animations influence learning? In: Robinson D, Schraw G (eds)

Current perspectives on cognition, learning, and instruction: recent innovations in

educational technology that facilitate student learning. Information Age Publishing, New

York, pp 37–67

Anderson, F. J., & Palmer, J. (1988). The jigsaw approach: Students motivating students.

Education, 109(1), 59–62.

Aronson, E. (1978). The jigsaw classroom. Beverly Hills: Sage Publications.

Aronson, E. (2000). Nobody left to hate. Humanist, 60(3), 17–22.

Artz, A. (1999). Cooperative learning in mathematics teacher education. Mathematics for school

mathematics. Reston: NCTM.

Bak, B. G. (1993). Meta-analytic integration of relationship between cooperative learning and

achievement. Dissertation Abstract International, 53(9), p. 3143.

Choe, S. W. T., & Drennan, P. M. (2001). Analyzing scientific literature using a jigsaw group

activity piecing together student discussions on environmental research. Journal of

College Science Teaching, 30(5), 328–330.

Cohen, J. (1977). Statistical power analysis for the behavioral science. New York: Academic Press.

Colosi, J. C., & Zales, C. R. (1998). Jigsaw cooperative learning improves biology lab courses.

Bioscience, 48(2), 118–141. The Effectiveness of Jigsaw II 139

Dori, Y. J., Yeroslavski, O., & Lazarowitz, R. (1995, April). The effects of teaching the cell topic

using the Jigsaw method on students’ achievement and learning activity. Paper presented

at the 68th Annual National Association for Research in Science Teaching conference,

San Francisco, CA.

Ferguson, P. (1990). Cooperative team learning: Theory into practice for the prospective middle

school teacher. Action in Teacher Education, 11(4), 24-28.

Glass, R. M., & Putnam, J. (1989). Cooperative learning in teacher education: A case study. Action

in Teacher Education, 10(4), 47–52.

Gomleksiz, M. (1994). Turk dili ve edebiyati dersinde uygulanan kubasik ogrenme yonteminin

erisiye, demokratik tutumlara ve benlik saygisina etkisi. 1. Egitim Bilimleri Kongresi:

Kuram, Uygulama, Arastirma [The effects of cooperative learning method on

Page 50: Review Artikel Metopen

50

achievement, democratic attitudes and self-esteem at Turkish literature course]. Adana:

Cukurova Universitesi Egitim Faku¨ ltesi yayinlari [Proceedings of Educational Science

Congress: Theory, Practice and Research, Turkey], 2, 476–493.

Hedeen, T. (2003). The reverse Jigsaw: A process of cooperative learning and discussion.

Teaching Sociology, 31(3), 325–356.

Hedges, L. V., & Olkin, I. (1985). Statistical methods for meta-analysis. Orlando: Academic Press.

Johnson, D. W., & Johnson, R. T. (1981). Effects of cooperative and individualistic learning

experiences on inter ethnic interaction. Journal of Educational Psychology, 73(3), 454–

459.

Johnson, D. W., & Johnson, R. T. (1983). The socialization and achievement crisis: Are

cooperative learning experiences the solution? In L. Bickman (Ed.), Applied social

psychology. Annual 4. Beverly Hills: Sage Publications.

Johnson, D. W., & Johnson, R. T. (1989). Cooperation and competition. Edina, MN: Interaction

Book Company.

Johnson, D. W., & Johnson, R. T. (1999). Making cooperative learning work. Theory into Practice,

38(2), 67–73.

Johnson, D. W., Johnson, R. T., & Stanne, M. B. (2000). Cooperative learning methods: A

metaanalysis. Retrieved 15 June, 2004, from www.co-opration.org/pages/cl-

methods.html.

Kagan, S. (1992). Cooperative learning. Paseo Espada: Reseources for Teachers.

Leikin, R., & Zaslavsky, O. (1997). Facilitating student interactions in mathematics in a

cooperative learning setting. Journal for Research in Mathematics Education, 28(3), 331–

354.

Lloyd, G. M., & Frykholm, J. A. (2000). How innovative middle school mathematics can change

prospective elementary teachers’ conceptions. Education, 120(3), 575–577.

Minnis, B. I. (1986). An anlysis of the effect of a cooperative learning team on cross-race, cross-

sex and cross-socio-economic status relationships of middle school students in a

designated setting (Kentucky). Dissertation Abstract International, 48(2), p. 272.

Ozkilic, R. (1997). The effects of different cooperative learning methods on achievement and

retention of preservice secondary school teachers. Unpublished doctoral dissertation,

Meadle East Technical University, Ankara, Turkey.

Page 51: Review Artikel Metopen

51

Panitz, T. (2000). Why more teachers do not use collaborative learning techniques. Retrieved 24

October, 2000, from

www.capecod.net/,tpanitz/tedspage/tedsarticles/whyfewclusers.htm.

Perkins, D. V., & Saris, R. N. (2001). A ‘‘jigsaw classroom’’ technique for undergraduate statistics

courses. Teaching Psychology, 28(2), 111–123.

Shachar, H., & Fischer, S. (2004). Cooperative learning and achievement of motivation and

perceptions of students in 11th grade chemistry classes. Learning and Instruction, 14, 69–

87.

Sharan, S. (1980). Cooperative learning in small groups: Recent methods and effects on

achievement attitudes and ethnic relations. Review of Educational Research, 50(2), 241–

271.

Slavin, R. E. (1987). Cooperative learning: Student teams. Washington, DC: National Education

Association.

Slavin, R. E. (1990). Learning together. American School Board Journal, 177, 22–23.140 P. D.

Artut and K. Tarim

Slavin, R. E. (1991). Student team learning: A practical guide to cooperative learning. Washington

: National Education Association Publication.

Slavin, R. E. (1996). Research on cooperative learning and achievement: What we know, what we

need to know. Contemporary Education Psychology, 21, 43–69.

Slavin, R. E., & Karweit, N. L. (1981). Cognitive and affective outcomes of an intensive student

team learning experience. The Journal of Experimental Education, 50(1), 29–33.

Slavin, R. E., Madden, N. A., & Leavey, M. (1984). Effects of team-assisted individualisation on

the mathematics achievement of academically handicapped and non-handicapped

students. Journal of Educational Psychology, 76(5), 813–819.

Tarim, K. (2003). Effectiveness of cooperative learning method on teaching mathematics and a

metaanalytic study for cooperative learning method. Unpublished doctoral dissertation,

Cukurova University, Adana, Turkey.

Tarim, K., & Artut, P. D. (2004). Teaching addition and subtraction skills to preschool children

with cooperative learning method. Eurasian Journal of Educational Research, 5(17), 221–

236.

Page 52: Review Artikel Metopen

52

Thompson, M., & Pledger, L. (1998). Cooperative learning versus traditional lecture format: a

preliminary study. Retrieved 25 July, 2005, from www.eric.ed.gov/ERICWebPortal.

Walker, I., & Crogan, M. (1998). Academic performance, prejudice, and the Jigsaw classroom:

New pieces to the puzzle. Journal of Community and Applied Social Psychology, 8, 381–

393.

Wedman, J. M. (1996). The effect of Jigsaw teams on pre-service teachers knowledge of reading

pedagogy and concerns about group learning in a reading methods course. Reading

Improvement, 33(2), 111–133.

RUJUKAN PEMBAHASAN

Asma, Nur. 2006. Model Pembelajaran Kooperatif. Jakarta : Depdiknas

Dewi, Marsinta .2013. Penerapan Metode Jigsaw II Dalam Pembelajaran Membaca Teks Biografi

Siswa Kelas X SMA Pasundan Bandung Tahun Ajaran 2012/2013. Universitas

Pendidikan Indonesia : Bandung

Slavin, Robert. 2009. Cooperative Learning. Bandung : Nusa Media

Sudjana, Nana. 2009. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung : PT. Remaja Rosda

Karya

Page 53: Review Artikel Metopen

53

REVIEW ARTIKEL

PENELITIAN TINDAKAN KOLABORATIF UNTUK

MENGEMBANGKAN PENGGUNAAN PENDEKATAN

SOLUSI-TERFOKUS

Review artikel ini disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah Metodologi Pendidikan

Disusun Oleh :

AAN WIDIYONO

NIM 13712251035

PRODI PENDIDIKAN DASAR

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2013

Page 54: Review Artikel Metopen

54

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................ i

DAFTAR ISI ..................................................................................... ii

PENDAHULUAN ..................................................................... 1

RINGKASAN ISI MATERI ..................................................... 2

PEMBAHASAN ....................................................................... 11

PENUTUP ................................................................................ 15

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………. 16

LAMPIRAN

Page 55: Review Artikel Metopen

55

PENDAHULUAN

JUDUL ARTIKEL : PENELITIAN TINDAKAN KOLABORATIF

UNTUK MENGEMBANGKAN PENGGUNAAN

PENDEKATAN SOLUSI-TERFOKUS

PENULIS : Jo Simm dan Rachel Ingram

PUBLIKASI : search.ebscohost.com

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kolaboratif yang melibatkan dua psikolog

pendidikan (Peneliti) untuk bekerja sama dengan Guru dari empat Sekolah Dasar dalam

mengembangkan penggunaan pendekatan solusi-terfokus. Penelitian ini menggambarkan cara di

mana psikolog pendidikan bisa memberikan kontribusi yang berbeda dalam meningkatkan hasil

bagi guru dan siswa. Wawancara nyata digunakan untuk mengidentifikasi mekanisme tanggung

jawab untuk mendorong perubahan dalam praktek dan banyak menghubungkan antara penelitian

tindakan kolaboratif solusi-terfokus. Penelitian ini akan didanai selama dua tahun dan laporan ini

didasarkan pada tahun pertama. Penelitian ini telah mendorong kemajuan dan temuan ini

menunjukkan bahwa penelitian tindakan kolaboratif solusi-terfokus adalah model yang

bermanfaat untuk memperkenalkan dan memberikan solusi baru.

PENDAHULUAN

Sebagai bagian dari Strategi Nasional yang mendasar, Perilaku dan Kehadiran (DES,

2004), Peneliti diminta untuk menyampaikan berbagai pelatihan ke sekolah-sekolah dengan teknik

solusi-terfokus. Setelah pelatihan, beberapa sekolah yang tertarik untuk mengembangkan lebih

lanjut akan mendapat dua pembimbing, empat sekolah dasar mengajukan permohonan dan

menerima dana dari lembaga. Otoritas lokal (Layanan Anak) dan inisiatif Layanan Mental

Kesehatan Remaja.

Pada penelitian ini, peneliti dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana kontribusi penelitian tindakan kolaboratif dengan pendekatan solusi terfokus bagi

Guru dan Siswa di Sekolah Dasar?

Page 56: Review Artikel Metopen

56

2. Bagaimana tanggapan Guru tentang hasil pelaksanaan penelitian tindakan kolaboratif dengan

pendekatan solusi terfokus ?

3. Bagaiman tanggapan Peneliti dalam pelaksanaan penelitian tindakan kolaboratif dengan

pendekatan solusi terfokus ?

4. Bagaimana tanggapan Kepala Sekolah tentang hasil pelaksanaan penelitian tindakan

kolaboratif dengan pendekatan solusi terfokus ?

5. Bagaimana dampak penelitian tindakan kolaboratif dengan pendekatan solusi terfokus dalam

periode awal pelaksanaan penelitian ?

Dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui kontribusi penelitian tindakan kolaboratif dengan pendekatan solusi terfokus bagi

Guru dan Siswa di Sekolah Dasar?

2. Mengetahui tanggapan Guru tentang hasil pelaksanaan penelitian tindakan kolaboratif dengan

pendekatan solusi terfokus ?

3. Mengetahui tanggapan Peneliti dalam pelaksanaan penelitian tindakan kolaboratif dengan

pendekatan solusi terfokus ?

4. Mengetahui tanggapan Kepala Sekolah tentang hasil pelaksanaan penelitian tindakan

kolaboratif dengan pendekatan solusi terfokus ?

5. Mengetahui dampak penelitian tindakan kolaboratif dengan pendekatan solusi terfokus dalam

periode awal pelaksanaan penelitian ?

Manfaat penelitian tindakan kolaboratif dengan pendekatan solusi-terfokus adalah untuk

memecahkan permasalahan yang di alami Guru dan Siswa di lingkungan sekolah dengan

mengembangkan dan mencari solusi-terfokus terhadap permasalahannya sendiri.

Page 57: Review Artikel Metopen

57

RINGKASAN ISI MATERI

PENELITIAN TINDAKAN KOLABORATIF UNTUK MENGEMBANGKAN PENGGUNAAN

PENDEKATAN SOLUSI-TERFOKUS

Solusi pendekatan kolaboratif yang berfokus

Pendekatan dkembangkan dalam penelitian ini didasarkan pada pemecahan singkat ide-ide

dengan solusi-terfokus (De Shazer, 1985; O'Connell & Palmer, 2003) dan melibatkan fokus pada

solusi daripada pada masalah. Tujuannya adalah untuk membangun kompetensi dan sumber daya

masyarakat sendiri, untuk membantu mereka "mencapai hasil yang mereka sukai dengan

membangkitkan dan membangun solusi untuk masalah mereka" (O'Connell, 2003, hal.2).

Pendekatan ini dilaksanakan dengan cara-cara yang modern dan memperbaiki keadaan secara

wajar. Penelitian ini tidak dimaksudkan untuk memecahkan semua masalah dengan pendekatan

berfokus. Solusi pendekatan ini dikembangkan terutama atas permintaan sekolah yang terlibat.

Program-program ini sudah dikembangkan di beberapa sekolah yang terlibat dalam Penelitian.

Manfaat menggunakan pendekatan solusi yang berfokus untuk meningkatkan berbagai

situasi dan konteks di sekolah yang diobservasi (Ajmal & Rhodes, 1995; Ajmal & Rees, 2001;

Rhodes & Ajmal, 1995). Redpath dan Harker (1999) memberikan penjelasan tentang penerapan

pendekatan dalam lima bidang yang berbeda termasuk bekerja dengan murid individu, konsultasi

dengan guru, rapat, kerja kelompok dan pelatihan. Boyle, dan Woolfson (2005) menjelaskan

penerapan praktik solusi-terfokus memberikan efektivitas dari beberapa studi dalam evaluasi

pendekatan solusi-terfokus.

Desain Penelitian

Pendekatan penelitian tindakan ini dipilih karena mengembangkan perubahan pada kedua

individu dan tingkat organisasi (McNiff, Lomax, & Whitehead, 2003; Robson, 2002). Telah sukses

sebagai model untuk pengembangan professional dalam bidang pendidikan (Campbell,

McNamara, & Gilroy, 2004). Penggunaan penelitian tindakan kolaboratif solusi-terfokus juga

dapat berkontribusi untuk praktik (Thomas, 2004) dan mendorong para guru untuk menggunakan

penelitian dalam praktek mereka (Torrance, 2004). Sementara sebuah tujuan jangka panjang dari

Penelitian ini adalah untuk melibatkan semua sekolah dan guru yang terlibat untuk berkomitmen

atas dasar penelitian awal.

Page 58: Review Artikel Metopen

58

Penelitian tindakan melibatkan "spiral refleksi diri” dari siklus perencanaan, pelaksanaan,

mengamati dan evaluasi" (Carr & Kemmis, 1986, hal. 162). Pelaksanaan penelitian tindakan ini

diharapkan akan terjadi perubahan baik pada organisasi atau dalam praktek terhadap Peneliti

sendiri. Bekerja dengan cara solusi yang berfokus bukan "teknik" yang dapat dengan mudah

dipelajari dan digunakan mengikuti prosedur yang ditetapkan.

Penelitian ini bertujuan untuk melibatkan sebanyak mungkin guru dalam mengembangkan

penggunaan pendekatan solusi-terfokus. Tujuannya menyoroti pentingnya menjamin bahwa

orang-orang yang diharapkan untuk membuat perubahan pelaksanaan dalam hasil penelitian

(Elliot, 2004; Stoll & Fink, 2003). Penelitian tindakan harus berkembang tergantung pada apa yang

telah dipelajari dalam siklus sebelumnya dan sebagai bentuk bahwa penelitian tidak ditentukan

penelitian pada kondisi awal.

Sekilas dari tahun pertama

Peneliti terlibat dalam penelitian terutama sebagai koordinator dari masing-masing sekolah

dan berkolaborasi dengan orang lain di sekolah. Peneliti mengadakan pertemuan rutin di sekolah

mereka sendiri. Semua pertemuan yang terstruktur dalam kerangka penelitian tindakan (McNiff et

al., 2003) yang melibatkan dan merefleksikan praktek, mengidentifikasi hal-hal yang berjalan

dengan baik, membahas apa yang telah dipelajari dan direncanakan pada tindakan selanjutnya.

Selain itu, Peneliti dengan model pendekatan solusi terfokus pada masalah akan membimbing

sekolah. Guru dalam mengembangkan keterampilan akan menjadi lebih percaya diri dalam

mendukung pengajaran di sekolah.

Siklus pertama penelitian tindakan melibatkan Peneliti dan Guru dalam mengembangkan

dan memperluas pendekatan solusi-terfokus. Pada siklus berikutnya semakin diarahkan untuk

mengeksplorasi cara-cara untuk melibatkan anggota lain dari berbagai kelompok sekolah.

Pada tahun pertama, pengembangan pendekatan solusi terfokus melalui cara :

1. Guru mendukung kerja dari masing-masing anak.

2. Guru bekerja sama menggunakan pendekatan solusi terfokus untuk meningkatkan situasi sulit

yang berkaitan dengan individu murid, kelompok atau kelas;

3. Menggunakan pendekatan solusi yang berfokus pada pertemuan;

4. Guru memperkenalkan pendekatan untuk kelas atau kelompok siswa dengan tujuan

meningkatkan situasi tertentu;

Page 59: Review Artikel Metopen

59

5. Menghubungkan pendekatan untuk mengalokasikan kegiatan;

6. Menggunakan pendekatan solusi yang berfokus pada saat menulis dan mengkaji rencana

individu dalam pendidikan;

7. Mengajar siswa untuk menggunakan pendekatan solusi yang berfokus melalui dukungan

sebaya.

Hasil dan refleksi

Keberhasilan penelitian sejauh ini positif karena lebih dari 130 anak-anak di empat sekolah

yang terlibat memberikan hasil yang sukses dan umpan balik dari mereka sangat positif.

Penelitian dilakukan dimana Peneliti terlibat langsung dalam refleksi bersama kedua

penyelidikan (Goodnough, 2003; Haggarty & Postlethwaite, 2002) untuk mempertimbangkan

peran mereka sendiri dalam penelitian. Dalam hal ini penting untuk memastikan keberhasilan

penelitian dan mengevaluasi terhadap penelitian mereka. Tahap awal penelitian menegaskan

bahwa penelitian tindakan kolaboratif solusi-terfokus adalah proses kompleks untuk belajar

(Ajmal & Rhodes, 1995; Ponte, 2002). Beberapa waktu Guru cukup percaya diri dalam

memberikan penguatan terhadap teman mereka. Peneliti terlibat dalam solusi pekerjaan yang

berfokus bersama dengan guru, Peneliti sebagai fasilitator dalam sebuah lokakarya penelitian

tindakan dan menghadiri rapat sesekali di beberapa staf sekolahan.

Tanggapan Guru dalam pendekatan solusi terfokus antara lain :

1. Siswa tidak berkonsentrasi terhadap masalah tetapi bagaimana cara mencari solusi

permasalahan.

2. Siswa lebih menghargai permasalahan dan mencoba menetapkan target dalam pemecahan

masalah.

3. Siswa lebih bisa bekerjasama dengan teman sehingga dapat menjadi acuan baik, intervensi

sangat efektif.

4. Siswa sudah mencoba untuk menanamkan solusi terfokus terhadap permasalahan belajar

mereka sendiri tanpa meminta bantuan dari guru.

5. Memberikan informasi lebih terhadap siswa dalam pemecahan masalah.

Page 60: Review Artikel Metopen

60

Tanggapan Peneliti dalam pelaksanaan pendekatan solusi terfokus antara lain :

1. Pendekatan dapat membantu peneliti dalam bekerja, sehingga memberika cara baru tentang

pemecahan masalah individu maupun umum.

2. Dapat memberikan solusi terhadap siswa dengan bertukar pikiran dalam menyelesaikan

permasalahan dengan solusi terfokus.

3. Penelitian tindakan merupakan cara yang brilian untuk memperkenalkan sesuatu yang baru ke

sekolah.

4. Penelitian tindakan solusi terfokus secara bertahap dapat membangun keahlian dalam

pemecahan masalah dan menjadi lebih percaya diri sehingga tertanam dalam perilaku.

Tanggapan Kepala Sekolah terkait pelaksanaan pendekatan solusi terfokus antara lain :

1. Pendekatan solusi terfokus merupakan pendekatan sederhana dan menarik. Karena anak dapat

bergairah dan larut dalam pemecahan masalahnya sendiri.

2. Dapat memungkinkan sekolah untuk mengatasi masalah-masalah yang sebelumnya belum

dicoba untuk mengatasinya.

Wawancara dalam Evaluasi Awal

Pada akhir tahun pertama Peneliti melakukan beberapa evaluasi awal untuk

menginformasikan siklus penelitian tindakan. Sekolah lain telah menyatakan minat untuk terlibat

dalam penelitian serupa dan itu penting untuk mengidentifikasi kunci pokok dari penelitian yang

telah menyebabkan keberhasilan. Pada tahap ini evaluasi secara nyata (Sayer, 2000, hal. 3).

Evaluasi realistis tentang situasi dan peristiwa nyata, dan berusaha untuk mengeksplorasi apa yang

dikerjakan untuk siapa dan dalam keadaan bagaimana. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi

mekanisme kunci yang diperkenalkan oleh suatu penelitian khusus dalam konteks untuk mencapai

hasil tertentu.

Peneliti satu melakukan wawancara nyata semi-terstruktur yang dirancang sesuai dengan

pandangan dari Pawson dan Tilley (1997) bahwa "teori Peneliti adalah subyek wawancara”.

Pada awal penelitian, Peneliti 'teori" melibatkan orang-orang dalam pelaksanaan penelitian akan

membawa perubahan. Tujuan dari wawancara adalah untuk menyelidiki dan mencari

permasalahan yang ada. Pertanyaan wawancara dirancang untuk mencari tahu permasalahan apa

Page 61: Review Artikel Metopen

61

yang timbul dalam penelitian, dan berpikir tentang bagaimana menggunakan pendekatan solusi-

terfokus dalam hal mengubah praktek dan mempromosikan perubahan pada siswa.

Peserta

Guru di masing-masing sekolah yang terlibat dalam penelitian dan seorang guru kelas dari

salah satu sekolah yang diwawancarai secara langsung. Para Guru yang terlibat mendapat fasilitas

dalam penelitian. Guru kelas diwawancarai karena tahun mendatang akan diwawancarai kembali.

Peneliatan dibuat untuk memberikan tanggapan langsung guru dalam menyusun analisis data.

Prosedur

Wawancara berlangsung di sekolah-sekolah dan masing-masing berlangsung selama

sekitar 30 menit. Tujuan wawancara itu dijelaskan di awal dan izin diperoleh untuk merekam

dengan menggunakan tape recorder. Pertanyaan pertama dan terakhir dijawab oleh setiap peserta.

Dua pertanyaan lainnya diajukan fleksibel tergantung bagaimana tanggapan yang dihasilkan.

Setelah wawancara beberapa komentar akan diklarifikasi jawabannya sehingga didapatkan

penjelasan lanjut dari peserta terhadap komentar sebelumnya.

Analisis Data

Evaluasi yang realistis melibatkan mekanisme identifikasi dan konteks yang penting dalam

memberikan hasil yang baik. Mekanisme, konteks dan hasil dapat menjadi baik karena terdapat

tingkatan yang berbeda dan tumpang tindih satu sama lain. Tujuan dari wawancara adalah untuk

menyelidiki mekanisme yang sesuai untuk mengubah praktek. Oleh karena itu, pertanyaan yang

diajukan secara khusus terkait dengan hasil yang melibatkan perubahan dan memungkinkan

mekanisme dalam menghasilklan data.

Mekanisme dianggap sebagai proses atau struktur yang secara eksplisit telah digunakan

dalam Penelitian: misalnya, "kerangka penelitian tindakan". Analisis dilakukan dengan lima

wawancara yang mana lebih dari 100 mekanisme yang sama banyak atau sangat mirip. Ini yang

diurutkan ke dalam 15 kategori. Hasil ini dibagikan dan dibahas oleh Peneliti dan Guru pada salah

satu pertemuan. Perubahan kecil yang dilakukan untuk memastikan bahwa Guru memberikan hasil

yang konsisten sesuai dengan pandangan mereka.

Page 62: Review Artikel Metopen

62

Hasil dan diskusi

Semua peserta menyatakan bahwa penggunaan pendekatan penelitian tindakan dalam

penelitian ini telah efektif dalam mengubah praktek dan membimbing perubahan.

Hasil wawancara dari beberapa responden memberikan tanggapannya tentang pendekatan solusi-

terfokus sebagai berikut :

1. Penelitian tindakan adalah cara yang brilian untuk memperkenalkan sesuatu yang baru ke

dalam sekolah dalam situasi apa pun. Ketika kita melakukan penelitian tindakan dan

mengalami suatu masalah, bagaimana cara pemecahannya, mengevaluasinya. Kita dapat

mengambil sedikit langkah kedepan, mengevaluasi lagi, sehingga kita dapat beradaptasi,

mengambil langkah-langkah yang sangat kecil ke dalam penelitian dan membangun apa yang

kita ketahui sampai menjadi tertanam.

2. Responden beranggapan bahwa peserta yang mengikuti pendekatan terfokus kepercayaan

dirinya meningkat dalam menghadapi permasalahan.

3. Responden beranggapan bahwa penelitian tindakan adalah sebuah proses, bukan hanya

pelatihan satu hari tetapi terus-menerus dilaksanakan.

4. Responden beranggapan bahwa mereka mampu bertanggung jawab secara professional atas

apa yang telah mereka lakukan. Dengan menganggapnya serius karena itu adalah sesuatu yang

mereka yakini kebenarannya.

Mereka yang diwawancarai mampu menggambarkan cara di mana penelitian itu

dilaksanakan di sekolah mereka, tetapi mereka merasa bahwa penelitian masih membutuhkan

pekembangan melalui siklus berikutnya, sebelum doperoleh kebenaran dalam menyimpulkan

perubahan di seluruh sekolah.

Mekanisme penting dalam hal yang berkaitan dengan perubahan hasil, dalam konteks

penelitian ini, dirangkum dalam Tabel 2 di bawah ini.

Page 63: Review Artikel Metopen

63

Dalam 15 mekanisme, semua berhubungan dengan hasil yang mengubah praktek individu. Ini

bukan kejutan karena perubahan dalam praktek adalah sudah tertanam baik dalam perubahan

organisasi.

Dua belas mekanisme diidentifikasi penting dalam hal menanamkan perubahan dan delapan dalam

kaitannya dengan perubahan organisasi.

Dari mekanisme tersebut, metodologi penelitian tindakan atau prinsip-prinsip pendekatan

solusi terfokus, sesuai dengan desain metodologi penelitian dengan siklus, antara lain dalam

perencanaan, tindakan, refleksi dan evaluasi. Penelitian sedang berlangsung dengan jangka

panjang.

Dalam hal mengubah praktik yang terpenting adalah :

1. Penanaman perubahan misalnya "penekanan pada tindakan"

2. Fokus pada hal positif dan perbaikan, memastikan bahwa pendekatan baru membangun dan

sesuai dengan praktek yang ada. Orang tidak perlu menjadi ahli untuk memulai "dan" dapat

membuat perubahan kecil.

3. Penekanan pada refleksi adalah mekanisme yang berhubungan dengan kedua penelitian

tindakan dan pendekatan solusi-terfokus. Bukti nyata bahwa ini penting dalam hal

mempertahankan antusiasme, mempromosikan perasaan kompetensi dan membangun

kepercayaan diri.

Page 64: Review Artikel Metopen

64

4. Sukarela secara pribadi adalah mekanisme lebih lanjut yang berkaitan dengan kedua penelitian

tindakan dan berfokus terhadap pendekatan. Penelitian tindakan melibatkan orang dalam

meneliti praktek mereka sendiri dan mereka bertanggung jawab untuk menentukan perubahan

yang mereka buat.

5. Pendekatan penelitian tindakan mendapat dukungan dari berbagai pihak, Mekanisme ini

melibatkan proses yang dimulai dengan kelompok inti staf dan pendukung mereka melalui

pertemuan penelitian tindakan dan kerja bersama, dan kemudian mendorong mereka untuk

mendukung satu sama lain lain.

6. Penelitian dikembangkan dalam lingkungan sekolah, merupakan aspek penting dalam upaya

mencapai perubahan organisasi. Ini adalah fitur utama dari penelitian tindakan.

Penelitian sudah berhasil dengan dukungan guru dan melibatkan pembimbing dalam

tambahan belajar. Hal ini tampaknya telah dicapai terutama melalui cara di mana pendekatan

penelitian tindakan kolaboratif dan pembahasan yang berfokus sedang ditanamkan di sekolah.

Pada penelitian, yang terpenting bahwa anggota kelompok aktif di sekolah dan mengalami hasil

yang sukses secara langsung, dan mereka antusias sebelum memutuskan untuk ambil bagian.

Secara keseluruhan hasilnya mendukung pendekatan solusi-terfokus dalam penelitian tindakan.

Penelitian ini menghasiilkan perubahan dalam praktek dan kerja kelompok. Penelitian ini melalui

tahap awal dan evaluasi berkelanjutan yang akan diteruskan dalam penelitian selanjutnya untuk

menentukan keberhasilan dalam penelitian.

Langkah berikutnya

Pada tahun kedua fokus utama dari penelitian ini adalah dengan empat sekolah yang terlibat

untuk mendorong lebih banyak guru dan staf sekolah lainnya untuk menggunakan pendektan

solusi-fokus. Peneliti akan terus bekerjasama dengan Guru, dengan pertemuan rutin berdasarkan

identifikasi masalah dan evaluasi. Guru mendukung penelitian dalam sekolah mereka dengan

sedikit terlibat dengan peneliti langsung. Peneliti akan menjalankan proses pembelajaran dari

penelitian itu untuk mengeksplorasi metode yang peneliti evaluasi.

Page 65: Review Artikel Metopen

65

PEMBAHASAN

Penelitian tindakan adalah penelitian yang terjadi di dalam masyarakat atau kelompok

sasaran dan hasilnya dapat dikenakan pada masyarakat yang bersangkutan (Suharsimi Arikunto,

2010:129).

Maredith D Gall (2003:579) menjelaskan bahwa penelitian tindakan sebagai sebuah bentuk

penelitian yang tujuan utamanya adalah untuk perbaikan atas masalah-masalah yang berkenaan

dengan hal-hal praktis terutama dalam bidang pendidikan.

Kemmis & Mc Taggart (1982) mengatakan: ”Action research is the way groups of people

can organize the conditions under which they can learn from their own experiences and make

their experience accessible to others.“

Riset tindakan adalah cara suatu kelompok atau seseorang dalam mengorganisasi suatu kondisi

sehingga mereka dapat mempelajar pengalaman mereka dan membuat pengalaman mereka dapat

diakses oleh orang lain (Sukardi, 2003:210).

Pada penjelasan di bab II dapat disimpulkan bahwa penelitian kolaboratif dengan

pendekatan solusi-terfokus merupakan cara pemecahan/penyelesaian masalah tanpa tekanan

dengan cara-cara yang modern dan terfokus. (Burns, 1999). Beberapa butir penting tentang PTK

kolaboratif Kemmis dan McTaggart (1988: 5; Hill & Kerber, 1967, disitir oleh Cohen & Manion,

1985, dalam Burns, 1999: 31) :

1. Penelitian tindakan yang sejati adalah penelitian tindakan kolaboratif, yaitu yang dilakukan

oleh sekelompok peneliti melalui kerja sama dan kerja bersama.

2. Penelitian kelompok tersebut dapat dilaksanakan melalui tindakan anggota kelompok

perorangan yang diperiksa secara kritis melalui refleksi demokratik dan dialogis.

3. Optimalisasi fungsi penelitian tindakan kolaboratif mencakup gagasan-gagasan dan

harapan-harapan semua orang yang terlibat dalam situasi terkait.

Penelitian tindakan kolaboratif dapat dilakukan dengan: mahasiswa; sejawat dalam

jurusan/sekolah/lembaga yang sama; sejawat dari lembaga/sekolah lain; sejawat dengan wilayah

keahlian yang berbeda (misalnya antara guru dan pendidik guru, antara guru dan peneliti; antara

guru dan manajer); sejawat dalam disiplin ilmu yang berbeda (misalnya antara guru bahasa asing

dan guru bahasa ibu); dan sejawat di negara lain (Wallace, 1998).

Page 66: Review Artikel Metopen

66

Kelebihannya penelitian tindakan kolaboratif seperti dikatakan Burns (1999: 13) sebagai

berikut :

1. Proses penelitian kolaboratif memperkuat kesempatan bagi hasil penelitian tentang praktik

pendidikan untuk diumpanbalikkan ke sistem pendidikan dengan cara yang lebih substansial

dan kritis.

2. Proses penelitian kolaboratif mendorong guru untuk berbagi masalah-masalah umum dan

bekerja sama sebagai masyarakat penelitian untuk memeriksa asumsi, nilai dan keyakinan

yang sedang mereka pegang dalam kultur sosio-politik lembaga tempat mereka bekerja.

3. Proses kelompok dan tekanan kolektif kemungkinan besar akan mendorong keterbukaan

terhadap perubahan kebijakan dan praktik. Penelitian tindakan kolaboratif secara potensial

lebih memberdayakan daripada penelitian tindakan yang dilakukan secara individu karena

menawarkan kerangka kerja yang mantab untuk perubahan keseluruhan.

Selain itu, ada kelebihan lain dari PTK kolaboratif (Wallace, 1998: 209-210):

1. Kedalaman dan cakupan, yang artinya makin banyak orang terlibat dalam proyek penelitian

tindakan, makin banyak data dapat dikumpulkan,

2. Validitas dan reliabilitas, yaitu keterlibatan orang lain akan mempermudah penyelidikan

terhadap satu persoalan dari sudut yang berbeda, mungkin dengan menggunakan teknik

penelitian yang berbeda (yaitu menggunakan trianggulasi); dan

3. Motivasi yang timbul lewat dinamika kelompok yang benar, di mana bekerja sebagai anggota

tim lebih bersemangat daripada bekerja sendiri.

Kelemahan terbesar penelitian tindakan kolaboratif terkait dengan sulitnya mencapai

keharmonisan kerjasama antara orang-orang yang berlatar belakang yang berbeda. Hal ini dapat

dipecahkan dengan membicarakan aturan-aturan dasar.

Desain penelitian yang dilaksanakan menurut Kemmis & Mc Taggart (1982) yaitu

perencanaan, pelaksanaan, pengamatan dan refleksi :

1. Refleksi awal

Refleksi awal dimaksudkan sebagai kegiatan penjajagan yang dimanfaatkan untuk

mengumpulkan informasi tentang situasi-situasi yang relevan dengan tema penelitian.

Page 67: Review Artikel Metopen

67

2. Penyusunan perencanaan

Penyusunan perencanaan didasarkan pada hasil penjajagan refleksi awal. Secara rinci

perencanaan mencakup tindakan yang akan dilakukan untuk memperbaiki, meningkatkan atau

merubah perilaku dan sikap yang diinginkan sebagai solusi dari permasalahan-permasalahan.

3. Pelaksanaan tindakan

Pelaksanaan tindakan menyangkut apa yang dilakukan peneliti sebagai upaya perbaikan,

peningkatan atau perubahan yang dilaksanakan berpedoman pada rencana tindakan.

4. Observasi (pengamatan)

Dalam kegiatan ini peneliti mengamati hasil atau dampak dari tindakan yang dilaksanakan atau

dikenakan terhadap siswa.

5. Refleksi

Dalam kegiatan ini peneliti mengkaji, melihat, dan mempertimbangkan hasil-hasil atau

dampak dari tindakan. Setiap informasi yang terkumpul perlu dipelajari kaitan yang satu

dengan lainnya dan kaitannya dengan teori atau hasil penelitian yang telah ada dan relevan.

Melalui refleksi yang mendalam dapat ditarik kesimpulan yang mantap dan tajam.

Pada siklus pertama penelitian, Peneliti memberikan arahan kepada Guru untuk

melaksanakan pendekatan solusi-terfokus di sekolah masing-masing. Jika mengalami kesulitan,

Guru dapat bertukar pendapat dengan peneliti terkait proses pelaksanaan pengembangan

pendekatan solusi-terfokus. Guru yang sudah melaksanakan solusi terfokus akan diwawancarai

untuk dimintakan tanggapan terkait hasil penemuannya dilapangan.

Peserta dalam penelitian ini adalah guru di masing-masing sekolah yang terlibat dalam

penelitian dan seorang guru kelas dari salah satu sekolah yang diwawancarai secara langsung.

Sehingga prosedur penelitian dilakukan dengan teknik wawancara selama 30 menit, dan tujuan

penelitian dijelaskan sebelum pelaksanaan agar mendapatkan respon dan izin yang baik.

Hasil penelitian pendekatan solusi-terfokus memberikan efek positif karena lebih dari 130

anak-anak di empat sekolah yang terlibat memberikan hasil yang baik dengan umpan balik dari

mereka sangat positif dalam pelaksanaan penelitian.

Tanggapan secara umum Guru terhadap pendekatan solusi-terfokus adalah siswa berkonsentrasi

dalam pemecahan masalah, siswa menghargai sebuah permasalahan, siswa dapat bekerjasama

dengan kelompok secara efektif, dan penanaman solusi terfokus siswa mulai diterapkan.

Page 68: Review Artikel Metopen

68

Adapun tanggapan umum peneliti dalam pelaksanaan pendekatan solusi terfokus adalah

pendekatan dapat membantu peneliti dalam bekerja sehingga memberikan cara baru tentang

pemecahan masalah individu maupun umum, selain siswa dapat bertukar pikiran penelitian ini

merupakan teknik yang brilian untuk memecahkan suatu masalah yang sulit terpecahkan

disekolah.

Adapun tanggapan bagi Kepala Sekolah adalah pendekatan yang sederhana dan menarik sehingga

memungkinkan sekolah untuk mengatasi masalah-masalah yang sebelumnya belum dicoba untuk

mengatasinya.

Dalam hal mengubah praktik, mekanisme yang terpenting adalah :

1. Penanaman perubahan misalnya "penekanan pada tindakan"

2. Fokus pada hal positif dan perbaikan,

3. Penekanan pada refleksi

4. Sukarela secara pribadi

5. Pendekatan penelitian tindakan mendapat dukungan dari berbagai pihak,

6. Penelitian dikembangkan dalam lingkungan sekolah,

Semua peserta menyatakan bahwa penggunaan pendekatan penelitian tindakan dalam

penelitian ini telah efektif dalam mengubah praktek dan membimbing perubahan, akan tetapi perlu

dilakukan penelitian selanjutnya untuk mengetahui pengaruh pendekatan solusi-terfokus terhadap

sekolah yang terlibat.

Page 69: Review Artikel Metopen

69

PENUTUP

Kesimpulan

Dalam penelitian tindakan kolaboratif dengan pendekatan solusi-terfokus, dapat

disimpulkan bahwa :

1. Penelitian tindakan kolaboratif solusi-terfokus memberikan manfaat untuk memperkenalkan

dan memberikan solusi baru dalam dunia pendidikan.

2. Penelitian ini tidak dimaksudkan untuk memecahkan semua masalah dengan pendekatan

berfokus tetapi mencari solusi pemecahan masalah secara individu.

3. Penelitian dapat meningkatkan berbagai situasi dan konteks di sekolah yang diobservasi

sehingga Guru dalam mengembangkan keterampilan akan menjadi lebih percaya diri dalam

mendukung pengajaran di sekolah.

4. Penelitian yang dilakukan sudah menanamkan penggunaan pendekatan ini dalam praktek

disekolah.

5. Penelitian ini dapat meningkatkan kerjasama antara dua Peneliti dan berkolaborasi sesuai

dengan pembagian tugas masing-masing.

6. Banyak Guru tertarik untuk terlibat langsung dalam penelitian selanjutnya karena mereka

sudah melihat keberhasilan dan pengaruhnya terhadap sekolahnya masing-masing.

7. Penelitian tindakan kolaboratif solusi-terfokus memiliki potensi untuk digunakan dalam

mengatasi berbagai masalah dan memperkenalkan berbagai inisiatif pemecahan masalah.

Implementasi

Dalam penelitian tindakan kolaboratif dengan pendekatan solusi-terfokus, dapat

diimplementasikan bahwa

1. Isu-isu tentang evaluasi penelitian masih terus diteliti, wawancara secara nyata telah

dieksplorasi sebagai metode untuk mendapatkan informasi.

2. Penelitian ini menyoroti kemungkinan bagi Peneliti untuk terlibat dalam Penelitian tindakan

kolaboratif dengan Guru dalam rangka memberikan kontribusi terhadap hasil positif di

sekolah.

3. Investigasi ini memungkinkan kedua Peneliti untuk terlibat dalam proses pengembangan yang

berkesinambungan dalam penelitian selanjutnya.

Page 70: Review Artikel Metopen

70

DAFTAR PUSTAKA

Ajmal, Y., & Rees, I. (Eds.) (2001). Solutions in schools. Creative applications of solution-focused

brief thinking with young people and adults. London: BT Press.

Ajmal, Y., & Rhodes, J. (1995). Solution-focused brief therapy, EPs and schools. Educational and

Child Psychology, 12(4), 16–21.

Black, P., Harrison, C., Lee, C., Marshall, B., & Wiliam, D. (2003). Assessment for learning,

putting it into practice. Maidenhead: Open University Press.

Campbell, A., McNamara, O., & Gilroy, P. (2004). Practitioner research and professional

development in education. London: Paul Chapman Publishing.

Carr, W., & Kemmis, S. (1986). Becoming critical. Education, knowledge and action research.

Lewes: The Falmer Press.

Cohen, L., Manion, L., & Morrison K. (2000). Research methods in education. London: Routledge

Falmer.

Department for Education and Skills. (2004). Primary national strategy, behaviour and

attendance. Norwich: HMSO.

Department for Education and Skills. (2005). Primary national strategy, excellence and

enjoyment: Social and emotional aspects of learning. Norwich: HMSO Publications.

De Shazer, S. (1985). Keys to solutions in brief therapy. New York: W.W. Norton and Co.

Elliot, J. (2004). Making evidence-based practice educational. In G. Thomas, & R. Pring (Eds.),

Evidencebased practice in education. Maidenhead: Open University Press.

Goodnough, K. (2003). Facilitating action research in the context of science education: Reflections

of a university researcher. Educational Action Research, 11(1), 41–63. 52 J. Simm and R.

Ingram

Haggarty, L., & Postlethwaite, K. (2002). Strategies for improving communication between

teachers and school students about learning: A university/school collaborative research

project. Educational Action Research, 10(3), 449–478.

Herr, K., & Anderson, G. (2005). The action research dissertation. London: Sage Publications.

Ingram, R., & Simm, J. (2006). A possible approach. Division of Educational and Child

Psychology Debate, 120, 23–25.

Page 71: Review Artikel Metopen

71

Kemmis, S., & McTaggart, R. (Eds.) (1988). The action research planner. Victoria: Deakin

University Press.

McNiff, J., Lomax, P., & Whitehead, J. (2003). You and your action research project. Abingdon:

Routledge Falmer.

Monsen, J., Graham, B., Frederickson, N., & Cameron, R. J. (1998). Problem analysis and

professional training in educational psychology: An accountable model of practice.

Educational Psychology in Practice, 13(4), 234–249.

O’Connell, B. (2003). Introduction to the solution-focused approach. In B. O’Connell, & S. Palmer

(Eds.), Handbook of solution-focused therapy. London: Sage.

O’Connell, B., & Palmer, S. (Eds.). (2003). Handbook of solution-focused therapy. London: Sage.

Pawson, R., & Tilley, N. (1997). Realistic evaluation. London: Sage.

Ponte, P. (2002). How teachers become action researchers and how teacher educators become their

facilitators. Educational Action Research, 10(3), 399–422.

Redpath, R., & Harker, M. (1999). Becoming solution-focused in practice. Educational

Psychology in Practice, 15(2), 116–121.

Rhodes, J., & Ajmal, Y. (1995). Solution-focused thinking in schools. Behaviour, reading and

organisation. London: BT Press.

Robson, C. (2002). Real world research: A resource for social scientists and practitioner-

researchers. Oxford: Blackwell Publishing.

Sayer, A. (2000). Realism and social science. London: Sage Publications.

Stobie, I., Boyle, J., & Woolfson, L. (2005). Solution-focused approaches in the practice of UK

educational psychologists: A study of the nature of their application and evidence of their

effectiveness. School Psychology International, 26(1), 5–28.

Stoll, L., & Fink, D. (2003). Changing our schools. Maidenhead: Open University Press.

Sutoris, M. (2000). Understanding schools as systems: Implications for the management of pupil

behaviour. Educational and Child Psychology, 17(1), 51–63.

Thistleton, L. (2005). Realistic evaluation: An evaluation tool for educational psychologists.

Division of Educational and Child Psychology Debate, 115, 12–17.

Thomas, G. (2004). Introduction: Evidence and practice. In G. Thomas, & R. Pring (Eds.),

Evidence-based practice in education. Maidenhead: Open University Press

Page 72: Review Artikel Metopen

72

Thomas, G., & Pring, R. (Eds.). (2004). Evidence-based practice in education. Maidenhead: Open

University Press.

Timmins, P., & Miller, C. (2007). Making evaluations realistic: The challenge of complexity.

Support for Learning, 22(1), 9–16.

Timmins, P., Shepherd, D., & Kelly, T. (2003). The research and development in organisations

approach and the evaluation of a mainstream behaviour support initiative. Educational

Psychology in Practice, 19(3), 229–242.

Torrance, H. (2004). Using action research to generate knowledge about educational practice. In

G. Thomas, & R. Pring (Eds.), Evidence-based practice in education. Maidenhead: Open

University Press.

RUJUKAN PEMBAHASAN

Burn, R.B. 1999. Self concept development and education London : Holt : Rinehart and Wilson

Gall, Meredith D., Joice P. Gall, & Walter R. Borg. 2007. Educational Research 8nd Edition:

An Introduction. New York: Longman.

Kemmis, S., & McTaggart, R. (Eds.) (1982). The action research planner. Victoria: Deakin

University Press.

Suharsimi Arikunto. 2010. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Sukardi, H.M. 2013. Metode Penelitian Pendidikan Tindakan Kelas : Implementasi dan

Pengembangannya. Jakarta : Bumi Aksara.